The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Fikih Muamalah ini mengupas tentang hukum
bermuamalah dalam mengatur hubungan antara individu dengan sang pencipta dan juga dengan masyarakat sosial secara keseluruhan, yang tetap berada pada
koridor syari’at dan landasan hukum yang jelas
dari perspektif fikih.
Buku ini terdiri dari 12 bab, yaitu:
1) Epistimologi dan Landasan Fiqih Muamalah,
2) Ragam Akad,
3) Motivasi Bertransaksi,
4) Khiyar dan Implementasi dalam Bisnis Syariah,
5) Serah Terima Objek Akad,
6) Riba Bank dalam Pandangan Ulama’,
7) Gharar dan Maysir dalam Muamalah,
8) Rah (Gadai) dalam Muamalah,
9) Mengenal Waqaf: Konsep dan Praktiknya di Indonesia, 10) Membedakan Hadiah, Hibah dan Wasiat,
11) Bagi Hasil: Pengertian, Konsep,
Model dan Implementasi,
12) Substansi Hukum Adad dan Muwa’adah.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2023-12-13 22:31:19

Fikih Muamalah

Buku Fikih Muamalah ini mengupas tentang hukum
bermuamalah dalam mengatur hubungan antara individu dengan sang pencipta dan juga dengan masyarakat sosial secara keseluruhan, yang tetap berada pada
koridor syari’at dan landasan hukum yang jelas
dari perspektif fikih.
Buku ini terdiri dari 12 bab, yaitu:
1) Epistimologi dan Landasan Fiqih Muamalah,
2) Ragam Akad,
3) Motivasi Bertransaksi,
4) Khiyar dan Implementasi dalam Bisnis Syariah,
5) Serah Terima Objek Akad,
6) Riba Bank dalam Pandangan Ulama’,
7) Gharar dan Maysir dalam Muamalah,
8) Rah (Gadai) dalam Muamalah,
9) Mengenal Waqaf: Konsep dan Praktiknya di Indonesia, 10) Membedakan Hadiah, Hibah dan Wasiat,
11) Bagi Hasil: Pengertian, Konsep,
Model dan Implementasi,
12) Substansi Hukum Adad dan Muwa’adah.

| 89 c. Tidak ada bentuk saling kebermanfaatan dalam transaksi ini. Karena pihak yang ada adalah pihak yang menang dan pihak yang kalah. Pihak yang menang akan menguasai dan mengambil hak pemain yang kalah. d. Dari awal, transaksi ini diniatkan untuk mengadu nasib (Hilyatin, 2021) Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa gharar dan maysir merupakan suatu tindakan dalam suatu transaksi yang mengandung ketidakjelasan, menyebabkan kerugian pada salah satu pihak dan semata dilakukan atas dasar mengundi nasib. Transaksi ini dilarang dalam Islam karena dilakukan bukan untuk mencari karunia Allah dan kemaslahatan individu dan masyarakat sebagaimana tuntunan syariat yang telah Allah turunkan dalam hukumNya (Nabilah and Hayah, 2022). Dengan kemajuan zaman dan jenis transaksi yang semakin berkembangan, berikut dipaparkan beberapa bentuk transaksi ekonomi masa kini yang patut untuk diwaspadai mengandung unsur gharar dan maysir : 1. Perbankan Hal ini perlu diperhatikan pada sistem bunga bank baik dalam transaksi simpanan maupun pinjaman. 2. Asuransi Gharar pada asuransi dapat terjadi apabila kedua pihak yang bertransaksi saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Kontrak yang dibuat hanya


90 | berlandaskan kepada ihtimal (pengandaian) yang tentu saja mengandung ketidakjelasan. Ketidakjelasan pada transaksi sangat dilarang dalam Islam. Secara syariah, harus jelas kuantitas berapa yang dibayarkan dan berapa yang akan diterima. Gharar disini adalah gharar katsir, karena kecelakaan menjadi rukun dalam transaksi asuransi dan hal tersebut tidak pasti (Tuah, 2022). Sementara mayoritas ulama mengkategorikan gharar yang dapat dimaafkan apabila mengandung syarat bahwa gharar tersebut kecil, barang yang dijadikan objek transaksi merupakan kebutuhan pokok di kalangan masyarakat dalam arti sangat diperlukan dan faktor masyaqqah (kesulitan) yang dilegitimasi syariat (Hulwati, 2009). 3. Saham Sebab larangan gharar yang ada pada transaksi bursa saham ini disebabkan oleh transaksi yang terjadi bukan jual beli sebagaimana lazimnya. Hal ini dikarenakan tidak ada serah terima pada transaksi tersebut. Selain ketidakjelasan serah terima barang, keberadaan barang yang ditransaksikan dalam saham ini pun mengandung ketidakjelasan sedangkan pihak yang membeli menyerahkan uang pembayaran lebih dahulu. Kemudian barang yang belum jelas bentuknya ini, kebanyakan pada saham dijual kembali sebelum diterima oleh yang punya. Praktek monopoli juga sering terjadi pada transaksi ini. 4. Judi Online Perihal judi online tentu tidak menjadi suatu hal yang asing di kalangan masyarakat hingga praktek


| 91 maysir ini menjamur dalam banyak hal, seperti permainan – permainan yang banyak terjadi di tengah masyarakat baik online maupun tidak, seperti saat menonton bola, kartu dan lain sebagainya (Tuah, 2022).


92 | Ss[lc’[n Imf[g g_g_lchn[be[h og[nhs[ moj[s[ nifiha menolong yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah Rahn1 Secara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama, sedangkan al-habsberarti menahan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Makna gadai (rahn) dalam bahasa 1 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,(Jakarta: Lembaga Studi dan Kemasyarakatan (LSIK),2004), Cet. Ke-3, hlm. 78.


| 93 hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan2 Rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.3 Sedangkan menurut istilah syara‟, yang dimaksud dengan rahn adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.4 Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, ulama Mazhab maliki mendifinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendifinisikan rahn dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. S_^[hae[h Uf[g[ M[tb[\ Ss[`c’c ^[h M[tb[\ H[h\[fc mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan 2 Rahmat Syafi‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 159. 3 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 251. 4 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada, 2005), hlm. 88


94 | pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutang itu.5 Dalam sebuah hadits rasulullah SAW bersabda: ْ ي َ ع َ ة َ ِش ائ َ ِ َ ع َ ر ُ ا اهلل َ ُ ْ ٌ َ ع ت ْ َ ام َ ى ق َ ر َ ت ْ ا ُ ِ سُ َ ِ ر ى اهلل ل َ ُ ٍِ اهلل ْ ي َ ل َ ع َ ه ن سَ َ و ْ ِوي ٍ ِِ ي ّ ُ ُ َ ا ً او َ ع َ ُ ٍ َ ٌ َ َ َ ر َ و ُ ٍ َ ع ْ ِ ر Artinya : ‚Acms[b l.[ \_le[n[ \[bq[ l[mofoff[b g_g\_fc makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya \[do \_mc‛. (H.R. Boeb[lc).6 Abdurrahman Al-Jazairi mendefinisikan gadai dengan: امشربد ي ًظر ف ى وامية قيىة ل ها عين وثي ةجعل ع "Menjadikan nilai pada suatu barang yang bersifat harta benda pada pandangan syar'i sebagai jaminan hutang".7 Wahbah Zuhaili mendefinisikan gadai dengan : وٌٍ هاستيفاؤ هكي ب حق ّء خبس Menjaminkan sesuatu yang dapat dijadikan pembayaran bon[ha ‚.8 5 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta : Yayasan Adikarya IKAPI,2007), Cet. Ke-3, hlm.76. 6 Imam Az Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, (Jakarta: Mizan,2001), Cet ke-5, hlm. 391. 7 Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah Juz II, hlm. 319. 8 Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu , Darul Al-fikr : Damaskus, Suriah, 2002 / 1422 H, hlm. 4207


| 95 1. Al Qur‟an Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah berfirman : ِ ن إ َ ه و ُ ج ُ ى َ ل َ ع ر َ ف ه سَ َ م َ و ْ وا ُ ِ د َ ا ا ِ َ ي ك َ َ ِ ر َ ف ة ِطَ ُ ب ِ ن و َ ف َ ِوي َ ع أ َ هب ُ ك ا ظُ عظ َ ب ِ ّ َ ُ ني َ ِذيٱ ف ٱ ل َ ِىي ُ ؤث ُ ٍ َ ج َ َ و َ أ ِ ق ج َ مي َ ٱ و َ هلل ُ ٍ ب َ ا ر َ ل َ و ْ ِا ُ ى ُ كج َ ٱ ث َ ة َ د َ ُ ي مش َ و َ ا و َ ىُ ُ كج َ ٓ ُ ٍ ً ِ َ ِ ه ف اث َ ء ُ ٍ ُ نب َ ق َ ٱو ُ ا هلل َ ِى ب َ ِن ُ ن َ عى َ ِيه ث ن َ ع Alnchs[ : ‚Jce[ e[go ^[f[g j_ld[f[h[h (^[h bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila m[no m[g[ f[ch nc^[e j_l][s[ g_gj_l][s[c.‛ (QS. AfBaqarah : 283)9 9 Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 49.


96 | Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang /dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status alMarhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu. 2. Hadist Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa : ْ ي َ ع َ ة َ ِش ائ َ ِ َ ع َ ر ُ ا اهلل َ ُ ْ ٌ َ ع ت ْ َ ام َ ى ق َ ر َ ت ْ ا ُ ِ سُ َ ِ ر ى اهلل ل َ ُ ٍِ اهلل ْ ي َ ل َ ع َ ه ن سَ َ و ْ ِوي ٍ ِِ ي ّ ُ ُ َ ا ً او َ ع َ ُ ٍ َ ٌ َ َ َ ر َ و ُ ٍ َ ع ْ ِ ر Alnchs[ : ‚Acms[b l.[ \_le[n[ \[bq[ l[mofoff[b membeli makanan dari seorang Yahudi dan g_hd[gche[h e_j[^[hs[ \[do \_mc‛. (H.R. Bukhari).10 Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW. Merahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah. Berdasarkan ayat dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang 10 Ibid


| 97 terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.11 3. Ijma Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.12 1. Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan marhun bih. Rahin adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah orang yang menerima gadai. Marhun atau rahn adalah harta yang 11 Ibnu Qudamah, Al-Mugni, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, hlm. 337 12 Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), Cet.I, hlm. 52.


98 | digadaikan untuk menjamin utang. Marhun bih adalah utang. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu: aqid, shighat, marhun, dan marhun bih. Ada beberapa syarat yang terkair dengan gadai. a. Syarat Aqid Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan mumayyiz. b. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat beli, karena gadai merupakan akad maliyah.13 c. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut : 13 Ibid, hlm. 53


| 99 1) Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada maka akad gadai tidak sah. 2) Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta. 3) Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟. sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk melunasi utangnya. 4) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual beli. 5) Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik orang lain tanpa ijin pemiliknya. 6) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu. 7) Barang yang digadaikan harus sekaligus bersamasama dengan pokoknya (lainnya). Tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai pohonnya. 8) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bukan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, barang milik Bersama boleh digadaikan.14 14 Nasrun Haroen, Op.Cit. hlm. 254


100 | Uf[g[ Ss[`c’cs[b \_lj_h^[j[n \[bq[ j_a[^[c[h ^[j[n dinyatakan sah apabila memenuhi tiga persyaratan, yaitu : 1. Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan 2. Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang seperti mushaf 3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan hutang gadai. Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut: 1. Akad Qard Al-Hasan. Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menginginkan mengadaikan barang untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) telah menjaga atau merawat barang-barang gadaian (marhun) 2. Akad Mudharabah. Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha. Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang pinjam terlunasi.


| 101 3. Ae[^ \[c’ Mok[ss[^[b. Untuk sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan dapat dimanfaatkan. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.15 1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan) a. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murthahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat Ulama Hanabilah. b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murthahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya. c. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang 15 Ibid. hlm. 86


102 | berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin pada murtahin. 2. Pemanfaatan murtahin atas borg a. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. b. Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau diisyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama safiiyah. c. Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak dizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh memanfaatkan kecuali atas izin rahin.16 Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayara utang telah terlewati maka si berhutang berkewajiban untuk membayar hutangnya. Namun seandainya si berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberi izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang 16 Ibid, hlm. 94


| 103 gadaian. Dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa si pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut. Apabila batas waktu pegadaian berakhir dan hutang harus dibayar, pemegang gadai dapat mengajukan permohonan kepada lembaga peradilan agar gadaian itu dijual dan utang akan dibayar dengan hasil penjualan barang tanggungan tersebut. Untuk menghindari kesulitan dan pembiayaan, maka pengurus pegadaian mempunyai wakil yang memiliki kekuasaan untuk bertindak dan dapat dipercayai untuk menjual barang gadaian.17 Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si pegadai, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada si pegadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si pegadai, maka si pegadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya. Sayyid Sabiq mengatakan jika terdapat klausula murthahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka ini dibolehkan. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa menjadi haknya pemegang barang gadaian untuk menjual barang gadaian tersebut. P_h^[j[n chc \_l\_^[ ^_ha[h j_h^[j[n Ig[g [m Ss[`c’c s[ha memandang dicantumkannya klausula tersebut dalam perjanjian gadai adalah batal demi hukum. 17 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam,( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), Cet ke-1, hlm. 90.


104 | Dahulu pada zaman tradisi Arab sebelum Islam datang, jika orang yang menggadaikan barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka hak kepemilikan barang gadai beralih ke pemegang gadai. Praktek semacam inilah yang kemudian dibatalkan oleh Islam. Dapat disimpulkan bahwa akad gadai (rahn) berakhir dengan hal-hal sebagai berikut : 1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya 2. Rahin membayar hutangnya 3. Dijual dengan peintah hakim atas perintah rahin 4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.18 Ibnu al – Mundzir mengatakan semua yang alim sependapat, bahwa siapa yang memborgkan sesuatu harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian borg (lagi), sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi hutang membebaskannya. Jika marhun mengalami kerusakan karena keteledoran murthahin, maka murthahin wajib mengganti marhun tersebut. Tetapi jika bukan disebabkann oleh murtahin maka murtahin tidak wajib mwngganti dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun dari pada semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murthahin memiliki hak yang sama Bersama para kreditur harta peninggalan rahin. 18 Ibid, hlm. 97.


| 105 Kematian salah satu pihak, orang yang menyerahkan barang gadai atau pemegang barang gadai, bahkan juga kematian mereka berdua, tidak berpengaruh terhadap perjanjian gadai. Perjanjian tetap berlaku sampai batas waktu yang telah ditentukan. Sepeninggal pihak-pihak bersangkutan, dilanjutkan oleh ahli waris yang bersangkutan. Barang gadai selama ada ditangan pemegang barang gadai berkedudukan sebagai amanat.


106 | Wakaf secara bahasa berakar dari sebuah kata bahasa ق ًف yaitu arab َف َو - ْ ,Sudirman (berhenti artinya yang - يَِق ُف َوقَ 2013: 36). Kata wakaf semakna dengan kata سِ ُ يَ ْح - َحْب ًس َحبَ َس - ب yang artinya menahan (Sabiq, 2020: 398). Berdasarkan j_ha_lnc[h Ss[l[’, q[e[` s[cno g_hab_hnce[h b[ln[ s[ha \cm[ dimiliki keuntungannya dengan tidak menurunkan objeknya serta memastikan bahwa hasilnya digunakan untuk hal-hal yang halal (Al-Bugha, Al-Khann and Al-Syurbaji, 2012: 830). Mengenai pengertian wakaf, banyak ulama yang mengemukakan pandangannya, antara lain: 1. Wakaf menurut Az-Zuhaili (dalam Sudirman, 2013: 36) yaitu menghentikan harta yang membolehkan manusia memungut nilai atau kegunaan darinya dengan tidak berubahnya harta tersebut dan memisahkan pengelolaannya dari wakif serta pihak yang lain dengan maksud taqarrub ilallah. 2. Al-Kadhimy al-Qazwiny (dalam Rofiq, 2017: 395) mendefenisikan wakaf yaitu memegang suatu benda dan g_g_nce g[h`[[nhs[ ^_ha[h g_hao][je[h e[n[ ‚[eo g_q[e[`e[h‛ [n[o ‚[eo g_h[b[h‛ [n[o m_g[][ghs[.


| 107 3. Menurut Imam Nawawi (dalam Al-Kabisi, 2003: 40) wakaf berarti menahan harta yang dapat memberi manfaat bagi orang lain daripada diri sendiri, selama harta itu tetap tersedia dan dimanfaatkan dalam rangka kebajikan serta mendekatkan seseorang kepada Allah SWT. 4. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi (dalam Al-Kabisi, 2003: 41) memandang wakaf sebagai penahanan harta untuk digunakan secara halal dengan tetap menjaga keutuhan harta tersebut. Wakaf adalah menahan benda-benda yang tidak mudah rusak dengan tujuan mengambil manfaat dari kepentingan yang dibenarkan syara' agar mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah (Ghazaly, Ihsan and Shidiq, 2012: 175). Wakaf juga dapat diartikan sebagai penghentian atas pengalihan harta yang bermanfaat dan berjangka panjang agar manfaat harta tersebut bisa dipergunakan untuk memperoleh keridhaan Allah SWT (Handayani et al., 2020: 115). Berdasarkan uraian mengenai defenisi wakaf yang dijelaskan sebelumnya, penulis merumuskan defenisi wakaf sebagai tindakan atau praktek dalam Islam di mana seseorang atau sekelompok orang mengalihkan kepemilikan aset produktif, seperti properti, tanah, uang, atau benda berharga lainnya, untuk tujuan amal atau kebaikan umum. Aset yang diberikan dalam bentuk wakaf tidak bisa dijual, diwariskan, atau dipindahtangankan, dan manfaat yang dihasilkan dari aset tersebut harus digunakan sesuai dengan niat dan tujuan yang ditetapkan oleh pemberi wakaf.


108 | Para ulama menetapkan beberapa rukun dan syarat yang semestinya diwujudkan sehingga wakaf yang dilakukan dinilai sah, diantaranya: 1. Wakif (orang yang mewakafkan). Syarat wakif yang hendak mewakafkan hartanya yaitu wakif harus merdeka (bukan budak), sempurna akal atau tidak gila, baligh, dan bukan seseorang yang sedang dalam kondisi pengampunan. Hal demikian, di sebabkan wakif merupakan orang yang mempunyai hak penuh atas harta benda yang diwakafkan, oleh karenanya wakaf semata-mata dapat dilaksanakan apabila tanah atau harta benda tersebut benar-benar kepunyaan wakif yang seutuhnya (Agama, 2007: 49-50). Wakif tidak dapat mengambil kembali harta yang diwakafkan dan tidak dapat menjual atau mewariskannya (Nurhayati, 2021: 249). 2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan). Suatu harta yang hendak diwakafkan harus memenuhi persyaratan berikut agar dapat dianggap sah: a) Harta wakaf mempunyai nilai (suatu harga), maknanya harta tersebut bisa menjadi berharga jika sudah dimiliki oleh seseorang dan dapat digunakan dalam situasi apa pun. b) Harta wakaf mudah diidentifikasi. Artinya, harta yang diwakafkan itu dapat diketahui dengan penuh keyakinan, dan tidak akan terjadi perdebatan. c) Harta wakaf adalah harta wakif dengan kepemilikan yang sempurna. d) Harta wakaf adalah benda tidak bergerak, seperti tanah, atau benda yang telah disesuaikan dengan wakaf yang sudah ada (Agama, 2007: 49-50).


| 109 3. M[oko` ‘[f[cb (tujuan wakaf). Wakaf hendaklah digunakan dalam batasan yang ditetapkan oleh syariat Islam, karena pada hakikatnya wakaf adalah amal yang berupaya mendekatkan manusia kepada Allah. Wakif harus memperjelas tujuan wakaf agar tidak disalahgunakan (Agama, 2007: 49-50). Wakaf yang dilakukan dengan tujuan kemaksiatan, maka itu dianggap tidak sah seperti membangun gereja, wihara, bar dan tempat yang dapat melahirkan kemaksiatan lainnya (Ghazaly, Ihsan and Shidiq, 2012: 178). 4. Shighat (ikrar wakaf). Shighat wakaf harus disampaikan atau diungkapkan dengan cara terbuka dan tegas, bisa dilakukan melalui lisan ataupun tertulis, dengan menggunakah e[n[ ‚[eo g_q[e[`e[h‛ [n[o e[n[ s[ha mempunyai arti semisalnya. Shighat wakaf sempurna hanya dengan persetujuan atau ijab dari wakif saja dan tidak mesti diakui oleh pihak penerima wakaf. Shighat ini penting karena mengandung makna pelepasan atas hak kepunyaan harta wakaf, dan selanjutnya harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang akan digunakan dalam keperluan wakaf itu sendiri (Agama, 2007: 49-50). Apabila dilihat dari tujuan wakaf itu dilakukan, wakaf ada dua macam yaitu: 1. Wakaf Ahli Wakaf ahli merupakan wakaf yang diperuntuk kan kepada seseorang atau suatu kelompok, terutama yang berasal dari keluarga waqif. Contoh dari wakaf jenis ini


110 | adalah orang yang memberikan sebidang tanah pada anaknya, kemudian pada cucunya, wakaf itu sah dan yang berwenang menerima manfaat wakaf yaitu mereka yang disebutkan dalam pernyataan wakaf. Wakaf ini biasanya digunakan untuk memberikan jaminan sosial bagi keluarga atau kerabat wakif (Sudirman, 2013: 39). 2. Wakaf Khairi Wakaf khairi yaitu wakaf dengan maksud khusus diberikan demi kebutuhan agama atau masyarakat. Contohnya adalah wakaf yang digunakan untuk pembangunan masjid, sekolah, atau rumah sakit. Wakaf khairi memberikan kegunaan yang lebih besar dibandingkan wakaf ahli yang terbatas pada lingkungan keluarga (Sudirman, 2013: 39). Menurut Qahaf (2005: 161) ada tiga bentuk wakaf berdasarkan tujuannya, yaitu: wakaf ahli, wakaf khairi, dan wakaf campuran (musytarak). Wakaf musytarak adalah wakaf yang diperuntukkan demi kepentingan masyarakat dan keluarga sekaligus. Berdasarkan batasan waktunya, menurut Qahaf (2005: 161) wakaf dibedakan menjadi dua macam: 1. Wakaf abadi, yaitu wakaf berupa harta benda dengan sifat yang kekal atau tetap, seperti tanah dan bangunan atau harta bergerak yang ditetapkan oleh waqif. 2. Wakaf sementara, yaitu wakaf yang apabila harta benda yang diwakafkan rentan mengalami kerusakan pada saat digunakan dan tidak adanya syarat untuk mengganti bagian yang rusak tersebut. Berdasarkan penggunaannya, wakaf dibagi menjadi dua macam, yaitu:


| 111 1. Wakaf langsung, dikenal juga dengan wakaf yang pokok hartanya dipergunakan demi mencapai tujuannya, seperti masjid untuk salat, sekolah untuk kegiatan belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit, dan lain sebagainya. 2. Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya dipergunakan untuk kegiatan produksi dan hasilnya diserahkan sesuai dengan tujuan wakaf (Rosadi, 2019: 130). Perbuatan wakaf mempunyai banyak manfaat, diantaranya yaitu: 1. Wakaf menanamkan karakter zuhud pada diri manusia dan membiasakan manusia agar tumbuh rasa saling membantu. 2. Melahirkan kembali badan atau organisasi-organisasi sosial dan keagamaan yang bertujuan menyebarkan Islam dan kebesaran Islam. 3. Menumbuhkan pemahaman pada diri manusia bahwa walaupun suatu harta telah menjadi kepunyaan yang sempurna, namun tetap mempunyai peranan sosial. 4. Wakaf memberikan pemahaman kepada manusia bahwa hidup di akhirat membutuhkan persiapan yang matang, dan wakaf adalah suatu perbuatan yang memberikan pahala yang abadi sebagai bekal hidup di akhirat kelak (Rofiq, 2017: 390). 5. Membuka pintu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT guna mempersembahkan harta di jalan Allah SWT dan meningkatkan pahala tambahan.


112 | 6. Memberikan berbagai macam kemaslahatan kepada umat dan memenuhi kebutuhan kaum fakir, miskin, anak yatim, musafir, dan lain-lain yang kebutuhannya tidak dapat dipenuhi hanya melalui keringat sendiri. (AlBugha, Al-Khann and Al-Syurbaji, 2012: 832). Dalam praktiknya, tujuan wakaf di Indonesia tidak fokus pada penguatan dan peningkatan perekonomian umat dan lebih fokus pada ibadah khusus, hal ini dapat dipahami mengingat adanya keterbatasan di kalangan masyarakat mengenai pemahaman wakaf, baik dari segi harta wakaf ataupun peruntukannya (Hazami, 2016: 175). Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa harta benda wakaf semata-mata hanya benda tidak bergerak saja berupa tanah, bangunan, dan benda tidak bergerak lainnya. Akibatnya penggunaan atau tujuan wakaf terbatas pada masjid, musalah, panti asuhan, madrasah, sekolah, dan sejenisnya (Maulida and Ridwan, 2017: 165). Hingga saat ini, wakaf telah dikaitkan dengan hibah tanah dan bangunan di Indonesia. Oleh karena itu, praktik hibah tanah untuk kepentingan umum bukanlah hal yang aneh di kalangan masyarakat Indonesia (Paksi, Manzilati and Ekawaty, 2018: 175). Wakaf sekarang sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjelma sebagai sumber bantuan pokok dalam kehidupan masyarakat. Kebanyakan dari tempat ibadah, sekolah atau perguruan tinggi Islam, dan organisasi keagamaan Islam berdiri atau dibangun di atas tanah wakaf. Kemudian dikeluarkannya UU Wakaf yaitu UU No. 41 Tahun 2004, menjadi sebuah langkah maju dan berarti


| 113 yang sangat besar bagi umat Islam (Hidayati, 2010: 125). Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa; ‚W[e[` [^[f[b j_l\o[n[h boeog q[ec` ohnoe memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kebutuhan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut ms[lc[b‛ (Presiden, 2004). Rukun atau unsur wakaf dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yaitu wakif, nazhir, harta wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf. Wakaf harus dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam serta ketentuan-ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, menentukan setiap pihak yang akan mewakafkan tanahnya harus menyatakan kehendaknya untuk mewakafkan tanah (menyampaikan ikrar wakaf) kepada nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan selanjutnya setelah dibuat Akta Ikrar Wakafnya berdasarkan ketentuan Pasal 32 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berkewajiban untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional


114 | setempat untuk diterbikan sertifikat tanah wakafnya. Pentingnya pendaftaran tanah wakaf guna mendapatkan sertifikat tanah wakaf adalah untuk kepastian hukum dari tanah wakaf tersebut. Jika telah memiliki sertifikat tanah wakaf, tanah wakaf tersebut menjadi jelas status kepemilikannya, yakni untuk kepentingan masyarakat dan dilindungi oleh hukum (Rosadi, 2019: 151-152). Usman (2009: 132) berpendapat bahwa setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, kemudian diteruskan dengan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang dibentuk sebagai lembaga independen yang hanya mengelola dana wakaf dan berfungsi secara nasional. Misi lembaga ini yaitu untuk mempromosikan dan meningkatkan perwakafan nasional di Indonesia. BWI didirikan tidak untuk mengambil alih harta wakaf yang dikelola oleh nazir (pengelola aset wakaf) yang ada. BWI hadir untuk membina nazir agar harta wakaf dapat dikelola dengan lebih baik dan produktif sehingga dapat memberikan manfaat lebih kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur publik (Permana and Rukmanda, 2021: 166). Undang-Undang Wakaf di Indonesia telah mengakomodasi berbagai macam wakaf baru. Wakaf tidak lagi hanya dikaitkan dengan benda-benda yang berupa tanah, namun sudah merambah hingga mencakup benda-benda bergerak yang berbentuk uang (Sudirman, 2013: 37). Wakaf digolongkan menjadi dua macam berdasarkan bergerak atau tidaknya benda wakaf, yaitu: 1. Wakaf Benda Tidak Bergerak Benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan antara lain: a) hak atas tanah; b) bangunan atau bagian


| 115 bangunan yang berdiri di atas tanah; 3) tumbuhan dan benda lain yang berhubungan dengan tanah; 4) hak milik satuan rumah susun; dan 5) benda tidak bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sudirman, 2013: 39). Karena memiliki nilai jariyah yang lebih tinggi, maka benda-benda tersebut di atas sangat dianjurkan untuk diwakafkan (Rofiq, 2017: 420). 2. Wakaf Benda Bergerak Benda bergerak yang dapat diwakafkan antara lain: a) uang; b) logam mulia; c) surat berharga; d) kendaraan; e) hak kekayaan intelektual; f) hak sewa; dan g) benda bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sudirman, 2013: 40). Wakaf bergerak khususnya uang dan aset keuangan lainnya, bakal lebih mudah produktif dalam menggerakkan perekonomian, dengan tujuan utama pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin jika dikelola dengan baik dan profesional (Ryandono and AHazami, 2016: 241). Namun masalah yang sering terjadi dan menjadi perhatian di banyak tempat, baik di Indonesia maupun di negara lain adalah sering kali wakaf dikelola dengan buruk sehingga mengakibatkan wakaf berkurang atau hilang (Zuchroh, 2022: 152). Keberadaan wakaf uang sangatlah penting di Indonesia. Ada berbagai alasan mengenai esensialnya wakaf uang di Indonesia:


116 | 1. Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi sehingga memerlukan upaya dan tindakan yang berarti. 2. Terdapat ketimpangan yang relatif besar antara masyarakat dengan ekonomi tinggi dan ekonomi renda atau antara si kaya dan si miskin. 3. Karena Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim paling besar di dunia, maka wakaf mempunyai kesanggupan pengembangan yang sangat besar. (Zuchroh, 2022: 153).


| 117 EGALA sesuatu yang bisa mendekatkan hati manusia, menanamkan rasa suka dan memperkuat ikatan cinta, dituntut dalam pandangan Syari'ah Islam. Tuntutan tersebut berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Saling memberi merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, melakukannya merupakan suatu keharusan bagi masing-masing individu seperti halnya zakat yang diwajibkan oleh Allah swt dengan firman-Nya dalam QS. Al-M[’[lcd; 70/24-25 Sebab, sudah menjadi kepastian bahwa dalam kehidupan dunia ada orang yang taraf ekonominya rendah dan kekurangan pangan. Maka, termasuk kewajiban untuk menyelamatkan dan memberi mereka bantuan untuk meringankan beban mereka seperti kelaparan dan kekurangan sandang. Adapun selain ini seperti menyedekahkan sebagian harta termasuk perbuatan sunat dan di dalamnya pun masih terkandung prinsip solidaritas untuk saling mengasihi. Dalam perjalanan hidup seringkali kita tidak bisa lepas dari masalah yang menyangkut harta keluarga. Harta yang bisa dimanfaatkan selama masih hidup ataupun setelah meninggal dunia oleh anak keturunan kita. Salah satu persoalan yang berkaitan dengan harta keluarga adalah menyangkut hibah atau hadiah dan juga wasiat. S


118 | 1. Pengertian Hadiah Hadiah berasal dari kata Hadi (ھادى (terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf b[’, ^[f, dan ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi yang bermakna penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah (ھدايت (yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.[19] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hadiah merupakan pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan). [20] Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan dengan : a. Menurut Zakariya Al-Anshari, hadiah"adalah penyerahan hak kepemilikan harta benda tanpa meminta ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima sebagai bentuk penghormatan. [21] b. Menurut Syaikh Zainuddin Bin Abdul Aziz, hadiah [^[f[b ‚Hc\[b s[ha j_g\_lc[hhs[ ^_ha[h ][l[ mengantarkan kepada yang diberi guna g_gofs[e[h‛. Bahkan untuk hadiah cukup dengan 19 Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007, (261). 20 WJS Purwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982 (337). 21 Abi Yahya Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi’i, Asnal Mathalib, Beirut: Dar alKutub al- Ilmiyah, juz 5, ( 566).


| 119 cara pemberi mengirimkan dan yang diberi mengambilnya [ 22] c. Menurut Sayyid Sabiq , hadiah adalah pemberian yang tidak ada keharusan bagi pihak yang diberi untuk mengantinya dengan imbalan.[ 23] d. Muhammad Q[f‘[dc , H[^c[b adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan. [ 24] Jadi Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Rasulullah saw. bersabda : Alnchs[ : R[mofoff[b m[q. B_lm[\^[: ‚B_ld[\[n tanganlah maka akan hilang rasa dendam dan dengki dan saling memberi hadiahlah maka kalian akan menjadi m[fcha g_h]chn[c.‛ (H.R. M[fce)[ 25 ]: 22 Ali As’ad, Terjemah Fathul mu’in Jilid 2, Menara Kudus, Kudus,1979 (2/328). 23 Sayyid Sabiq, www.tedisobandi.blogspot.com, Fikih Sunnah, Cakrawala Publishing, Jakarta, 2008, (5/548). 24 Muhammad Qal‘aji, Mu‘jam lugatil fuqaha, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-ishdar ats-tsani, juz 1, ( 493) atau www.shamela.ws, diakses pada tanggal 10 Juni 2014. 25 Fikih Sunnah, (5/548).


120 | Sabda Nabi saw kepada para wanita: Alnchs[: ‚Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun b[hs[ m_jiniha e[ec e[g\cha.‛ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[ 26]: Dalam hadits lain Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda, ‚H_h^[ef[b e[fc[h saling memberi hadiah, agar kalian saling g_h]chn[c.‛(HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad dan A\o Y[’f[ dengan sanad hasan) [27] Berdasarkan keterangan diatas maka hukum memberikan hadiah adalah sunnah atau diperbolehkan 2. Rukun dan Syarat Hadiah a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya (memanfaatkannya) b. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki. c. Tidak disyaratkan adanya ijab qabul sekalipun bukan makanan[28] 26 Ibid, (5/549). 27 Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul As-Salam Syarah Blughul Maram, Terj. Muhammad Isnan, “Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013, Cet. 8, ( 555). 28 Terjemah Fathul mu’in Jilid 2, (2/328).


| 121 d. Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual 3. Macam-macam Hadiah Hadiah dalam Islam dibagi menjadi 3 macam [29]: a. H[^c[b ^[lc m_m_il[ha s[ha jimcmchs[ ‚^c \[q[b‛ e_j[^[ il[ha s[ha jimcmchs[ ‚^c [n[m‛, m_gcm[f hadiah dari bawahan kepada atasan, dari seorang yang memiliki kepentingan bisnis kepada orang yang punya kewenangan mengambil keputusan atas bisnis tersebut. Hadiah semacam ini yang tidak diperbolehkan. b. Hadiah dari seseorang kepada orang lain yang setara, misalnya antar teman, kerabat, keluarga, tetangga. Hadiah semacam ini boleh dan dianjurkan sepanjang saling memberi manfaat dan mempererat persahabatan/persaudaraan. c. H[^c[b ^[lc m_m_il[ha s[ha jimcmchs[ ‚^c [n[m‛ kepada orang yang posisinya ‚^c \[q[b‛, ^c g[h[ mc pemberi tak memiliki kepentingan terhadap yang diberi dan tak ada pamrih untuk mendapatkan balasan. Seperti hadiah dari majikan kepada pekerjanya, dll. Inilah bentuk hadiah yang sangat dianjurkan. 29 Fikih Sunnah, (5/554).


122 | 1. Pengertian Hibah Pemberian dalam bahasa Arab disebut al-Hibah. Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qol’[h \_m_ln[ e[n[ derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19;5, 49, 50, 53).[30] Secara bahasa, hibah berasal dari kata wahaba – yahabu – hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir e[n[ ‚bc\[b‛ ini merupakan mashdar dari kata (وھب (yang berarti pemberian. [31] Dalam Kamus Ilmu Al-Qol’[h yang dimaksud hibah adalah pemberian kepada seseorang diwaktu hidupnya, dengan tidak mengharapkan balasan atau ikatan baik secara lisan ataupun tertulis.[32] Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah, hibah memiliki pengertian secara bahasa berasal dari kata 'hubub ar-rih' yang berarti hembusan angin. Kata ini digunakan untuk merujuk pada pemberian dan kebajikan kepada orang lain, baik berupa harta maupun hal lainnya. Abu Hasyim Mubarok dalam buku terjemahan 30Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, (466). 31Ahmad Warson Munawwir AF, Kamus Al-Munawwir: Indonesia-Arab, ArabIndonesia,Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, ( 1584) 32Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2006, cet.2, ( 99).


| 123 Fathul Qarib [33+, g_hd_f[me[h Hc\[b [^[f[b ‚ncoj[h [hach‛,[lnchs[ il[ha s[ha \[haoh nc^olhs[, K_nce[ ^c[ \[haoh nc^ol‛, g[e[ m_if[b-olah orang yang melakukan hibah bangun / bangkit untuk melakukan kebaikan. Sedangkan secara syarak adalah menjadikan hak milik suatu barang (pada seseorang) yang lestari (hak milik bisa diraih seketika itu), dan pemberian yang mutlak (tanpa dibatasi waktu), dilakukan saat masih hidup dengan tanpa adanya imbalan, walaupun terjadinya pemberian karena seseorang yang derajatnya lebih tinggi Berkenaan dengan definisi hibah ( ب ,( secara istilah As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya [34]: ‚(D_`chcmc) hibah menurut istilah syarak ialah, sebuah akad yang substansinya adalah Tindakan seseorang untuk mengalihkan kepemilikan hartanya kepada orang lain pada saat hidup atau semasa hidupnya tanpa imbalan apapun. Dl. Afc Am’[^ \_le[n[: ‚Hc\[b [^[f[h memberikan suatu barang yang pada ghalibnya syah dijual atau piutang oleh orang ahli tabarruk dengan tanpa ada j_hoe[l[hhs[.‛ *35] Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini: 33 Abu Hasyim Mubarok, Terjemahan Fathul Qorib Jilid 2, Mukjizat, Jawa Barat, 2019 (2/75). 34 Fikih Sunnah, (5/547). 35 Terjemah Fathul mu’in Jilid 2, (2/324).


124 | a. Al ibra`: ( ا ا (yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang). b. Ash shadaqah ( ال : (yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat. c. Al hadiyah ( ال : (yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik) [36]. Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi melalui Kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah juga menjelaskan arti hibah sebagai pemberian kepada orang lain, meskipun bukan dalam bentuk harta. [ 37] Menurut jumhur ulama menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada yang memerlukannya. [38] Jadi, dapat disimpulkan bahwa hibah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang selama dia masih hidup kepada orang lain tanpa mengharap imbalan apa pun, sematamata untuk mencari rida Allah SWT. 36 Fikih Sunnah, (5/548). 37Syaikh Abdurrahman Al-Juzari, www.kautsar.co.id, Terjemah Fiqh 4 Madzhab, Pustaka Al Kauttsar, (4/438). 38Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2000, ( 324).


| 125 2. Rukun dan Syarat Hibah Adapun Rukun dan syarat hibah yaitu a. Orang yang memberi, syaratnya 1) Pemberi adalah pemilik barang hibah (orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya (memanfaatkannya)), 2) Harus balig, 3) Tidak berada dalam kondisi dibatasi kewenangannya lantaran sebab yang menjadikan kewenangannya dibatasi, dan 4) Hibahnya dilakukan atas inisiatifnya sendiri b. Orang yang menerima, syaratnya 1) Penerima harus benar benar ada secara fisik saat pemberian hibah c. Sighah (Ijab dan qabul), yang bermakna penyerahan kepemilikan harta tanpa imbalan. Tidak syah adanya pembatasan masa berlakunya [39] d. Barang yang diberikan, syaratnya 1) Barangnya harus benar benar ada, 2) Barangnya harus berupa harta yang bernilai, 3) Barangnya harus dapat dimiliki wujudnya, 4) Barangnya tidak boleh berkaitan dengan milik pemberi hibah dengan keterkaitan menetap seperti tanaman atau pohon , dan 5) Barangnya harus terpisah dalam bagiannya sendiri. 39 Terjemah Fathul mu’in Jilid 2, (2/328).


126 | 1. Pengertian Wasiat Wasiat didalam hukum Islam berasal dari bahasa [l[\ s[cno q[mb[’ s[ha [lnchs[ g_hs[gjaikan atau menyambungkan, berasal dari kata menyambungkannya. Misalnya washaitu asy-ms[c’[, [lnchs[ [eo menyambungkan sesuatu atau aku menyampaikan sesuatu[40] karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya dengan kebagusan akhirat. Sedangkan secara syarak adalah secara suka rela memberikan hak yang dikaitkan dengan setelah mati.[41] Dengan demikian pemberi wasiat berarti menyampaikan apa yang ada pada saat hidupnya setelah kematiannya. Adapun wasiat menurut istilah syariat adalah hibah seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang atau manfaat, dengan ketentuan pihak yang diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat. Sedangkan dinamakan washiat menurut Hasbi AshSiddieqy adalah suatu akad dimana seorang manusia mengharuskan di masa hidupnya mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah wafatnya. [42] Sebagian ulama juga mendefinisikan bahwa wasiat adalah kepemilikan yang dialihkan secara sukarela sampai setelah kematian. Ulama Madzhab yang 4 juga memberikan pendapatnya tentang wasiat. Ulama 40 Fikih Sunnah,, (5/588). 41 Terjemah Fathul mu’in Jilid 2, (2/393). 42 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengatar Fiqh Muamalah, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999, ( 107).


| 127 madzhab Hanafi menjelaskan wasiat sebagai pemilikan yang disandarkan kepada apa yang terjadi setelah e_g[nc[h ^_ha[h ][l[ n[\[llo’ (m_^_e[b/j_g\_lc[h harta), Ulama madzhab Maliki mengartikan wasiat dengan suatu akad yang mewajibkan hak dari sepertiga harta yang ditetapkan setelah kematian atau mewajibkan pengganti setelahnya, adapun Ulama madzhab Hambali berpendapat wasiat dengan perintah untuk bertinda m_n_f[b e_g[nc[h. m_^[hae[h Uf[g[ g[^tb[\ Ss[`c’c berpendapat wasiat dengan sedekah atau pemberian hak yang disandarkan kepada apa yang terjadi setelah kematian. [43] 2. Penetapan Wasiat Di dalam hukum Islam, para Fuqoha (ahli fiqih) menyatakan bahwa hukum wasiat adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat kuat untuk dilakukan). Penetapan wasiat berdasarkan Al-quran disebut di dalam QS 2:180, QS 4: 11 dan QS5:106 yakni : Artinya : ‚Dcq[dc\e[h [n[m e[go, [j[\cf[ m_il[ha ^c antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibubapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) 43 Terjemah Fiqh 4 Madzhab, (4/475-476).


128 | kewajiban atas orang-il[ha s[ha \_ln[eq[‛. ( QS. AfBaqarah;2/180) [ 44 ] Alnchs[ : ‚H[c il[ha-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu ". ( QS. AlMaidah;5/106) [ 45 ] Sedangkan Penetapan wasiat berdasarkan Al-hadis atau sunnah [46] antara lain: a. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Seseorang muslim yang memiliki sesuatu yang diwasiatkannya tidaklah layak sampai melewati dua malam melainkan wasiatnya telah tertulis disisinya. b. Ahmad Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda : 44 Kementrian Agama RI, Mushaf Al Mun’in Al-Qur’an dan terjemahannya, Tiga serangkai, Solo, Cetakan 1 2018, (27). 45Ibid, (125). 46Fikih Sunnah, (5/589-590).


| 129 Sesungguhnya ada laki laki dan perempuan benar benar beramal dalam ketaatan kepa Allah swt selama enam puluh tahun, kemudian kematian menghampiri keduanya namun keduanya dirugikan terkait wasiat hingga akibatnya neraka ditetapkan kepada keduanya Wasiat harta di dalam Hukum Islam sangat jelas aturannya yaitu tidak boleh melebihi 1/3 harta peninggalan (total kekayaan), hal ini untuk menjaga hak ahli waris. Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Al- allamah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dalam kitabnya Fathul Qarib [47] bahwasanya Harta yang boleh diwasiatkan hanya 1/3 dari dari harta wasiat, jika lebih maka harus ditangguhkan atas izin ahli waris yang mutlak dalam tasarrufnya. 3. Rukun Wasiat Adapun Rukun dan syarat Wasiat, [48]yaitu a. Orang yang memberi, yakni orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya (memanfaatkannya). b. Orang Yang menerima wasiat , c. Barang yang diwasiatkan ( isi wasiat), d. Sighah (Ijab dan qabul) disyaratkan menggunakan lafadz yang menunjukkan wasiat, baik secara jelas ataupun dengan kiasan 47 Terjemahan Fathul Qorib Jilid 2, (2/101). 48 Terjemah Fiqh 4 Madzhab, (4/477).


130 | Menurut Sayyid Sabig dalam bukunya fikih sunnah perbedaan hibah atau hadiah dan wasiat [49] antara lain : 1. Hibah diberikan Ketika yang memiliki masih hidup sedangkan wasiat diberikan Ketika yang memiliki sudah meninggal 2. Hibah tidak terjadi kecuali berupa barang sedangkan wasiat terjadi bisa berupa hutang, barang dan manfaat 49Ibid, (5/588).


| 131 ALAM Fiqh Muamalah, bagi hasil adalah prinsip penting dalam menjalankan transaksi ekonomi yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Konsep bagi hasil ini menyangkut tentang pembagian kerugian dan keuntungan antara pihak yang bersangkutan dalam melakukan transaksi, seperti investor dengan pengusaha dan nasabah dengan bank. Di era kontemporer ini, bagi hasil sudah menjadi acuan bisnis yang semakin populer di ragam sektor ekonomi. Acuan ini menggambarkan semangat solidaritas, empati dan keadilan dalam berbisnis. Dimana pihak yang bersangkutan dalam berbisnis bersepakat untuk berbagi keuntungan dan kerugian. Dalam sistem bagi hasil terdapat model dimana bisa diadopsi bagi perusahaan dalam menerapkan sistem bagi hasil, modelmodel ini melibatkan adanya perjanjian dari kedua belah pihak atau lebih dimana mengatur persentase dari pembagian keuntungan dan kerugian. Sistem Berdasarkan dari bisnis kecil hingga skala besar, bagi hasil sudah menjadi landasan utama pada dunia ekonomi islam. Beberapa pentingnya Implementasi bagi hasil dalam berbagai konteks pada kehidupan ekonomi dan bisnis, yaitu : D


132 | Konteks perbankan, konteks investasi, dan lainnya. Dari berbagai konteks tersebut bagi hasil mempunyai peran penting untuk menciptakan keadilan, memanajemen resiko dengan baik, dengan begitu penting bagi kita untuk menerapkan dan memahami konsep bagi hasil dari berbagai aspek kehidupan ekonomi islam Sistem bagi hasil adalah suatu sistem dimana dilaksanakannya ikatan atau perjanjian bersama dalam melaksanakan kegiatan usaha. Salam suatu usaha ini akan adanya perjanjian bagi hasil dari keuntungan maupun kerugian yang akan didapat dari kedua belah pihak ataupun lebih. (Muh.Ilyas, 2012) Pada aturan syariat islam dimana yang memiliki kaitan dengan bagi hasil dalam usaha perlu menentukan terlebih dahulu di awal dilakukannya akad (kontrak). Dan dalam menentukan besarnya alokasi bagi hasil dari kedua belah pihak dimana telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, dan kedua belah pihak harus saling An Taradhin (Kerelaan) tanpa adanya unsur pemaksaan. (Uin-suska, 2022 ) Pada konteks islam sistem bagi hasil merupakan sistem ekonomi dimana digunakan pada perbankan syariah dan bisnis lainnya yang berbasis syariah. Konsep bunga yang ada pada bisnis atau perbankan konvensional ini digantikan oleh sistem bagi hasil, dimana resiko dan keuntungan dibagi dengan adil dari pihak yang terlibat. Sehingga dapat memberi manfaat bagi pihak yang bersangkutan dari hasil usahanya.


| 133 Bagi hasil merupakan bentuk perolehan aktivitas usaha (return) dari perjanjian waktu ke waktu, kecil dan besarnya perolehan kembali lagi tergantung dari hasil usahanya. (Arviyan Arifin, 2010) Pada konteks islam, ada beberapa jenis dalam sistem bagi hasil, yaitu berbagai macam kerjasama dalam bagi hasil di bidang ekonomi syariah pada umumnya dapat dilaksanakan dengan empat akad, antara lain , Mo^b[l[\[b, Moms[l[e[b, Mom[k[b ^[h Mot[l[’[b, ^cg[h[ penerapan prinsipnya menggunakan sistem bagi hasil. Konsep bagi hasil merupakan pendekatan dimana hasil dari usaha pada pihak yang terlibat dibagi secara adil. Berikut merupakan konsep dari bagi hasil : 1. Pemilik dana dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya lewat lembaga keuangan syariah dimana berperan sebagai pengelola 2. Lembaga keuangan syariah ataupun pengelola akan mengelola dananya dengan konsep poll of fund lalu akan menginvestasikan danaya pada usaha yang menguntungkan dan layak dalam memenuhi syariat islam 3. Pihak yang bersangkutan menandatangani akad dimana berisi nominal, ruang lingkup kerjasama, nisbah seta jangka waktu berlakunya dalam kesepakatan tersebut


134 | Model bagi hasil merupakan kerangka dalam keuntungan dan kerugian pada usaha maupun investasi dimana akan dibagi kepada pihak yang terlibat berdasarkan kesepakatan yang sudah ditentukan. Pada umumnya model bagi hasil diterapkan pada lembaga keuangan islam dan keterkaitan dengan prinsip profit and loss sharing. Model bagi hasil menggambarkan prinsip keuangan yang adil serta berkelanjutan, dimana pihak yang terlibat mempunyai tanggung jawab yang seimbang. Dalam mengelola keuangan model bagi hasil ini bisa menjadi alternatif yang inovatif dalam mencapai tujuan. Terdapat 2 metode dalam bagi hasil. (perdana, 2023) Sebagai berikut : 1. Profit Sharing (Bagi Untung) Profit sharing merupakan sistem bagi hasil yang dihitung berdasarkan pendapatan yang dikurangi biaya pada pengelolaan dana. Model ini digunakan dalam keperluan distribusi pada hasil usaha. Sederhananya yang dijadikan bagi hasil dari pihak yang bersangkutan yaitu laba dari usaha tersebut. Contoh : Suatu usaha mendapatkan penghasilan dari penjualan sebesar Rp. 4000.000,00 dan biaya-biaya pada usaha sebesar Rp. 1000.000,00, maka yang dibagi hasilkan dari pihak yang bersangkutan adalah sebesar Rp. 3.000.000,00. Dalam perbankan syariah yang biasanya digunakan yaitu profit and loss sharing dimana pembagiannya antara untung dan rugi dari pendapatan hasil usaha tersebut. Apabila mendapatkan keuntungan maka dibagi secara adil sesuai dengan kesepakatan. Keuntungan yang


| 135 diperoleh dari usaha akan dilaksanakan pembagian sesudah perhitungan dari biaya-biaya yang sudah dikeluarkan dalam proses usaha, namun apabila mendapatkan kerugian maka ditanggung oleh pihak yang bersangkutan sesuai porsinya. Kerugian yang dialami oleh pemodal yaitu modal inveastinya tidak didapatkan secara utuh sedangkan kerugian pada pengelola adalah dalam usahanya tidak mendaptakan upah. 2. Revenue Sharing (Bagi hasil ) Revenue Sharing merupakan bagi hasil dimana dihitung dari total pendapatan pada pengelola dana. Pada sistem syariah metode ini bisa digunankan dalam keperluan hasil usaha lembaga keuangan syariah. Bagi hasil yang diterpkan pada Revenue Sharing tidak dikurangi dari biaya-biaya yang ada. Contoh : Suatu usaha mendapatkan penghasilan dari penjualan sebesar Rp. 4000.000,00 dan biaya-biaya pada usaha sebesar Rp. 1000.000,00, maka yang dibagi hasilkan dari pihak yang bersangkutan adalah sebesar Rp. 4.000.000,00. Dalam implementasinya menggunakan profit sharing atau revenue sharing. Apabila lembaga keuangan syariah seperti bank menggunakan profit sharing maka bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (shahibul maal) akan semakin kecil. Sedangkan revenue sharing bagi hasil dapat dihitung dari pendapatan bank dan tidak dikurangi biaya biaya. Maka tingkat bagi hasil yang akan diterima oleh shahibul maal lebih besar.


136 | Implementasi bagi hasil ini bisa melibatkan beberapa bidang termasuk keuangan, ekonomi, pemerintahan dan bisnis. Terdapat beberapa contoh dari implementasi sistem bagi hasil di era kontemporer, antara lain : 1. Perbankan Syariah Bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dalam produk-produk dan layanannya. Seperti pada pembiayaan musyarakah, pembiayaan mudharabah serta pada tabungan. Pada sistem ini nasabah dan bank saling berbagi keuntungan serta resiko sesuai dengan kesepakatan awal 2. Industri Investasi Pada industri investasi, adanya implementasi bagi hasil, dimana pengelola dana dan investor saling berbagi hasil dari keuntungan maupun kerugian yang diperoleh. Contohnya yaitu pada proyek properti, investor serta developer properti berbagi keuntungan dari sewa properti. 3. Kemitraan usaha Pada kemitraan usaha, mitra bisnis bisa menerapkan sistem bagi hasil dalam membagi keuntungan yang dijalankan bersama. Contohnya adalah pada bisnis waralaba, dalam pemilik waralaba dan merk bisa menggunakan bagi hasil dalam membagi keuntungan dari jasa dan penjualan produk.


| 137 4. Pertanian Pada sektor pertanian, bagi hasil bisa diimplementasikan bentuk kerjasama antara investor dengan petani. Dimana petani menyediakan tenaga kerja serta lahan dan investor memberikan modal dan bantuan pada teknis. Keuntungan hasil panen akan dibagi antara investor dengan petani sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan. 5. Koperasi syariah Pada operasi koperasi syariah menerapkan bagi hasil dimana anggota dari koperasi syariah bisa berbagi keuntungan sesuai kesepakatan yang ada. Pada koperasi syariah pembagian keuntungan bisa dilaksanakan melalui nisbah bagi hasil. Implementasi bagi hasil pada koperasi syariah mendorong keadilan dalam keuntungan dan melarang riba. Maka koperasi syariah memiliki peran untuk membangun perekonomian dengan prinsip syariah dan nilai islam. (Arief, 2022) Dan masih ada implementasi bagi hasil lainnya. Implementasi bagi hasil ini bisa memberikan keadilan dan keberlanjutan pada pembagian keuntungan dan rugi dari pihak yang terlibat. Dan mendorong kemitraan serta kolaborasi yang baik dari berbagai sektor ekonomi.


138 | Akad dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, memiliki [lnc: ‚J[hdc, j_ld[hdc[h, eihnl[e‛; Mcm[f [e[^ do[f \_fc, [e[^ nikah. Dan Akad juga bisa disebut dengan kontrak yang mempunyai makna: perjanjian, menyelenggarakan perjanjian (dagang, bekerja, dan lain sebagainya).(Sudiarti 2018) Misal, kontrak antara penulis dan penerbit. Suatu kontrak mencakup kewajiban untuk kontraktor yang bisa ditetapkan seteknik lisan maupun tertulis. Sebagai contoh, perusahaan memiliki perjanjian guna memasok produk ke perusahaan lain pada waktu tertentu dan ukuran tertentu. Kedua belah pihak akan terikat untuk menepati perjanjian mereka dalam penjualan dan pembelian dari barang. Jadi definisi akad ialah sebuah perikatan, kesepakatan atau perjanjian, antara pihakpihak yang menciptakan perjanjian atas suatu obyek tertentu dan di shighat (lafadz) kan dalam ijab-qobul.(Anshori 2011) Akad menurut bahasa artinya ikatan atau oersetujuan, sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu


Click to View FlipBook Version