The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dretnowati21, 2021-08-14 23:48:29

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Keywords: Raja,Singasari,dokumen,histori

nagapuspa yang sedang berbunga. Disisinya lukisan puteri istana
berseri-seri.
Sementara Baginda girang cengkrama menyerap pemandangan.
Pakis berserak di tengah tebar bagai bulu dada. Ketimur arahnya
dibawah terik matahari, Baginda meninggalkan candi,
pekalongan girang ikut jurang curam.

Pupuh 58
Tersebut dari Jajawa Baginda berangkat ke Desa Padameyan.
Berhenti di Cunggrang, mencari pemandangan, masuk hutan
rindang. Kea rah asrama para pertapa di lereng kaki gunung
menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin
menelan orang yang memandang.
Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke
Barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di
penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput. Yang
tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
Pukul tiga itulah waktu baginda bersantap bersama-sama. Paling
muka duduk baginda, lalu dua paman berturut tingkat. Raja
Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan di sisi Sri
Baginda; terlangkahi betapa lamanya bersantap.

Pupuh 59
Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi. Sang pujangga
menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan,
menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena
kunjungannya mendadak.
Banasara dan Sangkan Adoh telah dilalui. Pukul dua Baginda
telah sampai di perbatasan kota. Sepanjang jalan berdesuk-
desuk, gajah, kuda, pedati, kerbau, banteng dan prajurit darat
sibuk berebut jalan.
Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang,
permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya, tidak
jauh, berikut narapati Lasem. Terlampau indah keretanya,
menyilaukan yang memandang.
Rani Daha, Rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani
Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Baginda
serombongan besar. Diiringi beberapa ribu oerwira dan para
menteri.
Tersebutlah orang yang rapat tampak menambak tepi jalan.
Berjejal ribut menanti kereta Baginda berlintas. Tergopoh-gopoh
perempuan ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari
telanjang lepas sabuk lainnya.

Page | 92

Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk
berdesak-desakan di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada
juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat
orang, karena terpekur memandang.
Gemuruh dengung gong menampuk Sri Baginda raja datang.
Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja
lalu, berarak pengiring di belakang. Gajah, kuda, keledai, kerbau
berduyun beruntun-runtun.

Pupuh 60
Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan berjalan
belakang. Lada, kesumbu, kapas, buah kelapa, buah pinang, asam
dan wijen terpikul.
Di belakangnya oemikul barang berat. Sengkeyegan lambat
berbimbingan tangan kanan menuntun kirik dan kiri genjik.
Dengan ayam itik di keranjang merunduk.
Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung,
slundang, cempaluk, nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk
gelaknya seperti hujan panah jatuh.
Tersebut Baginda telah masuk pura. Semua bubar ke rumah
masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu. Membuat
girang semua sanak kadang.
Pupuh 61
Waktu lalu; Baginda tak lama di istana. Tahun saka dua gajah
bulan (1282) Badrapada, beliau berangkat menuju Tirib dan
Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan.
Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja
berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jumble untuk
menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menentramkan cita.
Dari Blitar ke selaan jalannya mendaki. Puhonnya jarang, layu
lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari.
Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki
candi makam leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat.
Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.

Pupuh 62
Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti, yang dibaca lagi.
Diukur panjang lebarnya; disebelah timur sudah ada tugu asrama
gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk
gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Jnyanabadra terus ke
timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi

Page 93 |

Surabawana. Paginya berangkat lagi, berhenti di Bekel, sore
sampai pura. Semua pengiring bersowang sowing pulang ke
rumah masing-masing.

Pupuh 63
Tersebut paginya Sri Naranata di hadapan para menteri semua.
Di muka para Arya, lalu Pepatih, duduk teratur di Manguntur.
Patih Amangkubumi Gadjah Mada tampil ke muka sambil
berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh
diabaikan”.
Atas perintah Sang Rani Sri Tribuwana Wijayatunggadewi,
supaya pesta Serada Sri Rajapatni dilangsungkan Sri Baginda. Di
istana pada tahun saka bersirah empat (1284) bulan Badrapada.
Semua pembesar dan wredda menteri diharap memberi
sumbangan.”
Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira
Baginda. Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana
dan menteri yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja
sebagai kepala. Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan
Sri Baginda.
Tersebutlah sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya
Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di
setinggil. Ada yang mengetam baik makanan, bokor-bokoran,
membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja
membuat persiapan.

Pupuh 64
Ketika saatnya tiba, tempat telah teratur sangat rapi. Balai Witana
terhias indah, dihadapan rumah-rumahan. Satu diantaranya
berkaki batu karang, bertiang merah. Indah dipandang, semua
menghadap kea rah tahta Baginda.
Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja.
Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri,
pembesar, menteri dan pujangga, serta pendeta. Selatan,
beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
Demikian persiapan Sri Baginda memuja Budha Sakti. Semua
pendeta Budha berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan
upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan, budiman
faham tentang sastra tiga tantra.
Umumnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya
sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh
selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, tantra, dan japa
dilakukan tepat menurut aturan.

Page | 94

Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surge dengan doa.
Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya
memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang
Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.

Pupuh 65
Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara.
Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet
serta gendering. Didudukkan diatas singgasana, besarnya
setinggi orang berdiri. Berderet beruntun-runtun semua pendeta
tua muda memuja.
Berikut para raja, parameswari dan putera mendekati arca. Lalu
patih dipimpin Gadjah Mada maju ke muka berdatangan sembah.
Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru.
Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi
teratur.
Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan
sedap. Bersusun timbun seperti pohon dan sirih bertutup kain
sutera. Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti
lembu Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan
makanan dari mulutnya.
Raja wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan
taman bertingkat. Disertai penyebaran harta di lantai balai besar
berhambur-hamburan. Elok persembahan raja Tumapel berupa
perempuan cantik manis dipertunjukkan selama upacara untuk
menharu-rindukan hati.
Paling hebat persembahan Sri Baginda berupa gunung besar
Mandara. Digerakkan oleh sejumlah dewa dana danawa dhsyat
menggusarkan pandang. Ikan lembora besar berlembak-lembak
mengebaki kolam bujur lebar. Bagaikan sedang mabuk diayun
gelombang ditengah-tengah lautan besar.
Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi.
Agar para wanita, menteri, pendeta dapat makanan
sekenyangnya. Tidak terlangkahi para ksatria, arya dan abdi di
pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada
bala tentara.

Pupuh 66
Pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan
persajian. Pun para ksatria dan pembesar mempersembahkan
rumah-rumahan yang terpikul. Dua orang pembesar
mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung.

Page 95 |

Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur
menggembirakan.
Esoknya Patih Mangkubumi Gadjah Mada sore-sore menghadap
sambil menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-
duyun, ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan…
Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Baginda raja
pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi
bahan pakaian dan hidangan makanan. Luas merata kepada
empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan
jamuan kepada pembesar abdi dan niata mengalir bagai air.
Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah,
berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai
agung serta pura leluhur. Sri Nata menari di balai Witana khusus
untuk para puteri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit,
ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat
diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap
hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit, yang dahsyat
berpukul-pukulan, menimbulkan gelak mengakak. Terutama
derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira
rakyat.

Pupuh 67
Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat.
Pasti membuat gembira jiwa Sri Rajapatni yang sudah mangkat.
Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda raja.
Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.
Paginya pendeta Budha datang menghormati, memuja dengan
sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke
Budhaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan
upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi.
Lodang lega rasa Baginda melihat perayaan langsung lancer.
Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal
Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun dahana tujuh surya
(1274) dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh
Jnyanawidi.

Pupuh 68
Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri
Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah karena cinta raja
Erlangga kepada kedua puteranya.
Ada pendeta Budhamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di
tengah kuburan Lemah Citra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali

Page | 96

berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Mpu Barada
nama beliau, faham tentang tiga zaman.
Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah
Negara. Tapal batas Negara ditandai air kendi, mancur dari langit.
Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan. Yang tidak
jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai
tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat
pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah. Mpu Barada
terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
Itulah tugu batas gaib yang tidak akan mereka lalui. Itu pula
sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga Baginda
serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam
memimpin Negara, yang sudah bersatu padu.

Pupuh 69
Prajnaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun.
Arca Sri Rajapatni26 diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Telah
lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu Negara.
Laksana titisan Empu Bharada, menggembirakan hati Baginda.
Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni.
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya.
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja.
Wisesapura namanya, jika candi sudah berdiri sempurna
dibangun.
Candi makam Sri Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat.
Tiap bulan Badrapada disekar oleh para menteri dan pendeta. Di
tiap daerah, rakyat serentak membuat peringatan dan memuja.
Itulah surganya, berkat berputera, bercucu narendra utama.

Pupuh 70
Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285) baginda
menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap
segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya
Rajaparakrama memimpin upacara.

26 Gayatri dikenal sebagai salah satu putri Kertanegara raja Singhasari terakhir
(Wahyudi, 2013). Suaminya adalah raja Majapahit dan ia pun diberi gelar
Rajapatni, istri utama. Dari rahimnya lahir dua putri, Tribhuwanadewi yang
menjadi raja dan adiknya Rajadewi Maharajasa, keduanya menurunkan raja-
raja Majapahit. Setelah meninggal Gayatri dibuatkan arca Prajnaparamita di
Prajnaparamitapuri dan didharmakan di Bhayalangu. setelah mangkat
upacara sraddha dilakukan sebagai peringatan kematiannya.

Page 97 |

Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku
jabatannya semenjak mangkat Kertarajasa. Ketika menegakkan
menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang
diserahi menjaganya.
Sekembalinya dari Simping, segera masuk pura. Terpaku
mendengar Adimenteri Gadjah Mada sakit. Pernah
mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta
Kota Sadeng memusnahkan musuh.

Pupuh 71
Tahun saka tiga angin utama (1253) beliau mulai memikul
tanggung jawab. Tahun rasa (1286) beliau mangkat; Baginda
gundah, terharu bahkan putus asa. Sang Dibyacita Gadjah Mada
cinta kepada sesame tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup
tidak baka, karenanya beramal tiap hari.
Baginda segera bermusyawarah dengan kedua rama serta
ibunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki
Patih Mada yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh
mengenal tabiat rakyat. Lama timbang menimbang, tetapi seribu
sayang tidak ada yang memuaskan.
Baginda berpegang teguh. Adimenteri Gadjah Mada tak akan
diganti. Bila karenanya timbul keberatan, beliau sendiri
bertanggung jawab. Memilih enam menteri yang menyampaikan
urusan Negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup
tunduk kepada pimpinan Baginda.

Pupuh 72
Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan.
Terpilih sebagai wredda menteri karib Baginda bernama Mpu
Tadi.
Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama Mpu
Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat. Mancanegara bergelar
tumenggung.
Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat
pahlawan. Pernah menundukkan Negara Dompo, Serba ulet
menanggulangi musuh.
Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai pembantu utama
Baginda. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para
upapati.

Page | 98

Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu ditaati di istana. Mpu
Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Baginda.
Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap
rakyat. Tumbuh tambah hari setia baktinya. Karena Baginda yang
memerintah.

Pupuh 73
Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak.
Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikuti
undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua
pihak merasa puas. Masyhur nama beliau, mampu menembus
zaman, sungguhlah titisan Bhatara.
Candi makam serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu
kala yang belum siap diselesaikan, dijaka dan dibina dengan
seksama. Yang belum punya prasasti disuruh buatkan piagam
oleh ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan,
jikalau sudah temurun.
Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan
Kagenengan disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal,
Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa,
Antang Trawulan Kalang, Brat dan Jago. Lalu Blitar, Sila Petak,
Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.

Pupuh 74
Makam rani: Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura
serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri di
Bayalangu yang baru saja dibangun.
Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra
(1287) bulan Badra, dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi
oleh pendeta ahli sastra.

Pupuh 75
Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara
orang utama, yang seksama dan tawakal membina semua candi.
Setia kepada baginda, hanya memikirkan kepentingan bersama.
Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi
makam.
Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Baginda
Darmadyaksa Kasewan bertugas membina tempat ziarah dan
pemujaan. Darmadyaksa Kasogatan disuruh menjaga biara

Page 99 |

kebudhaan. Menteri ber-haji bertugas memelihara semua
pertapaan.

Pupuh 76
Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: Biara Relung Kunci,
Kapulungan, Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung,
Kutalamba, begitu pula Taruna. Parahyangan, Kuti Jati, Candi
Lima, Nilakusuma, Harimananda, Uttamasuka, Prasada-haji,
Sadeng, Panggumpulan, Katisanggraha. Begitu pula Jayasuka.
Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi
Pangkal, Pigir, Nyudonto, Katuda, Srangan, Kapukuran,
Dayamuka, Kalinandana, Kanigara, Rambut, Wuluhan, Kinawung,
Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen,
Ratimanatasrama, Kula, Kaling ditambah sebutan lagi Batu Putih.
Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara,
Kutahaji, Jantraya, Rajadanya, Kuswanata, Surayasa, Jarak,
Lagundi, serta Wadari. Wewe Pacekan, Pasuruan, Lemah Surat,
Sangan serta Pangiketan. Panghawan, Damalang, Tepasjita,
Wanasrama, Jenar, Samudrawela, dan Pamulang.
Baryang Amretawardani, Kawinayan Patemon serta Kanuruhan.
Engtal, Wengker, Banyu Jiken, Batabata, Pagagan, Sibok dan
Engtal Wetan. Pindatuha, telang, Suraba, itulah yang terpenting,
sebuah suka Sukalila. Tak disebut perdikan tambahan seperti
Pogara, Kulur, Tangkil, dan sebagainya.

Pupuh 77
Selanjutnya, disebut berturut desa kebudhaan Bjradara:
Isanabajra, Naditara, Mukuh, Sambang, Tanjung, Amretasaba,
Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan
Tadata.Tidak juga terlangkahi Kumuda, Ratna serta Nadinagara.
Wungajaya, Palandi, Tangkil, Asahing, Samici, serta Acitahen.
Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng, Pojahan, dan Balamasin.
Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan serta
Kahuripan. Keraki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi
Wisnuwala.
Badur, Wirun, Wungkilur, Mananggung, Watukura serta
Bajrasana. Pajambayan, Salaten, Simapura, Tambyak Laleyan,
Pilangu, Pohaji, Wangkali, Biru, Lembah, Dalinan, Pangadwan
yang terakhir. Itulah desa kebudhaan Bajradara yang sudah
berprasasti.

Pupuh 78

Page | 100

Desa Keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan.
Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ
terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia
Mahaguru – demikian sebutan beliau.
Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut piagam.
Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, diantaranya yang
penting: Bangawan Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah
Kali dan Twas. Wasita, Palah, Padar, Siringan. Itulah desa
perdikan Siwa.
Wangjang Bajrapura, Wanara, Makiduk, Hansen, Guha dan Jiwa.
Jumpud, Soba, Pamuntaran dan Baru, perdikan Budha utama.
Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagri, Centing, Wekas. Wandira,
Wandayan, Gatawang, Kulapayan dan Talu pertapaan resi.
Desa perdikan Wisnu berserak di Barwan serta Kamangsian,
Batu, Tanggulian, Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting.
Sedang, Medang, Hulun Hyan, Parung Langge, Pasajan, Kelut,
Andelmat, Pradah, Geneng, Panggawan, sduah sejak lama bebas
pajak.
Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu
pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi
menerima bantuan tetap dari Baginda raja. Begitu juga dukuh
pengawas, tempat belajar upacara.

Pupuh 79
Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan,
candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang
berpiagam dipertahankan, yang tidak segera diperintahkan
pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker.
Raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya.
Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan.
Segenap penduduk jawa patuh mengindahkan perintah baginda
raja.
Semua tata aturan patuh diturut oleh Pulau Bali. Candi, asrama,
pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya. Pembesar
kebudhaan Baduhulu, Badaha Lo Gajah ditugaskan membina
segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya.

Pupuh 80
Perdikan kebudhaan Bali seperti berikut: Biara Baharu (Hanyar),
Kadikaranan, Purwanagara, Wirabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah
enam kebudhaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi
biara dengan bantuan Negara seperti Arya-dadi.

Page 101 |

Berikut candi makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung dan
Anyawasuda, Tatagatapura, Grehastadata, sangat masyhur,
dibangun atas piagam pada tahun saka Angkasa Rasa Surya
(1260) oleh Sri Baginda Jiwana. Yang memberkahi tanahnya,
membangun candinya: upasaka wredda menteri.
Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri.
Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman.
Begitulah tabiat raja utama, Berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga
kelak para raja sudi membina semua bangunan suci.
Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan.
Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi
laut. Menentramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai,
gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi
kesejahteraan Negara.

Pupuh 81
Besarlah minat Baginda untuk tegaknya tripaksa. Tentang
piagam beliau bersikap agar tetap diindahkan. Begitu pula
tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata sila
dan adat-tutur diperhatikan.
Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi,
Wipra, pendeta Siwa Budha teguh mengindahkan tutur. Catur
Asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun.
Melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para
menteri dan arya pandai membina urusan Negara. Para puteri
dan ksatria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan Sudra
dengan gembira menepati tugas darmanya.
Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan Hyang
Mahatinggi. Konon, tunduk rungkup kepada kuasa dan perintah
baginda. Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah,
Candala, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacat-cacatnya.
Begitulah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata.

Pupuh 82
Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat.
Baginda menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma.
Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku sang
prabu.
Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala. Sri
Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.
Mendirikan perdikan Budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan.
Baginda sendiri membuka lading Watsari di Tigawangi.

Page | 102

Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas.
Candi, Biara dan Lingga utama dibangun tak ada putusnya.
Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang
benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.

Pupuh 83
Begitulah keluhuran Sri Baginda ekanata di Wilwatikta. Terpuji
bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang.
Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi,
harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.
Bertambah masyhur keluhuran Pulau Jawa di seluruh jagat raya.
Hanya Jambudwipa dan Pulau Jawa yang disebut Negara utama.
Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya.
Panji Jiwalekan dan Tenggara yang menonjol bijak di dalam kerja.
Masyhurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.
Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya.
Hyang Brahma, sopan, suci, ahli weda, menjalankan nam laku
utama. Bhatara Wisnu dengan cipta dan mantera membuat
sejahtera Negara.
Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung
dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Kamataka.
Goda serta Saim mengarungi lautan bersama para pedagang. Resi
dan pendeta, semua merasa puas menetap dengan senang.
Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati di seluruh Negara.
Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa
hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan
upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di
dasaran.
Berputar keliling gamelan dalam tanduan di arak rakyat ramai.
Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura.
Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Budha.
Mulai tanggal delapan petang demi keselamatan Baginda.

Pupuh 84
Tersebut pada tanggal empat belas bulan petang, Baginda
berkirap. Selama kirap keliling kota busana Baginda serba
kencana. Ditatang jempana kencana, panjang berarak beranur
runtun. Menteri, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian
seragam.
Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah
sahut menyahut. Bergerak barisan pujangga menampung beliau
dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari

Page 103 |

seluruh jawa. Tanda bakti Baginda perwira bagai Rama, mulia
bagai Sri Kresna.
Telah naik Baginda di tahta mutu-manikam, bergebar pencar
sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji
astuti. Yang Nampak, semua serba mulia, sebab Baginda memang
raja agung. Serupa jelmaan Sang Sudodana putera dan Jina
bawana.
Sri Nata Pajang dengan Sang Permaisuri berjalan paling muka.
Lepas dari Singgasana yang diarak pengiring terlalu banyak.
Menteri Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok.
Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan
tunggul.
Raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya.
Lalu Raja Kediri dengan permaisuri serta menteri dan tentara.
Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring.
Sebagai penutup Baginda dan para pembesar seluruh Jawa.
Penuh berdesak-desak para penonton ribut berebut tempat. Di
tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap
rumah mengibarkan bendera dan panggung membujur sangat
panjang. Penuh sesak perempuan tua muda, berjejal berimpit –
impitan.
Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton.
Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil.
Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci didulang berukir.
Menteri serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-
sama.

Pupuh 85
Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka.
Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir.
Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula
para ksatria, pendeta, dan Brahmana utama.
Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat.
Tetapi menganut ajaran Rajakapakapa, dibaca tiap Caitra.
Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang.
Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.

Pupuh 86
Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utra kota
terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Baginda,
naik tandu bersudut tiga. Diarak abdi berjalan, membuat kagum
tiap orang.

Page | 104

Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur
setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara
bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan menteri di dalam
kelompok.
Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang.
Tiangnya penuh berukir dengan isi dongeng parwa. Dekat
disebelah baratnya bangunan serupa istana. Tempat menampung
Baginda di panggung pada bulan Caitra.

Pupuh 87
Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian
utara dan selatan untuk para raja dan arya. Para menteri dan
dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan
bebas luas sepanjang jalan raya.
Disitulah Baginda member rakyat santapan mata: pertunjukan
perang tanding, perang pukul, desuk mendesuk, perang keris, adu
tinju, tarik tambang, menggembirakan sampai tiga empat hari
lamanya baru selesai.
Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala
perlombaan bubar; rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan
petang Baginda menjamu para pemenang. Yang pulang
menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.

Pupuh 88
Segenap ketua desa dan wedana tetap tinggal, paginya mereka
dipimpin Arya Ranadikara menghadap baginda minta diri di
pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan
padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para abdi dan
pembesar.
Berkatalah Sri Nata Wengker di hadapan para pembesar dan
wedana: “Wahai, tunjukkan cinta serta setai baktimu kepada
Baginda raja. Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah
memajukan dusunmu. Jembatan, Jalan Raya, Beringin, Bangunan
dan candi supaya dibina.
Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur,
peliharalah. Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh
ketangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan
mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk
membuat desa bertambah besar.
Sri Nata Kartawardhana setuju dengan anjuran pembesar desa.
“Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir
bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama pelanggar

Page 105 |

susila. Agar bertambah kekayaan baginda demi kesejahteraan
Negara.
Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi anjuran:
“Para Budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-
halangi. Rajakarya, terutama beacukai, pelawang, supaya
dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur
pantas.

Pupuh 89
Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati.
Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika
ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan, biar
mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika
desa rusak, Negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak
ada tentara, Negara lain mudah menyerang kita. Karenanya
peliharalah keduanya, itu perintah saya!”.
Begitulah perintah Baginda kepada wedana, yang tunduk
mengangguk. Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan
perintah beliau. Menteri, upapati, serta para pembesar
menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk
bersantap bersama.
Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di
tiga sudut ruang para wedana duduk teratur menganut sudut.
Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas.
Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Baginda.
Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa,
madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba
makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai dan
katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan
noda.

Pupuh 90
Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba
banyak serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak.
Berderap cepat datang menurut acara.
Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing hanya dihidangkan
kepada para penggemar. Karena asalnya dari berbagai desa
mereka diberi kegemaran, biar puas.
Mengalir berbagai minuman keras segar: Tuak nyiur, Tal, Arak
kilang, tuak rumbya. Itulah hidangan minuman utama. Wadahnya
emas berbentuk aneka ragam.

Page | 106

Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi minuman keras
dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang
gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri
Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu
waktu, berhenti gelak gurau.

Pupuh 91
Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti
lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Solah tingkahnya
menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka
memperoleh hadiah kain.
Disuruh menghadap Baginda, diajak minum bersama. Menteri
upapati berurut minum bergilir menyanyi. Nyanyian Manghuri
Kandamuhi dapat sorak pujian. Baginda berdiri, mengimbangi
ikut melaras lagu.
Tercengang dan terharu hadirin mendengar suara merdu.
Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu
bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap membaru
kalbu bagai desiran buluh perindu.
Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlaku bersama Arya
Mahadikara, mendadak berteriak bahwa para pembesar ingin
beliau menari topeng. “Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk
persiapan.
Sri Kertawardana tampil ke depan menari panjak. Bergegas
lekas panggung disiapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri
berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu
rindu, tingkahnya memikat hati.
Bubar mereka itu ketika Sri Baginda keluar. Lagu rayuan
Baginda bergetar menghanyutkan rasa, Diiringkan rayuan sang
permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa merasuk tulang
sumsum pendengar.
Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng.
Delapan pengiringnya dibelakang, bagus, bergas pantas
keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya. Inilah
sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
Tari Sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa
terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih
tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran
menghanyutkan hati penonton.
Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar
minta diri mencium duli paduka. Katanya: “Lenyap duka oleh

Page 107 |

suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Baginda waktu
masuk istana.

Pupuh 92
Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita.
Terang baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan
Negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai
titisan Budha. Dengan laku utama beliau memadamkan api
kejahatan durjana.
Terus membumbung ke angkasa kemasyhuran dan keperwiraan
Sri Baginda. Sungguh beliau titisan Bhatara Girinata untuk
menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang dan
musnah letanya abdi yang disapa.
Inilah sebabnya keluhuran beliau masyhur terpuji di tiga jagat.
Semua orang tinggi, sedang dan rendah menuturkan kata-kata
pujian. Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung
tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari
cemerlang menerangi bumi.

Pupuh 93
Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Baginda. Sang
pendeta Budhaditya menggubah rangkaian sloka Bogawali.
Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di
Jambudwipa.Brahma Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian
sloka indah.
Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra.
Bersama-sama merumpaka sloka pujasastra untuk nyanyian.
Yang terpenting pujasastra di prasasti, gubahan upapati
Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam
istana.

Pupuh 94
Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara,
Prapanca bangkit turut memuji Baginda, meski tak akan sampai
pura. Maksud pujiannya agar Baginda gembira jika mendengar
gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan Negara, terutama
Baginda dan rakyat.
Tahun saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan Aswina
hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan
keliling Negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas

Page | 108

disebut Desawarnana. Dengan maksud, agar Baginda ingat jika
membaca hikmat kalimat.
Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas
daun lontar. Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang”
kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”,
akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih
akan diteruskan, sebab memang belum siap.
Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah
kakawin, terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat
pujasastra berupa karya kakawiin, sederhana tentang rangkaian
sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan
ditertawakan.

Pupuh 95
Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di
dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar
ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa
belas kasihan. Apa gunanya mengenai ajaran kasih, jika tidak
diamalkan?
Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal.
Buta, tuli, tak Nampak sinar memancar dalam kesedihan,
kesepian. Seyogyanya ajaran sang Mahamuni diresapi bagai
pegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan
membawa mati muda.
Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan.
Membuat rumah dan tempat persajian ditempat sepi dan bertapa.
Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tingg-tinggi.
Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah lama dikenal.

Pupuh 96
Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu, pipinya
sembab, matanya ngeliyap, gelaknya terbahak-bahak.
Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh tidak menuruti
ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya
ia dipukul berulang kali.

Pupuh 97
Ingin menyamai Mpu Winada. Mengumpulkan harta benda.
Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang.
Winada mengejar jasa. Tanpa ragu uang dibagi. Terus bertapa
brata. Mendapat pimpinan hidup.
Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai ingin
mencapai nirwana, jadi pahlawan pertapa.

Page 109 |

Pupuh 98
Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam
tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang
senang menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan dan
menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari
kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh
faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacat dan dicela
di dalam pura.

Bab 4. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari
dalam Pararaton

A. Seputar Pararaton
Serat Pararaton27, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: Kitab

Raja-Raja), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan
yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Judul alternatif yang
ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: Serat Pararaton atawa
Katuturanira Ken Angrok atau Kitab Raja-Raja atau Cerita
Mengenai Ken Angrok. Kitab ini juga dikenal dengan nama
Pustaka Raja, yang dalam Bahasa Sansekerta juga berarti kitab
raja-raja.

Di akhir kisah Pararaton penulisnya hanya menulis nama
desa dan catatan waktu pengarangnya menyelesaikan tulisannya
yakni 1535 Saka atau tepatnya 3 Agustus 1613. Bila dilihat dari
tanggalnya Pararaton ditulis sezaman dengan berkuasanya
Sultan Agung. Meskipun tidak menyebutkan nama pengarang,
kita bisa mengetahui beberapa informasi tentang waktu dan
tempat penyusunannya (Munandar, 2011). Pararaton
menyebutkan bahwa kitab ini disusun dalam bentuk sakakala28

27 Adapun penyelidik ahli pertama kali mengenai buku Pararaton ialah Dr.
I.L.A. Brandes. usahanya ini kemudian diteruskan oleh Pro[. N.]. Krom setelah
Brandes meninggal dunia (Pitono, 1965).
28 Sakakala atau kemudian disebut candrasangkala, sangkala atau sengkalan,
yang dalam bahasa asing disebut chronogram ialah suatu tanda, susunan

Page | 110

pada tahun Kayambara-sagaraku yang para ahli menyamakan
dengan angka tahun 1403 Saka dan tahun 1481 Masehi.
Pararaton menyebutkan bahwa kitab ini disusun di Sela Penek.
Nama Sela Penek berarti batu yang terhimpit. Dengan kata lain
bahwa tempat tersebut merupakan daerah batu cadas di
pegunungan. Tempat pertapaan yang terdapat di pegunungan
cadas ini sudah lama ada, seperti sisanya yang ada di Gunung
Penanggungan pada masa Majapahit.

Pararaton merupakan kronik berupa bunga rampai yang
memitoskan Ken Arok. Pada zamannya, Pararaton dipandang
sebagai sejarah atau kisah sejarah. Pararaton pada pengertian
sekarang dapat digolongkan sebagai historiografi tradisional.
Mitos tentang Ken Dedes yang bersinar, bercahaya (mubyar
amurub) membawa dampak sejarah besar khususnya berkaitan
dengan berdirinya kerajaan Singasari (Dewi, 2013).

Serat Pararaton dapat disandingkan dengan kitab
Nagarakretagama dan prasasti-prasasti kerajaan Singasari dan
Majapahit. Sebagai Historiografi tradisional, Pararaton masih
mencampurkan antara fakta sejarah dengan mitos-mitos yang
ada. Meskipun masih mengandung mitos29, serat Pararton tetap
bisa dipakai sebagai sumber sejarah. Para ahli bisa
mengkoroborasikannya dengan Nagarakretagama dan prasasti-
prasasti yang telah ditemukan. Namun demikian Pararaton ini
menjadi rujukan para sejarawan juga dalam menganalisa sejarah
Singasari dan Majapahit. Kitab Nagarakretagama ditulis oleh Mpu
Prapanca pada masa Kerajaan Majapahit dan Pararaton tanpa
penulis ditulis pada masa Mataram Islam. Naskah Pararaton ini
cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri

kalimat atau kata yang merupakan Suatu tanggal atau masa. Candrasangkala
dibaca dari belakang ke depan, ada yang terdiri dari 2 buah kata, 3 buah kata,
4 buah kata, 5 buah kata dan 6 buah kata. Sengkalan yang berupa kelompok
kata atau kalimat disebut sangkala lamba. Ada pula gambaran atau lukisan
pada sebuah bangunan yang mengandung arti sengkalan disebut dengan
istilah Jawa : sangkala petha karena berujud pepethan. Karena sangat sulit
untuk menangkap maksudnya maka disebut pula sengkalan memet. Selain
sakakala terdapat pada prasasti, serat babad dan kitab-kitab, candra sangkala
terdapat pada bangunan-banguan gedung. gapura, tugu, pintu rumah. makam,
cungkup dan sebagainya. Sakakala mulai muncul di Indonesia pada prasasti.
Pada prasasti Canggal, terdapat sakakala yang berbunyi Sruti (4) Indria(5)
Rasa(6) sarna dengan tahun 654 Saka atau 732 Masehi. Pada prasasti Karang
Tengah, terdapat sakakala rasa (6) Sagara (4) ksitidhara (7) sama dengan
tahun 746 Saka. Pada prasasti Wantil, terdapat sakakala wualung (8) gunung
(7) sang wiku(7) sama dengan tahun 778 Saka (Sindunegara, 1997).
29 Salah satu fungsi mitos adalah alat legitimasi (Dewi, 2013).

Page 111 |

dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur.

Untuk mengkaji Pararaton, pemahaman konsep kosmogoni
Siwa-Buddha perlu menjadi dasar. Karena suatu kerajaan
diyakini sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat
kediaman Bhatara Indra, maka keluarga Majapahit menamakan
diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya
keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa,
yang sama-sama berarti Keluarga Gunung Indra. Pusat kerajaan
Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-
daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan
penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan,
Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Dua mandala utama,
yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu),
merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini
sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11.
Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri
(Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-
prasasti.

Serat Pararaton lebih cenderung ke arah sebuah novel
yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara,
dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Bahkan dalam
Serat Pararaton digambarkan tentang perebutan kekuasaan,
saling iri-dengki antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat
megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Di dalamnya penuh
dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk
melegitimasi tokoh-tokoh yang diceritakan. Fakta dan fantasi
yang terbaur menjadi satu membuat para ahli sejarah
meragukannya. Memang beberapa bagian Pararaton tidak dapat
dianggap sebagai fakta-fakta sejarah, terutama pada bagian awal,
antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling
berbaur, akan tetapi ada kesamaan-kesamaan dengan yang
terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber
China. Hanya saja apabila dibandingkan dengan
Nagarakretagama, Serat Pararaton nampak lebih objektif karena
tidak hanya membicarakan yang manis-manis saja mengenai
sejarah Singasari dan Majapahit.

Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken
Arok30, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).

30 Wibowo (1980) memastikan bahwa Ken Arok dilahirkan pada 1104 Saka,
dan kemungkinan dia naik tahta di usia 16 tahun. Kakawin Negara Kertagama
memberikan keterangan tentang Ken Arok sebagai berikut. Pada tahun 1104
saka (1182 M), ada seorang raja besar yang perwira, putra Sri Girinatha.

Page | 112

Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken
Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di
tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung
bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-
bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis.
Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan.
Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi
semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai
silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit. Dari Ken
Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit pada masa
Bhre Pandan Salas (Sri Adi Suraprabhawa
Singawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta).
Hanya saja uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja
Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-
kadang membingungkan, sehingga sejarawan harus jeli dalam
menafsirkannya.

Pararaton dibagi menjadi dua bagian, yaitu tentang kisah
Ken Arok hingga masa berakhirnya Majapahit. Bagian pertama
mengisahkan Ken Arok dari lahir hingga meninggal, dan bagian
kedua menyentuh sedikit kisah para raja Singasari hingga raja
Majapahit.

Tujuan pengarang adalah untuk melegitimasi raja-raja
Majapahit yang konon merupakan keturunan dari Ken Angrok
dan Ken Dedes. Hal ini terbukti dari penjelasan barang rahasia
Ken Dedes yang bersinar adalah pengakuan akan diri seorang
ardhanareswari pada diri Ken Dedes. Ardhanareswari adalah
seorang wanita yang memiliki tuah akan menurunkan raja-raja
dan membawa keberuntungan. Terbukti dari pasangan Tunggul
Ametung dan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati dan
Ranggawuni. Begitu juga dengan keturunan Ken Angrok dan Ken
Dedes yang menurunkan Kertanegara, Raden Wijaya,
Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayam Wuruk,
hingga Girindrawardhana sebagai raja terakhir Majapahit.
Apabila Raden Patah juga merupakan anak dari Brawijaya yang
juga merupakan keturunan Raden Wijaya, maka dapat
dipastikan seluruh raja Demak, Pajang, hingga Mataram

Diceritakan bahwa ia lahir tanpa melalui kandungan. Ia adalah Sri Ranggah
Rajasa, penggempur musuh, pahlawan bijak. Semua orang tunduk sujud
menyembahnya. Ibukota kerajaannya bernama Kutaraja. Pada tahun 1144
saka (1222 M) ia melawan raja Kertajaya dari Kadiri, setelah raja Kertajaya
kalah, Kadiri direbut. Bersatulah Kadiri dibawah kekuasaan Jenggala. Kakawin
Nagarakertagama mengemukakan pula bahwa Bhatara Girinathapura
disembah bagaikan dewa, beliaulah moyang sang raja (Hayam Wuruk).

Page 113 |

merupakan keturunan dari anak Dewa Brahma dan sang
ardhanareswari.

Dalam kisah pembuka diceritakan bahwa Ken Angrok kecil
yang rela menjadikan dirinya sebagai kurban persembahan
kepada sebuah gapura besar sebagai pengganti seekor kambing
berbulu merah yang tidak berhasil didapatkan oleh Empu
Tapawengkeng. Tetapi ia meminta supaya kelak ia dapat pulang
kembali kepada Dewa Wisnu dan dapat bereinkarnasi kembali.
Kisah pun berganti dengan Dewa Brahma yang sedang berputar-
putar mencari seorang wanita yang layak ditanami benih calon
raja di bumi, dan sang dewa pun bertemu dengan seorang wanita
yang baru saja menikah yaitu Ken Endok. Sang Dewa lalu
menggauli Ken Endok dan menyuruh kepada Ken Endok supaya
tidak bercerita kepada siapa pun perihal peristiwa ini dan
melarang ia untuk bersenggama dengan suaminya. Dewa Brahma
pun mengancam Ken Endok apabila ia tidak mampu menjaga
rahasia ini maka suaminya akan mati. Ken Endok pun
menceritakan peristiwa itu dan menceraikan suaminya, dan tak
lama kemudian suaminya itu meninggal dan lahirlah seorang Ken
Angrok dari rahim Ken Endok. Lalu oleh Ken Endok bayi itu
dibuang ke kuburan dan akhirnya ditemukan dan diasuh oleh
seorang pencuri yang bernama Lembong.

Dalam kisah pendahuluan dari Serat Pararaton, nuansa
legitimasi akan Ken Angrok sudah sangat kental. Dia yang
disebut sebagai anak dewa31 dan memiliki kekuatan gaib yang

31 Penguasa-penguasa dari Dinasti Rajasa yang dimulai dari Ken Arok telah
menunjukkan dirinya sebagai titisan dewa juga yaitu Dewa Brahma. Ketika
Ken Arok berperang menghadapi Prabhu Kertajaya di desa Ganter pada
tahun 1222, ia bergelar Bhatara Guru sehingga dapat mengalahkan
musuhnya. Setelah meninggal Ken Arok diberi gelar Bhatara Siwa yang
dicandikan di Kagenengan. Bahkan Dewa Siwa, Brahma dan Wisnu dianggap
menjelma dalam diri Ken Angrok (Munandar, 2011). Konsep dewa-raja bisa
dijumpai di beberapa prasasti (Ferdinandus, 1989). Prasasti dari masa
Mulawarman yang didapatkan di daerah Kutai dari periode abad ke 5 M
menyebutkan antara lain bahwa "Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia
mempunyai putera yang mashur, Sang Aswawarman namanya yang seperti
sang Ansuman (Dewa matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia.
Sang Aswawarman mempunyai putera tiga seperti api (yang suci) tiga.Yang
terkemuka dari kegiga putera itu ialah Sang Mulawarman. Dari uraian prasasti
dari Mulawarman yang menyebutkan nama Ansuman, yaitu Dewa Matahari
dalam agama Hindu. Dengan keterangan itu, membuktikan bahwa
Mulawarman adalah penganut agama Hindu. Dalam prasasti Ciaruten
(Ciampea, Bogor) disebutkan "Ini (bekas ) dua kaki, yang seperti kaki dewa
Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman raja di negeri Taruma raja
yang gagah berani di dunia (Mckinnon, 1996). Dalam prasasti itu,
Purnawarman disamakan dengan Indra yang selain dikenal sebagai dewa

Page | 114

sangat kuat sudah dipaparkan dalam halaman-halaman awal
Serat Pararaton. Dalam mitos Jawa, keturunan raja kelak pastilah
juga menjadi raja. Dan Ken Angrok telah dilegitimasi sebagai
keturunan Dewa Brahma, yang berarti juga melegitimasi para
keturunan-keturunan Ken Angrok di masa sesudahnya memiliki
darah sang dewa. Dengan begitu bisa dipastikan yang menjadi
asal-usul legitimasi dalam Serat Pararaton ini bukan garis
keturunan Dewa Brahma, melainkan garis keturunan Ken
Angrok.

Kisah Pararaton lalu berlanjut pada pertemuan Ken
Angrok dengan Dang Hyang Lohgawe, seorang Brahmana yang
berasal dari Jambudwipa dan bertugas memastikan perintah
Bhatara Wisnu dapat terlaksana. Dang Hyang Lohgawe
mendapatkan tugas dari Bhatara Wisnu untuk membimbing Ken
Angrok hingga menjadi raja di Jawadwipa kelak. Dang Hyang
Lohgawe dan Ken Angrok pun akhirnya bekerja pada akuwu
Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken
Angrok bertemu dengan Ken Dedes, istri dari sang akuwu
Tumapel dan melihat bagian tubuh Ken Dedes yang
menampakkan sinar.

Kisah ini pun berlanjut pada keinginan Ken Angrok untuk
memiliki Ken Dedes. Dan intrik tentang kekuasaan pun dimulai
dari sini, ketika niatan Ken Angrok bukan hanya menjadi suami
bagi Ken Dedes, melainkan juga menjadi raja di Jawadwipa.
Dengan meminta bantuan Empu Gandring untuk membuatkan
sebuah keris sakti, Ken Angrok pun menggunakan “teori

perang, dia juga memiliki sifat-sifat seperti dewa matahari. Dari prasasti yang
berbahasa Melayu dari masa Sriwijaya (abad ke 7 M.) didapatkan gelar-gelar
Dapunta Hyang, yang diduga mempunyai hubungan dengan Hyang. Misalnya:
seorang dewa atau orang yang didewakan. Dalam prasasti Ganggal, raja
Sanjaya (abad 8 M.) diumpamakan dengan Matahari. Dalam prasasti Dinaya
didapatkan bahwa raja dihubungkan dengan nama dewa. Dalam prasasti
Ligor B, raja Wisnu dari keluarga Sailendra yang diumpamakan dengan
matahari, bulan dan Dewa Kama. Prasasti Kedu dari raja Balitung yang berisi
daftar lengkap dari nama-nama raja yang memerintah sebelum raja Balitung
di kerajaan Medang di Poh-Pitu. Selanjutnya pada abad ke 10 masih
didapatkan raja merupakan wakil dewa. Raja Dharmawangsa Teguh dalam
Bismaparwa disebutkan kebesarannya seperti Wisnu. Pada masa Erlangga
pertama kali didapatkan raja merupakan penjelmaan dewa. Dalam prasasti
Calcuta ditegaskan bahwa raja Airlangga adalah penjelmaan Wisnu sehingga
ia terhindar dari malapetaka. Di Museum Trowulan, kita dapat melihat bukti
arkeologisnya yaitu sebuah arca perwujudan Airlangga yang naik seekor
garuda (Sudrajat, 2012). Garuda merupakan tunggangan dari dewa Wisnu,
sehingga Airlangga dianggap sebagai titisan dewa Wisnu. Airlangga
memfokuskan pemujaan pada dewa Wisnu di samping Siwa dan Budha.

Page 115 |

Machiavelisme” dalam memeroleh apa yang ia inginkan. Karena
tidak sabaran, maka sang pembuat keris pun ia bunuh karena
tidak menyelesaikan keris dalam waktu yang ia inginkan.
Kutukan pun terlontar dari mulut Empu Gandring yang
menyatakan tujuh orang raja akan meninggal dengan keris yang
sama.

Ken Angrok lalu meminjamkan keris itu kepada
sahabatnya, Kebo Ijo. Sifat suka pamer Kebo Ijo ia manfaatkan
dalam rencana kudeta politisnya terhadap Tunggul Ametung.
Ketika Kebo Ijo sedang terlelap, ia pun mencurinya dan
membunuh Tunggul Ametung malam itu juga. Dan tak lupa esok
harinya ia memfitnah Kebo Ijo dan membunuhnya dengan keris
itu pula. Intrik politik yang tidak jelas siapa kawan dan siapa
lawan ditunjukkan oleh Ken Angrok dalam Serat Pararaton.
Begitu juga dengan kudeta politis yang berdarah pun ia
perkenalkan kepada seluruh anak bangsa yang sedang belajar
mengenai sejarah Singasari.

Ken Angrok32 lalu diangkat sebagai akuwu Tumapel yang
baru menggantikan Tunggul Ametung. Dengan begitu maka Ken
Dedes ikut menjadi istrinya pula. Situasi politik yang sedang tidak
kondusif antara para brahmana dengan Prabu Dandang Gendis
(Raja Kertajaya) pun menjadi santapan empuk bagi Ken Angrok
yang terobsesi menjadi penguasa Jawadwipa. Ketika itu Prabu
Dandang Gendis menghendaki agar para Brahmana menyembah
dirinya, karena berpendapat bahwa tidak ada yang mampu
menyamai kehebatannya kecuali Bhatara Guru (Bhatara Siwa).
Mendengar sesumbar Sang Prabu, Ken Angrok pun meminta
restu kepada para Brahmana untuk memakai nama Hyang
Caturbuja alias Bhatara Guru untuk menyerang Daha.
Pertempuran pun terjadi di sebelah utara Ganter dengan
kemenangan di pihak Ken Angrok. Prabu Dandang Gendis pun
mengundurkan diri dari medan perang dan semua hal tentang
Prabu Dandanggendis hilang ditelan bumi. Persitiwa itu diberi
candrasengkala warna-warna janma iku atau 1144 Saka (1222
M).

Keberhasilan Ken Angrok dalam memanfaatkan situasi
politik di Daha membuatnya mampu memperbesar kekuasaanya
dan memperluas pengaruhnya di Jawadwipa. Obsesinya untuk

32 Menurut Pararaton dan Nagarakertagama Ken Angrok adalah pendiri dan
raja pertama Tumapel (Singhasari). Dialah yang menjadi Wangsakara, pendiri
dari dinasti Rajasa (rajasawangsa) atau dinasti Girindra (Girindrawangsa) dan
dianggap sebagai cikal bakal raja-raja Singhasari dan Majapahit.

Page | 116

menjadi raja di Jawadwipa menjadi kenyataan. Seusai
peperangan di Desa Ganter, Ken Angrok mengubah status
Tumapel yang semula merupakan negara bagian dari Kerajaan
Daha (Kadiri) menjadi negara merdeka dengan nama Singasari. Ia
pun mengangkat dirinya sebagai raja pertama Singasari yang
bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi.

Sikap Ken Angrok yang tidak memperdulikan Anusapati
membuat sang anak terheran-heran. Dengan segala rasa
penasaran Anusapati bertanya kepada sang ibu perihal
ketidakadilan sikap ayahnya dalam memperlakukan dirinya.
Dengan penuh penyesalan Ken Dedes menceritakan kisah
kudeta berdarah Ken Angrok pada Anusapati. Mengetahui kisah
tersebut membuat Anusapati naik darah dan membunuh Sang
Amurwabumi saat itu juga dengan keris Empu Gandring
pemberian ibunya. Dari sini dapat diketahui bahwa Ken Dedes
juga turut berperan dalam konflik internal Kerajaan Singasari.
Seorang ardhanareswari ternyata juga sangat licik, ambisius, dan
mementingkan kekuasaan diri sendiri. Ken Angrok memang
orang ia cintai, tapi bagaimana pun juga Ken Angrok telah
membunuh suaminya yang telah mengangkatnya dari seorang
putri Brahmana di desa menjadi permaisuri yang mengetahui
nikmatnya kekuasaan. Jadi, tak ada jalan lain kecuali merestui
keinginan sang anak untuk membunuh Ken Angrok.

Anusapati pun menjadi raja menggantikan Ken Angrok. Ia
memerintah dengan ditandai sangkala sirna swarna wani nata
yang bermakna 1170 Saka atau 1274 M. Selama memerintah ia
dihantui oleh rasa balas dendam dari keturunan Ken Angrok,
sehingga ia melapisi istananya dengan parit yang sangat dalam
serta pengawalan yang sangat ketat. Hingga suatu hari Panji
Tohjaya (anak dari Ken Angrok dengan selirnya, Ken Umang)
mengajaknya mengikuti aduan ayam dan meminta izin untuk
meminjam keris pusaka Mpu Gandring milik ayahnya. Karena
terlena oleh suasana aduan ayam, Anusapati menjadi tidak
waspada lagi dan Panji Tohjaya segera memanfaatkan momen
tersebut untuk menusuk jantung Anusapati.

Panji Tohjaya pun menjadi raja Singasari berikutnya. Akibat
hasutan dari pembantu setianya membuat Tohjaya berniat
untuk membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni dan
Mahisa Campaka. Namun kedua keponakannya justru mendapat
dukungan kuat dari seluruh tentara Singasari sehingga terjadilah
pemberontakan yang akhirnya membuat Panji Tohjaya terluka
parah dan meninggal karena luka-luka.

Page 117 |

Ranggawuni pun akhirnya naik takhta menjadi raja
Singasari. Ia memimpin dengan gelar Sri Jayawisnuwardhana
Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama
Dhumardana Kamaleksana. Saat Ranggawuni menjadi raja,
Mahisa Campaka menjadi raja hanggabaya dengan gelar
Bhatara Narasinga. Ranggawuni adalah putra dari Anusapati
yang berarti cucu dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes.
Sementara Mahisa Campaka adalah putra dari Mahisa
Wongateleng yang berarti cucu dari Ken Angrok dan Ken Dedes.
Keduanya diibaratkan dwi-tunggal guna menyatukan antara
pendukung Tunggul Ametung dengan pendukung Ken Angrok.
Konflik Singasari pun berakhir pada pemerintahan Ranggawuni
sehingga ia akhirnya dapat meninggal tanpa harus terkena
kutukan keris Empu Gandring .

Setelah Ranggawuni mangkat, ia digantikan oleh anaknya
yang bernama Kertanegara. Ia memerintah dengan gelar Sri
Maharaja Kertanegara. Pada masa kekuasaannya ia
digambarkan sebagai pemimpin yang egois dan mementingkan
perutnya. Ia adalah raja yang gemar pesta dan mabuk-mabukan.

Dalam pemerintahan Kertanegara sempat terjadi
perombakan pejabat pemerintahan. Empu Raganata diturunkan
dari jabatan rakryan patih menjadi adhyaksa. Penggantinya
bernama Kebo Tengah atau Panji Aragani, sedangkan Arya
Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi Bupati
Sumenep. Panji Aragani digambarkan sebagai patih yang gemar
pesta-pora, sehingga sang raja pun larut dalam pestanya. Pada
saat sebagian besar prajurit istana sedang melakukan Ekspedisi
Pamalayu, jumlah tentara di istana tinggal sedikit bersisa.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh Jayakatwang yang saat itu
menjadi raja di Daha untuk menyerang Singasari. Kertanegara
akhirnya tewas dalam penyerbuan oleh Jayakatwang dan
dengan demikian berakhirlah Kerajaan Singasari .

Kisah pun masih berlanjut. Seusai pemberontakan
Jayakatwang, Raden Wijaya lari menuju Sumenep untuk
bertemu dengan Arya Wiraraja. Raden Wijaya pun diperintah
untuk pura-pura setia pada Prabu Jayakatong sembari meminta
sebuah daerah untuk digunakan sebagai basis kekuatannya. Oleh
Prabu Jayakatwang, Raden Wijaya diberi hak untuk membuka
hutan di Tarik. Ketika membuka lahan di sana, salah satu
prajuritnya menemukan buah maja yang rasanya amat pahit.
Sejak saat itu nama Tarik diubah menjadi Majapahit .

Kemarahan pasukan Tatar akibat penghinaan
Kertanegara pada saat ia masih hidup kepada Mengci membuat

Page | 118

Kubilai Khan memutuskan untuk menyerang Singasari. Tapi
Kubilai Khan tidak mengetahui bahwa Singasari telah tamat,
sehingga pasukan yang menuju ke Jawadwipa tetap saja bergerak
maju guna menghancurkan siapa pun penguasa di Jawadwipa.
Pasukan Tatar ini pun dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk
menggempur Jayakatwang di Daha. Jayakatwang pun akhirnya
menyerah dan kekuasaan di Daha dipegang oleh Raden Wijaya.
Setelah berhasil mengalahkan Daha, pasukan Raden Wijaya
langsung mengusir pasukan Tatar hingga mereka kembali ke
negerinya.

Raden Wijaya mampu mendirikan sebuah kerajaan baru
yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara. Raden Wijaya
pun menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Maharaja
Kertarajasa Jayawardhana.

Raja Majapahit berikutnya adalah Jayanagara yang
bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya
Dewa Adhiswara. Masa pemerintahannya banyak diwarnai
pemberontakan, hal ini karena terdapat tokoh bernama Mahapati
yang terobsesi menjadi Mahapatih kerajaan. Para pesaing-
pesaing Mahapatih seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti
dihasutnya supaya memberontak hingga akhirnya mereka tewas
satu-persatu. Di antara pemberontakan-pemberontakan itu yang
paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, karena pada saat
itu ibukota kerajaan mampu diduduki oleh para pemberontak.
Tapi dengan sigap dapat segera ditumpas oleh pasukan
bhayangkari yang saat itu dipimpin oleh Gajah Mada.

Jayanagara wafat ditangan tangan tabib kerajaan. Ia
meninggal di tangan Ra Tanca ketika sang tabib mengobati bisul
sang raja. Ra Tanca pun kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.
Sebuah analisis politis timbul dalam diri penulis bahwa mungkin
ketidaktegasan Jayanagara adalah sebuah aib bagi kerajaan
sebesar Majapahit. Selain itu tindakan Gajahmada menuruti
perintah Jayanagara untuk melenyapkan mereka-mereka yang
merupakan pengawal setia dari Raden Wijaya diakuinya
sebagai suatu kesalahan besar. Hal ini berdasarkan
informasi bahwa nama Kalagemet yang diberikan oleh Serat
Pararaton merupakan sebuah ejekan untuk Jayanagara. Untuk
itu Gajah Mada merancang sebuah perbaikan untuk
menyelamatkan nama besar dan negerinya dengan
menggunakan tangan Ra Tanca guna mengganti raja yang
berkuasa saat itu.

Jayanagara lalu digantikan oleh adiknya, Tribhuwana
Wijayatunggadewi yang bergelar Sri Tribhuwana

Page 119 |

Tunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Dalam Serat
Pararaton ia bernama Bhre Kahuripan. Persitiwa penting yang
tercatat dalam masa pemerintahan Bhre Kahuripan adalah
Sumpah Palapa yang dikumandangkan oleh Gajah Mada. Dengan
lantang Gajah Mada berkata: “Sadurunge samya nungkul,
Nusantara Pulo Bali, Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang lan
Tumasik, Dompo, Sunda, lan Palembang, tan arsa bukti rumiyin.”
Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan makan enak
sebelum seluruh wilayah Nusantara tunduk pada kekuasaan
Majapahit. Masa Bhre Kahuripan adalah masa perluasan wilayah
Majapahit, sebagai pelaksanaan atas Sumpah Palapa yang
terlanjur diucapkan oleh Gajah Mada.

Bhre Kahuripan mundur dari takhta raja Majapahit dan
digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk, yang bergelar
Rajasanegara. Peristiwa Bubat menjadi hal yang paling terkenal
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Tahun 1351 Hayam
Wuruk hendak menikahi putri dari raja Sunda yang bernama
Dyah Pitaloka Citrasemi. Sang raja memperbolehkan dengan satu
syarat, pernikahan ini tidak bertujuan untuk menyerahkan
kedaulatan Pajajaran pada Majapahit. Hayam Wuruk
menyetujuinya dan rombongan raja Sunda beserta putrinya
bergerak menuju Majapahit. Tapi di tengah jalan rombongan ini
dicegat oleh Gajah mada yang meminta supaya putri raja Sunda
dijadikan upeti sebagai pertanda tunduk pada Majapahit. Raja
Sunda menolak dan seluruh pasukan beserta para menak
melindungi sang raja dan sang putri. Pertempuran besar itu pun
berlangsung sengit tanpa ada yang lari hingga akhirnya semua
rombongan itu tewas di tangan pasukan Majapahit. Persitiwa ini
sungguh ironis dan mencoreng Sumpah Palapa sang Mahapatih
Gajah Mada.

Setelah Hayam Wuruk mangkat, Wikramawardhana
menggantikan posisi Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit yang
bergelar Bhre Hyang Wisesa Aji Wikrama. Pada masa ini Bhre
Hyang Wisesa memerintah Majapahit karena menikahi anak dari
permaisuri Hayam Wuruk (yang bernama Kusumawardhani).
Sebelum ajalnya Hayam Wuruk memberikan warisan berupa
pembagian kekuasaan untuk Kusumawardhani dan Bhre
Wirabumi. Kusumawardhani selaku putri dari permaisuri
diberi wilayah yang lebih luas, yaitu Majapahit Barat. Sementara
Bhre Wirabumi mendapat bagian Majapahit Timur
(Blambangan). Ketika Bhre Hyang Wisesa berkuasa, ia berselisih
dengan Bhre Wirabumi. Lalu terjadilah Perang Paregreg di mana
pihak Blambangan akhirnya kalah dan Bhre Wirabhumi

Page | 120

dipenggal kepalanya. Sementara itu pengikut-pengikut Bhre
Wirabumi banyak yang melarikan diri ke Pulau Bali.

Perang saudara yang makin membara mengakibatkan
lepasnya kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai dan berada di
luar Pulau Jawa. Kesibukan berperang antara Majapahit dengan
Blambangan membuat kerugian yang cukup telak bagi Majapahit.
Tercatat Majapahit berhutang sebesar 60.000 tail pada Dinasti
Ming di Cina. Karena pada saat penyerbuan ke Blambangan,
sebanyak 170 anak buah Laksamana Cheng Ho terbunuh.

Setelah Bhre Hyang Wisesa turun takhta, yang
menggantikan adalah Dewi Suhita. Dewi Suhita menjalankan
kekuasaan bersama sang suami, Bhre Hyang Parameswara
Ratnapangkaja. Kemunduran Majapahit pun terus berjalan.
Begitu pula ketika Majapahit dipimpin oleh Kertawijaya yang
bergelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Sebelum
menjadi raja, Kertawijaya pernah menjabat sebagai Bhre
Tumapel. Pada masa pemerintahannya Majapahit justru semakin
terpuruk dengan berbagai bencana alam yang menyertainya dan
peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh
keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.

Setelah itu Kertawijaya digantikan oleh Rajasawardhana
yang pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, dan
Bhre Kahuripan. Setelah Rajasawardhana mangkat di Majapahit
terjadi kekosongan pemerintahan selama tiga tahun.

Setelah itu Bhre Wengker menjadi raja di Majapahit. Bhre
Wengker bernama asli Girindrawardhana Dyah Suryawikrama
dan bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Kemunduran Majapahit
semakin mendekati titik nadir dengan banyaknya bencana yang
mendera. Dan raja Majapahit terakhir yang tercantum dalam
Pararaton adalah Bhre Pandan Salas yang bernama asli Dyah
Suraprabhawa dan bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singa
wikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.

Dalam kebesaran kerajaan Majaphit itu, ada beberapa raja
menyatakan dirinya sebagai keturunan dari dinasti Rajasa.
Beberapa raja Majapahit menyebutkan bahwa mereka
merupakan keturunan Rajasa. Ken Arok sebagai raja pertama
kerajaan Singasari tidak pernah tertulis di prasasti, dia hanya
disebutkan di dalam Pararaton dan Negerakertagama. Dalam
prasasti Mariboṅg pada 1186 śaka diketahui Śrī Jaya
Wiṣṇuwardhana33 dengan gelar Swapitā mahāstawanā

33 Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja
Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha,
yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu

Page 121 |

bhinnāsrantalokapālaka, pada prasasti Balawi tahun 1227 śaka
menyebutkan Śrī Mahārāja Narārya Saṃramawijaya dengan
julukan Rājasa waṃśa maṇiwṛndakostena, dan masih terdapat
beberapa prasasti di tanah Jawa yang menyinggung rājasa waṃśa
atau wangsa Rajasa. Prasasti lain, yaitu prasasti Kuśmala
menyebutkan Rakryān demuṅ Saṅ Martabun Raṅga Sapu dengan
julukan Makamaṅgala rakakiṅ amūrwwabhūmi. Kita tidak
menemukan satu prasasti pun yang berisi bahwa Sri Rajasa atau
Sang Amurwabumi sebagai pendiri Rajasa wamsa. Anehnya
dalam Pararaton, Negarakertagama dan Kidung Harsawijaya,
nama Sri Rajasa merupakan nama gelar yang diperuntukkan
bagi Ken Arok.

B. Beberapa Catatan Pararaton34
Semoga tidak ada halangan
Inilah kisah Ken Angrok. Mulai saat ia dilahirkan. Ada anak janda
dari desa Jiput, berkelakuan tidak baik, memutuskan ikatan
aturan dan menjadi pengganggu Hyang Sukma. Dia dari Jiput
mengungsi ke pertapaan Bulalak.

Nama pemimpin pertapaan di Bulalak Mpu Tapawangkeng yang
sedang membuat gapura asramanya. Dimintai sarana kambing
merah jantan oleh roh yang menunggu gapura.

Kata Tapawangkèng: "Tidak diperbolehkan oleh larangan, akan
menyebabkan dosa bagi diriku jika membunuh manusia. Tidak
ada yang akan bersedia menjadi korban kambing merah itu."

Akhirnya sang pemutus ikatan berkata, menyanggupi mejadi
korban untuk pintu gapura Mpu Tapawangkeng.

Dengan tulus dia sanggup menjadi korban, sebagai jalan kembali
ke surga Wisnu dan agar dilahirkan kembali ke dunia.
Demikian syaratnya.

Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar
dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati

dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan
Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago.
Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan
untuk menyebut tempat suci.
34Diambil sebagian dari karya Kriswanto (2009) dan dari
http://www.wacana.co/2009/02/pararaton-kitab-para-datu/

Page | 122

tujuh wilayah. Setelah itu dia mati sebagai korban oleh Mpu
Tapawangkeng. Lalu kembalilah dia ke surga Wisnu. Tidak
berdusta dengan syarat kematiannya yang menjadi korban, maka
dititiskanlah kembali ke timur Kawi.

Dewa Brahma sedang berkeliling mencari pasangan untuk
mendapatkan anak. Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru,
sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang
perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam.
Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si
Gadjahpara; nama sawah tempat ia mengirim: Ayuga; desa Ken
Endok bernama Pangkur.

Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok,
pertemuan mereka kedua ini terdjadi di ladang Lalaten.

Dewa Brahma memberi peringatan: "Jangan kamu bertemu
dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia
akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu:
Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa".
Dewa Brahma lalu hilang.

Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara.

Ken Endok berkata: "Ki Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya
ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di
ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan
lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan
kamu, dan akan tercampurlah anakku itu. Lalu pulanglah
Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan
ditemani didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap
Gajahpara. "Wahai, Ki Gajahpara putuslah perkawinanku dengan
dirimu, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak
mengijinkan aku berkumpul dengan dirimu lagi."

Kata Gadjahpara: "Nini, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat,
nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan
kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu
lagi, ni, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi".

Setelahah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara,
dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang
selatan.

Page 123 |

Belum genap sepekan Gajahpara mati.

Sorak orang-orang sambail berkata: "Luar biasa panas anak di
dalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua
laki-laki perempuan sudah diikuti orang tua laki-laki segera
mati".

Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki,
dibuang di kuburan kanak-kanak oleh Ken Endok. Saat itu ada
seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak-
anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong,
mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu,
nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil dan
dibawa pulang diaku anak oleh Lembong.

Ken Endok mendengar bahwa Lembong memungut seorang
anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan
menyebut-nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak-
kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok
datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri.

Ken Endok berkata: "Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu
tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika
kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma
bertemu dengan saya, jangan tuan tidak memuliakan anak itu,
karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua berayah satu,
demikian persamaannya."

Semakin sayang Lembong dan keluarganya.

Akhirnya semakin lama anak tersebut menjadi besar, dibawa
pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya
dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur.
Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong,
habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok.

Akhirnya ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak,
menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang
digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan
ribu oleh yang dipertuan di Lebak.

Page | 124

Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki-laki dan
perempuan, kedua duanya.

"Anakku, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal
kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi
budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak".

Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang
tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken
Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; Orang
yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas
kasihan.

Ada seorang penjudi Saji berasal dari Karuman, bernama Bango
Samparan, kalah taruhan dengan seorang bandar judi di
Karuman, ditagih tak dapat membayar uang.

Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berjiarah ke tempat
keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh
pulang ke Karuman lagi.

"Ada anakku yang akan menyelesaikan hutangmu. Dia bernama
Ken Angrok."

Bango Samparan lalu pergi dari Rabut Jalu. Setelah berjalan
semalaman, dia bertemu seorang anak, dicocokkan oleh Bango
Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok,
dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.
Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango
Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali
kekalahan Bango Samparan.

Sungguh benar petunjuk Hyang itu. Bango Samparan pulang, Ken
Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan
mempunyai dua orang istri, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan
Tirtaja nama isteri mudanja. Adapun nama anak anaknya dari
isteri muda, yalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang,
adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang
anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil
anak oleh Genuk Buntu.

Lama sudah Ken Angrok berada di Karuman, tidak dapat sehati
dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi

Page 125 |

dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang
anak gembala anak tuwan Sahaja, kepala desa tertua di
Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan
Ken Angrok.

Tita sangat mencintai Ken Angrok, selanjutnya Ken Angrok
bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah
Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang
bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng,
sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastra.

Maka diajarlah dia tentang sastra dan jenis-jenis aksara, baik
huruf hidup dan huruf mati, semua perobahan huruf, juga diajar
tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun
Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari
sembilan, nama nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita
kedua-duanya pandai diajar pengetahuan oleh Guru.

Ada tanaman sang pujangga yang menjadi hiasan halaman,
berupa pohon jambu, yang ditanamnya sendiri. Buahnya sangat
lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak
ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah
jambu itu.

Sang pujangga berkata: "Jika sudah masak jambu itu, petiklah".

Melihat buah jambu itu, Ken Angrok sangat ingin, sangat
dikenang-kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu
orang tidur sedang nyenyak-nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini
keluarlah kelelawar dari ubun-ubun Ken Angrok, berbondong
bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah
jambu sang guru.

Pagi harinya buah jambu tampak berserak-serak di halaman,
diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu
rusak berserakan di halaman itu, maka rnendjadi susah.

Sang guru atau pujangga berkata kepada murid-muridnya:
"Apakah sebabnya maka jambu itu rusak."

Pembantunya menjawab: "Tuanku rusaklah itu, karena bekas
kelelawar makan jambu itu".

Page | 126

Lalu Sang Pujangga mengambil duri rotan untuk mengurung
jambunya dan dijaga semalam-malaman Ken Angrok tidur lagi
diatas balai-balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang
kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap. Menurut
penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong-
bondong, keluar dari ubun-ubun Ken Angrok, semuanya makan
buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya
mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya,
marahlah guru itu.

Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam
guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung
huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Sang
Pujangga melihat keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah
ilalang.

Sang Pujangga terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa
yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun,
dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken
Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi-paginya ia disuruh
mengambil buah jambu oleh guru. Ken Angrok senang.

Dia berkata : "Aku berharap dapat menjadi orang, sehingga dapat
membalas hutang budi kepada Sang Pujangga."

Ken Angrok telah dewasa dan menggembala bersama Tuwan
Tita, membangun pondok, bertempat di sebelah timur
Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk
menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan
Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang
Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut
serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani
didalam pertemuan di dalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga.
Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia
memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai
di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu,
maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang
berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung.

Ken Angrok pergi dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat
keramat. Rabut Gorontol.

Page 127 |

"Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan
saya" “Semoga keluar air dari yang tidak ada, sehingga terdjadilah
tahun tak ada kesukaran di Jawa." Demikian kata Ken Angrok.

Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di
Sukamanggala. Ada seorang pemikat burung pitpit, ia
memperkosa orang yang sedang memanggil manggil burung itu,
lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat
tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi
ke Jun Watu, daerah orang sempurna.

Lalu ia pergi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk
desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget. Lamalah
ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang lewat.
Lalu ia pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan,
ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan
mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai, setelah siang,
diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang
Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu
ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.

Dia menangis, menyebut nyebut Sang Pencipta Kebaikan atas
dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh
memotong daun tal, untuk didjadikan sayapnya kiri kanan, agar
supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati.

Dia segera memetik daun tal mendapat dua helai, dijadikan
sayapnya kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan
mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia ke desa
Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke desa
Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan
didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara
diaku anak oleh yang dipertuan itu.
Anak yang dipertuan di desa itu sedang bercocoktanam,
banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi
mengeringkan empangan, tinggal lima orang; yang sedang pergi
itu diganti menanam oleh Ken Angrok.

Lalu datanglah orang-orang yang mengejarnya, seraya berkata
kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan kepala daerah, ada
seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi kemari."

Page | 128

Kepala desa menyahur: "Tuan tuan, kami tidak sungguh bohong
kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang
bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih
dari enam orang tentu ada orang lain di sini"

Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anakmu
enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang."

Pergilah yang mengejar.

Kata kepala desa kepada Ken Angrok: "Pergilah kamu, buyung,
jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang
membicarakan kata-kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung
kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan". Maka kata Ken
Angrok: "Semoga berhenti lagilah yang mengejar, itulah
sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan,
Patangtangan namanya.

Lalu Ken Angrok mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. Dia
semakin menjadi-jadi.

Adalah seorang kepala desa Luki akan melakukan pekerjaan
membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang,
mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi
untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu,
dimasukkan kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan;
sangat asyiklah kepala desa itu, selalu membajak ladang kacang
saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok,
tiap-tiap hari terdjadi demikian itu, kepala desa bingunglah,
karena tiap-tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya,
kata kepala desa: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang."
Sekarang nasi anak gembala kepala desa di tempat membajak itu
diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh
membajak.

Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan
mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya,
kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap-tiap
hari itu," Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan kepala desa,
saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari,
karena saya lapar, tak ada yang kumakan.." Kata kepala
Lingkungan: "Nah buyung. datanglah ke rumahku, kalau kamu
lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap-tiap hari

Page 129 |

mengharap ada tamu datang" lalu Ken Angrok diajak pergi ke
rumah tempat tinggal kepala desa itu, dijamu dengan nasi dan
lauk pauk. Kata kepala desa kepada isterinya: "Nini batari, saya
berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari,
meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas-lekas terima sebagai
keluarga, kasihanilah ia"

Alkisah Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ
menuju ke Lulumbang, ke Banjar Kocapet. Ada seorang kepala
desa Turyantapada, yang sedang pulang dari Kebalon, bernama
Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada buyut di
Kebalon yang kepandaian membuat kerajinan emas dengan
sesempurna, sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot
pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil,
berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian
ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan
perampokan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak
mengerti jika orang yang dijumpai itu adalah Ken Angrok. Kata
Ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah
tuanku ini?"

Sang Mpu menjawab: "Aku sedang bepergian dari Kebalon, akan
pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada
orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken
Angrok".

Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan
menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan
kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama Ken
Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan
khawatir." Mpu di Turyantapada itu merasa berhutang budi
mendengar kesanggupan Ken Angrok.

Sesampainya di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu
kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak
kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot,
selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah
sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa.
Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot,
karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok
disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh
menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas

Page | 130

pada buyut di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang
sudah ada.

Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tetapi tidak
dipercaya oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok lalu marah :
"Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini." Ken
Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa
tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa-petapa yang
berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para
punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama-
sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan
perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan
kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Segera mendengar
suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para
petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam
tengah ini." Demikanlah suara dari angkasa, terdengar oleh para
petapa.

Ken Angrok ditolong daan bangun seperti sedia kala. Ken
Angrok lalu mengutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur
Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda
emas."

Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke
desa Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken
Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke desa Tugaran,
Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas kasih, digangguilah
orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya
diambil diletakkan di daerah Bapa, kemudian dijumpai anak
perempuan kepala desa di Tugaran itu, sedang menanam kacang
di tegal. Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken
Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan
berkarung-karung; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran
benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang
ke daerah Bapa lagi. Kata Ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi
orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di
daerah Bapa ini.

Tersiar kabar di kota Daha bahwa Ken Angrok membuat
kerusuhan dan bersembunyi di Turyantapada. Diadakan
tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha,
pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka. Ia pergi
dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala desa Limbehan

Page 131 |

menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken
Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat
Rabut Kedung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk dewa,
disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage,
Warigandyan, Saat itu para dewa sedang berkumpul dan
bermusyawarah.

Kata seorang nenek di Panitikan: "Aku akan membantu
menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan
tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua
dewa dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek di Panitikan.

Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage,
Warigadyan tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi
di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek
kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur,
petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan
masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia
mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung
bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang
rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya."
Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan
pembicaraan.

"Siapa yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian
pertanyaan para dewa semua. Menjawablah dewa Guru:
"Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia
yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah
Jawa." Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat,
oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui menjadi
titisan Batara Guru.

Setelah merestui, para dewa bersorak bergemuruh. Diberi
petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang
brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. Dia ini baru saja
dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal
mulanya ada brahmana di sebelah timur Kawi. Pada waktu ia
menuju ke Jawa, tidak berperahu hanya naik rumput kekatang
tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah
Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang
tangannya melampaui lutut, telapak tangan kanannya bergambar

Page | 132

cakra dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada
waktu aku bersemedi, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu.

Katanya ketika aku dahulu masih di Jambudwipa, demikian:
"Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca
Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di
Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian." Tak
lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, setelh
diamat dengan baik, betul ia adalah orang yang tampak pada
Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia bersemedi. Maka ia ditanyai.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Benrkah kamu yang bernama Ken
Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu
tampak padaku pada waktu aku bersemedi." Menjawablah Ken
Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok." Dipeluklah
ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku
anak, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja
kamu pergi."

Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula
brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang
sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala
daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata
Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana
tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan." Menjawablah
Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang
dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang
akuwu". Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya,
kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram
pada anaknda ini". Demikianlah kata Tunggul Ametung.
Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung
yang berpangkat akuwu di Tumapel itu,

Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha,
menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen35,
bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan
tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak
perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes.
Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya

35 Kanuruhan (Kejuron), Palawijen (Panawijen), Tugaran (Tegaron), Balandit
(Walandit, Wendit) merupakan desa-desa kuno yang telah ada sejak abad IX-X
Masehi (Lutfi, 2003).

Page 133 |

itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul
Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung
menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes;
Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken
Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggul Ametung.

Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai
anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu
soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah
yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut
mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil
isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga
menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar
air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa
anakku dilarikan orang dengan paksaan.

Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan
gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga
ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar." Demikian
kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen.

Setelah datang di Tumapel, Ken Dedes ditemani oleh Tunggul
Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya,
baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala
mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang,
bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji; Ken Dedes
turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap
betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh
Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya
memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu,
jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat.

Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken
Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata:
"Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya,
tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk
atau tanda baikkah itu". Dang Hyang menjawab: " Siapa itu,
buyung". Kata Ken Angrok: "Bapa, memang ada seorang
perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba". Kata Dang
Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan
itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama,
buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi

Page | 134

maharaja." Ken Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang
Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang
akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan
saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan
mengijinkan."

Jawab Dang Hyang: "Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung
olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu
bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu
sendiri." Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba
memohon diri kepada tuan." Sang Brahmana menjawab: "Akan
kemana kamu buyung?" Ken Angrok menjawab: " Hamba pergi
ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada
hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah
yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan
menyetujuinya." Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian,
kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung." Kata Ken
Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana." Ken Angrok
pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan
Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang
kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini,
lama betul kamu pergi."

Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa,
menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang
kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta,
tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada
seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang
Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba
bertanya kepadanya: "Apakah nama seorang perempuan yang
menyala rahasianya itu." Kata Sang Brahmana: "Itu yang disebut
seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu,
karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi
maharaja." Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul
Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar
supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa
Dang Hyang, Kata Dang Hyang: "Buyung Angrok, tidak dapat
seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang
mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu
sendiri." Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk
meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh
dengan rahasia, tentu Akuwu mati oleh hamba."

Page 135 |

Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau demikian,
saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada
Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya
saja, Ken Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika
kamu tusuk keris yang kurang bertuah.Saya ada seorang teman,
seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring,
keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya,
tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh
membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan
itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara
rahasia."

Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. Kata Ken
Angrok: "Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang."
Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan
Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken
Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali yang
bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah
keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang
keperluan yang harus hamba lakukan." Kata Mpu Gandring:
"Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira
– kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,"
Ken Angrok berkata: "Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya
saja, hendaknya selesai didalam lima bulan." Ken Angrok pergi
dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang
Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok:
"Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu."Sesudah genap
lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia menyuruh
membuatkan keris kepada Mpu Gandring.

Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang
sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken
Angrok. Kata Ken Angrok: "Manakah pesanan hamba kepada
tuan Gandring." Menjawablah Gandring itu: "Yang sedang saya
asah ini, buyung Angrok." Keris diminta untuk dilihat oleh Ken
Angrok. Katanya dengan agak marah: "Ah tak ada gunanya aku
menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai
diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan
kerjakan selama lima bulan itu." Menjadi panas hati Ken Angrok,
akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu.
Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang

Page | 136

berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga
ini berbelah menjadi dua.

Kini Gandring berkata: "Ken Angrok, kelak kamu akan mati oleh
keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh
orang raja akan mati karena keris itu." Sesudah Gandring berkata
demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak
menyesal karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok:
"Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga
kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang." Lalu pulanglah
Ken Angrok ke Tumapel.

Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo,
bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu itu
Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru,
berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat,
masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata kepada
Ken Angrok: " Wahai kakak, saya pinjam keris itu." Diberikan
oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang
memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh
Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo
Hijo menyisip keris baru dipinggangnya.

Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat
diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada
waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik,
sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib
baik, ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang
perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok,
tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris
buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja.

Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul
Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu
dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja.
Kata orang Tumapel semua:

"Terangnya Kebo Ijo-lah yang membunuh Tunggul Ametung
dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih
tertanam didada Sang Akuwu di Tumapel. Kini Kebo Hijo
ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan
keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo.

Page 137 |

Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama Mahisa Randi,
sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh belas
kasihan kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken
Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap Mahisa Randi.
Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken
Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes,
lamalah sudah mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang
Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken
Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam,
tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok
kawin dengan Ken Dedes.

Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah
mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken
Angrok dan Ken Dedes sangat cinta mencintai. Telah lama
perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan
seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi
nama Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya
Sang Apanji Anengah.

Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes itu, maka
Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki, bernama
Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng
bernama Sang Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki
bernama Agnibaya, adik Agnibaya perempuan bernama Dewi
Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang
anak.

Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia
melahirkan anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji
Tohjaya, bernama Twan Wregola, adik Twan Wregola
perempuan bernama Dewi Rambi.Banyaknya anak semua ada
sembilan orang, laki laki tujuh orang, perempuan dua
orang.Sudah dikuasailah sebelah timur Kawi, bahkan seluruh
daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken
Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya
untuk menjadi raja, orang orang Tumapel semua senang, kalau
Ken Angrok menjadi raja itu.

Kebetulan disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah raja
Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang berada di
seluruh wilayah Daha, katanya: "Wahai, tuan tuan bujangga

Page | 138

pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan
tuan tidak menyembah kepada kami, bukanlah kami ini semata
mata Batara Guru." Menjawablah para bujangga di seluruh
daerah negara Daha: "Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak
ada bujangga yang menyembah raja." demikianlah kata bujangga
semua. Kata Raja Dandhang Gendis: "Nah, jika semenjak dahulu
kala tak ada yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami
tuan sembah, jika tuan tuan tidak tahu kesaktian kami, sekarang
akan kami beri buktinya."

Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak
itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak,
seraya berkata: "Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah kesaktian
kami." Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata mata
Batara Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh daerah
Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau,
bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel,
menghamba kepada Ken Angrok.

Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha. Tak lama
sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel,
negaranya bernama Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga
pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha,
terutama Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta
istana, adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken
Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil,
diberi perlindungan dan diberi belas balasan atas budi jasanya,
misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala
lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi Lulumbang
yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang
itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak
beliung cangkulnya.

Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu
Gandring. Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama
Wangbang Sadang, lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu,
dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama Cucu
Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat
berhasillah negara Singasari, sempurna tak ada halangan. Telah
lama terdengar berita, bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja,
diberitahulah raja Dandhang Gendis, bahwa Ken Angrok
bermaksud akan menyerang Daha.

Page 139 |

Kata Raja Dandhang Gendis: "Siapakah yang akan mengalahkan
negara kami ini, barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun
dari angkasa, mungkin baru kalah." Diberi tahulah Ken Angrok,
bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian.Kata Sang
Amurwabumi: "Wahai, para bujangga pemeluk Siwa dan Budha,
restuilah kami mengambil nama penobatan Batara Guru."
Demikianlah asal mulanya ia bernama penobatan Batara Guru,
direstui oleh bujangga brahmana dan resi.

Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang
Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel
datang menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: "Kami akan
kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa." Sekarang
tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang
disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh
membunuh, terdesaklah tentara Daha. Adik Raja Dandhang
Gendis gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan,
bersama sama dengan menterinya yang perwira, bernama Gubar
Baleman.

Adapun sebabnya itu gugur, karena diserang bersama sama oleh
tentara Tumapel, yang berperang laksana banjir dari gunung.
Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti
kekuatan perang telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti
lebah, lari terbirit birit meninggalkan musuh seperti kambing,
mencabut semua payung payungnya, tak ada yang mengadakan
perlawanan lagi.

Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran,
mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa,
beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan
pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik
ke angkasa. Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok. Dan adik adik
Sang Dandhang Gendis, yalah: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan
Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang Gendis kalah
berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa, bergantung
gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu
menghilang bersama sama dengan istananya juga.

Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke
Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja telah
berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka: 1144. Lama-

Page | 140

kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak tunggal
Tunggul Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya.

"Hamba takut terhadap ayah tuan", demikian kata pengasuh itu:
"Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan". Karena tidak
mendapat keterangan, Nusapati bertanya kepada ibunya: "Ibu,
hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini?" Kalau
ayah melihat hamba, berbeda pandangannya dengan kalau ia
melihat anak anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah
itu."

Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken
Dedes: "Rupa rupanya telah ada rasa tidak percaya, nah, kalau
buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung, pada
waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya
diambil oleh Sang Amurwabumi.:Kata Nusapati: "Jadi
terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba, lalu
bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?" "Sang
Amurwabumi buyung yang membunuhnya." Diamlah Ken
Dedes, tampak merasa membuat kesalahan karena memberi
tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Anusapati:
"Ibu, ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba pinta,
ibu."

Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang
ke tempat tinggalnya. Adalah seorang hambanya berpangkat
pengalasan di Batil, dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh
Ken Angrok, diberi keris buatan Gandring, agar supaya
dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi, orang di Batil
itu disanggupi akan diberi upah oleh Nusapati. Berangkatlah
orang Batil masuk kedalam istana, dijumpai Sang Amurwabumi
sedang bersantap, ditusuk dengan segera oleh orang Batil. Waktu
ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu Landhep, saat ia
sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam,
orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah Sang
Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil, mencari
perlindungan pada Sang Anusapati, kata orang Batil: "Sudah
wafatlah ayah tuan oleh hamba." Segera orang Batil ditusuk oleh
Nusapati. Kata orang Tumapel: "Ah, Batara diamuk oleh
pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka
1168, dicandikan di Kagenengan.

Sesudah demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia

Page 141 |


Click to View FlipBook Version