The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini telah dirancang mencakup berbagai topik penting yang disusun secara sistematis, memastikan setiap bab memberikan wawasan yang komprehensif dan mendalam mengenai pendidikan inklusif.

Bab pertama mengawali dengan definisi dan evolusi pendidikan inklusif, memberikan landasan teoritis dan sejarah perkembangan yang membantu pembaca memahami urgensi penerapan pendidikan inklusif. Bab kedua dan ketiga berfokus pada keberagaman di ruang kelas serta tantangan dalam implementasi pendidikan inklusif. Bab ketiga mengupas tantangan struktural, ketersediaan sumber daya, dan kesiapan tenaga pendidikan, serta menawarkan solusi praktis untuk menjadikan pendidikan inklusif lebih dapat dicapai dan efektif. Sementara, bab keempat hingga keenam membahas lingkungan belajar yang inklusif, peran teknologi, dan pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam pendidikan.

Bab ketujuh menyoroti pengembangan profesional bagi pendidik, membahas strategi pengajaran inklusif, pembangunan kompetensi budaya, serta pembelajaran dan adaptasi berkelanjutan, yang diperlukan untuk mendukung siswa dalam lingkungan belajar yang inklusif. Bab kedelapan menyajikan berbagai cerita sukses dan studi kasus yang inspiratif, yang menggambarkan penerapan nyata prinsip-prinsip pendidikan inklusif di berbagai konteks. Bab kesembilan hingga kesepuluh membahas arah masa depan pendidikan inklusif, menyoroti berbagai tren dan inovasi pedagogis yang potensial untuk mengembangkan praktik inklusif lebih lanjut. Bab ini juga mencakup analisis mendalam tentang kerangka hukum dan kebijakan, baik nasional maupun Internasional, yang mendukung implementasi pendidikan inklusif. Pembahasan ini meliputi analisis terhadap undang-undang, konvensi, dan kebijakan yang ada, serta tantangan dalam menerjemahkan kebijakan ini menjadi praktik yang efektif di tingkat institusi. Bab kesebelas memberikan panduan praktis dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Bagian ini mencakup strategi-strategi praktis dan langkah- langkah konkret yang dapat diambil oleh pendidik dan pengelola sekolah untuk memastikan bahwa semua siswa merasa diterima dan didukung. Bab terakhir, yang merupakan bab dua belas, merangkum hambatan yang umum dijumpai dalam implementasi pendidikan inklusif serta pendekatan inovatif untuk mengatasinya.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-06-02 22:16:54

Pendidikan Inklusif

Buku ini telah dirancang mencakup berbagai topik penting yang disusun secara sistematis, memastikan setiap bab memberikan wawasan yang komprehensif dan mendalam mengenai pendidikan inklusif.

Bab pertama mengawali dengan definisi dan evolusi pendidikan inklusif, memberikan landasan teoritis dan sejarah perkembangan yang membantu pembaca memahami urgensi penerapan pendidikan inklusif. Bab kedua dan ketiga berfokus pada keberagaman di ruang kelas serta tantangan dalam implementasi pendidikan inklusif. Bab ketiga mengupas tantangan struktural, ketersediaan sumber daya, dan kesiapan tenaga pendidikan, serta menawarkan solusi praktis untuk menjadikan pendidikan inklusif lebih dapat dicapai dan efektif. Sementara, bab keempat hingga keenam membahas lingkungan belajar yang inklusif, peran teknologi, dan pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam pendidikan.

Bab ketujuh menyoroti pengembangan profesional bagi pendidik, membahas strategi pengajaran inklusif, pembangunan kompetensi budaya, serta pembelajaran dan adaptasi berkelanjutan, yang diperlukan untuk mendukung siswa dalam lingkungan belajar yang inklusif. Bab kedelapan menyajikan berbagai cerita sukses dan studi kasus yang inspiratif, yang menggambarkan penerapan nyata prinsip-prinsip pendidikan inklusif di berbagai konteks. Bab kesembilan hingga kesepuluh membahas arah masa depan pendidikan inklusif, menyoroti berbagai tren dan inovasi pedagogis yang potensial untuk mengembangkan praktik inklusif lebih lanjut. Bab ini juga mencakup analisis mendalam tentang kerangka hukum dan kebijakan, baik nasional maupun Internasional, yang mendukung implementasi pendidikan inklusif. Pembahasan ini meliputi analisis terhadap undang-undang, konvensi, dan kebijakan yang ada, serta tantangan dalam menerjemahkan kebijakan ini menjadi praktik yang efektif di tingkat institusi. Bab kesebelas memberikan panduan praktis dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Bagian ini mencakup strategi-strategi praktis dan langkah- langkah konkret yang dapat diambil oleh pendidik dan pengelola sekolah untuk memastikan bahwa semua siswa merasa diterima dan didukung. Bab terakhir, yang merupakan bab dua belas, merangkum hambatan yang umum dijumpai dalam implementasi pendidikan inklusif serta pendekatan inovatif untuk mengatasinya.

91 kebutuhan dan prfernsi anak-anak dengan kebutuhan khusus dipertimbangkan dengan baik. Tak lupa pula terkait dengan evaluasi dan peningkatan yang berkelanjutan kebijakan dalam suatu pemerintahan harus selalu dievaluasi secara berkala untuk mematikan bahwa mereka efektif dalam mendukung inklusi dan memenuhi kebutuhan semua siswa. Peningkatan berkelanjutan harus dilakukan berdasrkan umpan balik dari semua pemangku kepentingan. Kurangnya fokus dan komitmen pemerintah dalam menyusun pendidikan inklusi secara menyeluruh dan matang masih terjadi, baik dalam hal sosialisasi, penyediaan sumber daya, maupun uji coba berbagai metode pembelajaran. Akibatnya, program ini sering kali terlihat hanya sebagai eksperimen belaka (Sue Stubbs, 2002). Pendiikan inkluisi memang kewajiban seorang guru dan staff yang membimbing anak-anak berkebutuhan khusus namun guru dan staff sekolah tidak lupa juga harus dibekali beberapa pelatihan-pelatihan yang dapat menunjng kenyaman dan keberhaslan sekolah inklusi. Guru dan staf sekolah harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mendukung keberhasilan inklusi dalam pendidikan. Penting bagi guru untuk mendapatkan pelatihan yang meliputi strategi pengajaran diferensiasi, manajemen kelas yang inklusif, dan pendekatan-pendekatan lain yang mendukung diversitas


92 siswa. Melalui pelatihan yang tepat, guru dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung bagi semua siswa, memungkinkan mereka untuk berkembang secara maksimal tanpa mengabaikan kebutuhan individu mereka. Dengan demikian, investasi dalam pelatihan guru bukan hanya penting, tetapi juga merupakan langkah krusial dalam memastikan kesuksesan inklusi di sekolah. Tidak hanya guru, namun staf sekolah juga memiliki peran yang penting dalam mendukung inklusi di lingkungan pendidikan. Mereka perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung bagi semua siswa. Pelatihan staf sekolah tentang pengenalan kebutuhan belajar yang beragam, pengelolaan keberagaman dalam kelas, dan kolaborasi antara guru dan staf merupakan langkah penting dalam memperkuat inklusi. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan inklusif tidak hanya bergantung pada guru saja, tetapi juga memerlukan keterlibatan dan dukungan penuh dari seluruh staf sekolah. Kemitraan yang erat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat memainkan peran penting dalam mempromosikan inklusi dalam sistem pendidikan. Dalam konteks ini, kerja sama yang terbuka dan kolaboratif menjadi kunci untuk memastikan keberhasilan semua siswa. Komunikasi yang terbuka antara sekolah dan orang tua merupakan fondasi utama. Partisipasi orang tua dalam pengambilan keputusan juga sangat penting. Mereka


93 harus memiliki suara yang didengar dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan sekolah, program inklusi, dan pengembangan kurikulum. Dengan mendengarkan dan memperhatikan masukan orang tua, sekolah dapat memastikan bahwa kebutuhan siswa diprioritaskan dengan tepat. Tidak hanya melibatkan orang tua, tetapi juga melibatkan masyarakat secara luas dalam mendukung inklusi dalam pendidikan. Melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga lokal, organisasi sukarela, dan bisnisbisnis lokal, sekolah dapat menciptakan sumber daya dan dukungan yang lebih luas bagi siswa dan keluarganya. Misalnya, program mentoring oleh sukarelawan lokal atau kerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas dapat membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung. Dengan demikian, melalui kemitraan yang kuat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat, inklusi dalam pendidikan dapat diperkuat dan diimplementasikan secara efektif,bukan hanya dalam lingkup sekolah namun juga dalam lingkungan sekitar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal.


94 Roni Eka Rahmat, S.Pd. Pendidikan merupakan hak fundamental yang tak terpisahkan dari setiap individu. Hak ini dijamin secara universal sehingga terbebas dari diskriminasi dalam bentuk apa pun. Di berbagai negara, komitmen terhadap pendidikan inklusif diperkuat melalui landasan hukum dan perjanjian internasional (Hevener 1983). Analisis mendalam terhadap regulasi nasional dan internasional,


95 beserta konvensi dan kebijakan terkait, mengantarkan kita pada pemahaman komprehensif tentang kerangka kerja yang menopang inklusi dalam ranah pendidikan. Konvensi Hak Anak dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, bersama dengan peraturan nasional di berbagai negara, menjadi bukti nyata komitmen global dalam mewujudkan lingkungan belajar yang inklusif bagi seluruh peserta didik. Misalkan Amerika Serikat dengan Undang-Undang Pendidikan Penyandang Disabilitas (IDEA) menjamin hak atas pendidikan inklusif bagi anak-anak penyandang disabilitas di sekolah negeri. Inggris Raya melalui UndangUndang Kesetaraan Penyandang Disabilitas (2010) mewajibkan sekolah untuk menyediakan pendidikan inklusif bagi semua anak. Dalam konteks Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas akan menjamin hak atas pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Meskipun terdapat landasan hukum yang jelas, tantangan dalam menerjemahkan kebijakan pendidikan inklusif ke dalam praktik yang efektif tetap menjadi perhatian khusus. Ada kebutuhan yang mendesak untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi kebijakan inklusi di tingkat nasional dan lokal. Perbedaan persepsi, kurangnya pemahaman akan prinsip-prinsip inklusi, serta kurangnya dukungan sumber daya, baik finansial maupun manusia, menjadi factor yang sering menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Oleh karena itu, tidak hanya sekedar memahami landasan hukum yang ada, tetapi juga untuk mengevaluasi bagaimana hukum tersebut diimplementasikan dalam


96 praktik sehari-hari di lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang perbedaan ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam memastikan bahwa hak-hak peserta didik yang beragam bisa terpenuhi dengan baik di dalam sistem pendidikan. 1. Konvensi dan Perjanjian Internasional Pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar, diakui secara universal oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional. Konvensi dan perjanjian ini memberikan landasan yang kuat bagi pengembangan kebijakan dan praktik pendidikan inklusif di seluruh dunia. Salah satu konvensi utama yang menjadi panduan dalam konteks pendidikan inklusif adalah Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989 (MacPherson 1989). Konvensi ini menegaskan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan memperhatikan kebutuhan khusus mereka, tanpa diskriminasi. Selain itu, Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang disahkan pada tahun 2006 juga memberikan arahan yang penting dalam memastikan aksesibilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas serta mempromosikan inklusi mereka dalam lingkungan pendidikan yang mainstream (Nations (UN) 2009). Di samping itu, berbagai perjanjian internasional lainnya, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, juga memberikan dasar hukum


97 yang penting dalam memastikan hak-hak pendidikan yang setara bagi semua individu. Dengan memahami pentingnya konvensi dan perjanjian internasional ini, kita dapat memperkuat komitmen kita untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkeadilan bagi semua peserta didik. Penerapan konvensi dan perjanjian internasional dalam konteks pendidikan inklusif tidak hanya menuntut komitmen politik, tetapi juga memerlukan upaya konkret untuk mengintegrasikan prinsipprinsip dan standar yang terkandung di dalamnya ke dalam kerangka kerja pendidikan nasional. Di beberapa negara, langkah-langkah konkret telah diambil untuk menerjemahkan prinsip-prinsip ini menjadi kebijakan pendidikan yang dapat dimplementasikan di tingkat lokal. 2. UUD dan Peraturan Nasional: Pembangunan pendidikan inklusif tidak terlepas dari landasan hukum yang kuat di tingkat nasional. Di banyak negara, Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi menjadi titik awal yang penting dalam menegakkan prinsip-prinsip inklusi dalam sistem pendidikan. UUD mengakui hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan berkualitas, tanpa memandang latar belakang atau kondisi pribadi mereka. Analisis mendalam terhadap UUD dan peraturan nasional lainnya yang berkaitan dengan pendidikan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang komitmen negara dalam mewujudkan pendidikan inklusif. Selain itu, penting


98 untuk melihat bagaimana peraturan tersebut diterapkan di tingkat lokal, di berbagai provinsi atau kabupaten/kota. Penerapan peraturan tersebut di tingkat lokal dapat sangat bervariasi tergantung pada konteks sosial, ekonomi, dan budaya masing-masing wilayah. Dengan memahami kerangka hukum nasional dan pelaksanaannya di tingkat lokal, kita dapat mengidentifikasi strategi yang lebih efektif dalam memperkuat sistem pendidikan yang mendukung semua peserta didik, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus atau berada dalam situasi yang rentan. Meskipun demikian, implementasi undangundang dan regulasi nasional tentang pendidikan inklusif sering kali menghadapi sejumlah tantangan di tingkat lokal. Faktor-faktor seperti kurangnya sumber daya, keterbatasan infrastruktur, dan perbedaan dalam pemahaman dan komitmen terhadap prinsipprinsip inklusi dapat mempengaruhi pelaksanaannya di lapangan. Selain itu, tantangan administratif dan birokratis juga dapat menjadi hambatan dalam menerapkan kebijakan pendidikan inklusif dengan efektif. Namun demikian, banyak komunitas pendidikan telah menunjukkan inisiatif yang luar biasa dalam mengatasi hambatan-hambatan ini dengan menciptakan model-model inklusi yang inovatif dan berkelanjutan. Dengan menganalisis baik tantangan maupun inisiatif yang ada, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang dinamika implementasi kebijakan inklusi di tingkat lokal. Hal ini penting untuk membentuk


99 strategi dan intervensi yang tepat guna dalam mendukung upaya-upaya menuju pendidikan yang lebih inklusif di berbagai daerah. 3. Penerapan dan Kepatuhan: Penerapan dan kepatuhan terhadap hukum dan kebijakan yang mendukung inklusi menjadi langkah kunci dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif. Lembaga pendidikan dan pemerintah memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa hakhak pendidikan setiap individu dijamin dan dilindungi tanpa diskriminasi. Pada tingkat lembaga pendidikan, penerapan kebijakan inklusi memerlukan upaya kolaboratif antara administrasi sekolah, guru, staf pendukung, serta komite pendidikan lokal. Mereka perlu bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, menyediakan dukungan yang diperlukan bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dan memastikan bahwa semua siswa merasa diterima dan dihargai. Di sisi lain, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan memantau kebijakan pendidikan inklusif yang sesuai dengan kerangka hukum nasional dan internasional. Mereka juga bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan, baik finansial maupun manusia, agar lembaga pendidikan dapat melaksanakan kebijakan inklusi dengan efektif. Namun, dalam prakteknya, penerapan kebijakan inklusi seringkali dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks. Salah satunya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang


100 prinsip-prinsip inklusi di kalangan stakeholder pendidikan. Tantangan lainnya termasuk keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun infrastruktur, serta resistensi terhadap perubahan dari pihak-pihak yang mungkin merasa terancam atau tidak siap untuk menerima konsep pendidikan inklusif. Menjembatani kesenjangan antara kebijakan pendidikan inklusif dengan praktik yang efektif di tingkat lembaga pendidikan merupakan tantangan yang signifikan dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif. Meskipun telah ada kerangka kerja hukum dan kebijakan yang mendukung inklusi, seringkali implementasinya di lapangan tidak sejalan dengan harapan. Sub bagian ini bertujuan untuk menyelidiki berbagai hambatan dan kesenjangan yang muncul dalam menerjemahkan kebijakan inklusi ke dalam praktik yang nyata di lembaga pendidikan. Dengan memahami faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan inklusi, kita dapat meng-identifikasi strategi yang lebih efektif untuk mengatasi tantangan ini dan memperkuat praktik inklusi di tingkat institusional. Salah satu hambatan utama dalam menerjemah-kan kebijakan pendidikan inklusif ke dalam praktik efektif adalah kurangnya pemahaman dan komitmen yang kuat dari pihak-pihak yang terlibat di tingkat institusional.


101 Beberapa staf pendidikan mungkin belum sepenuhnya memahami konsep inklusi atau belum memiliki keterampilan yang cukup untuk menerapkannya dalam pengaturan kelas. Selain itu, persepsi yang keliru atau stereotip tentang kemampuan siswa dengan kebutuhan khusus juga dapat menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif. Kurangnya dukungan dan pelatihan yang memadai bagi para pendidik dan staf pendukung juga menjadi hambatan dalam mengimplementasikan praktik inklusi yang efektif. Selain kurangnya pemahaman dan komitmen, infrastruktur dan sumber daya yang terbatas juga menjadi hambatan utama dalam menerjemahkan kebijakan inklusi menjadi praktik yang efektif di tingkat institusional. Lembaga pendidikan mungkin menghadapi tantangan dalam menyediakan fasilitas fisik yang memadai dan ramah inklusi bagi semua siswa, termasuk aksesibilitas bangunan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan individu. Selain itu, kekurangan sumber daya manusia, seperti jumlah guru yang terlatih dalam mendukung siswa dengan kebutuhan khusus, juga dapat menghambat implementasi praktik inklusi yang efektif. Tantangan lainnya mungkin meliputi keterbatasan dana untuk program pendidikan inklusif, yang dapat membatasi kemampuan lembaga pendidikan untuk menyediakan dukungan tambahan dan layanan yang dibutuhkan oleh siswa dengan kebutuhan khusus. 1. Hambatan Budaya dan Persepsi Hambatan budaya dan persepsi yang muncul di kalangan masyarakat, guru, dan administrasi sekolah


102 dapat menjadi penghalang signifikan dalam menerapkan praktik inklusif di lembaga pendidikan. Budaya yang mengakar dan persepsi yang kurang tepat terhadap individu dengan kebutuhan khusus sering kali memunculkan stigma dan diskriminasi, bahkan di lingkungan pendidikan. Guru dan staf pendidikan mungkin memiliki ketakutan atau ketidakpastian dalam menghadapi kebutuhan yang beragam dari siswa-siswa ini, sehingga mungkin enggan atau merasa tidak siap untuk mengadopsi praktik inklusif. Di sisi lain, masyarakat umum sering kali memiliki stereotip atau asumsi yang salah tentang kemampuan dan potensi siswa dengan kebutuhan khusus, yang dapat menghambat integrasi mereka dalam lingkungan pendidikan reguler. Salah satu hambatan budaya yang sering dihadapi adalah ketidakpahaman tentang kebutuhan yang beragam dari siswa dan cara terbaik untuk mendukung mereka dalam lingkungan pendidikan. Beberapa individu mungkin masih mempertahankan pandangan tradisional yang memandang perbedaan sebagai sesuatu yang harus dihindari atau disembunyikan, alih-alih dilihat sebagai kekayaan yang dapat diperkaya dalam konteks pembelajaran. Selain itu, persepsi yang tidak akurat atau kurangnya kesadaran tentang konsep inklusi dan pentingnya keberagaman dalam pendidikan juga dapat menyebabkan resistensi terhadap perubahan menuju praktik inklusif. Pendidikan dan advokasi yang lebih luas tentang nilai-nilai inklusi dan manfaatnya bagi semua siswa dapat membantu merubah perspektif


103 dan memperkuat dukungan dari masyarakat, guru, dan pihak administrasi sekolah. Dengan membuka dialog terbuka dan mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan individu, kita dapat menciptakan budaya yang lebih inklusif di lembaga pendidikan, di mana setiap siswa dihargai dan didukung dalam perjalanan pembelajaran mereka. Selain hambatan budaya, persepsi yang salah tentang inklusi juga dapat menjadi penghalang signifikan dalam menerapkan praktik inklusif di lembaga pendidikan. Beberapa orang mungkin masih memandang inklusi sebagai tantangan atau beban tambahan bagi proses pembelajaran, daripada sebagai peluang untuk memperkaya pengalaman pendidikan bagi semua siswa. Perspektif ini dapat mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap efektivitas praktik inklusi dan menimbulkan resistensi terhadap perubahan di kalangan guru dan staf pendidikan. Selain itu, persepsi yang tidak akurat tentang kemampuan siswa dengan kebutuhan khusus atau perasaan tidak siap untuk mengatasi kebutuhan mereka juga dapat mempengaruhi komitmen terhadap praktik inklusi. 2. Kekurangan Sumber Daya Salah satu hambatan utama dalam mewujudkan lingkungan belajar inklusif adalah kekurangan sumber daya, baik finansial maupun manusia, yang sering kali menjadi penghalang dalam menyediakan dukungan yang memadai bagi semua siswa. Secara finansial, lembaga pendidikan mungkin menghadapi


104 keterbatasan dalam alokasi dana untuk mendukung kebutuhan khusus siswa, seperti menyediakan peralatan atau teknologi pendukung, menyesuaikan fasilitas fisik, atau menyediakan layanan pendukung khusus. Kekurangan dana ini dapat menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung, terutama di lembagalembaga dengan sumber daya terbatas. Di sisi lain, kekurangan sumber daya manusia juga merupakan hambatan yang signifikan dalam menerapkan praktik inklusi. Kurangnya jumlah guru dan staf yang terlatih dalam mendukung siswa dengan kebutuhan khusus dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk memberikan perhatian individual yang diperlukan atau menyediakan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. 3. Kurangnya Pelatihan dan Dukungan Kurangnya pelatihan dan dukungan yang memadai bagi guru dan staf sekolah sering kali menjadi hambatan utama dalam mengimplementasikan praktik inklusif dengan efektif. Meskipun konsep inklusi telah diperkenalkan, banyak guru mungkin masih kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan yang beragam dari siswa-siswa mereka di kelas. Pelatihan yang kurang atau tidak memadai dalam hal diferensiasi pembelajaran, manajemen kelas yang inklusif, dan strategi pembelajaran yang disesuaikan secara individual dapat mengakibatkan kesulitan dalam memberikan perhatian dan dukungan yang


105 diperlukan kepada siswa dengan kebutuhan khusus. Selain itu, kurangnya dukungan yang berkelanjutan dari pihak administrasi sekolah dalam hal pelatihan dan pengembangan profesional juga dapat memperburuk situasi ini. Guru dan staf sekolah membutuhkan bimbingan, sumber daya, dan waktu yang cukup untuk mempelajari dan mengembangkan keterampilan baru yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Pelatihan yang tepat dan dukungan yang berkelanjutan juga memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan diri dan kenyamanan guru dalam menghadapi kebutuhan yang beragam dari siswa mereka. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai kebutuhan dan gaya belajar siswa, guru dapat merancang dan menyampaikan pembelajaran yang lebih efektif serta menyediakan dukungan yang sesuai. Selain itu, dukungan yang berkelanjutan dari rekan sejawat dan tim manajemen sekolah juga dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi guru dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul dalam menerapkan praktik inklusi. Melalui kolaborasi dan pembelajaran bersama, guru dapat saling mendukung dan memperkaya praktik mereka untuk memastikan bahwa semua siswa merasa didukung dan berhasil di lingkungan belajar. Dengan demikian, investasi dalam pelatihan dan dukungan yang berkelanjutan bagi guru dan staf sekolah merupakan langkah kunci dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan


106 memberdayakan semua siswa untuk mencapai potensi mereka yang penuh. 4. Tantangan Administratif Tantangan administratif merupakan salah satu aspek kunci yang perlu dipahami dalam mengimplementasikan kebijakan dan praktik inklusif di tingkat institusi pendidikan. Koordinasi yang efektif antara kebijakan dan praktik di tingkat administratif membutuhkan pengelolaan yang teliti dan terencana. Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan sumber daya yang memadai, baik dari segi finansial maupun personel, untuk mendukung pelaksanaan kebijakan inklusi. Hal ini meliputi alokasi dana yang memadai untuk mendukung kebutuhan siswa dengan kebutuhan khusus, pelatihan bagi staf pendidikan, dan penyediaan fasilitas yang inklusif. Selain itu, koordinasi yang efektif juga memerlukan perencanaan yang matang dan komunikasi yang jelas antara berbagai pihak terkait, termasuk administrasi sekolah, dewan pendidikan, dan departemen pendidikan di tingkat regional atau nasional. Ketidakseimbangan atau ketidakjelasan dalam perencanaan dan komunikasi dapat menghambat pelaksanaan kebijakan inklusi secara konsisten dan menyeluruh di semua tingkatan lembaga pendidikan.


107 Inayatur Robbaniyah, S.Pd. Di Indonesia, sudah lama ada gerakan yang mengadvokasi persamaan hak dan perlunya aksesibilitas fisik dan non-fisik. Anggota Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO) yang merupakan aktivis penyandang disabilitas melakukan advokasi terhadap sarana dan prasarana yang mudah diakses. Mereka menuntut persamaan kesempatan dalam mengakses layanan publik dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari, pendidikan, masyarakat, dan politik (Irwanto, 2016). Meskipun terdapat kemajuan, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Penting bagi


108 komunitas global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan agar Negara mengambil tanggung jawab dalam mengatasi disabilitas. Hal ini akan menjamin bahwa setiap individu, terlepas dari sifat dan tingkat kecacatannya, dapat sepenuhnya melaksanakan hak-hak dasar mereka. Individu dengan keterbatasan fisik mempunyai kemampuan bawaan dan potensi yang belum tergali yang dapat dibina untuk mencapai kemandirian. Agar penyandang disabilitas dapat mencapai kemandirian maka diperlukan rehabilitasi sosial. Untuk melaksanakan rehabilitasi sosial secara efektif, pemahaman yang komprehensif mengenai kebutuhan spesifik para penyandang disabilitas sangatlah penting. Penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan fisik mempunyai persyaratan khusus, khususnya dalam hal aksesibilitas dan mobilitas. Kebutuhan ini mencakup penyediaan jalur yang dapat diakses kursi roda, toilet khusus bagi pengguna kursi roda, jalur landai dengan pegangan tangan, serta perangkat ortotik dan prostetik. Menurut Maslow, manusia mempunyai lima kebutuhan mendasar yang disusun secara hierarkis, mulai dari yang paling penting hingga yang paling tidak penting, dan dari yang paling mudah hingga yang paling menantang untuk dipenuhi. Kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: a) Kebutuhan fisiologis, yang meliputi sandang, pangan, papan, dan kebutuhan biologis; b) Kebutuhan keamanan dan keselamatan, yang mencakup kebebasan dari kolonialisme, ancaman, penderitaan, dan teror; c) Kebutuhan sosial, seperti mempunyai teman,


109 berkeluarga, dan kebutuhan akan kasih sayang dari lawan jenis; d) Kebutuhan imbalan, yang berupa pujian, sertifikat, tanda jasa, dan hadiah; dan e) Kebutuhan aktualisasi diri, yang meliputi keinginan untuk bertindak bebas sesuai dengan bakat dan minatnya (Maslow, 1984). Selain itu, persyaratan bantuan sosial bagi penyandang disabilitas yang berada dalam keluarga dan komunitas meliputi (Hikmawati & Rusmiyati., 2011): 1. Persyaratan individu penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas hidup dalam budaya yang beragam, sehingga memerlukan lingkungan aman yang menawarkan kasih sayang, pengakuan, dan inklusivitas. Meskipun menghadapi rintangan, individu memiliki kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Informasi edisi 2011 menyoroti pentingnya perkembangan emosional, menekankan bahwa individu penyandang disabilitas memiliki kebutuhan emosional yang sama dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas. 2. Persyaratan sosial bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Individu dengan disabilitas bawaan pada dasarnya adalah makhluk sosial, karena kelangsungan hidup mereka bergantung pada dukungan dan kehadiran orang lain. Kebutuhan utama mereka adalah rasa aman dan kasih sayang. Fenomena ini dialami oleh individu yang memiliki keterbatasan fisik, dan permintaan akan hal ini semakin meningkat seiring bertambahnya usia dan keinginan anak untuk


110 ditemani dalam aktivitas rekreasi. Penyandang disabilitas membutuhkan pengakuan, penghargaan, dan inklusi dari kenalannya, serta kerinduan akan kedudukan sosial yang sesuai dalam lingkaran sosial atau komunitasnya. Apabila kemajuan perkembangan tersebut terhambat oleh adanya disabilitas maka akan berdampak pada perkembangan psikologis anak. 3. Kebutuhan individu penyandang disabilitas dalam rumah tangga. Peran penting keluarga adalah sebagai tempat perlindungan yang aman bagi anggotanya. Memberikan perlakuan yang adil kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan akan menciptakan rasa aman dan kemudahan bagi mereka. Namun demikian, beberapa keluarga tidak mampu menerima anggota keluarga yang memiliki kelainan karena kurangnya pengetahuan dan keyakinan yang salah. Oleh karena itu, sosialisasi diperlukan untuk menumbuhkan pengetahuan di kalangan keluarga, memungkinkan mereka menerima penyandang disabilitas dan memperlakukan mereka secara adil. 4. Kebutuhan penyandang cacat tubuh dalam masyarakat Sangat penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa penyandang tubuh memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan. Masyarakat harus diberi bimbingan untuk menjadi lebih peduli, terlibat, dan bertanggung jawab terhadap penanganan penyandang cacat.


111 5. Kebutuhan pelayanan umum. Pelayanan umum bagi penyandang disabilitas harus dirancang agar inklusif dan aksesibel, memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Sayangnya, Lokasi-lokasi umum tidak memiliki fasilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas, seperti jalur khusus, toilet, dan bilik telepon yang melayani pengguna kursi roda. (Departemen Sosial pada tahun 2008) Pada dasarnya, kebutuhan siswa penyandang disabilitas dapat berbeda secara signifikan berdasarkan jenis spesifik dan tingkat keparahan disabilitas mereka. Namun demikian, jika dipertimbangkan secara luas, kebutuhan anak-anak penyandang disabilitas sejalan dengan kebutuhan anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, yang mencakup kebutuhan mendasar sebagai berikut: 1. Asuh (Kebutuhan fisik – biomedis) Kebutuhan fisik atau biomedis siswa penyandang disabilitas mencakup berbagai aspek yang memastikan kesejahteraan dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sekolah. Mereka memerlukan akses rutin ke perawatan medis, termasuk konsultasi dokter spesialis dan penyediaan obat-obatan yang diperlukan untuk mengelola kondisi medis mereka. Sekolah harus menyediakan ruang kelas dan fasilitas yang aksesibel, seperti toilet, kantin, perpustakaan, dan area bermain yang dapat diakses oleh semua siswa. Alat bantu mobilitas seperti


112 kursi roda, tongkat, dan walker, serta alat bantu dengar dan penglihatan, juga sangat penting. Nutrisi yang tepat dan program kesehatan di sekolah, termasuk pemeriksaan kesehatan rutin dan edukasi mengenai gaya hidup sehat, juga diperlukan. Selain itu, fasilitas dan program rehabilitasi seperti fisioterapi dan terapi okupasi membantu meningkatkan kemampuan fisik dan fungsional siswa. Dukungan kesehatan mental juga penting, dengan menyediakan akses ke konselor atau psikolog, serta program dukungan sosial yang membantu siswa merasa diterima dan didukung. Penyesuaian lingkungan belajar, seperti pengaturan meja dan kursi yang disesuaikan serta bahan ajar yang mudah diakses, juga penting untuk memastikan siswa dapat belajar dengan nyaman dan efektif. Memenuhi kebutuhan ini adalah langkah penting untuk memastikan inklusi dan kesejahteraan siswa penyandang disabilitas di lingkungan pendidikan. 2. Asih (Kebutuhan emosi dan kasih sayang) Hasrat akan kasih sayang tidak hanya mencakup ekspresi fisik, tetapi juga pengalaman emosional yang terkait dengannya. Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang menumbuhkan perkembangan hubungan atau ikatan emosional antara penyandang disabilitas dan orang lain seperti ayah, ibu, atau anggota keluarga lainnya. Kebutuhan ini memungkinkan penyandang disabilitas untuk menumbuhkan perasaan kasih sayang terhadap individu, baik yang berjenis kelamin sama maupun


113 lawan jenis. Hubungan emosional dan kepedulian yang kuat antara orang tua dan penyandang disabilitas sangatlah penting karena memiliki peran utama dalam membentuk perilaku anak di masa depan, meningkatkan perkembangan kognitif, dan menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan eksternal. Orang tua menunjukkan kasih sayang mereka kepada anak-anak dengan menunjukkan kelembutan. Beberapa orang tua percaya bahwa untuk memperbaiki perilaku negatif anak, mereka harus mengambil tindakan keras seperti hukuman dan menggunakan kata-kata kasar. Pendekatan ini tidak efektif; sebaliknya, justru berpotensi menimbulkan permusuhan (Istadi, 2016). Perlu dipahami bersama bahwa, anak-anak dengan kebutuhan khusus harus dirawat dengan cara yang berbeda dari anak-anak lainnya. Hal ini membuat orang tua harus berperan lebih dalam memberikan pengasuhan yang tepat bagi anak mereka. Menerima kondisi anak berkebutuhan khusus adalah langkah pertama untuk memberikan pengasuhan yang tepat (Faradina, 2016). Orang tua yang benar-benar memahami kondisi anak mereka dapat memutuskan cara terbaik untuk merawat anak mereka. Bagaimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus berkembang di kemudian hari sangat dipengaruhi oleh orang tua mereka. Orang tua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa mereka memiliki anak dengan kebutuhan khusus dapat


114 membuat anak merasa tidak diterima dan diabaikan (Putri & Lutfianawati., 2021). 3. Asah (Kebutuhan stimulasi) Kebutuhan stimulasi bagi penyandang disabilitas sangat penting untuk mendukung perkembangan kognitif, emosional, dan sosial mereka. Stimulasi ini mencakup berbagai aspek, seperti pendidikan, aktivitas fisik, dan interaksi sosial yang dirancang untuk merangsang pikiran dan tubuh mereka. Dalam konteks pendidikan, penting untuk menyediakan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individual, menggunakan metode pengajaran yang interaktif dan menarik (Hanifah et al., 2022). Alat bantu teknologi dan adaptasi kurikulum juga dapat membantu memastikan bahwa penyandang disabilitas mendapatkan akses penuh ke pendidikan berkualitas. Aktivitas fisik yang teratur dan terencana, seperti terapi fisik atau olahraga adaptif, dapat membantu meningkatkan kemampuan motorik dan kesehatan fisik penyandang disabilitas (Amaruddn et al., 2021). Selain itu, keterlibatan dalam aktivitas seni, seperti musik, lukisan, atau drama, dapat memberikan stimulasi kreatif yang mendukung perkembangan emosional dan sosial. Interaksi sosial juga merupakan komponen penting dalam kebutuhan stimulasi penyandang disabilitas (Arindayani, 2021). Program yang memfasilitasi interaksi dengan teman sebaya, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan


115 kelompok, dapat membantu penyandang disabilitas mengembangkan keterampilan sosial dan membangun hubungan positif. Dukungan dari keluarga, guru, dan komunitas sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang kaya akan stimulasi positif. Guru merupakan orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya, sehingga memiliki kewajiban mendidik serta memberi pengetahuan yang ia miliki kepada peserta didik sehingga peserta didik tersebut menjadi lebih cerdas. Untuk mengajar anak berkebutuhan khusus perlunya peran guru sebagai pengajar, pengayom, dan pendidik agar anak yang memiliki keistimewaan ini merasa diperhatikan dan diperlakukan yang sama seperti pada anak normal lainnya (Jariono et al., 2021). Guru memerlukan program pelatihan khusus yang secara khusus membahas peran dan kontribusi mereka dalam pendidikan inklusif. Pelatihan ini akan memungkinkan mereka untuk secara efektif dan efisien mendukung anak-anak berkebutuhan khusus. Ada kebutuhan mendesak untuk pelatihan khusus bagi instruktur di sekolah yang melayani siswa berkebutuhan khusus. Hal ini sangat penting dalam konteks pendidikan inklusif, karena guru harus memiliki pengetahuan,


116 kemampuan, dan sikap yang sesuai untuk secara efektif meningkatkan prestasi akademik semua siswa, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Pelatihan dan dukungan berkelanjutan bagi para pendidik sangatlah penting dalam konteks ini, karena membantu mereka untuk terus mengembangkan praktik inklusif yang efektif. Namun, pelatihan saja tidak cukup. menurut (Shelley, 2003) ikatan dan hubungan sosial dengan sesama dianggap aspek yang dapat memberikan kepuasan emosional dalam hidup. Dukungan berkelanjutan penting untuk membantu guru menerapkan praktik inklusif dalam kegiatan seharihari mereka. Dukungan ini bisa berupa mentoring, kolaborasi dengan rekan kerja, atau akses ke sumber daya tambahan seperti spesialis pendidikan khusus. Dukungan ini membantu guru untuk terus belajar dan berkembang, sehingga mereka dapat memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi semua siswa. Pentingnya pelatihan bagi guru dalam konteks inklusi tidak bisa diabaikan. Dengan pengetahuan yang tepat, guru dapat memahami kebutuhan beragam siswa di kelas mereka dan merancang pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi semua anak. Tanpa pelatihan yang memadai, guru mungkin merasa tidak siap atau bahkan tidak percaya diri dalam menghadapi situasi yang melibatkan siswa dengan kebutuhan khusus. Pelatihan yang baik akan memberikan guru alat dan strategi yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan ini dengan sukses (Riyadi et al., 2023).


117 Berikut adalah beberapa alasan mengapa pelatihan guru ABK penting: 1. Menghadapi Kebutuhan Beragam Siswa. Untuk mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya, tidak sama seperti halnya mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini sematamata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelainan (Nurhakim, 2023). Pelatihan guru inklusif membantu guru untuk memahami kebutuhan ini dan mengembangkan strategi mengajar yang tepat. 2. Membangun Lingkungan Pembelajaran Inklusif. Pendidik yang telah menerima pelatihan inklusi dapat menciptakan lingkungan belajar ramah yang mengakomodasi semua siswa, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, sehingga menjamin bahwa semua siswa dapat terlibat secara efektif dengan kurikulum. Pelatihan dapat memberikan guru ABK pemahaman tentang berbagai kebutuhan dan kemampuan siswa, serta strategi untuk mendukung mereka secara efektif. Dengan pengetahuan yang mumpuni, pendidik ABK dapat menyesuaikan metode pengajaran, materi, dan evaluasi untuk memastikan semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, dapat berpartisipasi secara penuh dan setara dalam proses pembelajaran.


118 3. Meningkatkan Keterampilan Guru Pelatihan dapat membantu guru ABK meningkatkan keterampilan guru dalam penerapan diferensiasi kurikulum, manajemen kelas yang inklusif, dan kolaborasi dengan spesialis pendidikan khusus. Menurut Tomlinson (2001), pendekatan diferensiasi memungkinkan guru untuk menyesuaikan materi, metode, dan penilaian agar sesuai dengan kebutuhan belajar individual peserta didik. Dengan mengidentifikasi gaya belajar, tingkat kesiapan, dan minat peserta didik, guru dapat merancang pengalaman pembelajaran yang mendukung keberhasilan semua peserta didik, tanpa mengabaikan perbedaan kemampuan. Gay (2018) memberikan panduan mengenai penggunaan materi pembelajaran yang mencerminkan keberagaman peserta didik, melibatkan peserta didik dalam pengalaman langsung, dan menciptakan lingkungan kelas yang mendukung beragam cara belajar. 4. Meningkatkan Prestasi Siswa Dengan memiliki guru yang terlatih dalam inklusi, siswa dengan kebutuhan khusus dapat mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk mencapai potensi maksimal mereka, sehingga meningkatkan prestasi akademik dan sosial mereka. Mastropieri & Scruggs (2010) menambahkan guru yang dapat memfasilitasi pembelajaran yang responsif terhadap keberagaman peserta didik, memungkinkan setiap peserta didik untuk terlibat dalam pengalaman belajar yang bermakna.


119 Pelatihan guru yang komprehensif menjadi langkah penting dalam menjamin akses yang adil terhadap pendidikan berkualitas tinggi bagi semua siswa dan mendorong pengalaman belajar yang menyenangkan bagi semua orang.


120 Dwi Ayu Nurfa’izah, S.Pd. Pendidikan inklusif dianggap sebagai komitmen untuk meningkatkan kemampuan sosial anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak normal, agar dapat hidup berdampingan dengan saling berbagi dan memahami. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, kehadiran siswa ABK tentunya akan menjadikan kelas inklusi berbeda dari kelas pada umumnya. Guru mempunyai beberapa kesulitan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran (Wahyuhastufi, 2016). Realitas dilapangan masih jauh dari situasi ideal yang tertuang dalam kebijakan dan deklarasi yang telah disepakati. Menurut Tarnoto (2020) menyatakan bahwa saat peristiwa Deklarasi Salamanca, Negara-negara yang berada di bawah naungan PBB ikut menandatangani kebijakan untuk memperkuat dasar hukum diselenggarakannya pendidikan inklusi.


121 Namun pada realitanya, masih terdapat hambatan dan tantangan yang dialami selama penyelenggaraan sekolah inklusi. Berikut beberapa hambatan atau tantangan umum yang dihadapi dalam konteks pendidikan inklusi: Kurangnya Sumber Daya, salah satu kendala utama adalah kurangnya sumber daya seperti pendanaan, personel, dan peralatan pendukung yang diperlukan untuk pendidikan inklusif yang efektif. Sekolah seringkali kekurangan anggaran untuk memberikan dukungan yang memadai bagi siswa ABK. Masih banyak sekolah inklusif yang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang pembelajaran siswa ABK. Misalnya, pada salah satu sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) inklusi di Indonesia belum memiliki ruang khusus untuk ABK, seperti ruang khusus anak tunarungu, ruang terapi, ruang khusus anak tunanetra, dan sebagainya. Beberapa kasus sekolah inklusi telah tersedia sarana dan prasarana tersebut, tetapi kualitas belum memenuhi standar serta pemeliharaan yang belum optimal. Akan tetapi, bagaimanapun sarana dan prasarana harus tersedia di sekolah untuk mendukung pembelajaran siswa dengan berkebutuhan khusus (Amaliani et al., 2024). Kurangnya Pelatihan, Guru dan staf sekolah mungkin tidak memiliki pelatihan yang memadai mengenai strategi pendidikan komprehensif. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami kebutuhan individu siswa berkebutuhan khusus atau cara terbaik untuk mendukung pembelajaran mereka. Realitanya kinerja guru yang belum optimal dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif. Menurut Musfira, Karlina and Susanti (2022)


122 menyimpulkan bahwa hal tersebut dapat dilihat dari temuan di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri daerah Yogyakarta sebagai berikut: 1) Guru belum membuat profil siswa ABK; 2) Guru brelum membuat RPP bagi siswa ABK; 3) Guru belum membuat program pembelajaran individual (PPI) bagi siswa ABK. Stigma dan Diskriminasi, budaya yang merendahkan dan membatasi masih menjadi tantangan utama dalam mencapai pendidikan inklusif. Siswa berkebutuhan khusus seringkali mengalami prasangka sosial dan diskriminasi dari teman sebayanya dan masyarakat pada umumnya. Tidak hanya mengalami bullying dan diskriminasi di dalam lingkungan sekolah, masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga. Dalam mengatasi hal tersebut tidak hanya bisa dilakukan dengan fokus pada kebijakan sekolah inklusif. Hal ini karena memiliki dampak yang terbatas dan hanya fokus pada masyarakat di lingkungan sekolah. Prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sosial ABK harus diupayakan tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di masyarakat luas (Jesslin and Kurniawati, 2020). Kesulitan Pengelolaan Kelas, mengelola kelas inklusif dengan siswa dengan beragam kebutuhan menjadi tantangan bagi guru. Memastikan bahwa semua siswa menerima perhatian dan dukungan yang mereka perlukan sambil mempertahankan alur pembelajaran adalah tugas yang kompleks. Guru menjaga dan menciptakan kondisi agar proses belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien, termasuk membangun dan mempererat hubungan guru-siswa serta menetapkan aturan-aturan dalam


123 kegiatan kelompok yang produktif (Sujarwanto et al., 2022). Kehadiran siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi telah mempengaruhi perubahan arah dan manajemen di sekolah serta pengelolaan kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif bagi anak berkebutuhan khusus memerlukan perubahan dan adaptasi. Pembelajaran yang bermakna tidak hanya sekedar mengajar, menyampaikan informasi dan pesan, tetapi juga tentang pengembangan pribadi siswa, interaksi sosial, dan transmisi sikap dan nilai. Oleh karena itu, pengelolaan kelas secara menyeluruh dimulai dari aspek perencanaan seperti proses pembelajaran, metode, strategi dan pendekatan, serta penilaian pembelajaran yang informatif, positif, kreatif, kolaboratif dan menyenangkan. Meskipun terdapat banyak kendala yang harus diatasi, penting untuk diingat bahwa pendidikan inklusif memiliki potensi besar untuk memperkaya pengalaman pendidikan bagi semua dan mendorong kesetaraan, keberagaman, dan pemahaman di seluruh komunitas pendidikan. Melalui upaya bersama seluruh pemangku kepentingan, hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dan visi pendidikan inklusif yang inklusif dan memberdayakan dapat terwujud. Berspekulasi terhadap pendekatan inovatif dalam pendidikan inklusif merupakan sebuah eksplorasi mendalam mengenai cara-cara baru untuk menerapkan pendidikan inklusif. Melalui pendekatan inovatif, kita


124 dapat membayangkan keterbaharuan dalam pendidikan inklusif di sekolah. Pendidikan yang mengedepankan teknologi, kolaborasi, dan penekanan pada kebutuhan individu menjadi fokus utama dalam desain sistem pendidikan yang holistik dan lebih responsif. Pendidikan inklusif saat ini terus mengalami perkembagan dalam mencari pendekatan inovatif. Tujuannya untuk memastikan setiap individu, termasuk ABK mendapatkan akses dan manfaat dari pendidikan. Strategi pendekatan inovatif penting bagi pendidikan inklusi. Terlebih di era saat ini perkembangan zaman yang melaju sangat pesat. Beberapa alasan yang menyebabkan pendekatan inovatif penting bagi pendidikan inklusi saat ini, sebab pendidikan inovatif memungkinkan pendidikan menyesuaikan diri dengan kebutuhan siswa tersebut, sehingga siswa mendapatkan dukungan untuk mencapai potensi yang dimilikinya. Selain itu, pendidikan inklusi dapat menjadi luas dan lebih menyeluruh dengan mengadopsi pendekatan inovatif. Hal tersebut akan menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung siswa dengan berbagai latar belakang, kebutuhan, potensi, sehingga mempromosikan keadilan pendidikan yang lebih besar untuk masa depan. Pendidikan inklusif mempersiapkan siswa untuk berhasil dalam masyarakat yang berubah dan beragam. Hal ini membantu siswa mengembangkan keterampilan adaptif dan pembelajaran seumur hidup yang penting untuk menghadapi tantangan masa depan. Oleh karena itu, pendekatan inovatif sangat penting tidak hanya untuk memajukan pendidikan inklusif, namun juga untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif dan berkelanjutan untuk semua.


125 Beberapa spekulasi pendekatan ini dapat menjadi strategi inovatif dalam pendidikan inklusif, antara lain: 1) Teknologi Adaptif, memanfaatkan teknologi seperti pembelajaran mesin dan Artificial Intelligence (AI) untuk menciptakan platform pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Hal ini memungkinkan pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan, minat, dan gaya belajar setiap siswa. Selain itu, penggunaan teknologi juga dapat menjadi wadah bahan aduan bagi siswa kepada guru atau pihak sekolah. 2) Pembelajaran berbasis proyek, pendekatan ini memungkinkan siswa untuk belajar melalui proyek-proyek yang kontekstual dan menantang, serta memanfaatkan kekuatan mereka sendiri dalam lingkungan yang mendukung. Terlebih khususnya siswa ABK yang lebih tenang dan aktif dalam pembelajaran berbasis proyek (Nurmawanti et al., 2020). 3) Pembelajaran Berbasis Game, menggunakan elemen permainan dalam kurikulum pendidikan inklusif untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa. Permainan dapat dirancang agar dapat diakses oleh semua siswa, termasuk siswa ABK. Penelitian yang dilakukan oleh Mareta, Adisusilo and Saurina, (2017) menyatakan bahwa dengan penggunaan pembelajaran berbasis game, siswa ABK lebih tertarik mengikuti pembelajaran. Setiap siswa berkebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas seperti siswa lainnya. Pernyataan ini diatur oleh hukum Indonesia, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1. Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi ‚Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya


126 negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.‛. Hambatan terhadap pendidikan inklusif terutama tercermin dalam hambatan budaya dalam penerapan pendidikan inklusif, hambatan dalam bidang kurikulum, ketidakpastian pembelajaran siswa, dan hambatan finansial. Strategi pembelajaran inovatif penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Strategi inovatif seperti pembelajaran kreatif, model inklusif dan peran guru berperan penting dalam pendidikan inklusif.


127 Amaliani, R. et al. (2024) ‘Sarana dan Prasarana Sekolah Inklusi ‚ Kunci Sukses Pendidikan Inklusi ‚’, Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, 10(1), pp. 361–366. Ainscow, M., Slee, R. and Best, M. (2019) ‘Editorial: the Salamanca Statement: 25 years on’, International Journal of Inclusive Education, 23(7–8), pp. 671–676. Available at: https://doi.org/10.1080/13603116.2019.1622800. Andini, D.W. et al. (2020) Pengembangan Kurikulum dan Impelemntasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Al-Shaboul, Y., Al-Azaizeh, M. and Al-Dosari, N. (2021) ‘Differentiated Instruction between Application and Constraints: Teachers’ Perspective’, European Journal of Educational Research, volume-10-2021(volume-10- issue-1-january-2021), pp. 127–143. Available at: https://doi.org/10.12973/eu-jer.10.1.127. Alves, I. et al. (2024) ‘Practitioner Enquiry as Lifelong Teacher Education for Inclusion’, Education Sciences, 14(3). Available at: https://doi.org/10.3390/educsci14030268. Aman Mezmir, E. (2020) ‘Qualitative Data Analysis: An Overview of Data Reduction, Data Display and Interpretation’, Research on Humanities and Social Sciences [Preprint]. Available at: https://doi.org/10.7176/RHSS/10-21-02.


128 Amaruddn, M. T., Setiawan, E., Kastrena, E., Amrulloh, A., Amalia, E. F., Pratama, A. K., & Rahadian, A. (2021). Mengeksplorasi Minat Siswa Penyandang Disabilitas Terhadap Aktivitas Fisik di masa Pandemi Covid-19. Jurnal Patriot. https://doi.org/10.24036/patriot.v3i4.820 Asriningtyas and Rosmalina (2015) ‘Sikap Guru Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di SD Inklusif SeKabupaten Purbalingga’, UNY [Preprint]. Andajani, K. (2022) ‘Modul Pembelajaran Berdiferensiasi’, Mata Kuliah Inti Seminar Pendidikan Profesi Guru, 2. Artiles, A.J. & Kozleski, E.B., 2007a, Beyond convictions: Interrogating culture, history, and power in inclusive education, vol. 84, Article ·. Artiles, A.J. & Kozleski, E.B., 2007b, Beyond convictions: Interrogating culture, history, and power in inclusive education, vol. 84, Article ·. Ariastuti, R. et al. (2016) ‘53047-ID-optimalisasi-peran-sekolahinklusi’, 1(1), pp. 38–47. Budianto, A.A. (2023) ‘Pentingnya Pendidikan Inklusif: Menciptakan Lingkungan Belajar Yang Ramah Bagi Semua Siswa, Jurnal Kajian Pendidikan dan Psikologi,1(1), pp.1-11. Budiyanto (2017) Pengantat Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Prenadamedia Group. Bergmark, U., & K.A.M., 2018, ‘Teacher educators’ perspectives on research in teacher education in Sweden. ’, 44(5), 675–690.


129 Borg, S., 2013, Teacher research in language teaching: A critical analysis. Banks, J. A (2015). Cultural diversity and education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.). Routledge, Gay, G (2018). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice (3rd ed.) Teachers College Press. Corrina Goddard, D.E., 2018, ‘Primary Pre-Service Teachers’ A eachers’ Attitudes T ttitudes Towards Inclusion Acr ds Inclusion Across the Training Years ’, Australian Journal of Teacher Education, 43(6). Coutsocostas, G. & Alborz, A., 2010, ‘Greek mainstream secondary school teachers’ perceptions of inclusive education and of having pupils with complex learning disabilities in the classroom/school’, European Journal of Special Needs Education, 25(2), 149–164. Christodoulidou, P. and Sidiropoulou, C. (2024) ‘Teachers’ Experiences of Online/Distance Teaching and Learning during the COVID-19 Pandemic in Mainstream Classrooms with Vulnerable Students in Cyprus’, Education Sciences, 14(2). Available at: https://doi.org/10.3390/educsci14020189. Chima Abimbola Eden, Onyebuchi Nneamaka Chisom, & Dewsbury, B., & Brame, C. J. (2019). Inclusive teaching. CBE Life Sciences Education, 18(2). https://doi.org/10.1187/cbe.19-01-0021


130 Darma, I.P. & Rusyidi, B., 2015, ‘Pelaksanaan Sekolah Inklusi Di Indonesia’, Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2). Forlin, C. & Chambers, D., 2011, ‘Teacher preparation for inclusive education: increasing knowledge but raising concerns’, Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 39(1), 17–32. Fu, Y. et al. (2024) ‘Assessment and evaluation of online education and virtual simulation technology in dental education: a cross-sectional survey’, BMC Medical Education, 24(1). Available at: https://doi.org/10.1186/s12909-024-05171-1. Fernández-Batanero, J.M. et al. (2022) ‘Assistive technology for the inclusion of students with disabilities: a systematic review’, Educational Technology Research and Development, 70(5), pp. 1911–1930. Available at: https://doi.org/10.1007/s11423-022-10127-7. Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri Pada Orang Tua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi. https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v4i1.3925 Frank, L., & Mohamed, S. (2024). Continuous Learning and Adaptation: Fostering a Culture of Learning and Experimentation through the CR Model in Strategic Planning Processes. https://www.researchgate.net/publication/379270178 Florian, L. (2008) ‘Special or inclusive education: Future trends’, British Journal of Special Education, 35(4), p.


131 202. Available at: https://doi.org/10.1111/j.1467- 8578.2008.00402.x. Gay, G. (2018). Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. In Teachers College Press. Teachers College Press. Garnida, D. (2015) Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: Refika Aditama. Gatt, G. and Attard, N.J. (2023) ‘Multimodal teaching methods for students in dentistry: a replacement for traditional teaching or a valuable addition? A three-year prospective cohort study’, BMC Medical Education, 23(1). Available at: https://doi.org/10.1186/s12909-023- 04377-z. Graham, L. J. (2018). Learning Styles and Inclusive Pedagogy: A Perspective from Neurodiversity. Australian Journal of Teacher Education. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002716 218761580 Gheyssens, E. et al. (2022) ‘Differentiated instruction: the diversity of teachers’ philosophy and praxis to adapt teaching to students’ interests, readiness and learning profiles’, International Journal of Inclusive Education, 26(14), pp. 1383–1400. Available at: https://doi.org/10.1080/13603116.2020.1812739. Hellwig, A.F.J. et al. (2022) ‘Multimodality and English for Special Purposes: Signification and Transduction in Architecture and Civil Engineering Models’, Frontiers in Communication, 7. Available at: https://doi.org/10.3389/fcomm.2022.901719.


132 Hevener, Natalie Kaufman. 1983. ‚Convention Against Discrimination in Education.‛ In International Law And The Status Of Women. Routledge. Heijnen Maathuis, & Inclusive Education Working Group (IEWG). (2016). Inclusive Education: What, Why, And How A Handbook for Program Implementers. Horvat, L., Horey, D., Romios, P., & Kis-Rigo, J. (2014). Cultural competence education for health professionals. In Cochrane Database of Systematic Reviews (Vol. 2014, Issue 5). John Wiley and Sons Ltd. https://doi.org/10.1002/14651858.CD009405.pub2 Hurlock Elizabet (2015) Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Hidup . JAKARTA: ERLANGGA. Hanifah, D. S., Haer, A. B., Widuri, S., & Santoso, M. B. (2022). TANTANGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM MENJALANI PENDIDIKAN INKLUSI DI TINGKAT SEKOLAH DASAR. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM). https://doi.org/10.24198/jppm.v2i3.37833 Hikmawati, E., & Rusmiyati., C. (2011). Kebutuhan pelayanan sosial penyandang cacat. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 16(1). Irwanto. (2016). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah Desk-Review. Medical Journal of Australia. Istadi, I. (2016). Mendidik dengan cinta. Journal of School Psychology.


133 Idowu Sulaimon Adeniyi. (2024). Cultural Competence In Education: Strategies For Fostering Inclusivity And Diversity Awareness. International Journal of Applied Research in Social Sciences, 6(3), 383–392. https://doi.org/10.51594/ijarss.v6i3.895 Ineu Herawati, N. (2005) Pendidikan Inklusif, EduHumaiora : Jurnal Pendidikan Dasar. Available at: http://joi.jlc.jst.go.jp/JST.Journalarchive/materia1994/ 44.24?from=CrossRef. Jariono, G., Nurhidayat, Sudarmanto, E., Kurniawan, A. T., Triadi, C., & Anisa, M. N. (2021). Pendampingan dan pelatihan Peran Guru Dalam Mengurangi Perilaku Hiperaktif Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB Negeri Sukoharjo. Panrannuangku Jurnal Pengabdian Masyarakat. https://doi.org/10.35877/panrannuangku478 Jesslin, J. and Kurniawati, F. (2020) ‘Perspektif Orangtua terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif’, JPI (Jurnal Pendidikan Inklusi), 3(2), p. 72. doi: 10.26740/inklusi.v3n2.p72-91. Kazmi, S.F., 2010, Identification of Learning Difficulties among Children Studying in Public Sector Schools. Komang Arie Suwastini, N. (2021) ‘DIFFERENTIATED INSTRUCTION FOR EFL CLASSROOM’, TELL-US Journal, 7(1), pp. 14–41. Available at: https://doi.org/10.22202/tus.2021.v7i1.4719. Khairunisa Rani, Rafikayati, A. and Jauhari, M.N. (2018) ‘Keterlibatan Orangtua Dalam Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus’, Jurnal Abadimas Adi Buana,


134 2(1), pp. 55–64. Available at: https://doi.org/10.36456/abadimas.v2.i1.a1636. Khaerunisa, H. and Rasmitadila, R. (2023) ‘Pembelajaran Inklusif_ Membangun Kesetaraan Di Dalam Kelas Pada Masa Pencabutan PPKM’, Karimah Tauhid, 2(5), pp. 2234–2244. Kondo, S. et al. (2023) ‘Early Childhood Educators’ Readiness Embrace Inclusion for Preschool-Age Children with Disabilities in California’, The Journal of Special Education Apprenticeship, 12(2), pp. 28–46. Available at: https://doi.org/10.58729/2167-3454.1169. Lister, K. et al. (2022) ‘Inclusion in Uncertain Times: Changes in Practices, Perceptions, and Attitudes around Accessibility and Inclusive Practice in Higher Education’, Education Sciences, 12(8). Available at: https://doi.org/10.3390/educsci12080571. Loughran, J., 2014, Developing understandings of practice: Science teachers’ learning journey. Science Teacher Education, 2nd edn., vol. 25. Magnuson, K. A., & Waldfogel, J. (2005). The Role of Early Childhood Education in Addressing Socioeconomic Inequality: A Review of the Evidence and Recommendations for Policy. Social Policy Report. https://srcd.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.175 1-2409.2005.tb00355.x Miesera, S., DeVries, J.M., Jungjohann, J. & Gebhardt, M., 2019, ‘Correlation between attitudes, concerns, selfefficacy and teaching intentions in inclusive education evidence from German pre-service teachers using


135 international scales’, Journal of Research in Special Educational Needs, 19(2), 103–114. Muryanti, E. and Herman, Y. (2021) ‘Studi Perbandingan Sistem Pendidikan Dasar di Indonesia dan Finlandia’, Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(3), pp. 1146–1156. Available at: https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i3.1696. Moore Ramirez, S. and Lynch, Y. (2024) ‘‚Feeling our way around in the dark‛ AAC team collaboration in the context of service change: Special education teachers’ perceptions’, Child Language Teaching and Therapy, 40(1), pp. 39–55. Available at: https://doi.org/10.1177/02656590241228422. Moriña, A. (2017) ‘Inclusive education in higher education: challenges and opportunities’, European Journal of Special Needs Education, 32(1), pp. 3–17. Available at: https://doi.org/10.1080/08856257.2016.1254964. Mulyawati, Y. (2022) ‘Differentiation Learning to Improve Students’ Potential in Elementary School Article Info ABSTRACT’, Jurnal Ilmiah Pendidikan, 06(01), pp. 68– 78. Available at: https://doi.org/10.55215/pedagonal.v5i2.4485. Mareta, N., Adisusilo, A. K. and Saurina, N. (2017) ‘Game Pembelajaran Pengenalan Huruf Untuk Anak Inklusi (Autis) Sekolah Dasar’, Melek IT : Information Technology Journal, 3(2), pp. 59–64. Available at: https://melekitif.uwks.ac.id/melekit/article/view/102 Musfira, R. S., Karlina, N. and Susanti, E. (2022) ‘Pengaruh Pelatihan Kompetensi Tenaga Pendidik Pendidikan


136 Inklusif Terhadap Kinerja Guru Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Smpn 30 Bandung’, JANE - Jurnal Administrasi Negara, 13(2), p. 185. doi: 10.24198/jane.v13i2.28703. Maslow, A. H. (1984). Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia. Pustaka Binaman Pressindo. Mastropieri, M. A., & Scruggs, T. E. (2010). The Inclusive Classroom: Strategies for Effective Differentiated Instruction. Prentice Hall PTR. MacPherson, Stewart. 1989. ‚The Convention on the Rights of the Child.‛ Social Policy & Administration 23 (1): 99– 101. https://doi.org/10.1111/j.1467-9515.1989.tb00500.x. Nations (UN), United. 2009. ‚Convention on the Rights of Persons with Disabilities.‛ Jahrbuch Für Wissenschaft Und Ethik 14 (1): 203–26. https://doi.org/10.1515/9783110208856.203. Nurhakim, Y. F. (2023). Sikap Guru Dalam Menghadapi Siswa Yang Berkebutuhan Khusus Di Kelas 2 SDN Jelegong 01 Rancaekek. Lencana: Jurnal Inovasi Ilmu Pendidikan. Ni’matuzahroh and Nurhamida, Y. (2016) Individu Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Inklusif. Malang: UMM Press. Nurmawanti, I. et al. (2020) ‘Problematika dan Tindakan Guru Dalam Menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus di MI NW Tanak Beak’, Jurnal Progres Pendidikan, 1(2), pp. 72–79.


137 Nyoman Satyarini, P., Nyoman Padmadewi, N. and Hery Santosa, M. (2022) ‘The Implementation of Teaching English Using Differentiated Instruction in Senior High School during Covid-19 Pandemic’, Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha, 10(1), pp. 46–52. Available at: https://doi.org/10.23887/jpbi.v10. Prabawani, B., Hadi, S.P., Zen, I.S., Hapsari, N.R. & Ainuddin, I., 2022, ‘Systems Thinking and Leadership of Teachers in Education for Sustainable Development: A Scale Development’, Sustainability (Switzerland), 14(6). Puustinen, M., Säntti, J., Koski, A. & Tammi, T., 2018, ‘Teaching: A practical or research-based profession? Teacher candidates’ approaches to research-based teacher education’, Teaching and Teacher Education, 74, 170–179. Pokhriyal, R., 2020. Handbook of Inclusive Education. 1 ed. Delhi: Central Board of Secondary Education. Pozas, M., Letzel, V. and Schneider, C. (2020) ‘Teachers and differentiated instruction: exploring differentiation practices to address student diversity’, Journal of Research in Special Educational Needs, 20(3), pp. 217– 230. Available at: https://doi.org/10.1111/1471- 3802.12481. Poon, K.K. and Lim, A.K. (2012) ‘Current provision, recent developments, and future directions for early childhood intervention in Singapore’, Infants and Young Children, 25(4), pp. 323–333. Available at: https://doi.org/10.1097/IYC.0b013e31826615f9.


138 Putri, A. M., & Lutfianawati., D. (2021). PSIKOEDUKASI PENTINGNYA PENERIMAAN ORANG TUA DALAM PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. JPM (Jurnal Perak Malahayati). Riyadi, S., Nuswantoro, P., Merakati, I., Sihombing, I., Isma, I., & Abidin, D. (2023). Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia Dalam Konteks Pendidikan Inklusif Di Sekolah. Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran (JRPP). Raj, N.S. and Renumol, V.G. (2024) ‘An improved adaptive learning path recommendation model driven by realtime learning analytics’, Journal of Computers in Education, 11(1), pp. 121–148. Available at: https://doi.org/10.1007/s40692-022-00250-y. Roy, A. L., & Stange, R. D. (2018). Addressing Socioeconomic Inequality in Education: Strategies and Challenges. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002716 218761580 Reardon, S. F., & Valentino, R. (2013). Strategies for Closing the Achievement Gap: Lessons from California's Public Schools. Educational Evaluation and Policy Analysis. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.3102/0162373 713498496 Ramirez-Montoya, M.S. et al. (2024) ‘Inclusive Digital Education on Open Platforms: A Case Study of the Complexity of the Future of Education’, Computers in the Schools, pp. 1–18. Available at:


139 https://doi.org/10.1080/07380569.2024.2322164. Rapp, A.C. and Corral-Granados, A. (2024) ‘Understanding inclusive education – a theoretical contribution from system theory and the constructionist perspective’, International Journal of Inclusive Education, 28(4), pp. 423–439. Available at: https://doi.org/10.1080/13603116.2021.1946725. Stubbs, S. (2008) ‘Inclusive education’, Where there are few resources. Oslo, The Atlas Alliance Publ [Preprint]. Salend, S.J. (2011) Creating Inclusive Classrooms: Effective and Reflective Practices. 7th Editio. New Jersey: Pearson. Schwab, S., Sharma, U. & Hoffmann, L., 2022, ‘How inclusive are the teaching practices of my German, Maths and English teachers? – psychometric properties of a newly developed scale to assess personalisation and differentiation in teaching practices’, International Journal of Inclusive Education, 26(1), 61–76. Sharma, U., Loreman, T. & Forlin, C., 2012, ‘Measuring teacher efficacy to implement inclusive practices’, Journal of Research in Special Educational Needs, 12(1), 12–21. Stoll, L., B.R., M.A., W.M., & T.S., 2006, ‘Professional learning communities: A review of the literature’, Journal of Educational Change, 7(4), 221–258. Shelley, E. T. (2003). Health psychology: International edition. Journal of Reproductive and Infant Psychology. Sab’na (2019) ‘Kolaborasi Orang Tua Dan Guru dalam Pendidikan Inklusif’, Jurnal Pendidikan Inklusi, pp. 116–130. Available at:


140 https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/view /30951/13339. Sahrudin, M., Djafri, N. and Suking, A. (2023) ‘Pengelolaan Pendidikan Inklusif’, Jambura Journal of Educational Management, 4(1), pp. 162–179. Sutrisno, L.T., Muhtar, T. and Herlambang, Y.T. (2023) ‘Efektivitas Pembelajaran Berdiferensiasi Sebagai Sebuah Pendekatan untuk Kemerdekaan’, DWIJA CENDEKIA: Jurnal Riset Pedagogik, 7(2). Available at: https://doi.org/10.20961/jdc.v7i2.76475. Stubbs, S., & Lewis, I. (2008). Inclusive Education Where there are few resources. www.atlas-alliansen.no Susie Broquist Lundegård, Germund Sellgren, &Mathias Demetriades. (2020). Belajar Cara Hidup Berkelanjutan Learning Sustainable Ways. Sujarwanto et al. (2022) Workbook: Mengelola Stres pada Guru (Sebuah Aplikasi dalam Pembelajaran Transformasional di Sekolah Inklusi). Surabaya: ciptapublishing. Sue Stubbs (2002) ‘ Inclusif Education: Where There Are Few Resources’, Pendidikan Luar Biasa UPI. [Preprint]. Todaro, M. P and S. C. Smith (2006) Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Alih Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tarnoto, N. (2020) ‘Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD’, Humanitas, 13(1), pp. 274–282. Tichá, R., 2018. Inclusive Education Strategies: A Textbook. 1 ed. USA: UNICEF Armenia.


Click to View FlipBook Version