The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Widya Pustaka SMP N 5 Melaya, 2022-05-23 01:41:52

Jangan Memanjat Pohon yang Salah

Jangan Memanjat Pohon yang Salah

Keywords: Pohon,Salah

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

dengan semangat kerja yang rendah, maka sudah dapat
dipastikan bangsa Indonesia akan menjadi salah satu bangsa
yang akan dipandang sebelah mata dalam pergaulan
internasional. Bahkan mungkin bisa lebih buruk lagi, bangsa
Indonesia akan menjadi salah satu beban besar bagi bangsa-
bangsa lain, mejadi bangsa yang hanya bisa menghidupi
rakyatnya kalau ada belas kasihan dari bangsa lain. Dan perlu
dicatat, kalau pertumbuhan penduduk tetap berjalan seperti
sekarang, 25 tahun dari sekarang penduduk Indonesia sudah
akan mencapai sekitar 300 juta orang. Pengalaman selama 35
tahun terakhir ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak
memanfaatkan pendapatan yang berasal dari sumber daya
alam dengan baik, khususnya pendapatan yang besar ini
tidak dipakai dengan cepat untuk meningkatkan kualitas
manusia dan masyarakat, khususnya memeperbaiki tingkat
kecerdasan masyarakat melalui pendidikan dalam arti luas.
Kecerdasan masyarakat inilah yang menjadi salah satu
sumber utama kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi
modern, dan kecerdasan ini selalu bisa diperbaharui. Tiga
ratus juta rakyat yang tidak cerdas akan menjadi beban besar,
tidak hanya bagi Indonesia namun juga bagi masyarakat
dunia. Namun 300 juta rakyat yang cerdas akan menjadi
sumber kesejahteraan. Jadi, inilah tantangan besar dunia
pendidikan di Indonesia, mengubah beban menjadi sumber
kekayaan, membangun masyarakat Indonesia yang siap
mengahadapi keadaan yang paling buruk karena sudah
habisnya sumber daya alam. Waktu yang tersedia sebenarnya
tidak banyak. Dalam 25 tahun cadangan minyak bumi
Indonesia sudah akan menyusut drastis (untuk tidak
mengatakan habis). Kalau Indonesia masih memperlakukan
dunia pendidikan seperti di masa lalu untuk 25 tahun yang
akan datang, maka Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli
rendahan, dan kesempatan untuk menjadi bangsa yang
terpandang di dunia nampaknya akan tertutup.

73

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Menyiapkan Masyarakat Menjadi Masyarakat yang Lebih
Dewasa.

Enam puluh tahun setelah memproklamasikan kemerdekaan,
masyarakat Indonesia masih harus belajar menjadi
masyarakat yang lebih dewasa. Berikut ini adalah beberapa
ciri dari masyarakat yang dewasa:

• Memecahkan perbedaan pendapat dengan cara-cara
damai. Perbedaan pendapat bahkan konflik adalah realita
kehidupan yang dijumpai di negara atau masyarakat
manapun. Namun demikian ada masyarakat yang punya
kecenderungan memecahkan perbedaan pendapat atau
konflik di dalam masyarakatnya dengan menggunakan
kekerasan, ada masyarakat yang cenderung memilih cara-
cara cerdas untuk memecahkan perbedaan pendapat atau
konflik secara damai. Masyarakat yang lebih dewasa
memilih cara-cara damai.

• Berusaha mencari pijakan-bersama untuk tumbuh dan
berkembang bersama di tengah-tengah kebhinekaan. Di
samping berusaha memecahkan konflik secara damai,
masyarakat dewasa berusaha mencarai pijakan-bersama
di tengah-tengah kebhinekaan atau keaneka ragaman,
dan mencoba menjadikan kebhinekaan sebagai sumber
kekuatan bukan sebagai sumber permasalahan.

• Belajar dari manapun. Masyarakat dewasa pada dasarnya
adalah masyarakat terbuka, masyarakat yang bersedia
belajar hal-hal yang baik darimanapun dan selalu
berusaha memperbaiki diri. Masyarakat dewasa bukan
masyarakat tertutup yang merasa tidak perlu belajar lagi.

• Mengambil tanggung jawab sendiri atas masa depannya.
Masyarakat dewasa beusaha kuat untuk memegang
kendali atas masa depannya dan tidak membiarkan
kendali itu berada di tangan pihak lain. Di samping itu,

74

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

masyarakat dewasa menghindari kebiasaan mencari
kambing hitam, menyalahkan pihak lain apabila ada yang
tidak diharapkan terjadi pada dirinya sendiri.

• Mengatur diri-sendiri (self regulating). Masyarakat yang
lebih dewasa mengambil tanggung jawab yang lebih
besar untuk mengatur atau menertibkan dirinya sendiri.
Anggota masyarakat dewasa mengatur diri sendiri atas
dasar pertanggungjawaban moral kepada diri sendiri
dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat luas.

Meritokratis. Masyarakat meriktokratis beranggapan bahwa
keberhasilan atau kesejahteraan yang baik adalah hasil usaha
atau kerja keras, bukan pemberian dari orang lain atau
mengambil hak orang lain dengan melanggar pertimbangan
moral. Masyarakat meritokratis menjauhi sikap ‘makan siang
gratis’.

Membangun Bangsa yang Bisa Dipercaya.

• Membebaskan bangsa ini dari posisi sebagai salah satu
negara yang terkorup di dunia. Semua orang tahu bahwa
korupsi adalah salah satu penyakit terbesar Indonesia.
Gelar sebagai salah satu negara yang korupsinya paling
tinggi di dunia tidak hanya menyebabkan hilangnya
kebanggaan sebagai warganegara Indonesia, namun juga
mengahambat seluruh proses untuk mencapai kemajuan
dan kesejahteraan bangsa ini. Tanpa harus menjadi
seorang ahli ekonomi, seseorang dapat mengatakan bahwa
kesejahteraan di era ekonmi pengetahuan sekarang ini
memerlukan dua prasyarat utama yaitu manusia dan
masyarakat yang bermutu dan pemerintahan yang bersih.
Tanpa dua prasyarat tersebut maka kesejahteraan yang
dibangaun hanya bersifat sementara atau semu.. Korupsi
terjadi karena lemahnya karakter, bukan karena

75

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

kurangnya kompetensi. Orang-orang dengan kompetensi
tinggi namun tanpa karakter yang baik dapat menjadi
koruptor yang sangat canggih sehingga korupsinya sulit
sekali dibuktikan.

• Membangun institusi yang punya kredibilitas. Di samping
warga yang cerdas dan berkarakter baik, sebuah bangsa
juga memerlukan institusi yang baik. Institusi ini meliputi
institusi pemerintahaan, institusi di sektor swasta maupun
lembaga kemasyarakatan. Lima puluh tahun lamanya
Indonesia terpana pada konsep pemimpin yang kuat
sehingga mengabaikan pembangunan masyarakat dan
institusi. Korupsi di Indonesia mulainya di institusi
pemerintahan dan terus menjalar ke instusi di sektor
swasta dan lembaga kemasyarakatan.

Membangun Kembali Kepercayaan Diri dan Idealisme
Bangsa

Krisis besar yang menerpa bangsa Indonesia pada akhir tahun
1997, ketergantungan terhadap hutang luar negeri, dan
tingkat korupsi di Republik ini yang masih berada pada
tingkat tertinggi di dunia, telah menurunkasn kebanggaan
kita sebagai bangsa Indonesia. Bersama dengan itu, susut juga
rasa percaya diri masyarakat kita, khususnya kepercayaan
bahwa kita akan bisa membangun masyarakat yang maju dan
bermartabat. Sebagian dari masyarakat kita bahkan sudah
mulai mempercayai bahwa korupsi memang sudah menjadi
ciri bangsa Indonesia sejak dulu kala, dan harus diterima dan
tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk memberantasnya.
Secara perlahan-lahan kita mulai menerima bahwa kita
memang bangsa kelas dua atau kelas tiga, yang peringkat
kemampuannya memang di bawah bangsa lain di sekitar kita.

76

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

Hilangnya rasa percaya diri dan menerima (dalam hati) posisi
sebagai bangsa kelas dua diantara bangsa2 di dunia sangatlah
berbahaya. Sebab dari penerimaan ini akan terjadi fenomena
‘self fulfilling prophecy’: bangsa yang merasa tidak mampu
benar-benar akan menjadi tidak mampu dan bangsa yang
merasa kelas dua, benar-benar akan menjadi bangsa kelas dua
atau bahkan bangsa kelas tiga atau kelas empat, bangsa yang
merasa sebagai pecundang benar-benar akan menjadi
pecundang. Sebab itu, pendidikan di Indonesia hendaknya
dapat mengembalikan kepercayaan diri bangsa kita. Kalau
Malaysia dan Korea bisa, mengapa kita tidak bisa? Kita bisa,
kalau kita mau dan berusaha keras. Potensi masyarakat
Indonesia tidak kalah dari potensi masyarakat lain.
Pendidikan di Indonesia hendaknya mejadi media untuk
membangkitkan kembali idealisme bangsa ini dalam arti
menyalakan kembali aspirasi untuk menjadi bangsa yang
terpandang, bangsa yang bermartabat, dan bangsa yang
disegani, serta sangat diperhitungkan dalam pergaulan
negara-negara di dunia.

Memupuk Rasa Kebangsaan.

Sedikit negara di dunia yang mewarisi keanekaragaman
seperti Indonesia. Sungguh suatu kecerdasan yang luar biasa
ketika para pemuda pejuang kemerdekaan pada tanggal 28
Oktober 1928 mengumandangkan Sumpah Pemuda. Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Nasional telah menjadi perekat yang
luar biasa dalam pertumbuhan rasa kebangsaan di Indonesia.
Kita tidak bisa membayangkan betapa besarnya masalah yang
akan dihadapi oleh Indonesia apabila tidak ada bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Namun demikian, perlu disadari, bahwa proses belajar
bersama untuk tumbuh bersama sebagai sebuah bangsa
dengan tetap menjaga kebhinekaan belum selesai, dan masih
akan terus berlangsung. Krisis-krisis besar yang dihadapi

77

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

bangsa Indonesia yang bahkan sampai mengancam integritas
bangsa kita menunjukkan betapa banyaknya pekerjaan rumah
yang masih harus dilakukan oleh generasi sekarang dan
generasi yang akan datang untuk memantapkan kemampuan
hidup bersama sebagai satu bangsa ini.

Memupuk perasaan sebagai satu bangsa ini sangat diperlukan
agar masyarakat kita tidak menghabiskan energinya untuk
menciptakan dan memecahkan konflik diantara sesama
komponen bangsa. Memupuk perasaan sebagai satu bangsa
dalam tataran praktis berarti menumbuhkan kesadaran dan
pengertian bahwa kita saling membutuhkan, bahwa kita
saling tergantung, bahwa kita hanya bisa maju bersama kalau
kita saling mendukung. Memupuk rasa kebangsaan berarti
juga menyadari kelemahan dan bahaya dari sikap ekslusif,
dan sikap diskriminatif.

PERUBAHAN PADA TATARAN KEBIJAKAN
YANG BERKAITAN DENGAN PENDIDIKAN
UNTUK MENGHADAPI MASA DEPAN

Membangun Kesadaran Baru

Perubahan besar dalam pendidikan mensyaratkan adanya
kesadaran baru di kalangan masyarakat Indonesia di semua
lapisan. Bangsa Indonesia perlu secara sistematik
membangun, mengembangkan dan menguatkan kesadaran
bahwa sumber daya alam yang tak terbarukan seperti
minyak, batubara, tembaga, mas dan bahan galian lainnya
suatu hari akan habis. Sumber daya alam ini sudah tidak bisa
lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan.

78

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

Kalau pada saat itu Indonesia belum berhasil menciptakan
tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan,
kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya,
maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang
paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa
depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain,
atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi
’negara jajahan’ di era modern. Memang proses penjajahan
kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu,
namun dengan cara-cara yang sangat elegan, dengan
membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang
lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta kebijakan-
kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral
generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan
buruk seperti itu.

Di samping itu kita perlu memperkuat kesadaran bahwa
Indonesia tidak akan mencapai kemajuan bersama dengan
cara menciptakan permusushan di antara kita sendiri, apakah
itu permusuhan antra suku, antar daerah, antar agama. Kita
perlu menerima realitas bahwa Indonesia adalah negara dan
bangsa penuh kebhinekaan, dan berusaha mendapatkan
yang terbaik dari keanekaragaman itu, bukan mengingkari
keanekaragaman tersebut dengan saling menutup diri. Tidak
sedikit bangsa di dunia menciptakan kesengsaraan bagi
dirinya sendiri dengan cara terus menerus menciptakan
konflik dan permusuhan diantara sesama warganya dan
akhirnya bangsa-bangsa seperti itu hanya bisa hidup atas
dasar belas kasihan bangsa-bangsa lain.

Kesadaran di atas dibangun dan diperkuat pada setiap warga
masyarakat, pada anak-anak, pada pemuda, pada orang tua,
di semua daerah, di semua sektor kehidupan. Membangun
kesadaran baru ini adalah langkah utama dalam upaya bangsa
ini untuk mendidik dirinya sendiri. Ini menjadi tugas setiap
orang, apapun peran dia : orang tua, guru, jurnalis, pejabat

79

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

negara, politisi, pegawai pemerintah, aktivis LSM, pengusaha,
pekerja swasta, rohaniwan.

Perubahan Model-mental Pembangunan.

Kesadaran baru saja belum cukup untuk memulai perubahan.
Perubahan kesadaran perlu diikuti oleh perubahan cara
pandang atau sikap. Dalam hal ini, cara pandang atau model
mental yang memperlakukan pengembangan kualitas
manusia dan masyarakat hanya sebagai salah satu sektor
pembangunan saja sudah tidak sesuai lagi. Model-mental
pembangunan yang diperlukan adalah memposisikan
pengembangan kualitas manusia dan masyarakat sebagai inti
atau poros penggerak, atau penghela dan pendorong utama
dari kemajuan bangsa ini di masa depan. Dalam cara
pandang seperti ini pembangunan industri berarti
membangun masyarakat industri dalam arti masyarakat yang
cerdas secara teknologi, produktif, sedia bekerja keras, bukan
hanya membangun pabrik-pabrik secara fisik. Demikian juga
pembangunan pariwisata berarti usaha membangun
masyarakat yang kreatif, punya jati diri budaya, punya
kebiasaan hidup bersih, terbuka, dan bisa menjadi pelaku
utama dan memanfaatkan peluang dari kemajuan pariwisata
dunia, bukan hanya pembanguan hotel-hotel dan menjadikan
masyarakat hanya sebagai obyek wisata.

Dengan cara pandang baru ini, maka manusia dan
masyarakat bukan hanya sumber daya yang diperlakukan
seperti sumber daya lainnya, namun manusia adalah insan
yang utuh, masyarakat adalah komunitas-insani. Dalam cara
pandang ini, pendidikan tidak hanya mengembangkan
kompetensi, namun yang tidak kalah pentingnya adalah
mengembangkan hal-hal yang melampaui kompetensi seperti
karakter, cita-cita, semangat, kepekaan nurani. Pada

80

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

masyarakat yang masih dalam proses transisi seperti
masyarakat Indonesia sekarang ini, di mana masih banyak
masalah yang dihadapi dalam penegakaan hukum dan
keadilan, sistem-sistem pemerintahaan belum dikembangkan
dengan baik, aturan main dalam bisnis masih harus ditata,
maka peran karakter sangat penting. Dalam masyarakat
seperti itu, lubang-lubang untuk korupsi dan perbuatan yang
merugikan masyarakat lainnya masih sangat banyak. Sebab
itu negara memerlukan masyarakat yang anggotanya punya
karakter baik. Anggota masyarakat seperti ini akan tidak
mudah tergoda untuk memcari atau memanfaatkan
kelemahan dalam sistem-sistem yang ada untuk melakukan
hal-hal yang merugikan masyarakat. Namun demikain, ini
tidak berarti bahwa kompetensi tidak diperlukan. Kompetensi
tetap diperlukan. Namun, orang-orang yang punya
kompetensi tetapi tanpa karakter akan menjadi beban dan
bukan menjadi berkah bagi orang-orang atau masyarakat di
sekitarnya.

Mendahulukan yang Harus Didahulukan:
Menghentikan Subsidi BBM.

Memperbaikin kualitas manusia dan masyarakat memerlukan
dana yang sangat banyak, dalam periode waktu yang lama.
Selama ini, kita, sekurang-kurangnya pemerintah merasa
bahwa Indonesia tidak punya cukup dana untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Permasalahan yang
sebenarnya bukan ketiadaan dana, namun pengunaan atau
penyaluran dana dengan prioritas yang sangat mengabaikan
pendidikan. Berpuluh-puluh tahun pemerintah Indonesia
dengan sukarela memakai anggarannya untuk memsubsidi
BBM. Subsidi bisa mencapai puluhan trilyiun rupiah, bahkan
bisa mencapai 35 tryliun rupiah setahun.

81

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Sudah sangat banyak pihak menyadari bahwa subsidi BBM ini

sangat tidak adil, khususnya bagi masyarakat yang

berpenghasilan rendah, baik yang tinggal di kota-kota

maupun di desa. Subsidi BBM ini, khususnya subsidi BBM

untuk kendaraan pribadi dan industri justru dinikmati oleh

kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan pemilik

modal karena merekalah yang memiliki mobil pribadi, kapal

pesiar pribadi, pesawat terbang pribadi, dan pemilik pabrik-

pabrik yang banyak memakai BBM. Kalau subsidi ini di bayar

oleh negara, artinya dibayar dengan dana yang menjadi milik

semua rakyat Indonesia, ini berarti bahwa dengan

menerapkan kebijakan subsidi ini orang-orang

berpenghasilan rendah justru harus membayar subsidi yang

dinikmati oleh orang-orang berpenghasilan tinggi. Kalau

produk yang dibuat oleh industri yang bahan bakarnya

disubsidi itu diekspor, maka kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah atau miskin Indonesia secara tidak

langsung mensubsidi konsumen di luar negeri. Konsumen

luar negeri ini mungkin termasuk konsumen di negara-negara

kaya yang pendapatan per kapitanya beberapa kali lipat lebih

besar dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia.

Untuk mudahnya, di sini dikatakan bahwa subsidi BBM
dibayar oleh pemerintah. Namun apabila dicermati lebih jauh,
yang membayar bukan pemerintah tetapi generasi yang akan
datang. Dengan menekan harga BBM lebih rendah dari harga
yang seharuanya, maka konsumsi BBM sekarang ini di
Indonesia cenderung akan meningkat. Karena harganya relatif
murah, maka para pemakai lebih mudah menghambur-
hamburkannya dan cadangan minyak bumi yang ada di
persada Indonesia akan lebih cepat terkuras. Padahal
cadangan tersebut seharusnya tidak hanya menjadi hak orang-
orang Indonesia yang hidup sekarang saja, namun juga hak
generasi yang akan datang. Jadi, dengan mensubsidi BBM

82

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

maka secara tidak langsung generasi sekarang ini secara tidak
adil telah mengambil (untuk tidak mengatakan merampas)
hak-hak generasi yang akan datang untuk menikmati
’kekayaan’ bumi Indonesia. Di samping itu, subsidi BBM
telah merangsang tumbuh dan berkembangnya
penyelundupan BBM keluar negeri. Selama ada perbedaan
harga yang besar antara BBM di Indonesia dengan BBM di
negara tetangga, maka penyelundupan akan tetap marak.
Kembali di sini, dengan menerapkan subsidi BBM, rakyat
kecil secara tidak langsung telah ikut memperkaya para
penyelundup.

Rakyat yang kurang mampu memang perlu mendapat
subsidi, namun subsidi hendaknya diberikan kepada orang
perorangan bukan terhadap komoditas. Pada daranya tidak
hanya subsidi BBM saja yang dapat menimbulkan ketidak
adilan. Semua bentuk subsidi terhadap komoditas, bisa
mengandung potensi besar untuk menimbulkan ketidak
adilan.

Meningkatkan Peran Masyarakat dan Sektor Swasta
Dalam Membiayai Pendidikan.

Upaya untuk memajukan pendidikan dalam rangka perbaikan
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia tidak bisa hanya
bertumpu pada dana pemerintah saja. Pengalaman di negara-
negara lain dan di Indonesia selama ini menunjukkan bawa
masyarakat dan sektor swasta dapat mengambil peran yang
besar dalam hal ini. Sebenarnya untuk Indonesia peran ini
bisa diperbesar lagi. Hal yang diperlukan adalah memberi
insentif yang lebih besar bagi masyarakat dan sektor swasta
apabila mereka bersedia ’menyumbangkan’ sebagian
kekayaan yang mereka miliki untuk pengembangan
pendidikan. Dalam hal ini diperlukan inovasi pada kebijakan

83

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

pemerintah agar masyarakat dan sektor swasta tertarik untuk
meyalurkan dananya untuk perbaikan pendidikan di
Indonesia. Misalnya perlu dijajagi kemungkinan untuk
pengembangan kebijakan perpajakan yang mendorong
anggota masyarakat dan sektor swasta merasa terpanggil dan
melihat manfaatnya untuk secara langsung ikut serta
membiayai pendidikan.

Memperbesar peran swasta dalam peningkatan mutu
pendidikan adalah hal yang sangat wajar, sebab sektor swasta
punya kepentingan langsung terhadap mutu lulusan
pendidikan. Sektor swastalah yang akan menerima manfaat
langsung dari sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga
kerja yang lebih bermutu dan sebaliknya sektor swstalah yang
juga paling dirugikan apabila mereka tidak mendapatkan
tenaga kerja yang bermutu. Dalam era ekonomi pengetahuan,
daya saing sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh
kemampuannya untuk menarik atau mendapatkan tenaga
kerja yang bermutu, serta mengembangkan mereka dalam
perusahaan, dan menciptakan lingkungan kerja yang
membuat mereka punya komitmen tinggi dan senang bekerja
di perusahaan.

Investasi pada Peningkatan Mutu Guru.

Tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa guru yang
bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang
pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan
Tinggi. Membanyangkan perbaikan mutu pendidikan tanpa
perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama
tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga
negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi (baik dari manfaat sosial maupun manfaat
ekonomik) dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya.

84

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan
ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun
terakhir ini penulis berani menyatakan bahwa secara umum
para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMU dan SLTP,
bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua
bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik
yang baik di awal abad 21 ini. Secara umum bekal mereka
sangat terbatas dalam pengetahuan substansial, dalam
pengetahuan kontekstual, dalam pengembangan proses-
proses belajar baru, dalam menciptakan suasana belajar baru.
Penulis berani menyatakan bahwa sebagian besar guru-guru
dan kepala sekolah kita masih merupakan kelompok
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan pengetahuan,
metoda, serta paradigma pendidikan yang baru. Hal ini
terjadi bukan karena kemauan mereka, namun merupakan
akibat dari cara negara kita menangani pendidikan selama
ini.

Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain
di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan
masyarakat terhadap profesi guru dan menjadi guru telah
menjadi pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda yang
masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah bersaing
dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi tinggi.
Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu guru di
Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan masyarakat
memberi hanya sedikit kepada para guru, mereka menuntut
sangat banyak dan tuntutannnya makin meningkat,
khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak
yang tidak puas dengan mutu pendidikan, tidak jarang yang
dijadikan kambing hitam sebagai penyebab adalah para guru.

Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam
bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai

85

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu
para guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung
tombak dan aktor utama dalam peningkatan mutu
pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap
penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan
suasana birokratik dan feodalistik di lembaga-lembaga
pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan
potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue
besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan
bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru.

MENCERMATI KEMBALI TUJUAN
PENDIDIKAN PADA TATARAN
OPERASIONAL

Membangun dan Mengembangkan Daya Tahan dan
Daya Tumbuh Dalam Lingkungan yang Makin
Bergejolak.

Pada tingkat mikro atau kegiatan lembaga pendidikan,
lembaga-lembaga pendidikan ditantang untuk dapat menjadi
habitat atau lingkungan yang mendorong,dan memudahkan
para siswa untuk mengembangkan potensi dirinya
semaksimal mungkin agar mereka siap tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan kehidupan yang makin
bergejolak. Secara umum, kehidupan di awal abad 21 ini
ditandai oleh keterbukaan, keanekaragaman, kebaruan,
kesementaraan dan kompleksitas yang meningkat. Batas
antara negara makin tipis, arus informasi keseluruh dunia
mengalir bebas, persaingan dan kerjasama yang bersifat
global. Generasi muda akan menghadapi kehidupan yang

86

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

lebih ditandai oleh kebhinekaan, berkenalan dengan nilai-nilai
yang beragam dari seluruh dunia, pilihan yang makin banyak.
Mereka juga akan berhadapan dengan hal-hal baru yang
belum pernah terbayangkan sebelumnya, termasuk
diantaranya pengetahuan baru dan teknologi baru yang
berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang sangat
cepat menyebabkan orang-orang akan berada dalam
kesementaraan, umur teknologi makin singkat, hubungan-
hubungan lebih bersifat sementara, dan banyak hal menjadi
lebih cepat usang. Bersamaan dengan itu semua, kesaling
tergantungan dan inter-koneksi dalam kehidupan juga
meningkat.

Lingkungan kehidupan yang baru ini pada saat yang sama

membawa tantangan atau persoalan baru dan pada saat yang

sama membawa juga peluang-peluang baru. Kesempatan

untuk mengubah tantangan menjadi peluang akan lebih besar

apabila pendidikan dapat membantu para siswa

mentransformasikan beraneka kecerdasan yang dimiliknya

(kecerdasan logika-matematikal, keceerdasan linguistik,

kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestika-

raga, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan

kecerdasan lainnya) menjadi daya tahan dan daya tumbuh

dalam lingkungan yang bergejolak [4]. Proses transformasi ini

berjalan melalui media iklim belajar, proses belajar dan

substansi pelajaran. Ada empat unsur daya tahan daya

tumbuh dalam lingkunagan bergejolak yaitu visi yang jelas,

karakter, kreativitas dan kompetensi.

Visi atau cita-cita hidup yang tinggi adalah gambaran masa
depan yang atraktif, yang jauh lebih baik dari keadaan
sekarang. Visi yang jelas berfungsi sebagai penunjuk arah bagi
seseorang dalam menjalani kehidupan, sebagai penggugah,
dan dapat menjadi sumber motivasi dalam menghadapi

87

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

tantangan hidup.Visi adalah jembatan antara masa kini dan
masa depan yang lebih baik. Di samping menajamkan visi,
pendidikan hendaknya dapat membantu para siswa
membangun karakter. Di sini yang dimaksud dengan karakter
adalah ‘distinctive trait, disticntive quality, moral strength, the
pattern of behavior found in an individual or group’ [5 ]. Ada
beberapa dimensi karakter yang sangat penting, yaitu
integritas, kepercayaan-diri, kedewasaan, mentalitas-
berkelimpahan (abundance mentality), kegigihan, dan semangat
memperbarui diri. Esensi dari integritas adalah kejujuran,
ketulusan dan memegang teguh standard moral yang tinggi.
Integritas ditujukkan oleh kesesuaian antara nilai-nilai yang
dipegang dengan kebiasaan, kesesuian antara perkataan
dengan perbuatan dan kesesuaian antara ungkapan dengan
perasaan.

Visi dan karakter menjadi bagian dari jati diri seseorang.

Dengan jelasnya jati diri ini seseorang tidak akan tersesat di

dalam hiruk pikuk pergaulan dunia yang makin terbuka dan

kompleks ini. Visi perlu disertai dengan integritas agar

seseorang tidak terperangkap pada sikap ‘tujuan

menghalalkan cara’. Integritas yang tinggi merupakan

prasyarat bagi pemberian ruang yang lebih luas untuk

pengendalian-diri. Integritas diperlukan untuk menjamin agar

kebebasan yang diberikan dipakai secara bertanggung jawab.

Integritas sangat diperlukan untuk membangun rasa saling

percaya dalam sebuah komunitas.

Dalam pengertian yang sederhana, kreativitas adalah
kemampuan memikirkan hal-hal baru. Kemampuan untuk
melihat suatu masalah dari sudut pandang baru,
mengembangkan gagasan baru untuk memecahkan
persoalan, kelenturan berpikir, kemampuan berpikir lateral,
termasuk dalam lingkup kreativitas. Kemampuan melihat

88

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

yang tidak terlihat dan memikirkan yang tidak terpikirkan
orang lain adalah dua ciri utama kreativitas. Kini dan di masa
depan orang-orang akan lebih sering mengahadapi tantangan-
tantangan baru dalam kehidupannya. Untuk itu orang
memerlukan kreativitas yang lebih tinggi untuk bisa bertahan
dan berkembang dalam lingkungannya. Namun kreativitas
memerlukan kompetensi, agar gagasan-gagasan baru yang
dikembangkan dapat dilaksanakan. Kompetensi menurut
Sveiby [6] terdiri dari beberapa unsur berikut: pengetahuan
eksplisit, yaitu pengetahuan mengenai fakta-fakta yang
sebagian diperoleh melalui pendidikan formal; keterampilan,
yang terdiri dari keahlian yang bersifat praktis –fisik dan
mental- yang sebagain besar diperoleh melalui pelatihan dan
praktik; pengalaman, yang diperoleh melalui perenungan
terhadap keberhasilan atau kegagalan di masa lalu; value
judgement, yaitu persepsi mengenai hal yang dianggap benar
oleh seseorang; jejaring sosial, yaitu jejaring hubungan dengan
orang-orang lain.

Mengembangkan Empat Kecakapan Untuk Kehidupan
yang Lebih Berguna dan Bermakna.

Lebih jauh lagi, pendidikan hendaknya dapat mempermudah
dan mendorong para siswa untuk mentransformasikan empat
unsur kualitas di atas (visi, karakter, kreativitas dan
kompetensi) menjadi hal-hal yang berguna bagi orang yang
bersangkutan dan bagi masyarakat di sekitarnya. Hal-hal
yang berguna ini menjadi bagian dari kontribusi seseorang
ditengah-tengah masyarakatnya. Dengan kontribusi ini
seseorang bisa merasa bahwa dia dalam hidupnya sudah
melakukan sesuatu yang berarti, atau sesuatu yang bermakna.
Jadi, pendidikan hendaknya dapat membantu, memudahkan
dan mendorong seseorang untuk mengubah dan

89

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

mengerahkan potensinya menjadi kecakapan yang dia dapat
pergunakan untuk mewujudkan kehidupan yang berguna dan
bermakna.

Dalam risalah ini yang dimaksud dengan kehidupan
bermakna adalah mutu kehidupan yang menimbulkan
perasaan pada seseorang bahwa dia dalam hidup ini sudah
berhasil mencapai, atau merealisasikan atau melakukan hal-
hal yang penting, luhur dan bermanfaat tidak hanya bagi
dirinya namun juga untuk lingkungannya atau masyarakat
luas.

Konsep kehidupan bermakna ini bersifat individul. Artinya
unsur-unsur atau dimensi mutu kehidupan yang dipandang
bermakna pada seseorang bisa berbeda dengan dimensi mutu
kehidupan yang dipandang bermakna pada orang lain.
Konsep ini biasanya terbentuk melalui proses belajar, baik
belajar dari pengalaman sendiri, belajar dari pengalaman
orang lain atau dari model-model atau rujukan yang
ditemukan dalam perjalan hidup seseorang. Menurut penulis
ada empat jenis kecakapan yang diperlukan sebagai
persyaratan untuk dapat mewujudkan kehidupan berguna
dan bermakna, yaitu: kecakapan memimpin diri sendiri,
kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang
lain dalam kebhinekaan, kecakapan menanggapi perubahan
dan kecakapan menciptakan manfaat atau nilai. Dalam risalah
ini yang disebut kecakapan adalah kemampuan seseorang
untuk memakai atau memanfaatkan potensinya secara tepat
dalam suatu konteks tertentu sehingga memberi hasil yang
diharapkan.

90

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

1. Kecakapan Memimpin Diri Sendiri

Kecakapan memimpin diri sendiri diperlukan agar seseorang
tidak terseret kesana-kesini dalam pergaulan yang makin
rumit dan cepat berubah sekarang ini. Dalam dunia yang
tanpa batas di mana informasi mengalir secara bebas melintasi
batas-batas negara, seseorang dihadapkan pada beraneka
ragam nilai-nilai atau norma-norma yang berasal dari
bermacam-macam kelompok masyarakat atau bangsa. Film-
film, hiburan atau warta berita yang kita tonton atau ikuti di
televisi, berita-berita atau ulasan di surat kabar, tidak ada
yang bebas nilai. Semuanya menyodorkan nilai-nilai dari
beraneka ragam perspektif. Orang yang tidak memiliki
kecakapan meminpin diri sendiri kemungkinan besar akan
dibingungkan oleh bersimpang siurnya nilai-nilai yang
berasal dari bermacam-macam latar belakang budaya, hanyut
atau terombang-ambing di tengah-tengah hiruk-pikuknya lalu
lintas bahkan mungkin benturan nilai-nilai. Dia akan tersesat
di tengah-tengah globalisasi, menjadi korban modernisasi.
Pemuda atau orang-orang yang terperangkap oleh narkoba
adalah contoh nyata dari tiadanya kecakapan memimpin diri
sendiri.

Orang yang memiliki kecakapan memimpin diri sendiri
memiliki visi-pribadi atau cita-cita hidup yang jelas. Ia punya
gambaran yang jelas mengenai masa depan yang hendak dia
raih dalam hidupnya, masa depan yang lebih baik dari
keadaannya sekarang. Di samping cita-cita yang jelas, dia juga
punya pilihan yang jelas mengenai nilai-nilai luhur yang
dipegangnya atau dianutnya dalam hidupnya. Dia punya
komitmen yang kuat untuk menjalani hidup dan berusaha
mewujudkan cita-citanya dengan berpedoman pada nilai-nilai
luhur tersebut. Nilai-nilai ini bisa kejujuran, kedermawanan,
keadilan, kepedulian, keramahan, kesopanan, keterbukaan,

91

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

kesabaran, keuletan, ketekunan, kerendahan hati, dan
sebagainya. Cita-cita dan nilai-nilai itu dijadikan pegangan
atau pedoman dalam mengarungi kehidupan yang makin
hiruk pikuk, makin kompleks, penuh tantangan dan ketidak
pastian, sekarang dan di masa depan, sehingga dia tidak
mudah terseret oleh lingkungan. Dengan cita-cita dan nilai-
nilai itu dia mencoba memegang kendali dalam upaya
membangun masa depannya. Orang yang cakap memimpin
diri sendiri adalah orang yang proaktif dalam arti tingkah
lakunya adalah hasil keputusannya; keputusan atas dasar
pilihan sadar yang didasari oleh nilai-nilai yang dia pegang
atau didasari hati nuraninya. Dia bertanggung jawab atas
perbuatannya dan tidak suka mencari kambing hitam.

Orang yang cakap memimpin diri sendiri adalah orang yang
cerdas secara emosional. Dia mampu mengelola dan
mengendalikan emosinya. Dia adalah orang yang
mengendalikan emosinya berdasarkan nilai-nilai yang dia
pegang.

2. Kecakapan untuk Tumbuh dan Berkembang
Bersama Orang Lain dalam Kebhinekaan.

Kecakapan memimpin diri sendiri perlu diimbangi dan
diperkaya dengan kecakapan untuk tumbuh dan berkembang
bersama orang lain. Tanpa kecakapan yang kedua ini,
kecakapan memimpin diri sendiri bisa menjadikan seseorang
bersikap isolatif, tidak peduli orang lain, egosentris, bahkan
ekstremis. Perlu diperhatikan bahwa tumbuh dan
berkembang bersama orang lain tidak boleh hanya terbatas
pada kelompok yang homogin saja tetapi yang sangat perlu
adalah tumbuh dan berkembang bersama dalam kondisi sosial
yang heterogin, yang diwarnai oleh kebhinekaan. Kesadaran
akan kebhinekaan ini penting untuk mencegah tumbuhnya

92

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

ekseklusifisme yang apriori cenderung membenarkan
kelompok sendiri tanpa mau mendengarkan kelompok lain.
Kecakapan ini di perlukan untuk menjadikan kebhinekaan
sebagai sumber kekuatan atau basis keunggulan. Tanpa
kecakapan ini, maka kebhinekaan akan menjadi sumber
masalah, sumber konflik, dan menjadi sebuah kelemahan.
Tanpa kecakapan ini, sebuah masyarakat akan menghabiskan
energinya untuk menciptakan dan mengatasi konflik antar
kelompok dan antar individu. Akibatnya, sedikit sekali energi
yang diarahkan untuk mencapai kemajuan bersama di masa
depan, sehingga masyarakat seperti ini akan tertinggal oleh
masyarakat lain.

Kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang
lain dimanifestasikan dalam kemampuan untuk berempati
atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi
orang lain dan memahami perasaan mereka, kepedulian
terhadap lingkungan atau orang-orang disekitarnya, dapat
melihat keselarasan antara kepentingan individu dan
kepentingan kelompok, atau keselarasan antara kemajuan
pribadi dan kemajuan bersama. Kecakapan ini juga
ditunjukkan oleh kerelaan untuk berbagi, dan kesadaran
tentang apa yang disebut paradok berbagi: makin seseorang
berbagi makin dia menjadi ‘kaya’. Kecakapan seperti ini
ditandai oleh kuatnya mentalintas berkelimpahan, yang
cirinya antara lain: mencapai kemajuan dengan memajukan
orang lain, senang melihat orang lain senang, dermawan.
Orang dengan kecakapan seperti ini sangat meyakini bahwa
pikiran manusia sifatnya seperti parasut dalam arti dia hanya
bisa menyelamatkan orang yang memilikinya atau
memakainya kalau dia terbuka, dan akibatnya akan fatal
apabila dia tertutup.

93

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

3. Kecakapan Menanggapi Perubahan.

Pergaulan hidup yang kita hadapi sekarang bukan saja makin
beraneka ragam tetapi juga makin cepat berubah. Hampir
semua hal: teknologi, sistem kerja, bentuk organisasi,
kebijakan, produk, pengetahuan, cara pandang atau
paradigma, makin cepat usang. Hubungan-hubungan makin
bersifat sementara, termasuk hubungan seseorang dengan
sebuah kelompok atau organisasi makin bersifat sementara.
Ini berarti orang-orang yang hidup pada saat ini dan di masa
depan akan makin sering berhadapan dengan hal-hal baru,
atau dengan kata lain seseorang akan makin sering
mengahadapi perubahan dalam hidupnya: perubahan tempat
kerja, perubahan jabatan, perubahan tempat tinggal,
perubahan lingkungan sosial. Setiap perubahan membawa
tantangan atau ketegangan-keteganagn baru. Pendidikan kita
perlu membantu peserta didik untuk megembangkan
potensinya agar dia memiliki kecakapan dalam menghadapi
atau menanggapi tantangan baru yang bersumber pada
perubahan lingkungan. Tanpa kecakapan ini seseorang akan
merasakan ‘stress’ yang sangat besar apabila berada dalam
lingkungan baru atau dia akan melarikan diri dari lingkungan
kehidupan baru dan menutup diri dalam kelompok yang
sangat eksklusif, atau dalam menghadapi keadaan baru dia
cenderung akan kembali ke masa lalu.

Perubahan yang sangat cepat juga terjadi dalam
perkembangan pengetahuan manusia. Orang-orang yang
hidup sekarang ini setiap hari dibanjiri oleh pengetahuan
baru. Akibatnya, kalau seseorang ingin tidak ketinggalan
jaman dalam hal penguasaan pengetehauan, maka dia harus
punya semangat belajar yang tinggi. Kalau tidak, dia hanya
memiliki pengetahuan yang relatif sedikit dan pengetahuan
yang sedikit itupun hanya pengetahuan usang yang tak

94

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

bernilai. Di samping itu, cara-cara belajar yang lama, ketika
laju pertambahan pengetahuan tidak secepat sekarang sudah
tidak memadai lagi kalau diterapkan pada saat ini. Sebab itu,
pada saat ini menemukan cara belajar yang tepat (belajar
bagaimana belajar) tidak kalah pentingnya dari menentukan
apa yang yang perlu dipelajari (substansi pelajaran).

Orang yang memiliki kecakapan seperti ini menyadari bahwa
perubahan adalah sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri,
bahwa masa yang akan datang sering kali tidak bisa dihadapi
dengan cara-cara masa lalu. Mereka tidak takut menghadapi
perubahan, dan dapat melihat sisi-sisi positif atau peluang
atau manfaat yang dapat diambil dari perubahan. Dia mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru. Di samping itu, dia
adalah orang yang punya semangat belajar tinggi, selalu
bersedia memperbaharui diri dan tidak segan-segan
meninggalkan cara kerja, pengatahuan atau paradigma lama
yang sudah tidak relevan dengan tuntutan baru. Dia mudah
melihat kesempatan belajar dari lingkungannnya dan mau
mengambil kesempatan tersebut.

4. Kecakapan Menciptakan Manfaat atau Nilai.

Dengan kecakapan menciptakan nilai, seseorang mengubah
sesuatu yang pada awalnya kurang bernilai menjadi lebih
bernilai atau yang pada awalnya sama sekali tidak bernilai
menjadi bernilai Kreativitas, kepekaan terhadap lingkungan
dan kompetensi, secara bersama-sama sangat diperlukan
dalam memanifestasikan kecerdasan ke dalam kecakapan
untuk menciptakan nilai atau menambah nilai. Usaha
menciptakan nilai ini dalam kehidupan dilakukan dengan
menciptakan produk, atau jasa atau sistem, lembaga atau
usaha yang memungkinan kehidupan manusia menjadi lebih

95

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

sejahtera. Membekali seseorang dengan kompetensi tertentu
yang memudahkan dia bisa masuk ke dunia kerja hanyalah
salah satu bentuk dari upaya untuk mengembangkan
kecakapan seseorang supaya dia bisa berkontribusi dalam
usaha menciptakan nilai.

Kejelian untuk melihat peluang usaha, kemampuan untuk
menciptakan usaha yang bermanfaat memerlukan kreativitas,
pengetahuan kontekstual dan kepekaan. Ketiga hal inilah
yang membedakan apakah seseorang dengan pengetahuan
atau keterampilan yang dimilikinya akan dapat berkembang
jauh di dunia kerja, dunia usaha atau di tengah-tengah
masyarakat, atau hanya akan jalan di tempat dengan
keterampilan yang dimilikinya. Pengetahuan dan
keterampilan hanyalah alat. Hal yang sangat menentukan
apakah alat itu dapat dipakai sebaik mungkin - untuk
memberi manfaat bagi banyak orang - adalah cita-cita,
semangat, kreativitas, dan kepekaan terhadap lingkungan.
Tanpa cita-cita, tanpa semangat, tanpa kreativitas, maka
keterampilan sebagai alat hanya akan menjadi alat yang
‘berkarat’.

PERUBAHAN UNTUK MENJADIKAN
SEKOLAH SEBAGAI PERSEMAIAN
PENGEMBANGAN EMPAT KECAKAPAN
UNTUK KEHIDUPAN BERMAKNA

Ada beberapa jenis perubahan yang diperlukan agar sekolah
dapat menjadi lingkungan yang subur untuk pengembangan
kecakapan untuk kehidupan bermakna. Beberapa pihak
berusaha melakukan perubahan melalui penyediaan sarana
fisik untuk belajar keterampilan di sekolah. Hal itu memang

96

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

perlu, namun yang tidak kalah penting, bahkan mungkin
lebih penting adalah perubahan yang bersifat non-fisik,
seperti perubahan cara pandang atau ‘model mental’,
perubahan proses, perubahan suasana atau iklim belajar,
perubahan peran dari para pelaku dalam proses belajar di
sekolah. Berikut ini akan disampaikan beberapa bentuk
perubahan tersebut.

Perubahan Cara Pandang.
Sekolah bukanlah pabrik, namun sebuah komunitas.

Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau
memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para siswa
dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam
sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang
bernama guru yang bekerja menurut sebuah program
produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari pabrik ini
adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah NEM. Cara
pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan
mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang
sangat mekanistik, formal, dingin, kaku, birokratik, output
oriented dan kurang manusiawi.

Kalau sekolah hendak dijadikan sebagai lingkungan belajar
yang memudahkan dan mendorong para siswa
mengembangkan empat kecakapan di atas, maka cara
pandang bahwa sekolah sebagai sebuah pabrik hendaknya
ditinggalkan. Cara pandang dan praktek yang perlu
dikembangkan adalah sekolah sebagai komunitas atau lebih
spesifik komunitas belajar. Dalam konsep komunitas ini, para
siswa bukanlah bahan baku namun anggota komunitas yang
memiliki peran dan tanggung. Kepala sekolah, guru, tenaga

97

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

administratif adalah juga anggota komunitas dengan peran
dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam komunitas
belajar semua anggota komunitas (termasuk guru, kepala
sekolah, pengawas) terus menerus belajar, tidak hanya siswa
yang belajar. Dalam sebuah komunitas, cita-cita bersama, rasa
saling percaya, saling menghormati, kesediaan untuk berbagi
menjadi penting. Dalam sebuah komunitas terjadi banyak
interaksi antara sesama anggota yang sifatnya informal dan
tulus. Dalam komunitas yang sehat para anggotanya bahu-
membahu untuk tumbuh dan berkembang bersama.

Dalam suasana komunitas, seorang siswa sebagai anggota
komunitas terdorong untuk bertanya atau memikirkan
tentang ‘jati diri’ nya atau dengan kata lain mencoba
merumuskan siapa dia di tengah-tengah anggota komunitas
lainnya.

Para siswa bukanlah deretan gelas kosong namun
bibit-bibit yang punya potensi keunggulan yang
beragam.

Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa
pihak adalah melihat siswa sebagai dereten gelas kosong yang
harus diisi oleh para guru dengan isi yang sama dan diisi
dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah
yang menjadi salah satu alasan timbulnya kecenderungan
untuk penyeragaman di sekolah. Keseragaman menjadi
sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin
lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau
keunggulanpun menjadi seragam. Siswa yang dapat nilai
IPA yang tinggi dianggap lebih unggul dari siswa yang
sangat kreatif dalam menciptakan lagu atau piawai menyanyi
atau memainkan intrument musik. Maka timbullah sebutan

98

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

sekolah unggulan atau kelas unggulan. Di samping itu, cara
pandang gelas kosong ini menyebabkan para guru sibuk
mencari cara untuk mengisinya secepat mungkin, atau mereka
akan ditegur oleh pengawas apabila tidak bisa mengisi
secepat mungkin atau tidak sesuai target.

Pengembangan kecakapan hidup dalam era yang bergejolak
tidak bisa didasarkan atas cara pandang gelas kosong. Para
siswa adalah ‘bibit-bibit’ yang punya potensi keunggulan
yang beragam atau berbeda-beda. Mereka bukan ‘bibit’ yang
seragam atau sejenis. Mereka bibit yang berbeda. Sebagian
mungkin saja ‘bibit mawar’, sebagian ‘bibit melati’. Fungsi
sekolah adalah menjadi pesemaian dan tanah subur yang
memungkinkan mawar dan melati tumbuh dengan baik dan
menghasilkan bunga yang segar, indah dan wangi. Melati
adalah melati, mawar adalah mawar, dengan keindahan
masing-masing, dan tidak ada keharusan mengubah mawar
menjadi melati atau sebaliknya. Di sini tidak perlu
diperdebatkan mana yang lebih unggul mawar atau melati.
Mawar dan melati masing-masing punya tempatnya sendiri
dalam kehidupan manusia dan masyarakat.

Setiap jenis kecerdasan penting dan perlu
dikembangkan dengan baik

Dalam kaitannya dengan konsep kecerdasan majemuk, setiap
siswa punya konfigurasi kecerdasan sendiri yang mungkin
sekali berbeda dari siswa yang lain, dan sebagai
konsekuensinya mungkin minatnya juga berbeda. Perbedaan
ini harus diterima sebagai realitas dan diusahakan agar
perbedaan potensi kecerdasan ini berkembang sebaik
mungkin dan dapat dijadikan basis keunggulan siswa yang
bersangkutan. Siswa yang pintar matematika adalah anak

99

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

unggul, dan demikian juga siswa yang pintar bermain musik,
siswa yang pintar bahasa, pintar melukis, pintar menari,
pintar bekerja sama adalah siswa-siswa yang unggul.
Keunggulan dalam matematik, keunggulan musik, dalam
melukis, dalam bahasa semuanya sama terhormatnya.
Beragam keunggulan ini tidak perlu dibandingkan. Kita tidak
perlu membandingkan pisang dengan jeruk. Dalam
kehidupan, baik jeruk maupun pisang keduanya punya nilai
di tengah-tengah masyarakat.

Cara pandang seperti ini adalah cara pandang yang sesuai
dengan cara pandang masyarakat. Ada bermacam-macam
cara yang dilakukan oleh orang-orang untuk menciptakan
nilai. Orang dengan kecerdasan musikal yang tinggi
menciptakan nilai dengan keahliannya menyanyi atau
meciptakan lagu dan orang yang kecerdasan matematikalnya
tinggi menciptakan nilai dengan menjadi dosen matematik
atau menjadi insinyur. Hampir tidak ada yang
memperdebatkan mana yang lebih unggul, seorang insinyur
atau seorang penyanyi. Masing-masing memberi sumbangan
untuk kesejahteraan masyarakat dengan caranya sendiri.
Semua kecerdasan itu dapat dipakai untuk menciptakan nilai
di tengah-tengah masyarakat, dipakai sebagai basis profesi,
atau wahana untuk berusaha atau bekal untuk masuk dalam
dunia kerja.

Pendidikan mencakup penciptaan suasana, proses dan
keteladan.

Sudah sangat lama pendidikan di sekolah tereduksi menjadi
kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa
melalui proses mengajar. Pendidikan seperti ini menghasilkan
siswa yang terampil memecahkan soal-soal ujian dan dapat
menghafal banyak hal. Memang di sekolah-sekolah kepada

100

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

siswa diajarkan nilai-nilai, namun cara mengajarkannya tetap
saja instruktif bahkan indroktinatif didasarkan pada cara
pandang bahwa para siswa adalah gelas kosong. Akibatnya,
nilai-nilai bukan menjadi sesuatu yang dihayati namun
menjadi bahan hafalan.

Kecakapan memimpin diri sendiri, kecakapan untuk tumbuh
berkembang bersama orang lain sangat terkait dengan cita-cita
dan nilai-nilai seorang siswa. Cita-cita dan nilai-nilai sering
terbentuk melalui pencerahan atau timbulnya kesadaran,
keyakinan atau kepekaan baru pada seseorang. Kesadaran,
keyakinan atau kepekaan tidak bisa diajarkan namun dapat
dirangsang perkembangannya melalui penciptaan suasana,
perancangan proses belajar yang inovatif atau memberi
inspirasi melalui tauladan atau ‘role model’ dalam kehidupan.

Menurut pendapat saya, penciptaan suasana, inovasi dalam
proses pembelajaran dan menunjukkan ’role model’ sudah
sangat lama tidak mendapat perhatian dalam dunia
pendidikan kita. Para pengajar disibukkkan dengan kegiatan
untuk mengalihkan pengetahuan secepat mungkin agar dapat
mengejar target. Guru-guru dan kepala sekolah juga tidak
dibantu dalam pengembangan wawasan dan kemampuan
mereka agar mereka dapat lebih efektif dalam menciptakan
suasana, lebih inovatif dalam pengembangan proses
pembelajaran dan menunjukkan contoh-contoh nyata agar
hal-hal yang diajarkan menjadi lebih bermakna.

Sebenarnya pandangan tentang pentingnya suasana dalam
pendidikan sama sekali tidak baru. Sudah menjadi pendapat
umum bahwa suasana di rumah tangga akan sangat
mempengaruhi perkembangan kejiwaan seorang. Suasana
rumah tangga yang harmonis, demokratik dan hangat,

101

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

pengaruhnya pada seorang anak akan berbeda dengan
suasana rumah tangga yang penuh dengan pertengkaran,
otokratik dan dingin. Kalau sekolah ingin belajar dari proses
pendidikan di rumah, maka sekolah perlu menaruh perhatian
yang lebih besar pada upaya untuk menciptakan suasana,
inovasi proses dan memberi contoh yang dapat memotivasi
dan memudahkan para siswa belajar. Jadi dari sudut pandang
ini, pendidikan mencakup penciptaan suasana, proses,
ketauladan, dan kegiatan yang dapat menggugah, memotivasi
dan memudahkan seorang siswa atau peserta didik untuk
mengembangkan seluruh potensi insani yang ada pada
dirinya.

Perubahan suasana.

Suasana yang formal dan mekanistik menjadi suasana yang
yang lebih informal, hangat dan menggembirakan.

Harus diakui bahwa masuknya budaya birokrasi ke sekolah-
sekolah telah mengakibatkan proses belajar dan pergaulan di
sekolah-sekolah menjadi sangat mekanistik dan formal. Tidak
jarang kepala sekolah melihat tugasnya lebih sebagai wakil
atasan (pengawas atau birokrasi pemerintah) daripada sebagai
pamong yang perlu menyelami suara hati siswa dan para
guru. Di banyak tempat, kepala sekolah telah menjelma
menjadi sosok yang ditakuti daripada dihormati atau
disayang. Suasana seperti ini perlu diubah menjadi suasana
yang lebih informal, hangat dan menggembirakan.

Suasana informal, hangat dan menggembirakan akan
memudahkan tumbuhnya inisiatif untuk bertukar pikiran dan
bekerja sama. Suasana informal juga sangat membantu orang-

102

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

orang dalam sebuah kelompok untuk lebih mudah memahami
satu sama lain. Suasana informal, hangat dan mengembirakan
biasanya menghilangkan sekat-sekat yang ada antar individu
atau antar kelompok. Suasana seperti ini akan memudahkan
tumbuhnya kecakapan untuk tumbuh dan berkembang
bersama.

Dalam suasana informal, hangat dan mengembirakan akan
lebih mudah terjadi percakapan dan pergaulan diantara
anggota komunitas. Nilai-nilai biasanya dipelajari justru
dalam pergaulan informal sehari-hari. Dalam suasana seperti
ini anggota komunitas punya keleluasaan untuk mengamati
dan mendiskusikan apa yang dianggap ‘pantas’ dan ‘kurang
pantas’ dalam suatu konteks tertentu. Kembali kepada
pendidikan di rumah, anak-anak belajar nilai-nilai (seperti
kejujuran, kedermawanan, welas asih) dan menajamkan
tujuan atau cita-cita hidupnya melalui suasana pendidikan
yang informal. Suasana ini terjadi dalam percakapan antara
anak dan orang tua di meja makan, atau diskusi santai dalam
perjalanan wisata bersama. Belajar dalam suasana seperti ini
berlangsung secara alami dan lebih manusiawi.

Suasana belajar yang apresiatif.

Akhir-akhir ini di Indonesia berkembang kecenderungan
untuk bersikap sinis. Orang-orang lebih suka mengemukakan
hal-hal yang negatif dari pada mengemukakan hal-hal positif
yang ada di sekitarnya. Hal-hal ini juga berkembang di
sekolah-sekolah. Guru-guru lebih mudah atau lebih senang
memberi umpan balik yang negatif daripada umpan balik
posistif, lebih suka menunjukkkan hal-hal yang dipandangnya
kurang baik daripada mengahargai hal-hal baik atau positif
yang ada pada para siswa, lebih senang menghukum daripada

103

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

menghargai. Lingkungan yang bernuansa negatif seperti ini
cenderung akan berdampak negatif pada pengembangan citra
diri dan kepercayaan diri. Kalau setiap kali seorang anak
hanya ditunjukkan hal-hal yang tidak baik atau buruk pada
dirinya maka lama-kelamaan dia akan ‘percaya’ bahwa dia
memang orang yang buruk. Di sini akan terjadi fenomena
‘self fulfilling prophecy’: demikian seorang anak ‘percaya’
bahwa dia anak ‘buruk’, maka dia benar-benar akan menjadi
orang buruk.

Agar supaya dapat berperan lebih besar dalam
pengembangan kecakapan hidup, di sekolah perlu
dikembangkan suasana apresiatif. Suasana apresiatif adalah
keadaan di mana anggota sebuah komunitas mudah dan
senang menghargai hal-hal positif atau keberhasilan anggota
komunitas yang lain, sekecil apapun kebaikan atau
keberhasilan tersebut. Masyarakat apresiatif berpandangan
bahwa kemajuan atau keberhasilan dapat dicapai dengan
menghargai hal-hal yang positif atau kekuatan atau hal-hal
baik atau hal-hal istimewa yang ada pada seseorang. Dalam
suasana apresiatif, orang mudah memberi pujian, namun
pujian yang tulus. Dalam masyarakat yang apresiatif, orang-
orang saling menyemangati. Suasana apresiatif sangat
diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan
mengembangkan citra diri yang positif atau dengan kata lain
suasana apresiatif merupakan lingkungan yang membawa
pengaruh positif pada pengembangan kecerdasan intra-
personal.

Dalam beberapa kasus yang penulis temui, kecerdasan
intrapersonal ini sangat besar pengaruhnya dalam
pengembangan kecerdasan lainnya. Kecerdasan lain bisa
terhambat perkembangannya karena kecerdasan intrapersonal
tidak berkembang kearah yang positif. Demikian seorang anak

104

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

‘percaya bahwa dia orang bodoh’, maka semangat belajarnya
akan turun, dan selanjutnya potensi kecerdasan yang lain
tidak akan berkembang. Sebaliknya, seorang anak yang
memiliki kepercayaan diri dan merasa dia mampu, maka dia
tidak ragu-ragu untuk mencoba atau berusaha, dan
selanjutnya kecerdasan yang lain punya kesempatan yang
lebih besar untuk berkembang.

Suasana yang mencerminkan heterogenitas dan inklusif,
bukan homogenitas dan eksklusif.

Heterogenitas adalah sifat yang sangat hakiki dari kehidupan
di muka bumi ini, bahkan mungkin di alam semesta ini.
Heterogenitaslah yang menyebabkan manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan dimuka bumi ini daya hidupnya makin
lama makin tinggi. Manusia, fauna dan flora daya hidupnya
berkurang dan akan punah apabila terus menerus melakukan
regenerasi dengan ‘in-breeding’. Sayangnya, dalam
pendidikan orang-orang sering melakukan hal-hal yang justru
bertentangan dengan sifat dari alam ini dengan cara
meningkatkan homogenitas dan eksklusifitas. Misalnya, ada
kelas, bahkan sekolah, hanya terdiri dari anak-anak satu tipe
atau satu jenis saja, anak-anak dari keyakinan atau
kepercayaan tertentu dipisahkan dari yang keyakinannya atau
kepercayaannya lain, anak-anak dari etnis tertentu dipisahkan
dari etnis lain, dan seterusnya.

Homogenitas dan eksklusifitas, di samping mengingkari
realita kehidupan, merupakan hambatan besar dalam
mengembangkan kecakapan untuk tumbuh dan berkembang
bersama orang lain dalam dunia yang makin terbuka dan
pluralistik. Dalam kenyataan hidup, seseorang akan bertemu
dengan orang-orang dengan keyakinan atau kepercayaan lain,

105

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

dari kelompok etnis yang berbeda, dengan minat yang
berbeda, dengan tingkat kecerdasan yang berbeda, dengan
kemampuan ekonomi yang berbeda, dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan dia harus hidup dan berkembang
dalam realita seperti itu. Untuk itu, seseorang perlu
diperkenalkan terhadap kebhinekaan seperti itu sejak dini dan
dikuatkan kesadarannya bahwa dia adalah bagian dari
kebhinekaan itu, bukan di luar kebhinekaan itu.

Dalam suasana yang heterogen dan inklusif seseorang akan
’dipaksa’ oleh keadaan untuk berhadapan dengan kenyataan
bahwa dalam hidup ini ada pendapat yang berbeda, ada
minat yang berbeda, ada keyakinan yang berbeda, dan
seseorang tidak bisa memaksakan pendapat, keyakinan dan
minatnya kepada orang lain. Dalam suasana yang heterogen
orang akan belajar berdialog, belajar berempati, belajar
menghargai perbedaan, belajar mencari platform bersama,
dan melihat bahwa diantara perbedaan-perbedaan itu sangat
banyak persamaan-persamaan yang bisa ditemukan yang
dapat mempersatukan orang-orang dari latar belakang yang
berbeda.

Perubahan proses Pembelajaran.

Proses belajar yang berpusat pada pengajar menjadi proses
belajar yang lebih berpusat pada siswa.

Harus diakui bahwa proses belajar di sekolah-sekolah di
Indonesia sampai saat ini masih sangat berpusat pada
pengajar. Cara belajar seperti ini mengurangi kesempatan bagi
para siswa untuk bereksperimen dalam mengembangkan
kecakapan untuk memimpin diri sendiri, sebab di sini para

106

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

siswa hanyalah menjadi pengikut. Kecakapan memimpin diri
sendiri akan berkembang apabila para siswa diberi peluang
yang lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan bahkan
evaluasi proses belajar mereka sendiri. Ini berarti proses
belajar hendaknya lebih berpusat pada siswa, atau dalam
yargon yang sering sekali diucapkan oleh banyak orang,
siswa haruslah menjadi subyek pendidikan bukan obyek
pendidikan.

Sebenarnya hal ini bukanlah barang baru. Beberapa tahun ang
lalu, Departemen Pendidikan pernah meluncurkan kebijakan
yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Saya berpendapat bahwa kebijakan itu pada tingkat
operasional tidak berjalan sepertiyang diharapkan. Salah satu
sumber masalahnya adalah CBSA hanya dilihat sebagai teknik
mengajar. Sedikit sekali yang menyadari bahwa CBSA
didasarkan pada asumsi-asumsi, cara pandang, keyakinan,
mind-set, dan sikap yang sama sekali berbeda dari cara belajar
siswa pasif yang selama ini telah berjalan. Agar supaya
berhasil, CBSA mensyaratkan adanya perubahan beberapa
asumsi-dasar, perubahan keyakinan, perubahan cara
pandang, perubahan mind-set, perubahan sikap pada para
guru, kepala sekolah, pengawas dan jajaran birokrasi
pendidikan lainnya. Sebagai sebuah cara baru, CBSA
memerlukan mind-set baru. Cara baru tidak bisa dijalankan
dengan mind-set lama. Penulis tidak melihat ada usaha besar-
besaran untuk membantu para guru dan kepala sekolah untuk
mengembangkan atau membentuk mind-set baru itu dalam
melaksanakan CBSA ini.

Banyak orang berpendapat bahwa dengan memberikan peran
yang lebih besar pada para siswa dalam proses belajar,
seorang guru bisa lebih santai karena bebannya berkurang.
Pendapat seperti ini sama sekali tidak berdasar. Agar bisa

107

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

menjalankan proses belajar yang berpusat pada siswa dengan
baik seorang guru perlu punya wawasan dan pengetahuan
yang luas, perlu meperhatikan perbedaan minat dan potensi
setiap siswa, mengamati perbedaan proses belajar setiap
individual, perlu kemampuan untuk memfasilitasi proses
belajar, punya kemampuan untuk menjadi pemandu siswa
agar dapat memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran yang
ada di sekitarnya bahkan diseluruh dunia, perlu kemampuan
untuk mengelola dinamika kelompok, dan perlu kearifan
dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan sikap kritis
para siswa. Secara singkat, cara belajar yang berpusat pada
siswa memerlukan kualifikasi guru dan kepala sekolah yang
lebih tinggi dalam hal wawasan, pengetahuan (substansial
maupun kontekstual), keterampilan, sikap dan mental,
daripada cara belajar yang berpusat pada pengajar.

Proses belajar individual menjadi proses belajar individual
dan belajar dalam team secara seimbang.

Selama ini sebagaian terbesar atau hampir semua proses
belajar di sekolah berjalan secara individual. Belajar secara
individual ini kurang membuka kesempatan untuk
pengembangan kemampuan bagi siswa untuk bekerja dalam
tim, suatu kemampuan yang menjadi bagian dari kecakapan
untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain. Kerja
dalam tim akan menjadi media yang efektif untuk
mengembangkan keterampilan berkomunikasi, berdialog,
kreativitas, kemampuan berempati, membangun sinergi,dan
kemampuan memimpin. Bekerja dalam tim juga akan
mengembangkan kepedulian, kebutuhan untuk berbagi,
dorongan untuk berkontribusi, kebutuhan untuk saling
mendukung, dan saling menyemangati atau membesarkan
hati. Dengan umpan balik yang diterima dari anggota tim
yang lain, baik langsung atau tak langsung, seseorang akan

108

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

mengenal lebih baik dirinya sendiri dan memperkecil wilayah
‘blind spot’ orang yang bersangkutan. Bekerja dalam tim
menjadi media untuk mengembangkan kecerdasan
interpersonal dan meningkatkan kematangan sosial.

Proses belajar yang mekanistik menjadi proses belajar yang
menggugah, menumbuhkan kesadaran baru,
menumbuhkan kepekaan, keyakinan dan mengembangkan
sikap.

Proses belajar yang mekanistik mengakibatkan para siswa
merasa bosan dan aktivitas pembelajar menjadi hambar tanpa
kegairahan. Proses pembealaram seperti ini tidak akan
membantu para siswa dalam mengembangkan cita-cita dan
mengidentifikasi atau menentukan nilai-nilai yang dipandang
sangat penting dalam menjalankan hidupnya. Untuk
membantu para siswa, dalam hal ini diperlukan proses belajar
yang menumbuhkan imajinasi dan menyentuh hati. Dengan
kata lain di sini diperlukan proses belajar yang menyebabkan
para siswa tergugah, terinspirasi, dan tercerahkan.

Apabila para siswa tergugah, terinspirasi dan tercerahkan,
maka pembelajaran akan menjadi sebuah proses yang sangat
menyenangkan, atau menggairahkan baik bagi siswa maupun
pengajar. Dengan demikian belajar tidak lagi dirasakan
sebagai beban, tetapi sebuah kegembiraan dan kebutuhan.
Menurut pengamatan penulis, sedikit sekali usaha yang sudah
dilakukan untuk membantu para guru dalam meningkatkan
keahliannya dalam mengembangkan proses pembelajaran
seperti ini. Nampaknya lebih banyak usaha dilakukan untuk
menyusun mekanisme untuk mengalihkan pengetahuan atau

109

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

keterampilan kepada para siswa atau meningkatkan
penguasaan pengetahuan dalam bidang tertentu.

Sekolah diharapkan dapat menjadi lingkungan yang
membantu para siswa mengembangkan perilaku yang
dipandang baik di masyarakat. Sayang sekali dalam banyak
kasus pengembangan perilaku yang baik ini dilakukan secara
instruksional dan bahkan dogmatik, atau dengan menakut-
nakuti. Hasilnya sering sekali adalah berkembangnya perilaku
tanpa akar kesadaran atau perilaku atas dasar ketakutan.
Perilaku yang berkembang bukan pilihan sadar dan cerdas
dari siswa yang bersangkutan. Perilaku baik tanpa kesadaran
akarnya sangat dangkal. Apabila lingkungan tidak lagi
‘memaksa’ dia untuk berperilaku seperti itu, perilaku baik itu
akan ditinggalkannya.

Perubahan peran Guru dan Kepala Sekolah

Pengembangan empat jenis kecakapan di atas secara simultan
memerlukan juga perubahan-perubahan pada peran kepala
sekolah dan guru. Peran sebagai pengajar saja dan kegiatan
yang berfokus hanya pada penambahan pengetahuan para
siswa tidak lagi mencukupi. Demikian juga halnya dengan
peran Kepala Sekolah. Peran sebagai pengawas, peran sebagai
pemeriksa, sebagai administrator atau manajer sekolah saja
tidak lagi mencukupi. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis
peran yang perlu ditonjolkan oleh para guru dan kepala
sekolah untuk membantu para siswa mengembangkan empat
kecakapan tersebut di atas yaitu peran sebagai pemimpin
transformasional, peran sebagai pembangun komunitas, dan
peran sebagi pembelajar.

110

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

Peran sebagai Pemimpin Transformasional.

Pemimpin transformasional menggugah orang-orang yang
dipimpinnya untuk mengerahkan potensinya secara maksimal
dengan cara memberi inspirasi, menumbuhkan aspirasi,
menumbuhkan kepercayaan diri untuk menghadapi
tantangan baru dan menghadapi perubahan. Pemimpin
transformasional menumbuhkan inspirasi tidak hanya dengan
kata-kata tetapi dengan contoh atau perbuatan nyata.
Pemimpin transformasional membantu orang-orang yang
dipimpinnya merumuskan tujuan dan visi hidupnya,
mendorong mereka untuk mencoba hal-hal baru dan
memberikan apresiasi atau penghargaan terhadap setiap
kemajuan dan keberhasilan yang telah dicapai. Pemimpin
transformasional membantu orang yang dipimpin untuk
menemukan makna dalam tugas-tugas yang dilakukan,
membuka kesempatan untuk belajar, dan memberi perhatian
besar kepada anggota secara individual. Pemimpin
transformasional memotivasi dengan menyentuh dan
menggugah hati. Dalam kaitannya dengan sekolah, orang-
orang yang dipimpin oleh Kepala Sekolah adalah para guru,
para siswa dan karyawan non pengajar yang bekerja di
sekolah.

Peran sebagai Pembangun Komunitas,

Dalam membangun komunitas di sekolah, guru dan kepala
sekolah bertindak sebagai fasilitator, sebagai perekat diantara
anggota komunitas. Mereka perlu bersama-sama mebangun
rasa saling percaya dan membangun cita-cita bersama. Dalam
sebuah komunitas, ada semangat untuk tumbuh dan
berkembang bersama dan kerelaan untuk berbagi. Dalam
komunitas’ orang-orang merasa saling memerlukan. Dalam

111

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

membangun komunitas, kepala sekolah dan guru mendorong
berkembangnya kemauan dan kemampuan untuk bekerja
sama secara kreatif. Inti anggota komunitas di sekolah adalah
para siswa, guru, kepala sekolah, petugas administrasi dan
orang-orang lain yang bekerja di sekolah. Namun komunitas
yang lebih luas mencakup orangtua siswa, dewan sekolah dan
pihak-pihak berkepentingan yang lain. Dalam hal ini guru dan
kepala sekolah menjadikan sekolah tidak hanya sebagai
tempat mengajar, namun menjadi komunitas belajar. Dalam
komunitas belajar orang-orang belajar dengan senang hati,
gembira, penuh semangat, belajar sendiri-sendiri dan
bersama-sama, belajar dari siapa dan dari mana saja, setiap
saat. Di sini belajar sudah menjadi kebiasaan, kebutuhan,
kesenangan, kegembiraan, bukan kewajiban.

Peran sebagai Pembelajar Prima.

Di atas telah dikemukakan bahwa pengetahuan manusia
bertambah makin lama makin banyak dan makin cepat. Kalau
seorang guru atau kepala sekolah ingin punya peran positif
bagi para siswanya, maka merupakan suatu keharusan bagi
mereka untuk terus menerus memperbaharui dan
memperluas pengetahuannya. Apabila tidak, maka mereka
akan ketinggalan jaman, mereka cenderung akan menerapkan
cara pandang, cara berpikir, cara pendekatan dan cara kerja
yang sudah usang. Kepala sekolah dan guru-guru seperti itu
akan menjadi beban bagi para siswanya, mereka bukannya
mendorong siswa untuk maju namun menyeret para siswa
ke belakang. Dalam keadaan seperti itu, mereka secara tidak
sadar menyiapkan para siswa untuk menghadapi masa lalu,
bukan menyiapkan diri mengahadapi tantangan masa depan.
Sebab itu, seorang guru atau kepala sekolah dituntut untuk
menjadi pembelajar prima, artinya orang yang senang belajar,

112

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi —————————

punya semangat tinggi untuk belajar, terbuka untuk belajar
dari manapun, dari siapapun dan belajar sepanjang hayat.

KATA PENUTUP

W.R. Supratman menyampaikan pesan yang sangat arif dan
penting ketika menulis lirik Lagu Indonesia Raya tentang
’membangun jiwa, dan membangun badan’. Bukan suatu
kebetulan apabila ‘bangunlah jiwanya’ mendahului
’bangunlah badannya’. Suatu bangsa tanpa jiwa adalah
bangsa tanpa ’roh’, tanpa jatidiri, dan adalah bangsa ’zombi’.
Pendidikan pada dasarnya adalah pembangunan jiwa bangsa.
Pembangunan jiwa bangsa ini lebih daripada sekedar
pengembangan dan penguasaan kompetensi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang disampaikan
di atas tidak banyak yang baru, dalam arti bahwa banyak
negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Korea, Taiwan
dan sekarang China, telah melakukannya. Demikian juga hal-
hal di atas bukanlah sesuatu yang tidak realistik, karena
dalam kenyataannya negara-negara lain dapat melakukannya
dengan baik. Memang benar bahwa kondisi negara kita
berbeda dari negara-negara tersebut. Namun hal itu tidak
begitu saja dapat dijadikan alasan untuk tidak belajar dari
keberhasilan atau kegagalan mereka.

Berkaitan dengan perubahan pada tataran operasional di
sekolah-sekolah, hal itupun bukan hal yang mustahil. Institut
Teknologi Bandung melalui Pusat Penelitian Teknologi-ITB
sejak tahun 1992 melakukan kerjasama dengan para guru dan
kepala sekolah SLTP serta SMU (sampai saat ini sekitar 1500
guru) untuk merintis perubahan di sekolah-sekolah agar
sekolah menjadi lingkungan belajar yang mengembirakan dan
manusiawi sehingga para siswa lebih mudah dan terdorong

113

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

untuk memunculkan potensi mereka semaksimal mungkin.
Upaya ini berkembang terus sampai saat ini, perubahan-
perubahan terjadi, dan gerakan perubahan ini dimotori sendiri
oleh para guru dan kepala sekolah.
Melakukan perubahan memang tidak mudah, bahkan sering
kali sulit. Perubahan tidak akan terjadi kalau sebelum mulai
orang mengatakan ‘itu bisa, tetapi sulit’. Namun perubahan
akan terjadi kalau orang mengembangkan sikap ‘sulit, tetapi
bisa’. Perubahan-perubahan yang disarankan di sini
didasarkan atas semangat dan kearifan yang sering kali
disampaikan oleh para orang tua dalam ungkapan ’berakit-
rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’, bukan sebaliknya.

Catatan Akhir

[1]. http://www.undp.org
[2] Richard N. Foster& Sarah Kaplan, ’ Creative Destruction’, Prentice Hall,
London, 2001
[3] Peter M. Senge et.al, ‘The Fifth Disciplin Field Book’, Currency
Doubledys, New York, 1994, h.237.
[4] Uraian lebih lengkap mengenai Kecerdasan Majemuk dapat dilihat pada
buku Howard Wagner, ‘Multiple Intelligences: Theory and Practices’ Basic
Book, 1993.
[5] Victoria Neufeldt & David B. Guralnik, Webster New College Dictionary,
(Third Edition, MacMillan, 1996), h. 235
[6] Karl Erik Sveiby, ‘The New Organizational Wealth’, Beret Kohler
Publisher, San Fransisco, 1997, h. 35.

114

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

KEBUTUHAN MENDESAK UNTUK 

5 MENEGAKKAN KEMBALI PENDIDIKAN DI 
INDONESIA * 

PENDAHULUAN

Pada Awal tahun 1990-an ketika perekonomian Indonesia
dipuji-puji sebagai contoh keberhasilan pembangunan
ekonomi negara berkembang, penulis dan beberapa orang
teman di Pusat Penelitian Teknologi-ITB sering berbagi
kecemasan. Walaupun bukan pakar ekonomi, kami merasa
bahwa ada yang tidak ’beres’ dengan kemajuan ekonomi
waktu itu, dan kami merasa suatu hari nanti akan muncul
masalah besar [1]. Dengan melihat pada pengalaman bangsa
lain dan berdasarkan ‘common sense’ orang biasa, kami
berpendapat bahwa untuk membangun ekonomi yang kuat
yang berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan dua hal
sebagai syarat utama, yaitu pendidikan yang baik dan
pemerintahan yang bersih. Ketika itu, istilah good governance,
belum banyak dibicarakan di Indonesia.

* Risalah ini ditulis sebagai penghormatan penulis kepada almarhum Prof Dr
Moedomo, Guru Besar ITB, dan disajikan dalam Seminar “ Mengenang
Moedomo” di Aula Barat ITB pada tanggal 1 April 2006.

115

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

Sebuah bangsa yang tidak berhasil membangun dan
mengembangkan pendidikan yang baik, dalam jangka
panjang tidak akan mampu membangun perekonomian yang
kuat walaupun bangsa tersebut ‘beruntung’ dianugrahi
sumber daya alam yang melimpah. Sejalan dengan itu,
ekonomi yang kuat tidak bisa dibangun dengan bertumpu
pada birokrasi pemerintah yang korup, lamban dan tidak
efisien. Ketika itu, kami lihat bahwa dua landasan yang
dipersyaratkan tersebut tidak dipenuhi atau belum dibangun
di Indonesia, walaupun dari luar kelihatannya pembangunan
ekonomi berhasil. Ini semacam keberhasilan pembangunan
ekonomi yang bersifat semu, semacam gelembung sabun
yang setiap saat bisa kempes atau meledak.

Risalah ini ditulis dengan bertitik tolak pada pandangan
bahwa kekurangberhasilan bangsa Indonesia dalam
pembangunan perekonomian dan juga pembangunan sosial
budaya, penyebab utamanya adalah kekurangberhasilan
dalam membangun jiwa dan sistem pendidikan, serta tidak
adanya investasi yang mencukupi untuk pendidikan bagi
rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia, sampai saat ini
belum memenuhi harapan para pejuang kemerdekaan yang
dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itu, usaha besar-
besaran dan sistematik perlu dilakukan untuk membangun
dan menegakkan kembali pendidikan di Indonesia. Di sini
hanya dibahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan
kembali pendidikan, karena banyak bagian pendidikan di
Indonesia yang sudah ‘miring’ atau bahkan mugkin sudah
tergeletak.

116

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

PANDAI, TERPELAJAR, TAHU BANYAK,
NAMUN BELUM TENTU TERDIDIK.

Suatu sore, di kantor sebuah perusahan perjalanan Jakarta-
Bandung, seorang pemuda, sambil berbicara dengan petugas
penjual tiket, dengan tenang membuang robekan-robekan
kertas ke lantai keramik yang bersih. Tanpa minta ijin, dia
mengambil begitu saja kertas tissue yang berada di depan
petugas ticketing. Si pemuda membersihkan muka dengan
kertas tissue dan sesudah itu dengan seenaknya membuang
kertas tisssue yang kotor ke lantai, di depan mata calon
penumpang yang lain. Ternyata pemuda tersebut adalah
seorang mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Bandung.
Dilihat dari penampilannya, nampaknya dia bukan dari
keluarga golongan ekonomi lemah.

Dalam mailing-list dosen sebuah perguruan tinggi, sering kali
dosen-dosen berkeluh kesah menyampaikan kekecewaannya
mengenai tingkah laku sebagian mahasiswa yang tidak sopan,
kurang senonoh, kurang tata-krama. Di perguruan tinggi ini
juga sering dibicarakan tentang kurangnya ‘soft skill’ para
mahasiswa dan para lulusan.

Sekelompok mahasiswa mengeluh tentang dosen yang sering
datang terlambat, dan tidak pernah minta maaf kepada para
mahasiswa atas keterlambatannya. Suatu hari, para
mahasiswa yang mengikuti sebuah mata kuliah menunggu
dosennya selama satu jam. Dosen yang ditunggu belum
muncul juga. Karena tidak ada berita dari sang dosen, para
mahasiswa mengira dosennya tak akan hadir dan mereka
meninggalkan kelas. Namun, sang dosen akhirnya datang
sesudah terlambat lebih dari satu jam, dan menemukan

117

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

kelasnya kosong, tidak ada mahasiswa. Dalam kuliah
berikutnya sang dosen memuntahkan kemarahannya kepada
mahasiswa, dan pada akhir semester tak seorang mahasiswa
pun yang mengikuti kuliah tersebut dapat nilai C; semuanya
dapat nilai D atau lebih buruk.

Mahasiswa lain bergunjing dengan temannya tentang seorang
dosen. Mereka tidak mengerti mengapa dosen yang
bersangkutan tidak pernah membalas ucapan salam yang
disampaikan oleh mahasiswa, khususnya kalau mahasiswa
kebetulan berpapasan dengan dosen tersebut. Bahkan ada
kalanya, apabila mahasiswa tersenyum ketika bertemu
dengan sang dosen, si mahasiswa malah seperti ’dimarahi’,
’kok senyum’.

Cerita di atas adalah kisah nyata. Bukan karangan. Kejadian
yang digambarkan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan
betapa seorang pemuda yang sangat pintar, karena telah
berhasil diterima di perguruan tinggi bergengsi setelah
melalui proses seleksi yang sangat ketat, namun belum
menunjukkan sikap dan perilaku sebagai orang terdidik.
Tidak ada sopan santun, tidak ada kepedulian terhadap
lingkungan, tak merasa malu dan tak merasa bersalah
mengotori tempat yang bersih, bahkan di depan mata orang
banyak. Dalam hal kisah dosen, di sini kita melihat betapa
tingkat pendidikan yang sangat tinggi, tidak dengan
sendirinya disertai dengan meningkatnya kepekaan terhadap
etika. Dosen yang bersangkutan tidak fair terhadap
mahasiswa. Faireness adalah salah satu unsur penting dari
etika. Dosen tersebut memakai standar ganda. Standard yang
dia berlakukan terhadap mahasiswa, tidak diberlakukan
terhadap dirinya sendiri. Dia merasa berhak, dan tidak merasa
bersalah, membuang-buang waktu berpuluh-puluh bahkan
ratusan mahasiswa dengan membiarkan mereka menunggu.

118

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

Sementara para mahasiswa dianggap bersalah karena
membuang-buang waktu sang dosen, dan untuk itu mereka
harus dihukum. Dan kita tahu, dalam hal ini mahasiswa
berada dalam posisi tak berdaya karena mereka tidak bisa
menghukum dosen. Paling-paling yang mereka bisa lakukan
adalah beramai-ramai mengulang lagi mengambil mata kuliah
tersebut, karena nilai D yang diberikan si dosen
‘menghancurkan’ prestasi banyak mahasiswa, pada hal
prestasi tersebut mereka jaga mati-matian sejak dari tahun
pertama mereka kuliah.

Sudah barang tentu hal yang dikisahkan di atas bukan
gambaran semua dosen atau semua mahasiswa. Namun
kejadian seperti itu – kekurang peduliaan terhadap
lingkungan, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah,
rendahnya standard etika- tidak sulit kita temukan, bahkan di
kalangan mereka yang punya latar belakang pendidikan
tinggi.

Salah satu pemandangan sehari-hari yang menunjukkan
betapa belum terdidiknya sebagaian besar masyarakat kita
adalah suasana lalu lintas di jalan-jalan raya. Tidak jarang
pengendara mobil atau sepeda motor seenaknya melanggar
rambu-rambu lalu lintas. Di jalan tol Jakarta-Cikampek
pengendara mobil yang berlomba-lomba memacu kendaraan
di bahu jalan adalah pemandangan biasa, pada hal semua
orang tahu bahwa mengendarai kendaraan di bahu jalan itu
melanggar peraturan dan berbahaya. Kendaraan yang berjalan
lambat diharapkan memakai lajur sebelah kiri, namun yang
terjadi justru sebaliknya, kendaraan –kendaraan lambat ini
justru menguasai lajur paling kanan. Suasana semrawut lalu
lintas di jalan raya merupakan salah satu cerminan dari
’keterbelakangan’ kita. Setelah lebih dari 60 tahun merdeka,
sistem, substansi dan iklim pendidikan yang kita kembangkan

119

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

belum mampu membuat bangsa ini mendidik dirinya sendiri
untuk melakukan hal yang sangat sederhana dalam
kehidupan bermasyarakat di era modern yaitu mentaati
aturan lalu lintas.

Contoh yang sangat kasat mata dari belum berhasilnya
pendidikan, dan hal ini membawa dampak yang sangat buruk
terhadap kemajuan dan martabat bangsa, adalah merebak dan
mengakarnya korupsi, khususnya di kalangan lembaga-
lembaga pemerintah, lembaga publik, dan di perusahaan-
perusahaan yang dimiliki oleh negara. Sampai saat ini
Indonesia masih memegang predikat salah satu negara yang
korupsinya paling tinggi di dunia. Semua orang tahu bahwa
korupsi itu tindakan kejahatan dan berakibat buruk bagi
bangsa dan negara. Namun demikian, sampai saat ini korupsi
tetap meluas dan sulit diberantas. Bahkan, pada era otonomi
daerah sekarang ini, penyebar luasan korupsi ke daerah-
daerah menjadi makin cepat. Lebih memprihantinkan lagi
adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga
negara yang paling korup adalah Departemen Agama [2].
Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat
dipercaya, maka hal ini seharusnya merupakan tamparan
yang luar biasa kerasnya bagi masyarakat Indonesia. yang
merasa atau mengaku sebagai masyarakat atau bangsa yang
sangat religius. Namun yang menarik, tidak ada reaksi yang
keras dari tokoh-tokoh agama mengenai pernyataan ini,
bahkan ada yang berusaha mengingkari. Dari sudut pandang
pendidikan, ini berarti bahwa pendidikan kita, baik formal
maupun informal, secara umum belum mampu menghasilkan
orang-orang atau masyarakat yang secara tegas dapat
membedakan perilaku yang baik dari yang buruk,
membedakan yang secara hukum salah dari yang benar, dan
berani berpegang teguh pada yang benar dan baik.

120

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ————

INSTITUSI PENDIDIKAN CENDERUNG
MENJADI INSTITUSI PELATIHAN

Uraian di atas dimaksudkan untuk menunjukkkan betapa
sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum mencapai
hal-hal yang diharapkan yaitu menjadi suatu institusi yang
berperan besar dan efektif dalam mengembangkan potensi
insani bangsa, agar masyarakat kita menjadi masyarakat
yang cerdas, kreatif, berwatak baik, dan mampu tumbuh
berkembang dalam suasana kebhinekaan. Pendidikan kita
belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin
pendidikan kita sudah berhasil meningkatkan kecerdasan
sebagain penduduk Indonesia, namun belum kehidupannya.
Karena banyak orang cerdas namun kehidupannya tidak
cerdas, dalam arti hidup dengan standard etika yang rendah,
kurang peduli, tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah.

Banyak faktor penyebab dari kekurang-berhasilan ini. Penulis
berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab yang sangat
penting adalah merosotnya insititusi pendidikan di Indonesia
menjadi institusi pelatihan. Termasuk dalam institusi
pendidikan ini adalah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
kita. Di sini akan dicoba disoroti atau lebih tepat
ditonnjolkan, perbedaaan antara pendidikan dan pelatihan,
bukan dipertentangkan.

Kalau kita mau melihat hasil pelatihan yang sangat efektif,
nontonlah sirkus. Di sana kita bisa menyaksikan kuda yang
bisa ‘menari’, harimau yang terampil melompati kobaran api,
anjing laut yang bertepuk tangan dan lumba-lumba yang
melakukan gerakan akrobatik. Keterampilan yang
didemontrasikan hewan-hewan dalam sirkus tersebut adalah

121

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ———————————

hasil kerja keras para pelatih: pelatih kuda, pelatih harimau,
pelatih lumba-lumba. Dalam hal ini tidak dipakai istilah
pendidik kuda atau pendidik lumba-lumba. Sudah barang
tentu pelatihan tidak terbatas hanya untuk hewan. Ada
banyak jenis pelatihan untuk manusia. Dalam bidang olahraga
ada bermacam-macam pelatihan dan pelatih. Kina mengenal
pelatih sepak bola, pelatih renang, pelatih tinju, dan
sebagainya. Di sini juga tidak dipakai istilah, pendidik tinju
atau pendidik sepak bola. Jadi, kata pelatihan berkonotasi
sangat kuat dengan usaha-usaha yang berfokus pada
pengembangan keterampilan tertentu. Keterampilan ini bisa
bersifat fisik, maupun bersifat mental.

Dipihak lain, untuk menumbuh-kembangkan budi pekerti
yang baik, dipakai istilah pendidikan budi pekerti. Jadi
pendidikan mencakup usaha-usaha untuk mengembangkan
potensi insani yang lebih luas, yaitu pengembangan budi,
tidak hanya pengembangan akal dan keterampilan.
Menumbuhkan kesadaran baru, membangun rasa percaya
diri, mengembangkan kepekaan sosial, menajamkan tata-nilai,
mengasah keyakinan, mengembangkan rasa-bertujuan (sense
of purpose), atau secara umum membangun karakter atau
watak yang baik adalah ranah utama dari pendidikan. Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan
sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan
dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun
pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya
berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga
yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti
universitas, institut teknologi, dan yang lainnya.

Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan
cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif
untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan

122


Click to View FlipBook Version