The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dretnowati21, 2021-08-14 23:48:29

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Keywords: Raja,Singasari,dokumen,histori

Multi Dokumen
dan

Historisitas Raja-raja
Singasari

Oleh
SUSANTO YUNUS ALFIAN

Multi Dokumen dan Historisitas
Raja-raja Singasari

Penulis
Susanto Yunus Alfian

ISBN : 978-923-92234-2-7

Penyelia
Abdul Rahman H

Editor
Abdul Rosid

Desain Sampul
Lukas Liani

Layout
Asep Nugraha

Cetakan Pertama, November 2019
V + 188 hlm ; 14.8 x 21 cm

Penerbit
Yayasan Pendidikan dan Sosial
Indonesia Maju (YPSIM) Banten
BCP 2 Blok E. 18 No.14 Desa Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang Banten
42182
E-mail: [email protected]
WhatsApp: 0815 9516 818

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-undang Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh

isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin
tertulis dari Penerbit



Kata Pengantar

Saya menulis buku yang berjudul Multi Dokumen dan
Historisitas Raja-raja Singasari ini bermaksud untuk
membantu para guru sejarah dalam mengenal koroborasi
dalam praktek. Koroborasi merupakan praktek pembandingan
informasi antar sumber sejarah. Sebagai salah satu dari tiga
kegiatan heuristik, koroborasi dilakukan oleh seorang
sejarawan dalam menghadapi beragam sumber sejarah. Dua
kegiatan heuristik lainnya adalah kontekstualisasi dan
sourcing.

Sebenarnya koroborasi dapat dilakukan oleh siapa pun,
tidak hanya sejarawan, tapi juga oleh siswa, walaupun kadar
kemampuan koroborasinya berbeda. Buku ini menjadi suatu
contoh sederhana kegiatan koroborasi yang bisa dilakukan
oleh siapa saja tersebut. Beberapa dokumen tertulis yang
dikeluarkan pada zaman kerajaan Singasari, Majapahit dan
sesudahnya diperbandingkan terutama yang berkenaan
dengan raja-raja Kerajaan Singasari. Buku ini sengaja dibuat
sebagai suatu contoh saja dari kegiatan koroborasi tersebut.

Struktur buku ini berupa lima bab yang masing-masing
bab memiliki fokusnya sendiri. Bab 1 sebagai satu bab
pendahuluan terdiri dari empat bagian atau sub-bab. Sub-bab
pertama menekankan pentingnya sumber sejarah. Sub-bab
kedua menekankan tentang heuristik. Sub-bab ketiga
menekankan tentang prasasti sebagai sumber sejarah.
Terakhir, suatu sub-bab menekankan tentang sastra sebagai
sumber sejarah.

Bab 2 difokuskan pada historisitas tokoh-tokoh Kerajaan
Singasari yang informasinya terdapat di prasasti. Ada tujuh
sub-bab dalam bab ini. Masing-masing sub-bab membahas
suatu prasasti.

Bab 3 difokuskan pada historisitas tokoh-tokoh Kerajaan
Singasari yang informasinya terdapat di dalam
Negarakertagama. Ada dua sub-bab dalam bab ini. Sub-bab
pertama membahas inti dari kitab Negarakertagama.
Sedangkan sub-bab kedua menekankan kaitan informasi dari

i| i
|

tokoh-tokoh Kerajaan Singasari yang ada di Negarakertagama
dengan informasi dari sumber lain.

Bab 4 difokuskan pada historisitas tokoh-tokoh Kerajaan
Singasari yang informasinya terdapat di dalam Pararaton. Ada
dua sub-bab dalam bab ini. Sub-bab pertama membahas inti
dari kitab Pararaton. Sedangkan sub-bab kedua menekankan
kaitan informasi dari tokoh-tokoh Kerajaan Singasari yang ada
di Pararaton dengan informasi dari sumber lain.

Bab 5 merupakan suatu kepastian historisitas tokoh-
tokoh kerajaan Singasari yang didasarkan pada sumber-
sumber tertulis. Raja-raja Singasari menjadi fokus dari bab ini.
Raja-raja itu memang benar-benar hidup dalam zamannya dan
bukan dongeng. Semua raja tersebut dapat ditelusuri dari
bukti-bukti sejarah yang ada, baik bukti sejarah yang
dikeluarkan pada zaman Kerajaan Singasari, kerajaan
Majapahit maupun zaman sesudahnya.

Saya berharap buku yang berjudul Multi Dokumen dan
Historisitas Raja-raja Singasari ini bisa memprovokasi guru
sejarah untuk melakukan praktek koroborasi bagi siswa yang
diajarnya. Saya mempersembahkan buku ini untuk guru-guru
sejarah dalam melakukan tugas profesionalnya. Pada
akhirnya, saya berharap agar para guru mampu membantu
siswa dalam menghadapi tantangan serbuan informasi yang
tak terbendung sekarang ini.

Malang, 29 Oktober 2019

Susanto Yunus Alfian

Page | ii

Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................i
Daftar Isi ................................................................................................iii
Bab 1. Pendahuluan ...............................................................................4

A. Sumber Sejarah.....................................................................................4
B. Prasasti Sebagai Sumber Sejarah...................................................4
C. Sastra Sebagai Sumber Sejarah ......................................................9
D. Multi Dokumen .................................................................................. 12
E. Heuristik............................................................................................... 13
F. Koroborasi ........................................................................................... 15
Bab 2. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari dalam Prasasti................... 17
A. Prasasti Camundi .............................................................................. 17
B. Prasasti Singasari/Gajahmada..................................................... 23
C. Prasasti Mula Malurung.................................................................. 28
D. Prasasti Wurare/Joko Dolog......................................................... 37
E. Prasasti Manjusri .............................................................................. 51
F. Prasasti Kudadu................................................................................. 52
G. Prasasti Sukamerta .......................................................................... 54
Bab 3. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari dalam Negarakertagama ..59
A. Seputar Negarakertagama............................................................ 59
B. Beberapa Catatan Nagarakretagama......................................... 63
Bab 4. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari dalam Pararaton .............110
A. Seputar Pararaton...........................................................................110
B. Beberapa Catatan Pararaton ......................................................122
Bab 5. Tokoh-tokoh Historis Kerajaan Singasari ............................ 166
Daftar Rujukan ................................................................................... 172
Indeks .................................................................................................176
Beberapa Karya Tulis Si Penulis...................................................... 180
Profil Penulis ...................................................................................... 185

Page iii |



Bab 1. Pendahuluan

A. Sumber Sejarah
Sumber sejarah adalah semua benda yang merefleksikan

proses sejarah dan yang memungkinkan kita mengkaji masa
lampau. Maka dengan demikian, sumber sejarah merupakan
segala sesuatu yang telah dibuat di masa lalu dan yang berupa
benda budaya atau dokumen, sehingga kita bisa mengevaluasi
pola perilaku, kebiasaan, bahasa masa lampau. Sumber sejarah
menjadi dasar dari penelitian sejarah. Tidak mungkin ada
pengetahuan sejarah yang ilmiah, tanpa sumber sejarah. Sumber
sejarah begitu melimpah, sangat bervariasi. Setiap zaman
memiliki sumber sejarah sendiri-sendiri. Misalnya adalah
sumber sejarah pada prasejarah, sumber sejarah masa Hindu-
Budha. Beragam sumber sejarah dapat dimanfaatkan untuk
memahami suatu topik sejarah (Manderino, 2011),

Pada prinsipnya ada tiga jenis sumber sejarah, yaitu:
sumber primer, sekunder dan tertier. Jenis sumber pertama
adalah sumber primer. Sumber primer adalah benda aslinya yaitu
benda yang dijadikan dasar penelitian oleh sejarawan. Sumber
primer tersebut menjadi semacam first-hand testimony atau
direct evidence. Sumber primer tersebut tentu menjadi karya asli.
Sumber primer hadir pada waktu peristiwa terjadi dan menjadi
an inside view of a particular event. Contoh-contoh sumber primer
adalah manuskrip asli, dokumen yang nantinya menjadi bahan
dari karya-karya tulis sejarah. Sumber primer sering kali dibuat
pada saat suatu peristiwa terjadi. Laporan suatu peristiwa yang
dibuat oleh saksi yang mengalami langsung kejadian dari
peristiwa tersebut juga menjadi sumber primer. Sumber primer
juga bisa dibuat sesudahnya, misal: otobiografi, memoir, sejarah
lisan. Meskipun suatu sumber primer berbentuk microfilm,
digital atau bentuk apapun lainnya, yang terpenting adalah
bahwa isinya tetap sebagai sumber primer.

Sumber primer juga dikelompokkan menjadi dua jenis:
jenis pertama adalah karya asli yang berupa hasil pikiran Si
pembuatnya; jenis kedua adalah data-data yang dikumpulkan
dari tangan pertama dan yang diorganisir serta disajikan oleh Si
pengumpul tadi. Data sensus, transkrip wawancara, survei jajak
pendapat dan sikap, dan sejarah lisan adalah contoh sumber
sejarah jenis kedua. Jika seorang sejarawan membuat biografinya
sendiri, buku publikasi biografi tersebut menjadi sumber primer.
Film dokumenter bisa dianggap sebagai sumber primer atau pun

1|

sumber sekunder, tergantung dari seberapa banyak pembuatnya
merubah dari sumber aslinya. Dalam bidang sejarah, sumber
primer adalah suatu dokumen atau sumber informasi yang dibuat
pada saat peristiwa itu terjadi oleh pihak yang punya otoritas
atau pihak yang mempunyai pengetahuan langsung terhadap
peristiwa tersebut. Sumber sejarah bukanlah berarti sebagai
sumber yang terpenting.

Sumber primer dapat dibagi ke dalam tiga macam: a)
Sumber historis atau arkeologis terdiri dari prasasti, manuskrip,
monumen, koin, karya seni. Para penulis sejarah Indonesia akan
memanfaatkan candi Kidal, candi Jago, candi Singasari, arca
Amogapasha sebagai sumber sejarah, ketika mereka menulis
sejarah kerajaan Singasari.

b) Sumber tertulis terdiri dari sumber naratif atau sumber
literer, sumber diplomatik, dokumen. Sumber naratif berupa
antara lain artikel surat kabar yang ditulis pada saat suatu
peristiwa terjadi, artikel jurnal, catatan lapangan, hasil penelitian
yang diterbitkan, prosiding, novel, puisi, dokumen pribadi
(biografi, otobiografi, buku harian, surat, memoar). Dokumen
pribadi dan dokumen resmi bisa menjadi sumber sejarah yang
digunakan untuk menulis sejarah. Travelogues (catatan
perjalanan) yang ditulis oleh para petualang seperti Marco Polo,
Fa Hien, Hui Ning, Ibnu Batuta merupakan contoh dokumen
pribadi dan dokumen resmi.

c) Sumber Non Tulisan atau sumber lisan. All History was
first Oral adalah semacam adagium. Sejarah lisan sebenarnya ya
sejarah itu sendiri. Sejarah pada awalnya adalah sejarah lisan.
Herodotus dan Thucydides mendasarkan karya sejarah yang
ditulisnya (Perang Persia dan Perang Peloponesos) pada apa
yang dilihatnya sendiri dan sebagian lagi pada apa yang
diceritakan oleh orang lain yang telah mengetahui sendiri.
Mereka berdua mendasarkan tulisannya dari tradisi lisan yang
telah ada saat itu. Sumber primer lisan seperti itu tidak bisa
diremehkan dalam penulisan sejarah. Tradisi lisan sangat
bernilai untuk memahami kehidupan masyarakat masa lalu.
Contoh tradisi lisan adalah mitos, legenda, folklore, lagu, folk
songs. Tradisi lisan seperti itu diwariskan turun-temurun dari
generasi ke generasi. Seiring perkembangan zaman tradisi
modern terdiri dari audio dan video (radio dan televisi), pidato,
penelitian survei, email, website, foto, karya seni, arsitektur).

Jenis sumber kedua adalah sumber sekunder. Sumber
sekunder merupakan hasil interpretasi, hasil analisis dan hasil
kritik sumber primer. Sumber sekunder dibuat setelah suatu

Page | 2

peristiwa terjadi. Sumber sekunder bisa berupa gambar, kutipan.
Sumber sekunder ini sudah berbentuk karya yang telah
dipublikasikan. Sumber sekunder menjadi suatu laporan
peristiwa yang ditulis setelah peristiwanya terjadi. Laporan
tersebut didasarkan pada sumber primer. Sumber sekunder ada
setelah sumber primer ada lebih dulu. Sumber sekunder
menggunakan dan memperbincangkan sumber primer. Sumber
primer merupakan interpretasi, analisis dan evaluasi sumber
primer.

Kita tidak bisa membedakan secara tegas antara sumber
primer dan sumber sekunder. Pembedaannya sangat tergantung
pada bagaimana atau alasan penggunaannya. Sumber sekunder
mungkin saja menjadi sumber primer atau sebaliknya. Sumber
primer berbentuk bahan dasar yang menjadi bahan mentah bagi
seorang sejarawan. Sebaliknya, sumber sekunder merupakan
hasil pembahasan suatu periode yang kita teliti, dan periode
tersebut telah berlalu, atau peristiwanya yang telah berlalu.
Sumber sekunder merupakan salinan, interpretasi, keputusan
terhadap hal-hal yang ditemukan di sumber primer. Data
sekunder tidak berarti lebih baik atau lebih jelek dari pada data
primer. Mereka hanya berbeda saja. Sumber data tidak lah lebih
penting dari pada kualitas atau relevansi data tersebut bagi
keperluan kita. Keunggulan data sekunder adalah pada
ekonomisnya. Penggunaan data sekunder lebih murah dan lebih
sedikit waktu dari pada mengumpulkan data-data primer.
Kelemahan-kelemahannya tidak hanya berkaitan dengan
ketersediaan data sekunder yang ada tapi juga berkenaan dengan
kualitas daya yang ada.

Dan jenis terakhir adalah sumber tertier. Sumber tertier
merupakan ramuan antara sumber primer dan sekunder. Dalam
penelitian akademik, sumber-sumber tertier ini tidak begitu
banyak digunakan. Jika digunakan, pasti akan dicari sumber-
sumber lain untuk pembanding. Sejarawan juga bisa
menggunakan bibliografi, kamus, atau ensiklopedia, tapi disini
tergantung dari topic penelitiannya juga. Penelitiannya
membutuhkan atau tidak. Sebenarnya untuk menentukan suatu
sumber sejarah itu termasuk sumber sekunder atau tertier,
sejarawan mengalami kesulitan. Dalam beberapa disiplin
akademis, perbedaan antara sumber sekunder dan tertier
bersifat relatif.

Ensiklopedi, buku teks, dan compendia merupakan sumber
tertier. Mereka menggunakan benda-benda sumber dan bersifat
subjektif. Analisis dan komentarnya sangat bernuansa

Page 3 |

subjektivitas. Indeks, bibliografi, concordances, dan databases
tidak berisi informs tekstual, tetapi hanya berupa kumpulan
sumber primer dan sumber sekunder saja. Mereka ini juga
dianggap sebagai sumber tertier. Survei atau overview articles
juga disebut sumber tertier. Review articles in peer-reviewed
academic journals termasuk sumber sekunder. Tapi ada juga film,
buku, review yang dianggap primary-source opinions. Sumber-
sumber primer, seperti buku petunjuk dan manual, bisa juga
dikategorikan sebagai sumber sekunder atau tertier juga
(tergantung hakekat bendanya) bila ditulis oleh pihak ketiga.

B. Prasasti Sebagai Sumber Sejarah
Dalam masa kerajaan Hindu dan Budha, huruf dan bahasa

yang terpahat dalam prasasti mengalami perkembangan
(Susantio & Sinaulan, 2018). Pada masa klasik, yang terbanyak
adalah aksara Pallawa, Prenagari, Dewanagari, dan Jawa Kuno.
Sementara bahasa yang digunakan adalah Sanskerta, Jawa Kuno,
Melayu Kuno, Sunda Kuno, dan Bali Kuno. Pada masa selanjutnya
aksara-aksara ini berkembang menjadi Jawa Tengahan dan Jawa
Baru.

Umumnya semua prasasti menggunakan tahun Saka1.
Untuk mendapatkan tahun Masehi, kita harus menambahkan 78
tahun. Dengan demikian tahun 1455 S identik dengan 1533 M.
Kecuali bila sebuah prasasti dikeluarkan pada bulan Magha,
bulan Phalguna, atau tanggal 10 Suklapaksa sampai 15
Kresnapaksa bulan Posya, maka kita harus menambahkan 79
tahun. Meskipun begitu ada beberapa prasasti yang
menggunakan tarikh Sanjaya, misalnya Prasasti Taji Gunung,
Timbangan Wungkal, Tihang, dan Tulang Er. Permulaan tahun
Sanjaya adalah tahun 638 Saka. Artinya tahun 1 (satu) Sanjaya
identik dengan tahun 638 Saka.

Ketika itu sarana menulis bukan menggunakan tinta dan
kertas, melainkan dengan memahatkan di batu atau logam. Batu
merupakan bahan yang mudah didapat sekaligus tahan lama,
contohnya andesit, batu kapur dan basalt. Di kalangan arkeologi,
prasasti batu disebut Upala prasasti. Di luar batu, bahan yang tak
kalah awetnya adalah logam. Prasasti berbahan tembaga atau
perunggu disebut Tamra prasasti. Selain itu ada ripta prasasti,
yakni prasasti yang ditulis di atas lontar atau daun tal. Prasasti

1 Tahun saka dimulai oleh raja Saliwahana pada 78 Masehi di Pratishtana di
India (Andreanto, 2008). Tahun saka terdiri dari 12 bulan. Awal tahun saka
dimulai bulan Caitra dan akhir tahun adalah bulan Phalguna.

Page | 4

logam dan lontar relatif banyak ditemukan di Nusantara. Yang
sedikit jumlahnya tapi tergolong unik adalah prasasti berbahan
tanah liat atau tablet. Isi tablet adalah mantra-mantra agama
Buddha. Selain itu ada tulisan singkat atau inskripsi berupa
meterai (votive tablet). Yang langka, ada prasasti dituliskan di
atas lembaran perak atau emas. Prasasti demikian cenderung
menunjukkan nama orang atau raja.

Suatu prasasti batu bisa saja ditulisi pada bentuk batu
aslinya dan ada yang batunya dirubah bentuknya oleh
penulisnya. Yang terbanyak adalah berbentuk balok (segiempat),
lingga (bulat panjang), dan yupa (tiang batu). Prasasti berbentuk
stele, dengan bagian atas bulat atau lancip, juga banyak
ditemukan. Demikian halnya dengan prasasti berbentuk wadah
(jambangan, gentong, peti batu, lumbung) dan alamiah (batu
alam). Sejumlah prasasti malah dipahatkan pada bagian candi
dan badan arca.

Prasasti memberi informasi tentang kehidupan manusia
masa lalu. Informasi terbanyak adalah mengenai uang,
administrasi, birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi,
pelaksanaan hukum, keadilan, sistem pembagian kerja,
perdagangan, agama, adat-istiadat, kesenian, sengketa tanah,
pembuatan bendungan, manipulasi pajak, perjudian, dan
pelacuran. Meskipun berarti pujian, tidak semua prasasti berisi
puji-pujian kepada raja. Sebagian besar prasasti justru memuat
keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah
menjadi perdikan atau sima (tanah yang dilindungi). Sebagian
lagi berupa keputusan pengadilan tentang perkara-perkara
perdata (prasasti jayapattra atau jayasong), sebagai tanda
kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapattra),
dan berisi kutukan atau sumpah. Secara umum, bagian terbesar
dari prasasti membicarakan masalah sosial politik. Hanya sedikit
yang mengupas masalah budaya atau ekonomi, sehingga para
epigraf harus bekerja sama dengan para filolog (ahli naskah
kuno) untuk melengkapi interpretasinya.

Prasasti biasanya diberi nama oleh para peneliti dengan
didasarkan padaa empat pertimbangan. Pertama, berdasarkan
lokasi penemuan prasasti tersebut. Misalnya Prasasti Tugu,
disebut demikian karena prasasti tersebut ditemukan di
Kampung Tugu, Jakarta; Prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di
Bukit Pasir Koleangkak; dan Prasasti Ciaruteun, ditemukan di
tepi Kali Ciaruteun. Kedua, berdasarkan nama raja atau pejabat
yang mengeluarkan prasasti tersebut. Contohnya Prasasti Gajah
Mada, mengenai peresmian sebuah caitya (tempat pemujaan)

Page 5 |

oleh Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Ketiga,
berdasarkan nama tempat yang disebutkan dalam prasasti
tersebut. Contohnya Prasasti Kudadu, mengenai peresmian Desa
Kudadu menjadi perdikan dan Prasasti Tuhanaru, mengenai hak
perdikan bagi Desa Tuhanaru. Dan keempat, berdasarkan nama
bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti. Misalnya Prasasti
Wintang Mas, yang isi pokoknya mengenai pendirian bangunan
suci Wintang Mas.

Kadang-kadang beberapa peneliti memberi nama berbeda
untuk satu prasast. Tidak urung sebuah prasasti memiliki dua
atau tiga nama sekaligus karena pernah dibaca oleh beberapa
orang yang berbeda. Maklum, zaman dulu pendokumentasian
masih belum baik. Seorang epigraf, misalnya, pernah menyebut
Prasasti Gedangan, karena ditemukan di Desa Gedangan,
Sidoarjo. Tapi oleh epigraf lain dinamakan Prasasti Kancana,
karena menyinggung bangunan suci Kancana. Epigraf selanjutnya
mengidentifikasi sebagai Prasasti Bungur, karena isinya berupa
penguatan daerah Bungur sebagai perdikan. Ternyata Gedangan,
Kancana, dan Bungur mengacu pada satu prasasti yang sama.

Suatu prasasti dibuat untuk memenuhi suatu tujuan atau
maksud tertentu. Ada prasasti yang berfungsi untuk
memperingati pembangunan sebuah candi atau bangunan suci.
Prasasti Canggal (732 M), misalnya, dianggap sebagai tanda
peresmian Candi Gunungwukir, Prasasti Kalasan (778 M)
dihubungkan dengan Candi Kalasan, dan Prasasti Kelurak (782
M) diduga berkaitan dengan Candi Sewu. Ada juga prasasti yang
berfungsi untuk memperingati anugerah tanah atau penetapan
sima, seperti untuk pengelolaan bangunan suci, untuk diberikan
kepada orang yang berjasa, dan untuk pengelolaan bangunan
umum. Ada juga yang difungsikan sebagai keputusan pengadilan,
antara lain mengenai sengketa tanah, utang-piutang, dan tanda
kemenangan. Bahkan ada juga prasasti yang ditujukan untuk
mengutuk atau menyumpahi siapa saja yang berbuat tidak baik
terhadap raja dan kerajaan.

Seperti halnya buku, prasasti juga mempunyai semacam
daftar isi. Namun daftar isi setiap prasasti tidak selalu sama atau
lengkap. Jarang sekali ditemukan sebuah prasasti yang lengkap.
Prasasti yang lengkap biasanya terdiri atas sepuluh bagian.
Pertama, seruan pembukaan, berupa seruan selamat atau seruan
hormat untuk dewa. Kedua, unsur-unsur penanggalan, yang
menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan kadang-kadang
dilengkapi dengan unsur-unsur astronomik. Ketiga, nama raja
atau pejabat pemberi perintah. Keempat, nama pejabat tinggi

Page | 6

yang mengiringi, meneruskan, dan menerima perintah. Kelima,
peristiwa pokok, yaitu penetapan suatu desa atau daerah menjadi
sima. Keenam, sambandha, yakni alasan atau sebab-sebab
mengapa suatu desa atau daerah itu dijadikan sima. Ketujuh,
upacara jalannya penetapan sima. Kedelapan, daftar para saksi
atau pejabat yang hadir pada upacara penetapan sima.
Kesembilan, sumpah atau kutukan bagi siapa saja yang
melanggar atau tidak mengindahkan ketentuanketentuan yang
telah ditetapkan. Kesepuluh, bagian penutup, misalnya ditulis
atau disalin oleh siapa.

Untuk bisa mendalami isi suatu prasasti, ada langkah-
langkah yang perlu dilalui, yakni mengalihaksarakan (ke dalam
Bahasa Latin), membaca, dan menerjemahkannya. Selanjutnya
kita harus mampu menafsirkannya. Biasanya para epigraf
melakukan perbandingan dengan karya sastra (naskah) dan/atau
berita asing yang sezaman. Di lain hal, kadang baris-baris kalimat
dalam suatu prasasti sudah rusak dan tidak bisa dibaca, sehingga
seorang peneliti harus mengisinya dengan hipotesis, yang
mengandalkan kekuatan imajinasi dan kejelian si peneliti.

Dalam dunia epigrafi atau prasasti dikenal beberapa cara
untuk menganalisis suatu prasasti (Susantio & Sinaulan, 2018).
Pertama adalah analisis bentuk. Klasifikasi prasasti yang
didasarkan pada periode bisa menunjukkan suatu cirri yang
sama. Misalnya, dari masa Kerajaan A umumnya prasasti
berbentuk segi empat, sementara dari kerajaan B berbentuk
lonjong. Kedua, diplomatik, yakni memelajari bentuk prasasti,
gaya bahasa, dan ungkapan-ungkapan khusus sehingga
menunjukkan ciri-ciri prasasti dari suatu masa tertentu. Ketiga,
analisis bahan, untuk mengetahui bahan-bahan apa saja yang
umumnya dikeluarkan oleh suatu kerajaan: batu, logam, ataukah
lainnya. Kelima, analisis fungsional. Analisis ini dilakukan
berdasarkan pembacaan dan penafsiran isi prasasti. Keenam,
analisis teknologi prasasti, yakni menafsirkan bagaimana penulis
prasasti menggores atau mengukir batu maupun logam. Ketujuh,
analisis bahasa, yakni untuk mengetahui makna atau arti suatu
kata. Terkadang untuk analisis bahasa saja, para epigraf
memerlukan waktu bertahun-tahun, seperti yang pernah terjadi
pada Prasasti Wadu Tungki. Di dalam prasasti itu antara lain
disebutkan kata-kata bhalang geni (lempar api), ilang (hilang),
dan langit (udara). Setelah dikaji mendalam baru diketahui
bahwa ketiga kata itu bermakna “ada peperangan di alam terbuka
sehingga banyak orang terbunuh”.

Page 7 |

Untuk mendapatkan kebenaran pembacaan dibutuhkan
pengetahuan paleografi (ilmu yang mempelajari aksara kuno).
Contoh kesalahan pembacaan adalah demikian. Pada arca
Camundi terdapat tulisan kuno yang bagian angka tahunnya
hampir hilang. J.L. Moens dan C.C. Berg membacanya 1254 S (=
1332 M) sehingga dihubungkan dengan
Tribhuwanottunggadewi, salah seorang Raja Majapahit. Epigraf
lain L. Ch. Damais membacanya 1214 S (= 1292 M) sehingga
dihubungkan dengan Raja Kertanegara. Karena dari sebuah
kepingan prasasti disebutkan nama Sri Maharaja Digwijaya ring
Sakalaloka, yang merupakan gelar Raja Kertanegara, pembacaan
Damais lah yang kemudian diikuti.

Kesulitan lain adalah ketika menafsirkan isi prasasti.
Umumnya prasasti ditulis dengan berbagai bahasa yang sekarang
sudah tidak digunakan lagi atau disebut juga bahasa mati. Selain
itu, struktur kalimat dalam prasasti amat berbeda dengan
struktur kalimat dalam kitab-kitab sastra. Umumnya prasasti
ditulis dalam bentuk prosa, sementara karya sastra ditulis dalam
bentuk puisi (kakawin). Hal ini menyulitkan upaya perbandingan.
Kesulitan penafsiran juga disebabkan kalimat dalam prasasti
ditulis sangat ringkas dan tatabahasanya tidak selengkap pada
karya sastra. Dalam prasasti pun banyak dijumpai istilah teknis
yang tidak pernah dijumpai pada karya sastra. Contohnya
penafsiran mengenai tokoh Haji Wurawari dari Lwaram
sebagaimana disebutkan Prasasti Pucangan. Satu pendapat
mengatakan Haji Wurawari merupakan Raja Malaysia yang
diperalat oleh Sriwijaya untuk menyerang Kerajaan
Dharmawangsa Teguh. Menurut pendapat lain, Haji Wurawari
berasal dari Pulau Jawa. Soalnya gelar Haji hanya terdapat di
Jawa, begitu alasannya.

Berikut ini ada beberapa contoh prasasti yang di dalamnya
menyatakan suatu kutukan. Prasasti-prasasti tersebut adalah
prasasti Sarwadharma (AD 1269), Kudadu (AD 1294), Tuhanaru
(AD 1323), Canggu (AD 1358), Bungur A (AD 860) dan Bungur B
(AD 1367), Waringin Pitu (AD 1447), dan Pamintihan (AD 1473),
Pethak (AD 1486), Trailokyapuri I, II, and III/IV (AD I486), dan
Prapancasarapura (tanpa tahun). Semua prasasti tersebut
dikeluarkan antara tahun 1222-1486.

Prasasti-prasasti umumnya mencantumkan nama raja atau
pejabat tinggi kerajaan yang mengeluarkannya dan sistem
penanggalan juga. Prasasti-prasasti itu dipahatkan di batu atau
logam. Nama dan pejabat kerajaan yang mengeluarkan
dicantumkan. Sanksi terhadap yang melanggar keputusan yang

Page | 8

ada di prasasti itu juda dicantumkan. Sebagai suatu undang-
undang, setelah bagian tersebut adalah isi piagam. Tetapi
umumnya hampir semua prasasti berisi sima yaitu pembebasan
dari pajak untuk suatu daerah. Sejak dijadikan daerah sima,
daerah tersebut sudah tidak lagi membayar pajak kepada
kerajaan, tetapi kewajibannya itu dialihkan ke bentuk lain,
misalnya pemeliharaan bangunan suci.

Dalam beberapa prasasti, kadang dituliskan juga
sambandha. Sambandha adalah alasan pembuatan prasasti itu. Di
dalamnya terdapat alasan mengapa seorang raja atau seorang
pejabat mengeluarkan prasasti tersebut. Jadi sambandha
tersebut menjadi dasar dari seorang raja atau pejabat untuk
membuat suatu keputusan yang dituangkan dalam suatu prasasti
itu.

Prasasti-prasasti tersebut berisi peraturan-peraturan atau
keputusan-keputusan yang menyentuh langsung kehidupan
masyarakat. Hak-hak tertentu disebutkan secara jelas, misal
pemberian kebebasan dari beban pajak. Siapa saja nama orang-
orangnya dan apa saja nama jabatan disebutkan juga. Untuk
daerah yang dijadikan sima, batas-batasnya juga disebutkan
bahkan disebutkan juga tentang Sukhaduhkha (untung ruginya
pemberian sima tersebut bagi penduduk). Peresmian prasasti itu
dilakukan dengan upacara yang dihadiri oleh para pejabat dan
penduduk. Ada hadiah-hadiah yang diberikan kepada mereka
sesuai dengan pangkatnya. Perlengkapan upacara juga
disebutkan. Pada saat upacara peresmian tersebut dimeriahkan
dengan berbagai hiburan seperti tari-tarian, nyanyian dan musik.
Akan tetapi pada prinsipnya, yang terpenting dari upacara
tersebut adalah pengumuman tentang kutukan yang akan
ditimpakan bagi siapa saja yang melanggar keputusan yang
tercantum dalam prasasti tersebut. Semua prasasti yang berisi
keputusan pemberian sima selalu diakhiri dengan suatu kutukan.

C. Sastra Sebagai Sumber Sejarah
Sastra lebih berfungsi sebagai ilustrasi, metafor, simbol, dan

retorika tokoh. Karya sastra sejarah lebih banyak diwarnai oleh
imajinasi pembuatnya (Khakim, 2016). Cerita di dalamnya sudah
terpengaruh oleh lingkungan jiwa dan pemikiran penulisnya.
Artinya jiwa jaman sangat kuat mempengaruhinya. Penyampaian
isinya sangatlah bersifat subektif. Subjektivitas penulis tentu saja
sangat kuat.

Isinya harus dikonfirmasi lebih dulu dengan sumber-
sumber sejarah sejarah lain. Untuk menghindarkan

Page 9 |

subjektivisme tadi, diperlukan sumber-sumber sejarah lainnya,
seperti dokumen, arsip, dan hasil penelitian yang berfungsi untuk
mengonfirmasi kesahihan fakta yang ada. Maka dari itu melalui
pembacaan satu sumber dengan sumber lain sangat diperlukan.
Koroborasi menjadi suatu keharusan. Dengan cara koroborasi
tersebut, kita tidak terjebak dalam fiksi sebagai produk dari
imajinasi pengarang sastra tersebut.

Sastra dibangun berdasarkan imajinasi. Jiwa penulis,
lingkungan penulis, pengalaman penulis, pengembaraan jiwa
penulis menjadi bagian utama dari suatu produk sastra.
Meskipun ada fakta sejarahnya, dalam karya sastra yang
diutamakan dan yang dominan adalah imajinasi. Bisa saja penulis
karya sastra memanfaatkan realita sejarah, tapi peranan
imajinasinya sangat dominan. Kekuatan menalar dan imajinasi
penulis itu membuat suatu karya sastra menjadi sangat disukai
oleh penikmatnya, karena narasinya mengalir secara indah.

Sebuah karya sastra tentu diciptakan oleh pengarangnya.
Dia tentu saja tidak terlepas dari kreasi imajinatif. Karya sastra
sebagai dokumen realitas yaitu realitas yang telah mengalami
proses pengendapan di dalam pemikiran pengarangnya.
Pengalaman pengarang yang telah melalui proses pengamatan,
perenungan, penghayatan dan penilaian itu kemudian dibaluri
sedemikian rupa oleh kekuatan imajinasi, sehingga hasilnya
adalah refleksi realitas imajinatif.

Karya sastra menggunakan peristiwa sejarah sebagai
pangkal tolak. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan
cukup diambil dari khazanah yang telah berkembang tentang hal-
hal dari masa lampau atau dari pandangan atau alam pikiran
masyarakat saat karya itu ditulis. Maka dari itu pengarangnya
tidak perlu melakukan prosedur kritik sumber, interpretasi
sumber dan sintesa. Penulis Negarakertagama dan Pararaton
tidak melakukan prosedur tersebut.

Sejarah dibangun berdasarkan fakta. Memang penulis
sejarah berusaha untuk lebih mengutamakan realitas. Penulis
berusaha menampilkan seobyektif mungkin tentang realitas
masa lalu. Dia memiliki jarak dengan realitas. Antara apa yang
dituliskan dan apa yang telah terjadi itu memiliki jarak. Penulis
sejarah tidak mengalami jaman ketika realita yang ditulis itu
terjadi. Namun demikian imajinasi juga diperlukan. Tanpa
imajinasi penulis, sejarah menjadi kering. Akibatnya sejarah
hanya menjadi rentetan fakta saja yang tiada makna. Dengan
imajinasi penulisnya, sejarah menjadi lebih hidup dan menarik.

Page | 10

Negarakertagama dan Pararaton merupakan karya sastra.
Sebagai karya sastra sejarah, mereka tidak bisa lepas dari
pengaruh imajinasi para penulisnya, sehingga karya-karya
tersebut menjadi menarik dan disukai pada jamannya. Namun
demikian, ada informasi yang bisa digunakan untuk didalami.
Informasi tersebut perlu di-cross check dengan sumber lain dan
dengan hasil penelitian yang ada. Jika unsur-unsur imajinatif
penulisnya bisa dihilangkan, informasi dalam dua karya sastra
tersebut sangat bermanfaat bagi kita untuk menggambarkan dan
menjelaskan secara objektif tentang realitas masa lalu.

Negarakertagama dan Pararaton berisi kenyataan yang
terjadi pada masa lampau. Pemakaian realita masa lampau atau
sejarah dalam sastra seperti itu melahirkan karya sastra sejarah.
Tempat kejadian, tokoh, peristiwa dalam sejarah dipakai
sastrawan menulis karyanya yang dicampur dengan
imajinasinya. Dari fakta itu, lahir karya fiksi. Oleh karena itu tidak
salah juga dikatakan bahwa Negarakertagama dan Pararaton
dianggap sebagai fiksi sejarah.

Penulis Negarakertagama dan Pararaton berusaha untuk
mencoba menerjemahkan peristiwa sejarah dalam bahasa
imajiner. Mereka bermaksud untuk memahami peristiwa sejarah
menurut kadar kemampuannya. Peristiwa-peristiwa masa lalu
diusahakan untuk ditampilkan dalam suatu cerita yang bisa
diterima oleh masyarakatnya. Negarakertagama dan Pararaton
menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan
pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa
sejarah. Negarakertagama dan Pararaton merupakan penciptaan
kembali sebuah peristiwa sesuai dengan pengetahuan dan daya
imajinasi pengarang.

Negarakertagama, Pararaton dan Harsyawijaya juga
mengangkat fakta atau peristiwa-peristiwa factual kerajaan
Singasari. Karya sastra ini menampakkan gambaran sosiologis
dan politis tentang kerajaan Singasari dan Majapahit. Bahkan
seolah-olah dua karya sastra tersebut menarasikan fakta sejarah.
Maka dapat dikatakan bahwa dua karya sastra tersebut dapat
dianggap sebagai karya sejarah. Memang dalam beberapa hal
hakikat sastra sering dianggap tidak jauh berbeda dengan hakikat
sejarah atau bahkan sama dengan sejarah, meskipun tidak semua
karya sastra selalu mengangkat peristiwa masa lalu. Pada
prinsipnya karya sastra dan sejarah bersumber dari peristiwa
atau pengalaman masa lalu yang sudah terjadi. Maka dari itu
karya sastra dan sejarah menempatkan dirinya sebagai karya
yang merekam peristiwa masa lalu. Selanjutnya mereka itu

Page 11 |

menjadi sebuah dokumen atau catatan tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan masa lalu.

Karya sastra sebenarnya merupakan tiruan (mimeis) atas
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imitation of
reality). Karya sastra merupakan dokumen yang mencatat
realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan
pemikiran subjektif pengarang. Karya sastra merupakan hasil
refleksi realitas. Karya sastra tidak hanya melaporkan realitas itu
sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi
pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas yang
dihadirkan ditujukan untuk kepentingan pemikiran itu sendiri.

D. Multi Dokumen
Pendekatan multi sumber (multiple source approach) bisa

membawa siswa untuk melakukan strategi dan praktek yang
dilakukan oleh sejarawan (Kelly & Van Sledright, 1998). Sejarawan
melakukan tugas profesinya yang berupa: (1). Membuat uraian
peristiwa yang diteliti dengan memanfaatkan multi sumber dan
pengetahuan awal, (2) Mendiskusikan bukti-bukti sejarah, bias,
subtext, sumber sejarah yang saling bertentangan, penempatan
peristiwa menurut konteksnya, dan (3) Melakukan pendalaman
terhadap sumber sejarah dan uraian sejarah dari sumber primer,
memilih teks yang jelas referensinya. Pemahaman sejarah semakin
mendalam, bila siswsa menggunakan pengetahuan awal dan asumsi-
asumsi dalam memahami sejarah (van Sledright, 2002).

Untuk bekerja dengan multiple documents, sejarawan
menggunakan heuristics (Nokes et al, 2007). Heuristics adalah sense
making activities that help their user resolve contradictions, see
patterns, and make distinctions among different types of evidence.
Dalam menginterpretasi suatu peristiwa pada tiap teks bacaan,
sejarawan bergerak dari intertext model ke situation model.

Seorang yang mempelajari teks tunggal akan mendapatkan
suatu representasi mental yang bernama representasi literal dan
representasi interpretif. Sebaliknya seseorang yang mempelajari
beragam teks akan mendapatkan representasi mental yang dinamakan
documents representation (Nokes et al, 2007). Documents model
memiliki dua komponen yaitu intertext model dan situation model.
Intertext model merupakan representasi dari hubungan-hubungan
yang ada antar dokumen dan peristiwa-peristiwa yang ada pada tiap
dokumen. Sedangkan situation model merupakan total situation
model pada semua dokumen yang dibaca. Pemrosesan multiple texts
ini merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh sejarawan.

Memberi multiple texts yang saling kontradiktif, yang
informasinya bertentangan dan pandangan – pandangan yang berbeda

Page | 12

akan bisa membawa siswa untuk bertindak seperti sejarawan (Hynd,
1999). Siswa akan bisa melakukan pendekatan heuristics yang
kegiatannya meliputi sourcing, contextualizing, dan corrobating.
Ketika melakukan heuristics, siswa akan memperlakukan teks yang
berisi informasi sejarah sebagai argument dan bukan sebagai suatu
kebenaran.

E. Heuristik
Sejarawan melakukan beberapa tahapan dalam

penelitiannya yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Heuristik merupakan salah satu tahapan penelitian
yang harus dilalui oleh seorang sejarawan. Heuristik berasal dari
kata heuriskein (Bahasa Yunani) dan heurisricus (Bahasa Latin)
yang berarti to find out, discover (Romanycia & Pelletier, 1985).

Ada tiga heuristik yang digunakan oleh sejarawan untuk
menganalisis sumber sejarah, yaitu koroborasi (kegiatan
membandingkan antar dokumen sejarah), sourcing (melihat
sumbernya lebih dulu sebelum mendalami isi dokumen), dan
kontekstualisasi (menempatkan suatu dokumen dalam a concrete
temporal and spatial context atau konteks ruang dan waktu ketika
suatu dokumen dibuat). Tiga heuristik tersebut dapat dianggap
sebagai sense-making activities atau kegiatan untuk memahami.
Heuristik bertujuan untuk melihat hal-hal yang kontradiktif,
melihat pola-pola, dan memilah-milah bukti.

Heuristik pertama adalah sourcing. Nama lengkapnya
adalah sourcing heuristic. Ketika sejarawan mengevaluasi atau
mengkritisi suatu dokumen, dia akan melihat lebih dulu tentang
apa yang disebut dengan the source or attribution of the document.
Mayoritas waktu seorang sejarawan hanya tercurahkan pada
kegiatan sourcing heur istic ini. Dalam melihat suatu dokumen,
sejarawan memperhatikan betul tentang authorship (siapa
pembuatnya atau siapa yang mengeluarkan dokumen tersebut).
Apakah dia seorang raja, seorang pejabat? Disamping melihat
siapa yang membuat, sejarawan juga memperhatikan zaman atau
waktu pembuatan suatu dokumen. Dengan memperhatikan gaya
tulisan atau bahasanya, sejarawan berusaha memastikan dari
masa siapa suatu dokumen dibuat. Apakah pembuatannya pada
masa kerajaan Erlangga, masa kerajaan Kediri, masa kerajaan
Singasari, ataukah masa kerajaan Majapahit? Jadi pembuat,
waktu, dan tempat suatu dokumen menjadi bagian yang menyita
banyak waktu seorang sejarawan. Sourcing adalah langkah
pertama pada saat seorang sejarawan menganalisis suatu
sumber. Sourcing berkenaan langsung dengan: Kapan suatu

Page 13 |

dokumen dibuat? Siapa yang menulis? Sebagai apa jabatan dia
pada saat itu? Lebih lanjut yang harus diketahui adalah tujuan
pembuatan dokumen, nilai-nilai yang ada saat itu, dan
pandangan-pandangan yang ada saat itu.

Sourcing heuristic tersebut sangat membantu sejarawan.
Dengan mengetahui secara jelas siapa pembuat dokumen, kapan
dokumen dibuat dan dimana pembuatannya, sejarawan akan
mempunyai kerangka kerja yang digunakan untuk encoding the
text (mendalami isi dokumen tersebut). Akibatnya adalah bahwa
sejarawan bisa membuat hipotesis-hipotesis tentang isi yang ada
di dokumen dan dapat menentukan mana informasi yang benar
dan akurat. Disamping itu, dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya dan pengetahuan tentang pembuat dokumennya,
sejarawan akan memiliki text schemata, sehingga sejarawan bisa
menentukan mana-mana informasi yang dianggap penting dan
mana yang tidak,

Heuristik kedua adalah koroborasi. Koroborasi adalah
suatu kegiatan mengecek suatu informasi dari suatu sumber
sejarah dengan informasi dari sumber lain. Tujuan koroborasi
adalah supaya sejarawan tidak terjebak dalam informasi yang
invalid. Jadi koroborasi menjadi semacam great corrective. Nama
tokoh, fakta, peristiwa dan teori saling dicocokkan antara sumber
satu dengan sumber lainnya.

Heuristik ketiga adalah kontekstualisasi. Arti sederhana
dari kontekstualisasi adalah bahwa ketika sejarawan akan
merekonstruksi suatu peristiwa sejarah, dia harus
memperhatikan secara mendalam tentang kapan peristiwa itu
terjadi dan dimana terjadinya. Dalam heuristic, kata kapan
tersebut merupakan kegiatan sejarawan untuk menempatkan
peristiwa tersebut dalam suatu rangkaian kronologi. Peristiwa
apa yang mendahului, peristiwa apa yang menjadi akibatnya,
seberapa lama peristiwa itu berlangsung atau terjadi, seberapa
lama antara peristiwa itu terjadi dan penulisan peristiwa itu
merupakan kegiatan heuristic kontekstualisasi. Sedangkan kata
dimana merupakan heuristic yang menempatkan suatu peristiwa
dalam tempat terjadinya peristiwa tersebut dan menentukan
kondisi kejadiannya (letak geografi, cuaca, iklim dan keadaan
daerahnya).

Ketika sejarawan melakukan kontekstualisasi suatu
sumber sejarah, sejarawan menganalisis sumber sejarah atau
dokumen sejarah tersebut dengan memfokuskan pada perspektif
waktu dan masyarakat pada saat sumber tersebut dibuat. Tingkat
akurasi interpretasi sejarawan terhadap sumber sejarah sangat

Page | 14

tergantung pada tingkat ketepatan kontekstualisasi seorang
sejarawan terhadap sumber sejarah tersebut. Dalam
menganalisis sumber sejarah, sejarawan harus memperhatikan
konteks sejarahnya yaitu kondisi dan pandangan yang
berkembang di masyarakat saat itu.

Pandangan atau ideologi menjadi perhatian utama ketika
sejarawan melakukan kontekstualisasi sumber sejarah.
Bagaimana pandangan yang sedang berkembang di masyarakat
atau pemerintahan pada saat sumber sejarah tersebut dibuat
harus didalami oleh sejarawan. Setiap sumber sejarah dibuat
pada zamannya. Dua sumber sejarah yang dibuat di zaman yang
berbeda tentu pandangan dan ideologi juga berbeda. Suasana
kejiwaan masyarakat antar zaman berbeda pula. Sumber sejarah
dibuat pada konteksnya. Artinya adalah bahwa sumber sejarah
dibuat sesuai dengan zaman dan tempatnya. Jadi sejarawan
selalu berusaha mendudukkan sumber sejarah sesuai dengan
konteks spasial dan konteks temporalnya.

F. Koroborasi
Suatu karya sejarah disusun dengan berdasarkan pada

berbagai sumber sejarah. Antar sumber harus dikoroborasi.
Suatu sumber harus diadu atau dicocokkan dengan sumber-
sumber lainnya. Apakah itu sumber primer, sumber sekunder
atau sumber tertier harus salaing diadu atau saling dibandingkan.
Tanpa kegiatan koroborasi seperti itu, rasanya sulit sekali suatu
karya sejarahnya bisa menjadi suatu karya yang reliable. Malah
bisa saja suatu karya tersebut justru menjadi karya yang
unreliable.

Koroborasi adalah kegiatan untuk membandingkan
informasi antar sumber sejarah dan untuk menemukan
kesamaannya. Bila sumber pertama memberi informasi yang
sama dengan sumber kedua, sumber kedua tersebut
berkoroborasi (misal: mendukung atau cocok dengan sumber
pertama) dengan sumber pertama tadi. Dalam argumen sejarah,
kesimpulan kita akan semakin kuat bila sumber-sumber sejarah
yang ada berkoroborasi. Maka dari itu, kita harus mencari
sumber-sumber sejarah yang reliable, supaya klaim kita tadi
bertambah kuat. Akibatnya tingkat certainty klaim kita makin
tinggi.

Untuk memahami peristiwa sejarah atau isu sejarah, bukti-
bukti sejarahnya harus dikoroborasi. Yang dibandingkan adalah

Page 15 |

perspektif, argument, klaim, bukti. Mereka semua dibandingkan
antar sumber. Dengan kata lain, yang dibandingkan adalah satu
topik saja. Sejarawan menentukan poin-poin mana yang
bertentangan dan poin-poin mana yang sama.

Koroborasi dapat dikatakan sebagai keterampilan
mengecek fakta atau mengecek interpretasi suatu sumber
dengan sumber-sumber lainnya. Membandingkan informasi dari
berbagai sumber dalam rangka menentukan informasi atau
pernyataan atau teori yang berjodoh disebut koroborasi.
Sejarawan selalu bermain dengan multi dokumen. Dia
mengevaluasi dokumen-dokumen mana yang saling memperkuat
dan juga dokumen-dokumen mana saja yang bertentangan, dan
mengapa mereka saling bertentangan. Suatu informasi yang
belum dikoroborasi akan berakibat bahwa keputusan terhadap
informasi tersebut juga bersifat tentative. Maka dari itu informasi
tersebut harus dikoroborasi.

Mengandalkan data atau informasi hanya dari satu sumber
saja sangatlah beresiko. Bisa saja ada sumber lain yang isinya
bertentangan dengan sumber tadi. Maka dari itu sejarawan harus
membanding suatu sumber dengan sumber lain yang sezaman.
Sejarawan akan menentukan kesamaan dan perbedaan.
Seterusnya dia akan memastikan informasi-informasi mana yang
lebih reliable dan credible. Reliability disini menggambarkan
adanya the consistency of the author's account of the truth
(konsistensi kebenaran dalam dokumen). Suatu dokumen dapat
dikatakan reliable, bila dokumen tersebut memiliki a pattern of
verifiable truth-telling (yang diceritakan benar adanya semua bila
ditelusuri dan dicek dengan yang lainnya), sehinggga sejarawan
akan mempercayai keseluruhan dokumen tadi.

Page | 16

Bab 2. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari
dalam Prasasti

A. Prasasti Camundi
Prasasti Camunda atau Camundi ditemukan di Desa

Ardimulyo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang pada tahun
1927. Desa Ardimulyo sendiri berada sekitar dua kilo meter di
sebelah utara lokasi Candi Singosari. Prasasti ini dipahatkan pada
bagian belakang arca Camundi. Prasasti ini bertanggal 14
Krsnapaksa bulan Caitra 1214 Saka (17 April 1292 M), menyebut
Sri Maharaja Digwijaya ring Sakalaloka. Gelar tersebut
merupakan gelar untuk Kertanagara (Suhadi & Richadiana,
1996).

Stutterheim menghubungkan prasasti Camundi dengan
Tribhuwana dari Majapahit dan peperangan di Sadeng dan Keta
yang disebutkan di dalam Nagarakrtagama. Arca Ganesa dan
Bhairawa yang ada di sebelah kanan-kiri arca Camundi
diidentifikasi sebagai tokoh Gajah Mada dan Adityawarman.
Tentang arca Camunda ini ada yang menghubung-hubungkan
dengan arca-arca yang terpahat di sekitarnya. Tribhuwana
mempunyai hubungan bigami dengan Cakreswara, suaminya,
yang diwujudkan sebagai Bhairawa, dan Gajah Mada yang
diwujudkan sebagai Ganesa, yang ditempatkan di sebelah kiri dan
kanan dari arca Camundi.

Angka tahun 1214 Saka di prasasti dihubungkan dengan
Raja Kertanagara. Prasasti Camunda ini dikeluarkan sekitar
sebulan sebelum runtuhnya Kerajaan Singhasari usai diserang
oleh Jayakatwang. Menurut Prasasti Gajah Mada (1351 M),
serangan itu terjadi pada bulan Jyesta 1214 Saka (antara bulan
Mei-Juni 1292 M). Prasasti Camuṇḍa ini pada intinya berisi

Page 17 |

bahwa arca Bhattari Camundi itu telah ditahbiskan pada waktu
Sri Maharaja (Kertanagara) menang atas seluruh wilayah Pulau
Jawa dan menguasai dan melindungi pulau-pulau lainnya.

Prasasti Camundi ini telah dibahas secara jelas oleh Santiko
(1982). Terdapat empat buah arca kecil di Camundi. Pertama,
Arca Ganesa2 di sebelah kanan dewi. Kedua, sebelah kanan dewi,
di atas arca Ganesa, terdapat sebuah arca dewi dalam ukuran
kecil yang naik seekor ikan. Tangan kanan di depan dada,
sedangkan tangan kiri telah patah. Ketiga, arca Bhairawa3
terdapat di sebelah kiri arca dewi, menari di atas rangkaian
tengkorak. Dan keempat, di sebelah kiri dewi di atas arca
Bhairawa terdapat sebuah arca dewi ukuran kecil, tetapi sudah
sangat rusak, sehingga tidak dapat dikenali.

Di belakang arca Camundi terdapat prasasti. Adapun isi
prasastinya adalah sebagai berikut :
Transkripsi Prasasti Camuṇḍa:
(nama) scamundyai
1. Z/0/1 . . (s)w(as)t (i sa) ka warsatita
2. caitramasa, tithi. (cat)urdasi krsna (pak)sa (tuwa)
3. r wara julung pujut, paseimatha grhacara aswini naksatra
(dewa)
4. ta mahendra (ma)ndala pritiyoga waifajya muhurtta
sakunikarana ( m ) e
5 sarasi// tatkala kapratistan paduka bhattari makatewek huwus
6. (s)ri (ma)haraja digwijaya ring sakalaloka manuluyi sa(kala
dwipantara) // su(bha)m bhawatu //

Terjemahan :
Hormat untuk Camundi
1 . //0/ / Selamatlah tahun Saka telah berjalan

2 Ganesa dipuja sebagai dewa penolak rintangan. Kaum ksatria atau panglima
militer sangat membutuhkan dia. Dalam kitab Smaradhana, ganesa
digambarkan sebagai makhluk penghancur dan perusak hanya dengan
kepalanya saja. Dia digambarkan sebagai diwa yang memberi bantuan kepada
pemujanya.
3 Bairawa dianggap sebagai dewa pelindung dan juga sekaligus sebagai dewa
penghancur. Dia merupakan perwujudan dari dewa Siwa.

Page | 18

2. bulan Caitra4 tanggal 14 paro-gelang tunglai5, wagai6, julung
pujut, paseimastha grhacara7 aswini (naksatra8, dewa)
4. ta mahendramandala, pritiyoga, waifajya, muhurtta
5 sarasi /Z ketika diresmikan (arca) paduka batari sejak
6. Sri Maharaja (sang) penakluk seluruh dunia, telah
menaklukkan seluruh pulau // Semoga berbahagia //

Untuk memahami arca camunda ini, ada dua sarjana
Belanda yang telah mendalaminya yaitu F.D.K. Bosch dan W.F.
Stutterheim. F.D.K. Bosch mengajukan pendapat bahwa arca
tersebut ialah arca Guhyeswari (dewi pelindung segala sesuatu
yang bersifat rahasia) dalam agama Buddha. Bentuk krodha Adi
Tara atau Adi Prajnaparamita, yang khusus dipuja sebagai dewi
pelindung di Nepal. Pendapat Bosch ini berdasarkan uraian
dalam naskah Brhatswayambhu Purana, sebuah naskah agama
Buddha dari Nepal. Menurut naskah tersebut ciri-ciri Guhyeswari
ialah bermata tiga, berdiri di atas mayat, memegang pisau dan
mangkuk tengkorak. Tubuhnya ditandai dengan lima mudra dan
pada mahkotanya terdapat relief lima Dhyani-Buddha.
Sedangkan sebutan bhattari sering dipakai untuk menyebut Tara

W.F. Stutterheim berpendapat bahwa arca Dewi tersebut
memakai pakaian, sisa-sisanya jelas terdapat pada kaki, yang
berupa garis-garis pakaian. Stutterheim lebih condong
mengidentifikasi dewi tersebut dengan Bhairawi. Arca Bhairawi

4 Dalam penanggalan Jawa Kuna terdapat 12 bulan dalam satu tahunnya,
masing-masing bernama Caitra (Maret-April), Waiśakha (April-Mei), Jyeşţa
(Mei-Juni), Asada (Juni-Juli), Śrawana (Juli-Agustus), Bhadrawada (Agustus-
September), Asuji (September- Oktober), Karttika (Oktober-November),
Mãrggaśira (November-Desember), Posya (Desember-Januari) Magha
(Januari-Pebruari), dan Phalguna (Pebruari-Maret). Penulisan bulan pada
prasasti biasanya diikuti oleh kata mãsa (bulan), misalnya Caitramãsa
(Maziyah, 2018).
5 Siklus 6 hari terdiri atas Tunglai (disingkat Tu/Tung), Haryang (Ha),
Wurukung (Wu), Paniruan (Pa), Was (Wa), dan Mawulu (Ma).
6 Siklus 5 hari terdiri atas Pahing (disingkat Pa), Pon (Po), Wagai (Wa),
Kaliwuan (Ka), dan Umanis (U).
7 Grahacãra menunjukkan letak kedudukan planet-planet. Letak kedudukan
grahacãra ditunjukkan dengan menyebut arah mata angin, yaitu purwwa
(timur), dakşina (selatan), paśśima (barat), uttara (utara), aiśanya (timur laut),
agneya (tenggara), nairiti (barat daya), dan bayabya (barat laut).
8 Nakşatra artinya bintang atau gugusan bintang. Dengan demikian
penyebutan nakşatra dalam prasasti adalah bintang atau gugus bintang yang
terlihat pada saat tertentu. Di dalam astronomi Jawa Kuna terdapat 27 nama
nakşatra, dan seluruhnya bersiklus 322 hari. Nama beserta konstelasinya dari
setiap nakşatra dapat dibaca dalam naskah Agastyaparwa. Sedangkan dewatã
adalah perhitungan penanggalan yang menggunakan nama-nama dewa yang
dipercayai menguasai dan mengawasi dalam kurun waktu tertentu.

Page 19 |

dari Leiden tersebut tidak mempunyai mata ketiga dan Dhyani-
Buddha di mahkotanya. Pendapatnya ini lebih kuat setelah
Stutterheim dapat membaca kalimat teratas pada prasasti di
belakang arca, yang berbunyi scamundau dan akhiran au ialah
huruf permulaan dari kata di belakangnya yang sudah rusak.

Angka tahun prasasti telah rusak. Akan tetapi Goris
membaca . . .254 Saka (1332 M) dan jatuh pada pemerintahan
Tribhuwana. Baris keenam dilengkapi oleh W. F. Stutterheim
dan akhir kalimat berbunyi mawuyung yi sa (deng). Menurut
Stutterheim prasasti ini dihubungkan dengan perbuatan
Tribhuwana yang telah menaklukkan Sadeng dan Keta seperti
yang diberitakan oleh Nagarakertagama pupuh LX X: 3. Camunda
ialah perwujudan Tribhuwana, sedangkan Gajah Mada yang
bertindak sebagai panglima perang diwujudkan sebagai Ganesa.
Bhairawa, menurut Stutterheim ialah perwujudan
Adityawarman yang ketika itu masih tinggal di istana Majapahit
dan belum menjadi raja di Malayu. Sedangkan perwujudan
Adityawarman sebagai Bhairawa Buddha yakni Amoghapasa
terdapat di candi Jago.

J.L. Moens telah membubat teori tentang tradisi raja-raja
Jawa ketika itu. Menurut Moens, Tribhuwana yang menjalankan
bigamy. Kertawardhana (Cakreswara) ialah suami Tribhuwana
yang diwujudkan sebagai Bhairawa. Gajahmada, yang
diwujudkan sebagai Ganesa ialah ayah alami Hayam Wuruk.
Tradisi demikian, menurut Moens bukanlah suatu hal yang luar
biasa bagi raja-raja Jawa. Untuk kepentingan pemerintahan
Hayam Wuruk telah diangkat anak oleh Kertawardhana dan
dijadikan putera mahkota.

C.C. Berg telah menghubungkan pula prasasti tersebut
dengan perang Sadang dan Keta, walaupun sebelumnya L. Ch.
Damais telah membaca angka tahun prasasti sebagai 1214 Saka
(1297 M). Jadi bukan dari jaman Tribhuwana melainkan dari
jaman Kertanegara. Berg masih tetap berpendapat bahwa
prasasti tersebut dibuat pada jaman Tribhuwana dan tidak
menggambarkan apa yang terjadi pada tahun 1214 S. Menurut
Berg, Tribhuwana sengaja mempergunakan tahun
pemerintahan Kertanegara, karena ingin mengerjakan suatu hal
yang sama dengan Kertanegara. Kertanegara adalah seorang
Pacifist yang berusaha membentuk persekutuan secara damai
dengan seluruh Nusantara untuk bersama-sama menghadapi
Tiongkok (Kubilai-Khan). Isi prasasti menggambarkan suatu
kekuatan atau kekerasan. Raja Kertanegara gugur ketika
diserbu oleh Jayakatwang. Selanjutnya Berg berpendapat bahwa

Page | 20

prasasti dibuat atas perintah Tribhuwana ketika akan
menyerang Sadeng dan Keta. Tribhuwana ingin melakukan hal
yang sama dengan Kertanegara, yaitu mempersatukan
Nusantara. Jadi akhirnya dualism tentang arca Camunda
menunjuk pada dua orang, yakni Kertanegara dan Tribhuwana.

Damais memberi nama Scamundyai dan bukan
Camundau. Hal itu mempunyai arti: Hormat untuk Camundi.
Berdasarkan angka tahun yang dibaca Damais, yakni 1214 Saka,
menunjukkan bahwa arca Camundi dibuat pada zaman
Kertanegara dan bukan pada zaman Tribhuwana.

Camundi atau Camunda di India memiliki satu aspek Durga.
Dalam cerita Dewimahatmyam III. Durga sangat marah ketika
melawan dua raksasa bersaudara yakni Canda dan Munda dan
dari keningnya muncullah dewi Kali dalam bentuk yang sangat
menakutkan. Ia membawa pedang, pasa (jerat leher), khatwanga
(pemukul berujung tengkorak). Ia memakai kalung rangkaian
tengkorak manusia, lidah terjulur, memakai baju kulit harimau,
bermata merah, tubuh kurus dan berteriak sangat menakutkan.
Dalam perang melawan raksasa Canda dan Munda, Kali
memperoleh kemenangan, sehingga sejak itu Kali dikenal dengan
nama Camunda.

Peristiwa kedua dalam Dewimahatmyam, Camunda telah
membantu Sapta Matrka (tujuh orang sakti ibu), membunuh
Raktawija. Suami dari Sapta Matrka yakni Brahmi (Sakti dewa
Brahma), Maheswari (sakti Mahesrena) tidak diundang, dan juga
karena diejek-ejek oleh ayahnya pada upacara tersebut. Sebagai
protes, Sati bunuh diri. Ketika Siwa mengetahui bahwa isterinya
telah bunuh diri, ia sangat marah dan berubah dalam bentuk ugra
untuk membunuh Daksa. Jumlah arca Camundi sebagai Sapta-
Matrka tidak tujuh, melainkan hanya satu, tidak menjadi
persoalan, karena di India sendiri terdapat arca (relief) Sapta-
Matrka yang dewi-nya berjumlah hanya dua atau tiga saja. Nama
Camundi di India biasanya dipakai untuk menyebut Camunda
dalam kelompok Sapta-Matrka. Di India, dijumpai arca Sapta-
Matrka yang diapit oleh Virabhadra (Bhairawa) yang sedang
menari.

Di atas Ganesa terdapat sebuah arca dewi yang sedang naik
ikan, diperkirakan ialah Varahi dalam kelompok Sapta-Matrka.
Hanya disayangkan bahwa tangan arca telah patah sehingga tidak
dikenal laksana apa yang dipegangnya. Demikian pula arca yang
terdapat di sebelah atas Bhairawa telah rusak sehingga tidak
dikenal lagi.

Page 21 |

Kertanegara mengadakan upacara yang bersifat magis,
dengan mendirikan arca Camundi dalam bentuk (kelompok)
Sapta-Matrka dalam rangka menghadapi ancaman Kubilai Khan
(Santiko, 1982). Sapta Matrka merupakan bentuk kekuatan
(vibhuti) Durga Mahisasuramardini yang disebut di dalam cerita
Dewimahatmyam. Dalam bagian cerita tersebut diceritakan
ketika Durga melawan raksasa Sumbha dan Nisumbha, Sumbha
marah dan berkata bahwa Durga terlalu sombong akan
kesaktiannya, tetapi ternyata mengandalkan tenaga orang lain
(tujuh sakti). Dijawab oleh dewi bahwa tujuh dewi tersebut
hanyalah bentuk kekuatan (vibhuti) sang dewi. Untuk
membuktikannya, tujuh dewi (Sapta Matrka) kembali bersatu ke
tubuh Durga. Durga Mahisasuramardini apabila dipuja oleh
golongan ksatrya, akan menghasilkan: memberi perlindungan
dan kesejahteraan bagi rakyatnya, memperkuat kedudukannya,
dan mencapai kemenangan terhadap semua musuh. Kertanegara
memilih, Arca Camundi dan bukan arca Durga
Mahisasuramardini, karena dalam upacara Tantra lebih tepat
mempergunakan bentuk Durga sebagai Camundi.

Hubungan antara kemenangan yang diperoleh dan
pemujaan seorang batari telah pula disebut di dalam sebuah
prasasti raja Erlangga yaitu prasasti Terep. Prasasti Terep yang
berangka tahun 954 Saka, menghubungkan kemenangan
Erlangga dengan pemujaan seorang bhattari arcariipa. Adapun
bagian prasasti yang memuat berita tersebut adalah sebagai
berikut:

1. sambandha rake pankaja dyah tumambong mapanji
tumangala. sira manambah i paduka sri maharaja majar an
hana pa

2. tapan anaran i trp paranira palaradan ri kala sri maharaja
katalaya sanke wwatan mas mara i patakan

3. nana ta sira bhatari arccarupa kapangih irikang patapan i
trp ika - na ta rakwa rake pankaja dyah tumambong maII.b
.

4. prarthana ri jayasatru sri maharaja ring samara sampun
pwa pratisubaddha palunguh sri maharaja ring
ratnasinha.

5. sana mwang sampun karahatan musuh nira ring samara
ike bala sahananya. ika ta nimitta rake pankaja.

6. dyah tumambong sumembah paduka sri maharaja
tamuhwakna pratijna nira ri bhatari ri trp ri
swatantranikang patapan.

7. i trp sthana bhatari

Page | 22

Terjemahan selengkapnya dalam Bahasa Indonesia adalah
seperti berikut :

1. sebabnya Rakai Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji
Tumanggala (ia) menyembah kepada paduka Sri
Maharaja, mengatakan bahwa ada.

2. pertapaan bernama Terep tempatnya pelarian ketika Sri
Maharaja terdesak dari Wwatan Mas menuju ke Patakan.

3. Adalah batari berwujud arca dijumpai di pertapaan Terep.
Di sana konon Rake Pangkaja Dyah Tumambong.

4. berdoa supaya sri Maharaja menang atas musuh di
medan perang (serta) sudah kuat kedudukan sri
Maharaja di ratna singha

5. sana dan musuh sudah terkalahkan di medan perang
hingga bala tentaranya. Itulah sebabnya rakai Pangkaja

6. Dyah Tumambong berwujud (kepada) Paduka Sri
Maharaja agar melaksanakan janjinya kepada batari di
Terep akan keswatantraan pertapaan.

7. Terep tempat bhatari
Dari prasasti Terep dapat diketahui bahwa raja Erlangga

pernah terdesak oleh musuh dan terpaksa meninggalkan
istananya di Wwatan Mas. Dalam pelariannya ke tempat
pengungsiannya di desa Patakan, dia singgah di pertapaan Terep
desa Kambang Sri, daerah Pangkaja (daerah Pangkaja dyah
Tumambong). Ketika itu Rakai Pangkaja Dyah Tumambong telah
berdoa di hadapan seorang batari berbentuk arca, agar Erlangga
dianugerahi kemenangan. Ketika Erlangga telah menang dan
telah teguh kembali kedudukannya, Rakai Pangkaja Dyah
Tumambong memohon agar daerah pertapaan Terep dijadikan
daerah perdikan untuk keperluan pembiayaan pertapaan tempat
batari.

B. Prasasti Singasari/Gajahmada
Prasasti Singasari ditulis dengan aksara Jawa Kawi. Prasasti

Singhasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari,
Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di
Museum Nasional Indonesia dengan kode D.111.

Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah
caitya atau candi kecil. Candi tersebut dibangun atas perintah
mahapatih Gajahmada dimana pada saat itu yang memerintah
kerajaan Majapahit adalah Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
Diperkirakan Caitya yang dibangun tersebut adalah salah satu
candi kecil yang ada di sekitar Candi Singosari. Yang dikenang
tersebut adalah Mahabrahmana Sewasogata yaitu para

Page 23 |

pendeta dari aliran Rsi, Saiwa dan Bauda, yang ikut meninggal
bersama Kertanagara ketika Singasari diserang musuh. Prasasti
Singasari ini juga dinamakan Prasasti Gajahmada, sesuai
dengan nama yang menyuruh pembuatan caitya tersebut.

Prasasti Gajahmada atau prasasti Singasari tersebut
menginformasikan bahwa pada tahun 1351 Mahapatih
Gajahmada meresmikan suatu bangunan suci yang telah
direnovasi. Bangunan tersebut dipersembahkan untuk leluhur
raja yang bernama Kĕrtanagara. Kemungkinan besar Prasasti
Gajahmada ini berhubungan erat dengan Candi Singasari.
Artinya adalah bahwa bangunan Caitya yang dibangun kembali
tersebut diperkirakan sebagai Candi Singasari tersebut. Pendapat
itu sangat beralasan karena mengingat bahwa prasasti
Gajahmada tersebut ditemukan tidak jauh dari candi Singasari.
Baik Negarakertagama atau pun Prasasti Gajahmada menyebut
bahwa Kertanegara bergelar Sang Siwa-Budha. Sedangkan
Candi Singasari itu sendiri memiliki karakteristik Siwa dan
Budha.

Prasasti ini memiliki dua bagian yaitu A dan B. Bagian
pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat
terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa.
Bagian kedua mengemukakan maksud prasasti ini, merupakan
pariwara sebuah caitya. Transkripsi Prasasti Singasari berbunyi:

1. / 0 / 'i śaka; 1214; jyeṣṭa māsa; irika diwaśani
2. kamoktan. pāduka bhaṭāra sang lumah ring śiwa buddha

/’; /’ swa-
3. sti śri śaka warṣatita; 1273; weśaka māsa tithi pratipā-
4. da çuklapaks.a; ha; po; bu; wara; tolu; niri tistha graha-
5. cara; mrga çira naks.atra; çaçi dewata; bâyabya mandala;
6. sobhanayoga; çweta muhurtta; brahmâparwweśa;

kistughna;
7. kâran.a wrs.abharaçi; irika diwaça sang mahâmantri

mûlya; ra-
8. kryan mapatih mpu mada; sâksat pranala kta râsika de

bhatâ-
9. ra sapta prabhu; makâdi çri tribhuwanotungga dewi

mahârâ
10. ja sajaya wisnu wârddhani; potra-potrikâ de pâduka bha-
11. târa çri krtanagara jñaneçwara bajra nâmâbhisaka sama-
12. ngkâna twĕk rakryan mapatih jirṇnodhara; makirtti caitya

ri
13. mahâbrâhmâna; śewa sogata samâñjalu ri kamokta-

Page | 24

14. n pâduka bhaṭâra; muwah sang mahâwṛddha mantri linâ ri
dagan

15. bhatâra; doning caitya de rakryan mapatih pangabhaktya-
16. nani santana pratisantana sang parama satya ri pâda

dwaya bhatâ-
17. ra; ika ta kirtti rakryan mapatih ri yawadwipa maṇḍala /
Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia selengkapnya adalah:
1. Pada tahun 1214 Saka (1292 Masehi) pada bulan Jyestha

(Mei-Juni) ketika itulah
2. sang paduka yang sudah bersatu dengan Siwa uddha.
3. Salam Sejahtera! Pada tahun Saka 1273 (1351 Masehi),

bulan Waisaka
4. Pada hari pertama paruh terang bulan, pada hari Haryang,

Pon, Rabu, wuku Tolu
5. Ketika sang bulan merupakan Dewa Utama di rumahnya

dan (bumi) ada di daerah barat laut.
6. Pada yoga Sobhana, pukul Sweta, di bawah Brahma pada

karana
7. Kistugna, pada rasi Taurus. Ketika sang mahamantri yang

mulia. Sang
8. Rakryan Mapatih Mpu (Gajah) Mada yang beliau seolah-

olah menjadi perantara
9. Tujuh Raja seperti Sri Tribhuwanotunggadewi Mahara-
10. perbuatan yang berguna Jaya Wisnuwarddhani, semua

cucu-cucu Sri Paduka
11. Almarhum Sri Kertanegara yang juga memiliki nama

penobatan Jñaneswarabajra
12. Dan juga pada saat yang sama sang Rakryan Mapatih

Jirnodhara yang membangun sebuah candi pemakaman
(caitya) bagi kaum
13. Brahmana yang agung dan juga para pemuja Siwa dan
Buddha yang sama-sama gugur
14. Bersama Sri Paduka Almarhum (=Kertanagara) dan juga
bagi para Mantri senior yang juga gugur bersama-sama
dengan
15. Sri Paduka Almarhum. Argumen diabangunnya candi
pemakaman ini oleh sang Rakryan Mahapatih ialah agar
berbhaktilah
16. Para keturunan dan para pembantu dekat Sri Paduka
Almarhum.
17. Maka inilah kontruksi sang Rakryan Mapatih di bumi
Jawadwipa.

Page 25 |

Prasasti Gajahmada tersebut memulai dengan menyebut
kematian (kamokten) Raja Kertanegara pada tahun saka 1214
bulan Jyesta. Dalam prasati tersebut, Kertanegara disebut
dengan Paduka Bhaṭāra sang lumah ring Siwa Buddha. Setelah
dihitung oleh para ahli, tanggal tersebut bertepatan dengan 18
May-14 Juni 1292 Masehi. Bagian prasasti yang ini disebut
dengan Prasasti Gajahmada bagian A.

Sedangkan, Prasasti Gajahmada bagian B dimulai dari baris
ketiga hingga baris ketujuh belas. Bagian ini dimulai dengan
penjelasan saat pembuatan prasasti tesebut. Kemudian
menjelaskan tokoh-tokoh yang penting. Diakhiri dengan
menjelaskan alasan mengeluarkan prasasti yaitu untuk membuat
bangunan suci Caitya. Bagian B ini menyebutkan bahwa Rakryan
Mapatih Mpu Mada membangun kembali caitya. Renovasi
bangunan suci tersebut diabdikan untuk Paduka Bhaṭāra
(Kĕrtanagara), Mahābrāhmāṇa, Śewa (Śaiwa), dan Sogata yang
telah meninggal bersama-sama dan Sang Mahawrĕddhamantri
yang terbunuh. Tertulis dalam Parasasti Gajahmada bagian B
pada baris 11 hingga 15 adalah: samaṅkāna twĕk rakryan
mapatiḥ jirṇṇodhara, makirtti caitya ri mahābrāhmāṇa, śewa
sogata, samaṅdulu(r) ri kamoktan pāduka bhaṭāra, muwaḥ saŋ
mahāwrĕddhamantri linā ri dagan bhaṭāra.

Pendirian Aksobya memiliki motivasi politis. Kertanegara
diberi gelar Jñanaśiwabajra, Jñaneśwarabajra dan
Jñanabajreśwara. Gelar-gelar itu menunjukkan bahwa dia
beragama Siwa-Budha. Nama Jñanaśiwabajra disebutkan di
prasasti Wurare. Nama Jñanabajreśwara disebutkan dalam
Nagarakertagama. Kata Iśwara dan Śiwa menunjukkan unsur-
unsur agama Hindu Siwa, sedangkan kata bajra menunjukkan
unsur Buddha Tantrayana. Aksobya adalah penguasa arah timur
pada Budha Mahayana. Kertanegara mengidentikkan dirinya
dengan Aksobya yang bertujuan untuk menghadapi ancaman dari
Kubilai Khan. Kubilai Khan menguasai arah barat dan bergelar
Jina Mahāmitabha. Sebaliknya Kertanegara menguasari arah
timur dan bergelar Jina Mahaksobya di prasasti Wurare 1289.

Prasasti ini menyatakan bahwa Gajahmada hanya menjadi
perantara saja. Dia hanya mewakili Bathara Sapta Prabu dan para
cucu Kertanegara. Bathara Sapta Prabu ini merupakan semacam
dewan penasehat pemerintahan Majapahit. Dewan itu
beranggotakan orang-orang terdekat raja. Saat itu dewan
tersebut dikepalai oleh Śri Tribhuwana Tuṅgadewi
Mahārājasa Jaya Wiṣṇuwārddhani. Kertanegara disebutnya
dengan nama abiseka yaitu Jñaneśwarabajra. Hal itu terlihat

Page | 26

jelas pada baris 7 hingga 11: irika diwaśa saŋ mahāmantri mukya,
rakryan mapatiḥ mpu mada, sakṣat praṇalakta rāsika bhaṭāra
saptaprabhu, makādi śri Tribhuwanotuṅgadewi mahārājasa
jayawiṣṇuwārddhani, potra potrikā de pāduka bhaṭāra śri
krĕtanāgara jñaneśwarabajra namābhiṣekā.

Gajahmada menerima jabatan patih hamengkubumi dari
Tribuanatunggadewi (ibu dari Hayam Wuruk) sebagai
penghargaan atas keberhasilannya. Gajahmada diberi jabatan
tersebut, setelah dia dapat membasmi pemberontakan Keta dan
Sadeng pada 1331. Menurut Pararaton, setelah pemberontakan
tersebut, Gajahmada menyampaikan sumpah Palapa di depan
Tribuanatunggadewi dan para pejabat Majapahit. Seperti juga
gagasan Kertanegara yang menginginkan implementasi konsep
Cakrawala Mandala yaitu penguasaan dengan kuat seluruh
nusantara, Gajahmada ingin melanjutkan juga. Mahamantri
Mukya Rakryān Mapatiḥ adalah nama jabatan resmi dalam
kerajaan Majapahit. Posisi ini dapat disamakan dengan Perdana
Menteri atau Mantri Mukya atau Patih Hamangkubumi atau
Rakryān Mapatiḥ. Pejabat ini memimpin Dewan Menteri
(Rakryān ri Pakirakirān). Jabatan-jabatan Rakryān Mapatiḥ
dan Rakryān ri Pakirakirān mulai ada sejak awal kerajaan
Majapahit berdiri ketika dibawah kekuasaan raja Kĕrtarājasa
Jayawarddhana (Raden Wijaya).

Tribhuwanottuṅgadewī adalah ibu dari Hayam Wuruk.
Dia merupakan putri sulung dari Rajapatni Gayatri. Rajapatni
Gayatri adalah salah satu anak dari Kĕrtanagara dan menjadi
istri dari Kertarajasa (Raden Wijaya) pendiri kerajaan
Majapahit. Tribhuwanottuṅgadewī memberikan tahta kepada
Hayam Wuruk pada 1350. Hanyam Wuruk langsung bergelar
Sri Rajasanegara. Meskipun Tribhuwanottuṅgadewī sudah
tidak bertahta lagi, dia masih sangat berpengaruh dalam
pemerintahan Majapahit. Dalam prasasti Gajahmada tersebut,
yang disebut adalah nama Tribhuwanottuṅgadewī dan bukan
nama Hayam Wuruk. Pada hal saat itu yang menjadi raja adalah
Hayam Wuruk. Tribhuwanottuṅgadewī merupakan orang
yang paling terkemuka dalam Bathara Sapta Prabu. Pada 1362
Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara srada
untuk memperingati wafatnya nenek Hayam Wuruk yang
bernama Rajapatni Gayatri.

Kertanegara sangat taat menjalankan uparaca Tantra. Dia
merupakan pengikut Budha Tantrayana yang beraliran
Kalacakra. Negarakertagama menyebutnya aliran Tanra
Subhuti. Subhuti adalah salah seorang pengikut Budha. Nama

Page 27 |

Subhuti tercantum dalam teks kitab Mahayana yang bernama
Prajnaparamita. Tantra yang diikuti Kertanegara itu berasal dari
Subhuti tersebut. Kitab Sang Hyang Kamahayanikam ditulis
pada masa Mpu Sindok abad 10 telah menyebut suatu kitab
agama Budha yang bernama Sang Hyang Tantra Bajradhatu
Subhuti. Akan tetapi Kĕrtanagara juga menjadi pengikut agama
Siwa. Candi Singasari sebagai tempat pendharmaan Kertanegara
juga memiliki unsur-unsur Hindu Śaiwa Tantra dan dibangun
untuk memuja Siwa.

C. Prasasti Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan

penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh
bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan
tembaga yang diterbitkan oleh Kertanagara pada tahun 1255
sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya yang bernama
Wisnuwardhana9. Kumpulan lempengan Prasasti Mula
Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak
sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota
Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali
ditemukan juga. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan
di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

9 Menurut kitab Negarakertagama raja Wisnuwardhana meninggal pada tahun
1192 Saka atau 1270 Masehi. Ketika Jayawisnuwardhana meninggal, abunya
dibagi menjadi dua dan disimpan didua candi yaitu dicandi Jago dan Waleri.
Wisnuwardhana dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa,12 sedangkan
dicandi Jago berlambang arca Budha. Pendharmaan di Waleri sampai saat ini
belum dapat diketahui lokasinya, akan tetapi dicandi Jago masih dapat
diidentifikasi yaitu sebagai Budha Amoghapasa yang terletak didesa Tumpang
Malang. Perwujudan Wisnuwardhana sebagai Amoghapasa mempunyai tujuan
yang disesuaikan aturan agama. Apabila ditaruh di tempat yang sama yakni
tempat Mpu Bharadah bertapa, maka dapat menangkis dan menetralisir
kekuatan gaib tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan gaib atau
spiritual yang dimiliki raja, dirangsang dengan melakukan perbuatan-
perbuatan yang sakral sehingga menjadi lebih kuat untuk melindungi kerajaan
dan membinasakan bahaya. Raja Wisnuwardhana berhasil naik tahta dengan
kedudukan yang sah (Damayanti & Suparwoto. 2016). Sehingga, raja
Wisnuwardhana berhasil menguasai Kediri dan Tumapel sekaligus
mempersatukan kembali dua kerajaan yang telah terpisah. Mahisa Cempaka
sebagai Ratu Angabhaya bergelar Narasinghamurti. Negarakertagama
mengiaskan pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan
Narasinghamurti sebagai kerjasama antara Madhawa (Wisnu) dan Indra.
Dengan demikian sengketa antara keturunan Tunggul Ametung dan Ken Arok
telah selesai sejak terbentuknya pemerintahan Wisnuwardhana dan
Narasinghamurti.

Page | 28

Prasasti tersebut diperkirakan terdiri atas sepuluh

lempeng, namun lempengan kedua, keempat, dan keenam tidak
ditemukan. Isinya adalah sebagai berikut:
1. Lempengan pertama berisi perintah Kertanagara untuk
menerbitkan prasasti sebagai piagam pengesahan

anugerah Bhatara Parameswara dan Seminingrat,
sebagai penguasa Jawa.
2. Lempengan ketiga berisi pengabdian Pranaraja terhadap
raja-raja sebelumnya. Kertanagara disebut sebagai putra

Seminingrat dan Waning Hyun. Waning Hyun adalah putri
Parameswara. Pengganti Parameswara

adalah Guningbhaya lalu Tohjaya. Sepeninggal Tohjaya,
Seminingrat menyatukan kembali kerajaan Tumapel.

3. Lempengan kelima berisi kesetiaan Pranaraja terhadap
Seminingrat. Juga berisi puji-pujian untuk Seminingrat.
4. Lempengan ketujuh berisi lanjutan nama-nama raja
bawahan yang diangkat Seminingrat, antara lain

Kertanagara di Kadiri dan Jayakatwang di Gelang-
Gelang.
5. Lempengan kedelapan berisi ungkapan terima kasih para
abdi yang dipimpin Ramapati atas anugerah raja.
6. Lempengan kesembilan berisi anugerah untuk Pranaraja

adalah desa Mula dan desa Malurung. Disebutkan pula
bahwa Seminingrat adalah cucu Bhatara Siwa pendiri
kerajaan.
7. Lempengan kesepuluh berisi perintah Seminingrat melalui

Ramapati supaya Kertanagara mengesahkan anugerah
tersebut untuk Pranaraja.
8. Lempeng 2 dari tamraprasasti Mula Malurung ditemukan di
sebuah ruko di pasar Rebo Kota Kadiri pada tahun 2000

beserta lempeng IV dan VI, sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta.

Pranaraja yang mendapat hadiah desa Mula dan Malurung
disebutkan sebagai seorang pegawai kerajaan Kadiri yang pernah

mengabdi pada tiga raja sebelum Kertanagara yaitu Bhatara
Parameswara, Guningbhaya, dan Tohjaya. Kertanagara saat
itu (1255) baru menjadi raja bawahan di Kadiri, dan tentu belum
menjadi raja Singhasari. Hadiah untuk Pranaraja telah dijanjikan
oleh Seminingrat raja Tumapel. Seminingrat lalu

memerintahkan putranya, Kertanagara untuk
melaksanakannya. Seminingrat di sini merupakan nama lain
dari Raja Wisnuwardhana. Tokoh Pranaraja juga ditemukan
dalam Pararaton sebagai pembantu Tohjaya yang mengusulkan

Page 29 |

supaya Ranggawuni dan Mahisa Campaka dibunuh. Rupanya
pengarang Pararaton secara samar-samar mengetahui adanya
tokoh bernama Pranaraja yang pernah mengabdi pada Tohjaya.
Namun karena tidak mengetahui jasa-jasanya, maka Pranaraja
pun dikisahkan sebagai seorang penghasut.

Dari prasasti Mula Malurung ini, kita mendapati fakta-fakta
baru yang berbeda dengan Negarakertagama dan Pararaton.
Pendiri Kerajaan Tumapel bernama Bhatara Siwa. Bhatara Siwa
adalah nama lain Sang Rajasa alias Ken Arok. Kadiri setelah
ditaklukkan Tumapel tidak diserahkan pada Jayasabha putra
Kertajaya (menurut Nagarakretagama), melainkan diperintah
oleh Bhatara Parameswara anak dari Bhatara Siwa. Bhatara
Parameswara digantikan adiknya, bernama Guningbhaya.
Guningbhaya digantikan kakaknya, bernama Tohjaya. Tohjaya
adalah raja Kadiri, bukan raja Singhasari (menurut Pararaton).
Sepeninggal Tohjaya, Kadiri disatukan dengan Tumapel oleh
Seminingrat (alias Wisnuwardhana). Kertanagara putra
Seminingrat diangkat sebagai raja bawahan di Kadiri karena ia
lahir dari Waning Hyun putri Bhatara Parameswara. Jayakatwang
menantu Seminingrat diangkat sebagai raja bawahan di Gelang-
gelang (sekarang adalah daerah di selatan Madiun).

Kedudukan Ken Arok sebagai pendiri dinasti tidak dicatat
dalam prasasti yang dikeluarkan atas namanya saat itu, tetapi dia
disebut-sebut di dalam prasasti yang dikeluarkan oleh cucunya.
Kedudukan Ken Arok sebagai peletak dasar Kerajaan Singasari
didukung oleh sumber epigrafi, yang dikeluarkan oleh cucunya,
Wisnuwardhana, dalam prasasti Mula Malurung dan prasasti
Maribong. Prasasti Mula Malurung bertarikh 1177 Saka (1255 M)
dikeluarkan oleh Raja Sminingrat atau Wisnuwardhana,
lempeng II.b.2-3 menginformasikan bahwa kakek (kaki) Raja
Sminingrat adalah ia yang meninggal di tahta kencana (sang lina
ring … dampar mas). Beliau ditahbiskan dan diarcakan sebagai
Wisnu (maka swarupang wisnwarcha) pada Sang Hyang Dharma
di Kagenengan. Lempeng IX.a baris 6-7 menyebutkan dengan
nama Bhatara Siwa yang meninggal di tahta kencana (dampa
kanaka), sebagai pendiri kerajaan yang kini berada dalam
kekuasaan Sminingrat (makasawana pandiri lmahi talapakan ra
sanhuluna) dan pelindung bagi seluruh pulau Jawa serta telah
menaklukkan pulau-pulau lainnya (pinakaichatra ning bhuwana
sayadwipamandala anuluyani nusantara). Pada lempeng IIb: 2–3
menegaskan kakek Sminingrat yang meninggal dunia di kursi
emas didharmakan di Kagenengan dalam wujud arca Wisnu.
Prasasti Maribong (Trawulan II) bertarikh 1186 Saka (1264 M)

Page | 30

dikeluarkan oleh raja yang sama, menyebutkan bahwa kakeknya
telah berhasil menentramkan dan mempersatukan dunia
(swapita-mahastawanabhinnasranta lokapala).

Munandar (1986) telah membahas prasasati Mula
Malurung secara gamblang. Prasasti Mula Malurung dituliskan
pada sepuluh buah lempengan tembaga, dan ditemukan pada
tahun 1975 di daerah Kediri, Jawa Timur. Huruf dan bahasa yang
dipergunakan dalam prasasti itu adalah Jawa Kuna. Sebenarnya
sepuluh lempengan tembaga itu tidak merupakan prasasti
lengkap, yang didapati hanyalah lempengan bernomor 1, 2, 3, 5,
7, 8, 9, 10, 11 dan 12. Lempeng nomor 12 bukanlah lempengan
terakhir sebab di akhir uraiannya terdapat kalimat yang belum
selesai, hingga kemungkinan masih ada lanjutannya pada satu
atau dua lempengan lagi.

Raja-raja Singhasari yang disebutkan dalam prasasti Mula
Malurung adalah sebagai berikut:

1. Ken Arok atau Bhatära Siwa
Ken Arok sebagai pendiri dinasti Singasari tercatat dalam
prasasti yang dikeluarkan oleh cucunya, Wisnuwardhana, dalam
prasasti Mula Malurung dan prasasti Maribong. Prasasti Mula
Malurung bertarikh 1177 Saka (1255 M) dikeluarkan oleh Raja
Sminingrat atau Wisnuwardhana, lempeng II.b.2-3
menginformasikan bahwa kakek (kaki) Raja Sminingrat adalah
ia yang meninggal di tahta kencana (sang lina ring … dampa
[l/r]mas). Beliau ditabiskan dan diarcakan sebagai Wisnu (maka
swarupang wisnwarccha) pada Sang Hyang Dharma di
Kagenengan. Lempeng IX.a baris 6-7 menyebutkan dengan
nama Bhatara Siwa yang meninggal di tahta kencana (dampa
kanaka), sebagai pendiri kerajaan yang kini berada dalam
kekuasaan Sminingrat (makasawana pandiri lmahi talapakan ra
sanhuluna) dan pelindung bagi seluruh pulau Jawa serta telah
menaklukkan pulau-pulau lainnya (pinakaicchatra ning
bhuwana sayadwipamandala anuluyani nusantara). Pada
lempeng IIb: 2–3 menegaskan kakek Sminingrat yang
meninggal dunia di kursi emas didharmakan di Kagenengan
dalam wujud arca Wisnu. Prasasti Maribong dikeluarkan oleh
Wisnuwardhana pada 1248 Masehi. Ia memerintah pada
tahun 1248 - 1268 bergelar Sri Jayawisnuwarddhana Sang
Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana
Kamaleksana. Prasasti Maribong menyebutkan bahwa
kakeknya telah berhasil menentramkan dan mempersatukan
dunia (swapita-mahastawanabhinnasranta lokapala). Prasasti
lain yang menyinggung adanya tokoh Ken Arok adalah Prasasti
Balawi 1227 Saka dan Prasasti Kusmaala.1272 Saka.

Page 31 |

2. Rämanira Naräryya Waninghyun
Tokoh ini tidak diketahui namanya, tetapi kedudukannya
sebagai ayah Naräryya Waninghyun, sebagai mertua dan
juga paman Naräryya Sminingrät. Tokoh ini disebutkan
dalam lempeng III.a:1- 2 dan secara tersamar dalam barisi
lempeng yang sama, menunjukkan bahwa tokoh ini pernah
berkuasa di Singhasari.

3. Naräryya Guning Bhaya
Tokoh ini disebutkan dalam lempeng III.a: 7, ia naik tahta
menggantikan tokoh "ayah Naräryya Waninghyun".
Naräryya Guning Bhaya juga paman dari Naräryya
Sminingrät.

4. Naräryya Toh Jaya
Tokoh ini disebutkan dalam lempeng III.b: 1-2. Menjadi raja
Singhasäri menggantikan adiknya Naräryya Guning
Bhaya, dan juga paman dari Nararyya Sminingrät.

5. Naräryya Seminingrät
Setelah Toh Jaya wafat, kedudukannya digantikan oleh
keponakannya, yaitu Naräryya Sminingrät. Hal ini
disebutkan dalam lempeng IV.b: 3-4. Nama Naräryya
Sminingrät dijumpai pula dalam prasasti Maribong yang
berangka tahun 1248 M dan prasasti yang berangka tahun
1358 M. Nama tersebut ialah gelar Panji dari
Wisnuwardhana, raja Singhasäri yang menurut
Negarakrtagama memerintah antara tahun 1248-1268 M
(Negarakertagama pupuh 41) .
Susunan raja-raja Singhasari menurut sumber-sumber

sebelumnya banyak didasarkan pada berita Negarakrtagama dan
Pararaton. Beberapa buah prasasti yang dikeluarkan oleh raja-
raja tersebut dapat pula dijadikan data untuk memperkuat bukti
kesejarahannya. Namun ada beberapa raja yang tidak pernah
atau belum ditemukan prasasti-prasastinya, akibatnya timbul
anggapan yang meragukan apakah benar raja-raja tersebut
sebagai tokoh sejarah yang pernah hidup. Menurut kitab
Nagarakrtagama dan Pararaton serta beberapa prasasti masa
Singhassri, susunan raja-raja Singhasari ialah sebagai berikut:

Raja yang dianggap sebagai pendiri dinasti Rajasa dan
pertama memerintah ialah Sri Ranggah Rajasa, demikian
menurut Negarakrtagama. Menurut Pararaton raja ini bernama
Ken Angrok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang
Amurwabhumi. Pengganti Sri Ranggah Rajasa ialah Anusapati
(Anusanatha). Seperti halnya Ranggah Rajasa raja ini pun tidak
mengeluarkan prasasti atau prasasti-prasastinya belum

Page | 32

ditemukan. Sumher sejarah utama tentang raja ini hanya
diperoleh dari Nagarakratagama dan Pararaton.

Menurut Nagarakrtagama, Anusapati memerintah dari
tahun 1149 S/1227 M sampai tahun 1170 S/1248 M. Selama
pemerintahannya negara dalam keadaan aman sentosa. Dalam
Pararaton diberitakan bahwa Anusapati naik takhta setelah
melakukan pembunuhan terencana terhadap ayah tirinya, Ken
Angrok. Pada tahun 1171 S/1249 M Anusapati terbunuh oleh
muslihat adik tirinya, Toh Jaya, dalam arena sabung ayam.

Pengganti Anusapati menurut Nagarakrtagama adalah raja
Wisnuwardhana yang memerintah bersama-sama dengan
Narasinghamurtti. Tetapi di dalam Pararaton disebutkan bahwa
Toh Jaya pernah pula memerintah di Tumapel, walau dalam
waktu yang tidak begitu lama antara tahun 1171 S-1172 S/1249-
1250 M. Diabaikannya nama Toh Jaya dalam Nagarakrtagama
mungkin ada hubungannya dengan tujuan penulisan
Nagarakrtagama itu sendiri yang merupakan suatu karya sastra
pujaan terhadap raja Hayam Wuruk.

Dengan disebutkannya nama Toh Jaya dalam
Nagarakrtagama bobot pujaan terhadap raja Hayam Wuruk
beserta para leluhurnya akan terasa berkurang. Masa
pemerintahan Toh Jaya tidak menyenangkan sebab memutuskan
deretan raja-raja Singhasari-walaupun Toh Jaya ini masih
merupakan anggota Rajasawangsa-yang berhubungan darah
dengan raja-raja Majapahit. Itulah sebabnya nama Toh Jaya tidak
disebut-sebut dalam Nagarakrtagama.

Mungkin sekali Wisnuwardhana mulai memerintah tak
lama setelah kematian Toh Jaya, yaitu pada tahun 1172 S/1250
M. Angka tahun ini dicatat dalam Pararaton, namun dalam
Nagarakrtagama tidak disebutkan pada tahun berapa
Wisnuwardhana mulai memerintah. Pada tahun 1176 S/1254 M
Wisnuwardhana menobatkan putranya Kertanagara menjadi
raja muda. Daerah Kutaraja, ibu kota Tumapel kemudian
berganti nama menjadi Singhasari. Nama Singhasari ini
kemudian dipakai seterusnya untuk nama seluruh kerajaan.
Selain dalam Nagarakrtagama dan Pararaton, nama
Wisnuwardhana disebutkan pula dalam beberapa prasasti,
antara lain dalam prasasti Pakis Wetan tahun 1188 S/1267 M,
prasasti Maribong tahun 1188 S/1264 M (menurut angka tahun
pembacaan L. Ch. Damais), dan prasasti Wurare tahun 1211
S/1289 M. Pada tahun 1190 S/1268 M Wisnuwardhana wafat
dan didharmakan di dua tempat, di Waleri sebagai Saiwa (Hindu)
dan di Jajaghu sebagai Sugata (Buddha).

Page 33 |

Raja terakhir Singhasari ialah Kertanagara yang menjadi
raja setelah kematian Wisnuwardhana dan Narasinghamurtti.
Di antara raja-raja Singhasari yang terkenal dalam sejarah ialah
Kertanagara. Raja inilah yang mempunyai gagasan perluasan
kerajaannya yang meliputi wilayah pulau-pulau di luar Pulau
Jawa (Nusantara). Untuk melaksanakan cita-citanya itu
Kertanagara mengadakan beberapa kegiatan, antara lain
mengirimkan ekspedisi ke Malayu pada tahun 1197 S/1275 M,
menghancurkan perusuh di dalam negeri, yaitu Cayaraja pada
tahun 1192 S/1260 M dan Mahisa Rangkah pada tahun 1202
S/1280 M. Hal lain yang juga dilakukannya ialah mengadakan
pergeseran jabatan penting dalam kerajaan. Misalnya seorang
pejabat, Arya Wiraraja, yang tidak dipercayainya kemudian
dijauhkan dari pusat pemerintahan menjadi adipati di Sumenep,
Madhura. Selain itu terjadi pengunduran diri patih Raganatha
menjadi adyaksa di Tumapel karena tidak sesuai dengan
pandangan politik Kertanagara; kedudukan patih kemudian
digantikan oleh Sang Apanji Aragani.

Kertanagara berakhir kekuasaan di kerajaan Singhasari
pada tahun 1214 S/1292 M pada saat pasukan raja Jayakatwang
menyerang ibu kota Singhasari. Dalam Nagarakrtagama
diberitakan alasan penyerangan itu karena Jayakatwang ingin
berkuasa di wilayah Kadiri (Nag.49:1). Menurut Pararaton niat
yang timbul dalam diri Jayakatwang untuk menyerang Singhasari
dikarenakan adanya nasehat dari Arya Wiraraja-penguasa
Madura-supaya memberontak terhadap kekuasan Kertanagara.
Akibatnya seperti telah diketahui dalam sejarah, Kertanagara
terbunuh dalam peristiwa tersebut. Raden Wijaya, salah seorang
menantunya berhasil menyelamatkan diri untuk kemudian dapat
mempertahankan kelanjutan dinasti Rajasa.

Jika diperhatikan sejarah Kerajaan Singhasari terutama
mengenai susunan dan pergantian raja-raja yang pernah
memerintah berdasarkan sumber-sumber sebelumnya,
terlihatlah seakan-akan uraian tersebut telah lengkap dan
menjadi kisah sejarah yang dipercaya kebenarannya. Setelah
didapatkan data sejarah baru dari prasasti Mula Malurung yang
berhubungan dengan Kerajaan Singhasari, uraian sejarah
Singhasari perlu diperhatikan kembali dan sedikit banyak akan
mengubah pandangan lama yang telah ada.

Dalam prasasti Mula Malurung disebutkan raja-raja yang
pernah berkuasa di Singhasari, di antara raja-raja tersebut ada
yang tidak dikenal dalam sumber-sumber lain seperti
Nagarakrtagama dan Pararaton. Menginat prasasti itu

Page | 34

dikeluarkan pada saat Kerajaan Singhasari masih berdiri,
tentunya berita yang disebutkan di dalamnya dapat dipercaya
kebenarannya dari pada uraian Negarakrtagama dan Pararaton
yang disusun jauh setelah keruntuhan Singhasari.

Ternyata dalam prasasti Mula Malurung terdapat
penyebutan adanya raja lain yang memerintah sebelum Toh Jaya,
yaitu Narâryya Guning Bhaya tanpa disebutkan tahun
pemerintahannya, nama ini tidak dikenal dalam Nagarakrtagama
ataupun Pararaton. Nararyya Guning Bhaya juga berarti Agni
Bhaya, salah seorang anak Ken Angrok dengan Ken Dédés.

Anusapati juga tidak disebutkan dalam prasasti Mula
Malurung, yang menurut Nâgarakrtâgama dan Pararaton
mendahului pemerintahan Toh Jaya di Singhasari, yang
disebutkan ialah seseorang yang merupakan "ayah Narâryya
Waning Hyun atau mertua Naräryya Seminingrät
(Wisnuwardhana). Tidak adanya nama Anusapati dalam
prasasti Mula Malurung bukan berarti tokoh tersebut tidak
dikenal pada saat penulisan prasasti. Kemungkinan nama
Anusapati beserta nama sebenarnya "ayah Naräryya Waning
Hyun" disebutkan dalam lempeng prasasti yang hilang atau
belum ditemukan.

Hal lain yang menarik adalah tidak disebutkannya nama
Narasinghamurtti-yang menurut Nägarakrtägama dan
Pararaton memerintah bersama-sama dengan Wisnuwardhana,
tetapi yang disebutkan adalah justru seorang tokoh yang
bernama Bhatära Parameswara. Namun demikian jika susunan
raja-raja Singhasäri yang tercantum di Nägarakrtägama dan
Pararaton digabung dengan prasasti Mula Malurung, akan
didapatkan suatu daftar raja-raja yang mungkin agak lengkap,
apalagi jika disertai dengan raja-raja daerah.

Raja-raja yang disebutkan dalam prasasti Mula Malurung
jelas merupakan raja-raja Singhasäri (Munandar, 1986). Namun
menurut Slamet Mulyana ada beberapa di antara raja tersebut
yang berkuasa di Kadiri. Bhatära Parameswara yang
diidentifikasikan dengan Mahisa Wongateleng, Nararyya
Guning Bhaya, dan Naräryya Toh Jaya adalah penguasa-
penguasa Kadiri. Sementara itu Singhasari diperintah oleh
Anusapati yang kemudian digantikan oleh Nararyya
Sminingrat. Penggabungan Kerajaan Kadiri dan Singhasäri
terjadi pada masa pemerintahan Nararyya Sminingrat;
sebelumnya kedua kerajaan tersebut berdiri sendiri terpisah satu
sama lain

Page 35 |

Sesuai dengan berita yang didapat dari Nagarakrtagama
pada saat Singhasari mencapai kemegahannya, Kadiri tetap
diperintah oleh keturunan Kertajaya. Berita dari prasasti Mula
Malurung menyatakan bahwa raja-raja keturunan Ken Angrok
tidak menduduki takhta Kadiri. Pergantian raja-raja yang terjadi
dan diuraikan dalam prasasti Mula Malurung itu berlangsung di
Singhasari. Takhta Kadiri pernah pula diduduki oleh salah
seorang dari Rajasawangsa, yaitu Nararyya Murddhaja
(Kertanagara). Duduknya Kertanagara di takhta Kadiri hanya
menjadi raja muda (yuwaraja) saja. Dia memerintah di sana
dalam waktu yang relatif lama antara tahun 1255-1268 M.
Penempatan Krtanagara untuk memerintah di Kadiri adalah hal
yang menarik perhatian. Seharusnya Jayakatwang yang lebih
berhak untuk memerintah wilayah tersebut. Menurut beberapa
sumber Jayakatwang masih keturunan raja-raja Kadiri. Terlebih
lagi menurut prasasti Mula Malurung, Jayakatwang adalah
suami Turuk Bali, putri Nararyya Seminingrat yang ditunjuk
untuk menjadi penguasa Wurawan dengan ibu kotanya Glang
Glang dan Jayakatwang yang mendampinginya.

Baik Paraton, Harsyawijaya ataupun Negarakertagama
menyatakan bahwa Jayakatwang menyerang Singasari. Menurut
Pararaton, Jayakatwang menyerang Singhasari setelah
mendapat nasehat dari Arya Wiraraja penguasa Madura bahwa
telah tiba saat yang baik untuk menyerang Singhasari, karena
keadaannya sekarang sedang lemah sehubungan dikirimkannya
tentara Singhasari ke Malayu. Isi nasehat tersebut dalam
Pararaton disampaikan dalam bentuk kiasan. Kidung
Harsawijaya10 menguraikan, Jayakatwang diberitahu oleh

10 Kidung Harsawijaya menceritakan tentang jatuhnya kerajaan Singasari dan
muncul kerajaan baru Majapahit. Kerajaan Singasari dipimpin oleh Raja
Narasinga yang berputera Harsawijaya. Harsawijaya adalah seorang pemuda
cerdas, tampan dan gagah berani. Sepeninggal raja Narasinga tahta kerajaan
diwariskan kepada sepupu raja, Kertanegara sampai Pangeran Harsawijaya
sudah cukup umur untuk menggantikan tahta ayahnya. Namun selama masa
Kertanegara kerajaan Singasari mengalami kemunduran, dan banyak
Brahmana dan para penjabat mengundurkan diri karena tidak setuju dengan
cara yang ditempuh oleh Kertanegara. Dan ketika Harsawijaya sudah cukup
umur untuk dijadikan Raja, Kertanegara meemutuskan untuk menyerahkan
kedua putrinya Puspawati dan Pusparasmi kepada Harsawijaya untuk
dijadikan istri. Kemudian Anengah, mengusulkan agar diadakannya ekspedisi
untuk menyerahkan kedua putrinya Dara petak dan Dara jingga kepada
Harsawijaya untuk dijadikan permaisuri. Raganata pun sudah
memperingatkan bahwa Jayakatwang, Raja kadiri sudah lama tidak
mengahadap ke Singasari namun peringatan itu diabaikan dan istanapun

Page | 36

patihnya Mahisa Mundarang bahwa nenek moyangnya, raja
Kadiri dahulu dikalahkan oleh buyut penguasa Singhasari
sekarang, Kertanagara, yang bernama Ken Angrok. Adalah
kewajiban seorang ksatrya untuk menuntut balas kekalahan itu
dan menghapus aib yang pernah menutupi keluarga raja-raja
Kadiri (Harsawijaya 2:18.a-20.b). Nagarakrtagama pupuh 44
menyatakan bahwa Jayakatwang menyerang Singhasari karena
ingin berkuasa di wilayah Kadiri. Semua uraian mengenai latar
belakang penyerangan Jayakatwang dari karya sastra tersebut
nampaknya perlu mendapat tambahan dari berita prasasti Mula
Malurung, yaitu memang Jayakatwang adalah keturunan raja-
raja Kadiri yang akhirnya sadar setelah dinasehati oleh Arya
Wiraraja dan Mahisa Mundarang bahwa sebenarnya sebagai
keturunan Kadiri seharusnya ia berkedudukan di Kadiri,
bukannya di Wurawan. Dia sepantasnya sebagai pemegang
pemerintahan daerah tersebut (raja daerah) bukan hanya
sebagai pendamping permaisurinya, Turuk Bali. Hal-hal itulah
yang membuat Jayakatwang merasa berkewajiban untuk dapat
berkuasa di wilayah Kadiri seperti yang disebutkan dalam
Nagarakrtagama. Jayakatwang menunggu saat yang baik untuk
melaksanakan rencananya, yaitu pada saat tentara Singhasari
sedang melakukan ekspedisi Pamalayu yang berangkat pada
tahun 1197 S/1275 M.

Penyerangan itu sendiri terjadi pada tahun 1214 S/ 1292 M.
penyerangan tersebut menjadi pemusnah kejayaan kerajaan
Singhasari dan untuk sementara waktu Dinasti Rajasa berakhir.
Akan tetapi kejayaan dinasti Rajasa yang pernah berkuasa di
Singhasari nantinya berlanjut pada saat anggota Rajasawangsa
lainnya berkuasa di Majapahit.

D. Prasasti Wurare/Joko Dolog
Suatu arca yang dinamakan arca Joko Dolog ditemukan di

daerah Kandang Gajak. Kandang Gajak termasuk dalam wilayah
desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di
tahun 1817, arca ini dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron

dibiarkan dengan pasukan yang sedikit. Akhirnya ekspedisi dimulai ari Tuban.
Melihat keadaan istana yang tidak dijaga oleh pasukan maka Wiraraja penjabat
yang dipecat pada masa pemerintahan Narasinga menggunakan kesempatan
ini untuk balas dendam. Wiraraja akhirnya mengutus anaknya Wirondaya
untuk datang ke Kadiri untuk menghasut Jayakatwang agar ia memberontakan
kerajaan Singasari.

Page 37 |

A.M. Th. de Salis, dan saat ini terletak di Jalan Taman Apsari,
Kelurahan Embon Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya,
Provinsi Jawa Timur. Di lapik arca ini terdapat tulisan yang
sampai sekarang disebut Prasasti Wurare.

Prasasti Wurare ditulis dalam bahasa Sansekerta dan
bertarikh 1211 Saka [21 November 1289]. Sementara tulisan
prasasti ada di atas lapik arca Buddha terpahat melingkar
dibagian bawah. Prasasti berbentuk sajak yang terdiri dari 19
bait, di antaranya menceritakan tentang seorang pendeta sakti
bernama Arya Bharada yang membelah tanah Jawa menjadi dua
kerajaan dengan air ajaib dari kendinya. Masing-masing belahan
menjadi Janggala dan Pangjalu. Pembelahan dilakukan untuk
menghindari perang saudara antara dua pangeran yang ingin
berperang memperebutkan kekuasaan kerajaan.

Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya
memperingati penobatan arca Mahaksobhya11 di sebuah
tempat bernama Wurare. Karena tempatnya itulah, nama
prasastinya disebut Prasasti Wurare. Arca tersebut sebagai
penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari
kerajaan Singhasari, yang oleh keturunannya dianggap telah
mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Upacara resmi
kenegaraan ditujukan untuk menobatkan Kertanagara sebagai
Jina, gelaran keagamaan yang diberikan bagi seseorang yang
mempunyai derajat tertinggi dalam keagamaan Budha, Jina atau
Buddha Agung.

Sebenarnya arca Mahaksobya ini pada awal mulanya
berada di tempat dimakamkannya Kertanagara sendiri,
sekarang dikenal dengan Candi Singosari, entah kenapa sampai
berada di daerah Wurare. Sebenarnya sejak Hayam Wuruk
melakukan perjalanan keliling Jawa Timur keberadaan arca ini
sudah hilang dimana hal itu tercantum dalam Negarakertagama
pupuh 55 bait ke-3, pupuh 56 bait dan pupuh 57. Hal yang patut
diingat dalam pupuh tersebut bahwa kehilangan Arca
Mahaksobya ini sudah dianggap sepantasnya atau layak dan
diduga telah hilang ke Nirwana. Menurut kisahnya bahwa arca

11 Ada dua arca amoghapasa yang terkenal di Indonesia (Miksic, 2007). Satu
ditemukan di candi Jago. Ada prasasti yang tertulis di arca tersebut. Tulisannya
berbunyi bahwa pada tahun 1268, Raja Wisnuwardhana meninggal dimana dia
didharmakan di candi Jago sebagai bodhisattwa Amoghapasa dan
didharmakan di Waleri sebagai Dewa Siwa. Satu arca Amoghapasa lainnya
adalah yang dikirim oleh Kertanegara ke Melayu pada abad 13. Di balik arca
ini ada prasasti dengan angka tahun 1286 menyebutkan bahwa suatu arca
Amoghapasa Lokeswara diserahkan dari Bumi Jawa ke Suwarnabumi dan
didirikan di Darmasraya sebagai hadiah untuk Raja Wiswarupa.

Page | 38

itu hilang bersamaan dengan sambaran petir. Diperkirakan
hilangnya itu terjadi pada 1253 atau 1331 Masehi, satu satu
tahun setelah Hayam Wuruk lahir. Alas kaki-kakinya dari Candi
Singosari, bagian bawah candi bernuansa agama Siwa tetapi
bagian atasnya berwarna bangunan Budha. Bentuk candi
tersebut diuraikan dalam Negarakertagama pupuh 56 bait ke-2.

Seperti dikisahkan dalam beberapa karya sastra, pada akhir
masa pemerintahan Airlangga12, (raja keturunan Bali,
memerintah tahun 990-1049 Masehi) Kerajaan Medang terbagi
menjadi dua, Kerajaan Panjalu (Panjalu) yang berada di belahan
barat dan Jenggala yang berada di belahan timur. Batas wilayah
antara keduanya adalah sepanjang Kali Brantas dengan luas
Daerah Aliran Sungainya (DAS) 11.800 km² atau ¼ dari luas
Provinsi Jawa Timur dan berakhir di Muara sungai Porong.

Meskipun diusahakan dengan cara-cara seperti di atas,
nampaknya perdamaian masih belum saja terwujud. Kedua belah
pihak sebagai keturunan Airlangga masih saling mengklaim

12 Airlangga yang lahir tahun 1000 adalah putra Raja Udayana (Bali) dan
Mahendradata atau yang dikenal dengan Gunapriyadarmapatni (putri Raja
Sindok dari Jawa) dimana pada saat ditunangkan tahun 1016 dengan putri
Darmawangsa teguh keraton Darmawangsa diserbu hancur (Miksic, 2007).
Semasa memerintah, ia mengeluarkan tidak kurang dari 33 prasasti yang
terbuat dari batu ataupun logam (Susanti, 2010). Salah satu prasasti yang
memuat silsilahnya adalah prasati Pucangan 1037. Menurut silsilah yang
dibuatnya, Airlangga adalah keturunan Raja Pu Sindok dari garis perempuan
karena ibu Airlangga adalah cucu Pu Sindok yang menikah dengan Raja Bali
dari dinasti Warmadewa. Pu Sindok adalah pendiri Dinasti Isyana yang
memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa pada 929–948. Pada usia 16
tahun, Airlangga dikirim ke Jawa untuk menikah dengan putri Raja
Dharmawangsa, tetapi pada perayaan pernikahan itu kerajaan diserang oleh
Raja Wurawari; terjadilah Pralaya pada 1016. Airlangga mendirikan ibu kota
kerajaan dengan nama Kahuripan, tetapi dimana letaknya sampai sekarang
belum ditemukan. Akan tetapi menurut Boechari (1976), dia memindahkan
ibukota dari Watan Mas ke Kahuripan. Dari beberapa prasasti yang
dikeluarkannya, terbukti bahwa Airlangga membuat bangunan-bangunan suci
keagamaan Hindu (Rahadi, 2013). Prasasti Patakan menyebutkan
pembangunan tempat suci Sang Hyang Patahunan di Patakan. Prasasti Terep
1032 M menyebutkan bangunan suci Patapan I Trep. Prasasti Kamalagyan/
Kalagen 1037 M menyebutkan bagunan suci Sang Hyang Dharma
Ringcanabhawana Mangaran I Surapura di Kamalagyan. Prasasti Pucangan
959 S menyebutkan pertapaan suci di lereng pegunungan Pugawat. Prasasti
Pucangan Jawa kuno 1041 M menyebutkan bangunan pertapaan di
Kapucangan. Prasasti Gandhakuti 1042 M menyebutkan bangunan suci di
Kambang Sri yaitu dharma Gandhakuti i Kambang Sri. Dna Prasasti Turun
hyang A yang memuat nama bangunan suci yang dibuat raja Airlangga yaitu
Sang Dharma Patapan.

Page 39 |

sebagai pewaris kekuasaan tunggal Kerajaan Medang. Perang
saudara pun terus berkelanjutan, saling mengalahkan bergantian,
sampai pada kisaran tahun 1144 saka atau 1222 Masehi,
kerajaan-kerajaan itu dikuasai oleh Panjalu atau Kerajaan Kediri
dengan nama rajanya Kertajaya (Nagarakertagama pupuh 44
bait 2).

Mitos pembagian darerah ini diuraikan pula oleh Naskah
Nagarakertagama, berita itu sebagai berikut:
Pupuh ke- 68

1. nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti,
mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ
yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/
panak/ ri saɳ rwa prabhu.

2. wanten bodda mahayanabrata pgat/ riɳ tantra yogiçwara,
saɳ mungwiɳ tnah i çmaçana ri lmah citrenusir niɳ jagat,
saɳ prapteɳ bali toyamargga manapak/ wwainiɳ tasik
nirbhaya, kyatiɳ hyaɳ mpu bharada woda ri hatitadi
trikalapageh.

3. rahyaɳ tekhi pinintakasihan amarwaɳ bhumi tan
langhyana, inanyeki tlas/ cinihnanira toyeɳ kundi sankeɳ
lanit, kulwan/ purwwa dudug rin arnnawa maparwaɳ lor
kidul tan madoh, kadyadoh mahlet/ samudra tewekiɳ
bhumi jawa rwa prabhu.

4. nkai riɳ tik/ tiki wrksa rakwa sutapararyyan/ sankeɳ
ambara, naɳ deçeɳ palunan tikaɳ pasalahan/ kundi
praçasteɳ jagat, kandeg/ deni ruhur nikaɳ kamal i
puñcaknyanawit/ ciwara, na hetunya sinapa dadyalita
tekwan/ mungwiri pantara.

5. tugwangöh nika tambayiɳ jana padars mintareɳ swasana,
etunyan/ winanun sudarmma waluyaɳ bhumi jawatungala,
sthityaraja sabhumi kawruhananin rat (122b) dlaha tan
lingara, cihna çri nrapatin jayeɳ sakhalabhumin/
cakrawartti prabhu.

Terjemahannya adalah sebagai berikut:
1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan
Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena
cinta raja Erlangga kepada dua puteranya.
2. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga,
Diam di tengah kuburan Lemah Citra, jadi pelindung rakyat,
Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan,
Hyang Mpu Barada nama beliau, faham tentang tiga
zaman.

Page | 40

3. Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah
negara, Tapal batas negara ditandai air kendi, mancur dari
langit, Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara,
selatan, Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh
samudera besar.

4. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam,
Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan,
Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya
mengait jubah, Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam
agar jadi kerdil.

5. Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui, Itu pula
sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi, Semoga
Baginda serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya
dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu.
Tercatatlah seorang yang bernama Arya Bharada (disebut

juga Mpu Bharada) adalah penasihat keagamaan dari Airlangga,
peristiwa itu seolah-olah ingin menggambarkan bahwa
pembagian kerajaan menjadi dua kerajaan itu sudah
mendapatkan restu dari Sang Maha Pencipta, diharapkan semua
pihak bisa menerima pembagian tersebut, karena bukan hanya
keinginan Airlangga, tetapi kehendak Langit. Nama Mpu
Bharada muncul juga dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh
yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon
Arang, seorang janda sakti dari desa Girah.

Cerita ini menegaskan bahwa pembagian wilayah sudah
direstui oleh kehendak Sang Pencipta, sehingga kedua belah
pihak, masyarakat beserta seluruh komponennya harus
menerima kenyataan ini. Siapa pun itu, bagi yang melanggar
harus siap-siap menerima sangsi agama, kasaranya berarti harus
berurusan dengan akhirat kelak.

Kertanegara sendiri adalah raja keturunan keempat13
dari Dinasti Rajasa, dengan raja pertamanya Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi, Kerajaan Tumapel yang kemudian berubah
namanya menjadi Singosari seiring kepindahan kotaprajanya ke
Singosari yang akhirnya nama ini lebih dikenal menjadi nama
kerajaan, lalu kemudian Majapahit masih merupakan satu garis

13 Dari kitab Pararaton didapatkan keterangan bahwa pada masa awal
kerajaan Siṅhasāri ada tiga orang raja yang berturut turut memerintah
menggantikan yang lainnya dengan jalan pembunuhan. Ketiga raja tersebut
ialah Tuṅgul Amĕtuṅg, kemudian Ken Aṅrok yang digantikan oleh anak tirinya
yang bernama Anusapati setelah ia berhasil menyuruh seorang pengalasan
untuk membunuh Ken Aṅrok. Akhirnya, Tohjaya anak Ken Aṅrok dari Ken
Umaṅg berhasil membunuh Anūsapati dan menggantikannya menjadi raja.

Page 41 |


Click to View FlipBook Version