42 PULANG
“Makanya aku sudah bilang, beli arloji di Pasar Senen sana.
Tiap kali kau harus bertanya orang.”
Nadanya memang menggerutu, tetapi aku tahu Hananto
sudah tak marah. Rahangnya pasti masih sakit. Aku duduk di
bemper mobilnya.
“Mas, ini terakhir kali aku mencampuri urusanmu. Tapi
hidup di antara keluargamu dengan Marni dan perempuan
lainnya, menunjukkan kau tak konsisten.”
Hananto mengambil sebungkus rokok dari warung dan
menawarkan sebatang kepadaku. Dia memberi isyarat agar
aku naik ke mobilnya.
Jalan-jalan di Jakarta sudah sepi. Di dalam mobil juga
sangat hening dan hanya terisi oleh asap rokok.
Tak terasa kami sudah berada di depan arena proyek
Monumen Nasional yang masih berantakan karena belum
selesai dibangun. Aku sendiri tak tahu kapan monumen ini
akan selesai.
“Jadi, menurutmu, aku tidak konsisten?” tiba-tiba
Hananto bergumam.
Ini pertanyaan aneh, terutama untuk lelaki seperti
Hananto yang sangat yakin pada ideologi yang dipilihnya
dan perempuan yang mendampingi hidupnya.
“Ya Mas, kalau sudah berkeluarga. Sebuah keluarga
membutuhkan stabilitas dan konsistensi. Kalau mau meman
jakan impuls, Mas, jangan kawin. Jangan membuat orang
lain menderita.”
Hananto melirik, “Ini bukan karena Surti?”
“Kamu tahu betul ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan Surti,” kataku tegas.
Dia memandangku serius, “Jadi, aku tidak konsisten, dan
kau merasa yakin dengan posisimu sekarang? Kau merasa
konsisten? Kau merasa tahu apa yang kau inginkan? Dalam
politik? Dalam kehidupan pribadimu?”
LEILA S. CHU DO RI 43
Aku terdiam. Aku yakin itu hanya retorika.
“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai.
Kau menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga
mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.”
“Ya, lalu?” aku menatap Hananto, menantikan dia
melanjutkan gerutunya.
“ Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau
juga tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih
tertambat pada masa lalu, atau karena kau terlalu menyukai
masa bujanganmu?”
Sekarang aku tidak paham, Hananto jengkel karena
aku tak mau memihak atau karena dia menuduh aku masih
mempunyai perasaan pada Surti?
Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok
hanya untuk menunjukkan sebuah keyakinan? Lagipula,
apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal?
Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham
ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa
rasa kritis?
Aku melirik tanpa memuntahkan seluruh pertanyaanku.
Hananto masih menyetir sambil sesekali mengusap rahang
nya. Malam itu kami tak berkata-kata lagi hingga mobil jip
Hananto berhenti di depan tempat kosku. Aku tak tahu apa
penyelesaian debat kami malam itu.
Yang aku tahu, mulai keesokan harinya hingga seminggu
kemudian kami puasa bicara. Di kantor, Hananto berbicara
seperlunya tanpa memandangku. Rahang dan pipinya mulai
bengkak dan biru.
Dari jauh dia tertawa-tawa dengan Mas Nug dan
Pemimpin Redaksi. Aku berusaha tak peduli dengan kasak-
kusuk mereka. Aku tak pernah menduga bahwa pembicaraan
mereka bertiga kelak akan menentukan perjalanan hidupku,
nasibku, hingga masa depanku di sini yang terdampar di Paris.
44 PULANG
“Dimas,” Mas Nug melambaikan tangannya agar aku
menghampiri mejanya.
***
“Kau dikirim ke Eropa?”
“Tidak. Konferensi itu konferensi di Santiago dan Peking.”
“Yang satu di Amerika Latin, sesudah itu kau terbang ke
Cina?”
“Vivienne, rute kehidupanku panjang sekali. Aku bahkan
sempat ke Kuba sebelum akhirnya ke Cina lalu ke tanah
Eropa,” kataku menjenguk ke luar jendela. Paris dan Jakarta
seperti perbandingan antara air kelapa muda dan air selokan
yang hitam.
***
Warung Kopi Jalan Cidurian, Jakarta,12 September,
1965
“Aku tidak tahu apa-apa soal IOJ, lalu kenapa mesti
diselenggarakan di Santiago,” aku melempar amplop cokelat
besar ke atas meja warung kopi di pojok Jalan Cidurian. Ini
adalah kalimat panjang pertama yang kulontarkan setelah
kami berpuasa bicara. Amplop besar itu berisi undangan
konferensi para wartawan di Cile.
Hananto yang sedang menghadapi segelas kopi panas
pura-pura tuli. Dia menyeruput kopinya dengan bunyi yang
berisik, bunyi yang aku benci. Bebunyian orang yang sengaja
ingin membuat aku jengkel.
Aku duduk di sampingnya. Antara heran dan sekali lagi
ingin meninjunya.
“Ini undangan untukmu, Mas. Kenapa mesti aku yang
pergi?”
LEILA S. CHU DO RI 45
Hananto menunduk menatap kopinya. Tidak menjawab.
“Aku tidak bisa bahasa Spanyol. Aku tidak pernah ikut
kegiatan wartawan apa pun tingkat internasional. Aku tak
tahu apa yang harus kukatakan dalam sebuah konferensi
seperti ini,” kataku merepet, gugup, dan marah karena dia
seenaknya melempar tugas seberat itu padaku.
“Keputusan Pemimpin Redaksi. Kau harus menemani
Mas Nug,” Hananto bergumam.
Segelas kopi hitam begitu saja disediakan di hadapanku.
“Namanya saja IOJ, International Organization of
Journalists, ya pasti bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
Ini konferensi tahunan para pimpinan media. Masing-masing
ada topik yang harus dipresentasikan,” Hananto menyesap
kopinya lagi tanpa mau menatapku.
“Ini bagus untuk pengalaman. Teman-teman dari Harian
Rakjat juga akan ke sana,” kata Mas Hananto mencoba
rasional, “Risjaf juga kita kirim ke Havana untuk urusan
Organisasi Asia-Afrika.”
Aku terdiam. Dalam keadaan biasa pasti aku akan
bergurau dengan Risjaf membayangkan dia akan mencoba
setiap cerutu Kuba yang ditemuinya. Tapi, ini situasi yang
kelam. Ada sesuatu yang disembunyikan Mas Hananto.
“Kenapa bukan kau saja yang pergi, Mas?”
“Mas Nug sudah memutuskan kau yang mendampingi
dia mewakili kantor kita.”
Mas Hananto tetap tak mau menatapku. Dia memandang
kopi hitamnya dengan seksama seolah ada seorang perem
puan miniatur yang tengah tetiduran di pinggir cangkir
seperti seekor puteri duyung.
“Suhu Jakarta semakin naik. Kami mendengar banyak
gerakan di kalangan elite partai dan petinggi militer.
Pemimpin Redaksi merasa sebaiknya aku di Jakarta.”
Aku terdiam. Baru kali ini aku mendengar Mas Hananto
46 PULANG
menguraikan sesuatu yang terdengar begitu ‘internal’.
Tapi aku merasa ada hal lain yang dia sembunyikan.
“Nah, dari Santiago, kau sempatkan bergabung dengan
Risjaf di Hav ana dan kawan-kawan untuk Konferensi
Wartawan Asia-Afrika di Peking,” kata Hananto memberikan
penjelasan lebih lanjut.
Aku masih tak mau bereaksi. Dan aku masih tak ingin
mereguk kopi yang disediakan di hadapanku.
Hananto melirik. Dia tahu aku tak akan patuh begitu
saja sebelum dia membeberkan duduk perkara yang
sesungguhnya.
“Mulut kau itu kalau sudah mutung, mencibir ke depan.
Sudah bisa digantung kuali,” katanya menggerutu.
Aku menanti dia bercerita. Tetapi Hananto tetap asyik
dengan asap rokoknya. Taik.
Aku berdiri dan meninggalkan secangkir kopi yang sia-
sia dan selembar amplop cokelat berisi tiket dan undangan
ke Santiago itu di meja warung. Baru saja aku melangkah,
Hananto memanggilku dengan suara serak terpaksa.
Aku duduk kembali, masih dengan bibir mancung ke
depan. Hananto kelihatan setengah jengkel dan sedih. Aku
betul-betul tak paham apa yang sedang berkecamuk dalam
dirinya.
“Aku harus tetap di Jakarta, Dimas....”
Aku menelan ludah. Untuk pertama kali aku melihat
air mata mengambang di pelupuk mata Hananto. “Surti
akan membawa anak-anak ke rumah orangtuanya,” suara
Hananto terdengar parau.
Aku terdiam. Aku tahu betul Kenanga dan Bulan sangat
dekat dengan Hananto.
“Ada apa?”
Hananto tidak menjawab.
“Soal Marni?”
LEILA S. CHU DO RI 47
Hananto menghela nafas. “Aku sedang berusaha meng
halangi niat Surti. Karena itu, aku tak bisa pergi ke luar
kota atau ke luar negeri dulu. Urusan keluarga harus aku
beresk an. Kalau perlu, aku tak akan ke kantor hingga
Surti mengu bah keputusannya dan bersedia bertahan.”
Aku menga mbil amplop cokelat itu tanpa banyak bicara. Aku
men ep uk bahunya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-
baik saja.
Hananto melepas arloji kesayangannya. “Selama meng
ikuti konferensi, kau harus tepat waktu,” dia menyodorkan
nya padaku.
Aku tak bisa menolak. Malam itu Hananto sulit dibantah.
Aku menerima benda itu dan langsung mengenakannya.
“Setelah aku pulang nanti, aku yakin kalian sudah ber
baik kembali,” aku mencoba menghibur. “Tak mungkin Surti
meningg alkanmu, Mas. Dia hanya sedang marah saja. Per
cayalah.”
Hananto mengangguk.
Itulah kali terakhir aku bertemu dengannya.
48 PULANG
SURTI ANANDARI
Bagi warga Paris, musim semi berarti perubahan gaya.
Mungkin dengan selendang tipis berbunga yang membalut
leher; mungkin dengan sepatu semata kaki berwarna marun
atau topi kotak-kotak; mungkin dengan blus satin putih
membelai seluruh lengan. Bagi lelaki yang tak peduli dengan
mode sepertiku—kecuali itu berarti menutup tubuh agar tak
kedinginan—Paris pada musim apa saja adalah panggung
mode terbesar di dunia. Mereka tak merancangnya. Mereka
memang terdiri dari warga perancang sekaligus model. Mereka
tidak berlagak seperti peragawati. Mereka semua memang
warga yang hidup dengan penuh gaya. Menurutku, kosakata
haute couture hanyalah tipu daya industri yang berkonspirasi
dengan para desainer untuk mendapatkan duit berlipat ganda.
Tak lebih. Jadi musim apa pun di Paris, kita tak akan bisa
membedakannya karena semua warga Parisian terlihat begitu
modis dan luar biasa teliti dalam penampilan.
Dengan segala kemewahan dan mahkota yang disandang
Paris sebagai “The City of Light” ada satu hal yang tak dimiliki
Paris: bunga anggrek dan bunga melati.
50 PULANG
Restoran Tanah air di Rue de Vaugirard adalah sebuah
pulau kecil yang terpencil di antara Paris yang penuh gaya dan
warna. Kecil dibanding Café de Flore di saint-Germain-des-
Prés yang sejak abad ke-19 menjadi tempat tokoh sastra dunia
dan para intelektual berdiskusi, makan sup, dan minum kopi.
Restoran Tanah air menyajikan makanan Indonesia yang
diolah serius dengan aroma bumbu dari Indonesia: bawang,
kunyit, cengkih, jahe, serai, dan lengkuas. Tetapi mungkin ini
semacam “Le Flore” buat kami para eksil politik Indonesia,
yang mengisi hidup dengan memasak makanan untuk para
pelanggan dan berpuisi pada malam hari, mengenang tanah
air yang kami kenal sebelum tahun 1965. di sinilah aku duduk
bersama mereka: Risjaf, sahabatku yang paling tampan, jantan,
berambut ombak, berhati lurus dan tulus; Nugroho dewantoro,
lelaki asal Yogyakarta yang berkumis Clark Gable dan selalu
gembira serta berhati baja; Tjai sin soe (yang terkadang
dikenal dengan nama Tjahjadi sukarna) yang lekat dengan
kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri,
lebih banyak berbuat, berpikir cepat daripada coa-coa.
setiap kali menjelang tengah malam, saat tamu-tamu
pulang, Tjai sibuk menghitung uang yang masuk dengan
kalkulator dan membagikan uang tips; Mas Nug mengecek
apakah seluruh makanan yang dibekukan sudah masuk ke
dalam almari pendingin; Risjaf memastikan seluruh kursi
dan meja sudah bersih dan mengganti poster acara jika sudah
berakhir; sementara Bahrum dan Yazir membersihkan piring,
gelas, mangkuk, sendok, garpu, dan pisau yang kotor.
Risjaf baru saja menyalakan televisi stasiun CNN yang
menyajikan beberapa detik pemberitaan bahwa Presiden
soeharto terpilih lagi menjadi Presiden Indonesia ketujuh kali.
Kami tidak heran dan lelah. Berita itu seperti bunyi denging
nyamuk di senja hari di solo. Tetapi sebetulnya yang menarik
adalah pemberitaan demonstrasi mahasiswa dan media di
LEILA S. CHU DO RI 51
Indonesia yang mulai berani cerewet, karena kabinet baru
yang dibentuk Presiden berisi kroni dan puterinya sendiri.
Kami saling memandang. Risjaf mematikan televisi.
Badan lelah ini lebih baik dielus oleh kenangan yang
halus ketika kami semua masih polos dan percaya pada cinta.
Kami pun semua selonjor di ruang atas dan menikmati “Als
de Orchideeén Bloeien” dari harmonika Risjaf. Bergetar dan
mengiris hati.
Jika lagu “Anggrek Moelai Timboel” itu menembus seluruh
Paris yang tengah bersemi, maka kami semua teringat setang
kai anggrek lain bernama Rukmini. Kami terdiam mengenang
sebuah peristiwa tepat 45 tahun silam, sembari perlahan meng
hirup rum yang menghangatkan badan.
Jakarta, Januari-Oktober 1952
Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Ja
kart a menjadi bercahaya. Ningsih adalah setangkai mawar
merah dengan rona yang mencolok dan menggetarkan jan
tung lelaki. Rukmini adalah anggrek ungu yang tak pudar
oleh segala musim. Sedangkan Surti Anandari, dia adalah
bunga melati putih yang meninggalkan harum pada bantal
dan seprai. Lelaki mana pun yang jatuh hati padanya tak lagi
bisa berfungsi tanpa bertemu dengannya.
Mereka adalah tiga mahasiswi yang bercahaya pada ta
hun pertama Faculteit Sastra dan Filsafat, Universiteit Indo
nesie di Jakarta. Kami yang sudah duduk di tahun ketiga
tentu saja dengan sok tahu dan sok senior menggoda-goda
mereka. Surti, Ningsih, dan Rukmini menyewa kamar kos di
Jalan Cik Di Tiro, sedangkan aku, Tjai, dan Risjaf sudah tiga
tahun berdiam di rumah kos di Jalan Solo. Di seberang tempat
kos kami adalah rumah Pak Bustami yang juga memiliki dan
menyewakan paviliun kumuh miliknya kepada Mas Nugroho
dan Mas Hananto yang sehari-hari sudah mulai bekerja di
52 PULANG
Kantor Berita Nusantara. Sesekali Tjai, Risjaf, dan aku suka
juga berkumpul di paviliun yang lumayan luas itu sekadar te
tiduran atau bermain catur di atas dipan yang penuh bang
sat. Kedua lelaki dewasa itu sering meminjamkan kepada
kami pelbagai buku: dari buku puisi penyair Eropa hingga
buku jorok berisi gambar perempuan dan lelaki yang saling
“menyer ang” dari segala sisi. Risjaf dengan mata terbelalak
memb olak-balik halaman buku jorok karena tak percaya tu
buh perempuan bisa selentur itu. Mas Nug semakin sering
mem injamkan buku-buku jorok yang lain karena menikmati
rea ks i Risjaf yang polos. Jelas di antara kami, Risjaf adalah
lelaki tercakep tapi paling tidak berpengalaman dalam soal
per empuan.
Semula aku tak begitu tertarik memburu tiga dara maha
siswi baru yang terlihat terlalu ceria dan terlalu manis itu.
Penampilan mereka rapi, priayi, dan tak mengenal kesu
sahan dunia. Aku bahkan pernah melihat Surti dijemput
ayahnya yang mengendarai mobil Fiat 1100 berwarna putih
mulus. Dari jauh aku bisa mengkonfirmasi kekhawatiranku:
Surti adalah anak keluarga dr. Sastrowidjojo yang berdiam
di Jalan Papandayan, Bogor, daerah kaum priayi elite
yang dipayungi pepohonan rimbun. Sebuah keluarga yang
turun-temurun dokter terkemuka, yang ikut berperan besar
meletakkan fondasi rumah sakit CBZ. Bahwa Surti tidak
mengikuti jejak ayahnya untuk sekolah di Fakultas Kedok
teran, pasti ada perjuangannya sendiri. Tapi mend engar
cerita Mas Nug dan Mas Hananto tentang latar belak ang
Surti, aku tak ingin repot dan sama sekali tak menunaika n
keinginanku untuk berkenalan dengan dia.
Problemnya, Risjaf tertarik betul pada Rukmini yang bi
birnya merah merekah dan sesekali melontarkan kata-kat a
dengan nada judes. Semakin Rukmini celometan mengejek
Risjaf, semakin lelaki itu penasaran. Akhirnya, demi Risjaf,
LEILA S. CHU DO RI 53
yang membawa-bawa nama Rukmini hingga ke alam mimpi
(aku sering terbangun karena igauannya yang berisik), aku
memutuskan untuk mengajak tiga dara cant ik berkencan
bersama-sama teman-temanku.
Semula ketiga dara sama sekali tak memberi balasan atau
lirikan apa pun. Mereka lebih menyibukkan diri berbincang
dengan para mahasiswa Faculteit Hukum yang gemar me
nyit ir ayat-ayat hukum (Untuk apa coba? Siapa yang mau
ind ehoy sembari mendengarkan kitab undang-undang yang
masih kebelanda-belandaan itu? Bukankah lebih menar ik
kea hlian kami menyitir bait puisi?). Tetapi aku tahu, dari
tingkah mereka yang berlagak acuh tak acuh itu, paling ti
dak Surti sering menyembunyikan senyum. Sesekali aku
menangkap matanya yang berbinar seperti bintang itu me
lirikku, dan dia segera mengalihkan perhatian saat pand ang
an kami bertumbuk. Sejak itu aku tahu, dialah bunga melati
yang ingin kupetik dan kusimpan di hatiku.
Suatu hari, kuselipkan ke dalam jari-jemarinya sebait
puisi karya Lord Byron, She Walks in Beauty, sebelum dia
melangkah ke kelas. “She walks in beauty, like the night/of
cloudless climes and starry skies....” Aku pergi melangkah
begitu saja tanpa menghiraukan panggilannya karena
khawatir dia tak menyukai puisi yang kukutip itu. Ternyata
keesokan harinya dia menyelipkan balasan, sepotong syair
Elegi karya Rivai Apin: Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak
usah kami ucapkan/Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah
kami katakan....
Bukan saja puisi itu menggetarkan tetapi sepotong kertas
itu meruapkan harum melati.
Untuk beberapa hari kemudian, komunikasi kami hanya
lah saling bertukar puisi tanpa banyak bicara. Terkad ang aku
memberikan sehelai kertas berisi potongan adegan romantis
dari drama William Shakespeare, Romeo dan Juliet, yang
54 PULANG
kemudian dibalas dengan potongan puisi dari Keats: Bright
star, would I were steadfast as thou art/Not in lone splendour
hung aloft the night.
Surti Anandari bukan hanya setangkai melati; dia adalah
bintang terang di tengah malam.
Pada suatu ketika, aku menantinya keluar dari ruang
an kuliah. Seperti biasa Surti sudah menyiapkan telap ak
tangannya untuk kuberi sepotong kertas berisi puisi atau
potongan adegan drama. Aku tersenyum. Begitu ia meng
ayunkan tangannya, aku menangkap dan mengg engg amn ya.
Surti terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia menatapku
penuh tanya. Aku mendekatkan bibirku ke telingan ya, “Aku
ingin bersamamu. Selamanya.”
***
Hubunganku dengan Surti pada bulan-bulan pertama
berjalan seperti yang dialami pemuda dan pemudi di masa
itu: santun, manis, dan bersahaja. Setiap kali nafas kami
sudah saling mendekat, setiap kali pula Risjaf dan Tjai
mendehem-dehem agar kami menjauh lagi. Surti dan kawan-
kawannya sesekali bertandang ke tempat kos kami sekadar
membawa penganan, berbincang barang beberapa detik,
lalu permisi pulang karena “tak elok jika perempuan terlihat
menghampiri sarang lelaki”.
Setiap kali Surti, Rukmini, dan Ningsih mampir, tiba-tiba
saja tetangga depanku duo ganteng Mas Nugroho dan Mas
Hananto merasa perlu bertandang untuk meminjam gelas
atau piring (yang setelah itu sama sekali tak digunakannya)
atau pura-pura membantuku membuat nasi goreng. Jelas
mereka ikut-ikutan meriung di tempat kos kami karena
kehadiran ketiga bunga cantik itu, bukan karena nasi
gorengku yang sangat disukai masyarakat mahasiswa Jalan
LEILA S. CHU DO RI 55
Solo. Dengan lihainya Mas Nug dan Mas Hananto berpura-
pura menemaniku merajang cabe, mencampurkan terasi dan
kupyuran minyak jelantah, sembari wara-wiri menggoda
tiga dara itu yang diakhiri dengan tawa sipu-sipu mereka.
Risjaf dan Tjai saling memandang geram tak berdaya. Kami
bertiga adalah mahasiswa hijau; mereka lelaki dewasa yang
sudah tahu cara memelihara kumis sedemikian rupa agar
terlihat seperti Clark Gable.
Dari berlagak meminjam gelas atau “membantu Dimas
masak” di tempat kos kami, Mas Nug dan Mas Hananto ber
hasil menjerat tiga dara itu untuk mampir ke paviliun busuk
mereka. Mas Nug, yang tentu saja punya duit berlebih diban
ding mahasiswa seperti kami, sering memamerkan piringan
hitam miliknya, dan karena itu ketiga kembang kampus
bersedia berdiam agak lama di paviliun mereka untuk men
dengarkan satu atau dua lagu Sam Saimun. Mas Nug sud ah
pasti akan ikut bersenandung dengan suaranya yang sama
sekali tidak kenal nada, hingga merusak keagungan suara
Sam Saimun. Kadang-kadang ketiga dara tertawa-tawa
mend engarkan gurauan Bing Slamet dan Adi Karso dari ra
diomilik Mas Hananto yang memasang saluran RRI.
Untuk sesaat aku mengira Mas Hananto tertarik pada
Rukmini yang berbibir merah. Aku menyadari betapa Risjaf
kelojotan namun tak berani memperlihatkan kecembur uan
nya. Belakangan, aku baru menyadari ternyata Mas Hananto
membantu Mas Nugroho untuk mencari tahu tentang Ruk
mini. Persaingan merebut hati Rukmini antara Risjaf dan
Mas Nugroho semakin meningkat dan memanas. Dan sebagai
sahabat, aku berniat mendukung Risjaf.
“Dimas, pinjamkan aku buku-buku puisimu,” Risjaf
dengan gelisah mengobrak-abrik meja kerjaku.
Lelaki kelahiran Riau yang begitu tampan, berambut
ombak, dan bertubuh tinggi besar itu sibuk mengorek-ngorek
56 PULANG
rak bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri
sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan. Dia
tak membutuhkan puisi apa pun untuk menaklukkan Rukmini.
Sepasang mata Risjaf memancarkan ketulusan yang dalam.
Aku mencengkeram bahu Risjaf dengan jengkel, “Sjaf!
Rukmini sudah sejak awal menyukaimu. Tak perlu kau ber
puisi-puisi dengannya. Ajak saja pergi, berkencan....”
Risjaf menatapku tanpa berkedip, “Kau memang pandai
bercakap, Dimas. Aku tak tahu harus mengucapkan apa setiap
kali bertemu dengan Rukmini. Jantungku berhenti berdetak.”
Ah, Risjaf.....
Aku menyuruhnya duduk dan bernafas. Dia duduk di
tepi tempat tidurku dengan patuh. Rambutnya yang tebal
berg elombang itu awut-awutan. Butir-butir keringat sebe
sar kelereng menghiasi dahi dan mengalir ke pipinya. Risjaf,
lelaki Melayu baik hati yang sama sekali tak menyadari ke
tamp anannya.
“Risjaf, kau tatap mata Rukmini dan sampaikan dengan
tenang bahwa kau ingin mengajaknya pergi.”
Risjaf menganga, “Ke mana?”
Astaga...mengapa wajahnya yang tampan itu berubah
menjadi dungu?
“Ya pergi. Berkencan. Nonton film Solo di Waktu Malam di
bioskop Metropole, atau makan di Tan Goei, minum es krim
Baltik. Atau, kalau mau yang lebih hemat, jalan-jalanlah
sana ke Zandvoort.”
Risjaf masih menganga dan mengulang-ulang kata
Zandvoort. Zand...voort.
“Cilincing!” aku setengah membentaknya.
“Ah, kau saja yang bicara pada Rukmini, Mas,” kini dia
memelas sekali.
Ya ampun.
Selama dua jam penuh penderitaan kuberi kursus kepada
LEILA S. CHU DO RI 57
lelaki tampan yang rada bodoh dalam soal perempuan ini.
Risjaf mengangguk-angguk sembari mencatat dengan giat
tempat-tempat yang bisa dikunjungi bersama Rukmini. Dia
segera mandi, mengganti kemejanya dengan hem warna
biru polos. Rambut diberi minyak dan disisir rapi. Notes yang
berisi kuliahku tadi dimasukkan ke dalam saku celana, seolah
itu bisa membantunya berbicara dengan lancar.
Malam itu, aku sedang ‘libur’. Surti tengah berakhir pekan
dengan orangtuanya di Bogor. Kuberi restu pada Risjaf agar
upayanya berhasil. Hanya setengah jam kemudian kudengar
suara ketuk pintu yang lemah. Ada apa?
Risjaf masuk dengan lunglai seperti topo dapur yang
lecek. Dia menunduk dan langsung saja ngabruk ke tepi tem
pat tidur.
“Kenapa Sjaf?”
“Aku ke tempat kos-nya di Cik Di Tiro....”
“Lalu?”
“Dia pergi.”
“Ya kan bisa ke sana besok-besok, Sjaf.”
“Dia pergi dengan lelaki lain, Mas!” Risjaf menyentakku.
Aku terdiam. Hatiku mendadak copot, lepas dari engs el
nya.
Risjaf menatapku; matanya berwarna merah. Mungkin
dia marah atau mungkin dia terluka. Suara Risjaf terdengar
perlahan, tetapi seperti ledakan bom di telingaku.
“Ibu kos mengatakan dia pergi bersama seorang lelaki
bernama Nugroho.”
Malam itu kubiarkan Risjaf menggeletak di tempat tid ur
ku, memainkan harmonikanya mengulang-ulang lagu yang
sama: “Als de Orchideeën Bloeien”. Setelah dia memainkan
kelima kalinya, aku hampir saja merebut harmonika itu
karena telingaku sudah mulai membusuk. Tetapi kulihat air
matanya mengambang, maka kuurungkan maksudku. Lewat
58 PULANG
tengah malam, sang Anggrek tak juga “timboel”. Masih dalam
hem biru yang sudah lecek itu akhirnya Risjaf tertidur sambil
mendengkur. Aku tidur di atas lantai menatap langit-langit.
Insomnia menderaku. Ada hal-hal tentang perempuan yang
tidak aku pahami.
***
Untuk pekan-pekan berikutnya, aku menemani Risjaf ke
mana-mana. Ke kampus, ke perpustakaan, ke pasar Senen, ke
Met rop ole. Ke mana saja, asal dia jangan diajak ke tepi sungai
atau tepi sumur, karena lagak lagunya memperlihatkan seo
rang lelaki yang sudah tak ada harapan hidup. Aku bahkan
harus menemaninya jika dia berjalan melalui paviliun
Nugroho, kar ena entah bagaimana kumpulan ludahnya
sudah siap dimuncratkan. Cuih! Aku mencoba toleransi
dengan kemarahan gaya Risjaf. Toh dia meludah di jalan,
bukan ke wajah Mas Nugroho. Dan Risjaf bukan tipe lelaki
yang bisa menunjukkan kemar ahannya secara terbuka. Dia
juga tahu, Rukmini belum pernah jadi miliknya. Apa haknya
untuk marah?
Tapi ini tak bisa dibiarkan selamanya. Masalahnya,
Nugroho juga tidak sensitif terhadap Risjaf yang hatinya
ten gah retak. Beberapa kali Rukmini mampir ke paviliun
seberang. Meski hanya untuk beberapa detik, kami bisa me
nyaksikan itu semua dengan nyata. Risjaf segera masuk ke
dalam kamarnya, menimbun diri dengan berbagai diktat ku
liah tanpa ingin keluar lagi.
Aku sempat mengutarakan masalah ini kepada Surti,
yang tern yata dibalas dengan nada heran, “Risjaf menyukai
Rukmini?”
“Ya. Kau tak tahu?” aku menggerus bawang merah, cabe
merah, bawang putih, dan sekerumpulan kunyit dengan ga
nas, seolah merekalah yang membuat Rukmini pergi dari
LEILA S. CHU DO RI 59
Risjaf.
Di hari Minggu siang itu aku berjanji memasak ikan
pindang serani untuk menghibur hati Risjaf yang masih
saja didera dukalara. Ini resep masakan ibuku yang biasa
menghibur aku dan Aji di kala kami sedih karena rindu Bapak
yang ser ing bepergian. Aku berharap mungkin saja Risjaf
cepat beres dan perhatiannya beralih ke perempuan lain. Tjai
sedang kena giliran menemani Risjaf untuk meminjam diktat
ke salah seor ang kawan sementara aku memasak ditemani
Rukmini.
Potongan ikan bandeng, butir-butir bawang merah, tomat
hijau, dan daun jeruk sudah kurapikan di satu sisi. Kini aku
sedang menggerus beberapa potong kunyit, cabe merah, dan
bawang putih itu dengan penuh semangat. Kulitku mengu
ning. Gerumpulan bumbu kuning kunyit dan merah cabe ber
muncratan.
Surti menghampiriku dan memegang tanganku.
“Bagaimana Rukmini bisa mengetahuinya, Mas?” dia me
nge lus-elus tanganku. “Setiap kali bertemu, Risjaf memat ung
kaku seperti kena setrum,” kata Surti tersenyum. “Aku yak in
Rukmini tak menyadari perasaan Risjaf.”
Aku berhenti menyiksa kumpulan bumbu itu dan mengu
sap dahiku.
Ah....
“Apakah Rukmini menyukai Mas Nug?”
“Kelihatannya begitu, Mas.” Surti mengambil sepotong
kunyit dan membantu menggilasnya. Tapi cara dia meng
gilas lebih lembut, tanpa suara, seakan membujuk bumbu-
bumbu itu untuk merelakan diri hancur dan bersatu padu
demi sebuah rasa yang bisa tenggelam dalam lidah. Aku
menatap tangan Surti yang tengah memegang ulekan batu
dan seolah mengelus-elus bumbu itu. Aku menelan air liur.
Tubuhku jadi tegang. Aku tak paham apa yang terjadi. Sama
60 PULANG
sekali tak mengerti mengapa aku bergairah.
“Yang jelas,” kata Surti sambil terus menggerus, yang se
makin membuat aku tegang dan tak berkutik, “Mas Nug be
rani mengutarakan isi hati. Juga Mas Hananto. Mereka le
laki yang memahami apa yang mereka inginkan.”
Memang kedua lelaki itu sudah dewasa dan sialan betul.
Mas Nug dan Mas Hananto sudah bekerja, meski aku tahu
mer eka tak pernah sampai menjadi sarjana. Mas Nug sempat
belajar Sinologi seusai menyelesaikan Algemene Middelbare
School. Tapi pendidikan tinggi itu tak diselesaikannya. Se
dangk an Mas Hananto juga hanya beberapa tahun belajar
di Faculteit Hukum. Aku juga tak yakin apakah Mas Han me
nyelesaikan hingga sarjana. Apa pun tingkat pendidikan me
reka, Mas Nug dan Mas Han lebih berpengalaman menakluk
kan perempuan. Tidak adil jika kami harus bersaing den gan
mereka berdua. Tak seyogianya mereka mengincar para
mahas iswi. Tunggu dulu....
“Mas Hananto? Mas Han juga mengejar Rukmini?”
Surti terdiam. Menatapku dengan kedua bola matanya
yang jernih. Pipinya terkena bercak bumbu kunyit dan cabe
mer ah. Lalu dia berlagak sibuk menggerus bumbu lagi.
Astaga!
“Dia mengajakmu berkencankah?”
“Aku menolaknya,” Surti mengelus tanganku, “bukankah
hatiku milikmu.”
“Surti....”
“Dimas, jangan ragu, dan jangan lagi kau bertanya ten
tang Hananto. Aku di sini bersamamu.”
Aku mendekatinya. Aroma kunyit itu mer uap dari
tubuhnya. Aku mengusap warna kuning di pipin ya.
“Aku ingin kau menjadi ayah dari anak-anakku,” katanya
dengan satu kalimat yang begitu yakin.
“Jika perempuan kita beri dia nama Kenanga,” katak u.
LEILA S. CHU DO RI 61
“Kalau lelaki?”
“Kita beri nama Alam.”
Warna kuning pada pipinya masih bersisa. Aku menc i
umn ya. Kuambil dagunya dan kubenamkan bibirku selama-
lamanya. Sukar untuk menahan ketegangan tubuh ini. Bibir
Surti begitu empuk dan manis seperti es krim Baltik. Sulit pu
la untuk berhenti menanamkan lidahku ke segala lekuk tu
buhnya. Ke lekuk dadanya. Ke putingnya yang tegang. Ke
tik a Surti mengeluarkan suara nafas tertahan, aku tak ingin
dan tak bisa berhenti. Jika Risjaf menuntut ikan pindang se
rani pelipur lara itu, aku akan mengatakan ada guncangan
gempabum i yang merontokkan dapur kami. Kuangkat Surti
ke atas meja dapur. Seluruh tubuhku sudah tertanam ke
dalam tub uhnya. Selama-lamanya. Selama-lamanya.
***
Aku sering mengucapkan kata ‘selamanya’. Aku gemar
mengu capkan ‘selalu’. Terutama jika sudah dalam keadaa n
telanjang. Mungkin perlu diingat, jangan pernah mengucap
kan apa pun saat kita bercinta, karena ekstase selalu mem
buat kita lupa menginjak bumi dan lupa cita-cita. Bagi mere
ka yang sudah terlalu mengenalku, sesungguhnya aku ada
lah antit esa dari segala yang pasti dan konstan. Apa yang
pernah dituduhkan Mas Hananto kelak—bahwa aku tak
pernah bers edia menentukan pilihan (politik atau bahkan
jodoh)—mungk in ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal
yang enggan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali aku ber
hent i, aku sudah gatal untuk pergi lagi.
Setelah percintaan yang menyebabkan dapur hancur
berantakan itu, aku tahu tuntutan Surti. Suatu hari aku harus
berani membuhulkan cintaku pada sesuatu yang lebih pasti.
Tetapi, benarkah aku harus berhenti sekarang? Bukankah
62 PULANG
masih begitu banyak pelayaran ke berbagai pelabuhan? Laut
masih begitu luas, buku-buku seakan tak kunjung selesai
kubaca. Apakah kita sudah harus mengambil jeda dalam per
jalanan yang masih panjang ini. Saat menulis, aku tak suka
titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku
untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. Jangan.
Aku rasa Surti mulai menyadari kegelisahanku. Paling
tidak dia tahu, ketika masa kuliahku sudah akan berakhir,
aku sibuk menimbun diri dengan buku-buku sastra dan diktat
kuliah. Mas Hananto beberapa kali meminjamkan kepadaku
buku-buku milik perpustakaan. Pernah suatu kali, dia me
minjamkan buku-buku karya Leo Tolstoy milik isteri salah
satu kawannya yang menurut dia sangat tergila-gila pada
nya. Mas Hananto mengatakan dia tetap berkawan baik
den gan pasangan Belanda itu. Tetapi “anak gadisnya yang
baru kuliah di Amsterdam sungguh cantik,” katanya dengan
mata berbinar. Aku tidak memusingkan petualangan asmara
Mas Hananto yang liar, yang menyantap sekaligus ibu dan
anak itu. Aku terus mengubur diriku dalam tumpukan buku-
buku milik Mas Hananto dan diktat kuliah. Seharusnya aku
tak heran jika mendadak saja Surti mampir di tempat kos.
“Dimas....”
Wajah Surti begitu serius. Kedua matanya yang berbin
tang itu tampak bersinar. “Ayah dan ibuku akan mengadakan
makan malam dengan beberapa paman dan tante. Ada juga
kenalan keluarga kami, dokter Bram Janssen yang sedang
berkunjung. Aku ingin kau berkenalan dengan mereka.”
Ha?
Kenapa?
Kenapa?
Perlukah? Sekarang? Ayah dan ibunya? Di Jalan Papan
dayan, Bogor? Dr. Bram Janssen? Lalu ada Paman dan
Tante? Kerongkonganku gatal sekali. Aku tak paham. Aku
LEILA S. CHU DO RI 63
masih ingin mendalami begitu banyak buku; begitu banyak
pemikira n; mengarungi berbagai lautan dan benua. Apakah
aku harus bertemu dengan orangtuanya sekarang? Kita
berlabuh sekarang?
Aku menatap Surti. Hatiku sibuk mengucapkan berbag ai
kalimat protes, tetapi bibirku terkatup. Surti, Surti, bagai
mana aku bisa menghadapi keluargamu yang terdiri dari
dokter-dokter itu? Nyempil di antara mereka memegang ge
las anggur di ruang tamu sembari membicarakan Indone
sia yang tak kunjung berangkat maju? Lalu apa yang ha
rus kubicarakan dengan Ayah, Ibu, juga Paman, dan Tante?
Itu semua hanya berkecamuk dalam hatiku. Tetapi, Surti
yang sudah mulai mengenalku bisa membaca pikiranku. Air
matanya mengembang. Dia meninggalkan tempat kosku.
***
Setelah pembicaraan undangan makan malam tak
berbalas itu, aku sulit bertemu Surti. Aku sibuk dengan ujian
akhir dan Surti selalu menghindar di kampus. Aku juga tak
terlalu berupaya untuk memaksanya bertemu denganku. Aku
memutuskan, setelah urusan kuliah beres dan wisuda, aku
akan mengunjungi Surti. Saat itu, aku ingin berkonsentrasi.
Hingga akhirnya suatu hari aku ke paviliun seberang
untuk meminjam kamus Mas Hananto. Pintu paviliun terb u
ka seperti biasa. Aku nyelonong dan memanggil nama Mas
Hananto dan Mas Nug. Tak terdengar suara apa pun. Pin
tu kamar Mas Hananto tertutup. Tumben. Aku mengetuk.
Tak ada jawaban. Aku membukanya. Entah kenapa hatiku
berdebar dengan ribut. Mas Hananto tengah melingkarkan
kedua tangannya ke bahu seorang perempuan yang sedang
duduk di meja kerjanya. Aku tak bisa melihat wajah perem
puan itu, karena tertutup tubuh Mas Hananto. Tapi aku se
64 PULANG
gera mencium aroma melati. Aku segera menutup pintu itu
ged ub rakan. Hatiku berdegup cepat. Nafasku memburu. Aku
melangkah dengan cepat meninggalkan paviliun dengan
dipan penuh bangsat itu.
Aku bersumpah pada diriku, aku tak akan lagi menginjak
paviliun berisi dua lelaki pengkhianat itu.
Di dalam kamar, aku menatap langit-langit, sementara
Risjaf berulang-ulang memainkan “Als de Orchideeën Bloe ien”
pada harmonikanya. Sesaat dia berhenti dan menoleh.
“Mas....”
“Ya....”
“Kita bakar paviliun Pak Bustami?”
Aku menoleh dan sedikit terhibur dengan tawaran berbau
brotherhood itu.
“Tak usah.”
Ketika Risjaf mau memainkan harmonikanya lagi, aku
meneruskan, “Kita bunuh saja kedua lelaki jahanam itu.”
Risjaf dan aku tertawa. Kami terhibur dengan fantasi
hitam itu. Tak mudah untuk menghapus nama Surti dalam
hidupku. Bukan hanya karena aku gemar memasak dan
dapur kami menjadi tempat yang terlalu menyiksaku. Untuk
beberapa pekan pertama, aku melihat Surti di dekat kompor,
di atas piring, di dalam kuali. Yang paling sering kulih at dia
duduk di atas pisau setiap kali aku mengiris bumbu-bumbu:
bawang merah, bawang putih, dan kunyit itu.
Tentu saja sebagai seorang lelaki biasa yang patah hati,
aku mencoba mengatasinya dengan cara klise: meniduri ber
bagai perempuan. Setiap kali segalanya selesai, aku merasa
mual dan bodoh. Kebetulan pula, situasi di Jakarta semakin
kisruh sehingga kami jarang melihat Mas Nug maupun Mas
Hananto. Meski mereka statusnya masih membantu Kantor
Berita Nusantara, ternyata Mas Hananto dan Mas Nug dib u
tuhkan membantu liputan setelah peristiwa 17 Oktober 1952,
LEILA S. CHU DO RI 65
saat moncong meriam diarahkan ke Istana. Seandainya aku
tak sedang puasa bicara dengan mereka, pastilah aku sudah
memaksa untuk ikut ngintil dan mendengarkan semua ke
ramaian politik itu. Menjadi wartawan, bagiku adalah jalan
yang tak bisa ditolak. Wartawan adalah profesi yang mem
perlakukan kekuatan kata sama seperti koki menggunak an
kekuatan bumbu masakan.
Maka untuk beberapa bulan, kami jarang bertemu dan
bertegur sapa karena jadwal yang sama-sama padat. Pada
saat-saat itu, baik Risjaf dan aku sama-sama menyib ukkan
diri. Risjaf dengan buku-bukunya. Aku dengan per emp uan,
buku, mengatur bumbu di dapur sembari mencoba mengingat
konsep cinta perempuan dan lelaki dalam Mahab harata.
Drupadi.
Seluruh kakak beradik Pandawa adalah suaminya. Tet a
pi adalah Bima yang selalu ingin melindunginya dari Kica
ka maupun Dursasana. Yang tragis bagi Bima, Drupadi
jauh lebih mencintai Arjuna. Aku betul-betul tak tahu dan
tak pern ah mencari tahu apakah Surti jauh lebih mencintai
Mas Hananto daripada aku. Tetapi aku tahu, dia membuat
pilihan.
Aku lebih tak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah
bertemu dengan Vivienne yang jelita dan menikahin ya,
hatiku masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barang
kali aku sudah telanjur memberikan hatiku padanya. Untuk
selama-lamanya.
***
Dan 45 tahun kemudian, tiupan harmonika Risjaf masih
saja sayup-sayup menembus Paris di musim semi: “Als de
Orchideeën Bloeien”....
66 PULANG
TERRE D’ASILE
“jangan pulang koma tunggu sampai tenang
titik ibu dan aku baik-baik koma hanya diminta
keterangan titik”
aji suryo
Hanya diminta keterangan. Itulah bunyi telegram
yang dikirim adikku pekan kedua setelah prahara September
1965.
Bulan September 1965, Mas Nugroho dan aku adalah
dua dari banyak wartawan yang diundang menghadiri
konfer ensi International Organization of Journalists di
Santiago, Cile. Meski Jakarta sudah memanas, penuh asap
desas-desus tentang Dewan Jenderal dan pertikaian tingkat
tinggi di kalangan elite militer, kami berangkat tanpa rasa
was-was. Paling tidak, aku sama sekali tidak merasa itulah
hari terakhirku di tanah air. Kami berdua berangkat seperti
halnya kami menjalankan tugas biasa dan berpamit dengan
68 PULANG
kedataran dan kewajaran yang nyaris tanpa upacara.
Aku merasakan sedikit keganjilan pada tingkah laku Mas
Hananto. Beberapa pekan sebelum keberangkatan, aku ber
kelahi dengannya. Aku meninju wajahnya karena aku benci
melihat cara dia menyia-nyiakan Surti. Mas Hananto menu
duh aku masih mencintai Surti, sesuatu yang tak pernah aku
konfirmasi bahkan pada diri sendiri. Tetapi yang jelas, aku
bera ngkat ke Santiago demi Surti.
Mas Hananto yang seharusnya berangkat, memilih me
net ap di Jakarta untuk membereskan masalah perkaw ina n
nya yang tengah terguncang. Ini persoalan kelakuan Mas
Han anto yang gemar bergonta-ganti ranjang dengan pel
bagai perempuan. Semula aku sangat enggan karena sud ah
berbulan-bulan kami mengikuti arah perubahan politik di
beberapa neg ara Amerika Latin. Aku tahu betul, Mas Hananto
dan Mas Nug berkorespondensi dengan orang- o rang di seke
liling Andrés Pascal Allende, kepon ak an Salvador Allende,
yang mend irikan Movimiento de Izquierda Revolucionaria.
Aku tak pernah merasa diriku ada di spektrum kiri betul
seperti mereka. Aku adalah sel yang bebas. Untuk apa aku
ke sana.
Begitu Mas Hananto mengatakan Surti mengancam
akan meninggalkan rumah dan membawa ketiga anak
mereka, aku tak memb antah lagi. Tiba-tiba kemarahan dan
kepedihan Surti yang tak terucapkan menguasaiku. Segala
penderitaannya dalam diam menjadi suara yang keras dalam
tubuhku. Aku tahu, persoalannya bukan hanya petualangan
ranjang Mas Hananto, melainkan karena Surti merasa
dikhian ati dan dit olak oleh suaminya sendiri. Kepadaku Mas
Hananto secar a kurang ajar mengatakan, “Surti adalah iste
ri, pend amp ing hidup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu
kaum proletar yang bergelora.”
LEILA S. CHU DO RI 69
Aku juga sadar betul, tak mungkin Mas Hananto menya
takan kalimat bangsat itu pada perempuan semulia Surti.
Tetapi aku mengenal Surti hingga seluruh nafas dan pori-
porinya. Betapa pekanya dia pada setiap kata dan laku lelaki
yang dicintainya. Surti pasti tahu. Ada sesuatu di dalam diri
Surti, mungkin keagungan dan keindahannya yang di mata
Mas Hananto terasa begitu ‘tinggi’, yang tak pernah bisa
dia gapai. Sesuatu yang begitu sublim, yang di mata Mas
Hananto dianggap sebagai unsur ‘borjuasi’, yang membuat
Mas Hananto gerah dan menolak, lantas memutuskan run
tang-runtung dengan perempuan-perempuan lain di Triveli.
Aku tak ingin melihat mereka berpisah karena kesia-
siaan. Akhirnya aku mematuhi keinginan Mas Hananto agar
dia bisa membereskan perkawinannya segera. Tak pernah
kuduga, aku terbang untuk tak kembali lagi.
***
Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar
dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa
30 September. Kami terpana. Sama sekali tidak menduga
ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali aku meminta Mas Nug
mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez. Jenderal-
jenderal diculik? Dibunuh?
Untuk beberapa malam yang tegang, kami tidak makan,
tidak tidur, dan didera kegelisahan tak berkesudahan. Sem
bari mengisi perut dengan berbotol-botol anggur yang terus-
menerus dikirim tuan rumah yang menyampaikan soli
daritas, kami tak berhenti mencoba menghubungi keluarg a
dan kawan-kawan. Kantor Berita Nusantara tentu saja sa
lah satu yang digeledah dan diobrak-abrik karena dianggap
sangat kiri. Barangkali mereka menyangka kami menyimpan
dok umen penting atau entah apa. Namanya juga tentara,
70 PULANG
see kor semut pun bisa dianggap sebagai harimau garang.
Mas Nug mengatakan seluruh isi kantor kami hanya buku-
buku, tumpukan kertas, dan mesin ketik belaka. Kami juga
diberitahu seb ag ian besar redaksi dimintai keterangan se
dangk an Pemimp in Redaksi digelandang entah ke mana.
Setelah 12 hari yang menegangkan, barulah aku mene
rima telegram: Ibu dan Aji menghiburku dengan mengatakan
mereka “hanya diminta keterangan”. Pada tahun 1965,
“hanyadiminta keterangan” memiliki elemen teka-teki: bisa
saja hanya diinterogasi, bisa juga disetrum. Sejarah—meski
tak tertulis—membuktikan, untuk tiga tahun ber ikutnya
setelah 1965, Indonesia memiliki beberapa tahap kek ejian:
perburuan, penunjukan nama, penggeledahan, pen angk ap
an, penyiksaan, penembakan, dan pembantaian. Karena itu,
kalimat “hanya diminta keterangan” tampaknya harus diang
gap sebuah berkah. Sudah pasti Ibu dan Aji diinter ogasi habis-
habisan. Sudah pasti rumah kami di Solo digeledah. Buku-
buku Bapak almarhum, buku-bukuku yang tak bisa kubawa
ke Jakarta karena tak akan muat di tempat kos-ku di Jalan
Solo diobrak-abrik. Mungkin saja foto Bapak dipecahkan.
Entahlah. Aji tak ingin bercerita dengan rinci saat ini. Kabar
yang mengerikan adalah Mas Hananto menghilang dan dia
masuk daftar orang-orang yang paling diburu. Seharusnya
aku tak heran ketika mendengar tentara mengangkut Surti
dan anak-anak ke Guntur. Kata Aji, Surti masih boleh pulang
untuk kemudian kemb ali lagi keesokan harinya. Itu semua di
lakukan sembari membawa anak-anaknya. Kelak, tiga tahun
kemudian, horor bagi keluarga Hananto belum juga selesai
karena tentara tak kunjung menemuk an Mas Han. Surti dan
ketiga anaknya dibawa ke Budi Kemuliaan dan berdiam di
sana berbulan-bulan karena pihak tentara merasa dia pasti
tahu lokasi suaminya.
LEILA S. CHU DO RI 71
Aji adalah adik yang berbudi. Berbeda denganku, dia
anak sekolahan yang patuh pada sistem dan tak ingin me
nyulitkan keluarga. Tetapi begitu putih hatinya, dia selalu
berupaya memb uat segala yang sulit menjadi sederhana agar
ibu kami tak bersusah hati. Dia sangat pandai menenangkan.
Aku bers yuk ur Ibu didampingi oleh Aji dan Retno, isteri Aji
yang ind ah di hati. Aji tahu betul, aku berada di sini bukan
karena melarikan diri dari bencana, tetapi karena ini sebuah
garis hidup yang aneh dan tak terduga (aku sengaja belum
ingin mengg unakan kata ‘nasib’). Dia tahu, aku tak ped uli
dengan marab ahaya dan ingin segera kembali ke Jakar
ta atau Solo, meski itu berarti aku bakal kena ciduk. Kare
na itulah Aji mengetuk kawat sebisa mungkin, hampir dua
pekan setelah peristiwa 30 September meledak. Betapa bera
ninya dia. Betapa nekatnya dia mengirim telegram di saat
situasi di tanah air sangat panas dan penuh curiga. Aku ta
hu betul bagaimana terbelahnya kota Solo saat itu: mereka
yang mendukung “Dewan Revolusi” yang di belakangnya
ada Walikota Solo, dan mereka yang mendukung “Dewan
Jenderal”. Paling tidak itu yang dilaporkan Aji padaku saat
aku masih di Jakarta. Perang urat saraf itu, menurut reporter
Kantor Berita Nusantara di Solo, tecermin dari perang poster
di mana-mana.
Sementara itu, aku tahu Mas Nug kehilangan kontak de
ngan Rukmini dan putera mereka, Bimo, yang baru berusia
setahun. Mas Nug cukup yakin Rukmini pasti aman me
ngungsi ke rumah orangtua atau kakaknya.
Hanya beberapa saat setelah itu, Mas Nug dan aku memu
tuskan untuk bertemu dengan Risjaf di Havana, Kuba, sesuai
rencana semula. Kami terbang dengan perasaan masygul.
Di Havana, di mana hidup terasa seperti festival dansa yang
meriah, kami malah murung dan tenggelam dalam berg elas-
72 PULANG
gelas rum.
Padahal rombongan kami disambut baik oleh tuan rumah
Havana yang tengah mempersiapkan konferensi Orga
nisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika untuk tahun 1966.
Risjaf membantu kaw an-kawan pengurus organisasi itu. Di
Havana, kami mendengar tewasnya beberapa petinggi PKI.
Namun nama Mas Hananto masih juga tak terdengar. Dia
masih berhasil menyelinap.
Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami mend e
ngar berbagai berita buruk silih berganti. Anggota partai
komunis, keluarga partai komunis atau mereka yang diang
gap simpatisan komunis diburu habis-habisan. Bukan hanya
ditangkap, tapi terjadi eksekusi secara besar-besaran di sean
tero Indonesia, buk an hanya di Pulau Jawa. Berita-berita
ini muncul seperti sketsa-sketsa yang digambarkan oleh
munc ratan darah. Secara serentak kami disergap insomnia
berkepanjangan. Bahkan Risjaf yang gampang tidur itu kini
melotot sepanjang malam.
Aku masih mencoba mencari cara untuk menghubungi
Mas Hananto dan Surti tanpa membahayakan mereka. Teta
pi kawan-kawan di Havana mengatakan segala macam hu
bungan dan koneksi ke Indonesia bisa membuat keluarga
kam i semak in diburu tentara. Lalu jatuhlah bom berikutnya:
paspor Indon esia kami dicabut.
Kami menjadi sekelompok manusia stateless. Sekelompok
orang tanpa identitas. Kejadian ini begitu mengejutkan
hingga aku tak mempunyai waktu barang sedetik pun untuk
berpikir, betapa jauhnya hidupku dari tanah air, dari Ibu, dan
dari Aji; dari Jakart a, dari Solo, dan dari segala kehidupan
yang baik dan buruk. Kami merasa sedang menanti pedang
Democles jat uh meneb as leher. Setiap hari, hidup kami diisi
dengan deb ar jant ung karena kami tak yakin dengan nasib
LEILA S. CHU DO RI 73
yang terb ent ang di depan. Untuk pulang tak mungkin. Untuk
melanglang buana masih sulit. Kami semua memutuskan
pergi ke Peking karena banyak sekali kawan-kawan yang
berkumpul di sana. Mereka akan bisa membantu persoalan
surat-surat perjalanan dan menembus imigrasi.
***
Kawan-kawan di Peking sungguh akomodatif dan menun
jukk an camaraderie yang luar biasa. Tak henti-hentinya ka
mi disediakan pelbagai makanan, minuman, dan rangkaian
acar a kunjungan ke berbagai tempat yang membuat kami
lelah. Pada pekan-pekan pertama, mereka menempatkan
kami di Friends hip Hotel. Belakangan, kami dipindahkan ke
seb ua h rumah tamu mungil untuk waktu yang cukup lama.
Dalam waktu sebulan, Mas Nug yang sempat belajar sinologi
di Jakarta diminta bekerja sebagai penerjemah majalah Peking
Review. Risjaf dan aku yang sama sekali tidak bisa bahasa
Cina membantu pekerjaan klerek di kantor yang sama. Kami
tak peduli pekerjaan macam apa yang harus kami lakukan,
yang penting harus bisa mencari nafkah. Sejak kami datang
hingga tahun 1966, orang-orang Indonesia di Peking selalu
saja saling membandingkan kabar yang mereka dengar.
Pada titik ini, aku sudah tahu cerita yang lebih lengkap
tentang nasib Ibu, Aji, dan keluarganya. Mereka beberapa
kali didatangi, diintim idasi, digeledah, dan diinterogasi,
tetapi tak pernah ditahan. Syukurlah Pakde No, kakak Ibu,
adalah seorang kiai yang cukup dihormati di Solo sehingga
Ibu tetap dilindungi. Berkat Pakde No pula, orang-orang
sekampung bahkan bersimpati pada Ibu karena dia dianggap
sebagai “ibu yang tak tahu apa yang dilak ukan anaknya yang
keparat”.
Biarlah.
74 PULANG
Apa pun sebutan mereka yang penting Ibu selamat.
Di akhir tahun 1966, kami sudah dianggap cukup
dengan pembekalan konsep Revolusi Kebudayaan hingga
tenggorokan kami parau meneriakkan Mao Zhuxi Wan Sui
yang artinya ‘Hidup Ketua Mao’. Setelah mereka merasa
kami siap, kami diminta untuk ikut bergabung ke Desa
Merah, sebuah komunal di pinggiran kota Peking. Beberapa
kelompok masyarakat Indonesia yang bermukim di Peking
juga sedang melakukan Dong Bei Fang, yang kira-kira
berarti ‘menghadap ke Timur Laut’. Kelompok Indonesia ini
terdiri orang-orang yang di Indonesia biasa dikenal sebagai
wartawan, sastrawan, dosen, dan sejumlah kader partai.
Selain mempelajari kerja kolekt if, kami juga jadi paham
sistem komunal yang sedang mereka selenggarakan; sistem
pertanian yang sangat ters truktur di mana mereka harus
menyetor sebagian jatah prod uksi kep ada negara. Melihat
cara hidup seperti ini, aku semak in yak in, teori Marx yang
semula penuh pesona hanya menar ik sec ara teori belaka. Aku
ingin sekali berdebat perihal ini dengan Mas Hananto, tetapi
dia kini tengah diburu-buru karena suatu ideologi yang
sangat diyakininya.
Namun aku tertarik dengan cara mereka memberi nama
sebuah desa. Karena ini zaman Revolusi Kebudayaan, desa
itu disebut Desa Merah. Di dalam Desa Merah itulah kami
mendengar segala yang terdengar merah dari tanah air
kami. Jika di pinggiran Peking merah berarti ‘bahagia’
atau ‘revolusioner’, maka merah untuk warga Indonesia
berarti warn a sungai dan darah yang mengalir sia-sia.
Bisa saja mereka sekadar diinter og asi, diintimidasi, disiksa
agar ‘menunjuk’ nama-nama. Tapi kami juga mendengar
banyak korban yang langsung diciduk dan ditebas di jalan,
di hutan, di tepi sungai, atau di pinggir jurang. Sebelum
LEILA S. CHU DO RI 75
30 September, mereka mengatakan, simpatisan PKI yang
membunuh anak-anak muda non-komunis yang dilempar
ke sungai. Kini setelah September dan seterusnya, Sungai
Brantas di Jawa Timur dan Bengawan Solo di Jawa Tengah
langsung berubah warna menjadi merah darah karena
banyak mayat yang diceburkan ke sana. Menurut informa
si yang bersliweran antar-penduduk Indonesia di Desa Me
rah— sekali lagi ini informasi yang disampaikan semb ari
berb isik-bisik karena tak jelas kebenarannya—begitu banyak
mayat yang mengambang. Meski berita itu simpang-siur dan
disampaikan dengan penuh tanda tanya, tiba-tiba saja aku
ikut mencium aroma busuk di tepi sungai itu merebak ber
minggu-minggu lamanya.
Kalau sudah begini, aku menjadi kalap dan tak peduli lagi
dengan segala marabahaya. Kuketuk kawat dengan histeris
dan meminta Aji mengajak Ibu pindah ke Jakarta. Entah
mengapa aku merasa Ibu akan lebih aman di Jakarta.
Pada pekan keempat di Desa Merah, kawan-kawan di Pe
king menyampaikan pada Risjaf berita itu. Mereka menga
bark an bahwa sebagian besar kawan-kawan di Kantor Berita
Nusantara sudah ditahan. Tetapi, ajaib. Kami tak mendengar
apa- a pa tentang Mas Hananto. Dia menghilang. Raib tanpa
bekas.
“Jangan-jangan dia menyamar,” kata Risjaf dengan
suara dibuat berat dan misterius.
“Menyamar jadi apa, jadi gembel?” aku terkekeh-kekeh.
“Mas Hananto itu lihai. Dia bisa menyusup ke mana-
mana tanp a diketahui jejaknya,” kata Mas Nug dengan yakin
dan optim istik.
“Aku yakin dia menyamar,” kata Risjaf menekankan.
Aku tak punya tenaga untuk mengejek kekonyolan imajinasi
Risjaf. Dalam situasi murung dan gelap di Desa Merah, satu-
76 PULANG
satunya yang kami miliki adalah harapan dan selapis tipis
energi untuk saling menguatkan.
Mas Nug mendengar kabar dari ibunya bahwa beberapa
pek an silam Rukmini dan Bimo bersembunyi di Yogya. Mas
Nug sudah menyarankan agar mereka pindah ke Jakarta
dan men ump ang dengan adik lelaki Mas Nug.
Tjai sudah mendapat kabar baik bahwa keluarganya
selam at menyeberang ke Singapura. Sebetulnya Tjai adalah
lelaki paling apolitis dari kami semua. Namun dia keturunan
Tiongh oa yang bekerja di Kantor Berita Nusantara, meski
bukan bagian dari redaksi. Pada saat seperti ini, situasi amat
rawan. Tjai merasa lebih aman untuk berlindung sementara
di rumah pamannya di Singapura.
Kabar yang kami peroleh selalu saja terlambat sekitar
dua sampai tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan.
Misalnya pada awal bulan April 1966, kami mendengar be
rita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan Maret lalu,
tiga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor
dan mem intanya menandatangani Surat Perintah Sebelas
Maret. Aku masih tak paham apa yang terjadi di tanah air.
Bagaimana bisa rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno
itu terinterupsi hingga seorang pimpinan besar revolusi
har us diselamatkan ke Istana Bogor? Dan bagaimana bisa
tiga o rang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang
begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa
ini betul-betul menentukan segalanya. Aku menjadi gerah
dengan sirkus politik ini.
Setelah tiga tahun kehidupan di Peking yang menuntut
kami senantiasa mengepalkan tinju dan memuja Ketua Mao:
Hidup Ketua Mao! Hidup Ketua Mao! Sembari mempelajari
produksi pertanian di beberapa pedesaan, aku merasa sesak
dengan absolutisme Revolusi Kebud ayaa n yang dijejalkan
LEILA S. CHU DO RI 77
pada rakyat. Aku tahu, Mas Nug dengan segala keceriaannya
dan Risjaf dengan kepatuhannya sesungguhn ya merasakan
kegelisahan yang sama.
Setelah bermalam-malam aku terus-menerus dihajar
insomnia, aku sudah membulatkan tekad. Di penginapan Desa
Merah, aku menyalakan korek api dan membangunkan Risjaf
yang dud uk di tempat tidur tingkat atas. Pipinya kutepuk-
tepuk agar dia tidak kelojotan.
“Sjaf...Sjaf...bangun Sjaf….”
Risjaf menggosok-gosok matanya, “Sudah jam berapa,
Mas?”
“Masih malam. Aku ingin ke Paris, Sjaf....”
“Ke mana?” suaranya parau seperti burung gagak dan
matan ya setengah terpejam.
“Paris, aku mau ke Prancis. Tjai mengatakan dia berniat
ke Paris atau Amsterdam...kita bisa bertemu Tjai di sana.”
Risjaf masih belum sadar apakah dia sedang mimpi atau
sud ah bangun. Mungkin dia menyangka aku hanyalah seba
tang tiang yang sedang berbicara dalam mimpinya. Dia se
ger a merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya sam
bil menjawab “oke”. Terdengar dengkuran yang halus.
Aku diam dan menghitung 1 sampai 10 untuk menanti
saat Risjaf mencapai tingkat kesadaran normal. Betul juga.
Pada hitungan kelima, dia meloncat duduk. Rambutnya yang
ikal serabutan ke mana-mana. Matanya merah melotot.
“Ke Paris? Ke Eropa?” dia nyaris menjerit, masih dengan
suara serak.
Aku membekap mulut Risjaf dengan tanganku, khawatir
pada anggota komunal lain terbangun. Mata Risjaf berkilat,
set engah girang setengah ketakutan.
“Bagaimana caranya?” dia bertanya berbisik-bisik.
“Entah. Nanti kita atur. Besok kita bicarakan dengan
78 PULANG
Mas Nug. Tjai sudah siap ke sana. Tapi dari Singapura kan
memang mudah, tak ada masalah. Dari sini, kita harus
melalui berbagai prosedur.”
Setelah mengucapkan keinginan sinting itu, Risjaf dan
aku sama-sama tidak bisa tidur. Aku melotot menatap langit-
langit. Risjaf jadi gedebag-gedebug ke kiri dan ke kanan.
“Sjaf, tenanglah kau.”
“Bagaimana mau tenang!” Risjaf menggerutu, “Kau sebut
Paris, langsung saja segala yang bagus dan bercahaya dari
kota itu tergambar di otakku....”
Aku tersenyum.
***
Aku mendarat di Paris pada awal tahun, ketika dingin
menusuk tulang. Semula, kami terpencar-pencar. Aku memi
lih Prancis, Mas Nug memilih Swiss, dan Risjaf memilih
Beland a. Di Paris, aku segera bertemu dengan Tjai dan The
res a ister in ya yang sudah berdiam di sana sejak hari Natal.
Tak lama kemudian, Risjaf dengan segera bergabung
dan berdiam di apartemen kecil dan kumuh bersamaku.
Mas Nug yang mengak u kecantol seorang perempuan Swiss
menunda-nunda ked at angannya hingga bulan April. Setelah
aku membentak-bentaknya melalui telepon, mengingat Ruk
mini dan Bimo pasti sedang dikejar rasa takut oleh situasi
gila di tanah air, akhirnya Mas Nug setuju segera bergabung
dengan kami. Meski menetap di Belanda adalah sebuah
alternatif yang menarik juga—dengan segala hubungan
historis dan kemudahan mend apatkan segala sesuatu yang
berbau Indonesia—kami sem ua sepakat memilih untuk
berkumpul dan menetap di Terre d’Asile, tanah suaka Pays
des droit de l’Homme seperti Prancis. Meski Prancis memang
LEILA S. CHU DO RI 79
dikenal sebagai negara yang memel uk para pengelana
politik seperti kami dengan hangat, tentu tak begitu saja
kami mendapatkan kewarganeg ar aan. Proses birokrasi
untuk menjadi warga negara tetap saja melalui prosedur
dan persyaratan yang cukup lama dan rumit. Tetapi untuk
sementara, kami memegang apa yang diseb ut Titre de
Voyage atau Surat Perjalanan. Kami bisa ke mana saja di
dunia, kecuali Indonesia. Untuk hidup di Paris, sementara
waktu, kami mendapat bantuan sekadarnya dari lemb aga
sosial pemerintah agar bisa bertahan. Namun tentu saja itu
tak cukup untuk menunjang kehidupan yang paling min im
sekalipun.
Mulailah kami mencari kerja serabutan. Mas Nug yang
mend apat keahlian akupunktur dari Peking mulai mend ap at
pelanggan. Aku baru paham mengapa dia betah betul di Swiss:
karena rata-rata pelanggan yang menggem ari akupunktur
di Eropa adalah perempuan. Tjai yang seorang sarjana
ekonomi lebih mudah mendapat pekerjaan di beb er apa toko
kecil di pinggir kota Paris sebagai akuntan. Sedangk an Risjaf
dan aku adalah dua pengelana yang paling sial. Kami belajar
sastra karena merasa diri sebagai bagian dari kumpulan
intelektual. Sedangkan Prancis adalah negeri tempat lahirnya
para sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya
menjadi pedoman dan panutan kami. Tak heran jika Risjaf
dan aku setiap tiga atau empat bulan berubah profesi. Dari
pekerjaan buruh di berbagai restoran, klerek di bank, hingga
asisten kurator di galeri-galeri kecil yang hanya dikunjungi
tiga atau empat orang yang sok merasa diri seniman.
Sampai di suatu malam bulan Mei 1968 yang riuh oleh
tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Prancis; aku ber
temu dengan Vivienne Deveraux di kampus Universitas
Sorbonn e. Beg itu saja ia masuk ke dalam keseharianku, ke
80 PULANG
dalam tub uhk u, dan akh irnya perlahan-lahan merayap me
mas uk i rongga sejar ah hidupku. Bersama Vivienne, aku men
cob a lahir kemb ali seb agai manusia baru, tetapi aku mas ih
mer asa ada sesuatu yang tertinggal di tanah air. Mungkin
ada hatiku yang tert ingg al pada Ibu, pada Aji, mungkin ju
ga pada Surti dan anak-anakn ya. Aku tak tahu. Tapi kege
lisahan mengganggu set iap kali aku membaca surat-surat Aji
yang berisi kisah horor pemb antaian demi pemb antaian di
mana-mana: bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi di Indonesia.
Surat Aji berikutnya yang membuatku terhenyak adalah saat
perburuan masuk ke Solo dan korban- korban dicemplungkan
ke Bengawan Solo.
Merah. Sungai yang membesarkan aku menjadi merah
darah.
Itulah yang dikatakan Aji. Dan itulah yang dikatakan
Pakde No kepada Aji.
Itu pula yang akhirnya membuat Ibu mematuhi saran
Pakde No untuk pindah ke Jakarta bersama keluarga Aji.
Tak ada yang bisa mencerna situasi ini. Tapi kami
tahu, kami harus hidup (sementara) di pengasingan entah
untuk ber apa lama. Di malam-malam yang dingin, aku
menatap Sungai Seine dan membayangkan seperti apakah
warna merah dar ah pada sungai. Aku mulai menyesali
kecenderunganku untuk tidak men etapkan pendirian. Aku
gemar berlayar ke mana-mana tak keruan, ke sebelah
kanan, ke sebelah kiri, terpesona pada berbagai pemikiran
tanpa ingin terjun sepen uhnya menjadi salah satu penganut
isme. Ini semua akhirnya mengakibatkan seluruh keluargaku
terjungkal ke jurang kesulitan yang tanpa dasar.
Tiba-tiba saja aku membutuhkan sepetak ruang kecil itu.
Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah ke
hati hamba-Nya. Aku tak tahu apakah aku seorang hamba
LEILA S. CHU DO RI 81
atau buk an. Tapi aku membutuhkan petak itu. Gelembung
kekos onga n itu. Aku ingin bertemu atau berbicara dengan
Bang Amir. Di manakah dia?
Aku menulis dan menulis. Aku tak tahu apakah surat itu
akan tiba dengan selamat ke tangan Bang Amir yang baik
hati. Aku bertanya tentang arti gelembung kekosongan
dalam ruang hati manusia, yang pernah dia sebutkan. Aku
merindukan sesuatu dan aku tak tahu Sesuatu itu. Apakah itu
Zat? Aku menulis dan menulis pada Bang Amir seolah dia ada
di hadap ank u dengan wajahnya yang teduh dan suaranya
yang berat seperti Rahmat Kartolo.
Aku tak tahu di mana aku bisa menempatkan diri mengha
dapi Zat. Di dunia fana yang kocar-kacir ini, yang warna
sungai biru oleh alam kemudian dicat menjadi merah, kini di
manakah alamatku pada peta kehidupan dunia?
Tak ada yang menjawab.
***
Di bulan Februari tahun berikutnya, Aji meneleponku,
menyamp aikan kabar buruk tentang berpulangnya Ibu
dalam tidurnya.
Itukah jawaban dari segala pertanyaanku?
Mengambil Ibu dari sisiku? Dari sisi Aji?
Melintas serangkaian gambar masa kecil kami yang
sederhana di Solo bersama Bapak dan Ibu. Bapak seorang
guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Solo, yang begitu tek un dan
percaya bahwa anak Indonesia harus mampu menga pres iasi
sastra Indonesia dan Barat sepenuhnya. Bapaklah yang me
nanamkan pentingnya buku sebagai bagian dari kebutuhan
hidup seperti halnya makan, minum, dan tidur (saat itu
beliau belum mengatakan bahwa seks adalah bagian dari
82 PULANG
kebut uha n hidup yang wajar). Pada titik ini, Bapak agak
sedikit berg esekan dengan Ibu, yang meski tak terlalu religius
dan taat sep erti Pakde Kiasno, tentu meletakkan Tuhan dan
agama seb ag ai salah satu kebutuhan yang perlu ditekankan.
Adalah Pakde No yang lantas mendidik aku, dan belakangan
Dik Aji yang berjarak sepuluh tahun dariku, untuk belajar
mengaji. Bapak tidak mempersoalkan kegiatan ini, seperti
halnya dia tidak memp ersoalkan bagaimana Pakde No
rajin mengingatkan kami untuk salat. Bapak hanya lebih
mempersoalkan agar Ibu jan gan lupa menyimpan peralatan
batiknya setiap kali usai memb atik, karena Dik Aji saat itu
sering mengotak-atiknya hingga bertumpahan ke mana-
mana.
Ibu, biasa dipanggil Bu Giri (kependekan dari nama
Bapak: Giri Suryo), meski ada juga yang memanggil Bu
Pratiwi, memang gemar menyerahkan dirinya pada selembar
kain kosong yang kemudian menjadi begitu cantik setelah
disentuhnya berm alam-malam. Setelah memasak di dapur
dengan pen uh cint a—kebiasaannya yang kemudian menurun
padaku—mengu rus kedua anak lelaki yang bandel-bandel dan
suaminya yang lelah mengajar anak remaja Solo yang saat
itu menurut Bapak sudah terlalu cepat dewasa, Ibu akan duduk
sekadar sejam atau dua dengan canting dan malam. Sejak
kecil aku men yaksikan semua upacara itu sebagai penciptaan
puisi. Mungk in, perjumpaanku dengan kepenyairan bukan
bermula dari Chairil Anwar, melainkan dari tekanan Bapak
untuk berbahasa Indonesia yang baik dan memperhatikan
setiap kata sebag ai tubuh yang memiliki jiwa, serta kecintaan
Ibu pada cant ing dan malam.
Ketika aku lulus SMA, Bapak merelakan aku ikut Pakde
Mur ke Jakarta agar pendidikanku bisa lebih terpelihara
dan tera rah. Setelah aku kos dengan Risjaf, aku mulai ja
LEILA S. CHU DO RI 83
rang menyentuh Solo kecuali pada hari Lebaran. Bapak
tidak mengeluh dengan absennya anak durhakanya itu. Dia
tetap saja, dengan keuangan yang terbatas, mengirim satu
dua buku sastra agar aku memelihara bahasa Indonesia;
sementara Ibu seperti biasa mengingatkan pesan Pakde No
untuk tetap salat agar “dirimu diisi oleh rasa syukur nikmat
Tuhan.” Seiring sur at berisi nasihat itu, Ibu juga mengirimkan
sehelai batik baru berm otif burung, karena beliau tahu aku
lebih menyukai motif batik cerbon.
Setelah Bapak berpulang, isi surat-surat Ibu mewakili
pes an Bapak (membaca dan berbahasa Indonesia), pesan
PakNo (salat dan doa), dan pesannya sendiri: makan yang
baik, mem as aklah sendiri.
Hingga di Peking maupun di Paris, pesan mereka yang
kujalani adalah membaca (tentu saja sudah menjadi oksigen
ku), memasak, dan makan. Aku tidak berdoa, apalagi salat.
Ketika Ibu pergi, dalam diam dan dalam pedih, apa yang
dia ingat tentang aku, puteranya yang begitu jauh dan begitu
seenaknya?
Aku tak bersuara selama berpekan-pekan. Tenggorokan
sep erti terhalang batu. Risjaf, Mas Nug, dan Tjai mengup a
yak an berbagai cara menemaniku, dari yang paling pro
fan—misalnya Theresa membuatkan berbagai masakan Cina
kesukaanku—hingga yang paling spiritual: dengan meng
adak an tahlil dan doa. Tidak ada yang mempan. Tidak ada
yang berh asil menenteramkan. Tidak ada juga yang berhasil
memb uatku berbicara. Sehelai kain batik berwarna cokelat
dengan burung-burung kehijauan itu juga tak membuatku
lebih tenang. Ibuku tetap sudah berpulang dan aku tak bisa
menc ium dahinya untuk mengucapkan perpisahan. Suaraku
tetap tak keluar.
Setelah membisu beberapa pekan, di suatu pagi, aku ter
84 PULANG
bangun dan mendadak merasa begitu kuat sekaligus pan ik,
seperti orang yang baru menenggak obat perangsang. Aku
bertanya ke sana kemari, ke Mas Nug, ke Risjaf, ke Tjai dan
isterinya, ke Vivienne dan keluarganya, ke tetangga kami, ke
lemb aga pemerintah Prancis yang membantu suaka kami:
apak ah mungkin dengan status suaka yang kuperoleh serta
Titre de Voyage ini aku dibantu masuk ke Indonesia?
Masuk ke Indonesia? Belum bisa. Ini Titre de Voyage.
Kalian tak bisa masuk Indonesia. Lagi pula, jika kau masuk
sekar ang, sudah pasti kau tak bisa keluar lagi dari neraka
itu.
Aku tak peduli. Aku harus mengucapkan perpisahan de
ngan Ibu.
Aku menepis Mas Nug dan Vivienne yang mencoba mene
nangk an. Aku harus pulang. Aku harus pulang! Aku mencoba
menc ari tiket. Tiket apa saja. Pesawat, kapal laut. Apa saja.
Yang penting aku pulang. Risjaf memeluk bahuku dan mene
nangk an aku. Aku mendorongnya dengan gusar. Mereka se
mua akhirnya terdiam.
Malam itu, Mas Nug menyampaikan selembar telegram.
“jangan pulang koma situasi belum cukup aman
titik doakan ibu tenang koma kami tahlil terus
titik”
Aku meremas lembaran telegram itu dan membuangnya
ke tempat sampah. Aku berjalan keluar dari apartemen busuk
kami, menembus udara musim dingin yang menusuk tulang.
Terdengar suara Risjaf dan Mas Nug mengejar-ngejarku.
Tapi aku justru berlari meninggalkan mereka. Angin dingin
sepert i pisau yang mengiris wajahku sama sekali tak terasa.
Aku berlar i dan berlari. Begitu berhenti, aku sudah berada
di tepi Sungai Seine yang terlihat berwarna merah. Wajahku
panas oleh air mata.
LEILA S. CHU DO RI 85
***
Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil
menjadikan Paris seperti rumah persinggahan. Bukan ru
mah. Tetapi rumah persinggahan. Lama-kelamaan matanya
yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan ba
gik u, seperti sebatang pohon tanjung rindang yang melin
dungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bay ang-
bayang.
Meski kedua sepupunya, Marie-Claude dan Mathilde begi
tu banyak tanya tentang latar belakangku—orang Prancis
namp aknya tertarik dengan sejarah—aku merasa keluarga
Dever aux sangat akomodatif pada kekasih “Indonésien” Vivi
enne yang masih berbahasa Prancis dengan terpatah-patah.
Kami menikah setahun kemudian di kebun anggur salah
seorang paman Vivienne—ayah Marie-Claude—di Beaujolais,
Lyon. Itulah tempat tinggal keluarga besar Deveraux. Kare
na kelihatannya semua anggota keluarga mereka adalah ka
langan akad emis yang sangat piawai di dapur, aku sama se
kali tak beran i memamerkan kemampuanku memasak. Ayah
Vivienne, Laurence, dan ibunya, Marianne, mengajarkan
kepadaku bag aim an a memilih anggur (dan ini proses yang
sungguh men yen angk an) dan bagaimana mencampurkannya
pada daging. Dia juga menjelaskan mengapa mereka
menggunakan angg ur putih untuk pendamping makan ikan.
Marianne, yang tamp aknya tahu betapa terpukulnya aku
atas kematian Ibu, penuh perhatian pada setiap kata Prancis
yang kuutarakan. Kes alahan tatabahasak u sam a sekali tak
diperbaikinya karena dia ingin menumbuhkan rasa percaya
diriku untuk berbincang dalam bahasa cantik itu. Tak henti-
hentinya dia menaw ariku berbagai penganan dan angg ur
86 PULANG
sembari selalu mem astikan aku tidak sungkan. Jean-Paul
kakak Vivienneyang sebetulnya bekerja dengan Palang Merah
di beber apa neg ara Afrika, menyempatkan diri untuk pulang
ke Lyon demi pernikahan kami. Dengan keluarga yang begitu
erat mem elukk u, apa lagi yang harus kukeluhkan?
***
LINTANG UTARA
Itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami
berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah
perwujudan ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal
adalah rambut keluarga Suryo. Tak henti-hentinya kutatap
makhluk hidup yang bulat, cantik, dan berambut hitam ikal
itu. Aku tak menyangka, akhirnya aku betul-betul berlabuh
(entah unt uk berapa lama) dan menancapkan jangkar dalam
hidupku. Jika aku harus memiliki alasan untuk berhenti
berlayar, maka makhluk mungil bernama Lintang Utara
inilah jawabannya. Tak henti-hentinya aku memandanginya,
mengganti popoknya, men yanyikan lagu agar dia tertidur,
meski akhirnya aku sendiri yang mendengkur dan Lintang
malah merangkak ke sana kemari.
Vivienne sama sekali tidak memaksakan bunyi Prancis
saat memberi nama pada puteri kami. Dia setuju begitu saja,
seperti halnya Surti mengikuti saja ketika aku mengusulkan
nama Kenanga, Bulan, dan Alam untuk anak-anak yang
pernah kami cita-citakan. Selama kami menikah, aku sudah
berganti-ganti pek erjaan beberapa kali, sementara Vivienne
mengajar dua mata kuliah di Fakultas Sastra Inggris
di Universitas Sorbonne. Melihat wajah Vivienne yang
semakin judes karena kontribusi finans ialku yang tak tetap
dan lebih sibuk mengisi newsletter Tahan an Politik yang
LEILA S. CHU DO RI 87
semakin berkembang itu, akhirnya aku bersedia bekerja di
Kementerian Pertanian.
Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah
jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Ke
menterian Pertanian itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan
ses ek ali mendistribusikannya dalam newsletter untuk teman-
teman ses ama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar
dar i rekan-rekan yang bekerja di media di Jakarta tentang
perk emb angan terb aru, misalnya pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden
Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa intelektual seperti
sosiolog Arief Budiman mengkritik proy ek ini. Perkembangan
politik yang semakin mengerikan adalah bagaimana partai
politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagaimana anggota
parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka belaka. Itu
kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada kaw an-ka
wan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gratis itu
tern yata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk
sudah cuk up banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk se
perti koran, dengan bantuan desain Risjaf.
Lama-kelamaan aku semakin tak betah dengan pekerjaan
di Kementerian Pertanian. Aku ingin menulis buku. Aku ingin
men erbitkan koran. Maka suatu malam di musim gugur, aku
pulang ke apartemen kami membawa sebotol anggur dan be
ber apa potong daging untuk simpanan. Sudah jam 9 malam,
artinya Lintang sudah tidur.
“Sedang merayakan apakah gerangan?” tanya Vivienne
seraya mengambil botol dan menjenguk daging yang kubeli,
“Ini daging mahal. Ada apa Dimas?”
Mata hijau Vivienne nampak menusuk.
“Vivienne, marilah duduk.”
Vivienne duduk di sampingku dengan wajah penuh
88 PULANG
curiga. Aku memegang tangannya. Kucium ujung jarinya.
Dia selalu bergairah setiap kali jari-jarinya aku kulum. Aku
ingin dia memahamiku.
“Vivienne, kau tahu aku mencintaimu dan Lintang
bukan?”
Vivienne mengangguk. Mengernyitkan kening.
“Dimas,” dia terlihat agak senewen, “ini bukan soal pe
rempuan lain kan?”
“Ha? Gila...perempuan mana?”
Vivienne tertawa lega, “Kau selalu lupa kau sangat rupa
wan,Dimas. Semakin beruban, perempuan-perempuan muda
itu semakin blingsatan. Sudah, lupakan. Kenapa Dimas?” Aku
sungguh tak tahu perempuan mana yang blingsatan padaku.
Rugi betul.
“Vivienne, aku tersiksa. Aku sangat tidak bahagia
dengan...”
“Kau baru saja mengundurkan diri dari Kementerian
Pertan ian?”
“Oui.”
Vivienne menatapku. Seperti dulu, seperti sebatang pohon
tanjung yang ingin memberi keteduhan. Asal bukan soal pe
remp uan, tampaknya Vivienne adalah isteri yang paling
pengertian di seluruh jagat raya. Berbeda dengan beberapa
peremp uan Prancis yang kukenal, yang membebaskan suami
nya berk elana dari satu ranjang ke ranjang lain, Vivienne
mempunyai aturan main yang jelas dalam soal perkawinan
kami. Dia akan mentol erir semua hal, semua, kecuali satu:
perempuan. Dan aku set uju.
“Aku tahu....”
Aku meraih Vivienne dan memeluknya seerat-eratnya.
Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dike
lilingi keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku
LEILA S. CHU DO RI 89
tetap mer asa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di
tanah air?
Malam itu, kami menuang anggur dan mencoba me
ranc ang masa depan yang kami inginkan setelah aku me
ngundurkan diri dari pekerjaan tetapku. Tiba-tiba saja Mas
Nug muncul di depan pintu. Wajahnya kusut seperti tum
pukan cucian, selur uh tubuhnya berkeringat. Tangannya
memegang sehelai amp lop cokelat. Dia memandangku
dengan mata berair.
“Masuk, masuk Nugroho,” Vivienne tergopoh-gopoh me
nar ik Mas Nug. Aku berdebar-debar. Apalagi?
Mas Nug masih saja memegang amplop cokelat itu
dengan jari-jari bergetar.
Vivienne perlahan mengambil surat itu dari tangan
Mas Nug dan memberikannya padaku. Aku membuka dan
memb acanya. Sebuah surat cerai. Rukmini, sang anggrek,
Orchideeén Bloeien, itu meminta cerai dari Mas Nugroho yang
berkumis seperti Clark Gable ini?
Aku mendekati Mas Nug dan mendekapnya erat-erat.
Aku tahu betapa dia mencintai Rukmini, meski seperti Mas
Hanant o, dia suka juga berganti-ganti ranjang.
“Seharusnya aku tahu mengapa dia selalu menolak untuk
menyusulku ke sini,” kata Mas Nug dengan suara pelan
sambil menerima segelas anggur dari Vivienne.
“Kenapa?” tanya Vivienne.
“Dia berkencan dengan seorang tentara yang senantiasa
melind unginya selama perburuan sepanjang 1966 dan 1967.
Sem ula aku mengira Letkol Prakosa sekadar teman ayahnya
yang baik budi ingin menolong keluarga Rukmini.”
Aku menelan ludah dan membayangkan wajah Letkol
Prakosa dan Rukmini.
“Jadi...maksudmu, Rukmini minta cerai untuk menikah
90 PULANG
den gan Letkol Prakosa?”
Mas Nug menenggak anggur itu hingga ke dasar gelas.
Dia meminta gelasnya yang kosong diisi, Vivienne mengisinya
kemb ali dengan patuh.
Di antara air mata dan bau nafas anggur dia berceloteh,
“Kat akan pada Risjaf, dia beruntung tidak jadi kawin dengan
si bunga anggrek. Ternyata di dalam anggrek itu terdapat
ulat.” Mas Nug terkekeh-kekeh. Marah dan luka.
Setelah botol Carbonet itu kosong, barulah Mas Nug
menga mbil surat permohonan cerai itu.
“Bolpen!!”
Dia membentakku. Belum pernah aku melihat Mas Nug se
fasis ini. Geruwalan aku mencari-cari bolpen yang mendadak
saja susah ditemui. Vivienne buru-buru mengambil pena dari
dalam tas.
Mas Nug menandatangani semua lembaran surat
cerai itu. Mudah-mudahan dia tidak salah tempat, karena
kelihatannya dia menandatangani lembaran itu dengan
marah dan setengah teaterikal.
Setelah beberapa halaman itu ditandatangani, Mas Nug
melipatnya dan memberikannya padaku.
“Tolong kau pos-kan, Mas. Aku khawatir, kalau kupegang
berlama-lama bisa masuk ke perapian!” katanya sambil
mengen akan jaketnya kembali.
Aku mengangguk-angguk dan mengatakan “beres”
sembari mengedip pada Vivienne. Sudah pasti aku harus
mengantar Mas Nug yang sudah oleng. Vivienne mengambil
jaketku dan menga ntar kami ke pintu.
“Bonsoir Vivienne, kau beruntung mendapatkan Dimas
yang setia. Bonsoir Dimas, kau beruntung mengawini
Vivienne yang jelita. Bonsoir. Au revoir Rukmini. Bangsat kau
Prakosa!”
LEILA S. CHU DO RI 91
Aku mendekap bahu Mas Nug dan mengajaknya berjalan
menuju Metro. Sesekali Mas Nug masih berteriak ke langit
saat kami melangkah menginjak dedaunan yang merah dan
luruh. Musim gugur di Paris menambah rasa murung.