The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini mengungkap penguatan moderasi beragama dalam membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Buku disusun berbasis data yang diambil dari sumber mahasiswa STISNU Nusantara, Tengerang, Buku ini mengungkap critical sociology di jaman postmodern. Inti dari isi buku ini menunjukkan bahwa proses internalisasi eksterior yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai moderasi beragama, memberikan hasil yang lebih bagus ketika didukung oleh habitus. Demikian pula eksternalisasi interior juga semakin kuat ketika arena memadai. Oleh karena itu, perbedaan latarbelakang pendidikan agama mahasiswa yang sangat beragam, dapat bersama-sama membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan kampus. Proses moderasi beragama berhasil menguatkan pemikiran, sikap, dan perilaku moderat. Perubahan mengarah pada penguatan partisipan. Sebanyak 64, 7% dari mereka mengaku bersikap dan berperilaku tawasuth, 90, 19% tawazzun, 60, 8% i'tidal, dan 88, 2% tasamuh.

Kesimpulan besar yang dipaparkan dalam buku ini ada dua. Pertama, harmonisasi dan stabilitas kehidupan kampus dapat dicapai melalui penguatan moderasi beragama. Bast practice di STISNU Nusantara Tangerang menekankan pada praktik kehidupan moderat dan egaliter. model semacam ini dipraktikkan dari tingkat pimpinan hingga mahasiswa. Kedua, kekuatan pengauatan moderasi beragama ada pada model. Model keteladanan dalam penguatan moderasi beragama terbukti mampu menjaga harmonisasi dan meningkatan stabilitas kehidupan sosial kampus.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-03-02 02:35:40

Penguatan Moderasi Beragama dilingkungan Kampus Swasta Islam

Buku ini mengungkap penguatan moderasi beragama dalam membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Buku disusun berbasis data yang diambil dari sumber mahasiswa STISNU Nusantara, Tengerang, Buku ini mengungkap critical sociology di jaman postmodern. Inti dari isi buku ini menunjukkan bahwa proses internalisasi eksterior yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai moderasi beragama, memberikan hasil yang lebih bagus ketika didukung oleh habitus. Demikian pula eksternalisasi interior juga semakin kuat ketika arena memadai. Oleh karena itu, perbedaan latarbelakang pendidikan agama mahasiswa yang sangat beragam, dapat bersama-sama membangun harmoni dan menjaga stabilitas lingkungan kampus. Proses moderasi beragama berhasil menguatkan pemikiran, sikap, dan perilaku moderat. Perubahan mengarah pada penguatan partisipan. Sebanyak 64, 7% dari mereka mengaku bersikap dan berperilaku tawasuth, 90, 19% tawazzun, 60, 8% i'tidal, dan 88, 2% tasamuh.

Kesimpulan besar yang dipaparkan dalam buku ini ada dua. Pertama, harmonisasi dan stabilitas kehidupan kampus dapat dicapai melalui penguatan moderasi beragama. Bast practice di STISNU Nusantara Tangerang menekankan pada praktik kehidupan moderat dan egaliter. model semacam ini dipraktikkan dari tingkat pimpinan hingga mahasiswa. Kedua, kekuatan pengauatan moderasi beragama ada pada model. Model keteladanan dalam penguatan moderasi beragama terbukti mampu menjaga harmonisasi dan meningkatan stabilitas kehidupan sosial kampus.

43 zalim meskipun kepada seorang pendosa. Ḥ[^īnm f[ch ^[lc Ah[m c\h Māfce g_hy_\one[h: g_mecjoh n_lb[^[j il[ha e[`cl m_e[fcjoh, ‚q[ ch eāh[ eā`cl[h‛ (I\h H[h\[f, 1995). P_f[d[l[h j_hncha ^[lc j_m[h N[\c e_j[^[ Mo‘ā^z ibn Jabal salah satunya adalah tidak menggunakan kekuasaan untuk berbuat zalim. Ibn Iṣḥāk, [f-B[yb[kī, ^[h I\h K[nmīl (774 H.) menceritakan bahwa pernah ada kunjungan sejumlah 60 nieib [a[g[ Klcmn_h ^[lc N[dlāh e_ M[^ch[b y[ha dipimpin oleh 3 orang di antara mereka, yaitu al-‘Ākc\ ‘A\^ [f-M[mīḥ, pemimpin utama, al-Ayham orang yang ^c[haa[j m_\[a[c ‚m[ha j_hifiha‛, ^[h A\ū Ḥālcnm[b c\h ‘Afk[g[b, m_il[ha omeoj y[ha \_l[m[f ^[lc n[h[b Al[\ dan mengenal Nabi Muḥ[gg[^ m_bchaa[ A\ū Ḥālcnm[b lah yang menjadi salah satu juru bicara dari rombongan N[dlāh n_lm_\on (I\h Hcmyāg, 1997). S_nc\[hy[ ^c M[^īh[b, g_l_e[ f[hamoha g_hodo M[mdc^ g_hd_f[ha masuk waktu salat Ashar. Ketika waktu ashar tiba, dengan mengenakan pakaian yang bagus dan indah, rombongan tokoh-tokoh Kristen N[dlāh cno joh g[moe e_ dalam Masjid dan melaksanakan ibadah (kebaktian) menghadap ke arah Timur. Melihat ini Nabi berkata kepada para sahabatnya: biarkan mereka (I\h Hcmyāg, 1997). Contoh lainnya, praktek moderasi Islam di masa Rasul ketika menjadi pemimpin Negara Madinah dengan kondisi masyarakat yang heterogen, tetapi beliau tidak serta merta berkeinginan untuk menjauhkan, menjatuhkan dan bermusuhan dengan mereka yang berbeda agama, justru menerima dengan lapang dada keberada-


44 annya dan menawarkan perjajian yang sebanding seimbang di antara dua kubu, yaitu mereka tetap masih memeluk agamanya dan beliau pun sebaliknya. Dalam perjanjian tersebut disebutkan yang dikenal ^_ha[h jc[a[g M[^ch[b, ‚Ol[ha Momfcg ^[lc K[\cf[b Quraisy, Yasrib dan lainnya berusaha bergabung dengan mereka dan membentuk persatuan. Orang-orang mukmin jika di antaranya ada yang melakukan pemberontakan atau menyusun kekuatan (untuk memberontak) adalah murni kezaliman, kejahatan, permusuhan atau kerusakan yang dilakukan di antara orang Islam dan harus ditindak tegas meskipun yang melakukannya adalah anaknya sendiri (Umar bin Abdul Aziz Qursyi, 2006). Orang musyrik tidak boleh menganiaya kaum Quraisy baik harta atau jiwanya dan tidak boleh melakukan tipu daya pada orang mukmin. Orang mukimin (beriman kepada Allah dan hari akhir) yang telah menyepakati perjanjian tidak boleh menolong serta melidungi pendusta dan penjahat, barang siapa yang menolong dan melindunginya maka laknat dan murka Allah akan menimpanya pada hari kiamat, dan dia tidak dipandang sebagai orang yang bijak dan adil. Sesungguhnya orang Yahudi dan mukmin sama-sama mendapat bagian nafkahnya selama mereka ikut berperang. Yahudi Bani Auf termasuk satu kelompok dengan orang mukmin, Yahudi sesuai dengan agamanya dan begitu juga dengan Muslim. Yahudi Bani an-Najar, Harits, Musaidah dan lainya itu seperti halnya Yahudi Bani Auf. Orang Yahudi mendapatkan bagian nafaqah-


45 nya, orang Muslim juga mendapatkan nafaqahnya dan mereka harus membantu kelompok yang menyetujui perjanjian jika diserang musuh. Di antara mereka saling menasehati dan berbuat kebaikan bukan berbuat kejahatan, seseorang tidak divonis melakukan tindak kejahatan (jika membantu) sekutunya dan sesungguhnya pertolongan diperuntukkan bagi yang terzalimi, tetangga itu sebagaimana diri sendiri yang tidak boleh disakiti dan dianiaya. Sesungguhnya Allah (bersama) dengan orangorang yang mentaati dan menjalankan isi dari perjanjian ini. Orang yang meninggalkan (Madinah) aman dan orang yang berada di Madinah juga aman kecuali orang zalig ^[h d[b[n.‛ (Umar bin Abdul Aziz Qursyi, 2006). Inilah konstitusi modern pertama yang jauh lebih modern dari zamannya. Selain itu, praktik moderasi Islam dapat disimak pada peristiwa Fathu Makkah. Saat memasuki Makkah, Nabi mengedepankan sikap kesatria dan terpuji dengan tidak menonjolkan sikap ego sebagai pemenang. Sebagi pihak yang unggul, yang nasib dan takdir penduduk Mekkah berada di genggaman tangan dan telapak kaki pasukannya, Rasul justru memberikan amnesti kepada Quraisy Mekkah yang di masa sebelumnya hendak membunuh, mengusir, menyakiti, dan menganiaya sahabat-sahabat Rasul. Memaafkan di saat kemenangan sudah diraih merupakan cermin kebesaran jiwa yang tidak dikotori oleh dendam dan dengki. Rasul mewariskan suatu teladan mengenai kebaikan, kemanusiaan, keteguhan menepati janji serta bersikap adil (Tim Wasatiyah, 2016).


46 Pada masa kekhalifahan, praktik moderasi Islam dapat dilihat pasca wafatnya Rasul. Pada era Khalifah Umar Ibn Khattab, ketika tentara Islam berhasil membebasakan Yerussalem, beliau juga mengambil kebijakan yang sama dengan Nabi Muhammad. Selain segera membuat perjanjian untuk hidup berdampingan dan mengasishi, Umar juga menjamin hak-hak pemeluk agama Nasrani di Yerussalem untuk menjalankan agamanya. Di antara mereka tidak ada yang kemudian dipaksa masuk Islam. Bangunan gereja tetap dibiarkan menjadi tempat ibadahnya serta para uskup dan pendeta tidak akan diganggu. Justru karena politik kemajemukan, toleransi dan kebebasan beragama yang sangat dikembangkan oleh Islam maka saat penyerahan kekuasaan Yerussalem, Uskup Nasrani di wilayah itu, meminta agara Khalifah Umar sendiri yang datang menerima penyerahan kekuasaan. Upacara penyerahan di langsungkan di Gereja Qiyamat. Sebelum upacara berakhir, waktu salat Ashar hampir habis. Umar memberitahu kepada Uskup gereja untuk menjalankan salat lalu Uskup menawari Umar agar salat di dalamnya, tetapi Umar menolaknya dengan alasan jika dia menjalankan salat di gereja, dikhawatirkan nantinya akan ditiru oleh sahabat lainnya. Bisa jadi di belakang hari akan ada umat Islam yang mengklaim bahwa gereja itu telah menjadi masjid karena telah dipergunakan salat oleh Umar dan umat Kristianai tidak lagi bebas beribadah di gereja itu. Umar akhirya menjalankan salat Ashar di luar bangunan atau di


47 pekarangan gereja. Sekarang pun, ketika ada wisatawan yang datang, pendeta-pendeta di gereja itu dengan bangga menceritakan dan menunjukkan bekas tempat Umar menjalankan salat. Oleh pemeluk agama Nasrani diyakini, dari gereja Qiyamat itulah Nabi Isa (Yesus) naik ke langit setelah bangkit dari kuburnya (Sudarto, 1999). b. Masa Pengembangan (Taṭqīl) Salah satu tonggak penting moderasi Islam pada g[m[ chc [^[f[b y[ha n_ld[^c ^c g[m[ Ug[l c\h ‘A\^ Azcz (w. 101 H/720 M) dengan upayanya mengembangkan inklusivisme intra-umat dan mengakomodasi kelompok Syiah dan merehabilitasi nama Ali ibn Abi Thalib melalui apa yang dikenal dengan n[l\c’, yaitu menyatakan bahwa khalifah yang sah terdahulu, yang disebut al-Kbof[`[’ [fRasyidun, ada empat, yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali. Sebelumnya, terdapat tiga versi: bagi kaum nawashib dari kalangan Umawi ialah Abu Bakr, Umar, dan Utsman, tanpa Ali, tapi sebagian memasukkan Muawiyah; bagi kaum Khawarij, hanya Abu Bakr dan Umar, sedangkan Utsman, Ali dan Muawiyah semuanya kafir; bagi kaum Syiah Rafidah hanyalah Ali seorang, sedang yang lain adalah perampas hak sah Ali yang telah diwasiatkan Rasulullah Saw. T[l\c’ menjadi bentuk wasatiyyat Islam dan penyebutan tersebut tumbuh menjadi kebiasaan umat, dan salah satu lambang paham jamaah dan sunnah (Tim wasatiyah, 2016). Dalam bidang aqidah, al-Amy’[lc g_hd[^c j_h_ha[b antara pertentangan paham Qadariyah dan Jabariyah dengan memperkenalkan paham kasb (perolehan, acquisition) yang rumit. Metodenya dianggap paling


48 berimbang sehingga berkembang menjadi paham Sunni di bidang aqidah. Di masa Dinasti Utsmani, praktik moderasi Islam mewujud dalam sistem sosial yang melindungi dan menjamin kebebasan dan kehidupan beragama yang bernama Millet. Millet merupakan sistem yang mengatur hubungan antara komunitas beragama yang berbeda di kekhalifahan. Sistem ini bertanggung jawab atas ritual keagamaan, pendidikan, keadilan, amal, dan pelayanan sosial sendiri di tiap-tiap kelompok agama. Hasilnya adalah terwujudnya Millet Yahudi, Millet Armenia, Millet Komunitas Ortodoks Timur di bawah kekuasaan Utsmani—selain tentu saja umat Muslim. Masing-masing millet menjalankan fungsi koordinatif di internal mereka dan melaporkan ke Sultan bila terdapat isu atau masalah yang perlu diselesaikan. Sultan mengayomi seluruh millet dan umat Islam memiliki pemimpin puncak sendiri yang disebut sebagai Syaikh al-Islam. Sistem millet merupakan salah satu bentuk moderasi Islam dalam pengelolaan keragaman agama dan pemerintahan yang membentang hingga Eropa Timur. Namun seiring kian melemahnya kekaisaran Utsmani di tahun 1700- 1800, sistem millet tidak berlangsung hingga masa akhir kekaisaran Utsmani dan digantikan dengan sistem sekular. Menurut catatan Max I Dimont, seorang sejarah Yahudi, sebagaimana yang dikutip Nurcholis Madjid ^[f[g \oeohy[, ‚Imf[g, Dienlch ^[h P_l[^[\[h‛, Dcgihn menyebutkan politik yang dibawa Islam saat masuk Spanyol (Andalusia) merupakan rahmat yang mengakhiri


49 dari kekuasaan Kristen sebelumnya. Di bawah kekuasaan Bani Umayyah selama 500 tahun, kebebasan beragama benar-benar dijamin di Spanyol dengan menghasilkan harmonisasi umat Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka hidup rukun dan damai sehingga bisa menghantarkan Spanyol berada di puncak kejayaan dan peradaban, dengan sumbangannya yang sangat besar di bidang saintek kepada Barat. Dimont menggambarkan kebebasan beragama yang dikembangkan pemerintah Imf[g m[[n cno n_f[b g_h]cjn[e[h h_a[l[ Sj[hyif ‚ohnoe nca[ [a[g[ ^[h m[no n_gj[n nc^ol.‛ Sampai sekarang negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Mesir, Turki dan lain-lain para pemeluk non Muslim tetap bebas menjalankan agamanya. Konstatinopel (Istanbul) ketika jatuh ke tangan Sultan Muhammad al-Fatih dari kerajaan Turki Usmani, gereja dan sinagognya tetap dalam perlindungan (Sudarto, 1999). Sultan Muhammad al-Fatih mengumumkan hak perlindungan bagi orang-orang Nasrani dan jaminan kebebasan menjalankan agama dan ibadahnya serta menyambut mereka dengan penuh kehormatan, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Amr bin Ash di Mesir ketika mengumumkam jaminan keamanan kepada pemimpin Nasrani dan memberikan toleransi kepadanya untuk kembali memulai aktifitasnya (Umar bin Abdul Aziz Qursyi, 2006). Gereja-gereja Orthodox Yunani sampai kini masih berdiri tegak di Turki atau di beberapa wilayah Eropa Timur. Sebaliknya kata Nurcholis Madjid, di mana agama


50 mayoritas (suatu negara, wilayah) bukan Islam dan kaum Muslimin dalam jumlah minoritas, mereka selalu mengalami sesuatu yang tidak kecil, kecuali di negaranegara demokratis Barat (Sudarto, 1999). Syakib Arsalan pernah mencacat dialog antara seorang menteri dari kesultanan Turki Usmani (Ottoman) dengan beberapa orang dari Eropa. Menteri cno g_ha[n[e[h, ‚K[gc e[og Momfcg \[ce ^[lc Al[\, Turki maupun lainnya, meskipun kami fanatik terhadap agama, kami tidak sampai mencabut akar-akar musuh meskipun kami mampu melakukannya. Kami telah melewati bearbad-abad di mana kami mampu menjadikan semua orang dalam kekuasaan kami untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat dan menjadikan seluruh negeri kami murni orang-orang Islam. Pada dasaranya tidak pernah terlinatas di dalam benak kami untuk menjadikan seperti itu. Apabila hal itu terlintas dalam benak pemimpin atau penguasa kami (Muslim), seperti halnya yang pernah dilakukan oleh penguasa Salim al-awwal al-Usmaani, maka segara rakyat memprotesnya sebagaimana disampikan oleh Syaikh alIslam Zanbali Ali Afnadc.‛ (Sudarto, 1999). Hanya sangat disayangkan, kebesaran Spanyol Islam tersebut cuma berlangsung sekitar 5 abad. Ketika pemerintahan dan rakyatnya tidak lagi menjujung nilai kemjemukan termasuk kebebasan beragama, yang berarti mengabaikan ajaran Islam maka hancurlah Spanyol Islam. Menurut Nurcholis Madjid, sebagaimana yang dikutip Sudarto, sikap kaku yang sama sekali tidak menghargai adanya toleransi atas kemajemukan,


51 mendorong kaum Royalis Spanyol Kristen yang ambisius untuk melakukan kampanye perebuatan kekuasaan, yang akhirnya membawa Spanyol kembali kehilangan zaman keemasannya karena penghapusan pluralisme melalui pemaksaan agama Kristen. Ribuan penduduk Muslim dan pemeluk Yahudi yang menolak beralih menjadi umat Kristani dikejar-kejar, dideportasi atau dibuang (Sudarto, 1999). Tetapi Spanyol yang sekarang ini telah kembali menerapakan politik kemajemukan, dengan mempertahankan penduduknya memeluk Islam, yang membuat negara itu menapaki kemakmurannya. Negara itu ingin kembali mengulang Spanyol Islam enam abad yang lalu. Nama sarjana Muslim misalnya Ibnu Rusyd diabadikan dengan dibutkaan bangunan patung besar. Begitu juga Masjid Cordoba kembali difungsikan untuk tempat ibadah bagi orang Islam. Penduduk yang ingin memeluk agama Islam atau agama lainnya tidak lagi dihalang-halangi. Hanya saja dasar politik kemajemukan sekarang bukan doktrin Islam karena Spanyol bukan lagi sebagai negara Islam, tetapi dasar politik yang diterapkan adalah modernitas yang selalu menekankan demokrasi dan penegakan HAM, termasuk hak bebas beragama (Sudarto, 1999). Toleransi juga pernah dilakukan oleh Shalah ad-Din al-Ayyubi pada hari pembebasan kota Baitul Maqdis, beliau memberikan jaminan keamanan kepada 100.000 kaum Nasrani selama 40 hari dalam rangka menghormati kota yang suci itu, memberikan kesempatan kepada 84.000 dari mereka agar bertemu dengan keluarga


52 Nasraninya di Aka, Shalah ad-Din sendiri menebus beberapa ribu (tawanan), orang adil bisa menebus 1000 tawanan dan beliau memperlakuan semua itu kepada mereka sebagaimana mereka memperlakukannya kepada orang-orang Islam sebelum 90 tahun (Umar bin Abdul Aziz Qursyi, 2006). c. Masa Modernisasi (Tahdîts) Ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal modernisasi dapat ditemukan sejak perempatan terakhir abad 19 M. Periode ini adalah masa di mana hampir seluruh dunia Islam seperti Mesir, India, dan Indonesia dijajah negaranegara Eropa. Meskipun penjajahan menyebabkan hancurnya kekuatan politik umat Islam, tetapi di sisi lain juga menyebabkan bangkitnya kesadaran umat Islam mengenai pentingnya mengembangkan melakukan tahdits dalam berbagai bidang sejak dari kemiliteran, pemerintahan, pranata dan lembaga sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Alih-alih menolak berbagai aspek kemajuan Eropa penjajah, umat Islam justru mempelajari dan mengembangkannya. Karena dalam prinsip moderasi Islam, kemajuan yang bersumber dari ilmu pengetahuan adalah milik Allah. Mencapai kemajuan melalui ilmu pengetahuan—termasuk yang berkembang di Eropa—tidak menjadi halangan bagi umat Islam. Atas dasar pandangan itulah—untuk mencapai kemajuan—pelajar-pelajar terbaik dari dunia Islam dikirim ke negara-negara Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Pada masa ini, praktik moderasi memasuki era ohnoe e_g\[fc g_h][j[c e_\[haecn[h (‘asrun nahdlah).


53 Intelektual-intelektual Muslim melakukan pembaharuan dan mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat. Praktik wasatiyat mulai melangkah untuk mencapai kemajuan dengan mengadopsi dan mengakomodasi peradaban Eropa. Masa ini, bergeraklah berbagai tokoh pemikir dan aktivis gerakan pembaharuan Islam moderen di seluruh ^ohc[, m_j_lnc Mob[gg[^ Afc P[mb[, Rc`[’[b R[`c’ [nbThahtawi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib alMinangkabawi, Mahfudz at-Termasi dan lain-lain. Di Turki Usmani, ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal modernisasi mulai muncul sejak era Tanzimat. Tanzimat berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki kembali (islah atau reform). Era ini merupakan gerakan pembaharuan yang bermula sejak pertengahan abad 19. Masa ini praktik wasatiyat ini ditandai dengan munculnya gerakan yang dipelopori sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat dalam bidang pemerintahan, kemiliteran, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan dan perdagangan. Era kebangkitan mendorong munculnya banyak tokoh pembaharu di berbagai belahan dunia Islam. Karena itu fase ini disebut era pembaharuan dan reformasi (at-n[d^ī^ q[ [f-cmbfāḥ). Era ini melahirkan tokoh pembaharu seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, Mob[gg[^ Ik\[f, Abg[^ D[bf[h, H[mycg Amy’[lc, Rahmah El-Yunusiyah, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir dan lain-lain.


54 Era at-tajdîd wa al-ishlah memberikan momentum bagi praktik wasatiyyah yang belanjut di zaman go’[mbcl[b. Di masa ini, tokoh-tokohnya di dunia, antara lain; Mahmud Syaltut, Wahbah Zuhaili, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Ismail Raji al-Faruqi, Mahmood Ayub, Harun Nasution, Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, Aisyah Abdurrahman (bint Asy-Sy[nc’), S_yy_^ Husein Nasr, Murtadha Muthahari, Abdullah Badawi, Tuty Alawiyah dan lain-lain. B. Penguatan Moderasi Beragama di Sekolah Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) Moderasi beragama telah dijelaskan di atas, dapat berupa cara pandang, cara pikir, dan cara tindak seseorang atas dirinya maupun terhadap orang lain. Karena itu, moderasi beragama pada diri seseorang dapat dilakukan penguatan, baik diuayakan oleh dirinya sendiri maupun dipengaruhi pihak eksternal. Seseorang dapat menyadari dirinya memerlukan penguatan sehingga melakukan upaya yang mengarah pada penguatan tersebut. Dia juga dapat mengijinkan pihak lain untuk memberikan penguatan kepada dirinya. Dalam KBBI tersurat bahwa istilah penguatan merupakan proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan. Ada beberapa makna atas istilah penguatan ini. KBBI menyebutkan, Ketika istilah penguatan ini ditempelkan pada senam, maka penguatan diartikan dengan kebutuhan untuk menguatkan kelenturan dan peregangan otot. Dalam istilah computer, penguatan maknanya adalah peningkatan peningkatan amplitudo sinyal, seperti tegangan, arus, atau daya yang dihasilkan oleh sirkuit. Dalam istilah


55 psikologi, penguatan dimaknai dengan proses menguatkan perilaku tertentu dengan memberikan hadiah saat perilaku tersebut muncul. Penguatan moderasi beragama telah dikokohkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2023, tentang Penguatan Moderasi Beragama. Dalam aturan ini, pertimbangan mendasar diperlukannya moderasi beragama di Indonesia adalah adanya keragaman agama dan keyakinan warga negara Indonesia. Berpikir, bersikap, dan bertindak moderat diharapkan menjadi bagian yang menyatu dan mendasari perilaku warga negara dan kebijakan negara. Dengan landasan moderasi beragama ini, diharapkan akan terwujud keutuhan bangsa Indonesia. Bukan hanya itu, keutuhan bangsa perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah penguatan moderasi beragama menjadi penting diwujudkan. Pelaksanaan penguatan moderasi beragama memerlukan arah kebijakan yang jelas. Karena dengan arah kebijakan yang jelas tersebut, moderasi beragama terwujud dengan baik sekaligus manfaatnya dapat dirasakan oleh warganya. Hal ini dimungkinkan, karena arah kebijakan yang jelas memberikan gambaran adanya rencana yang matang, sistematis, dan berkelanjutan. Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penguatan Moderasi Beragama memaknai moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama. Cara yang digunakan sebagai wujud dari moderasi ini adalah dengan mengejawantahkan esensi ajaran agama dan kepercayaan yang melindungi martabat kemanusiaan sekaligus membangun kemaslahatan


56 umum. Landasan utamanya adalah prinsip keadilan, keberimbangan, ketaatan pada Pancasila dan UUD 1945. Perguruan Tinggi sebagai Lembaga Pendidikan dapat berperan serta mewujudkan program penguatan moderasi beragama ini. Perwujudan dari terlaksananya program pemerintah Republik Indonesia tentu bukan tujuan utama dari praktik yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Sudah seharusnya perguruan tinggi mewujudkan program pemerintah. Namun, itu bukan satu-satunya tujuan. Perguruan tinggi sebagai lembaga memiliki tugas dan tanggungjawab besar mengembangkan potensi mahasiswanya sekaligus memberikan bekal yang lebih baik pada mereka. Ajaran moderasi beragama sejalan dengan hal ini. Karena itu, merealisasikan ajaran moderasi beragama di kampus menjadi penting. (Anzaikhan, Idani, and Muliani 2023). Urgensi ini dimanfaatkan oleh perguruan tinggi untuk mengembangkan perangkat pembelajarannya. Selain itu, kajian-kajian moderasi beragama juga semakin massif dilakukan oleh perguruan tinggi, walaupun masih perlu penguatan secara baik dan terencana dalam setiap tahapannya (Malik, HS, and Hindi 2022). Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam memperkuat moderasi beragama di lingkungannya dapat fokus pada kurikulum yang inklusif, membuat forum dialog antaragama, mengadakan kegiatan bersama antar pemeluk agama yang berbeda, membentuk studi antaragama, mengadakan pelatihan multukulturalisme, memberikan layanan konseling keagamaan, mengadakan kampanye toleransi, kebijakan anti diskriminasi, menyediakan ruang ibadah terbuka, dan kemitraan pada pemukapemuka agama.


57 PTKIS menyelenggarakan pembelajaran yang ditujukan untuk menguatkan moderasi beragama. Pembelajaran terkait hal ini dapat dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran yang mengarah pada penguatan moderasi beragama diselenggarakan karena moderasi beragama dapat dikuatkan melalui cara pandang, cara pikir, dan cara tindak seseorang atas dirinya maupun terhadap orang lain. Karena itu, moderasi beragama pada diri seseorang dapat dilakukan penguatan. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan moderasi beragama dapat diupayakan oleh diri sendiri maupun dipengaruhi pihak eksternal. Penguatan moderasi beragama telah dikokohkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 58 Tahun 2023. Peraturan tersebut membahas penguatan moderasi beragama di Indonesia. Penguatan moderasi beragama di wilayah pendidikan juga tertuang jelas dalam RPJM tahun 2020-2024. Terdapat lima strategi dalam rencana tersebut, yaitu pesantren, pengelolaan rumah ibadah, pengelolaan ruang publik, penyiaran agama, dan sistem pendidikan(Rofiki, M. Firdaus, M. Salik 2023). Aturan-aturan inilah, yang antara lain, menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). PTKIS di wilayah Kopertais I DKI Jakarta dan Banten menerapkan aturan-aturan untuk merealisasikan Perpres RI Nomor 58/ 2023 tersebut. Kampus-kampus seperti Universitas PTIQ Jakarta, Institut Ilmu Al-Qol’[h (IIQ), STAI F[n[bcff[b Serpong, Tangerang Selatan, STISNU Nusantara Tangerang, dan STAI Publistik Thawalib Jakarta menerapkan aturan yang hampir serupa. Aturan ini mengatur cara pandang sivitas


58 akademik, sikap, dan praktik beragama mereka. Aturan yang diberlakukan sejalan dengan nilai kemanusiaan, toleransi, dan keadilan berlandaskan atas nilai-nilai ajaran Islam. Penerapan aturan ini dimaksudkan agar sivitas akademis terhindar dari radikalisme, ekstremisme, eksklusivisme, dan intoleransi. Nilai yang terakhir ini yang menjadi penyebab keharmonisan dan kemaslahatan kehidupan di perguruan tinggi menjadi terganggu. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurish terkait dengan kekerasan dan ekstremisme(Nurish 2019). Beberapa hal yang ditemukan sebagai aturan kampus dalam konteks moderasi beragama adalah: pertama, pengakuan atas keberagaman agama, keyakinan, suku, dan ras. Kedua, kerukunan umat beragama, kerukunan antar kelompok, larangan provokasi, hasutan, dan kekerasan yang memicu konflik. Ketiga, penyelenggaraan pendidikan, buku, dan pengabdian kepada masyarakat berbasis moderasi beragama. Keempat, pengembangan budaya akademik yang rasional, obyektif, dan kritis. Kelima, pengembangan perilaku toleran, inklusif, dialogis, kooperatif, dan akomodatif. Keenam, terbuka dalam melakukan kerjasama dengan sesama kampus, instansi pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, media massa, dll baik di dalam maupun di luar negeri yang berdampak positif bagi pengembangan kehidupan kampus. C. Karakteristik Keberhasilan Penguatan Moderasi Beragama Upaya penguatan moderasi beragama di perguruan tinggi dianggap berhasil atau gagal tentu dapat dilihat dari


59 sudut tertentu yang menjadi karakteristiknya. Karakterisk utamanya adalah terwujudnya sikap beragama yang moderat, sedang, di tengah-tengah, dan tidak berlebihan dari civitas akademis suatu perguruan tinggi. Mereka tidak saling klaim diri atau kelompok menjadi bagian yang paling benar. Mereka menghindari penggunaan legitimasi teologis yang cenderung ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Dalam sikap politik, bisa saja individu dari civitas akademika ini memiliki pihan partai politik tertentu. Karena pilihan politiknya makan dia meyakini nilia-nilai kebaikan partai politik tersebut. Sikap ini tidak menutup pandangan dan keyakinannya bahwa pilihan orang lain juga mungkin benar. Nilai-nilai ini disosialisasikan, diajarkan, dididikkan, ditumbuhkembangkan di kalangan perguruan tinggi (Akhmadi 2019). Praktik kehidupan yang moderat ditunjukkan adanya tindakan yang dilakukan civitas akademik perguruan tinggi. Kebijakan dan praktik kehidupan adalah moderat dan tidak berlebihan. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi mengakomodir keragaman individu yang ada di dalamnya. Selain kebijakan, kehidupan kampus yang menerapkan praktik moderasi beragama lebih terbuka. Setiap individu meyakini kebenaran yang diyakini oleh dirinya sendiri. Dia juga membuka peluang atas kebenaran orang lain. Artinya, apa yang diyakininya adalah suatu kebenaran, tetapi bisa jadi ada kebenaran lain yang diyakini oleh individu lainnya. Moderasi bukan berarti membenarkan keyakinan agama orang lain. Tetapi, Dia meyakini bahwa orang lain yang memeluk agama lain dapat juga benar atas dasar kebenarannya sendiri (Saumantri 2022).


60 Moderasi beragama menjadi lebih penting ketika kehidupan sosial di perguruan tinggi mengarah pada ekstrimisme, radikalisme, dan ujaran kebencian (hate speech). Problem ini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama menjelang waktu pemilihan umum. Bentuk ekstrimisme diejawantahkan oleh masyarakat dalam praktik kehidupan yang berlebihan. Ekstrim berarti saling berbeda satu dengan yang lain. Jika yang satu berada pada kutub utara makan lainnya berada pada kutub Selatan, dan seterusnya. Kutub ini menjadi berhadap-hadapan dan berlawanan satu dengan yang lain. Dalam konteks beragama, satu kelompok memahami ajaran agama hanya secara tekstual. Lainnya memahami ajaran agama hanya dengan cara kontekstual. Satu pihak enggan menggunakan akal dan cenderung kaku dalam memahami teks, sedangkan pihak lain cenderung sangat longgar dan bebas dalam memahami teks sumber ajaran beragama. Mereka yang mendasarkan pada kebenaran teks, menyalahkan kemampuan otak untuk berpikir. Sedangkan, mereka yang meyakini kemampuan otak cenderung meyakini otoritas kemampuan berpikir otak yang seolah-olah mampu mengekplorasi kandungan teks ajaran agama(Wahid, Maizuddin, and M Jakfar 2022). Di sinilah, peran kampus dalam memberikan kebijakan untuk dialog terbuka menjadi bermanfaat untuk menguatkan moderasi beragama. Konsep dialogis memberikan ruang yang cukup untuk akal pikiran melakukan eksplorasi dan pendalaman atas pemikiran orang lain. Dengan kemampuan berpikirnya, mereka terbuka terhadap realitas kehidupan dan perkembangannya. Namun demikian, eksplorasi pikiran akan menjadi dangkal dan tidak terarah tanpa didasarkan


61 dengan konsep dan teks. Karena itu, kegiatan-kegiatan dialog terbuka yang dipraktikkan dalam kehidupan kampus memberikan peluang untuk semakin kuatnya moderasi beragama. Moderasi beragama merasuki semua sendi-sendi kehidupan, termasuk kehidupan sosial di lingkungan perguruan tinggi. Moderasi beragama juga memberikan kontribusi civitas akademika dalam menghadapi kehidupan sosial pada masa-masa menjelang pemilihan umum. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak moderat yang didasarkan pada moderasi beragama berkontribusi pada retak atau tidaknya hubungan yang berbeda dari pemeluk agama, suku, ras, termasuk perbedaan pilihan partai politik. Hubungan yang kuat atau renggang di masa menjelang pemilihan umum seperti ini, paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor dominan yaitu populisme agama dan politik sektarian(Kurniawan 2018). Kelompok tertentu sengaja menghadirkan populisme agama dengan tambahantambahan praktik kehidupan yang cenderung mengarah pada nada kebencian terhadap pemeluk agama tertentu, ras, maupun suku. Politik sektarian juga menggunakan simbolsimbol agama. Penggunaan simbol ini sengaja dilakukan agar dapat menjustifikasi kebenaran. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa kebenaran agama mudah digunakan untuk menjustifikasi orang lain. Dengan simbol-simbol ini, opini masyarakat dapat digiring menuju arah konservatif yang radikal. Pihak-pihak tertentu sengaja membawa populisme agama dan politik sektarian ke ruang publik, termasuk perguruan tinggi. Memang benar, terdapat aturan khusus terkait pemanfaatan fasilitas kampus untuk kampanye. Hal


62 ini tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/ 2023), yang menyatakan bahwa peserta pemilu boleh berkampanye di fasililtas pemerintah dan Pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang mendapatkan izin dari penanggungjawab tempat Pendidikan dan tidak menggunakan atribut kampanye(https://mediaindonesia.com). Aturan ini justru semakin menjelaskan bahwa populisme agama dan politik sektarian sengaja dihadirkan ke kampus dalam rangka kepentingan politik praktis. Bagaimanapun realitas kehidupan kampus, moderasi beragama menjadi bagian penting untuk mewujudkan harmonisasi kehidupan sosial. Masyarakat kampus pada dasarnya dikenal sebagai masyarakat rasional. Kehadiran populisme agama dan politik sektarian dapat ditangkal oleh nalar rasional. Mahasiswa yang kritis dimungkinkan berpikir lebih obyektif dengan elandaskan pada fakta sosial dan literatur yang ada(Marlina 2020). Moderasi beragama mendekatkan pada kebersamaan. Karenanya, sikap merangkul lebih dikedepankan dengan menghindarkan pada permusuhan terhadap kelompok ektrem, cenderung menemani dan mengayomi mereka. Keberhasilan kehidupan kampus dalam konteks ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas bersama dan kegiatan bersama antar kelompok yang berbeda.


63 BAB III HARMONI DAN STABILITAS LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM SWASTA (PTKIS) AB ini membahas dua tema besar yaitu harmonisasi kehidupan sosial di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) dan stabilitas kehidupan sosial di masa menjelang pemilu. Uraian bagian pertama menjelaskan upaya yang akan dilakukan oleh PTKIS sebagai perguruan tinggi B


64 keagamaan Islam Swasta dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan sosial. Sementara bagian kedua menjelaskan upaya yang dilakukan oleh PTKIS dalam mewujudkan stabilitas kehidupan sosial dalam kehidupan kampus. A. Harmonisasi Kehidupan Sosial di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) Sebelum membahas harmonisasi kehidupan sosial di lingkungan Perguruan Tinggi Kegamaan Islam Swasta (PTKIS), perlu mendiskusikan terlebih dahulu pengertian harmonisasi. Istilah harmonisasi berasal dari kata harmoni (bahasa Yunani harmonia), yaitu terikat secara serasi dan sesuai. Ditinjau dari aspek filsafat, harmoni diartikan kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur, misalnya antara jasad seorang manusia hendaknya harus ada harmoni, kalau tidak belum dapat disebut pribadi. Di sisi lain, istilah harmoni diartikan juga sebagai pola, seperti di bidang sosiologi, yaitu usaha untuk mempertemukan berbagai pertentangan dalam masyarakat, diterapkan dalam hubunganhubungan sosial ekonomi untuk menunjukkan pemikiran bahwa kebijakan sosial ekonomi yang paling sempurna hanya dapat tercapai dengan meningkatkan permusyawaratan antara berbagai anggota masyarakat, istilah ini disebut juga pola integrasi(Riani 2022). Kusnu Goesniadhie memaknai harmonisasi sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara berbagai


65 faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari sistem. Jadi istilah harmonisasi dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas atau tidak serasi, sehingga menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal(Slamet 2004). Bepijak dari definisi tersebut, yang dimaksud harmonisasi kehidupan sosial di lingkungan PTKIS adalah upaya menyeleraskan dan menyesuaikan hal-hal yang kurang tepat, sehingga terwujud perdamaian, keadilan, humanisme dan sikap moderat di lingkungan PTKIS. PTKIS merupakan pendidikan tinggi keagamaan yang menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, dan memiliki kemampuan akademik, professional, yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, baik di bidang ilmu agama lslam maupun ilmu lain yang diintegrasikan dengan agama lslam. Secara formal PTKIS berada di dalam pengelolaan Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam pada Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 102 tahun 2019 Tentang Standar Keagamaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam disebutkan bahwa kualifikasi kemampuan sikap, lulusan PTKI adalah memiliki kemampuan yang meliputi: pertama, berperilaku berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta norma Islam yang toleran, inklusif dan moderat. Kedua, beribadah dengan


66 baik dan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ketiga, berakhlak mulia yang diaktualisasikan dalam kehidupan sosial(Duryat 2020). Ada beberapa kata kunci dalam keputusan di atas, seperti kata inklusif, toleran dan moderat. Di lingkungan PTKIS, moderasi beragama memang menjadi orientasi di dalam pelaksanaan pendidikan. Pemahaman ajaran agama Islam yang mendalam pada diri seorang Muslim akan menyebabkan ia menjadi moderat. Sebaliknya, pemahaman ajaran Islam yang kurang mendalam, tekstual, fanatik buta akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap berbagai aspek di dalam ajaran agama Islam yang pada gilirannya akan menjadi radikalisme atau ekstremisme. Hanya saja masalahnya, kurikulum di perguruan tinggi lebih elastis, berbeda dengan kurikulum yang ada di lembaga pendidikan dasar maupun menengah. Faktor dosen atau tenaga pengajar menjadi sangat penting, sehingga implementasi moderasi berkaitan dengan bekal perspektif moderasi yang dimilikinya. Pada saat yang sama mahasiswa lebih terbuka dan bebas menyerap semua materi, baik yang berasal dari dosen ataupun dari referensi yang dibaca atau informasi yang masuk melalui berbagai forum dan media massa maupun media sosial yang tidak menutup kemungkinan terdapat narasi ajaran agama yang intoleran, eksklusif dan tidak moderat. Dalam konteks mewujudkan harmonisasi sosial di lingkungan PTKIS, ada beberapa strategi yang sudah dilakukan oleh PTKIS di Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Strategi tersebut adalah:


67 1. Mengembangkan sikap inklusif Sikap inklusif dapat diperkuat melalui pendidikan inklusi di lingkungan perguruan tinggi. Sikap inklusif dibutuhkan dalam menjalani kehidupan masadepan generasi. Sikap ini dimungkinkan dapat mengembangkan rasa berkeadilan antarwarga kampus. Pendidikan inklusi memberikan peluang belajar kepada setiap individu, dari warga kampus. Pendidikan juga dapat dijadikan sebagai transformasi mendalam terhadap sistem pendidikan yang memberikan dampak yang memiliki relevansi krusial dalam membentuk budaya inklusif, mendukung keterampilan interpersonal, mendorong inovasi dalam pembelajaran, hingga mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi realitas dunia yang semakin kompleks. Pendidikan inklusi di kampus juga dapat memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari perbedaan kemampuan atau latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, meraih pengetahuan, dan pengembangan diri melalui pendidikan tinggi. Pendidikan inklusi menciptakan lingkungan yang beragam, dimana mahasiswa dari berbagai latar belakang dan kemampuan dapat saling belajar dan tumbuh bersama. Dengan demikian akan merangsang pertukaran ide, pandangan, dan pengalaman yang beragam, membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan interpersonal yang sangat penting dan dibutuhkan oleh mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan interpersonal yang dibutuhkan oleh individu dalam kehidupan bermasyarakat yang


68 semakin berkembang secara global, perlu diasah dan dilatih secara intensif. Keterampilan tersebut diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi, keterampilan interpersonal yang dilatih dalam lingkungan yang beragam dan berkembang dalam budaya, pandangan, dan kemampuan yang berbeda, mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin yang efektif dan pemecah masalah yang tangguh. Maka dari itu pendidikan inklusi juga berperan penting dalam mendorong perkembangan pendekatan pembelajaran yang adaptif dan inovatif. Perguruan tinggi perlu merancang kurikulum, metode pengajaran, dan fasilitas pembelajaran yang mendukung semua mahasiswa, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus. Berbagai macam benturan dan konflik antar agama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan, disinyalir karena faktor eksklusifisme beragama. Paradigma ekslusif memandang bahwa hanya agamanya lah yang paling benar, sehingga menganggap agama lain salah dan sesat. Biasanya, cara pemahaman terhadap ajaran agama paradigma ini, lebih bersifat tekstual dan normatif(Suluri 2019). Untuk itulah pentingnya membangun paradigma keberagamaan inklusif kepada civitas akademika di lingkungan PTKIS. Adapun yang dimaksud dari sikap atau sifat inklusif adalah mau menempatkan diri ke dalam cara pandang orang lain atau kelompok lain dalam melihat dunia. Dengan kata lain, dia berusaha menggunakan sudut pandang orang lain atau kelompok lain dalam memahami masalah tertentu dan tidak memaksakan sudut pandangnya m_h^clc. K_\[fce[h ^[lc cmncf[b chc [^[f[b ‘_emfomc`’ ^[f[g


69 pengertian yang negatif yakni mengeluarkan diri atau membedakan diri dari orang lain. Sikap ini cenderung tidak menerima cara pandang orang lain dan memaksakan cara pandangnya sendiri dalam masalah tertentu. Sikap inklusif dalam beragama dipahami sebagai sebuah upaya pemahaman ajaran agama yang bersifat terbuka dan menerima atau mengakui nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari luar. Seorang pemeluk agama Islam yang inklusif berarti ia tidak mempersoalkan dari mana datangnya nilai-nilai kebenaran tersebut. Tentu saja nilai-nilai tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan substansi ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis. Muslim yang inklusif berbeda dengan Muslim yang ekslusif yang bersifat sangat tertutup untuk menerima kebenaran dari luar. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh M. Quraish Shihab, bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Sikap inklusivisme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi keislaman. Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam satu kelompok saja, melainkan juga ada pada kelompok yang lain, termasuk kelompok agama sekalipun. Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya semua agama membawa ajaran


70 keselamatan. Perbedaan dari satu agama yang dibawa seorang nabi dari generasi ke generasi hanyalah syariat saja(Jamaluddin 2022). Jadi jelas bahwa untuk mewujudkan harmonisasi sosial, sangat erat kaitannya dengan menjaga kebersamaah ^_ha[h g_gcfcec mce[j ‘n_haa[ha l[m[’, m_\o[b warisan leluhur yang mengajarkan untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda. Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan bukan hanya menjadi kepedulian para pelayan publik seperti penyuluh agama, tetapi seluruh warga negara Indonesia. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. 2. Memahami keragaman etnis Pemahaman terhadap keragaman etnis diterapkan oleh PTKIS di Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Hal ini ditunjukkan oleh latarbelakang mahasiswa yang sangat beragam. Mahasiswa PTIQ, IIQ, STAI Fatahillah Serpong, dan STISNU Nusantara Tangerang memiliki mahasiswa yang berasal dari etnis sangat beragam, dari beberapa suku di wilayah Indonesia. Keragaman etnis yang sangat majemuk di Indonesia, adalah tantangan kerukunan masyarakat. Terbukti, akhir-akhir ini konflik dan kerusuhan yang bertemakan etnis muncul kembali. Sehingga perlu dibangun pemahaman bersama tentang keragaman etnis. PTKIS


71 sebagai perguruan tinggi agama juga tidak bisa menutup mata atas hal ini. PTKIS harus memberikan kontribusi terhadap pemahaman dan penyadaran kepada mahasiswa akan keberagaman etnis melalui pendidikan multikultural dengan penguatan literasi agama. Allah berfirman: َّ اِۚان ْ و ُ ف َ ار َ ع َ ِت م َ اۤىِٕل َ ت َ ق َّ ا و ً ة ْ و ُ ع ُ ش ْ ه ُ ك ٰ ٌ ْ ن َ ع َ ج َ ى و ٰ ث ْ ً ُ ا َّ و ٍ ر َ ك َ ذ ْ ِ ي ّ و ْ ه ُ ك ٰ ٌ ْ ق َ ن َ ا خ َّ ُسِاً ا َّ ا الن َ ه ُّ ي َ ا ٰٓ ي ِع ْ ه ُ ك َ و رَ ْ ك َ ا ٌ د ْ ي ِ ت َ خ ٌ ه ْ ِي ن َ ع َ ه اّٰلل َّ ِۗان ْ ه ُ ىك ٰ ق ْ ت َ ِ ا ه اّٰلل َ د ْ ٌ Wahai manusia, Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha teliti (QS. Al-Hujurat [49]: 13) Perbedaan suku, ras, warna kulit dan budaya adalah ketentuan Allah (sunnatullah) yang tidak bisa ditolak. Penggalan ayat ۚواْ َرفُ ِٕى َل ِلتَعَا ۤ َّوقَثَا نٰ ُكْم ُشعُ ْوتًا ْ ل menegaskanَ و َجعَ bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan beragam suku, golongan dan budaya agar mereka saling mengenal satu sama lain. وبُ ْشع ُadalah bentuk jamak dari kata شعة yang digunakan untuk menunjukkan kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk pada satu kakek (M. Quraish Shihab, 2005). Penggalan ayat di atas memerintahkan kepada umat manusia yang beragam tadi untuk saling mengenal. Mengapa demikian hal ini disebabkan karena pengenal-


72 an itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkat-kan kepada Allah SWT yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaan akhirat. Penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul tidak akan tercipta tanpa saling mengenal. Dengan mengenal saudara Muslim yang lain maka akan semakin mengerti tentang kondisi saudaranya dan akan semakin menghormati perbedaan ini. Diterangkan bahwa perbedaan antara bangsa-bangsa dan suku-suku adalah Sunatullah. Sunatullah itu berlangsung di seluruh alam dan dalam segala hubungan. Dia dapat diperinci dalam bidang, kepada manusia Tuhan menurunkan wahyu melalui Rasulullah saw, untuk menggariskan laku perbuatan atau amal manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Sunatullah ini disebut ibadat (khasah) atau agama. Wahyu untuk manusia itu juga menggariskan laku perbuatan atau amal manusia dalam hubungannya sesama manusia. Sunatullah ini disebut go’[g[f[n [n[o mimc[f. Kihm_j go’[g[f[n cno y[ha diistilahkan kebudayaan(La Diman 2018). Bersikap toleransi dan menghargai kepada sesama manusia merupakan salah satu adab mulia Islam. Islam menghargai pluralitas atau keanekaragaman yang ada dalam masyarakat. Pluralitas adalah kenyataan yang ada dalam masyarakat. Menghargai keanekaragaman yang ada merupakan kewajiban seorang Muslim. Hal ini telah diajarkan dan dipraktekkan langsung oleh Rasulullah SAW. di Madinah saat beliau berinteraksi dengan orangorang Yahudi dan Nasrani. Perbedaan ini oleh beliau


73 Nabi Muhammad SAW diikat dengan piagam madinah yang butir-butir isinya sangat mencerminkan akhlak mulia seorang Muslim untuk menjunjung tinggi hak-hak masyarakat, memberikan kebebasan bagi penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Perbedaan suku, ras, bangsa dan agama bukanlah sebuah halangan untuk umat Islam saling mengerti dan menghargai perbedaan yang ada. Beranjak dari ajaran Islam di atas, sudah sepatutnya PTKIS menginternalisasi pendidikan multikultural dalam program-program kerjanya, misalnya meningkatkan minat baca mahasiswa. Membaca merupakan cara untuk mendapatkan berbagai macam informasi yang dapat diserap oleh peserta didik. Semakin banyak membaca, maka semakin banyak pula informasi yang didapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung (Dewi, 2015). Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan minat baca harus diadakan dan digalakan. Minat baca dalam hal ini ialah terfokus pada narasi religius atau agamis dengan wawasan multikultural. Disamping pembinaan kampus dalam menyediakan fasilitas membaca dan pembinaan perpustakaan yang baik dan lengkap. Selain hal itu, upaya meningkatkan minat baca juga bergantung kepada kreativitas, inovasi dan inisiatif mahasiswa dan dosendosen kampus. Dalam hal ini kita sadari bersama bahwa minat baca mahasiswa tentu saja berimbas dan mempengaruhi prestasinya di kampus. Jika minat bacanya tinggi, maka bukan tidak mustahil mahasiswa yang dihasilkan tersebut akan menjadi mahasiswa yang cerdas, krearif dan kritis. Banyak informasi yang diperoleh dengan berbagai refrensi buku atau artikel


74 sebagai cakrawala pengetahuannya dalam berpikir dan bertindak. Hal itu pula tentunya yang diinginkan dalam penguatan literasi agama dalam hal ini untuk membangun konsep pendidikan multikultural mahasiswa di perguruan tinggi. Selain itu, budaya diskusi juga perlu digalakkan. Berdiskusi dan mencari sendiri bahan materi kuliah melalui berbagai sumber merupakan karakteristik belajar mahasiswa. Tugas membuat makalah atau bentuk lainnya untuk didiskusikan sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan sungguh-sungguh. Diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa dapat terjadi pada forum organisasi dan juga bisa juga dilakukan pada forum pembelajaran di kelas. Metode diskusi dan dijadikan sebagai metode pembelajaran guna mengembangkan keterampilan berpikir (aspek psikomotor) dan guna mengembangkan sikap multicultural (aspek afektif) mahasiswa dalam tataran praktis, sehingga dapat dievaluasi melalui pengamatan langsung oleh dosen evaluasi hasil belajar (evaluasi produk) dalam bentuk tes formatif ditekankan untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa (aspek kognitif) terkait kesadaran bersikap multikultural. Untuk dapat berdiskusi tentunya mahasiswa perlu memiliki bekal atau bahan kajian, narasi maupun literasi yang cukup mengenai kajian keagamaan(Kadi 2020). 3. Mempertajam wawasan kebudayaan Kehidupan sosial di kampus di hadapkan dengan keragaman budaya. Karenanya, wawasan kebudayaan perlu diperkuat dan dipertajam. Kebudayaan memiliki


75 peran dan fungsi yang sentral dan mendasar sebagai landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara karena suatu bangsa akan menjadi besar jika nilai-nilai kebudayaan telah mengakar (deep-rooted) dalam sendi kehidupan masyarakat. Indonesia sebagai negara kepulauan adalah negara-bangsa yang memiliki kekayaan dan keragaman budaya nusantara yang merupakan daya tarik tersendiri di mata dunia. Seharusnya hal ini dapat dijadikan modal untuk menaikkan citra bangsa di mata dunia sekaligus nilainilai fundamental yang berfungsi merekatkan persatuan. Berdasarkan survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Jakarta tahun 2021, bahwa sikap keberagaman mahasiswa, sebanyak 58,5% terindikasi memiliki sikap radikal. Sementara 20,1% lainnya bersikap toleran(Nisa, 2021). Survei kembali dilakukan oleh PPIM Jakarta pada tahun 2022 dalam skala nasional yang tersebar di 92 perguruan tinggi. Jumlah responden terdiri dari 2866 mahasiswa dan 673 dosen. Hasilnya, sebanyak 30,16% terindikasi memiliki sikap toleransi yang rendah dan sangat rendah PPIM UIN, 2022). Hal ini terjadi karena sebagian besar generasi muda mengolah informasi melalui media sosial dimana informasi yang bertebaran cukup rentan dengan situs radikal, serta rendahnya pemahaman terhadap wawasan agama dan juga kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang wawasan kebudayaan. Bangsa Indonesia saat ini sedang terancam disintegrasi, akibat dari penerapan sistem pendidikan yang bersifat sentralistik. Adanya sentralisasi dalam sistem


76 pendidikan mengakibatkan kurangnya konsumsi peserta didik tentang budaya kebhinekaan bangsa yang membawa makna persatuan atas segala bentuk keragaman. Oleh karena itu, penguatan akan wawasan kebudayaan perlu ditanam di lingkungan masyarakat, terkhusus pada lingkungan perguruan tinggi. Dalam upaya pembelajaran dan pengajarannya, peserta didik perlu dituntut agar memiliki pemikiran terbuka yang berarti mau menghargai hak orang lain untuk memeluk agama sesuai kepercayaan masingmasing, juga menghargai hak hidup setiap orang. Selain itu, sistem pembelajaran yang diberikan juga harus berporos pada kebudayaan lokal, dengan harapan agar menjadi senjata dalam merekatkan hubungan dan menjadi tameng atas perselisihan. Proses ini dilakukan untuk membimbing para generasi muda agar memahami realita yang beragam dengan sikap yang lebih dewasa, serta memiliki sudut pandang yang tak terbatas dalam menilai keberagaman baik dari segi budaya maupun agama. Melihat fenomena kehidupan di masyarakat sejatinya agama dan budaya mempunyai keterikatan yang mampu melebur menjadi kekuatan, namun masih menempati posisi yang disalah artikan oleh sebagian individu yang belum bisa meletakkan keduanya di dalam pemahaman terbuka. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai agama dan budaya yang luhur jelas tak dapat dipisahkan dan tidak bisa jika harus berdiri sendiri, sebab keduanya memiliki keterpaduan yang begitu erat


77 dalam proses pembangunan hubungan sosial(Muna et al. 2023). Dalam Islam, peleraian ketegangan antara ajaran keagamaan dan tradisi lokal dijembatani oleh fiqh. Fiqh yang merupakan buah ijtihad para ulama membuka lo[ha ohnoe g_hd[^c ‚niif‛ ^[f[g g_f_l[c e_n_a[ha[h. Sejumlah kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh seperti al- ‘[^[b gob[ee[g[b (nl[^cmc y[ha \[ce \cm[ ^cd[^ce[h sumber hukum) terbukti ampuh untuk mendamaikan pertentangan antara ajaran Islam dan tradisi lokal. Kaidah fiqh di atas menjadi dasar pengakuan dalam menyelesaikan berbagai hal yang bersifat tradisi di satu sisi dan ajaran Islam di sisi lain, yang memang secara tekstual tidak diberikan dasar hukumnya. Dari peleraian ketegangan ini membuktikan bahwa hukum Islam itu bersifat fleskibel dan dinamis. Ia bisa menyesuaikan dengan ruang dan zaman. Oleh karenanya, Islam akan terus relevan dalam konteks apapun dan di manapun. Dalam konteks Islam di Indonesia, penyesuaian ajaran agama dengan masyarakat Indonesia dan tradisi serta kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan syariat menjadi ciri khas dari keislaman masyarakat di Indonesia, yang dalam bahasa lainnya disebut sebagai Pribumisasi Islam. Dalam konsep pribumi Islam ini, pengejawantahan ajaran-ajaran Islam agar tidak bertentangan dangan tradisi dan kebudayaan lokal. Pribumisasi bukan berarti meninggalkan norma-norma keislaman demi budaya, tetapi agar norma-norma tersebut menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan


78 peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (Al-Quran dan Hadis). Perpaduan di antara keduanya menjadi saling melengkapi, di mana Islam lahir dari perintah Allah, sedangkan budaya merupakan hasil dari kreasi manusia. Dalam pribumisasi Islam nampak bagaimana Islam diakomodasikan ke dalam tradisi dan budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masingmasing, sehingga tidak ada pemurnian Islam atau penyeragaman praktik keagamaan dengan budaya Timur Tengah(Duryat 2020). Sikap keagamaan yang tidak akomodatif terhadap tradisi dan budaya merupakan bentuk yang kurang bijaksana. Sikap keagamaan ini menjauh dari prinsip dan nilai agama karena akan menggerus nilai-nilai kearifan lokal bangsa. Pandangan bahwa agama menjadi musuh budaya, atau sebaliknya budaya menjadi musuh agama, sebagaimana disinggung di atas tidak sesuai dengan moderasi beragama. Di dalam moderasi ini tidak dipertentangkan antara keduanya dalam bentuk dualisme yang saling menjaga jarak, melainkan antara agama dan budaya, keduanya saling mengisi. Konsep pemahaman keagamaan yang akomodatif terhadap tradisi dan budaya tersebut sejalan dengan konsep Islam. B. Stabilisasi Kehidupan Sosial Menjelang Pemilihan Umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIS) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) hadir sebagai upaya untuk membina sikap keagamaan yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Pada kontestasi pemilihan umum 2024, politik identitas atas nama agama masih


79 digunakan(Samosir and Novitasari 2022). Tentu PTKIS memainkan peran serius dalam menjaga civitas akademikanya untuk tidak larut dalam kontestasi politik praktis yang menggadaikan nama agama sebagai tameng untuk perebutan kekuasaan ataupun jiwa nasionalisme yang dijadikan senjata untuk menuduh di luar kelompoknya itu radikal dan intoleran. Dewasa ini, perseteruan kubu politik mewarnai konflik sosial pemilu 2024. Permasalahan yang mengkhawatirkan, antara lain aksi ujaran kebencian, aksi saling kritik, dan aksi black capign yang dilakukan oleh masing-masing pendukung pasangan calon. Hal ini tentu menjadi renungan bersama bahwa dalam kontestasi politik, masyarakat masih rentan dengan provokasi yang tidak bertanggung jawab. Peran PTKIS dalam pembangunan perdamaian berdasarkan pancasila merupakan salah satu dari strategi penyelesaian konflik tersebut. Secara historis, perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya demokratisasi di Indonesia. Sejarah mencatat peran perguruan tinggi dalam menggerakkan mahasiswa ikut andil pada masa orde lama, orde baru dan masa orde reformasi yang sedang dijalani sekarang ini. Tercatat, pada masa orde lama, mahasiswa menjadi salah satu kekuatan politik dengan hadirnya berbagai organisasi yang berkontribusi aktif terhadap sistem politik yang berjalan pada saat itu. Kemudian berlanjut pada orde baru, mahasiswa dan gerakan sosialnya menjadi salah satu penyebab tumbangnya kediktatoran rezim Soeharto. Dinamika terus berlanjut, meski gerakan mahasiswa orde reformasi sering dianggap kehilangan arah akibat perubahan struktur


80 pemerintahan, namun kehadirannya tetap terasa dengan berkontribusi terhadap kebijakan pemerintah (Mardianti 2022). Dalam konteks menjelang pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024, di mana suhu politik di Indonesia terus memanas dan menyita perhatian masyarakat, bahkan mereka tidak segan melontarkan ujaran kebencian bentukbentuk intoleransi dan disinformasi (hoax) di media sosial, media massa, dan di dunia nyata, maka peran PTKIS sangat dibutuhkan untuk meredam konflik tersebut. Merebaknya isu-isu menyesatkan adalah bagian dari degradasi literasi yang mengkhawatirkan di Indonesia, maka PTKIS harus hadir dan berperan dalam membenahi degradasi literasi tersebut. Ada dua langkah yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, Cegah disinformasi dan ujaran kebencian melalui peningkatan literasi. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 213 juta orang per Januari 2023. Jumlah ini setara 77% dari total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang pada awal tahun ini. Jumlah pengguna internet di Tanah Air naik 5,44% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Pada Januari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia baru sebanyak 202 juta orang (cindy Mutia Annur, 2023). Menurut Henri Subiakto, staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, menjelang pemilu 2024, berita hoaks mengalami peningkatan yang cukup tajam. Henri menilai, hoaks kini bahkan sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan. Trennya relatif sama, yaitu menggunakan hoaks secara sengaja untuk memprovokasi mayoritas, yang dalam hal ini suara Muslim sebagai


81 masyarakat mayoritas penduduk Indonesia(kominfo, go.id, 2019). Selain itu juga, perebutan suara pemilih dari kalangan generasi Z dan millenial yang jumlahnya cukup besar membuat serangan hoaks untuk mempengaruhi pemilih sulit terhindarkan. Anggota KPU, August Mellaz dalam Webinar Kebangsaan, menyampaikan bahwa sebanyak 55% pemilih pada pemilu 2024 didominasi generasi Z dan millennial (kabpacitan.kpu.go.id, 2023). Tentu ini menjadi momentum yang sangat penting bagi mahasiswa sebagai generasi Z dan millennial untuk memilih pemimpin dengan mengenali, mendalami dan memeriksa visi dan misi serta program yang ditawarkan calon legeslatif, calon presiden dan wakil presiden dengan tidak terprovokasi isu hoaks. Menurut Ricky Boy Siallagan dari Direktorat Tindakan Pidana dan Siber yang dikutip oleh Dewi Anggraeni, bahwa maraknya hate speech pada pemilu dilatarbelakangi lemahnya literasi media bagi masyarakat Indonesia, di era post-truth kebenaran yang diam akan menjadi samar ketika kebohongan disebarluaskan dalam istilah lain "a lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the nlonb‛. Apa yang terjadi pada pilgub DKI, Pilpres 2014, 2019, selain factor SARA yang menjadi titik pokok permasalahan, serta diskriminasi antara minoritas dan mayoritas adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk menyaring semua informasi yang diterima(Anggraeni and Adrinoviarini 2020). Untuk itu, PTKIS sebagai perguruan tinggi agama harus mengambil peran dalam memerangi hoaks dan ujaran kebencian menjelang pemilu ini, sebagai bentuk kontribusi mereka kepada masyarakat di era digital ini. Sebagaimana


82 tertera dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, disebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan, buku, dan pengabdian kepada masyarakat (Tridharma). Adapun pengabdian kepada masyarakat dimaknai sebagai kegiatan civitas academica yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas kiranya bahwa perguruan tinggi bukan sekadar hubungan antara dosen dengan mahasiswa, namun juga tentang relasi mereka dengan masyarakat. Perguruan tinggi tidak berdiri di ruang hampa. Asas yang dianut perguruan tinggi antara lain adalah tanggung jawab, manfaat, dan kebinekaan. Ketika perguruan tinggi turut serta dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian, maka hal tersebut menjadi wujud kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat undang-undang(Bakri, Zulhazmi, and Laksono 2019). Adapun wujud kontribusi tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan literasi kepada civitas akademika khususnya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Untuk mewujudkan pendidikan literasi, PTKIS Kopertais I Wilayah Jakarta dan Banten telah melakukan hal berikut, yaitu; pertama, melakukan penguatan literasi media yang dapat diakses secara terbuka, mulai dari karya tulis, iklan, ide-ide, hingga teknologi. Literasi digital ini digunakan sebagai rujukan civitas akademika PTKIS dan masyarakat secara luas dalam meng-counter isu-isu intoleran yang dapat memecah belah persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia.


83 Target sasarannya adalah anak muda, termasuk mahasiswa di lingkungan PTKIS. Mengapa demikian? Secara umum, usia muda merupakan fase yang cukup rentan, karena belum memiliki konsep diri yang utuh. Jiwa mereka pun penuh gairah dan cenderung cepat bereaksi terhadap rangsangan dari luar. Selain itu, mereka ini pengguna media digital terbesar (digital native) dan 55% pemilih pada pemilu 2024 didominasi kalangan muda. Penguatan literasi media sebagai counter narrative, tentu sangat sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw.: َ ه َّ ن سَ َ ٍِ و ْ ي َ ل َ ع ى اّٰللُ َّ ل ِ صَ َّ اّٰلل ُ ول سُ َ ر َ ال َ : ق َ ال َ ق ٍ ل َ ت َ ِ ج ي ْ اِذ ة َ ع ُ و ْ ي َ ع ُ ع َ ِد ت ْ ِت ام رَ َ ه َ ا ظ َ ذ ِ إ ِ رَ ه ْ ظ ُ ي ْ ن َ أ ِ ِه ام َ ع ْ ى ام َ ل َ ع َ ِ ي ف اب َ ح ص ْ َ سُ َّب أ َ و ِ َّ اّٰلل ُ ث َ ٌ ْ ع َ ٍِ م ْ ي َ ن َ ع َ ف ْ ل َ ع ْ ف َ ي ْ ه َ م ْ ِ ن إ َ ف ُ ٍ َ ى ْ ِعن َ ِعين َ م ْ ج َ ِس أ ا َّ الن َ ِث و َ ِك ائ َ ل َ ى ْ ام َ و . ‚Dclcq[y[ne[h ^[lc Mo’[^z \ch J[\[f, c[ \_le[n[, R[mofoff[b \_lm[\^[: ‚Jce[ `cnh[b ^[h \c^’[b \_lgoh]of[h, dan sahabat-sahabatku dicaci maki, maka hendaklah orang yang tahu tampil ke muka dengan pengetahuannya. Barang siapa tidak melakukan hal itu, maka akan tertimpa kutukan (laknat) Aff[b, j[l[ g[f[ce[n ^[h m_go[ g[homc[‛. Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa meluruskan pemahaman agama yang salah hukumnya adalah fardhu kifayah. ووي فرض الكفايث امقيام ةإقاوث الحجج وحل امىشالكت في الدين.


84 ‚D[h n_lg[moe `[l^bo ec`[y[b [^[f[b g_hd_f[me[h argumentasi kegamaan dan mengurai kejanggalan dalam g_g[b[gc [a[g[‛. Dari hadis Nabi dan pandangan Imam Nawawi di atas menunjukkan bahwa pendidikan literasi digital di era post truth sangat penting dilakukan untuk menyurutkan pemahaman yang tidak tepat apalagi dapat memecah belah keutuhan bangsa. Penguatan literasi digital penting bagi generasi muda saat ini. Kasus penipuan, pinjaman online (pinjol), pelecehan seksual, dll mengancam mereka yang tidak memiliki kompetensi literasi digital. Teknologi informasi dan komunikasi berkembang terus. Bahkan, perkembangannya lebih cepat dari perkembangan kemampuan generasi muda. Ini juga dapat menjadi landasan pemikiran tentang pentingnya literasi digital. Literasi digital membantu individu untuk tetap relevan dan produktif dalam lingkungan yang terus berubah ini. Selain itu, generasi muda, termasuk mahasiswa, yang memiliki literasi digital lebih memiliki kesempatan untuk akses informasi. Dalam dunia online, telah tersedia informasi yang sangat beragam. Literasi digital memungkinkan orang untuk mengevaluasi, memahami, dan menggunakan informasi dengan bijak. Kedua, membuka ruang dialog publik. Terbuka terhadap ruang publik dalam hal dialog dipraktikkan oleh PTKIS Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Praktik ini bukan tanpa dasar tetapi dengan dasar-dasar yang jelas. Secara historis-teologis, pendekatan dialog bukanlah hal haru dalam Islam. Di Makkah misalnya, sebelum hijrah,


85 Rasulullah dan para sahabat sudah berdialog dengan kaum musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijrah ke Habsyah, J[’`[l \ch A\^of Monb[fc\ mo^[b \_l^c[fia ^_ngan pengikut Kristen dan juga Raja Najasyi yang ketika itu masih memeluk agama Kristen. Di Madinah, Rasulullah saw. melayani perdebatan dengan delegasi Kristen Najran dan lain sebagainya (Budhy Munawar Rachman, 2010). Begitu juga dalam konteks sekarang, dialog menjadi salah satu solusi yang ditawarkan dalam melawan ujaran kebencian menjelang pemilu 2024 adalah lebih banyak berdialog di ruang public. Dialog ini dilakukan untuk melihat bagaimana rekam jejak, visi misi calom pemimpin yang akan dipilihnya. Tentu hal tersebut menjadi tantangan pemilu j[^[ _l[ jimn nlonb m[[n chc, y[ehc g[m[ ‚di mana penggunaan akal yang melandasi kebenaran seakan-akan tidak penting dalam memegaruhi opini, pemikiran maupun perilaku publik. Dalam rentang masa ini, orang memengaruhi publik dengan cara menomorsatukan sesansionalitas dan mengedepankan emosionalitas‛. Tantangan sekarang mengubah pemilih dari pemilih emosional ke pemilih rasional (pemilih memilih berdasarkan rekam jejak calon). Perguruan Tinggi diharapkan menjadi pelopor mengubah pemilih emosional ke pemilih rasional(Burhanuddin and Khumaini 2021). Harapan ini diwujudkan oleh PTKIS Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Beranjak dari tujuan tersebut, dalam berdialog tentu masing-masing calon pemimpin harus membangun dialog atau debat berdasarkan etika yang baik. Misalnya, Jujur dan tidak melakukan kelicikan. Kejujuran adalah aset terpenting dalam dialog dan debat. Tanpa kejujuran, permasalahan


86 dapat menyimpang dari fakta sebenarnya (QS. At-Taubah/ 9: 19). Selain itu, dalam dialog, masing-masing calon harus saling memberi kesempatan menyampaikan pendapat. Tidak saling memotong pembicaraan. Runcingnya perbedaan dan besarnya permusuhan jangan sampai menampakkan sifat egois dan acuh tak acuh dalam mendengarkan argumenasi orang lain. Jangan sampai merasa dirinya benar sendiri. Hal ini pun yang dilakukan dalam dialog antara Allah dengan Iblis. Allah sebagai Tuhan yang maha kuasa memberikan ruang kepada Iblis untuk menyampaikan pendapat mengenai alasan pembangkangannya, tanpa memboikot argument Iblis sehingga dialog tersebut berjalan dengan lancar (QS. Al-Hijr/ 15: 30-33). Terakhir, dalam dialog agar berjalan dengan baik, sebaiknya masing-masing calon menggunakan argument yang kuat, tegas, logis dan menunjukkan bukti-bukti yang akurat. Ketiga, membentuk mimbar para cendekiawan. Pembentukan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan intelektual, terutama para intelektual di PTKIS Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui berbagi seminar dan workshop yang disebarkan melalui suara, gambar dan tulisan sehingga bisa dijangkau oleh publik. Manfaat paling sederhana dari hal ini adalah untuk meng-counter adanya ujaran kebencian, bentuk-bentuk intoleransi dan disinformasi (hoax) yang berkembang. Keempat, Penguatan Riset dan Luaran. PTKIS Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten meningkatkan riset dan luaran. Kampus-kampus ini telah menyadari perlunya memperkuat hal tersebut. Riset sebagai ruh penggerak utama


87 kehidupan Perguruan Tinggi. Sehingga perguruan tinggi akan mampu mereproduksi ilmu pengetahuan secara lebih produktif dan berkualitas. Pada akhirnya, akan lahir berbagai macam temuan mutakhir dari perguruan tinggi. Dalam konteks pemilihan umum di Indonesia, PTKIS dapat mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan riset bagaimana potret pelaksanaan pemilu maupun pilkada dari kacamata akademik. Hasil dari riset tersebut nantinya bisa menjadi pembelajaran demokrasi banyak pihak, mulai dari penyelenggara, peserta maupun masyarakat secara luas. Riset menjadi strategi penting untuk mewujudkan stabilitas di perguruan tinggi (www.kompas.id/). Stabilitas perguruan tinggi adalah kondisi di mana perguruan tinggi dapat menjalankan fungsinya secara optimal, efisien, dan berkelanjutan dalam menyelenggarakan tridharma, yaitu pendidikan, buku, dan pengabdian kepada masyarakat. Stabilitas perguruan tinggi juga mencakup aspek keuangan, manajemen, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta tata Kelola. Riset merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Riset juga dapat membantu perguruan tinggi untuk menghasilkan luaran yang berkualitas, relevan, dan bermanfaat, seperti publikasi, paten, produk, prototipe, startup, dan lain-lain.


88 BAB IV BEST PRACTICE MODERASI BERAGAMA DI STISNU NUSANTARA TANGERANG AB ini memaparkan data-data temuan lapangan yang dianalisa sedemikian rupa untuk memperoleh hasil terbaik. Data diperoleh melalui wawancara dengan partisipan dan pengamatan langsung atas obyek buku. Partispan dalam buku ini adalah mahasiswa STISNU Nusantara Tangerang. Sedangkan, pengamatan dilakukan pada aktivitas mereka di dalam maupun di luar kelas, termasuk interaksi mereka pada lingkungannya. B


89 Data awal yang diperoleh langsung dianalisa dengan pendekatan triangulasi data. Analisis dilakukan setiap menemukan data demi data di lapangan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memastikan bahwa data yang dipaparkan oleh peneliti adalah data valid dan reliabel. A. Profil STISNU Nusantara Tangerang Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) NU Santri Tangerang Raya (NUSANTARA) Tangerang berada di Jl. Perintis Kemerdekaan II, RT.007/RW.003, Babakan, Kec. Tangerang, Kota Tangerang, Banten 15118. Tempat ini sangat strategis karena berada di lingkungan perkotaan Tangerang. Lembaga pendidikan ini diinisiasi pendiriannya oleh para tokoh Nahdlatul Ulama (NU), baik pejabat maupun tokoh masyarakat. Para pendiri tersebut adalah Drs. H. Ismet Iskandar (Bupati Tangerang), KH. Edi Djunaedi Nawawi (Tokoh Sepuh NU Tangerang), KH. A. Baijuri Khotib (Pengasuh PP Assaadah Li Nahdlatil Ulama Kota Tangerang), KH. M. Mansur Hasan (Pengasuh PP Al-Hasaniyah Rawalini Teluknaga Tangerang), KH. Mujib Qulyubi, MH (Ketua STAINU Jakarta/ Katib Syuriah PBNU Jakarta), H. Dasep Sediana, M.Si (Tokoh Muda Tangerang), H. Muhamad Qustulani (Tokoh Muda Tangerang), dan Muhammad Satria (Tokoh Muda Himasal). STISNU memperoleh ijin operasional atas nama STISNU Nusantara Tangerang. Ijin tersebut dikeluarkan pada tanggal 16 April 2014 dengan Surat Keputusan (SK) Dirjen Nomor: Dj.I/Dt.I.IV.PP.00.9/1224/2014. STISNU Nusantara memiliki dua program studi yaitu program studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah) dan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat).


90 Lembaga Pendidikan ini merupakan perguruan tinggi Islam swasta, mandiri dan profesional. STISNU Nusantara mendasarkan pada Pancasila, UUD 1945 dan paradigma berfikir (manhajul fikr) Ahlussunah wal Jamaah Nahdlatul Ulama (ASWAJA NU). STISNU Nusantara Tangerang menetapkan diri sebagai kampus yang menjamin kebebasan berpikir ilmiah dan studi amaliah yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, sesama manusia, dan beraqidah Islam Abfommohh[b W[fd[g[’[b Nahdlatul Ulama (Aswaja NU) (https://stisnutangerang.ac.id). Saat buku ini dilakukan, STISNU Nusantara Tangerang memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 234 orang mahaiswa untuk Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI). Adapun mahasiswa di Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES) berjumlah 247 orang mahasiswa. Dari jumlah mahasiswa tersebut, peneliti mencukupkan informan dengan jumlah 51 orang partisipan, yang berasal dari mahasiswa. Jumlah tersebut terdiri dari mahasiswa semester satu, dua, dan tiga sebanyak 32 orang mahasiswa. sebanyak 11 orang berasal dari mahasiswa semester empat, lima, dan enam. Sedangkan, delapan (8) orang mahasiswa adalah mereka yang sudah kuliah lebih dari enam semester. Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, STISNU Nusantara Tangerang menganut pendekatan dakwah (Fiqh alD[’q[b) yang dilakukan oleh para Walisongo. Secara garis besar, fikrah STISNU adalah tawassuth (pola fikir moderat), c’nc^[f (moderat), tasamuh, dan tawazun. STISNU Nusantara saat ini dipimpin oleh Dr H. Muhammad Qustulani, MA. Hum., didampingi wakil Ketua I Bid. Akademik & SDM Ecep Ishak Faridudin, MA, wakil Ketua II Bid. Administrasi & Keuangan: H. Muflih Adi Laksono, Lc,


91 MA, dan Wakil Ketua III Bid. Kemahasiswan, Kerjasama dan Keagamaan: Dr. KH. Mohamad Mahrusilah, M.A. Adapun Ketua Prodi. Hukum Keluarga Islam adalah Ahmad Suhendra, M.Hum dan Ketua Prodi. Hukum Ekonomi Syariah adalah Fakhri Fadhil, S.Sy MH. STISNU Nusantara Tangerang memiliki komitmen tinggi dalam menguatkan moderasi beragama di lingkungan kampus. Hal ini antara lain ditampakkan oleh adanya penetapan Rumah Moderasi Beragama di kampus tersebut. Kepengurusan Rumah Moderasi Beragama ditetapkan melalui Surat Keputusan Ketua STISNU Nusantara Tangerang Nomor STISNU/045/A.II/10-02/2021, tertanggal 10 Februari 2021. Terpilih untuk menjadi pengurus Rumah Moderasi Beragama STISNU Nusantara Tangerang adalah H. Mohamad Mahrusillah, MA sebagai ketua, Ahmad Suhendra, MA sebagai sekretaris, dan anggotanya adalah Fakhri Fadhil, S.Sy M.Sy, Dul Djalil, M.Ag, Muflih Adi Laksono, MA. Kelengkapan kampus dengan adanya Rumah Moderasi Beragama, visi dan misi yang moderat, semangat pemikiran yang berkemajuan mendorong peneliti memilih lokasi ini sebagai lokus buku. STISNU Nusantara memiliki karakter yang mewakili Perguruan Tinggi Keagamaan Swasta Islam di lingkungan Kopertais I Wilayah DKI Jakarta dan Banten. Sebagai bentuk penguatan moderasi, STISNU bersikap inklusif, termasuk bersama dunia usaha. STISNU Nusantara membekali mahasiswa dengan melakukan banyak kerjasama dengan dunia usaha. Kegiatan ini secara formal dapat dipakai sebagai program sertifikasi pendamping Ijazah bagi calon alumni. Bukan sekedar melakukan kerjasama, lebih dari itu, kerjasama dengan dunia usaha juga memberikan gambaran bahwa STISNU Nusantara Tangerang adalah perguruan tinggi


92 yang ekslusif. STISNU Nusantara menjadikan dirinya sebagai kampus yang menerima berbagai kompetensi. Di antara dunia usaha yang diajak kerjasama oleh STISNU Nusantara Tangerang adalah PT Rihlah Alatas Wisata. Dalam Kerjasama ini, STISNU dan PT. Rihlah Alatas Wisata (RAW) memberikan kesempatan kepada mahasiswa menjadi agent bisnis PT. Rihlah Alatas Wisata. Selain itu membuka peluang kesejahteraan bagi mahasiswa STISNU dengan menjadi agent penggerak bisnis travel Haji dan Umroh dan menjadi mitrakerja sosialisasi Knowledge Produk ke masyarakat. Tegas Dr. Muhamad Qustulani, MA Ketua STISNU Tangerang. Dalam obrolan panjang bahwa pihak STISNU dan PT. RAW bersepakat menjadikan mahasiswa sebagai pilot project pendidikan manajemen haji dan umroh, sehingga terjadi transfer knowledge kepada mahasiswa. Rencananya akan diselenggarakan kegiatan seminar, pelatihan, atau sekolah bisnis PT. Rihlah Alatas Wisata. Kemudian PT. RAW memberikan sertifikat kepada setiap peserta yang dinyatakan lulus; juga dianggap sebagai agent atau keder penggerak kader RAW. Direktur PT. Rihlah Alatas Wisata meminta kegiatan ini untuk segera direalisasikan dalam waktu dekat. Sebab dirinya merespon baik dan siap mensupport program program STISNU, khususnya dalam bidang pengelolaan manajemen bisnis haji dan umroh. Rencana lain dari program ini adalah menjadikan STISNU menjadi mitra tour leader di mana dosen dan mahasiswa bisa berpeluang menjadi pimpinan umrah. Kegitan silaturrahim diakhir dengan photo bersama dengan kesepakatan rencana tindaklanjut selanjutnya.


Click to View FlipBook Version