Hukum Islam 41 wajib adalah dalil Dzanni, yakni hadis ahad dan dalil- ^[fcf ms[l’c f[chhs[, m_j_lnc kcs[m ^[h m_\[a[chs[. b. Tingkatan kewajiban tidak sama. Kewajiban fardhu lebih berat daripada kewajiban wajib. Karena itu, akibat hukumnya pun berbeda-beda. c. Meninggalkan fardhu dalam suatu ibadah berakibat batal (tidak sah) ibadahnya. Seperti orang meninggalkan wuquf diArafah, tidak sah hajinya. S_^[hae[h g_hchaa[fe[h m[’I [hn[l[ S[`[ ^[h M[lq[ tidaklah membatalkan haji, karena penetapan e_q[dc\[h m[’I [^[f[b \_l^[m[le[h ^[fcf Dt[hhc. d. Meninggalkan fardhu bisa berakibat kafir. Seperti orang meninggalkan shalat dan zakat bisa menjadi kafir, karena ia mengingkari kewajiban agama yang ditetapkan dengan dalcf Q[nb’c. S_^[hae[h il[ha yang meninggalkan wajib, artinya kewajibankewajiban agama yang ditetapkan berdasarkan dalil Dzanni tidaklah sampai kafir. Misalnya kalau ulama Indonesia melalui ijtihad musyawarah mencapai consensus bahwa umat Islam Indonesia wajib menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, maka kewajiban menggunakan hak pilih dalam pemilu bagi umat Islam Indonesia termasuk dalam kategori wajib, bukan fardu.5 Wajib banyak macamnya. Jika wajib itu dipandang dari segi waktu pelaksanaannya ada dua macam. a. Wajib Mutlak, artinya wajib yang tidak terkait dengan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena ada halangan, 5 Azhary, M Tahir, Negara Hukum, hal 56
42 Hukum Islam misalnya sakit. Pendapat diatas adalah menurut Abu H[hc`[b, m_^[hae[h g_holon Ss[lc’c g_ha-qadha puasa dibatasi dalam tahun puasa yang bersangkutan, dan kalau orang meng-qadha puasa pada tahun puasa berikutnya akan ada sanksinya, yakni harus membayar fidyah di samping harus pula meng-qadhanya. b. Wajib Muaqqad artinya wajib yang dibatasi waktu pelaksanaannya, dan wajib ini ada dua macam. Pertama q[dc\ goq[mm[’, [lnchs[ q[dc\ s[ha fihaa[l q[eno pelaksanaannya, seperti mengerjakan shalat fardhu lima waktu, bisa pada awal waktu sampai akhir waktunya. Hanya saja mengerjakan shalat-shalat fardu pada awal waktunya akan lebih besar pahalanya. Kedua, wajib muhayyaq, artinya wajib yang waktu pelaksanaannya dibatasi, seperti puasa Ramadhan menjadi wajib karena datangnya bulan Ramadhan, yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya, serta puasa yang dilakukan hanya untuk puasa Ramadhan saja, tidak bisa untuk puasa-puasa lainnya. Karena itu, niat puasa pada hari bulan Ramadhan itu tidak wajib disertai dengan niat untuk bulan Ramadhan. 6 Wajib yang dipandang dari segi tertentu atau tidaknya kewajibannya yang dituntut ada dua macam. a. W[dc\ go’[ss[h, c[f[b e_q[dc\[h s[ha ^cnohnon cno b[hs[ satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban lainnya, seperti membayar utang dan menunaikan zakat. Kebanyakan yang wajib itu termasuk dalam kategori ini. b. Wajib mukhayyar, ialah kewajiban yang dituntut itu lebih dari satu, tetapi dalam melaksanakannya bisa dipilih 6 Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern hal 18
Hukum Islam 43 salah satu di antaranya. Seperti orang yang pergi menunaikan ibadah haji boleh memilih di antara tiga macam haji sebagai berikut: haji ifrad dengan cara niat melakukan ibadah haji pada waktu mulai ihram; haji n[g[nno’ ^_ha[h ][l[ hc[n ogl[b ^ofo, ^[h m_n_f[b tahallul kemudian niat haji pada bulan-bulan haji, atau haji qiran dengan cara niat melakukan haji dan umrah sekaligus. Wajib bila dilihat dari segi ukuran/ kriterianya ada dua macam a. Wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang ukuran/ kriterianya seperti zakat harta benda. Agama telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena zakat, nisabnya (jumlah harta benda yang terkena zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat) dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang perlu dizakatkan). Demikian pula tentang zakat fitrah. b. Wajib yang tidak ditentukan agama tentang ukuran/ kriterianya, tetapi saja besarnya bantuan keuangan itu tidak ditentukan oleh agama. diserahkan kepada kemampuan seseorang dengan memperhatikan pula situasi dan kondisinya. Misalnya memberikan bantuan keuangan kepada orang yang sangat memerlukan, adalah wajib bagi setiap orang yang mampu. Hanya Jelaslah bahwa harta benda itu tidak hanya wajib dizakati, melainkan juga wajib digunakan untuk memberikan bantuan kepada sesama manusia yang memerlukan, juga untuk kepentingan agama, dan untuk kepentingan
44 Hukum Islam umum dan Negara. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: 7 ‚S_mohaaobhs[ j[^[ b[ln[ \_h^[ cno [^[ e_q[dc\[h f[ch m_f[ch t[e[n‛. Wajib dilihat dari segi siapa yang wajib melakukan ada dua macam. a. W[dc\ ‘[chc c[f[b q[dc\ s[ha ^cnodoee[h e_j[^[ m_nc[j individu. Sehingga siapapun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapat hukuman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan kewajiban memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. b. Wajib kifai ialah wajib yang ditujukkan kepada setiap masyarakat umum, tetapi jika sebagian anggota masyarakat sudah ada yang mengerjakan kewajiban itu maka gugurlah kewajiban itu bagi warga masyarakat yang lainnya. Misalnya, melakukan shalat jenazah, amar g[’lo` ^[h h[bc gohe[l, \_f[d[l ohnoe d[^c [bfc [a[g[ atau ahli pertanian, ahli kedokteran, ahli teknik, dan ahli perang dan sebagainya semuanya itu adalah fardu kifayah. 2. Mandub/ Sunnah dan macamnya Ada beberapa definisi tentang Mandub yang yang dirumuskan oleh para ulama, empat diantaranya adalah sebagai berikut : sesuatu yang dituntut agama untuk dikerjakan, tetapi tuntutannya tidak sampai ketingkatan wajib; sesuatu yang kalau dikerjakan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak mendapatkan siksaan/ 7 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam,hal 52
Hukum Islam 45 hukuman; sesuatu yang kalau dikerjakan terpuji pelakunya, dan kalau ditinggalkan tidak tercela menurut pandangan agama; atau sesuatu yang sebaiknya dikerjakan, tetapi boleh juga ditinggalkan. Mandub juga dinamakan nafilah sunnat, tathawu, mustahab, dan ihsan. 8 Abu Zahrah, yang mengadakan pengkajian terhadap hukum-boeog ms[l[’, \_le_mcgjof[h \[bq[ Mandub itu terdiri atas tiga tingkatan. a. Sunnah muakkadah, yaitu amalan yang dikerjakan Nabi secara tetap (kontinu, tidak insidentil), seperti shalat tarawih, shalat dua rakaat sebelum fajar, sesudah dzuhur, sesudah magrib, dan sesudah isya. b. Sunnah bukan muakkadah, ialah amalan yang dilakukan Nabi secara insidental, tidak terus menerus, seperti shalat empat rakaat sebelum dzuhur dan sebelum asar, dan juga sebelum isya. c. Hal-hal yang dilakukan Nabi yang berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan Nabi sehari-hari, seperti pakaian Nabi, makanan dan minumannya, tidurnya, memelihara jenggot dan menggunting kumisnya dan lain-lain yang tidak ada perintah dalam Al-Qol’[h dan Hadis untuk mengikutinya. Hal-hal diatas dikategorikan Mandub yang tingkatannya di bawah dua macam Mandub yang pertama atau kedua. Mengikutinya hal-hal yang termasuk tradisi atau kebiasaan Nabi itu pada hakikatnya baik, karena sebagai penghormatan kepada Nabi. Namun kalau orang tidak mengikutinya, ia tidak berdosa dan tidak 8 Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,hal41
46 Hukum Islam tercela. Bahkan orang yang menjadikan tradisi/ kebiasaan Nabi sebagai bagian dari agama atau sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan itu membuat \c^’[b. 3. Haram dan macamnya Haram ialah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang pasti, baik dalilnya Q[nb’c g[oj[oh ^[fcf Dt[hhc. M_holon j_h^[j[n Jogbol, haram ada dua macam, yaitu : a. Haram li dzatih, ialah sesuatu yang dilarang oleh agama karena mengandung bahaya/ risiko, seperti makan bangkai, minumminuman keras, dan berbuat zina. b. Haram li ghairih, ialah sesuatu yang dilarang oleh agama karena faktor lain. Misalnya melihat aurat wanita yang bukan istrinya, dilarang (haram), karena bisa mendorong orang berbuat zina. Demikian pula do[f \_fc j[^[ q[eno mo^[b [^[ [^t[h mb[f[n Jog’[n adalah haram berdasarkan firman Allah dalam AlQol’[h Sol[b Af-Jogo’[b [s[n 9: ‚H[c il[ha-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan m_g\[bs[ha j[^[ b[lc Jog’[n, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual \_fc.‛ Jual beli itu sendiri tidak dilarang, tetapi karena jual \_fc j[^[ q[eno mo^[b [^[ [^t[h mb[f[n Jog’[n (m_n_f[b imam naik mimbar dan muadzin telah membaca adzan
Hukum Islam 47 j[^[ b[lc Jog’[n) cnu bisa menyebabkan orang e_nchaa[f[h mb[f[n Jog’[nhs[. 9 Ada perbedaan antara haram li dzatih dan haram li ghairih pada dua hal ialah : a. Apabila dilakukan akad (akad jual beli atau akad nikah dan sebagainya) pada sesuatu yang haram li dzatih, maka akad itu tidak sah menurut hukum. Misalnya jual beli bangkai, minuman keras, dan babi tidak sah. Demikian pula akad nikah antara pria dan wanita yang ada hubungan mahram yang bersifat abadi, menurut hukum tidak sah. Berbeda dengan akad yang dilakukan pada sesuatu yang haram li ghairih, akadnya tetap sah tetapi pelakunya berdosa. Mcm[fhs[ do[f \_fc j[^[ q[eno mb[f[n Jog’[n (mo^[b azan muadzin, dan imam sudah naik mimbar) adalah sah menurut Jumhur (Hambali dan Dzahiri tidak menganggap sah), tetapi pelakunya berdosa. Demikian pula orang melakukan perkawinan melalui khitbah (pinangan) dengan wanita yang sudah dikhitbah orang lain, dan khitbah yang pertama itu sudah diterima. Nikahnya tetap sah, hanya pelaku-pelakunya (suami-istri yang bersangkutan)itu berdosa, karena melanggar janji dan merugikan orang lain. b. Sesuatu yang haram li dzatih hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau terpaksa sekali. Seperti minum-minuman keras hanya dibolehkan kalau benar-benar dikhawatirkan mati kehausan karena tidak ada minuman lain yang halal pada waktu itu. 9 Hanafi, Ahmad, Pengantar Sejarah Hukum Islam hal 32
48 Hukum Islam Berbeda dengan sesuatu yang haram li ghairih. Tidak harus dalam keadaan terpaksa (darurat/ emergency), tetapi cukup dalam keadaan perlu (urgen), orang diperbolehkan melakukan hal yang haram li ghairih. Misalnya, dokter boleh melihat aurat pasiennya untuk pemeriksaan medis. Perbedaan antara darurat dan hajat, ialah kalau darurat adalah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara luar biasa dan terkadang melanggar hukum. Sedangkan hajat ialah suatau keadaan yang memerlukan penanganan secara khusus yang dalam keadaan biasa tidak diperkenankan. Tetapi apabila tidak diperbolehkan menangani khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan, padahal menurut kaidah Fiqiyah : ‚K_moe[l[h cno ^[j[n g_h[lce e_go^[b[h‛. Dan kaidah Fiqiyah ini sesuai dengan Al-Qol’[h Surah Al-H[d [s[n 78 : ‚D[h Aff[b nc^[e g_hd[^ce[h ohnoe e[go ^[f[g [a[g[ mo[no e_m_gjcn[h‛. 10 4. Makruh dan macamnya Makruh menurut Jumhur, ialah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak pasti/ wajib. Contoh makruh dalam Al-Qol’[h surah Al-Maidah ayat 101 : ‚H[c il[ha-orang yang beriman, janganlah kamu tanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yangjika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu 10 Koesnoe, Moch., Perbandingan Antara Hukum Islam, Hukum
Hukum Islam 49 menanyakan diwaktu Al-Qol’[h cno m_^[ha ^cnolohe[h, hcm][s[ [e[h ^cn_l[hae[h e_j[^[go‛. Contoh makruh dalam Hadis antara lain sabda Nabi Saw: ‚S_mohaaobhs[ Aff[b nc^[e moe[ e[go \[hs[e omong, banyak Tanya atau banyak minta, dan menyiahsc[e[h b[ln[ \_h^[‛. Berdasarkan qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa larangan yang terkandung dalam ayat dan hadis di atas tidak dimaksudkan haram, tetapi hanya makruh. Berarti hal-hal yang tersebut dalam ayat dan hadis di atas, seperti banyak bicara dan banyak tanya atau banyak minta, sebaiknya dihindari. Terkecuali banyak bicara dan banyak tanya dalam kaitannya dengan tugas kewajiban seseorang sebagai juru penerang/ penyuluh, anggota DPR, atau sebagai peneliti misalnya, tentunya tidak dilarang. Bahkan Al-Qol’[h g_hsoluh kita bertanya kepada orang-orang yang pandai, seperti terdapat dalam surat Al-Ah\cs[’ [s[n 7: ‚M[e[ n[hs[e[hf[b if_bgo e_j[^[ il[ha-orang s[ha \_lcfgo. Jce[ e[go nc^[e g_ha_n[boc‛. Menurut Hanafiyah, makruh ada dua macam, ialah : a. Makruh tahrim, ialah sesuatu yang dituntut agama untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang pasti berdasarkan dalil dzanni, seperti memakai sutra atau cincin emas bagi laki-laki. Makruh tahrim lawan dari wajib menurut Hanafiyah.
50 Hukum Islam b. Makruh tanzin, ialah sesuatu yang tuntut agama untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh tanzin adalah lawan dari mandub, dan pengertiannya sama dengan pengertian makruh menurut Jumhur. 5. Mubah dan dasar-dasar hukumnya Mubah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama untuk orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya. Artinya ia boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya, seperti makan, minum, atau bermain-main yang sehat. Asy-Syaukani memberi definisi, mubah sebagi sesuatu yang tidak dipuji orang mengerjakan dan juga orang yang meninggalkannya. Dasar-dasar hukum untuk menetapkan suatu itu mubah ada 3 (tiga) macam, ialah : a. Dinyatakan sendiri dalam nash, nahwa tidak berdosa melakukan, seperti firman Allah dalam Al-Qol’[h Surat Al-B[k[l[b [s[n 173 : ‚ S_mohaaobhs[ Aff[b hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada ^im[ \[achs[‛. b. Tidak ada nash Al-Qol’[h ^[h H[^cm s[ha d_f[m menunjukkan keharamannya, dan hal ini sesuai dengan kaidah Fiqhiyah yang dirumuskan oleh para of[g[ : ‚P[^[ ^[m[lhs[ m_a[f[ m_mo[no cno \if_b (go\[b), e_]o[fc [^[ ^[fcf s[ha g_hab[l[ge[hhs[‛.
Hukum Islam 51 c. Adanya nash yang jelas menunjukkan kebolehan ataupun kehalalannya, seperti halal makanan yang baik-baik dan makanan sembelihan yang disajikan oleh Ahlul Kitab untuk umat Islam, berdasarkan firman Allah Surat A-M[c^[b [s[n 5: ‚P[^[ b[lc chc dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi g_l_e[‛. 11 Menghadapi hal-hal yang mubah tidak berarti boleh berbuat semaunya, baik melakukan atau meninggalkannya, misalnya makan, minum, dan berekreasi yang sehat diperbolehkan dengan memilih jenis makanan, minuman, dan rekreasi yang disukai, dan juga waktu apa saja yang disukai. Namun, tidak boleh berlebihlebihan, sehingga makanan, minuman, dan rekreasinya menyita seluruh waktu, sebagaimana firman Allah dalam surat AlA’l[` [s[n 31: ‚M[e[h ^[h gchogf[b, ^[h d[ha[hf[b \_lf_\cbf_\cb[h‛. Sebaliknya orang pun tidak boleh tidak mau makan dan minum, sehingga dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwanya, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 195 : ‚D[h d[ha[hf[b e[go g_hd[nobe[h ^clcgo m_h^clc e_ ^[f[g e_\ch[m[[h‛. C[n[n[h n_hn[ha Hoeog ‘Atcg[b ^[h Hoeog Rukhshah 11 Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah,
52 Hukum Islam Melaksanakan hukum-hukum taklifi (wajib, haram, dan sebagainya) adakalanya mengalami kesukaran atau halangan. Maka sesuai dengan asas-asas hukum Islam alasas praktis/ mudah dan terjangkau oleh kemampuan g[homc[, g[e[ ncg\off[b boeog ‘[tcg[b ^c m[gjcha hukum rukhshah. Hoeog ‘[tcg[b c[f[b boeog [m[f s[ha \_lf[eo untuk seluruh manusia yang sudah mukallaf (dewasa dan m_b[n `cecl[hhs[). S_^[hae[h boeog ‘[tcg[bc[f[b hukum bukan asal timbul karena adanya kesukaran atau halangan untuk melakukan hukum asal itu. Halangan melakukan hukum azimah (hukum asal), sehingga membolehkan hukum rukhshah, antara lain sakit, berpergian, dan lanjut usia dalam bulan Ramadhan, merupakan faktor-faktor penyebab rukhshah. Artinya seseorang yang sedang dalam keadaan darurat atau hajat dapat menjadi penyebab rukhshah. Misalnya orang yang keadaannya sangat lapar dan tidak menemukan yang halal. Boleh makan sedikit makanan yang semestinya haram, seperti bangkai atau daging babi hutan sekadar untuk mempertahankan hidupnya. Kelima macam hukum tersebut di atas (hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah) dalam sistem boeog Imf[g ^cm_\on ^_ha[h ‛AL-AKHKAMUL KHAMSAH‛. 12 12 Praja, Juhaya S., Hukum Islam di Indonesia.
Hukum Islam 53 Sebagaimana telah diuraikan dimuka, bahwa hukum W[^b’c cno c[f[b boeog ms[l[’ s[ha g_hd[^ce[h ^o[ b[f berkaitan satu sama lain, dan salah satunya menjadi sebab, ms[l[n, [n[o g[hc’ (b[f[ha[h/ lchn[ha[h). B_l^[m[le[h ^_`chcmc n_lm_\on, g[e[ boeog W[^b’c ^c\[ac g_hd[^c 3 (nca[) g[][g c[f[b: m_\[\, ms[l[n ^[h g[hc’. Uhnoe f_\cb d_f[mhs[ perlu diterangkan ketiga g[][g boeog W[^b’c cno. 1. Sebab dan macamnya ‚S_\[\‛ g_holon Jogbol, c[f[b m_mo[no s[ha n[gj[e yang dijadikan oleh agama sebagai tanda adanya hukum. Sebab ada dua macam yaitu: a. Sebab yang bukan merupakan hasil perbuatan manusia, yang dijadikan Allah sebagai tanda adanya hukum, seperti waktu shalat sudah tiba menjadi sebab wajib shalat; keadaan khawatir berbuat zina sedangkan mampu membentuk dan membina keluarga (rumah tangga) menjadi sebab wajib kawin; kematian menjadi sebab adanya warisan. b. Sebab yang merupakan hasil perbuatan manusia, ialah perbuatan seorang mukallaf yang menyebabkan agama menetapkan akibat-akibat hukumnya. Misalnya, bepergian pada bulan Ramadhan menjadi sebab rukhshah (dispensasi) tidak wajib berpuasa; akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan sebagai suami-istri; zina menjadi sebab hukum had. Sebab menimbulkan akibat, sekalipun tidak dikehendaki pelakunya. Misalnya adanya akad nikah mempunyai akibat hukum, ialah lelaki dan wanita mempunyai hak dan
54 Hukum Islam kewajiban sebagai suami-istri, sekalipun kedua orang itu tidak menghendaki adanya hukum-hukum yang dikenakan kepada keduanya sebagai akibat perbuatan mereka (nikah). Demikian pula kematian seseorang menyebabkan ahli warisnya mewarisi harta pusakanya, sekalipun hal ini tidak dikehendaki oleh si mati dan juga ahli waris menolak menerima warisannya. Aj[\cf[ j_l\o[n[h s[ha g_hd[^c ‚m_\[\‛ cno diperintahkan atau diizinkan oleh agama, maka akibat hukumannya adalah hak bagi pelakunya. Misalnya perkawinan mengakibatkan adanya hak saling mewarisi antara suami-istri dan juga anak-anak yang lahir dari perkawainannya. Apabila perbuatan yang menjadi sebab itu dilarang oleh agama, maka si pelakunya menerima hukuman akibat perbuatannya. Misalnya, pembunuhan atas orang yang mewariskan harta bendanya mengakibatkan si pembunuh mendapat hukuman pidana (qisas), dan ia gugur haknya sebagai pewarisnya. 13 2. Syarat dan macamnya Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya suatu hukum, yang berarti ada dan tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya syarat, tetapi adanya syarat belum tentu ada hukumnya. Ada perbedaan antara syarat dan sebab, ialah adanya syarat belum tentu ada hukum, misalnya adanya wudhu yang menjadi syarat sahnya shalat belum tentu ada kewajiban shalat. Dan adanya dua saksi yang menjadi 13 Usman, Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,
Hukum Islam 55 syarat sahnya perkawinan, belum tentu ada perkawinan. Sedangkan adanya sebab tentu timbul hukumnya, e_]o[fc e[f[o [^[ g[hc’ (b[f[ha[h). Mcm[fhs[ e[f[o waktu shalat sudah tiba, maka wajiblah shalat; kalau masuk bulan Ramadhan, maka wajiblah berpuasa; dan kalau ada unsur memabukkan, maka diharamkan. a. Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti jatuh haul (tempo mengeluarkan zakat) menjadi syarat untuk wajib mengeluarkan zakat atas harta benda yang telah mencapai nisabnya (kekayaan yang terkena zakat). Nisab merupakan sebab wajib zakat, karena nisab ini menjadi indikator (petujuk) adanya kekayaan seseorang. Hanya saja kekayaan yang ditandai dengan nisabnya itu baru ternyata betul, jika setelah jatuh haulnya, kekayaan yang telah mencapai nisabnya masih sempurna dimilikinya. Demikian pula harta benda yang tersimpan baik menjadi syarat dikenakannya hukuman had kepada si pencurinya, karena pencurian tidak terjadi secara sempurna, kecuali kalau harta benda itu telah tersimpan ditempat yang aman. b. Syarat yang menyempurnakan musabab, seperti wudhu dan menghadap kiblat merupakan syarat yang menyempurnakan hakikat shalat. M[hc’ ^[h g[][ghs[ M[hc’ ialah sesuatu yang kalau ada bisa meniadakan atau menghalangi tujuan yang dicapai oleh sebab atau hukum. Menurut Asy-Ss[nc\c, g[hc’ c[f[b m_\[\ s[ha menimbulkan illat atau keadaan yang meniadakan hikmah hukumnya. Misalnya, sebab wajib zakat ialah harta yang
56 Hukum Islam ^cgcfcec n_f[b g_h][j[c hcm[\. Dc[hn[l[hs[ g[hc’ (lchn[ha[h) yang menghalangi kewajiban zakat, ialah adanya utang yang jumlahnya bisa mengurangi nisabnya, karena adanya utang itu dapat menghilangkan hikmah wajib zakat. 14 3. M[hc’ [^[ ^o[ g[][g c[f[b : a. M[hc’ s[ha g_gj_ha[lobc [n[o g_hab[f[hac m_\[\, seperti pembunuhan menghalangi hak waris, karena penyebab hak waris adalah hubungan kerabat atau perkawinan dengan si mati. Karena itu, pewaris seharusnya melindungi keselamatan orang yang akan mewariskan harta bendanya kepadanya, bukan membunuhnya agar bisa segera mewarisinya. b. M[hc’ s[ha g_hab[f[hac boeog [^[ 3 (nca[) g[][g, ialah : 1) M[hc’ (b[f[ha[h) s[ha g_g\_\[me[h boeog taklifi, misalnya karena gila, sebab orang yang gila bukanlah orang mukallaf selama ia dalam keadaan gila. Karena itu, tidak wajib mengqhada hukum-hukum taklifi yang tidak dikerjakan. 2) M[hc’ s[ha g_g\_\[me[h boeog n[efc`c, sekalipun masih mungkin melakukan hukum taklifi. Misalnya wanita yang sedang menstruasi atau habis melahirkan bayi tidak wajib shalat, bahkan dilarang shalat, sekalipun fisik dan mentalnya memungkinkan orang yang bersangkutan melakukan shalat. 3) M[hc’ s[ha nc^[e g_g\_\[me[h m[g[ m_e[fc hukuman taklifi, tetapi hanya mendapat keringanan dari tuntutan yang pasti kepada 14 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum
Hukum Islam 57 mubah. Misalnya sakit menjadi halangan wajib mb[f[n Jog’[n. T_n[jc e[f[o il[ha m[ecn cno g_f[eoe[h mb[f[n Jog’[n, g[e[ m[bf[b mb[f[n Jog’[nhs[. D_gcec[h jof[ q[hcn[ ^[h gom[`cl nc^[e q[dc\ mb[f[n Jog’[n, n_n[jc e[f[o g_l_e[ g_ha_ld[e[h mb[f[n Jog’[n, m[bf[b Jog’[tnya. 15 4. Catatan tentang Sah/ Sahih, Fasad/ Fasid dan Batal/ Batil P_l\_^[[h boeog (n[efc`c [n[o q[^bc’) s[ha dilakukan orang mukallaf, baik mengenai ibadah maupun mengenai muamalah dalam hal ini membuat akad (perikatan/ perjanjian), ada yang sah dan ada pula tidak sah. Menurut fuqaha, ibadah dibagi menjadi dua; sah dan tidak sah. Ibadah yang sah ialah ibadah yang telah memenuhi rukun dan syarat sahnya; sedangkan ibadah yang tidak sah ialah ibadah yang tidak memenuhi semua rukun dan syarat sahnya. Ibadah yang tidak sah masih menjadi tanggungan orang yang bersangkutan, sehingga c[ q[dc\ g_haof[hac (I’[^[b) c\[^[b cno j[^[ q[enohs[, atau wajib mengqadhanya diluar waktunya. Fuqaha sepakat, bahwa ibadah yang tidak sah itu tidak perlu dibedakan antara yang batal dan yang fasad (rusak). Menurut Jumhar, akad dibagi dua ialah: akad yang sah dan akad yang tidak sah. Akad yang sah ialah akad yang memenuhi semua rukun dan syarat sahnya. Sedangkan akad yang tidak sah, ialah akad yang tidak atau belum memenuhi semua rukun dan syarat sahya. Akad yang tidak sah menurut Jumhar sama dengan 15 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam
58 Hukum Islam ibadah yang tidak sah, artinya tidak dibedakan antara akad yang bathil dan akad yang fasid, akibat hukumnya sama saja, yakni tidak sah dan tidak mempunyai akibat apa-apa. Atau dengan kata lain akad yang bathil atau fasid itu berarti tidak ada akad. Menurut Hanafiyah, akad itu dibagi tiga ialah : a. Akad yang sah (sahih), ialah akad yang memenuhi semua rukun dan syarat-syarat yang berkaitan dengan hukumnya. b. Akad yang batal (batil), ialah akad yang tidak memenuhi rukunrukunnya. Akad yang batal tidak mempunayi akibat hukum. Karena tidak adanya sebab yang mengakibtakan adanya hukum. Karena itu akad yang batal dipandang tidak ada akad. Misalnya dua orang melakukan transaksi atau akad jual beli batal, karena tidak memenuhi salah satu rukun akadnya, yakni adanya barang yang diperjualbelikan. c. Akad yang fasad (fasid) atau rusak, ialah akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang menyempurnakan hukumnya. Akad yang fasad dipandang sudah ada akadnya. Karena sudah dipenuhi rukunrukunnya, hanya yang belum dipenuhi syaratsyaratnya yang menyempurnakan hukumnya. Misalnya jual beli barang yang tidak diketahui keadaan (sifat, ukurannya dan sebagainya) dipandang sudah terjadi jual beli. Hanya saja jual beli ini fasid, tidak mempunyai akibat hukum, sehingga tidak terjadi pemindahan hak milik atas barang dari penjual kepada pembeli., dan tidak ada
Hukum Islam 59 penyerahan harga barang dari pembeli kepada penjual, serta masing-masing pihak tidak diperbolehkan menggunakan harta benda pihak lain. Karena itu, jual belinya harus di-fasakh (dibatalkan).16 16 Rahman, Abdul. Perkawinan dalam Syariat Islam
60 Hukum Islam Historikal Perkembangan Hukum Islam di Dunia Dr. Badrah Uyuni, MA. Sejarah perkembangan hukum Islam sangat panjang dan kompleks, melibatkan berbagai perubahan sosial, politik, dan kultural di seluruh dunia Islam. (Sutrisno, 2021)
Hukum Islam 61 Secara garis besar, sejarah perkembangan hukum Islam dikategorikan sebagai berikut: 1. Zaman Nabi Muhammad SAW (610 M - 632 M) Pada periode ini, hukum Islam berdasarkan pada wahyu langsung dari Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Al-Quran, serta praktik dan ajaran yang diperlihatkan oleh Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari. Pada fase awal di Mekkah, Nabi Muhammad SAW fokus pada perbaikan akidah umat Islam karena akidah merupakan pondasi bagi amaliah ibadah. Perbaikan ini diharapkan dapat mengubah umat dari kebiasaan buruk seperti pembunuhan, perzinahan, dan praktik mengubur anak perempuan hidup-hidup. Hukum-hukum ibadah yang disyariatkan di Mekkah berkaitan erat dengan akidah dan akhlak, seperti mengharamkan bangkai. Setelah fase ini selesai, Nabi Muhammad SAW melanjutkan dengan fase di Madinah, di mana perhatian ditujukan pada pembentukan hukum kemasyarakatan. Di Madinah, Nabi mengarahkan hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalat (urusan ekonomi), jihad (perjuangan), jinayat (hukuman pidana), mawarits (pembagian warisan), wasiat, talak (perceraian), sumpah, dan peradilan. Fase Madinah ini merupakan ajakan untuk g_ha[g[fe[h ms[lc’[n Imf[g ^[fam kehidupan bermasyarakat. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kehidupan sosial dan membentuk aturan yang mengatur baik dalam situasi damai maupun perang. Jadi, fase
62 Hukum Islam Mekkah berfokus pada perbaikan akidah sebagai pondasi, sementara fase Madinah mengarah pada pembentukan hukum kemasyarakatan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan teratur. (Uyuni & Muhibudin, 2020) Sumber hukum Islam pada masa ini: a. Al-Quran sebagai Sumber Utama Hukum Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Al-Quran memberikan panduan dan aturan langsung dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, moralitas, hukum pidana, sosial, ekonomi, dan politik. Contohcontoh hukum dalam Al-Quran antara lain: tata cara shalat (Al-Baqarah: 45), Larangan meminum minuman keras (Al-Baqarah: 219), pembagian waris (An-Nisa: 11- 12), larangan riba (Al-Baqarah: 275-279), tata cara berpuasa (Al-Baqarah: 183), Hukum Nikah dan Perceraian (An-Nisa: 3,19, 32-35), hukum hudud, dll. b. Sunnah dan Hadis Contoh-contoh hukum dalam hadis antara lain: ‚Tidak ada shalat bagi yang mabuk" (HR. Bukhari), "Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama ini yang bukan darinya, maka itu tertolak" (HR. Muslim), tata cara shalat, tata cara wudhu, dll. Nabi Muhammad berperan sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara umat Muslim. Hukumhukum yang bersifat konkret dan detail dibentuk berdasarkan wahyu Al-Quran dan petunjuk Nabi (hadits). c. Penggunaan Konsensus (Ijma) dan Analogi (Qiyas)
Hukum Islam 63 Selain Al-Quran dan Sunnah, metode ijma (konsensus) dan qiyas (analogi) juga digunakan untuk menetapkan hukum yang tidak secara langsung dijelaskan dalam Al-Quran atau Sunnah. Ijma mengacu pada kesepakatan umat Muslim terkemuka atau ulama pada masalah tertentu. Dan qiyas merupakan analogi yang digunakan untuk menerapkan hukum pada situasi baru berdasarkan pada hukum yang sudah ada. Pada masa ini, prinsip-prinsip hukum Islam yang fundamental mulai dibentuk, dan hal ini menjadi tonggak penting dalam sejarah peradaban Islam. Prinsipprinsip seperti keadilan, kemanusiaan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta tujuan menciptakan masyarakat yang bermoral dan adil, menjadi landasan utama dalam pembentukan hukum Islam. (Shomad, 2017) Sistem hukum Islam yang berkembang pada masa ini menjadi fondasi bagi peradaban awal Islam. Masyarakat Muslim pada masa itu hidup berdasarkan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan mereka, dari ritual ibadah hingga urusan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya mempengaruhi aspek agama, tetapi juga menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan sehari-hari umat Islam. (Syarifudin, 2014) Pengembangan hukum pada masa ini sangat terfokus pada praktik-praktik sehari-hari umat Islam. Aturan-aturan yang ditetapkan dalam hukum Islam pada masa itu bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, moral, dan bermartabat. Misalnya, dalam urusan ekonomi, terdapat aturan-aturan tentang perdagangan
64 Hukum Islam yang jujur, pemberian zakat untuk membantu yang membutuhkan, serta pembagian warisan yang adil. Dalam urusan sosial, hukum Islam memberikan panduan tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama, memberikan perlindungan terhadap kaum lemah, serta mendorong sikap saling menghormati antarindividu. Sedangkan dalam urusan politik, hukum Islam mengatur tentang kepemimpinan yang adil, kewajiban untuk mematuhi otoritas yang sah, serta pentingnya partisipasi dalam urusan publik untuk mencapai kesejahteraan bersama. (Adnan & Uyuni, 2021) Dengan demikian, pada masa ini, pengembangan hukum Islam tidak hanya berhenti pada aspek ritual ibadah semata, tetapi juga meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa hukum Islam bukan hanya sebagai seperangkat aturan formal, tetapi juga sebagai panduan moral yang mendalam bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan mereka secara keseluruhan. 2. Zaman Khulafaur Rasyidin (632 M - 661 M) Zaman Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib, RA) (632 M - 661 M) merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Pada masa ini, Khulafaur Rasyidin, yaitu para khalifah yang dipilih secara demokratis oleh umat Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, memimpin umat Islam. a. Abu Bakar (632-634 M): Pada masa pemerintahannya, terjadi penyebaran Islam yang pesat di wilayah Arab.
Hukum Islam 65 b. Umar bin Khattab (634-644 M): Khalifah kedua yang memperluas wilayah kekhalifahan dengan penaklukan besar di wilayah Suriah, Mesir, Persia, dan sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur. memperluas wilayah kekhalifahan dengan penaklukan besar di wilayah Suriah, Mesir, Persia, dan sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur. c. Utsman bin Affan (644-656 M): Khalifah yang memperluas wilayah kekhalifahan hingga mencapai wilayah jauh seperti Khorasan. Pada masa pemerintahannya, terjadi standarisasi naskah AlQuran. d. Ali bin Abi Thalib (656-661 M): Pemerintahannya diwarnai oleh konflik dan perpecahan di antara umat Muslim, terutama dengan kelompok yang kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Periode ini, yang dimulai sejak awal wafat Rasulullah (t. 11 H) hingga akhir abad ke-1 Hijriyah, disebut sebagai periode Sahabat. Pada masa ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan para pembesar Sahabat, di antaranya ada yang hidup hingga akhir abad pertama Hijriyah, seperti Anas ibn Malik r.a. yang wafat pada tahun 93 H. Periode Sahabat ini ditandai dengan penafsiran dan pembukaan pintu istinbath (penyimpulan) bagi hal-hal yang tidak memiliki nash (teks yang eksplisit) dalam AlQur'an dan Hadis. Para pembesar Sahabat mengeluarkan pendapat-pendapat yang beragam dalam menafsirkan nash-nash hukum, baik dari Al-Qur'an maupun Hadis. Mereka dianggap sebagai marji' (tempat kembali) dalam
66 Hukum Islam pembentukan hukum, terutama dalam penjelasan hukum-hukum Qur'an dan Hadis. Dalam periode ini, fatwa-fatwa mulai bermunculan mengenai berbagai hukum peristiwa yang tidak memiliki nash yang eksplisit. Fatwa-fawa ini dianggap sebagai dasar bagi ijtihad (penalaran) dan istinbath (penyimpulan hukum) selanjutnya. Jadi, periode Sahabat adalah masa di mana terjadi penafsiran yang luas terhadap nash-nash hukum, terutama Al-Qur'an dan Hadis, serta lahirnya fatwa-fatwa yang menjadi dasar bagi pengembangan ijtihad dan istinbath dalam hukum Islam. Pada periode ini, dari meninggalnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H hingga akhir masa Khulafaurrasyidin pada tahun 40 H, merupakan periode pertama dalam pembentukan fikih Islam. Pada awalnya, hukum-hukum syariat sudah lengkap saat zaman Nabi SAW, namun dengan wafatnya beliau, para sahabat harus menghadapi tantangan mencari sumber hukum untuk menjawab perkembangan zaman yang terus berlangsung. Khulafaurrasyidin, sebagai penerus kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, memegang kendali dalam menetapkan hukum syariat. Wilayah Islam berkembang luas, dari Mesir, Syam, Persia, hingga Iraq, menuntut mereka untuk berijtihad dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlandaskan pada AlQur'an dan Hadits. Karena tidak semua masalah terdapat jawabannya dalam Al-Qur'an, para sahabat mencari jawaban dalam Hadits. Namun, pada masa itu, Hadits belum dibukukan sehingga mereka seringkali berdiskusi
Hukum Islam 67 untuk saling bertukar wawasan tentang Hadits yang mereka hafal. Pada zaman sahabat inilah, mereka berijtihad terutama pada masalah-masalah khusus seperti terkait dengan keluarga, akad, dan kewajiban. Mereka menghindari berbicara mengenai agama di luar kompetensinya untuk menghindari kesalahan dalam bidang hukum. Jadi, periode ini menandai awal pembentukan fikih Islam, di mana para sahabat, terutama Khulafaurrasyidin, menghadapi tugas berat dalam menetapkan hukum syariat untuk menjawab permasalahan yang muncul seiring berkembangnya wilayah Islam. Mereka berpegang pada Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber utama, dengan berijtihad dalam berbagai masalah, meskipun Hadits pada masa itu belum tersusun dalam buku sehingga memerlukan diskusi intens antar sahabat untuk memahami dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. (Akbar, 2021) Pada masa tersebut, terjadinya perbedaan pendapat di antara para sahabat dalam fikih Islam disebabkan oleh beberapa faktor: (awaliah & Santalia, 2022) a. Tafsir yang Bersifat Zanni: Beberapa ayat al-ahkam (ayat yang berisi hukum-hukum) memiliki makna yang bersifat zanni (samar). Misalnya, kata "quru'" yang bisa berarti suci atau haid. Hal ini menyebabkan perbedaan pemahaman di antara sahabat. b. Makna Hakikat atau Majas: Terkadang perbedaan muncul karena perbedaan dalam memahami apakah suatu kata atau lafal dalam ayat memiliki makna
68 Hukum Islam hakikat atau majas. Contohnya adalah penggunaan kata 'Ab' (ayah) dalam persoalan warisan. c. Perbedaan dalam Pemahaman Bahasa: Sahabat memiliki perbedaan dalam pemahaman bahasa Arab, termasuk istilah-istilah asing dan penggunaannya. d. Pergaulan dengan Nabi Muhammad SAW: Tingkat pemahaman terhadap Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan Sunnah dipengaruhi oleh seberapa sering seseorang bergaul dengan Nabi Muhammad SAW. Semakin banyak bergaul, maka pemahaman semakin baik. e. Perbedaan dalam Jenjang Pemahaman dan Hafalan: Sahabat memiliki perbedaan dalam tingkat pemahaman, hafalan, kemampuan istinbat (penarikan kesimpulan hukum), serta kemampuan dalam menerjemahkan isyarat dan nas-nas syariat. f. Penguasaan dan Pemahaman Sunnah: Perbedaan juga disebabkan oleh tingkat penguasaan dan pemahaman terhadap Sunnah, serta penggunaan ra'y (pendapat analogi) secara khusus yang tidak selalu sama. g. Konteks dan Zaman: Lingkungan dan perubahan zaman juga mempengaruhi pemahaman dan pandangan sahabat terhadap beberapa masalah fikih. Contoh-contoh Hukum pada Masa Khulafaur Rasyidin: Sahabat Nabi seperti Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas menjadi otoritas dalam penafsiran
Hukum Islam 69 Al-Quran dan hadis; dan Ulama-ulama awal seperti Ali bin Abi Thalib RA, Abdullah bin Mas'ud RA, dan Abu Hurairah RA juga berperan dalam memberikan fatwa dan penjelasan hukum kepada umat Muslim. Dan Penetapan Zakat: Umar bin Khattab RA mengatur secara terperinci tentang zakat, termasuk pembagian zakat kepada berbagai golongan dan aturan-aturan terkait zakat harta. Hukuman Pencuri: Umar bin Khattab RA memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri berdasarkan pada ayat Al-Quran (Al-Maidah: 38) dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Hukum Perang: Umar bin Khattab RA juga menetapkan aturan-aturan yang harus diikuti dalam perang, seperti larangan membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua yang tidak ikut berperang. Penetapan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran Bulan (Qamariyyah). Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu. Keputusan yang lain yaitu, pembiasaan salat Tarawih setelah shalat Isya, selama bulan Ramadan. 3. Zaman Pertumbuhan Mazhab Pada masa ini, terjadi ekspansi wilayah Islam yang luas, dari Spanyol hingga Asia Tengah. Munculnya madzhab-madzhab hukum (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) yang memberikan kerangka kerja hukum Islam yang lebih terperinci. Pada masa ini, hukum Islam terus berkembang dengan pembentukan madzhab-madzhab hukum utama, yaitu:
70 Hukum Islam a. Madzhab Hanafi: Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (699-767 M), berpusat di Kufah (Irak), fokus pada qiyas dalam menetapkan hukum. Madzhab Hanafi adalah salah satu madzhab hukum Islam yang paling besar. madzhab Hanafi mengalami perkembangan signifikan di bawah para cendekiawan seperti Imam Abu Yusuf (731-798 M) dan Imam Muhammad alShaybani (749-805 M). b. Madzhab Maliki: Didirikan oleh Imam Malik ibn Anas (711-795 M), berpusat di Madinah, fokus pada Amal Ahl Al-Madinah. Madzhab Maliki adalah madzhab yang dominan di wilayah Maghribi (Afrika Utara) dan banyak wilayah Afrika. Kitab utama dalam madzhab ini adalah "al-Muwatta" karya Imam Malik sendiri. c. Madzhab Syafi'i: Didirikan oleh Imam Asy-Syafi'i (767-820 M), berpusat di Kairo (Mesir), fokus pada hadis-hadis Nabi sebagai sumber hukum utama. madzhab ini menjadi salah satu madzhab utama yang mempengaruhi banyak aspek hukum Islam. Kitabnya yang terkenal, "al-Risala," menjadi salah satu rujukan utama dalam madzhab ini. d. Madzhab Hanbali: Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, berpusat di Baghdad (Irak), fokus pada AlQuran dan hadis. Didirikan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M), madzhab Hanbali adalah yang paling konservatif di antara empat madzhab utama. Kitab utamanya adalah "Musnad Ahmad," yang berisi ribuan hadis. Pada masa ini, banyak kitab-kitab hukum Islam yang penting dikompilasi. Kitab Al-Muwatta oleh Imam Malik
Hukum Islam 71 (716 M): Salah satu kitab hukum Islam pertama yang mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad dan memuat hukum-hukum yang berlaku di Madinah; Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi'i (810 M): Merupakan kumpulan hukum-hukum dari madzhab Syafi'i yang kemudian menjadi referensi penting; dan Kitab AlMabsut oleh Imam Sarakhsi (dari madzhab Hanafi): Merupakan komentar terperinci atas kitab Al-Mukhtasar karya Imam Muhammad al-Shaybani. Pada zaman ini, metode-metode usul fiqh (prinsipprinsip penafsiran hukum) mulai digunakan secara sistematis. Prinsip-prinsip seperti qiyas (analogi), istihsan (preferensi), istislah (kepentingan umum), dan maslahah mursalah (kepentingan umum yang tidak diatur dalam nash) mulai diterapkan. Universitas-universitas Islam seperti Universitas AlQarawiyyin di Fez (didirikan pada 859 M) dan Universitas Al-Azhar di Kairo (didirikan pada 970 M) menjadi pusat studi hukum Islam. Dan para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) dan Ibn Rushd (1126-1198 M) mulai menulis karya-karya penting tentang hukum Islam dan filsafat. Selama periode ini, peradaban Islam berkembang pesat dan memberikan kontribusi besar dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, dan perdagangan. Hukum Islam berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat dan perdagangan yang maju, dengan prinsip-prinsip seperti larangan riba dan ketentuan-ketentuan perdagangan yang adil. Madzhab-madzhab hukum yang terbentuk pada masa ini masih menjadi referensi utama dalam
72 Hukum Islam pengaturan hukum Islam hingga saat ini. Pusat-pusat pembelajaran Islam juga memberikan kontribusi besar dalam pemikiran hukum dan filosofi Islam yang terus memengaruhi pemikiran hukum di dunia Muslim. (Sutrisno, 2021) Karya-karya Hukum Utama a. "Al-Muwatta" oleh Imam Malik: Karya ini merupakan salah satu sumber hukum utama dalam madzhab Maliki. "Al-Muwatta" berisi hadis-hadis, pendapat para sahabat Nabi, dan pendapat Imam Malik sendiri. b. "Kitab al-Umm" oleh Imam al-Shafi'i: Ini adalah karya utama dalam madzhab Syafi'i. Imam al-Shafi'i merumuskan prinsip-prinsip dasar hukum Islam dalam buku ini. c. "Al-Mabsut" oleh Imam al-Sarakhsi: Karya monumental yang membahas banyak aspek hukum Islam dalam madzhab Hanafi. d. "Al-Mughni" oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi: Karya utama dalam madzhab Hanbali yang membahas berbagai masalah hukum. Institusi Hukum a. Qadhi: Para qadhi (hakim) merupakan institusi penting dalam penerapan hukum Islam. Mereka adalah para ulama yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan fatwa hukum.
Hukum Islam 73 b. Majlis al-Qadha: Majlis pengadilan yang dipimpin oleh qadhi untuk menyelesaikan sengketa antara individu. Perkembangan Metodologi Hukum a. Usul al-Fiqh: Metode dan prinsip-prinsip hukum Islam dikembangkan selama periode klasik ini. Usul al-Fiqh adalah ilmu yang mempelajari metodologi dalam menafsirkan hukum Islam, termasuk prinsipprinsip ijtihad (penalaran hukum). b. Ijtihad: Konsep ijtihad, atau upaya untuk merumuskan hukum berdasarkan prinsip-prinsip Islam, menjadi sangat penting dalam periode klasik ini. Para cendekiawan menggunakan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Qur'an atau hadis. Pengaruh Politik a. Pemerintahan Islam: Pada masa ini, hukum Islam juga menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan. Pemerintah Islam menggunakan hukum Islam dalam menyusun kebijakan dan menjalankan negara. b. Kedudukan Ulama: Para ulama memiliki peran penting dalam memberikan nasihat kepada penguasa, mengawasi penerapan hukum Islam, dan menyelenggarakan pendidikan hukum.
74 Hukum Islam Penyebaran Hukum Islam a. Penyebaran Madzhab: Madzhab-madzhab hukum Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah, membawa dengan mereka karya-karya utama dalam hukum Islam. Madzhab Hanafi misalnya, menyebar ke wilayah Asia Tengah dan India, sementara madzhab Maliki menyebar ke Afrika Utara. b. Pengaruh Kultural: Selain aspek hukum formal, hukum Islam juga mempengaruhi budaya dan kebiasaan masyarakat di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Periode ini menjadi fondasi yang kuat untuk perkembangan lebih lanjut dalam hukum Islam. Pada abad-abad berikutnya, sistem hukum ini terus berkembang dengan lebih banyaknya karya tulis, perdebatan, dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari umat Islam di berbagai belahan dunia. Dalam sejarah Islam, proses kodifikasi hukum mengalami perkembangan yang cukup menarik. Pada awalnya, kodifikasi terhadap sumber-sumber utama hukum Islam seperti Al-Qur'an dan Hadis dilakukan relatif lebih cepat. Al-Qur'an disusun dalam bentuk yang kita kenal saat ini (jam' Al-Qur'an) pada dekade awal abad pertama hijriah, pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar. Sementara itu, kodifikasi Hadis (tadwin al-Hadis) dilakukan pada awal abad kedua hijriah, di masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd al-'Aziz dari Dinasti Umayyah. (Misnan, 2021)
Hukum Islam 75 Kemudian, perjalanan kodifikasi dalam bidang hukum Islam sedikit agak terlambat. Proses ini dimulai dengan gagasan taqnin yang diusulkan oleh Ibn AlMuqaffa', seorang cendekiawan dan penulis pada masa Abbasiyah. Taqnin adalah usaha untuk menetapkan hukum secara tertulis. Selanjutnya, Harun al-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah, meminta Imam Malik, seorang ulama fikih terkenal pada masanya, untuk menjadikan kitab yang disusunnya, yaitu al-Muwatta, sebagai kitab hukum resmi bagi negara Abbasiyah. Meskipun demikian, usaha kodifikasi hukum pada masa itu belum sepenuhnya berhasil atau terlaksana secara resmi. Barulah pada masa pemerintahan Turki Usmani, kodifikasi hukum Islam terlaksana secara resmi untuk pertama kalinya. Pada tahun 1876, Majallah al-Ahkam al- 'Adliyah lahir, yang merupakan sebuah kodeks hukum yang mengadopsi fikih mazhab Hanafi. Majallah ini adalah hasil dari upaya para cendekiawan dan ulama pada masa itu untuk merumuskan hukum Islam dalam bentuk tertulis yang sistematis dan terorganisir. Jadi, sejarah kodifikasi hukum Islam mengalami perjalanan yang cukup panjang dan beragam. Dimulai dengan kodifikasi Al-Qur'an dan Hadis pada masa awal Islam, proses ini kemudian berkembang dengan gagasan taqnin, usaha Harun al-Rasyid dengan Imam Malik, hingga akhirnya mencapai titik penting dengan lahirnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyah pada masa pemerintahan Turki Usmani. Majallah ini menjadi langkah awal dalam
76 Hukum Islam pembentukan sistem hukum tertulis dalam Islam yang diadopsi secara luas. (Misnan, 2021) 4. Zaman Kolonial dan Modern (1800 M - Sekarang) Perkembangan hukum Islam pada zaman kolonial dan modern (1800 M - Sekarang) mengalami dinamika yang sangat kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk kolonialisasi, globalisasi, modernisasi, dan perubahan sosial-politik yang signifikan di dunia Islam. Pada abad ke-19 dan 20, banyak negara-negara Islam dijajah oleh kekuatan Eropa, yang mengakibatkan penurunan pengaruh hukum Islam secara politik. Proses kolonialisasi ini juga memperkenalkan sistem hukum Barat ke dunia Islam. (Zayyadi, 2020) Setelah kemerdekaan, banyak negara Islam mengalami proses "modernisasi" hukum Islam, seperti kode hukum yang mencampur prinsip-prinsip hukum Islam dengan hukum Barat. (Pulungan, 2022) Kolonialisasi a. Pengaruh Hukum Kolonial: Di banyak wilayah di dunia Islam, hukum kolonial Eropa (seperti hukum Inggris, Prancis, Belanda, dll.) mulai diterapkan. Ini menciptakan konflik antara hukum Islam tradisional dan hukum kolonial yang baru. b. Penyimpangan Hukum: Di beberapa tempat, hukum Islam dipinggirkan dan digantikan oleh hukum positif kolonial. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pengaruh hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum Islam 77 Pembaruan Hukum a. Gerakan Pembaruan (Reformasi): Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul gerakan pembaruan dalam dunia Islam yang dikenal sebagai "Islah" atau "Reformasi Islam". Gerakan ini mencoba mengkaji kembali hukum Islam dengan konteks zaman, menekankan pada prinsip-prinsip universalitas, keadilan, dan kemanusiaan. Muhammad 'Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani: Tokoh-tokoh seperti Muhammad 'Abduh di Mesir dan Jamal al-Din al-Afghani memainkan peran penting dalam gerakan pembaruan ini. Mereka menekankan perlunya kembali kepada prinsipprinsip dasar Islam sambil mengadopsi kemajuankemajuan modern. b. Pembentukan Negara-Negara Modern: Seiring dengan dekolonisasi, banyak negara Islam mencoba membentuk negara modern dengan hukum yang lebih terstruktur dan terkodifikasi. Konstitusi: Banyak negara Islam mulai mengadopsi konstitusikonstitusi yang mencakup prinsip-prinsip hukum Islam, meskipun beberapa juga mengadopsi hukum positif yang terinspirasi oleh hukum Barat. Institusi Hukum Modern a. Sistem Peradilan: Sistem peradilan yang didasarkan pada hukum Islam dan hukum positif modern mulai berkembang. Negara-negara seperti Turki, Mesir, dan Iran memiliki sistem peradilan yang
78 Hukum Islam menggabungkan elemen-elemen hukum Islam dengan hukum positif. b. Majelis Tarjih: Di Indonesia, misalnya, terdapat Majelis Tarjih, sebuah lembaga yang memberikan fatwa dan pertimbangan hukum Islam untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan beragama. Pengaruh Globalisasi a. Perkembangan Komunikasi dan Teknologi: Globalisasi membawa masuknya ide-ide dan praktikpraktik baru, termasuk dalam hal hukum. Hal ini mendorong munculnya diskusi dan debat yang lebih luas tentang bagaimana hukum Islam dapat beradaptasi dengan konteks global yang berubah. b. Pengaruh Hukum Internasional: Negara-negara Islam juga terlibat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam, terutama dalam hal hak asasi manusia, perdagangan, dan perlindungan lingkungan. Perubahan Sosial dan Politik a. Pemberdayaan Perempuan: Di beberapa negara, terjadi perubahan dalam pemahaman hukum Islam terkait dengan hak-hak perempuan. Misalnya, Tunisia dan beberapa negara lainnya mengeluarkan undang-undang yang memberikan hak-hak lebih besar kepada perempuan dalam perceraian, warisan, dan hak-hak lainnya.
Hukum Islam 79 b. Ekstremisme dan Reaksi: Pada saat yang sama, ada juga gerakan ekstremis yang menggunakan interpretasi hukum Islam yang keras dan kontroversial. Hal ini menciptakan reaksi dari banyak negara yang berusaha menyeimbangkan antara ajaran agama dan kebutuhan modernitas. Pendidikan Hukum a. Perguruan Tinggi Hukum Islam Banyak negara Islam memiliki perguruan tinggi dan universitas yang menawarkan pendidikan dalam bidang hukum Islam, baik dalam konteks tradisional maupun modernengajaran Hukum Positif: Di beberapa negara, pengajaran hukum positif Barat juga menjadi bagian dari kurikulum pendidikan hukum. (Sutrisno, 2019) Pengaruh Media dan Teknologi a. Sosial Media: Media sosial telah memainkan peran dalam penyebaran informasi tentang hukum Islam. Hal ini sering kali menyebabkan debat dan diskusi publik tentang berbagai isu hukum. b. Website dan Aplikasi Hukum: Ada banyak sumber daya daring yang menyediakan informasi tentang hukum Islam, mulai dari fatwa hingga penjelasan hukum yang lebih mendalam. Periode zaman kolonial dan modern telah membawa tantangan baru dan juga peluang bagi perkembangan hukum Islam. Meskipun terdapat berbagai arus dan
80 Hukum Islam konflik, hukum Islam terus berkembang dengan mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip dasar agama sambil juga mengakomodasi kebutuhan dan perubahan zaman. (Sutrisno, 2019) Contoh Perkembangan Hukum Islam di Beberapa Negara: a. Arab Saudi: Menerapkan hukum Syariah yang ketat, dengan hukuman-hukuman seperti hukuman potong tangan dan rajam bagi pelanggar. b. Indonesia: Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menerapkan sistem hukum yang mencampur antara hukum Islam, hukum adat dan undang-undang negara. c. Iran: Negara dengan sistem hukum Syiah, yang memiliki hukum yang didasarkan pada interpretasi ulama Syiah. d. Mesir: Negara dengan tradisi hukum Islam yang kuat, namun juga memiliki elemen hukum Barat dalam sistem hukumnya. Perkembangan hukum Islam terus berlanjut hingga hari ini, dengan berbagai diskusi dan perdebatan mengenai bagaimana mengadaptasi hukum Islam dengan kondisi modern serta prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Peran hukum Islam dalam masyarakat Muslim juga sangatlah signifikan, karena hukum Islam tidak hanya mengatur aspek kehidupan ibadah, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. (Sutrisno, 2019)
Hukum Islam 81 Berikut ini adalah beberapa peran utama hukum Islam dalam masyarakat Muslim: 1. Membentuk Identitas dan Kesatuan Umat Hukum Islam menjadi landasan bagi identitas umat Muslim. Dengan mematuhi hukum Islam, umat Muslim merasa terikat oleh satu keyakinan dan aturan yang sama. Hukum Islam juga menciptakan kesatuan dalam keragaman, karena umat Muslim dari berbagai budaya dan latar belakang bisa bersatu dalam mengikuti ajaran yang sama. 2. Mengatur Ibadah dan Ritual Salah satu peran utama hukum Islam adalah mengatur ritual dan ibadah umat Muslim, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum Islam memberikan tata cara yang jelas tentang bagaimana menjalankan ibadahibadah ini, sehingga umat Muslim dapat meraih keberkahan dan ketakwaan. 3. Mengatur Hubungan Sosial dan Keluarga Hukum Islam memiliki peran besar dalam mengatur hubungan sosial, termasuk pernikahan, perceraian, warisan, adopsi, dan hak-hak keluarga lainnya. Misalnya, hukum Islam menetapkan aturan yang adil terkait hak waris bagi anggota keluarga, memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, dan mengatur kewajiban suami terhadap istri. 4. Menegakkan Keadilan Salah satu tujuan utama hukum Islam adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat. Hukum Islam
82 Hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang menjamin perlakuan yang adil bagi semua orang. Misalnya, hukum Islam melarang diskriminasi berdasarkan suku, ras, atau status sosial. Hukuman yang diberikan juga diharapkan sebagai sarana untuk memperbaiki masyarakat, bukan hanya sebagai hukuman balas dendam. 5. Mengatur Ekonomi dan Keuangan Hukum Islam juga memiliki peran dalam mengatur ekonomi dan keuangan umat Muslim. Prinsip-prinsip seperti larangan riba (bunga), zakat, dan hukum-hukum perdagangan diatur dalam hukum Islam. Prinsip ekonomi Islam seperti distribusi kekayaan yang lebih merata, larangan riba untuk menghindari eksploitasi, dan pemberian zakat untuk mengurangi kesenjangan sosial. 6. Menjaga Moral dan Etika Hukum Islam juga berperan dalam menjaga moral dan etika dalam masyarakat. Prinsip-prinsip seperti larangan terhadap perjudian, minuman keras, perilaku tidak bermoral, dan kebohongan diatur dalam hukum Islam. Dengan demikian, hukum Islam membantu membentuk masyarakat yang bermoral, saling menghormati, dan menghargai hak-hak individu. 7. Mengatur Urusan Politik dan Pemerintahan Dalam beberapa negara dengan sistem hukum Islam, hukum Islam juga berperan dalam mengatur urusan politik dan pemerintahan. Konsep khilafah, syura (musyawarah), dan prinsip-prinsip pemerintahan yang
Hukum Islam 83 adil diambil dari ajaran Islam untuk membentuk sistem pemerintahan yang berkeadilan dan transparan. Dengan demikian, hukum Islam bukan hanya sekadar serangkaian aturan formal, tetapi juga mencakup nilai-nilai, etika, dan norma-norma yang membentuk pondasi masyarakat Muslim. Peran hukum Islam dalam masyarakat sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan individu dan kepentingan kolektif, serta untuk mencapai tujuan-tujuan moral dan sosial yang diinginkan dalam ajaran Islam. (Adnan & Uyuni, 2021).
84 Hukum Islam Hukum Perikatan Islam Junaidi, S.H., M.H., C.L.A., C.B.P.A slam adalah suatu disiplin ilmu yang dibangun atas 5 (lima) prinsip dasar, yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji. Kelima prinsip dasar atau hukum Islam inilah yang menjadi pilar pembentuk kekuatan agama. Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam merupakan agama terakhir dari rangkaian agama yang diturunkan Allah Subhanahu wa ta'ala. Islam adalah agama yang sempurna bagi manusia hingga akhir dunia. Merujuk pada istilah Islam, tidak dapat I
Hukum Islam 85 dipungkiri bahwa agama ini bertujuan untuk mendatangkan keamanan, kesejahteraan dan kedamaian abadi bagi pemeluknya. Tujuan keagamaan dapat dicapai melalui adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan berdasarkan wahyu Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam yang berupa Al-Quran dan dilengkapi dengan hadis-hadis yang mengikat (Abdul Hakim, 2011). Menurut Abdul Gani Abdullah, salah satu yang mendasari pengamalan hukum Islam adalah hukum syariah, karena di dalamnya diatur norma atau aturan hukum yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi transendental atau vertikal. Dimensi transenden yang disebut hablum-mina-llah ini merupakan tanggung jawab individu dan kolektif kepada Allah. Dimensi kedua adalah dimensi horizontal yang disebut hablumminan-naas yang mengatur interaksi sosial antar manusia. Kedua aspek ini mempengaruhi perilaku umat Islam dalam aktivitas perdagangan sehari-hari (Gemala Dewi, Widyaningsih, dkk, 2005). Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia selalu berinteraksi satu sama lain, tergantung terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup dimana orang melakukan sesuatu dalam hidupnya bersama orang lain disebut muamalah. Sedangkan peraturan yang mengatur hubungan antara hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat disebut hukum muamalah (Azhar Basyir Ahmad, 2000). Hubungan sosial yang paling dominan dalam kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi. Untuk memudahkan terpuaskannya segala kebutuhan dalam hidup, manusia memerlukan bantuan orang lain, apalagi dalam kehidupan modern, kehidupan manusia sudah bergerak menuju spesialisasi dan produksi. Dalam hubungan ekonomi, kegiatan pertukaran berlangsung dalam suatu proses yang disebut transaksi. Secara
86 Hukum Islam hukum suatu transaksi merupakan bagian dari perjanjian, sedangkan perjanjian adalah bagian dari perjanjian (Muhammad dan Alimin, 2004). Muamalah adalah hubungan yang saling menguntungkan antara sesama manusia. Muamalah ini mencakup transaksi harta benda seperti penjualan, persewaan, gaji, perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya, perselisihan (tuntutan hukum, litigasi, dan sebagainya) dan pembagian warisan (Wahbah az Zuhaili, 2010) . Muamalah dalam arti sempit adalah segala akad yang memperbolehkan manusia saling bertukar manfaat dengan cara dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan wajib ditaati oleh manusia (Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk, 2010). Istilah perikatan dalam bahasa Belanda disebut verbintenis, sedangkan kesepakatan/perjanjian disebut overseenkomst menurut terminologi yang umum digunakan oleh para ahli hukum (Syamsul Anwar, 2007). Istilah perikatan juga mempunyai persamaan dengan istilah Arab, yaitu Aqdun atau Iltizâm. Dalam bahasa Inggris, perikatan berkaitan erat dengan istilah-istilah seperti duty, obligation, engagement, dan contract. Oleh karena itu, dapat dipahami secara tegas sebagai kesepakatan, tanggung jawab, kewajiban dan kepercayaan. D[f[g boeog Imf[g eihn_gjil_l, cmncf[b ‚iltizam‛ digunakan untuk menunjukkan suatu perikatan (verbintenis) ^[h cmncf[b ‚[e[^‛ ohnoe g_hohdoee[h mo[no j_ld[hdc[h (overenkomst) dan bahkan untuk menunjukkan suatu kontrak. Istilah terakhir yaitu kontrak merupakan istilah
Hukum Islam 87 lama yang sudah digunakan sejak zaman dahulu sehingga m[ha[n jijof[l (Gbo`lih A. M[m’[^c, 2002). Dalam hukum Islam, antara kontrak dengan perjanjian tidak memiliki perbedaan, keduanya sama dan disebut akad. Jadi, dalam hal ini akad diartikan sebagai persetujuan yang dinyatakan oleh salah satu pihak terhadap qabul pihak lain secara hukum menurut derajat kejelasan akibat hukumnya terhadap pokok bahasan tersebut (Syamsul Anwar, 2006). Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) menawarkan pengertian akad sebagai hubungan antara Ijab dan Qabul yang sah menurut syar'a' dan mempunyai akibat hukum bagi objeknya (Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004). Berdasarkan pendapat Syamsul Anwar, sebagai suatu istilah dalam hukum Islam, ada beberapa pengertian yang diberikan tentang akad, antara lain (Syamsul Anwar, 2007): 1. Menurut Pasal 262 Mursyd al-Hairan, akad adalah ‚j_ld[hdc[h s[ha ^c[doe[h if_b m[f[b m[no jcb[e e_j[^[ qabul pihak lain, sehingga menimbulkan akibat hukum n_lb[^[j jieie [e[^‛. 2. Untoe ^_`chcmc f[ch, [e[^ [^[f[b ‚j_ln_go[h j_lm_nodo[h dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk menghasilkan akibat hukum sehubungan ^_ha[h mo[no b[f.‛ M_holon R[]bg[n Ss[`_’c, ^[lc m_ac n_lgchifiac, j[l[ ulama fiqih membagi akad menjadi dua aspek, yaitu umum dan khusus. Secara umum akad adalah segala sesuatu yang dibuat oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, perceraian, pelepasan atau sesuatu yang
88 Hukum Islam pembentukannya memerlukan keinginan dua orang, seperti penjualan, perwakilan dan hipotek. Pengertian akad secara umum di atas sama dengan pengertian akad dari sudut j[h^[ha e_\[b[m[[h g_holon j_h^[j[n of[g[ Ss[`c’css[b, Malikiyyah dan Hanabilah. Pengertian lain yang khusus dari akad adalah akad yang ditentukan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan hukum syariah yang mempengaruhi jieie \[b[m[hhs[ (R[]bg[^ Ss[`_’c, 2004). Secara etimologis (linguistik), aqad mempunyai banyak arti, antara lain (M. Ali Hasan, 2003): 1. Mengikat (ar-Aabthu), yaitu: menyatukan kedua ujung tali dan mengikat ujung yang satu dengan ujung yang lain sehingga tersambung kemudian menjadi satu kesatuan benda; 2. Sambungan (Aqdatun), yaitu : sambungan yang menyatukan dua ujung dan menghubungkannya; 3. Janji (Al-Ahdu). Istilah ahdu dalam Al-Qur'an mengacu pada pernyataan bahwa seseorang melakukan sesuatu dan tidak ada hubungannya dengan orang lain, perjanjian yang dibuat oleh seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik mereka setuju atau tidak, itu tidak mempengaruhi janji. dibuat. oleh orang ini. , sebagaimana dijelaskan dalam Surat Ali-Imran: 76, janjid[hdc cno n_n[j g_hace[n il[ha s[ha g_g\o[nhs[ (Ro’`[b Sohari, 2011). Akad merupakan perbuatan hukum antara dua pihak karena akad merupakan pertemuan ijab yang mewakili kehendak salah satu pihak dan qabul yang mewakili
Hukum Islam 89 kehendak pihak yang lain. Konsep kontrak sebagai suatu perbuatan antara dua pihak merupakan pandangan para ahli hukum Islam modern. Tujuan suatu kontrak adalah untuk menimbulkan akibat hukum atau tujuan bersama yang ingin dicapai oleh para pihak pada saat menandatangani kontrak (M. Ali Hasan, 2003). Segala perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh menyimpang dan harus memenuhi persyaratan syariah. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain dalam jual beli barang haram dan kesepakatan untuk membunuh orang (M. Ali Hasan, 2003). 1. Af Qol’[h Salah satu sumber utama hukum Islam, ketika membahas hukum kontrak Islam, sebagian besar AlQuran hanya mengatur aturan-aturan umum. Hal ini antara lain terlihat berdasarkan kandungan ayat Alquran di bawah ini. a. QS. Al Baqarah (2): 188 Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang bathil, dan (janganlah) kamu menyuap dengannya kepada hakim, dengan
90 Hukum Islam maksud agar kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. b. QS. Al Maidah (5): 1 Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Penuhi janji. Ternak halal bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. 2. Hadist Nabi Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam: Y[ha [lnchs[: ‚Aff[b mqn. \_l`clg[h: ‚S[s[ [^[f[b pihak ketiga dari dua dalam persekutuan selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang lain. Jika salah satu jcb[e \_lebc[h[n, m[s[ [e[h e_fo[l ^[lc g_l_e[.‛ (HR. Abu Daud, yang di shahihkan oleh al Hakim, dari Abu Hurairah).