The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dretnowati21, 2021-08-14 23:48:29

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

_MULTI DOKUMEN DAN HISTORISITAS RAJA SINGASARI PDF

Keywords: Raja,Singasari,dokumen,histori

keturunan raja-raja dengan nama Dinasti Rajasa. Diawali
perebutan kekuasaan tahun 1222 Masehi oleh Sri Rajasa yang
dianggap merepresentasikan Jenggala (belahan timur) terhadap
penguasa Kerajaan Kediri (belahan barat) dengan raja Kertajaya.

Proses perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Sri
Rajasa tidak lah selesai dan menyatukan dengan tuntas
selamanya. Tapi tetap menimbulkan gejolak politik yang terus
membayangi kerajaan baru itu dalam perjalannya, tentunya dari
sisa-sisa basis kekuatan yang dikalahkan. Terbukti dari beberapa
peristiwa pemberontakan yang dilancarkan dan masih
terdapatnya bahaya laten dari keturunan para penguasa yang
notabene dulunya ditaklukan tetapi tidak dimusnahkan.

Untuk mempertahankan perdamaian, kesatuan dan
keberlangsungan Kerajaan Singasari, upaya internal dan upaya
eksternal telah dilakukan. Untuk langhah politik ke dalam negeri,
Kertanegara harus segera mendapatkan solusi menangani
konflik atau ancaman disintegrasi dari bangsanya sendiri. Apa
yang dilakukan oleh Kertanegara dengan menikahkan putrinya
dengan anak Jayakatwang, Pangeran Ardharaja adalah
kebijakan untuk meredam bahaya laten itu sendiri, dengan
metode melakukan perkawinan atas dasar kepentingan politik.

Tapi apapun bentuk kebijakan politik luar negeri haruslah
terlebih dahulu membereskan perpolitikan dalam negeri, harus
mendapat dukungan politik dari masyarakatnya, dan akhirnya
faktor dalam negeri inilah terlebih dahulu harus diyakini tidak
akan bermasalah. Maka dengan ini disinyalir bahwa yang menjadi
sebab mengapa dilakukan penobatan Sri Kertanegara sebagai
Jina (Budha Agung) dengan dilambangkan oleh patung atau arca
Mahaksobhya atau seperti diawal artikel lebih dikenal dengah
nama Joko Dolog untuk sebutan Arca Mahaksobhya ini.

Untuk langhah politik ke luar negeri, Kertanegara harus
segera melakuan lobi politik ataupun penghimpuan kekuatan
yang didukung oleh kerajaan lain di nusantara. Penghimpunan
kekuatan itu dilakukan dengan perintah Ekspedisi Pamalayu,
salah satu program kebijakan politik luar negeri yang
dicanangkan oleh Kertanegara jauh-jauh hari, sejumlah
kekuatan pasukan besar Singosari dikerahkan keluar negara
untuk menunjukan superioritas kerajaan, dengan harapan selain
perluasan wilayah juga cara ini tidak akan banyak perlawanan
berarti dari kerajaan-kerajaan lain, dan kerajaan lain akan
tunduk dengan sendirinya, tanpa harus melakukan perang. Pada
saat menyatakan perang inilah rintisan yang sebelumnya sudah

Page | 42

dibuat harus dihimpun kembali segera, dan Ekspedisi Pamalayu
semakin ditingkatkan.

Pada tahun 1211 saka atau 1289 Masehi, Raja Kertanegara
kedatangan tamu asing, tiada lain panglima Men Shi atau Meng-
qi beserta rombongan lainya sebagai utusan dari Kerajaan
Mongol. Kertanegara menolak untuk tunduk dibawah perintah
atau kekuasaan Kekaisaran Mongol dengan penguasanya yang
bernama Kubilai Khan.

Kembali lagi ke masalah penghinaan utusan tentara Mongol,
tindakan itu merupakan genderang perang yang sudah terlanjur
ditabuh oleh Kertanegara terhadap pasukan besar Kekaisaran
Mongol, artinya Singosari harus segera dan sudah siap-siap
dengan segala resiko untuk mempertahankan diri dari serangan
yang diperkirakan tidak akan lama lagi tiba. Situasi seperti inilah
yang memaksa Kertanegara berpikir keras, merencanakan
strategi, melakukan berbagai manuver dan langkah politik baik
itu ke dalam negeri dan ke luar negeri.

Isi dari prasasti Wurare atau Joko Dolog adalah sebagai
berikut:.

1. adāu namāmi sarbājñaṃ, jñānakayan tathāgataṃ,
sarwwaskandhātiguhyasthani, sad-satpakṣawarjjitaṃ.

2. anw atas sarwwasiddhim wā, wande'hang gaurawāt sadā,
çākakālam idaṃ wakṣye, rajakïrttiprakaçanaṃ.

3. yo purā paṇḍitaç çreṣṭha, āryyo bharāḍ abhijñātah,
jñānasiddhim samagāmyā, bhijñālabho munïçwarah.

4. mahāyogïçwaro dhïrah, satweṣu kāruṇātmakah,
siddhācāryyo māhawïro rāgādikleçawarjjitah.

5. ratnākarapramāṇān tu, dwaidhïkṛtya yawāwanlm,
kṣitibhedanam sāmarthya, kumbhawajrodakena wai.

6. nrpayoṛ yuddhākaiikṣinoh, estāsmaj janggalety eṣā,
pamjaluwiṣayā smṛtā

7. kin tu yasmāt raraksemām, jaya-çrï-wiṣnuwarddhanah, çrï-
jayawarddhanïbhāryyo, jagannāthottamaprabhuh

8. ājanmapariçuddhānggah, krpāluh dharmmatatparah,
pārthiwanandanang krtwā, çuddhakïrttiparākramāt

9. ekïkrtya punar bhümïm, prïtyārthan jagatām sadā,
dharmmasamrakṣanārtham wā pitrādhiṣthāpanāya ca

10. yathaiwa kṣitirājendrag, çrï-hariwarddhanātmajah, çrï-
jayawarddhanïputrah, caturdwïpegwaro munih

11. ageṣatatwasampürnno, dharmmāgastrawidam warah,
jïrnnodhārakriyodyukto, dharmmagasanadecakah

12. çrï-jnānaçiwabajrākya, ç çittaratnawibhüsanah,
prajñāragmiwiçuddhānggas, sambodhijñānapāragah

Page 43 |

13. subhaktyā tam pratiṣthāpya, swayaṃ purwwam

pratiṣthitam, çmāçane urarenāmni,
mahākṣobhyānurüpatah
14. bhawacakre çakendrābde, māse cāsujisaṃjñāke,
pañcaṃyām çuklapakse ca, ware, a-ka-bu-saṃjñāke

15. sintanāmni ca parwwe ca, karane wiṣtisaṃskrte,
anurādhe'pi naksatre, mitre ahendramandale
16. saubhāgyayogasaṃbandhe, somye caiwa muhürttake, kyāte
kuweraparwwege tulārāçyabhisaṃyute

17. hitāya sarbasatwānām, prāg ewa nrpates sadā,
saputrapotradārasva kṣityekibhāwakāranāt

18. athāsya dāsabhüto'ham, nādajño nama kïrttinah,
widyāhïno'pi saṃmuḍho, dharmmakriyāṣw atatparah

19. dhārmmadhyakṣatwam āsādya, krpayaiwāsj'a tatwatah,
sakākalam sambaddhatya, tadrājānujnayā puñah

Terjemahan dan tafsiran bebas adalah sebagai berikut:
1. Pupuh 1, pertama-tama saya panjatkan puja puji syukur

kepada Sang Tathagata (Pencipta), Sang Maha Tahu yang
merupakan perwujudan dari segala pengetahuan, yang
keberadaanya tersembunyi di antara semua unsur atau
elemen kehidupan (skandha) dan yang terbebaskan dari
segala bentuk ketiadaan dan keniscayaan.

2. Pupuh 2, Dengan segala penuh kehormatan selanjutnya atas
kegemilangan yang mendunia dan yang akan dicatat sebagai
sejarah pada tahun Saka masa yang menggambarkan
kemuliaan raja.

3. Pupuh 3, Adalah Arya Bharada yang Terhormat di antara

yang terbaik dari golongan orang-orang bijak dan orang-
orang terpelajar, yang konon pada masa lampau, zaman
terdahulu, berdasarkan hasil kesempurnaan pengalamannya
oleh karenanya memperoleh abhijna (pengetahuan dan

kemampuan supranatural).

4. Pupuh 4, Terkemuka diantara para yogi besar, yang hidupnya
penuh ketenangan, penuh kasih dan mahluk yang pandai
berserah diri, seorang guru Siddha, seorang pahlawan besar
dan yang berhati bersih jauh dari segala noda dan prasangka.

5. Pupuh 5-6. Yang telah membagi dataran Jawa menjadi dua
bagian dengan batas luar adalah lautan, oleh sarana kendi

Page | 44

(Kumbha) dan air suci dari langit (vajra). Air suci yang
memiliki kekuatan putus bumi dan dihadiahkan bagi kedua
pangeran, menghindari permusuhan dan perselisihan –
olehkarena itu kuatlah Jangala sebagaimana Jayanya Panjalu
(vishaya).

6. Pupuh 7-9. Tetapi, dalam hal ini Raja Sri Jaya
Wisnuwadhana, yang mempunyai pramesuri Sri
Jayawardhani, yang terbaik di antara para penguasa bumi,
yang memiliki kesucian jiwa pada kelahirannya, penuh kasih
dan penguasa keadilan, oleh sebab disegani oleh para
penguasa lainnya dikarenakan kesucian dan keberaniannya
dalam mempersatukan negara untuk kemakmuran rakyat,
menjaga hukum dan menetapkannya dan pewaris dari
penguasa keadilan sebelumnya.

7. Pupuh 10-12. Tersebutlah, Seorang Raja yang bernama Sri
Jnanasiwawajra (Kertanegara), putra dari Sri
Hariwardhana (Sri Jaya Wisnuwadhana) dan Sri Jaya
Wardhani, adalah raja dari empat pulau, luas ilmunya dan
adalah yang terbaik dari semuanya, yang memahami segala
hukum dan membuatnya, yang mempunyai kecemerlangan
pikiran dan sangat bersemangat untuk melakukan pekerjaan
perbaikan dalam kehidupan beragama, yang tubuhnya
disucikan dengan sinar kebijaksanaan dan yang sepenuhnya
memahami sambodhi (ilmu pengetahuan agama Buddha) –
layaknya sang Indra diantara mereka para raja yang
memerintah di bumi.

8. Pupuh 13-17. Maka dibuatlah tugu peringatan (Arca) setelah
pengabdiannya sebagai perlambang kebesaran dirinya yang
ditahbiskan dalam bentuk perupaan Mahakshobhya, pada
tahun 1211 Saka pada bulan atau Asuji (Asvina) pada hari
dikenal sebagai Pa-ka-bu, hari kelima dari cahaya bulan
setengah terang, sebagai mana kisah dalam Parvan bernama
Sinta dan vishti karana, Ketika Para Anuradha Nakshatra
berada di bola atau Indra, terus Saubhagya yoga dan Saumya
muhurta dan di Tula Rasi - demi kebaikan semua makhluk,
dan yang Terutama dari Semuanya, oleh karena raja dengan
keluarganya, telah membawa persatuan negara.

9. Pupuh 18-19. Saya, (yaitu abdi raja, pembuat prasasti) hamba
yang rendah hati, yang dikenal dengan nama Nadajna,

Page 45 |

meskipun bodoh, tanpa belajar dan hanya sedikit melakukan
kebaikan, telah melakukan atas dasar persetujuan Raja,
menjadi pemandu upacara ritual keagamaan, telah diperintah
oleh Vajrajnana untuk mempersiapkan kisah ini.

Dalam prasasti ini, ada beberapa informasi yang menarik
untuk dielaborasi lebih lanjut. Pertama, awal pengkisahan berupa
pembagian wilayah kerajaan Medang menjadi dua wilayah timur
dan barat, Panjalu dan Jenggala. Pembagian itu dilakukan oleh
Arya Bharada dengan menggunakan air suci dari langit
(vajra/Wajra) yang mempunyai kekuatan putus bumi. Air
tersebut bisa memisahkan daratan, dan air tersebut diartikan
sebagai Sungai Brantas. Cerita tersebut adalah sama seperti yang
diceritakan juga oleh Nagarakertagama.

Arti tataran Jawa yang dimaksud diatas dengan dilihat
wilayah kekuasaan Kerajaan medang sebelumnya secara faktual,
disebelah barat dibatasi oleh sungai Kali Deres, Jawa tengah.
Sebelah timur sampai pengujung pulau Jawa. Pulau Bali dan
Madura serta pulau-pulau nusantenggara secara fakta mereka
adalah kerajaan bawahan bukan termasuk kedalam klaim
wilayah kekuasaan kerajaan Medang. Tataran Jawa bagian Barat,
setelah pembagian wilayah, dikuasai oleh Kerajaan Panjalu
(kediri) sedangkan bagian timur dikuasai oleh kerajaan Jenggala.

Maksud kisah ini diangkat kembali dalam prasasti Wurare
hanyalah untuk mengingatkan seluruh masyarakat wilayah
kedua kerajaan sebelumnya. Mereka diingatkan bahwa
pembagian wilayah ini sedari semula adalah sesuatu yang resmi.
Ditegaskan pula bahwa pembagian ini sudah menjadi kehendak
Langit. Artinya adalah bahwa pembagian itu direstui oleh Sang
Maha Pencipta. Yang bertugas membagi bukanlah tokoh
sembarangan. Dia adalah Mpu Maha Sakti, Bharada atas izin-Nya,
dengan cara mengalirkan air suci dari langit dengan wahana
berupa sebuah kendi, dan terbentuklah Kali Brantas. Prasasti ini
menegaskan bahwa jangan ada lagi pihak-pihak lain yang akan
mengklaim dan berniat menyatukan kedua kerajaan itu kembali,
niat ini merupakan bahaya laten dalam pandangan Kertarajasa.

Kembali ditegaskan bahwa cerita ini diangkat sebagai
doktrinisasi bahwa kehancuran atau keruntuhan kerajaan
sebelumnya Jenggala dan Panjalu adalah keniscayaan karena
tidak menerima apa yang telah diperintahkan dan ditakdirkan
oleh Sang Maha Pencipta, melalui keputusan Airlangga.

Kedua. Penobatan Kertanegara dengan menyandang gelar
Jina atau sosok Budha Agung, dengan segala kesucian dan
kesempurnaan kepribadian penokohannya, yang dimunculkan

Page | 46

pada pengkisahan selanjutnya. Penobatan sebagai Jina tersebut
dimaksudkan sebagai strategi mengantisifasi pernyataan
pertama tentang pembagian wilayah Kerajaan Medang.
Penobatan ini bermaksud untuk menggagalkan perintah pertama
seperti disebutkan diatas yaitu untuk pembagian kedua daerah
kerajaan tersebut. Keberhakannya didasari bahwa Kertarajasa
adalah perwujudan dari Budha Agung, artinya apa yang dia
lakukan sudah menjadi kehendak sang Pencipta, sebagai
pelimpahan perwakilan, bahwa Kertanegara adalah sosok
penjelmaan Sang Pencipta itu sendiri di muka bumi.

Dalam kisah ini ditegaskan bahwa semua pihak harus
menerima keberadaan pemerintahan yang berkuasa sekarang,
dan bahwa mulai dari leluhur sampai anak keturunannya nanti
pun masih berhak menyandang dan mewarisi kekuasaan
tersebut, seperti diceritakan pada bagian akhir prasasti. Dan ini
pernyataan tegas bahwa tidak akan memberikan peluang bagi
keturunan Dinasti Airlangga untuk berkuasa kembali.

Semua kisah prasasti merupakan pernyataan politik
pemerintah terhadap publik sendiri. Sasaran politiknya adalah ke
internal, semua komponen kerajaan Singosari. Pergolakan politik
dan pemberontakan di dalam negeri terus menghantui
keberlangsungan kerajaan. Pemberontakan yang pernah terjadi:
1) Pemberontakan yang dilakukan dan dipimpin oleh seseorang
yang bernama Cayaraja (Cahaya Raja) tahun 1192 saka atau 1270
Masehi (Negarakertagama pupuh 41 bait 5 dan 1)
Pemberontakan yang dilakukan dan dipimpin oleh seseorang
yang bernama Mahisa Rangga (Mahisa Rangkah) tahun 1202
saka atau 1280 Masehi (Negarakertagama pupuh 42 bait 1).
Itulah pemberontakan terbesar yang diabadikan dalam
Nagarakertagama.

Pernyataan politik yang tersurat dalam prasasti Wuware
mensiratkan kekawatiran dari Kertanegara menghadapi situasi
perpolitikan yang ada. Sri Kertanegara menyadari, adanya
peluang terhadap pengambilalihan kekuasaan dari pihak-pihak
yang masih tidak puas atau dari pihak yang merasa masih
mempunyai hak atas tahta yang dulu direbut oleh kakek
Buyutnya Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, raja pertama dinasti
Rajasa dari tangan kekuasaan Kediri, Kertajaya, pada tahun
1144 saka atau 1222 Masehi. Seiring berjalannya waktu,
kekawatiran itu terwujud, dengan adanya pemberantokan atau
kudeta balas dendam yang dilakukan oleh besannya sendiri,
Jayakatwang, pada tahun 1214 saka atau 1292
(Nagarakertagama pupuh 44 dan 45).

Page 47 |

Pemberontakan-pemberontakan dalam analisa sebelumnya
dan terakhir Jayakatwang, ini dimungkinkan karena melihat
celah cukup lebar. Kebijakan politik luar negeri dari Kertanegara
dengan mengirimkan sebagian besar pasukan militernya, yang
terkenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu, pada tahun 1197
saka atau 1275 Masehi, mengakibatkan pasukan militer kerajaan
di dalam negeri sendiri menjadi keteter, lemah. Pemberontakan
Cayaraja (Cahaya Raja) dan Mahisa Rangkah (Mahisa Rangga)
termasuk kategori masih lokalan, kecil tapi kelasnya Jayakatwang
sungguh berbeda. Kesempatan inilah yang benar-benar
dimanfaatkan oleh Jayakatwang yang sudah merencanakan
sekian lama. Atau kalau pun tidak ada niat sebelumnya, tetapi
melihat kesempatan didepan mata, Jayakatwang tidak mensia-
siakannya. Ingat! Hukum niat dan kesempatan hehehe

Nama-nama Cayaraja dan Mahisa Rangga pastilah bukan
nama sembarangan. Nama-nama tersebut tentunya digunakan
tidak oleh orang biasa tapi setidaknya masih mempunyai
keturunan beradarah biru. Artinya bisa jadi mereka adalah
gelombang pemberontakan atas nama keturunan kerajaan
sebelumnya. Walau dalam Nagarakertagama disebut mereka
hanyalah penjahat kecil, pemberontak dan lain sebagainya. Hal
ini adalah wajar karena ini memberikan efek psikologis masa
bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanyalah sebuah
kejahatan dengan maksud tidak baik dan wajar pula kalau
mereka ditumpas.

Untuk pemberontakan Jayakatwang, Kertanegara sudah
mengantisifasinya dengan melakukan metode perkawinan atas
dasar kepentingan politik, salah satunya yaitu dengan
menikahkan putrinya dengan anak dari Jayakatwang, Pangeran
Ardharaja. Jayakatwang sendiri merupakan sepupu, kakak ipar
(istri Jayakatwang, Terukbali adalah anak Wisnuwardahna,
ayah Sri Kertanegara) sekaligus besan dari Kertanegara.
Metoda perkawinan atas dasar politik ini sebenarnya bukan hal
baru. Sebelumnya pun sudah dilakukan, masa-masa ayahnya
Kertanegara. Tujuannya adalah politik juga.

Tapi memang, rasa haus kekuasaan yang diselimuti dendam
masa lalu, karena Jayakatwang walaupun sudah masuk
lingkungan keluarga kerajaan, lingkaran istana tetap berdarah
langsung penguasa Kediri sebelumnya, nilai ikatan penikahan
dan persaudaraan seolah tiada arti, diabaikan begitu saja. Itulah
Kekuasan yang dengan segala daya tariknya bisa membuat
siapapun melakukan segala hal bahkan di luar batas kemanusiaan
itu sendiri.

Page | 48

Pada 1292 Masehi, ini adalah tahun penuh peristiwa besar
bagi kerajaan Singosari. Peristiwa pertama, rencana kedatangan,
tepatnya penyerbuan pasukan Mongol, yang dilatarbelakangi
kedatangan sebelumnya utusan Men Shi atau Meng-qi dan team
tahun 1289 Masehi, yang membawa pesan supaya raja Jawa
dalam hal ini Kertanagara, Raja Singosari, raja Jawa yang
dimaksud untuk tunduk dan mengakui Sang Kekaisaran Agung
Mongol sekaligus Penguasa Dinasti Yuan, Kubilai Khan. Tetapi
Kertanegara menolak tegas. Utusan Mongol bahkan
diperlakukan tidak manusiawi, dipotong telinganya.

Kertanegara bertindak seperti itu bukan berarti gegabah,
tapi sangat berdasar. Semenjak kebijakan politik luar negeri
digelar dengan Ekspedisi Pamalayu-nya tahun 1275 Masehi,
Kertanegara sudah berhitung dan merasa percaya diri bahwa
apa yang sudah dia himpun dengan membentuk persekutuan
yang beranggotakan negara-negara tetangga di Nusantara dirasa
akan mampu menghadang serangan pasukan tentara Mongol.
Sungguh keberanian luar biasa.

Sejatinya, Ekspedisi Pamalayu itu selain misi menghimpun
kekuatan aliansi atau gabungan untuk membendung kekuatan
Mongol, terdapat misi ganda yaitu ambisi dari Kertanegara
untuk mempersatukan dan melindungi nusantara. Hal ini terlihat
dari pengiriman pasukan luar biasa besar yang dikirim kearah
barat, Sumatera dan semenanjung melayu jauh-jauh hari, lihat
tahunnya 1275 Masehi, kisaran 17 tahun sebelum dilengser ke
prabon, tepatnya terbunuh.

Setelah utusan Mongol itu diusir, artinya adalah bahwa
genderang perang telah ditabuh. Tidak bisa ditarik kembali. Mau
atau tidak kenyataan perang itu pasti tejadi. Maka dari itu untuk
menghadapi serangan dalam tempo dekat, perlu gerakan cepat
juga dari Singosari untuk menghimpun kembali rencana dan
kekuatan yang sudah dirintis sebelumya, dengan demikian
Ekspedisi Pamalayu terus belanjut dan eskalasinya lebih besar
lagi pasukan yang dikirim kisaran tahun 1289-1292 masehi,
selama tiga tahun.

Pembuatan Arca Mahaksobya dan maklumat yang berisikan
penobatan Kertanagara sebagai Jina atau Budha Agung
ditujukan untuk mengamankan dan menenangkan perpolitikan
dalam negeri. Tetapi, hitungan tinggal hitungan, walau pun
awalnya sudah diduga akan adanya bahaya laten yang
mengancam dari dalam negeri sendiri. Kertanagara tidak
menyangka kondisi yang bakal terjadi sungguh diluar
perkiraannya.

Page 49 |

Maklumat ini sendiri sebenarnya memiliki dua tujuan,
selain menegaskan sikap politiknya tentang hak dan kekuasaan
Singosari ditangan Dinasti Rajasa, khususnya untuk Kertanegara
sendiri, terdapat tujuan lain yaitu bentuk permintaan dukungan
secara tidak langsung dari sikap politik luar negerinya, yaitu
dengan menyatakan perang terhadap Kekaisaran Mongol.

Jina atau Budha Agung merupakan duplikasi dari apa yang
dilakukan Jenghis Khan, Sang Penakluk, sebelum menyatakan
dan memaklumatkan penaklukan negara-negara tetangganya,
dan ini memberikan nuansa religius, semangat berjuang dan
berkorban demi negara, efek langsungnya adalah dukungan total
dari bangsanya atas apa yang dilakukan Jenghis Khan, karena
merupakan perwakian langsung dari Sang Pencipta, sesuai
dengan kepercayaan mereka tentunya, dan ini tidak boleh
disangsikan oleh siapapun bagi yang tunduk dibawah
naungannya, kalau disangsikan kepala bisa mengelutuk ke tanah.
Begitu juga dengan maksud dan tujuan dari Arca Mahaksobya
dan upacara penobatan Kertanegara sebagai Jina, tujuannya
untuk mendapat dukungan penuh dari rakyatnya.

Kertanegara dalam prasasti itu diberi sebutan Sri
Jnanasiwawajra atau Sri Jinasiwawajra. Dalam nama tersebut
terdapat unsur kata Siwa. Dewa Siswa adalah dewa yang
disembah oleh umat agama Hindu. Hal itu mengandung
pengertian bahwa selain dukungan politik dari umat agama
Buddha yang dianut tentunya Kertanagara pun harus merangkul
umat dari agama lainya, yaitu Hindu. Sedangkan Siwa adalah
perlambang bagi seorang pemimpin perang. Julukan yang
diberikan sama oleh para Brahmana kepada Sri Rajasa, kakek
buyutnya ketika memulai peperangan dengan Kerajaan Kediri.
Siasat atau strategi untuk merangkul semua golongan.
Kertanagara adalah penganut Siwa sekaligus penganut Budha.
Tentang Kertanagara mempunyai dua kepercayaan ini
diberitakan oleh Negarakertagama pupuh 56 bait pertama.

Salah satu kepercayaanya Hindu aliran Siwa-lah yang
membuat Kertanagara yakin bahwa masa-masa
pemerintahannya adalah termasuk kedalam pembagian jaman
menurut agama Hindu yaitu jaman Kaliyuga. Dalam zaman penuh
kekacauan ini, hanya raja yang bepegang teguh terhadap
agamalah yang bisa menaklukan jaman Kaliyuga tersebut.
Bahkan masyarakat Singosari sangat meyakini betul ketika
Kertanagara meninggal bahwa jaman kaliyuga sedang menimpa
mereka. Dasar pemikirannya yaitu karena memang dalam
pemerintahanya dihantui oleh segala macam pemberontakan dan

Page | 50

ancaman serangan dari Mongol. Tentang Kertanagara
mempercayai jaman kaliyuga ini diuraikan dalam
Nagarakertagama pupuh ke-42, ke-43 dan ke-44.

Menyatakan perang, dimasa jaman dulu hingga sekarang
pun bukan hal yang bisa dilakukan seacara serampangan,
mentang-mentang jadi raja, tidak semudah itu. Pernyataan
perang haruslah melihat kesiapan materi dan moril dari
rakyatnya. Materi sudah cukup, tapi akan mati konyol kalau moril
belum siap. Disinilah peran pemerintah atau raja dengan segala
perangkatnya untuk menempa sekaligus membangkitkan moril
bagi pasukan yang akan berangkat kemedan perang. Biasanya
yang menjadi pembangkit dan daya dorong luar biasa adalah
semangat dan sikap keagaman atau sikap religiuslah yang jadi
alatnya.

E. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri yang dimaksud ini merupakan manuskrip

yang dipahat di bagian belakang Arca Manjusri 1343 dan
ditempatkan pada candi Jago. Pada awalnya arca ini ditemukan
di Candi Jago di Desa/Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
Saat ini arca Manjusri tersimpan di Museum Ethnology Berlin.
Sedangkan duplikatnya tersimpan di Museum Nasional Jakarta
dengan nomor inventaris D. 214. Prasasti ini berangka tahun
1265 Śaka (sekitar 25 Januari 1343-14 Maret 1344 M). Candi Jago
mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk
menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana, yang
mangkat pada tahun 1268 M. Prasasti ini berisi tulisan yang kalu
ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi:

“Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu Yang Mulia
Rajapatni maka Adityawarman itu, yang berasal dari
keluarganya, yang berakal murni dan bertindak selaku
menteri wreddaraja, telah mendirikan di pulau Jawa, di
dalam Jinalayapura, sebuah candi yang ajaib- dengan
harapan agar dapat membimbing ibunya, ayahnya dan
sahabatnya ke kenikmatan Nirwana”.
Prasasti ini beraksara Jawa Kuno dan menggunakan bahasa
Sansekerta. Prasasti terdiri dari dua bagian. Bagian pertama
dipahat diatas Boddhisattwa dengan tiga baris tulisan dan bagian
kedua dipahat di belakang arca dengan tujuh baris tulisan.
Prasasti menguraikan penempatan arca Mañjuśrī oleh
Adityawarman pada tempat pendarmaan Jina tahun Śaka 1265.
Dapat disimpulkan bahwa sangat mungkin Adityawarman
mendirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago tersebut. Dari

Page 51 |

isi prasasti Manjusri menyebutkan bahwa pada masa
pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman
menjabat Wreda-menteri atau Perdana Menteri di Kerajaan
Majapahit.

Arca Manjusri merupakan personifikasi dari kebijaksanaan.
Dia duduk di atas takhta berhiasan teratai yang gemerlapan, pada
tangan kirinya ia memegang sebuah buku (sebuah naskah daun
palem), tangan kanannya memegang pedang (yang bermakna
untuk melawan kegelapan), dan pada dadanya dilingkari tali. Ia
juga dikelilingi oleh empat dewa, yang semuanya bermakna
replika dirinya sendiri.

F. Prasasti Kudadu
Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan

dengan 11 September 1294 M. Beraksara Kawi. Prasasti ini
dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang
dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa
Jayawardha Ananta Wikramottunggadewa.

Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti
(Gunung) Butak sesuai dengan lokasi penemuannya ditemukan
di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan
Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang.

Prasasti ini menyebutkan tentang pemberian anugerah raja
Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu
berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma14 untuk dinikmati
oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai
akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah
demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan
menjadi raja dan masih bernama Narārya Sangrāmawijaya.
Pada waktu itu, Saṃgrāmawijaya melarikan diri dengan dikejar-
kejar oleh musuh, yaitu tentara Jayakatwang, yang telah

14 Prasasti yang berisi tentang sima biasanya memiliki sambandha, yaitu
alasan ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus sima (Maziyah, 2018).
Alasan-alasan itu dapat terjadi karena (1) merupakan balas jasa dari seorang
penguasa kepada seseorang atau beberapa orang pejabat, atau bahkan kepada
penduduk suatu daerah yang telah berjasa kepada raja atau kerajaan; (2)
karena daerah itu diperintahkan untuk memelihara bangunan suci atau
yayasan keagamaan; (3) karena permohonan rakyat; atau (4) karena karena
perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang sehingga dapat dijadikan
teladan bagi orang lain. Setelah diketahui alasan penetapan sima, maka dapat
diketahui pula penerimanya sesuai dengan alasan penetapannya, yaitu (1)
seorang pejabat atau beberapa orang pejabat; (2) penduduk desa; (3)
bangunan suci atau yayasan keagamaan.

Page | 52

membinasakan Raja Kertanegara. Jayakatwang menyerang
Kertanagara, bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan
hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin
membinasakan Kertanagara di negara Tumapel.

Bagian sambadha dari prasasti Kudadu itu ditulis dengan
panjang lebar sampai meliputi lebih dari tiga lempengan prasasti
timbal balik. Bagian sambadha menyebutkan sebab pemberian
anugerah. Menceriterakan dengan terperinci bagaimana Wijaya
diperintahkan oleh Raja Kertanegara untuk menghalau musuh
yang telah menyerbu sampai ke Desa Jasun Wungkal, sampai ia
terpaksa melarikan diri dan terkepung oleh musuh. Ia berlari
terus sambil memberikan perlawanan, tetapi senantiasa kalah
karena banyaknya musuh. Akhirnya ia sampai ke Desa Kudadu.
Rama desa itu berjasa memberi tempat persembunyian bagi Raja
Kertarajasa. Ketika itu dia belum menjadi raja dan bernama
Nararya Sanggramawijaya. Dia dikejar-kejar musuh dan
tersesat sampai Desa Kudadu. Pada waktu itu, Saṃgrāmawijaya
melarikan diri dengan dikejar-kejar oleh musuh, yaitu tentara
Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang, yang telah
membinasakan Kertanegara.

Para pejabat Desa Kudadu menunjukkan kesetiaannya
kepada Raja Kertanegara. Mereka telah memberikan makan,
minum dan tempat persembunyian pada Wijaya dan pengikut-
pengikutnya. Pada saat bersembunyi itu, Kertanegara diikuti
olehi Lembu Sora, Ranggalawe, Nambi, Dangdi, Banyak Kapok,
Pedang, Mahisa Pawagal, Pamandan, Gajah Pagon dan Wiragati.
Bahkan kemudian para pejabat Desa Kudadu itu, yang dipimpin
oleh kepala desanya yang bernama Macan Kuping, mengantarkan
Raden Wijaya sampai ke Rǝmbaṅ, untuk berlayar menyeberang
ke Pulau Madura.

Setelah Raden Wijaya menjadi raja (Raja Kertarajasa
Jayawardhana atau Nararya Sanggramawijaya), ia tidak
melupakan jasa-jasa para pejabat desa itu. Oleh karena itulah
Kertanegara menganugerahkan Desa Kudadu sebagai daerah
perdikan bagi para pejabat Desa Kudadu dengan semua
keturunan-keturunannya. Dengan kata lain Raden Wijaya
membalas jasa dengan menetapkan desa perdikan bagi pejabat
Desa Kudadu dengan anak, cucu, cicit, dan piutnya. Jadi prasasti
ini menegaskan bahwa ia telah memberikan desa Kadhadu
sebagai imbalan atas dukungannya ketika Nararya Sanggrama
dan temannya membutuhkan bantuan dalam perjalanan mereka
ke Madura.

Page 53 |

Alih aksara:
//0// swasti śakawarṣātīta 1216 bhadrapāda māsa tīthi
pañcā
mī kṛṣṇapakṣa ha u śa wāra maḍaṅkaṅan bāyabya
sthagrahacāra
rohiṇi nakṣatra prajāpati dewatā mahendra māṇḍala
siddhi yoga werajya muhūrtta yama parwweśa tetila karaṇa
kanya rāśi irika diwasanyajñā śrī
mahāwīratameśwarānanditapara
kramottaṅgadewa mahābaṇa sapatnādhipawinaka karaṇa śīlā
cāra guṇa rūpawinayotta manuyukta samasta yawadwīpeśwara
sakala sujana dharmma saṁ rakṣaṇa narasiṅhanagara
dharmmawiśeṣa santana narasiṅhamūrtti sutātmaja
kṛtanaga....

G. Prasasti Sukamerta
Prasasti ini berisi keputusan mengenai penetapan kembali

kedudukan desa Sukamerta sebagai sima untuk Sang Apanji Pati-
pati pu Kapat yang telah menunjukkan bakti dan kesetiaannya
yang luar biasa kepada Sri Maharaja.

Berdasarkan prasasti Balawi (tahun 1227 S) dan Sukamerta
(tahun 1218 S) dapat diketahui bahwa keempat istri raja
Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) adalah putri-putri
raja Kertanagara (Tribhūwaneśwari, Narendraduhitā,
Prajnyāparamitā, dan Gayatri).

Jayanagara adalah putra Kertarajasa dari permaisurinya
yang merupakan putri tertua raja Kertanagara. Hal yang sama
juga disebutkan dalam uraian prasasti Sukamerta bahwa ibu
Jayanagara adalah putri tertua Kertanagara yang menjadi
permaisuri Krtarajasa. Tafsiran semula menyatakan bahwa
Jayanagara adalah putra Kertarajasa dari Dara Petak, putri
Malayu yang dibawa ke Jawa sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pararaton. Pemberontakan-pemberontakan Ranggalawe
dan Lembu Sora semula dianggap terjadi dalam masa
pemerintahan Jayanagara, bahwa rakyat Majapahit tidak
menyukai raja Jayanagara karena ia keturunan dari luar Jawa.
Hasil penelitian Poerbatjaraka secara jelas menyatakan bahwa
Jayanagara bukan keturunan luar Jawa, melainkan cucu
Kertanagara, raja terakhir Singhasari. Lagi pula pemberontakan
Ranggalawe dan Lembu Sora dalam Pararaton justru terjadi
masih dalam era Krtarajasa, bukan dalam masa Jayanagara.

Tribhūwaneśwari, dijadikan permaisuri dengan gelar Śri
Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari. Dalam

Page | 54

Nāgarakṛtāgama nama Tribhuwaneswari sering disingkat
Tribhuwana. Ia adalah putri sulung Kertanagara raja terakhir
Singasari. Dikisahkan pada saat Singasari runtuh akibat
pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya
sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari. Rombongan Raden
Wijaya kemudian menyeberang ke Sumenep meminta
perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju Sumenep,
Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia
Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih, Lembu
Sora menyediakan punggungnya sebagai alas duduk. Jika
menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri
menggendong Tribhuwana. Raden Wijaya kemudian bersekutu
dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika
Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada
Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah
Raden Wijaya mendapatkan hutan Trik untuk dibuka menjadi
desa Majapahit, Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe
putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji
Wijayakarama. Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293,
Kerajaan Majapahit berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja
pertama. Tribhuwana tentu saja menjadi permaisuri utama,
ditinjau dari gelarnya yaitu Tribhuwana-iswari. Namun
demikian, Pararaton menyebutkan, istri Raden Wijaya yang
dituakan di istana bernama Dara Pethak putri dari Kerajaan
Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara sang putra Mahkota.
Menurut prasasti Kertarajasa (1305), Tribhuwaneswari
disebut sebagai ibu Jayanagara. Dari berita tersebut dapat
diperkirakan Jayanagara adalah anak kandung Dara Pethak yang
kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang
permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat
hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit
tahun 1309-1328. Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan
di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan
sebagai Parwati.

Narendraduhitā dengan gelar Śri Mahādewi Dyah Dewi
Narendraduhitā, tidak berputra; adalah putri ketiga dari Raja
Singasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua Raden
Wijaya.

Prajnyāparamitā dengan gelar Śri Jayendra Dyah Dewi
Prajnyāparamitā, atau sering disingkat dengan nama Prajña
Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja
Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya,
namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Prajña

Page 55 |

Paramita adalah istri yang paling setia di antara kelima istri
Raden Wijaya.

Gayatri, diangkat sebagai rajapatni dengan gelar Śri
Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri, adalah istri ke empat dari
Raden Wijaya, dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi yang
kelak berkedudukan di Jiwana (Kahuripan), Bhre Kahuripan, dan
Rajadewi Maharajasa, yang diangkat sebagai Bhre Daha.
Tribhuwanatunggadewi inilah yang kemudian menurunkan
raja-raja Majapahit selanjutnya.

Pada saat Singasari runtuh akibat serangan Jayakatwang
tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan
Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di
Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada
Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali. Dalam
Nāgarakṛtāgama pupuh 2 (1) menguraikan bahwa putri Gayatri
(Rajapatni) wafat pada tahun 1350 pada jaman pemerintahan
Hayam Wuruk. Dua belas tahun setelah meninggalnya Gayatri
dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan di candi Boyolangu
di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita
Puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta
Jnyanawidi.

Sementara itu, dari Gayatri lahir pula dua orang putri
bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Dyah Wiyat alias Rajadewi
Maharajasa adalah putri bungsu Raden Wijaya, yang lahir dari
Gayatri. Ia memiliki kakak kandung bernama Dyah Gitarja, dan
kakak tiri bernama Jayanagara.

Pararaton mengisahkan Jayanagara yang menjadi raja
kedua, merasa takut takhtanya terancam, sehingga Dyah Gitarja
dan Dyah Wiyat dilarang menikah. Baru setelah ia meninggal
tahun 1328, para Ksatriya berdatangan melamar kedua putri
tersebut. Setelah diadakan sayembara, diperoleh dua orang
Ksatriya, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan
Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat. Selain keempat putri
Kertanegara, Raden Wijaya beristrikan Dara Pethak. Menurut
Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh
pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada
tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra.
Pasukan tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa
dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara
Pethak sebagai persembahan untuk Kertanegara.

Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik
Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan
Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan

Page | 56

pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Pethak terjadi tanggal
4 Mei 1293.

Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya,
yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Pethak sebagai istri, sedang
Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma atau Mahesa
Arema yang dikenal dengan panggilan Kebo Anabrang, seorang
pejabat Singasari yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286. Dara
Pethak pandai mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia
dijadikan sebagai istri tinuheng pura, atau istri yang dituakan di
istana. Padahal menurut Nāgarakṛtāgama, Raden Wijaya sudah
memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri
Kertanegara.

Pengangkatan Dara Pethak sebagai istri tertua mungkin
karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu
Jayanegara. Sedangkan menurut Nāgarakṛtāgama, ibu
Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar
resmi Dara Pethak. Pararaton menyebutkan Raden Wijaya
hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan
tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-
mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan
Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi
Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya,
Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama
Puspawati dan Pusparasmi. Sedangkan menurut Pararaton, ia
hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang
putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Pethak.

Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden
Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama
Jayanagara. Sedangkan menurut Pararaton Raden Wijaya
masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari
Jambi di Sumatera bernama Dara Pethak dan memiliki anak
darinya yang diberi nama Jayanagara atau Kalagěmět, dan
menurut Nāgarakṛtāgama adalah putra Indreswari.

Namun demikian ada juga pendapat lain, dimana Raden
Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri
Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Pethak, yaitu
Dara Jingga. Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki
dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa, karena dia
diperisteri oleh raja bergelar yang ‘dewa’ dan memiliki anak
bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal
sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera.
Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil
diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara

Page 57 |

kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung
pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah
raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa,
mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja
Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga
tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke
kampung halamannya.

Pernikahan dengan keempat putri Kertanegara ternyata
dikandung maksud untuk meredam kemungkinan terjadinya
pemberontakan dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan
kekuasaan antar anggota keluarga raja.

Page | 58

Bab 3. Tokoh-tokoh Kerajaan Singasari
dalam Negarakertagama

A. Seputar Negarakertagama
Kakawin Nagarakertagama yang juga disebut kakawin

Desawarnana bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna
yang paling termasyhur. Kakawin ini paling banyak diteliti pula.
Negarakertagama digubah oleh mpu Prapanca pada tahun 1365
Masehi (tahun 1287 Saka) di desa Kamalasana di lereng Gunung.

Negarakertagama diperkenalkan dalam bahasa Inggris
dalam suatu buku yang berjudul Java in the 14th century, antara
1960-1963 yang ditulis oleh Pigeaud. Dipopulerkan lewat
Kalangwan, juga dalam bahasa Inggris, oleh Zoetmulder, pada
1974, sebagai salah satu buku yang membahas naskah sastra
Jawa Kuno. Baru pada 1979 untuk pertama kalinya
Nagarakertagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia lewat
terjemahan Slamet Mulyana.

Nagarakretagama menjadi suatu sumber sejarah kuno
Indonesia yang sangat penting. Meskipun Negarakertagama
sangat dipengaruhi unsur subyektif. Naskah ini berfungsi untuk
menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki
nama lain, yakni Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa,
seperti tercantum dalam pupuh 94. Naskah itu ditujukan untuk
memberi nilai tambah bagi historisitas Raja Hayam Wuruk yang
sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya
dan masyarakatnya. Kitab ini menjadi sebagai sumber primer
dari Majapahit, karena Mpu Prapanca menjadi saksi hidup yang
langsung menyaksikan berbagai peristiwa di zaman kejayaan
Majapahit tersebut. Disamping itu Nagarakretagama merupakan
sebuah karya jurnalistik terbaik.

Nagarakrtagama terdiri dari 98 pupuh. Naskah ini dimulai
dengan pemujaan terhadap raja Wilwatikta yakni raja Majapahit
dijaman raja Hayam Wuruk yang disebutkan sebagai Siwa-
Budha yaitu Rajasanagara. Tujuh pupuh berikutnya berisi
tentang raja dan keluarganya, sembilan pupuh kemudian tentang
istana dan kota Majapahit. Dari sinilah sejarawan dan arkeolog
merekonstruksi sejarah Majapahit. Bagian paling panjang
merupakan catatan perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang (23
pupuh) yang dilakukan pada bulan Agustus sampai September
1359.

Page 59 |

Negarakertagama menguraikan topik-topik yang tersebar
dalam pupuh-pupuhnya. Ada sepuluh pupuh yang menceritakan
silsilah singkat raja-raja Singasari dan Majapahit. Silsilah raja-raja
tersebut merupakan wangsa Girindra. Maklum Singasari dan
Majapahit merupakan dua kerajaan yang tidak dapat dipisahkan
dimana mereka berasal dari satu keturunan. Bagian berikutnya
menceritakan perburuan raja (10 pupuh), kisah Gadjahmada
(23 pupuh), dan upacara sraddha bagi ibunda raja (9 pupuh). Dan
tujuh pupuh terakhir menceritakan diri Prapanca sendiri.

Di dalamnya berisikan kakawin (puisi, syair) dalam bahasa
Kawi (bahasa Jawa kuno) sebagai tanda penghormatan dan
pengagungan terhadap Rajasanagara alias Hayam Wuruk, sang
penguasa Majapahit. Karya sastra ini dimaksudkan sebagai tanda
bakti kepada Prabu Hayam Wuruk. Naskah itu merupakan
sebuah pujasastra kepada Sri Rajasanagara.

Selain itu, kitab Negarakertagama ini berisikan rekaman
sejarah kejayaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk,
hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya
pemerintahan, desa-desa perdikan, keadaan ibukota, keadaan
desa-desa, serta kondisi sosial, politik, keagamaan,
pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat sepanjang
perjalanan keliling Hayam Wuruk pada tahun 1281 Saka (1359
Masehi). Kakawin ini menguraikan keadaan di Majapahit dalam
masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan
juga Nusantara. Beliau bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389
Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar
yang pernah ada di Nusantara. Semua itu dikumpulkan dan
digubah oleh Mpu Prapanca dalam sebuah karya sastra. Kitab
Nagarakretagama yang ditulis pada tahun saka 1287 (September-
Oktober 1365) menguraikan tentang perjalanan keliling Hayam
Wuruk ke Lumajang pada tahun saka 1281 atau 1359 Masehi
dimana Mpu Prapanca ikut serta dalam rombongan tersebut.
Sesuai dengan keterangan yang ada, maka naskah ini selesai
ditulis pada bulan Aswina tahun 1287 Saka (September-Oktober
1365 Masehi).

Kakawin pertama kali ditemukan pada tahun 1894 oleh J.LA
Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi
KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja
Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar
oleh tentara KNIL. Ada lima naskah Nagarakretagama yang
ditemukan. Pada 7 Juli 1978 di kota Antapura, Kabupaten
Lombok, pulau Bali ditemukan satu naskah dengan judul
Desawarnana, disimpan di Geria Pidada, Karang Asem. Pada

Page | 60

tahun 1874 di Puri Cakranegara, pulau Lombok di temukan satu
naskah dengan judul Nagarakertagama. Selanjutnya, tidak
diketahui angka tahun penemuannya, di Geria Pidada, Klungkung
ditemukan turunan rontal Negarakertagama satu naskah dan di
Geria Carik Sideman ditemukan dua naskah turunan
Negarakertagama juga.

Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah
naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.LA Brandes, seorang ahli
Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu Istana Raja Lombok
pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para
tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi
perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah
satunya adalah lontar Nagakretagama ini. Semua naskah dari
Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok
yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di
perpustakaan Universitas Laiden Belanda diberi nomor kode L Or
5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana ke Indonesia pada
tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia.
Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi Kode
NB 9.

Mpu Prapañca sebagai penulis Negarakertagama adalah
seorang bujangga sastra Jawa yang hidup pada abad ke-14 pada
zaman Majapahit dan kemungkinan selain bujangga juga
merupakan mpu yang paling ternama. Namanya dikenal oleh
semua orang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Prapañca
merupakan penulis Kakawin Nagarakretagama yang termasyhur
tersebut. Dia mengakui Nagarakretagama bukan buku pertama
yang ditulisnya. Sebelumnya dia telah menulis Parwasagara,
Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua kitab lagi yang belum
selesai, yaitu Saba Abda dan Lambang. Hanya saja semua ini
sampai sekarang belum ditemukan atau memang sudah hancur.

Dari pupuh 17/8 diketahui bahwa Mpu Prapanca adalah
keturunan seorang Dharmadyaksa (Pemimpin kegamaan) pada
jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Mpu Prapanca
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Dharmadyaksa
(pemimpin agama Buddha) tahun 1358 sampai tahun 1361
masehi. Sejak kecil Mpu Prapanca suka menghadap Raja dengan
maksud agar Raja mengijinkannya untuk mengikuti perjalanan
beliau kemana saja karena keinginannya untuk merangkai
sejarah wilayah negara dalam suatu kekawin yang indah.

Mpu Prapanca dapat dikatakan sebagai wartawan
tersohor dari Kerajaan Majapahit. Mpu Prapanca sendiri
dipandang sebagai pelopor arkeologi Indonesia. Dia membuat

Page 61 |

semacam inventarisasi dan deskripsi mengenai berbagai jenis
peninggalan purbakala yang ada pada zaman pemerintahan
Hayam Wuruk tersebut. Prapanca telah melakukan field survey
(survei lapangan), suatu hal yang menguntungkan dunia ilmu
pengetahuan.

Dalam menulis kitab Negarakertagama, Mpu Prapanca
sudah tidak tinggal lagi didalam keraton Majapahit. Mpu
Prapanca tidak lagi menjabat sebagai Dharmmadyaksa
Kasagotan (Pembesar urusan agama Buddha) tetapi hidup di
desa Kamalasana di lereng gunung sebagai pertapa. Mpu
Prapanca meninggalkan keraton Majapahit karena mendapat
hinaan berupa celaan terhadap sikap Mpu Prapanca oleh Sri
Baginda yang menyebabkan kedudukannya tergeser dari
Dharmmadyaksa Kasagotan. Paham politik Prapanca sebenarnya
tidak sejajar dengan Gajahmada, yang telah menjadi pedoman
semenjak pemerintahan Tribuwana Tunggadewi.

Nama Prapanca adalah nama samaran. Nama Prapañca
kemungkinan merupakan nama pena dan artinya adalah bingung.
Berdasarkan analisa kesejarahan, maka disimpulkanlah bahwa
sosok penulis misterius itu adalah seorang Dang Acarya
Nadendra (pendeta agama Buddha). Ia adalah pembesar di istana
kerajaan Majapahit, khususnya untuk urusan agama Buddha,
pada masa Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M) memimpin
kerajaan Majapahit. Beliau adalah putra dari seorang pejabat
istana Majapahit dengan pangkat Dharmadyaksa ring Kasogatan
(pemimpin urusan agama Buddha). Artinya adalah bahwa kitab
ini ditulis tepat pada masa puncak kejayaan kerajaan Majapahit.

Rangkwi Padelengan Dang Acarya Nadendra sebagai nama
resmi Prapanca menjabat sebagai Dharmadyaksa Kasogatan
pada pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Nama samaran
Prapanca yang berarti kesedihan dipakai, karena pada waktu
menulis Negarakertagama kehidupannya sedang diliputi oleh
kesedihan. Dia sedih dikarenakan dia kehilangan kedudukan
sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan, maka dia pergi
meninggalkan Majapahit untuk hidup di desa dalam kesepian. Ia
takut dikenal orang karena ciri-cirinya sehingga menggunakan
nama samaran. Jadi pada saat menulis kitab ini, Mpu Prapanca
sudah menjadi mantan dari seorang Darmadyaksa ring
Kasogatan (pemimpin urusan agama Buddha) di kerajaan
Majapahit yang memilih untuk menjadi seorang pertapa.
Sehingga ia tidak lagi memiliki kepentingan pada kekuasaan atau
politik tertentu. Bahkan selama menulis Mpu Prapanca sendiri
telah menjauhkan diri dari kota dan menetap di lereng gunung di

Page | 62

sebuah desa kecil yang bernama Kamalasana. Desa Kamalasana
tempat Mpu Prapanca bertapa adalah nama Sansekerta dari
nama asli Karangasem. Pada pertengahan tahun 1978 di desa
Karangasem Bali ditemukan naskah Dcsawarnnana yaitu karya
sastra karangan Mpu Prapanca. Sekarang kitab tersebut
disimpan di Griya Pidada Karangasem Bali.

B. Beberapa Catatan Nagarakretagama15

Pupuh 1
Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung
jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam
dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja
adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal,
tapi tampak di atas tanah.
Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum
Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi
Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam
cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang
dan menjamin damai dunia.
Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata
Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang
tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka
rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah
seluruh Nusantara.
Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi
narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak
tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh
halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh
membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar
terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah
perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna
dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan
keberanian Sri Nata.

Pupuh 2
Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda.
Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku

15 Diambil dari Kakawin Negarakertagama: Teks dan Terjemahan (Saktiani et
al, 2018).

Page 63 |

Wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Budha. Tahun Saka
dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budhaloka.
Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung.
Kembali girang bersembah bakti semenjak Baginda mendaki
tahta. Bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.

Pupuh 3
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni. Setia
mengikuti ajaran Budha, menyekar yang telah mangkat.
Ayahanda Baginda raja ialah Sri Kertawardana raja. Keduanya
teguh beriman Budha demi perdamaian praja.
Ayahnya Sri Baginda raja bersemayam di Singasari. Bagai
Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh
tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan Negara. Mahir
mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.

Pupuh 4
Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertahta di Daha,
cantik tak bertara, bersandar nam guna. Adalah bibi Baginda, adik
maharani di Jiwana. Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari
kembar.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan
bagai titisan Upendra, masyhur bagai sarjana. Setara raja
Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat masyuhrlah nama
beliau di seluruh tanah Jawa.

Pupuh 5
Adinda Baginda raja di Wilwatikta. Puteri jelita, bersemayam di
Lasem. Puteri jelita Daha, cantik ternama. Indudewi puteri
Wijayarajasa.
Dan lagi puteri bungsu Kertawardana. Bertahta di Pajang, cantik
tak bertara. Puteri Sri Narapati Jiwana yang termasyhur. Terkenal
sebagai adinda Sri Baginda.

Pupuh 6
Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki
tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar
Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya. Raja dan
rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira.
Bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia
perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida. Bakti kepada
raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.

Page | 64

Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani.
Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi. Raja
Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardhana. Bagai
titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
Puteri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan.
Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar. Para
raja Pulau Jawa masing-masing mempunyai Negara. Dan
Wilwatikta tempat mereka bersama-sama menghamba Sri Nata.

Pupuh 7
Melambung kidung merdu pujian sang prabu, beliau membunuh
musuh-musuh. Bagai matahari menghembus kabut, menghimpun
Negara di dalam kuasa. Girang najma utama bagai bunga tunjung,
musnah durjana kumuda. Dari semua desa di wilayah Negara
pajak mengalir bagai air.
Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani
bumi. Menghukum penjahat bagai Dewa Yama, menimbun harta
bagai Waruna. Para telik menembus segala tempat laksana Hyang
Bhatara Bayu. Menjaga pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus
seperti bulan.
Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan
pura. Semua para puteri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun
sang permaisuri keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik.
Paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan
baginda.
Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat
cantik. Sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai,
bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawardana
memegang perdata seluruh Negara. Sebagai dewa-dewi mereka
bertemu tangan, menggirangkan pandang.

Pupuh 8
Tersebut keajaiban kota: tembok bata merah, tebal tinggi,
mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke
lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi,
berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat
tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban.
Di sebelah utara, bertegak gapura permai dengan pintu besi
penuh berukir. Di sebelah timur, panggung luhur, lantainya
berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, disebelah
pecan, rumah berjejal jauh memanjang sangat indah. Di selatan
jalan perempatan, balai prajurit tempat pertemuan tiap caitra.

Page 65 |

Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah
menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah:
bagian utara, paseban pujangga dan menteri. Bagian timur,
paseban pendeta Siwa-Budha, yang bertugas membahas upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna demi keselamatan seluruh
dunia.
Di sebelah timur, Pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil
siwa. Di selatan, tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat
menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah
barat; di utara, tempat Budha bersusun tiga. Puncaknya penuh
berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu,
itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, di
sela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya:
panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat ditengah-
tengah halaman, bertegak mandapa penuh burung ramai
berkicau.
Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar
pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat,
masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat
bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh 9
Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak
terbilang. Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi,
tanpa upama Waisangka Kapanewon Sinelir, para perwira
Jayengprang Jayagung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang
Gajahan, dan banyak lagi.
Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak terbatas.
Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka.
Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua.
Di bagian barat, beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga.
Di bagian selatan agak jauh, beberapa ruang, mandapa dan balai.
Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan, bertugas menghadap.
Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata
dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di
sebelah timur, menjulang rumah tinggi berhias lambing kerajaan.
Itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.

Pupuh 10

Page | 66

Inilah pembesar yang sering menghadap di balai Witana. Wreda
menteri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring. Sang
Panca Wilwatikta: mapatih, demung, kanaruhan, rangga,
tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
Semua patih, demung Negara bawahan dan pengalasan. Semua
pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang,
berkumpul di kepatihan seluruh Negara. Lima menteri utama,
yang mengawal urusan Negara.
Ksatria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap. Berdiri
di bawah lindungan asoka di sisi Witana. Begitu juga dua
dharmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas
tingkahnya, pantas menjadi teladan.

Pupuh 11
Itulah penghadap balai Witana, tempat tahta, yang berhias serba
bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak jauh dari
pintu pertama. Ke istana Selatan, tempat Singawardhana,
permaisuri putra dan putrinya. Ke istana utara, tempat
Kertawardana. Ketiganya bagai kahyangan.
Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-
warni. Kainya dari bata merah pating berunjul, bergambar aneka
lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan
pandang, menarik perhatian. Bunga tanjung, kesara, campaka,
dan lain-lainnya terpencar di halaman.

Pupuh 12
Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur
tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan
Budha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat
para arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker
dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan
istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan
raja Wilwatikta.
Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ
menetap patih Daha, adinda baginda di Wengker. Bhatara
Narapati, termasyhur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat
kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada.
Menteri wira, bijaksana, serta bakti kepada Negara. Fasih bicara,
teguh tangkas, tenang cerdas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan
maharaja sebagai penggerak roda Negara.

Page 67 |

Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah
timur perumahan Siwa, sebelah barat Budha. Terlangkahi rumah
para menteri, para arya dan ksatria. Perbedaan ragam pelbagai
rumah menambah indahnya pura.
Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang.
Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa umpama. Negara-
negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk
menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Pupuh 13
Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah
Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga
Barus. Itulah terutama Negara-negara melayu yang telah tunduk.
Negara-negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan,
Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut

Pupuh 14
Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan.
Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito,
Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang
terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut
Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka,
Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran,
semua sudah lama terhimpun.
Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara
yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun,
Taliwang, Pulau Sapi, dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran,
Hutan Kendali sekaligus.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan
daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di
wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan
pulau lain-lainnya tunduk
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir,
Galian, serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n),
Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa
lagi pulau-pulau lain.

Pupuh 15
Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam
dengan Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma,

Page | 68

Rajapura, begitu juga Singanagari. Campa, Kamboja, dan Yawana
ialah Negara sahabat.
Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. Karena
sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan
menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun
tidak sangat jauh.
Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim
tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan
akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah
menarik upeti

Pupuh 16
Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di Nusantara. Dilarang
mengabaikan urusan Negara, mengejar untung. Seyogyanya, jika
mengemban perintah ke mana juga. Menegakkan agama Siwa,
menolak ajaran sesat
Konon, kabarnya, para penderita penganut Sang Sugata. Dalam
perjalanan mengemban perintah Baginda Nata. Dilarang
menginjak tanah sebelah barat Pulau Jawa. Karena penghuninya
bukan penganut ajaran Budha.
Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun, Bali boleh dijelajah
tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan, menurut kabaran
mahamuni Mpu Barada serta raja pendeta Kuturan telah
bersumpah teguh
Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim ke
timur ke barat; dimana mereka sempat. Melakukan persajian
seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka
sedang mengajar
Semua Negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan
dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa. Tapi, yang membangkang,
melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang
telah masyhur lagi berjasa

Pupuh 17
Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah Nusantara.
Di Sripalatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda
dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang
dan lega. Wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang
menjadi masyhur
Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama.
Lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala
kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah

Page 69 |

Janggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari
Negara tetangga.
Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda.
Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang
mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan
tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan
penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya
Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling Desa
Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak
ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang
melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi
lima
Atau pergilah beliau bersembah bakti kehadapan Hyang
Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jinur, mengunjungi
gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu,
dan Lingga hingga Desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah
di Surabaya, terus menuju Buwun.
Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa
banyak pengiring. Tahun Saka Angga-Naga-Aryama (1276), ke
Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-
mendengar-indu (1279), ke laut selatan menembus hutan. Lega
menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman.
Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281), di Badrapada
bulan tambah Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju
Kota Lumajang naik kereta diiringi semua raja Jawa serta
permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua
para pembesar ikut serta.
Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring
paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putera
pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai
pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta
Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata
berdampingan, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh
ikut beliau ke mana juga. Namun, belum mampu menikmati alam,
membinanya, mengolah, dan menggubah karya kakawin; begitu
warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk
rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala di
dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkala memanjang
bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta
Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.

Page | 70

Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di
Kapulungan. Selanjutnya, sang kawi bermalam di Waru, di
Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum
jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap di tangan lain,
rindu termenung-menunggu

Pupuh 18
Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak.
Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-
impitan. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit
berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang
gajah dan kuda.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya.
Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain
lambangnya. Rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang
kerajaan keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka
tanda.
Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua
kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih.
Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas
mengkilat.

Pupuh 19
Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam.
Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes,
Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir lemak
– lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih
terus lari.
Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan
indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada,
teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang
terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan
ramah melakukan mandibakti.

Pupuh 20
Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum
Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten,
Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang.
Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul termasuk
Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat
belas desa kasogatan yang ber-akuwu Sejak dahulu, delapan saja
yang menghasilkan bahan makanan.

Page 71 |

Pupuh 21
Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak,
Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak,
Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat
menuju Pawijungan.
Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika,
Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana
ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di
pantai lautan.

Pupuh 22
Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama
menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut
limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh
teratai tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang
berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan
lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur
tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah
Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat
perang, belum kembali ke asrama.
Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang
tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut.
Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang
surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu
bermalam lagi.
Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng
bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati
alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok
bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram
riak gelombang berpancar seperti hutan.
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat
jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju
Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes
seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan
ke Jayakreta – Wanagriya.

Pupuh 23
Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus
ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa
Rame dan Dukun.

Page | 72

Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera
berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera
dituruni sampai jurang.

Pupuh 24
Terlalu lancer lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong,
dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa
lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebut jalan menuju
Surabasa.
Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja
pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok
ke utara melintasi Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin
mencapai Patukangan.

Pupuh 25
Panjang lamun dikisahkan kelakuan para menteri dan abdi.
Beramai-ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di tepi
laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep. Sebelah utara
pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata.
Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa
Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati
yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji siwa dan Panji
budha, faham hukum dan putus sastra.

Pupuh 26
Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti
segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan
persembahan, girang bergilir dianugerahi kain. Girang rakyat
girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.
Pupuh 27
Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda
mendekati permaisuri seperti dewa dewi. Para puteri laksana
apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjlan berganti
pandang penuh heran cengang.
Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat
segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng,
bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa
menjelma, sedang mengedari dunia.

Pupuh 28
Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali dan
Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri seluruh
Jawa Timur berkumpul.

Page 73 |

Persembahan bulu bekti bertumpah limpah. Babi, gudel, kerbau,
sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk
timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang.
Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Baginda keluar di tengah-
tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta,
membuat gembira rakyat.

Pupuh 29
Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama.
Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertajaya.
Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau
dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga.
Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat.
Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah.
Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati
Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai
Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya
berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Pupuh 30
Tersebutlah perjalanan Sri Narapati ke arah barat. Segera sampai
Keta dan tinggal disana lima hari. Girang beliau melihat lautan,
memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan
lain hingga puas.
Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana
bagai kepala, upapati Siwa-Budha. Mengalir rakyat yang datang
sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang
menerima balasan.

Pupuh 31
Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah.
Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke
Daleman menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di Kalayu
Baginda berhenti ingin menyekar.
Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi
makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam
dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama upacara
penyekaran itu.
Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan
jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri

Page | 74

Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar
mengikuti gerak tandak.
Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi
desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya
berlomba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba
gadis remaja.
Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon
Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah anugerah Sri
Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha menjulang
tinggi, sangat elok bentuknya.
Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan
betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi ke
Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung melintasi
Patentanan, Tarub dan Lesan.

Pupuh 32
Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam
empat hari. Di tanah lapang sebelah candi Budha beliau
memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para menteri dan
pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan
santapan, girang menerima anugerah uang.
Berangkat dari situ Sri Baginda menuju asrama di rimba Sagara.
Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh.
Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama sagara.
Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa
kagum rindu.
Sang pujangga Prapanca yang memang senang bermenung tidak
selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah
melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan
tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah
berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga
tumbuh lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan (pahatan)
dengan slokanya di dalam cita. Di atas atap terpahat ucapan sloka
yang disertai nama. Pancaksara pada penghabisan tempat
terpahat samar-samar, menggirangkan.
Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok
tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang
dilingkupi selokan. Andung, karawita, kayu mas, menur serta
kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah,
menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
Tiada sampailah kata merah keindahan asrama yang gaib dan
ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya

Page 75 |

tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua-muda,
nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah
Siwapada di atas dunia.

Pupuh 33
Habis berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu. Para pendeta
pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang
tersedia dalam pertapaan. Baginda membalas harta, membuat
mereka gembira.
Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka
mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerama ke
taman penuh dengan kesukaan. Kegirang-girangan para pendeta
tercengang memandang.
Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang
sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang
masih remaja puteri sengaja merenung. Batinnya: dewa asmara
turun untuk datang menggoda.

Pupuh 34
Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup
mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam
roga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan
sawah ditepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam.
Paginya ke utara menuju Desa Gading.
Para menteri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta
Siwa-Budha. Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira
dibalas Baginda dengan emas dan kain.
Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk
segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding,
Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.

Pupuh 35
Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju
Kepanjangan. Menganut jalan raya, kereta lari beriring-iring ke
Andoh Wawang. Ke Kedung Peluk dan Ke Hambal, desa
penghabisan dalam ingatan. Segera Baginda menuju Kota
Singasari bermalam di balai kota.
Prapanca tinggal disebelah barat Pasuruan ingin terus
melancong. Menuju Indarbaru yang letaknya di daerah Desa
Hujung. Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan
perkara tanah asrama. Lempengan piagam pengukuh
diperlihatkan, jelas setelah dibaca.

Page | 76

Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik
wihara. Begitu pula dengan Markaman, lading balunghura, sawah
hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh
dari pura. Bila telah habis kerja di Putusingin, ia menyingkir ke
Indarbaru.
Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama.
Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis
menyekar di candi makam, Baginda mengumbar nafsu kesukaan.
Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan
dan Bureng.

Pupuh 36
Pada Subakala, Baginda berangkat ke selatan menuju
Kagenengan. Akan berbakti kepada makam Bhatara bersama
segala pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga
mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera,
disambut sorak sorai dari penonton.
Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat.
Pendeta Siwa-Budha dan para bangsawan berderet leret di sisi
beliau. Tidak diceritakan betapa lahab Baginda bersantap sampai
puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian
yang indah.

Pupuh 37
Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara.
Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar di dalam,
terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami
aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah.
Seperti gunung Meru, dengan arca Bhatara Siwa di dalamnya.
Karena Girinata putera disembah bagai Dewa Bhatara. Datu
leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
Sebelah selatan candi makam ada candi sunyi terbengkalai.
Tembok serta pintunya masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai di
dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sangar
dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
Disebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata.
Terpancar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman.
Diluar gapura pabaktan luhur, tapi longsor tanahnya. Halaman
luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat.
Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut
bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh

Page 77 |

merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada
hentinya.
Sedih mata memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya.
Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk.
Beliau masyhur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagat.
Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan Bhatara.
Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung ke Candi Kidal.
Sesudah menyembah Bhatara, larut hari berangkat ke Jajago.
Habis menyembah arca Jina, beliau berangkat ke penginapan.
Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.

Pupuh 38
Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru-biruan,
ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet,
penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap
sari kesenangan.
Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda
terik matahari, melintas tegal tinggi. Rumputnya tebal rata, hijau
mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil
berombak jurang.
Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari,
segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah
pendeta Budha, sarjana pengawas candi dan silsilah raja, pantas
dikunjungi.
Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan,
darah luhur, keluarga raja dan masyhur. Meskipun sempurna
dalam karya, jauh dari tingkah takabur. Terpuji pekerjaannya,
pantas ditiru keinsyafannya.
Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai,
orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan
pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak
bagi paduka dan tersedia?”
Maksud kedatanganya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang
dicandikan. Masih selalu dihadap. Ceritakanlah mulai dengan
Bhatara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putera
Girinata.

Pupuh 39
Paduka empuku menjawab: “Rakawi Maksud paduka sungguh
merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus
menambah ilmu, mahkota hidup”

Page | 78

Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air
sendang tujuh. Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar
aral, waktu bertutur.
Semoga rakawi bersifat pengampun. Diantara kata terselip salah.
Harap percaya kepada orangtua. Kurang atau lebih janganlah
dicela.

Pupuh 40
Pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan (1104) ada raja perwira
yuda. Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu.
Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti.
Rangga Rajasa16 nama beliau, penggempur musuh pahlawan
bijak.
Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur.
Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya.
Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan
Negara. Ibu kota negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat
terganggu.
Tahun Saka Lautan Dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri.
Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa.
Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua
pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua
raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah.
Bersatu Janggala Kediri dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal
para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata.
Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya.
Tahun Saka Muka Lautan Rudra (1149) beliau kembali ke

16 Ranggah Rajasa adalah nama lain dari Ken Arok. Dalam kitab Pararaton, Ken
Angrok disebutkan sebagai penjelmaan kembali dari seseorang yang pada
waktu masa hidupnya didunia merupakan seseorang yang bertingkah laku
tidak baik, tetapi karena ia sanggup dijadikan korban untuk dewa penjaga
pintu, maka ia dapat kembali ke Wisnubhawana. Ken Angrok dilahirkan di desa
Pangkur disebelah timur Gunung Kawi. Ibunya bernama Ken Endok, istri dari
seorang petani bernama Gajah Para. Dikisahkan bahwa pada waktu itu Ken
Endok hendak mengantarkan makanan untuk suaminya yang sedang bekerja
di sawah, di tengah perjalanan ia di temui oleh Dewa Brahma di Tegal Lalateng,
hingga akhirnya Ken Endok mengandung.

Page 79 |

Siwapada. Dicandikan17 di Kagenengan bagai Siwa18, di Usana
bagai Budha.

Pupuh 41

17 Pada masa Singasari pengertian candi mengalami pergeseran dari makna
sebelumnya. Pada umumnya, di India khususnya, candi didirikan sebagai
tempat untuk sembahyang, beribadah, atau memuja dewa tertentu. Namun
pada abad XI dan seterusnya candi biasanya dihubungkan dengan kematian.
Candi, khususnya yang berada di Jawa Timur biasanya dihubungkan dengan
raja tertentu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa candi di Jawa Timur yang
dianggap sebagai tempat pendharmaan raja yaitu: Candi Kidal (Anusapati),
Jago (Wisnuwardhana), Singosari (Kertanegara), Jawi (Kertanegara sebagai
Siwa-Budha). Ada kecenderungan bahwa raja-raja yang telah meninggal
diarcakan sebagai tokoh dewa. Kakawin Arjunawiwaha menunjukkan
kebiasaan raja-raja di Jawa untuk diwujudkan sebagai arca dewa atau dewi
tertentu setelah meninggal (Fahruddin & Pamungkas, 2013). Menurut
Pararaton arca Prajnaparamita (yang pernah disimpan di Museum Leiden dan
sekarang di Museum Nasional) adalah sebuah arca perwujudan seorang putri
Jawa. Cerita Arjunawiwaha berisi tentang kesuksesan Arjuna ketika bertapa di
Gunung Indrakila, mendapatkan anugerah senjata Pasupati, dari Hyang Guru.
Berkat Pasupati yang mata panahnya berbentuk bulan sabit itu, Arjuna mampu
mengalahkan musuh dewa, Niwata kawaka. Kemudian dia dinobatkan menjadi
raja dan berhak memperisteri para bidadari di kayangan (Sulistono, 2015).
Cerita Arjunawiwaha, divisualisasikan di tujuh kepurbakalaan yaitu di candi
Jago, Surawana, Kedaton, Goa Pasir, dan di tida bangunan Punden berundak di
Gunung Penanggungan (Munandar, 2004). Dahulu, apabila raja maninggal
dunia, menurut kebiasaan dalam agama Hindu jenazahnya dibakar dan abunya
dilarung ke sungai atau ke laut, atau ditebarkan di penjuru mata angin. Setelah
itu dibuatkan tempat pendharmaannya, yaitu suatu bangunan sebagai tempat
pemujaan bagi arwahnya, pada umumnya orang menyebut candi.

18 Di Candi Kagenengan ini, Ken Arok didharmakan sebagai perwujudan Siwa.
Raja yang telah meninggal dibuatkan arca perwujudannya dengan dewa
penitisnya, namun hal tersebut berbeda dengan naskah Pararaton yang tidak
menyebutkan nama dewa penitis dalam penggambaran arca perwujudan,
misalnya: 1) Ri linanira sang amurwabhumi….sira dhinarmeng ri kagenengan
(= ketika sang Amurwabhumi wafat, ia dhinarma di Kagenengan..); 2) Lina
sang Anusapati…dhinarma ring Kidal (Sang Anusapati wafat, didarmakan di
Kidal). Raja yang meninggal sebagai dewa yang dipuja oleh Raja tersebut,
tetapi raut mukanya disesuaikan dengan raut muka raja yang meninggal.
Penemuan arca Siwa Mahadewa di garbhagraha Candi Kidal diperkirakan arca
perwujudan raja Anusopati, raja Kedua Kerajaan Singosari. Kehidupan
keagamaan Siwa pada Wangsa Rajasa secara artefaktual dengan
ditemukannya arca Prajnaparamita yang dianggap sebagai perwujudan Ken
Dedes dan arca Siwa Mahadewa yang dianggap sebagai perwujudan raja
Anusapati, maka dapat dipahami bahwa agama Buddha dan Siwa sebagai
agama resmi wangsa Rajasa.

Page | 80

Bhatara Anusapati19, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan.
Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah
bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu (1170) beliau pulang
ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di
candi Kidal20.
Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti dalam
kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra
memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh
kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.

19 Anusapati atau Anusanatha adalah raja Singasari dari dinasti Rajasa, anak
Tunggul Ametung dan Ken Dedes pada tahun 1170 Saka atau 1248 Masehi.

20 Pada bagian badan candi Kidal seperti pada candi-candi Hindu lainnya,
terdapat ruang induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding badan candi
dihiasi pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas, juga dihiasi lingkaran-
lingkaran yang hampir sama dengan yang ada pada kaki candi. Pada kiri dan
kanan pintu masuk terdapat relung kecil mirip bangunan candi dengan
arsitektur atap yang tinggi. Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulu berisi arca
Mahakala, sedangkan sebelah kanan (selatan) dahuluya berisi arca
Nandiswara. Mahakala adalah salah satu aspek dewa Siwa yang bertugas
sebagai perusak. Oleh karena itu bentuk Mahakala dilukiskan berwajah
raksasa bersenjata gada dan pedang, berkalung ular, berambut gimbal.
Sedangkan Nandiswara adalah bentuk dari lembu Nandi, yang tidak lain
kendaraan dewa Siwa. Oleh karena itu lembu Nandi diwujudkan seperti
manusia biasa, membawa senjata Trisula (senjata Siwa), yang menandakan
bahwa Nandi sangat berhubungan dengan Siwa. Relung sisi timur (bagian
belakang candi), dahulu relung ini berisi arca Ganesa. Ganesa berasal dari kata
“Gana” artinya gajah/kaum Gana yaitu para pemuja hewan gajah, dan “isya”
artinya tuan atau pemimpin. Jadi artinya tuan/pemimpin kaun pemuja gajah.
Sebagai binatang sembahan itulah, gajah ditingkatkan kedudukannya sebagai
dewa, dan dimasukan dalam kelompok keluarga Siwa. Dalam gambaran
arcanya, Ganesa digambarkan berbadan manusia, perut buncit, dan berkepala
gajah. Ruangan dalam candi Kidal sekarang kosong, hanya sekali-sekali terlihat
sisa-sisa pembakaran dupa bekas sarana pemujaan. Menurut sistem mandala
percandian Hindu di Jawa, ruangan tersebut harusnya berisi arca yang berdiri
di atas sebuah lingga yoni dalam kitab Negarakertagama Candi Kidal
merupakan tempat padharmaan raja Anusapati yang diwujudkan sebagai
Siwa. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki
candi. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan
arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan.Dalam kesusastraan Jawa kuno,
terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya,
seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan
tebusan air suci amerta (air kehidupan). Air amerta adalah air yang bisa
membuat makhluk hidup tidak bisa mati, dan menghidupkan kembali yang
sudah mati (Soekmono, 1985). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk
memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang
sangat dicintainya.

Page 81 |

Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176) Bhatara Wisnu
menobatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala
berduyun-duyun ke pura mangastubagia.
Raja Kertanegara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya.
Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja
Singasari.
Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja
Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa
dan di Jajago21 arca Budha. Sementara itu Bhatara
Narasingamurti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di
Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa Mahadewa.
Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh
penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga
mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa
(1197) Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap
Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.

Pupuh 42
Tahun Saka janma sunya surya (1202) Baginda raja
memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya
dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit surya (1206)
mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya
menghadap Baginda sebagai seorang tawanan.
Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah
Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur
dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari
mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab
sudah terang setanah Jawa.
Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal
dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak

21 Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari
kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Semua terisi dengan aneka ragam
hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan
kepergian. Pembangunan Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya Sri Jaya
Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana,
yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu
maupun Buddha. Sedangkan arca-arcanya bersifat budhis. Ajaran Buddha
tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang
terpahat pada teras paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan
cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama
Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan
relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi
dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan
Kalayawana.

Page | 82

zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk
teguhnya ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur demi
keselamatan seluruh praja.

Pupuh 43
Menurut kabaran sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman
Dwapara. Tahun saka lembu gunung indu tiga (3179) beliau
pulang ke Budhaloka. Sepeninggalnya datang zaman kali, dunia
murka, timbul huru-hara. Hanya Bhatara raja yang faham dalam
nam guna, dapat menjaga jagat.
Itulah sebabnya baginda teguh bakti menyembah kaki
Sakyamuni. Teguh tawakal memegang pancasila, laku utama,
upacara suci gelaran Jina beliau yang sangat masyhur ialah Sri
Jnyanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain
pengetahuan agama.
Berlomba-lomba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan.
Pertama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati. Melakukan
puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja.
Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat
murba.
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau.
Faham akan sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama adil, teguh
dan Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya
beliau turun temurun menjadi raja pelindung.
Tahun saka laut janma bangsawan yama (1214) Baginda pulang
ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran
agama, beliau diberi gelaran: Yang mulia bersemayam di alam
Siwa-Budha22. Di makam beliau bertegak arca Siwa-Budha
terlampau indah permai.

22 Untuk mengetahui bagaimana proses penyatuan agama Saiwa dan Bauddha
di Indonesia perlu memeriksa sumber-sumber yang merekam perjalanannya,
seperti naskah-naksah tutur atau kakawin di dalam bahasa Jawa Kuno dan
prasasti baik berbahasa Jawa Kuno maupun Bali Kuno (Suamba, 2014). Teks
Sang Hyang Kamahayanikan merupakan salah satu sumber penting yang
membahas ajaran Buddha Mahayana di Indonesia. Kitab Sang Hyang
Kamāhayānikan terdiri dari empat bagian. Bagian pertama disebut dengan
Sang Hyang Pamutus, kitab ini merupakan bagian pembuka, yang berisi cara-
cara berperilaku baik sesuai dengan ajaran Buddha. Bagian kedua disebut
dengan Sang Hyang Kamāhayānan Mantranaya, yang berisi persiapan yang
dilakukan sebelum menerima ajaran yang dirahasiakan (Tāntrāyana). Bagian
ketiga disebut dengan Sang Hyang Kamāhayānikan, bagian utama dari kitab
ini, berisi konsep-konsep dan panteon agama Buddha. Bagian keempat disebut
dengan Savavidhana, di mana isinya merupakan petunjuk tentang perawatan
jenazah. Bagian utama kitab Sang Hyang Kamāhayānikan berisi konsep agama
Buddha Mahayana-Tāntra. Konsep ajaran Buddha yang tertuang dalam kitab

Page 83 |

Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan.
Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri Bajradewi.
Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan Negara.
Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal,
terkenal.
Pupuh 44

ini ialah suatu pengetahuan sempurna (samyakjñana) yang dimanifestasikan
sebagai suatu zat yang tertinggi. Zat yang tertinggi ini kemudian menjelma
dalam tiga tingkatan, yaitu: Sang Hyang Divarupa, Bhatarā Ratnatraya, dan
Bhatarā Pancatathāgatha. Sang Hyang Divarupa dapat diartikan sebagai Sang
Hyang yang mendua. Dalam Sang Hyang Divarupa terdapat dua anasir yang
berbeda namun keduanya memiliki suatu keterkaitan. Sang Hyang Divarupa
dapat dipandang sebagai laki-laki dan perempuan, sehingga Sang Hyang
Divarupa sering diwujudkan dalam bentuk Adibuddha dengan sakti-nya dalam
bentuk yab-yum. Sang Hyang Divarupa kemudian menjelma menjadi Bhatarā
Çri Sākyamuni bewarna putih dengan sikap tangan (mudra) dhvaja, di mana
sisi kanan Bhatarā Çri Sākyamuni melahirkan Bhatarā Çri Lokesvara bewarna
merah dengan dhyanāmudrā, sedangkan di sisi kirinya melahirkan Bhatarā Çri
Vajrapāni berwarna biru dengan bhūmisparçamudrā. Ketiganya disebut
sebagai Ratnatraya, yaitu Buddha, Dharma, dan Sańgha, yang juga dianggap
sebagai Tattva, yaitu: Kaya, Vak, dan Citta, atau sebagai Sila, yang terdiri atas
Asih, Punya, dan Bakti

Page | 84

Tatkala Sri Baginda Kertanagara23 pulang ke Budhabuana24,
merata takut, duka, huru hara, laksana zaman kali kembali. Raja

23 Raja Krtanagara beragama Buddha Tantrayana, tetapi membiarkan agama
Siwa tetap hidup. Dua agama itu tetap berjalan berdampingan. Bahkan dia
melakukan upacara-upacara Saiwa untuk kepentingannya. Misalnya pada
waktu raja Krtanagara merasa terancam oleh raja Kubilai Khan dari Cina, raja
Krtanagara melakukan upacara puja kepada Siwagni dan Camundi. Upacara
Camundi dijumpai pada prasasti Camundi dari tahun 1214 saka (1292 M) yang
digoreskan dibelakang arca Camundi yang sekarang disimpan di Museum
Trowulan, Mojokerto. Arca Camundi merupakan salah satu bentuk Kali, dalam
kelompok Sapta Matrka (tujuh orang dewi). Di India khususnya di daerah
Orissa dan Bengal, Sapta Matrka maupun Camundi dipuja dalam upacara
Tantra dengan mempergunakan ilmu hitam yang dikenal dengan nama
Vasikarana dengan tujuan membinasakan musuh. Dalam prasasti Penampihan
yang dikeluarkan oleh Kertanegara disebutkan ia bernama Narasimhamurti
dengan akhir prasasti menyebut Siwa. Narasimhamurti merupakan
penjelmaan Wisnu dalam bentuk demonis. Diwujudkan dewa untuk
membebaskan dunia dari Hiranyakacipu. Dalam Nagarakertagama,
Kertanegara sebagai pemuja Siwa disamakan dengan dewa yang bersifat
Wisnu. Sekte yang mengakui bahwa Siwa dan Wisnu adalah sama sebagai
dewa tertinggi disebut Harihara, yaitu perwujudan gabungan antara Dewa
Wisnu (Hari) dan Dewa Siwa (Hara). Juga dikenal dengan sebutan
Shankaranarayana (Shankara adalah Dewa Siwa, dan Narayana adalah Dewa
Wisnu) setengah Siwa dan Setengah Wisnu. Sebagai penegasan sinkretisme
Siwaisme dengan Buddhisme, dan dewa-ganda lazim dipuja di Jawa. Dewa
Buddhis yang setara dengan Harihara hanyalah Dewa-ganda yaitu, sebagian
adalah Hari (Wisnu) yang digantikan dengan wujud Buddha. Hanya wujud
inilah yang dapat mengatasi pada saat masa Kali. Jika sebagian berwujud
Buddha itu sama dengan Narasimha. Inilah yang kemudian disebut
Hara(Siwa)-Buddha yang kemudian menjadi Siwa-buddha yang berasal dari
Siwa Wisnu yang seharusnya menjadi Bhairawa. Dari situlah sudah selayaknya
Kertanegara memiliki nama Bhatara Siwabuddha. Dapat disimpulkan bahwa
Siwa dan Buddha bersifat satu (Rahmawati, 2017).

24 Kertanegara didarmakan di Candi Singasari. Candi Singasari memiliki
banyak nama antara lain: Pertama, sekitar abad ke-19 (tahun 1800-1850
Masehi) disebut oleh orang Belanda dengan nama Candi Menara. Mungkin
karena bentuknya yang seperti menara. Kedua, seorang ahli purbakala bangsa
Eropa bernama W.F. Stutterheim, pernah memberi nama dengan sebutan
Candi Cella. Alasanya mungkin karena candi ini mempunyai celah sebanyak
empat buah pada dinding-dinding di bagian badan candi. Ketiga, laporan dari
W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856 Masehi, diberi
nama Candi Cungkup. Keempat, sebagian penduduknya memberi nama Candi
Renggo. Mungkin karena letak candi ini berada di Desa Candi Renggo.
Kelima,sampai hari ini penduduk setempat memberi nama yaitu Candi
Singosari. Mungkin karena lokasinya berada di Kecamatan Singosari. Candi
Singosari lebih banyak difungsikan sebagai tempat pemujaan. Pemujaan
tersebut ditunjukan kepada dewa Syiwa, karena sistem mandala yang terlihat
pada Candi Singosari berdasarkan pada arca-arcanya merupakan candi Hindu.
Candi Singosari dihubungkan dengan raja Kertanegara, raja terakhir yang

Page 85 |

bawahan bernama Jayakatwang25, berwatak terlalu jahat
berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
Tahun saka laut manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya.
Atas perintah Siwaputera Jayasaba berganti jadi raja. Tahun saka
delapan satu satu (1180) Sastrajaya raja Kediri. Tahun tiga
Sembilan siwa raja (1193) Jayakatwang raja terakhir.
Semua raja berbakti kepada cucu Girinata. Segenap pulau tunduk
kepada kuasa Raja Kertanagara. Tetapi raja Kediri
Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata dunia tak
baka akibat bahaya anak piara Kali.
Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar saja.
Lalu ditundukan putera Baginda; ketentraman kembali. Sang
menantu Dyah Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia.
Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur
Jayakatwang.

Pupuh 45
Sepeninggal Jayakatwang jagat gilang cemerlang kembali. Tahun
saka masa rupa surya (1216) beliau menjadi raja. Disembah di
Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh bergelar Sri
Narapati Kretarajasa Jayawardana.
Selama Kretarajasa Jayawardana duduk di tahta, seluruh Jawa
bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan

meninggal tahun 1292 M. Menurut Pararaton, ia dimakamkan di Tumapel,
yang dikemudian hari diidentikkan dengan Singasari. Menurut prasasti
Singosari (juga disebut prasasti Gajahmada) bertarikh 1273 Saka atau 1351
Masehi yang diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dalam buku Beschrijving van
Tjandi Singasari en de volkentoneelen van Panataran (1909), disebutkan
bahwa Candi Singosari dibangun atas keputusan Dewan Pertimbangan Agung
(Sapta Prabhu), yang terdiri dari tujuh raja yang perintahnya disampaikan
oleh Tribhuwanatunggaldewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, kepada
Mahamentri Rakryan Empu Mada untuk mendirikan candi bagi
Mahabrahmana, kepada agama Siwa Buddha (ajaran Tantrayana), bagi
mahapatih Raganata atau Ramapati serta para pengikut yang telah gugur
bersama Kertanegara pada saat diserang Raja Kediri.

25 Upacara Kalacakra merupakan upacara yang dilakukan Kertanegara pada
saat dia dan para pengikutnya diserang oleh tentara Jayakatwang (Rahmawati,
2017). Disebutkan Serat Pararaton bahwa Bhatara Siwa-Buddha senantiasa
minum-minuman keras. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk memuja
Bhairawa. Dalam praktiknya, upacara ini mengharuskan penganutnya untuk
melakukan ritual Pancamakarapuja, yakni melakukan lima hal keharusan yang
dikenal dengan sebutan Batara Lima atau Ma-Lima. Lima Ma tersebut adalah
matsya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman), maithuna (upacara
seksual), dan madra (tarian hingga mencapai ekstase).

Page | 86

Baginda empat jumlahnya. Puteri Kertanegara cantik-cantik
bagai bidadari.

Pupuh 46
Sang Prameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela. Lalu
Prameswari Mahadewi, rupawan tak bertara.
Prajnyaparamita Jayendradewi, cantik manis menawan hati.
Gayatri yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
Perkawinan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena
Bhatara Wisnu dengan Bhatara Narasingamurti. Akrab tingkat
pertama; Narasingamurti menurunkan Dyah Lembu Tal. Sang
perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha.

Pupuh 47
Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata. Dalam hidup atut
runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan
pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan.
Tersebut tahun saka tujuh orang dan surya (1217) Baginda
menobatkan puteranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putera
Indreswari. Bergelar Sang Raja Putera Jayanagara.
Tahun saka surya mengitari tiga bulan (1231) Sang prabu
mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam
beliau. Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.

Pupuh 48
Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan
dua orang puteri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai Dewi
Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung
jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani di Daha.
Tersebut pada tahun saka mukti guna memaksa rupa (1238)
bulan madu baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang
menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi
sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagat melihat
keperwiraan Sri Baginda.
Tahun saka bulatan memanah surya (1250) beliau berpulang.
Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca
Wisnuparama. Di sila petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu
terlalu indah. Di Sukalila terpahat arca Budha sebagai jelmaan
Amogasidi.

Pupuh 49

Page 87 |

Tahun saka uma memanah dwi rupa (1256) Rani Jiwana
Wijayatunggadewi bergilir mendaki tahta Wilwatikta
didampingi raja putera Singasari.
Atas perintah ibunda Rajapatni sumber bahagia dan pangkal
kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri
Baginda Wilwatikta.
Tahun Saka Api memanah ari (1253) Sirna musuh di sadeng, Keta
diserang. Selama bertahta, semua terserah kepada menteri bijak,
Mada namanya.
Tahun saka panah musim mata pusat (1265) Raja Bali yang alpa
dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya menjauh
segala yang jahat, tenteram.
Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh mengharukan
ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Baginda di dunia. Dewa asalnya,
titisan Girinata.
Barangsiapa mendengar kisah raja, tak puas hatinya. Pasti takut
melakukan tindak jahat, menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Paduka empu minta maaf berkata: “Hingga sekian kataku, sang
rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu, Bagai buahnya
gubahlah pujasastra”
Habis jamuan rakawi dengan sopan minta diri kembali ke
Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya
berangkat menghadap Baginda.

Pupuh 50
Tersebut Baginda Raja berangkat berburu. Berlengkap dengan
senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Nandawa, rimba
belantara. Rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak.

Bala bulat beredar membentuk lingkaran. Segera siap kereta
berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit.
Burung ribut beterbangan berebut dulu.
Bergabung sorak orang berseru dan membakar. Gemuruh
bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat
udara. Seperti waktu hutan Kandawa terbakar.
Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam
rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari malah
menengah berkumpul tumpuk timbun.
Banyaknya bagai benteng di dalam Gobajra. Penuh sesak bagai
lembu di Wresabapura. Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci,
biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.

Page | 88

Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang
menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-
teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.

Pupuh 51
Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja
merayah hutan, apa yang diperbuat Menanti mati sambil berdiri
ataukah kita lari Atau tak gentar serentak melawan, jikalau
diserang?
Seolah-olah demikian kata serigala dalam rapat. Kijang, kasuari,
rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik, tidak ada
jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat
mungkin.”
Banteng, kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi!
Celaka bang kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat
perwira lari atau menanti mati. Melawan dengan harapan
menang, itulah kewajiban.”
Jawab singa: “Usulmu berdua memang pantas diturut. Tapi harap
dibedakan yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang
kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka jika mati terbunuh
olehnya.
Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Budha seyogyanya kita
ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja terburu,
tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan
hidupmu.
Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan
Bhatara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk
yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun ke dalam
telaga.
Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa aku
takut, lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja, akan
menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lagi bagai binatang.”

Pupuh 52
Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak
maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya tertahan
tanduk satwa, lari kembali.
Tersebut adalah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang
berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh dengan
anaknya dirayah tak berdaya.
Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima,
gemuk, tinggi, marah, buas membekos-bekos, matanya merah liar
dahsyat, saingnya seruncing golok.

Page 89 |

Pupuh 53
Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru. Ada satu yang
tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya,
darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak,
menggelimpang kesakitan.
Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing.
Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun.
Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang.
Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang
memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanilah
yang memanjat pohon tergelincir ke bawah! Betisnya segera
diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta.
Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak.
Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari
terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
Ada pendeta Siwa-Budha yang turut menombak, mengejar
disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan
segala darma, lupa akan tata sila, turut melakukan kejahatan,
melupakan darmanya.

Pupuh 54
Tersebutlah Baginda telah mengendarai kereta kencana. Tinggi
lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya. Menuju hutan
belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari
bercerai-berai meninggalkan bangkai.
Celeng, kaswari, rusa, dan kelinci tinggal dalam ketakutan.
Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai.
Menteri, tanda, dan pujangga di punggung kuda turut memburu.
Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk,
tertikam.
Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang.
Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda.
Puaslah hati Baginda, sambil bersantap dihadap pendeta.
Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.

Pupuh 55
Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari
keindahan. Gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan
kembali ke rumah perkemahan. Membawa wanita seperti

Page | 90

cengkerama; di hutan bagai menggempur Negara. Tahu kejahatan
satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
Tersebutlah beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan
pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir
dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju
Kuwarahan, Celong dan Dadamar. Garuntang, Pagar Telaga,
Pahanjangan, sampai disitu perjalanan beliau.
Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke
Belanak. Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau
lalu bermalam. Kembali ke Selatan, ke Barat menuju Jejawar di
kaki gunung berapi. Disambut penonton bersorak gembira,
menyekar sebentar di candi makam.

Pupuh 56
Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu.
Didirikan oleh Sri Kertanegara, moyang baginda raja. Di situ
hanya jenazah beliau saja yang dimakamkan. Karena beliau dulu
memeluk dua agama Siwa-Budha.
Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi.
Didalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca
Maha Aksobhya bermahkota tinggi tak bertara. Namun telah
hilang; memang sudah layak, tempatnya di nirwana.

Pupuh 57
Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang. Ada
pada Baginda guru besar, masyhur, pada Paduka. Putus tapa,
sopan suci penganut pendeta Sakyamuni. Telah terbukti bagai
mahapendeta, terpundi sasantri.
Senang berziarah ke tempat suci, bermalam di candi. Hormat
mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah.
Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya,
mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci. Tentang
adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali
lagi ke candi menyampaikan bakti, kecewa! Tercengang
memandang arca Maha Aksobya hilang.
Tahun Saka Api Memanah Halilintar (1253) itu hilangnya arca.
Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam. Benarlah
kabaran pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana
membangun kembali candi tua terbengkalai?
Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surge turun. Gapura
luar, mekala serta bangunanya serba permai. Hiasan di dalamnya

Page 91 |


Click to View FlipBook Version