SDGT Kambing di Indonesia 43 morfometrik menunjukkan bahwa kambing Boerka jantan dan betina dewasa masing-masing mempunyai panjang tubuh 60 (± 2,45 cm) dan 71,5 (± 2,12 cm); tinggi pundak 55,11 (± 3,86 cm) dan 63,5 (± 3,54 cm); tinggi pinggul 59 (± 2,74 cm) dan 68,5 (± 2,12 cm); kedalaman dada 32,11 (± 2,32 cm) dan 40 (± 2,83 cm); dan lebar dada 11,56 (± 0,88 cm) dan 16,5 (± 0,71 cm) (Suyasa et al. 2023). G. Kambing Senduro Kambing Senduro merupakan salah satu sumber daya genetik ternak yang telah ditetapkan sebagai galur kambing lokal sesuai Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 1055/Kpts/SR.120/10/2014 tentang Penetapan Galur Kambing Senduro. Kambing Senduro merupakan keturunan hasil persilangan antara kambing Etawah, kambing Kacang, dan kambing Jawarandu dan tersebar di wilayah sekitar Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Almaida et al. 2020). Namun, beberapa peneliti menduga bahwa Kambing Senduro merupakan kambing yang berasal dari persilangan kambing Jamnapari dari wilayah Etawah di India dengan kambing Manggala, yaitu kambing lokal Indonesia dari Kabupaten Lumajang (Amam et al. 2022).
44 SDGT Kambing di Indonesia Sebagai kambing Peranakan Etawah, kambing Senduro memiliki bobot lahir anak yang menunjukkan tipe kelahiran kembar lebih tinggi jika dibandingkan dengan tipe kelahiran tunggal. Keseragaman bentuk fisik yang khas merupakan ciri dari kambing Senduro. Berdasarkan sifat kuantitatif, kambing Senduro betina memiliki tinggi pundak 70-80 cm, panjang badan 70-80 cm, lingkar dada 80-90 cm, bobot badan 50-60 kg, dan panjang telinga 30-40 cm (Amam et al. 2022). Kambing Senduro juga memiliki corak warna dominan putih, jarang memiliki tanduk sehingga sering disebut Etawah gundul Senduro.
SDGT Kambing di Indonesia 45 6 SISTEM PRODUKSI KAMBING
46 SDGT Kambing di Indonesia istem pertanian Asia secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok utama: tanpa lahan, berbasis tanaman, dan berbasis lahan penggembalaan. Sistem produksi tanpa lahan terdiri dari dua jenis: produksi babi dan unggas secara industri/intensif, dan sistem ekstensif yang melibatkan ruminansia kecil, sapi, dan unta. Sistem produksi peternakan di Indonesia bervariasi berdasarkan sumber daya yang tersedia, kemampuan mengadopsi teknologi yang berbeda, dan input sumber daya yang dibutuhkan. Sistem pemeliharaan kambing di Indonesia dapat digolongkan menjadi sistem ekstensif, semi-intensif, dan intensif. Pada sistem pemeliharaan ekstensif, kambing bebas berkeliaran di lapangan terbuka sepanjang hari dan memakan sumber daya alam yang ada di lapang, sedangkan pada sistem intensif, kambing dipelihara di kandang dan diberi makan di kandang dengan pengawasan ketat. Meskipun sistem intensif menawarkan pengendalian yang lebih baik terhadap ternak, sistem ini memerlukan lebih banyak tenaga kerja dan investasi finansial. A. Sistem Produksi Secara Ekstensif Sistem produksi kambing secara ekstensif biasanya diterapkan di daerah dengan wilayah pakan ternak yang luas, dengan kepadatan ternak yang rendah. Sistem S
SDGT Kambing di Indonesia 47 produksi ini memanfaatkan tanah pertanian yang kurang subur, biasanya ditemukan di daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi atau rendah. Produksi kambing pada sistem ekstensif melibatkan tenaga kerja keluarga, yang sering kali menjadi sumber pendapatan sekunder/sampingan. Sistem produksi ekstensif biasanya melibatkan sedikit kambing yang dipelihara dalam kondisi iklim yang keras tanpa tempat berlindung atau makanan tambahan, sehingga mengakibatkan profit yang diperoleh kurang maksimal. Ternak seringkali memanfaatkan padang rumput alami dalam bentuk penggembalaan berpindah-pindah, dimana ternak dan penggembalanya berpindah ke lokasi baru untuk mencari sumber pakan, atau penggembalaan menetap, dimana ternak merumput dengan bebas di dekat peternakan, biasanya ditempatkan di kandang pada malam hari. Pada sistem pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara dengan cara digembalakan tanpa memperhatikan kandang maupun pakan, karena ternak tersebut dilepas pada kawasan yang mempunyai sumber pakan alami misalnya kawasan pertanian dan perkebunan. Pemeliharaan ini biasanya dilakukan oleh peternak yang
48 SDGT Kambing di Indonesia bersifat tradisional. Dalam sistem peternakan ekstensif boleh dikatakan peternak tidak melakukan apa-apa terhadap ternaknya. Artinya, kambing yang diternakkan dilepas bebas begitu saja dan dibiarkan mencari makan sendiri di padang rumput atau tempat-tempat lainnya yang banyak sumber pakannya. Peternak juga tidak membuat kandang sebagai tempat berlindung bagi ternaknya. Ketika menjelang malam, kambing-kambing pulang dan beristirahat di pekarangan rumah peternak atau tidur di emperan rumah jika hari hujan. Perkawinan dan proses kelahiran kambing berlangsung secara alami tanpa campur tangan peternak. Contoh kegiatan peternakan kambing yang dipelihara secara ekstensif dapat dilihat di Gambar 12.
SDGT Kambing di Indonesia 49 Gambar 12. Gambaran ternak kambing yang dipelihara secara ekstensif di peternakan rakyat di Kota Tidore Kepulauan (Dokumentasi Pribadi) Peternakan secera ekstensif merupakan metode pemeliharaan ternak secara konvensional dimana ternak kambing biasanya dipelihara untuk produksi daging. Ternak bebas berkeliaran dan memilih makanannya sendiri dari padang rumput alami, hutan, dan kawasan komunal. Jenis peternakan ini memerlukan investasi minimal dalam pembibitan, kandang, pakan, perawatan dan sanitasi, dan tenaga kerja, sehingga sistem ini bisa dikatakan hemat biaya. Namun, ternak yang dipelihara
50 SDGT Kambing di Indonesia menggunakan sistem produksi ini memiliki pertumbuhan dan tingkat perkembangbiakan yang lebih lambat, sehingga menurunkan profit yang diperoleh oleh peternak. B. Sistem Produksi Secara Intensif Sistem pemeliharaan ternak secara intensif dilakukan dengan cara menempatkan ternak di dalam kandang dan tidak digembalakan. Sistem produksi ternak secara intensif dapat meningkatkan pencapaian produktivitas (ouput) yang lebih tinggi dalam area produksi yang lebih kecil. Produktivitas yang lebih tingg ini merupakan hasil dari peningkatan ketergantungan pada sumber daya eksternal dan praktik peternakan (input) yang presisi. Biaya “persiapan” awal sistem produksi ternak secara intensif ini relatif lebih mahal dibandingkan pemeliharaan secara semi intensif maupun ekstensif. Namun, pemeliharaan ternak menggunakan sistem intensif akan memudahkan peternak dalam mengontrol kesehaatan dan sanitasi ternak. Gambaran ternak kambing yang dipelihara secara intensif di peternakan rakyat dapat dilihat di Gambar 13.
SDGT Kambing di Indonesia 51 Gambar 13. Gambaran ternak kambing yang dipelihara secara intensif di peternakan rakyat di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur (Dokumentasi Pribadi)
52 SDGT Kambing di Indonesia Ternak yang dipelihara secara intensif biasanya hanya ditempatkan di dalam kandang dan tidak digembalakan. Sistem pemeliharaan intensif umumnya dilakukan oleh peternak yang tujuan memelihara ternak kambing untuk digemukkan dan dijual. Biasanya peternak yang memelihara kambing dengan sistem intensif cenderung menjalankan bisnis jual beli kambing untuk berbagai keperluan. Ternak yang dipelihara dengan sistem intensif umumnya memiliki performans dan kondisi tubuh yang lebih baik dibanding dengan ternak yang digembalakan. Keuntungan lain dari sistem pemeliharaan secara intensif adalah tidak memerlukan area penggembalaan, biosekuriti yang lebih tinggi, dan risiko cedera fisik yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem lainnya. Namun, tingginya tingkat investasi, serta keterampilan peternakan dan manajemen, merupakan hambatan utama dalam mengembangkan sistem produksi ini. Sistem pemeliharaan secara intensif sering dikaitkan dengan berkurangnya ketergantungan pada penggembalaan dan peningkatan pemanfaatan pakan konsentrat, terutama serealia, untuk melengkapi pakan hijauan. Pada saat yang sama, kemajuan dalam teknik
SDGT Kambing di Indonesia 53 pemberian pakan dan penggunaan bibit unggul dalam peternakan kambing telah memungkinkan konversi pakan menjadi produksi daging dan susu yang lebih efisien. Sistem intensif ini melibatkan pemeliharaan sejumlah besar ternak di area kecil sambil memantau status reproduksi dan kesehatan ternak, serta memanfaatkan teknologi pemberian pakan yang canggih. Pada waktu-waktu tertentu, seperti saat musim melahirkan atau produksi susu, pakan tambahan dan sumber daya tenaga kerja mungkin diperlukan, sehingga mendorong penggunaan pakan konsentrat. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dalam sistem intensif, padang rumput harus memiliki produksi bahan kering per hektar yang tinggi, pertumbuhan yang baik sepanjang tahun, baik di wilayah dengan curah hujan teratur atau di lahan dengan sistem irigasi, tanpa suhu panas atau dingin yang ekstrem. Sangat penting diketahui bahwa bangsa atau ternak yang digunakan dalam sistem intensif harus memiliki tingkat kesuburan dan pertumbuhan yang tinggi, serta memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap lingkungan. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan sumber daya alam secara berlebihan dalam pertanian
54 SDGT Kambing di Indonesia intensif dapat menguras sumber daya alam dan memperburuk polusi, sehingga menimbulkan dampak sosial yang parah. Peternakan kambing secara intensif mempunyai biaya pemasangan dan pemeliharaan produksi yang lebih tinggi dibandingkan peternakan ekstensif, namun peternak perlu mempertimbangkan keseimbangan antara faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial, karena hanya dengan cara inilah peternakan tersebut akan berkelanjutan. C. Sistem Produksi Secara Semi Intensif Sistem pemeliharaan secara semi intensif merupakan kombinasi antara sistem ekstensif dan sistem intensif yaitu dengan cara menggembalakan ternak disiang hari dan dikandangkan pada malam hari. Sistem pemeliharaan di peternakan tradisional biasanya menggunakan sistem semi intensif yaitu ternak digembalakan pada pagi hari selama 7 jam/hari (dari pukul 10.00–17.00) dan setelah itu ternak dimasukkan ke kandang. Sebagian besar (65%) pakan ternak pada sistem semi intensif dicari sendiri oleh ternak, sedangkan 35% pakan (rumput) diberikan oleh peternak ketika kambing kembali ke kandang menjelang malam atau pada saat hujan. Pakan
SDGT Kambing di Indonesia 55 tambahan (penguat) dan air minum tidak diberikan setiap hari secara kontinyu bahkan ada juga peternak yang tidak memberikan samasekali. Contoh ternak kambing yang dipelihara secara semi-intensif di peternakan rakyat dapat dilihat di Gambar 14. Sistem semi intensif lebih disukai oleh para peternak kambing. Sistem ini memberikan kesempatan bagi kambing untuk merumput dengan bebas di siang hari dan menyediakan pakan di kandang pada malam hari. Hal ini sangat cocok untuk produksi kambing skala kecil. Sistem ini secara efisien memanfaatkan sumber daya pakan lokal dan produk sampingan tanaman, namun memerlukan biaya tenaga kerja dan perkandangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem produksi secara ekstensif.
56 SDGT Kambing di Indonesia Gambar 14. Gambaran ternak kambing yang dipelihara secara semi-intensif di peternakan rakyat di Kota Ternate (Dokumentasi Pribadi)
SDGT Kambing di Indonesia 57 7 STRATEGI PERBAIKAN MUTU GENETIK
58 SDGT Kambing di Indonesia erbaikan mutu genetik merupakan program yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi ternak karena memberikan hasil yang permanen dan kumulatif. Perbaikan mutu genetik pada suatu populasi ternak tentu akan melibatkan pembiakan selektif antara induk jantan dan betina yang bila dikawinkan diharapkan menghasilkan keturunan dengan performa yang lebih baik dibandingkan rata-rata performa tetuanya. Tujuan dari program perbaikan mutu genetik ternak adalah untuk mencapai kemajuan genetik populasi untuk sifat-sifat tertentu, terutama sifat-sifat ekonomis yang mempengaruhi profitabilitas usaha peternakan. Peternakan seperti ternak ruminansia kecil di banyak negara berkembang seperti Indonesia dicirikan oleh peternakan dengan skala kecil yang seringkali tidak mengikuti praktik pembiakan yang jelas dan testruktur. Faktor tersebut menjadi kendala dalam pengembangan peternakan, ditambah dengan infrastruktur yang tidak memadai, rendahnya input, dan rendahnya output sistem produksi, mengakibatkan penurunan produktivitas ternak. Semua faktor ini membuat perbaikan mutu genetik ternak pada peternakan rakyat sulit untuk dicapai. Para ilmuwan telah merumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyusun strategi perbaikan mutu genetik P
SDGT Kambing di Indonesia 59 ternak kambing dalam sistem peternakan skala kecil (peternakan rakyat), yang mencakup pengenalan terhadap struktur, institusi, dan praktik pemuliaan tradisional yang ada saat ini, dan membangun program-program perbaikan genetik yang berkelanjutan. Struktur yang jelas dan kemitraan yang terorganisir antar berbagai pemangku kepentingan juga penting untuk menunjang koordinasi dan keberhasilan program perbaikan mutu genetik ternak. Secara historis, perbaikan mutu genetik kambing asli/lokal telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia melalui persilangan atau introduksi genetik bangsa-bangsa kambing eksotik. Contoh utama dari persilangan tersebut adalah kambing Peranakan Etawah (PE), yang merupakan hasil persilangan dari kambing Kacang (kambing lokal) dan kambing Etawah atau Jamnapari dari India. Kambing PE merupakan tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (perah). Peranakan yang penampilannya mirip kambing Kacang disebut kambing Bligon atau Jawarandu, yang merupakan tipe pedaging. Program perbaikan mutu genetik ternak telah banyak dilakukan oleh negera-negara berkembang, khususnya untuk ternak-ternak asli/lokal yang dipelihara oleh peternak rakyat di pedesaan. Banyak negara telah mengembangkan Community-Based Breeding Program
60 SDGT Kambing di Indonesia (CBBP) untuk meningkatkan mutu genetik ternak lokalnya, termasuk di Indonesia. A. Pengenalan Community-Based Breeding Program (CBBP) Upaya perbaikan mutu genetik ternak harus mempertimbangkan kondisi terkini sumber daya genetik lokal yang ada, sesuai dengan kondisi pertanian yang beragam di suatu wilayah/negara. Partisipasi aktif dan nyata dari para peternak juga diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan, kebutuhan, harapan, dan permasalahan yang dihadapi peternak dapat diakomodir dalam menyusun solusi praktis perbaikan mutu genetik ternaknya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengenalkan program community-based breeding program (CBBP) sebagai sarana bagi peternak kecil untuk meningkatkan mutu genetik ternaknya. CBBP telah terbukti menjadi program yang cocok untuk para peternak skala kecil yang beroperasi dengan sumber daya terbatas di wilayah geografis tertentu dengan tujuan yang sama untuk meningkatkan potensi sumber daya ternaknya.
SDGT Kambing di Indonesia 61 Menurut Tiesnamurti et al. (2020), CBBP merupakan metode untuk meningkatkan kualitas genetik ternak dengan melibatkan partisipasi aktif dari peternak, menggunakan ternak milik masyarakat, menetapkan tujuan pemuliaan bersama termasuk kriteria seleksi dan sifat produksi yang diinginkan, memilih pejantan terbaik dalam kelompok, melakukan uji performans, dan mendistribusikan pejantan terbaik kepada peternak yang terlibat dalam program CBBP. Peternak yang terlibat dalam program CBBP mempunyai rasa kepemilikan dan tanggung jawab penuh terhadap berlangsungnya dan keberlanjutan dari program ini. Peternak berperan secara aktif dalam kegiatan pemuliaan, serta memiliki akses untuk memasarkan produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Program CBBP diharapkan dapat memperkuat kelembagaan peternak. Agar kegiatan CBBP dapat berhasil sesuai tujuan, maka perlu adanya peningkatan pendanaan, komitmen peternak, pendampingan dari kalangan akademisi, manajemen data dan analisis, serta evaluasi sosial ekonomi. Penggunaan program CBBP telah terbukti efektif untuk meningkatkan mutu genetik ternak ruminansia
62 SDGT Kambing di Indonesia kecil di negara-negara berkembang. Terdapat beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika mendesain program CBBP, seperti pemberdayaan peternak, penyediaan bibit ternak yang sesuai melalui kolaborasi dengan berbagai lembaga peternakan (pemerintah, perusahaan swasta, dan peternak kecil), dan pemahaman sistem produksi ternak lokal. Sebelum menerapkan CBBP, penting juga untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti pemilihan bangsa ternak, karakterisasi lokasi dan bangsa ternak yang menjadi target program, menguraikan tujuan pemuliaan, mengevaluasi strategi pemuliaan alternatif, dan menetapkan kerangka kerja pemuliaan. Selain itu, CBBP juga harus mempertimbangkan pentingnya pendekatan dari bawah ke atas dan keterlibatan lembaga-lembaga adat dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan, serta dukungan organisasi, teknis dan keuangan. Meskipun CBBP merupakan solusi yang layak untuk perbaikan genetik dalam sistem produksi peternak rakyat, terdapat beberapa tantangan dalam program ini, termasuk kesulitan dalam pencatatan silsilah dan performa, pola beranak sepanjang tahun, sistem perkawinan yang tidak terkendali, keengganan peternak
SDGT Kambing di Indonesia 63 untuk memelihara semua kambing jantan/betina muda hingga tiba waktunya seleksi, dan kurangnya insentif atau dukungan terhadap peternak kecil. Kerjasama antar berbagai pihak tentu sangat diharapkan untuk keberhasilan program CBBP. Tahapan dalam penyusunan program CBBP akan diuraikan pada sub-bab selanjutnya. B. Tahapan Penyusunan CBBP Terdapat beberapa tahapan dalam menyusun program CBBP (Haile et al. 2018; Van Tassell et al. 2023). 1. Seleksi target komunitas dan bangsa ternak Tahap pertama dalam menyusun program CBBP yaitu mengidentifikasi komunitas/kelompok yang akan terlibat langsung dalam CBBP, serta target bangsa ternak yang akan dibudidayakan. Komunitas harus terdiri dari berbagai individu, termasuk pemerintah daerah yang akan memberikan dukungan atau mempromosikan CBBP, serta petani, peternak, dan anggota masyarakat lainnya yang terlibat dalam pembibitan dan pemeliharaan ternak. Keterlibatan perempuan dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam
64 SDGT Kambing di Indonesia program ini juga sangat penting untuk mendukung dan memberdayakan keluarga. Sebelum merumuskan dan menerapkan program CBBP, perlu dipahami beberapa hal terkait bangsa ternak, populasi, dan lokasi yang tepat. Terdapat sejumlah kriteria dalam memilih bangsa ternak dan komunitas/kelompok sasaran. Pemilihan bangsa ternak harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1) Bangsa ternak yang ditargetkan merupakan bangsa/rumpun ternak yang populasinya paling banyak di suatu negara/wilayah, dengan cakupan wilayah yang luas, sehingga dapat dilakukan intervensi dan dapat memberikan dampak yang luas; 2) Bangsa ternak harus dipelihara oleh peternak yang miskin sumber daya (smallholder farmers); 3) Bangsa ternak memiliki keragaman genetik yang luas, dibuktikan dengan hasil-hasil penelitian yang mengkaji karakteristik fenotipik dan genetik pada bangsa/populasi target; 4) Tersedia pusat-pusat penelitian/pengembangan peternakan yang mampu menjangkau komunitas yang memelihara
SDGT Kambing di Indonesia 65 bangsa target; 5) Tersedia informasi berupa latar belakang bangsa target dan sistem produksinya, sehingga program-program pengembangan ternak target yang akan dirumuskan mempunyai dasar yang kuat; dan 6) Target lokasi dimana ternak tersebut berada relatif mudah untuk dijangkau. Selain bangsa ternak, komunitas target yang akan dilibatkan dalam program CBBP juga harus mempertimbangan beberapa faktor, antara lain: 1) Akses pasar, termasuk jarak lokasi CBBP ke pasar, transportasi produk dan kualitas jalan; 2) Potensi dampak positif atau negatif dari program atau proyek lain yang terkait dengan pertanian; 3) Sinergi dengan proyek lain dan pemberian ruang bagi stakeholder lain untuk turut berpartisipasi dalam mendukung keberhasilan CBBP; 4) Dukungan pemerintah, bukan hanya untuk komunitas CBBP, namun juga untuk sektor-sektor lainnya. Program yang akan dilaksanakan oleh komunitas CBBP tentu harus selaras dengan kebijakan-kebijakan yang telah dan yang akan dikembangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daearah agar mendapat dukungan yang
66 SDGT Kambing di Indonesia real dan kuat; 5) Dukungan dari LSM; dan 6) Ketersediaan input produksi dan layanan (pemerintah vs. swasta) yang ada saat ini atau yang dapat dikembangkan, termasuk bibit hijauan, pakan (hijauan dan konsentrat), obat-obatan, pelayanan kesehatan ternak, penyuluhan peternakan, dan sistem informasi pasar. 2. Karakterisasi bangsa ternak dan lokasi yang menjadi target CBBP Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada tahapan ini antara lain: 1) Mendeskripsikan sistem produksi; 2) Karakterisasi bangsa ternak, baik secara fenotipik (sifat kualitatif seperti warna bulu, profil muka, ada tidaknya tanduk, dan tipe ekor; sifat kuantitatif seperti bobot badan saat lahir, sapih, dan 6 bulan, panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada; dan performa reproduksi seperti fertilitas, kidding rates, litter size, dan lainnya) dan genetik (menggunakan marka molekuler seperti restriction fragment length polymorhisms (RFLPs), DNA mitokondria, kromosom Y, dan mikrosatelit). Pendefinisian sistem produksi harus mencakup
SDGT Kambing di Indonesia 67 beberapa informasi penting, seperti: 1) peran dan fungsi ternak, serta pemanfaatan produk-produk peternakan bagi masyarakat, 2) evaluasi ekonomi produksi (biaya dan keuntungan dari penjualan), 3) gambaran praktik budidaya ternak saat ini (manajemen pejantan dan betina, struktur populasi, aliran gen, termasuk pertukaran dan/atau perolehan ternak baru), 4) saluran pemasaran dan peluang pemasaran ternak dan produk-produknya, dan 5) pengaturan kelembagaan yang mempengaruhi program pemuliaan, termasuk mekanisme pemasaran. Informasi-informasi tersebut dapat dikumpulkan menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan pemantauan kegiatan peternakan yang dilakukan oleh komunitas target. Partisipasi aktif dari para peternak dalam memberikan jawaban sangat menentukan tingkat keakuratan informasi. Koleksi informasi juga dapat dilanjutkan dengan mengadakan lokakarya/FGD untuk memvalidasi informasi yang diperoleh di level rumah tangga/peternak.
68 SDGT Kambing di Indonesia 3. Menentukan tujuan pemuliaan Keberhasilan CBBP sangat tergantung pada pemahaman tentang tujuan pemuliaan dan kriteria seleksi ternak. Oleh karena itu, tujuan pemuliaan dan kriteria seleksi ternak yang mungkin seragam ataupun berbeda-beda antar anggota komunitas perlu dikaji dan dinilai bersama. Pemahaman yang seragam dan konsisten antar anggota komunitas akan mendukung terciptanya rumusan tujuan pemuliaan yang jelas. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan pemuliaan yaitu 1) identifikasi bangsa ternak yang sesuai dengan lingkungan dan sumber daya yang ada, atau bangsa yang paling banyak diminati, 2) menentukan sifat produksi yang akan menjadi kriteria seleksi, sesuai tuntutan pasar dan produsen itu sendiri, 3) validasi keselarasan antara tujuan pemuliaan oleh komunitas dan permintaan pasar, dan jika terdapat perbedaan maka perlu penyesuaian agar program CBBP yang dirancang dapat berkelanjutan. Pendekatan partisipatif dapat digunakan untuk merumuskan tujuan pemuliaan bersama,
SDGT Kambing di Indonesia 69 seperti wawancara terhadap peternak, forum group discussion (FGD), penelitian-penelitian tentang karakteristik dan preferensi peternak dalam menerapkan kriteria seleksi, dan perangkingan ternak. 4. Penilaian rencana pemuliaan alternatif Dalam beberapa dekade terakhir, program pemuliaan ternak semakin berkembang secara signifikan, baik dalam ukuran dan kompleksitas, dengan berbagai parameter yang saling tergantung satu sama lain dan banyak tujuan pemuliaan yang berbeda. Akibatnya, alokasi sumber daya dalam mendukung program pemuliaan menjadi lebih kompleks, dan perumusan strategi pemuliaan yang optimal menjadi semakin menantang. Perlu dipahami juga bahwa tidak ada metode tunggal dalam penyusunan program pemuliaan yang dapat mengakomodir segala kondisi yang ada di lapangan, sehingga perlu evaluasi desain alternatif dalam merencanakan program pemuliaan melalui pemodelan dan menentukan model terbaik yang sesuai dengan kondisi tertentu.
70 SDGT Kambing di Indonesia Ada dua pendekatan dasar untuk pemodelan dan evaluasi program pemuliaan: yaitu model deterministik dan model stokastik. Model simulasi stokastik adalah model yang paling mudah diaplikasikan dibandingkan model simulasi deterministik (Hassanpour et al. 2023). Program pemuliaan pada model stokastik akan disimulasikan secara detail di komputer, dengan beberapa keunggulan sebagai berikut: 1) model ini mampu menggabungkan seleksi multitahap dan laju inbreeding dengan lebih mudah, (2) simulasi populasi dalam kurun waktu tertentu mempertimbangkan variabilitas dan kejadian stokastik yang dapat mempengaruhi dinamika populasi, dan (3) simulasi stokastik mensimulasikan individu dan semua skema pemuliaan, yang juga memungkinkan perubahan keakuratan nilai pemuliaan dengan mempertimbangkan efek SNP dan jarak genetik antara populasi referensi dan populasi prediksi sehingga memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dan pemodelan yang lebih mendalam mengenai skema pemuliaan modern. Beberapa software yang
SDGT Kambing di Indonesia 71 dapat digunakan untuk simulasi stokastik antara lain ADAM, EVA dan SixS. Model simulasi deterministik tidak mensimulasikan program pemuliaan pada level individu ternak, namun menggunakan persamaan deterministik dan parameter populasi untuk memprediksi perubahan dan inbreeding. Oleh karena itu, model ini membutuhkan pemahaman dan wawasan yang lebih mendalam tentang genetika populasi kuantitatif. Keunggulan model simulasi deterministik adalah waktu komputasi yang singkat (banyak alternatif yang dapat dihitung dalam waktu yang terbatas) dan mampu memberikan informasi yang lebih mendalam tentang keuntungan dan inbreeding di dalam program pemuliaan karena mekanismenya dimodelkan secara eksplisit. Beberapa program komputer yang dapat digunakan untuk pemodelan deterministik yaitu ZPLAN, ZPLAN+, dan SelAction. 5. Mengembangkan struktur pemuliaan yang tepat Pengembangan struktur pemuliaan yang tepat perlu mempertimbangan beberapa aspek
72 SDGT Kambing di Indonesia berikut ini, seperti populasi ternak target dari aspek karakteristik biologisnya, praktik budidaya/pemuliaan yang telah diterapkan pada populasi target, infrastruktur yang ada ataupun yang dapat dikembangkan, serta kendala dan peluang. Jika semua aspek tersebut dipertimbangkan secara matang, maka sangat mungkin rancangan program yang telah disusun dapat memaksimalkan pencapaian perbaikan genetik dan keuntungan bagi masyarakat. Pendekatan yang paling mendasar dalam program pemuliaan yaitu seleksi pejantan dan induk terbaik dari suatu populasi untuk dijadikan sebagai tetua bagi generasi berikutnya. Kegiatan seleksi untuk menentukan ternak-ternak superior ini tentu memerlukan pemantauan dan evaluasi seluruh kawanan ternak dalam suatu popoulasi/kelompok ternak. Namun kesulitannya adalah setiap anggota/peternak harus ikut serta dalam proses seleksi. Oleh karena itu, setiap peternak harus terlibat aktif melakukan pencatatan (recording), seperti pencatatan kinerja produksi, reproduksi, dan silsilah.
SDGT Kambing di Indonesia 73 Para peternak yang memiliki ternak superior harus membiakkan pejantan untuk dapat digunakan oleh keseluruhan populasi. Rancangan populasi terstruktur seperti ini disebut “sistem inti (nucleus system)”. Peternak inti berkonsentrasi untuk memaksimalkan peningkatan mutu genetik, sedangkan peternak dasar berkonsentrasi pada produksi. Dalam hal ini, pejantan dan betina terbaik dikawinkan dalam nukleus untuk menghasilkan ternak generasi berikutnya yang superior. Agar desain tersebut dapat terwujud, maka peternak inti harus berfungsi secara optimal; artinya, peternak inti tidak hanya fokus pada pencapaian kemajuan mutu genetik saja, namun juga harus konsisten menghasilkan dan menyebarkan pejantan unggul dalam jumlah yang sesuai, baik ke populasi inti maupun ke populasi dasar. Model skema program pemuliaan pada dasaranya ada dua bentuk, yaitu pola inti terbuka (open nucleus system) dan pola inti tertutup (closed nucleus system) (Gambar 15). Inti tertutup artinya tidak ada aliran gen dari lapisan paling bawah
74 SDGT Kambing di Indonesia (base, dalam hal ini ternak komersial) ke lapisan inti (nucleus, dalam hal ini ternak elit), seperti halnya pada peternakan babi dan unggas komersial. Setelah ternak yang dikembangbiakkan pada kelompok elit diseleksi, maka tidak ada lagi ternak dari lapisan bawah yang dapat ditambahkan ke populasi elit (inti). Berbeda dengan inti tertutup, inti terbuka memungkinkan ternak terbaik dari lapisan paling bawah (populasi dasar) untuk masuk ke dalam populasi inti. Teknologi inseminasi buatan (IB) dan fertilisasi in vitro yang sudah maju pada peternakan sapi seringkali digunakan dalam sistem inti terbuka. Hal ini memberikan peluang untuk menghasilkan keturunan dalam jumlah besar dari pejantan dan betina unggul serta menyebarluaskan gen-gen unggul tersebut secara luas pada populasi di lapisan bawah (komersial). Ternak-ternak betina yang merupakan keturunan dari pejantan unggul tersebut diuji performanya menggunakan nilai pemuliaan untuk sifat-sifat penting. Jika nilai pemuliaan betina-betina tersebut sama atau lebih tinggi dari pada tetuanya, maka betina-betina
SDGT Kambing di Indonesia 75 tersebut dapat diseleksi untuk masuk ke populasi inti. Pola seperti ni disebut sebagai pola inti terbuka, yang memungkinkan ternak terbaik dari lapisan paling bawah (populasi dasar) untuk masuk ke dalam populasi inti. Sistem inti terbuka dapat digunakan pada spesies ternak yang program pemuliaannya mempunyai struktur datar: kuda, anjing, domba dan kambing. Gambar 15. Skema perbedaan pola inti terbuka dan pola inti tertutup 6. Teknologi reproduksi untuk diseminasi ternak elit Terdapat dua aktivitas utama yang harus dibedakan dalam program perbaikan genetik ternak. Kegiatan pertama adalah peningkatan genetik dengan menyeleksi ternak berdasarkan
76 SDGT Kambing di Indonesia estimasi nilai pemuliaan untuk sifat-sifat ekonomis. Kegiatan kedua melibatkan transfer materi genetik unggul dari ternak-ternak superior yang diproduksi dari populasi inti ke populasi komersial. Biasanya, hanya sebagian kecil ternak dari populasi inti yang dapat dilibatkan dalam proses perbaikan genetik. Efektivitas kemajuan genetik yang dicapai dalam inti tergantung pada distribusi materi genetik dari inti ke populasi target (populasi komersial). Teknologi reproduksi berperan penting dalam program perbaikan genetik. Ternak-ternak superior yang telah dihasilkan pada tahapan sebelumnya dapat didesiminasikan menggunakan teknlogi reproduksi. Dampak paling mendasar dari penggunaan teknologi reproduksi adalah peningkatan fekunditas. Artinya, dibutuhkan lebih sedikit tetua untuk menghasilkan sejumlah keturunan. Penerapan teknologi reproduksi mempunyai dampak besar terhadap struktur program pemuliaan, laju perbaikan genetik, dan penyebaran gen-gen unggul dalam produksi peternakan. Penerapan teknologi reproduksi tidak hanya berfokus pada perbaikan genetik semata,
SDGT Kambing di Indonesia 77 namun juga dampaknya terhadap inbreeding dan konsekuensi jangka panjangnya terhadap keragaman genetik. Ternak pejantan yang diproduksi oleh CBBP disebarluaskan untuk mengawini betinabetina yang ada di kelompok. Teknologi inseminasi buatan (IB) hingga saat ini telah menjadi metode paling utama untuk diseminasi perbaikan mutu genetik pada spesies ternak, khususnya pada peternakan sapi dan babi. Teknologi IB menggunakan semen segar yang dikoleksi di lapangan dengan mengandalkan infrastruktur yang ada dasar dianggap sebagai teknologi yang paling menjanjikan untuk diseminasi perbaikan genetik secara lebih luas dengan input yang rendah. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam menjangkau lebih banyak peternak dalam suatu komunitas dan juga menjangkau komunitas tetangga lainnya. Selain IB, teknologi reproduksi seperti embrio transfer juga dapat digunakan untuk diseminasi ternak-ternak unggul.
78 SDGT Kambing di Indonesia 7. Monitoring dan evaluasi Monotoring dan evaluasi merupakan kegiatan penting untuk memantau dan mengevaluasi kemajuan program CBBP. Kegiatan ini mencakup pelacakan jumlah populasi ternak dan kemajuan genetik dari populasi. Apakah keluaran, hasil, dan dampaknya tercapai atau tidak, dan apakah mekanisme untuk memastikan keberlanjutan program pemuliaan sudah ada atau belum. Pada tahapan ini, tim CBBP harus menentukan indikator-indikator utama yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan program. Perbaikan genetik yang dicapai pada program pemuliaan harus dievaluasi pengaruhnya terhadap total output produk dan profit, baik pada pada tingkat rumah tangga maupun komunitas/kelompok. Berdasarkan hasil tersebut, penyesuaian terhadap rencana pemuliaan selanjutnya mungkin diperlukan. 8. Menciptakan sistem yang berkelanjutan. Terakhir, penting untuk menciptakan sistem yang berkelanjutan untuk program CBBP. Hal ini termasuk membangun sistem pencatatan dan
SDGT Kambing di Indonesia 79 pengumpulan data, memberikan pelatihan dan dukungan berkelanjutan, pembentukan koperasi peternak yang sah, dan mendorong anggota masyarakat untuk semakin aktif dalam pelaksanaan program CBBP. C. Faktor Pendukung Keberhasilan CBBP Program CBBP tentu akan berhasil atas dukungan dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Terdapat beberapa faktor pendukung keberhasilan CBBP, sebagaimana berikut (Haile et al. 2018): 1. Ketepatan dalam mengidentifikasi komunitas target Identifikasi komunitas target harus tepat sasaran agar manfaat yang diperoleh dari program CBBP bisa maksimal. Beberapa pertimbangan utama dalam memilih komunitas sasaran CBBP adalah: a) faktor eksternal seperti aksesibilitas pasar, potensi dampak positif/negatif dari proyek lain, keselarasan dengan proyek lain, dukungan pemerintah dan LSM, dan ketersediaan sumber daya; dan b) faktor-faktor yang berhubungan
80 SDGT Kambing di Indonesia dengan komunitas masyarakat itu sendiri, seperti kesiapan masyarakat untuk terlibat dalam program, sumber daya yang dimiliki komunitas, dan keberadaan pemimpin komunitas dan peternak kunci yang memainkan peran penting dalam lingkungan sosio-kultural di wilayah tersebut. 2. Adanya kerangka kelembagaan Kerangka kelembagaan seperti koperasi peternak perlu dibentuk untuk memastikan efektivitas dan keberlangsungan program dalam jangka panjang. Semua pihak yang terlibat dalam CBBP harus memiliki prosedur kerja dan struktur organisasi yang jelas. Koperasi berbadan hukum dengan peraturan dan ketentuan khusus harus dibentuk untuk setiap CBBP. 3. Pengembangan kapasitas (pengetahuan dan keterampilan) berbagai pihak yang terlibat dalam CBBP Penting untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbagai pihak yang terlibat dalam CBBP, terutama terkait manajemen budidaya ternak, metode pemuliaan, estimasi nilai
SDGT Kambing di Indonesia 81 pemuliaan, dan manajemen keuangan. Pengembangan kapasitas bagi pemangku kepentingan sangat penting dalam mendukung keberhasilan CBBP. Penyuluhan yang rutin diperlukan untuk mendukung program pemuliaan dan mendidik peternak mengenai teknik budidaya ternak. Peternak harus diberi pemahaman terkait manfaat jangka panjang dari partisipasi mereka dalam program pemuliaan dan kegiatan seperti recording (pencatatan kinerja). Kurangnya investasi pada pengembangan SDM seringkali menyebabkan rendahnya efisiensi dan bahkan kegagalan program pemuliaan. 4. Keberhasilan program pemuliaan sangat tergantung pada pencatatan kinerja dan silsilah. Penggunaan aplikasi recording untuk pencatatan dan analisis data dapat mempermudah enumerator dalam menjalankan pekerjaannya. Koleksi data menggunakan aplikasi secara offline juga sangat penting terutama di daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan dalam akses internet. Kolaborasi antar kelompok ternak, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan stakeholder lainnya
82 SDGT Kambing di Indonesia sangat penting terutama untuk mendesain aplikasi sederhana yang mudah dipahami oleh peternak dalam melakukan recording. 5. Kerangka diseminasi ternak elit yang jelas. Agar program CBBP dapat menghasilkan perbaikan genetik yang berarti bagi populasi, ternak-ternak elit yang telah diproduksi harus dapat disebarluaskan dengan menjangkau populasi yang lebih luas. Hal ini tentu memerlukan rencana yang jelas. 6. Peningkatan layanan teknologi reproduksi seperti IB penting untuk penyebarluasan bibit pejantan unggul, meningkatkan angka kelahiran, mengatur jarak kelahiran, dan mencegah terjadinya inbreeding. 7. Dukungan yang berkelanjutan dalam jangka waktu lama oleh personel teknis yang berdedikasi, terutama pada pengelolaan data, analisis, dan perkiraan nilai pemuliaan sangatlah penting. Dukungan dari para ahli melalui penelitian dan penyuuhan sangat penting untuk mendukung keberhasilan CBBP. Oleh karena itu, CBBP memerlukan pemantauan yang konsisten untuk
SDGT Kambing di Indonesia 83 memastikan anggota masyarakat termotivasi untuk terlibat sepenuhnya dalam program tersebut. 8. Pengembangan peternakan yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin harus mempertimbangkan keseluruhan rantai nilai. Hal ini mencakup bantuan layanan seperti pencegahan dan pengendalian penyakit, intervensi dalam praktik pemberian pakan, dan membangun koneksi ke pasar. 9. Untuk menjaga standar kualitas, perlu adanya sistem sertifikasi untuk peningkatan mutu pejantan yang dikelola oleh lembaga atau balai resmi. Dasar program pemuliaan terletak pada mutu induk yang dipilih. Hambatan dan risiko kegagalan dini dapat terjadi jika peternak tidak mampu memperoleh pejantan unggul yang sehat dan reproduktif. 10. Monitoring program dan penilaian dampak dari program yang telah dilaksanakan merupakan aspek penting dari keberhasilan CBBP. Pemantauan permasalahan teknis dan manajerial selama pelaksanaan program pemuliaan harus dilakukan secara rutin dan konsisten. Penting untuk mengevaluasi apakah keluaran, hasil, dan dampak
84 SDGT Kambing di Indonesia program yang diharapkan telah terwujud atau dapat dicapai. Selain itu, perlu adanya mekanisme untuk menjaga keberlanjutan program pemuliaan di masa mendatang.
SDGT Kambing di Indonesia 85 Alawiansyah, A., R.Y. Kusminanto, N. Widyas, A. Pramono, Sutarno, M. Cahyadi. 2020. Phenotypic diversity of five goat populations in tropical environment. Ecol Environ Conserv J. 26:100–105. Almaida, R.G., Y. Oktanella, G. Ciptadi. 2020. Variasi genetik Kambing Senduro dan Peranakan Etawa (PE) berdasarkan sekuen gen Cyt-B (Cytochrome-B) dengan metode Polymerase Chain Reaction. Ternak Trop. 21(2):102–110. Amam, Rifai, P. Surjowardojo, T.E. Susilorini. 2022. Kajian Fenotip Kambing Senduro sebagai Kekayaan Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia. J Agripet. 22(2):229–235. Amills, M., O. Ramírez, A. Tomàs, B. Badaoui, J. Marmi, J. Acosta, A. Sànchez, J. Capote. 2009. Mitochondrial DNA diversity and origins of South and Central
86 SDGT Kambing di Indonesia American goats. Anim Genet. 40:315–322. BPS. 2015. Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak di Kabupaten Samosir (Ekor) 2015. Budisatria, I.G.S., N. Ngadiyono, Panjono, D.R. Rahmawati, B.A. Atmoko, A. Ibrahim. 2021. Qualitative Morphological Characterization of Bligon Gat in Different Agroecological Zones in Bantul Regency, Yogyakarta. Adv Biol Sci Res. 18:172–177. DAD-IS. 2023. Domestic Animal Diversity Information System. Damanik, P.P., E. Wiyanto, D. Depison. 2020. Evaluasi karakteristik kuantitatif kambing Samosir berdasarkan analisis komponen utama di Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir. J Ilm Peternak Terpadu. 8(2):72–76. doi:10.23960/jipt.v8i2.p72-76. Ditjenpkh. 2022. Livestock and Animal Health Statistics 2022. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. Ginting, Nurzainah, A. Manik, Hasnudi, N Ginting, D.N. Aulia, B.O. Marpaung, N. V Rahman, U. Hasanah. 2019. Causing factors of declining trend on samosir panorusan goat population as endangered species in
SDGT Kambing di Indonesia 87 Samosir Island. {IOP} Conf Ser Earth Environ Sci. 260(1):12061. doi:10.1088/1755-1315/260/1/012061. Haile, A., M. Wurzinger, J. Mueller, T. Mirkena, G. Duguma, M. Rekik, J. Mwacharo, O. Mwai, B. Sölkner, J. Rischkowsky. 2018. Guidelines for Setting Up community-based small ruminants breeding programs in Ethiopia. Beirut, Lebanon: ICARDA. Hariyono, D.N.H., E. Endrawati. 2023. Indigenous goat genetic resources in Indonesia: current status and future improvement. J Adv Vet Res. 13(1):141–149. Hasinah, H., I. Inounu, S. Subandriyo. 2015. Indonesian efforts to conserve Gembrong goats. Int J Sci Eng. 8(2):88–94. doi:10.12777/ijse.8.2.88-94. Hasinah, H., G.E. Tresia, B. Tiesnamurti. 2021. Morphometric characteristics of Ettawa Grade goats in Deli Serdang regency of North Sumatra. In: Proceedings of the 4th International Seminar on Livestock Production and Veterinary Technology. Virtual Seminar: Indonesian Center for Animal Research and Development. p. 232– 241. Hassanpour, A., J. Geibel, H. Simianer, T. Pook. 2023. Optimization of breeding program design through
88 SDGT Kambing di Indonesia stochastic simulation with kernel regression. G3 Genes|Genomes|Genetics. 13(12):jkad217. doi:10.1093/g3journal/jkad217. Lestari, D., S. Sutopo, E. Kurnianto. 2017. Amino acid diversity on the basis of cytochrome b gene in Kacang and Ettawa Grade goats. J Indones Trop Anim Agric. 42(3):135–146. doi:10.14710/jitaa.42.3.135-146. Lestari, D.A., E. Purbowati, S. Sutopo, E. Kurnianto. 2018. Phylogenetical relationships between Kejobong goat and tther goats based on mt-DNA d-loop sequence analysis. Trop Anim Sci J. 41(2):85–93. Luikart, G., L. Gielly, L. Excoffier, J.D. Vigne, J. Bouvet, P. Taberlet. 2001. Multiple maternal origins and weak phylogeographic structure in domestic goats. Proc Natl Acad Sci U S A. 98(10):5927–5932. doi:10.1073/pnas.091591198. Maharani, D., S. Bintara, I.G.S. Budisatria, L.M. Yusiati, Sumadi, J.H.P. Sidadolog. 2014. Phenotypic characterization of Gembrong goat. In: Proceedings of the 16th AAAP Animal Science Congres. Yogyakarta. p. 117–119. Mirwandhono, E., A. Hakim, N. Ginting, I. Sembiring, Yunilas,
SDGT Kambing di Indonesia 89 Hamdan, P. Patriani. 2019. The effect of Panorusan Samosir goat characteristics on its selling price in Subdistrict Pangururan, Samosir Regency. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 260:012062. doi:10.1088/1755- 1315/260/1/012062. Murdjito, G., I.G.S. Budisatria, P. Panjono, N. Ngadiyono, E. Baliarti. 2011. Kinerja kambing Bligon yang dipelihara peternak di Desa Giri Sekar, Panggang, Gunungkidul. Bul Peternak. 35(2):86–95. doi:10.21059/buletinpeternak.v35i2.595. Naderi, S., H. Rezaei, F. Pompanon, M. Blum, R. Negrini, H.-R. Naghash, Ö. Balkız, M. Mashkour, O. Gaggiotti, P. Ajmone-Marsan, et al. 2008. The goat domestication process inferred from large-scale mitochondrial DNA analysis of wild and domestic individuals. Proc Natl Acad Sci U S A. 105:17659–17664. doi:10.1073/pnas.0804782105. Nafiu, L.O., M.A. Pagala, S.L. Mogiye. 2020. Karakteristik produksi kambing Peranakan Etawa dan kambing Kacang pada sistem pemeliharaan berbeda di Kecamatan Toari, Kabupaten Kolaka. J Ilmu Produksi dan Teknol Has Peternak. 8(2):91–96.
90 SDGT Kambing di Indonesia doi:10.29244/jipthp.8.2.91-96. Nasution, D., W. Putra, G. Gushairiyanto, Y. Alwi, H. Suryani. 2020. Morphometric characterization of Kacang goats raised in lowland and highland areas of Jambi Province, Indonesia. J Adv Vet Anim Res. 7:734. doi:10.5455/javar.2020.g475. Nomura, K., T. Yonezawa, S. Mano, S. Kawakami, A.M. Shedlock, M. Hasegawa, T. Amano. 2013. Domestication process of the goat revealed by an analysis of the nearly complete mitochondrial proteinencoding genes. PLoS One. 8(8):e67775. Oka, I.G.L., W. Sayang Yupardhi, I.B. Mantra, N. Suyasa, A.A.S. Dewi. 2011. Genetic relationship between Gembrong goat, Kacang goat and Kacang x Etawah crossbred (PE) based on their mitochondrial DNA. J Vet. 12(3):180– 184. Pakpahan, S., R. Widayanti, W.T. Artama. 2022. Selection signatures and formation of the Samosir goat breed through the cultures of the Batak Toba Tribe in Samosir Island, Indonesia. Vet world. 15(4):1044–1050. doi:10.14202/vetworld.2022.1044-1050. Rahmatullah, S.N., W. Maulana, M. Siddiq, M.I. Haris,
SDGT Kambing di Indonesia 91 Ibrahim, A. Sulaiman. 2022. Karakterisasi fenotipe dan faktor yang mempengaruhi perdagangan kambing Jawarandu di pedagang ternak Kota Samarinda Kalimantan Timur. J Ilm Fill Cendekia. 7(1):39–47. Rahmawati, R.D., B.Y. Atmoko, I.G.S. Budisatria, N. Ngadiyono, Panjono. 2022. Exterior characteristics and body measurements of Bligon goat on the different agro-ecological zones in Bantul District, Yogyakarta, Indonesia. Biodiversitas. 23(1):143–150. Ramdani, D., T. Kusmayadi. 2016. Quantitative traits identification of Peranakan Etawah female goat at Mitra Usaha Livestock Group Samarang Subdistrict Garut Regency. JANHUS J Anim Husb Sci. 1(1):24–32. Rasminati, N. 2013. Grade kambing Peranakan Ettawa pada kondisi wilayah yang berbeda. Sains Peternak. 11(1):43–48. doi:10.20961/sainspet.v11i1.4856. Rifa’i, Amam, P. Surjowardojo, T.E. Susilorini. 2021. Morphometry of Senduro goats as animal genetic resources of Lumajang district, East Java province. Bul Plasma Nutfah. 27(2):133–140. doi:10.21082/blpn.v27n2.2021.p133-140. Simanjuntak, B.S. 1978. Sejarah Batak. Balige, Indonesia: Karl
92 SDGT Kambing di Indonesia Sianipar Company. Sumartono, Hartutik, Nuryadi, Suyadi. 2016. Productivity index of Etawah Crossbred goats at different altitude in Lumajang District, East Java Province, Indonesia. IOSR J Agric Vet Sci. 9(4):24–30. Suryani, H.F., E. Purbowati, E. Kurnianto. 2013. Multivariate analysis on cranium measurements of three breeds of goat in central Java. J Indones Trop Anim Agric. 38. doi:10.14710/jitaa.38.4.217-224. Susilorini, T.E., D. Wulandari, A. Furqon, W.A. Septian, F. Saputra, S. Suyadi. 2022. Genetic diversity of various goats in East Java based on DNA microsatellite markers. Trop Anim Sci J. 45(3):247–254. Suyasa, I.N., I.W. Suardana, I.G.A.A. Putra, N.N. Suryani. 2023. Phenotype and genotype of Boerka goats raised in Bali. Vet world. 16(5):912–917. doi:10.14202/vetworld.2023.912-917. Suyasa, N., A. Parwati. 2015. Karakteristik kambing Gembrong Bali. In: Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p. 408–414.