PENGUATAN MODERASI BERAGAMA DI LINGKUNGAN KAMPUS SWASTA ISLAM Copyright© PT Penamudamedia, 2024 Penulis: Akhmad Shunhaji. Mamluatun Nafisah, Miftakhul Arif ISBN: 978-623-88948-4-0 Desain Sampul: Tim PT Penamuda Media Tata Letak: Enbookdesign Diterbitkan Oleh PT Penamuda Media Casa Sidoarium RT 03 Ngentak, Sidoarium Dodeam Sleman Yogyakarta HP/Whatsapp : +6285700592256 Email : [email protected] Web : www.penamuda.com Instagram : @penamudamedia Cetakan Pertama, Februari 2024 viii + 129, 15x23 cm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin Penerbit
v Kata Pengantar Amm[f[go’[f[ceog ql. q\ Bismillahirrahmanirrahim, segala puji milik Allah SWT, teriring shalawat dan shalam untuk Rasulillah SAW. Harmoni dan stabilitas kehidupan diharapkan oleh hampir setiap individu di perguruan tinggi. Kehidupan kampus yang harmonis dan stabil mendukung terwujudnya kreativitas dan inovasi. Kehidupan yang harmonis dan stabil dapat diwujudkan melalui penguatan moderasi beragama. Tulisan ini memaparkan praktik penguatan moderasi beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS), lebih fokus di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara, Tangerang, Banten. Tulisan ini memaparkan data-data lapangan terkait penguatan moderasi beragama. Buku juga diarahkan untuk membuktikan dampak penguatan moderasi beragama untuk mewujudkan harmonisasi dan menjaga stabilitas kehidupan di perguruan tinggi. Atas terselesaikannya tulisan ini, kami manghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:
vi 1. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melihat lebih dekat praktik penguatan moderasi beragama di kampus swasta Islam, hingga Menyusun buku ini. 2. Kopertais I wilayah DKI Jakarta dan Banten serta Para Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. 3. Ketua STISNU Nusantara Tangerang, Banten, dan seluruh jajaran yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menggali data secara mendalam. 4. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini. Tulisan ini disusun sedemikian rupa, secara komprehensif. Semoga bermanfaat. Tentu kami menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Masukan dan perbaikan yang konstruktif sangat kami harapkan. W[mm[f[go’[f[ceog ql q\ Jakarta, Januari 2024 Penulis
vii Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................. v Daftar Isi ..................................................................................... vii BAB I DINAMIKA MODERASI BERAGAMA ............................................... 1 BAB II PENGUATAN MODERASI AGAMA DI PERGURUAN TINGGI .......... 15 A. Memahami Makna Moderasi Beragama ................................15 B. Penguatan Moderasi Beragama di Sekolah Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS)..........................................54 C. Karakteristik Keberhasilan Penguatan Moderasi Beragama .......................................................................................................58 BAB III HARMONI DAN STABILITAS LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM SWASTA (PTKIS) .......................... 63 A. Harmonisasi Kehidupan Sosial di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) .............................64 B. Stabilisasi Kehidupan Sosial Menjelang Pemilihan Umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIS)........................78
viii BAB IV BEST PRACTICE MODERASI BERAGAMA DI STISNU NUSANTARA TANGERANG .................................................................. 88 A. Profil STISNU Nusantara Tangerang ......................................89 B. Moderasi Beragama dalam Menjaga Harmonisasi di STISNU Tangerang, Banten.....................................................................94 C. Stabilas Kehidupan Sosial di STISNU Nusantara Tangerang berbasis Moderasi Beragama ..................................................97 BAB V PENUTUP .................................................................................. 104 Daftar Pustaka .......................................................................... 107 Tentang Penulis ........................................................................ 112
1 BAB I DINAMIKA MODERASI BERAGAMA ERGURUAN Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) dewasa ini, digadang-gadang menjadi agen bagi praktik keberagaman yang moderat. Hal ini seiring dengan banyaknya temuan mengenai rentannya civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yang terpapar paham ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Sebut saja, riset Badan Intelijen Negara (BIN) yang menemukan fakta bahwa 39% mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, terpapar radikalisme. Sementara 24% P
2 nya mereka setuju terhadap aksi jihad demi tegaknya negara Islam.(Bahtiar, Purwadianto, and Juwono 2021) Setara Institut juga melakukan riset terhadap 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dari bulan Februari-April 2019. Hasilnya, 10 PTN meliputi Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung terpapar paham keagamaan yang eksklusif (Murtadlo, 2019). Fakta yang sama juga didapati Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Jakarta. Dalam risetnya, mendapati ada sebagian dari total responden, yang dalam hal ini adalah mahasiswa dan siswa, sebanyak 58,5% terindikasi memiliki sikap radikal. Sementara 20,1% lainnya bersikap toleran (Nisa et al., 2021). Survei kembali dilakukan oleh PPIM Jakarta pada tahun 2022 dalam skala nasional yang tersebar di 92 perguruan tinggi. Jumlah responden terdiri dari 2866 mahasiswa dan 673 dosen. Hasilnya, sebanyak 30,16% terindikasi memiliki sikap toleransi beragama yang rendah dan sangat rendah (PPIM UIN Jakarta, 2022). Dari data di atas, menunjukkan bahwa sikap intoleransi di lingkungan perguruan tinggi masih menyisakan masalah. Tentu ini menjadi tantangan besar perguruan tinggi sebagai pendidikan yang menekankan nilai keterbukaan, kebebasan, dan berpikir elcncm n[hj[ ch^ienlch[mc. W[ecf Pl_mc^_h RI, M[’lo` Agch menyampaikan bahwa Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) harus menjadi pusat pendidikan Islam yang toleran (Fakhruddin, 2022). Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIS) sebagai laboratorium
3 perdamaian harus menyuarakan framing beragama yang moderat dan toleran sesuai dengan ajaran agama (Hefni, 2020). Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia harus waspada terhadap sikap intoleransi, lebih-lebih menjelang pemilu 2024 (Gloria, 2023). Penggunaan politik identitas baik berkenaan dengan suku dan agama masih digunakan dalam pemilu 2024 nanti dan akan memicu perpecahan dan sikap radikalisme. PTKIS sebagai pendidikan tinggi harus menjadi social control dalam meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut Hamdan Zoelva, perguruan tinggi merupakan agen calon pemimpin bangsa yang sebagaian diantara mereka akan terjun di dunia politik. Secara moral, perguruan tinggi memiliki kewajiban ikut serta mengawasi, mengawal dan mengevaluasi jalannya demokrasi. Hanya saja, sikap netralitas dan independensi perguruan tinggi harus tetap dijaga. Ketua Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi, Harkristuti menyampaikan bahwa kenetralan kampus dalam pemilu nanti harus terus dijaga dari politik praktis (Hakim, 2023). PTKIS sebagai lembaga pendidikan yang yang berbasis tafaqquh fi ad-din tidak bisa menganggap remeh atas isu-isu intoleransi dan radikalisme, lebih-lebih menjelang pemilu tahun 2024. Pasalnya, terdapat sejumlah permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian secara serius oleh Stakeholders di lingkungan PTKIS, di antaranya; pertama, pemahaman civitas akademika mengenai konsep moderasi beragama masih kurang. Hal ini dibuktikan dari riset Muhammad Ulinnuha terhadap 153 responden yang tersebar secara nasional di 60 PTKIS. Responden adalah perwakilan dosen, mahasiswa, bahkan pimpinan perguruan tinggi. Hasilnya, pemahaman civitas akademika di
4 wilayah PTKIS yang berada di level kurang masih cukup besar yaitu 34% (Ulinnuha, 2022). Kedua, input mahasiswa baru di lingkungan PTKIS sangat beragam, baik yang berlatar belakang dari institusi pendidikan agama maupun yang umum. Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Suwendi, menyampaikan bahwa kisaran antara 15 sampai dengan 20% input mahasiswa baru di PTKISN berlatar belakang Madrasah Aliyah ataupun Pesantren. Sementara selebihnya, yakni 80 sampai dengan 85% merupakan lulusan dari sekolah umum (Suwendi, 2018). Dari data ini tentu menyisakan masalah untuk kapasitas ilmu agama yang dimiliki oleh mahasiswa baru PTKIS. Padahal mahasiswa merupakan agen perubahan yang mampu menyuarakan framing beragama yang moderat dan toleran sesuai dengan ajaran agama. Ketiga, dosen pengampu mata kuliah umum di lingkungan PTKIS, pada umumnya tidak berlatar belakang dari institusi pendidikan agama. Ini juga harus menjadi perhatian, mengingat keberadaan dosen menempati posisi strategis dalam mempengaruhi pola pikir mahasiswa. Dari ketiga hal di atas, -tentu masih banyak indikasi lainnya— menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh PTKIS cukup kompleks dan akan berdampak pada kualitas praktik keagamaan di lingkungan PTKIS. Oleh karenanya, sebagai agen praktik keagamaan moderat, PTKIS perlu melakukan sebuah upaya penguatan moderasi bagi seluruh civitas akademika melalui pembinaan yang tepat dalam rangka membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten Kenapa PTKIS wilayah Jakarta dan Banten? Ada tiga alasan, pertama, secara geografis, Jakarta dan Banten merupakan wilayah yang rentan terpapar paham intolernasi dan radikalisme,
5 berdasarkan survei BNPT 2017, Alvara Research Center 2017, PPIM UIN Jakarta 2017 dan Setara Insitute. Kedua, secara kuantitas, jumlah perguruan tinggi Islam di Jakarta dan Banten cukup banyak dan sangat beragam. Ketiga, Jakarta dan Banten menjadi tolak ukur wilayah lain di Indonesia. Berdasarkan data di atas, buku ini mencoba untuk memetakan dan mentipologikan ideologi civitas akademika di lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten. Pemetaan ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan bagaimana model dan strategi pembinaan yang tepat sebagai upaya penguatan keagamaan yang moderat dan toleran. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) yang berada di wilayah Jakarta dan Banten berada di bawah pembinaan Koordinator Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (KOPERTAIS) I. Oleh karena itu, buku menggali data yang diambil dari kampus-kampus Islam swasta di wilayah tersebut. Sekalipun demikian, memfokuskan diri pada kampus tertentu menjadi pertimbangan kuat. Alasan utamanya, tentu disebabkan luasnya wilayah dan banyaknya kampus yang berada dalam binaan Kopertais 1 tersebut. Sedangkan waktu menulis dan melengkapi data untuk membahas buku cukup terbatas. Karena itu, membatasi diri pada kampus tertentu merupakan pertimbangan yang cukup rasional. Selain itu, dengan memfokuskan diri untuk melakukan pada satu kampus, dimungkinkan akan memperoleh data-data yang lebih komprehensif, lebih tajam, dan mendalam. Dengan data-data tersebut didapatkan gambaran utuh untuk mengambil kesimpulan buku. Buku ini difokuskan pada kampus Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang. Hingga buku ini dilakukan, kampus ini merupakan satu-satunya kampus
6 swasta di Kopertais I Wilayah Jakarta dan Banten yang mengaktifkan kegiatan Rumah Moderasi Beragama. Buku ini juga mengunkap upaya yang sudah dilakukan STISNU Nusantara Tangerang dalam membangun harmoni dan menjaga stabilitas di lingkungan kampus. Selain itu, dalam buku ini ditemukan model harmonisasi dan stabilisasi lingkungan kampus berbasis penguatan moderasi beragama. Buku ini secara teoritis, memberikan kontribusi untuk: 1. Mengisi kekosongan kajian mengenai penguatan moderasi beragama di PTKIS wilayah Jakarta dan Banten 2. Memberikan gambaran mengenai model dan strategi penguatan moderasi beragama yang tepat sebagai upaya membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten secara umum, khususnya di STISNU Nusantara Tangerang. Selain itu, buku ini berkontribusi secara praktis untuk: 1. Menegaskan bahwa penguatan moderasi di lingkungan PTKIS menjadi agenda yang mendesak, mengingat PTKIS sebagai agen praktik keberagaman yang moderat dan toleran. 2. Menjadi bahan evaluasi terkait model pembinaan dalam upaya penguatan moderasi di lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten 3. Menawarkan model pembinaan yang tepat sebagai upaya penguatan moderasi beragama sebagai upaya membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten. Kajian mengenai moderasi beragama di lingkungan lembaga pendidikan, dalam hal ini Perguruan Tinggi dalam beberapa
7 tahun belakangan ini menjadi perhatian banyak peneliti. Hanya saja, buku sebelumnya objek yang dikaji hanya fokus pada bagaimana potensi radikalisme di Perguruan Tinggi secara umum. Buku mereka kurang fokus pada bagaimana pemetaan ideologi para civitas akademika di lingkungan PTKIS dan bagaimana model pembinaan yang tepat dalam rangka penguatan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang moderat. Oleh karenanya, riset ini dilakukan dalam rangka mengisi kekosongan tersebut. Di antara buku yang telah dilakukan adalah riset Pusat P_g\ch[[h I^_ifiac LPPM UNS ^_ha[h do^of ‚M_hangkal R[^ce[fcmg_ ^c K[gjom‛. A^[ nca[ n_g[ \_m[l y[ha g_hd[^c jieie pembahasan dalam buku ini (Marsudi et al., 2019). Pertama, kerentanan mahasiswa terpapar paham radikalisme. Menurutnya, mahasiswa UNS sangat potensial menjadi sasaran empuk gerakan radikalisme di mana usia muda cenderung lebih bersikap terbuka. Selain itu faktor ekonomi mahasiswa UNS, yang memang didominasi oleh kalangan menengah ke bawah menjadi lahan strategis dengan dalih pemberian makanan gratis agar berkenan mengikuti kajian mereka. Kedua, faktor penyebab dan penyebaran paham radikalisme. Diantara faktor penyebab sikap radikal, secara internal, minimnya pemahaman mahasiswa UNS terhadap kandungan Al-Qol’[h y[ha b[hy[ g_g[eh[c m_][l[ tekstual saja. Selain itu, secara eksternal adanya pengaruh negara lain yang memberikan support bagi tumbuhnya sentiment keagamaan. Belum lagi kemiskinan, sikap kecewa terhadap kebijakan pemerintah menjadi lahan empuk masuknya paham radikalisme di kalangan mahasiswa. Ketiga, strategi pencegahan radikalisme. Menurutnya, penguatan wawasan kebangsaan melalui mata kuliah PKN menjadi langkah awal pencegahan paham radikal. Selain itu, pendidikan agama juga tidak kalah
8 penting sebagai bekal pemahaman mereka terhadap ajaran agama yang sangat toleran. Tidak hanya itu, pendidikan karakter dan pendidikan multicultural juga sangat perlu disampaikan kepada mereka mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduknya sangat heterogen. Riset yang sama juga dilakukan oleh Basri dan Nawang Retno Dwiningrum yang melakukan kajian terhadap potensi radikalisme di Perguruan Tinggi, khususnya di Politeknik Negeri Balikpapan (Basri & Dwiningrum, 2019). Dalam risetnya, Basri dan Nawang melakukan buku survei dengan melibatkan mahasiswa sebagai responden, sebanyak 380 mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Dalam temuannya, sebanyak 8,4% mahasiswa aktif berorganisasi di luar kampus, 12,36% hanya aktif berorganisiasi di internal kampus, 7,89% aktif di internal dan di luar kampus. Sementara yang terindikasi terpapar paham radikalisme sebesar 1.04% yaitu 4 orang dari 380 mahasiswa. Selain itu juga peneliti dalam risetnya menganalisa 4 mahasiswa tersebut terpengaruh paham radikal karena ikut aktif dalam berorganisasi di luar kampus. Tidak hanya itu, Ulul Huda, Tenang Haryanto dan Budiman Setyo Haryanto juga melakukan riset mengenai bagaimana strategi penanggulangan paham radikalisme di lingkungan kampus kabupaten Banyumas (Huda et al., 2018). Dari hasil kajiannya, peneliti menyajikan beberapa tawaran strategi yang dapat digunakan dalam rangka penanggulangan pemahaman radikal. Adapun strateginya adalah pertama, melakukan kajian keagamaan secara konsisten di setiap fakultas dengan menghadirkan pakar dibidangnya untuk memberikan wawasan keagamaan yang ramah, damai dan toleran. Kedua, mengadakan kegiatan kemahasiswaan berbasis riset, bakat dan minat serta
9 pengembangan diri. Ketiga, pengawasan secara ketat oleh pimpinan kampus terhadap kegiatan-kegiatan di lingkungan kampus, misalnya masjid, mushalla, ruang organisasi mahasiswa, ruang pertemuan dan lain sebagainya. Keempat, Penguatan wawasan kebangsaan harus terus digalakkan kepada mahasiswa bisa dengan menyisipkan ke dalam mata kuliah. Tidak kalah menarik, Kementerian Agama pada tahun 2019, juga melakukan riset mengenai bagaimana implementasi nilainilai moderasi dalam pendidikan Islam (Aziz et al., 2021). Dalam risetnya, untuk implementasi nilai-nilai moderasi di perguruan tinggi dipetakan menjadi tiga tema besar, yaitu pertama, penguatan moderasi di PTKIS. Meskipun mahasiswa PTKIS cukup intens dalam mendalami ajaran agama Islam, tapi penguatan nilai-nilai moderasi sangat penting untuk dilakukan. Mengingat, mahasiswa memiliki peluang besar untuk mengakses segala informasi secara terbuka, baik dari literatur yang dibaca, ataupun mendapatkan informasi dari diskusi melalui berbagai forum ataupun media sosial. Kedua, penguatan moderasi di Perguruan Tinggi Umum (PTU). Ada beberapa strategi yang dapat diimplimentasikan dalam rangka penguatan moderasi di PTU, yaitu menyisipkan nilai-nilai moderasi dalam kegiatan pembelajaran di kelas, mengadakan forum-forum diskusi, memperbanyak literasi keagamaan yang moderat, memproduksi kontek- konten berwawasan moderat dan dipublish di media sosial dan lain sebagainya. Ketiga, penguatan moderasi melalui M[’b[^ [f-J[gc’[b ^c PTKIS ^[h PTU. M[’b[^ [f-J[gc’[b ^c\_hnoe dalam rangka untuk pendalaman materi keagamaan yang ramah, damai, dan toleran sebagai penguatan dari pendidikan formal. Rosyida Nurul Anwar dan Siti Muhayati juga pernah melakukan buku yang bertajuk Upaya Membangun Sikap
10 Moderasi Beragama melalui PAI pada Mahasiswa Perguruan Tinggi Umum (Anwar & Muhayati, 2023). Penulis menyajikan beberapa strategi dalam rangka penguatan moderasi di PTU dengan cara, mewajibkan mata kuliah PAI, mengadakan bimbingan baca Al- Quran, ketokohan dosen yang memiliki wawasan dan sikap moderat, adanya ruang diskusi khususnya dalam merespon isu-isu paham radikalisme dan sikap intoleransi, pembinaan dan pendampingan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan lain sebagainya. Dari hasil studi pustaka di atas, menunjukkan bahwa belum ada satupun karya akademik terdahulu yang mencoba untuk memetakan pemahaman moderasi beragama para civitas akademika di PTKIS wilayah Jakarta dan Banten. Pemetaan ini dilakukan sebagai langkah awal. Selanjutnya menentukan bagaimana model dan strategi penguatan moderasi beragama yang tepat sebagai upaya membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten. Sebagai kerangka awal, buku ini memetakan pemahaman moderasi beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Indikator dan prinsip moderasi beragama, menggunakan rumusan Kementerian Agama Republik Indonesia. PTKIS yang moderat menjunjung tinggi ajaran wasathiyyah, tawazun, toleransi, lurus dan tegas, egaliter, dan musyawarah. Sementara untuk indikatornya adalah memiliki jiwa nasionalis, toleransi, anti kekerasan, serta menghormati dan menghargai budaya lokal (Aziz et al., 2021). Untuk merumuskan hasil kajian buku tentang penguatan moderasi beragama dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS memerlukan konfirmasi toritis atas problematika yang muncul di lapangan. Teori yang digunakan untuk menganalisis hal tersebut
11 adalah teori habituasi sosial Bourdieu. Model ini dipilih karena beberapa alasan. Pertama, model ini ditemukan saat kehidupan sosial berada dalam era postmodern. Saat buku ini dilakukan, masyarakat kampus cenderung mempraktikkan kehidupan masyarakat postmodern. Kedua, dalam teori yang dipopulerkan oleh Bourdieu ini, menekankan pada internalisasi eksternal dan eksternalisasi internal. Pola ini dianggap cocok untuk mengkaji kehidupan sosial civitas akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Dengan menganalisis seluruh komponen dalam kehidupan kampus, diharapkan memperoleh data valid dan komprehensif untuk menarik kesimpulan atas buku yang dilakukan. Penyusunan buku ini dilandaskan pada data-data penelitian. Pendekatan penelitiannya adalah kualitatif berbasis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan praksis sosial Pierre Bourdieu. Penelitian lapangan berbeda dengan penelitian pustaka (library research). Penelitian pustaka dengan analisis deskriptif, dilakukan dengan cara mengumpulkan data pustaka, menyusun atau mengklarifikasi data pustaka tersebut. Selanjutnya, data disusun dan diinterpretasikan (Shunhaji 2019). Sementara, buku lapangan dilakukan untuk memperoleh data nyata yang dibutuhkan sebagai pemecahan masalah(Ahmad and Laha 2020). Praksis sosial dipilih arah buku mengungkap critical sociology di jaman postmodern. Dalam pandangan Bourdieu, realitas sosial perlu dipandang dalam konteks internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior(Mustikasari, Arlin, and Kamaruddin 2023). Internalisasi eksterior dipahami dengan segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial diinternalisasikan pada dirinya. Adapaun eksternalisasi
12 interior dimaknai dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi diungkapkan atau diekspesikan melalui perasaan, pemikiran, maupun tindakan. Partisipan penelitian saat menggali data dalam buku ini adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara, Tangerang, Banten. Partisipan sebanyak 51 orang mahasiswa. Pengambilan jumlah partisipan ini diyakini sebagai informan kunci (key informan). Mereka bukan sekedar memberikan informasi atas data yang diperlukan oleh peneliti. Mereka juga memberikan data-data yang mendukung dan memberikan masukan-masukan kepada peneliti untuk penyempurnaan data. Setelah data atau informasi dikumpulkan, selanjutnya data diuji keabsahannya melalui teknik-teknik berikut: Pertama, Triangulasi Metode: jika informan atau data yang berasal dari hasil wawancara misalnya, perlu diuji dengan hasil observasi dan seterusnya; Kedua, Triangulasi Peneliti: jika informasi yang diperoleh salah seorang anggota tim peneliti, diuji oleh anggota tim yang lain; Ketiga, Triangulasi sumber: jika informasi tertentu misalnya ditanyakan kepada informan yang berbeda atau antara informan dengan dokumentasi; Keempat, Triangulasi situasi: bagaimana penuturan informan jika dalam keadaan ada orang lain dibandingkan dengan dalam keadaan sendiri; Kelima, Tiangulasi Teori: apakah ada ketersambungan penjelasan dan analisis antara satu teori dengan teroi yang lain terhadap hasil buku; Melalui pemeriksaan-pemeriksaan tersebut ditemukan perbedaan jawaban informan atau ada perbedaan data atau informasi yang ditemukan maka keabsahan data diragukan kebenarannya. Dalam keadaan seperti ini peneliti harus
13 melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sehingga diketahui informasi yang paling benar. Peneliti menggunakan metode triangulasi sumber untuk pemeriksaan keabsahan data, berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam buku kualitatif (Moleong, 2010). Sistematika pembahasan buku ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama sebagai pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti memaparkan rancangan buku. Sebagai rancangan, sudah barang tentu bab 1 menjadi bab penting yang mendasari keseluruhan buku. Pembahasannya yaitu tentang latar belakang masalah, perumusan, tujuan, kontribusi buku, metode, teori yang digunakan, termasuk mempertimbangkan buku sebelumnya. Sementara, bab kedua menjadi landasan yang nantinya mampu dijadikan tolak ukur data temuan di lapangan. Karenanya, bab ini menyusun kerangka teori terkait dengan penguatan moderasi beragama dan turunanya. Bab ketiga hampir serupa dengan bab kedua. Jika bab kedua membahas teori dan landasan berpikir terkait penguatan moderasi beragama, maka bab ketiga ini membahas landasan berpikir tentang harmonisasi dan stabilisasi kehidupan sosial. Terutama, harmonisasi dan stabilisasi kehidupan sosial di PTKIS. Pembahasan dimulai dari pemahaman atas istilah harmonisasi dan stabilisasi tersebut serta faktor penyebab keberhasilan dan kendala ketika diterapkan di perguruan tinggi. Bab keempat merupakan bagian penting yang menganalisa data yang ditemukan. Untuk memudahkan pembahasan, bab ini diawali dengan melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap pemahaman moderasi beragama para civitas akademika di STISNU Nusantara Tangerang, Banten. Setelah itu, peneliti
14 melakukan analisa model pembinaan yang tepat sebagai upaya penguatan moderasi secara optimal sebagai upaya membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan PTKIS wilayah Jakarta dan Banten. Bab kelima merupakan bab penutup. Pada bab ini, diawali dengan penyampaian kesimpulan yang menjadi jawaban atas rumusan masalah yg sudah disusun di awal. Selain itu, peneliti juga memaparkan saran yang menjadi bahan masukan untuk buku berikutnya maupun untuk pengembangan lain.
15 BAB II PENGUATAN MODERASI AGAMA DI PERGURUAN TINGGI A. Memahami Makna Moderasi Beragama Moderasi beragama berasal dari dua kata, yaitu moderasi dan agama. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa inggris, moderation, yang dalam KBBI memiliki arti, sikap sedang atau sikap tidak berlebihan (KBBI, moderasi). Agama dalam KBBI merupakan ajaran yang mengatur tata cara keimanan dan peribadatan kepada Tuhan dan menjadi tata kaidah pergaulan manusia dengan manusia dan lingkungannya (KBBI, agama). Adapun istilah beragama diartikan
16 dengan menganut (memeluk) agama, beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya menurut agama), sangat memujamuja; gemar sekali pada; mementingkan (KBBI, beragama). Dengan demikian secara bahasa, moderasi beragama dapat dimaknai dengan sikap seseorang dalam Moderasi beragama dalam bahasa arab disebut dengan al-wasaṭiyyah al-^īniyyah. Menurut Ibn Faris dalam Mo’d[g M[kāycm [f-Lughah, kata al-wasaṭiyyah secara etimologi berasal dari kata kerja wasatha yang bermakna adil, baik, tengah dan seimbang(Ibn Faris, 1979). Seseorang yang adil akan berada di tengah dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan. Senada dengan Ibn Faris, alAsfahani mendefinisikan wasaṭa dengan m[q[’oh, yaitu tengah-tengah di antara dua batas (Al-Asfahaniy, 2009). Menurut Pakar tafsir Abu al-So’o^, e[n[ wasaṭa pada mulanya menunjuk pada sesuatu yang menjadi titik temu semua sisi, seperti pusat lingkaran (tengah), kemudian berkembang maknanya menjadi sifat-sifat yang terpuji karena tengah dari sifat-sifat tercela (Ibn Faris, 1979). Misalnya, sifat dermawan merupakan pertengahan antara sikap kikir dan boros, sikap berani merupakan pertengahan antara takut dan sembrono dan lain sebagainya. Makna yang sama juga disampaikan oleh al-Shallabi yang memaknai kata wasaṭiyyah dengan; pertama, dari akar kata wasṭ, yang berarti baina (antara). Kedua, dari akar kata wasaṭa, yang mengandung banyak arti, di antaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna khiyar (terpilih), terutama, terbaik; (3) wasaṭ yang bermakna al-‘[^f atau adil; (4) wasaṭ juga bisa bermakna sesuatu yang berada
17 di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (l[^c’) (Al-Salabi, 2001). Ini artinya, dengan meminjam istilah Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft yang dikutip oleh Zuhairi Misrawi, bahwa wasaṭiyyah berarti mengambil posisi tengah, tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri (Zuhairi Misrawi, 2010). Beberapa pemaknaan secara etimologi di atas menunjukkan bahwa wasaṭiyyah menjadi garis pemisah dari dua hal yang berseberangan. Seperti dalam ungkapan ‚eb[clo [fumūlc [qm[ṭob[‛ (sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan), ini artinya berada di tengah akan terlindungi dari cela atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung. Kebalikan dari wasaṭiyyah adalah taṭarruf, yang menunjuke[h g[eh[ ‚e_]_h^_loha[h e_ [l[b jchaacl[h‛ ‚_emnl_gcmg_,‛ ‚l[^ce[fcmg_,‛ ^[h ‚\_lf_\cb[h‛ (Hashim Kamali, 2015). Sementara wasaṭiyyah (moderasi) secara terminologi, menurut Yusuf al-Qardhawi adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang (Al-Qaradawi, 2011). Senada dengan al-Qardhawi, Wahbah Zuhaili mengartikan wasaṭiyyah sebagai keseimbangan dalam keyakinan, sikap, perilaku, tatanan, muamalah dan moralitas (Az-Zuhaili, 2010). Dengan demikian, terminologi wasaṭiyyah menuntut adanya keseimbangan antara dua hal yang berbeda atau bertentangan dan sikap penolakan terhadap ekstremitas. Islam mengajarkan untuk berfikir realistis terhadap problematika
18 umat. Berfikir realistis ini, pada gilirannya, menuntut umat Islam untuk senantiasa membaca realitas secara arif seraya mendialogkannya secara terus-menerus dengan pesan-pesan agama sebagaimana terdapat dalam Al-Qol’[h dan Sunnah. Kemauan dan kemampuan mendialogkan teks (agama) dan konteks (sejarah) ini dipercaya akan memberikan maslahat yang lebih besar, bukan hanya buat umat Islam, melainkan juga buat umat lainnya, sehingga tujuan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin akan tercapai. Selain terminologi wasaṭiyyah, istilah moderasi juga merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, di antaranya, pertama, at-tawazzun (berkeseimbangan) dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qol’[h ^[h H[^cm). Kedua, al-c‘nc^āf (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. Ketiga, n[māgoḥ (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. K__gj[n, gomāq[b (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang. Secara substantif, ajaran Islam mengedepankan dakwah secara damai, ramah dan toleran. Karena pada dasarnya manusia diarahkan untuk berada di garis lurus tanpa pernah berlaku yang keras baik terhadap sesama Muslim maupun non Muslim. Gambaran moderat juga terdapat pada diri Rasulullah saw. yang tidak pernah mengusik penganut ajaran lain, berbuat zalim maupun sikap yang lainnya. Bahkan lebih
19 dari itu, beliau selalu mengajak para sahabat untuk selalu bersikap lemah lembut dan hidup rukun serta menjauhi bersikap kasar kepada orang lain. Ini artinya, Islam adalah agama yang sangat moderat, tidak berlebihan dalam segala perkara, tidak berlebihan dalam agama, tidak ekstrem pada keyakinan, tidak angkuh dan lain-lain. Tidak berlebihan jika ummah wasaṭan (Muslim moderat) menjadi model yang akan menjadi saksi dan atau disaksikan di hadapan seluruh umat manusia. Adapun kata beragama, dalam KBBI, diartikan dengan menganut (memeluk) agama. Beragama juga berarti beribadat, dan bisa juga berarti taat kepada agama. Ada juga yang mendefinisikan beragama sebagai prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Berdasarkan penjelasan di atas, beragama berarti cara seseorang menjalankan ajaran agama atau aliran kepercayaannya. Ia bukan agama itu sendiri tapi tafsir sekaligus praktek dan aktualisasi ajaran agama dalam kehidupan nyata. Menurut Komarudin Hidayat, setidaknya ada lima tipologi sikap keberagamaan, yakni eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas (Komarudin Hidayat, 1998).
20 Lima sikap keagamaan di atas tidak mencerminkan paham moderasi dan titik tengah dalam beragama. Masingmasing dari kelima sikap tersebut mengarah pada salah satu titik ekstrem pada posrsi masing-masing. Eksklusivisme dalam bidang agama cenderung menolak kelompok yang berbeda. Orang-orang yang memiliki paham agama ekslusif hanya bersedia bersama kelompoknya, tidak menerima orang lain yang berbeda. Inklusivisme berbeda dengan eksklusivisme. Dalam pandangan beragama yang inklusif lebih terbuka. Pandangan beragama mereka mengakui keberadaan agama lain yang berbeda darinya. Sekalipun demikian, mereka yang berpandangan inklusif meyakini pihannya adalah pilihan terbaik. Berbeda juga dengan mereka yang berpandangan pluralis. Pluralisme beragama mirip dengan inklusivime beragama. Bedanya, mereka yang berpikir inklusif dalam beragama menyadari adanya keyakinan yang berbeda di luar keyakinannya sendiri. Mereka meyakini bahwa agama yang dianut adalah agama yang benar satu-satunya. Orang lain yang meyakini agama berbeda adalah mereka yang meyakini kebenaran agama juga. Masing-masing individu diakui kebenaran keyakinannya. Eklektivisme ini berbeda lagi. Pandangan beragama eklektivis memilih kebaikan ajaran semua agama. Semua agama memiliki ajaran-ajaran kebaikan universal. Di sisi lain, ajaran agama terkadang dirasakan beban dan membuat pemeluknya tidak dapat menemukan pilihan. Pandangan eklektivis dalam beragama mengambil ajaran kebaikan
21 agama-agama untuk dipraktikkan dalam kehidupan seharihari. Adapun universalisme beragama berpandangan pada pemikiran yang alami. Agama bermula dari sumber yang sama. Tuhan yang memiliki wahyu pada makhluk para utusan-Nya adalah Tuhan yang sama. Karena itu, dalam pandangan kelompok ini, semua agama sama-sama memiliki nilai kebenaran yang serupa. Karena itu perlu ada tawaran keenam sebagai jalan tengah yaitu moderatisme/moderasi beragama. Moderasi beragama yang dimaksud di sini adalah cara pandang dan sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif) (Lukman Hakim Saifuddin, 2019). Tawaran keenam yang dimaksud adalah keseimbangan antara kelima kelompok tersebut. Keyakinan dan pemahaman terhadapa kebenaran agama, dapat diyakini oleh pemeulk masing-masing. Karenanya, seseorang yang meyakini kebenaran agama yang dianut tidak dapat memaksakan kebenaran tersebut pada orang lain yang meyakini agama yang berbeda. Perlu pemahaman mendalam atas perbedaan ini. Sekalipun demikian bukan berarti terpisah tanpa ada ikatan kerjasama antara kedua kelompok. Perlu ada jalan tengah yang menyeimbangkan antara kelompok tersebut. Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini yang diharapkan dapat menghindarkan umat dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi inilah yang akan mengantarkan
22 pemeluk agama menjadi saksi sekaligus disaksikan sebagai orang terbaik sepanjang hidupnya. 1. Karakteristik dan Indikator Moderasi Beragama Sebagai jawaban atas berkembangnya paham dan gerakan kelompok yang intoleran, rigid, dan mudah mengkafirkan (takfiri), maka perlu dirumuskan apa saja yang menjadi indikator sikap moderat dalam beragama, terutama dalam memahami dan mengamalkan teks-teks keagamaan. Berikut ini dijelaskan beberapa ciri utamanya, antara lain: a. Memahami Realitas (Fiqh al-Wākc’) Salah satu indikator sikap moderat adalah memahami realitas. Ungkapan bijak menyatakan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tetap atau tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya dengan manusia yang dianugerahi Allah potensi untuk terus berkembang. Konsekuensinya, manusia akan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Terbukti, sejak periode awal perkembangan Islam, sejarah telah mencatat banyak fatwa yang berbeda, hal ini disebabkan oleh realitas kehidupan masyarakat yang juga berbeda. Menurut Mukhlis Hanafi, ajaran Islam memiliki dua tipologi; pertama, berisikan ketentuan ṡ[qā\cn (tetap), yang bersifat uṣūfcyy[b (prinsip-prinsip) dan g[kāmbc^ (menjadi tujuan) seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah, dan ini hanya sedikit. Sedangkan kedua, berisikan ketentuan-ketentuan gon[ab[yyclān yang bersifat `olû’cyy[b (cabang-cabang) dan wasā’cf (sarana untuk mencapai tujuan) itu elastis/fleksibel, berubah sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu, dan ini banyak
23 sekali ditemukan dalam nash (Mukhlis M. Hanafi, 2013). Ini artinya, ajaran Islam sangat fleksibel dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman dan mengakomodasi isu-isu yang muncul, dan itu sebagai implementasi dari ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin (Al-Qaradhawi, 1999). Fleksibilitas ajaran Islam telah diakui oleh seorang orientalis sekaliber Thomas Arnold. Ia mengatakan 'kesederhanaan dan kejelasan ajaran Islam sesungguhnya menunjukkan sebuah kekuatan Islam yang efektif terutama dalam kegiatan dakwah Islam (Al-M[l[’[myfc, 2003). Misalnya saja kisah nabi Muhammad terkadang menerima pertanyaan dari beberapa orang penanya dengan pertanyaan yang sama dan beliau memberi jawaban yang berbeda antara penanya yang satu dengan penanya yang lain. Misalnya, beliau ditanya tentang nasihat singkat tapi padat, beliau menjawab تغضة ال (kamu jangan marah). Kepada penanya yang lain, dengan pertanyaan yang sama, beliau menjawab آمنت قل استقم ثم تاهلل) katakanlah saya beriman kepada Allah dan tetaplah seperti itu). Dan, kepada penanya ketiga, beliau menjawab: لسانك عليك كف) jagalah lidahmu). Di samping itu, Nabi juga pernah ditanya tentang hukum bersentuhan (go\āmy[l[b) dengan isteri dalam keadaan berpuasa, dan beliau memperkenankannya. Namun, ketika suatu saat orang lain bertanya tentang masalah yang sama, beliau justru melarangnya. Ternyata, diketahui bahwa yang pertama adalah orangnya sudah tua sedangkan yang kedua anak muda (Al-Qaradhawi, 1999).
24 Contoh lain dari Abdullah bin Abbas. Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas dengan sebuah j_ln[hy[[h: ‚[j[e[b il[ha y[ha g_g\ohob il[ha mukmin ada taubatny[?‛ I\ho A\\[m g_hd[q[\: ‘nc^[e, ^c[ g[moe h_l[e[.’ S_n_f[b f[ec-laki itu pergi, orangorang yang hadir berkata kepada Ibnu Abbas: bukan seperti ini yang pernah engkau fatwakan kepada kami, mengapa sekarang berubah? Ibnu Abbas menjawab: saya yakin orang yang bertanya tadi benar-benar marah dan hendak membunuh orang mukmin. Setelah diselidiki, ternyata benar demikian (Al-Qaradhawi, 1999). Ini artinya, Ibnu Abbas membedakan antara orang yang punya potensi besar untuk membunuh dan tidak. Dari contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa memahami realitas menjadi sebuah keharusan, apalagi ketika hendak mengungkap kandungan Al-Qol’[h ^[h hadis. Misalnya, hadis fā nomā`cl [f-g[l’[no cffā g[’[ ^zī mahramin yang artinya bahwa seorang perempuan tidak boleh bepergian tanpa ditemani mahram. Melalui hadis ini pula sejumlah pendapat ulama yang melarang perempuan melakukan perjalanan secara mutlak tanpa ditemani oleh keluarga (maharam). Pendapat ini dapat dimaklumi bahwa dalam hadis di atas memang sangat tegas melarang. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana konteks yang melingkupi lahirnya teks hadis tersebut? di sinilah peran memahami realitas ketika hadis diucapkan oleh Rasul melalui penelusuran sejarah. Setelah melakukan penelusurah, ditemukan kesimpulan bahwa konteks sejarah perempuan ketika hadis itu lahir adalah kondisi yang tidak aman. Maka sangatlah wajar dan tepat jika kemudian Nabi melarang perempuan
25 keluar rumah (melakukan perjalanan) tanpa ditemani oleh seorang mahram. Ini tentu sangat menghargai dan menjaga perempuan dari segala gangguan. Dalam konteks modern, dimana perkembangan teknologi begitu canggih, maka kekhawatiran dari segala gangguan sudah tidak ada lagi seperti dulu. Maka larangan untuk bepergian tanpa mahram pun juga dapat dipahami dalam bentuk yang berbeda. Atau lahir sebuah hukum yang berbeda dengan berubahnya konteks yang ada. Sehingga perempuan yang ingin berangkat ke satu tempat (selama merasa aman) tidak perlu dikawal oleh seorang mahram (Al-Qaradhawi, 2006). Ini artinya ada sejumlah hukum yang dibangun oleh Rasulullah berdasarkan konteks zaman yang melingkupinya. Sehingga jika konteks itu berubah seperti zaman sekarang ini, maka tidak ada halangan untuk meninjau kembali hukum lama dan menggantikannya dengan hukum baru yang lebih baik dan bermaslahat bagi umat manusia. Contoh lain, kasus jual beli. Didapati empat ayat hukum yang berhubungan dengan jual beli yang tertuang dalam Al-Qol’[h, y[cno: QS. [f-Baqarah ayat 275, QS. anNcmā’ [y[n 29, QS. [f-Baqarah ayat 282, dan QS. al-Jogo’[b ayat 9. Dalam ayat tersebut, diterangkan hukum jual beli, persyaratan keridloan antara kedua belah pihak, f[l[ha[h lc\[, ^[h f[l[ha[h do[f \_fc q[eno [z[h dog’[n. Kemudian Rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada masa beliau. Selebihnya tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
26 Seiring dengan munculnya pasar modern saat ini, seperti Carrefur, Giant, Matahari, Ramayana, Lote, Indomart, Alfamart dan lain sebagainya yang merupakan contoh model jual beli modern. Transaksi dalam jual beli tersebut tanpa secara langsung berhadapan antara sipenjual dan pembeli. Walaupun tidak secara langsung transaksi kedua belah pihak tentunya tidak keluar dari prinsip [h n[lāḍin (kerelaan para pihak) dalam jual beli, maka jual beli di pasar modern tersebut adalah sah. Kasus lain mengenai musyawarah. Pada periode Madinah, Allah menurunkan ayat, ‚D[h \_lgomy[- waralah (Muhammad) dengan mereka dalam suatu olom[h‛. Pada masa Rasulullah saw., kehidupan masyarakat damai, tenang, dan tidak banyak gangguan yang berarti. Anggota masyarakat memiliki nurani yang relatif bersih dan memegang teguh norma-norma yang berlaku, sehingga, tidak banyak perselisihan. Oleh karena itu, Nabi Saw. Tidak mengangkat Qadi. Semua perkara beliau selesaikan sendiri. Para gubernur dan kepala pemerintahan yang membantu beliau tersebar di pelosok-pelosok negeri. Misalnya, Ali Ibn Abi Thalib, Muadz Ibn Jabal dan Abi Musa Al-Asyari yang juga memegang jabatan Qadi (Misbahuddin, 2010). Pada masa kekhalifaan Umar, beberapa orang diangkat menjadi Qadi, misalnya Abu Musa Al-Asyari, Syuraih, Kaab Ibnu Suwar. Sejak itu jabatan Qadi menjadi bagian tersendiri dalam pemerintahan Islam. Umar membekali mereka dengan suatu pedoman peradilan sebagai rujukan penetapan hukum. Pada masa pemerintahan Malik Ibnu Marwan, kasus-kasus perdata
27 mulai muncul. Khalifah menerima banyak sekali laporan dan keluhan yang menyangkut para pejabat seperti gubernur, perwira, dan petinggi pengadilan. Perkaraperkara seperti itu diselesaikan oleh khalifah sebagai kepala pemerintahan pusat dinasti Abbasiyah (AlQaradhawi, 1999). Berbagai perubahan dan perkembangan bentuk peradilan pada berbagai masa pemerintahan Islam itu benar-benar lahir dari pengalaman umat Islam. Tidak ada petunjuk konkret di dalam naṣ. Dalam sejarahnya yang panjang, umat Islam tidak pernah kesulitan memikirkan dan menciptakan berbagai sistem peradilan. Juga, tidak menganggap hal tersebut bid`ah (mengadaada) dalam agama, karena bid`ah hanya bersangkutan dengan peribadatan murni, yang memang harus diambil hanya dari syari'at. Dalam konteks Islam Indonesia, walisongo dalam dakwahnya senantiasa mengedepankan kesantunan dan pendekatan akulturasi budaya yang menghasilkan kesenian wayang yang ceritanya bernuansa Islam, tembang-tembang Jawa (Lir Ilir, Cublak-cublak Suweng), tradisi tahlilan, mitoni, slametan (bancakan). Walisongo tidak frontal menolak dan meniadakan tradisi masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan Islam, sekalipun dalam bentuk pemujaan terhadap roh leluhur, karena tindakan penolakan langsung justru akan menjauhkan masyarakat. Di sinilah sikap arif untuk menerima realitas kondisi psikologis dan sosial masyarakat sebagai sebuah bentuk kesadaran bahwa setiap individu atau suatu komunitas memiliki karakter
28 yang tidak lepas dari proses pembentukan lingkungannya. b. Memahami Fikih Prioritas (fiqh al-awlawiyyat) Di dalam Islam perintah dan larangan ditentukan bertingkat-tingkat. Misalnya, perintah ada yang bersifat anjuran, dibolehkan (mubah), ditekankan untuk dilaksanakan (sunnah muakkadah), wajib dan fardhu (‘[ch ^[h ec`[y[b). S_^[hae[h f[l[ha[h [^[ y[ha \_lmc`[n dibenci bila dilakukan (makruh) dan ada yang sama sekali tidak boleh dilakukan (haram). Demikian pula ada ajaran Islam yang bersifat ushul (pokok-pokok/prinsip) dan ada yang bersifat `olo’ (cabang). Sikap moderat menuntut seseorang untuk dapat menetapkan prioritas dalam beramal. Dengan mengetahui tingkatan prioritas amal maka seorang Muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang lebih utama di antara yang biasa dan mana yang wajib di antara yang sunnah. Yusuf al-Qardhawi dalam karyanya Fī Fckb [fAqf[qcyyān, menetapkan kaidah-kaidah fiqh prioritas, yaitu pertama, pertimbangan antar kemaslahatan yang meliputi; mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan, mendahulukan kepentingan besar dari kepentingan kecil, mendahulukan kepentingan sosial dari kepentingan individual, mendahulukan kepentingan banyak dari kepentingan yang sedikit, mendahulukan kepentingan berkesinambungan dari kepentingan incidental, mendahulukan kepentingan fundamental dari kepentingan formalitas dan tidak penting, mendahulu-
29 kan kepentingan masa depan yang kuat dari kepentingan mutakhir yang lemah (Al-Qaradhawi, 2005). Kedua, pertimbangan antara maslahat dan mafsadat bila terjadi kontradiksi, meliputi; menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat, kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar, kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan, kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya. Ketiga, pertimbangan antar-mafsadat, meliputi; tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan, suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan, suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar, bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan, bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang lebih besar, bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum (AlQardhawi, 2005). Sebagai contoh mengulang-ulang ibadah haji adalah sunnah, sementara membantu saudara Muslim yang kesusahan, apalagi tetangganya, adalah sebuah keharusan bila ingin mencapai kesempurnaan iman. Maka yang wajib seyogianya didahulukan dari yang sunnah. Contoh lain, seringkali seseorang bersikap ekstrem dalam berpegang kepada salah satu madzhab fikih untuk amalan yang hukumnya sunnah, dan menyalahkan pihak lain yang berbeda, sehingga memunculkan pertentangan
30 dan permusuhan. Kalau orang tersebut memahami fikih prioritas dengan baik, maka hal itu tidak terjadi. Karena menjaga persaudaraan dengan sesama Muslim adalah wajib hukumnya, sedangkan amalan yang dipersilihkan hukumnya sunnah. Sikap moderat ajaran Islam tidak akan muncul apabila seseorang tidak memahami fikih prioritas. c. Memahami Tahapan Syariat (at-tadarruj fi at-n[mylc’) Sebelum Islam datang, berbagai macam tradisi telah mengakar kuat di kalangan bangsa Arab. Di antara tradisi tersebut ada yang layak untuk dipertahankan, ada pula tradisi yang harus dihilangkan. Untuk menghilangkan tradisi yang tidak layak, Islam tidak serta merta menghapusnya sekaligus tanpa kompromi, melainkan dengan cara bertahap. Tujuan utama dari keberangsuran pembebanan adalah untuk memperkuat kesiapan penerimaan manusia terhadap hukum agar dapat meresap dan menjadi kokoh dalam jiwanya dan tidak mudah untuk ditolak kemudian. Keberangsuran dalam Al-Qol’[h ^[j[n ecn[ fcb[n misalnya pada kasus pengharaman miras (minuman keras) dan pengharaman riba. Pengharaman keduanya bertahap sampai empat kali tahapan. Pengharaman khamar diawali dengan turunnya QS. al-Naḥl ayat 67 yang hanya menekankan perbedaan antara rezki yang baik dengan khamar yang dapat dipahami bahwa khamar itu bukanlah termasuk rezki yang baik. Kemudian disusul dengan turunnya QS. al-Baqarah ayat 219 yang menyatakan bahwa khamar di samping mengandung manfaat juga mengandung lebih banyak dosa dan
31 keburukan. Pada ayat ini Allah sudah memberi isyarat dan indikasi sebagai cikal bakal pengharaman khamar. Lalu turunlah QS. al-Ncmā’ [y[n 43 y[ha g_h_a[me[h larangan mabuk pada saat waktu salat sudah dekat. Finalisasi pengharaman khamar ditandai dengan turunnya QS. al-Māc^[b [y[n 90-91 yang jelas-jelas Allah menggunakan perintah untuk meninggalkan khamar sekaligus menerangkan alasan hukum pengharaman itu, yakni karena setan akan menggunakan minum khamar itu sebagai jalan untuk menciptakan konflik dan permusuhan antara manusia. Dengan metode kebertahapan pelarangan khamar, masyarakat saat itu dapat menerima dengan baik, padahal tradisi miras dalam kehidupan mereka sangat mendarah daging bahkan di dunia sekalipun (Khudari Bek, 1995). Kasus kedua adalah kasus pengharaman riba. Riba dengan berbagai jenis dan bentuknya saat itu merupakan penggerak utama ekonomi di masyarakat Arab bahkan di Roma dan Persia. Karena itu, sekiranya pengharamannya ditempuh dengan cara revolusioner dan sekaligus sudah dapat dipastikan akan menggoncangkan kehidupan sosial-ekonomi saat itu. Berdasarkan pertimbangan itu, Al-Qol’[h e_go^c[h g_h_gjob ][l[ \_ln[b[j ^cgof[c dengan turunnya QS. Ali-Imran ayat 30 yang menegaskan larangan riba secara berlipat ganda. Dengan turunnya ayat itu riba belum diharamkan secara total tetapi sudah menjadi cikal bakal pengharaman riba secara tuntas. Berselang beberapa waktu Allah kemudian mengharamkan riba secara total, ditandai turunnya QS. al-Baqarah ayat 78 yang menegaskan kepada umat Islam untuk meninggalkan semua sisa-sisa riba meski sedikitpun, dan
32 mengaitkan antara keimanan dengan ketaatan untuk meninggalkannya. Contoh lain, penghapusan perbudakan. Quraish Shihab mengatakan, bahwa Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus? Pasti akan terjadi problema sosial yang jauh lebih parah dari PHK. Ketika itu para budak bila dibebaskan, bukan saja pangan yang harus mereka siapkan sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika Al-Qol’[h ^[h Sohh[b g_h_gjob d[f[h \_ln[b[j ^[f[g menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan agama, baik dari segi hukum, atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu tuntunan itu adalah izin mengawini budak wanita. Ini bukan saja karena mereka juga adalah manusia yang mempunyai kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus perbudakan. Seorang budak perempuan yang dikawini oleh budak lelaki, maka ia akan tetap menjadi budak, anaknya pun demikian. Tetapi bila ia dikawini oleh pria merdeka dan memperoleh anak, maka anaknya lahir bukan lagi sebagai budak, dan ibu sang anak pun demikian. Ini artinya, perkawinan seseorang laki-laki merdeka dengan budak wanita
33 merupakan salah satu cara menghapus perbudakan (Quraish Shihab, 2000). d. Mengedapankan Prinsip Kemudahan dalam Beragama (fiqh al-taysir) Memberikan kemudahan adalah metode Al-Qol’[h dan metode yang diterapkan oleh Rasulullah. Metode ini dibahasakan oleh Yusuf Al-Qardhawi sebagai fiqh atn[cmīl, sebuah pemahaman fiqh yang memberikan kemudahan. Fiqh at-n[cmīl inilah yang menjadi icon besar bagi moderasi Islam yang hendak dikampanyekan, kerena ia memposisikan hukum Islam sebagai hukum yang bertujuan mendidik manusia, bukan untuk menyiksanya. Hukum ini pula menyatakan bahwa ketika manusia mengalami kesulitan dalam menjalankan pesan hukum, maka ia harus diberikan kemudahan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ini tidak berarti bahwa teks harus tunduk pada hawa nafsu manusia, juga tidak berarti bahwa hukum dengan enaknya di otak atik oleh penafsiran manusia, melainkan bahwa konsep ini memberikan pilihan kepada manusia untuk melaksanakan hukum yang paling mudah dari hukum yang ada. Sekian banyak fakta dalam Al-Qol’[h g[ojoh b[^cm menghendaki kemudahan bagi manusia. Dalam AlQol’[h gcm[fhy[, Aff[b \_l`clg[h ^[f[g mol[b [fBaqarah ayat 185 yang terjemahannya: ‚Allah mengehendaki kemudahan bagimu, dan tidak g_hab_h^[ec e_moe[l[h \[acgo‛. Sementara dalam hadis, sebagaimana kasus pengiriman Muaz dan Abu Musa al-Asy'ari ke Yaman, mereka dipesan agar dalam
34 mengajarkan Islam selalu melihat sisi kemudahan dan jangan mempersulit. Begitu pula kasus seorang arab yang meninggal karena fatwa yang mengharuskan dia harus mandi sementara dia semestinya tayammum karena dia dalam kondisi sakit yang mengharuskan harus dapat rukhsah. Ketika persoalan itu diangkat ke Nabi, ia mengomentari bahwa yang membunuh dia adalah kalian sendiri. Secara umum para ulama membagi kemudahan ajaran Islam menjadi dua kategori yaitu: pertama, kemudahan yang asli; kemudahan yang memang merupakan ciri khas dari ajaran Islam yang memang moderat dan sesuai dengan naluri manusia. Kedua, kemudahan yang dikarenakan ada sebab yang memudahkan (rukhsah). Rukhsah diartikan secara umum dengan keringanan. Secara terminologi, rukhsah diartikan sebagai hal-hal yang tidak boleh dilakukan tetapi kemudian dapat dilakukan oleh seorang mukallaf karena adanya alasan-alasan tertentu yang diakui oleh agama (Al-Ghazali, 1413). Pemberian keringanan atau rukhsah ini adalah bagian penting dari fenomena moderasi Islam dalam bidang hukum atau fiqih Islam. Seseorang mungkin saja memiliki kemampuan untuk melakukan suatu hal yang dituntutkan kepadanya. Namun, kemampuan itu tidak selamanya pasti ada. Bisa jadi, seseorang yang mampu melakukan sesuatu pekerjaan saat ini, suatu saat tidak dapat melakukan pekerjaan yang serupa pada waktu yang berbeda. Kemampuan seseorang dapat berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Meskipun dalam Hukum
35 Islam dapat ditemukan banyak bentuk keringanan dalam menjalankan hukum Islam, namun Islam tetap memberi petunjuk bahwa apabila alasan-alasan yang menyebabkan keringanan itu telah tiada, maka mukallaf b[lom e_g\[fc f[ac e_ boeog ‘[zīg[b (hukum pertama), dan lagi-lagi ini menunjukkan betapa sistematisnya konsep moderasi dalam hukum Islam. Jenis-jenis keringanan dalam hukum Islam di antaranya keringanan dalam bentuk pengguguran kewajiban seperti gugurnya kewajiban salat Jumat dan puasa bagi seorang musafir; keringanan dalam bentuk pengurangan kewajiban seperti pengurangan jumlah rakaat salat (salat Qasar); keringanan dalam bentuk penggantian seperti mengganti wudhu dengan tayammum; keringanan dalam bentuk percepatan pelaksanaan kewajiban seperti jama taqdim; Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban seperti jama' ta'khir; keringanan dalam bentuk kelonggaran seperti boleh makan bangkai ketika terdesak; keringanan dalam bentuk perubahan pelaksanaan kewajiban seperti perubahan bentuk salat dalam peperangan (salat khauf) dan lain sebagainya (Ahmad & Ahmad, 2002). e. Memahami Teks-teks Keagamaan secara Komprehensif Munculnya semangat radikalisme tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu penyebab utama dari munculnya radikalisme agama adalah pemahaman akan agama itu sendiri. Lebih jauh, Azyumardi Azra seperti dikutip Abdul Munip mengatakan bahwa radikalisme di
36 kalangan Islam, di antaranya bersumber dari pemahaman kegamaan yang literal, sepotong-sepotong, parsial terhadap ayat-ayat Al-Qol’[h (A\^of Mohcj, 2012). Hal ini diperparah lagi dengan sikap dan ekspresi e_[a[g[[h ‚m_\[ac[h‛ og[n Momfcg y[ha ]_h^_loha eksklusif dan seringkali menjustifikasi pemahaman keIslaman-nyalah yang dianggap paling benar. Dari sinilah kemudian muncul gerakan-gerakan yang mempolitisir agama yang pada hakekatnya bertentangan dengan substansi agama itu sendiri. Oleh karenanya, fenomena radikalisme agama, sekali lagi, jangan dipahami terjadi karena ajaran agama yang salah, melainkan karena pemahaman yang keliru terhadap konsep ajaran agama (baca: jihad). Berkaitan dengan pendekatan agama dalam upaya deradikalisasi ini, ada baiknya kita mengingat kembali pesan dari Rasulullah saw. Dalam sebuah kesempatan, beliau menyampaikan bahwa umatnya tidak akan sesat selama mereka berpedoman kepada dua warisannya yang paling berharga, yaitu Al-Qol’[h ^[h [m-Sunnah. Dengan mempertimbangkan pesan Rasulullah di atas, maka umat Islam semestinya memahami Al-Qol’[h dan hadis secara holistik-komprehensif dan tidak diambil secara sepotong-sepotong (atomistik). Fazlur Rahman menawarkan prosedur dalam upaya memahami AlQol’[h; pertama, seseorang harus mengkaji Al-Qul’[h dalam ordo historis untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya. Jika tidak, besar kemungkinan ia akan tersesat dalam memahami beberapa butir penting tertentu dari ajarannya. Kedua, seseorang harus
37 mengkajinya dalam latar belakang sosio-historisnya. Tanpa melihat latar belakang mikro dan makronya secara memadai, seseorang bisa jadi akan salah tangkap terhadap maksud Al-Qol’[h m_ln[ [encpcn[m N[\c, \[ce ^c Makkah maupun di Madinah (Fazlur Rahman, 1997). Contoh kasus, peristiwa pembakaran dan perusakan rumah ibadah yang didirikan oleh sekelompok jamaah umat Islam minoritas seperti yang menimpa pada masjid jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan masjid d[g[[b Syc‘[b ^c M[^ol[. P_g\[e[l[h g[mdc^ if_b sekelompok orang ini berlandaskan informasi tentang pembakaran Masjid al-Dhirâr oleh Nabi. Padahal jika ditelusuri secara mendalam akan mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai alasan mengapa Nabi Muhammad membakar masjid al-Dbclāl. Masjid ini dibangun oleh 12 orang munafik Madinah, yaitu Khidzāg c\h Kbāfc^, Tm[‘f[\[b c\h Ḥānbc\, Mo‘[nnc\ ibn Qusyayr, Abu Ḥ[\ī\[b c\h [f-Az‘[l, ‘A\\[^ c\h Ḥoh[y`, Jālcy[b c\h ‘Āgcl, Mod[ggc‘ c\h Jālcy[b, Z[y^ c\h Jālcy[b, N[\n[f c\h [f-Hālcnm, B[bz[d \[hî Do\[y‘[b, Bcdā^ c\h ‘Unmgāh, ^[h W[^ī‘[b c\h Tmā\cn (I\ho Katsir, 2000). M[mdc^ chc ^c\[haoh ^c m_\_f[b log[b Kbc^zāg c\h Kbāfc^ ^[h ^_e[n ^_ha[h M[mdc^ Qo\ā’. Todo[h pembangunan masjid al-Dbclāl ini adalah untuk membahayakan Nabi Muhammad, menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam dan mereka yang membangun masjid ini menghendaki Nabi Muḥammad salat di masjid mereka agar mendapat legitimasi dari Nabi, tapi Nabi menolaknya karena saat itu akan berangkat ke Tabuk dan menjanjikan sepulang dari
38 Tabuk. Untungnya, di tengah perjalanan Nabi Muḥammad pulang dari Tabuk menuju Madinah, turunlah ayat 107-110 yang menjelaskan tentang pembangunan masjid ini, bahaya yang terkandung di ^[f[ghy[, ^[h oj[y[ A\ū ‘Āgcl y[ha b_h^[e \_l\o[n jahat kepada Nabi Muḥammad (Ibnu Katsir, 2000). Berdasarkan wahyu yang Nabi peroleh dari Allah n_hn[ha g[mdc^ Dbclāl n_lm_\on ^[f[g mol[n [f-Taubah, Nabi kemudian memerintahkan dua sahabatnya, yaitu Mâlik ibn al-Doebmyog ^[h M[‘h c\h ‘A^î ohnoe membakar masjid tersebut. Kedua mereka pun segera membakar dan merobohkannya (Ibnu Katsir, 2000). Setelah mencermati informasi yang berkenaan dengan pembakaran masjid al-Dbclāl m_\[a[cg[h[ n_f[b dipaparkan, maka jelas konteks yang menjadi latar belakang pembakaran masjid al-Dhirâr adalah perbuatan jahat yang sengaja disusun oleh sekelompok orang munafik untuk memecah belah umat Islam. Sedangkan pembakaran rumah ibadah yang belakangan ini g_hcgj[ d[g[‘[b Abg[^cy[b ^[h Syī‘[b ^c Ih^ih_mc[ karena penolakan yang didasari oleh berbedaan pendapat semata. f. Terbuka dengan Dunia Luar dan Bersikap Toleran Sikap moderat Islam ditunjukkan melalui keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan, n_lg[moe jcfcb[h ohnoe \_lcg[h [n[o nc^[e. I\h J[līl [fṬabarî (310 H.) g_hy_\one[h lcq[y[n ^[lc Imgā‘īf c\h ‘A\^ [f-Raḥgāh c\h A\ī K[līg[b [f-Suddî (127 H.) yang
39 menceritakan bahwa tersebutlah seorang penduduk Madinah yang bernama Abû al-Husain yang memiliki ^o[ il[ha [h[e. P[^[ m[[n j_^[a[ha ^[lc Syāg ^[n[ha e_ Madînah, kedua anak Abu al-Husain diajak untuk memeluk agama Nasrani oleh para pedagang tersebut. Kedua mereka pun mengikuti ajakan mereka. Abû alHusayn kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad atas kejadian tersebut dan meminta Nabi untuk mengambil kedua anaknya untuk kembali kepadanya (tidak memeluk agama Nasrani), Nabi pun kemudian g_hd[q[\: ‚fā celāb[ `î [f-^īh.‛ (At-Thabari, 2001). Islam melalui Al-Qol’[h ^[h N[\c Moḥammad memberikan garansi atas pilihan seseorang memeluk agama tertentu tanpa paksaan. Di sisi lain, Al-Qol’[h doa[ melarang umatnya melakukan intervensi terhadap urusan kepercayaan penganut agama lain (QS. al-Ah’[g [06]: 108). Al-Qol’[h g_f[l[ha e[og Momfcgch g_habch[ orang-orang non-Muslim, apabila menyangkut ketuhanan mereka. Alasan lain dari larangan ini menurut Tb[\ānb[\ā’c ]oeoj d_f[m, y[cno g_hy[haeon j_lmi[f[h etika. Ketika kaum Muslimin melakukan hal-hal yang menyebabkan penganut agama lain merasa direndahkan akidahnya, mereka akan balik melakukan hal yang sama dan ini tidak akan menyelesaikan persoalan. Hal inilah yang akan memicu terjadinya konflik dan permusuhan (At-Thabari, 2001). Oleh karenanya, Al-Qol’[h g_ha[hdole[h ^[h mendorong kaum Muslimin untuk bekerjasama dengan pemeluk agama lain. Dalam kaitan ini Al-Qol’[h memberikan petunjuk sebagaimana dipaparkan dalam
40 QS. al-Mumtahanah [60]: 08 yang artinya: ‚Aff[b nc^[e melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku [^cf‛. Ini artinya Allah Swt. tidak melarang kaum Muslim untuk bekerjasama dengan komunitas agama lain, dan ini sangat relevan dengan kondisi sekarang. Seandainya tidak dibolehkan bekerjasama dengan non Muslim tentu umat Islam akan tertinggal jauh di belakang. Karena hidup pada masa sekarang ini tidak bisa lepas dari berinterkasi dengan orang lain, termasuk non-Muslim. Dalam aspek dialog dan solidaritas serta berperilaku baik dengan non Muslim merupakan pintu gerbang menuju kedamaian dan harmoni dalam kehidupan umat beragama. Hanya saja dialog dan kerjasama ini hanya dapat dilakukan manakala di antara penganut agama yang berbeda itu bebas dari kecurigaan-kecurigaan. Oleh karena itu, dalam melakukan dialog tentunya harus dilakukan secara bijak agar tercipta suasana yang harmonis dalam menumbuhkan nilai-nilai toleransi ditengah-tengah keragaman beragama. 2. Praktik Moderasi Beragama dalam Lintas Sejarah Konsepsi wasaṭiyyah Islam telah dielaborasi dalam berbagai kajian dan referensi. Terdapat banyak pendapat mengenai ummatan wasaṭan yang kemudian dikaitkan dengan wasaṭiyyah Islam. Wasaṭiyyah Islam dapat dimaknai sebagai justly-balanced. Sifat dan karakter ini merupakan cerminan ummah atau komunitas yang adil, komunitas terbaik, dan komunitas tengahan (seimbang).
41 Pada bagian ini, berbagai praktek wasaṭiyyah Islam dalam lintasan sejarah, sejak masa T[’mcm, T[ṭwir, dan Tahdiṡ, akan dielaborasi sebagai bagian dari upaya melihat bahwa wasaṭiyyah Islam merupakan warisan sejarah yang pantas dan layak ditindaklanjuti umat Islam saat ini. a. Masa Pembentukan (T[’mīm) Kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat bagi semesta alam. Namun, kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad saw. bukan rahmat bagi umat Islam saja, tetapi juga bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Islam sebagai agama rahmat terbukti telah memberikan perbaikan nyata. Artinya, rahmat dalam konteks ini bukan sekedar kasih sayang, namun juga perbaikan peradaban. Pada masa pembentukan ini, praktek moderasi Islam selama rentang masa kenabian selama 23 tahun, Rasulullah berhasil mengkader individu-individu dan kelompok masyarakat dengan landasan keimanan yang kuat, dan mengimplementasikan sebuah rancang bangun (blueprint) peradaban. Sebagai tokoh yang sukses mengubah peradaban manusia, Rasul merupakan figur yang wasath (adil dan seimbang). Terdapat sejumlah riwayat hadis yang menceritakan penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi sebagai contoh kecil praktek moderasi. Salah satu di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn al-J[‘^ (230 H.), Ibn Abi Syaybah (235 H.), Aḥmad ibn Ḥanbal (241 H.), alBoebālī (256 H.), Momfcg (261 H.), [f-N[mā’ī (303 H.), A\ū Y[‘fā [f-Mūṣcfī (307 H.), I\h [f-Mundzir (318 H.), al-
42 Ṭ[\[lāhī (360 H.), ^[h [f-B[yb[kī (458 H.) ^[lc I\h A\ī L[yfā (83 H.) \[bq[ Q[ym c\h S[‘^ (59 H) ^[h S[bf c\h Ḥunayf (38 H) mereka berdua berdiri ketika ada jenazah non Muslim lewat di hadapan mereka. Mereka kemudian ditegur atas sikap mereka, kemudian mereka berdua menjawab dengan menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah berdiri ketika jenazah lewat di depannya, kemudian Rasulullah diinformasikan bahwa jenazah n_lm_\on [^[f[b Y[bo^c. N[\c g_hd[q[\; ‚alaysat nafsan?‛ (\oe[he[b c[ doa[ g[homca?) (Al-Jawhari, 2004). Teladan yang dilakukan Nabi Muḥammad ini dicontoh if_b e_^o[ m[b[\[n n_lm_\on (Q[ym c\h S[‘^ ^[h S[bf c\h Ḥunaif). Bahkan jenazah yang lewat di hadapan mereka adalah jenazah seorang penganut agama Majusi, agama yang disebut bukan agama samawi atau tidak termasuk ahl al-ecnā\. Peristiwa lain, ketika Nabi Muḥammad mengutus Mo‘[^z c\h J[\[f e_ Y[g[h, m_\o[b ^[_l[b y[ha j[^[ saat itu masyarakatnya banyak memeluk agama Yahudi dan Nasrani, Nabi Muḥammad memberikan pesan j_hncha e_j[^[ Mo‘adz untuk tidak berbuat zalim kepada siapapun yang secara implisit terkandung dalam peringatan Nabi untuk menjauhi doa orang yang dizalimi (larangan untuk berbuat zalim kepada orang lain), e[l_h[ nc^[e [^[ j_hab[f[ha ^c [hn[l[hy[ ^[h Aff[b (A\ī Syaybah, 2004). Pesan ini tidak hanya diperuntukkan ohnoe Mo‘[^z c\h J[\[f m_il[ha, [e[h n_n[jc ohnoe seluruh umat Islam. Pesan ini juga berlaku bagi setiap orang yang dizalimi tanpa memandang status sosial atau agamanya. Riwayat Aḥmad ibn Ḥ[h\[f ^[lc A\ū Hurayrah bahkan menegaskan larangan untuk berbuat