The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Widya Pustaka SMP N 5 Melaya, 2022-05-23 01:41:52

Jangan Memanjat Pohon yang Salah

Jangan Memanjat Pohon yang Salah

Keywords: Pohon,Salah

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap
sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang
dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari, sudah terjadi degradasi
proses-proses dan program-program yang dimaksudkan
untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan saja.
Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan
dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk
pendidikan.

Pada program pendidikan yang tereduksi menjadi pelatihan,
substansi pendidikan hanya masuk ke ’otak’ peserta didik,
namun tak masuk ke hati. Hasilnya adalah orang-orang
berpengetahuan banyak, namun belum tentu pengetahuan
yang banyak tersebut disertai dengan hati yang baik;
kecerdasan berpikir sering tidak disertai dengan kepekaan
batin. Hal ini akan menimbulkan fenomena kesenjangan
antara mengetahui dan melakukan (’knowing-doing gap’) yang
besar. Orang-orang memiliki banyak pengetahuan mengenai
hal-hal yang baik yang seharusnya dilakukan, namun mereka
tidak melakukannya, bahkan dalam banyak kasus mereka
melakukan hal yang sebaliknya atau berlawanan; mengetahui
banyak hal yang baik, justru melakukan hal-hal yang buruk
atau tercela. Nampaknya kesenjangan ini bisa menjelaskan
mengapa di Indonesia, golongan yang mendapat pendidikan
formal lebih tinggi yang membentuk golongan menengah
yang mengisi jabatan di pemerintah, dan jabatan relatif tinggi
di swasta, banyak diantaranya justru menjadi pelaku utama
tindakan korupsi di Indonesia. Rakyat kebanyakan yang
tinggal di desa-desa atau di daerah pinggiran kota yang
berpendidikan relatif rendah bukan pelaku utama dalam
’gerakan’ korupsi; rakyat kecil menjadi korban dari
pemimpin-pemimpin atau pejabat-pejabat yang korup.

123

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Contoh lain dari ’knowing-doing gap’ dapat dilihat pada apa
yang terjadi pada pasca Penataran P4. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, dalam kurun waktu tak kurang dari
tiga dekade, berjuta-juta orang diharuskan mengikuti
Penataran P4. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan
menghabiskan banyak dana untuk itu. Semua orang
mengetahui bahwa hal-hal yang diajarkan dalam penataran
adalah hal-hal yang sangat baik. Kalau para pengikut
penataran melakukn apa yang dipelajari dan diketahuinya
dari penataran maka di Indonesia sudah tidak ada korupsi,
atau sekurang-kurangnya Indonesia akan termasuk negara
yang korupsinya sangat kecil. Namun fakta menunjukkan
bahwa selama tiga puluh tahun sampai dengan turunnya
Presiden Suharto, korupsi justru makin lama makin
berkembang. P4 adalah sebuh contoh dari suatu program
yang sebenarnya dimaksudkan sebagai pendidikan, namun
dilaksanan sebagai pelatihan, dan bahkan hanya sebagai
sebuah penataran.

MENGAPA PENDIDIKAN MENJADI
PELATIHAN SAJA?

Banyak faktor yang terkait satu dengan yang lain yang
menyebabkan kegiatan pendidikan di institusi pendidikan di
Indonesia, dengan berjalannya waktu, telah secara berangsur-
angsur berubah menjadi kegiatan yang lebih merupakan
pelatihan. Faktor-faktor tersebut ada yang berada pada tataran
operasional pendidikan, khususnya melekat pada pengajar
atau guru dan pengelola institusi pendidikan, serta ada juga
yang bersumber pada kebijakan yang bersifat nasional.

124

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

Pengajar Tidak Mengetahui atau Mengenali Perbedaan
Antara Pendidikan dan Pelatihan.

Nampaknya banyak diantara pengajar atau guru yang tidak
mengetahui atau mengenali perbedaan antara pendidikan dan
pelatihan. Dalam banyak kesempatan ketika isu pendidikan
versus pelatihan ini penulis kemukakan, pertanyaan yang
hampir selalu diajukan adalah mengenai perbedaannya.
Apabila perbedaan ini tidak diketahui atau dikenali, maka
akan banyak diantara para pengajar yang kegiatannya hanya
melakukan pelatihan lalu merasa bahwa mereka sudah
melakukan pendidikan. Para pengajar ini mungkin saja telah
bekerja keras menyiapkan bahan pelajaran, dan berusaha
keras untuk mengalihkan atau ’memasukkan’
pengetahuannya kepada peserta didik untuk memenuhi target
’pendidikan’. Di samping itu, apabila perbedaan antara
pendidikan dan pelatihan tidak diketahui, para pengajar yang
sebenarnya punya potensi yang sangat besar untuk menjadi
pendidik yang baik lalu tidak mengembangkan potensinya,
karena mereka merasa bahwa tugas-tugas mereka sebagai
pendidik telah mereka selesaikan dengan baik dengan cara
yang sudah dilakukannya.

Pengajar Merasa bahwa Tugas Mereka Hanya
Mengalihkan Pengetahuan atau Keahlian.

Ada juga pengajar di perguruan tinggi yang sepenuhnya
menyadari bahwa proses pendidikan hendaknya membantu
peserta didik mengembangkan karakter atau jatidiri. Namun
mereka dengan jelas mengatakan bahwa itu bukan tugas
mereka, itu tugas orang lain, apakah itu orang tua atau siapa
saja. Pokoknya bukan tugas seorang dosen di perguruan

125

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

tinggi. Di sebuah institut teknologi pernah ada diskusi hangat
diantara para dosennnya, melalui mailing list, mengenai
’siapa’ sebenarnya dosen itu. Apakah dia seorang guru atau
seorang engineer atau scientist? Sebagian mengatakan bahwa
seorang dosen, di samping dia sebagai seorang engineer atau
sciencetist, dia seharusnya juga seorang guru; sedangkan
sebagaian lagi mengatakan bahwa yang penting adalah dia
seorang engineer atau sciencetist yang baik atau sangat baik
dalam bidangnya. Bagaimana dia mengajar para
mahasiswanya, itu bukan hal penting. Kemudian
ditambahkan lagi bahwa banyak ilmuwan atau insinyur yang
baik di beberapa perguruan tinggi terkenal di luar negeri
tidak begitu bagus dalam mengajar.

Kalau banyak pengajar berada pada kelompok kedua, maka
menjadi mudah dimengerti mengapa di perguruan tinggi ini
banyak orang mengeluh tentang buruknya ‘soft skill’ dari para
lulusannya. ’Soft skill’, seperti kemampuan memimpim,
bekerja dalam tim, kerelaan berbagi, kemampuan menghargai
perbedaan, lebih sering mencerminkan karakter seseorang
daripada kompetensi teknisnya. Kalau iklim dan proses
pendidikan tidak memberikan ruang cukup banyak untuk
atau bahkan mengabaikan pengembangan karakter, maka
lembaga pendidikan akan lebih banyak melakukan pelatihan
daripada pendidikan.

Pengajar Tidak Dipersiapkan atau Menyiapkan Diri
Berperan Sebagai Pendidik.

Di perguruan tinggi khususnya, kebanyakan para staf
pengajar direkrut atas dasar prestasi akademik mereka,
dengan asumsi bahwa mereka yang punya prestasi akademik
yang baik, dengan sendirinya akan menjadi pendidik yang

126

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

baik. Sayangnya, asumsi ini sering kali tidak sesuai dengan

kenyataan. Tidak sedikit staf pengajar, tetap hanya menjadi

ilmuwan, dan tidak dapat dengan baik menjalankan

fungsinya sebagai pendidik. Mereka mungkin memahami

substansi keahliannya dengan baik atau bahkan sangat baik,

namun kurang berminat atau kurang mampu

mengembangkan suasana atau iklim serta proses

pembelajaran yang membantu, mendorong atau menggugah

bagi para mahasiswa untuk mengembangkan potensi diri

mereka secara optimal dengan memakai bahan pelajaran

sebagai salah satu media.

Ada yang berpendapat bahwa untuk menjadi pendidik
seseorang perlu diberi pelatihan cara-cara mengajar yang baik.
Memang belajar cara mengajar yang baik ada gunanya,
namun untuk menjalankan peran sebagai pendidik diperlukan
banyak hal ‘diseberangnya’ teknik mengajar. Agar dapat
menjalankan peran sebagai pendidik seseorang memerlukan
persepsi peran yang tepat (right role perception), dan sejumlah
model-mental (a set of mental models). Ini berkaitan dengan
bagaimana seorang pengajar melihat perannya (instruktur,
fasilitator, sumber pengetahuan, mitra belajar, mentor, atau
enabler) dan bagaimana ’konsep’ yang dia pegang mengenai
pendidikan, siswa atau mahasiswa, sekolah, dan proses
pendidikan. Persepsi mengenai peran dan model-mental ini
sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seorang
pengajar dalam hubungannya dengan mahasiswa, dalam
hubungannya dengan bidang keahliannya, dalam
hubungannya dengan pengajar yang lain, dalam
hubungannya dengan para ahli dari disiplin ilmu yang
berbeda, dan dalam hubungannya dengan masyarakat luas.

Penulis tidak bermaksud menganjurkan semua orang yang
mau menjadi staf pengajar untuk mengambil pelatihan cara
mengajar dan memfasilitasi proses belajar mengajar. Hal yang

127

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

penting adalah seorang ilmuwan jangan sampai menyia-
nyiakan potensinya sebagai pendidik yang baik. Kalau hal ini
terjadi, maka proses degradasi kegiatan pendidikan menjadi
hanya sebuah pelatihan akan terus berlangsung.

Pengelola Melihat Lembaga Pendidikan Sebagai
Sebuah Mesin atau Pabrik

Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau
memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid
atau mahasiswa dipandang sebagai bahan baku atau input
yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-
mesin’ yang bernama guru yang bekerja menurut sebuah
program produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari
pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah
NEM atau Indek Prestasi. Cara pandang seperti inilah yang
menjadi salah satu penyebab mengapa di sekolah-sekolah
berkembang suasana belajar yang sangat mekanistik, formal,
dingin, kaku, birokratik, output oriented dan kurang
manusiawi.

Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa
pihak adalah melihat siswa atau mahasiswa sebagai dereten
gelas kosong yang harus diisi oleh para guru atau dosen
dengan isi yang sama, diisi dengan cara yang sama pula. Cara
pandang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab
timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah.
Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi
terhadap perbedaan makin lama makin menyempit. Bahkan
ukuran keberhasilan atau keunggulanpun menjadi seragam.
Ujian Nasional misalnya, oleh banyak praktisis dan ahli
pendidikan dilihat sebagai manifestasi dari kecenderungan
kuat untuk penyeragaman ini. Di samping itu, cara pandang
gelas kosong ini menyebabkan para guru sibuk mencari cara

128

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

untuk mengisinya secepat mungkin, atau mereka akan ditegur
oleh pengawas apabila tidak bisa mengisi secepat mungkin
atau tidak sesuai target. Akibatnya, interaksi yang lebih
bersifat manusiawi yang sangat diperlukan dalam proses
pendidikan menjadi terpinggirkan.

Tema Kebijakan yang Menyempitkan Makna
Pendidikan.

Kebijakan yang diperkenalkan liwat jargon-jargon tertentu,
seperti link and match, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
misalnya, tanpa disadari pada tingkat pelaksanaan telah
menyempitkan atau mereduksi makna pendidikan. Mungkin
saja konsep awalnya luas, namun karena komunikasi
kebijakan biasanya tidak mudah, penyempitan arti tersebut
mudah terjadi.

Jargon link and match misalnya cenderung diartikan bahwa
fokus pendidikan adalah menyediakan tenaga kerja yang siap
pakai untuk memenuhi pasar tenaga kerja. Oleh karena itu,
kegiatan pendidikan lalu lebih banyak untuk
mengembangkan keterampilan untuk industri, karena
Indonesia ketika itu sedang mulai melaksanakan kebijakan
industrialisasi. Akibatnya, dimensi yang non-keterampilan
dari pendidikan seperti pengembangan kesadaran baru
tentang masa depan bersama, membangun keyakinan,
pengembangan kepekaaan sosial, yang merupakan
transformasi mental kemudian cenderung dinomor-duakan.
Demikian juga halnya dengan istilah kurikulum berbasis
kompetensi. Pada tingkat praktek tetap saja ada
kecenderungan untuk mengidentikkan kompetensi dengan
keterampilan atau skill, walaupun diperluas dengan istilah
ketearmpilan untuk hidup (life skill). Akibatnya akan sangat

129

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

besar kemungkinan untuk melupakan perspektif pendidikan
yang lebih luas dan dalam, seperti pendidikan untuk
pengembangan kebudayaan, pendidikan untuk membangun
bangsa dan membangun karakter bangsa.

Kebijakan dan Praktek Evaluasi yang Mereduksi Arti
Pendidikan.

Dalam UU Sisdiknas, pendidikan didifinisikan secara luas:
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar, proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara[3]. Namun dalam praktek evaluasi hasil
pendidikan, yang dinilai hanya aspek yang sangat kecil dari
aspek pendidikan. Misalnya, dalam penilaian melalui Ujian
Nasional yang sampai saat ini masih kontroversial terkesan
bahwa hasil pendidikan ditentukan hanya dengan nilai ujian
pada tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan
Alam dan Bahasa Indonesia. Tidak bisa dihindari cara menilai
seperti ini memberi kesan bahwa hanya tiga mata pelajaran
tersebut yang penting, dan yang lainnya kurang penting.
Kalau demikian halnya, akan tidak mengherankan apabila
sekolah-sekolah akan menjelma menjadi semacam bimbingan
test untuk tiga jenis pelajaran tersebut. ’Perusahaan’
bimbingan test yang sangat diminati oleh para siswa adalah
hasil ikutan dari lembaga pendidikan yang sudah berubah
menjadi lembaga pelatihan.

Cara penilaian hasil pendidikan yang hanya menilai aspek
pengetahuan dan keterampilan saja -hasil dari learning to know

130

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

dan learning to do- dan mengabaikan hal-hal yang berkaitan
dengan kekuatan karakter (hasil dari learning to be) akan
dengan mudah menarik lembaga pendidikan menjadi hanya
sebagai penyelenggara pelatihan.

Ada perguruan tinggi yang memberi bobot sangat besar pada
waktu studi rata-rata mahasiswa sebagai ukuran keberhasilan
program pendidikan. Para mahasiswa mendapat kesan,
bahwa yang terpenting adalah belajar agar cepat lulus.
Ironisnya, pada saat yang sama di perguruan tinggi tersebut
orang-orang mengeluh karena lulusannya tidak begitu bagus
dalam ’soft skill’ atau ’social skill’ dan sering tersisih dari
lulusan perguruan tinggi lain dalam merebut pekerjaan,
bukan karena kompetensi teknisnya (yang antara lain
ditunjukkan oleh Indek Prestasi), namun karena sikapnya
yang cenderung a-sosial. Seorang dokter, yang dua orang
puterinya kuliah di perguruan tinggi tersebut dan
memperoleh IP yang sangat bagus bahkan menyatakan bahwa
menurut putrinya, tekanan yang terlalu besar pada
mahasiswa agar lulus dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dan berkompetisi secara ketat telah membuat banyak teman-
temannya menjadi sangat egois, kurang peduli lingkungan,
dan tak punya empati atau mau menang atau enak sendiri.
Jadi di sini ada risiko sebuah perguruan tinggi menghasilkan
lulusan yang dari segi keahllian teknis sangat baik, namun
secara sosial ’terkebelakang’. Dari kelompok seperti ini ada
kemungkinan akan ada lulusannya kelak menjadi koruptor
yang cerdas atau pebisnis tanpa tanggung jawab sosial.

Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada waktu hari
wisuda memberikan penghargaan pada lulusan yang meraih
prestasi akademik sangat baik, dan pada saat yang sama juga
memberikan penghargaan kepada para lulusan yang selama
menjadi mahasiswa banyak melakukan pelayanan kepada

131

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

masyarakat atau pengabdian kepada masyarakat. Dengan cara
seperti ini, pimpinan perguruan tinggi ingin menunjukkan
bahwa para alumni perguruan tinggi tersebut hendaknya
menjadi orang yang cerdas dan pada saat yang sama menjadi
orang yang berguna dan mengabdi pada masyarakat.

Bukan maksud tulisn ini untuk menyatakan bahwa lulus tepat
waktu atau punya Indek Prestasi yang baik itu tidak penting.
Di sini ingin ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang dipakai
untuk mengukur atau cara mengukur keberhasilan
pendidikan akan berpengaruh terhadap kuatnya
kecenderungan suatu lembaga pendidikan untuk berubah
menjadi hanya sebuah lembaga pelatihan.

APA YANG PERLU DILAKUKAN ?

Masalah pendidikan di Indonesia adalah masalah sangat
besar. Ini merupakan akumulasi masalah yang sudah
berlangsung tidak kurang dari empat dekade. Ini adalah harga
yang harus dibayar bangsa Indonesia sekarang ini karena
selama kurun waktu yang sangat lama, bahkan pada saat
negeri ini memiliki cukup banyak sumber dana, pendidikan
tidak dijadikan prioritas dalam pembangunan bangsa.
Membayangkan adanya solusi jalan pintas yang cepat untuk
mengatasi masalah besar ini, saya rasa itu tidak realistik,
karena invesatasi dalam bidang pendidikan pada dasarnya
adalah investasi jangka panjang, dalam arti bahwa dampak
perbaikannya baru akan terasa dan terlihat sesudah kurun
waktu cukup lama. Namun demikian ada beberapa hal yang
sangat mendasar yang perlu dilakukan sebagai landasan
perbaikan jangka panjang, khususnya untuk mencegah
kecenderungan lembaga pendidikan menjadi hanya sebagai

132

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

lembaga pelatihan, dan apabila dimungkinkan, membalikkan
kecenderungan tersebut.

Investasi pada Peningkatan Mutu Para Guru.

Tidak ada pendidkan yang bermutu tanpa guru yang
bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang
pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan
Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa
perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama
tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga
negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi (baik dari manfaat sosial maupun manfaat
ekonomik), dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya.
Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan
ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun
terakhir ini saya berani menyatakan bahwa secara umum
para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMU dan SLTP,
bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua
bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik
yang baik di awal abad 21 ini. Secara umum bekal mereka
sangat terbatas dalam pengetahuan substansial, dalam
pengetahuan kontekstual, dalam pengembangan proses-
proses pembelajaran baru, dan dalam menciptakan suasana
pembelajaran baru. Sekarang ini, guru-guru dan kepala
sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda serta
paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan
karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara
negara kita menangani pendidikan selama ini. Perbaikan
mutu ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi guru. Ini
adalah program yang mendorong, dan memudahkan para
guru untuk terus menerus mengembangkan diri, tidak hanya
dari segi komptensi teknis, namun dalam memperbarui

133

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

persepsi tentang peran mereka sebagai guru, dan
memperbarui model-mental agar sesuai dengan kebutuhan
atau tuntutan pendidikan pada abad 21 ini. Ini adalah
pemberian kesempatan kepada para guru untuk
meninggalkan persepsi peran dan model-mental lama yang
sudah usang dan mengembangkan persepsi peran dan
model-mental baru.

Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain
di Indonesia telah mengakibatkan kurangnya penghargaan
masyarakat terhadap profesi guru dan menjadikan profesi
guru sebagai pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda
yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah
bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi
tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu
guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan
masyarakat memberi hanya sedikit kepada para guru, mereka
menuntut sangat banyak dan tuntutannnya makin meningkat,
khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak yang
tidak puas dengan mutu pendidikan, sering sekali yang
dijadikan kambing hitam sebagai penyebab adalah para guru.

Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam
bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai
melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu
guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung
tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu
pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap
penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan
suasana birokratik serta feodalistik di lembaga-lembaga
pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan
potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue
besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan
bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru.

134

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

Meninjau Kembali secara Mendasar Ukuran
Keberhasilan dalam Pembangunan Pendidikan.

Pada tingkat kebijakan nasional, dan pada tingkat operasional,
pembuat kebijakan dan para pelaku, hendaknya berani
mempertanyakan kembali ukuran-ukuran yang dipakai untuk
menunjukkan bahwa pendidikan kita memang telah mencapai
yang hasil-hasil yang diharapkan. Ukuran ini hendaknya
secara sadar memasukan faktor-faktor yang lebih kualitatif,
dan lebih memperhatikan dampak, di samping keluaran atau
output. Apakah makin seringnya perkelahian atau bentrok
fisik antara murid sekolah dan bentrok mahasiwa antar
kampus, atau luasnya penyebaran pemakain narkoba di
sekolah-sekoah atau kampus-kampus bisa memberi indikasi
tentang keberhasilan pendidikan? Apakah tingkat pemakaian
narkoba di kalangan siswa dan mahasiswa bisa dipakai untuk
menunjukkan hasil pendidikan? Apakah makin banyaknya
murid sekolah yang menerima penghargaan olimpiade dalam
bidang sain saat ini merupakan indikator keberhasilan
pendidikan atau pelatihan yang dilakukan secara intensif?

Ketepatan dalam menetapkan ukuran keberhasilan ini sangat
menentukan metoda atau sistem evalusi hasil-hasil
pendidikan. Dari sini lalu akan mudah dilihat apakah Ujian
Nasional dalam formatnya yang sekarang akan memajukan
pendidikan bangsa atau justru berdampak sebaliknya. Pilihan
ukuran keberhasilan yang tepat akan menghindarkan
penghamburan keahlian dan tenaga para pelaku pendidikan,
khususnya para pengajar yang jumlahnya mendekati tiga juta,
selama berpuluh-puluh tahun seperti yang terjadi selama ini.
Selama tidak kurang dari 30 puluh tahun, sekitar dua
setengah juta guru di seluruh Indonesia bekerja keras dan

135

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

hasilnya adalah generasi baru yang tidak bisa mematuhi
rambu lalu lintas dan yang makin tidak toleran terhadap
kebhinekaan.

Terus Menerus Menggugah Kesadaran: Tidak akan ada
Indonesia Sejahtera dan Bermartabat tanpa Pendidikan yang
Bermutu.

Sampai saat ini masih banyak orang berpegang pada
pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia di
masa depan tumpuanaanya adalah sumber daya alam.
Pandangan inilah yang menjadi penyebab utama dari
kurangnya perhatian dan invesatasi pemerintah Indonesia
dalam bidang peningkatan kualitas manusia Indonesia
melalui pendidikan dan peningkatan kualitas governance di
Indonesia. Selama anggapan seperti ini masih dijadikan
acuan dalam pengembangan program pembangunan maka
pengembangan pendidikan tidak akan menempati peran
sentral, walaupun sudah diamanatkan bahwa anggaran
pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN. Sebab itu,
usaha keras perlu dilakukan untuk menggugah kesadaran
para pembuat kebijakan dan masyarkat luas bahwa tidak
akan ada Indonesia sejahtera dan bermartabat sekarang atau
di masa depan tanpa pendidikan yang bermutu.

Bangsa Indonesia perlu secara sistematik membangun,
mengembangkan dan menguatkan kesadaran bahwa sumber
daya alam yang tak terbarukan seperti minyak, batubara,
tembaga, mas dan bahan galian lainnya suatu hari akan habis.
Sumber daya alam ini sudah tidak bisa lagi dijadikan
tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau pada saat
itu Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan
kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan,

136

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya,
maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang
paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa
depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain,
atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi
’negara jajahan’ di era modern. Memang proses penjajahan
kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu,
namun dilakukan dengan cara-cara yang sangat elegan,
seperti membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang
baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta
kebijakan-kebijakan pembangunan. Adalah menjadi
kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah
terjadinya keadaan buruk seperti itu.

Usaha untuk menyadarkan tentang bahaya besar di masa
depan kalau bangsa Indonesia tidak melakukn pembangunan,
pengembangan dan perbaikan dalam bidang pendidikan
perlu dilakukan terus menerus agar para pembuat kebijakan
dan pembuatan keputusan di lembaga-lembaga pemerintahan
memahami dan melihat sejelas-jelasnya bahwa pembangunan,
pengembangan dan perbaikan pendidikan di Indonesia
merupakan hal yang sangat mendesak, tidak bisa ditunda,
dan semua pihak atau pelaku yang terkait harus melakukan
sesuatu sekarang, bukan nanti.

KATA PENUTUP

Risalah ini tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa
usaha-usaha perbaikan pendidikan yang selama ini sudah
dilakukan semuanya sia-sia. Sudah barang tentu, ada hasil
yang sudah dicapai. Tulisan ini adalah sebuah ajakan bagi
para pembuat kebijakan dan pelaku pendidikan, dan mereka

137

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

yang punya pengaruh untuk mengubah keadaan, untuk
mawas diri, untuk melihat apakah usaha-usaha yang telah
dilakukan, dana yang sudah dikeluarkan, kerja keras para
pelaku selama ini sudah menuju arah yang benar.
Kejelasan dan ketepatan arah ini menjadi sangat penting.
Kalau hal ini tidak ada maka bukan tidak mungkin sekitar tiga
juta guru serta dosen di Indosesia bekerja keras beramai-ramai
‘memanjat pohon yang salah’ atau ‘doing the wrong things
right’. Kalau hal itu terjadi, maka sumber daya pendidikan
yang sampai saat ini jumlahnya sangat terbatas, bukan
dimanfaatkan secara optimal, namun malah dibuang-buang
atau disia-siakan.

Catatan Akhir

[1] Gede Raka, Lanny Hardi, dan Nana Sumpena, Creativity Development
for Quality of Life and Quality Environment, Risalah disampaikan pada
International Forum for Future Study, di Melbourne, bulan September 1996.
[2] ………., Depag, Lembaga Paling Korup, Harian Umum Pikiran Rakyat,
18 Oktober 2006.
[3] ………., Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia,
2003.

138

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

6 PENDIDIKAN MEMBANGUN KARAKTER * 

PENDAHULUAN

Sampai saat ini pemerintah Indonesia atau para pembuat
kebijakan melakukan berbagai usaha agar bangsa ini bisa
keluar dari dampak krisis ’ekonomi’ yang menerpa Indonesia
pada tahun 1998. Negara yang mengalami krisis ekonomi
waktu itu tidak hanya Indonesia, namun juga Korea Selatan,
Thailand, dan Malaysia. Namun negara-negara tetangga
tersebut relatif jauh lebih cepat, atau dalam waktu relatif
singkat, berhasil memulihkan keadaan perekonomian mereka.
Namun tidak demikian halnya dengan Indonesia. Akhir-akhir
ini Presiden dan Wakil Presiden R.I beberapa kali pergi ke
luar negeri untuk mempromosikan Indonesia, dan membujuk
para pemilik modal atau para investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, dengan bermacam-macam janji
kemudahan.
Namun para investor tak kunjung datang. Mereka lebih suka
melirik ke negara-negara lain. Yang lebih memperihatinkan,
yang melirik negara tetangga bukan hanya investor asing
namun juga investor Indonesia. Mengapa?

* Risalah ini disiapkan untuk Majelis Luhur Taman Siswa, dan telah dimuat
dalam Majalah Pusara Edisi bulan Nopember 2007.

139

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Negara-negara tetangga kita bisa lebih cepat bangkit karena
mereka hanya mengalami masalah ekonomi. Masalah
perekonomian bisa diatasi dengan kebijakan ekonomi.
Namun akar krisis ’ekonomi’ Indonesia jauh lebih dalam,
yaitu krisis karakter. Krisis ekonomi ini hanyalah salah satu
wujud dari krisis karakter yang diderita bangsa Indonesia.
Sebab itu krisis ekonomi di Indonesia disertai dengan konflik
sosial yang dahsyat, berupa konflik horizontal yang berbau
SARA, dan konflik ini berkepanjangan. Hal ini tidak terjadi di
Malaysia, atau Thailand, atau di Korea Selatan. Oleh karena
itu, penanganan dampak krisis hanya dengan kebijakan
ekonomi saja hasilnya akan sangat terbatas dan sementara
Indonesia memerlukan perbaikan yang lebih mendasar yaitu
perbaikan karakter.

Dalam pergaulan dunia yang makin tanpa batas, suatu bangsa
yang tanpa karakter, secara potensial memikul risiko sangat
besar. Bukan saja bangsa yang bersangkutan akan mengalami
krisis ekonomi dan sosial, namun kalau tidak hati-hati,
eksistensinya sebagai suatu bangsa bisa berakhir, dan bahkan
berakhir secara tragis. Tengoklah beberapa negara di Afrika
sekarang ini. Konflik horizontal antar kelompok atau antar
suku, atau antar agama, yang makan korban jiwa sangat
banyak, praktis telah menggiring negara-negara yang
bersangkutan kepinggir jurang kehancuran, walaupun
beberapa diantaranya adalah bangsa atau negara yang kaya
sumber daya alam.

Di samping memperkecil risiko kehancuran, karakter juga
menjadi modal yang sangat penting untuk bersaing dan
bekerja sama secara tangguh dan terhormat di tengah-tengah
bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat
bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan
meraih kembali martabatnya di dunia internasional.

140

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

Karakterlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa
ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bangsa yang secara
teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan
Amerika. Pembangunan kararkterlah yang membuat Korea
Selatan sekarang jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun
pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan
teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang
membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar
bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya.

Risalah ini akan menyoroti beberapa keadaan yang
menunjukkan krisis karakter yang sedang dialami Indonesia,
beberapa penyebab dari krisis tersebut, dan usaha-usaha yang
dapat dilakukan dalam pendidikan, khususnya pendidikan
formal agar kontribusinya lebih besar dalam pembangunan
karakter.

BEBERAPA MANIFESTASI KRISIS KARAKTER
DI INDONESIA.

Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan
bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk
mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita
bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus
menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita
kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi
bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa
lain di dunia.

Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak
fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya

141

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi,
mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan
kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak
diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami
krisis karakter.

Korupsi.

Korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang
dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi
menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini,
dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya
kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional,
posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di
dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di
tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-
orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali
kejujuran, pengendalian diri (self regulation), dan tanggung
jawab sosial.

Kesenangan Merusak Diri Sendiri

Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia
ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian
warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang
berdampak merusak atau menghancurkan diri bangsa kita
sendiri (act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain
bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya untuk
meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia,
sebagian dari kita, malah dengan bersemangat memakai
energi masyarakat untuk mencabik-cabik diri kita sendiri, dan
sebagian besar yang lain terkesan membiarkannya.

142

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan
menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan
kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA,
dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari
kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin
memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup
semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama,
secara damai, dalam kebhinekaan.

Hipokrisi atau Kemunafikan.

Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang
sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di
dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia
nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan
kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia
membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya
sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan
korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau mengambil
milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua
agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang
merasa religius namun negaranya penuh korupsi. Lebih
memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang
penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah
Departemen Agama[1]. Apabila pernyataan tersebut
didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini
adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia,
di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau
kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau
menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang
baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.

143

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Mentalitas Makan Siang Gratis.

Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah
fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter. Ini adalah
sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa
diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai
dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri
dan kekanan.

Kesenangan Mencari Kambing Hitam

Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain,
merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan.
Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita
masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa
sulitnya Indonesia mencapai kemajuan sesudah kemerdekaan
adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari penyebab
rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing
hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan
akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen
itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain: ’Apa yang
salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-
ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat
kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi
korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan
kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar
kegiatan ekonomi di Indonesia? Pertanyaan terakhir ini jarang
sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami
selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari
pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah
yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu
diperbaiki pada diri kita.

144

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

BEBERAPA PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI
INDONESIA.

Terlena oleh Sumber Daya Alam yang Melimpah.

Di setiap pikiran orang Indonesia sejak puluhan tahun
ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang
kaya raya. Sumber daya alamnya melimpah. Hal ini dijadikan
salah satu unsur kebanggaan bangsa kita. Memang memiliki
sumber daya alam yang melimpah perlu disukuri, namun
dipihak lain hal itu juga bisa membawa permasalahan.
Masalah pertama, merasa bahwa persediaan sumber daya
alam identik dengan kekayaan. Padahal untuk mengubahnya
menjadi kekayaan sumber daya alam ini harus diolah melalui
proses yang memerlukan kecerdasan manusia. Tanpa
diintervensi kecerdasan manusia sumber daya alam tetap
tidak punya nilai atau nilainya sangat rendah, bahkan bisa
menjadi beban atau sumber malapetaka. Sejarah kita
menunjukkan bahwa kepulauan Nusantara menjadi incaran
kaum penjajah karena daya tarik sumber daya alamnya.
Karena kita kalah cerdas dari kaum penjajah, kita menjadi
masyarakat jajahan selama ratusan tahun. Masalah kedua,
karena sudah merasa kaya, lalu merasa tidak perlu kerja keras.
Hidup itu bisa dinikmati begitu saja. Masalah ketiga, karena
merasa sudah punya kekayaan yang melimpah dari sumber
daya alam, kita lalu melupakan atau menomor duakan
pengembangan sumber kekayaaan yang potensinya jauh lebih
besar dan sangat diperlukan dalam sistem ekonomi modern
sekarang ini yaitu kualitas manusia dan kualitas masyarakat.
Karakter yang kuat di samping kecerdasan adalah kekayaan
sebuah bangsa yang selalu bisa diperbaharui dan tidak habis
apabila dimanfaatkan. Jadi tanpa disadari Indonesia telah
menjadi korban ’resource curse’, di mana ’kekayan alam ’

145

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

telah menjadi belenggu daripada menjadi pemicu dan
pemacu dalam mencapai kemajuan yang lebih besar.

Pembangunan Ekonomi yang Terlalu Bertumpu pada
Modal Fisik.

Walaupun tidak dinyatakan secara resmi, namun secara
tersirat sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi selama tiga
dekade pada jaman pemerintahan Presiden Suharto adalah
pembangunan yang bertumpu pada modal fisik. Seolah-olah
Republik ini di masa depan akan bisa berjaya selamanya
dengan mengandalkan sumber daya alam dan hutang luar
negeri. Seolah-olah minyak, batubara, tembaga, emas, hutan
akan bisa kita pakai sebagai tumpuan kesejahteraan bangsa
kita untuk selama-lamanya.

Di samping itu, ukuran keberhasilan pembangunan yang kita
banggakan pun sebagian besar lebih bersifat fisik. Inilah
penyebab utama mengapa selama periode tersebut kita
mengabaikan pengembangan modal yang bukan bersifat fisik,
atau modal yang nirwujud atau modal maya, seperti tingkat
kecerdasan bangsa, pembangunan karakter bangsa, yang
justru menjadi tumpuan utama kemajuan ekonomi bangsa-
bangsa lain di dunia. Kita nomor duakan atau nomor tigakan
pendidikan. Pendidikan, dalam arti luas, yang menjadi media
utama dalam meningkatkan kecerdasan bangsa, dan
penguatan karakter bangsa, tidak menjadi prioritas utama.

146

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

Surutnya Idealisme, Berkembangnya pragmatisme
‘overdoses’.

Selama tiga dekade, di masa pemerintahan Presiden Soeharto
kita hidup di bawah doktrin ‘ekonomi sebagai panglima’. Ini
dianggap sebagai koreksi terhadap doktrin dari pemerintah
sebelumnya yang dianggap mempanglimakan politik. Sebagai
konsekuensi logisnya, keberhasilan atau kemajuan cenderung
hanya dilihat dari besaran-besaran yang bisa diukur dalam
variabel ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi. Hal-hal
yang tidak bisa diukur dalam besaran ekonomi lalu
cenderung dianggap tidak penting atau diabaikan. Memang
benar pertumbuhan ekonomi itu perlu untuk mengimbangi
pertumbuhan penduduk dan meningkatkan pendapatan per
kapita. Namun hal itu hendaknya jangan dicapai dengan
mengorbankan hal-hal yang kelihatannya tidak ‘ekonomik’,
seperti harga diri bangsa, kohesivitas masyarakat dan etika.
Kecenderungan yang terlalu mengedepankan keberhasilan
ekonomi (jangka pendek) telah membuat sebagian dari
masyarakat terperangkap dalam pragmatisme yang
berlebihan atau overdoses, dan kemudian terjebak dalam
sikap atau perilaku ‘tujuan menghalalkan cara’. Idealisme saat
itu dianggap tidak penting, bahkan sering menjadi bahan
cemoohan. Ini adalah era di mana banyak orang percaya
bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik.

Kurang Berhasil Belajar dari Pengalaman Bangsa
Sendiri.

Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita, untuk
mencapai kemerdekaan ada perubahan cara berjuang dari
berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal fisik

147

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

menjadi berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal
maya. Beberapa pahlawan Nasional kita, seperti Pattimura,
Diponegoro, Teuku Umar, mengangkat senjata, mengobarkan
peperangan untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi
Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang gagah berani
yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah
cita-cita luhur. Namun demikian, mereka belum berhasil
mengalahkan penjajah lewat kekuatan senjata.

Generasi berikutnya, Bung Karno, Bung Hatta, dan pejuang
seangkatannya memilih memperjuangkan kemerdekaan
dengan kekuatan intelektual mereka, dengan membangun
modal sosial, dan membangun kredibilitas di dunia
internasional. Mereka membangun partai politik, mereka
meningkatkan kecerdasan rakyat, membangun kesadaran
baru yaitu kesadaran sebagai satu bangsa, mengembangkan
visi atau idealisme, membangkitkan kepercayaan diri,
menumbuhkan rasa harga diri, membangkitkan semangat,
menumbuhkan keberanian dan kerelaan berkorban. Mereka
membangun kredibilitas kepemimpinan mereka di mata
dunia. Semua hal yang mereka bangun bersifat maya, tidak
satupun bersifat fisik. Untuk mengembangkan kemampuan
membangun modal maya ini, mereka tidak segan-segan
belajar dari pengalaman bangsa lain, dari pemikir dan pejuang
besar di dunia. Memang menjelang dan beberapa waktu
sesudah proklamasi kemerdekaan ada perjuangan bersenjata.
Namun perjuangan bersenjata tersebut adalah bagian dari
strategi perjuangan yang lebih besar yang berdasarkan
kecerdasan.

Uraian ini tidak dimaksudkan untuk mengajak orang-orang
kembali ke romantisme masa lalu, namun untuk
menyadarkan kita bahwa konsep modal maya bukanlah hal
yang sama sekali baru bagi masyarakat kita. Para pejuang

148

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

kemerdekaan sudah menerapkan bahkan sebelum istilahnya
dikenal, dan pernah berhasil dalam membangun dan
memanfaatkannya.

KARAKTER DAN PEMBANGUNAN
KARAKTER

Karakter.

Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive
trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of
behavior found in an individual or group’ [2]. Kamus Besar
Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada
adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah
laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai
pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan
netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas
moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan
membangun karakter, secara implisit mengandung arti
membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau
berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik,
bukan yang negatif atau yang buruk.

Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and
Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’
dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai
unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues).
Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah
bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam

149

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang
dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat
bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan
kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis
karakter.

Membangun Karakter.

Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya
mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau
lingkungan pembelajaran yang menggugah, mendorong dan
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan
baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan
berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan,
kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan
demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa
perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi
karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya
paksaan dari luar. Ada orang yang menyatakanan bahwa
’turis’ Indonesia yang bepergian ke Singapura atau Jepang
akan berperilaku tertib di jalan raya atau di tempat-tempat
umum, karena aturan yang sangat tegas dan keras di sana.
Namun, saat pulang kembali ke Indonesia, mereka kembali
pada kebiasaan lama, yaitu ’liar’ di jalan raya, tidak peduli
tata-krama dan aturan lalu lintas. Jadi, perilaku tertib di
Singapura atau Jepang belum menjadi karakter orang-orang
yang bersangkutan.

Dalam pendidikan karakter, mengetahui apa yang baik saja
tidak cukup. Yang sangat penting adalah menyemaikan
kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya dalam
tindakan, perbuatan dan atau perilaku. Dalam penataran
Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P4) pada

150

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

masa Orde Baru, semua peserta penataran diberitahu dan jadi
tahu apa yang baik. Namun dalam kenyataan, banyak mantan
peserta penataran yang tidak berperilaku atau bahkan
berperilaku bertentangan dengan hal-hal baik yang sudah
diketahuinya. Sebab itu, peran substansi pendidikan dalam
pengembangan karakter pengaruhnya akan sangat terbatas
bahkan akan tidak ada apabila tidak disertai oleh proses dan
suasana pendidikan yang mendukung. Proses dan suasana
inilah yang akan menggugah kesadaran, menguatkan
keyakinan, menumbuhkan sikap yang menjadi dasar dari
perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik dan
kemudian karakter. Dalam pendidikan karakter,
menunjukkan ketauladan, mengamati dan meniru tokoh
panutan serta membangun lingkungan yang mencerminkan
kebaikan, akan lebih nyata pengaruhnya daripada
memberitahu atau menyuruh seseorang berbuat baik, apalagi
kalau yang memberitahu atau menyuruhnya justru
melakukan hal-hal yang tidak baik.

Membangun keyakinan, dan sikap yang mendasari kebiasaan
baik bukan usaha ’sekali tembak’, namun merupakan proses
yang berlangsung sedikit demi sedikit secara berkelanjutan.
Membangun karakter melalui penataran yang indoktrinatif
selama seminggu atau dua minggu atau bahkan sebulan, tidak
akan banyak membawa hasil. Jadi, upaya pembangunan
karakter melalui pendidikan dengan menjadikannya sebuah
proyek, tidak akan ada hasilnya. Pembangunan karakter
hendaknya dijalankan sebagai upaya berkelanjutan yang
ditanam pada semua susbstansi, proses dan iklim pendidikan.

151

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Individu dan Lingkungan.

Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi
oleh faktor-faktor khas yang ada pada orang yang
bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan (nature)
dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan
tumbuh dan berkembang. Namun demikian perlu diingat,
bahwa faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar
jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang
berada dalam pengaruh kita, sebagai individu maupun bagian
dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Dengan demikian,
dalam usaha pengembangan atau pembangunan karakter
pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita
adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi, yaitu pada
pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan
inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting,
bahkan sangat sentral, karena pada dasarnya karakter adalah
kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses
belajar, baik belajar secara formal maupun informal.

Banyaknya aktor atau media yang mempengaruhi
pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk
pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah.
Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter
yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga.
Dari sekian banyak aktor atau media yang berperan dalam
pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran
tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu:
keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan
formal.

Keluarga. Keluarga adalah komunitas pertama di mana
manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk,

152

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di
keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar
tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini
seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di
keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan
di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak
dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki
komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran,
kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana
dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain
yang tidak sama dengan dia - berbeda status sosial, berbeda
suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang
budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep
awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan
mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil,
dan wawasan mengenai masa depan.

Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis
pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter
yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai
salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga.
Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan
untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam
keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas
tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai
kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak
menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur,
namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan
perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang
sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini
mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di
Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap
permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

153

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Media Massa.

Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar
dalam pembangunan karakter atau sebaliknya juga
perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media
massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya
adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya
media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa
telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan.
Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan
pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa
melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno
dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan,
keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam
keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif
teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter
bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian,
kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya
kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi
pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa
untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang.
Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama
makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media
massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan
melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu
mengatakan, media elektronik di Indonesia, khususnya
televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam
pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik.
Namun sebagian besar program televisi justru lebih
menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering
kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak
oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik

154

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh
dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik
untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di televisi
Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-
anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi
Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan
’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di
anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru
agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang
lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi,
khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu
guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku
santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak
menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi
Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang
ditanamkan di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di
sekolah.

Pendidikan Formal.

Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi,
diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter.
Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian
pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang
belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah
diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang
merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah
salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan
perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan
pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan

155

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak
terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau
mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan
formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian
terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada
pendidikan. Kegiatan pendidikan telah tereduksi menjadi
kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan
kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka.
Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya
’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk
menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu
terdidik.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek
pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam
pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan.
Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan
sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan
pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga
pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang
lainnya.

Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan
cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif
untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan
pelatihan untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap
sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang
dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi
proses-proses dan program-program yang dimaksudkan
untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di
pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan

156

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk
pendidikan.

BEBERAPA PERSYARATAN UNTUK
PENINGKATAN KONTRIBUSI PENDIDIKAN
FORMAL DALAM PEMBANGUN KARAKTER

Perubahan Model Mental Pembangunan Indonesia.

Ketiadaan atau kurangnya dana selama ini telah dijadikan
alasan klasik dari sumber kesulitan untuk meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia. Saya berpendapat bahwa
rendahnya anggaran untuk pendidikan di Indonesia selama
lebih dari tiga dekade, kurangnya perhatian terhadap
perbaikan mutu dan kesejahteraan guru adalah akibat dari
suatu ’keadaan’ yang lebih mendasar. Anggaran pendidikan
bukanlah akar masalah pendidikan. Akarnya terletak pada
model-mental pembangunan yang dipegang selama ini.
Secara singkat model-mental adalah ’internal picture of the
world’ [2]. Istilah model mental mengacu pada dua hal, yaitu
‘peta’ tentang dunia atau realitas, yang bersifat semi
permanen, yang ada pada ingatan jangka panjang seseorang,
dan persepsi jangka pendek yang dikembangkan oleh
seseorang sebagai bagian dari proses penalaran sehari-hari[3].
Model-mental ini bisa berbentuk kerangka teori, asumsi, atau
persepsi. Kapitalisme dan komunisme adalah dua model-
mental yang sangat berbeda (bahkan antagonistik) mengenai
kesejahteraan manusia. Demikian model-mentalnya berbeda
maka kebijakan yang dikeluarkanpun akan sangat berbeda,
termasuk kebijakan pengalokasian anggaran.

157

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Selama ini, cara pandang atau model-mental yang diterapkan
memperlakukan pengembangan kualitas manusia dan
masyarakat hanya sebagai salah satu sektor pembangunan
saja. Model-mental pembangunan yang diperlukan adalah
model mental yang memposisikan pengembangan kualitas
manusia dan masyarakat sebagai inti atau poros penggerak,
atau penghela dan pendorong utama dari kemajuan bangsa
ini di masa depan. Dalam cara pandang seperti ini
pembangunan industri berarti membangun masyarakat
industri dalam arti masyarakat yang cerdas menciptakan dan
memanfaatkan teknologi, produktif, sedia bekerja keras,
bukan hanya membangun pabrik-pabrik yang bersifat
pembangunan fisik. Demikian juga pembanguan pariwisata
berarti usaha membangun masyarakat yang kreatif, punya jati
diri budaya, punya kebiasaan hidup bersih, terbuka, dan bisa
menjadi pelaku utama dan memanfaatkan peluang dari
kemajuan pariwisata dunia, bukan hanya pembanguan hotel-
hotel dan menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek
wisata. Model mental pembangunan yang berpusat pada
kualitas manusia inilah yang menjadi dasar kebijakan yang
menyebabkan negara-negara seperti Malaysia dan Korean
mengalokasikan anggaran untuk investasi besar-besaran
dalam peningkatan kualitas manusia melalui pendidikan.

Dengan cara pandang baru ini, maka manusia dan masyarakat
bukan hanya sumber daya yang diperlakukan seperti sumber
daya lainnya, namun manusia adalah insan yang utuh, subyek
pembangunan (bukan obyek pembangunan), dan masyarakat
adalah komunitas-insani. Dalam cara pandang ini, pendidikan
tidak hanya mengembangkan kompetensi, namun yang tidak
kalah pentingnya adalah mengembangkan hal-hal yang
melampaui kompetensi seperti karakter, cita-cita, semangat,
dan kepekaan nurani. Pada masyarakat yang sedang dalam
proses transisi seperti di Indonesia sekarang ini, masih banyak

158

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

masalah yang dihadapi dalam penegakaan hukum dan
keadilan; sistem-sistem pemerintahaan belum dikembangkan
dengan baik, aturan main dalam bisnis masih harus ditata.
Dalam keadaan seperti itu, peran karakter sangat penting.
Lubang-lubang untuk korupsi dan perbuatan yang merugikan
masyarakat lainnya masih sangat banyak. Sebab itu negara
memerlukan masyarakat yang anggotanya punya karakter
kuat dan baik. Anggota masyarakat seperti ini akan tidak
mudah tergoda untuk mencari atau memanfaatkan kelemahan
dalam sistem-sistem yang ada untuk melakukan hal-hal yang
merugikan masyarakat.

Perubahan dalam Ukuran Keberhasilan Pendidikan.

Agar pendidikan formal lebih besar perannya dalam
pengembangan karakter maka ukuran keberhasilan dalam
melaksanakan dan membangun pendidikan haruslah
memasukan dimensi karakter didalamnya. Sekarang ini
ukuran keberhasilan yang diterjemahkan dalam evaluasi hasil
pendidikan boleh dikatakan hanya menyertakan unsur-unsur
kompetensi tertentu saja. Ujian Nasional yang berlaku
sekarang ini, secara implisit diartikan bahwa keberhasilan
pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas hanya
ditentukan oleh nilai dalam tiga mata pelajaran saja, yaitu
nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.

Hal yang serupa terjadi juga di banyak perguruan tinggi.
Pimpinan dan para staf akademik sebuah perguruan tinggi
terkemuka mengeluh bahwa lulusannya sangat kurang dalam
soft skill, seperti kurang bisa bekerja-sama dalam tim, kurang
empati, sangat egosentris, cenderung arogan, dan mau
menang sendiri. Keluhan ini sebenarnya tidak perlu
dikemukakan, karena di perguruan tinggi ini ukuran

159

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

keberhasilan adalah selesai tepat waktu dan IP yang tinggi. Ini
tidak berarti bahwa selesai tepat waktu dan IP yang tinggi itu
tidak perlu, kedua hal tersebut memang perlu. Namun,
apabila hanya kriteria itu yang dipentingkan, maka jangan
heran bahwa lulusannya kurang bisa bergaul, banyak yang
tidak jujur, atau menjadi pengusaha yang tanpa tanggung
jawab sosial. Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada
waktu wisuda memberikan piagam penghargaan kepada
mahasiswa yang prestasi akademiknya tinggi, dan juga
kepada para mahasiswa yang prestasinya dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat sangat baik. Cara penghargaan
seperti ini secara langsung menyampaikan pesan kepada para
mahasiswa bahwa pintar secara akademik itu penting, namun
juga tidak kalah pentingnya adalah berkontribusi untuk
kesejahteraan orang banyak. Selama dimensi karakter tidak
menjadi bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan,
selama itu pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam
pembangunan karakter.

Perubahan Cara Pandang Mengenai Sekolah: Sekolah
Adalah Sebuah Komunitas, Bukan Mesin atau Pabrik.

Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau
memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid
dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam
sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang
bernama guru atau dosen yang bekerja menurut sebuah
program produksi yang namanya kurikulum. Dalam konsep
pabrik, ’bahan baku’ tak punya hak untuk menentukan.
Mereka ditentukan. Dosen atau pimpinan akademik bahkan
menentukan seorang mahasiswa sebaiknya masuk ke jurusan
atau program studi mana. Pandangan sekolah atau perguruan
tinggi sebagai mesin ini tidak akan banyak berkontribusi

160

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

dalam pembangunan karakter, karena cara pandang seperti
ini membendakan manusia.

Untuk berperan dalam pembangunan karakter, sekolah atau
perguruan tinggi hendaknya dilihat sebagai komunitas insani,
di mana siswa/mahasiswa, guru atau dosen, semuanya
adalah anggota komunitas yang punya tanggung jawab.
Anggota komunitas adalah orang yang punya hak untuk
memilih dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari
pilihannya. Di sini, siswa atau mahasiswa tidak diperlakukan
sebagai sederet gelas kosong untuk diisi dengan cara yang
seragam, namun diperlakukan sebagai individu yang
memiliki potensi keunggulan yang beragam. Komunitas akan
menjadi persemaian agar keunggulan ini mekar dan tumbuh
subur. Dalam sebuah komunitas, kualitas dan intensitas
interaksi diantara anggota komunitas sangat penting. Di
samping itu, sebuah komunitas punya tata-nilai yang wajib
dijadikan pedoman oleh semua anggota komunitas. Pada
sebuah komunitas, para anggotanya belajar membedakan
yang baik dari yang tidak baik, yang pantas dari yang tidak
pantas. Dalam sebuah komunitas orang belajar norma-norma
sosial, yang dapat menjadi salah satu sumber dalam
pembentukan karakter.

Guru dan Kepala Lembaga Pendidikan sebagai
Pemimpin Transformasional.

Pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi tidak
akan banyak berkontribusi pada pembangunan karakter
apabila kepala lembaga pendidikan hanya melihat perannya
dan melakukan tugas sebagai administrator, dan guru atau
pengajar hanya melihat peran dan melakukan tugasnya hanya
sebagai pengalih pengetahuan. Pendidikan untuk

161

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

pembangunan karakter memerlukan pimpinan lembaga
pendidikan dan pengajar yang juga berperan sebagai
pemimpin transformasional, dan sebagai pembangun
komunitas.

Sebagai pemimpin transformasional, kepala lembaga
pendidikan dan pengajar mengembangkan substansi, proses
dan suasana pembelajaran yang mencerahkan, menumbuhkan
inspirasi, mengembangkan kepercayaan diri, menunjukkan
kepedulian, dan menggugah siswa atau mahasiswa untuk
merumuskan atau menetapkan prinsip dan cita-cita hidup
mereka masing-masing. Para pengajar mendorong para siswa
atau mahasiswa untuk mengidentifikasikan atau memikirkan
hal-hal yang berarti atau bermakna dalam kehidupan mereka.

Sebagai pembangun komunitas, kepala lembaga pendidikan
dan pengajar berperan sebagai perekat, sebagai fasilitator,
dalam meningkatkan kualitas dan intensitas interaksi diantara
sesama anggota komunitas. Mereka perlu memberi perhatian
pada pengembangan suasana atau iklim belajar yang
mendorong dan memudahkan para siswa atau mahasiswa
memunculkan potensi terbaik yang mereka miliki.

Menjadikan Semua Mata Pelajaran Sebagai Wahana
Untuk Pengembangan Karakter.

Pendidikan untuk pembangunan karakter hendaknya tidak
diartikan sebagai membuat satu mata pelajaran baru dengan
nama ’pembangunan karakter’. Pada dasarnya semua mata
pelajaran yang diajarkan dapat dipakai wahana untuk
mengembangkan karakter. Semua pelajaran dapat
dimanfaatkan untuk menggugah, untuk memberi inspirasi,

162

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

dan membuka kesempatan pada siswa dan para mahasiswa
untuk meningkatkan kepercayaan diri, kegigihan, kejujuran,
kedermawanan, optimisme dan karakter baik lainnya. Apabila
dalam sebuah mata pelajaran, seorang siswa atau mahasiswa
diberi kesempatan untuk mempresentasikan pendapatnya
atau hasil observasi, atau hasil percobaannya di depan kelas,
maka hal itu akan meningkatkan kepercayaan diri siswa atau
mahasiswa yang bersangkutan. Apabila siswa atau mahasiswa
bekerja dalam kelompok, mereka akan punya kesempatan
untuk mengembangkan kebiasaan berbagi atau belajar toleran
terhadap keanekaragaman.

Suasana Pembelajaran yang Apresiatif.

Suasana pendidikan di Indonesia sangat miskin apresiasi. Para
pengajar sulit sekali menghargai atau memberi apresiasi
terhadap keberhasilan atau kemajuan yang dicapai oleh para
siswa atau mahasiswa. Para pengajar biasanya diam saja atau
tidak mengatakan apa-apa apabila ada siswa atau
mahasiswanya melakukan hal-hal yang baik. Mereka lebih
suka melihat atau menyoroti atau mengomentari kekurangan
yang ada pada seorang siswa atau mahasiswa. Secara umum,
para pengajar lebih suka memberi umpan balik negatif
daripada umpan balik positif, atau lebih suka menghukum
daripada menghargai.

Pengembangan suasana apresiatif justru memilih cara
pendekatan sebaliknya. Pendekatan apresiatif didasarkan atas
pandangan bahwa karakter atau kebiasaan baik lebih mudah
dan cepat dikembangkan dengan mengapresiasi kebajikan
dan kekuatan yang ada pada seseorang, bukan dengan
menyoroti keburukannya atau kelemahannya. Pendekatan ini
tidak hanya mencari hal-hal baik atau keberhasilan yang

163

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

menonjol atau spektakuler, namun memperhatikan kebaikan
atau kekuatan atau keberhasilan sekecil apapun yang dimiliki
atau telah dilakukan oleh seseorang dan mengapresiasinya.
Beberapa penelitian di Institut Teknologi Bandung
menunjukkan bahwa lingkungan yang apresiatif menguatkan
rasa-mampu (self efficacy) atau rasa percaya diri [4], dan
menguatkan perilaku inovatif pada seseorang [5].

Bagaimana dengan kelemahan atau kebiasaan buruk yang ada
pada seseorang? Apakah akan dibiarkan? Pendekatan ini
meyakini bahwa kalau kebiasaan baik pada seseorang
berkembang, kebiasaan buruknya akan berkurang. Ini adalah
bagian dari strategi pembangunan karakter dengan bertumpu
pada kekuatan dan kebajikan.

Lingkungan yang Menyediakan Ruang Luas untuk
Melakukan Eksperimen dan Melakukan Eksplorasi.

Di samping suasana yang apresiatif, perlu dikembangkan
lingkungan yang memberi ruang yang luas bagi siswa atau
mahasiswa bereksperimen dengan dirinya dan melakukan
eksplorasi terhadap lingkungannya, khususnya lingkungan
sosialnya. Untuk itu, kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang
dirancang dan dilaksanakan oleh para siswa atau mahasiswa
menjadi sangat penting artinya. Kegiatan seperti ini bisa
diorganisasikan dalam OSIS, Himpunan Jurusan, Dewan
Mahasiswa (dimasa lalu), Kabinet Mahasiswa, dan Unit-unit
Aktivitas yang menjadi tempat bagi para siswa dan
mahasiswa yang punya minat yang sama dalam bidang
kesenian, olahraga, pendidikan, kewirausahaan dan yang
lainnya untuk menyalurkan bakat atau minatnya melalui
kegiatan yang terorganisasi.

164

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

Organisasi yang sifatnya ekstrakurikuler seperti ini adalah
ranah yang sangat baik bagi para siswa atau mahasiswa untuk
belajar mengambil tanggung jawab dalam mendidik dirinya
sendiri dan saling mendidik diantara rekan sejawat. Ini adalah
komunitas di mana seorang siswa atau mahasiswa
menjalankan agenda pendidikan dirinya sendiri. Menurut
pendapat penulis, hasil utamanya bukan hanya siswa atau
mahasiswa yang lebih terampil pada bidang yang ditekuninya
dalam olahraga, kesenian, atau bidang-bidang lain, namun
mereka menjadi lebih matang. Dengan terlibat aktif dalam
kegiatan kesiswaan atau kemahasiswaan, seorang siswa atau
mahasiswa belajar mengemukakan gagasannya, belajar
melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, belajar
meyakinkan orang lain, belajar memimpin orang lain, belajar
memimpin diri sendiri, belajar menjadi pengikut orang lain,
belajar menghargai orang lain, belajar berbagi, belajar
berkontribusi, belajar menghargai perbedaan, belajar
berempati, belajar memegang nilai-nilai atau prinsip-prinsip
hidup, belajar membuat rencana, belajar melaksanakan
rencana yang sudah dibuat, belajar mengakui kelebihan orang
lain, belajar mengakui kekurangan diri sendiri, belajar
menjadi pemenang yang rendah hati, belajar menerima
kekalahan dengan lapang dada, belajar bersikap sportif.
Secara singkat, seorang siswa atau mahasiswa dapat
memanfaatkan organisasi kesiswaan atau kemahasiswaan
untuk tempat pengembangan kematangan sosial. Ini adalah
tempat yang dapat dipakai untuk mengasah diri dalam
mengembangkan cita-cita hidup, karakter dan kecakapan
sosial. Dalam unit-unit kegiatan dan organisasi kesiswaan
atau kemahasiswaan, seorang siswa atau mahasiswa bisa
memperoleh hal-hal yang tidak diperolehnya di dalam kelas
dan pengalaman menjadi aktivis dalam organisasi
ekstrakurikuler sering dirasakan menjadi salah satu faktor

165

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan
seseorang sesudah menyelesaikan studinya.

Investasi Besar-besaraan Pada Peningkatan Mutu Guru.

Tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa guru yang
bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang
pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan
Tinggi. Mengharapkan perbaikan mutu pendidikan tanpa
perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama
tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga
negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi (baik dari manfaat sosial maupun manfaat
ekonomik), dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya.
Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan
ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun
terakhir ini saya berani menyatakan bahwa secara umum para
guru dan kepala sekolah pada tingkat SMA dan SMP, bekal
mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua bidang
yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang baik
di awal abad 21 ini. Sekarang ini, guru-guru dan kepala
sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda serta
paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan
karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara
negara kita menangani pendidikan selama ini. Perbaikan
mutu ini tidak ada hubungannya dengan sertifikasi guru.

Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain
di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan
masyarakat terhadap profesi guru dan menjadikan profesi
guru sebagai pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda
yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah

166

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi
tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu
guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan
masyarakat ‘memberi’ hanya sedikit kepada para guru,
pemerintah dan masyarakat menuntut sangat banyak dan
tuntutannya makin meningkat, khususnya dalam hal mutu
pendidikan. Kalau ada pihak yang tidak puas dengan mutu
pendidikan, sering sekali yang dijadikan kambing hitam
adalah para guru.

Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam
bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai
melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu
guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung
tombak dan pelaku utama dalam peningkatan mutu
pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap
penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan
suasana birokratik serta suasana feodalistik di lembaga-
lembaga dan dinas-dinas pendidikan yang mengekang
mereka untuk mengeluarkan potensinya yang terbaik.
Kesejahteraan guru memang issue besar, namun peningkatan
kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak
terpisahkan dari peningkatan mutu guru.

PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN
KARAKTER: MULAI DARI MANA ?

Mulai dengan yang Paling Dibutuhkan

Pembangunan karakter tidak hanya untuk sebuah idealisme
namun hal ini juga hendaknya memiliki makna nyata dalam

167

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

membangun kesejahteraan hidup masyarakat. Sebab itu,
pembangunan karakter pada tataran individu dan tataran
masyarakat luas perlu bersifat kontekstual. Artinya, untuk
Indonesia, karakter utama apa saja yang perlu dikuatkan agar
bangsa Indonesia lebih mampu secepat mungkin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Paterson dan Seligman, mengidentifikasikan 24 jenis karakter
yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter ini
diakui sangat penting artinya dalam berbagai agama dan
budaya di dunia. Dari berbagai jenis karakter, untuk
Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting dan
sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu:
kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan,
semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat
diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah
besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia
selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang
berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat
kerja dan semangat belajar yang rendah.

Lima jenis karakter ini hendaknya menjadi tema
pengembangan karakter pada tataran nasional, tidak hanya
pada tataran individual. Artinya, seluruh substansi, proses,
dan iklim pendidikan di Indonesia, secara langsung atau tidak
langsung hendaknya menyampaikan pesan yang jelas kepada
setiap warga negara, apapun latar belakang suku, agama, ras
dan golongan mereka, bahwa tidak ada bangsa Indonesia
yang sejahtera, berkeadilan dan bermartabat di masa depan
tanpa kemampuan untuk bersatu dan maju bersama dalam
kebhinekaan, tanpa kejujuran, tanpa kepercayaan diri, tanpa
belajar dan tanpa kerja keras. Dari lima karakter tersebut tidak
ada yang sangat spesifik Indonesia, karena bangsa-bangsa
lainpun mencapai kemajuan lewat usaha yang sungguh-
sungguh untuk membangun negara yang relatif bersih dari

168

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

korupsi, belajar memanfaatkan kebhinekaan sebagai kekuatan,
belajar memecahkan konflik secara damai, terbuka untuk
belajar dari mana saja, dan kerja keras. Masalahnya adalah
bahwa Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya selama
setengah abad terakhir ini telah mengalami kemerosotan yang
luar biasa dalam lima karakter yang paling dasar yang
diperlukan untuk menghela kemajuan dan kemakmuran
bangsa.

1. Membangun dan Menguatkan Kesadaran mengenai
akan Habis dan Rusaknya Sumber Daya Alam
Indonesia.

Sumber daya alam kini sudah tidak bisa lagi dijadikan
tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kalau Indonesia
belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru
yang bersumber pada kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas,
dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan
tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di
dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita
akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata
lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era
modern. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan
dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dilakukan
dengan cara-cara yang sangat elegan, seperti membanjiri pasar
Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif,
mempengaruhi cara berpikir serta kebijakan-kebijakan
pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi
sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk
seperti itu.

Kesadaran di atas perlu dibangun dan diperkuat pada setiap
warga masyarakat, pada anak-anak, pada pemuda, pada

169

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

orang tua, di semua daerah, di semua sektor kehidupan.
Membangun kesadaran baru ini adalah langkah utama dalam
upaya bangsa ini untuk mendidik dirinya sendiri,
mengembangkan semangat belajar, dan semangat kerja. Ini
menjadi tugas setiap orang, apapun peran dia: orang tua,
guru, jurnalis, pejabat negara, politisi, pegawai pemerintah,
aktivis LSM, pengusaha, pekerja swasta, rohaniwan.

2. Membangun dan Menguatkan Kesadaran serta
Keyakinan Bahwa Tidak Ada Keberhasilan Sejati di
Luar Kebajikan.

Pada banyak orang di Indonesia sekarang ini berkembang
pandangan bahwa kejujuran akan menjadi penghambat dalam
mencapai keberhasilan usaha atau pengembangan karir.
Pandangan ini banyak dianut di lingkungan orang-orang yang
bekerja di lingkungan birokrasi pemerintah dan perusahaan
yang banyak mendapat proyek dari pemerintah. Pandangan
seperti ini nampaknya didasarkan pada pengamatan tentang
adanya orang-orang yang dikenal jujur lalu ’tidak dipakai’ di
kalangan birokrasi dan banyak media menampilkan tokoh
yang disebut ’berhasil’ namun di mata publik tokoh tersebut
dianggap berbisnis dengan tidak mengindahkan etika dan
memanfaatkan koneksinya dengan para pemegang
kekuasaan. Dalam menjalankan fungsinya untuk membangun
karakter, tugas besar pendidikan di Indonesia adalah
membongkar pandangan seperti ini. Pendidikan di Indonesia
dengan cara-cara yang kreatif hendaknya dapat membangun
kesadaran dan keyakinan pada guru dan siswa atau
mahasiswa bahwa dalam kehidupan ini tidak ada
keberhasilan sejati di luar kebajikan; bahwa kehidupan yang
membawa rahmat bagi masyarakat luas adalah kehidupan
yang dibangun dengan kebajikan, dan salah satu dari
kebajikan tersebut adalah kejujuran. Proses dan lingkungan

170

———————————— Pendidikan Membangun Karakter —————————————

pendidikan hendaklah dapat menumbuhkan dan menguatkan
kesadaran dan keyakinan bahwa tidak ada cara yang benar
untuk melakukan hal yang salah (there is no right way to do the
wrong things); bahwa keberhasilan seseorang tidak semata-
mata ditentukan oleh apa yang dia capai, tetapi juga oleh cara-
cara mencapainya. Pendidikan hendaknya dapat menjauhkan
masyarakat Indonesia dari sikap ’tujuan menghalalkan cara’.

3. Membangun Kesadaran dan Keyakinan bahwa
Kebhinekaan Sebagai Hal yang Kodrati dan Sumber
Kemajuan.

Hanya sedikit sekali bangsa di dunia yang dianugrahi
kebhinekaan seperti Indonesia. Indonesia sangat bhineka dari
berbagai aspek: flora, fauna, suku, adat istiadat, bahasa,
agama dan sistem kepercayaan. Kebhinekaan dalam
kehidupan di bumi ini adalah hal yang kodrati. Kebhinekaan
secara biologis telah menjadi sumber kekuatan. Bibit-bibit
unggul atau generasi baru yang lebih baik, lahir dari
persilangan beraneka jenis species atau varietas. ’Persilangan’
dari varietas yang sama tidak akan membawa keunggulan,
bahkan akan mewariskan kelemahan. Kehidupan di dunia ini
tidak akan berlangsung lama apabila tidak ada kebhinekaan,
atau apabila hanya ada sejenis tumbuhan, atau sejenis hewan,
sejenis manusia, dan semuanya berfikir dengan cara yang
sama.

Dalam pendidikan formal ini berarti, substansi, sistem, dan
lingkungan pendidikan perlu secara sistematik mencegah
tumbuhnya arogansi sosial yang didasari keyakinan agama,
suku, atau golongan atau ras, mencegah berkembangnya
eksklusifisme, kecenderungan bersikap diskriminatif dan
pada saat yang sama menganjurkan berkembangnya

171

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

inklusivisme. Pendidikan hendaknya memberikan perhatian
yang lebih besar pada upaya menemukan kesamaan di
tengah-tengah perbedaan, bukan sebaliknya justru hanya
membesar-besarkan perbedaan dan mengabaikan kesamaan.

4. Membangun Kesadaran dan Menguatkan Keyakinan
Bahwa Tidak Ada Martabat yang Dapat Dibangun
dengan Menadahkan Tangan.

Berpuluh-puluh tahun Indonesia menyandarkan
pembangunan ekonominya pada hutang luar negeri. Setiap
tahun, selama lebih dari 30 tahun pejabat tinggi republik ini
berramai-ramai pergi ke luar negeri untuk minta kerelaan
para pemilik dana untuk bersedia meminjamkan uangnya
kepada Indonesia; pinjaman ini ‘dibungkus’ dengan nama
bantuan kepada Indonesia. Hal yang mengganggu bukanlah
hutangnya, namun sikap sebagian dari pejabat Indonesia
ketika mendapatkan hutang. Di media massa, selama
bertahun-tahun ditimbulkan kesan bahwa misi para pejabat
ini makin berhasil apabila pinjamannya makin besar. Para
pembesar lebih bangga kalau dapat hutang lebih besar.
Karena ’pesan’ seperti ini terus menerus disampaikan melalui
media massa dan diikuti atau didengarkan oleh masyarakat
luas, lama-kelamaan terjadi anggapan bahwa menadahkan
tangan itu normal, bahkan membanggakan. Pendidikan untuk
membangun karakter bangsa harus mengikis pandangan
seperti ini. Substansi, proses dan lingkungan pendidikan
hendaknya menjauhkan generasi muda Indonesia, masyarakat
Indonesia pada umumnya, dari kebiasaan hidup menadahkan
tangan, dan membangun keyakinan bahwa seseorang atau
suatu bangsa tidak akan pernah menjadi orang atau bangsa
yang bermartabat, apabila orang atau bangsa bersangkutan
senang menadahkan tangan, atau hidup dengan meminta dari
orang atau bangsa lain. Sebaliknya, pendidikan haruslah

172


Click to View FlipBook Version