The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Dalam buku ini, penulis menguraikan prinsip-prinsip utama keuangan syariah, termasuk larangan terhadap riba (bunga), maysir (perjudian), gharar (ketidakpastian yang berlebihan), dan aktivitas bisnis yang diharamkan dalam Islam. Mereka menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek keuangan, mulai dari perbankan, investasi, asuransi, hingga perencanaan keuangan pribadi.

Buku ini juga membahas tentang instrumen keuangan syariah yang dapat digunakan dalam berbagai kebutuhan, seperti akad murabahah (jual beli dengan keuntungan diungkapkan), istisna (pembuatan barang pesanan), dan sukuk (obligasi syariah). Penulis memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana instrumen-instrumen ini bekerja dan bagaimana mereka dapat digunakan untuk mencapai tujuan keuangan sesuai dengan prinsip syarlah.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-03-02 03:22:23

Keuangan Syariah

Dalam buku ini, penulis menguraikan prinsip-prinsip utama keuangan syariah, termasuk larangan terhadap riba (bunga), maysir (perjudian), gharar (ketidakpastian yang berlebihan), dan aktivitas bisnis yang diharamkan dalam Islam. Mereka menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek keuangan, mulai dari perbankan, investasi, asuransi, hingga perencanaan keuangan pribadi.

Buku ini juga membahas tentang instrumen keuangan syariah yang dapat digunakan dalam berbagai kebutuhan, seperti akad murabahah (jual beli dengan keuntungan diungkapkan), istisna (pembuatan barang pesanan), dan sukuk (obligasi syariah). Penulis memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana instrumen-instrumen ini bekerja dan bagaimana mereka dapat digunakan untuk mencapai tujuan keuangan sesuai dengan prinsip syarlah.

Keuangan Syariah 91 akhirat, antara lahir dan batin, dan antara individu dan masyarakat serta terhindar dari proses saling dzalim mendzalimi. A. Pengertian Bagi Hasil Bagi hasil terdiri dari dua kata yaitu bagi dan hasil. Bagi artinya penggal, pecah, urai dari yang utuh. Sedangkan hasil adalah akibat tindakan baik yang disengaja maupun tidak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Kata hasil juga dapat disamakan dengan pendapatan yang pengertiannya adalah uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi lain dalam bentuk upah, gaji, sewa, bunga, komisi, ongkos, dan laba (Zainal, 2021). Bagi hasil menurut terminologi dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Adapun menurut Muhammad (2014) secara istilah profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu perusahaan. Bentukbentuk distribusi ini dapat berupa pembagian laba akhir, bonus prestasi, dan lain-lain. Dengan demikian, bagi hasil merupakan sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana (Muhammad, 2014). Sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang didapat antara kedua belah pihak atau lebih (Zainal, 2021). Dalam sistem perbankan Islam bagi hasil merupakan suatu mekanisme yang dilakukan oleh bank Islam (mudharib) dalam upaya memperoleh hasil dan


Keuangan Syariah 92 membagikannya kembali kepada para pemilik dana (shahibul mal) sesuai kontrak yang disepakati di awal bersama. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan kesepakatan dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (At- Tarodhim) oleh masing-masing pihak tanpa adanya paksaan. Adapun pendapatan yang dibagikan adalah pendapatan yang sebenarnya telah diterima (cash basis) sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan (accrual basis) tidak dibenarkan untuk dibagi antara mudharib dan shahibul maal. B. Metode Mekanisme Bagi Hasil M_holon Ahmbilc (2018, 138) ‚g_ni^_ g_e[hcmg_ \[ac hasil terdiri dari metode profit and loss sharing, metode profit sharing dan metode revenue sharing‛. 1. Metode Profit and Loss Sharing Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaanya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal (entrepreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana diantara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masingmasing. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang


Keuangan Syariah 93 merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue. 2. Metode Profit Sharing Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. 3. Metode Revenue Sharing Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. C. Akad Pembiayaan Mekanisme Bagi Hasil Dalam transaksi keuangan syariah, mekanisme bagi hasil diharapkan dapat menggantikan mekanisme bunga. Mekanisme bagi-hasil ini merupakan core product bagi lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah. Sebab bank syariah secara eksplisit melarang penerapan tingkat bunga


Keuangan Syariah 94 pada semua transaksi keuangan. Sistem bagi-hasil diyakini sebagai alat penghapus sistem bunga. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil antara lain: 1. Pembiayaan Mudharabah Menurut Antonio (2001, 95) dan Adiwarman (2004, 93) yang dikutip dari Jauhar (2019) mendefinisikan mudharabah sebagai akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Apabila karena kesalahan pengelola maka si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Prinsip bagi hasil berdasar perjanjian al mudharabah sebagaimana tersebut dalam skema di atas, menunjukkan suatu hubungan hukum antara dua pihak yaitu pihak bank (shahibul maal) sebagai penyedia dana dengan mitra usaha (mudharib) sebagai pihak pengelola dana. Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban maupun tanggung jawab pada masing-masing pihak. Prinsipprinsip bagi hasil berdasar perjanjian al mudharabah, terkait dengan pembiayaan terhadap mitra usaha yaitu dapat tercermin dari hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak bank (shahibul maal) dengan pihak mitra usaha pengelola dana (mudharib).


Keuangan Syariah 95 2. Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan musyarakah adalah perjanjian diantara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Prinsip bagi hasil berdasar perjanjian al musyarakah sebagaimana tersebut diatas, menunjukkan suatu hubungan hukum antara dua pihak yaitu pihak bank (shahibul maal) sebagai penyedia dana dengan mitra usaha (mudharib) sebagai pihak pengelola dana. Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban maupun tanggung jawab pada masing-masing pihak. Prinsipprinsip bagi hasil berdasarkan perjanjian musyarakah, terkait dengan pembiayaan terhadap mitra usaha yaitu dapat tercermin dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu pihak bank (shahibul maal) dengan pihak mitra usaha pengelola dana (mudharib). D. Mekanisme Penentuan Distribusi Bagi Hasil Distribusi bagi hasil ditentukan oleh nisbah. Nisbah adalah rasio atau perbandingan pembagian keuntungan antara shahibul maal dan mudharib. Jika usaha tersebut merugi akibat risiko bisnis, bukan akibat kelalaian mudharib, maka pembagian kerugiannya berdasarkan porsi modal yang disetor oleh masing-masing pihak. Karena seluruh modal yang ditanam dalam usaha mudharib milik shahibul maal, maka kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh shahibul maal.


Keuangan Syariah 96 Karakteristik nisbah bagi hasil, menurut Karim (2004) yang dikutip dari Rifqi (2010) terdapat lima karakteristik nisbah bagi hasil yang terdiri dari : 1. Persentase nisbah bagi hasil harus dinyatakan dalam persen (%), bukan dalam nominal uang tertentu (rupiah). 2. Bagi untung dan bagi rugi. Pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan porsi modal masingmasing pihak. 3. Jaminan yang akan diminta terkait dengan karakter risiko yang dimiliki oleh mudharib karena jika kerugian diakibatkan oleh keburukan karakter mudharib, maka yang menanggungnya adalah mudharib. Akan tetapi, jika kerugian diakibatkan oleh resiko bisnis, maka shahibul maal tidak diperbolehkan untuk meminta jaminan pada mudharib. 4. Angka besaran nisbah bagi hasil muncul sebagai tawarmenawar yang dilandasi oleh kesepakatan dari pihak shahibul maal dan mudharib. 5. Cara menyelesaikan kerugian akan ditanggung dari keuntungan terlebih dahulu karena keuntungan adalah pelindung modal. Jika kerugian melebihi keuntungan, maka akan diambil dari pokok modal. Perhitungan bagi hasil hasil usaha yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah bisa mengacu pada ketentuan dasar yang diatur dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Dewan Syariah Nasional sebagai otoritas yang memiliki kewewenangan untuk menetapkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan akad-akad transaksi syariah telah mengeluarkan fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip


Keuangan Syariah 97 Distribusi Bagi Hasil dalam Lembaga Keuangan Syariah dengan beberapa ketentuan lain : 1. Pada dasarnya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitranya. 2. Dilihat dari segi kemaslahatan, pembagian hasil usaha sebaliknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). 3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad. Baik revenue sharing maupun profit sharing memiliki konsekuensi dalam perhitungan distribusi bagi hasil memiliki konsekuensi dalam perhitungan distribusi hasil usaha. Penggunaan revenue sharing relatif lebih mudah karena LKS hanya menghitung pendapatan yang diterima untuk kemudian hasilnya dibagikan kepada nasabah sesuai kontribusi dana masing-masing. Sedangkan penggunaan profit sharing akan lebih rumit mengingat LKS perlu memperhitungkan pendapatan dan biaya-biaya yang digunakan untuk mengelola dana mudhrabah mutlaqoh. Menurut Rifqi (2010), Faktor-faktor perhitungan distribusi hasil usaha LKS antara lain : 1. Besaran kontribusi investasi (pembobotan sumber dana) Besarnya kotribusi adalah suatu jumlah atau presentase yang diputuskan oleh bank sebagai suatu landasan besarnya dana yang dapat diinvestasikan dari masing-masing investasi. Jika bank memutuskan bahwa dana untuk investasi adalah 80% maka 20% untuk kepentingan likuiditas bank. Menurut Muhamad (2014),


Keuangan Syariah 98 Prinsip bagi hasil dengan angka nisbah bervariasi, misalnya 50:50, 60:40, 70:30, 80:20. Adapun cara bank syariah dalam menentukan nisbah dengan menghitung pendapatan bank sebesar 15,32% (per annual), menghitung biaya-biaya overhead cost sebesar 4%, penghapusan penyisihan akvita produktif sebesar 1%, menentukan harapan keuntungan 3% dan menghitung nisbah untuk bank dengan rumus nisbah bank = (biaya + harapan keuntungan)/pendapatan atau = (5% + 3%)/15.32% = 52.2%. Nisbah nasabah = 100% - nisbah bank. Nisbah maksimal produk untuk nasabah = 100% - nisbah bank = 100% - 52.2% = 47.8%. 2. Penentuan jenis sumber dana yang diikutsertakan dalam perhitungan distribusi hasil usaha Pendapatan yang dibagihasilkan adalah pendapatan yang berasal dari pengelolaan dana mudharabah mutlaqah. Bank syariah memberikan prioritas bahwa sumber dana atas penyaluran yang dilakukan oleh bank syariah diambil dari dana mudharabah mutlaqah setelah itu baru bisa mengambil sumber dana yang lan seperti dana dari prinsip wadiah dan modal 3. Jenis penyaluran dana dan pendapatan yang terkait Bank syariah menetapkan penyaluran utama dengan prinsip bagi hasl dan menetapkan penyaluran lainnya seperti pada Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) atau Sertifikat Bank Indonesia (SWBI) 4. Penentuan pendapatan dibagihasilkan Sesuai dengan paragraf 16 PSAK 59 tentang Perbankan Syariah dan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional


Keuangan Syariah 99 Nomor 14/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha, pendapatan yang dibagikan antara mudharib dan shahibul maal adalah pendapatan yang nyata telah diterima (cash basis), sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan (accrual basis) tidak dibenarkan untuk dibagi antara mudharib dan shahibul maal. E. Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil Menurut Muhamad (2014), adapun mekanisme perhitungan bagi hasil dengan contoh perhitungan kasus pada pembiayaan mudharabah kegiatan bisnis dan antara nasabah dengan bank syariah. 1. Contoh kasus perhitungan mudharabah nasabah dengan bank syariah Seorang nasabah mengajukan pembiayaan modal kerja dagang sebesar Rp 125.000.000 selama 1 tahun, dengan perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank 72% : 28%. Dengan cara perhitungan, ada dua cara yaitu :


Keuangan Syariah 100 a. Pelaksanaan pembagian bagi hasil pada setiap bulan dan pokok modal dikembalikan pada saat akhir perjanjian. Bulan Proyeksi Pendapatan Pendapatan Aktual Nisbah Cicilan Pokok Total Angsuran Bank (28%) Nasabah (72%) 1 6.000.000 6.000.000 1.680.000 4.320.000 1.680.000 2 6.000.000 5.000.000 1.400.000 3.600.000 1.400.000 3 6.000.000 7.000.000 1.960.000 5.040.000 1.960.000 4 6.000.000 4.000.000 1.120.000 2.880.000 1.120.000 5 6.000.000 2.500.000 700.000 1.800.000 700.000 6 6.000.000 3.000.000 840.000 2.160.000 840.000 7 6.000.000 3.500.000 980.000 2.520.000 980.000 8 6.000.000 6.500.000 1.820.000 4.680.000 1.820.000 9 6.000.000 5.500.000 1.540.000 3.960.000 1.540.000 10 6.000.000 4.250.000 1.190.000 3.060.000 1.190.000 11 6.000.000 4.500.000 1.260.000 3.240.000 1.260.000 12 6.000.000 4.575.000 1.281.000 3.294.000 125.000.000 126,281.000


1b. Bagi hasil diberikan pada setiap bulanakhir Bulan Proyeksi Pendapatan Pendapatan Aktual Pendapatan yang dibagihasilkan 1 6.000.000 6.000.000 6.000.000 2 6.000.000 5.000.000 4.800.000 3 6.000.000 7.000.000 6.440.000 4 6.000.000 4.000.000 3.520.000 5 6.000.000 2.500.000 2.100.000 6 6.000.000 3.000.000 2.400.000 7 6.000.000 3.500.000 2.660.000 8 6.000.000 6.500.000 4.680.000 9 6.000.000 5.500.000 3.740.000


Keuangan Syariah 101 n dan mencicil pokok pada setiap bulannya sampai Nisbah Cicilan Pokok Total Angsuran Bank (28%) Nasabah (72%) 1.680.000 4.320.000 5.000.000 6.680.000 1.400.000 3.600.000 5.000.000 6.344.000 1.960.000 5.040.000 5.000.000 6.803.200 1.120.000 2.880.000 5.000.000 5.985.600 700.000 1.800.000 5.000.000 5.588.000 840.000 2.160.000 5.000.000 5.672.000 980.000 2.520.000 5.000.000 5.744.800 1.820.000 4.680.000 5.000.000 6.310.400 1.540.000 3.960.000 5.000.000 6.047.200


Keuangan Syariah 110 6.000.000 4.250.000 2.720.000 11 6.000.000 4.500.000 2.700.000 12 6.000.000 4.575.000 2.562.000


102 1.190.000 3.060.000 5.000.000 5.761.000 1.260.000 3.240.000 5.000.000 5.756.000 1.281.000 3.294.000 70.000.000 70.717.360


Keuangan Syariah 103 2. Contoh kasus perhitungan nisbah bagi hasil untuk bisnis perdagangan kacang kedelasi dibiayai dengan fasilitas mudharabah, dapat dhitung sebagai berikut : Harga Jual Kacang Kedelai = Rp 2.150/kg Harga jual kepada nasabah = setara 16% p.a Volume penjualan per bulan = 65.000 kg Nilai penjualan = Rp 139.750.000 (65.000 x Rp 2.150) Harga pokok pembelian = Rp 125.000.000 Pendapatan penjualan = Rp 14.750.000 Berapa nisbah bagi hasilnya ? Perhitungan Nisbah : Volume penjualan = 65.000 kg Profit margin = 10,55% (Rp 14.750.000/139.750.000) x 100% Lama piutang (data neraca 31/7/2003)= 65 hari Lama persediaan = 2 hari (data neraca 31/8/2003) Lama utang dagang = 0 Cash to periode = 5,4 Profit margin per tahun 5,4 x 10,55 = 57% Nisbah antara shahibul maal dengan mudharib : Nisbah Bank Syariah = 28% Nisbah untuk Nasabah = 72% Sistem bagi hasil yang merupakan inovasi konsep mekanisme pembagian untung rugi dari konteks keuangan syariah agar dapat terciptanya keadilan, distribusi merata, meningkatkan kesejahteraan umat, mengurangi kesenjangan. Dalam transaksi keuangan syariah, mekanisme bagi hasil diharapkan dapat meng-


Keuangan Syariah 104 gantikan mekanisme bunga. Mekanisme bagi-hasil ini merupakan core product bagi lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diantaranya pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Distribusi bagi hasil ditentukan oleh nisbah. Nisbah adalah rasio atau perbandingan pembagian keuntungan antara shahibul maal dan mudharib. Prinsip bagi hasil dengan angka nisbah bervariasi, misalnya 50:50, 60:40, 70:30, 80:20. Jika usaha tersebut merugi akibat risiko bisnis, bukan akibat kelalaian mudharib, maka pembagian kerugiannya berdasarkan porsi modal yang disetor oleh masing-masing pihak.


Keuangan Syariah 105 MEKANISME SEWA MENYEWA Nafisah Ruhana


Keuangan Syariah 106 alam aktivitas keuangan syariah, Selain mekanisme jualbeli dan bagi hasil, Masyarakat memiliki opsi untuk melakukan kegiatan sewa-menyewa. Sejak zaman dahulu, praktik sewa-menyewa telah umum dilakukan di kalangan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Bahasa arab sewa menyewa disebut dengan ijarah. Definisi akad ijarah di dalam fatwa DSN MUI no 112/DSN-MU/IX/2017 tentang Akad Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemberi sewa barang (go’dcl) dengan penyewa (gomn[’dcl) atau antara penyewa (gomn[’dcl) dengan pemberi jasa (ajir) untuk tukar menukar g[h`[’[b dan ujrah, baik manfaat barang ataupun jasa. Legitimasi sewa atau ijarah dalam Islam berasal dari ayat Alkol’[h ^cg[h[ Aff[b \_l`clg[h: ‚D[h m[f[b m_il[ha ^[lc e_^o[ (j_l_gjo[h) cno \_le[n[, ‚W[b[c [s[beo= J[^ce[hf[b ^c[ m_\[a[c j_e_ld[ (j[^[ ecn[), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dah ^[j[n ^cj_l][s[.‛‛ (Q.S. Al-Qashash (28) :26) ‚<Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.‛ (Q.S. AfBaqarah (2): 233) ‚<Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.‛ (Q.S. Af-Kahf (18): 77) Keabsahan ijarah dalam Islam juga didukung oleh Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibn Umar, Bahwa Nabi Muhammad S.A.W. bersabda: ‚Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering‛, H[^cm lcq[s[n ‘A\^ [l-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu S[’c^ [f-Kbo^lc, N[\c Mob[gg[^ S.A.W. \_lm[\^[: ‚Barang siapa D


Keuangan Syariah 107 mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.‛, H[^cm N[\c riwayat Abu Daud dari S['^ I\h A\c W[kk[mb: ‚Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang diperoleh dari lahan pinggir parit dan lahan yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau j_l[e‛. Selain itu, kesepakatan atau Ijma ulama mengenai keabsahan melakukan akad sewa menyewa didasarkan pada jlchmcj `ckb ‚Pada dasarnya, semua jenis muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya‛, ‚Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan‛. Ijarah adalah akad tukar-menukar manfaat dan ujrah pada satu waktu tertentu. Jika kita bandingkan akad Ijarah dengan akad Jual beli dengan perbandingan sederhana, akad jual beli adalah akad pertukaran dimana salah satu pihak memberikan uang sebagai alat pembayaran sementara pihak yang lain memberikan barang. Pada akad Ijarah, salah satu pihak memberikan biaya sewa sebagai kompensasi atau ganti atas layanan yang didapat sedangkan pihak yang lain menyediakan manfaat. Dapat diamati bahwa kedua akad sama-sama merupakan akad tukar menukar, dimana ada pertukaran yang terjadi antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Namun, perbedaan terletak pada jenis penukarannya. Dalam jual beli, pertukaran yang terjadi menghasilkan kepemilikan bagi pihak lain terhadap barang yang dipertukarkan. Sebagai contoh, ketika seseorang menjual rumah, maka berarti kepemilikan rumah tersebut secara penuh dan tanpa batas waktu berpindah dari penjual kepada pembeli. Pembeli memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun terhadap rumah yang telah ia beli, termasuk kemungkinan untuk menjual kembali, menyewakan, merenovasi, dan lain sebagainya.


Keuangan Syariah 108 Sedangkan dalam ijarah atau sewa menyewa, pertukaran yang terjadi adalah manfaat benda tanpa ada perpindahan kepemilikan benda tersebut kepada pihak lain. Sebagai contoh, jika A menyewakan rumahnya kepada B maka berarti ada perpindahan manfaat dari rumah tersebut sehingga B bisa menggunakan rumah yang ia sewa untuk kebutuhan B sedangkan kepemilikan rumah masih dan tetap dimiliki oleh A. Pada traksaksi menggunakan akad ijarah yang berpindah ke tangan penyewa hanyalah manfaat dari benda yang disewa tanpa ada perpindahan kepemilikan benda tersebut ke pihak lain. Secara sederhana, penyewa dapat memanfaatkan rumah tersebut sebagai tempat tinggal atau hunian, tempat berlindung dari panas terik matahari maupun hujan, dan tempat melakukan banyak aktivitas sehari-hari, namun, hanya manfaat yang beralih, sementara rumah yang disewakan tetap milik penyewa. Dalam sewa menyewa, pihak penyewa dapat memperoleh manfaat dari benda tersebut selama periode tertentu, misalnya menyewa rumah dalam waktu satu bulan, enam bulan, satu tahun, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sementara dalam jual beli pertukaran benda adalah pertukaran tanpa batas waktu karena selamanya benda tersebut berpindah menjadi milik pembeli. Jadi, perbedaan utamanya adalah bahwa dalam jual-beli, kepemilikan atas benda bersifat tanpa batas, sementara dalam sewa-menyewa, kepemilikan bersifat terbatas waktu dan hanya pada manfaat benda tersebut. Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI, 2017) menjelaskan bahwa akad ijarah memiliki tiga rukun dan syarat antara lain: 1. Sighat, 2. Pihak yang berakad, 3. Objek


Keuangan Syariah 109 Sighat ijarah atau lebih umum dikenal dengan ijab dan qabul dapat berupa ungkapan secara verbal atau dalam bentuk lainnya. Ijab dan qabul ijarah harus disampaikan secara tegas dan jelas, sehingga para pihak yang berakad dapat memahaminya dengan baik. Umumnya, Ijab dan qabul Ijarah diungkapkan melalui komunikasi verbal, namun sighat dapat pula berupa tulisan, isyarat, atau tindakan, bahkan dalam fatwa DSN MUI memperbolehkan sighat ijarah dilakukan secara elektronik namun tetap sesuai dengan prinsip syariah dan ketentuan hukum yang berlaku. Selanjutnya, pihak-pihak yang berakad dalam akad sewa ini terdiri dari pemberi sewa (go’dcl), penyewa (gomn[’dcl), dan pemberi jasa (ajir). Seorang individu maupun entitas yang berbadan hukum maupun tidak, dapat menjadi pihak di dalam akad sewa dengan syarat cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan yang berlaku. Seseorang atau entitas dapat menjadi go’dcl bila mampu menyerahkan manfaat dari objek sewa. Berbeda dengan gomn[’dcl, Seseorang atau entitas dapat menjadi gomn[’dcl bila mampu melakukan pembayaran ujrah atau biaya sewa. Selanjutnya, seseorang atau entitas dapat menjadi Ajir bila memiliki kapabilitas untuk memberikan jasa. Manfaat dari penggunaan barang/ jasa juga biaya sewa/ upah merupakan objek dari akad ijarah. Manfaat barang atau jasa yang dapat menjadi objek sewa harus yang diperbolehkan dan tidak diharamkan dalam syariah. Harta apa pun yang tidak boleh digunakan menurut syariat, tidak dapat disewakan. Sebaliknya, bahkan harta yang dibolehkan pun tidak dapat disewakan jika tujuan sewa adalah untuk melakukan atau menjalankan kegiatan yang tidak sesuai dengan syariah. Pihak yang berakad wajib mengetahui manfaat yang menjadi objek sewa dengan jelas supaya meniadakan ketimpangan informasi yang akan


Keuangan Syariah 110 menimbulkan sengketa dikemudian hari. Ujroh atau biaya sewa dapat berupa uang atau bentuk lain seperti manfaat barang/jasa, atau dalam bentuk barang yang boleh dimanfaatkan menurut syariah dan peraturan berlaku dimana jumlah, kualitas, dan cara pembayaran ujroh harus jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad. Pemberi sewa dapat meminta jaminan untuk mengamankan pembayaran sewa. Tidak ada kenaikan utang sewa yang dapat ditetapkan oleh pemberi sewa jika terjadi keterlambatan pembayaran oleh penyewa. Dalam akad Ijarah, Penyewa yang menunda pembayaran tanpa alasan yang baik berjanji untuk menyumbangkan sejumlah tertentu untuk amal. Dalam hal terjadi penyitaan jaminan yang diberikan oleh penyewa, maka penyewa hanya dapat memotong sejumlah yang terutang. Akad Ijarah dapat berakhir apabila pihak yang memberikan sewa menjual barang yang telah disewakan kepada penyewa (Ijarah muntahiyyah bi tamlik), atau terjadi kerusakan total pada barang yang disewakan, atau melalui kesepakatan bersama kedua belah pihak. Penyewa dapat menetapkan bahwa Ijarah berakhir jika pembayaran sewa tidak dilakukan oleh penyewa sesuai dengan waktu yang ditentukan. Perjanjian sewa berakhir pada akhir masa sewa, kecuali ada alasan yang valid. Suatu perjanjian Ijarah dapat diperpanjang dan perpanjangan tersebut dapat dilakukan sebelum berakhirnya periode awal. Namun, hal ini dapat dihentikan jika salah satu pihak memberikan pemberitahuan kepada pihak lainnya tentang keinginan untuk tidak memperbarui kontrak (Marifa Team, 2014).


Keuangan Syariah 111 A. Mekanisme sewa menyewa dalam Lembaga Keuangan Syariah Konsep Ijarah dapat diterapkan pada Lembaga Keuangan Syariah salah satunya berupa pembiayaan ijarah. Penerapan konsep ijarah pada Lembaga keuangan syariah didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang seringkali memerlukan keterlibatan pihak lain dalam mendapatkan manfaat suatu barang [2]. Secara umum Lembaga Keuangan Syariah merupakan pihak pemberi sewa (Mo’dcl) sementara nasabah merupakan pihak penyewa (Momn[’dcl) dalam skema pembiayaan ijarah. Sebagai pihak pemberi manfaat, Lembaga Keuangan Syariah berkewajiban untuk menyediakan objek sewa, menanggung cost pemeliharaan barang, dan menjamin bila terdapat kerusakan pada objek yang disewakan (DSN MUI, 2017). Sementara nasabah memiliki kewajiban untuk membayar biaya sewa/ ujroh, bertanggung jawab menjaga keutuhan barang serta menggunakannya dengan baik sesuai kontrak, menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil) (DSN MUI, 2017). Nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan objek sewa jika objek sewa rusak bukan karena pelanggaran dari penggunaan dan kelalaian nasabah.


Keuangan Syariah 112 Mekanisme transaksi ijarah: 1. Nasabah mengunjungi Lembaga keuangan Syariah dan melakukan perjanjian sewa 2. a. Lembaga keuangan Syariah melakukan pembelian aset dari supplier. b. Supplier menyerahkan aset kepada Lembaga keuangan syariah dan menjadi milik Lembaga keuangan syariah. 3. a. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah menyepakati syarat dan ketentuan ijarah dan melaksanakan kontrak sewa yang telah ditentukan untuk jangka waktu sewa tertentu. b. Aset sewa diserahkan kepada nasabah untuk nasabah mendapatkan manfaat dari barang sewa. c. Nasabah membayar biaya sewa kepada Lembaga keuangan syariah. 4. Dalam perjanjian sewa biasa, diakhir masa sewa, penyewa akan mengembalikan aset tersebut kepada pemberi sewa. Dalam hal Ijarah muntahia bi tamlik, kepemilikan aset sewa dapat dialihkan kepada nasabah pada akhir masa sewa. Biaya sewa yang dibayar oleh pelanggan termasuk biaya aset juga.


Keuangan Syariah 113 ASURANSI KONVENSIONAL VS ASURANSI SYARIAH Aisya Farina, S.E., M.E


Keuangan Syariah 114 A. Sejarah Asuransi 1. Sejarah Asuransi di Dunia Bermula dari diterapkannya aturan wajib bagi para pedagang yang membeli barang dengan berhutang dan mengangkut barang tersebut menggunakan kapal yang harus membayar sejumlah dana ekstra sebagai garansi apabila kapalnya di curi maka pinjamannya batal. Peraturan ini disebut dengan kode Hammurabi yang dibuat oleh Raja Hammurabi yang berasal dari Babilonia (sekarang Irak) kejadian ini berlangsung pada tahun 1750 SM. Setelah melalui berbagai perkembangan zaman sekitar tahun 600 SM orang Yunani dan Romawi membuat asuransi jiwa dan kesehatan. Produk asuransi ini bertujuan untuk memberikan perawatan bagi keluarga yang ditinggalkan apabila pencari nafkah meninggal dunia. Lebih lanjut pada abad ke 12 di Anatolia memperkenalkan asuransi Negara yang ditujukan bagi para pedangan yang mana bahwa jika terjadi perampokan pada pedagang maka Negara akan mengganti kerugian pedagang dengan menggunakan kas Negara. Pada abad ke 14 tepatnya di tahun 1347 terbit polis asuransi mandiri di Genoa, yang mana asuransi ini tidak terikat antara kontrak dan pinjaman. Selanjutnya pada abad ke 17 muncul lagi asuransi kebakaran yang dilatarbelakangi oleh terjadinya kebakaran di London tahun 1666 yang telah membakar 13.000 rumah dan puluhan gereja selama lima hari. Atas peristiwa itu lah seorang ekonom juga sekaligus kontraktor yang Bernama Nicholas Barbon mendirikan perusahaan asuransi kebakaran rumah yang pertama di Dunia. Selanjutnya


Keuangan Syariah 115 disusul oleh Amerika Serikat di Carolina Selatan tahun 1732 yang mendirikan perusahaan asuransi pertama dengan menawarkan asuransi perlindungan kebakaran, dan setelahnya di tahun 1800 an perusahaan asuransi kebakaran tersebut melakukan revolusi dengan menambahkan asuransi jiwa dan beberapa pertanggungan lainnya. B. Definisi Asuransi Asuransi yang berlandaskan Islam muncul akibat dorongan dari asuransi konvensional yang belum mendapatkan legalitas dari para ulama serta tuntutan kebutuhan sesuai ajaran Islam sehingga lahirlah asuransi takaful atau asuransi syariah. Takaful adalah Bahasa Arab yang bermakna menanggung atau saling menjamin. Menurut istilah takaful yakni saling memikul risiko di antara sesama orang sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang terjadi pada suatu kejadian.1 Definisi tentang asuransi telah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum ^[a[ha P[m[f 249 s[ha g_hs_\one[n ‚[mol[hmc [n[o pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan nama seorang penanggung mengikat diri kepada seseorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin [e[h ^c^_lcn[hs[ e[l_h[ j_lcmncq[ s[ha n[e n_hno‛. D[f[g kamus besar Indonesia juga menyebutkan bahwa asuransi 1 Indra Hidayatullah, “Sejarah, Prinsip, Dan Perbedaan Antara Asuransi Takaful/Asuransi Syari’ah Dan Asuransi Konvensional”. Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056. H. 182.


Keuangan Syariah 116 ialah sebagai pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya).2 C. Tujuan Asuransi Perjanjian asuransi memiliki tujuan untuk mengganti kerugian pada tertanggung. Tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia benar-benar menderita kerugian. Asuransi mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Pengalihan Risiko Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaannya atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut pihak tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lainyang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontrak prestasi yang disebut premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan 2 Khusniati Rofiah, “Membincang Praktik Asuransi Di Indonesia Telaah Sosiologi Hukum”. Justitia Islamica, Vol 10 No. 1 Juni 2013. H. 140.


Keuangan Syariah 117 atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak saat itu pula resiko beralih pada penanggung. Apabila sampai akhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung. 2. Pembayaran Ganti Kerugian Pada suatu Ketika terjadi sebuah peristiwa yang menimbulkan kerugian yang membuat tertanggung akan memperoleh bayaran sebagai ganti rugi yang setara dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya yang timbul bersifat sebagian (partial loss), tidak semua berupa kerugian total (total loss) dengan demikian tertanggung mengadakan asuransi bertujuan memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sunggu-sungguh dideritanya. Jika dibandingkan dengan premi yang diterima dari beberapa tertanggung maka jumlah ganti kerugian yang dibayarkan kepada tertanggung yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar jumlahnya. Kerugian yang diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang diterima dari seluruh tertanggung. Dari sudut pandang ekonomi keadaan ini merupakan faktor pendorong perkembangan perusahaan asuransi disamping faktor tingginya pendapatan perkapita warga Negara (warga masyarakat).3 3 Farida Sintha Putri & Mochammad Andre Agustianto, “Asuransi dalam Pandangan Ekonomi Islam”. AL-IQTISHOD: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam, Volume 9 Issue 1 Januari 2021. H. 58.


Keuangan Syariah 118 D. Landasan Hukum Asuransi 1. Landasan Hukum Asuransi Di Indonesia Asuransi syariah diatur dalam hukum Indonesia: a. Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian b. Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan sistem syariah c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang pedoman Umum Asuransi Syariah d. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003, dan 424/KMK.06/2003 Tentang Peraturan Sistem Akuntansi Syariah4 2. Landasan Hukum Asuransi Syariah a. Af kol’[n, secara eksplisit tidak ada satu ayat pun ^[f[g Af kol’[h s[ha g_hs_\one[h cmncf[b [mol[hmc \[ce s[ha ^c e_h[f ^_ha[h m_\on[h ‚[f-n[’gch‛ g[ojoh ‚[f-n[e[`of‛. N[goh ^[f[g Af kol’[h terdapat ayat yang menjelaskan tentang konsep asuransi dan yang memiliki muatan nilai-nilai dasar yang ada pada praktik asuransi. Seperti pada QS. AlHasyr : 18 yang artinya: ‚H[c il[ha-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dibuat untuk hari esok (masa depan), dan bertawakalah kepada Allah sesungguh- 4 Moh. Asra & Rizqiyah, “Studi Komparatif Asuransi Shari’ah dan Konvensional”. Istidlal Volume 3, Nomor 2 Oktober 2019. H. 104.


Keuangan Syariah 119 nya Allah maha mengetahui apa yang kamu e_ld[e[h‛. Allah juga memerintahkan untuk saling tolongmenolong serta bekerjasama yang tertuang dalam QS. Al-Maidah : 2 yang artinya: ‚<nifiha g_hifihaf[b e[go ^[f[g (g_ha_ld[- kan) kebaikan dan takwa dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertawakalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksa-Ns[‛. Selain itu Allah juga menganjurkan untuk saling melindungi antar sesame saat dalam kesusahan ini termuat dalam QS Al- Quraisy : 4 yang artinya: ‚ s[ha n_f[b g_g\_lc g[e[h[h e_j[^[ g_l_e[ untuk menghilangkan lapar dan mengamankan g_l_e[ ^[lc e_n[eon[h‛. b. Hadis 1) Hadis tentang Aqilah Dclcq[s[ne[h if_b A\o Hol[cl[b c[ \_le[n[ ‚ berselisih dua orang Wanita dari suku Huzail kemudian salah satu Wanita itu melempar batu ke Wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian Wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Sehingga ahli waris dari Wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa itu kepada Rasullullah SAW, dan Rasulullah memutuskan ganti rugi dari pembunuhan akan janin dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian Wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-f[ec)‛ (HR. Bukhari).


Keuangan Syariah 120 Dalam hadis ini menceritakan tentang Aqilah yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Aqilah diartikan dengan ashabah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda, jika ada salah atu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku lain. Penanggungan bersama oleh aqilah-nya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (tafakul) antar anggota suku. 2) Hadis tentang menghilangkan kesulitan seseorang Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Mob[gg[^ \_lm[\^[ ‚B[l[ha mc[j[ s[ha g_habcf[hakan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitanya pada hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah urusannya di ^ohc[ ^[h ^c [ebcl[n‛ (HR. Momfcg).5 E. Prinsip Asuransi Asuransi atau dikenal pertanggungan yang bertujuan menanggung kerugian atau asuransi jiwa memiliki beberapa prinsip yang diterapkan pada seluruh penyelenggara kegiatan perasuransian, prinsip asuransi diantaranya: 5 Mukhsinun & Utihatli Fursotun, “Dasar Hukum Dan Prinsip Asuransi Syariah Di Indonesia”. LABATILA: Jurnal Ilmu Ekonomi Islam Volume 03, Nomor 01 2019. H. 54-56.


Keuangan Syariah 121 1. Insurable Interest (Kepentingan yang Dipertanggungkan) hal ini dipahami bahwa seseorang akan menderita atas peristiwa yang dipertanggungkan terjadi. Dengan kata lain mengasuransikan suatu objek agar mendapat ganti rugi keuangan apabila terjadi suatu musibah yang menimbulkan kerugian maupun kerusakan atas objek tersebut. Namun apabila diketahui dan terbukti bahwa kita tidak memiliki kepentingan keuangan atas objek tersebut maka kita tidak berhak untuk menerima ganti rugi. 2. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna), ialah kewajiban memberitahukan dengan sejelas-jelasnya serta teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan. Termasuk risiko yang dijamin maupun yang tidak, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan. Kewajiban memberitahukan fakta ini berlaku sejak: a. Perjanjian asuransi dibicarakan hingga kontrak asuransi selesai dibuat yakni pada saat persetujuan kontrak antara dua belah pihak. b. Pada saat perpanjangan kontrak c. Pada saat terjadinya perubahan kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perubahan kontrak. 3. Indemnity (Indemnitas) ialah kontrak asuransi kerugian dan asuransi Kesehatan yang merupakan kontrak indemnity atau kontrak pergantian kerugian. Penanggung menyediakan pergantian kerugian untuk kerugian yang nyata bagi tertanggung dan tidak lebih besar dari pada kerugian yang dialami. Apabila objek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan


Keuangan Syariah 122 kerugian maka pihak penanggung akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan saat sebelum terjadinya kerugian. 4. Subrogation (Subrogasi) merupakan suatu regulasi yang tertuang dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum D[a[ha s[ha \_l\ohsc ‚[j[\cf[ m_il[ha j_h[haaoha telah membayar ganti rugi sepenuhnya terhadap tertanggung maka penanggung akan mengantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung. Hak subrogasi dibatasi sampai jumlah kerugian yang dibayarkan oleh penanggung kepada pihak tertanggung. Artinya apabila jumlah yang harus dibayarkan oleh pihak ketiga Rp. 1.000.000.00 sedangkan pembayaran asuransi hanya Rp.600.000.00. diilustrasikan pada peristiwa tabrakan mobil yang mana penanggung membayar santunan kepada tertanggung kemudian penanggung mengambil alih hak subrogasi lalu menuntut pembayaran dari pengendara lain yang terlibat dalam kejadian tersebut. 5. Contribution (Kontribusi) ialah yang mana tertanggung dapat mengasuransikan harta bendanya yang sama pada beberapa perusahaan asuransi dan jika terjadi kerugian atas objek tersebut maka berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi yakni apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam suatu pertanggungan untuk membayar bagian kerugian


Keuangan Syariah 123 masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupinya.6 F. Prinsip Asuransi Syariah Asuransi syariah dan asuransi konvensional memiliki perbedaaan yang terletak pada prinsipnya. Asuransi syariah dijalankan berdasarkan niat untuk saling tolong-menolong antar sesame manusia. Sehingga prinsip-prinsip yang digunakan dalam asuransi syariah sesuai dengan ajaran agama Islam diantaranya yaitu: 1. Tauhid (Ketaqwaan) Pada prinsip ini asuransi syariah dijalankan dengan dasar muamalah yang telah ditentukan oleh Allah SWT, yaitu muamalah yang dapat membawa umat manusia kepada ketaqwaan kepada Allah SWT. Oleh karena itu firman Allah di dalam surat Az Zukhruf : 32, yang artinya ‚Aj[e[b mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik ^[lc [j[ s[ha g_l_e[ eogjofe[h‛ menjadi dasar dijalankannya asuransi syariah. Muamalah yang dibangun dalam asuransi syariah hendaknya berlandaskan pada surat tersebut. Dengan demikian niat dalam asuransi syariah hendaklah tidak hanya untuk berinvestasi memperoleh keuntungan, akan 6 Hasan Ali, (2004). Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Kencana. H. 77-80.


Keuangan Syariah 124 tetapi lebih luas lagi yaitu memperoleh pahala dari Allah SWT, dengan muamalah yang sesuai ketentuan Allah. 2. Al-Adl (Bersikap adil) Cukuplah bagi kita bahwa Al-quran telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan. (Syakir Sula, 2005 : 727) Syaikh al-Qaradhawi mengatakan bahwa sesungguhnya pilar penyanggah kebebasan ekonomi yang berdiri diatas kemuliaan fitrah dan harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyangga yang f[ch, s[cno ‚e_[^cf[h‛. K_[^cf[h dalam islam bukanlah prinsip sekunder. Ia adalah cikal bakal dan fondasi kokoh yang melandasi semua ajaran dan hukum islam berupa akidah, syariah, dan akhlak (moral). Ketika Allah memerintahkan tiga hal, maka keadilan merupakan hal pertama yang disebutkan. Dalam fclg[h Aff[b:‚S_mohaaobhs[ Aff[b menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil p_f[d[l[h.‛ (Ah-Nahl: 90). Dalam prinsip keadilan ini, Asuransi Syariah telah memberikan keadilan yang sebenarnya, yaitu dengan memberikan kemudahan bagi peserta asuransi untuk mengumpulkan dana dan mengembalikan dana itu kembali jika peserta mengakhiri perjanjian dalam asuransi. 3. Asz-Dzulm (Kedzaliman) Pelanggaran terhadap kedzaliman merupakan salah satu prinsip dasar dalam muamalah. Kedzaliman adalah kebalikan dari sikap keadilan. Karena itu, islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggar-


Keuangan Syariah 125 an kedzaliman, penegakan larangan terhadapnya, kecaman keras terhadap orang-orang yang dzalim, ancaman terhadap mereka dengan siksa yang paling keras di dunia dan akhirat. Dalam prinsip ini, asuransi syariah dijalankan dengan memperhatikan keuntungan yang diperoleh oleh para peserta, dengan demikian setiap produk asuransi syariah harus memberikan keuntungan sebesar–besarnya bagi kesejahteraan peserta. 4. At Taawun (Tolong-menolong) Al Maidah ayat 2, yang artinya : ‚.... tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat mcem[hs[‛. (Q.S, AlMaidah 5:2). Menjadi dasar dalam Asuransi Syariah. Beberapa perusahaan asuransi syariah yang memiliki produk asuransi syariah telah menerapkan prinsip tolong menolong ini dengan baik. Setiap peserta yang mengambil produk asuransi syariah akan membantu peserta lain ketika mereka membutuhkan dana untuk kesehatan, kecelakaan ataupun kerugian lainnya. Dengan prinsip ini maka di Asuransi Syariah setiap dana peserta akan ditampung dan digunakan untuk membantu peserta lain, apabila peserta tersebut berhenti dari program asuransi, maka dana tersebut dapat diambil kembali. 5. Amanah (Terpercaya) Al-Qaradhawi mengatakan bahwa diantara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-amanah ‘e_dodol[h’.


Keuangan Syariah 126 Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karakteristik para nabi. Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan didunia tidak akan berjalan baik. Dalam praktik asuransi syariah, kejujuran tersebut di wujudkan dalam bentuk pengelolaan dana yang transparan, yang dapat di ikuti oleh setiap peserta. Perusahaan asuransi syariah akan memberikan laporan pengelolaan dana kepada para peserta. 6. Gharar, Maisir, dan Riba Prinsip yang paling utama dalam muamalah Islami khususnya untuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah prinsip Gharar, Maisir dan Riba. Ketiga hal inilah yang secara haqiqi menjadi dasar para ulama mengharamkan semua transaksi perbankan, asuransi, penggadaian, bursa efek, leasing, modal ventura dan sebagainya, yang tidak menggunakan prinsip-prinsip syariah. Karena, dalam operasionalnya pasti terdapat salah satu atau kalau tidak tiga-tiganya yang Gharah, Meisir atau Riba. (Syakir Sula, 2004: 750 ). Produk asuransi syariah telah dijamin bebas dari unsur Gharar, maisir, dan riba. Dikarenakan (Syakir Sula, 2004 : 293 – 319). Asuransi syariah kegiatannya diawasi oleh DSN (Dewan Syariah Nasional), berfungsi untuk mengawasi semua operasional atau kegiatan perusahaan agar terbebas dari praktik–praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip syariah. Semua akad asuransi telah menggunakan akad syariah, misalnya Mudharabah, Ijarah,


Keuangan Syariah 127 wakalah, wadiah, dan sebagainya. Terdapat pemisahan ahn[l[ ^[h[ n[\[llo’ ^_ha[h ^[h[ j_lom[b[[h, m_bchaa[ tidak mengenal istilah dana hangus. Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi tetap menjadi milik peserta, perusahaan atau entitas asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut. Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan tempat investasi yang terlarang. Sumber pembayaran klaim diperoleh dari ree_hcha n[\[llo’, j_m_ln[ m[fcha menanggung Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainya ikut menanggung Bersama risiko tersebut. Keuntungan diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan tetapi dilakukan bagi hasil dengan peserta. Dalam operasionalnya asuransi syariah telah banyak melaksanakan ketentuan syariah tersebut diatas dengan baik,entitas asuransi syariah menjalankan usahanya dengan transparan dan mengelolanya sesuai dengan syariah islam.7 7 Teguh Suripto & Abdullah Salam, “Analisa Penerapan Prinsip Syariah dalam Asuransi”. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Volume VII, No. 2 Desember 2017. H. 134-136.


Keuangan Syariah 128 G. Jenis-jenis Asuransi 1. Asuransi Jiwa Asuransi jiwa ialah yang memberikan perlindungan finansial akan musibah kematian, cacat tetap, dan penyakit kritis. Tidak hanya itu, asuransi jiwa modern saat ini juga memberikan fasilitas menabung untuk persiapan hari tua dengan hasil yang umumnya lebih besar dari pada bunga bank 2. Asuransi Kesehatan Asuransi Kesehatan yaitu asuransi yang memberikan perlindungan berupa santunan untuk menjalani rawat inap maupun rawat jalan, yang dapat berlaku baik dirumah sakit dalam negeri dan luar negeri 3. Asuransi Kecelakaan Diri Asuransi kecelakaan diri ialah asuransi yang ditawarkan untuk memberikan perlindungan finansial atas musibah cacat tetap maupun meninggal dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan 4. Asuransi Properti Asuransi properti ialah asuransi yang memberikan perlindungan lengkap bagi bangunan rumah beserta isinya, mulai dari kebakaran, kebongkaran, kerusuhan, banjir, dan gempa bumi serta tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga 5. Asuransi Perjalanan Asuransi perjalanan ialah asuransi yang memberikan perlindungan atas perjalanan beserta hal-hal yang terjadi didalamnnya.


Keuangan Syariah 129 H. Macam-macam Risiko Asuransi Asuransi memiliki berbagai risiko yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya diantaranya yaitu: 1. Risiko yang tidak disengaja atau risiko murni, risiko ini apabila terjadi tentunya menimbulkan kerugian dan terjadinya tanpa disengaja. Seperti contoh risiko yang terjadi pada kebakaran, bencana alam, pencurian, dan penggelapan dana. 2. Risiko yang disengaja atau disebut risiko spekulatif ia adalah risiko yang sengaja ditimbulkan oleh yang bersangkutan agar terjadinya ketidakpastian memberikan keuntungan kepadanya misalnya risiko utang piutang, perjudian, perdagangan berjangka (hedging), dan sebagainya. 3. Risiko fundamental adalah risiko yang penyebabnya tidak dapat dilimpahkan kepada seseorang dan yang mendarita tidak hanya satu atau beberapa orang saja, tetapi banyak orang, seperti banjir, angina topan, dan gempa bumi. 4. Risiko khusus adalah risiko yang bersumber pada peristiwa yang mandiri dan pada umumnya mudah diketahui penyebabnya, seperti kapal kandas, pesawat jatuh, dan tabrakan mobil. 5. Risiko dimanis adalah risiko yang timbul karena perkembangan dan kemajuan dinamika masyarakat dibidang ekenomi, ilmu dan teknologi, seperti risiko keuangan, risiko penerbangan luar angkasa.


Keuangan Syariah 130 Kebalikannya risiko statis, seperti risiko hari tua, dan kematian.8 I. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Asuransi Pertumbuhan industri asuransi di Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan banyak perusahaan asuransi baru yang bermunculan dan memberikan pilihan lebih banyak bagi konsumen. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dinamika perkembangan asuransi di Indonesia di antaranya: 1. Pertumbuhan ekonomi: Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan pesat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli produk asuransi. 2. Tingkat pendidikan finansial: Tingkat pendidikan finansial masyarakat Indonesia yang meningkat membantu mereka memahami pentingnya asuransi dan membuat keputusan yang tepat. 3. Regulasi pemerintah: Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan regulasi baru untuk meningkatkan transparansi dan integritas industri asuransi, membantu memperkuat keyakinan masyarakat dalam industri ini. 4. Teknologi: Perkembangan teknologi seperti internet dan ponsel membantu mempermudah akses masyarakat ke informasi dan layanan asuransi, membuat mereka lebih mudah memahami dan mau membeli produk asuransi. 8 Ratu Humaemah & Ulpatiyani, “Analisis Manajemen Risiko Dana Tabarru Asuransi Syariah (Studi Pada PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Serang)”. Syar’insurance Jurnal Asuransi Syariah, Vol. 7 No. 1 Januari 2021. H. 38.


Keuangan Syariah 131 Perusahaan asuransi saat ini mulai menjual produk asuransi melalui aplikasi maupun situs web. Perkembangan ini juga bukan hanya pada perusahaan asuransi sendiri namun termasuk pada lembaga keuangan tepatnya yaitu pada bank yang mulai menyediakan produk asuransi. Berbagai produk asuransi yang ditawarkan dengan mengkombinasikan beberapa produk asuransi seperti yang dijual oleh beberapa perusahaan asuransi diantaranya yakni: a. KSK Peduli Motor Vehicle yang merupakan produk kombinasi antara asuransi kecelakaan dan kebakaran yang di peruntukan untuk kendaraan b. My Life Cover merupakan produk kolaborasi antara Asuransi Harta Aman Pratama dengan Home Credit Indonesia yang merupakan asuransi perlindungan jiwa digital. Produk asuransi ini dapat diakses melalui aplikasi My Home Credit. Produk ini memberikan pertanggungan untuk risiko sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan meninggal dunia, kejadian yang mengakibatkan cacat tetap total, santunan ahli waris bila terjadi hal yang mengakibatkan meninggal dunia, hingga rawat inap di rumah sakit c. Essentia Medical Care yang merupakan produk asuransi kesehatan tambahan yang terdapat dalam asuransi X-tra Essential Link. Ini merupakan produk hasil kerja sama antara Sun Life dan PT Bank CIMB Niaga;Dan produk-produk asuransi lainnya yang hanya murni dijual oleh perusahaan asuransi tersebut maupun yang merupakan kolaborasi antara Lembaga jasa keuangan dan perusahaan asuransi


Keuangan Syariah 132 demi memenuhi kebutuhan masyarakat produktif saat ini serta keinginan masyarakat untuk membeli produk yang All in One. Artinya Satu produk yang dapat memberikan pertanggungan secara menyeluruh sehingga masyarakat pun tidak pusing dan bingung ketika disuguhkan produk-produk lainnya.9 9 Nancy Margaretha Indra, “Perkembangan Peraturan Asuransi Di Indonesia”. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, Volume 3 Nomor 3 Tahun 2023. H. 9.


Keuangan Syariah 133 PELUANG DAN TANTANGAN KEUANGAN SYARIAH Dian Friantoro, S.E., M.A.


Keuangan Syariah 134 alam era globalisasi dan terus berkembangnya sistem keuangan, Keuangan Syariah muncul sebagai sebuah paradigma baru yang memberikan alternatif bagi masyarakat yang ingin mengintegrasikan nilai-nilai syariah dalam aspek keuangan. Bab ini membahas mengenai refleksi mendalam terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi dalam penerapan prinsip-prinsip syariah dalam konteks keuangan. Peluang Keuangan Syariah mengacu pada potensi untuk memberikan solusi keuangan yang lebih inklusif. Dengan mendasarkan operasionalnya pada prinsip-prinsip Islam, seperti larangan riba (bunga), keadilan sosial, dan tanggung jawab lingkungan, Keuangan Syariah dapat menjadi solusi dalam membawa masyarakat menuju keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan bersama. Keuangan syariah dapat membentuk suatu sistem yang berkeadilan sehingga tidak ada konflik antar kepentingan karena berlandaskan etika dan moralitas (Friantoro, 2023). Namun, di balik peluang tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar Keuangan Syariah dapat meraih potensinya sepenuhnya. Tantangan tersebut mencakup pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip syariah, regulasi, serta keberlanjutan dan inovasi dalam produk-produk keuangan syariah. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap peluang dan tantangan Keuangan Syariah, pembaca dihadapkan pada pemikiran kritis tentang peran keuangan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Seiring dengan peningkatan minat masyarakat terhadap produk keuangan syariah dan semakin tumbuhnya industri keuangan syariah di tingkat global. Berdasarkan Laporan Perkembangan Keuangan Syariah tahun D


Keuangan Syariah 135 2022 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia aset industru keuangan syariah di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Otoritas Jasa Keuangan, 2023). Hingga Desember 2022, total aset keuangan syariah (tidak termasuk saham syariah) mencapai 2,3 Triliun. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Perkembangan Total Aset Industri Keuangan Syariah 2017-2022 Tentunya, apabila melihat data pada gambar 1, industri keuangan syariah berpeluang besar untuk terus mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan keuangan syariah saat ini lebih banyak ditopang oleh pasar modal syariah. A. Peluang Keuangan Syariah 1. Pertumbuhan Pasar & Ekspansi Global Keuangan syariah semakin diminati oleh masyarakat global, terutama oleh mereka yang mengutamakan nilainilai etika dan moral dalam keuangan. Bank-bank syariah dan instrumen-instrumen investasi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat sebagai respons


Keuangan Syariah 136 terhadap permintaan pasar yang semakin tinggi. Sejak beberapa tahun terakhir, pasar keuangan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan. Menurut (Mirza, 2023) market share keuangan syariah mencapai 10,94 persen terhadap total keuangan nasional. Meski terkena dampak akibat pandemi Covid-19, angka ini tetap menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya. Hasil tersebut ditunjang oleh adanya peningkatan kesadaran masyarakat. Pendidikan dan promosi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah, pemerintah, dan organisasi masyarakat telah berhasil menjangkau lebih banyak orang dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang prinsip-prinsip ekonomi syariah. Keuangan syariah berpeluang untuk terus mengembangkan produk dan layanan yang inovatif, mencakup produk perbankan, asuransi, dan investasi syariah. Peningkatan diversifikasi produk ini akan meningkatkan daya tarik bagi berbagai segmen masyarakat sehingga dapat menunjang pertumbuhan pasar keuangan syariah. Bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya mengalami pertumbuhan dalam hal aset, jaringan kantor cabang, dan layanan yang ditawarkan. Ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah sebagai pilihan yang layak. Keuangan syariah semakin terlibat dalam mendukung sektor riil, seperti pendanaan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang sesuai dengan prinsip syariah. Ini memberikan dampak positif pada ekonomi riil dan inklusivitas keuangan.


Keuangan Syariah 137 Dengan semakin banyaknya peluang pasar, ekspansi global antar negara pun dapat lebih menguatkan industri keuangan syariah. Kolaborasi antar negara dan lembaga dapat dioptimalkan sehingga dapat membuka pintu bagi pertumbuhan ekosistem keuangan syariah tidak hanya dalam tingkat nasional namun hingga tingkat internasional. 2. Inovasi Produk Keuangan Peluang keuangan syariah dalam inovasi produk keuangan terbuka lebar, karena prinsip-prinsip syariah memberikan landasan yang kuat untuk pengembangan produk yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Lembagalembaga keuangan syariah diharapkan terus mengembangkan produk-produk inovatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dukungan dari pemerintah juga menjadi peluang tersendiri. Pemerintah terus mendorong penguatan keuangan syariah di Indonesia dengan langkah-langkah regulatif dan insentif fiskal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Pada tingkat regulatif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan yang memfasilitasi pengembangan produk dan layanan keuangan syariah. Adapun beberapa peluang inovasi dalam produk keuangan syariah antara lain Sukuk hijau, Peer-to-Peer Lending Syariah, Crowdfunding Syariah dan Inovasi Keuangan Zakat dan Wakaf. Sukuk, atau obligasi syariah, dapat dikembangkan dengan struktur yang lebih inovatif untuk menarik investor dan mendukung pembiayaan proyek-proyek berkelanjutan atau yang biasa disebut Green Sukuk. Pada


Keuangan Syariah 138 tahun 2018, Indonesia sudah berhasil menerbitkan Sukuk Hijau Republik Indonesia Tahun 2018 senilai 1,25 Miliar USD (Hadi, 2018). Apabila langkah ini dilanjutkan setiap tahun dengan nilai yang lebih besar, maka akan meningkatkan pertumbuhan industri keuangan syariah. Peer-to-Peer Lending Syariah dapat menjadi alternatif inovasi produk keuangan syariah. Inovasi ini menjadi ditujukan bagi pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil. Cara kerja peer-to-peer lending adalah menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dana secara online. Pendanaan melalui peer-to-peer lending ini dapat dilaksanakan dalam skala kecil maupun besar. Selanjutnya Crowdfunding Syariah dapat digunakan untuk mendukung proyek-proyek sosial atau ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah, memungkinkan partisipasi masyarakat dalam mendukung inisiatifinisiatif positif. Fungsi Crowdfunding Syariah ialah mengumpulkan uang untuk membiayai suatu proyek dan bisnis yang tentunya berbasis syariah. Inovasi Keuangan dapat dilakukan pada instrumen keuangan zakat dan wakaf. Zakat dan wakaf terbukti berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan sekaligus mengembangkan perekonomian. Begitu penting fungsinya, maka zakat dan wakaf perlu dioptimalkan melalui inovasi dalam pengumpulan dana maupun pendayagunaannya. Inovasi tersebut dapat dilakukan melalui contohnya wakaf saham, zakat saham, dan wakaf sukuk.


Click to View FlipBook Version