SUMBER DAYA GENETIK TERNAK KAMBING DI INDONESIA Status Terkini dan Strategi Perbaikan Mutu Genetik Copyright© PT Penerbit Penamuda Media, 2024 Penulis: Dwi Nur Happy Hariyono, S.Pt., M.Sc. Dr. Eny Endrawati, S.Pt., M.Sc. Editor: Dr. Peni Wahyu Prihandini, S.Pt., M.P. ISBN: 978-623-8586-71-4 Desain Sampul: Tim PT Penerbit Penamuda Media Tata Letak: Enbookdesign Diterbitkan Oleh PT Penerbit Penamuda Media Casa Sidoarium RT 03 Ngentak, Sidoarium Dodeam Sleman Yogyakarta HP/Whatsapp : +6285700592256 Email : [email protected] Web : www.penamuda.com Instagram : @penamudamedia Cetakan Pertama, Juni 2024 viii + 96, 15x23 cm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin Penerbit
v ambing merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki peran penting sebagai sumber pangan (daging dan susu), sumber ekonomi, dan tujuan sosial, agama, hingga budaya masyarakat Indonesia. Keberadaan ternak kambing telah menambah kekayaan Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) lokal yang tentunya harus dilestarikan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Indonesia memiliki beberapa bangsa kambing lokal yang adaptif dan cocok dengan kondisi iklim dan sistem produksi yang ada. Potensi yang ada pada kambing lokal perlu dikaji secara komprehensif. Hal inilah yang mendasari penulis menyusun buku “Sumber Daya Genetik Ternak Kambing di Indonesia: Status Terkini dan Strategi Perbaikan Mutu Genetik” Buku ini memiliki fokus pembahasan pada pengembangan SDGT lokal khususnya ternak kambing. Sejarah domestikasi kambing, peran dan fungsi kambing, populasi terkini ternak kambing, bangsa-bangsa kambing di Indonesia, dan sistem produksinya dijelaskan dalam buku ini. Materi tentang strategi K
vi perbaikan genetik kambing lokal berbasis Community-Based Breeding Program (CBBP) juga diuraikan dalam buku ini. Karakteristik genetik maupun fenotipik kambing lokal juga dirangkum dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memperkaya referensi yang telah ada khususnya melengkapi informasi tentang potensi kambing lokal di Indonesia. Buku ini juga dapat digunakan sebagai acuan bagi akademisi, pemangku kebijakan, maupun stakeholder lainnya dalam mendesain program pengembangan kambing lokal di Indonesia, khususnya melalui CBBP sebagaimana yang telah banyak diterapkan di banyak negaranegara berkembang. Semoga kita semua senantiasa terdorong dalam mengembangkan segala potensi ternak lokal yang ada di Indonesia. Ternate, 29 Mei 2024 Penyusun
vii PENGANTAR ........................................................................ v DAFTAR ISI ........................................................................ vii BAB 1. GAMBARAN UMUM PETERNAKAN KAMBING DI INDONESIA .............................................................. 1 BAB 2. SEJARAH DOMESTIK KAMBING ................................... 7 BAB 3. PERAN DAN FUNGSI TERNAK KAMBING ..................... 15 A. Peran dan Fungsi Umum Kambing di Dunia .................... 16 B. Peran dan Fungsi Kambing di Indonesia ......................... 18 BAB 4. POLUSI KAMBING NASIONAL .................................... 21 BAB 5. BANGSA KAMBING DI INDONESIA ............................. 25 A. Kambing Kacang ........................................................... 27 B. Kambing Bligon ............................................................ 30 C. Kambing Samosir .......................................................... 32 D. Kambing Peranakan Etawah (PE).................................... 35 E. Kambing Gembrong ...................................................... 37
viii F. Kambing Boerka ............................................................40 G. Kambing Senduro ..........................................................43 BAB 6. SISTEM PRODUKSI KAMBING .................................... 45 A. Sistem Produksi Secara Ekstensif ....................................46 B. Sistem Produksi Secara Intensif ......................................50 C. Sistem Produksi Secara Semi Intensif ..............................54 BAB 7. STRATEGI PERBAIKAN MUTU GENETIK ...................... 57 A. Pengenalan Community-Based Breeding Program (CBBP).60 B. Tahapan Penyusunan CBBP............................................63 C. Faktor Pendukung Keberhasilan CBBP ............................79 DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 85 TENTANG PENULIS ............................................................. 94
SDGT Kambing di Indonesia 1 1 GAMBARAN UMUM PETERNAKAN KAMBING DI INDONESIA
2 SDGT Kambing di Indonesia ektor pertanian saat ini memberikan kontribusi sebesar 10,21% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dengan kontribusi sub-sektor peternakan sebesar 1,69%. Peternakan sendiri menyumbang 16,52% terhadap PDB pertanian (tanaman pangan, peternakan, dan jasa pertanian) dan berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan peternakan dapat berupa daging, susu, telur, kulit, dan jasa. Diantara banyak komoditas ternak, ternak ruminansia kecil seperti kambing memiliki peran penting sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Selain itu, ternak kambing juga memiliki andil dalam meningkatkan ketahanan pangan karena mampu menyediakan sumber protein berkualitas tinggi seperti daging dan susu. Ternak kambing telah menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat pedesaan, dimana ternak kambing seringkali dijadikan sebagai jaminan atau tabungan terhadap kebutuhan masa depan yang tidak menentu (unpredictable). Kambing biasanya dipelihara oleh peternak rakyat di pedesaan yang dicirikan dengan skala pemeliharaan yang relatif kecil, tujuan pemeliharaan bervariasi dari alasan sosial, agama, hingga budaya, dan sistem produksinya S
SDGT Kambing di Indonesia 3 beragam baik sistem pemeliharan secara ekstensif, semiintensif, maupun intensif. Laporan terbaru dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki populasi kambing sekitar 19,22 juta ekor yang tersebar di 34 provinsi, dimana Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Jawa Barat berkontribusi sekitar 55% dari total populasi kambing (Ditjenpkh 2022). Populasi kambing di Indonesia terdiri dari berbagai galur atau rumpun, baik asli, lokal, maupun introduksi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik Hewan Dan Perbibitan Ternak, ternak ternak asli didefinisikan sebagai ternak yang kerabat liarnya berasal dari Indonesia, dan proses domestikasinya terjadi di Indonesia; ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar negeri yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat; dan ternak introduksi adalah ternak yang dimasukkan dari luar negeri, baik yang sudah maupun yang belum terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan di Indonesia. Dibandingkan dengan kambing introduksi, kambing asli/lokal mempunyai beberapa keunggulan seperti daya
4 SDGT Kambing di Indonesia adaptasi yang unik pada lingkungan tropis yang memungkinkan mereka berkembang di lingkungan yang keras dengan kualitas pakan yang buruk, serta tahan terhadap penyakit dan parasit, sehingga kambing asli/lokal cocok untuk dipelihara pada sistem produksi tradisional dengan input yang rendah. Ternak kambing di Indonesia secara umum dipelihara oleh masyarakat di pedesaan, dengan sistem pemeliharaan yang beragam, dari ekstensif, semi-intensif, sampai intensif. Bangsa kambing yang dipelihara oleh peternak juga beragam, namun sebagian besar merupakan ternak lokal yang telah adaptif dengan kondisi lingkungan setempat. Kambing asli/lokal juga mempunyai karakteristik fenotipik dan genetik yang khas/unik, yang penting bagi upaya konservasi dan perbaikan mutu genetik. Pemahaman yang komprehensif tentang karakteristik, baik genetik maupun fenotipik pada kambing asli/lokal sangat penting sebagai acuan dalam mendesain program pemanfaatan dan pengembangan sumber daya genetik ternak (SDGT) yang efektif dan berkelanjutan. Namun, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, program pemuliaan yang terstruktur dan berkelanjutan masih kurang masif dilakukan, sehingga berdampak pada kurang optimalnya hasil-hasil dari kegiatan konservasi maupun perbaikan mutu genetik ternak. Banyak
SDGT Kambing di Indonesia 5 faktor yang mempengaruhi keberhasilan program pemuliaan, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab berikutnya dalam buku ini. Perlu ditekankan bahwa ternak asli/lokal merupakan kekayaan SDGT atau plasma nutfah yang sangat berharga bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ternak bukan hanya berfungsi sebagai sumber pangan/gizi, namun juga berperan sebagai sumber penghasilan bagi jutaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Jika ternak asli/lokal ini penuh, maka bahanbahan genetik berharga yang melekat pada ternak asli/lokal tidak akan bisa kembali lagi. Padahal bahan-bahan genetik tersebut merupakan bahan dasar dalam melakukan seleksi ternak. Oleh karena itu, program konservasi maupun perbaikan genetik seyogyanya didesain secara terstruktur dan berkelanjutan agar manfaat dari SDGT dapat dirasakan masyarakat secara maksimal. Langkah awal dalam mengembangkan program pemuliaan mencakup penetapan tujuan pemuliaan, seperti pemahaman karakteristik sistem produksi dan identifikasi sifat-sifat spesifik (ekonomis) yang diinginkan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengkarakterisasi populasi-populasi kambing di Indonesia, baik dari segi fenotipik maupun genetik, serta mengidentifikasi gen-gen yang terkait dengan sifat-sifat
6 SDGT Kambing di Indonesia penting secara ekonomi. Secara umum, sebagian besar penelitian melaporkan keragaman genetik dan fenotipik yang cukup besar pada berbagai populasi kambing asli/lokal, yang berguna untuk identifikasi dan klasifikasi bangsa atau rumpun, serta dasar utama dalam merancang program pemuliaan. Oleh karena itu, buku ini disusun untuk mengkaji informasi tentang SDGT kambing yang ada di Indonesia, terutama statusnya saat ini, sistem produksinya, dan pengembangannya di masa depan berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya.
SDGT Kambing di Indonesia 7 2 SEJARAH DOMESTIK KAMBING
8 SDGT Kambing di Indonesia ambing (Capra hircus) merupakan hewan ternak pertama yang didomestikasi oleh manusia, yang berasal dari kambing liar atau bezoar ibex (Capra aegagrus) di Asia Barat. Capra aegagrus sendiri berasal dari lereng selatan pegunungan Zagros dan Taurus di Iran, Irak, dan Turki. Berdasarkan bukti arkeologi, awal domestikasi kambing diperkirakan terjadi di Bulan Sabit Subur (≈10.000 tahun yang lalu) (Zeder and Hesse 2000). Studi arkeologi dan molekuler baru-baru ini menunjukkan bahwa kambing kemungkinan besar berasal dari Asia Barat, namun rincian mengenai proses domestikasi kambing, termasuk waktu ekspansi populasi dan dinamika tekanan seleksi hingga saat ini masih belum jelas. Para peneliti telah memeriksa gen penyandi protein mitokondria pada populasi kambing di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekspansi populasi besar-besaran terjadi selama masa Pleistosen akhir, ribuan tahun sebelum domestikasi (Nomura et al. 2013). Hingga saat ini, telah banyak hasil-hasil penelitian filogeografi molekuler yang dilakukan pada berbagai populasi kambing untuk menentukan asal mula pola domestikasi dan migrasi, terutama menggunakan marka DNA mitokondria (mtDNA) D-loop (Luikart et al. 2001; Naderi et al. 2008; Amills K
SDGT Kambing di Indonesia 9 et al. 2009; Lestari et al. 2018). Hasil-hasil penelitian tersebut secara umum telah mengidentifikasi enam haplogroup utama dalam garis keturunan mitokondria kambing, yaitu Haplogroup A, B, C, D, F, dan G. Haplogroup A merupakan haplogroup yang paling umum, dengan lebih dari 90% kambing termasuk dalam haplogroup ini. Kambing di zaman baru (Amerika Selatan dan Amerika Tengah) semuanya merupakan bagian dari Haplogroup A. Sebaliknya, haplogroup lainnya memiliki sebaran regional yang lebih spesifik. Haplogroup B, yang mencakup 5,92% dari seluruh kambing, sebagian besar ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Haplogroup ini sangat umum di Asia Tenggara, tidak seperti haplogroup A yang dominan di wilayah lain. Beberapa peneliti telah menyarankan asal domestikasi lain di Tiongkok, tempat Haplogroup B muncul. Namun, bukti dari distribusi bezoar dan studi filogeografi molekuler menunjukkan bahwa hipotesis ini tidak mungkin terjadi karena bezoar tidak ditemukan di Asia Timur, dan Haplogroup B terdapat pada bezoar dari Asia Barat. Selain itu, Haplogroup B dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi sub-Haplogroup B1 dan B2. Haplogroup C sebagian besar terkonsentrasi di Eropa, sedangkan Haplogroup D umumnya di Asia Selatan dan Asia Tengah. Haplogroup F terutama ditemukan di Sisilia, dan Haplogroup G lebih umum
10 SDGT Kambing di Indonesia di Asia Barat. Para peneliti telah menentukan hubungan filogenetik di antara haplogroup ini sebagai (F, (C, (B, (G, (D, A))))) berdasarkan urutan mtDNA D-loop, dan penelitian berdasarkan urutan mtDNA D-loop umumnya mendukung hubungan ini (Nomura et al. 2013). Nomura et al. (2013) telah mengkaji asal usul domestikasi kambing dan mengkonstruksi pohon filogenetik Neighborjoining (NJ) menggunakan marka mtDNA D-loop (Gambar 1). Dari sampel kambing yang diteliti, diperoleh empat haplogroup yang berbeda, yaitu Haplogroup A, B, C, dan D. Tidak ada satu pun sampel dalam penelitian tersebut yang termasuk ke dalam Haplogroup F atau Haplogroup G. Haplogroup A mencakup ras kambing dari Mongolia (kambing asli Mongolia), Jepang (kambing Saanen Jepang), Korea (kambing asli Korea), Indonesia (kambing Etawah), Bangladesh (kambing Black Bengal), dan dua individu bezoar liar (Capra aegagrus). Haplogroup B terdiri dari bangsa kambing di Indonesia (Kambing Kacang, kambing Etawah), Bangladesh (kambing Black Bengal), dan Filipina (kambing asli Filipina), semuanya termasuk dalam sub-haplogroup B1. Haplogroup C mencakup bangsa kambing dari Mongolia (kambing asli Mongolia), sedangkan Haplogroup D terdiri dari bangsa kambing dari Mongolia (Nomura et al. 2013). Penelitian
SDGT Kambing di Indonesia 11 sebelumnya menggunakan marka molekuler lengkap mtDNA dengan sampel yang terbatas dari Asia Tenggara, terutama dari negara-negara seperti Indonesia dan Filipina, juga menunjukkan pola percabangan yang konsisten dengan data D-loop (Naderi et al. 2008). Gambar 1. Hasil analisis filogenetik antar populasi kambing menggunakan marka DNA mitokondria D-loop. Diadopsi dari Nomura et al. (2013). Kemajuan pertanian selama transisi neolitik dan domestikasi hewan merupakan momen penting dalam
12 SDGT Kambing di Indonesia perkembangan evolusi manusia. Banyak penelitian yang mengkaji tentang proses domestikasi kambing menggunakan berbagai marka molekuler, seperti DNA mitokondria dan mikrosatelit. Hasil studi Naderi et al. (2008) tentang proses domestikasi kambing yang dianalsis menggunakan marka DNA mitokondria dapat dilihat di Gambar 2. Naderi et al. (2008) membandingkan keragaman genetik kambing domestik dengan nenek moyang liarnya (benzoar) menggunakan 473 sampel dari seluruh wilayah sebaran bezoar. Hasil studi ini mendukung dan memperjelas domestikasi kambing seperti yang diutarakan oleh temuan arkeologis. Semua haplogroup DNA mitokondria yang ditemukan pada kambing domestik juga terdapat di bezoar, sehingga temuan ini dapat membantu menentukan lokasi utama proses domestikasi. Hasil studi juga menunjukkan bahwa domestikasi kambing tidak terjadi di dataran tinggi Iran bagian timur atau sekitarnya. Bukti pertumbuhan populasi bezoar pada Haplogroup C justru menunjukkan adanya pusat domestikasi awal di dataran tinggi Iran Tengah dan Zagros Selatan. Namun, kontribusi sentra domestikasi ini terhadap populasi kambing domestik saat ini masih minim yaitu sekitar 1,4%. Pusat domestikasi lainnya yang teridentifikasi yaitu di Anatolia Timur, kemungkinan meluas ke Zagros Utara dan Tengah, yang kemungkinan besar
SDGT Kambing di Indonesia 13 merupakan sumber utama kambing domestik saat ini. Hasil temuan ini selaras dengan temuan arkeologis yang menunjukkan Anatolia Timur sebagai sentra domestikasi kambing.
14 SDGT Kambing di Indonesia Gambar 2. Hubungan filogenetik dari 243 haplotipe yang berasal dari 473 sampel bezoar yang dianalisis menggunakan metode NeighborJoining (NJ). Hubungan filogenetik dari 243 haplotipe yang berasal dari 473 sampel bezoar yang dianalisis menggunakan metode Neighbor-Joining (NJ). Dari 243 haplotipe, dipilih 22 haplotipe untuk mengidentifikasi haplogroup mtDNA, yang mewakili keseluruhan keragaman kambing domestik modern (ditandai dengan warna merah). Skala yang tertera pada pohon menunjukkan jarak genetik antar haplotipe. Warna yang tertera pada pohon menunjukkan haplogroup mtDNA yang ditemukan pada kambing domestik: A (hijau), B (biru tua), C (kuning), D (ungu), F (biru muda), G (oranye), sedangkan warna putih menunjukkan haplotipe bezoar (Naderi et al. 2008).
SDGT Kambing di Indonesia 15 3 PERAN DAN FUNGSI TERNAK KAMBING
16 SDGT Kambing di Indonesia A. Peran dan Fungsi Umum Kambing di Dunia Setelah domestikasi, kambing tersebar luas secara global dan memainkan peran penting dalam revolusi pertanian Neolitikum dan kemajuan peradaban umat manusia. Saat ini, kambing dapat ditemukan di setiap benua kecuali Antartika, serta di berbagai pulau terpencil. Sekitar 840 juta kambing dipelihara di seluruh dunia, menghuni lingkungan yang beragam seperti hutan hujan tropis yang lembab, gurun yang kering dan panas, dan daerah dataran tinggi yang dingin. Kambing berfungsi sebagai sumber pangan atau gizi yang berkualitas, seperti daging dan susu. Selain itu, serat bulu kambing dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kain wol. Beternak kambing merupakan salah satu aktivitas pertanian yang banyak dilakukan oleh masyarakat terutama di negara-negara berkembang, seperti Asia dan Afrika. Pertumbuhan populasi yang diiringi dengan adanya peningkatan produk-produk ternak kambing yang cepat dan konsisten di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa ternak kambing memiliki peran penting dalam memenuhi beberapa kebutuhan yang
SDGT Kambing di Indonesia 17 terkait dengan peningkatan populasi manusia. Kondisi ini didukung oleh keunggulan ternak kambing yang mampu bertahan dan beradaptasi terhadap suhu ekstrem, ketersediaan pakan yang terbatas, dataran tinggi, jarak tempuh yang jauh, maupun kekeringan. Kambing terkadang dianggap sakral oleh kelompok agama atau suku tertentu dan digunakan dalam acara keagamaan atau tradisional, sehingga kambing bukan sekedar memiliki nilai ekonomi saja, namun juga sebagai simbol sosial dan budaya bagi masyarakat. Dibandingkan dengan sektor industri ternak lainnya seperti sapi perah, sapi potong, unggas, dan babi, ternak kambing secara global mendapatkan dukungan yang lebih sedikit. Meskipun kualitas dan potensi kambing sudah diakui, namun kambing tampaknya kurang disukai secara ekonomi dan komersial. Di negara-negara berkembang, kurang dari 5% dari seluruh susu yang dipasarkan kemungkinan besar diperoleh dari kambing. Secara global, lebih dari 90% kambing dimiliki oleh rumah tangga pedesaan, yang dicirikan dengan kemiskinan dan penggunaan sumber daya pertanian yang sedikit. Selain itu, mereka tidak memiliki keterampilan manajemen modern yang diperlukan untuk meningkatkan produk-
18 SDGT Kambing di Indonesia tivitas. Diakui secara luas bahwa sebagian besar negara berkembang dan maju tidak mengalokasikan cukup investasi di sektor kambing, baik untuk infrastruktur, pemasaran, penelitian, maupun layanan penyuluhan. B. Peran dan Fungsi Kambing di Indonesia Kambing merupakan salah satu komoditas ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Kambing telah memainkan peran penting dalam meningkatkan pendapatan dan menjamin ketahanan pangan, khususnya di daerah pedesaan. Kambing mampu menyediakan protein berkualitas tinggi melalui daging dan susu, dan sangat penting bagi penghidupan pedesaan dan sebagai bentuk jaminan atas keadaan yang tidak terduga di masa mendatang. Peranan ternak kambing di Indonesia sebagai penghasil daging dalam menunjang penyediaan kebutuhan daging nasional masih rendah, tidak lebih dari 5 % dari komponen kebutuhan daging yang ada. Meskipun demikian ternak kambing merupakan komponen penting dalam usaha tani rakyat karena pemeliharaan kambing dengan skala kecil dapat membantu subsistensi ekonomi rakyat dengan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di
SDGT Kambing di Indonesia 19 sekitar. Penetapan kebijakan diberlakukannya otonomi daerah mendorong setiap daerah agar mampu mengembangkan komoditas unggulan sebagai sumber pemasukan bagi pendapatan asli daerah. Ternak kambing memiliki beberapa kelebihan dan potensi ekonomi, tubuhnya relatif kecil, cepat mencapai kelamin dewasa, serta mudah cara pemeliharaannya. Usaha ternak kambing cukup mudah, tidak membutuhkan lahan yang luas, investasi modal usaha relatif kecil, mudah dipasarkan dan modal usaha cepat berputar Indonesia memiliki sekitar 19,22 juta kambing, terutama kambing asli/lokal dengan karakteristik fenotipik dan genetik yang beragam. Meski beragam, belum semua kambing asli/lokal diteliti dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Ada pula yang terancam punah karena kurangnya perhatian. Peternakan kambing dominasi oleh peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan yang relatif kecil dan sistem pemeliharaan yang masih tradisional, sehingga produktivitas kambing di Indonesia relatif rendah. Namun, karakteristik unik dan keunggulan sifat-sifat yang melekat pada kambing asli/lokal perlu dihargai sebagai kekayaan SDGT yang berharga, yang mana dapat
20 SDGT Kambing di Indonesia dimanfaatkan untuk pengembangan program pemuliaan terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan prospek pasar di masa mendatang yang tidak menentu. Pemeliharaan kambing di dalam negeri biasanya dikaitkan dengan beberapa tujuan, antara lain sebagai sumber pendapatan dan protein hewani (produksi daging dan susu), tabungan, dan nilai budaya. Misalnya, kambing Samosir yang dipelihara warga adat secara turun-temurun di Pulau Samosir di tengah Danau Toba, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara, mempunyai peran penting dalam perayaan budaya dan agama/adat tradisional setempat, seperti perencanaan pembangunan rumah, pernikahan, pembangunan monumen dan makam, serta ritual pengusir roh jahat.
SDGT Kambing di Indonesia 21 4 POLUSI KAMBING NASIONAL
22 SDGT Kambing di Indonesia erdasarkan data Dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjenpkh, 2022), populasi kambing di Indonesia terus meningkat secara konsisten antara tahun 2011 dan 2021, kecuali penurunan pada tahun 2016 (Gambar 3). Sekitar 19,22 juta ekor kambing saat ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, seperti terlihat pada Gambar 3. Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan provinsi penyumbang terbesar terhadap total populasi kambing nasional, dengan masing-masing provinsi menyumbang 20%, disusul oleh Provinsi Lampung (8%), Jawa Barat (7%), dan Nusa Tenggara Timur (5%). Provinsi-provinsi lainnya secara kolektif berkontribusi sekitar 40% dari total populasi kambing (Gambar 4). Meskipun populasi kambing terus meningkat dari tahun 2016 hingga 2021, namun belum ada laporan khusus mengenai klasifikasi populasi kambing berdasarkan bangsa/rumpun. Berbeda dengan tren populasi kambing nasional, dilaporkan terjadi penurunan populasi kambing di Kabupaten Samosir. Secara spesifik, populasi kambing Samosir menurun dari 9.821 ekor pada tahun 2013 menjadi 6.139 ekor pada tahun 2017 menurut laporan Ginting et al. (2019). B
SDGT Kambing di Indonesia 23 Gambar 3. Tren populasi kambing di Indonesia dari tahun 2011 hingga 2021. Data diambil dari laporan Ditjenpkh (2022) diolah oleh Hariyono dan Endrawati (2023) Gambar 4. Persentase sebaran populasi kambing di Indonesia berdasarkan provinsi. Data diambil dari laporan Ditjenpkh (2022) diolah oleh Hariyono dan Endrawati (2023)
24 SDGT Kambing di Indonesia Meskipun beternak kambing pada umunya merupakan pekerjaan sampingan, namun aktivitas ini penting bagi petani kecil yang mengandalkan pendapatannya dari sektor pertanian, karena beternak dapat memberikan pendapatan dalam bentuk aset/tabungan yang dapat dengan cepat dikonversi menjadi uang tunai. Peternak di Indonesia pada umumnya lebih memilih kambing dibandingkan domba karena kambing lebih mampu beradaptasi dengan iklim dan kondisi alam setempat. Kambing di Indonesia dipelihara untuk produksi daging dan susu. Kambing Kacang merupakan bangsa yang paling umum untuk produksi daging, sedangkan bangsa seperti Peranakan Etawah (PE) dan Bligon memiliki fungsi ganda, yaitu menghasilkan 0,5 hingga 1,5 liter susu per hari. Provinsi Jawa Tengah merupakan pusat peternakan kambing perah di Indonesia, dengan Kabupaten Tegal, Cilacap, Purworejo, Sragen, dan Banyumas sebagai wilayah utamanya. Pusat Pembibitan Kambing Perah Nasional (kambing PE dan Saanen) terletak di Kabupaten Banyumas. Peternakan kambing perah juga dilakukan di Jawa Barat (Bandung, Sumedang, Sukabumi, Garut), DI. Yogyakarta (Sleman, Kulonprogo), Jawa Timur (Malang, Blitar, Banyuwangi, Lumajang), Sumatera Barat (Nagari Bukik Batubuah), Lampung (Kota Metro), Sumatera Utara (Asahan), dan Aceh (Banda Aceh).
SDGT Kambing di Indonesia 25 5 BANGSA KAMBING DI INDONESIA
26 SDGT Kambing di Indonesia ondisi agroekologi di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi lahan kering dengan iklim kering, lahan kering dengan iklim basah, dataran tinggi, irigasi dataran rendah, dan rawa pasang surut. Dalam kondisi lingkungan yang beragam tersebut, ditemukan berbagai sumber daya genetik kambing yang berfungsi sebagai sumber pendapatan dan protein hewani. Ternak kambing telah mampu mensuplai kebutuhan pangan dan mengurangi kemiskinan. Menurut Sistem Informasi Keanekaragaman Ternak Domestik (DAD-IS 2023), bangsa kambing di Indonesia terdiri dari bangsa asli, sintetik, dan eksotik. Bangsa sintetik merupakan hasil program persilangan, sedangkan bangsa eksotik adalah ternak yang diimpor dan diseleksi berdasarkan sifat-sifat tertentu yang penting secara ekonomi. Kambing terdapat di berbagai provinsi di Indonesia, dengan sebaran paling banyak di Pulau Jawa (Gambar 5). Jenis kambing yang terdapat di Pulau Jawa antara lain kambing Bligon, Boer, Etawah, Kacang, Kaligesing, Kejobong, Kosta, Peranakan Etawah, Saanen, dan Senduro. Kambing Samosir dan Gembrong masing-masing hanya terdapat di Kabupaten Samosir Sumatera Utara dan Kabupaten Karangasem Bali. Di antara bangsa kambing tersebut, kambing Gembrong tergolong berisiko, sedangkan kambing Kejobong dan Samosir K
SDGT Kambing di Indonesia 27 dikategorikan tidak berisiko berdasarkan tingkat risiko kepunahannya, sedangkan bangsa lainnya masih belum diketahui statusnya. Gambar 5. Peta yang menunjukkan sebaran beberapa bangsa kambing di Indonesia A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang dipelihara oleh peternak untuk produksi daging. Kambing Kacang ditemukan di berbagai kondisi ekologi di Indonesia dan telah dikawinkan dengan kambing impor untuk menghasilkan keturunan baru seperti kambing Peranakan Etawah dan kambing Senduro. Penelitian Susilorini et al. (2022) menunjukkan
28 SDGT Kambing di Indonesia jarak genetik yang dekat antara kambing Kacang dan kambing Senduro (jarak genetik = 0,055) dan antara kambing Kacangan dan kambing PE (jarak genetik = 0,077), sedangkan perbedaan genetik yang lebih besar terlihat antara kambing Kacang dan kambing Saneen (jarak genetik = 0,269). Analisis gen mitokondria cyt b oleh Lestari et al. (2017) menunjukkan bahwa kambing Kacang dan PE mempunyai perbedaan sekuens asam amino, antara lain satu mutasi sinonimus (situs kodon ke-164) dan dua mutasi non-sinonimus (situs ke-16 dan 231). Penampilan fisik kambing Kacang dapat dilihat di Gambar 6. Gambar 6. Penampilan fisik kambing Kacang (Dokumentasi Pribadi)
SDGT Kambing di Indonesia 29 Wahyuni et al. (2016) mengkarakterisasi ciri fisik kambing Kacang yang dipelihara di Kabupaten Muna Barat dan menemukan variasi warna bulu tubuh yang sangat beragam yaitu hitam, coklat, coklat muda, hitam putih, coklat putih, coklat hitam, putih, dan coklat-hitamputih. Kambing Kacang mempunyai ciri telinga semi menjuntai dan umumnya bertanduk, dengan bobot badan rata-rata 24,63 kg pada usia dewasa. Kisaran nilai bobot badan dan ukuran tubuh kambing Kacang (umur 1- 2 tahun) telah dilaporkan oleh beberapa penelitian, misalnya bobot badan (17 hingga 24 kg), panjang badan (49 hingga 60 cm), tinggi pundak ( 49 hingga 62 cm), lingkar dada (57 hingga 59 cm), dalam dada (21 hingga 23 cm), lebar bahu (11 hingga 12 cm), tinggi pantat (51 hingga 53 cm), dan lebar pantat (11 hingga 12 cm) (Wahyuni et al. 2016; Alawiansyah et al. 2020; Nasution et al. 2020). Selain itu, analisis multivariat menunjukkan bahwa kambing Kacang memiliki ukuran tengkorak yang lebih kecil dibandingkan kambing PE dan Kejobong yang juga termasuk dalam jenis kambing lokal Indonesia (Suryani et al. 2013).
30 SDGT Kambing di Indonesia B. Kambing Bligon Kambing Bligon merupakan hasil persilangan antara kambing PE dan kambing Kacang, banyak ditemukan di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kambing Bligon juga disebut sebagai kambing Jawarandu. Kambing Bligon memiliki ciri wajah yang khas, telinga yang menjuntai, dan bulunya memiliki berbagai warna seperti hitam, putih, campuran putih dan hitam, atau putih dan coklat. Penampilan fisik kambing Bligon dapat dilihat di Gambar 7. Gambar 7. Penampilan fisik kambing Bligon (Rahmatullah et al. 2022)
SDGT Kambing di Indonesia 31 Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati et al. (2022) mengidentifikasi ciri fisik dan morfologi kambing Bligon yang dipelihara di tiga zona agroekologi (dataran tinggi, dataran rendah, dan pesisir) Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan ciri fisik, kambing Bligon mempunyai variasi warna bulu (kombinasi coklat, hitam, dan putih), bulu badan (belang dan putih), warna jambul (putih kombinasi coklat, hitam, dan putih), warna rewos (kombinasi coklat, hitam, dan putih), dan bentuk telinga (terbuka dan terlipat). Sementara itu, ukuran tubuh kambing Bligon antara ketiga zona agroekologi berbeda nyata, dimana kambing yang dipelihara di wilayah pesisir memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipelihara di dataran rendah, sedangkan kambing yang dipelihara di dataran rendah lebih besar dibandingkan dengan dataran tinggi (Rahmawati et al. 2022). Secara umum rentang nilai berat badan (26 hingga 41 kg), panjang badan (60 hingga 75 cm), tinggi bahu (62 hingga 76 cm), dan lingkar dada (64 hingga 79 cm), serta panjang telinga (19 hingga 79 cm). 25 cm) telah dilaporkan pada kambing Bligon dewasa (Murdjito et al. 2011; Budisatria et al. 2021; Rahmawati et al. 2022).
32 SDGT Kambing di Indonesia Budisatria et al. (2021) meneliti kinerja reproduksi kambing Bligon yang dipelihara di Kabupaten Gunung Kidul, yaitu service per conception (S/C; 1,2±0,4 kali), masa kebuntingan (5,0±0,1 bulan), jumlah anak sekelahiran (1,7± 0,5 ekor), post partum mating (3,2±0,4 bulan), kidding intervals (8,4±0,5 bulan), panen cempe (226,1±70,6 %), indeks reproduksi induk (2,3±0,7 ekor/tahun), dan produktivitas induk (20,1±5,9 kg/ kepala/tahun). Hasil yang relatif sama juga diperoleh Murdjito et al. (2011), yang melaporkan 1,23±0,5 untuk S/C, 1,74±0,45 ekor untuk jumlah anak sekelahiran, 95,0±45,5 hari untuk post partum mating, dan 8,53±1,93 untuk kidding intervals. C. Kambing Samosir Kambing Samosir atau dikenal dengan nama Panorusan Samosir merupakan salah satu jenis kambing lokal di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik unik yang memungkinkan mereka berkembang dalam kondisi agro-ekologi setempat. Kambing Samosir dikenal di Kabupaten Samosir karena kemampuannya dalam bertahan hidup pada kondisi pakan berkualitas rendah
SDGT Kambing di Indonesia 33 dan menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap penyakit dan parasit (Mirwandhono et al. 2019). Masyarakat suku Batak yang bermukim di Pulau Samosir telah beternak kambing Samosir secara turun temurun dengan berbagai alasan, seperti untuk menambah pendapatan dan sumber protein hewani (Pakpahan et al. 2022). Pada zaman dahulu, masyarakat suku Batak menganut agama animisme yang disebut Parmalim dan memanfaatkan kambing Samosir dalam upacara adat. Secara khusus, kambing jantan yang bertubuh, berkepala, berkaki, bertanduk, dan berkuku putih dipilih untuk acara tersebut (Simanjuntak 1978; Pakpahan et al. 2022). Meskipun belum ada data pasti mengenai populasi kambing Samosir saat ini, diperkirakan terdapat sekitar 9.700 ekor kambing di Kabupaten Samosir (BPS 2015). Ginting et al. (2019) melaporkan tren penurunan populasi kambing Samosir. Lima faktor yang berkontribusi terhadap penurunan populasi kambing Samosir, antara lain ketersediaan pakan, penyakit, keahlian peternak, tradisi adat, dan pemasaran kambing betina produktif. Acara budaya seperti persembahan kepada leluhur, Margondang (acara seremonial pernikahan), dan ritual
34 SDGT Kambing di Indonesia kematian mempunyai dampak paling besar dalam penurunan populasi. Gambar 8. Variasi warna bulu pada kambing Samosir: a) putih, b) putih coklat, c) putih hitam, dan d) putih coklat hitam (Pakpahan et al. 2022) Studi terbaru oleh Damanik et al. (2020) menunjukkan bahwa kambing Samosir (umur 6-12 bulan) mempunyai bobot badan 9,04±1,03 vs 6,88±0,80 kg, panjang badan 43,59±1,48 vs 42,13±0,077 cm, tinggi pundak 38,32±0,78 vs 37,30 cm, lingkar dada 42,13±41,38 vs 41,38±0,68 cm, masing-masing untuk jantan dan
SDGT Kambing di Indonesia 35 betina. Secara umum, kambing Samosir mempunyai ciri fisik dan morfologi yang relatif sama dengan kambing lokal lainnya di Indonesia, namun kambing Samosir mempunyai warna bulu yang dominan putih. Pakpahan et al. (2022) mengidentifikasi empat variasi warna bulu pada kambing Samosir, yaitu putih, putih coklat, putih hitam, dan putih coklat hitam (Gambar 8). Analisis mtDNA cyt b menunjukkan bahwa kambing Samosir memiliki hubungan genetik yang relatif jauh dan terpisah dengan kambing lokal lainnya di Indonesia (Gembrong, Muara, PE, Kacang, Jawarandu) (Pakpahan et al. 2022). D. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan bangsa hibrida yang berasal dari persilangan kambing Kacang dan kambing Etawah asal India (Sumartono et al. 2016). Kambing ini dipelihara di Indonesia untuk tujuan daging dan susu. Daerah produksi utama kambing PE di Indonesia berada di Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur juga terdapat kambing dwiguna yang dikenal dengan nama Kambing Senduro yang merupakan keturunan dari
36 SDGT Kambing di Indonesia kambing Etawah (Rifa’i et al. 2021). Kambing PE didominasi warna putih (Hasinah et al. 2021), meskipun ada laporan mengenai dua variasi warna yang berbeda, yaitu kombinasi putih dan hitam, serta kombinasi putih dan coklat, dengan profil wajah cembung (Rasminati 2013). Penampilan fisik kambing PE dapat dilihat di Gambar 9. Gambar 9. Penampilan fisik kambing Peranakan Etawah (Dokumentasi Pribadi) Karakteristik kuantitatif kambing PE telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dari lokasi penelitian
SDGT Kambing di Indonesia 37 berbeda. Kambing PE memiliki kisaran bobot badan 38 hingga 43 kg, panjang badan 61 hingga 75 cm, tinggi pundak 65 hingga 75 cm, dan lingkar dada 73 hingga 79 cm (Ramdani and Kusmayadi 2016; Nafiu et al. 2020). Selain itu, produktivitas kambing PE (berumur diatas 3 tahun) yang dibudidayakan di tiga zona agroekologi berbeda (dataran rendah, menengah, dan tinggi) di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dilaporkan masingmasing memiliki jumlah anak sekelahiran sebesar 1,75±0,43, 1,80±0,40, dan 1,85±0,36, perentase kematian pedet sebelum disapih sebesar 4%, 2%, dan 0,5%, bobot sapih sebesar 10,75±2,36, 11,53±1,67, dan 12,92±2,86 kg, kidding intervals sebesar 9,38±1,10, 8,90±1,13, dan 8,56±0,59, dan produktivitas induk sebesar 23,28±5,51, 27,89±5,10, dan 33,46±7,72 kg/tahun (Sumartono et al. 2016). E. Kambing Gembrong Kambing Gembrong merupakan salah satu plasma nutfah kambing lokal yang berasal dari Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali (Oka et al. 2011; Maharani et al. 2014). Kambing ini banyak ditemukan di Desa Tumbu, Karangasem (Hasinah et al. 2015). Kambing Gembrong
38 SDGT Kambing di Indonesia mudah dikenali dari bulunya yang putih panjang dan mengkilat yang menutupi seluruh tubuhnya, termasuk leher dan wajah. Pada tahun 2014, populasi kambing Gembrong dilaporkan sebanyak 26 ekor sehingga termasuk jenis kambing yang terancam punah (Maharani et al. 2014). Penampakan fisik kambing Gembrong dapat dilihat di Gambar 10. Gambar 10. Penampakan fisik kambing Gembrong (Sumber: https://starfarm.co.id/kambing-gembrong/) Analisis mtDNA menunjukkan bahwa kambing Gembrong memiliki garis keturunan yang sama dengan kambing Kacang dan PE, yang menunjukkan adanya kesamaan nenek moyang dari pihak ibu (Oka et al. 2011).
SDGT Kambing di Indonesia 39 Berdasarkan analisis mtDNA (550 bp) pada 16 ekor kambing (12 ekor kambing Gembrong, 3 ekor kambing Kacang, dan 3 ekor kambing PE), diperoleh hasil bahwa terdapat situs polimorfik pada urutan basa 231 sehingga membentuk dua haplotipe (Oka et al. 2011). Hasil studi dari Zein et al. (2016) pada kambing Gembrong asal Desa Tumbu dan Bukbuk Kabupaten Karangasem yang dianalisis menggunakan DNA mitokondria hipervariabelI (HVI), menunjukkan jarak genetik yang rendah (0,0%) pada kambing Gembrong asal desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan variasi genetik yang mungkin disebabkan oleh perkawinan sedarah dan penurunan ukuran populasi. Meskipun kambing Gembrong tergolong bangsa yang terancam punah, namun belum banyak penelitian yang mengkaji potensi pengembangannya. Kambing Gembrong sebagian besar memiliki warna bulu putih bersih dan mempunyai ciri morfologi seragam, dengan rata-rata bobot badan dewasa jantan 29,15 kg dan betina 18,20 kg (Suyasa and Parwati 2015). Kambing Gembrong juga mempunyai karakteristik sifat kuantitatif sebagai berikut: bobot sapih (jantan 1,23 kg/ekor; betina 1,30 kg/ekor), panjang tanduk (jantan 13,17 cm; betina 4,40
40 SDGT Kambing di Indonesia cm), panjang bulu (jantan 9,14–11,07 cm); 5,30-8,80 untuk betina), dan panjang janggut (19,79 cm untuk jantan; 7,30 cm untuk betina) (Suyasa and Parwati 2015). F. Kambing Boerka Populasi kambing global terdiri dari tiga jenis utama, yaitu kambing pedaging, kambing perah, dan kambing serat. Di Indonesia, daging kambing sebagian besar berasal dari kambing Kacang, yaitu jenis kambing berukuran kecil dengan laju pertumbuhan rendah namun memiliki kapasitas reproduksi tinggi. Pengembangan bibit kambing baru dengan bobot dewasa lebih besar dan laju pertumbuhan lebih cepat sangat penting untuk meningkatkan produksi dan konsumsi daging kambing. Percepatan produksi daging kambing di Indonesia perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi besar di pasar internasional. Oleh karena itu, pemerintah mengembangkan Kambing Boerka, yang dihasilkan dari persilangan kambing Boer jantan dengan Kambing Kacang betina. Kambing Boerka menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk produksi daging. Persilangan kambing Boer jantan dengan kambing Kacang betina dilakukan oleh tim inventor dari Loka Penelitian
SDGT Kambing di Indonesia 41 Kambing Potong, Puslitbangnak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Penampilan fisik kambing Boerka dapat dilihat di Gambar 11. Awalnya, kambing Boer dikembangkan oleh peternak Belanda di Afrika Selatan pada awal tahun 1900- an. Kambing ini dibawa ke Amerika Serikat pada tahun 1993. Kambing Boer sangat populer karena produksi dagingnya yang baik, memiliki laju pertumbuhan yang cepat, kualitas karkas yang sangat baik dan sangat adaptif terhadap lingkungan yang berbeda. Kambing Boer juga sangat jinak dan subur. Oleh karena itu, kambing Boerka diharapkan memiliki manfaat ganda, yaitu menggabungkan kualitas daging kambing Boer jantan yang unggul dengan kemampuan untuk berkembang dalam kondisi tropis basah dan mempertahankan kemampuan berproduksi pada pakan yang minim dari kambing Kacang betina. Terdapat sentra peternakan kambing Boerka di Bali terutama difokuskan di Desa Sanda, Kecamatan Papuan, Kabupaten Tabanan. Data yang dihimpun dari ketua kelompok peternak di Sanda menunjukkan, jumlah kambing Boerka sebanyak 217 ekor, terdiri dari 12 ekor jantan, 88 ekor betina, dan 131
42 SDGT Kambing di Indonesia ekor kambing pada tahun 2019 hingga 2022 (Suyasa et al. 2023). Gambar 11. Penampilan fisik kambing Boerka (Sumber: https://distanpangan.baliprov.go.id/mengenal-kambingboerka/) Hasil penelitian Suyasa et al. (2023) menunjukkan bahwa kambing Boerka memiliki telinga yang menonjol ke bawah, pola warna kepala didominasi coklat (62,5%), pola warna badan cenderung putih (87,50%), dan pola warna ekor juga didominasi putih (62,5%). Data