Hukum Islam 91 Dalam kaitannya dengan hukum perikatan Islam, Fathurahman Djamil mengemukakan 6 (enam) asas yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu (Mariam Darus Badrulzaman, 2001): 1. Asas Kebebasan (Al Hurriyah) Islam memberikan kebebasan kepada partai untuk berkoalisi. Bentuk dan kontrak ditentukan oleh para pihak sendiri. Apabila bentuk dan isi telah disepakati, maka kontrak bersifat mengikat dan para pihak telah menerima serta wajib melaksanakan segala hak dan kewajiban para pihak. Namun kebebasan ini tidak mutlak. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam maka aliansi dapat dilakukan. Dasar hukumnya adalah ayat 1 Surat Al-M[c^[b, s[ha \_l\ohsc: ‚H[c orang-il[ha s[ha \_lcg[h, j_hobcf[b [e[^ chc‛. Kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Islam dilaksanakan melalui 2 (dua jalur). Pertama, perbuatan akad yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala melalui amalan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Kedua, prinsip mengharamkan riba dan peminjaman yang tidak pasti (gharar) (Ridwan Khairandy, 2004). Dalam KUH Perdata, dasar kebebasan mengadakan perjanjian (kebebasan berkontrak) ada pada bunyi pasal 1320 angka (4). Dengan kebebasan berkontrak ini, para pihak menandatangani dan menyetujui suatu perjanjian yang sah dan mengadakan suatu perjanjian atau pengaturan yang menimbulkan suatu kewajiban,
92 Hukum Islam sepanjang pelaksanaan kewajiban itu tidak dilarang. Ketentuan pasal 1337 KUH Perdata mengatur bahwa: "Suatu alasan dilarang, jika dilarang oleh undang-undang atau jika bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban ogog‛. Ketentuan ini memberikan gambaran kepada kita semua bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan dilaksanakan oleh siapa saja. Yang dilarang hanyalah perjanjian yang memuat pelaksanaan atau kewajiban salah satu pihak yang melanggar hukum dan ketertiban umum (Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2003). 2. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al – Musawah) Hubungan muamalah terjalin untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang mempunyai kelebihan dibandingkan orang lain. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, hendaknya orang ini dan itu melengkapi kesalahannya dengan kelebihan yang dimilikinya. Dalam mengadakan suatu kontrak, para pihak menentukan hak dan kewajibannya masingmasing berdasarkan asas kesetaraan dan keadilan. Tidak ada ketidakadilan yang dapat dilakukan dalam sebuah kontrak. Oleh karena itu, tidak boleh membeda-bedakan orang berdasarkan perbedaan warna kulit, agama, adat istiadat, dan ras.
Hukum Islam 93 D[f[g [f Qol’[h mol[n Af Hodol[n (49) [s[n 13, m_\[a[c berikut: 3. Asas Keadilan (Al – ‘A^[f[b) D[f[g [f Qol’[h mol[n Af H[^c^ (57) [yat 25 menjelaskan: Artinya : Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang jelas dan menurunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca agar manusia dapat menjaga [urusan mereka] dengan adil. Dan Kami turunkan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan militer yang besar dan manfaatnya bagi manusia, dan agar Allah memperlihatkan secara gaib orang-orang yang mendukung Dia dan rasul-
94 Hukum Islam rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. D[h QS. Af A’l[` (7): 29 g_hd_f[me[h: Atas dasar ini, para pihak dalam kontrak wajib bertindak jujur ketika menyatakan keinginan dan keadaannya, menghormati perjanjian yang telah mereka selesaikan dan laksanakan (Rahmania Timorita Yulianti, 2008). 4. Asas Kerelaan (Al – Ridha) Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan persetujuan atau kesepakatan para pihak, tanpa adanya tekanan, paksaan, penipuan atau penyajian yang keliru. Jika hal ini tidak diselesaikan, maka transaksi akan dieksekusi secara tidak benar. Selain itu, jika hal ini terjadi, tindakan tersebut dapat dibatalkan. Unsur kesukarelaan ini menunjukkan kesungguhan dan itikad baik para pihak. Am[m chc m_mo[c ^_ha[h [f Qol’[h Ah Ncm[ (4): 29, sebagai berikut :
Hukum Islam 95 Artinya : ‚H[c il[ha – orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang \_lf[eo ^_ha[h moe[ m[g[ moe[ ^c[hn[l[ e[go‛. Hal ini sesuai dengan Pasal 1321 KUH Perdata yang g_hs[n[e[h: ‚Tc^[e m[b mo[no j_ld[hdc[h \cf[ ^c\o[n karena kesalahan atau diperoleh karena paksaan atau ncjo ^[s[.‛ 5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash – Shidq) Kejujuran merupakan hal yang wajib dilakukan manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam menjalankan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam suatu kontrak, maka akan melemahkan legitimasi kontrak itu sendiri. Selain itu, jika dalam kontrak tidak terdapat kejujuran maka akan menimbulkan perselisihan antar para pihak. Tindakan muamalat dapat dianggap adil apabila membawa manfaat bagi pihak-pihak yang membentuk aliansi serta bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang menimbulkan kerugian dilarang. H[f chc ^[f[g [f Qol’[h mol[n Af Abt[\, [s[n 70, disebutkan:
96 Hukum Islam Artinya : ‚H[c il[ha-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah j_le[n[[h s[ha \_h[l‛. 6. Asas Tertulis (Al – Kitabah) Syariah mensyaratkan lebih dari sekedar menyetujui suatu perjanjian (akad) tertentu, termasuk mewajibkan salah satu hal berikut ini (Munir Fuady, 2003): a. Beberapa kontrak tidak memenuhi syarat sebagai perjanjian tetapi harus dibuat secara tertulis, sering ^cm_\on m_\[a[c ‚eihnl[e `ilg[f‛. S_\[a[cg[h[ firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam surat Al Qol’[h Af B[k[l[b [s[n 282: Artinya : ‚H[c il[ha – orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu s[ha ^cn_hnoe[h, g[e[ e[go g_hofcme[hhs[‛. b. Al – Uqud al – Ainiyah, itu adalah kontrak nyata, yaitu kontrak baru yang ada setelah leverage (serah terima). Kelompok kontrak ini mencakup kontrakkontrak berikut hibah, pinjam meminjam (‘[lc[b), penitipan barang (Af W[^c’[b), Qirad, yakni suatu persekutuan modal (mudharabah), Rahn (Jaminan hutang). Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta'ala menganjurkan kepada manusia agar janji itu dibuat secara tertulis, di hadapan para saksi, dan orang yang berjanji serta saksi itu harus mempertanggungjawabkannya. Selain itu, disarankan juga jika transaksi tidak dilakukan secara tunai, suatu barang dapat dijadikan
Hukum Islam 97 jaminan. Adanya surat-surat, saksi-saksi dan/atau jaminan menjadi bukti adanya perjanjian. Di antara keenam asas tersebut, Gemala Dewi dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan Islam di Indonesia menambahkan satu asas utama yang menjadi landasan seluruh perbuatan manusia, termasuk perbuatan muamalah, khususnya adalah asas ketuhanan atau asas tauhid. Segala perbuatan dan tindakan manusia tidak akan lepas dari ketentuan Allah Subhanahu wa ta'ala. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hadid ayat 4 \[bq[: ‚Dc[ \_m_ln[go ^cg[h[joh e[go \_l[^[. D[h Aff[b g_fcb[n m_a[f[ m_mo[no s[ha e[go f[eoe[h‛.
98 Hukum Islam Hukum Kehartaan Islam (Fiqh Waris) Mardhatillah Ali, S.H., M.H Hukum kehartaan islam atau yang dikenal dalam hukum Islam sebagai fiqh waris adalah aturan-aturan mengenai pembagian harta milik seseorang yang telah wafat, aturan-
Hukum Islam 99 aturan tersebut meliputi penentuan siapa saja yang memiliki hak atas harta peninggalan tersebut, berapa bagian yang didapatkan oleh setiap ahli warisnya, serta tata cara pembagiannya.(Syaifuddin, 2004) Kompilasi Hukum Islam pun mengatur tentang hukum kehartaan Islam, dimana pada j[m[f 171 g_hd_f[me[h \[bq[ ‚boeog e_q[lcm[h [^[f[b hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-g[mcha‛. 1. Adanya pewaris yang telah wafat, termasuk jika pewaris tersebut dinyatakan wafat secara hukum. 2. Adanya ahli waris yang masih hidup, termasuk jika ahli waris tersebut dinyatakan hidup secara hukum (seperti janin dalam kandungan). 3. Tidak terdapat salah satu dari penghalang kewarisan. 1. Pembunuhan (ahli waris yang membunuh pewaris tidak berhak menerima harta warisan). Disebutkan pula dalam KHI Pasal 173 bahwa ahli waris dapat terhalang dari penerimaan harta waris atas ketetapan hakim apabila, pertama: telah ditetapkan sebagai pembunuh atau telah melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap si pewaris. Kedua: telah ditetapkan bahwa ahli waris melakukan fitnah atas pewaris, fitnah tersebut berupa tuduhan jika pewaris telah berbuat suatu tindak
100 Hukum Islam kriminal yang berpotensi hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat dari itu. 2. Ahli waris berbeda agama dengan pewaris. 3. Perbudakan. a. Rukun Kewarisan 1) Pewaris (baik kematiannya bersifat hakiki maupun kematian yang ditetapkan hakim). 2) Ahli waris 3) Harta peninggalan (warisan/tirkah) b. Sebab Kewarisan Sebab kewarisan menurut hukum Islam yaitu: 4. Sebab nasab Terdapat 3 golongan ahli waris sebab nasab, yaitu ushul (pokok/orang tua ke atas), `olo’(anak keturunan kebawah), dan hawasyi (keluarga dengan garis kekeluargaan dari arah samping, yaitu paman, bibi serta keturunannya) 5. Sebab perkawinan (dengan syarat telah terjadi akad nikah yang sah sesuai syariat Islam dan belum terjadi perceraian) 6. Sebab q[f[’ (apabila seseorang telah membebaskan seorang budak) Tiga sebab kewarisan di atas, berdasarkan hukum Islam, namun pada realitanya, di Indonesia sering kali pembagian warisan berdasarkan hukum adat yang telah mengakar di tengah-tengah suatu masyarakat. Berikut beberapa contohnya: 1. Kewarisan adat patrilineal yaitu kewarisan yang diturunkan kepada garis lakilaki (pihak bapak). Sistem waris ini disebabkan karena
Hukum Islam 101 pihak perempuan telah menjadi tanggung jawab suaminya. 2. Kewarisan adat matrilineal yaitu kewarisan yang diturunkan kepada garis perempuan (pihak ibu).(Khisni, 2017) Sistem waris ini dalam rangka perlindungan bagi perempuan, sebab banyaknya laki-laki yang merantau di daerah adat matrilineal tersebut. 3. Kewarisan adat bilateral yaitu kewarisan yang diturunkan ke dua garis, baik ke pihak laki-laki maupun perempuan, yang pembagiannya berdasarkan musyawarah dan mufakat.(Hazairin, 1981) Ashab furudh: ahli waris yang bagiannya telah ditetapkan Bagian Ahli waris ½ Suami, jika tidak memiliki anak Anak perempuan (tunggal) Cucu perempuan dari anak anak laki-laki (tunggal dan ahli waris anak tidak ada) Saudara kandung perempuan (tunggal dan ahli waris anak serta bapak tidak ada) Saudara perempuan sebapak (tunggal dan ahli waris anak serta bapak tidak ada)
102 Hukum Islam ¼ Suami, jika memiliki anak Istri atau seluruh istri, jika anak tidak ada 1/8 Istri atau seluruh istri, jika anak ada 1/3 Ibu, jika anak atau saudara (lakilaki/perempuan) ada Dua saudara (laki-laki/perempuan) atau lebih, jika anak tidak ada 2/3 Dua anak perempuan atau lebih, jika anak laki-laki tidak ada Dua atau lebih cucu perempuan dari anak anak laki-laki, jika cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak ada Dua atau lebih saudara kandung perempuan, jika saudara kandung laki-laki, bapak serta anak tidak ada Dua atau lebih saudara perempuan sebapak, jika saudara laki-laki sebapak, bapak serta anak tidak ada 1/6 Bapak, jika anak ada Ibu, jika anak atau beberapa saudara ada Kakek, jika anak ada dan bapak tidak ada Nenek dari bapak, jika ibu tidak ada Ashabah: ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, mendapatkan sisa harta setelah dibagikan ke ashab furudh Bi Anak laki-laki (satu orang atau lebih)
Hukum Islam 103 nafsihi: (sendiri tanpa bantuan orang lain) berhak atas seluruh sisa harta Cucu laki-laki dari anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada Bapak, jika anak atau cucu tidak ada Kakek, jika bapak tidak ada Saudara kandung laki-laki, jika anak atau cucu laki-laki tidak ada Saudara sebapak laki-laki, jika saudara kandung laki-laki dan ahli waris yang menghijab saudara laki-laki tidak ada Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, jika saudara laki-laki sebapak dan ahli waris yang menghijab saudara laki-laki sebapak tidak ada Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, jika anak laki-laki dari saudara sekandung laki-laki tidak ada Paman kandung, jika anak laki-laki dari saudara sebapak laki-laki dan ahli waris yang menghijabnya tidak ada Paman sebapak, jika paman kandung dan ahli waris yang menghijabnya tidak ada Anak laki-laki dari paman kandung, jika paman sebapak dan yang menghijabnya tidak ada Anak laki-laki dari paman sebapak, jika ashabah yang lain tidak ada Bil Anak perempuan, jika anak laki-laki ada
104 Hukum Islam ghairi Cucu perempuan, jika cucu laki-laki ada Saudara kandung perempuan, jika saudara kandung laki-laki ada Saudara perempuan sebapak, jika saudara laki-laki sebapak ada M[’[f ghairi saudara kandung perempuan atau saudara perempuan sebapak (ashabah), jika anak atau cucu perempuan ada, dan anak atau cucu lakilaki dan ahli waris ashabah bi nafsih tidak ada Contoh pembagian warisan sebagai berikut: Ahli waris Bagian Angka penyebut : 12 pembagi an Warisan : 480.000.000 Istri ¼ 1/4x12=3 3/12x480 120.000.000 ibu 1/3 1/3x12=4 4/12x480 160.000.000 Sdr laki2 skndng sisa 12-7=5 5/12x480 200.000.000 KHI Pasal 192 menyebutkan bahwa jika saat pembagian warisan ke ashab furud, ternyata ditemukan angka pembilangnya lebih besar dari angka penyebut, maka cara j_hs_f_m[c[hhs[ ^_ha[h ‘aul (angka penyebut dinaikkan untuk menyesuaikan dengan angka pembilang). Untuk lebih d_f[mhs[ \_lceon ]ihnib j_hs_f_m[c[h ‘aul.
Hukum Islam 105 Ahli waris Bagian Angka penyebut: 24 24 ‘[of ke 27 Warisan : 810.000.000 Istri 1/8 3 3/27 90.000.000 2 anak pr 2/3 16 16/27 480.000.000 Ibu 1/6 4 4/27 120.000.000 Bapak 1/6 4 4/27 120.000.000 Total: 27 Adapun persoalan radd terjadi apabila setelah pembagian warisan ke seluruh ashab furudh masih terdapat sisa harta. Jumhur ulama berpendapat bahwa sisa harta dikembalikan ke ahli waris oleh sebab nasab saja (orang tua ke atas dan anak ke bawah). Sementara Utsman bin Affan sepakat mengembalikan sisa harta ke semua ahli waris, pendapat inilah yang diambil KHI yang dituangkan pada pasal 193. Adapun Ibnu Hazm dan Zaid bin Tsabit menolak radd (pengembalian sisa harta ke ahli waris) sebab menurutnya sisa harta di serahkan ke baitul mal. Yaitu kondisi ketika terdapat ashabah (satu atau lebih saudara sekandung) tidak mendapatkan harta warisan sebab telah habis dibagikan ke ashab furud (para saudara seibu), padahal secara hubungan kekeluargaan, saudara kandung lebih kuat dibanding saudara seibu. Oleh karena itu
106 Hukum Islam penyelesaiannya secara musyarakah (dibagi bersama) bagian saudara seibu dibagi rata dengan saudara kandung. Permasalahan gharawain terjadi di dua kondisi. Pertama: ahli waris antara lain suami (1/2), ibu (1/3) dan bapak (sisa), kedua: ahli waris istri (1/4), ibu (1/3) dan bapak (sisa). Kedua kondisi ini menghasilkan bagian ibu lebih banyak dari bagian bapak yang menyalahi konsep dasar warisan yaitu bagian laki-laki dua kali lebih banyak dari bagian perempuan, sehingga pada kondisi ini bagian ibu diubah ke 1/3 sisa. Kewarisan dalam KHI secara umum berdasarkan fiqh waris yang telah dijelaskan oleh para jumhur fuqaha, akan tetapi terdapat beberapa pembaruan di dalamnya, antara lain: 1. Anak atau orang tua angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian apabila ia tidak mendapatkan wasiat. (KHI Pasal 209) 2. Bagian bapak 1/3 jika anak tidak ada, dan 1/6 jika anak ada. (KHI Pasal 177) 3. KHI tidak menjelaskan pembagian harta waris kepada dzawil arham (ahli waris/keluarga selain ashab furudh dan ashabah) sebab nyaris tidak terjadi lagi dan tidak relevan dengan konsep dasar hukum waris. 4. Ahli waris pengganti (yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dari pewaris) berhak mendapatkan warisan
Hukum Islam 107 dengan syarat bagiannya tidak melebihi bagian sederajat ahli waris yang digantikan. (KHI Pasal 185) 5. Konsep walad (QS. An-Nisa: 176) pada KHI bermakna anak laki-laki maupun perempuan, sehingga selama anak masih ada, maka seluruh ahli waris (kecuali suami, istri dan orang tua) terhalang mendapatkan warisan. (KHI Pasal 182) Pada dasarnya, pembagian harta waris harus berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam al-Qol’[h g[ojoh b[^cm, namun pada realitanya, masyarakat lebih sering membagikan warisan atas dasar musyawarah dan mufakat demi terciptanya perdamaian antar anggota keluarga. Selain itu, suluh dapat meminimalisir kesenjangan ekonomi ahli waris,(Rofiq, 2002) ^cg[h[ dce[ n_l^[j[n [bfc q[lcm ‚gcmech‛ s[ha g_h^[j[n \[ac[h q[lcm[h s[ha m_^cecn, m_g_hn[l[ [^[ [bfc q[lcm ‚e[s[‛ yang mendapat bagian warisan yang banyak, maka para ahli waris dapat bermusyawarah untuk mengatur kembali bagianbagian mereka. Pembagian warisan secara suluh dapat dilakukan apabila ahli waris terkait memiliki kecakapan bertindak secara hukum, sebab pada praktiknya memungkinkan adanya pengurangan hak dari ahli waris, dan pengurangan tersebut dilakukan atas dasar kesukarelaan dan kecapakan yang dimiliki ahli waris terkait. Di samping itu, dilaksanakannya musyawarah bukan berdasarkan ketidak-puasan atas ketentuan pembagian warisan dalam Islam, misal anak perempuan yang tidak puas sebab bagian anak laki-laki dua
108 Hukum Islam kali lebih banyak dari bagiannya, karena hal ini hanya menunjukkan ketidak-taatan terhadap hukum Islam.(Haries, 2019) Pembagian warisan secara suluh dijelaskan dalam KHI Pasal 193. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI telah mengatur konsep harta bersama. Pada intinya, harta bersama ialah harta yang didapatkan selama perkawinan, bukan harta bawaan ataupun harta dari hibah atau warisan. KHI pasal 96 ayat 1 menjelaskan pembagian harta bersama, dimana apabila salah satu antara suami atau istri yang meninggal, maka setengah dari harta bersama diberikan ke suami atau istri yang ditinggalkan, kemudian setengah sisanya barulah dibagikan ke ahli waris berdasarkan ketentuan hukum Islam. Wasiat yaitu pesan seseorang yang ditujukan kepada orang lain untuk mengurusi hartanya setelah ia meninggal dunia. Demi kehati-hatian, wasiat mesti dituliskan dan disaksikan oleh dua orang laki-laki adil. Wasiat dilakukan dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 dari hartanya, dan wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris. KHI Pasal 171 (g) menyebutkan bahwa hibah adalah pemberian harta kepada orang lain yang masih hidup secara
Hukum Islam 109 sukarela. Syarat seseorang boleh menghibahkan hartanya apabila ia berakal sehat dan berumur sekurang-kurangnya 21 tahun. Harta yang sudah diberikan (hibah) tidak boleh ditarik kembali, terkecuali hibah orang tua kepada anaknya (KHI Pasal 212), meski demikian, tetap harus berdasarkan prinsip keadilan dan tanpa kezaliman.
110 Hukum Islam Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Mohammad Adnan, LL.M., Ph.D. Fiqh al-Jinayat, juga dikenal sebagai ilmu fiqh yang berkaitan dengan hukum pidana Islam. Cakupannya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh individu terhadap masyarakat atau individu lain. Tujuan dari hukum pidana adalah untuk menjaga ketertiban sosial, melindungi hak-hak individu, dan memberikan keadilan kepada korban.
Hukum Islam 111 Hukuman yang dijatuhkan dalam hukum pidana dianggap sebagai pembalasan atas pelanggaran terhadap hukum Allah. (Aulia & Zulfah, 2021). Fiqh al-Jinayat memiliki prinsip-prinsip utama yang mencakup: Asas Praduga Tak Bersalah (Seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya; Bukti dan Dalil (Diperlukan bukti spesifik untuk memvonis dalam kasuskasus pidana); Jenis Kejahatan dan Hukumannya (Ada kejahatan Hadd (seperti pencurian dan perzinahan, serta Ta'zir (hukuman disesuaikan) yang bisa berupa penjara atau denda); Qisas; dan Taubat (Memungkinkan taubat, di mana pelaku kejahatan dapat memohon ampun dan hukuman dapat dihapus atau dikurangi). (Syarifudin, 2014) Perbedaan antara jinayat dan jarimah dalam konteks hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Jinayat: Jinayat merujuk pada pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang diatur secara spesifik dalam AlQur'an dan Sunnah, serta memiliki hukuman yang telah ditetapkan oleh syariah Islam. Sifat Hukum: Jinayat adalah kejahatan-kejahatan yang dianggap serius dalam Islam dan hukumannya telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Hukuman: Hukuman dalam jinayat dapat berupa hukuman hadd hukuman ta'zir. (Zuhaili, 2010) Contoh: Contoh jinayat termasuk pencurian, perzinahan, murtad, qisas, dan hukuman hadd seperti
112 Hukum Islam rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah atau potong tangan bagi pencuri yang tertangkap basah. 2. Jarimah: Jarimah merupakan istilah yang lebih luas yang merujuk pada segala bentuk pelanggaran atau kejahatan yang melanggar hukum syariah Islam, baik yang diatur secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Sunnah (jinayat) maupun yang tidak. Sifat Hukum: Jarimah mencakup segala pelanggaran hukum, baik yang termasuk dalam jinayat maupun yang tidak. Ini termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran kontrak, kerugian dalam bisnis, dan sebagainya. Hukuman: Hukuman dalam jarimah dapat berupa hukuman ta'zir (hukuman yang disesuaikan oleh hakim berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan), sebagaimana disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. (Zuhaili, 2010) Contoh: Contoh jarimah mencakup berbagai macam pelanggaran hukum yang tidak termasuk dalam jinayat, seperti kecurangan dalam bisnis, penipuan, perbuatan melawan hukum (ghasab), dan pelanggaran kontrak. Fokus: Jinayat fokus pada pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang diatur secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan jarimah mencakup segala jenis pelanggaran hukum, baik yang terkait dengan hukum pidana maupun hukum perdata. Sifat Hukum: Jinayat memiliki sifat
Hukum Islam 113 hukum yang lebih kaku dan telah ditetapkan oleh syariah Islam, sedangkan jarimah lebih bersifat umum dan fleksibel, tergantung pada kebijaksanaan hakim. Dalam praktiknya, jarimah dapat mencakup banyak jenis pelanggaran hukum yang tidak termasuk dalam kategori jinayat. Meskipun jinayat memiliki hukuman yang lebih tegas dan tetap, hukuman dalam jarimah dapat bervariasi tergantung pada kebijaksanaan dan keadilan hakim dalam menetapkan hukuman yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. (Zuhaili, 2010) 1. Pembunuhan (Al-Qathl) Pembunuhan dalam konteks jinayat adalah perbuatan yang didefinisikan sebagai pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa alasan yang benar menurut syariat Islam. Dalam hukum Islam, pembunuhan adalah salah satu dari tindakan kriminal yang paling serius dan memiliki hukuman yang berat. Dalam hukum Islam, terdapat beberapa jenis pembunuhan yang memiliki penjelasan dan hukuman yang berbeda-\_^[. Y[cno j_g\ohob[h ‘[g^ (m_ha[d[), msc\b ‘[g^ (g_hs_loj[c e_m_ha[d[[h) ^[h eb[nb[` (nc^[e sengaja). (Zuhaili, 2010) Namun lebih luas lagi bisa dikategorikan sebagai a. Pembunuhan dengan Sengaja (Qatl 'Amd) Hukumannya adalah qisas atau diyat kepada keluarga korban.
114 Hukum Islam b. Pembunuhan tanpa Hak (Qatl bi Ghayr Haqq) Pembunuhan tanpa alasan yang benar atau tanpa hak yang sah. c. Pembunuhan atas Izin dari Otoritas (Qatl bi Idhn alHakim) Pembunuhan yang dilakukan atas izin atau perintah dari otoritas yang berwenang, seperti dalam hukuman mati bagi pelaku kejahatan tertentu. d. Pembunuhan Akibat Perselingkuhan (Qatl alMuhsan) e. Pembunuhan dalam Pertahanan Diri (Qatl al-Difa') Pembunuhan yang dilakukan untuk membela diri atau melawan serangan yang mengancam nyawa. Dalam Islam, mempertahankan diri dalam situasi yang mengancam nyawa adalah hal yang diizinkan. f. Pembunuhan dalam Perang (Qatl fi al-Harb) Pembunuhan yang terjadi dalam situasi perang untuk membela diri atau melawan musuh. g. Pembunuhan dalam Murtad (Qatl al-Murtad) Pembunuhan terhadap seseorang yang murtad (keluar dari agama Islam) dan menyebarkan kekufuran. Hukumannya adalah qisas atau diyat, tergantung pada keputusan hakim. h. Pembunuhan terhadap Nafsir Ruh (Qatl al-Nafsir Ruh) Pembunuhan yang dilakukan atas dasar dendam pribadi atau kesewenang-wenangan. Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang pembunuhan: a. Ayat tentang Pelarangan Membunuh Tanpa Alasan yang Benar (Q.S. Al-Baqarah:178)
Hukum Islam 115 "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash (hukuman membunuh bagi orang yang terbunuh) kisahnya, orang merdeka karena orang merdeka dan budak karena budak dan perempuan karena perempuan." b. Ayat tentang Hukuman bagi Pembunuh (Q.S. AlBaqarah:190) "Dan berperanglah kamu pada jalan Allah dengan orang-orang yang berperang kepadamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." c. Ayat tentang Keadilan dalam Pembalasan Pembunuhan (Al-Baqarah:194) "Sesungguhnya orang-orang yang dibunuh di jalan Allah, maka mereka tidaklah mati, akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki." d. Ayat tentang Pengampunan dan Keadilan dalam Pembunuhan (Q.S. Al-Baqarah:178) "Wahai orang-orang yang beriman! Diharuskan kepada kamu qisas (hukuman pembunuhan), terhadap orang yang terbunuh, orang merdeka (di dalam masyarakat) dengan orang merdeka, hamba (di dalam masyarakat) dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan." e. Ayat tentang Pengampunan dalam Pembunuhan (Q.S. Al-Baqarah:187)
116 Hukum Islam "Dan dibolehkan bagi kamu berbuka pada malam hari bulan puasa itu (bulan Ramadhan), yaitu jima' (bersetubuh) dengan istri-istri kamu. Mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu (pun) adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui, bahwa kamu selalu melakukan kecurangan kepada diri kamu sendiri. Maka Dia telah menerima taubatmu dan memberi kalian ampunan." f. Ayat tentang Pengampunan dalam Konteks Pertikaian dan Potensi Pembunuhan (Q.S. AlHujurat:9) "Dan jika dua golongan mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya; jika salah satunya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Kemudian jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." g. Ayat tentang Hukuman bagi Pembunuhan Tanpa Alasan yang Benar (Q.S. Al-Isra:33) "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa yang dibunuh dengan cara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kepada ahli warisnya suatu alasan (berupa bukti) yang kuat untuk (membalas) pembunuhannya, dan mereka tidaklah dibantu (menuntut pembalasan) lagi."
Hukum Islam 117 Ayat-ayat ini memberikan pedoman tentang hukum pembunuhan, pembalasan, dan pentingnya keadilan dalam menegakkan hukum. Pembunuhan tanpa alasan yang benar dan dalam keadaan yang tidak adil sangat dilarang dalam Islam, dan hukuman yang sesuai akan diberikan sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Hukuman Pembunuhan: Qisas dan Diyat (Pembayaran Darah): Jika keluarga korban memilih untuk menerima diyat, maka pelaku pembunuhan dapat membayar sejumlah uang kepada keluarga korban sebagai ganti rugi darah. Penerimaan diyat menunjukkan pengampunan dari pihak keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan. Ini memungkinkan kedamaian di antara keluarga korban dan pelaku. Dalam kasus pembunuhan dengan kategori pembunuhan terencana Diyatnya ialah jenis diyat mughalladzah (denda berat) berupa 100 ekor unta ^_ha[h lch]c[h 30 ohn[ bckk[b, 30 ohn[ d[^t[’[b, ^[h 40 khilfah. Diyat tersebut diambilkan dari harta pelaku, dan dibayarkan secara kontan Dalam kasus pembunuhan dengan kategori syibh ‘[g^ m_j_lnc m_ha[d[, jcb[e e_fo[la[ eil\[h nc^[e \cm[ menuntut qisas atau balas bunuh namun yang diwajibkan ialah diyat mughallazhah atau denda yang diperberat yakni berupa 100 ekor unta dengan rincian 30 ohn[ bckk[b (ohn[ \_nch[ ogol 3 n[boh), 30 ohn[ d[^t[’[b (unta betina umur 4 tahun), dan 40 khilfah (unta yang sedang bunting). Kewajiban pembayaran denda ini boleh diangsur dan dibebankan bukan hanya kepada korban
118 Hukum Islam namun menjadi tanaaoha[h q[lcm ‘[kcf[b s[ehc jcb[epihak ahli waris lelaki yang memungkinkan untuk g_h^[j[ne[h q[lcm ‘[mb[\[b ^[f[g \[\ q[lcm. D_ha[h tambahan, bagi si pelaku ia wajib membebaskan budak mukmin atau berpuasa dua bulan berturutturut. (Zuhaili, 2010) 2. Perzinahan dan Menuduh orang berzina (Qadzaf) Zina adalah tindakan hubungan intim antara seorang pria dan seorang wanita yang bukan suami istri sah menurut hukum Islam. zina juga mencakup perbuatan tidak senonoh dan menyimpang yang melanggar tata tertib kehidupan berkeluarga yang diatur oleh Islam. Hukuman zina dalam Islam bertujuan untuk melindungi kehormatan individu, keluarga, dan masyarakat. Zina merusak tatanan sosial, membawa dampak negatif bagi masyarakat, dan merusak institusi keluarga. Dan qadzaf Qazf adalah tuduhan palsu terhadap seseorang atas perbuatan zina tanpa bukti yang cukup. Hukuman Zina Hukuman bagi pelaku zina yang sudah menikah (zina muhsan) adalah rajam, yaitu dirajam dengan batu sampai mati. Dan Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) adalah sejumlah cambukan, yang jumlahnya bervariasi tergantung pada keputusan hakim. Bukti dalam Kasus Zina: Untuk menetapkan hukuman zina, dibutuhkan bukti yang kuat berupa pengakuan yang disaksikan oleh minimal empat orang yang adil (tuduhan zina) atau adanya bukti yang kuat (contohnya: kehamilan). Penerapan hukuman cambuk atau rajam harus dilakukan oleh otoritas yang berwenang, biasanya pengadilan Islam
Hukum Islam 119 atau otoritas Islam setempat. Penerapan hukuman harus mengikuti prosedur yang adil dan bukti yang kuat. Hukuman ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan sebagai bentuk penegakan hukum dalam Islam. Pengampunan dalam Kasus Zina: Ada kemungkinan pengampunan (taubat) dalam kasus zina jika seseorang benar-benar menyesali perbuatannya, bertobat, dan berusaha memperbaiki diri. Had atau hukuman khusus akibat menuduh orang lain berbuat zina dapat berasal dari dua cara yakni pengakuan dari seorang yang telah menuduhnya berzina dan persaksian dua orang laki-laki yang adil (bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina). Lalu, bila penuduh tersebut tidak dapat memberikan bukti atas tuduhannya maka dikenakan hukuman fisik berupa delapan puluh deraan dan hukuman maknawi yaitu persaksiannya ditolak selamanya. (Zuhaili, 2010) Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang zina dan qadzaf: a. Ayat tentang Hukuman bagi Pelaku Zina yang Sudah Menikah (Q.S. An-Nur:2) "Sesungguhnya yang berzina, laki-laki dan perempuan, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya itu mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekelompok orang yang beriman."
120 Hukum Islam b. Ayat tentang Kesaksian dalam Kasus Zina (QS. AnNur: 4) "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (bernama) namanya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." c. Ayat tentang Hukuman bagi Pelaku Zina yang Belum Menikah (Q.S. An-Nur: 2) ‚Wanita yang berzina dan lelaki berzina dan, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya itu mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekelompok orang yang beriman." d. Ayat tentang Pelarangan Mendekati Zina (Q.S. AlIsra: 32) "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." e. Ayat tentang Kesaksian dalam Kasus Zina (Q.S. AnNur:13) "Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi tentang (zina) itu? Maka jika mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah orangorang yang dusta di sisi Allah."
Hukum Islam 121 f. Ayat tentang Hukuman Cambuk atas Pelaku Fitnah (Fitnah terhadap Aisyah) (Q.S. An-Nur: 4) "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (bernama) namanya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." g. Larangan menuduh seseorang berzina ‚Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahabenar lagi Maha Menjelaskan.‛ (Q.S. Ah-Nur: 23-25) "Jauhilah tujuh tindakan yang menghancurkan!" Para sahabat RA bertanya, "Apakah itu wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali alasan yang dibenarkan, memakan hasil riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari pertempuran, serta menuduh perempuanperempuan yang menjaga kesucian dirinya dan yang tidak pernah sekalipun terpikir akan perbuatan yang keji (berzina)." (HR Bukhari)
122 Hukum Islam Dalam Islam, hubungan sejenis (homoseksualitas) adalah perbuatan yang dilarang dan bertentangan dengan ajaran agama. Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW mengeluarkan larangan terhadap perbuatan homoseksual. Sebagaimana larangan dalam Al-Qur'an: Q.S. Al-A'raf: 80-81: "Dan (Kami kirimkan pula) Lut ketika dia berkata kepada kaumnya, 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah yang tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun di antara alam semesta? Sungguh, kamu mendatangi lelaki dengan memutuskan jalan dan mendatangi pertemuan dengan perbuatan keji itu?' Dan tidak ada jawaban kaumnya kepadanya, kecuali (mengatakan), 'Usirlah mereka dari kota kamu! Mereka adalah orang-orang yang menganggap diri mereka suci.'" Dan Q.S. An-Naml: 54-55"Dan (Kami hancurkan) Lut ketika dia berkata kepada kaumnya, 'Apakah kamu mendatangi perbuatan fahisyah ini, yang tidak dikerjakan oleh seorangpun sebelum kamu di alam semesta? Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki itu dengan memutuskan jalan dan kamu mendatangi (perbuatan) ini di tempat pertemuan.'" Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW juga menegaskan larangan terhadap perbuatan homoseksual. "Barang siapa di antara kalian menemui perbuatan mungkar maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim)
Hukum Islam 123 Para ulama sepakat bahwa hubungan sejenis adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk dalam kategori dosa besar. Hukuman bagi pelaku homoseksual tidak secara spesifik dijelaskan dalam hukum syariat Islam, tetapi dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dengan keras dan bisa mendapat hukuman di akhirat. (Zuhaili, 2010) 1. Pencurian (As-Sariqah) Allah melarang pencurian dalam Al-Qur'an Q.S. AlMaidah: 38) "Dan (hukuman) pencuri dan pencuriah, potonglah tangan mereka, sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, sebagai peringatan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Dan Q.S. Al-Baqarah:188): "Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyuapkan kepada hakim-hakim agar kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara yang dosa, padahal kamu mengetahui." Dan juga dalam hadis, Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan tentang hukuman bagi pencuri. Salah satu hadis yang terkenal adalah: "Tangan yang dicuri adalah yang harus dipotong." (HR Bukhari dan Muslim) Hukuman potong tangan bagi pencuri adalah hukuman yang diatur dalam Islam sebagai bentuk penegakan hukum dan keadilan. Hukuman ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku pencurian dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa yang akan datang.
124 Hukum Islam Ada beberapa jenis pencurian yang dikenal dalam Fiqh al-Jinayat: (Zuhaili, 2010) a. Sariqah (Pencurian): Ini adalah pencurian umum di mana seseorang mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Misalnya, mencuri uang, perhiasan, kendaraan, atau barang berharga lainnya. b. Istihlal: Mencuri barang yang telah diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian atau hasil dari kegiatan kriminal lainnya. Contohnya adalah mencuri barang yang sebelumnya telah dicuri oleh orang lain. c. Istimta': Pencurian barang yang diperoleh dengan cara tidak sah, meskipun barang itu aslinya tidak dicuri oleh orang lain. Misalnya, mencuri hasil pertanian dari tanah yang bukan miliknya. d. Irteshab: Mencuri dengan memaksa atau mengintimidasi orang lain. Contohnya, mencuri dengan ancaman kekerasan atau merampas barang dari korban. e. Istihfaf: Pencurian barang kecil atau yang dianggap remeh dengan asumsi tidak akan diperhatikan oleh pemiliknya. Misalnya, mencuri benda-benda kecil seperti alat tulis, makanan, atau barang-barang kecil lainnya. f. Ihtisab: Mencuri dengan menyamar atau menyusup sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab terhadap barang tersebut. Contohnya, mencuri dengan menyamar sebagai petugas kebersihan atau pegawai toko untuk mengambil barang. g. Istinzaf: Pencurian barang dengan memanfaatkan keadaan tertentu, seperti dalam kekacauan atau
Hukum Islam 125 kebingungan. Misalnya, mencuri barang saat terjadi kerusuhan atau keadaan darurat lainnya. h. Istihlak: Mencuri dengan cara merusak atau merobohkan tempat penyimpanan barang. Contohnya, mencuri dengan merusak pintu atau jendela untuk masuk ke dalam rumah atau tempat penyimpanan barang. i. Israf: Mencuri dengan mengambil barang yang tidak diperlukan atau berlebihan. Misalnya, mencuri barang dalam jumlah yang berlebihan tanpa alasan yang jelas. j. Isyarat: Pencurian dengan menggunakan isyarat atau kode tertentu untuk berkomunikasi dengan komplotan pencuri lainnya. Contohnya, mencuri dengan menggunakan kode tertentu dalam komunikasi untuk merencanakan aksi pencurian. Syarat-syarat Hukuman: Hukuman potong tangan hanya diberlakukan dalam kasus-kasus tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti: (Zuhaili, 2010) a. Adanya bukti yang kuat dan jelas terhadap pelaku pencurian. b. Barang yang dicuri memiliki nilai yang signifikan. c. Pencurian dilakukan secara terang-terangan dan tanpa paksaan. d. Mencuri barang yang memiliki nilai tertentu, yang disebut "nisab". Nisab ini dapat bervariasi tergantung pada masyarakat dan keadaan ekonomi. e. Pencurian dilakukan secara terang-terangan (sariqah), bukan dalam keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak.
126 Hukum Islam f. Pencurian dilakukan oleh orang yang berakal dan dewasa. g. Barang yang dicuri dikuasai oleh pemiliknya dan bukan barang yang sudah terbengkalai atau tidak dimiliki oleh siapapun. h. Hukuman potong tangan diberlakukan setelah proses pengadilan yang adil dan sesuai dengan aturan hukum Islam. Ada prosedur yang harus diikuti sebelum hukuman ini diberlakukan, termasuk adanya bukti yang kuat dan tidak adanya keraguan. 2. Perjudian dan Mabuk Dalam Fiqh al-Jinayat, judi dan mabuk termasuk dalam kategori pelanggaran dan dapat memiliki konsekuensi hukuman tertentu. Judi (Maisir): Judi dianggap sebagai dosa besar dalam Islam karena melibatkan perjudian, yang dianggap merugikan individu dan masyarakat. Hukuman yang diperintahkan oleh Islam untuk judi bisa bervariasi, namun umumnya dianggap sebagai dosa dan tidak dianjurkan. Dan Mabuk (Syurb al-Khamr): Hukuman untuk mabuk dalam Fiqh al-Jinayat bisa berupa hukuman cambuk, penjara, atau denda. Islam menekankan bahaya mabuk karena dapat merusak akal dan membuat seseorang kehilangan kendali diri. Dalam hukum Islam, baik judi maupun mabuk dianggap sebagai perbuatan yang melanggar prinsipprinsip moralitas, kesehatan, dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukuman yang diberikan adalah untuk mencegah terjadinya perbuatan tersebut dan melindungi
Hukum Islam 127 individu dan masyarakat dari kerugian yang timbul akibat perilaku judi dan mabuk. (Zuhaili, 2010) a. Larangan Judi (Maisir): ‚Mereka menanyakan kepadamu tentang khamr (minuman keras) dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.'" (Q.S. Al-Baqarah: 219) dan "Hai orangorang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. AlMa'idah: 90) dan hadits "Sesungguhnya Allah melarang khamr (minuman keras), judi, maitah (bangkai), dan menyembelih untuk berhala." (HR. Muslim) b. Larangan Mabuk (Syurb al-Khamr) "Mereka menanyakan kepadamu tentang khamr (minuman keras) dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.'" (Q.S. Al-Baqarah: 219) dan "Sesungguhnya setiap yang memabukkan adalah khamr (minuman keras), dan setiap khamr adalah haram." (HR. Bukhari dan Muslim) c. Hukuman bagi Peminum dan Penjual Minuman Keras "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati sembahyang, sedang kamu dalam keadaan
128 Hukum Islam mabuk, sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan, dan janganlah kamu dalam keadaan junub, kecuali dalam perjalanan, sehingga kamu mandi. Jika kamu sakit atau dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (Q.S. An-Nisa: 43) "Tidak diterima shalatnya seorang peminum khamr selama 40 pagi." (HR. Imam Ahmad), ‚Khamr itu telah dilaknat dzatnya, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang membawanya, orang yang meminta untuk dibawakan dan orang yang memakan harganya.‛ (HR. Ahmad) Larangan terhadap judi dan mabuk dalam Islam sangat tegas dan dianggap sebagai perbuatan yang merusak individu dan masyarakat. Al-Qur'an dan hadishadis Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk yang jelas mengenai hukuman bagi mereka yang terlibat dalam perbuatan tersebut, serta mengingatkan akan dosa dan kerugian yang timbul dari judi dan mabuk. Dalam Fiqh al-Jinayat, hukuman bagi penjudi bisa bervariasi tergantung pada negara dan sistem hukum yang menerapkan hukum Islam (Syariah). Pencambukan (Jald) ataupun Hukuman Ta'zir: Hukuman ini bisa berupa denda, penjara, atau cambukan, tergantung pada tingkat pelanggaran dan keputusan hakim. Dan juga
Hukum Islam 129 denda: Denda ini ditujukan untuk memberikan efek jera kepada penjudi dan sebagai pengganti kerugian moral dan ekonomi yang ditimbulkan oleh perjudian. Pemisahan dari Masyarakat (I'rad al-Mujrim)Ada kasus di mana penjudi dipisahkan dari masyarakat untuk jangka waktu tertentu sebagai hukuman. Tujuannya adalah untuk mencegah penjudi melakukan perbuatan yang sama lagi dan memberikan efek jera. Penghinaan Publik: terkadang penjudi dipublikasikan perbuatan mereka sebagai hukuman. Ini bertujuan untuk memberikan efek deterren dan menunjukkan bahwa perjudian dianggap sebagai perbuatan yang tercela dalam masyarakat Islam. Jika penjudi bertaubat dengan sungguh-sungguh, Allah selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya. (Zuhaili, 2010) Dalam hukum Islam, tujuan dari hukuman adalah untuk memberikan efek jera, memperbaiki individu, dan melindungi masyarakat dari kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar hukum. Hukuman bagi penjudi dimaksudkan sebagai langkah preventif untuk mencegah penyebaran perjudian dan melindungi nilainilai moral dalam masyarakat. 1. Qisas Qisas adalah prinsip hukum balas dendam. Ini adalah bentuk hukuman yang berdasarkan prinsip 'mata ganti mata', dan diterapkan dalam kasus pembunuhan atau kekerasan lainnya. (Zuhaili, 2010)
130 Hukum Islam Contoh Penerapan Qisas dalam Jinayat: a. Kasus Pembunuhan: Jika seseorang dengan sengaja membunuh orang lain, maka hukuman qisas dapat diterapkan, di mana keluarga korban memiliki hak untuk meminta hukuman yang sepadan, seperti "mata ganti mata" atau membayar diyat (pembayaran darah). b. Kasus Pengeroyokan Berat: Jika sekelompok orang melakukan pengeroyokan yang menyebabkan luka parah atau kematian, maka hukuman qisas dapat diterapkan terhadap pelaku-pelaku yang terlibat. c. Kasus Kekerasan Lainnya**: Qisas juga dapat diterapkan dalam kasus-kasus kekerasan lainnya yang menyebabkan cedera serius atau kematian, seperti pembunuhan berencana, penyerangan dengan senjata, dan sebagainya. Prinsip-prinsip Qisas dalam Jinayat: a. Keadilan: Hukuman yang diberikan harus sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. b. Deterrensi: Qisas juga berfungsi sebagai upaya untuk mencegah kejahatan serupa dengan memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan. c. Pemulihan Hak Korban: Prinsip qisas berperan dalam memberikan pemulihan hak-hak korban atau keluarganya. Korban atau keluarganya memiliki hak untuk menuntut hukuman yang setara dengan kerugian yang mereka alami. Dalam penerapannya, qisas dalam jinayat mengacu pada prinsip keadilan dan pemulihan hak-hak korban. Namun, penting juga untuk mencatat bahwa dalam
Hukum Islam 131 Islam, ada juga ruang untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku kejahatan, terutama jika pelaku menunjukkan kesungguhan dalam bertaubat dan meminta maaf kepada korban atau keluarganya. 2. Had Hukum hadd adalah jenis hukuman yang telah ditetapkan secara pasti oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Hadd tidak dapat diubah atau dimaafkan, dan diberlakukan untuk kejahatan tertentu yang dianggap serius. (Zuhaili, 2010) Contoh Hukum Hudud dalam Jinayat: a. Hukuman Potong Tangan: Bagi pencuri yang tertangkap basah dalam mencuri barang yang memiliki nilai tertentu b. Hukuman Rajam: Bagi pelaku zina yang sudah menikah, hukuman rajam (diterapkan sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan hadis. c. Hukuman Mati bagi Murtad: Bagi orang yang secara terang-terangan mengumumkan murtad atau keluar dari agama Islam, hukuman mati diterapkan sesuai dengan hukum hudud. Prinsip-prinsip Hukum Hudud dalam Jinayat: a. Ketetapan Hukuman: Hukum hudud memiliki hukuman yang telah ditetapkan secara pasti dan tidak dapat diubah. b. Ketentuan yang Jelas: Hukum hudud ditemukan dalam teks-teks Al-Qur'an dan hadis dengan ketentuan yang sangat spesifik, menjelaskan jenis
132 Hukum Islam kejahatan, bukti yang diperlukan, dan hukuman yang harus diterapkan. c. Penegakan Keadilan: Tujuan hukum hudud adalah untuk menegakkan keadilan dan memberikan efek jera yang kuat kepada pelaku kejahatan. Hukuman ini juga berfungsi sebagai pelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa. Prinsip-prinsip Hukum Hudud yang Penting: a. Ketegasan Hukuman: Hukuman hudud ditetapkan secara tegas dan tidak dapat ditawar-tawar. b. Keadilan: Prinsip keadilan sangat dijunjung tinggi dalam hukum hudud, di mana hukuman harus sebanding dengan kejahatan yang dilakukan c. Perlindungan Masyarakat: Hukuman hudud juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerugian dan kejahatan yang dapat merusak ketertiban sosial. 3. T[’tcl Hukum tazir adalah hukum yang disesuaikan oleh hakim berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan, tanpa adanya ketentuan yang spesifik dalam Al-Qur'an atau Sunnah. (Zuhaili, 2010) Prinsip-prinsip Hukum Ta'zir: a. Disesuaikan dengan Kondisi dan Kebutuhan Masyarakat: Hukum ta'zir dapat disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan kebutuhan masyarakat pada saat itu.
Hukum Islam 133 b. Tujuan Pendidikan dan Koreksi: Selain sebagai hukuman, ta'zir juga dapat memiliki tujuan pendidikan dan koreksi terhadap pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya. c. Keadilan dan Kemanfaatan: Hukum ta'zir harus diterapkan dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan, di mana hukuman yang ditetapkan haruslah proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Contoh Hukum Ta'zir dalam Fiqih Jinayat: a. Penjara: Hukuman penjara adalah contoh umum dari hukum ta'zir. Hakim dapat menetapkan durasi penjara yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, tanpa adanya ketentuan yang spesifik dalam Al-Qur'an atau Sunnah. b. Denda: Hakim dapat menetapkan denda atau pembayaran yang harus dibayarkan oleh pelaku sebagai hukuman atas pelanggaran tertentu, seperti kecurangan dalam bisnis, penipuan, atau perbuatan melawan hukum (ghasab). c. Penyitaan Harta: Jika seseorang menggunakan harta secara tidak sah, hakim dapat menetapkan hukuman ta'zir berupa penyitaan harta yang digunakan untuk kejahatan tersebut. d. Hukuman Cambuk: Meskipun cambuk juga dapat masuk dalam kategori hudud, tetapi dalam beberapa kasus, hakim juga dapat menggunakan cambuk sebagai hukuman ta'zir, terutama untuk pelanggaran-pelanggaran yang tidak diatur secara spesifik dalam hukum hudud.
134 Hukum Islam e. Penyitaan Hak: Hakim dapat memberikan hukuman ta'zir berupa penyitaan hak tertentu, seperti hak mengemudi bagi pelanggar lalu lintas yang sering melanggar aturan. Hukum ta'zir memberikan keleluasaan kepada sistem hukum Islam untuk menanggapi pelanggaranpelanggaran yang tidak memiliki hukuman yang telah ditetapkan secara spesifik dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Namun, dalam penerapannya, hukum ta'zir haruslah tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan tujuan pendidikan serta koreksi bagi pelaku kejahatan. Pembagian ini membantu dalam menetapkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, kemanfaatan sosial, dan perlindungan hak-hak individu dalam masyarakat. Namun, dalam praktiknya, sistem hukum pidana Islam dapat bervariasi di berbagai negara atau daerah, tergantung pada interpretasi ulama dan kondisi sosial-politik yang ada. (Zuhaili, 2010) Berikut beberapa kisah pada masa Rasulullah SAW yang menjadi landasan penetapan fiqh al-Jinayat: 1. Contoh Kasus Qisas Di antara kisah qisas pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat terdapat beberapa yang terkenal dan
Hukum Islam 135 memberikan pemahaman tentang penerapan prinsip qisas dalam Islam. a. Kisah Bani Amir bin Haram dan Bani Salim bin Awf: Ketika Islam berkembang di Madinah, Bani Amir bin Haram dan Bani Salim bin Awf adalah dua kelompok dari suku Khazraj. Suatu ketika, ada perselisihan yang terjadi antara mereka yang mengakibatkan pembunuhan seorang anak. Bani Amir menginginkan qisas, tetapi Bani Salim tidak ingin berdamai. Rasulullah SAW akhirnya menghormati permintaan Bani Amir untuk qisas, dan Bani Salim mengembalikan pembunuhan yang sebanding dengan pembunuhan tersebut. b. Kisah Qisas antara Sa'd bin Mu'adh dan Banu Quraidhah: Sa'd bin Mu'adh adalah pemimpin suku Aus di Madinah. Ketika Banu Quraidhah, suku Yahudi di Madinah, melanggar perjanjian mereka dengan Rasulullah SAW selama Pertempuran Khandaq, Sa'd bin Mu'adh menentukan bahwa qisas harus dilakukan. Seorang Yahudi dari Banu Quraidhah bernama Huyayy bin Akhtab dihukum mati sebagai balasan atas pengkhianatan mereka. c. Kisah Qisas antara Sa'd bin Abi Waqqas dan Ashyam al-Khazraji: Pada suatu waktu, seorang wanita Muslimah bernama 'Ashyam binti Qais meminta bantuan dari Sa'd bin Abi Waqqas untuk menyelesaikan masalahnya dengan seorang Khazraj. Khazraj menolak, dan ini berujung pada pertengkaran yang berujung pada Sa'd membunuh Khazraj. Sa'd kemudian dihadapkan pada qisas oleh suku Khazraj. Rasulullah SAW kemudian
136 Hukum Islam menyelesaikan kasus ini dengan membayar diyat kepada keluarga Khazraj. d. Kisah Qisas antara Ka'b bin Zaid dan Uyainah bin Hisn: Ka'b bin Zaid adalah sahabat Rasulullah SAW yang terlibat dalam sebuah konflik dengan Uyainah bin Hisn. Konflik ini berujung pada Uyainah membunuh Ka'b dengan cara yang tidak adil. Keluarga Ka'b menuntut qisas. Rasulullah SAW menyetujui qisas, tetapi keluarga Ka'b kemudian memaafkan Uyainah. Rasulullah memberikan diyat sebagai ganti rugi kepada keluarga Ka'b. Kisah-kisah qisas ini menunjukkan pentingnya prinsip qisas dalam menjaga keadilan dan keseimbangan sosial dalam masyarakat Islam. Rasulullah SAW selalu menekankan pentingnya penyelesaian damai dalam kasus qisas, bahkan jika qisas sudah disepakati, beliau berusaha mencari jalan damai dan pemaafan. Dan prinsip qisas tidak hanya mengenai balas dendam, tetapi juga menekankan pada upaya-upaya perdamaian, pemaafan, dan penerimaan diyat sebagai alternatif untuk menjaga ketentraman masyarakat. 2. Contoh Hudud a. Kasus Perzinahan Seorang lelaki bernama Ma'iz bin Malik pernah datang kepada Rasulullah SAW untuk mengaku bahwa ia telah melakukan zina. Rasulullah SAW kemudian bertanya kepadanya beberapa kali untuk memastikan kesaksiannya, hingga akhirnya Ma'iz kembali mengakui perbuatannya. Rasulullah SAW kemudian menjalankan hukuman rajam (dirajam dengan batu sampai mati)
Hukum Islam 137 baginya, sesuai dengan hukum Allah bagi pelaku zina yang sudah menikah. b. Kasus Saksi Palsu Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin Munafik, pernah menuduh istri Sa'd bin Ubadah berzina tanpa bukti yang jelas. Sa'd bin Ubadah sangat marah dengan tuduhan tersebut dan bersumpah untuk tidak menerima istri tersebut kembali ke rumahnya kecuali jika ada hukuman yang dijatuhkan atas tuduhan tersebut. Rasulullah SAW kemudian menurunkan ayat yang menyatakan bahwa saksi palsu dalam kasus zina akan mendapat hukuman yang berat. c. Kasus Murtad (Menggugurkan Agama) Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh adalah salah satu orang yang murtad setelah masuk Islam. Setelah menemui Rasulullah SAW dan meminta maaf, dia diampuni. Namun kemudian dia kembali murtad dan membantu pasukan Quraisy menyerang umat Islam. Setelah kembali ke Mekah, dia mendapat perlindungan, tetapi kemudian terbunuh dalam Pertempuran Badar. Kisah ini menunjukkan seriusnya hukuman bagi murtad yang menyebabkan kerugian besar pada umat Islam. d. Kasus Pembukaan Brankas dengan Kunci Palsu Ibnu Abi Sarh adalah seorang Muslim yang menghafal Al-Qur'an bersama dengan Rasulullah SAW. Namun kemudian dia murtad dan bergabung dengan musuh-musuh Islam. Ketika Muslim menaklukkan Mekah, Ibnu Abi Sarh bersembunyi di dalam brankas (tabut) dengan kunci palsu. Ketika dia ditemukan,
138 Hukum Islam Rasulullah SAW menyerahkan keputusan atas hukumannya kepada sahabatnya, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian memutuskan untuk membunuhnya karena perbuatan khianatnya. e. Kasus Kesaksian dalam Pencurian Kisra Al Ghasri, seorang pemimpin Persia, pernah membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan mencuri barang-barangnya. Setelah tertangkap, Kisra Al Ghasri memohon ampun dan berjanji akan mengembalikan barang-barang yang dicurinya. Namun, Rasulullah SAW bersikeras bahwa saksi-saksi diperlukan dalam kasus pencurian, dan hukuman tidak dapat dijatuhkan tanpa bukti yang cukup. 3. Cihnib T[’tcl a. Ta'zir terhadap Pemabuk: Pada suatu kesempatan, Amr bin Al-'As, seorang sahabat Nabi SAW, menemukan seorang pemabuk yang sering melakukan perbuatan mabuk di jalanan. Dia membawa pemabuk tersebut ke Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian memerintahkan agar pemabuk tersebut dicambuk, tetapi tidak dihitung jumlah cambukan. Ini adalah contoh ta'zir di mana hukuman tidak spesifik dihitung secara pasti, tetapi disesuaikan dengan keadaan. b. Ta'zir terhadap Pemfitnah: Ada kasus di mana seorang wanita bernama Mistah bin Uthatha dituduh melakukan ghibah terhadap Aisyah, istri Rasulullah SAW. Hasan bin Thabit, sahabat yang ahli dalam puisi, juga terlibat dalam menyebarkan gosip ini.
Hukum Islam 139 Rasulullah SAW kemudian memberikan ta'zir berupa hukuman cambuk kepada Mistah dan Hasan bin Thabit. c. Ta'zir terhadap Pelaku Kesusilaan: Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin Munafik, pernah menuduh istri Sa'd bin Ubadah berzina tanpa bukti yang jelas. Sa'd bin Ubadah sangat marah dengan tuduhan tersebut dan bersumpah untuk tidak menerima istri tersebut kembali ke rumahnya kecuali jika ada hukuman yang dijatuhkan atas tuduhan tersebut. Rasulullah SAW kemudian menurunkan ayat yang menyatakan bahwa saksi palsu dalam kasus zina akan mendapat hukuman yang berat. Ini adalah contoh ta'zir yang diberikan kepada pelaku tuduhan palsu yang serius. d. Ta'zir terhadap Pelanggar Hukum Bisnis: Ka'ab bin Malik adalah seorang sahabat yang pernah menunda ikut dalam ekspedisi Tabuk tanpa alasan yang jelas. Setelah kembali, Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat untuk menjauhinya dan tidak berbicara dengannya selama beberapa waktu. Ini adalah contoh ta'zir berupa penolakan sosial yang diberikan kepada pelanggar hukum dalam konteks partisipasi dalam perang. Hukuman-hukuman ta'zir ini diberikan oleh Rasulullah SAW atau para sahabatnya berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan, tanpa adanya ketentuan yang spesifik dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Tujuan hukuman ta'zir adalah untuk menegakkan kedisiplinan sosial, memberikan efek jera, dan menegakkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dan penerapan ta'zir juga
140 Hukum Islam memberikan kesempatan bagi para hakim untuk menyesuaikan hukuman dengan kasus-kasus yang unik dan tidak tertutup dalam ketentuan hukum yang telah ada. Meskipun ta'zir memberikan ruang untuk penyesuaian hukuman, penerapannya tetap didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kemaslahatan bagi masyarakat. Kisah-kisah ini memberikan landasan dan contoh konkret bagaimana hukum pidana (fiqh al-Jinayat) ditetapkan berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, serta keputusan Rasulullah SAW dalam menanggapi kasus-kasus yang terjadi pada masa beliau.