The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini adalah buku wajib bagi mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Makassar. Isinya membahas dimensi ekonomi yang berpengaruh terhadap gizi dan kesehatan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SIRAJUDDIN SIRA, 2020-12-05 06:52:50

Ekonomi Pangan dan Gizi

Buku ini adalah buku wajib bagi mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Makassar. Isinya membahas dimensi ekonomi yang berpengaruh terhadap gizi dan kesehatan

Efek psikologis baik memori jangka pendek maupun jangka
panjang pada konsumen perlu mendapat perhatian disaat penentuan porsi
makan yang sehat pada brosur. Faktanya adalah perlu menyajikan ukuran
porsi yang real dan informasi gizinya. Tentu arah perubahannya adalah
menyediakan porsi makanan yang lebih rendah dan sesuai dengan
kebutuhan konsumen. Jika konsumen selama ini merasa nyaman dengan
porsi yang besar, maka dengan cara ini dapat dirubah kearah kualitas
bukan kuantitas. Porsi yang kecil tentu dengan kualitas yang lebih baik.
Lebih baik jika informasi gizi dan harga setiap satu satuan produk jual.
Misalnya setiap satu gram. (Riis 2014)

Kualitas makanan dan jumlah anak (besar keluarga) adalah dua
variabel anak memberikan kontribusi terhadapkeputusan pemberlian
sebesar 37%. Kesimpulan ini dikemukakan oleh Lewis-Bec et.al, 2013)
Hasil analisis sidik ragam pada variabel persepsi kualitas makanan
terdapat perbedaan keragaman dari kelompok tingkatan kelas, tempat
tinggal, dan uang saku. Pada variabel pengaruh anak-anak terdapat
perbedaan keragaman pada kelompok jumlah saudara kandung dan jenis
makanan. Sedangkan pada variabel keputusan pembelian makanan cepat
saji terdapat perbedaan keragaman pada kelompok tingkatan kelas, tempat
tinggal, jumlah saudara kandung, dan jenis makanan.(Lewis-Beck et al.
2013)

Faktor kebudayaan, sosial, pribadi, dan psikologis berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian makanan cepat saji.
Hasil riset di medan terhadap makanan cepat saji diketahui bahwa
keputusan pembelian dapat dijelaskan oleh kebudayaan, sosial, pribadi,
dan psikologis sebsar 67,6%. Sisanya sebesar 32,4% dapat dijelaskan oleh
variabel-variabel lain .(Millatina Urfana 2013)

Faktor sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan
dalam melakukan interkasi antar masyarakat yang berisi simbol. Simbol
status sosial inilah yang juga menentukan kebiasaan konsumsi masyarakat.
Faktor sosial terdiri dari acuan kelompok, acuan keluarga, dan peran

88

individu. Faktor pribadi yang memegaruhi keputusan konsumsi adalah ciri
khas individu seperti usia, jenis pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup
dan kepribadian (Philip Kotler & Gary Amstrong 2004, dalam Milliana
Urfana 2013 ((Millatina Urfana 2013)

89

BAB VII
PRODUKSI PANGAN

A. Karakteristik Pangan

Karakteristik produk adalah ciri yang melekat pada produk yang
menyebabkan ia dikonsumsi. Karakteristik produk antara lain:

1. Originalitas (lokal)
2. Makanan sehat/fungsional
3. Ketersediaan

Peningkatan konsumsi makanan lokal memiliki arti penting
seiring dengan meningkatnya kontaminasi pestisida pada makanan.
Konsumsi makanan lokal diharapkan mampu mengambil tempat tertentu
pada konsumen karena produksinya yang secara langsung berdekatan
dengan konsumennya Konsumen dapat langsung menilai bagaimana
makanan itu diproduksi dengan cara dan kaidah yang tepat. Pada kondisi
dimana makanan lokal telah dilirik oleh konsumen maka ada beberapa
proses yang harus dibenahi antara lain adalah peningkatan kapasitas petani
dan produksi yang berkualitas. Masyarakat konsumen harus disadarkan
untuk mendukung konsumsi makanan lokal melalui kampanye pemasaran
sosial dan lokasi pemasaran yang refresentatif. (Dodds et al. 2013)

Dewasa ini diet tidak sekedar memiliki fungsi untuk mengatur
makanan agar sehat, tetapi memiliki konsekuensi yang sangat jauh
kedepan karena berhubungan dengan kualitas kehidupan secara makro.
Kegagalan untuk memenuhi diet yang sehat dengan pola makan yang
sesungguhnya menyebabkan tingginya angka kesakitan dan menurunnya
kualitas kehidupan. Konsumsi sayur dan buah buahan dianggap sebagai
salah satu penyelamat pada kondisi gizi yang tidak seimbang. Asupan
mikronutrient seperti vitamin dan mineral jelas berhubungan dengan status
sosial ekonomi khususnya dari golongan ekonemi bawah. Temuan
berbagai riset terkait densitas zat gizi masih bermasalah pada beberapa

90

populasi khususnya energi. Peningkatan konsumsi sayur dan buah juga
tidak mudah dilakukan karena berhubungan dengan ketersediaan dan
harga serta akses. Konsumsi makanan yang sehat dihadapkan pada banyak
kendala teknis khususnya produksi dan distribusi serta hadirnya industri
makanan ringan sebagai pesaing (Hakansson 2015)

Ketersediaan pangan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi rumah tangga dengan bertumpu pada kemampuan
produksi dalam negeri melalui pengembangan sistem produksi, efisiensi
sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana
produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif dan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.

Pemerintah memberikan dukungan peningkatan produktivitas
pangan, terutama pangan pokok, termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan
dan air. Rencana aksi yang dilakukan adalah:
a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan

produksi pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus
untuk menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi.
b. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang “tertidur” dan tidak
produktif, sebagai sumber penghasil pangan strategis dan bersifat
pokok, melalui pemberian insentif khusus bagi mereka yang akan
memanfaatkan sumberdaya lahan terbengkalai tersebut.
c. Perluasan areal tanaman pangan, terutama ke Luar Jawa, untuk
mendukung penyediaan lahan berkelanjutan seluas 15 juta hektar
untuk produksi pangan strategis.

Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan, meliputi usaha-
usaha berbasis pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan
kehutanan, dan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
pencegahan kerusakan, serta rehabilitasi lahan-lahan usaha pertanian dan
kehutanan secara luas. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan
pengolahan melalui perakitan dan pengembangan teknologi pasca panen
dan pengolahan tepat guna spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi

91

dan kualitas produk, peningkatan kesadaran dan kemampuan
petani/nelayan untuk memanfaatkan teknologi pasca panen dan
pengolahan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk,
mendorong pemanfaatan teknologi dan peralatan tersebut melalui
penyediaan insentif bagi pelaku usaha, khususnya skala kecil.

Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai.
melalui penegakan peraturan untuk menjamin kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam secara ramah lingkungan, rehabilitasi daerah aliran
sungai dan lahan kritis, konservasi air dalam rangka pemanfaatan curah
hujan dan aliran permukaan, pengembangan infrastruktur pengairan untuk
meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, serta penyebarluasan penerapan
teknologi ramah lingkungan pada usaha-usaha yang rnemanfaatkan
sumberdaya air dan daerah aliran sungai.

Perbaikan jaringan irigasi dan drainase, dengan fokus pada
rehabilitasi 700 ribu hektar saluran irigasi terutam di daerah lumbung
pangan sekaligus melalui pemanfaatan dana stimulus fiscal serta upaya
lain untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global.

B. Cadangan Pangan Masyarakat dan Pemerintah

Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan
pangan, kelebihan pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat.
Cadangan pangan diutamakan berasal dari produksi dalam negeri dan
pemasukan atau impor pangan dilakukan apabila produksi pangan dalam
negeri tidak mencukupi. Pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota dan
desa menyediakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat
pokok. Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam
upaya mewujudkan dan mengelola cadangan pangan masyarakat sesuai
dengan kearifan dan budaya lokal. Cadangan pangan pemerintah dapat
direalisasikan dengan cara sebagai berikut: (Kementan 2014)
a. Pengembangan cadangan di setiap lapis pemerintah: dari tingkat pusat,

provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat desa untuk membantu

92

mewujudukan cadangan pangan yang bersifat pokok di setiap daerah
dan di setiap desa dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia
b. Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat agar tercipta dan
terintegrasi sistem cadangan pemerintah dan masyarakat
c. Peningkatan kerjasama antar-daerah otonom, terutama aliran pangan
pokok dari daerah surplus ke daerah defisit pangan, agar terjalin
kerjasama antar daerah dengan satuan kluster ekonomi yang saling
mendukung
d. Pada keadaan darurat, masing-masing kelompok masyarakat mampu
memanfaatkan dan mengelola sistem cadangan pangannya untuk
mengatasi masalah kerawanan pangannya secara mandiri dan
berkelanjutan. Fasilitasi dilakukan dalam aspek manajemen kelompok
maupun aspek teknis pengelolaan pangan sehingga kualitas dan nilai
ekonominya dapat ditingkatkan.

C. Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan

Akses rumah tangga terhadap pangan diwujudkan melalui
pengendalian stabilitas harga pangan, peningkatan daya beli, pemberian
bantuan pangan dan pangan bersubsidi. Pemerintah memantau dan
mengidentifikasi secara dini tentang kekurangan dan surplus pangan,
kerawanan pangan, dan ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi
kebutuhan pangannya serta melakukan tindakan pencegahan dan
penanggulangan yang diperlukan. Bantuan pangan dan pangan bersubsidi
disalurkan kepada kelompok rawan pangan dan keluarga miskin untuk
meningkatkan kualitas gizinya. Rencana aksi untuk memperbaiki
aksesibilitas pangan dapat diikhtisarkan sebagai berikut:(Kementan 2014)
a. Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas,

agar semakin solid rasa saling percaya di antara masyarakat baik di
perdesaan maupun di perkotaan
b. Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendapatan rumah
tangga dan daya beli masyarakat, agar semakin terintegrasi budaya

93

dan kearifan pangan lokal dengan pengentasan kemiskinan secara
umum
c. Peningkatan efektivitas program subsidi pangan seperti beras untuk
keluarga miskin (raskin) agar tingkat salah-sasaran semakin berkurang
dan kriteria tepat lainnya semakin baik, dan
d. Identifikasi secara dini dan pemantauan berkala gejala kurang pangan
dan surplus pangan, dengan sasaran jelas, yakni tersedianya peta
defisit dan surplus pangan di seluruh Indonesia.

94

BAB VIII KONSUMSI PANGAN

A. Konsumsi Pangan Berkelanjutan

Kebutuhan pangan penduduk bumi tahun 2050 adalah
ditentukan oleh perkembangan; produksi pangan, pertumbuhan penduduk,
daya penyelamatan lingkungan saat ini. Tantang memberi makan 9 miliar
penduduk bumi digaransi oleh pengembangan desa, penurunan gas emisi,
ekosistem. Variabel ini adalah tantangan semua negara di dunia. Gagalnya
memperbaiki parameter ini maka ancama kelaparan akan menjadi pandemi
pada tahun 2050(Capone et al. 2014)

Strategi baru untuk mempersiapkan makanan penduduk bumi
tahun 2050:
1. Sustainable Diet
2. Perbaikan pola makan. (Ketahanan Gizi)
3. Perbaikan Ketahan Pangan (kuantitatif dan kualitatif)

Definisi Sustainable Diet (FAO, 2010) adalah makanan yang
diatur konsumsinya tidak hanya untuk kebutuhan fisiologis tetapi juga cara
dia diproduksi remah laingkungan, memberi kepastian kepada konsumsi
generasi berikutnya, diterima secara ekosistem, budaya, mudah
didapat,cukup, aman sehat memanfaatkan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia. (Capone et al. 2014)

Pada tahun 2016 penduduk bumi mampu memproduksi
makanan setara dengan 4 juta ton meter kubik pertahun, untuk memberi
makan penduduk bumi sebanyak 7 miliar. Tidak semua makanan yang
diproduksi sampai di perut manusia. Ditemukan sekita 1-1,2 juta ton
terbuang percuma karena kelalaian pada semua rantai produksi pangan.

Sisa makanan adalah ancaman ekologi patologis bagi penduduk
bumi saat ini. Data setiap tahun ditemukan 1 juta penduduk bumi
meninggal karena kelaparan dan tidak mendapatkan asupan gizi yang
optimal. (Capone et al. 2014)

95

Konsumsi secara keseluruhan dipandang sebagai bentuk yang tidak
sederhana, berbagai varibel yang memenguhi konsumsi barang dan jasa mulai dari
ekonomi, teknologi, psikologi, social, politik, kebudaan bahkan sejarah sebuah
komunitas ikut memberikan efek yang sistematis pada pola konsumsi barang dan
jasa. Model ini dikutif dari Publikasi Kementrian Lingkungan Hidup Swedia,
1997.

B. Kebijakan Konsumsi Pangan
Pada tahun 2015 ditargetkan 400 juta jiwa penduduk dapat kelur

dari ancaman kelaparan oleh seluruh negara peserta Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Pangan. Komitmen global ini sebagai salah satu bentuk
implementasi dari Deklarasi Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah
hak atas pangan.(Ariani 2015)

Pemerintah dapat mengambil peranan yang lebih banyak dalam
mengendalikan kebijakan konsumsi pangan. Perubahan komposisi
konsumsi makanan penduduk dan diet yang tepat dapat dikendalikan
melalui kebijakan pemerintah. Kasus gizi kurang maupun gizi lebih
adalah variabel dependen yang dipengaruhi oleh multi faktor. Trail et al

96

2014 menjelaskan sebuah skema kebijakan publik yang dapat memberikan
efek yang nyata pada perbaikan pendapatan dan konsumsi pangan
penduduk.

Pendapatan dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi pemerintah
dan faktor pendukung lainnya (pertambahan penduduk, urbanisasi,
globalisasi, harga energi, organisasi pemasaran, teknologi, sosial
demografi penduduk). Pendapatan penduduk akan memberi pengaruh
pada harga pangan, ketersediaan pangan dan kesukaan terhadap makanan
tertentu. Ketiga variabel ini akan mempengaruhi secara bersama sama
konsumsi pangan, asupan dan kualitas diet seseorang. Kelebihan ataupun
kekurangan gizi ditentukan oleh konsumsi, asupan dan kualitas diet (Traill
et al. 2014)

C. Nafsu makan dan Rasa Lapar
Nafsu makan dan rasa lapar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :
1. Eksplorasi psikologis (kebiasaan makan)
2. Kebutuhan gizi (risiko kesehatan)
Autonomic Nervous System (ANS) adalah kemampuan eksplorasi

psikologi dan kebiasaan terhadap karakter rasa pada makanan dengan
mengamati mimik muka saat mengonsumsi makanan.(De Wijk et al. 2014)

Bukti ilmiah pada manusia dan hewan bahwa konsumsi makanan
yang manis berhubungan dengan risiko kesehatan. Risiko makanan yang
manis pada umumnya berasal dari minuman disamping berasal dari
makanan lain baik konsumsi tunggal ataupun kombinasi.(Piernas et al.
2014)

Reaksi konsumen, terhadap promosi makanan adalah pada
kontennya yang berhubungan dengan penekanan fungsi dan kandungan
gizinya. Kandungan garam lebih dipilih sebagai atribut yang positif
berhubungan dengan persepsi konsumen. Familiaritas konsumen terhadap
sebuag produk, pendidikan, usia dan status pengasuhan tidak memiliki
efek yang signifikan terhadap persepsi klaim produk. Klaim makanan

97

kesehatan adalah klaim yang paling baik untuk promosi produk.(Reid et al.
2011)

D. Sifat Konsumsi Pangan dan Gizi

Penelitian tentang kalori rendah pada minuman yang manis,
kualitas diet, asupan makanan dan daya beli rumah tangga di Amerika.
Kualitas diet dan daya beli di observasi sejak tahun 2000-2010. Hasilnya
diketahui bahwa makanan rendah kalori umumnya dari kelompok
makanan siap konsumsi dan makanan ringan sedangkan makanan dengan
tingkat kemanisan rendah dari kelompok sumber protein. Konsumsi
makanan rendah energi berhubungan dengan konsumsi makanan rendah
kalori dan konsumsi makanan rendah kemanisan.(Piernas et al. 2014)

Negara Eropa memiliki faktor determinan yang berhubungan
dengan tingkat penerimaan konsumsi makanan. Pertimbangan nilai gizi
akan dipertimbangkan jika secara ilmiah terbukti bermanfaat untuk
kesehatan. Pemroses informasi pada level psikologis diteliti dengan
metode Survei melalui pengembangan instrumen yang baik. Hasilnya
diketahui bahwa keyakinan terhadap manfaat gizi dan kesehatan, manfaat
yang dirasakan adalah variabel yang secara intensif mempengaruhii
lahirnya perilaku sadar gizi. (Poínhos et al. 2014)

Riset tentang trend analisis faktor yang berkontribusi terhadap
konsumsi kalori di Amerika serikat pada makanan dan minuman. Variabel
yang diteliti adalah daya beli rumah tangga, kandungan lemak jenuh, gula
dan garam. Hasilnya diketahui bahwa proses pengolahan makanan
berteknologi mutakhir cenderung memiliki kandungan energi dan lemak
yang tinggi dan sudah tentu dikonsumsi oleh kelompok masyarakat
berdaya beli tinggi. Kebijakan dan rekomendasinya adalah kepada industri
pengolahan makanan agar dapat mendisain produk berkalori dan berkadar
lemak rendah yang sesuai dengan penurunan risiko kesehatan. (Poti et al.
2015)

98

Sumber : Poti, J.M. et al., 2015. Is the degree of food processing and convenience linked with the
nutritional quality of foods purchased by US households ? The American journal of clinical nutrition,
101, pp.1251–1262.

Efek psikologis baik memori jangka pendek maupun jangka
panjang pada konsumen perlu mendapat perhatian disaat penentuan porsi
makan yang sehat pada brosur. Faktanya adalah perlu menyajikan ukuraqn
porsi yang real dan informasi gizinya. Tentu arah perubahannya adalah
menyediakan porsi makanan yang lebih rendah dan sesuai dengan
kebutuhan konsumen. Jika konsumen selama ini merassa nyaman dengan
porsi yang besar, maka dengan cara ini dapat dirubah kearah kualitas
bukan kuantitas. Porsi yang kecil tentu dengan kualitas yang lebih baik.
Lebih baik jika informasi gizi dan harga setiap satu satuan produk jual.
Misalnya setiap satu gram. (Riis 2014)

Empat dekade terakhir terjadi peningkatan obesitas pada anak
anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena perubahan pada makanan dan
aktivitas fisik yang berhubungan dengan hal tersebut. Strategi terbaik
untuk mencegah obesitas dan efek penyertanya adalah dengan melibatkan
banyak pihak khususnya penyedia makanan untuk konsumsi publik.
Industri makanan tidak hanya menyediakan informasi tentang aman atau
tidaknya makanannya pada cemaran tetapi lebih dari itu adalah kelayakan

99

dan porsi yang layak pada konsumennnya. Label makanan tidak hanya
menyajikan informasi lengkap tentang kendungan gizinya tetapi juga
mengatur jumlah yang layak dikonsumsi pada setiap kelompok umur.
(Roberto & Khandpur 2014)

Obesogenic factor adalah faktor genetik penyebab obesitas yang
dipicu oleh porsi makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seseorang.
Berdasarkan telaahan porsi makan maka dapat dipandang sebagai bagian
dari faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian obesitas.
Perkembangan mutakhir adalah porsi sehat (healthier porton size) yang
harus diedukasi kepada konsumen dan produsen. Edukasi ini harus
dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan publik.(Vermeer et al. 2014)

Implikasi porsi makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah
sangat besar. Porsi makanan berhubungan dengan harga jual, preferensi
konsumen, dan daya beli. Fokus pada porsi kecil lebih banyak
berimplikasi positif pada kesehatan masyarakat, pada sisi penjual lebih
menguntungkan sedangkan pada sisi konsumen hanya diperlukan edukasi
yang tepat. Edukasi difokuskan pada manfaat porsi kecil bagi kesehatan
dan salah satunya adalah meredam kecenderungan obesitas. (Vermeer et
al. 2014)

E. Even Sosial Konsumsi Pangan

Studi pada penduduk Amerika diketahui bahwa pada dekade
terakhir konsumsi energi yang tinggi berasal dari makanan di luar rumah.
Tingginya mobilisasi penduduk menyebabkan makan di luar rumah lebih
banyak. Fakta ini dianggap sebagai salah satu pemicu obesitas. Studi
diperlukan untuk mengontrol porsi saji makanan di luar rumah.
Pertimbangan kebiasaan makanan dan sisi ekonomi dan pemasaran harus
memiliki sinergi yang positif untuk mewujudkan makanan yang berkialitas
dimasa yang akan datang.

100

Dadang Sukandar (2007) menjelaskan bahwa masih cukup
banyak makanan yang ditabukan bagi ibu hamil dan ibu menyusui di
Kalimantan Selatan. Jumlah makanan yang ditabukan bagi ibu hamil
sebanyak 7 jenis dan bagi ibu menyusui sebanyak 11 jenis. Makanan
tersebut mencakup pangan sumber zat tenaga, pembangun dan pengatur.
Hanya ditemukan dua jenis makanan yang ditabukan bagi bayi yaitu ikan
tauman dan ikan gabus. Makanan yang ditabukan untuk balita hanya satu
macam yaitu telur. Makanan ini hanya tabu bagi balita perempuan. Tidak
ditemukan makanan yang ditabukan bagi balita laki-laki. Bagi orang
dewasa, makanan yang ditabukan hanya bagi perempuan dewasa, bagi
laki-laki dewasa tidak ditemukan makanan yang ditabukan. Makanan
tersebut adalah telur dan pisang kembar. Makanan tersebut dipercaya akan
menyebabkan melahirkan dengan bayi kembar. Makanan yang ditabukan
untuk orang sakit ditemukan sebanyak lima macam yang terdiri atas telur
rebus, cabe, pedas, nanas, papaya dan daging. Telur rebus dipercaya dapat
menyebabkan kanker, daging dipercaya dapat menyebabkan tekanan darah
(Sukandar 2007a)
Tabel 3. Daftar Makanan Tabu Ibu Menyusui di Kalimantan Selatan

Makanan Alasan

1. Telur Akan hamil lagi

2. Ikan Segar Pendarahan setelah 40 hari melahirkan dan urin

anak bau

3. Ikan Akan timbul bintik merah di kulit anak

4. Gula Demam, dan akan timbul bintik merah dikulit anak

5. Garam Demam, dan akan timbul bintik merah dikulit anak

6. Ikan Kalui Keracunan

7. Nagka Gatal

8. Makanan Berlemak Pendarahan setelah 40 hari melahirkan dan urin

anak bau

9. Makanan Pedas Susu ibu akan asam dan anak akan diare

10.Santan Ibu dapat sakit

11.Makanan Asam Susu ibu akan asam dan anak akan diare

Sumber : (Sukandar 2007a)

Ibu hamil memiliki tabu makanan yang banyak di Jeneponto.

Jumlah makanan yang ditabukan bagi ibu hamil sebanyak 35 jenis dan

bagi ibu menyusui sebanyak 24 jenis. Makanan tersebut mencakup pangan

101

sumber zat tenaga, pembangun dan pengatur. Hanya ditemukan satu jenis
makanan yang ditabukan bagi bayi yaitu pisang ambon. Makanan yang
ditabukan untuk balita baik laki-laki ataupun perempuan ditemukan
sebanyak enam jenis yaitu makanan pedas, makanan berminyak, kerupuk,
tunggir ayam dan sirup. Masih didapatkan banyak makanan yang
ditabukan baik untuk laki-laki dewasa maupun perempuan dewasa.
Makanan yang ditabukan untuk laki-laki dewasa ditemuditemukan
sebanyak 15 jenis dan untuk perempuan dewasa sebanyak 16 jenis.
Makanan yang ditabukan untuk orang sakit relatif sedikit yaitu sebanyak
empat jenis yang terdiri atas makanan asam, makanan pedas, nangka dan
gula. (Sukandar 2006)

Tabel 4. Daftar Makanan Tabu Bagi Perempuan Dewasa di Jeneponto

Mangga Bau badan dan haid tidak berhenti

Mangga Muda Bau badan

Ikan Bete bete Sumpah nenek moyang untuk tidak makan ikan

tersebut karena mereka pernah ditolong oleh ikan

tersebut

Ikan Balana Sumpah nenek moyang untuk tidak makan ikan

tersebut karena mereka pernah ditolong oleh ikan

tersebut

Ikan Hiu Sumpah nenek moyang untuk tidak makan ikan

tersebut karena mereka pernah ditolong oleh ikan

tersebut

Ikan Ciko Penyakit kulit

Sumber : (Sukandar 2007b)

Makanan Tabu dalam riset kualitatif di Ngadas terletak di atas
Taman Nasional Gunung Tengger-Bromo-Semeru, Kecamatan
Poncokusumo. Berdasarkan hasil riset diketahui bahwa pada ibu hamil
makanan yang dipantangkan adalah buah melodi, mangga kweni, pisang
rajamala, salak, nanas, bandeng, merica, cabai, nangka, buahbuahan dalam
jumlah banyak, durian, tape, es, makanan asam, ikan lele, kol, dan kubis.
Ibu hamil beragama Budha dan menganut pola makan vegetarian pantang

102

makan ikan, daging, dan bawang putih, sedangkan ibu hamil beragama
Islam dipantangkan makan daging babi (Sholihah et al. 2014)

Berbagai hasil studi kualitatif diatas dibuktikan bahwa mitos pada
makanan adalah faktor kuat pada etnis dan wilayah tertentu. Faktor mitos
pada makanan tersebut menjadi salah satu penghambat asupan gizi
seimbang pada kelompok rawan gizi. Salah satu kelompok rawan
defisiensi gizi adalah ibu hamil. Efek yang ditimbulkan akibat mitos ini
adalah pada aspek pertumbuhan janin dan kesehatan ibu selama kehamilan
maupun pasca persalinan.

Pada tahun 2016, ditemukan angka kematian ibu di Kabupaten
Jeneponto masih tinggi dibanding Kabupaten lain di Sulsel. Gizi kurang
pada bayi dan balita masih tinggi. Faktor yang berpengaruh salah satunya
adalah faktor makanan.

103

BAB IX PENDAPATAN DAN GIZI

A. Mengukur Pendapatan Konsumen

Pendapatan yang akan dijelaskan pada bagian ini adalah
pendapatan perseorangan (Personal Income). Pendapatan perseorangan
dapat berasal dari hasil kegiatan maupun bukan hasil kegiatan seperti
transfer payment. Penerimaan yang berasal dari tahun tahun sebelumnya.
Contoh dana pensiun atau premi asuransi. Pendapatan perseorangan
dihitung setelah dikurangi dengan seluruh beban pajak perseorangan
(disposible income).

Pendapatan adalah banyaknya uang yang diperoleh atas imbalan
hasil pekerjaan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu atau bukan
hasil usaha pada tahun berjalan. Pendapatan berasal dari keuntungan
penjualan produk barang dan atau jasa yang digunakan oleh orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya. Pendapatan konsumen akan menentukan
daya beli. Daya beli adalah variabel yang berhubungan secara langsung
dengan kuantitas barang dan jasa yang dapat dibeli. Semakin tinggi
pendapatan maka daya beli semakin baik demikian pula sebaliknya.
Pembahasan tentang pentingnya mengkaji pendapatan dalam variabel
ekonomi pangan dan gizi adalah karena beberapa alasan antara lain.
1. Pendapatan yang tinggi, secara konseptual akan mampu menyediakan

kebutuhan hidup secara memadai. Pemenuhan kebutuhan hidup
secara memadai dalam dimensi ekonomi tidak selalu memberi efek
positif terhadap status gizi dan kesehatan. Naiknya pendapatan
seringkali menjadi risiko kesehatan untuk kelompok penyakit
degenerative
2. Pendapatan memiliki dua efek pada proporsi pengeluaran pangan.
Pertama pada orang miskin proporsi pendapatan mayoritas untuk
memenuhi kebutuhan pangan sedangkan pada orang kaya proporsinya
akan menurun. Penurunan proporsi pengeluaran pangan pada orang

104

kaya meningkatkan risiko kesehatan, karena terjadi pergeseran
komposisi dari serealia ke produk hewani.
3. Perbaikan gizi berbasis pemberdayaan masyarakat penting
memperhatikan akses ekonomi masyarakat terhadap pangan dan
sumber pangan alternatif lainnya. Komponen ekonomi menjadi kajian
kritis sebagai pembatas pertama untuk memenuhi pangan bagi mereka
yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan lahan usaha tani.

Pendapatan diketahui berdasarkan pendekatan pengeluaran.
Asumsinya adalah pendapatan sama dengan pengeluaran. Pendekatan
pengeluaran dibedakan menjadi dua yaitu pengeluaran berdasarkan biaya
hidup untuk memenuhi kebutuhan minimum dan pengeluaran setara
kebutuhan beras dalam setahun. Pengeluran berdasarkan kebutuhan hidup
minimum biasana sama dengan upah minimum di setiap daerah. Upah
minimum inilah yang dijadikan indikator variabel untuk mengelompokkan
masyarakat berdasarkan kemampuannya memenuhi upah minimum. Upah
minimum berubah dan berbeda setiap regional sesuai dengan nilai inflasi
masing-masing. Upah minimum ditetapkan besarannya oleh pemerintah.

Jadi upah minimun dapat dijadikan cut off point untuk
mengkategorisasi data pendapatan konsumen dalam sebuah riset pangan
dan gizi. Alasannya adalah bahwa upah minimum adalah setara dengan
pencapaian kebutuhan minimum untuk hidup layak pada perioda dan
wilayah tertentu. Jika kebutuhan minimun terpenuhi dari seluruh
pendapatan jika dibelanjakan pada aspek kebutuhan primer, maka
diasumsikan seseroang akan mampu untuk hidup sehat dan berproduksi.

Pendapatan sebagaimana dijelaskan diatas dapat diketahui dengan
mengukur besarnya pengeluaran setiap bulan. Pengeluaran dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu pengeluaran pangan dan non pangan.
Klasifikasi ini banyak digunakan untuk menganalisis data pendapatan
yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan. Alasannya variabel gizi dan
kesehatan mayoritas berefek pada konsumsi pangan dan kesehatan.

105

Cara yang digunakan adalah dengan mencatat semua pengeluaran
rumah tangga setiap bulan. Dicatat sesuai dengan pola pembelajaannya.
Misalnya bahan makanan belanja setiap hari, maka pengeluarannya hitung
setiap hari, demikian juga makanan yang dibeli setiap minggu atau bulan
makan dicatat berdasarkan periode pembeliaannya. Hasil akhir dari catatan
pengeluaran dihitung dalam rupiah perbulan. Contoh data BPS tahun 2007
tentang klasifikasi pengeluaran pangan dan nonpangan di Kota Makassar.

Tabel 5. Rerata Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan Menurut
Pengeluaran Pangan dan Nonpangan

2002 2007
Retara
Jenis Pengeluaran Rerata Rp
1.022.950
Rp % %
51,74
Pengeluaran 585.818 54,3

Makanan

Pengeluaran Bukan 482,611 45,17 954,003 48,26

Makanan

Pengeluaran Rumah 1.068.429 100 1.976.959 100

Tangga

Sumber: BPS, Kota Makassar, Susenas 2002, 2007

Pengelompokan pengeluaran berdasarkan pangan dan nonpangan
adalah cara yang paling mudah dan sesuai dengan kajian dibidang pangan
dan gizi. Kajian pangan dan gizi terhadap pendapatan adalah karena
proporsi pengeluaran atas keduanya berbeda beda pada level pendapatan
yang berbeda. Perbedaan ini juga sekaligus memberikan efek yang
berbeda pada status gizi dan kesehatan.

Teori Engel dan Teori Keynes, adalah acuan untuk menjelaskan
pendapatan dan pengeluaran atas pangan. Teori Keynes menjelaskan
bahwa konsumsi seserang akan tergantung pada tingkat pendapatan yang
telah diterima. Pendapatan yang diterima adalah pendapatan dikurangi
pajak. Teori tersebut memberi makna bahwa jika terjadi peningkatan
pendapatan maka kenaikan konsumsi seseorang akan lebih kecil
dibandingkan dengan kenaikan aktual yang diterima. Hal ini disebabkan
setiap orang yang mengalami kenaikan pendapatan akan menyisihkannya

106

kepada belanja untuk lain seperti menabung dan membayar utang. Teori
Engel mengatakan bahwa kenaikan pendapatan akan menurunkan proporsi
pengeluaran untuk makanan, meskipun kuantitas makanan akan meningkat
seiring dengan naiknya pendapatan. Pergeseran dari serealia ke hewani
akan muda ditemukan pada kenaikan pendapatan.

Cara mengetahui besarnya pengeluaran adalah dengan merecall

pengeluaran bulanan atas bahan pangan dan nonpangan. Sebagai acuan
ditetapkan minimal 20 item pengeluaran. Item ini hanya sebagai panduan

yang dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan. Prinsipnya adalah semua
pengeluaran dapat dicatat dengan mudah. Berdasarkan kelompok bahan
makanan tersebut maka dibuat matriks untuk mengetahui pengeluaran
setiap bulan sebagai berikut:

Tabel 6. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan

Pengeluaran Makanan Jumlah Pengeluaran (Rp)
hari Minggu* Bulan**
A. Pengeluaran Pangan
1) Padi padian
2) Umbi umbian
3) Ikan
4) Daging
5) Telur dan susu
6) Sayuran
7) Kacang kacangan
8) Buah Buahan
9) Minyak dan lemak
10) Bahan Minuman
11) Bumbu
12) Makanan Jadi

Sub Jumlah Pengeluaran Pangan (A)
B. Pengeluaran Non Pangan

13) Perumahan dan bahan bakar
14) Aneka barang dan jasa
15) Biaya pendidikan
16) Biaya kesehatan
17) Bahan bakar
18) Transportasi
19) Pakaian
20) Asuransi dll

107

Pengeluaran Makanan Jumlah Pengeluaran (Rp)
hari Minggu* Bulan**
Sub Jumlah Pengeluaran non
pangan (B)
Jumlah Total Pengeluaran
(A+B)

* adalah pengeluaran hari x 7
** pengeluaran bulan x 30

B. Mengukur Proporsi Pengeluaran Pangan

Sebuah studi telah berhasil merilis hasil bahwa hubungan antara
biaya makan dan kualitas diet yang dikonsumsi. Berdasarkan kemampuan
daya beli, pengeluaran makanan, dan kualitas diet adalah tiga variabel
yang saling berhubungan. Hasil penelitian diketahui bahwa biaya 3,65
euro/hari/orang adalah pengeluaran rumah tangga perhari. Hasil ini adalah
untuk penduduk di Kabupaten Mersaile Prancis (Marty et al. 2015).

Mengukur proporsi pengeluaran pangan adalah penting untuk
mengetahui besarnya belanja pangan dan non pangan dalam satu keluarga.
Hukum Engel yang menjelaskan bahwa proporsi pengeluaran pangan
terhadap total pengeluaran akan menurun dengan naiknya pendapatan.
Pada sisi lain meskipun terjadi penurunan proporsi pengeluaran akan tetapi
kuantitas pengeluaran tetap naik dibandingkan periode sebelumnya.

Proporsi pengeluaran pangan harus disandingkan dengan data
trend kenaikan pendapatan. Semakin naik pendapatan, maka kuantitas
makanan akan semakin meningkat. Peningkatan konsumsi pangan tidak
selalu memiliki efek positif terhadap keseimbangan asupan gizi.

Proporsi pengeluaran pengan dihitung dengan cara mengukur
nilai nominal uang yang diperlukan untuk membeli pangan pada periode
tertentu dan biasanya dihitung setiap bulan. Setelah diketahui total
anggaran untuk belanja pangan, maka dengan mudah dapat diketahui
proporsi pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran pangan adalah total
harga pangan dibagi dengan total belanja (pangan dan nonpangan).
Nilainya akan berkisar 0 sd 1. Misalnya sebuah keluarga memiliki

108

nominal belanja pangan setiap bulan adalah 2000.000,-/bulan dan nominal
belanja nonpangan 4.000.000. Maka proporsi pengeluaran adalah
(2.000.000)/(2000.000+4000.000). = 0,3.

C. Trend perubahan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan gizi

Kajian terhadap perubahan pendapatan adalah penting untuk
memprediksi arah perubahan pola konsumsi pangan penduduk yang
berdampak pada status gizi. Hukum Engel adalah hukum ekonomi pangan
dan gizi yang menjelaskan dengan baik tentang efek interaksi antara
pendapatan dan pola konsumsi pangan. Hukum engel menjelaskan bahwa
semakin bertambah pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk pangan
semakin menurun tetapi kuantitas pangan yang dkonsumsi semakin
bertambah.

Pergesaran konsumsi dari serealia ke sumber lemak dan protein
juga akan terjadi pada saat pendapatan mengalami kenaikan. Hukum Engel
inilah yang dapat menjelaskan alasan peningkatan prevalensi penyakit
degeneratif pada kelas sosial ekonomi atas untuk penduduk Indonesia.
Peningkatan pendapatan menambah jumlah makanan yang dikonsumsi dan
pada beberapa kajian penigkatan pendapatan menurunkan aktifitas
fisik.(Fernandes et al. n.d.)

Penurunan aktifitas fisik di satu sisi dengan peningkatan
konsumsi makanan sumber lemak di sisi lain sebagai efek domino dari
meningkatnya pendapatan adalah fakta yang terungkap dari banyak riset
gizi dan kesehatan dewasa ini. Pendekatan pencegahan masalah gizi harus
terintegrasi dengan perbaikan pola makan dan aktifitas fisik pada mereka
yang memiliki pendapatan mennegah keatas. Hukum kepuasan akan
makanan berkalori tinggi akan selalu mudah diperoleh bagi mereka yang
setiap waktu dan kesempatan mengonsumsi makanan siap saji. (Fitness et
al. 2008)

109

BAB X. KETAHANAN PANGAN

A. Definisi Ketahanan Pangan

Definisi Ketahanan Pangan menurut:
1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996
2. Dewan Ketahanan Pangan, 2014
3. FAO 1996

Definisi Ketahanan Pangan menurut UU No 8 Tahun 2012 adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU No 8
Tahun 2012)

Definisi ketahanan pangan menurut DKP, 2014 adalah
ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas gizi pangan yang cukup untuk
dapat hidup sehat (DKP 2014)

Definisi ketahanan pangan menurut FAO, 1996 adalah keadaan
dimana setiap orang disetiap waktu, memiliki akses yang cukup secara
fisik dan ekonomi terhadap makanan yang sehat dan bergizi yang sesuai
dengan kebutuhan dan pilihannya untuk gaya hidup yang sehat dan aktif.
(Putri 2013)

Krisis ekonomi, di Indonesia tahun 1998 telah menyebabkan
ancaman bahaya kelaparan. Ironisnya adalah Indonesiia yang semula
dikenal sebagai produsen beras terbesar di Asia. Jatuhnya nilai tukar
rupiah menyebabkan krisis pangan adalah sebuah pelajaran paling
berharga bagi banyak negara di dunia. Pembangunan bidang pertanian
harus tetap dikembangkan untuk mendukung stabilitas ekonomi nasional
(Mittal 1999).

110

Pengalaman Indonesia, membangun revolusi hijau disaat
pemerintahan Soeharto, telah mengantar beliau memperoleh medali
kehodmatan dari FAO. Apresiasi yang tinggi dalam bidang pangan karena
indonesia berhasil surplus produksi padi. Pada sisi lain, gerakan revolusi
hijau akhirnya menggeser potensi pangan lain seperti ubi, sagu dan jagung.
Kondisi ini berbalik menjadi ancaman akibat krisis ekonomi tahun 1997.
Krisis ekonomi menyebabkan Indonesia jatuh dalam krisis global. Kondisi
ini mengawali perubahan paradigma pembangunan pertanian di Indonesia
dari konvensional ke agroindustri (Comtois 2000).

B. Kebijakan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Indonesia

1. Ketersediaan Pangan

Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap
ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras
setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi
tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh
jaringan distribusi swasta yang berjalan secara efisien turut memperkuat
ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang
memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi: · Larangan
impor beras dan Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras.
(DKP 2014)

2. Keterjangkauan Pangan.

Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya
jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang
mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini
ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya
pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini

111

dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat
miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai.
Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan
meliputi: · Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi
beras bagi hampir 9 juta rumah tangga Upaya BULOG untuk
mempertahankan harga pagu beras · Hambatan perdagangan yang
mengakibatkan harga pangan domestik lebih tinggi dibandingkan harga
dunia.(DKP 2014)

3. Kualitas Makanan dan Gizi

Kualitas makan akan berhubungan dengan kualitas gizi. Kualitas
makanan adalah penilaian terhadap makanan secara visual yaitu
penampilan fisiknya sedangkan kualitas gizi adalah proporsi kandungan
zat gizi pada bahan makanan. Proporsi kandungan zat gizi yang berimbang
atau paling mendekati perimbangan kebutuhan tubuh akan menentukan
kualitas gizi makanan.

Kualitas makanan pada orang awam akan dinilai berdasarkan
penilaian subjektif rasa, warna dan aroma. Jika ketiga parameter ini sesuai
dengan persepsi subjektif kesukaannya maka akan dipersepsikan sebagai
makanan yang berkualitas. Keterbatasan penilaian subjektif ini adalah
tidak dapat digunakan untuk memberikan penilaian kualitas terhadap
makanan yang sama dari penilaian orang lain. Contoh ulat sagu dianggap
makanan berkualitas bagi penduduk asli kota Maba di Halmahera Timur
(Haltim). Ulat sagu dibuat sebagai lauk pauk dalam bentuk sate ulat sagu.
Penilaian yang lain tentu akan diberikan nilai lain pada ulat sagu apabila
orang yang menilainya dari luar komunitas penduduk asli kota Maba di
Haltim.

Penilaian kualitas makanan harus dijustifikasi atau dikoreksi dan
disandingkan dengan penilaian kualitas gizi makanan. Kualitas gizi adalah
penilaian objektif bebas dari interpretasi subjektif. Zat gizi sebagai

112

kebutuhan fisiologis tubuh akan sama diterima dan dicerna oleh individu
yang berbeda budaya dan kebiasaan.

Pemerintah idealnya harus memberikan edukasi kepada
masyarakat bahwa kualitas gizi adalah parameter terbaik bagi makanan
yang sehat, tanpa harus mengabaikan peran pencitraan organoleptik
pangan dan hasil olahannya. Penduduk masih memberikan perhatian yang
utama pada harga makanan daripada kandungan zat gizinya. Variabel
ekonomi masih lebih sering menjadi faktor pembatas (constraint)
pengadaan pangan dalam skala rumah tangga, dibanding variabel
kandungan gizi makanan.

Pangan sebagai kebutuhan untuk segera dipenuhi terlebih dahulu
kuantitasnya dibanding kualitasnya. Jika secara kuantitas sudah dipenuhi
maka pada tahap berikut adalah memenuhi unsur kualitasnya. Konsumsi
pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat
pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik.

Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan
yodium pada produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk
menambah sejumlah nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka,
merupakan cara yang cukup efektif dalam meningkatkan standar gizi.
Pemerintah telah melakukan hal ini dengan mendukung penggunaan
garam beryodium dan peningkatan gizi tepung terigu. Konsumsi garam
non yodium masih belum sepenuhnya baik.

Konsumsi makanan dengan kandungan gizi rendah adalah rawan
apabila dikonsumsi oleh kelompok yang rawan masalah gizi. Kelompok
yang rawan masalah gizi adalah anak balita, ibu hamil, ibu menyusui,
kelompok remaja. Contoh kasusnya adalah sekitar 63 % wanita hamil dan
sekitar 65-68 % anak dibawah 2 tahun menderita anemia disebakan karena
kekurangan zat besi. Sementara itu lebih dari seperempat rumah tangga
belum mengonsumsi garam beryodium yang cukup.(DKP 2014)

113

Konsumsi makanan yang salah, tidak dapat diperbaiki dampaknya
dalam waktu singkat. Rehabilitasi akibat salah makan belum banyak
dikenal di dunia medis.

C. Ketahanan pangan dan produktivitas

Ketahanan pangan perlu diwujudkan oleh pemerintah dan
masyarakat. Ketahanan pangan menjamin tersedianya pangan dalam
jumlah dan kualltas yang cukup sepanjang masa. Ketahanan pangan
berhubungan dengan hak atas pemenuhan kebutuhan pangan penduduk.
(Kementan 2014)

Lima belas elemen penting sebagai pedoman pemerintah dan
swasta untuk mewujudkan ketahanan pangan. Penyediaan, distribusi,
aksesibilitas, stabilitas, diversifikasi, penanganan pasca panen, keamanan
pangan, pencegahan rawan pangan, kerjasama international, penelitian,
pengembangan, penanggulangan risiko. penataan aspek pertanahan, tata
ruang wilayah dan partisipasi masyarakat. (Kementan 2014)

Secara umum diketahui bahwa Hb anak, buta senja, Hb ibu dan
Indeks Massa Tubu adalah indikator yang sensitif untuk mendeteksi
defisiensi gizi secara dini. Di Indonesia hal ini tidak dapat diketahui pada
saat yang sama terjadi penurunan daya beli dan defisiensi mikronutrian
khususnya pada krisis ekonomi tahun 1997. Indonesia menggunakan
indikator antropometri untuk mendeteksi efek, padahal ini kurang sensitif.
Idealnya tidak hanya menggunakan indikator antropometri tetapi indikator
biokimia yang lebih sensitif. Akibatnya pada saat evaluasi program tahun
2002 diketahui tidak ada efek program intervensi saat krisis, karena
pilihan indikator antropometri yang sesungguhnya kurang sensitif. Pada
kondisi ekonomi yang tidak stabil indikator Hb adalah indikator yang
paling sensitif untuk mengukur efek dari penurunan daya beli terhadap
kualitas asupan zat gizi khususnya mineral makro dan mikro.(Moench-
Pfanner et al. 2005)

114

D. Indikator ketahanan pangan

Ketahanan pangan dapat dilihat berdasarkan beberapa tingkatan :
1. Ketahanan Pangan Regional
2. Ketahanan Pangan Wilayah
3. Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan pangan regional adalah ketahanan pangan ditingkat
propinsi. Konsumsi agregat tingkat regional menunjukkan ketahanan
pangan pada level propinsi. Ketahanan pangan wilayah adalah ketahanan
pangan menurut topografi wilayah. Ketahanan pangan wilayah kota,
wilayah pegunungan dan wilayah pesisir adalah klasifikasi yang
digunakan pada banyak studi.

Ketahanan pangan wilayah, belum tentu dapat menggambarkan
ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Salah satu sebabnya adalah
ketahanan pangan wilayah dan regional tidak memberikan informasi
tentang pemerataan dan distribusi. Ketahanan pangan tingkat rumah
tangga adalah ketahanan pangan yang paling ideal berkorelasi dengan
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi untuk semua anggota rumah
tangga.

Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sebuah studi dilakukan untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga
dengan memasukkan banyak variabel. Sebuah studi menemukan bahwa
karaktersitik sosial ekonomi petani seperti umur, tingkat pendidikan,
jumlah tanggungan keluarga, serta total aset yang dimiliki tidak signifikan
dan berkontribusi relatif kecil terhadap tingkat ketahanan rumah tangga
petani. Sementara kepemilikan lahan usaha tani dan aktivitas petani dalam
kelompok signifikan dan berkontribusi relatif besar terhadap tingkat
ketahanan pangan rumah tangga petani. (Husaini 2012)

Indikator ketahanan pangan, dapat berbeda beda antar daerah dan
antar rumah tangga. Pada rumah tangga petani dan rumah tangga nelayan
atau rumah tangga pegawai berbeda faktor yang mempengaruhi ketahanan

115

pangannya. Perlu ditetapkan berdasarkan hasil riset dalam satu wilayah.
Berbagai riset yang dilakukan sangat beragam hasilnya. Model analisis
regresi adalah model matematik yang selalu disepakati dan digunakan oleh
banyak peneliti. (Husaini 2012)

Ketahanan pangan rumah tangga dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan akses terhadap ketersediaan pangan. Peningkatan akses
melalui perbaikan pendapatan ataupun bantuan sosial sebagaimana pernah
dilakukan di Amerika Serikat. Program bantuan pangan di Amerika
terbukti signifikan menurunkan rumah tangga rawan pangan.
Efektivitasnya diketahui 4,6-7,4 % menurunkan rumah tangga rawan
pangan. (Mabli & Ohls 2015)

Ketahanan pangan rumah tangga akan berpengaruh pada kualitas
konsumsi pangan. Kualitas konsumsi pangan secara langsung
berhubungan dengan status gizi seluruh anggota rumah tangga khususnya
yang memiliki kebiasaan makan bersama dirumah. Perilaku makan
keluarga dirumah tangga khususnya rumah tangga pedesaan berbeda pola
penyediaan pangannya dengan rumah tangga di kota industri. Pola makan
pada penduduk perkotaan dengan mobilisasi tinggi sangat tergantung pada
jasa penyedia makan katering. Makan di luar rumah adalah kebiasaan
yang sering dilakukan oleh mereka yang memiliki mobilitas tinggi.

Sebuah studi telah berhasil merilis hasil bahwa hubungan antara
biaya makan dan kualitas diet yang dikonsumsi. Berdasarkan kemampuan
daya beli, pengeluaran makanan, dan kualitas diet adalah tiga variabel
yang saling berhubungan. Hasil penelitian diketahui bahwa biaya 3,65
euro/hari/orag adalah pengeluaran rumah tangga perhari. Hasil ini adalah
untuk penduduk di Kabupaten Mersaile Prancis (Marty et al. 2015)

Sebuah penelitian dengan fokus mengukur ketahanan pangan
rumah tanggal bagi masyarakat petani kota (urban farming). Hasilnya
diketahui bahwa 2/3 pegeluaran pangan perkapita. Mayoritas mereka
adalah rumah tangga rawan pangan. Faktor yang mempengaruhi ketahanan
pangan rumah tangga petani kota adalah jenis kelamin, lama sekolah, satus

116

perkawinan, besar keluarga, akses dan jenis usaha tani. Petani kota adalah
mereka yang tinggal di perkotaan tetapi juga memiliki kebun atau lahan
pertanian di desa. (Yusuf et al. 2015)

Dewan Ketahanan Pangan menetapkan indikator ketahanan
pangan rumah tangga adalah jika rumah tangga kurang dari 70 persen dari
Angka Kecukupan Energi (AKE) dikategorikan sangat rawan pangan.
Berdasarkan hal tersebut maka kategori tingkat konsumsi energi
dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu baik/cukup (≥100% dari AKE),
kurang (70-99% dari AKE) dan sangat kurang (<70% dari AKE). (Suharto
& Trisnantoro 2006).

Salah satu contoh persamaan garis regresi linier untuk mengukur
ketahanan pangan rumah tangga. (Husaini 2012)

= + 1 1 + 2 2 + 3 3 … +

Y = Indeks Ketahanan Pangan rumah tangga
= konstanta garis regresi
= koefisien regresi ke-i
= variabel independen masing masing umur petani (tahun),
pendidikan petani (tahun), jumlah anggota keluarga (orang),
kepemilikan lahan (ha), kepemilikan asset berupa modal (rupiah),
dan aktivitas petani (interval) dan
= Error term

Persamaan garis regresi adalah persamaan linier yang
menggabungkan sejumlah variabel bebas yang dianggap berpengaruh
terhadap nilai variabel terikat. Variabel terikat dalam persamaan garis
regresi disimbol Y. Sedangkan variabel bebas yang menentukan jumlah Y
adalah disebut variabel X1, X2, dst.

Perlu dijelaskan bahwa persamaan garis regresi pada prinsipnya
adalah persamaan linier. Hal ini berarti bahwa semua variabel yang

117

dianggap memengaruhi ketahanan pangan dimasukkan sebagai variabel
yang diberi simbol X1, X2, X3 dan Xn. X1 adalah variabel pertama dan X2
adalah variabel kedua dan seterusnya. Penentuan jenis variabel yang
dapat dianggap sebagai variabel yang berpengaruh terhadap variabel
dependen dalam hal ini ketahanan pangan, diketahui dari hasil analisis
bivariate. Analisis bivariate dapat diketahui dari hasil analisis chi square,
dan korelasi spearman untuk data skala ordinal dan uji t, dan korelasi
pearson untuk data skala interval dan rasio. Jika hasil analisis bivariate
yang dimaksudkan signifikan berpengaruh pada variabel dependen
(ketahanan pangan) maka dapat dimasukkan dalam persamaan garis
regresi untuk menentukan besarnya efek interaksi antar semua variabel
yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Persamaan garis
regresi dibedakan menjadi dua yaitu regresi linier dan regresi logistik.
Regresi liner untuk data dengan skala rasio dan interval sedangkan regresi
logistik untuk data skala nominal dan ordinal. Penjelasan tentang
keduanya akan dibahas pada mata kuliah metode penelitian, dan statitika.

Situasi pangan dan gizi suatu daerah pada kegiatan SKPG, secara
garis besar dibagi menjadi dua komponen, yaitu situasi pangan dan situasi
gizi. Situasi pangan mencakup dua aspek pembahasan, yaitu aspek
ketersediaan dan aspek akses. Aspek ketersediaan berkaitan dengan
kenaikan atau penurunan produksi bahan pangan yang berpengaruh pada
kecukupan konsumsi bahan pangan. Sedangkan aspek akses berkaitan
dengan fluktuasi harga pangan dan berpengaruh pada daya beli masyarakat
untuk mengakses bahan pangan. Situasi gizi suatu masyarakat berkaitan
dengan kondisi kesehatan balita, dimana berpengaruh pada tumbuh
kembang balita. Situasi tersebut akan menggambarkan kondisi kecukupan
pangan suatu daerah dan potensi terjadinya ketidakcukupan pangan.

Indikator ketahanan pangan dari DKP adalah :
1. Indikator menurut Luas Tanam Puso
2. Indikator Status Bawah Garis Merah (BGM) Balita
3. Indikator D/S Balita

118

4. Indikator 2 T Balita
5. Indikator Rasio Ketersediaan Konsumsi Tahunan
6. Indikator Keluarga Prasejahtera
7. Indikator persentase gizi kurang Balita
8. Studdert et al. 2001

Indikator yang digunakan pada aspek ketersediaan adalah luas
tanam dan luas puso dari empat komoditas, yaitu padi, jagung, ubi kayu
dan ubi jalar. Berdasarkan analisis, akan diperoleh persentase luas tanam
dan luas puso pada bulan berjalan/bulan analisis dibanding dengan rata-
rata luas tanam bulan bersangkutan lima tahun terakhir. Nilai persentase
yang dihasilkan akan menunjukan tingkat rawan pangan wilayah tersebut

Tabel 7. Indikator Rawan Pangan Menurut Luas Tanam dan Puso

No Indikator Persentase Bobot
1= aman
1 Persenyase Luas Tanam bulan r≥5 2= waspada
3= rawan
berjalan dibandingkan dengan rata -5≤ r<5
1= aman
rata luas tanam bulan bersangkutan -r<-5 2= waspada
3= rawan
5 tahun terakhir

2 Persentase luas puso bulan berjalan R<-5

dibandingkan dengan rerata luas -5≤ r<5

puso bulan bersangkutan 5 tahun r> 5

terakhir

Contoh penggunaan matrik diatas adalah “ Kabupaten X pada
bulan Agustus 2016 memiliki luas tanam 100 Ha, sedangkan rerata luas
tanaman bulan Agustus sejak tahun 2011,2012,2013, 2014, dan 2015
adalah 200 Ha. Maka persentase r adalah 100/200 x 100 = 50%. Ini berarti
> 5 persen dikategorikan aman. Pada aspek luas tanam dapat saja diketahui
aman, namun hal ini masih harus dikoreksi dengan hasil akhir produksi
pangan. Perhitungan luas puso adalah perhitungan yang dapat memberikan
informasi lanjutan tentang kondisi rawan pangan.

119

Contoh penggunaan indikator tanaman luas tanaman puso
adalah “ Kabuapetn Y luas puso bulan Agustus Tahun 2016 adalah 20 Ha
sedangkan luas puso bulan Agustus lima tahun terakhir adalah 100 Ha,
maka r adalah 20/100x100= 20%. Maka disebut rawan pangan.

Aspek Pemanfatan Pangan Aspek ketiga yaitu aspek
pemanfaatan, menggunakan indikator kesehatan balita. Ada tiga indikator
yang digunakan untuk analisis SKPG bulanan, yaitu sebagai berikut:

Tabel 8. Status Gizi Balita Sebagai Indikator Rawan Pangan

No Indikator Persentase Bobot

1 Persentase Balita yang Naik Berat r>90 1= aman

Badannya (N) dibandingkan dengan 80≤ r<90 2= waspada

Jumlah Balita yang di timbang (D) r<80 3= rawan

2 Persenyase Balita yang berat r<-5 1= aman

badannya dibawah garis merah -5≤ r≤10 2= waspada

pada KMS (BGM) dibandingkan r> 5 3= rawan

dengan balita yang ditimbang (D)

3 Persentase balita yang tidak naik r<10 Aman

berat badannya dalam 2 kali 10≤ r ≤20 Waspada

penimbangan berturut turut (2T) >20 Rawan

dibandingkan jumlah balita

ditimbang (D)

Situasi pangan dan gizi pada aspek ketersediaan pangan tahunan
diketahui berdasarkan angka rasio ketersediaan pangan. Ini diperoleh
dengan menghitung ketersediaan pangan serealia per kapita per hari
dibanding nilai konsumsi normatif (300 gram). (Kementerian Pertanian
2014)

Nilai konsumsi normatif didasarkan pada pola konsumsi pangan
di Indonesia yang menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total
kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita
adalah 2,000 Kkal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan kalori dari serealia
dan umbi-umbian (menurut angka Pola Pangan Harapan), maka seseorang
harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gr serealia per hari. Oleh sebab itu
dalam analisis ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi normatif
(konsumsi yang direkomendasikan).(Kementerian Pertanian 2014)

120

Aspek ketersediaan pangan tahunan adalah parameter yang
menunjukkan kemampuan suatu wilayah menyediakan kebutuhan pangan
dalam setahun. Indikator ini dapat memberi informasi ketahanan pangan
dalam satu wilayah selama satu tahun.

Tabel 9. Nilai Rasio Ketersediaan Konsumsi Tahunan

Indikator Nilai (r) Bobot Warna

Rasio antara ketersediaan r>1,14 1 hijau

dibandingkan dengan 0,90 0<r<1,14 2 Kuning

konsumsi normatif r<0,9 3 Merah

Keterangan = r = rasio adalah nilai yang didapatkan dari pembangian nilai

ketersediaan dibagi dengan konsumsi.

Perlu dijelaskan bahwa cut of point rasio ketersediaan dibawah 1
berarti bahwa jumlah yang tersedia dibanding jumlah yang dikonsumsi
adalah kurang. Kondisi ini adalah indikator rawan pangan, sehingga diberi
keterangan warna kuning. Alasan warna kuning meskipun telah ditemukan
sebagian warga yang tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya adalah
karena secara matematis masih ditemukan nilai selisih diatas 1 sd 1,13.
Jika distribusi pangan merata dalam komunitas yang diukur, maka kondisi
rawan pangan masih dapat diatasi. Warna kuning membuktikan bahwa
perlu ditelusuri titik titik daerah yang mengalamai rawan pangan.

Pada negara atau daerah dengan sistem penyediaan pangan yang
stabil, selalu disediakan rumah tangga indikator atau dusun indikator atau
desa indikator. Rumah tangga indikator adalah rumah tangga yang
dijadikan indikator ketersediaan pangan. Jika rumah tangga indikator
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, maka fenomena ini
dianggap tanda positif bahwa rumah tangga disekitarnya juga mengalami
hal yang sama. Monitoring ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga
adalah dapat menjawab kebutuhan informasi data pangan yang akurat.
Metode yang tepat untuk mengukur ketersediaan pangan ditingkat rumah
tangga adalah food record.

121

Selain ketersediaan tahunan, maka aspek akses pangan dinilai
dengan pendekatan persentase Keluarga Prasejahtera dan Keluarga
sejahtera 1. Klasifikasi ini atas alasan ekonomi berdasarkan data setahun
terakhir. Indikator penilaian kondisi rawan pangan adalah sebagai berikut:
Tabel 10. Persentase Keluarga Berdasarkan Ketersediaan Pangan

Indikator Persentase (%) Bobot Warna
< 20 1 hijau
Persentase Pra Sejahtera 2 Kuning
dan Sejahtera I 20 sd 40 3 Merah
>. 40

Cara menghitung persentase (%) diatas adalah menghitung
jumlah seluruh keluarga prasejahtara dan sejahtera lalu dibagi dengan
semua keluarga. Misalnya di Desa Kalekomara diketahui total keluarga
adalah 1000 KK dan diantaranya ditemukan keluarga sejahtera I sebanyak
200 KK dan Keluarga Prasejahtera sebanyak 50 KK. Maka persentase
ketersediaan pangan keluarga adalah 200+50/1000x100 = 25%. Hasil ini
dimasukkan dalam bobot 2 dengan warna kuning.

Indikator lain adalah indikator atau Aspek Pemanfaatan Pangan.
Aspek pemanfataan pangan secara ideal akan diketahui dari outcomenya
yaitu status gizi. Atas alasan ini maka indikator status gizi dapat dijadikan
indikator ketahanan pangan wilayah. Indikator status gizi balita yang
dinilai dengan prevalensi gizi kurang pada balita di masing-masing yang
dikumpulkan sekali setahun melalui kegiatan Pemantauan Status Gizi
(PSG).

Tabel 11. Prevalensi Gizi Kurang Balita Sebagai Indikator
Pemanfaatan Pangan

Indikator Persentase (%) Bobot Warna
< 15 1 hijau
Prevalensi Gizi Kurang 2 Kuning
Balita 15 sd 20 3 Merah
>. 20

Berdasarkan tabel 13 diatas, diketahui bahwa salah sati
indikator untuk mengukur pemanfataan pangan ditingkat wilayah adalah
melalui pendekatan pemanfaatan pangan. Jika prevalensi status gizi

122

kurang tinggi maka, dipastikan pemanfaatan pangan dianggap bermasalah.

Balita adalah kelompok paling rawan terhadap penurunanan kualitas dan

kuantitas asupan zat gizi. Jika kelompok ini mengamati defisit asupan

maka faktor langsung yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya

konsumsi atau karena rendahnya status sanitasi lingkungan penyebab

penyakit infeksi.

Indikator ketahanan pangan di Indonesia telah dikembangkan

oleh berbagai kalangan. Salah satu hasil penelitian pada kondisi krisis

ekonomi di Indonesia tahun 1998. Indikator ketahanan pangan yang

digunakan adalah indikator yang sebelumnya digunakan di Amerika tahun

1995. Instrumen ini berisi sembilan item pertanyaan seperti terlihat pada

matriks dibawah ini. (Studdert et al. 2001)

MATRIK KETAHANAN PANGAN

Jawaban

Instrumen Pertayaan Ya Tidak

(1) (0)

1. Apakah anda khawatir keluarga anda sulit

mendapatkan makanan sebelum anda memiliki

uang untuk membelinya

2. Apakah anda khawatir keluarga anda tidak akan

mampu membeli makanan

3. Apakah anda ingin membeli makanan banyak

jika anda memiliki cukup uang untuk itu

4. Pernahkah keluarga anda pergi kemana mana

untuk mencari makanan

5. Pernahkah keluarga anda makan makanan satu

jenis berhari hari karena tidak ada makanan lain

6. Pernahkah anda makan kurang dari biasanya

karena kurangnya persediaan makanan

7. Apakah anak anda kurang makan karena

kurang bahan yang akan dimakan

8. Apakah anda kurang uang untuk membeli

makanan yang kaya gizinya

9. Kadang-kadang seseorang dalam rumah anda

kehilangan berat badan karena kekurangan

makanan. (Studdert et al. 2001)

Keterangan : Jawaban ya diberi skor 1 dan jawaban tidak diberi skor 0.

123

Berdasarkan 9 item diatas kemudian diturunkan menjadi
beberapa kategori rumah tangga rawan pangan di Indonesia dengan 5
kondisi sebagai berikut:

Skor 0 = tahan pangan
Skor 1 = pangan tidak tentu
Skor 2 = rawan pangan ditingkat keluarga
Skor 3 = rawan pangan untuk dewasa
Skor 4 = rawan pangan untuk bayi dan anak anak
Prinsip utama pertanyaan 1-9 adalah bahwa pertanyaan nomor
satu dijawab ya maka pertanyaan nomor 2 belum tentu jawaban “Ya” dan
seterusnya. Berlaku ketentuan sebaliknya yaitu jika pertanyaan nomor 9
dijawab “Tidak” maka pertanyaan nomor 8 belum tentu dijawab “Tidak”.
Jika pertanyaan nomor diatasnya dijawab “Ya” maka pertanyaan
dibawahnya sudah pasti dijawab “Ya”. Setiap pertanyaan ditanyakan
kepada responden di rumah tangga. Biasanya adalah yang berstatus
sebagai gate keeper. Gate keeper di Indonesia umumnya ibu rumah tangga,
karena dialah yang paling banyak mengetahui keluar masuknya pangan
dalam rumah tangga.
1. Skor 0 artinya semua pertanyaan dijawab tidak oleh responden.
2. Skor 1 Jika responden menjawab Ya pada pertanyaan nomor 1 dan
menjawab tidak pada semua pertanyaan lain.
3. Skor 2, jika responden menjawab ya pada pertanyaan 1 sd 5.
4. Skor 3, jika responden menjawab ya pada pertanyaan 1 sd 6
5. Skor 4, jika responden menjawab ya pada pertanyaan 1 sd 9

124

BAB XI ISSU TERBARU EKONOMI PANGAN

A. Rekayasa Pangan dan Implikasinya

Rekayasa genetik pangan adalah suatu proses yang melibatkan
pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati
lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu
menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. Pangan Produk Rekayasa
Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan
baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari
proses rekayasa genetik.(Kemenkumham 2013)

Aspek paling penting diimplementasikan pada produk pangan
rekayasa genetik adalah jaminan keamanan bagi konsumen.
Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui:
1. Sanitasi pangan
2. Pengaturan terhadap bahan tambahan pangan
3. Pengaturan terhadap pangan produk rekayasa genetik
4. Pengaturan terhadap iradiasi pangan
5. Penetapan standar kemasan pangan
6. Pemberian jaminan keamanan pangan dan mutu pangan; dan
7. Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan

Penggunaan bahan rekayasa genetika sebagai bahan baku atau
bahan tambahan pangan wajib dicantumkan keterangan atasnya dan
pencatuman ini ditempatkan pada daftar bahan yang digunakan,
maksudnya ialah tulisan “Pangan Rekayasa Genetika” tidak perlu
dicantumkan pada produk tersebut akan tetapi cukup dengan keterangan
bahwa bahan yang digunakan dalam produk tersebut merupakan rekayasa
genetika.

Setiap orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan
Keamanan Pangan sebelum diedarkan.) Setiap orang yang melakukan

125

kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan
Keamanan Pangan sebelum diedarkan. Persetujuan Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada adalah diberikan oleh Pemerintah

Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan dalam
kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi
pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan.
Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan,
dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Informasi merupakan hal yang penting bagi konsumen. Dalam
suatu kemasan pangan, informasi biasanya dalam bentuk label. Menurut
Pasal 30 ayat (2) Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan,
label sekurangkurangnya memberikan keterangan tentang: a. Nama
produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d.
Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia; e. Keterangan tentang halal; dan f. Tanggal,
bulan, dan tahun kadaluwarsa. (Suyadi 2003), (Khairunnisa 2013)

B. Makanan dan Minuman Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan
komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar
manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu bahan alami tertua yang
diketahui sebagai sumber pangan fungsional. Selain tumbuh-tumbuhan,
beberapa bakteri juga merupakan sumber pangan fungsional. Kajian
tentang pangan fungsional dalam perspektif kesehatan telah banyak
dilaporkan. Hasil penelitian tentang acemannan dan glucomanan lidah

126

buaya dan bakteri lactobacillus sebagai pangan fungsional akan dikaji
dalam tulisan ini. Senyawa bioaktif acemannan dan glucomanan pada
tanaman lidah buaya (Aloe vera) berperan pada keseimbangan sistem
imun tubuh dan kadar lemak darah, sedangkan bakteri lactobacillus
berperan dalam menjaga keseimbangan mikroflora usus, membantu
menurunkan kadar lipid darah. Kajian tentang peran senyawa bioaktif
acemannan dan glucomannan serta bakteri lactobacillus dapat menambah
khasanah peran pangan fungsional dalam meningkatkan derajat kesehatan
(Yuniastuti 2014)

Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan
di Jepang pada tahun 1984 dengan istilah FOSHU yang merupakan
singkatan dalam bahasa Inggris Food for Special Dietary Uses yang
berarti pangan yang dikhususkan untuk diet tertentu. Hal ini
dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya populasi orang tua di Jepang
yang berpotensi terhadap peningkatan penyakit kronis seperti penyakit
kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan kanker.

Berlatar belakang hal tersebut, maka Kementerian Pendidikan
Jepang pada tahun 1984 mencanangkan proyek pengembangan dan
penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada pangan. Proyek
tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan fungsional yang
pertama kali di dunia dengan melibatkan berbagai peneliti dari latar
belakang disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi,
dan kedokteran.

Suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika
memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu merupakan makanan
atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung
senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami. Harus merupakan
bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari. Memiliki fungsi
tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan
biologis, mencegah dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik

127

dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini. (Lewandowski
2007)

Salah satu contoh makanan fungsional adalah jagung. Jagung
mengandung serat pangan yang tinggi. Kandungan karbohidrat kompleks
pada biji jagung terutama terdapat pada perikarp dan tipkarp, dan pada
dinding sel endosperma, dan dalam jumlah kecil pada dinding sel lembaga.
Kulit ari (bran) jagung terdiri atas 75% hemiselulosa, 25% selulosa, dan
0,1% lignin (bk). Kadar serat pangan pada jagung tanpa kulit ari
(dehulled) sangat rendah dibanding biji utuh. Pengolahan tepung jagung
menghasilkan bekatul yang bernutrisi tinggi, termasuk serat pangannya.
Pembuatan kue kering dapat menggunakan bekatul dalam bentuk tepung
bekatul.

Upaya untuk meningkatkan nilai gizi jagung telah mendapat
perhatian berbagai institusi penelitian nasional dan internasional. Centro
Internacional de Mejoramiento de Maizy Trigo (CIMMYT) telah
menghasilkan jagung baru yang merupakan kombinasi dari jagung yang
mempunyai mutu gizi sangat bagus Opaque-2 dengan struktur biji jagung
konvensional, yang diberi label (QPM). Keunggulan jagung QPM adalah
kandungan lisin dan triptofannya lebih tinggi dibandingkan dengan jagung
biasa. Badan Litbang Pertanian juga menghasilkan varietas jagung untuk
pangan yang diberi nama Srikandi Kuning dan Srikandi Putih (QPM).
Jagung QPM mempunyai kandungan asam amino lisin dan triptofan dua
kali lipat dari jagung biasa

Sorgum belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan
fungsional. Dalam diversifikasi pangan, sorgum masih terbatas sebagai
sumber karbohidrat, padahal sorgum mengandung serat pangan yang
dibutuhkan tubuh untuk mencegah penyakit jantung dan obesitas,
menurunkan hipertensi, menjaga kadar gula darah, dan mencegah kanker
usus. Pada penyakit kardio vaskuler (jantung koroner), serat pangan
berfungsi mengikat asam empedu sehingga menurunkan kadar kolesterol
darah. Beberapa senyawa fenolik sorgum memiliki aktivitas antioksidan,

128

antitumor, dan menghambat perkembangan virus sehingga bermanfaat
bagi penderita penyakit kanker, jantung, dan HIV

Sorgum potensial dikembangkan sebagai pangan fungsional karena
kandungan beberapa komponen kimia penyusunnya. Sorgum memiliki
kandungan gluten dan indeks glikemik (IG) yang lebih rendah sehingga
sangat sesuai untuk diet gizi khusus. Kelebihan sorgum sebagai pangan
fungsional dapat menjadi topik penelitian yang menarik seiring trend
pangan yang mengarah ke pangan fungsional. Beberapa peneliti telah,
sedang, dan akan menggali komponen pangan fungsional berbasis sorgum.
Pengembangan pangan fungsional berbasis polisakarida dari sorgum untuk
antikolesterol masih dalam tahap penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk
menggali potensi tepung sorgum sebagai sumber serat pangan larut dan
tidak larut dan pengaruhnya terhadap kolesterol

Ekstrak glukan tertinggi terdapat pada sorgum nonsosoh (12%) dan
disosoh 20 detik (5%), sedangkan untuk jewawut pada sosohan 100 detik
(3,8%). Ekstrak serat glukan tertinggi berpengaruh nyata terhadap indeks
stimulasi proliferasi sel limfosit dan berbeda nyata dengan kontrol. Indeks
stimulan untuk sorgum adalah 1.714. Hal ini menandakan bahwa ekstrak
glukan dari sorgum dan jewawut mempunyai aktivitas imunomodulator
dan dapat mencegah kanker. Sorgum mengandung mineral Fe yang tinggi
dan serat pangan yang kurang dimiliki gandum. Unsur mineral Fe sangat
membantu dalam pembentukan sel darah merah. Selain itu sorgum kaya
akan mineral Ca, P, dan Mg. Ca berfungsi dalam pembentukan tulang
normal, fosfor untuk pemeliharaan pertumbuhan dan Mg untuk
mempertahankan denyut jantung normal dan kekuatan tulang. Komponen
aktif unsur pangan fungsional dalam biji jagung tidak berbeda jauh dengan
biji sorgum, demikian juga manfaatnya bagi kesehatan.

Sorgum dianggap memiliki kekurangan karena mengandung tanin
dan asam fitat. Senyawa tersebut merupakan antinutrisi yang memberikan
efek merugikan dalam sistem pencernaan manusia. Tanin merupakan salah
satu senyawa golongan polifenol. Tanin dapat mengikat protein alkaloid

129

dan gelatin. Golongan fenol dicirikan oleh adanya cincin aromatik dengan
satu atau dua gugus hidroksil. Kelompok fenol terdiri atas ribuan senyawa,
meliputi flavonoid, fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen
kuinon, melanin, lignin, dan tanin, yang terdapat dalam berbagai jenis
tumbuhan. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol
yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1.000), dapat
membentuk kompleks dengan protein, dan mempunyai sifat antioksidan.
Berdasarkan strukturnya, tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin
terkondensasi (condensed tannins) dan tanin terhidrolisis (hydrolysable
tannins)

Tanin memiliki peran biologis yang kompleks karena sifatnya yang
sangat kompleks. Salah satu peran tanin adalah mampu mendapkan
protein. Pengendapan protein secara ilmiah tidak diinginkan dalam tubuh
karena akan mengalami denaturasi, meskipun demikian pada bagian lain
tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan.

Tanin juga dikenal sebagai zat non gizi yang kontrivesi, karena itu
dilirik para peneliti. Tanin biasanya berikatan dengan karbohidrat (tanin
sorgum) membentuk jembatan oksigen, sehingga tanin dapat dihidrolisis
dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh
tanin jenis ini adalah gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari
karbohidrat dan asam galat. Selain membentuk gallotanin, dua asam galat
akan membentuk tanin terhidrolisis yang disebut ellagitanin. Ellagitanin
sederhana disebut juga ester asam hexahydroxydiphenic (HHDP).
Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galat jika dilarutkan dalam air.
Metabolisme sekunder pada tumbuhan akan menghasilkan beberapa
senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi, melainkan untuk
menunjang kelangsungan hidupnya, seperti untuk pertahanan dari
predator.

Sorgum lebih lambat dicerna dibanding serealia lain, sehingga
sorgum cocok untuk penderita diabetes melitus dan obesitas. Perlakuan
modifikasi tepung sorgum amilase menunjukkan senyawa tanin dengan

130

enzim dalam tepung sorgum menghambat aktivitas enzim. Beberapa
senyawa seperti alkaloid, triterpen, dan golongan fenol dihasilkan dari
metabolisme sekunder. Fungsi tanin pada tanaman adalah untuk
mempertahankan diri dari serangan burung, hewan ruminansia,
melindungi kecambah setelah panen, serta melindungi diri dari jamur dan
cuaca. Hal ini karena sifat tanin yang larut dalam air dan mengikat protein
secara kompleks untuk menimbulkan rasa tidak enak bagi makhluk hidup
yang memakannya (Suarni & Subagio 2013)

Asam fitat merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar
pada tanaman serealia termasuk sorgum. Senyawa tersebut dapat mengikat
mineral dalam bentuk ion sehingga ketersediaan mineral menjadi
terganggu dan berkontribusi terhadap defisiensi mineral terutama zat besi.
Pada biji sorgum, asam fitat terdapat dalam sel 1,0% . Kandungan asam
fitat akan menurun pada biji yang berkecambah dan penurunan ini
mengikuti umur kecambah. Asam fitat yang terdapat dalam biji digunakan
sebagai sumber energi untuk proses perkecambahan, sedangkan garam
fitat yang berupa kalsium magnesium fitat berfungsi sebagai sumber
kation untuk proses perkecambahan. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengurangi senyawa tersebut dengan memberi perlakuan
perkecambahan (Suarni & Subagio 2013)

Perlakuan perendaman selama 72 jam dan perkecambahan 36 jam
menghasilkan sorgum dengan kadar tanin dan fitat terendah sehingga
dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan. Pada proses
penepungan dengan metode basah, terjadi fermentasi alami spontan pada
saat perendaman.

131

Tabel 12. Komponen Pangan Fungsional Jagung dan Sorgum

Unsur jagung sorgum Manfaat bagi
pangan Tinggi esehatan
fungsional Agak
tinggi Mencegah kanker, menjaga
Serat kolesterol dan gula darah,
pangan mencegah obesitas
Tumbuh kembang sistem syaraf,
Asam tinggi Agak termasuk otak
lamak rendah
esesnsial tinggi Antikanker, anti penuaan, anti
Tinggi rendah hyperlipidemia, antotrombotik
Beta Antiangiogenik terkait penyakit
Karoten Tinggi jantung koroner
Membangun hubungan silang
Antosianin protein (kolagen, elastin) dan
biosisntesis karnitin, prekursor
Asam tinggi rendah serotonin/nikotinamida
Amino

Sumber : (Suarni & Subagio 2013)

132

Tabel 13. Kelemahan dan Keunggulan Sorgum sebagai Bahan Pangan
Fungsional

Komponen Kelemahan Keunggulan
Pangan
Antigizi Antioksidan
Tanin Komponen fenolik dapat (Konsentrasi rendah)
bereaksi dengan protein, Lebih tinggi daripada
Asam Pitat terbentuk kompleks yang vitamin A dan C
tidak larut dan dapat
Sianogenik mennurunkan daya cerna. Asam pitat konsentrasi
Glikosida Menghambat aktivitas rendah mencegah
Selulosa, enzim pencernaan, Rasa penyakit degeneratif
Hemiselulosa sepat, warna kusam pada seperti kanker
produk akhir
Tidak ada
Antigizi
Dapat mengikat mineral Serat pangan yang
dalam bentuk iod dibutuhkan tubuh untuk
sehingga penyerapan beta glukan komponen
mineral rendah karbohidrat Non Starch
Polisakarida (NSP)
Hidrolisis terbentuk HCN
(asam sianida), dapat
larut selama perendaman
atau perkecambahan

Tidak ada

133

Daftar Pustaka

Allegra, V., Zarbà, a. S. & Muratore, G., 2012. The post-purchase consumer behaviour,
survey in the context of materials for food packaging. Italian Journal of Food
Science, 24(SUPPL.), pp.160–164.

Amelia, C.R., 2014. Pendidikan Sebaya Meningkatkan Pengetahuan Sindrom
Pramenstruasi pada Remaja Peer Education Improve Premenstrual Syndrome
Knowledge in Adolescent. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(2), pp.151–153.

Amico, M.D. et al., 2014. Survey Short Food Supply Chain And Locally Produced
Wines : Factors Affecting Consumer Behavior. Italian Journal of Food Science, 26,
pp.329–335.

Amril, 2013. Dampak Pemberian Subsidi Produksi terhadap Keseimbangan Pasar pada
Pasar Persaingan Sempurna dan Pasar Monopoli. Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Seri Humaniora, 53, pp.1689–1699.

Anna Vipta Resti Mauludyani, Drajat Matianto, Y.F.B., 2008. Pola Konsumsi Dan
Permintaan Pangan Pokok Berdasarkan Analisis Data Susenas 2005. Jurnal Gizi
dan Pangan, 3(2), pp.101–117.

Anonymous, 2012. Pasar dan Perilaku Konsumen.

Antúnez, L. et al., 2013. How do design features influence consumer attention when
looking for nutritional information on food labels? Results from an eye-tracking
study on pan bread labels. International journal of food sciences and nutrition,
64(5), pp.515–27. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23301795.

Ariani, M., 2015. Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. In Bogor: Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, pp. 118–131.

Artenie, A., 2014. The Role Of A Hotel Wellness Center In The Distribution Of Ethno
Pharmacological Products. Bulletin of The Transilvania, 7(2).

Balitbangkes, 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Jakarta.

Balitbangkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar Propinsi Sulawesi Selatan 2013 Pertama.,
Jakarta: Balitbangkes.

Baswedan, A.R., 2012. Konsumerisme Visi Hidup dan Pendidikan dalam Keluarga.
Jurnal Kependidikan, XXXIII(2), pp.81–87. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15003161.

Bernhardt, A.M. et al., 2015. Children’s Recall of Fast Food Television Advertising—
Testing the Adequacy of Food Marketing Regulation. Plos One, 10(3), p.e0119300.
Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0119300.

Capone, R. et al., 2014. Food System Sustainability and Food Security: Connecting the
Dots. Journal of Food Security, 2(1), pp.13–22. Available at:
http://pubs.sciepub.com/jfs/2/1/2/jfs-2-1-2.pdf.

134

Chairel Malelak, T.S., 2015. Studi Pelaksanaan Program Raskin Pola Padat Karya Pangan
dengan Sistem Wanatani pada Lahan Kering Kabupaten Timor Tengah Utara.
Jurnal Sosial Ekonomi & Humaniora, 1(1), pp.33–41.

Chau, P. et al., 2015. Development and Validation of Chinese Health Literacy Scale for
Low Salt Consumption - Hong Kong Population (CHLSalt-HK). Plos One, 10(7),
p.e0132303. Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0132303.

Comerford, K., 2015. Frequent Canned Food Use is Positively Associated with Nutrient-
Dense Food Group Consumption and Higher Nutrient Intakes in US Children and
Adults. Nutrients, 7(7), pp.5586–5600. Available at: http://www.mdpi.com/2072-
6643/7/7/5240/.

Comtois, J.D., 2000. Food Security in East Timur. Earth Island Journal.

Cuellar, S.S. & Claps, M., 2013. Differential effects of brand , ratings and region on
willingness to pay : a hedonic price approach. Journal of Wine Research, 24(2),
pp.138–155.

DKP, 2014. Pangan untuk Indonesia. In Indonesia Policy Briefs. Dewan Ketahanan
Pangan.

Dodds, R. et al., 2013. Consumer Choice and Farmers’ Markets. Journal of Agricultural
and Environmental Ethics, 27(3), pp.397–416. Available at:
http://link.springer.com/10.1007/s10806-013-9469-4.

Duwata, N., 2012. Aktualisasi Nilai Kekeluargaan ( Persaudaraan ) dan Nilai
Kegotongroyongan dalam Permainan Tarik Tambang Pada Warga Masyarakat RT
24 RW 06 Sidikan Umbulharjo Yogyakarta Tahun 2012. urnal Citizenship, 2(1),
pp.17–30.

Felix, A. et al., 2014. Marketing study on wine consumers ’ behavior from iasi. Lucrari
Stiintifice, 57(1), pp.201–207.

Fernandes, R.A. et al., Socioeconomic status as determinant of risk factors for overweight
in adolescents Status socioeconômico como determinante de fatores de risco
associados com o sobrepeso em adolescentes. , pp.4051–4058.

Fitness, P., Nursing, P. & Source, A.H., 2008. Relationship of obesity with physical
activity , aerobic fitness and muscle strength in Flemish adult. Journal of Sport
Medicine and Physical Fitness, 48 :2(Juni), p.201.

Haddad, L. et al., 2015. The Global Nutrition Report 2014 : Actions and Accountability
to Accelerate the World Õ s Progress on Nutrition 1 – 4. , pp.663–672.

Hakansson, A., 2015. food & nutrition. Food and Nutrition Research, 1, pp.1–10.

Hersey, J.C. et al., 2013. Effects of front-of-package and shelf nutrition labeling systems
on consumers. Nutrition Reviews, 71(1), pp.1–14.

Husaini, M., 2012. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Tingkat Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Agribisnis
Pedesaan, 2, pp.320–332.

135

Kamphuis, C.B.M., Bekker-grob, E.W. De & Lenthe, F.J. Van, 2015. Factors affecting
food choices of older adults from high and low socioeconomic groups : a discrete

choice experiment 1 – 3. The American journal of clinical nutrition, (1), pp.768–
775.

Kembau, A. & Mekel, P.A., 2013. Reference groups, family, roles and status on young
consumer bahvior towards purchase intentions of luxury fashion brands. Jurnal Ilmu
Administrasi Bisnis, 2(3), pp.1–5.

Kemenkumham, 2013. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, Jakarta.

Kementan, 2014. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014 Jakarta ( Oktober
2009 ), Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan.

Kementerian Pertanian, 2014. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Tingkat
Kabupaten/Kota. , pp.1–36. Available at:

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0C
EAQFjAG&url=http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Pedum
Kabupaten_pdf%281%29.pdf&ei=OtJiVaKyBo--
uAS0r4DQBA&usg=AFQjCNGwnLbPDyaS3dZjJVea0HBjghl5ZA&sig2.

Khairunnisa, 2013. Analisis yuridis perlindungan hukum kepada konsumen dari dampak
negatif peredaran pangan produk rekayasa genetik. Jurnal Beraja Nitti, 2(8).

Lewandowski, C.M., 2007. Pengaruh Minuman Fungsional Mengandung Tepung Kedelai
Kaya Isoflavon Dan Serat Pangan Larut Terhadap Kadar Total Kolesterol Dan

Trigliserida Serum Tikus Percobaan. Jurnal Teknologi dan Industri Hasil
Pertanian, 12(2), pp.47–52.

Lewis-Beck, M.S., Bryman, A. & Futing Liao, T., 2013. Pengaruh persepsi kualitas
makanan dan pengaruh anak anak terhadap keputusan pembelian makanan cepat
saji. Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie, 1(2), p.885.

Mabli, J. & Ohls, J., 2015. Supplemental Nutrition Assistance Program Participation Is

Associated with an Increase in Household Food Security in a National. The Journal
of Nutrtition Community and International Nutrtition.

Manik, N.T., 2013. Riwayat Gaya Hidup Penderita Kanker Payudara Di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Sumedang. Students E-Journals, 1(1), p.30. Available at:
http://journal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/693.

Marty, L. et al., 2015. Higher nutritional quality at no additional cost among low-income

households : insights from food purchases of “ positive deviants ” 1 , 2. The
American journal of clinical nutrition, pp.190–199.

McEachern, W.A., 2001. Ekonomi Mikro S. Rosyidi, ed., Jakarta: Thomson Learning.

Meylani Puspitan dan & Putro, G., 2008. Hubungan gaya hidup terhadap kejadian stroke

di rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri. Buletin Penelitian Sistem

Kesehatan, 11(2), pp.263–269. Available at:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=80546&val=4892 diakses 22

maret 2015.

136

Millatina Urfana, B.K.S., 2013. Analisis Pengaruh Faktor Kebudyaan, Sosial, Pribadi,
dan Psikologis terhadap Keputusan Pembelian Makanan Cepat Saji pada Konsumen
KFC Kota Medan. Jurnal Media Informasi Manajemen, 1(3), pp.1689–1699.

Mittal, A., 1999. Behind Indonesia’s Hunger Myth. Earth Island Journal, 14, p.32.

Available at:

http://sfx.unimelb.edu.au/sfxlcl3?sid=google&auinit=A&aulast=Mittal&atitle=Behi

nd Indonesia’s Hunger Myth&title=Earth Island

Journal&volume=14&date=1999&spage=32&issn=1041-0406.

Moench-Pfanner, R. et al., 2005. Food-for-work programs in Indonesia had a limited
effect on anemia. The Journal of nutrition, 135(6), pp.1423–1429.

Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian IV., Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Muninjaya, A., 2004. Survey Kepuasan Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perjan RS
Sanglah Denpasar. Manajemen Pelayanan Kesehatan, 7, pp.115–123.

Mursid, 2015. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kemendikbud.

Nakamura, R. et al., 2015. Price promotions on healthier compared with less healthy
foods : a hierarchical regression analysis of the impact on sales and social patterning
of responses to promotions in Great Britain 1 – 5. The American journal of clinical
nutrition, pp.808–817.

Nassuora, A.B., 2013. Understanding factors Affecting the adoption of M-commerce by
Consumers. Journal Applied Science.

Nawiyanto, 2009. Pertumbuhan Penduduk Besuki: Kajian Demografis Historis. Jurnal
Humaniora, 21(2).

Nghiem, N. et al., 2013. Understanding price elasticities to inform public health research

and intervention studies: Key issues. American Journal of Public Health, 103(11),
pp.1954–1961.

Noor, M., 2015. Kebijakan Pembangunan dan Bonus Demografi. Serat Acitya :
Pemberdayaan Sumberdaya bagi Kehidupan, 4(1). Available at:
http://situspembelajar.blogspot.com/2013/11/bonus-demografi.html.

Panuntun, I.A., 2014. Strategi bertahan di pasar oligopolis (studi di xxx cafe malang),

Piernas, C. et al., 2014. Low-calorie- and calorie-sweetened beverages: Diet quality, food
intake, and purchase patterns of US household consumers. American Journal of
Clinical Nutrition, 99(3), pp.567–577.

Poínhos, R. et al., 2014. Psychological Determinants of Consumer Acceptance of
Personalised Nutrition in 9 European Countries. PLoS ONE, 9(10), p.e110614.

Available at: http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0110614.

Poti, J.M. et al., 2015. Is the degree of food processing and convenience linked with the
nutritional quality of foods purchased by US households ? The American journal of
clinical nutrition, 101, pp.1251–1262.

137


Click to View FlipBook Version