The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hasim888, 2018-08-20 13:06:33

Varia Peradilan

varia peradilan final

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

dimaksudkan untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang
bersifat black letter law tersebut.

Ajaran Critical Legal Studies ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai
berikut:
a. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak

ke politik dan sama sekali t idak netral;
b. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan

ideologi tertentu;
c. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan

individual dengan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu aliran ini banyak berhubungan
dengan emansipasi kemanusiaan;
d. Aliran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Oleh karena itu ajaran ini menolak
keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
e. Ajaran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan menolak
juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik dari
faham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure
theory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap
transformasi sosial yang praktis.
Perkembangan selanjutnya dari Critical Legal Studies adalah dengan munculnya generasi
kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan
hukum untuk merekonstruksi kembali realitas sosial yang baru. Generasi kedua tersebut
sekarang ini muncul dalam wujud Feminist Legal Theorist (fem-crit) dan critical race
theorist (race-crit) dan yang masuk lebih jauh di bidang hukum adalah radical criminology.
Dewasa ini aliran-aliran seperti itu telah me- mengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga
masyarakat sudah sangat sadaar bahwa hukum yang ada sekarang bukanlah pelindung
(protector) melainkan sudah menjadi penindas (oppressor).

10) Gagasan Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif dilontarkan oleh pakar sosiologi hukum yaitu Prof. Dr.

Satjipto Rahardjo, S.H. Menurutnya hukum hendaknya mengikuti perkembangan
hukum, mampu menjawab perkembangan zaman. Berdasarkan semangat mengikuti
perkembangan zaman itulah gagasan progresivitas hukum dibangun.

Menurut Satjipto Rahardjo36, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya
yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu
hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini
menyebabkan hukum progresif meng- anut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum
yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat
yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan
kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap hari. Bagi hukum progresif,
proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan tapi pada kreativitas pelaku hukum

36 Lihat dalam Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 190.

47

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif
dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap
peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).
Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif
untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena mereka dapat
melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan37.

Sebagaimana diuraikan di atas, hukum progresif lebih dekat ke interessenjurisprudenz.
Searah dengan hukum progresif, Interessen- jurisprudenz ini berangkat dari keraguan
tentang kesempurnaan logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan
sosial dalam masyarakat. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku
hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan sosial
yang memang harus dilayaninya.

Hukum progresif seperti halnya interssenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan
peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meskipun
demikian, tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical
jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Hukum Progresif merangkul
baik peraturan maupun kenyataan/ kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus
dipertimbangkan dalam t iap putusan.

Bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri,
melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif
meninggalkan tradisi analytical juris- prudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung
menepis dunia di luar dirinya seperti manusia, masyarakat, kesejahteraannya. Meminjam ist
ilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif. Dalam t ipe yang demikian
i tu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui
narasi tekstual aturan38.

Lebih lanjut dikatakan bahwa antara hukum progresif dengan legal realism juga memiliki
kemiripan logika yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum
itu sendiri. Baik hukum progresif maupun legal realism melihat dan menilai hukum dari
tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum
itu.

Selain dekat dengan aliran-aliran tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki
kedekatan ide dengan Teori-Teori Hukum Alam yaitu kepedulian pada apa yang oleh
Hans Kelsen disebut meta-yuridical. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga
Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum
Alam mengutamakan the search for justice39.

Berdasarkan perkembangan al i ran-ali ran metode penemuan hukum sebagaimana
diuraikan di atas maka metode penemuan hukum sebagai salah satu atau bentuk tekhniko
yuridik yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim
sebagai profesi (knowlwdge and experience) yang ingin dicapai melalui judicial activism di
sini adalah sesuai dengan jiwa dan semangat aliran progresif. Aliran progresif memberikan
pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan alat untuk melakukan
perubahan-perubahan sosial melalui putusan-putusan hakim.

Penerapan konsep hukum sebagai sarana perubahan-perubahan sosial law as a tool
of social engineering dapat dijalankan melalui konsep penemuan hukum (rechtsvinding)

37 Ibid., hlm. 191.
38 Ibid., hlm. 192.
39 Ibid., hlm. 193.

48

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

seperti penafsiran kontemporer (contemporary interpretation), penafsiran sosiologis dan
lain-lain metode penemuan hukum.

Konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo seperti juga Holmes, Brendeis
dan Cardozo adalah persoalan penerapan hukum bukan pembentuk undang-undang.
Progresivisme memaknai the living law yang semestinya menjadi dasar memutus bukan the
living law yang dibentuk hakim, melainkan hukum yang secara nyata ada di masyarakat
(law as social facts).40

Hakim semata-mata memutus atas dasar pertimbangan dan me- nurut rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat atau kepentingan keadilan pencari keadilan. Secara
lebih mendasar, pemikiran ini sangat dekat juga dengan peradilan equity di Inggris. Hakim
memutus semata-mata atas dasar pertimbangan keadilan bukan memutus menurut
hukum (Common Law, precedent atau suatu hukum tertulis).41

Seorang hakim (dalam hal ini Hakim PTUN) pada saat menghadapi kasus-kasus
konkret yang harus diadili, di mana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan
ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang maka diperlukan
kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum solusi
dalam kasus yang dihadapi yang harus dipecahkan dan diputuskan secara cepat dan adil.
Dalam kerangka berpikir demikian judicial activism dilakukan oleh hakim dan peradilan
untuk menjawab dan mengisi kekosongan hukum dalam mengikuti perkembangan
dan dialektika hukum dalam masyarakat sehingga putusan-putusan peradilan dapat
mencerminkan rasa keadilan.

Ada beberapa kasus putusan Pengadilan TUN yang mencerminkan adanya judicial
activism:
1. Diakuinya dan diterimanya class action serta legal standing bagi organi- sasi lingkungan

untuk menggugat dalam bidang hukum lingkungan hidup.

2. Dilindunginya pendaftar pertama yang beriktikad baik dalam bidang hukum tentang hak
cipta dan merek.

3. Diakuinya asas perlindungan hukum bagi warga negara yang haknya merasa dirugikan
karena kesalahan pemerintah yang bertindak bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

D. SIMPULAN
1. Judicial activism sangat penting dipahami dan diimplementasikan oleh hakim TUN

mengingat adanya karakteristik hukum acara dalam proses pemeriksaan di Peratun
yaitu peran hakim aktif (dominis litis) dalam memimpin persidangan, hakim dalam proses
persidangan mencari kebenaran materiil dan putusan hakim bersifat erga omnes yaitu
tidak semata-mata berlaku bagi para pihak yang beperkara. Selain itu hukum administrasi
kebanyakan berkembang melalui putusan pengadilan (yurisprudensi). Sehubungan
dengan karakteristik tersebut maka diperlukan judicial activism melalui metode penemuan
hukum untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan masyarakat.
2. Ada berbagai macam aliran dalam metode penemuan hukum. Aliran progresif dalam
metode penemuan hukum selaras dengan hakikat yang ingin dicapai melalui judicial

40 Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945, artikel
Varia Peradian No. 328 Maret 2013.

41 Ibid.

49

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

activism. Aliran progresif ini merupakan pembaruan pandangan dalam rechtvinding
sebagai reaksi atas aliran lama yang konservatif.

DAFTAR PUSTAKA

Adriaan W. Bedner. Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study. Penerjemah:
Indra Krishnamurti. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia Sebuah Studi Sosio
Legal. Jakarta: HuMa, van Vollenhoven Institute, KITLV.

Bambang Sutiyoso. 2012. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.

Bernard L. Tanya. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta: Genta
Publishing.

dkk. 2013. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.
Yogyakarta: Genta Publishing.

Hans Kelsen. 2012. Pengantar Teori Hukum. Bandung: Nusa Media.
Imam Syaukani dkk. 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nico Ngani. 2012. Bahasa Hukum dan Perundang-undangan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Paulus Effendi Lotulung. 2013. Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan. Jakarta: Salemba

Humanika.
. Makalah dengan judul: Keaktifan Hakim dalam Proses Peradilan: Judicial Activism

dalam Konteks Peradilan TUN. Disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran
Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu,
tanggal 21 September 2011.
Rusli Muhammad. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial.
Yogyakarta: UII Press.
Roberto M. Unger. The Critical Legal Studies Movement. Penerjemah: Narulita Yusron. 2012.
Gerakan Studi Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media.
. Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory. Penerjemah: Dariyanto
dan Derta Sri Widowatie. Teori Hukum Kritis Posisi dalam Masyarakat Modern. Bandung:
Nusa Media.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
S.F. Marbun. 2011. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia.
Yogyakarta: FH UII Press.
Wicipto Setiadi. 1994. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan.
Jakarta: Rajawali Pers.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang PTUN.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

50

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

PENGADAAN TANAH UNTUK FUNGSI SOSIAL
BERDASARKAN UUD RI 1945

Rudi Hartoyo, S.H.*

A. PENGANTAR

S alah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet
Indonesia Bersatu II adalah Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan No. 2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU
PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan
oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi. Salah
satu di antara pendapat yang menolak saat RUU PTUP ini dibahas di DPR-RI adalah Idham
Arsyad yang intinya menyatakan pembahasan RUU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai
penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Sebelumnya, harian Kompas juga mewartakan bahwa RUU PTUP merupakan ancaman
hak atas tanah karena rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis yang justru
meminggirkan akses publik terhadap hasil pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat.

Dalam tulisan ini materi UU PTUP No. 2 Tahun 2012 ini dari perspektif disiplin
hukum lebih khusus telaah dari sisi struktur atau format peraturan perundangan menurut
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial
(social justice). Mengapa nilai keadilan sosial menjadi alasan sebagai pengarusutamaan
karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya ketimpangan struktur sosial yang tidak
adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah: keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi
tergantung pada kehendak pribadi, pada kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi
sudah bersifat struktural. Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung
kepada penciptaan struktur sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti
harus dilakukan melalui perjuangan memperbaiki st ruktur- struktur sosial yang tidak adil
tersebut.

Dengan demikian set idaknya terdapat permasalahan atau isu hukum penting yang
diketengahkan berkenaan dengan kehadiran Rancangan Undang-Undang tentang
Pengadaan Tanah untuk kepentingan pembangunan sebagaimana ditetapkan sebagai
topik tulisan ini mempersoalkan mengenai sinkronisasi dan harmonisasi Rancangan
Undang-Undang Pengadaan Tanah dengan peraturan perundangan yang terkait yakni
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 berdasarkan
kajian normatif menurut Undang- Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
peraturan perundang- undangan.

B. PERMASALAHAN
Apa kelemahan pada substansi UU No. 2 Tahun 2012 jika dikaji sinkronisasi dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan harmonisasinya

*Hakim Pengadilan Negeri Kolaka.

51

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 berikut implikasi hukumnya?

C. PEMBAHASAN: STRUKTUR, FILOSOFI, NOMENKLATUR, PRINSIP/
ASAS

1. Struktur
Perlu diketahui bahwa sebelum disusunnya UU PTUP, maka wujud pengaturan

aktivitas PTUP secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15
Thn. 1975, Keputusan Presiden No. 55 Thn. 1993, Peraturan Presiden No. 36 Thn. 2005
serta terakhir Peraturan Presiden No. 65 Thn. 2006 sebagai realisasi dari amanat: Pertama
Pasal 6, 27, 34,40 UUPA. Kedua sebagai amanat dari UU No. 39 Thn. 1999 tentang HAM
yang mengamanatkan bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah merupakan salah
satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya ( Sumber Daya tanah)
harus diatur dengan undang-undang. Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya t
idak dikenal dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27,
Pasal 34 serta 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan
hukum pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah.

Di samping i tu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan hak
atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subjek hak atas tanah
mendapatkan permintaan dari negara yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah
yang meng- hendaki hak atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan
umum (public interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah
berfungsi sosial. Sedangkan penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah
selain hak milik diserahkan oleh subjek haknya kepada negara (pemerintah) sebelum
jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.

Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun
pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari subjek hukum
yang bersangkutan dan status hukum objek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh
negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo. Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Di
samping itu hal terpenting dari aktivitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan harus berpijak pada dasar konsti- tusional yakni Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 28H ayat (4) yang dinyatakan: “setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun” .

2. Filosofi
Dasar filosofi yang harus menjadi basis UU PTUP sebagaimana pula halnya dengan

UUPA adalah Pancasila khususnya si la kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah
termaktub pada konsiderans UU PTUP huruf a dan b. Seharusnya dengan pencantuman
landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang
dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara
yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila-sila Pancasila
sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984) merupakan pengisi dan pengarah serta
menjiwai setiap norma- norma yang hendak dirumuskan tulisan Notonagoro yang sama
menyatakan bahwa:

52

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

“Segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya
merupakan suatu tertib hukum, ialah tertib hukum Indonesia. Dalam setiap tertib
hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkis. Setiap peraturan perundangan
yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung
dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama
dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya.”

Pada setiap tertib hukum esensi utamanya adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan dalam tata urutan berjenjang sebagaimana dirumuskan oleh Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky, sebagai sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam
kerangka suatu tertib hukum. Jika secara saksama ditelaah, pada bagian konsi- derans
termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut:

a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;

b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum,
diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip
kemanusiaan, demokratis, dan adil;

c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum belum dapat men- jamin perolehan tanah untuk pelaksanaan
pembangunan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.

Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
seolah hendak menjalankan amanat yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman
pada prinsip kemanuasiaan, demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi
neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepen- t
ingan swasta dalam undang-undang ini dengan dalih untuk kepen- t ingan pembangunan.

3. Nomenklatur
Nomenklatur yang dimaksud adalah penamaan suatu produk hukum yang dalam

ini adalah UU harus jelas sekalipun didefinisikan pada Pasal 1, kepentingan bangsa,
negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun agar t idak menimbulkan interpretasi
yang beragam harus dituliskan secara jelas kegiatan pembangunan yang dimaksud
meliputi aktivitas apa, bagaimana hal demikian dilaksanakan. Tampaknya UU No. 2 Thn.
2012 tentang PTUP dapat dikatakan identik dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 15 Tahun 1975 dan Pera- turan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1976 yang
mengedepankan pada pengkaburan makna kepentingan umum, sebagai kepentingan
rakyat banyak.

Sementara i tu, UU PTUP malah t idak memberikan definisi sama sekali apa yang
dinamakan kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu munculnya kasus-
kasus pengadaan tanah. Memasukkan kepentingan swasta sebagai kepentingan umum,
merupakan kemunduran dari aspek hukum karena jelas akan menjadi cara melawan hukum
pengambilan tanah oleh swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal
telah nyata bahwa kepentingan swasta t idak lain adalah kepentingan yang berorientasi pada

53

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

keuntungan semata.

4. Prinsip/Asas
Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo

dimaknai sebagai: “sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum
manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal,
memberikan dimensi etis kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan”
. Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan
pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi
HAM ( Human Rights) dengan memerhatikan hal-hal berikut:

1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya
hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun nonfisik dan hilangnya harta benda untuk
sementara waktu atau selama-lamanya;

2. ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:

• hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman,

• hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya,

• bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternatif lokasi baru
yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak,

• bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan
sebelum terjadinya pengambilalihan;

3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diper- hitungkan dalam
pemberian ganti kerugian harus diperluas.

4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan
besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survei dasar & sosial-ekonomi;

5. perlu diterapkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan
dan pemukiman kembali;

6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuh kembangkan;

7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang t
imbul dalam proses pengambilalihan tanah.
Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono di

muka, maka dalam konteks sistem hukum dicantumkan asas/ prinsip agar bilamana di
dalam sistem hukum terjadi sengketa, maka asas bertugas untuk menyelesaikan.

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono
terdapat enam asas hukum pengadaan tanah yakni:

1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keper- luan apa pun
harus ada landasan haknya;

2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun t idak langsung bersumber pada hak
bangsa;

3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara
para pihak yang bersangkutan;

4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah t idak dapat menghasilkan kata
sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan
oleh hukum untuk meng- ambil tanah yang diperlukan secara paksa;

5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan

54

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanah- nya wajib diberikan imbalan yang
layak;

6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pemba- ngunan berhak untuk
memperoleh pengayoman dari pejabat biro- krasi.

Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,
maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan
pemerintah atas nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk
kepentingan swasta harus menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan
hak perorangan atau individual merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh
negara khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah
tersebut. Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara
Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15
Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak atas Tanah tidak saja memiliki karakter hukum
sebagai sebuah produk hukum yang cacat dan seharusnya batal demi hukum karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang No. 5 Tahun
1960. Di samping itu merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya:
“hal itu tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum pada Pasal 1 ayat
(3) yang berbunyi negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam paham negara
hukum ini diutamakan adalah hukum sebagai suatu kesatuan sistem bernegara. Sistem
yang paling tinggi kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan
hukum. Hukum- lah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang. Artinya dalam faham
kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi yang
sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang
pengaturannya pada t ingkat puncak atau tertinggi tercermin dalam konstitusi negara
yaitu “ the rule of constitution” . Dalam kaitan itu di negara kita, hukum yang mempunyai
kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana tidak
boleh ada hukum dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengannya”.

Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka, dikaitkan dengan
produk hukum peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah sejak
diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 sampai Keputusan
Presiden No. 65 Tahun 2006 mengingkari hakikat negara hukum sebagaimana telah
disepakati telah termaktub pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

55

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

56

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

MAKING PRESENT DAN TUGAS YUDISIAL HAKIM
(Sebuah Cara Menuju Keadilan)

Abdurrahman, S.Ag.1

A. MENGENAL MAKING PRESENT

D ikisahkan oleh Abu Umamah bahwa suatu hari ada seorang pemuda
yang mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, “ Wahai utusan Allah,
izinkan aku berzina!” Orang-orang di sekitar Nabi Muhammad pun
menghampirinya dan memperingati pemuda tersebut, “Diam kamu! Jangan
bicara seperti itu!”. Nabi Muhammad berkata, “dekatkan dia padaku.”
Pemuda itu pun mendekat lalu duduk di dekat beliau. Nabi Muhammad bertanya, “
Relakah engkau ji ka ibumu dizinai orang lain?” . “ Tidak, demi Allah wahai Rasul” sahut
pemuda itu. Nabi Muhammad pun berkata, “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau
ibu mereka dizinai” .

Dalam hadis tersebut, Nabi Muhammad melanjutkan pertanyaan yang sama
dengan menyebutkan orang yang berbeda namun memiliki relasi atau hubungan
dengan pemuda tersebut yakni putrimu, saudara kandungmu, bibimu (dari garis bapak)
dan bibimu (dari garis ibu) jika mereka dizinai orang lain? pemuda tersebut juga
menjawab dengan jawaban yang sama “ Tidak, demi Allah wahai Rasul!” Kemudian
Nabi Muhammad meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “
Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”

Kutipankisahdiatasterekamdenganbaikdanlengkapdalamhadis yangdiriwayatkan
oleh Imam Ahmad.2 Dialog di dalam kisah tersebut hakikatnya memiliki pesan yang
begitu banyak dan bermakna. Salah satunya yakni tentang “ ilmu menghadirkan”
.3 Si pemuda yang ingin melakukan perbuatan tercela, dalam kisah tersebut t idak
diberikan ceramah atau nasihat yang panjang lebar, terlebih caci maki atau sumpah
serapah. Nabi Muhammad cukup mengajukan pertanyaan imajinatif dengan tujuan
membuka hati nurani pemuda tersebut agar hati nuraninya berfungsi kembali menjadi
cermin yang mampu “menghadirkan” bayangan situasi pengalaman dan rasa orang lain
ke dalam dirinya.

Ilmu menghadirkan bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia.
Pada masyarakat jawa dikenal petuah tepo seliro yang penerapannya identik dengan
ilmu menghadirkan. Secara sederhana tepo seliro bermakna tenggang rasa, yakni
kemampuan seseorang untuk memahami dan mengindahkan rasa orang lain.
Ibaratnya, jika dicubit terasa sakit maka jangan mencubit orang lain. Dengan bahasa
yang berbeda namun semakna juga disampaikan KH. Mustofa Bisri “tetaplah jadi manusia,
mengerti manusia dan manusiakanlah manusia” . Ulama yang dikenal dengan Gus Mus
seakan berkata bahwa seorang individu adalah manusia dan harus mengerti manusia
lainnya dan perlakukanlah manusia lain sebagaimana dirinya. Nasihat ini kemudian populer
dengan istilah “memanusiakan manusia” .

1 Hakim Pengadilan Agama Karang Asem (Bali).
2 Hadis Riwayat Ahmad No.22211.
3 Jalaludin Rahmat, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 205.

57

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

DalamagamaHindu, dikenal istilah yangberwajah samadengan imumenghadirkan
yakni TatTwamAsi. Istilah yang berasal dari bahasa Sanskertaini memiliki maknaitu atau
dia adalahkamu juga, maksudnya yakni “ia adalah kamu, saya adalah kamu dan semua
makhluk adalah sama”.4Sedangkanbagi umat Kristiani, ilmu menghadirkan telah tertulis
dalam Markus 12: 31, di sana disebutkan “ kasihinilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri, tidak ada hukum lain yang lebih utama seperti dirimu sendiri”.

Menjorok lebih dalam, pada kajian akademik dikenal filsuf barat Martin Buber
yang menurut hemat penulis telah mengembangkan ilmu menghadirkan. Filsuf aliran
eksistensialis ini memperkenalkan konsep relasi aku-kamu ( I- You/ Thou relationship)
yang di-kontraposisi-kan dengan relasi aku-itu (I–It Relationship). Teori relasi aku-kamu
memiliki pengertianbahwaseorangindividuuntuksadardanmenghargaipartner relasinya
(orang lain) sebagai subjek seperti dirinya, bukan sebagai objek. Relasi atau hubungan
semacam ini pada akhirnya membuka peluang bagi seseorang untuk berempati
kepada orang lain. Hal ini berbeda dengan relasi aku-itu (I–It), di mana orang lain
dipandang sebagai objek yang bisa diabaikan maupun digunakan untuk kepentingan
pribadi.5 Dengan relasi aku-kamu seseorang diniscayakan bisa merasakan kehadiran
(presence) orang lain dalam dirinya, sehingga teori ini populer dengan sebutan making
present.

Making present itu sendiri dalam penerapannya tidak dibatasi pada hubungan
antara manusia dengan manusia semata. Martin Buber sendiri dalam konsepnya
memberikan perumpamaan making present yakni dalam bentuk hubungan antara
manusia dengan pohon.6 Singkat- nya, making present merupakan gagasan agar manusia
dapat menghadirkan, men-tepo seliro atau memanusiakan bukan hanya kepada manusia
saja tetapi juga seluruh alam semesta (jagat raya dan seisinya) atau segala sesuatu yang ada
di luar dirinya dalam setiap hubungannya.

Pembahasan makingpresent sendiri bukanlah semata-mata domain filsafat etika atau
psikologi namun making present juga dapat di-“obrolkan” pada ruang kehidupan
lainnya, sepanjang topiknya adalah tentang manusia terlebih yang beririsan dengan
etika atau moral. Salah satunya adalah bidang hukum dengan pembahasan hakim dan
profesinya. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas profesi hakim dan kaitannya
dengan making present secara lebih sempit yakni dalam tugas yudisialnya.

B. FUNGSI MAKING PRESENT PADA TUGAS YUDISIAL HAKIM

1. Mengaktualkan Butir-Butir KEEPH
Telah dimaklum bahwa setiap profesi memiliki kode etik. Tidak terkecuali profesi

hakim di Indonesia yang mengenal KEPPH ( Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim). KEPPH merupakan panduan keutamaan moral bagi para hakim, baik dalam
menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan.7 Sepuluh butir perilaku yang diusung KEPPH diharapkan menjadi benteng

4 Nikomang Purnawati, http:/ / materiagamahindu.blogspot.co.id/ 2014/ 12/ tat-twam-asi.html
5 Ade Hidayat https://www.researchgate.net/publication/284349460_Pendekatan_Eksistensial_

dalam_Praktik_Layanan_Bimbingan_dan_Konseling
6 Adam Azano Satrio, https:/ / ruangkosongadam.blogspot.co.id/ 2012/ 10/ martin-buber.html
7 PedomanPerilakuHakim, Mahkamah Agung RI 2008 hlm. 3Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI

Nomor KMA/ 104A/ SK/ XII/ 2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim dan
Surat Keputusan Ket ua Mahkamah Agung RI Nomor 215/ KMA/ SK/ XII/ 2007 tanggal 19 Desember
2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

58

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

bagi hakim untuk menjaga profesinya tetap mulia (officium nobile).Ukuran kemuliaan
yang dimaksud dalam tugas yudisial hakim adalah saat keadilan dapat diberikan kepada
pihak yang beperkara atau para pencari keadilan ( justiciabelen). Dalam hal i ni
KEPPH tidak ubahnya menjadi “ dirigen” yang berperan mengharmonisasi irama
perilaku para hakim guna tercipta “lagu” keadilan yang dimaksud.

Butir-butir KEPPH sejatinya merupakan rangkuman nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan dalam sebuah kapsul kecil (in a nutshell) yang bersifat manusiawi, universal
dan naluriah, sehingga dapat diterima semua manusia tanpa dibatasi identitas tertentu.
Seperti perilaku adil, di mana dikenal sebuah adagium yang menyatakan justitia nemini
neganda est, yakni tak seorang pun dapat membantah keadilan. Dengan kata lain
semua manusia menerima dan bernaluri untuk berperilaku adil. Hal ini juga berlaku
sama terhadap perilaku jujur, arif bijaksana, berintegritas tinggi dan butir perilaku
KEPPH lainnya.

Dengan demikian “ kapsul kecil” KEPPH hakikatnya telah tersemat pada diri
seorang hakim yang notabene manusia sejak si hakim dilahirkan. Tepat nya ada pada
hati nuraninya yang merupakan domisili nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.8 Sehingga
seyogianya para hakim mampu melaksanakan seluruh butir-butir KEPPH secara alami
naluriah dan tidak lagi dengan pembelajaran yang bersifat artifisial.

Pada praktiknyanya, perilaku beberapa hakim tidak seirama dengan butir perilaku
KEPPH. Seperti perilaku adil yang disimpangi perilaku parsial atau memihak. Perilaku
jujur yangdinodai penerimaan hadiah yang bersifat koruptif transaksional. Serta perilaku
lainnya yang kontra dengan KEPPH. Hal ini memunculkan tanda tanya, mengapa butir-
butir perilaku KEPPH tidak teraktualisasi (tidak terlaksana) pada beberapa oranghakim
tersebut? Apakah butir perilaku yang bersifat manusiawi dan naluriah tersebut telah
hilang?

Sebagaimana paragraf sebelumnya bahwa KEPPH adalah rangkuman nilai-nilai
manusiawaidannaluriahmakasejatinyatidakpernah hilang dari seorang hakim selama
ia masih hidup. Layaknya kisah di awal bahwa naluri untuk berbuat kebaikan t idak
dikatakan hilang dari hati nurani pemuda yang ingin berzina namun hanya terhalang
atau tertutup. Dan penutupnya adalah sifat egois, ke” akuan” atau subjektif si pemuda
itu sendiri sehingga muncul perilaku yang hanya memprioritaskan dirinya sendiri dan
menilai orang lain sebagai objek yang dapat diperlakukan sesuai kepent ingan dirinya.
Berbeda setelah dilakukan making present oleh Nabi Muhammad, kehadiran orang
lain yang di- sebutkan Nabi Muhammad dan memiliki relasi dengan si pemuda,
kiranya telah membuka hati nuraninya sehingga ia tidak lagi bersikap subjektif. Hati
nurani yang terbuka padaakhirnya memunculkan kembali naluri untuk menuju nilai-nilai
kebaikan. Dari sinilah perilaku kebaikan teraktualisasi secara otomatis, sebagaimana di
akhir kisah bahwa pemuda tersebut kemudian mengurungkan niat zinanya.

Tidak berbeda bagi hakim yang berperilaku kontra dengan butir perilaku KEPPH.
Kapsul kecil KEPPH yang ada pada hati nuraninya t idak dikatakan hilang namun
tertutup sifat subjektif hakim itu sendiri. Meskipun dirinya telah menyadari bahwa dalam
tugas yudisialnya telah terbentuk relasi antara hakim dengan para pencari keadilan
(Judge- Justiabelen Relationship) namun hubungan tersebut masih dimaknai sebagai

8 Nurkholis Madjid mengatakan bahwa hati nurani adalah locus kesadaran kesucian manusia karena
fit rahnya. Maka ia bersifat terang atau bercahaya ( perkataan Arab “ nurani”, berasal dari perkataan nur
artinya bersifat terang), karena hati kita yang masih bersih menerangi jalan hidup kita menuju kepada
yang benar dan baik. Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 27.

59

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

hubungan subjek dengan objek, atau dalam bahasa Martin Buber sebagai hubungan aku-itu
(I-It relationship). Dari sinilah maka perilaku yang teraktualisasi adalah sikap mengabaikan
bahkan memanfaatkan pencari keadilan untuk kepentingan diri si hakim yang notabene
perilaku tersebut kontra dengan KEPPH. Dengan demikian maka seyogianya seorang
hakim dapat me-making present (menghadirkan) para pencari keadilan dalam dirinya
dan memosisikannya sebagai subjek untuk menggesersifat egoisdansubjektif dirinya
guna membuka hati nurani- nya. Setelah hati nurani terbuka maka dengan sendirinya
mengaktualisasi perilaku kebaikan untuk para pencari keadilan seperti adil, jujur, arif
bijaksana seperti yang tertera pada KEPPH.

2. MenepisGodaandanTantanganTugasYudisial
Peradilan dikenal sebagai rumah perkara yang penuh sengketa (rechtsgeschil),

baik bidang perdata, pidana, tata usaha negara bahkan yang menyangkut tegaknya
konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tidak dipungkiri bahwa
pada setiap perkara yang masuk ke pengadilan maka diniscayakan ada kepentingan
para pihak yang mengiringinya.9 Kepentingan inilah yang kerap mendorong para
pihak untuk “ minta tolong” kepada hakim sebagai figure sentral di pera- dilan, baik
yang disampaikan dengan imbalan, paksaan atau ancaman serta cara lainnya. Semua
cara tersebut hakikatnya adalah sebuah godaan dan tantangan bagi seorang hakim dalam
menyelesaikan sebuah perkara. Terbukti bila salahdiresponsolehhakim makaminta tolong
bisa menjadi “ faktor x” yang dapat membidani sebuah proses dan akhir persidangan
yang parsial, jauh dari kata keadilan.

Berbagai macam godaan dan tantangan tersebut sejatinya dapat ditepis oleh
seorang hakim bila menerapkan making present. Pertama, dengan makingpresent seorang
hakim dipastikan menghadirkan semua pihak secara utuh dan lengkap dalam dirinya,
bukan hanya yang minta tolongsaja.Kehadiranseluruhpihakdalamdirinyadapatmenjadi
kontrol otomatis bagi perilaku hakim terhadap penyimpangan. Jika seorang hakim
diminta tolong oleh salah satu pihak untuk “ memenangkan” perkara dengan cara-
cara di atas, maka pihak lain yang juga hadir dalam dirinya berperan menjadi reminder
(pengingat) bahwa dalam perkara tersebut bukan hanya ada kepentingan pihak yang
minta tolong semata tapi ada kepentingan pihak yang lain. Dengan demikian seorang
hakim akan berperilaku untuk tetap mengayomi kepentingan semua pihak sesuai
dengan proporsinya (haknya) bukan berdasarkan siapa yang minta tolong.

Kedua, dengan konsep relasi I-You yang ada pada making present, maka seorang
hakimakanmemaknaihubunganantaradirinyadengan semua pihak adalah hubungan
sesama subjek. Dengan demikian, seorang hakim akan menyadari hubungan dirinya
dengan semua pihak laksana satu bagian tubuh, di mana akan saling merasakan hal
yang sama baik sehat maupun sakit (baca: adil dan tidak adil), sehingga tidak ada saling
mengabaikan antara yang satu dengan yang lain. Seorang hakim juga akan menyadari
bahwa minta tolong hakikatnya adalah cara dari salah satu pihak untuk menjadikan
seorang hakim untuk “kebal rasa” terhadap pihak lain sehingga sang hakim berlaku parsial
dan hanya memprioritaskan kepentingan si peminta tolong. Namun sekali lagi dengan
making present yang meniscayakan para pencari keadilan adalah sebagai subjek maka
seorang hakim akan tetap menjaga kehadiran dan rasa semua pihak dalam dirinya.

9 Istilah kepentingan adalah bahasa undang-undang, dilihat pada Pasal 279 Rv berbunyi “Barangsiapa
mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata …” atau dalam Yurisprudensi MA No. 731 K/ Sip/
1975, menyatakan “Intervensi (i.c. tussenkomst) adalah … untuk membela kepentingannya sendiri” .

60

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Pada gilirannya sang hakim akan menginsafi bahwa minta tolong tersebut t idak
ubahnya infeksi dalam tubuh yang harus ditepis.

C. MENUJU KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN KOSMIS
Rangkaian tugas yudisial hakim dalam setiap perkara pada akhirnya terhenti pada

sebuah putusan (baca juga penetapan).10 Sebagai manifestasi hukum, putusan itu
dipersembahkan demi atau untuk keadilan sebagaimana tertera dalam irah-irah putusan
itu sendiri. Keadilan dalam perwujudannya tidak memiliki pengertian yang tunggal,
hal ini dikarenakankeadilanadalahbarangyangabstraksebagaimanayang diistilahkan
Satjipto Rahardjo.11 Namun secara sederhana putusan yang adil dapat diidentifikasi dari
tersalurkannya hak-hak parapihak secara proporsional berdasarkan alas pasal-pasal
perundang-undangan. Keadilan ini dikenal dengan keadilan formalitas (legal justice)
karena berkutat pada sumber hukum yang tekstual dan pendistribusian keadilan
yang terbatas, yakni hanya untuk orang-orang yang tertulis dalam amar putusan.

Jenis putusan dengan keadilan formal tersebut dinilai beberapa kalangan masih
mereduksi makna keadilan itu sendiri dan menuai banyak kritik.Seperti yangdisampaikan
Busro Muqoddas bahwa perkara bukan saja dilihat dari kepentingan para justiabelen
namun juga kepentingan masyarakat yang selama ini makin termarginalisasi hak-hak
dasar sosial ekonomi budayanya akibat dampak luas tindakan korupsi, illegal logging,
pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainnya.12 Kritik ini kiranya memberikan pesan
kepada para “ pengadil” untuk bisa mempersembahkan sebuah putusan yang memiliki
cakupan keadilan yang lebih luas yakni keadilan sosial (sosial justice).

Dengan orientasi keadilan sosial seorang hakim diniscayakan tidak lagi menggunakan
optik “kacamata kuda” yang hanya fokus melihat justiabelen yang ada di depan meja
sidang. Dalam hal ini, seorang hakim bisa menggunakan making present sebagai optiknya
untuk melihat lebih luassiapasajayangmemiliki relasi dengansebuah perkara.Sebagaimana
kisah di awal, dengan making present, Nabi Muhammad bukan hanya menghadirkan
relasi yang terbatas antara si pemuda dengan “calon korban” yang ingin dizinahi.
Nabi Muhammad justru menghadirkan dimensi sosial dengan menyebutkan beberapa
orang yang memiliki relasi dengan si pemuda tersebut baik ibunya, putrinya, bibinya
dan seterusnya. Making present yang dilakukan Nabi Muhammad akhirnya merubah
perspektif si pemuda bahwa perbuatan zina yang dilakukan bukan hanya menggerogoti
keadilan bagi si korban semata namun juga keadilan keluarga besarnya, orang sekitarnya
bahkan masyarakat luas.

Dengan demikian, dalam menjalankan tugas yudisialnya, making present bisa
digunakan seorang hakim sebagai alat untuk menerobos tekstual pihak-pihak guna
menghadirkan orang-orang atau masyarakat yang secara indirectly (tidak langsung)
juga terimbas dengan putusan yang dihasilkannya. Tidak terkecuali untuk perkara
yang berkarakter “tiada lawan” seperti perdata voluntair yang pada beberapa kasus
disinyalir memiliki potensi dampak sosial yang luas.

Secara kasuistis, pada beberapa perkara seorang hakim juga diharapkan tidak
berhenti pada putusan yang berdimensi sosial, hal ini mengingat adanya sengketa

10 Pasal 178 HIR/ 189RBg.
11 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas Indonesia,

Desember 2003), hlm. 119.
12 Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum., kata pengantar buku Menemukan Substansi dalam Keadilan

Prosedural, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2009), hlm. vi.

61

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

kepentingan manusia yang memiliki relasi dengan alam. Dalam hal inilah, seorang
Ansyahrul mengingatkan kepada para hakim bahwa salah satu peran dan fungsi
hakim yakni sebagai penjaga keseimbangan (baca: keadilan) kosmis.13 Sehingga dalam
menyelesaikan kasus-kasus yang terelasi dengan alam, selain berorientasi sosial dengan
melihat kepentingan manusia dan masyarakatnya, seorang hakim juga diharapkan
memiliki orientasi kosmis.

Dengan orientasi kosmis seorang hakim seyogianya t idak lagi memandang
alam dan isinya sebagai objek benda mati, seperti dalam perspektif Islam bahwa alam
raya yang secara visual sepenuhnya dapat dindra dengan pancaindra semuanya tidak
dikatakan sebagai benda mati karena semuanya dinilai bertasbih (memuji) kepada sang
pencipta.14 Hal ini sejalan dengan contoh making present yang diberikan Martin Buber
yakni sebuah relasi antara manusia dengan pohon. Sekali lagi, relasi tersebut adalah
relasi aku-kamu (I-YouRelationship) di mana pohon dipandangbukansebagaiobjeknamun
sebagaisubjekseperti manusia yangmemiliki perasaandanpikiran sehinggapohontidak
dimanfaatkan hanya untuk kepentingan manusia semata.

Berangkat dari hal tersebut kiranya making present bisa digunakan oleh hakim untuk
mewujudkan putusan yang dapat menjamah keadilan kosmis. Dengan making present
seorang hakim juga tidak sulit untuk menerjemahkan doktrin in dubio pro natura,15
karena dengan making present seorang hakim selalu menghadirkan alam dalam proses
dan akhir persidangan. Bahkan making present bisa memperluas penerapan doktrin in
dubiopronatura tidak hanyauntuk perkara lingkungan hidup semata, hal ini dikarenakan
secara kasuistis adabeberapa perkara yang memiliki titel bukan lingkungan hidup namun
memiliki efek kosmis.

Pada akhirnya, me-making present (menghadirkan) alam dalam penyelesaian
perkara hakikatnya adalah sebuah kemestian bagi seorang hakim karena bila seorang
hakim selalu mem”verstek” alam dalam pemeriksaan dan putusan maka niscaya alam
akan melayangkan perlawanan hukum, t idak dengan hukum acara yang berlaku tetapi
dengan hukum alam itu sendiri (baca: bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan
lainnya). Inilah wanti-wanti yang diberikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa setiap kali
hukum gagal untuk merangkul alam dipastikan akan terkena penalti (hukuman).16

D. PENUTUP
Secara lahiriah, nilai-nilai moral hakikatnya telah diletakkan sang pencipta pada

wadah hati nurani setiap hakim sejak ia dilahirkan sebagai aset kehidupan. Kendati
demikian aset tersebut t idak secara otomat mengaktualisasi perilaku yang bermoral
selama seorang hakim menutup wadahnya.Hati nurani layaknyacermin,berfungsi ketika
terbuka dan mampu menangkap bayangan (baca: kebenaran) dan bila hati nurani
tertutup maka tidak ada satu bayangan pun yang hinggap dan pada akhirnya hati
nurani menjadi disfungsi. Making present merupakan alat yang mampu membuka hati

13 Ansyahrul, dikutip dari tulisan Ahmad Satiri di http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/
artikel/rekonstruksi-pemikiran-hakim-dalam-mewujudkan-supremasi-moral-justice-oleh-ahmad-
satiri-11-10

14 QS. Al-Israa’ 15: 44, Nasaruddin Umar, Eksplorasi Metafisika Jiwa Manusia, Perpustakaan
MahkamahAgungRIuntuk kalanganterbatas,volume1,tahun 2013,hlm. 33.

15 Lihat catatan Putusan Mahkamah Agung Nomor 615 K/ Pdt/ 2015 tanggal 28 Agustus 2015, Varia
Peradilan No. 373, Desember 2016, hlm. 110.

16 SatjiptoRahardjo,HukumdanPerilaku,HidupBaikAdalahDasarHukumyangBaik,penerbit buku Kompas,
Oktober 2009, hlm. 132.

62

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

nurani seorang hakim dan menangkap bayangan para pencari keadilan sebagai relasi
dalam tugas yudisialnya. Semakin luas making present seorang hakim maka bayangan para
pencari keadilan yang terserap semakin luas dan putusan yang dipersembahkannya
pun diniscayakan memiliki nilai keadilan yang dimensinya semakin luas. wallahua’lam
bisshawab.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim, 2008. Nasaruddin Umar.

Eksplorasi Metafisika Jiwa Manusia, Perpustakaan

Mahkamah Agung RI untuk kalangan terbatas, volume 1, tahun 2013.
Nurkholis Madjid. 2000. Dialog Ramadlan. Jakarta: Penerbit Paramadina.

Prof. Dr. Paulus Hadi Suprapto, S.H., Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., Dr. Shidarta, S.H.,
M.H. 2009. Menemukan Substansi dalam Keadilan Prosedural. Komisi Yudisial.

Satjipto Rahardjo. Oktober 2009. Hukum dan Perilaku, Hidup yang Baik Adalah Dasar
Hukum yang Baik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Satjipto Rahardjo. Desember 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas Indonesia.

Varia Peradilan No. 373, Desember 2016.

Website:

http://materiagamahindu.blogspot.co.id/2014/12/tat-twam-asi.html, diakses
tanggal 3 Januari 2017.

https://www.researchgate.net/publication/284349460_Pendekatan_ Eksistensial_

dalam_Praktik_Layanan_Bimbingan_dan_Konseling, diakses tanggal 24 November

2016.

https://ruangkosongadam.blogspot.co.id/2012/10/martin-buber.html, diakses
tanggal 24 Juli 2017.

http:// badilag. mahkamahagung. go. id/ artikel/ publikasi/ artikel/ rekonstruksi-

pemikiran-hakim-dalam-mewujudkan-supremasi-moral- justice-oleh-ahmad-

satiri-11-10

63

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

64

PERILAKU HAKIM DAN KEPEMIMPINAN

PUASA BICARA
(Al-Sukut dan Al-Shumt)

Khamimudin*

Pengantar

A l-Sukut dan al-Shumt, dalam kamus bahasa Arab dua kata tersebut
bermakna sama. di dalam Alquran, yaitu al-sukut, seperti dalam ayat, “
Sesudah amarah Musa menjadi reda (sakata), lalu diambilnya (kembali)
luh-luh (Taurat ) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat
untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (QS.Al Anfaal [7]: 154).
Kata al-shumt digunakan di dalam hadis dan kata-kata hikmah, seperti Man
shamata naja (barang siapa yang diam maka akan aman) dan Al-shumt hukmun (Diam
itu hikmah).

Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar
mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak kita.
Pada waktu kita puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup
pintu neraka.

Puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah.
Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh pancaindra kita.
Dalam ilmu kebatinan, ketika kita melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu
masuksetan.Tujuh pintu itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata,
telinga, mulut, dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian.

Secaralahiriah, puasayangpertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut kita
atau puasa bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan pembicaraan yangkotor
atau menggunjing orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw. bersabda,
Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati
orang lain, atau berkata kotor.

Pada akhir-kahir ini ujaran kebencian berseliweran menjadi konsumsi masyarakat
setiap pengguna media sosial (Medsos). Berdasarkan data Kementerian Komunikasi
dan Informatika, sepanjang Tahun 2017 tercatat 13.829 konten negatif berupa ujaran
kebencian yang marak di media sosial, 6.973 berita bohong, dan 13.120 konten
pornografi. Sedangkan situs yang telah diblokir sebanyak 782.316 situs.

Puasa Bicara Orang Saleh
Puasa bicara diajarkan di dalam Alquran khusus kepada orang-orang saleh yang

tidak hanya menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah syariatnya dengan
usaha lebih lanjut agar lebih bagus.

Dalam Alquran dikisahkan Siti Maryam as. pernah berpuasa t idak bicara. Ketika
Maryam hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan
seorang bayi, orang-orang bertanya, Hai saudara perempuan Harun, kau pulang
dengan sesuat u yang aneh. Padahal kami mengenal engkau bukan sebagai
perempuan nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa tiba-tiba kau pulang membawa

* Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta

65

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

anak?(QS. Maryam: 28).
Siti Maryam as. diperintahkan Allah untuk puasa bicara. Ia disuruh untuk tidak

menanggapi tuduhan yang macam-macam itu. Maryam hanya menjawab, Aku sudah
bernazar kepada Allah yang Mahakasih bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepada
seorang manusia pun. Maryam berjanji kepada Allah untuk berpuasa bicara. Karena
Maryam puasa bicara, maka ia mampu mendengar suara bayi dalam kandungan- nya.
Waktu itu juga, ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang menjawab hujatan
orang-orang. Bayi itu menjawab, Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika aku mati dan
padawaktu aku dibangkitkan nanti.(QS. Maryam: 33).

Nabi Zakaria as., ketika diberitahu bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama
Yahya, merasaamat bahagia karena dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai
seorang putra. Zakaria as sering berdoa,Tuhanku,sudahrapuhtulang-tulangku,sudah
penuh kepalaku dengan uban, tapi aku tak putus asa berdoa kepada-Mu. (QS. Maryam:
4).

Satu saat, Tuhan menjawab, Aku akan memberi kepadamu seorang anak. (QS.
Maryam: 7) Zakaria as. hampir t idak percaya, Bagaimana mungkin aku punya anak,
ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta. (QS. Maryam: 8) Lalu
Tuhan menjawab, Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku
ciptakan kamu. (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah,
Apa tandanya, ya Allah? Tuhan menjawab, Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau
tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut. (QS.
Maryam: 10).

Nabi Zakaria as. diperintahkan untuk menyukuri nikmat yang diterimanya
dengan berpuasa bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang istrinya sedang
mengandung; belajarlah puasa bicara. Usahakan sesedikit mungkin berbicara.
Insya Allah, jika selama istri kita mengandung, kita berpuasa bicara, makaAllah akan
memberikan kepada kita seorang anak seperti Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan
suci, bertakwa kepada Allah swt., dan sangat berkhidmat kepada orang tuanya, tak
pernah memaksakan kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang puasa bicara.

Hakim Makhluk Kesepian?
Di Inggris hakim mendapat julukan Sir dan Lord, di tempat lain hakim mendapat

sebutan tuntunan yang artinya “ Sang Adil” . Dengan sebutan-sebutan yang mulia ini
hakim memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Karena begitu pentingnya peran hakim dalam menegakkan hukum dan
keadilan, maka hakim diikat dengan rules of law dan rule of ethis agar terjaga martabat
dan keluhurannya. Kepatuhan dan keterikatan hakim pada rules of law dan rule of ethis
membuat profesi hakim sebagai profesi kesepian, karena ia lebih banyak diam dan tidak
banyak bicara. Komunikasi dan interaksi yang tersedia dengan masyarakat adalah
melalui putusan yang dijatuhkannya di persidangan.

Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah selayaknya para hakim
memedomani tuntunan Nabi saw., “ Bertanyalah kepada dirimu sendiri meskipun
engkau menapat fatwa dari banyak orang” (HR. Bukhari).

Hakim harus melatih dan menjaga sensitivitas nuraninya agar dapatmenegakkan
hukum dan keadilan, karena hati nurani merupakan motor penggerak, pendorong, dan
sekaligus motivator bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Hati nurani t idak pernah
bohong, nafsulah yang membuat seseorang berkata bohong dan berbuat serong.

66

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Manfaat Puasa Bicara

1. Meningkatkan kesadaran, “ Puasa bicara membantu untuk mempertajam t ingkat
kefokusan dan konsentrasi otak. Mulailah dengan melakukan puasa bicara selama 5
menit danrasakandorongan produktivitas yang meningkat” .

2. Terjadi regenerasi sel otak, Sebuah penelitian kesehatan terbaru menemukan bahwa
diam dan melakukan meditasi selama beberapa jam mampu membuat sel-sel otak
yang baru tumbuh. Sel-sel otak ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuandalam
mencerna dan mengingat.

3 . M embunuh stress, Kamu mengalami serangan st res? Diamlah barang sejenak.
Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi t ingkat stres karena dengan semua suara
baik yang kamu dengar atau keluarkan, gelombang suara tersebut akan diproses di
sistem saraf otak dan menghasilkan beragam reaksi yang bisa meningkatkan stres.

4. Menyembuhkan insomnia, Kebiasaan berdiam diri beberapa menit juga bisa
membantumu untuk menyembuhkan insomnia, memerangi kelelahan, serta
mengurangi depresi.

5 . M enurunkan tekanan darah, Puasa bicara ternyata juga bermanfaat untuk
menormalkan tekanan darah. Pola pernapasan pun jadi lebih tenang.
Manfaat lain, puasa bicara akan membuatmu lebih berkonsentrasi dengankebutuhan

dirimu sendiri. Kamu jadi lebih kreatif, lebih tenang, dan bisa berpikiran secara jernih.

Sebuah Kisah
Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi, berkisah tent ang seorang filsuf

bernama ALI yang merasa tahu segala hal, banyak bicara tapi pembicaraan kita t idak
memberi manfaat dalam kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang diderita
manusia modern sekarang ini, salah satunya adalah banyak bicara. Mereka bicara apa
saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara. Mereka bicara terus-menerus tanpa perduli
apakah orang lain membutuhkan omongan mereka.

Ali, seorang filsuf dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja. Ia
berkisah tanpa henti laksana burung beo yang ketika ber- kicau sulit dihentikan. Semua
orang mengenalnya lantaran kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia tahu banyak tentang
sains dan seni. Sahabat- nya, Sam, terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar
Ali sadar bahwa pengetahuan konseptualnya tentang dunia di mana tempat mereka
tinggal dan dunia yang ia bicarakan tidaklah sesederhana yang ia bayangkan.

Namun Ali, sang filsuf yang ahli mengotak-atik otak, selalu saja mementahkan
argumen-argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap. Rona wajahnya muram.
Ada keresahan menyelimuti sebagaimana yang tampak pada kerutan di wajahnya.
Rasanya, ia ingin me- ngembalikkan sahabatnya yang asyik dengan dunianya sendiri.
Dunia delusi. Membawanya kepada kehidupan yang sesungguhnya.

Setelah berpikir keras, ia mengajak Ali agar ikut berlayar bersama- nya. Di tengah
laut, penyakit Ali kambuh. Kebiasaannya berceloteh kumat lagi. Ia berbicara tentang
filsafat dengan para pelaut. Para awak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa
berkata sepatah kata pun. Tapi t iba-t iba dari dalam kerumunan, seorang nahkoda
menyela pembicaraan dan memintaAli agar menghentikan ocehannya.

“Apakah engkau mengerti tentang filsafat?” , tanya Ali. “ Sama sekali tidak”, jawab sang
nahkoda. Ali menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “ Sayang sekali, sebab
separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini” .

67

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Nahkodaitu punmembisu.
Ali masih saja berbicara. Dari mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan

bagaimana pemerintah semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya
pemerintah menangani berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.

Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam per- jalanan pulang,
badai datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan kapal. Kapal
diremukkanolehgelombangbakrumah yang hampir roboh karena guncangan Tsunami.
Sang kapten t idak sanggup mengendalikan kapal. Geledak kapal mulai dipenuhi air.
Kapal perlahan-lahan mulai karam. Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak,
nahkoda berseru untuk bergegas meninggalkan kapal. Dalam keadaan bersiap untuk
terjun, si nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos kerumunan orang mencari
Ali.

Di pintu kabin Ali berdiri seorang diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “
Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”,pintasangnahkoda.
Ali tampak kebingungan. Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi, “Apa
kau bisa berenang?” . “Tidak!” , jawab Ali.

“ Sungguh sayang” , kata nahkoda kapal itu sambil menggelengkan kepalanya, “
sebabseluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang”.

Setelah badai reda, sebuah kapal yang lewat menolong mereka. Ali beserta
nahkoda dan awak kapal lainnya selamat. Sejak saat itu Ali tak pernah lagi membangga-
banggakan pengetahuannya. Badai di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi
kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya dari sakit ‘bicara asal’.

Beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Ali memberikan hadiah kepada nahkoda
yang dahulu menyelamatkannya yang kini menjadi sahabatnya. Hadiah itu berupa
lukisan sebuah kapal di tengah samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang
dan amukan badai. Dua bait syair tertulis di bawah lukisan itu:

“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air. Kosongkan dirimu dari sifat-
sifat kemanusiaan, dan engkau akan mengapung di lautan penciptaan”.

DalamAlquran,Allah swt. menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang
berbicara: “ Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 3) Meskipun demi kian, dalam Alquran juga
disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh
Allah seperti dinyatakan dalam Surah Ar Rahmaan: “TuhanYang Maha Pemurah, yang
telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara” .
(QS. Ar Rahmaan: 1-4).

Penutup
Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batinkita menjadi

lebih tajam untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib, mendengarkan hati nurani.
Ketika kita terlalu banyak bicara, kita menjadi tuli.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barang siapa banyak bicara maka akan bert
ambah banyak kesalahannya, orang yang banyak kesalahannya rasa malu dan
harga dirinya (wara) sedikit, dan barang siapa yang sedikit wara-nya maka akan masuk
neraka.”

Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan mampu
untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita juga menjadi
tak sanggup mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut kita terlalu riuh

68

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam roh) tak terdengar oleh batin kita. Kita
terlalu banyak mendengarkan suara kita sendiri.

Dengan puasa Ramadhan kita diajak untuk menahan diri untuk tidak saling
menghujat menyebar berita bohong (hoax), dan bergunjing kejelekan orang lain. Dengan
Ramadhan pula kita berharap masyarakat dapat berpikir lebih jernih dalam menyikapi
informasi yang beredar tidak serta-merta menyebarkan informasi yang mengadung
ujaran kebencian (hate speech) terhadap lawan politik, dan mengadu domba antar
anggota masyarakat terlebih menjelang datangnya tahun politik.

69

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

70

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

TRIAS POLITIKA DAN SIHIR KEKUASAAN

Achmad Fauzi*

“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Great men are almost always bad men.”
(Lord Acton, 1834-1902)

U ngkapan ini tercetus pada 1887 dari seorang ahli sejarah dan moral,
John Emerich Edward Dalberg Acton, 1st Baron Acton. Melalui suratnya
kepada Uskup Mandel Creighton ia memekikkan kalimat masyhur sebagai
kritik atas pembusukan kekuasaan. Kepada jagat dunia ia mengingatkan
betapa kekuasaan itu membuat lena dan menyilaukan. Kekuasaan lebih
cenderung korupt if dan sangat dekat dengan kesewenang-wenangan.

Hampir dua abad lalu panah kalimat itu meluncur dari busurnya dan menohok
jantung pesohor di negeri ini. Penting dihidupkan kembali di ruang kekinian sebagai
lonceng pengingat bagi mereka yang oleh kekuasaan menjadi buta nurani, sesat nalar,
hilang kepekaan, dan defisit rasa malu. Di tengah mata rantai pembusukan moral pejabat
yang kian sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri
tersebut, seruan moral semacam itu perlu terus didengungkan. Terut ama dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yangsesakdengan praktik korupsi.

Selama ini panggung kekuasaan menarasikan secara telanjang bagaimana
persekongkolan korupsi antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif,
yudikatif) berjalan sangat kompak. Konsep t rias politika yang pertama kali
dikembangkan oleh John Locke dan dianut di Indonesia perlahan runtuh digantikan
trias koruptika.

Terkuaknya segi tiga korupsi antar-lembaga kekuasaan negara tersebut menjadi
benalu demokrasi yang merongrong daya juang bangsa

Indonesia untuk lebih maju. Di tengah kegairahan mencegah dan memberantas
korupsi teladan buruk justru dipertontonkan oleh para pemegang kekuasaan.

Tidak bisa dibayangkan betapa ganasnya wabah korupsi mengepung berbagai sendi
bernegara. Di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah atau kementerian, misalnya,
ICW mencatat pada semester pertama 2014 sebanyak 308 kasus korupsi dengan
jumlah tersangka 659 orang. Sementara pada semester kedua tahun 2014 terdapat 321
kasus korupsi dengan 669 orang tersangka melanda pejabat atau pegawai pemerintah
daerah dan kementerian.

Seakan tidak mau kalah di lembaga legislatif gurita korupsi juga terbilang
mengerikan. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri sejak 2005 hingga Agustus 2014 terdapat 3.169 anggota
DPRD terlibat kasus korupsi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.
Sedangkan anggota DPR pusat yang terlibat kasus korupsi sejak 2007-2014
menurut data KPK sebanyak 74 orang.

Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif t idak pernah

* Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara.

71

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

memberikan impunitas hukum terhadap hakim yang terlibat korupsi. Melalui
forum Majelis Kehormatan Hakim sikap tegas ditunjukkan dengan memecat oknum
pengadil yang terbukti terlibat mafia peradilan. Sepanjang tahun 2016, misalnya,
MA menjatuhi hukuman kepada hakim, pejabat struktural, fungsional, serta staf
dengan rincian 38 orang dijatuhi sanksi berat, 19 orang sanksi sedang, dan 57 orang
sanksi ringan. Dari 114 sanksi yang dijatuhkan sebanyak 52 di antaranya adalah hakim.

Keterlibatan hakim dalam praktik korupsi tentu menjadi pukulan telak bagi
berjalannya penegakan hukum. Hakim yang diharapkan menjadi benteng terakhir
penjagadewakeadilan justru turut terlibat dalam persekongkolan jahat penyalahgunaan
kekuasaan. Bagaimana mungkin hakim bersikap imparsial jika palu keadilan yang
digenggam di tangannya kalah kuat dengan kuasa uang. Bagaimana mungkin hakim
bersikap adil jika masih menjunjung tinggi peradaban perut.

Meski penegakan hukum acap dilumuri perilaku koruptif, namun kita tidak boleh
kecil hati karena masih ada secercah harapan yang bisa dibanggakan. Meskipun ada
beberapa hakim yang tersandung suap, namun tak bisa disangkal bahwa MA telah
banyak capaian dan prestasi gemilang yang ditoreh. Tunggakan perkara yang dahulu
kerap jadi sorotan publik kini progresnya mencapai puncak keemasan. Aturan tentang
penyelesaian perkara t ingkat kasasi dan PK diberlakukan dengan mematok
batas penyelesaian maksimal t iga bulan setelah perkara diterima ketua majelis.
Hal ini termaktub dalam Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu
Penyelesaian Perkara.

Selain itu MAjuga membatasi hakim agungmelakukan kunjungan ke luar negeri dan
melaranghakim agungmengajardi perguruantinggi pada jam kerja. Kebijakan tersebut
bertujuan agar produktivitas penanganan perkara lebih maksimal. Alhasil pada tahun
2016 produktivitas MA mampu mengikis tumpukan perkara cukup signifikan. Jumlah
perkara yang berhasil diputus MA selama tahun 2016 sebanyak 16.223 dengan asumsi
sisa perkara tahun 2015 sebanyak 3.950 dan perkara diterima tahun 2016 sejumlah
14.630.Dengandemikian sisatunggakan perkara di MA sejumlah 2.357.

MA juga terus berjuang melawan ketertutupan dengan memaksimalkan
peranti teknologi informasi. Ikhtiar tersebut merupakan langkah besar karena dalam
budaya ketertutupan menyimpan banyak kebohongan dan berkorelasi dengan praktik
dagang perkara. Dalam ketertutupan, meminjam istilah Jeremy Bentham, membuat
hakim diadili saat mengadili. Maka dari itu, MA membuat aktivasi yang muaranya untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memperketat pengawasan. Pencari keadilan dapat
memantau langsung perkembangan perkaranya. Pimpinan MA juga bisa mengawasi
tingkat kepatuhan aparatur pera- dilan dan tempo penanganan perkara. Inilah
kebanggaan dan harapan kita yang perlu terus dipupuk di tengah gelapnya kepungan
mafioso.

Reposisi Trias Politika
Kembali lagi ke persoalan persekongkolan jahat tiga cabang ke- kuasaan negara,

semuanya sejatinya berakar dari persoalan penerapan konsep trias politika yang masih
setengah hati. Padahal, ide awal pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif untuk menghindari pola kekuasaan terpusat yang cenderung otoriter, koruptif,
dan dominatif. Pembagian kekuasaan berfungsi sebagai sarana check and balance agar
masing-masing kekuasaan bertindak tidak melampaui batas kekuasaannya.

Namun, dalam praktiknya, pembagian ketiga kekuasaan tersebut masih terjadi
saling intervensi. Sebagai contoh, hingga kini kekuasaan yudikatifmasih“tersandera”oleh

72

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

eksekutifdibidangfinansial.Tatakelola keuangan Mahkamah Agung belum otonom dan
masih bergantung kepada pemerintah. Padahal kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang merdeka dan tidak ada campur tangan pihak mana pun dalam menjalankan
kekuasaannya, termasuk dalam hal perencanaan anggaran.

Perkuat KPK
Memulihkan kesadaran para pemangku negara dari sihir kekuasaan selain mereposisi

trias politika pada khitahnya, juga dapat dilakukan dengan memperkuat KPK. Sepak
terjang lembaga antirasuah ini terbukti berhasil menumpas korupsi di t iga cabang
kekuasaan negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Operasi tangkap tangan
beberapa pejabat adalah buktinya.

Tahun 2018 adalah tantangan bagi KPK untuk membuyarkan persekongkolan
trias koruptika. Para pencoleng uang negara itu harus ditumpas.Komposisi personelKPK
yang kuat menjadi energi di tahun baru ini. Singkirkan segala bentuk kepentingan selain
demi mengenyah- kan praktik korupsi dari bumi pertiwi. Berbagai perlawanan politik yang
berupaya mengkerdilkan eksistensi KPK harus dilawan bersama dengan melakukanpetisi,
mengawal revisi RUU KPK, dan menekan perwakilan rakyat di DPR agar t idak ( lagi)
bersiasat politik membungkam nyali punggawa KPK dalam karsa pemberantasan
korupsi. Hanya dengan demikian trias politika tetap berdiri kukuh dan para penyelenggara
negara tidak terpedaya sihir kekuasaan.

73

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

74

ABSTRAKSI PUTUSAN

PEKERJA YANG DIANGKAT MENJADI DIREKSI BER-
HAK ATAS UANG KOMPENSASI PHK DENGAN PER-

HITUNGAN MASA KERJA SEBELUM MENJADI DIREKSI

Kasus Posisi:

–– Vijay Perapti (Penggugat) bekerja pada PT. Mitra Dana Utama sejak Februari 1992
sebagai Manajer;

–– Oleh karena performa kerjanya bagus maka pada 18 Oktober 1993 ia dipercaya
menjadi Direksi dan pada 6 Maret 1996 menjadi Presiden Direksi;

–– Bahwa pada tanggal 22 Mei 2012 saham PT. Mitra Dana Utama diambil alih 100% oleh
PT. Tradition Asia Pasific sehingga berubah namanya menjadi PT. Tradition Indonesia
(Tergugat) di mana Penggugat memegang jabatan sebagai Direktur;

–– Bahwa pada November 2012, Penggugat meneruskan pertanyaan dari salah seorang
manajer yang mempertanyakan perihal kenaikan gaji dan dijawab oleh Presiden Direktur
jika perusahaan tidak ada kewajiban menaikkan gaji karyawan dalam masa kontrak;

–– Bahwa Penggugat merasa keberatan dengan jawaban tersebut karena semua
karyawan pada saat bekerja di perusahaan yang lama yaitu PT. Mitra Dana Utama adalah
sebagai karyawan tetap;

–– Bahwa pada tanggal 25 September 2013 Penggugat diberhentikan secara sepihak
dengan alasan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);

–– Tergugat mengakui Penggugat bekerja sejak 1 Februari 1992 sampai dengan 25
September 2013 sebagaimana Surat Keputusan Nomor 52TRAJ/SK-EKS/IX/13;

–– Penggugat tidak dapat menerima pemberhentian tersebut, upaya bipartit gagal
kemudian melalui tripartit, Mediator Disnakertrans

–– Prov. DKI Jakarta memberikan Anjuran agar Tergugat membayar hak-hak Pekerja
berupa uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003,
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan

–– (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 dan upah yang belum dibayar, seluruhnya
berjumlah Rp1.205.100.000,00 (satu miliar dua ratus lima juta seratus ribu
rupiah);

–– Oleh karena Tergugat tidak juga membayar uang kompensasi tersebut maka
Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menuntut haknya sebagaimana dalam Anjuran Mediator tersebut
dengan dasar perhitungan masa kerja sejak Februari 1992 sampai 25 September 2013
dan upah terakhir Rp39.000.000,00 (tiga puluh sembilan juta rupiah);

75

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

–– Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014 mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian yaitu menghukum Tergugat membayar uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses
yang seluruhnya berjumlah Rp1.595.100.000,00 (satu miliar lima ratus sembilan puluh
lima juta seratus ribu rupiah);

–– Bahwa terhadap putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst ter- sebut, Tergugat
mengajukan kasasi, dalam putusan Kasasi Nomor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28
Mei 2015, Majelis Kasasi me- ngabulkan permohonan kasasi dari Tergugat, membatalkan
putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst dan Majelis Kasasi mengadili sendiri
dengan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, dengan pertimbangan pada
pokoknya yaitu oleh karena Penggugat adalah sebagai Direksi maka sesuai ketentuan
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 1 angka 10 UU Nomor 2 Tahun
2004, Penggugat tidak termasuk kategori pekerja/buruh, sehingga perselisihan antara
Penggugat dengan Tergugat bukan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial;

–– Terhadap putusan kasasi tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum luar biasa
yaitu Peninjauan Kembali;

–– Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan Nomor 69 PK/ Pdt.Sus-PHI/2016
tanggal 12 Oktober 2016 mengabulkan per- mohonan Peninjauan Kembali dari
Penggugat dengan pertimbangan yaitu Penggugat diangkat sebagai Direktur perseroan
pada tanggal 18 Oktober 1993, sehingga status Penggugat sebelum diangkat
menjadi Direktur adalah sebagai Pekerja yaitu sebagai Manajer sejak Februari 1992
sampai dengan Oktober 1993;

–– Bahwa ternyata dalam statusnya sebagai pekerja/manajer tersebut, belum ada
penyelesaian hak-haknya sesuai ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003, dan oleh karena
pengakhiran hubungan kerja tanpa ada kesalahan, melainkan oleh karena diangkat
sebagai direksi, maka Penggugat berhak atas kompensasi PHK dengan kualifikasi
tanpa kesalahan dan berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)
UU Nomor 13 Tahun 2003, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan (4) UU Nomor 13 Tahun 2003, dengan masa
kerja sejak Februari 1992 sampai dengan Oktober 1993 atau kurang 2 (dua) tahun
dan upah terakhir Rp39.000.000,00 (tiga puluh sembilan juta rupiah) maka Penggugat
berhak atas uang pesangon dan uang penggantian hak sejumlah Rp179.000.000,00
(seratus tujuh puluh sembilan juta rupiah);

Amar Putusan Judex Facti:

• Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan
Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus 2014:

Dalam Eksepsi:

–– Menolak eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

76

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan PHK kepada Penggugat yang bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3. Menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak
putusan ini diucapkan;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah selama proses PHK
yang seluruhnya sebesar Rp1.595.100.000,00 (satu miliar lima ratus sembilan
puluh lima juta seratus ribu rupiah);

5. Membebankan biaya perkara kepada pihak Tergugat sebesar Rp322.000,00 (tiga
ratus dua puluh dua ribu rupiah);

6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

Amar PutusandanPertimbanganHukum Judex Juris:

• Putusan Kasasi Nomor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015:

–– Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. TRADITION
INDONESIA tersebut;

–– Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri
Jakarta Pusat putusan Nomor 11/PHI.G/ 2014/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Agustus
2014;

Mengadili Sendiri:

Dalam Eksepsi:

• Menerima eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

• Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

–– Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah);

Pertimbangan Hukum Putusan Judex Juris (Majelis Kasasi):

–– Bahwa sesuai bukti-bukti dari Tergugat, terbukti bahwa Peng- gugat adalah Direktur
Utama PT. Mitra Dana Utama dan setelah seluruh sahamnya diambil alih oleh Tergugat,
Penggugat adalah Direksi yang diangkat berdasarkan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) PT. Tradition Indonesia;

–– Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 Undang- Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah organ perseroan
yang wewenang dan tanggung jawabnya mengurus dan mewakili perseroan
baik di dalam maupun di luar pengadilan, sehingga Penggugat sebagai Direksi
sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tidak

77

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

termasuk pengertian pekerja/buruh karenanya perselisihan antara Penggugat
dan Tergugat tidak masuk perselisihan hubungan industrial, sehingga bukan
kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara a quo.

Amar Putusan dan Pertimbangan Hukum Majelis Peninjauan Kembali:

• Putusan Peninjauan Kembali Nomor 69 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 12 Oktober 2016;

–– Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
dari Pemohon Peninjauan Kembali VIJAY PERAPTI tersebut;

–– Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/Pdt.Sus- PHI/2015 tanggal
28 Mei 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
pengadilanNegeriJakarta Pusat putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst tanggal
25 Agustus 2014;

Mengadili Kembali

Dalam Eksepsi:

• Menolak eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak
putusan Judex Facti diucapkan;

3. Menghukum Tergugat/Pengusaha membayar uang kompen- sasi kepada
Penggugat/Pekerja sejumlah Rp179.000.000,00 (seratus tujuh puluh sembilan
juta rupiah);

4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya;

–– Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan dan dalam pemerik- saan peninjauan kembali ditetapkan
sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);

Pertimbangan Hukum Putusan Majelis Peninjauan Kembali:

1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berakhir hubungan hukum dengan
Termohon Peninjauan Kembali pada tanggal 25 September 2013 selaku
Anggota Dewan Direksi melalui RUPS, telah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas sehingga sah secara hukum;

2. Bahwa ternyata jabatan selaku anggota direktur perseroan berdasarkan RUPS
berlangsung sejak tanggal 18 Oktober 1993 sebagaimana terbukti dalam Akta
Nomor 14 di hadapan Notaris Jenny Jacinta Lukas, S.H., (vide bukti T-1),
namun sebelumnya menjabat selaku manager sejak bulan Februari 1992 (vide
bukti P-1);

78

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

3. Bahwa dalam pengangkatan selaku anggota direksi dari jabatan manager,
hak-hak Pemohon selaku pekerja/Manager belum ada penyelesaian diikuti
dengan pembayaran uang kompensasi sesuai dengan ketentuan hukum
ketenaga- kerjaan sebagaimana diperoleh dari bukti yang diajukan Pemohon
Peninjauan Kembali maupun Termohon Peninjauan Kembali;

4. Menimbang dalam kedudukan Pemohon Peninjauan Kembali dalam status
Pekerja bukan anggota direksi belum ada penyelesaiansesuaidenganketentuan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan dalam pengakhiran hubungan
kerja tidak ada kesalahan melainkan karena diangkat sebagai direksi, maka
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan kualifikasi tanpa kesalahan pekerja
berhak atas uang konpensasi 2 kali uang pesangon, dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003;

5. Bahwabesaranupah ditetapkan mengacupadasaat hubungan hukum berakhir
yaitu pada saat perkara ini diputus lembaga PPHI sebagaimana ketentuan
Pasal 151 ayat (3) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sah apabila berdasarkan putusan
lembaga PPHI dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga
tepat dan benar upah pada saat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
oleh Pengadilan yaitu tahun 2013 sebesar Rp39.000.000,00 (tiga puluh
sembilan juta rupiah);

6. Perhitungan hak kompensasi, dengan masa kerja Februari 1992 –
Oktober 1993 = kurang dari 2 tahun, upah Rp39.000.000,00/bulan
adalah:

- Uang Pesangon:

2 x 2 x Rp39.000.000,00 = Rp 156.000.000,00
- Uang Penggantian Hak: = Rp 23.400.000,00

15% x Rp156.000.000,00 = Rp 179.000.000,00
Jumlah

Kaidah Hukum:

–– Direksi bukan merupakan Pekerja, melainkan Pengusaha, sehingga pemberhentiannya
sebagai Direksi bukan merupakan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial;

–– Pekerja yang pada saat diangkat menjadi Direksi belum diberikan hak kompensasi
atas pemberhentiannya (PHK) sebagai Pekerja, masih tetap berhak atas kompensasi
pemberhentiannya sebagai Pekerja tersebut;

Abstaksi/Catatan:

Salah satu kewenangan dari Pengadilan Hubungan Industrial adalah mengadili
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

79

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Definisi dari Hubungan Kerja menurut Pasal 1 angka 15 Undang- Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkanperjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.

Dalam suatu perusahaan, yang dapat disebut sebagai pekerja adalah level Manajer
ke bawah, sedangkan untuk level Direksi sudah bukan termasuk dalam kategori pekerja,
karena Direksi adalah salah satu organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Pemberhentian Direksi bukan merupakan kewenangan dari Pengadilan Hubungan
Industrial, oleh karena Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan “Anggota Direksi
diangkat oleh RUPS” dan Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas “Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu
berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.”

Dalam perkara a quo, Majelis Hakim tingkat pertama (Judex Facti) mengabulkan
gugatan Penggugat dan memberikan kompensasi PHK dengan perhitungan masa kerja
Penggugat sejak pertama kali masuk kerja sebagai manajer, hingga diberhentikan
sebagai Direktur. Oleh Majelis Hakim tingkat Kasasi (Judex Juris) putusan itu dibatalkan,
Judex Juris berpendirian bahwa Direktur bukanlah pekerja/buruh sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial tidak berwenang mengadili pemberhentian Penggugat sebagai
Direktur.

Dengan mempertimbangkan asas keadilan, Majelis Hakim Peninjauan Kembali
mengambil jalan tengah yaitu memberikan kompensasi pemberhentian Penggugat
sebagai pekerja dengan masa kerja dihitung sejak saat Penggugat masuk kerja sebagai
manajer pada bulan Februari 1992 sampai dengan sesaat sebelum ia diangkat sebagai
Direksi yaitu pada tanggal 18 Oktober 1993 atau masa kerja kurang dari 2 tahun. Oleh
karena pemberhentiannya sebagai pekerja bukan disebabkan adanya unsur kesalahan
melainkan karena ia diangkat menjadi direktur, maka Penggugat berhak atas uang
pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, sedangkan mengenai uang penghargaan masa kerja, tidak diberikan
karena masa kerja Penggugat kurang dari 2 tahun.

—Arief Sapto Nugroho, S.H.,M.H.—

80

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

PUTUSAN

NOMOR: 69 PK/PDT.SUS-PHI/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial
pada pemeriksaan peninjauan kembali memutuskan sebagai
berikut dalam perkara antara:

VIJAY PERAPTI, bertempat tinggal di Villa Kelapa Dua,
Jalan Janur III/D5 RT 002/007, Kebon Jeruk, Jakarta Barat,
dalam hal ini memberi kuasa kepada Adi Setiawan, S.H.,
M.H., dan kawan- kawan, Advokat berkantor di Kedoya
Agave Raya, Perkantoran Tomang Tol Raya Blok A II, Nomor
14 Jakarta Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
10 Desember 2015, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali
dahulu Termohon Kasasi/ Penggugat;

Lawan

PT. TRADITION INDONESIA, berkedudukan di Mayapada
Tower II Lantai 6, Jalan Jend. Sudirman Kav 27, Jakarta
Pusat, diwakili oleh Direktur Siti Rahmania Mangkona, dalam
hal ini memberi kuasa kepada Hermawanto, S.H., M.H., dan
kawan- kawan, Para Advokat, berkantor di Ariobimo Sentral
5th Floor, Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-2 Kav 5, Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 4 Januari 2016,
sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon
Kasasi/Tergugat;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata

bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kasasi/

Penggugat telah mengajukan permohonan peninjauan kembali

terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015, tanggal 28
Mei 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya
melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/
Tergugat, pada pokoknya sebagai berikut:
A. Dasar hukum diajukannya gugatan oleh Penggugat;

1. Bahwa Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta dalam upaya
penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
antara Penggugat dengan Tergugat yang telah memanggil
para pihak secara patut dimana para pihak hadir dan
memberikan keterangan yang diperlukan, mengingat tidak
tercapai kesepakatan dalam proses mediasi, maka sesuai

81

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun
2004 Mediator mengeluarkan Anjuran Tertulis;

2. Bahwa sesuai dengan surat permohonan pekerja
sebagaimana surat tanggal 6 September 2013 perihal
Permohonan Pencatatan Perkara Perselisihan Hubungan
Industrial dan pelimpahan perkara Perselisihan Hubungan
Industrial melalui surat Nomor 05/HIKP-PHI/IX/2013 tanggal
16 September 2013, adalah mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja, oleh karenanya sesuai
ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 Mediator Hubungan
Industrial berwenang untuk menyelesaikannya;

3. Bahwa guna penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat,
Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta Menganjurkan:

3.1. Perusahaan PT Tradition Indonesia (Tergugat) atas
pemu- tusan hubungan kerja terhadap Penggugat
agar segera membayarkan hak-hak pekerja berupa
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar
1 (satu) kali ketentuan, Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai keten- tuan Pasal 156 ayat
(4) UU Nomor 13 Tahun 2003 serta upah yang belum
dibayarkan dengan perincian:

i. Uang Pesangon

2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00
ii. Uang Pesangon Masa Kerja

1 x 8 x Rp39.000.000,00 = Rp 312.000.000,00 +

=Rp 1.014.000.000,00

iii. Uang Penggantian
Perumahan serta
Pengobatan dan Perawatan
15% x Rp1.014.000.000,00 = Rp 152.100.000,00 +

iv. Upah yang belum dibayar = Rp 39.000.000,00 +
(sementara s/d Oktober =Rp 1.205.100.000,00
2013)

Total

(i) Uang Pesangon:

2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp 702.000.000,00

(ii) Uang Penghargaan masa kerja

1 x 8 x Rp39.000.000,00 = Rp 312.000.000,00

82

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

(iii) Uang penggantian perumahan

serta pengobatan dan

perawatan:
15% x Rp1.014.000.000,00 = Rp 152.100.000,00

Jumlah keseluruhan Rp1.166.100.000,00 (satu
miliar seratus enam puluh enam juta seratus ribu
rupiah);

(iv) Upah yang belum dibayar (sementara s/d
Oktober 2013) 1 x Rp39.000.000,00;

Sehingga total keseluruhan Rp1.205.100.000 (satu
miliar dua ratus lima juta seratus ribu rupiah);

3.2. Pekerja Vijay Perapti (Penggugat) agar dapat
menerima hak- haknya sebagaimana pada point 1 di
atas…………….dst;

B. Kronologis Permasalahan:

1. Bahwa, pekerja Sdri. Vijay Perapti dalam hal ini disebut
sebagai Penggugat mulai bekerja pada PT Mitra Dana Utama
sejak Febuari 1992, dimana selama bekerja Penggugat
telah menunjukkan performa kerja yang baik sehingga
dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Manager;

2. Bahwa, pada perusahaan PT Mitra Dana Utama pada
tanggal 18 Oktober 1993 Penggugat memperoleh promosi
jabatan menjadi Direksi dan selanjutnya pada tanggal 6
Maret 1996 dipromosikan menjadi Presiden Direksi;

3. Bahwa pada tanggal 22 Mei 2012, Notaris Antonius Wahono
Prawirodirjo meminta Penggugat untuk menandatangani
hasil RUPS Jual Beli Saham, antara pemilik lama PT
Mitra Dana Utama dengan PT Tradition Asia Pasific,
serta penggantian susunan kepengurusan, yang telah
dilaksanakan sebelumnya pada hari yang sama, dan
Penggugat tidak diundang untuk hadir dalam rapat tersebut;

4. Bahwa sebelum terjadi pengambilalihan saham tersebut
Peng- gugat diberitahu bahwa syarat PT Tradition Asia Pasific
bersedia membeli PT Mitra Dana Utama, jika sahamnya
dilepaskan 100%;

5. Bahwa setelah seluruh saham dan kepengurusan beralih ke
PT Tradition Asia Pasific, dan kemudian berubah nama
menjadi PT Tradition Indonesia dan Penggugat memegang
jabatan sebagai Direktur;

6. Bahwa pada PT. Tradition Indonesia, Pekerja/Penggugat
mem- pertanyakan perihal dokumen kontrak kerja dalam
bahasa Inggris kepada salah satu Direktur yaitu, James Lent,
dan pekerja men- dapat jawaban bahwa walaupun kontrak
kerja akan tetapi masa kerja karyawan tetap diakui dari awal
dan seluruh karyawan adalah karyawan tetap;

7. Bahwa sebagai salah satu Direktur, Penggugat juga

83

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

mem- pertanyakan mengenai Peraturan Perusahaan PT.
Tradition Indonesia, akan tetapi tidak digubris oleh Presiden
Direktur PT Tradition Indonesia;

8. Bahwa sekitar bulan November 2012, Penggugat menindak
lanjuti pertanyaan seorang manager yang mempertanyakan
kepada Presiden Direktur Mr. Goh Say Jim, “Apakah ada
penye- suaian gaji untuk biaya hidup tahun 2013 ??”,
atas pertanyaan tersebut Presiden Direktur Mr. Goh Say Jim,
memberikan jawaban yaitu, “perusahaan tidak berkewajiban
menaikkan gaji karyawan dalam masa kontrak”;

9. Bahwa Penggugat sangat berkeberatan dengan
jawaban Presiden Direktur tersebut mengingat seluruh
karyawan semasa bekerja di Perusahaan lama, PT Mitra
Dana Utama, statusnya adalah karyawan tetap dengan
demikian tidak diijinkan untuk merubah status karyawan
dengan begitu saja;

10. Bahwa kemudian, PT Tradition Indonesia meminta Penggugat
untuk mengundurkan diri dengan paksa dan turun jabatan,
sehingga Penggugat mempertanyakan mengenai hak-
haknya sebagai pekerja seperti, uang pesangon dalam
masa kerja di perusahaan yang lama dibayarkan sesuai
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan di tempat yang
baru dihitung dari awal lagi sesuai dengan jabatan, tanggung
jawab dan posisi yang baru. Dan Mr. James Lent mengatakan
anggap saja surat pengunduran diri itu tidak ada dan tidak
berlaku, anggap saja masa kerja mulai dari tahun 1992;

11. Bahwa Penggugat selanjutnya ditawarkan oleh Presiden
Direksi Goh Say Jim dan Direksi Perusahaan James Lent
untuk mengun- durkan diri dari perusahaan dan akan diberikan
pesangon sebesar 33 (tiga puluh tiga) bulan gaji dengan
pertimbangan perusahaan menginginkan pengakhiran
hubungan kerja yang damai;

12. Bahwa pada tanggal 25 September 2013, Penggugat
dipanggil oleh Direktur James lent dan disaksikan oleh dua
Direktur lainnya, Penggugat diberikan surat PHK tanpa
penjelasan apapun;

13. Bahwa Penggugat menilai PHK tersebut sangat tidak adil
karena bertentangan dengan hukum dan perundangan
yang berlaku, sehingga dengan demikian PHK tersebut
tidak pernah ada yang berarti hingga saat ini Penggugat
masih berstatus sebagai karyawan dengan segala akibat
hukumnya menyangkut hak- hak Penggugat sebagai
keryawan;

14. Bahwa pada dasarnya Penggugat masih berkeinginan untuk
tetap bekerja karena Penggugat tidak pernah berbuat
kesalahan apa pun, namun apabila perusahaan sudah
tidak menghendaki keberadaan Penggugat di perusahaan,

84

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

pekerja mengajukan permintaan pesangon sebesar 36 (tiga
puluh enam) bulan gaji dan selanjutnya agar perjanjian
bersama tersebut didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial;

C. Perbuatan perusahaan yang tunduk pada ketentuan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;

1. Bahwa Mediator hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta dalam upaya
penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja antara Penggugat dengan Tergugat dengan tidak
tercapainya kesepakatan kedua belah pihak melalui proses
mediasi maka dikeluarkanlah anjuran tertulis oleh Mediator;

2. Bahwa Penggugat sejak awal bekerja pada perusahaan
PT Mitra Dana Utama dengan posisi jabatan sebagai
Manager yang selanjutnya mendapatkan promosi jabatan
hingga menjadi Presiden Direksi maka jabatan Presiden
Direksi yang diperoleh oleh Penggugat melalui promosi
jabatan tersebut merupakan jabatan karier sehingga
hubungan kerjanya tunduk pada ketentuan UU Nomor 13
tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan;

3. Bahwa perusahaan PT. Mitra Dana Utama diambil oleh (dibeli)
oleh perusahaan PT Tradition Asia Pasific yang kemudian
meng- ganti nama dari PT. Mitra Dana Utama menjadi
PT Tradition Indonesia maka dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 61 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003,
dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak
pekerja menjadi tanggung jawab pengusaha yang baru,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang
tidak mengurangi hak-hak buruh, dengan demikian maka
perusahaan PT Tradition Indonesia mempunyai kewajiban
untuk membayarkan seluruh hak-hak pekerja yang timbul
dalam hubungan kerja terhitung sejak pekerja bekerja pada
perusahaan PT. Mitra Dana Utama;

4. Bahwa Penggugat kerja dengan PT. Tradition Indonesia terikat
pada kontrak kerja yang tunduk pada UU Nomor 13 Tahun
2003 terlihat pada point 5.1. Perjanjian Kerja disebutkan “Jika
Anda tidak mampu melaksanakan tugas-tugas anda akibat
sakit atau luka, anda akan berhak atas cuti sakit berbayar
sebagaimana ditetapkan dalam Undang Undang Nomor
13 Tahun 2003 mengenai Hubungan Kerja dan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku….dst”;

5. Bahwa Penggugat selama bekerja menerima Jamsostek
(Jaminan Sosial Tenaga kerja) dimana Jamsostek adalah
hak setiap tenaga kerja baik pekerja tetap maupun pekerja
kontrak;

6. Bahwa menurut Pasal 4 (1) Undang Undang Nomor
3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah
sebagai berikut “Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

85

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini”;

7. Bahwa karena Penggugat adalah karyawan tetap yang
selama ini menerima Jamsostek sehingga Penggugat
dalam hal ini dilin- dungi oleh UU Nomor 13 tentang
Ketenagakerjaan;

8. Bahwa Penggugat menerima Surat Keterangan Nomor 52/
TRAJ/ SK-EKS/IX/13 dari PT Tradition Indonesia yang
menerangkan/ mengakui bahwa Penggugat adalah bekerja di
PT Tradition sejak tanggal 1 Februari 1992 dan sudah tidak
bekerja lagi karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja
dari pihak perusahaan per tanggal 25 September 2013, dan
ditandatangani oleh HRD Dept. PT Tradition Indonesia;

D. Tindakan PT Tradition Indonesia telah melanggar
peraturan perusahaan yang mengikat pada dirinya dan
Penggugat:

1. Bahwa berdasarkan Undang Undang RI Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana ketentuan:

1.1. Pasal 108 ayat (1)

1.2. Pasal 109

1.3. Pasal 111 ayat (1) (2) dan (3)

1.4. Pasal 112 ayat (1) (2) dan (4)

1.5. Pasal 114

2. Bahwa di dalam Peraturan Perusahaan PT Mitra Dana
Utama yang disahkan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja
Propinsi DKI Jakarta pada tanggal 27 Juli 2011 dengan
Nomor Pengesahan 469/PP/PBR.V/VII/D/ 2011 Pasal
9 tentang Kepangkatan/ posisi/level adalah nama-nama
kepangkatan yang berlaku yang terdiri atas (dari tertinggi ke
yang lebih rendah):

2.1. Direksi:

1. Presiden Direktur;

2. Direktur;

2.2. Dealing Room;

3. Supervisor;

4. Assistant Supervisor;

5. Senior Broker;

6. Broker;

7. Junior Broker;

86

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

8. Settlement;

1.3. Administrator (Back-up Office);

9. Sekretaris;

10. Accountant;

11. Supervisor HRD & GA Dept;

12. Accounting;

13. Finance;

14. IT;

15. Teknisi;

1.4. Golongan Office Service Support;

16. Office Boy;

17. Messenger;

18. Pengemudi;

3. Bahwa Penggugat/Pekerja diberhentikan pada saat
Tergugat masih terikat pada Peraturan Perusahaan Nomor
Pengesahan 469/PP/PBR.V/ VII/D/2011 tanggal 27 Juli
2011 yang sampai saat Penggugat (Pekerja diberhentikan)
masih mengikat pada Penggugat/Pekerja dengan Tergugat/
Pengusaha;

4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas Penggugat/
Pekerja masuk dalam golongan karyawan yang tunduk pada
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 sesuai dengan
peraturan perusahaan Nomor 469/PP/PBR.V/VII/D/2011
tanggal 27 Juli 2011 yang sampai saat ini belum diganti;

E. Penggugat telah dizolimi haknya oleh PT. Tradition Indonesia;

1. Bahwa pada tanggal 25 September 2013 Penggugat
telah diberhentikan secara sepihak dengan alasan melalui
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
sebagai Anggota Direksi Perseroan Perusahaan PT.
Tradition Indonesia;

2. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan
oleh perusahaan, dengan alasan melalui keputusan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai Anggota
Direksi Perseroan perusahaan PT Tradition Asia Pasific
belum mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, maka dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13
Tahun 2003 hubungan kerja tetap berlangsung se- hingga
baik Penggugat maupun Tergugat harus tetap melaksana- kan
kewajibannya yaitu Penggugat tetap bekerja seperti biasa
dan Tergugat harus tetap membayarkan upah Penggugat;

87

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

3. Bahwa mengingat Penggugat sudah tidak diperkenankan
lagi keberadaannya di Perusahaan, maka ketidakhadiran
Penggugat untuk bekerja seperti biasa adalah bukan
keinginan Penggugat tetapi atas keinginan Tergugat
sehingga terhadap asas upah tidak dibayar apabila tidak
bekerja (no work no pay) tidak dapat diterapkan kepada
Penggugat, dan konsekwensi yuridisnya Tergugat harus
tetap membayar upah yang belum dibayar mulai bulan
Oktober 2013 kepada Penggugat sampai adanya penetapan
dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial atas pemutusan hubungan kerja tersebut sampai
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);

4. Bahwa mengingat Pemutusan Hubungan Kerja yang
dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat belum mendapat
penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 hubungan kerja
tetap berlangsung;

5. Bahwa dengan demikian konsekwensi yuridis yang harus
di- tanggung oleh Tergugat adalah;

• Tergugat harus membayar kepada Penggugat
pesangon sebesar 2(dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003, perhitungan riilnya
sebagai berikut:

i. UangPesangon

2 x 9 x Rp39.000.000,00 = Rp702.000.000,00

ii. Uang Pesangon Masa Kerja

1 x 8 xRp39.000.000,00 = Rp312.000.000,00(+) = Rp 1.014.000.000,00

iii. UangPenggantian Perumahan
serta Pengobatan danPerawatan

15% x Rp1.014.000.000,00 = Rp 152.100.000,00(+)
iv Upah yang belum dibayar = Rp 39.000.000,00(+)
= Rp 1.205.100.000,00
(sementara s/d Oktober 2013)

TOTAL

Sehingga total jumlah secara keseluruhan yang harus
dibayar Tergugat kepada Penggugat (diluar upah yang belum
dihitung) sebesar Rp1.205.100.000,00 (satu miliar dua ratus
lima juta seratus ribu rupiah);

Dan ditambah Tergugat harus membayar kepada Penggugat
atas upah yang belum dibayar yaitu sebesar mulai bulan
Oktober 2013 sampai dengan penetapan dari Lembaga
PenyelesaianPer- selisihan Hubungan Industrial mempunyai
kekuatan hukum tetap;

6. Bahwa Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan
Hubungan Industrial agar meletakkan sita jaminan dan
atau memblokir tabungan atas nama PT. Tradition Indonesia
terhadap;

1. Bank Central Asia cabang Atrium Senen ... dan seterusnya;

88

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

7. Bahwapermintaanpenyitaandidasarkan padaadanya
persangkaan yang beralasan kalau Tergugat tidak membayar
hak-hak Penggugat seperti tertera dalam Pasal 156 ayat
(2) dan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;

8. Bahwa Penggugat mohon agar Pengadilan Hubungan
Industrial menyatakan sita jaminan yang Penggugat
mohonkan sah dan berharga;

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas,
Penggugat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan
sebagai berikut:

Dalam Pokok Perkara:

Dalam Sita Jaminan:
1. Mengabulkan permohonan sita jaminan yang dimohonkan

oleh Penggugat;

2. Biaya menurut

hukum;

Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menetapkan Tergugat melakukan kesalahan atas PHKnya
terhadap Penggugat;

3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat
dengan Tergugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
hak-hak Penggugat diluar upah yang belum dihitung sebesar
Rp1.205.100.000,00 (satu miliar dua ratus lima juta seratus
ribu rupiah);

5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
atas upah yang belum dibayarkan mulai bulan Oktober 2013
sampai dengan putusan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial mempunyai kekuatan hukum tetap;

6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dimohonkan
oleh Penggugat;

7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;

Subsidair:

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil- adilnya (ex aequo et bono);

Bahwa terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Kompetensi absolut (exceptio declinatoir):

Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo,

89

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

bahwa Tergugat (in casu PT Tradition Indonesia) dengan ini secara
amat sangat sangat tegas menyatakan menolak setiap dan
seluruh dalih-dalih Penggugat (in casu Vijay Perapti) yang termuat
dalam gugatan a quo pada huruf a sampai dengan huruf e dalam
halaman 1 sampai dengan halaman 9, berdasarkan fakta-fakta
yang sebenar-benarnya terjadi sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah anggota direksi
yang dengan demikian adalah pengusaha dan karenanya sama
sekali bukan karyawan/pekerja, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial sama sekali tidak berwenang memeriksa
perkara a quo;

Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah anggota
direksi PT Mitra Dana Utama yang dengan demikian adalah
pengusaha dan karenanya sama sekali bukan karyawan/pekerja
sebagaimana ter- bukti dengan sangat sempurna, meyakinkan
dan tidak terbantahkan lagi berdasarkan fakta-fakta hukum yang
senyata-nyatanya terjadi sebagai berikut:

a. 6 Juli 1993: Penggugat (in casu Vijay Perapti) telah
diangkat untuk pertama kalinya oleh rapat umum pemegang
saham PT Mitra Dana Utama sebagai anggota direksi PT
Mitra Dana Utama ... dan seterusnya;

b. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) telah diangkat
untuk pertama kalinya oleh Rapat Umum Pemegang
Saham PT Mitra Dana Utama sebagai anggota direksi PT
Mitra Dana Utama yang dengan demikian adalah direksi
sebagaimana didefinisikan dan dimaksud dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan Pengusaha se- bagaimana
didefinisikan dan dimaksud dalam Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga- kerjaan
dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
dengan jabatan sebagai Direktur PT Mitra Dana Utama
pada tanggal 6 Juli 1993 sebagaimana terbukti dengan
sangat sem- purna, meyakinkan dan tidak terbantahkan
lagi berdasarkan surat keputusan para pemegang saham,
dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup, tanggal 6
Juli 1993 yang selanjutnya di- tuangkan kembali dalam Akta
Pernyataan Keputusan Para Peme- gang Saham PT Mitra
Dana Utama Nomor 14 tanggal 18 Oktober 1993, dibuat di
hadapan Jenny Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang
(vide bukti T-1);

Dalam Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang Saham
PT Mitra Dana Utama Nomor 14 tanggal 18 Oktober 1993,
dibuat di hadapan Jenny Jacinta Lukas, S.H., Notaris di
Tangerang (vide bukti T-1) ditegaskan antara lain:

“III. Mengangkat Nyonya Mari Elka Pangestu untuk mengganti-
kan Tuan Slangor dan Nona Vijay Perapti menggantikan

90

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Tuan Adril Soelaeman;

V. Menetapkan terhitung sejak tanggal keputusan diambil,
ter- tanggal enam juli seribu sembilan ratus sembilan puluh
tiga (6-7-1993) Susunan Anggota Direksi Dan Dewan
Komisaris Perseroan adalah sebagai berikut:

- Presiden Direktur : Tuan Chew Kheng Cheong;

- Direktur : Nona Vijay Perapti tersebut;

- Presiden Komisaris : Tuan Irjanto Ongko;

- Komisaris : Tuan Chen Cheah Seng;

- Komisaris : Doktor Sjahrir;

- Komisaris : Nyonya Mari Elka

Pangestu”; Catatan:
1. Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim .... dst;

2. Kalimat dan kata-kata:

a. “Mengangkat” dan “Nona Vijay Perapti”;

b. “Menetapkan terhitung sejak tanggal keputusan
diambil, tertanggal enam Juli seribu sembilan ratus
sembilan puluh tiga (6-7-1993) susunan Anggota
Direksi dan Dewan Komisaris perseroan”; dan;

c. “Direktur: Nona Vijay Perapti”;

dalam Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang
Saham PT Mitra Dana Utama Nomor 14 tanggal 18
Oktober 1993, dibuat di hadapan Jenny Jacinta
Lukas, S.H., Notaris di Tangerang (vide bukti T-1);

c. 1 Februari 1996: Penggugat (in casu Vijay Perapti)
diangkat kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT
Mitra Dana Utama sebagai Anggota Direksi PT. Mitra Dana
Utama ... dan seterusnya;

Dalam Akta Pernyataan Persetujuan Para Pemegang
Saham Nomor 7 tanggal 6 Maret 1996, dibuat di hadapan
Jenny Jacinta Lukas, S.H., Notaris di Tangerang (vide bukti
T-2) disebutkan antara lain bahwa:

“masing-masing pemegang saham perseroan menyetujui
ter- hitung sejak tanggal satu Februari seribu sembilan ratus
sembilan puluh enam (1-2-1996) yaitu:

I. Pengunduran diri Tuan Chew Kheng Cheong
sebagai Presiden Direktur Perseroan, dan Nona Vijay
Perapti sebagai Direktur Perseroan;

II. Pengangkatan Tuan Chew Kheng Cheong sebagai
Komisaris Perseroan, dan Nona Vijay Perapti sebagai
Presiden Direktur Perseroan;

III. Sehingga susunan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris
Perseroan selanjutnya adalah sebagai berikut:

91

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Presiden Direktur : Nona Vijay

Perapti; Presiden Komisaris : Tuan

Irjanto Ongko;

Wakil Presiden Komisaris : Doktor Sjahrir;

Komisaris : Tuan Chew Kheng Cheong;

Komisaris : Tuan Chen Cheah Seng;

Komisaris : Nyonya Mari Elka Pengestu;

Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara aquo, berdasarkan keputusan RUPS yang termaktub
dalam Akta Pernyataan Persetujuan Para Pemegang
Saham Nomor 7 tanggal 6 Maret 1996, Penggugat (in casu
Vijay Perapti) diangkat untuk jabatan tertinggi dalam salah satu
organ Perseroan Terbatas yaitu Direksi, sebagai Presiden
Direksi, ... dan seterus- nya;

Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, pada tanggal 30 Desember 2010 Penggugat
(in casu Vijay Perapti) diangkat kembali oleh Rapat Umum
Pemegang Saham PT. Mitra Dana Utama sebagai Anggota
Direksi PT Mitra Dana Utama dengan jabatan yang sama
yaitu sebagai Presiden Direktur PT. Mitra Dana Utama ... ...
selanjutnya Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan
Terbatas PT Mitra Dana Utama Nomor 02 tanggal 6
Januari 2011, dibuat di hadapan Sri Hidianingsih Adi
Sugijanto, S.H., Notaris di Jakarta (vide bukti T-4) yang telah
diberitahukan kepada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia sebagaimana bukti T-5;

Penggugat (in casu Vijay Perapti) sebagai Direktur PT
Tradition Indonesia (in casu Tergugat) secara khusus adalah
pengusaha yang secara singkat dan sederhana merupakan
dan adalah per- wujudan atau personifikasi dari perseroan
terbatas itu sendiri, dalam hal ini Penggugat (in casu Vijay
Perapti) adalah merupakan perwujudan atau personifikasi
dari PT. Tradition Indonesia (in casu Tergugat) yang oleh
karenanya diberikan kewenangan yang amat sangat luas dan
besar disamping juga dibebani tanggung jawab yang sangat
besar pula sebagai penyeimbang dari ke- wenangannya
yang sangat luas dan besar tadi yang sama sekali tidakdimiliki
pihak lain siapapun juga apalagi seorang karyawan/ pekerja;

Bagi perseroan terbatas, direksi adalah trustee sekaligus
agent. Dikatakan sebagai trustee karena direksi melakukan
pengurusan terhadap harta kekayaan perseroan, dan
dikatakan sebagai agent, karena direksi bertindak keluar
untuk dan atas nama perseroan terbatas, selaku Pemegang
Kuasa Perseroan Terbatas, yang mengikat perseroan
terbatas dengan pihak ketiga. Artinya, terdapat hubungan
kepercayaan yang melahirkan kewajiban kepercayaan
(fiduciary duty) antara direksi dan perseroan dan oleh

92

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

karenanya direksi wajib memiliki kesetiaan dan iktikad baik
(duty of loyalty and good faith) dan kewajiban untuk
bertindak cermat dan hati-hati (duty of diligence and care)
terhadap perseroan terbatas, yang menjadi pembeda
utama antara direksi yang berstatus dan adalah Pengusaha
terhadap siapapun juga, apalagi karyawan/pekerja;

d. Pada 21 Mei 2012: Penggugat (in casu Vijay Perapti)
mengajukan permohonan pengunduran diri dari jabatannya
sebagai Presiden Direktur PT Mitra Dana Utama terhitung
sejak tanggal 21 Mei 2012 sebagaimana ternyata dari Surat
Penggugat (in casu Vijay Perapti) tertanggal 21 Mei 2012,
perihal Permohonan Pengun- duran Diri dari jabatan Presiden
Direktur PT Mitra Dana Utama, ditujukan kepada:

1. Para Pemegang Saham;

2. Dewan Direksi;

3. Dewan Komisaris;

PT. Mitra Dana Utama, ditandatangani sendiri oleh Penggugat
(in casu Vijay Perapti) (vide bukti T-10);

..., terungkap fakta-fakta hukum yang sebenar-benarnya
terjadi yang membuktikan secara sempurna dan tidak dapat
disangkal lagi bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti)
adalah Pengusaha dan sama sekali bukanlah Karyawan/
Pekerja ... dan seterusnya;

e. Pada tanggal 22 Mei 2012 Penggugat (in casu Vijay
Perapti) diangkat kembali oleh Rapat Umum Pemegang
Saham PT Mitra Dana Utama sebagai Anggota Direksi
PT. Mitra Dana Utama berdasarkan Keputusan Pemegang
Saham PT Mitra Dana Utama sebagai pengganti dari Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa, dibuat di bawah
tangan dan bermeterai cukup, tanggal 22 Mei 2012 yang
selanjutnya dituangkan kembali dalam Akta Pernyataan
Keputusan Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Mitra
Dana Utama Nomor 36 tanggal 22 Mei 2012, dibuat di
hadapan Antonius Wahono Prawirodirdjo, S.H., Notaris
di Jakarta Utara (vide bukti T-7) yang telah diberitahukan
kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia sebagaimana terbukti dari Surat Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
AHU-AH.01.10- 19557, tanggal 31 Mei 2012, perihal
Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT
Mitra Dana Utama, ditanda- tangani oleh Direktur Jenderal
Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (vide bukti T-8) serta
telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana terbukti
dari Surat Bank Indonesia Nomor 14/5/DPG/DPM, tanggal
2 Mei 2012 Perihal Persetuju- an Perubahan Kepemilikan,
Susunan Direksi dan Komisaris, ditandatangani oleh Deputi
Gubernur Bank Indonesia (vide bukti T-9);

93

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

h. Pada tanggal 25 April 2013 Penggugat (in casu Vijay
Perapti) diangkat kembali oleh Rapat Umum Pemegang
Saham PT Mitra Dana Utama sebagai Anggota Direksi PT.
Tradition Indonesia (dahulu bernama PT Mitra Dana Utama)
... dan seterusnya;

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang sebenar-benarnya
terjadi sebagaimana diungkapkan di atas, kembali terbukti
secara sem- purna meyakinkan dan sama sekali tidak dapat
disangkal lagi bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti)
adalah Pengusaha yang untuk jabatan yang didudukinya yaitu
sebagai Direktur PT. Mitra Dana Utama sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham PT. Mitra Dana Utama menyetujui
pengangkatannya diharuskan/ dipersyaratkan adanya
persetujuan terlebih dahulu dari Lembaga Pemerintah
yang berwenang dalam hal ini Bank Indonesia, hal mana
seandainya Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah
karyawan/pekerja (quod non) persetujuan tersebut mustahil
diperlukan apalagi dipersyaratkan ... dan seterusnya;
i. 25 September 2013: Penggugat (in casu Vijay Perapti)
diberhenti- kan oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT.
Tradition Indonesia sebagai Anggota Direksi PT. Tradition
Indonesia (dahulu bernama PT Mitra Dana Utama) yang
dengan demikian adalah Direksi sebagaimana didefinisikan
dan dimaksud dalam Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
Pengusaha sebagaimana di-definisikan dan dimaksud
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan
jabatan sebagai Direktur PT Tradition Indonesia (dahulu
bernama PT Mitra Dana Utama);

Mohon perhatian Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo, bahwa Rapat Umum Pemegang Saham PT
Tradition Indonesia menilai kinerja (performance) Penggugat
(in casu Vijay Perapti) sebagai Direktur PT. Tradition
Indonesia (dahulu ber- nama PT. Mitra Dana Utama) sangat
mengecewakan dan buruk dan sebagai tambahan, Penggugat
(in casu Vijay Perapti) sendiri telah bersikap dan melakukan
tindakan mengusut, membuat kericuhan dan menciptakan
iklim serta suasana kerja yang amat sangat tidak nyaman dan
tidak kondusif secara internal dengan tujuan agar;

1. Para Karyawan PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat)
tidak mematuhi kebijakan yang berlaku; dan;

2. Para Karyawan PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat)
keluar atau meninggalkan PT Tradition Indonesia (in
casu Tergugat);

Penggugat (in casu Vijay Perapti) sebagai Direktur PT.
Tradition Indonesia (in casu Tergugat) adalah Direksi,

94

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

sebagaimana didefinisikan dan dimaksud dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan termasuk sebagai Pengusaha
sebagaimana didefinisikan dalam Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, mempunyai hubungan
kepercayaan yang melahirkan kewajiban kepercayaan
(fiduciary duty) antara Direksi dan Perseroan dan oleh
karenanya Direksi wajib memiliki kesetiaan dan iktikad baik
(duti of loyality and good faith) dan kewajiban untuk bertindak
cermat dan hati-hati (duty of diligence and care) terhadap
Perseroan Terbatas, yang menjadi pembeda utama antara
Direksi sebagai Pengusaha dengan Karyawan/Pekerja.
Dalam hal ini, Penggugat (in casu Vijay Perapti) telah
bertindak tidak cermat dan memiliki itikad buruk terhadap
PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat), sehingga
pemberhentian Penggugat (in casu Vijay Perapti)
sebagai Direktur diberhentikan melalui RUPS, sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

Sebagai akibat dari hal-hal tersebut di atas, Rapat
Umum Pemegang Saham PT. Tradition Indonesia (in casu
Tergugat) secara berkesesuaian dengan kewenangan
yang diberikan kepadanya oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku

... dan seterusnya;

2. Bahwa Penggugat (in casu Vijay Perapti) adalah Anggota
Direksi PT Tradition Indonesia (in casu Tergugat) yang oleh
karenanya sepenuhnya tunduk pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan karenanya sama sekali bukan Karyawan/ Pekerja,
melainkan sebagai Pengusaha sebagaimana didefinisikan dan
dimaksud dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ... dan seterusnya;

Perkenankanlah PT. Tradition Indonesia (in casu Tergugat)
kini menyampaikan ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim
yang memeriksa perkara a quo aspek-aspek yang terkait dengan
Direksi dari perseroan terbatas yang diatur dan ditegaskan dalam
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas ... dan seterusnya;

Selanjutnya, berdasarkan setiap dan segenap hal-hal yang
telah diuraikan di atas bahwa Penggugat (in casu Vijay
Perapti) yang senyata-nyatanya dan sebenar-benarnya terjadi
sebagaimana telah diuraikan di atas adalah Anggota Direksi
PT Mitra Dana Utama (sekarang bernama PT Tradition
Indonesia) termasuk Pengusaha yang tunduk pada Undang

95

Putusan Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan karenanya bukan termasuk sebagai
Karyawan/Pekerja PT Tradition Indonesia dan oleh karenanya
tidak berhak atas pesangon ... dan seterusnya;

Dengan demikian berdasarkan eksepsi kompetensi absolut
(exceptio declinatoir), Tergugat (in casu PT Tradition Indonesia)
yakin sepenuhnya bahwa Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa
perkara a quo tanpa sedikitpun keraguan menyatakan gugatan a quo
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

Bahwa, terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan
Indus- trial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan
putusan Nomor 11/PHI.G/2014/PN.Jkt., Pst., tanggal 25 Agustus
2014, yang amarnya sebagai berikut:

Dalam Eksepsi

- Menolak eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan PHK kepada Penggugat
yang bertentangan dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan;

3. Menyatakan “Putus” hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sejak putusan ini diucapkan;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang
penggantian hak, dan upah selama proses PHK yang
seluruhnya sebesar Rp1.595.100.000,00 (satu miliar lima
ratus sembilan puluh lima juta seratus ribu rupiah);

5. Membebankan biaya perkara kepada pihak Tergugat
sebesar Rp322.000,00 (tiga ratus dua puluh dua ribu rupiah);

6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

Menimbang, bahwa amar Putusan Mahkamah Agung Nomor
15 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015 sebagai berikut:

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT
Tradition Indonesia tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/PHI.G/2014/PN
Jkt.,Pst., tanggal 25 Agusus 2014;

Mengadili Sendiri:

Dalam Eksepsi:

- Menerima eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

96


Click to View FlipBook Version