Hukum Islam 141 Hukum Ekonomi Syariah Syariah Dan Ruang Lingkupnya Nilfatri, S.E.I., M.H Islam sebagai agama memiliki tiga pilar, yang mana antara satu dan lainnya dapat dibedakan, namun tidak dapat diceraipisahkan. Ketiga pilar tersebut, yakni akidah, syariah, dan akhlak. Terma hukum termaktub dalam syariah yang
142 Hukum Islam mengatur hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Allah SWT.), hubungan di antara sesama manusia, serta hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian syariah meliputi ibadah dan muamalah, sementara muamalah sendiri dapat dibedakan ke dalam area publik dan privat. Termasuk ke dalam area privat, antara lain terdiri dari gohāe[ḥat (lapangan perkawinan), `[lācḍ/qclām[b (lapangan kewarisan), dan go‘āg[f[n ebām (lapangan muamalah khusus). Ekonomi syariah termasuk dalam lapangan muamalah dalam arti khusus ini. Dengan demikian hukum ekonomi syariah merupakan bagian dari hukum Islam (ms[lī‘[b) , yang mana syariah menjadi salah satu pilar dari agama Islam. Sebagai bagian dari muamalah, maka hukum ekonomi syariah memiliki karakteristik terbuka (open system) dengan kaidah dasar berupa kebolehan. Bahwa segala sesuatu di lapangan muamalah adalah diperbolehkan, kecuali di dalamnya terdapat unsurunsur yang dilarang oleh syariah Islam. Hukum ekonomi syariah ada yang memberikan istilah dengan Hukum Ekonomi Islam memuat tiga kata kunci, yakni hukum, ekonomi, syariah/Islam. Pertama, kata hukum adalah kata yang hingga saat ini belum mendapatkan definisi tunggal dan memuaskan, melainkan digantungkan pada sudut pandang ahli hukum yang memberikan definisi berasal dari mazhab hukum apa, apakah mazhab hukum alam, mazhab sejarah, positivisme atau yang lainnya. Untuk tidak mengulang kembali aneka definisi yang telah diberikan dan diperdebatkan oleh para ahli hukum, berikut ini diberikan definisi hukum yang dikemukakan oleh salah satu ahli
Hukum Islam 143 hukum Indonesia yakni Mochtar Kusumaatmadja. Beliau memberikan definisi hukum sebagai keseluruhan kaidah dan seluruh asas yang mengatur pergaulan hidup bermasyarakat dan mempunyai tujuan untuk memelihara ketertiban dan meliputi berbagai lembaga dan proses untuk dapat mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat 17Kedua, ekonomi, kata ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos, serta digabungkan menjadi oikonomia yang merupakan bahasa Yunani. Oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti norma/aturan, sehingga secara harfiah kata ekonomi berarti aturan/ norma dalam rumah tangga. Adapun secara terminologi, sebagaimana hukum, kata ekonomi juga memiliki aneka definisi, sehingga penulis memilih definisi yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni bahwa ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan). Lebih lanjut KBBI juga mengartikan ekonomi sebagai pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang berharga atau juga sebagai tata kehidupan perekonomian dalam suatu negara atau urusan rumah tangga18 demikian, ekonomi adalah term yang berhubungan dengan produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan/atau jasa. Ketiga, syariah/Islam. Syariah memiliki arti yang berbeda dengan Islam, karena syariah merupakan salah satu dari 17 Nina Pane, 2015, Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 157. 18 KBBI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Versi On-line/daring (dalam jaringan)”, https://kbbi.web.id/ekonomi, diakses 15 Juni 2020
144 Hukum Islam ketiga kerangka dasar ajaran Islam selain akidah dan akhlak. Secara etimologi syariah dapat didefinisikan sebagai jalan ke arah mata air dan secara terminologi syariah menurut Mohammad Daud Ali adalah ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia19 Berdasarkan pada definisi dari ketiga term tersebut, maka secara sederhana hukum ekonomi syariah sebagai seperangkat kaidah yang mengatur aktivitas manusia di bidang produksi, distribusi, dan konsumsi dengan mendasarkan pada ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya.. dan bisa juga dikatakan bahwa hukum dan ekonomi syariah diatas didifinisikan sebagai hukum yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan kegiatan sistem ekonomi yang dilandasi dan didasari oleh nilai-nilai islamiah yang tercantum dalam dasar hukum normatif dan dasar hukum formal. Dalam konteks masyarakat, hukum ekonomi syariah berarti hukum ekonomi islam yang digali dari sistem ekonomi islam yang ada dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan hukum untuk mengatur guna menciptakan tertib hukum dan menyelesaikan masalah sengketa ekonomi dalam kehidupan sehari-hari yang pasti timbul untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul dalam masyarakat yang tetap berpedoman kepada nilai-nilai Islam. 19 Mohammad Daud Ali, 2001, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 41.
Hukum Islam 145 Dasar hukum Ekonomi syariah di Indonesia terbagi dalam dua bagian, yaitu dasar hukum normatif dan dasar hukum formal Keduanya saling menguatkan dalam proses berlakunya hukum Ekonomi syariah di Indonesia. 1. Landasan normatif diantaranya: al-quran, as-sunnah, ijtihad, qiyas, dan fatwa MUI/DSN a. Alquran, landasan hukum ekonomi syariah, tentu saja perlu merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis. Al-Quran Surat an-Ncm[’ [s[n 59 ^[h b[^cm Mo’[t \ch J[\[f ^[j[n ^cd[^ce[h m_\[a[c lodoe[h untuk menentukan sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi eksistensi ekonomi syariah. b. Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti yang sama, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa ucapan, perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan sangat tipis sekali, asSunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja, sedang Al-Hadits disandarkan bukan saja kepada Nabi Muhammad SAW. akan tetapi kepada para sahabat Nabi. As-Sunnah7 merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur'an, dasar pokok asSunnah sebagai sumber hukum, sebagaimana firman Allah surat an-Nisa [4] ayat 59 c. Ijtihad dalam kitab Irsyad al-Fuhuli, ijtihad adalah mengerahkan kemapuan dalam memperoleh hukum
146 Hukum Islam ms[lc’c s[ha \_lmc`[n ‘[g[fc melalui cara istinbath. alamidi mengatakan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan 20dalam memperoleh dugaan kuat tentang hukum ms[l[’. 21dari pengertian tersbut disimpulkan bahwa ijtihad adalah pengerahan daya nalar pikiran secara maksimal yang dilakukan oleh orang yang sudah faqih atau bidang keilmuannya telah tinggi yang dapat menghasilkan sebuah hukum ms[l[’ yang bersifat amaliah dtimpuh dengan cara istinbath. Melakukan ijtihad dengan cara atau metode ijtihad sendiri-sendiri atau disebut ijtihad Fardhi dan secara kolektif atau ijtihad d[g[’i. diantaranya cara berijtihadnya dikenal dengan, cdg[’, kcs[m, cmnc^f[f, [fg[mb[fcb dll d. Qiyas dapat diartikan sebagai menetapkan suatu hukum terhadap suatu hal yang tidak diterangkan oleh al-Qol’[h ^[h moh[b, ^_ha[h ^c[halogikan kepada hukum sesuatu yang telah diterangkan hukumnya oleh al-Qol’[h ^[h moh[b e[l_h[ memiliki sebab yang sama. Metode dengan qiyas menggunakan cara analogi untuk menemukan suatu hukum dengan disandarkan terhadap hukum yang sudah ada sebelumnya.Penerapan qiyas di bidang ekonomi syariah salah satunya yaitu untuk menentukan status bunga bank, yang mana status bunga bank tersebut ditentukan berdasarkan paradigma tekstual dengan melihat aspek legalformal dan secara induktif pelarangan atau 20 Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 20088).hlm.46
Hukum Islam 147 pengharaman terhadap riba yang diambil dari teks nash saja dan tanpa dikaitkan dengan aspek moral22 2. Landasan formal terbagi kedalam beberapa bagian, diantaranya: a. Landasan ideal: a. pembukaan UUD 1945 dan Pancasila b. Landasan Konstitusional: Pasal 29 dan Pasal 33 UUD 1945 c. Landasan operasional: Landasan operasional: 1) UU No. 10 1998 perubahan atas UU No. 7 1992 perbankan dan penjelasannya. 2) UU No. 23 1999 BI dan penjelasan 3) Peraturan BI No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro wajib 4) Peraturan BI No. 2/8/PBI/2000 tentang pasar uang antar bank berdasar prinsip syariah dan penjelasan. 5) Peraturan BI No. 2/9/PBI/2000 tentang sertifikat wadiah BI dan penjelasan 6) Peraturan BI No. 4/1/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konfensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank 22 Muhammad Syarif Hasyim, “Bunga Bank: Antara Paradigma Tekstual dan Kontekstual,” artikel pada jurnal Hunafa, Volume 5 , Nomor 1, April 2008, hlm. 51.
148 Hukum Islam berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional dan penjelasan. 7) Peraturan BI No. 5/3/PBI/2003 tentang fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi bank syariah dan penjelasan. 8) Peraturan BI No. 5/7/PBI/2003 tentang fasilitas aktiva produktif bagi bank syariah dan penjelasan 9) Peraturan BI No. 5/9/PBI/2003 tentang penyisihan penghapusan aktiva produktif bagi bank syariah dan penjelasan 10) Peraturan BI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasar bank syariah dan penjelasan 11) Surat keputusan BI Tentang Bank umum berdasar prinsip syariah 12) Surat keputusan BI Tentang Bank perkereditan syariah berdasar prinsip syariah. Ruang lingkup ekonomi Islam secara komprehensif adalah bermuamalah, dalam bermuamalah harus ada nilainilai universal yang terkandung antara lain nilai-nilai tauhid (keesaan Tuhan), adalah (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan g[’[^ (hasil). Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan
Hukum Islam 149 cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Dan secara umum ruang lingkup ekonomi syariah adalah meliputi aspek ekonomi, antara lain shirkah dan mudharabah, murabahah, khiyar, istisna, ijarah, salam, kafalah, hawalah, dan lain-lain. Tetapi dalam aspek kerjasama yang paling banyak dilakukan adalah bagi hasil, yaitu shirkah dan mudharabah. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ruang lingkup hukum ekonomi Islam terbagi dalam 4 buku masing-masing: 1. Tentang Subjek Hukum dan Amwal, terdiri atas 3 bab (pasal 1-19). 2. Tentang Akad Tentang Akad, meliputi: Asas akad, Rukun, syarat, kategori hukum, ‘Ac\, Akibat, dan manfaat akad, B[’c, Sscle[b, Mo^b[l[\[b, Mot[l[’[b dan musaqah, Khiyar, Ijarah, dll terdiri dari 29 bab (pasal 20-673). 3. Tentang Zakat dan Hibah yang terdiri atas 4 bab (pasal 674-734). 4. Tentang Akuntansi Syariah yang terdiri atas 7 bab (pasal 735- 796) (PERMA Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah). Bila kita perhatikan cakupan bab dan pasal kompilasi hukum ekonomi syariah, maka ruang lingkup ekonomi syariah meliputi aspek ekonomi sebagai berikut: \[’c, akadakad jual beli, syirkah, go^b[l[\[b, gol[\[b[b, got[l[’[b danmusaqah, khiyar, istisna, ijarah, kafalah, hawalah, rahn, q[^c’[b, a[mb\ dan itlaf, wakalah, shulhu, pelepasan hak, n[’gch, obligasi, syariah mudharabah, pasar modal, reksadana syariah, sertifikasi bank Indonesia syariah, pembiayaan multi jasa, qardh, pembiayaan rekening koran
150 Hukum Islam syariah, dana pensiun syariah, zakat dan hibah, dan akuntansi syariah Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA), ruang lingkup hukum ekonomi syariah adalah meliputi: 1. Bank Syariah 2. Reasuransi Syariah 3. Pembiayaan Syariah 4. Lembaga Keuangan Mikro Syariah 5. Reksadana Syariah 6. Pegadaian Syariah 7. Asuransi Syariah 8. Sekuritas Syariah 9. Bisnis Syariah 10. Obligasi Syariah & Surat Berjangka Syariah 11. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah. Sedang menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reasuransi syariah, obligasi syariah, surat berjangka menengah syariah, reksadana syariah, sekuritas syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah
Hukum Islam 151 Fiqih Wakaf Mustofa Anwar, S.E.I., M.H. 1. Definisi wakaf Pengistilahan wakaf tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qol’[h [n[o [f-Sunnah (Hermawan, 2014). Penggunaan kata wakaf secara etimoligis dalam bahasa Arab berasal dari akar kata waqafa bermakna penahanan
152 Hukum Islam (al-tahbis) atau derma di jalan Allah (al-tasbil) (al-Kabisi, 2004), seperti dalam perkataan waqaftu kadzaa (saya menahannya). Selanjutnya kata wakaf lebih biasa diartikan sebagai isim ma`’of berupa barang yang diwakafkan (Az-Zuhaili, 1985). Padanan kata wakaf adalah lafadz al-habsu, lafadz ahbaas sebagi jama lafadz habs digunakan di Maroko untuk menyebut Mentri wakaf (waziirul ahbaas) menggantikan kata auqaaf (Az-Zuhaili, 1985). Secara terminology terdapat beberapa pengertian yang disampaikan oleh oleh ualama fiqih diantaranya yaitu: Menurut (al-Murginani, 1356) Abu Hanifah g_h^_`chcmce[h q[e[` m_\[a[c ‚menahan substansi (popok) harta pada kepemilikan (wakif) dan menyedekahkan manfaatnya‛ (Kasdi, 2017). Penulis Mawahib al-Jalil (al-Hatab, 1329) g_hs_\one[h j_ha_lnc[h q[e[` g_holon I\h ‘Al[`[b [fM[fcec s[cno: ‚memberikan hasil manfaat sesuatu, terbatas pada waktu adanya sesuatu, disertai tidak beerubahnya sesuatu yang diwakafkan pemiliknya, q[f[ojoh b[hs[ ^[f[g j_lecl[[h‛. Dalam Balaghah asSalik, as-Sawi menambahkan pengertian wakaf dengan ‚menjadikan barang yang dimilikinya atau hasilnya kepada orang yang berhak sepanjang waktu yang ^cn_hnoe[h if_b q[ec`‛ (Kasdi, 2017). S_g_hn[l[ cno, of[g[ Ss[`c’cs[b ^[h H[h[\cf[b g_h^_`chcmce[h q[e[` m_\[a[c ‚memberikan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna jlim_^ol j_lq[e[`[h‛. Harta yang diwakafkan tidak dapat diwariskan kepada ahli waris (Harahap, 2006). Dalam konteks kekinian, wakaf diartikan sebagai
Hukum Islam 153 menghentikan atau menahan harta (property) asal serta pelepasan keuntungan yang didapatnya, atau menahan harta wakaf dan manfaat yang didapat disalurkan sesuai dengan manfaat yang diterima (Azganin et al., 2021). 2. Landasan Hukum Wakaf M[silcn[m of[g’ -m_f[ch of[g[’ H[h[`cs[b- \_lj_h^[j[n boeog q[e[` [^[f[b mohh[b go’[e[^[b (sunnah yang dianjurkan) berdasar pada Firman Allah SWT QS. Ali Imran ayat 92: ‚e[go nc^[e [e[h memperoleh kebaikan, sebelum kamu menginfakkan m_\[ac[h b[ln[ s[ha e[go ]chn[c<‛. Dan QS. Al-Baqarah ayat 267: ‚q[b[c il[ha-il[ha s[ha \_lcg[h ch`[’e[hf[b Sebagian dari usahamu yang baik-baik dan Sebagian dari [j[ s[ha e[gc e_fo[le[h ^[lc \ogc ohnoego<‛. Rujukan hadis yang digunakan oleh mayoritas of[g[’ m_\[a[c ^[m[l j_f[em[h[[h q[e[` [^[f[b b[^cm tentang shodaqah jariah: “ ٍث َ ي ِ ار َ ٍث ج َ ق َ د صَ ْ اِنو َّ ل ِ ٍث: إ َ اث َ ل َ ث ْ اِنو َّ ل ِ إ ُ ه ُ ل َ ه َ ع ُ ً ْ ي َ ع َ ع َ ط َ ق ْ اى ُ ان سَ ْ ِإن ْ ال اتَ َ ا ن َ ذ ِ إ ُ ه َ َ ل ُ ع ْ د َ ٍِح ي ال ٍد صَ َ ل َ و ْ و َ ًِ أ ِ ة ُ ع َ ف َ خ ْ ن ُ ي ٍ م ْ ِعل ْ و َ أ – وأةَ رواه نسلم والترنذي ّ ان عو أبي ٌريرة ّ داود والنسائ ” ّي واةو حت ‚Jce[ m_m_il[ha g_hchaa[f ^ohc[, g[e[ n_ljonomf[b amalannya kecuali tiga perkara yaitu: shodaqah jariyah, cfgo s[ha \_lg[h`[[n [n[o ^i’[ [h[e mb[fcb‛ (HR. Muslim no. 1631, Turmudzi 1297, N[m[’c 3591, A\c D[o^ 2494, Ahmad 8494, Damiri 558 dalam Permana & Rukmanda, 2021).
154 Hukum Islam Hadis yang berasal dari Ibnu Umar ra: “ َ ر َ ب ْ ي َ ِبخ ا ضً ْ ر َ َب أ ا صَ َ ِب أ ا َّ ط َ خ ْ ال َ و ْ ة رَ َ ه ُ ع َّ ن َ ا أ َ ه ُ ٍ ْ ي َ ع ِضَي اهللُ َ ر رَ َ ه ُ ع ِ و ْ اة ِ و َ ع ى اهللُ َّ ل يَّ صَ ِ ب َّ ى الي َ ت َ أ َ ف ي ّ ِ ا ِهلل إن َ َل سُ َ ا ر َ ي َ ال َ ق َ ا ف َ ٍ ْ ِفي ُ ه ِنرُ ْ أ َ خ س ْ َ ي َ م َّ ل سَ َ ًِ و ْ ي َ ل َ ع ْ ِن إ َ ال َ ًِ ق ِ ة رُ ُ ن ْ أ َ ا ح َ ه َ ف ُ ً ْ ِدي ِني ْ َس ِعي َ ف ْ ى َ أ ط ُّ َ ق ً الا َ ِص ْب ن ُ أ ْ م َ ل َ ر َ ب ْ ي َ ِبخ ا ضً ْ ر َ أ جُ ْ ب صَ َ أ ُ ا ع َ ٍِ ة َ ق َّ د صَ َ خ َ ف َ ال َ ا ق َ ٍِ ة جَ ْ ق َّ د صَ َ ح َ ا و َ ٍ َ ل ص ْ َ أ س ْ جَ َّ ب َ ح جَ ْ ِشئ ا َ ل َ و ُ اع َ ب ُ ا ي َ ل ُ ً َّ ى َ أ رُ َ ه ِ يل ِ ب ي سَ ِ ف َ ِب و ا َ ق ّ ِ ي الر ِ ف َ ى و َ ب رْ ُ ق ْ ي ال ِ ف َ اِء و رَ َ ق ُ ف ْ ِي ال ا ف َ ٍِ ة َ ق َّ د صَ َ ح َ و َ ثُ َر ُ ي َ لا َ ُب و َ ٌَ ُ ي ا َ ٍ ْ ِني َ ل ُ ك ْ أ َ ي ْ ن َ ا أ َ ٍ َ ي ِ ل َ و ْ و َ ى ن َ ل َ ع احَ َ ي ُ ج َ ِف لا ْ ي الضَّ َ و ِ يل ِ ب السَّ ِ ةو ْ ا َ ا ِهلل و َ غ ُ ِعم ْ ط ُ ي َ وِف و رُ ْ ع َ ه ْ ال ِ ة ٍ ل ّ ِ َ َ ه َ خ ُ ن َ ر ْ ي “ ‚B[bq[m[hs[ Ug[l l[ g_h^[j[ne[h m_\c^[ha n[h[b di Khaibar, kemudian beliau menghadap Rasulullah Saw. Umar bertanya: ya Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khainar dan saya belum pernah mendapat harta sebaik itu, untuk itu saya minta petunjukmu tentang apa yang sebaiknya aku lakukan terhadap hart aitu? Rasulullah menjawab, bila kamu suka, kamu dapat menahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya. Setelah itu Umar ra menyedekahkan tanah tersebut untuk orangorang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Harta tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Serta diperbolehkan bagi orang yang mengurusi harta tersebut untuk mengambil sebagian hasilnya dengan jalan yang baik atau memberi makan orang lain dari hasil harta tersebut m_q[d[lhs[‛ (HR. Bukhori, 2737, Muslim, 1632 dalam Kasdi, 2017)
Hukum Islam 155 3. Asas/Rukun Wakaf Rukun secara bahasa berarti bagian pokok (ajJurjani, 1970), sehingga rukun biasa diartikan sebagai bagian terpenting/mendasar dari sesuatu yang menyebabkan keabsahan sesuatu tersebut (al-Khin & alBugha, 2000). Artinya, Ketika salah satu rukun tidak dilaknanakan maka hukum dari sesuatu tersebut tidak sah. Mayoritas ulama -e_]o[fc of[g[’ H[h[`c[b- sepakat bahwa rukun wakaf ada 4 yaitu: a. Wakif yaitu pihak pemberi wakaf/orang yang berwakaf, b. Mauquf Bih yaitu benda/harta wakaf c. M[oko` ‘Af[cb yaitu penerima wakaf/pihak yang diberi wakaf, d. Sighat yaitu ikrar atau ucapan yang menunjukkan wakaf (Az-Zuhaili, 1985). 1. Wakif ( orang yang mewakafkan) Seorang wakif yang akan mewakafkan hartanya harus mempunyai kamalul ahliyah/kecakapan hukum (legal competent) terhadap harta yang dikuasainnya. Kamalul ahliyah yang dimaksud yaitu harus memenuhi empat kriteria, yaitu: a. Berakal sehat b. Baligh c. Tidak dalam pengampuan dikarenakan boros (safih)/bodoh (ghaflah) d. Merdeka (Az-Zuhaili, 1985).
156 Hukum Islam Keberadaan syarat di atas menegaskan bahwa orang dalam keadaan tidak memiliki akal yang sempurna (gila) tidak dapat memberikan hartanya untuk diwakafkan, jika hal itu dilakukan maka tidak sah wakafnya. Demikian juga untuk anak yang belum baligh, orang yang dalam pengampuan wali baik dikarenakan boros atau pandir dan juga budak/hamba sahaya, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh mereka. 2. Mauquf Bih (harta yang diwakafkan) Uf[g[’ `cecb \_lm_j[e[n \[bq[ ms[l[n b[ln[ s[ha diwakafkan yaitu harta yang memiliki nilai/dapat diperkirakan nilainya, diketahui dengan jelas keberadaan wujudnya, dan merupakan barang yang dimiliki secara sempurna oleh orang yang berwakaf (bukan harta milik bersama) (Az-Zuhaili, 1985), dan mutaqawwam yakni harta yang halal penggunaannya dalam situasi normal sesuai syariat (tidak dalam kondisi darurat) serta dapat disimpan (Harahap, 2026). 3. M[oko` ‘Af[cbc (penerima wakaf) M[oko` ‘[f[cbc/jenerima wakaf yang dimaksud adalah peruntukan wakaf/tujuan wakaf. Karena inti disyariatkannya wakaf adalah ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, wakaf juga bertujuan untuk mewujudkan keberlangsungan pahala bagi orang yang mewakafkan hartanya (Kasdi, 2017). Sehingga, wakaf wajib digunakan untuk sesuatu amal Kebajikan/ibadah yang selaras dengan ajaran Islam guna mendekatkan diri pada Allah. (Harahap, 2006).
Hukum Islam 157 M[oko` ‘[f[cbc boleh diberikan kepada orang tertentu (go’[s[h) yaitu satu, dua atau kelompok tertentu, dan boleh tidak ditentukan (abiclo go’[s[h), nc^[e n_ln_hno gcm[fhs[ `[ecl gcmech, of[g[’, j[l[ pembaca al-Qol’[h, g[mdc^, j_h[gjoha[h, g[^l[m[b atau sekolah dll (Az-Zuhaili, 1985). a. Syarat wakaf untuk orang tertentu (go’[s[h) harus jelas penerimanya, yaitu satu orang, dua orang atau untuk kelompok, serta disyaratkan harus orang yang dapat memiliki harta (ahlan li al-tamlik) sehingga orang bodoh, gila dan hamba sahaya tidak dapat meneruima wakaf (al-Kabisi, 2004). b. syarat wakaf tidak ditentukan (abiclo go’[s[h). Sesuai tujuan wakaf hanya untuk kepentingan Islam, sehingga penerima wakaf disyaratkan untuk orang yang mampu menjadikan wakaf bermanfaat bagi kemaslahatan dan dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. 4. Sighat Sighat adalah semua ucapan, tulisan maupun isyarat dari pihak yang melakukan akad untuk mengatakan maksud dan menjelaskan keinginannya. Menurut m_\[ac[h of[g[’, Sighat wakaf cukup berupa ijab (pernyataan dari wakif) tanpa diikuti qabul (penerimaan dari g[oko` ‘[f[cbc). Sehingga qabul tidak termasuk syarat sah wakaf (Harahap, 2006). Lafadz sighat dibagi menjadi dua yaitu lafadz shorih (jelas) seperti menggunakan lafadz ثْ َوقَ ْف ُث َو َحبَ ْس ُث َو َسبَّل , ketiga lafadz ini secara jelas menunjukkan maksud mewakafkan. dan lafadz kinayah (samar) seperti lafadz
158 Hukum Islam ْد ُت ُث َو َح َر ْم ُث َواَبَ َصدَقْ َج ,penggunaan ketiga lafatdz ini harus diikuti dengan niat mewakafkan. Karena kata ‚n[mb[^^[kno‛ dapat bermakna shodaqah wajib (zakat) maupun shodaqah sunnah. K[n[ ‚harramtu‛ ^[j[n diartikan sebagai dzihar dapat juga berarti wakaf. Kata ‛abbadtu‛ ^[j[n \_l[lnc m_a[f[ j_ha_fo[l[h b[ln[ ohnoe selamanya (Harahap, 2006). Syarat sah sighat ijab baik berupa ucapan atau tulisan secara umum adalah: a. Sighat harus munjazah (seketika), b. Sighat tidak diikuti syarat bathil (palsu), c. Sighat tidak dibatasi waktu tertentu, d. Tidak memuat pengertian untuk menarik kembali wakaf yang sudah diberikan. B_l\_^[ ^_ha[h j[h^[ha[h g[silcn[m of[g[’, mazhab Malikiyah berpendapat bahwa: wakaf tidak disyaratkan untuk selamanya tapi boleh dilakukan dalam batas waktu tertentu; wakaf juga tidak disyaratkan harus jelas penggunaannya dan boleh disertai syarat (Harahap, 2006). 1. Macam Wakaf Berdasar Waktu Ditinjau dari batasan waktu wakaf dibagi kedalam dua bagian yaitu: pertama, wakaf go’[\[^/selamanya. Yaitu wakaf dari harta bersifat abadi seperti tanah dan bangunannya, barang bergerak yang ditujukan wakif untuk wakaf abadi serta produktif. Kedua wakaf go’[k[^/sementara atau dalam waktu tertentu. Yaitu harta yang diwakafkan berupa harta yang mudah rusak
Hukum Islam 159 saat dipakai dantidak ada syarat mengganti bagian yang rusak. Atau adanya pemberian batas waktu wakaf oleh wakif (Kasdi, 2017). 2. Macam Wakaf Berdasar Cakupannya Wakaf ditinjau dari segi cakupannya dibagi menjadi dua yaitu: pertama, wakaf ahli/zurri (wakaf keluarga); yaitu wakaf yang ditujukan untuk keluarga/keturunan serta orang tertentu yang didasarkan pada hubungan dengan wakif. Kedua, wakaf khoiri (wakaf untuk kebaikan Masyarakat umum); yaitu wakaf yang ditujukan untuk kemaslahatan Masyarakat secara umum. Ketiga, wakaf musytarak (gabungan); yaitu wakaf dengan tujuan untuk keluarga dan umum secara bersama. Misal seorang mewakafkan hartanya secara bersamaan separuh untuk keluarga dan separuh untuk fakir miskin dan kepentingan umum (Kasdi, 2017). 3. Macam wakaf Berdasar Penggunaan Harta Wakaf berdasarkan penggunaan harta dibagi menjadi dua yaitu: Pertama, wakaf mubasyir (langsung); yaitu harta wakaf yang dapat dimanfaatkan secara langsung seperti wakaf msjid yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk sholat. Dua, wakaf istismari (produktif); yaitu wakaf berupa penanaman modal berupa produksi produk dan jasa yang sesuai dengan syariat Islam dan hasilnya manfaatkan untuk kebaikan sesuai keinginan wakif (Kasdi, 2017). 4. Hal-hal yang Membatalkan Wakaf Wakaf dihukumi batal ketika tersapat salah satu ms[l[n q[e[` s[ha nc^[e n_lj_hobc. Uf[g[’ M[fcecs[b
160 Hukum Islam merinci hal-hal yang dapat membatalkan wakaf diantaranya: 1. Adanya penghalang yaitu apabila wakif menenggal, pailit sakit parah yang menyebabkan kematian sebelum harta wakaf diterima, 2. Harta wakaf dimanfaatkan untuk pribadi wakif sebelum satu tahuh, 3. Wakaf untuk maksiat, 4. Wakaf untuk kafir harbi, 5. Wakaf untuk wakif sendiri walaupun bersama dengan pihak lain atau ahli waris, 6. Wakaf dengan menyertakan syarat bahwa pengawasan terhadap harta wakaf adalah wakif sendiri, 7. Ketidaktahuan mana yang lebih dahulu antara hutang dan wakaf. Misal, apaila seseorang berwakaf kepada orang yang menyebabkanya mahjur (terhalang mengelola harta karena pailit) dan wakif memiliki hutang terhadapnya, sedangkan wakif tidak mengetahui apakah hutang itu terjadi sesbelum atau sesudah wakaf, maka wakafnya batal. Karena membayar hutang adalah wajib dan wakaf adalah sunnah. Sehingga mendahulukan perkara wajib harus didahulukan dari pada perkara sunnah. 8. Wakif tidak membiarkan atau membebaskan orangorang yang mendapatkan wakaf seperti penampungan, masjid dan madrasah sebelum adanya penghalang. 9. Wakaf orang kafir untuk ibadah umat Islam seperti g[mdc^. H[f chc doa[ m_d[f[h ^_ha[h j_h^[j[n of[g[’ Hanafiyah (Az-Zuhaili, 1985).
Hukum Islam 161 Sebelum Islam masuk ke Indonesia, Masyarakat Indonesia sudah mengenal praktik yang serupa dengan wakaf (Hamami, 2003). Setelah Islam masuk maka peraturan wakaf mengikuti peraturan Islam yaitu merujuk ketentuan fiqih wakaf yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Praktiknya pun cukup sederhana yaitu hanya melalui ikrar wakaf oleh wakif kepada nadzir dan tidak ada pencatatan administratifnya (Athaillah, 2014). Regulasi wakaf di Indonesia sudah ada semenjak pemerintahan colonial Belanda 1903-1935. Melalui surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda (circculaires van de gouverments secretaries) uyang ditujukan kepada pemimpin Indonesia. Dalam surat tersebut pemerintah Belanda meminta daftar bangunan keagamaan Muslim yang terdiri dari asal usul (wakaf atau bukan) dan status tempat ibadah kepada para Bupati (Ansari, 2005). Surat edara tersebut berisi peraturan perwakafan di Indonesia. Pertama, pemerintah Belanda melakukan pengendalian wakaf melalui aturan wajib daftar atau adanya kewajiban meminta izin Bupati untuk melakukan wakaf. Kedua, pemberian kewenangan kepada Bupati muntuk menangani kasus terkait sengketa wakaf yang terjadi di Masyarakat (S. Usman, 1999). Namun pada masa ini administrasi wakaf masih terbatas pada benda tidak bergerak berupa tanah, sawah, Perkebunan, langar, masjid dll. Sedangkan untuk wakaf benda bergerak seperti sajadah, alQol’[h, ^[h \[no \[n[ \_fog ^c[nol (Suhadi, 2002). Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, regulasi wakaf mulai dikelola oleh Kementrian Agama. Berdasar PP No
162 Hukum Islam 33/1949 Juncto PP No 8/1950 dan Permen Agama No 10/1952, maka kewenangan pengelolaan wakaf berada dibawah koordinasi Kementrian Agama dan lembaga hirarki kebawahnya. Tugas Kemenag meliputi kewajiban untuk menyelidiki, mendaftar dan menentukan serta mengawasi pemeliharaan harta wakaf (R. Usman, 2009). Perhatian pemerintah terhadap peraturan wakaf semakin serius dengan memasukkan wakaf dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang memperkuat eksistesi wakaf dalam lembaga keagamaan serta lembaga keagrariaan (R. Usman, 2009). Setelah ditetapkannya PP No. 28/1977 tentang perwakafan tanah milik, mewujudkan perubahan besar dalam pengelolaan wakaf di Indonesia. Tidak hanya memuat subtansi dan teknis wakaf, juga mengatur tentang kebolehan pertukaran harta wakaf setelah adanya izin Mentri Agama. Langkah-langkah perbaikan terkait regulasi wakaf terus dilakukan. Pasca reformasi, UU No 41/2004 tentang wakaf dan PP No 42/2006 tentang pelaksanaan UU 41/2004 tentang wakaf berhasil disahkan. UU ini merupakan tonggak pemberdayaan wakaf produktif. Wakaf tidak hanya untuk harta tidak bergerak saja namun termasuk didalamnya adalah harta bergerak seperti uang. Sehingga, wakaf diproyeksikan tidak hanya berdampak pada ritual ibadah semata, namun juga akan berdampak pada pemberdayaan ekonomi umat (R. Usman, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah Indonesia terhadap wakaf sangatlah besar.
Hukum Islam 163 Hukum Tata Negara Islam (Fikih Siyasah) Muhammad Marizal, S.Sy., M.H. Imncf[b Fcecb Scs[m[b \_l[m[f ^[lc ^o[ e[n[, s[cno ‚Fcecb‛ ^[h ‚Scs[m[b‛. K[n[ Fcecb m_h^clc g_loj[e[h e[n[ \[eo ^[f[g Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berasal dari kata \[b[m[ Al[\ ‚Fckb‛ [n[o ‚Fckcb‛ (g_haaoh[e[h bolo` ‚Q) yang berarti paham, mengerti, atau tahu, sedangkan dalam
164 Hukum Islam KBBI (kbbi.kemdikbud.go.id, no date) berarti ilmu tentang hukum Islam. Secara terminologis, kata Fikih mempunyai arti pengertian atau pemahaman terhadap perkataan atau perbuatan tertentu dari manusia (Pulungan, 2014). Kata ‚Siyasah‛ \_l[m[f ^[lc \[b[m[ Al[\ s[ha g_gjohs[c [lnc mengatur, mengurus, atau memerintah (Louis, 1986). Abdul Wahab Khallaf memberikan arti pada istilah Siyasah sebagai pemerintahan dan politik dengan tujuan menuntut pada kebijaksanaan (Khallaf, 1977). Secara bahasa, istilah Siyasah juga dapat diartikan sebagai manajemen (Mukrimaa et al., 2016). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa arti kata Siyasah adalah mengatur, mengurus, memerintah, atau manajemen terhadap sesuatu secara politis untuk mencapai pada tujuan tertentu. Fikih Siyasah juga disebut dalam istilah lain yaitu Siyasah Ss[l’css[b yang menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu pengendalian masalah umum bagi negara bernuansa Islam yang menjamin kebaikan dan keburukan dengan tidak melanggar ketentuan syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum, meskipun tidak sesuai dengan pendapat para imam mujtahid (Khallaf, 1977). Menurut definisi tersebut, pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil amri) memiliki wewenang untuk membuat segala hukum, peraturan, dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat untuk kemaslahatan umum. Oleh karena itu, semua hukum, peraturan, dan kebijaksanaan politik yang dibuat oleh mereka yang memegang kekuasaan bersifat mengikat. Selama produk itu tidak secara substansial bertentangan dengan prinsip syariat, masyarakat harus mematuhinya.
Hukum Islam 165 Dalam istilah lain, Siyasah juga dapat dipersamakan ^_ha[h cmncf[b ‚Pifcnce‛. Politik berasal dari kata "politic" dalam bahasa Inggris, yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata "politik" berarti bertindak atau menilai dengan hati-hati, bijaksana, dan bijaksana (Dictionary, 1989). K[n[ ‚politic‛ ^cm_l[j ^[f[g \[b[m[ Ih^ih_mc[ g_hd[^c ‚jifcnce‛ ^_ha[h [lnc segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, atau cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan (kbbi.kemdikbud.go.id, no date). Miriam Budiarjo menggambarkan politik sebagai kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam suatu sistem politik (atau negara), termasuk proses menentukan dan melaksanakan tujuan sistem tersebut. Politik selalu berkaitan dengan tujuan masyarakat secara keseluruhan, bukan tujuan pribadi seseorang (Budiardjo, 2003). Fikih siyasah adalah cabang ilmu fikih yang mengkhususkan diri pada bidang muamalah dengan memfokuskan pada segala hal-ihwal dan seluk beluk struktur pemerintahan dan negara. Fikih siyasah, sebagai disiplin ilmu, memiliki subjek untuk dipelajari yang berbeda dari cabang dari ilmu Fikih lainnya. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, tujuan kajian fikih siyasah adalah menyusun atau membentuk undang-undang dan peraturan untuk mengurus negara sesuai dengan ajaran dan perintah agama (Khallaf, 1977). Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, Fikih Siyasah merupakan pekerjaan mukallaf dan segala urusan administrasi (pengaturan) memiliki jiwa syariah yang tidak diperoleh dalil dan tidak berbeda dengan syariah amma (Mukrimaa et al., 2016). Sedangkan Fikih Siyasah menurut
166 Hukum Islam Menurut Ibn Taimiyah, mengacu pada mereka yang memegang kekuasaan, memiliki amanah, dan menetapkan hukum yang adil (Bakar, 2021). Dasar dalam menjalankan negara sesuai dengan ajaran agama Islam dalam konsep Fikih Siyasah bersumber pada AlQol’[h ^[h H[^cm sang dikategorikan dalam berbagai macam prinsip yang mendasarinya, antara lain adalah(Mukrimaa et al., 2016): 1. Prinsip Kedudukan Manusia di Atas Bumi sebagai Khalifah, tertuang dalam QS. Al Baqarah: 30, QS. AnNuur: 55, QS. An-Naml: 62, QS. Shaad: 26, QS. Ali Imran: 26, QS. Al-Ah’[g: 165, ^[h QS. Yohom: 14; 2. Prinsip Manusia sebagai Umat yang Satu, tertuang dalam QS. Al-Baqarah: 213 dan QS. Al-Hujurat, 13; 3. Prinsip Menegakan Hukum dan Keadilan, tertuang dalam QS. An-Ncm[’: 58, 105, ^[h 135, ^[h QS. Af-Maidah: 6; 4. Prinsip Kepemimpinan tertuang dalam QS. Ali Imran: 118 dan QS. Asy-Sso’[l[: 150-152; 5. Prinsip Musyawarah yang tertuang pada QS. Ali Imran: 159 dan QS. Asy-Sso’[l[: 38; 6. Prinsip Persatuan dan Persaudaraan tertuang dalam QS. Ali Imran: 103 dan QS. Al-Hujurat: 10; 7. Prinsip Persamaan tertyang dalam QS. AN-Nisa: 1 dan QS. Al-Hujurat: 13; 8. Prinsip Hidup Bertetangga atau Hubungan Antar Negara Bertetangga tertuang dalam QS. An-Nisa: 36; 9. Prinsip Saling Tolong Menolong dan Membela Kaum Lemah tertuang dalam QS. Al-Maidah: 2, QS. Al-Balad: 12- 16, dan QS. Al-M[’oh: 1-3;
Hukum Islam 167 10. Prinsip Perdamaian dan Peperangan, serta Hubungan Internasional tertuang dalam QS. An-Ncm[’: 89-90 dan QS. Al-Anfal: 21; 11. Prinsip Ekonomi dan Perdagangan tertuang dalam QS. Al-A’l[`: 55 ^[h QS. Af-Iml[’: 35; a. Prinsip Administrasi dan Perikatan dalam Hubungan Muamalah tertuang dalam QS. Al-Baqarah: 282-283; b. Prinsip Hak Asasi Manusia tertuang dalam QS. AlIml[’: 33 (H[e Hc^oj), QS. Af-Baqarah: 188 (Hak Atas Milik Pribadi dan Hak Mencari Nafkah), QS. AnNuur: 27 (Hak atas Penghormatan dan Kehidupan Pribadi), QS. Ali Imran: 104 (Hak Berpendapat dan Berserikat), QS. Al-Baqarah: 256 (Hak Kebebasan Beragama dan Toleransi terhadap Pemeluk Agama lain), QS. AN-Ncm[’: 58 (P_lm[g[[h ^c M[n[ Hoeog dan Hak untuk Membela Diri), QS. Al-A’l[`: 33 (H[e Bebas dari Penganiayaan), QS. Al-Maidah: 32 (Bebas dari Rasa Takut), dan QS. Ali Imran: 110 (Amar M[’lo` N[bc Mohae[l). c. Selain itu, Hadis Nabi Muhammad SAW juga menjadi pondasi kuat dalam menjalankan konsep Siyasah Ss[l’css[b, antara lain adalah (Mukrimaa et al., 2016): 1) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Prinsip Kebutuhan akan Pemimpin, 2) Hadis yang menjelaskan tentang Tanggungjawab seorang Pemimpin, 3) Hadis yang diriwayatkan Ahmad tentang Prinsip Hubungan Pemimpin dengan Rakyatnya, 4) Hadis tentang Prinsip Ketataan pada Ulil Amri, 5) Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang Pempimpin yang tidak Konsisten dan Tidak Bertanggungjawab, 6) Hadis yang diriwayatkan oleh
168 Hukum Islam Abu Daud dan Ahmad tentang Prinsip Tolong Menolong, 7) Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang Prinsip Kebebasan Berpendapat, 8) Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang Prinsip Persamaan di Mata Hukum, 9) Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang Prinsip Mengangkat Pejabat Negara, 10) Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tentang Prinsip Musyawarah, dan 11) Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang Prinsip Persuadaraan. Kebijakan pemerintah tentang peraturan perundangundangan (siyasah dusturiyah), ekonomi dan moneter (siyasah maliyah), peradilan (siyasah qadhaiyah), hukum perang (siyasah harbiyah), dan administrasi negara (siyasah idariyah) adalah subjek penelitian Fikih Siyasah menurut Al Mawardi (Al-Mawardy, 1980). Selain itu, ada empat subjek studi fiqih siyasah menurut Ibnu Taimiyah: peradilan, administrasi negara, keuangan, dan hubungan internasional (Taimiyah, 1992). Abdul Wahab Khallaf sendiri mempersempit ruang lingkup kajian Fikih Siyasah pada 3 aspek, yaitu siyasah dusturiyah (perundang-undangan), siyasah dawliyah (hubungan internasional) dan siyasah maliyah (keuangan negara) (Khallaf, 1977). Sedangkan, Hasbie Ash Shiddiqie menjelaskan lebih rinci terkait subyek kajian Fikih Siyasah, antara lain adalah (Pulungan, 2014): 1. Scs[m[b Domnolcs[b Ss[l’css[b (Hukum tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) Al-M[o^o^c g_g\_lce[h ^_`chcmc j[^[ e[n[ ‚Dustur‛ yaitu Suatu dokumen yang memuat prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan pengaturan suatu negara. K[n[ chc ^[j[n ^cj_lm[g[e[h ^_ha[h cmncf[b ‚Kihmncnomc‛
Hukum Islam 169 pada konsep negara modern saat ini. Siyasah Dusturiyah membahas masalah perundang-undangan negara agar sejalan dengan nilai-nilai syari'at. Artinya, undangundang mengacu pada konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syari'at yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan yang dijelaskan oleh sunnah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan berbagai hubungan lainnya. Perumusan undang-undang dasar didasarkan pada prinsip-prinsip yang menjamin hak asasi manusia setiap orang dan menjamin persamaan kedudukan hukum bagi semua orang, tanpa membedakan siapa yang berada di tingkat sosial, kekayaan, pendidikan, atau agama. Dengan demikian, prinsip Fikih Siyasah yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan manusia dan memenuhi kebutuhan manusia akan tercapai dengan pembuatan peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip yang digariskan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam pembuatan undang-undang dasar ini adalah perlindungan hak asasi manusia setiap orang dan persamaan kedudukan setiap orang di depan hukum tanpa membedakan status manusia (Khallaf, 1977). 2. Scs[m[b T[mslc’css[b Ss[l’css[b (Politik Hukum) Legislasi atau kekuasaan legislatif, juga disebut Siyasah atau Sulthah at-Tasyri'iyyah, merujuk pada kekuatan pemerintah Islam dalam membentuk dan menetapkan hukum. Kekuasaan ini merupakan salah satu kekuatan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah negara. Kekuasaan legislasi ini merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk
170 Hukum Islam membentuk hukum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan negara tersebut demi terselenggaranya tujuan dari negara. Dalam konsep sistem ketatanegaraan Indonesia sendiri, kuasa ini dimiliki oleh Dewan Perawakilan Rakyat (DPR). 3. Scs[m[b Q[^b[cs[b Ss[l’css[b (Hukum tentang Sistem Peradilan/Kekuasaan Kehakiman) Dalam fiqh siyasah, lembaga peradilan disebut Qadha'iyyah, yang berasal dari kata "al-qadha", yang berarti lembaga peradilan yang didirikan untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan putusan berdasarkan hukum Islam. Lembaga Peradilan Islam dapat berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik dalam kehidupan berdemokrasi negara kontemporer. Peradilan adalah lembaga negara yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan setiap perkara dengan cara yang adil. Tugas mereka adalah menciptakan keamanan sosial melalui penerapan hukum. Suatu proses peradilan harus memenuhi beberapa unsur berikut (Koto, 2011); a) Hukum, yaitu aturan hukumnya yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan baik yang sudah dikodifikasi maupun tidak, b) Hakim, yaitu orang yang telah diangkat oleh penguasa negara untuk menyelesaikan masalah-masalah para pihak yang bersengkat di pengadilan, c) al mahkum bih yaitu tuntutan dari penggugat yang diajukan ke pengadilan, d) [f g[beog ‘[f[cb yaitu tergugat, adalah orang yang dimintai pertanggungjawabannya atas kerugian yang dialami oleh penggugat, dan e) al mahkum lah yaitu
Hukum Islam 171 penggugat yang dirugikan atas perbuatan hukum si tergugat. 4. Siyasah M[fcs[b Ss[l’css[b (Hukum/Kebijakan Ekonomi) Secara bahasa, Maliyah artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan ilmu keuangan. Secara istilah, dapat diartikan mengawasi dan mengatur setiap aspek pendapatan dan pengeluaran keuangan dengan cara yang sesuai dengan kepentingan umum tanpa menghilangkan atau menyia-nyiakan hak individu. Dalam hal pengelolaan keuangan negara, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ada 2 sumber pendapatan negara, yaitu dari Zakat dan dari harta rampasan perang (Taimiyah, 1992). Sedangkan Abdul Wahab Khallaf menambahkan bahwa harta peninggalan pewaris yang tidak memiliki ahli waris dapat menjadi pendapatan negara (Khallaf, 1977). Biasanya pendapatan negara dikelola oleh lembaga negara yang disebut sebagai Baitul Mal, yaitu lembaga negara yang menerima, menyimpan, mengeluarkan, dan mengelola harta kekayaan milik negara sesuai dengan tugas fungsi negara demi tercapainya tujuan negara. Konsep Baitul Mal sendiri memang belum menjadi suatu konsep tetap dalam sistem ajaran Islam, tetapi keberadaannya memang mendapat sorotan positif. Maka dari itu perlu ditetapkan beberapa aturan agar lembaga ini sama kuatnya dengan lembaga pemegang kekuasaan negara lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yaitu dengan cara: a) pimpinan Baitul Mal dipilih dan dilantik oleh penguasa negara, b) sejajar dengan lembaga negara lainnya, c) bertugas mencari sumber pemasukan negara, d) dapat bekerja sama dengan lembaga negara lainnya, sebagai contoh
172 Hukum Islam kementerian keuangan, e) sebagai pengawas keuangan dan dapat mengambil tindakan apabila ada penyelewengan keuangan negara. 5. Scs[m[b I^[lcs[b Ss[l’css[b (Hukum tentang Sistem Administrasi Negara) Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW selama memimpin masyarakat Madinah, Islam memiliki pemahaman yang luas tentang bagaimana mengelola negara dan pemerintahan. Institusi negara Islam bergantung pada konsep kolektif yang ada dalam landasan moral dan syariah Islam, seperti ukhuwah, tausiyah, dan khalifah. Konsep-konsep ini berfungsi sebagai landasan untuk membangun institusi Islam yang berbentuk negara. Menurut Imam Al Ghazali, agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaga asas. sehingga terjadi simbiosis mutualisme, atau hubungan yang saling menguntungkan. Di satu sisi, agama menjadi dasar bagi negara untuk melakukan hal-hal untuk kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, negara berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan dan menerapkan agama secara kaffah dan benar (Rojak, 2014). Al-Qur'an dan Hadis, serta Ijma dan Qiyas, adalah sumber dasar dari Siyasah Idariyah. Kata "idariyyah" berasal dari kata arab "masdar", yang berarti "adara asy-ms[s’[so^clo c^[lcss[b", yang berarti "mengatur" atau "menjalankan" sesuatu (Dewi and Agustina, 2021). Siyasah Idariyyah didasarkan pada tujuan, yaitu mengatur dalam proses administrasi atau kerja sama antara dua orang atau lebih berdasarkan alasan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dalam Islam. Alur kerja diwan (dalam hal ini diartikan sebagai ‚e[hnil s[ha g_haomolc jlim_m [^gchcmnl[mc h_a[l[‛)
Hukum Islam 173 dan administrasi negara sama, yaitu menjalankan proses pemerintahan. 6. Scs[m[b D[qfcs[b Ss[l’css[b (Hukum tentang Politik Hubungan Internasional) Dalam Siyasah Dauliyah, kepala negara memiliki kekuasaan untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalah teritorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, dan pengusiran warga negara asing. Siyasah Dauliyah juga mengatur hubungan antara warga negara dan lembaga negara di negara lain. Damai adalah dasar hubungan internasional. Karena itu, perang diizinkan karena tujuannya: menentang kezaliman, menghilangkan fitnah, dan mempertahankan diri. Perdamaian yang saling menguntungkan adalah hasil dari prinsip damai sebagai dasar hubungan internasional. Dalam konsep Siyasah Dauliyah, perang hanya diperbolehkan apabila memenuhi beberapa ketentuan, yaitu (Mukrimaa et al., 2016): a. Perang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat; b. Orang yang tidak berperang tidak boleh dianggap sebagai musuh; c. Perang harus segera dihentikan jika salah satu pihak cenderung untuk damai; dan d. Tawanan perang harus diperlakukan dengan manusiawi. Dalam Siyasah Dauliyah, subjek hukumnya adalah negara, dan setiap negara memiliki tanggung jawab. Menghormati hak-hak negara lain dan melaksanakan perjanjian adalah tanggung jawab yang paling utama.
174 Hukum Islam Dalam menjalankan kewajiban negara menurut konsep Siyasah Dauliyah, maka perlu didasari pada beberapa prinsip, yaitu prinsip persatuan umat manusia, prinsip keadilan ([f ‘[^[f[b), prinsip persamaan (al musawah), prinsip kehormatan manusia (karomatul insaniyah), prinsip toleransi (tasamuh), prinsip kerja sama dalam kemanusiaan, prinsip kemerdekaan (al hurriyah), dan prinsip perilaku moral yang baik (akhlaqul karimah) (Mukrimaa et al., 2016). 7. Scs[m[b T[h`c^tcs[b Ss[l’css[b (Kebijakan Pelaksanaan Perundang-Undangan/Penegakan Hukum) Siyasah Tanfidziyah adalah subbagian dari Fikih Siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah perundang-undangan), legislasi (metode perumusan undang-undang), lembaga demokrasi, dan syura dibahas dalam bagian ini. Syura adalah pilar penting dari perundang-undangan. Memenuhi kebutuhan manusia dan kemaslahatan manusia adalah tujuan pembuatan peraturan perundangundangan. Permasalahan dalam fiqh siyasah tanfidziyah adalah hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, serta kelembagaan masyarakat. Oleh karena itu, fiqh siyasah tanfidziyah biasanya hanya membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama, merupakan pelaksanaan kemaslahatan manusia, dan memenuhi kebutuhan manusia (Djazuli, 2006). Siyasah Tanfidziyah mempunyai ruang lingkup bidang yang sangat luas dan kompleks dari kehidupan.
Hukum Islam 175 Namun, secara umum, bidang ini mencakup hal-hal berikut (Andiko, 2017): a) Persoalan dan ruang lingkup kajiannya; a. Hak dan kewajiban imamah; b. Rakyat, statusnya dan hak-haknya; c. Bai'at; d. W[fcsof ‘Ab^c; e. Perwakilan; f. Ahlul Halli Wal Aqdi; dan g. Wizarah dan hubungannya. 8. Scs[m[b H[l\cs[b Ss[l’css[b (Sistem Peperangan) Siyasah Harbiyah adalah salah satu ruang lingkup kajian dalam Fikih Siyasah yang mengakaji tentang politik peperangan dengan segala aspek yang berhubungan dengan perdamaian. Secara umum, ruang lingkup kajian Fikih Siyasah Harbiyah tentang kaidah peperangan dalam Islam, masalah mobilisasi umum demi kemasalahatan umat, hak dan jaminan keamanan dalam konteks peperangan, hak-hak tawanan perang, harta peperangan, dan proses penyelesaian peperangan melalui jalur perdamaian. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup kajian Fikih Siyasah sangat luas karena berhubungan dengan kebijakan dalam menjalankan negara mulai dari aspek kebijakan pengaturan undang-undang, kebijakan ekonomi, sampai dengan kebijakan tentang hubungan internasional dan peperangan. Maka dari itu, topik Fikih Siyasah sangat penting untuk dipelajari oleh setiap orang baik masyarakat awam maupun orang yang sedang menempuh pendidikan khsusnya pendidikan tinggi
176 Hukum Islam hukum, politik, ekonomi, dan hubungan internasional sebab ajaran agama Islam merupakan suatu sistem ajaran yang lengkap/kamil sehingga ruang lingkup pembahasannya luas dan menyeluruh. Berikut merupakan beberapa kemanfaatan mempelajari ilmu Fikih Siyasah, antara lain adalah: a. mengetahui ilmu tentang bagaimana mengatur negara dalam membentuk peraturan perundangundangan sebagai pedoman negara dalam mencapai kemasalahatan bangsa dan negara; b. mengetahui manajemen pengorganisasian dan kebijakan demi mewujudkan kemasalahatan bangsa dan negara; dan c. mengetahui pengaturan terkait hubungan antara negara, pelaku usaha (swasta), dan masyarakat demi kepentingan bangsa dan negara. Anthony Gidden memberikan definisi negara negara yang merupakan suatu organisasi yang kuat yang dapat mencapai tujuan jangka panjang yang melindungi sistem produksi kapitalis (Giddens, 1987). Sedangkan Miriam Bo^c[ldi g_g\_lce[h ^_`chcmc ‚h_a[l[‛ m_\[a[c \_lceon, negara adalah suatu wilayah yang dipimpin oleh pejabat yang memiliki otoritas dan kontrol yang sah dan menuntut rakyatnya untuk patuh (Budiardjo, 2003). Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa ciriciri negara adalah gabungan dari berbagai aspek kehidupan manusia, negara eksis karena ikatan jiwa antara orang-orang
Hukum Islam 177 dengan negara mereka dan negara terdiri dari kesatuan yang terdiri dari bangsa-bangsa tersebut (Isharyanto, 2016). Walaupun corak antar negara berbeda, sifat hakikat setiap negara tetap sama. Negara memiliki karakteristik tertentu, yang membuatnya menjadi organisasi sosial yang berbeda dari organisasi lain. Khususnya adalah memiliki monopoli kekuasaan yang tidak dimiliki oleh organisasi lain. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa negara memiliki kemampuan untuk menerapkan hukuman untuk mendisiplinkan warganya. Jika suatu negara diserang oleh musuh, negara tersebut juga dapat mewajibkan warganya untuk mengangkat senjata. Orang di luar negeri juga harus melakukan hal yang sama. Negara dapat memaksa warganya untuk memungut pajak dan menetapkan nilai tukar lokal. Oleh karena itu, konsep negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga sifat, yaitu: 1. Memaksa; 2. Me-monopoli; dan 3. Mengakomodasi semua. The 1933 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States menyatakan bahwa terdapat empat unsur yang menentukan pembentukan suatu negara. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. jangkauan wilayah yang pasti diselenggarakan oleh pemerintahan yang efektif; 2. adanya penduduk sebagai warga negara yang tetap; dan 3. kemampuan untuk berhubungan internasional, termasuk memenuhi perjanjian internasional. Unsur-ohmol ^c [n[m m_lcha ^cm_\on m_\[a[c ‚the traditional criteria‛. Plchmcj _`ektivitas dan dalil dalam
178 Hukum Islam bahasa Latin "ex factis jus oritur" diakui untuk kriteria ini. Prinsip ini bermakna kepastian hukum dalam menggambarkan sebagian dari fakta terbentuknya negara (Isharyanto, 2016). Menurut para ahli Hukum Tata Negara, unsur-unsur di atas harus terpenuhi dalam terbentuknya sebuah negara, begitu pula pada zaman Rasulullah SAW yang telah menerapkan unsur-unsur tersebut pada saat beliau berada di Madinah. Baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW, unsur-unsur yang disebutkan telah masuk ke dalam kehidupan beliau bersama sahabatnya dan generasi berikutnya(Zaman, 2012). Rasulullah SAW menetap di M[^ch[b ^[h g_hd[^ce[hhs[ m_\[a[c ‚n[h[b [cl‛ \_lm[g[ para sahabat beliau sampai beliau wafat di sana. Para sahabat mempercayai Rasulullah SAW sebagai pemimpin (saat itu) dan sepakat menjadikan Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pidatonya beliau yang mengumumkan berdirinya negara Madinah, Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa semua unsur penting yang diperlukan untuk mendirikan negara, seperti masyarakat, tatanan hukum, wilayah, dan pemimpin telah terpenuhi. Deklarasi ini juga ^ce_h[f m_\[a[c ‚Mitsaq Madinah‛ [n[o ‚Pc[a[g M[^ch[b‛ (Murdan, 2019). Para sarjana muslim menganggap bahwa Piagam Madinah sebagai undang-undang dasar pertama yang menekankan pentingnya bekerja sama dan membantu satu sama lain. Perjanjian tersebut juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang toleran dan tidak membedakan
Hukum Islam 179 antara orang-orang yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama Islam. Menurut Muhammad Hamidullah, pada tahun pertama Hijriah (622 M), Nabi Muhammad SAW telah mengumumkan Undang-Undang Dasar Negara tertulis pertama yang pernah dibuat oleh penguasa suatu negara. Selain itu, ia menyatakan juga bahwa fakta pertahanan ini sangat penting untuk membangun negara Madinah yang berbasis persekutuan dengan otonomi yang sangat besar untuk setiap bagian (Fitriyani, Basir and Fansyuri, 2022). Seorang pemikir Islam Mesir bernama Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa Piagam Madinah secara resmi menunjukkan berdirinya suatu negara. Empat pokok utama dari piagam tersebut adalah (Fitriyani, Basir and Fansyuri, 2022): 1. mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu bangsa; 2. menumbuhkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, dan saling menjamin di antara sesama warga; 3. menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban untuk memanggul senjata, menjaga keamanan, dan melindungi Madinah dari ancaman dari luar; dan 4. memberikan kebebasan dan persamaan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama lain untuk menjalankan kepentingan mereka sendiri. Piagam Madinah menjelaskan pembentukan umat, hak asasi manusia, persatuan negara, persatuan segenap warga negara, golongan minoritas, tanggung jawab warga negara, perlindungan negara, dan politik perdamaian, sehingga dapat
180 Hukum Islam disimpulkan bahwa piagam Madinah mencakup semua aspek dan tatanan kehidupan manusia dalam masyarakat, bangsa, dan negara (Arake, 2019). Hal ini menjelaskan bahwa Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW menjadi negara maju (madani) dengan segala prinsip tolerenasi dalam masyarakat yang multikultural suku, agama, dan bangsa. Tetapi memang, Nabi SAW tidak pernah menunjukkan bentuk pemerintahan/negara yang baku sehingga dapat diikuti oleh peners beliau di masa mendatang di berbagai wilayah pemerintahan Islam. Dengan begitu, bentuk pemerintahan/negara apapun tidak akan dianggap ideal apabila nilai-nilai kemanusiaan, nilai persamaan, nilai kebangsaan, dan nilai nasionalisme tidak hadir di dalamnya. Pada dasarnya, tujuan negara tidak dapat dipisahkan dari fungsi atau tugasnya. Keduanya (fungsi dan tugas) berhubungan satu dengan lainnya. Tujuan negara adalah untuk mewujudkan harapan atau cita-cita negara, sedangkan fungsi negara adalah untuk mencapainya tujuan tersebut (AlMawardy, 1980). Tujuan negara harus melakukan dua tugas utama: mengatur penghidupan negara dengan sebaikbaiknya; dan, kedua, mengatur dan penyelenggarakan pemerintahan dengan sebaik-baiknya melalui aparatur yang berkuasa (Abdullah, 2017). Selain bentuk negara, ajaran Islam juga mengatur prinsip-prinsip yang harus tertanam dalam penyelenggaraan negara yang bersumber dari Al-Qol’[h cno m_h^clc, [hn[l[ f[ch adalah (Fahmi, 2017): 1. Prinsip kedaulatan, merupakan prinsip kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. merupakan kepala negara. Allah SWT memiliki kedaulatan yang mutlak dan sah.
Hukum Islam 181 Manusia ditugaskan untuk mengelola dunia sebagai khalifah; 2. Prinsip keadilan merupakan prinsip yang sangat penting untuk menjalankan negara. Dalam hukum, keadilan menghendaki bahwa setiap warga negara memiliki kedudukannya yang sama di depan hukum. Prinsip keadilan dan persamaan ditekankan dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, dan 40 dari Piagam Madinah ketika Rasulullah memulai pembangunan negara Madinah; 3. Plchmcj goms[q[l[b ^[h Idg[’; Surat As-Syura ayat 38 mengandung prinsip musyawarah. Syura dan Ijma' adalah proses pengambilan keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan yang dilakukan melalui persetujuan dan konsultasi dengan semua pihak. Pemilihan yang adil, jujur, dan amanah harus dilakukan untuk menetapkan kepemimpinan negara dan pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat. Prinsip Islam tidak mendukung pemerintahan atau otoritas yang didirikan dengan cara yang otoriter dan tiran; 4. Prinsip persamaan; Orang non-Muslim di negara ini memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara itu ideologis, orang-orang yang memegang posisi kepemimpinan dan otoritas (ulil amri) harus dapat menjunjung tinggi syari'ah. Piagam Madinah yang dibuat selama masa kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah, yang melindungi masyarakat yang beragam. Prinsip dan kerangka kerja konstitusional untuk pemerintahan seperti ini ditetapkan dalam sejarah politik Islam. Ada tuduhan bahwa Islam tidak menghormati prinsip persamaan di negara karena tidak memungkinkan orang non-muslim untuk menjadi
182 Hukum Islam pemimpin. Misalnya, itu bukan karena Islam tidak menghormati hak minoritas; itu lebih karena mereka tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin. Hal ini lebih sering ditemukan pada negara-negara modern saat ini; 5. Prinsip hak dan kewajiban negara. Semua warga negara memiliki hak dasar. Beberapa hak warga negara yang harus dilindungi, menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, adalah sebagai berikut: keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan berbicara dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum yang adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan medis yang layak, dan keamanan untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi; dan 6. Prinsip amar ma'ruf nahi munkar, adalah mekanisme untuk mengontrol dan menyelaraskan sistem politik Islam. Abfof Hcffc q[f ‘Ak^c (parlemen), Wilayatul Hisbah, dan Wilayatul Qadha' menyusun sistem ini. Dalam pandangan mayoritas Muslim (sunni), seorang pemimpin bukan seorang yang suci (ma'shum), sehingga sangat mungkin untuk dikritik dan dinasihati.
Hukum Islam 183 aj-Jurjani, A. bin M. bin A. (1970). at-T[’lc`[n. Tunisia. al-Hatab, A. A. M. bin M. bin A. (1329). Mawahib al-Jalil (Vol. 6). Dar as-S[’[^[b. al-Kabisi, M. A. A. (2004). Ahkam al-Waqf fi asy-Ss[lc‘[b alIslamiyah (Hukum Wakaf). IImaN Perss. Ahnihci, M. Ss[`c’c. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia, 2009. al-Khin, M., & al-Bugha, M. (2000). Al-Fiqh al-M[hb[dc ‘[f[ Madzhab al-Imâm al-Ssâ`c’c (Vol. 1). Al-Fitrah. al-Murginani, B. A. bin A. B. (1356). al-Hidayah. Mustafa Muhammad. Ansari, A. G. (2005). Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia: Undang-undang Wakaf Nomor. 41 Tahun 2004,. Pilar Media. Athaillah, M. (2014). Hukum Wakaf. Yrama Widya. Ata[hch, H., K[mmcg, S., & S[’[^, A. A. (2021). Plijim_^ q[k` crowdfunding models for small farmers and the required parameters for their application. Islamic Economic
184 Hukum Islam Studies, 29(1), 2–17. https://doi.org/10.1108/ies-01-2021- 0006 Az-Zuhaili, W. (1985). al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Dar al-Fikr. Adnan, M., & Uyuni, B. (2021). Maqashid Sharia in Millennial Da'wah. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 8(5), 1483-1498. Aulia, U., & Zulfah, M. A. (2021). Fiqih. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas KH. A. Wahab Hasbullah. Ath-Thabari, A. J. (2009). Tafsir Ath-Thabari. Juz XIX & XX, Mesir: Dar Al-Qalam, Tt. Adnan, M., & Uyuni, B. (2021). Maqashid Sharia in Millennial Da'wah. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 8(5), 1483-1498. Akbar, A. (2021). Buku Ajar Sejarah Sosial Hukum Islam. Ath-Thabari, A. J. (2009). Tafsir Ath-Thabari. Juz XIX & XX, Mesir: Dar Al-Qalam, Tt. Awaliah, U., & Santalia, I. (2022). Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin. Comparativa: Jurnal Ilmiah Perbandingan Mazhab dan Hukum, 3(1), 25-49. Abdul Hakim, 2011, Mencari Ridho Allah, Cirebon : Pimpinan Pom[n J[g[’[b Ss[b^[n[ch. Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk, 2010, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenadamedia Group.
Hukum Islam 185 Azhar Ahmad Basyir, 2000, Asas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), edisi revisi, Yogyakarta: UII Press. A. Fcnnlc[, ‚T_ilc D[m[l Fckcb Mo[g[f[b,‛ jj. 1–138, 2021. A`lib[b, A. (2021) ‘M_ni^_ P_g_][b[h Kihnl[^cemc D[fcf ^[f[g Kcn[\ J[g’o [f-J[q[gc’’, AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. doi: 10.37680/almanhaj.v3i1.699. A\^of Monb[fc\, ‚PERUBAHAN HUKUM DENGAN SEBAB BERUBAHNYA MASA, TEMPAT DAN KEADAAN,‛ Andl_q’m Dcm. Sec. Cfch. D_lg[nifias., no. 64, 2018. A. Z. I. W. Z. K[g[lo^^ch, ‚Kihm_j K_q[dcj[h ^[h Tanggungjawab (al-taklif) dalam pemikiran Islam :,‛ no. January 2009, pp. 1–14, 2004, [Online]. Available: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/cbdv.20049013 7/abstract Agg[l, A. M. (2022) ‘PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADILLAH DALAM PENGHARAMAN RIBA FADHL’, Eqien-Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 10(2), pp. 1–9. Abas, Muhammad, et al. "Ilmu hukum konseptualisasi epistemologi prinsip hukum dalam konstitusi negara." (2023). Ali, Mohammad Daud, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 1991. Al-Q[l^b[qc, Yomo`. Idncb[^ D[f[g Ss[lc’[n Imf[g, J[e[ln[, Bof[h Bintang , 1987.
186 Hukum Islam Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern, Terjemahan, Yogyakarta, Ash-Shiddiegy, T.M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975. Azhary, M Tahir, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992. Alcdofg[h[h, ‚Dch[gce[ Fckb Imf[g Dc Ih^ih_mc[,‛ J. Huk. dan Pranata Sos. Islam, vol. 1, no. 1, pp. 403–422, 2017, [Online]. Available: jurnal.staialhidayahbogor.ac.id A\^off[b, S.R. (2017) ‘Todo[h N_a[l[ ^[f[g Imf[g M_holon Yomo` al-Q[l[^b[qc’, Asy-Ss[lc’[b, 19(1), pp. 15–36. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.15575/as.v19i1.4134. Al-M[q[l^s, I. (1980) ‘Af-Ahkam Al-Shulthaniyah Wa Al-Wilayah Ad-Dchcs[b’. B_clon: D[[l Af-Kutub Al-Alamiyah. Ah^cei, T. (2017) ‘P_g\_l^[s[[h Q[qâc^ Fckbcss[b ^[f[g Penyelesaian Masalah-g[m[f[b Fcecb Scs[m[b Mi^_lh’, Al-’A^[f[b, 11(1), pp. 103–118. Available at: https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24042/adalah.v12i1.17 8. Al[e_, L. (2019) ‘Aa[g[ D[h N_a[l[ P_lmj_enc` Fckb Scs[m[b’, AlAdalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, 3(2), pp. 79–116. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.35673/ajmpi.v3i2.193. B[e[l, A.A. (2021) ‘P_gcecl[h Eeihigc Imf[g I\h T[cgcs[b’, BANCO: Jurnal Manajemen dan Perbankan Syariah, 3(2), pp. 118–124. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.35905/banco.v3i2.2597.
Hukum Islam 187 Budiardjo, M. (2003) Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama. Bagenda, Christina, et al. "HUKUM ISLAM." (2022). Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Bulan Bintang,1981. B[`[^bif, ‚Todo[h Hc^oj D[f[g P_lmj_enc` Af-Qol’[h,‛ Al - Tadabbur J. Ilmu Al-Qol’[h ^[h T[`mcl, vol. 2, no. 03, pp. 25–40, 2017, doi: 10.30868/at.v2i03.193 B[ebnc[l (2018) ‘P_l\_^[[h ^[h P_lm[g[[h M_ni^_ P_h_go[h Hoeog Imf[g ^[h M_ni^_ P_h_go[h Hoeog Pimcnc`’, Pagayuruang Law Journal, 1(2), pp. 220–238. Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Terjemahan Edisi V, Cet. V, 1996. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika. D. Rohd[hc, ‚P_h^_e[n[h Hoeog D[f[g M_g[b[gc Imf[g,‛ Opinia J., vol. 1, pp. 53–66, 2021, [Online]. Available: http://ejournal.stainumadiun.ac.id/index.php/opinia/arti cle/view/4%0Ahttp://ejournal.stainumadiun.ac.id/index. php/opinia/article/download/4/4 D_qc, R.K. [h^ Aaomnch[, S. (2021) ‘Tchd[o[h Fckcb Scs[m[b n_lb[^[j L_g\[a[ Yo^ce[nc` ^c Ih^ih_mc[’, Cakrawala Jurnal Manajemen Pendidikan Islam dan studi sosial, 5(2), pp. 241–252. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.33507/cakrawala.v5i2.37
188 Hukum Islam 1. D[moec, HA. H[`ctb. ‚Hoeog‛. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.12 Dc]ncih[ls, O.E. (1989) ‘Or`il^ _hafcmb ^c]ncih[ls’, Simpson, Ja & Weiner, Esc, 3. Dd[tofc, A. (2006) ‘K[c^[b-Kaidah Fikih: Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-M[m[f[b Y[ha Pl[encm’, Jakarta: Kencana Praneda Media Group [Preprint]. D. N[dgo^ch, ‚Sjclcn Keilmuan Wahyu Memandu Ilmu Dalam P_ha_g\[ha[h Hoeog Imf[g,‛ ADLIYA J. Huk. dan Kemanus., vol. 14, no. 2, pp. 243–256, 2021, doi: 10.15575/adliya.v14i2.9433. E`_h^c Soac[hni, ‚SUMBER PENDAPATAN NEGARA MENURUT CENDIKIAWAN MUSLIM IMAM AL-MAWARDI,‛ pif. 3, pp. 120–133, 2020. F[nbihc, K. (2020) ‘M_ni^_ P_hs_f_m[c[h T[’[lo^b [f-Adillah ^[f[g M_ni^ifiac Hoeog Imf[g’, AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. doi: 10.37680/almanhaj.v2i1.309. F[bgc, M. (2017) ‘Plchmcj D[m[l Hoeog Pifcnce Imf[g^[f[g Perspektif Al-Qol[h’, Petita, 2(1), p. 33. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.22373/petita.v2i1.59. Fcnlcs[hc, B[mcl, A. [h^ F[hmsolc, A.R. (2022) ‘Kihm_j N_a[l[ ^[f[g Fckcb Scs[m[b’, Farabi, 19(1), pp. 1–15. Available at: https://doi.org/10.30603/jf.v19i1.2634.
Hukum Islam 189 Gc^^_hm, A. (1987) ‘P_l^_\[n[h ef[mce ^[h eihn_gjil_l g_ha_h[c e_figjie, e_eo[m[[h, ^[h eih`fce’. Gemala Dewi, Widyaningsih, dkk, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group. Gbo`lih A. M[m’[^c, 2002, Fiqih Muamalah Kontektual, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hamid, A., & Uyuni, B. (2023). Human Needs for Dakwah (The Existence of KODI as the Capital's Da'wah Organization). TSAQAFAH, 19(1), 1-26. H Sutrisno RS, M. H. I., & Faiz, M. F. (2021). Hukum Islam Kontemporer dan Perubahan Sosial. Nusamedia. Hamami, T. (2003). Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional. Tata Nusantara. Harahap, S. (2006). Fiqih Wakaf. Kemenag RI. Haries, A., 2019. Hukum Kewarisan Islam (Edisi Revisi). Ar-Ruzz Media, Yogyakarta. Hazairin, 1981. Kewarisan Bilateral Menurut al-Qol’[h ^[h [fHadits. Tinta Mas, Jakarta. Hermawan, W. (2014). Politik Hukum Wakaf di Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam - T[’fcg, 1(2). Hamid, Arifin. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi syariah) Di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007. Hanafi, Ahmad, Pengantar Sejarah Hukum Islam, Jakarta, Pustaka
190 Hukum Islam Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I-II, Jakarta, Jakarta. 1996. Hosen, M. Nadratuzzaman, A.M. Hasan Ali, dan Bahrul Muhtasib. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Jakarta: PKES, 2008. In[ha. ‚D[m[l Hoeog Eeihigc Imf[g.‛ Jurnal Ekonomi Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin.‛ Vif 7, Ni.1 (J[ho[lc -Juni 2016). Isharyanto (2016) Ilmu Negara (2016), Ilmu Negara. Karanganyar, Indonesia: Oase Pustaka. Idami, Z. (2011). Ijtihad dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Ketatanegaraan dalam Sejarah Islam. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 13(3), 93-123. Jakarta, P3M, 1987. Koesnoe, Moch., Perbandingan Antara Hukum Islam, Hukum Kasdi, H. A. (2017). FIQIH WAKAF. Idea Press . Khallaf, A. al-W. K. (2002a) Ilmu al-Ushul al-Fiqih. Iskandariah: M[en[\[b D[’q[b Imf[gcs[b. Khallaf, A. al-W. K. (2002b) Ilmu al-Ushul Fiqh. Iskandariah: Maktabah Da. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: RajaGrafindo Persada. e\\c.e_g^ce\o^.ai.c^ (hi ^[n_) ‘`cecb @ e\\c.e_g^ce\o^.ai.c^’. Available at: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fikih.