The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

by Leila S. Chudori

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Brawijaya E-Books, 2022-09-18 23:12:27

Pulang

by Leila S. Chudori

92 PULANG

EMPAT PILAR TANAH AIR

“A cook a pure artist
Who moves everyman
At a deeper level than

Mozart....”
(W.H. Auden)

Paris, 90 Rue de Vaugirard, April 1998

Paris di musim semi, hari menjadi lebih panjang dan
malam dimulai ketika kita sudah siap menghantam kasur.
Sayup-sayup aku mendengar siulan tak beraturan yang tak
pernah bisa tepat pada notasi nada. Itu pertanda sahabatku
Nugroho Dewantoro sudah tiba pada radius terdekat. Aku bisa
mendengar upayanya bernyanyi sekeren Louis Armstrong atau
siapa pun penyanyi keroncong yang dia kagumi. Mungkin dia
menyiulkan “It’s a Wonderful World” atau mungkin “Stambul
Baju Biru”. Tak jelas betul. Hanya Mas Nug yang masih bisa
riang gembira menembus segala cuaca. Musim panas yang
luar biasa gerah dan berhasil mengelupas kulit; musim gugur

94 PULANG

yang menyebarkan segala serbuk yang membuat kami bersin-
bersin; musim dingin yang menggerogot tulang Melayu kami
yang manja; atau musim semi yang kami anggap seperti remaja
pancaroba: kadang dingin berangin, kadang hangat.

Satu-satunya momen Mas Nug tak bisa mengontrol kese­
dih­a­ nn­ ya adalah ketika dia menerima surat cerai dari Rukm­ i­­
ni. Selebihnya, dia adalah seorang yang sangat optimistik dan
mencoba mencari hikmah dalam bencana apa pun yang menim­­
panya.

Sejak di Jakarta, ketika jumlah kami masih berlima,
Mas Nug memang lelaki yang tak mengenal cemas. Geng
Jalan Solo di Jakarta terdiri dari lima lelaki yang merasa diri
paling ganteng (contoh soal: lihat kumis Clark Gable milik
Mas Nug), namun toh kami lebih sering bernasib sial. Mas
Hananto, Mas Nug, Tjai, Risjaf, dan aku pernah mengalami
periode berjibaku berebut pacar. Periode itu diakhiri dengan
kemenangan para senior: Mas Hananto berhasil menggandeng
Surti; Mas Nug membuhulkan hubungannya dengan Rukmini;
Tjai menikah dengan Theresa Li; sedangkan Risjaf dan aku
sama-sama belakangan mendapat jodoh di Paris. Apa pun
situasi persahabatan kami berlima yang sering diterjang
keributan dari soal ideologi hingga perempuan, kami pasti bisa
mengatasinya. Dan salah satu penyebabnya, karena sikap Mas
Nug yang op­timistik.

Di antara kami berlima hanya Mas Nug yang gemar
bernyanyi dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember
dan tak beraturan. Tak peduli dengan keburukan suaranya, dia
selalu yang tergopoh-gopoh menyumbang suara jika ada acara
kum­p­ ul-kumpul di Kantor Berita Nusantara. Mas Hananto dan
Risjaf mampu memainkan alat musik. Mas Han bisa mem­­ etik­­
gitar, Risjaf mahir meniup harmonika dan suling, se­dang­
kan suaraku yang berat tidak buruk amat. Tjai dan Mas Nug
sam­­ a-sama tak paham nada dan notasi. Bedanya, Tjai tahu
kelemahannya, Mas Nug tak tahu diri. Setiap melihat mikrofon,

LEILA S. CHU DO RI 95

dia kelojotan seperti memandang perempuan bahenol.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, kemampuan memijit

dan akupunktur yang dipelajari selama terdampar di Peking,
dit­­ am­bah kumis bak Clark Gable, Mas Nug merasa cukup mo­
dal­­untuk selalu optimistik. Dia satu-satunya yang percaya ka­
mi bisa mengatasi segala kesulitan di dunia. Inilah jiwa yang
kam­­ i butuhkan di tengah kerasnya hidup sebagai orang-orang
tak bertanah air.

Kini suara sember yang dinyanyikan dengan ceria itu me­
liuk-­­ liuk masuk ke dapur yang terletak di lantai bawah Res­
toran Tanah Air, rumah kami, tempat kami mencari nafkah,
sekaligus kebanggaan kami selama 15 tahun terakhir.

Mas Nug masuk dengan beberapa kantong belanjaan
pesananku. Pasti dia baru saja berbelanja di Belle­vile karena
kemarin aku menggerutu kekurangan bahan untuk mem­
buat bumbu-bumbu dasar, seperti kunyit, jahe, cabe mer­ ah,
bawang merah, bawang putih, salam, dan daun jeruk. Di Paris
tentu saja beberapa bahan harus dibeli dalam bentuk kering.
Tetapi cabe merah, bawang merah, dan bawang putih segar
bisa diperoleh meski dengan harga yang cukup mahal. Seha­­
rusnya Bahrum bisa mencoba mencari itu, tetapi dia sedang
bebersih lantai restoran kami yang terbuat dari kayu.

Sembari bersiul-siul Mas Nug mengeluarkan belanjaan
dan meletakkannya begitu saja di atas meja tempat meracik.
Aku tak tahu apakah karena siulan Mas Nug yang tak keruan
itu atau karena belanjaannya yang berantakan di atas meja
racikan, isi perutku seperti diputar, dibelit, dan ditarik ke sana
kemari. Sebetulnya sudah beberapa pekan terakhir aku merasa
tak beres dengan perutku. Tetapi aku tak mengacuhkannya.

“Kenapa kau?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Nug. Tjai dan Mas
Nug sudah lama mempersoalkan kesehatanku seperti sepasang
suami-isteri yang sedang memarahi anak remajanya yang ogah
belajar dan memutuskan mengurung diri di kamar. Mas Nug

96 PULANG

yang belajar akupunktur selama kami terdampar di Peking
mer­­ asa bisa mengatasi penyakit apa pun dengan tas kecil ber­­
isi jarum yang selalu dibawanya ke mana-mana. Berkali-kali
dia menawarkan untuk mengobatiku dengan jarumnya. Ber­­
panj­ang-panjang dia menjelaskan konsep energi dan jarum
akup­ unktur, dan menit pertama dia membuka mulut, aku
langsung tertidur. Siapa yang peduli dengan soal energi, chi,
dan new age? Cuma Mas Nug.

Aku benci pada jarum. Apalagi jarum Mas Nug yang tak
jelas asal-usulnya. Meski rumah sakit pun identik dengan ja­
rum dan segala peralatan yang gigantik, terkadang aku masih
pasrah menyerahkan diriku. Seperti yang terjadi sepekan silam.
Pagi itu, mendadak saja aku tersungkur di stasiun Metro. Aku
tak merasa apa-apa, gelap seketika untuk beberapa detik. Tiba-
tiba saja aku sudah berada di sebuah kafe dekat kios koran
langganan. Di sana ada Pierre, penjaga kios yang tak pernah
mand­­ i; Andre, penjaga tempat kopi yang tampan, bermata bi­
ru, yang menurutku lebih cocok menjadi model Calvin Klein
darip­ ada menyajikan kopi. Dalam bahasa Prancis yang begitu
Le Pa­r­ isiens—aksen dengan menggunakan hidung, sengau,
dan me­re­p­ et—mereka memaksaku minum dan berulang-ulang
ber­t­ anya apakah aku baik-baik saja. Mereka sudah siap mene­
le­p­ on ambulans ketika aku menggeleng-gelengkan kepala dan
me­minta mereka menelepon Risjaf.

Yang terjadi adalah mimpi buruk: dua orang paling cere­
wet dan paling maha tahu itu yang datang, Tjai dan Mas Nug.­­
Tjai yang dengan suara berat dan kalkulatif memper­soalk­­ an
frekuensiku menikmati alkohol, dan Mas Nug kem­b­ ali pada
kegemarannya kuliah energi. Aku ingin sek­ al­i menghilang dari
hadapan mereka. Tentu saja tuntutan mere­k­ a agar aku meme­
riksakan tubuh ke rumah sakit tak bisa k­ utolak. Aku me­mang
masih gemetar dan terlalu lemah untuk menendang Mas Nug
dan Tjai. Jadilah aku seperti seorang kakek tua yang dip­­ apah
dua orang yang berlagak lebih muda. Saat dibimbing men­­ uju

LEILA S. CHU DO RI 97

taksi, aku merasa lantai ikut bergerak bersamaku. Ketika itulah
aku tahu aku terpaksa patuh. Ada sesuatu yang tak beres dalam
perutku. Dokter l’urgence memerintahkan aku menjalani se­
rangkaian tes dan memberi aku obat. Tapi hingg­ a kini, hasil tes
itu belum kujemput.

Rasa mual dan gedar-gedor di dalam perutku semakin
meng­g­ anggu. Mas Nug menghampiriku. Dia memegang dahi­
ku.

“Mas, istirahat saja di kantor, nanti aku yang masak.”
Sebetulnya aku lebih suka nasi kuning buatanku yang
leng­kap dengan tempe kering, ayam goreng kuning, urap, dan
sam­bal bajak. Aku tahu nasi kuningku, selain rendang padang,
gulai pakis, dan gulai anam, adalah masakan populer di Res­
toran Tanah Air yang mencapai angka pesanan tertinggi. Buat­
an Mas Nug sering terlampau eksperimental. Dia terlalu sibuk
memberi nama-nama puitis sehingga melupakan rasa.
“Dimas,” suara Mas Nug mencoba tidak menyinggungku.
Dia tahu, dapur Tanah Air adalah teritoriku yang hanya boleh
di­injak orang lain yang mematuhi serangkaian peraturan
(jangan mengubah susunan bumbu; jangan menyentuh satu
set pisau milikku; jangan pernah mencampur pisah bawang
de­ngan daging; meja untuk mengolah harus rapi bersih tanpa
setitik pun tetesan air atau kopi, dan seterusnya). Dapur Tanah
Air adalah takhtaku yang tak boleh diotak-atik. Bagian lain
adal­­ah milik kawan-kawanku yang memang gemar pamer gigi
di atas panggung.
Kini Mas Nug menawarkan untuk menggantikan posisiku
sebagai koki. Aku teringat makan malam rombongan sahabat­­­
ku Mahmud Radjab, penulis Malaysia yang berniat meray­ a­
kan penerbitan bukunya di sini. Dia sudah lama menul­is surat
bahwa dia dan beberapa koleganya diundang Universitas
Sorbonne, dan mereka akan datang malam ini untuk memenu­
hi undangan itu sekaligus merayakan bukunya. Radjab secara
khu­s­ us menyebutkan makanan apa yang mereka inginkan.

98 PULANG

Menu seperti itu mudah diperoleh di Kuala Lumpur, namun
“bumbu yang nak racik, luar biasa”. Radjab memesan meja
untuk delapan belas orang. Aku sudah meracik bumbu
sejak pagi. Siang ini kami tinggal mengolahnya dengan nasi,
menggoreng ayam, dan mencampur sayur-sayuran dengan
bumbu ke­la­pa untuk urap.

Tapi ah...aku sungguh mual, begitu mualnya hingga aku
me­rasa ingin memuntahkan seluruh isi perutku.

“Ya, ya, aku rebahan dulu. Jangan letakkan yang aneh-
aneh­di nasi kuningnya.”

“Yooo....”
Mas Nug mengantarku naik ke lantai dasar. Tjai yang se­
dang mengecek meja-meja yang sudah direservasi menurun­
kan kacamatanya dengan pandangan mata curiga, “Kenapa,
Dimas?”
“Ndak apa-apa. Iseng-iseng,” jawabku seenaknya.
Aku tahu Mas Nug dan Tjai saling melempar pandang
se­p­ er­ti sepasang orangtua yang mencoba mencari akal agar
anakn­ ya patuh.
“Besok, aku tak mau dengar alasan apa-apa. Kita harus
ambil hasil tes itu ke rumah sakit,” kata Mas Nug dengan nada
otoriter. “Kalau tidak, aku akan membuat masakan aneh-aneh,
dengan eksperimen yang paling jorok dan gila.”
Kurang ajar Mas Nug. Dia tahu, aku memperlakukan bum­
bu-bumbu dan bahan masakanku seperti seorang pelukis
mem­p­ erlakukan warna warni catnya ke kanvas. Aku memper­­
lakukan racikan masakanku seperti seorang penyair mem­per­
lakukan kata-kata ke dalam tubuh puisinya.
Entah kekuatan dari mana, aku melempar sarung yang
menyelimuti tubuhku dan kupegang kerah Mas Nug, “Jangan
kau acak-acak bumbuku; jangan pindah-pindah susunannya.
Jangan berani-berani kau campur kunyit dengan bumbu aneh
yang tak cocok cita rasanya ke dalam nasi kuning. Jangan kau
main-mainkan resep makanan restoran ini!”

LEILA S. CHU DO RI 99

Aku mendengus-dengus dengan kepala pusing berputar-
putar dan mata berair. Mas Nug terkejut, entah karena kela­
kuanku atau karena secara khusus aku menyebut ‘kunyit’ dan
bukan ‘jahe’, misalnya; atau mungkin karena aku terlihat sa­
kit betul. Setelah itu kepalaku berputar lagi dan perutku te­ra­
sa diperas seperti cucian baju. Aku terduduk dan saat itul­ah
segala isi perutku keluar. Mas Nug segera saja berseru me­
mangg­­ il-manggil Tjai, Bahrum, dan Risjaf. Aku tak tahu apa
yang terjadi selain menenggak obat yang kuperoleh dari dokter
dan langsung tergeletak.

Mungkin obat itu mengandung zat yang menenangkan
saraf, karena aku mulai merasa lebih enteng dan bisa rebahan
di atas sofa tanpa merasakan gejolak dalam perutku. Ah, sofa
putih ini dulu dibawa Vivienne yang begitu bersemangat ikut
membangun Restoran Tanah Air bersama semua keluarga eksil
politik yang bergabung dalam koperasi kami. Lapisan sofa ini
sudah berulang kali diganti tetapi Vivienne tetap memilih
warna putih. Sejak kami bercerai aku menutup sofa itu dengan
sehelai kain batik cerbon kiriman Dik Aji. Dia tahu, meski
kami lahir di Solo, aku adalah penggemar batik cerbon yang
penuh warna. Aku terpejam dengan segera. Ini pasti obat yang
terlalu kuat, karena aku tertidur dengan bermacam-macam
mimpi dengan berbagai orang dan berbagai kurun waktu. Atau
mungkin aku tidak tidur tapi hanya terkenang kembali ke 15
tahun silam, ketika jarum jam Paris menentukan nasib: kami
harus memperkenalkan diri bukan hanya melalui politik atau
sastra, tetapi lebih efektif lagi, melalui seni kuliner. Betapa
ganjilnya, tetapi betapa asyiknya memasuki sebuah dunia yang
asing.

***
Paris, Agustus 1982
Dalam keadaan yang terik, gerah, dan penuh justifikasi
untuk telanjang, sebetulnya tak elok memutuskan diskusi
tent­ ang rancangan masa depan kami. Mas Nug, Risjaf,

100 PU LANG

dan Tjai sudah hampir saling berteriak karena mereka
berdebat kerja sama apa yang sebaiknya dilakukan untuk
membangun sesuatu yang lebih ajeg bagi para eksil politik
dan keluarganya.

Paris di musim panas bukan waktu yang tepat untuk
berdiskusi. Lebih enak untuk tidur di pantai atau berlindung
di pojok Shakespeare & Co, menghindar dari segala
kerumitan finansial. Tetapi wajah Tjai sangat serius. Kami
semua tak berbahagia dengan pekerjaan masing-masing. Su­
dah beberapa bulan terakhir kawan-kawan mencoba mem­
buhulkan sebuah ide: bekerja sama dalam sebuah bisnis yang
bisa menguntungkan bersama. Bisnis ini harus sesuatu yang
menyenangkan. Semula aku mengusulkan untuk mem­buat
jurnal sastra Indonesia seperti The Paris Review yang beri­­
si cerita pendek, puisi, novela, dan kritik sastra Indonesia
maup­ un sastra asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Belum lagi kalimatku selesai, Tjai dengan datar
men­ gatakan, “Yang nanti dibagi-bagikan gratis karena yang
bisa berbahasa Indonesia dan tertarik sastra Indonesia di
Paris ada 30 orang.”

Tajam betul mulutnya. Tapi dia benar.
Penerbitan jurnal atau majalah sastra seperti itu sudah
banyak makamnya. Tetapi bayangkan jika kita mempunyai
jurnal serius seperti itu, alangkah bahagianya. Alangkah nik­
matnya.
“Aku ingin suatu kerja sama yang menyenangkan,” kata­
ku menggerutu, “dan kita semua kan penulis.”
Tjai tidak menjawab. Mulutnya yang kecimut itu cem­
berut. Artinya dia sedang mengatakan, “pakailah benda di
bal­ik jidatmu itu”. Tjai adalah lem yang merekatkan kami
se­mua. Dia satu-satunya yang tak punya keanehan atau
ke­k­ en­­ esan. Dia datang dari keluarga Tionghoa Surabaya
yang percaya pada kerja keras. Terdamparnya Tjai ke luar
Indonesia, seperti juga banyak keluarga Tionghoa lainnya,

LEILA S. CHU DO RI 101

sebetulnya bukan karena soal ideologi belaka, karena Tjai
sama sekali tidak suka berpolitik. Namun dia tahu keluar­
ganya termasuk yang bakal kenal ciduk pertama kali setelah
30 September 1965 pecah, karena Henry, abang Tjai, cukup
aktif berhubungan dengan Peking. Bahwa Tjai dan Theresa
terbang ke Singapura untuk kemudian bertemu dengan kami
di Paris juga adalah sebuah perhitungan yang pragmatis.
Di antara kami semua, mungkin hanya Tjai yang kehidupan
pri­badinya kering dari drama. Serba lurus, serba baik, serba
di jalan yang benar. Tapi justru karena Tjai sungguh lurus
dan tak mengandung lonjakan, kami sangat percaya pada
anal­isa dia yang tidak bias dan cenderung dingin.

Termasuk penilaiannya pada serangkaian mimpi kami
un­tuk berbisnis bersama. Aku jengkel dengan sambutannya,
tapi mengakui: Tjai hampir selalu benar.

Mas Nug sempat melontarkan ide sebuah harian politik
yang langsung dijawab dengan pelototan Tjai: “Lihat itu
newsletter yang dibuat Dimas. Isinya bagus. Hidupnya dari
sumbangan untuk bertahan.”

Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional.
Apa boleh buat, memang dialah kalkulator kami.

Mas Nug duduk di dekat jendela terbuka dan memandang
keluar sambil merokok. Sejak Lintang lahir kami sudah pin­
dah ke apartemen baru sehingga tempat ini sering dijadikan
tempat berk­­ umpul. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup
asri den­­ ga­ n berbagai tanaman pot yang digantung Vivienne
di mana-mana. Tetapi itu masih tak cukup membantu menye­
jukkan ruangan yang tak memiliki mesin pendingin. Jam-
jam berikutnya, diskusi kami makin kacau dan tak terarah.
Mas Nug mengusulkan kami membeli rokok Indonesia dari
Belanda dan menjualnya di sini. Tjai kembali menggumam,
“Jadi maksudmu kita buka warung rokok? Sudah perhi­tung­
kan pajak? Lalu sudah siap bersaing dengan rokok lain? Su­
dah riset? Yang suka rokok kretek itu ada berapa di Paris,

102 PULANG

se­l­ain si Dimas dan Nug?”
Kami semua terdiam. Aku tertawa geli.
Risjaf mengusulkan.... Aku tak tahu lagi apa yang dia

kicaukan. Udara begitu panas, dan aku ingin buka baju.
Untung Vivienne dan Lintang yang baru saja kembali dari
re­n­ ang datang dan menawarkan membuatkan es jeruk nipis.
Kami sudah minum berbotol-botol bir, mungkin es jeruk nipis
bisa menyegarkan suasana. Vivienne memberi isyarat agar
aku mengikutinya ke dapur.

“Mungkin kamu mau membuat snack untuk mereka?”
Vivienne selalu meletupkan ide brilian.Sungguh bangga
aku memiliki seorang isteri yang bisa membaca suasana.
Dengan semangat aku membuka-buka lemari dapur. Ada
mi, ada daging ayam, dan sayur. Aku mengangguk. Vivienne
segera menyiapkan semua perangkat, kuali, minyak goreng,
dan bumbu.
“Aku bikin mi goreng dulu, kalian teruskan saja. Toh tak
ada usul yang menarik,” aku memunculkan kepala dari da­
pur. Tak ada yang menolak sama sekali. Aku yakin mereka
ju­ga tak melanjutkan diskusi dan hanya mencari pojok
yang pal­ing dekat dengan jendela sembari mencari sisa-sisa
angin.
Aku merajang bawang merah, bawang putih, sayur-
sayuran, dan ayam dengan sigap dan cepat. Vivienne hanya
kum­­ inta tolong menyiapkan semua bahan dengan rapi. Tentu
saja seperti biasa, aku tak mengizinkan dia mengotak-atik
urusan bumbu. Dia membantu menggodok air untuk merebus
mi. Aku tahu Vivienne tak suka jika aku menggunakan minyak
jelantah untuk menggoreng dengan alasan kesehatan. Tapi
sesekali aku menggunakannya sedikit untuk kucampur
dengan bumbu. Inilah rahasia bumbuku yang sedap: tidak
sehat tapi sungguh menggiurkan.
Mi goreng ayam dengan cepat tersaji di atas meja. Lintang
yang pertama mencoba mengunyah-ngunyah mi goreng itu

LEILA S. CHU DO RI 103

hingg­ a matanya terpejam, “Un tres bon plat, Ayah!”1 katanya
menga­ cungkan jempolnya yang mungil. Lintang memang
pengg­ emar masakan Indonesia nomor satu. Jadi ada elemen
bias dalam penilaian anak usia tujuh tahun yang menjadi
sum­b­ u hidupku ini.

Ketiga kawanku langsung menyerbu meja makan sepert­ i
narapidana yang sudah seminggu hanya menyantap kerak
nasi. Tjai melahapnya pakai sumpit dengan lincah hing­­
ga mangkuknya cepat nian licin tandas. Risjaf justru me­
nikm­­ atinya sedikit demi sedikit, sedangkan Lintang sudah
mengambil porsinya yang kedua, meski mangkuk yang
digunakan tentu saja mangkuk anak-anak. Vivienne terse­
nyum puas dan membiarkan kami mulai merokok.

Ketika kami sudah duduk selonjor menatap perut kami
yang mulai menonjolkan diri dengan cara yang memalukan,
Risjaf masih menikmati suapan terakhir mi goreng itu dan tak
peduli kami semua sudah selesai. Dengan bibir berminyak,
dia kemudian menggerutu, “Kenapa tak ada yang menjual mi
goreng seenak ini di Paris?”

Mas Nug memandang Risjaf sambil membelalak, seperti
baru saja mendapatkan sebuah ide.

“Iya, coba bayangkan,” kata Risjaf merepet tanpa henti,­­
“betapa asyiknya kalau setiap hari kita bisa makan mi go­
reng sedahsyat buatan Dimas. Atau selang-seling dengan
nas­ i goreng yang dia campur dengan terasi dan minyak
jelantah itu. Astaga, terbit pula air liurku. Oh, aku juga
pernah mencoba nasi kuning buatan Dimas waktu ulang
tahun Lintang, dengan tempe kering kriuk kriuk.”

Risjaf tersedak oleh ucapannya sendiri dan berseru se­per­
ti para ilmuwan yang baru saja memecahkan rumus terke­­
muka, “Oaaa...Dimas! Aku tahu kita harus terjun ke bisnis
apa! Aku tahu!”

1 Enak sekali, Ayah!

104 PULANG

Mas Nug dan Risjaf kini sama-sama melotot sepert­ i ingin
saling menerkam bahagia. Oh, tolong. Tidak. Apa me­rek­­ a
ingin membuka perusahaan katering. Aduh.

Tapi kulihat mata Tjai berbinar-binar. Sinarnya langsu­ ng
mencelat masuk ke mataku. Silau. Berbeda betul reaksinya
di­b­ anding tadi ketika kami melontarkan usul-usul yang dia
angg­ ap sinting.

“Dimas,” Tjai menatapku, “aku rasa inilah takdir kita.
Kau adalah koki berbakat yang tak tertandingkan.”

Belum pernah aku mendengar Tjai berbicara penuh se­ma­­
ngat seperti itu. Kedua matanya berkilat-kilat. Mas Nug me­
megang kedua bahuku dan berseru setinggi langit: “Dimas!
Kita akan membuat restoran Indonesia di Paris!”

***

Meski matahari Paris di musim panas masih saja ganas
ingin mengupas kulit kami, hatiku sudah merasa sejuk dengan
ke­put­­ usan yang telah tercapai. Tanpa banyak kerewelan, ma­
lam berikutnya saat kami berkumpul di rumah Risjaf, Mas
Nug melintir kumis Clark Gable miliknya sembari langsung
bert­­ itah membagi tugas.

“Dimas sudah jelas kepala koki dan yang menentukan
men­­ u apa saja. Kita semua tahu apa saja yang diolah tangan
Dim­ as akan keluar makanan yang luar biasa, seperti halnya
kat­ a-kata apa saja yang keluar dari mulutnya akan menjadi
seb­ uah puisi....”

Mas Nug tampaknya ingin menghiburku karena kei­ngin­
anku membuat jurnal sastra tak dikabulkan Tjai.

“Tjai akan membuat riset pencarian modal. Kita bikin
proposal kepada pihak mana pun: baik pemerintah maupun
LSM. Sampaikan juga pada semua kawan-kawan di Eropa
tent­ ang niat kita ini, silakan bergabung atau sekadar me­min­
ja­­ mkan, kita akan memikirkan alternatif mana yang leb­­ ih­

LEILA S. CHU DO RI 105

baik. Tjai juga akan membuat riset bentuk usaha apa yang­
ingin kita bangun, apakah PT atau ko....”

“Koperasi. Sudah jelas koperasi!” kata Tjai tegas.
“Oke, koperasi,” kata Mas Nug dengan patuh hingga aku
bert­ anya-tanya, siapa sesungguhnya yang lebih ditakuti da­
lam kelompok ini.
“ Nantiiii...,” Mas Nug seolah mengembalikan otoritas
ke dalam tubuhnya, “di dalam proposal kita harus jelaskan
mengapa kita memilih bentuk badan usaha itu, misalnya:
karena kita ingin membangun kebersamaan. Berarti kita
juga harus menjadwalkan Assemblee Generale tiap tahun
dan memilih pengelola setiap dua tahun.”
Aku memandang Mas Nug dengan kagum. Begitu kam­ i
memasuki soal penyelenggaraan organisasi, otaknya seg­ era
bergerak dengan kilat. Setelah Mas Hananto tak lagi bers­­ a­
ma kami, mungkin ruh kepemimpinan itu berpindah kep­ ad­­ a­­
nya, meski sesekali dia akan diinterupsi oleh Tjai yang jau­ h
lebih piawai dalam soal angka.
Risjaf maju ke hadapan Mas Nug seperti menanti tugas.
Tetapi Mas Nug pura-pura acuh tak acuh, “Seharusnya ada
yang mengadakan riset ke beberapa restoran lain, misalnya
res­toran Vietnam, Indochina, India, Cina, apakah kita mau
mem­b­ angun fine dining atau casual eatery atau fast food yang
bisa dibawa pulang?”
“Sudah jelas bukan fast food!” jawabku segera. “Makanan
Indon­ esia untuk casual eatery tapi juga fine dining. Kita harus
ada bar, ini Paris. Nanti saya susun menunya,” kataku kini
merasa ini wilayahku. Semua terdiam mendengarkan dengan
hikmat. Tjai mencatat.
“ Tapi yang jelas, kita harus sering-sering mengadakan
acara di restoran, misalnya peluncuran buku, diskusi tentang
perkembangan di Indonesia, pembacaan sastra, film, seni ru­
pa, dan fotografi. Kita harus mempunyai kurator agar pen­­ ye­­
lenggaraan rapi dan dengan sendirinya para had­ irin akan

106 PULANG

memesan makanan dan minuman bar. Dengan demi­k­ ian,
tempat itu bukan hanya dikenal sebagai tempat ma­kan yang
enak, tetapi juga untuk bersosialisasi,” kata-katak­­ u meluncur
seperti bendungan yang jebol. Mereka bert­ iga bertepuk
tangan gembira. Tjai bahkan berdiri dan mengangkat jempol
ketika aku menyebut bar.

“Saya bisa mengadakan riset! Saya juga bisa meng­
kurasi acara!” Risjaf berdiri ke hadapan Mas Nug. Mas
Nug tersenyum tak tega membunuh semangat Risjaf. “Oke
jangan semuanya kau kerjakan. Bisa tumbang. Kau ran­cang
kurasi pada malam pembukaan dan malam-malam berik­­ ut­­
nya untuk berbagai acara. Riset restoran nanti kita kero­yok
bersama karena begitu banyak restoran yang harus kita
pelajari.”

“Lalu kau mengerjakan apa?” suara Tjai terdengar datar.
Mas Nug memilin kumisnya, “Aku akan menjelajahi kota
Paris dan mengecek halaman iklan di harian Le Figaro. Kita
harus mencari lokasi, bukan?”
Astaga! Tentu saja itu yang harus segera dipikirkan.
Tjai mengangguk dan kembali mencatat. Malam itu kami
menga­ ngkat gelas anggur, kecuali Risjaf yang sedang kepi­
ngin wedang jahe ikut-ikutan mengangkat gelasnya, dan
membunyikan denting:
“Untuk restoran kita....”
Kami saling memandang.
“Apa ya namanya, Mas Nug?” Risjaf bertanya.
Mas Nug melirikku, “Kita tanya pada sang penyair.”
Aku menatap kawanku satu persatu. Ada yang hilang di
sana. Seharusnya ada lima.
“Kita...,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari
Rest­­ oran Tanah Air.”
Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas
wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku.

LEILA S. CHU DO RI 107

***

Paris 1975
Ada perjanjian yang tak terucapkan di antara Tjai,
Risjaf, dan aku. Sejak Mas Nug ditinggal sang bunga ang­
grek Rukmini—yang memutuskan menikah dengan Letkol.
Prakosa—kami memberi keleluasaan padanya untuk ber­
tindak seperti ‘pemimpin’. Tentu kami semua percaya pada
persamaan dan tak membutuhkan pimpinan. Tapi Mas Nug
membutuhkan pengakuan itu, meski hanya untuk sement­ara.
Paling tidak, itu yang kami simpulkan. Semua ber­mula dari
malam jahanam yang mengguncang tubuh Mas Nug hingga
dia ambruk oleh alkohol kepedihan gara-gara surat cerai
Rukmini.
Nugroho Dewantoro, lelaki Yogyakarta yang selalu mene­
kank­ an untuk berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa,
sebetulnya sangat sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia
sering berlagak seperti pemain perempuan, Mas Nug sangat
menginginkan kehangatan keluarga. Berbeda dengan Mas
Hananto yang mempunyai hubungan kompleks dengan Surti
–ada tetek bengek perbedaan kelas yang dia anggap men­j­adi
batas psikologis—Mas Nug tak banyak cincong. Dia ter­t­ arik
pada sang anggrek, meski dia tahu Risjaf si anak ingusan itu
juga tengah mengejar-ngejarnya. Dia tebarkan jaring dan
dia berhasil memetik si bunga anggrek. Dia kaw­ ini Rukmini
yang cantik dan bermulut setajam pisau itu. Karena terlihat
Mas Nug sungguh mencintai Rukmini, aku dan Risjaf sudah
lama memaafkannya dan ikut berbahagia. Apalagi putera
yang dinantikan, Bimo Nugroho, baru datang setelah sem­­
bilan tahun penantian. Aku tak akan pernah lupa sinar ke­
bahagiaan di mata Mas Nug dan Rukmini.
Tetapi, di balik kesibukan politik dan menjadi ayah dan
suami, aku tak begitu paham mengapa Mas Hananto dan
Mas Nug selalu merasa perlu menaklukkan perempuan-
perem­p­ uan lain. Jika Mas Hananto selalu beralasan ingin

108 PU LANG

mera­sakan “gelora kaum proletar di ranjang”, Mas Nug pasti
tak memberi justifikasi kelas. Dia memang lelaki tampan
yang bangga dengan kumisnya, yang pandai mengatur
kata, yang mudah membuat perempuan melekat padanya
seperti laron pada cahaya lampu. Tak heran bahkan saat
menjadi pen­ gelana tanpa status warganegara di Peking
maupun Zurich, Mas Nug tiba-tiba saja sudah melekat
dengan seorang perempuan. Yang gila, perempuan ini, Agnes
Baumgartner, adalah isteri seo­ ­r­ ang polisi. Sang polisi adalah
pelanggan akupunktur Mas Nug. Dari suami yang sering
encok dan pegal-pegal, terapi pun berlanjut ke isteri yang—
menggunakan bahasa Mas Nug—pegal dan butuh sentuhan.
Dari sentuhan jarum, sekali lagi menggunakan bahasa Mas
Nug, paha dan pinggang itu membutuhkan sentuhan kasih
sayang.

Mendengar kisah penaklukannya itu melalui telepon, da­­
rahk­ u melesat ke ubun-ubun. Aku membentak agar Mas Nug
segera menyusul Tjai dan aku di Paris. Bukan saja agar kami
bisa berkumpul dan berbuat sesuatu, dan bukan han­ ya karena
aku memikirkan Rukmini dan Bimo, tetapi ju­ga sungguh
bahaya petualangan hasrat Mas Nug kali ini. Berm­­ ain-main
dengan isteri polisi di negara orang bukan perkara merebut
sebatang anggrek di zaman kami kuliah. Ini polisi. Di negara
Barat.

Mas Nug akhirnya menyerah karena caci makiku. Dia
tiba di Paris beberapa pekan setelah kami mendarat di Paris
dengan wajah murung. Aku tak paham, bagaimana mung­­
kin dia bisa secepat itu jatuh cinta pada seseorang yang baru
saja dikenalnya.

Tujuh tahun kemudian, sepucuk surat dari Rukmini mela­­
yang ke tangan Mas Nug. Surat cerai. Malam itu, aku me­no­­
pang Mas Nug berjalan menuju stasiun Metro sembari men­­­
coba menurunkan volume suaranya yang semakin me­leng­­
king tak keruan. Di stasiun, aku ingat betul wajahnya yang

LEILA S. CHU DO RI 109

penuh luka. Setengah mabuk dia berkisah terbata-bata.
“Kau tahu Mas...sebetulnya...aku sudah menerima surat

dari Rukmini sejak aku di Zurich.”
Suaranya bergetar. Air matanya mengambang, “Rukmini

menolak menyusulku ke Eropa. Dan dia tidak menjelaskan
kenapa.”

Aku masih diam. Teringat petualangan Mas Nug dengan
isteri polisi itu.

“Kau tahu, Mas, Agnes bukanlah sekadar pasienku.”
“Ya Mas Nug, kau sudah cerita soal jarum, soal paha...”
“Bukan, bukan,” suara Mas Nug semakin parau dan dia
menggeleng-geleng dengan keras.
Aku memandang matanya yang merah didera kepe­dihan.
“Agnes Baumgartner adalah nama keluarganya. Dia ti­
dak menggunakan nama si polisi. Baumgartner itu berarti
se­s­ eo­rang yang memiliki sebidang kebun….”
Lalu?
“Setiap kali aku bercinta dengannya, aku melihat setang­
kai anggrekku....”
Dan air matanya mengalir sederas-derasnya.
Yang membuat situasi lebih rumit, hanya beberapa bu­
lan setelah peristiwa itu Risjaf mengumumkan: dia telah me­­
nem­ ukan jodoh. Amira, adik bungsu Mirza Syahrul, salah
satu eksil politik yang menetap di Leiden, Belanda. Manis,
berkacamata, sudah berusia 36 tahun, dan sedang menye­
lesaikan studi doktor dalam bidang politik di Univer­siteit
Leiden. Cinta kilat. Mereka langsung merasa cocok dan ingin
menikah. Usia mereka memang sudah tak muda lagi. Risjaf
seusiaku, kami sama-sama lahir tahun 1930.
“Kami sudah sama-sama dewasa, aku sudah terlalu lama
jadi bujangan lapuk,” Risjaf tertawa terkekeh-kekeh. O ba­
hagianya.
“Jadi kau nanti mondar-mandir Paris-Leiden sampai
Amira selesai doktor?” tanya Tjai menghitung-hitung.

110 PULANG

“Ya,” jawab Risjaf dengan mata bersinar, “bergantian.”
“Kamu sudah bilang Mas Nug?” aku bertanya hati-hati.
“Belum. Ini baru mau ke sana, aku mau memperkenalkan
Amira kepada....”
“Jangan!!” Tjai dan aku serentak menyentak.
Risjaf memandang kami berdua bergantian. Orang yang
sedang bahagia memang sering lupa bahwa ada orang lain
yang sedang berduka. Bola mata Risjaf bolak balik meman­
dang kami dan wajahnya yang tampan itu betul-betul tak
berdosa, “Kenapa, Mas?”
Tjai dan aku saling berpandangan, seperti saling mendo­
rong untuk memberi penjelasan yang rinci. Kepada Risjaf,
kita harus memberi pemetaan yang terang benderang.
“Sjaf, kau ingat Mas Nug baru mendapat surat cerai kan?”
“Ah!” Risjaf menepuk dahinya, “Maaf maaf...betul juga.
Jadi, jadi maksudnya nanti Mas Nug tidak bisa diundang?
Kasihan....”
“Kasihan apa?”
Apartemenku dan Vivienne saat itu memang masih kecil
dan tidak ideal untuk menjadi lalu lintas rahasia. Aku tak
mengira Mas Nug akan muncul seketika. Mas Nug meman­
dang kami bertiga. Begitu saja, dia menepuk-nepuk bahu
Risjaf sambil tertawa riang, “Hei, aku dengar kau sudah mau
melamar adik bungsu si Mirza? Hebat! Cantik dia. Selamat,
selamat!” Lantas Mas Nug memeluk Risjaf setul­usnya. Risjaf
dengan wajah ragu membalas pelukan Mas Nug.
Mas Nug lantas selonjor di depan sofa panjang dan me­
nyal­­akan televisi kami yang kecil dan agak buram dan ha­
nya menyiarkan acara apa pun dalam bahasa Prancis. Teta­
pi Mas Nug memperhatikan acara itu dengan intens. Risjaf
mengg­ aruk-garuk kepalanya. Hening dan tak nyaman.
“Aku kembali ke apartemen paman Amira di Le Marais
ya. Dia dan Pak Mirza bermalam di sana.”
Mas Nug mengangkat jempolnya, tetapi matanya tetap

LEILA S. CHU DO RI 111

menatap televisi.
Aku duduk di sampingnya. Tjai ke dapur mengoprek-

ngoprek lemari mencari kopi.
“Aku baik-baik saja, Mas,” Mas Nug menggumam sambil

tetap menatap televisi.
Aku mengangguk-angguk tanpa suara. Aku masih mene­

tap di sampingnya. Mas Nug tetap menatap layar. Aku tahu
dia menghargai bahwa aku menemani tanpa banyak tanya.
Aku bisa membayangkan betapa remuk hatinya.

***

Paris Oktober 1982

Tentu saja itu sudah berlalu 14 tahun silam. Aku tak ta­
hu­ apakah Mas Nug sudah menguburnya ke lapisan ba­
wah­­ hatinya atau keceriaannya bersiul dengan nada
sembarangan itu adalah caranya memagari kesedihan yang
sering menyerang tiba-tiba.

Sementara aku menyusun menu yang nantinya akan
dimasukkan ke proposal, Tjai mengumumkan kami sudah
mendapatkan uang yang cukup lumayan jumlahnya dari
puluhan kawan Indonesia di seluruh penjuru Eropa. Yang
mengh­­ arukan, tidak semua yang mengirim uang adalah
eks­ il politik seperti kami; ada beberapa pengusaha yang
berkawan baik dengan Mas Nug; ada juga beberapa kawan
Tjai di Jakarta yang diam-diam menyumbang tanpa pamrih.
Tjai mencatat semua nama penyumbang dengan jumlahnya,
karena dia bercita-cita saat mereka datang, akan diberi meja
khusus dan menu istimewa.

Mas Nug menjelajahi seluruh Paris dan selalu saja tak
puas. Entah lokasinya yang terlalu jauh untuk terjangkau
atau sistem airnya yang kurang baik atau tempatnya sede­
mi­kian ambruknya hingga perlu direnovasi total. Meski le­

112 PULANG

lah, aku tahu Mas Nug mengerjakannya dengan gembira
seper­t­ i halnya Risjaf yang penuh semangat memberi laporan
hasil risetnya dari restoran kuliner Asia lain di Paris. Sejauh
ini tak banyak restoran yang sekaligus juga menjadi kurasi
sebuah acara. Aku semakin bersemangat mengelola tempat
ini: menyelenggarakan pesta kuliner dan seni Indonesia

Kini hanya persoalan tempat. Aku juga sudah mulai gerah
karena kami selalu mengadakan pertemuan di apartemenku.
Tentu saja Risjaf punya alasan: sekaligus ujicoba menu ma­
sak­ a­­ nk­ u. Tapi mereka bukanlah kritikus kuliner yang layak,
karena meja rebus pun akan mereka lahap jika sedang lapar.

Lalu, Harian Le Figaro menyelamatkan kami!
Sebuah iklan kecil yang nyaris terlewatkan seolah mem­
buka sejarah untuk kami. Adalah sebuah restoran Vietnam
milik sebuah keluarga yang berlokasi di 90 Rue de Vaugirard.
Begitu kami masuk, berbincang dengan pemiliknya—­ suami
isteri Vietnam yang sudah belasan tahun menetap di Paris—
sementara Tjai dan Mas Nug memeriksa ke lantai atas dan
bawah, aku merasa sudah berada di rumahku. Aku tetap
per­m­ isi ingin melihat dapur: sebuah dapur panjang dengan
keramik putih dan meja kerja di tengah untuk merajang
seperti pulau; sebuah oven besar yang tampak dipelihara
dengan baik karena bersih dan tak ada sebutir pun nasi yang
ter­cecer. Begitu melihat satu set kuali serta panci-panci yang
masih sangat bagus dan terbuat dari bahan alumunium yang
kuat, aku langsung jatuh cinta, “Apakah peralatan da­pur­­ini
juga akan dijual?”
Sang bapak menengok pada isterinya. Sang isteri terse­
nyum dengan lesung pipitnya, “Kita sama-sama dari Asia.
Kami menyukai kalian. Kalau harga cocok, silakan ambil
berikut seluruh peralatan dapur.”
Aku sudah bergerak ingin memeluk sang ibu, tetapi Tjai
mencengkeram lenganku seperti seekor kucing yang murka.
Aku menahan diri dan membiarkan Tjai maju menunaikan tu­

LEILA S. CHU DO RI 113

gasnya dalam urusan hitung-menghitung, tawar-menawar,
dan seterusnya. Cara dia menawar mirip ibu-ibu di Pasar
Klew­­ er. Berlagak tidak butuh, berlagak ogah, berlagak akan
perg­­ i saja karena toh di pojok sana ada yang lebih menarik
dan lebih murah untuk kemudian tersenyum ketika sang pen­
jual menyerah. Sang ibu tampaknya sudah jatuh cinta betul
pa­da kami, karena dia tak terlalu ingin berlama-lama ber­
ada dalam permainan Pasar Klewer. Dia mengangguk dan
bers­­ alaman dengan Tjai. Barulah Tjai mengizinkan aku me­
meluk pasangan itu dengan penuh rasa terima kasih. Aku
men­ yukai peralatan dapur mereka yang persis dengan alat-
alat dapur Indonesia: kuali dan ulekan besar yang terbuat
dari batu (meski aku masih harus mencari ulekan kecil untuk
samb­ al mentah).

Koperasi dibentuk, modal terkumpul dengan bantuan
ber­b­ agai pihak, termasuk beberapa lembaga swadaya mas­
yar­­ akat Prancis. Risjaf lantas mencari beberapa tenaga tu­
kang yang bisa memperbaiki beberapa bagian yang perlu
digos­ ok, sementara kawan-kawan Indonesia di Paris dengan
sukarela menyingsingkan lengan untuk mengecat ulang
selu­ruh dinding restoran. Meski tidak diminta, sud­ ah sejak
jauh hari Risjaf menyediakan selebaran tentang pem­buk­ aan
restoran kami.

Sementara Mas Nug dan Tjai sibuk mengurus pembentuk­
an koperasi dengan dibantu dua orang Prancis Jean-Paul
Bernard dan Marie Thomas, aku sibuk dengan dua asisten
baruku: Bahrum dan Yazir, dua orang anak eksil politik yang
gemar me­m­ asak dan bercita-cita masuk sekolah kuliner.
Empat Pilar Tanah Air sudah memutuskan akan meniru for­
mula Belanda rijstafel, karena makanan yang berasal dari
kel­om­p­ ok etnis mana pun di Indonesia–Padang, Palembang,
Lampung, Solo, Yogya, Sunda, Jawa Timur, Makassar, Bali—
bisa dimasukkan ke dalam paket sesuai keinginan, kecocokan,
dan rasa. Kami juga bisa menyusunnya seperti makanan ala

114 PULANG

tiga sampai lima tahap seperti cara Barat, karena wangsa
Eropa harus melalui tahap makanan pembuka, utama, hing­
ga penutup segala. Kami memindahkan nama rijstaf­el secara
harafiah menjadi table du riz. Risjaf dan Tjai bers­ a­m­ a-sama
belajar membuat aperitif dan disgestif dari seo­rang ahli—
kawan Jean Paul—yang sukarela mengulurkan kea­ hliannya
tanpa biaya.

Kami merancang hari pembukaan pada bulan Desember.
Semakin mendekati harinya, aku semakin berkutat di dapur
bersama Bahrum dan Yazir. Resep dicoba, dimainkan, dibuat
variasi dan modifikasi untuk makan siang dan malam serta
beberapa pilihan menu untuk pesta atau sekadar perayaan
kecil. Dua pekan menjelang pembukaan restoran, siang
malam kami mulai mengadakan percobaan berbagai resep
untuk membuat kesan yang melekat pada pengunjung. Kami
masih belum memutuskan masakan apa yang ingin ka­mi
sajikan untuk malam pertama. Bahan makanan dan bum­b­ u-
bumbu sudah kami beli dengan catatan dari Tjai agar kami
menghemat porsi saat masa percobaan. “Bumbu mak­ ana­­ n
Asia mahal karena banyak yang diimpor!” kata Tjai yang
melekat dengan kalkulatornya, mirip ten­t­ ara yang obsesif
dengan senapannya. Aku berjanji pada diri­ku, suatu hari
akan kulempar kalkulator itu ke dalam Sungai Seine.

Siang itu Mas Nug mengintip ke dalam dapur, menjenguk,
melihat, mengotak-atik resep kami sembari bersiul-siul sem­
ber. Persis seperti intel melayu yang tidak kenal mutu, yang
just­ ru menampakkan diri di hadapan orang banyak un­tuk
memp­­ erlihatkan profesinya.

“Mengapa namanya membosankan: menu palembang,
menu padang, menu solo. Memberi nama kok tidak se­ma­
ngat,” Mas Nug nyeletuk melihat papan tulis dapur kami.

Aku menurunkan kacamataku dan memandang Mas Nug
tanpa komentar. Kutu dari manakah ini, begitu saja meluncur
masuk ke dalam dapurku?

LEILA S. CHU DO RI 115

“Pak Nug punya usul apa, Pak?” tanya Bahrum dengan
santun.

Mas Nug tersenyum menatapku. Aku tahu, Mas Nug juga
mampu memasak dengan baik. Risjaf gemar makan apa sa­
ja, tapi di dapur dia hanya berfungsi untuk merebus air atau
menggoreng telur mata sapi; Tjai hanya bisa memb­ antu
mengiris bawang, itu pun harus melalui upacara mengen­ a­
kan masker dan kacamata.

Seperti aku, Mas Nug punya lidah yang peka dan penuh
keinginan untuk berkelana. Bukan hanya menyusuri lekak-
lekuk lidah perempuan, tetapi lidah kami memahami bahwa
daging sapi berjodoh dengan bumbu tertentu dan anggur ter­
tentu atau ada sayur yang lebih sempurna jika tak harus me­
nyentuh panas api sama sekali. Perbedaan antara Mas Nug
dan aku adalah soal pragmatisme. Jika Mas Nug bisa men­ g­­
khayalkan Agnes Baumgartner sebagai Rukmini, maka dia
juga bisa menganggap selai kacang sebagai bahan dasar un­
tuk pembuatan bumbu gado-gado atau bumbu sate. Semen­
ta­ra aku akan bersikeras dengan cinta kuliner yang murni:
bumb­­ u gado-gado dan bumbu sate harus terdiri dari kacang
ta­nah yang digoreng dengan sedikit kombinasi kacang mete
yang dibakar lalu diulek bersama cabe merah, cabe rawit,
dan kucuran jeruk limau.

Bahrum dan Yazir sudah siap mendengarkan usul Mas
Nug. Bahrum dengan pena dan notes, Yazir dengan kapur
dan papan tulis. Mas Nug mendehem-dehem.

“Begini, kenapa tak diberi nama ayam widuri, misalnya.
Kau ciptakan saja resep seperti ayam kalasan dengan modi­
fikasi sambal bawang, tapi kau namakan ayam widuri supa­
ya itu menjadi ciri khas Restoran Tanah Air. Tahu pelangi,
mungkin kita bisa ciptakan tahu isi ikan, ikan merah kesum­
ba,” katanya sambil tersenyum-senyum.

“Out!” aku mengusirnya dari dapur. Mas Nug meningg­ al­
kan kami sambil tertawa terbahak-bahak. Siulannya yang

116 PULANG

sem­ber terdengar sayup-sayup.
Bahrum dan Yazir saling berpandangan. Jari mereka

yang sedang menulis segera terhenti.
“Usulnya tadi...bagus juga, Pak.”
Aku melotot, “Aku tidak percaya paket! Aku tidak percaya

format. Aku tidak percaya presentasi makanan membuat pe­
nikmat akan melupakan isi. Lidah sangat menentukan. Isi
dan rasa adalah segalanya.”

Bahrum menelan ludah, “Format...apa Pak maksudnya?”
Aku duduk dan memerintahkan mereka untuk duduk di
depanku. Kumajukan kepalaku dan mereka ikut-ikutan me­
maj­­ukan kepala.
“Kalian paham karya sastra? Puisi, novel, cerita pendek?”
“Baca Pak, saya baca. Tapi tidak melahirkan karya se­
perti bapak-bapak di sini semua,” kata Yazir melotot penuh
perhatian seolah akan dibagikan peta harta karun.
“Untuk Pak Nug, presentasi dan format memang penting.
Karena perwajahan seluruh restoran ini kami serahkan pada
dia. Buat saya, memasak sebuah hidangan sama seriusnya
seperti menciptakan sebuah puisi. Setiap huruf berloncatan
mencari jodoh membentuk kata; setiap kata meliuk, melesat,
dan mungkin saling bertabrakan dan rebutan mendapatkan
jodoh untuk membentuk kalimat yang berisi sekaligus mem­
punyai daya puitik. Setiap huruf mempunyai ruh, memp­ unyai
nyawa, dan memilih kehidupannya sendiri.”
Bahrum mencatat semua itu seperti tak akan ada hari
esok. Bolpenn­ ya bergerak cepat menuliskan segala yang ku­
ucapkan seperti itu sebuah hukum yang berlaku. Yazir me­­
natapku setengah terpesona setengah heran. Mungk­ in ber­­­
tanya-tanya mengapa aku membicarakan puisi di dapur
yang bau bawang ini.
“Nah, demikian juga memasak,” aku mengambil sebutir
bawang. “Ini bisa berjodoh dengan bawang putih, cabai
merah, dan terasi. Tapi apakah ini,” aku mengambil sepotong

LEILA S. CHU DO RI 117

ikan salmon fillet, “cocok dengan terasi? Saya ragu, saya belum
mencobanya. Yang jelas mereka belum saling mengenal dan
belum saling berdekatan atau saling bergairah.”

Yazir langsung masuk dalam dunia metafora itu. Kini dia
memandang potongan ayam, ikan salmon, daging rendang itu
seperti makhluk hidup yang tengah mencari jodohnya dengan
bumbu-bumbu di sebelahnya. Yazir memegang satu persatu
seperti mendapatkan intan berlian hasil rampokan. Sementara
Bahrum yang aku curigai adalah adik angkat Tjai—saking
terlalu perhitungan dan sukar berimajinasi—meman­dangku
seolah aku orang utan yang perlu dimasukkan ke kandang.

“Tapi Pak, bukankah semua masakan sudah ada resep
tradisional lengkap dengan ukuran-ukuran bumbunya? Dari
mana kita tahu bahwa...ini, si bawang ini tertarik pada si...
ini,” dia mengangkat sepotong kunyit segar. Hatiku berd­ eg­ up.
Kuambil kunyit itu dan meletakkan bumbu itu di depanku. Di
dekatku.

“Kunyit adalah bumbu yang diperebutkan semua pi­hak,”
kataku seperti mengucapkan sebaris ayat undang-undang,
“ini adalah penyedap segala masakan dan penyem­buh segala
penyakit. Kunyit adalah mahkota se­gala bumbu. Jangan
sekali-kali kau pertanyakan lagi gunanya.”

“Gunakan rasa, Rum. Rasa,” kata Yazir mengangkat ke­
dua tangannya dan kini merasa sudah menjelma pen­ yair
dengan seribu puisi sekelas Chairil Anwar.

Bahrum memutar bola matanya dan mengambil pisau,
“Saya praktis sajalah Pak Dimas. Saya mengikuti resep saja
dah.” Dia mengangkat tangan dan menolak gabung dengan
pesta metafora di dapur.

“Jadi,” katanya mencoba membawa kami ke realita,”
kita jadi memasukkan ikan pindang serani, Pak?” Bahrum
menunjuk tumpukan kunyit di hadapanku.

Aku mengangguk. Ikan pindang serani harus menjadi hi­
dangan berlian di restoran ini.

118 PULANG

***

Paris, 90 Rue de Vaugirard, 12 Desember 1982
Penyair Robert Frost pernah menyatakan bahwa rumah

adalah tempat tujuan kita, sebuah tempat yang akan mem­ e­­
luk kita. Restoran adalah tempat tujuan kita, sebuah tem­
pat yang akan memeluk kita dan pemeluknya harus mem­
perlihatkan kegembiraan atas kedatangan kita.

Aku rasa Mas Nug yang terus-menerus menatap dirinya
di depan cermin, dengan sisir kumisnya yang mungil—yang
dibawanya dari Jakarta hingga Peking terus ke Zurich dan
kini di Paris—sedang berlatih untuk “memperlihatkan ke­
gemb­­ iraan” itu. Dia berlatih tersenyum di depan cermin;
ber­l­ atih mengatakan “Ça Va?” dan bahkan dia mengulang
cara mengangguk-angguk sembari berlagak mend­ engarkan
pernyataan tamu imajinatifnya.

Tak ada yang mengejek apalagi mencela tingkah laku Mas
Nug karena masing-masing pilar mempunyai caranya send­ iri
untuk tetap tegak dan kuat. Sebelumnya, Mas Nug dan Risjaf
memintaku membuat tulisan tangan di atas poster amatir;
mereka kemudian memasang poster bes­ ar: “L’ouverture du
Restaurant Tanah Air. Des Cuisines Indon­ ésiennes. Ke prix
special pour la première semaine”.2

Risjaf mondar-mandir memperbaiki letak kursi dan meja
sembari mengecek para pramusaji–mahasiswa di Paris yang
bekerja paruh waktu—agar jangan salah mengucapkan
“­­ selamat malam”. Se...la...mat...ma...lam. Mereka kemudian
me­nirukannya sebagai sa...la...ma’ ma...laaaam. Ya sudah­
lah. Lumayan. Itu sudah lebih bagus daripada lidah Indone­
sia kam­­ i saat mengucapkan bahasa Prancis.

Mas Nug memasang alat pengeras suara agar para

2 Pembukaan Restoran Tanah Air. Masakan Indonesia. Harga Spesial Selama
Pekan Pertama.

LEILA S. CHU DO RI 119

flâneur yang lalu lalang bisa mendengar gamelan Jawa dan
Bali secara bergantian. Beberapa rekan Prancis, Jean-Paul
dan Marie yang membantu koperasi kami sudah datang lebih
dul­u dan menikmati bunyi gamelan itu, meski bersumber dari
kas­ et. Vivienne kemudian menyusul dan berbincang dengan
me­r­ eka berdua sembari menenangkan keempat pilar yang
pada jam-jam tegang itu sama sekali tidak mewujudkan pi­lar
yang tangguh. Untuk menenangkan saraf, Mas Nug ber­h­ enti
menyisir kumisnya dan mulai menikmati anggur di po­jok
ruangan. Tjai dan Risjaf memutuskan menanti di dep­ an pin­
tu, sedangkan aku tetap di dapur sembari sesekali menj­­enguk
ke ruang tengah dari jendela dapur.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam. Aku bisa
men­d­ engar degup jantung empat pilar Tanah Air yang seolah
berd­ ebur serentak. Aku tak sabar dengan keheningan suasana
ruang tengah meski sudah diisi dengan musik gamelan. Aku
keluar dan ikut bergabung dengan Jean-Paul, Marie, dan
Mas Nug yang kini menganggap siulannya yang buruk itu
bisa meniru notasi pentatonik gamelan. Tapi aku tak punya
energi untuk mengejeknya. Mataku terarah ke pintu.

“Janganlah menatap pintu itu terus menerus...kasihan
dia,” kata Vivienne menenangkan. Aku tersenyum. Baru saja
aku mau mengambil rokok, bel yang digantung pada pin­tu
ber­k­ liningan. Kulihat sepasang suami isteri Prancis masuk dan
menikmati wayang kulit dan topeng-topeng yang kam­ i­­ gan­
tung di dinding. Mas Nug dan Risjaf segera saja menyambut
mereka dengan kegembiraan yang luar biasa campur
kegugupan yang tak kira-kira. Baru saja aku akan kembali ke
wilayah kekuasaanku di dapur, namaku dipanggil.

“Madame dan monsieur ingin kau menjelaskan menu ini.”
Aku menanyakan kepada pasangan paruh baya Pranc­ is
itu—ka­ren­ a setiap lidah mempunyai pengalaman yang ber­
beda—apak­­ ah mereka sedang ingin daging, ikan, ayam, atau
serba veget­arian; apakah mereka sudah cukup pengalaman de­

120 PULANG

ngan makanan berbumbu. Dengan begitu aku tahu yang mana
yang perl­­u kurekomendasikan. Rupanya mereka penggemar
makanan segala dan sudah pernah berlibur ke India dan
Thailand. Gampang kalau begitu. Aku merekomendasikan
nasi padang lengkap. Agar latihan di depan cermin tak sia-sia,
Mas Nug menawarkan anggur dan berbincang dalam bahasa
Prancis dengan pasangan itu. Baru saja aku melangkah ke
dapur, ternyata bel pintu berbunyi lagi. Kali ini enam orang.
Mas Nug meminta aku juga meladeni permintaan rombongan
Prancis itu. Ternyata mereka sangat menyukai perhatianku
untuk memenuhi selera setiap orang. Lalu masuk lagi seke­lu­
arga Indonesia. Lalu masuk lagi rombongan Prancis. Lalu­...
lagi dan lagi, mereka berdatangan seperti air bah yang
mengalir. Risjaf sungguh cakap menyebarkan berita pem­
bukaan restoran ini. Tapi aku betul-betul harus kembali ke
dapur untuk membuktikan restoran ini memang layak di­
ja­d­ i­kan rumah bagi mereka. Vivienne dan Risjaf mencoba
meng­a­ mbil alih tugasku untuk menjelaskan bagi pengunjung
Prancis yang serba ingin tahu masakan Indonesia yang bel­um
pernah mereka coba. Para pramusaji dengan perlahan be­lajar
dari Vivienne dan Risjaf bagaimana menjelaskan mak­ anan
Indonesia yang kami sajikan.

Tanganku, Bahrum, dan Yazir tak henti-hentinya berge­
rak di meja racikan. Dari jendela dapur kami melihat ekspresi
mereka. Ayam bakar, sate kambing, gulai anam, nasi padang,
soto ayam menjadi hit malam ini. Beberapa memo tertulis
dikirim ke dapur yang berisi puja-puji terhadap masakan kami.
Memo itu kami lekatkan pada dinding agar menjadi kenangan
hari pertama sebagai penyair dalam dunia kuliner Indonesia.

“Penuh semua. Enam puluh kursi penuh Pak!” Bahrum
kem­b­ ali dari tugas menganalisa situasi di ruang tengah dan
bawah. Kita harus mengeluarkan kursi-kursi cadangan da­ri­
gudang! “Pak Tjai berkilat-kilat dahinya!” Bahrum menyam­
bung tersenyum lebar.

LEILA S. CHU DO RI 121

“Kata Pak Tjai, tipsnya sudah mencapai ribuan franc...
pouboir3!” Yazir berseru. Kami memang memutuskan, tips
di­kumpulkan ke dalam satu mangkok bersama yang di peng­
hujung malam akan dibagikan sama rata oleh Tjai.

Aku tersenyum mendengar semua kabar gembira malam
pembukaan kami yang begitu luar biasa dan sangat di luar
dugaan. Aku mulai menyiapkan makanan dan minuman
pe­n­ ut­ up. Minuman penutup yang populer adalah es cendol
yang kucampur dengan nangka (yang apa boleh buat hanya
bisa diperoleh dari kaleng). Ternyata hampir setengah dari
seluruh pengunjung meminta gelas es cendol yang ked­ ua.
Pasti ada sesuatu yang baik dan benar dari upaya kami
mem­bangun koperasi ini. Pasti ada sesuatu yang tak bur­ uk
yang pernah kami lakukan sebagai manusia. Aku tak tahu
apakah ini sekadar soal kerja kelas belaka, karena aku tahu
Paris memiliki ribuan bistro, kafe, restoran, dan bar. Aku me­
nuangkan es cendol itu perlahan. Tiba-tiba saja ada sesua­ tu,
entah apa sesuatu itu, yang mendesak dadaku. Desakan itu
membuat mataku mendadak basah.

“Zir, tolong kau teruskan ini,” aku meletakkan gelas.
Yazir buru-buru mengambil gelas itu sembari memandangku
heran. Aku bergegas ke pojok dapur, membelakangi mereka,
menghadap tembok. Aku mencoba mengusap-usap wajahku
seolah-olah penuh keringat. Aku tak ingin mereka tahu aku
menangis tanpa sebab. Tapi semakin aku menggosok-gosok
mukaku, air mataku semakin deras.

Pintu dapur terbuka. Sialan.
“Mas....”
Ah suara Mas Nug. Pergilah sana sebentar.
Mas Nug melangkah, mendekat perlahan.
Tiba-tiba dia memeluk bahuku dari belakang. Kali ini Mas

3 Tips.

122 PULANG

Nug tak lagi bersiul atau bernyanyi dengan suara sember.
Dia ikut menangis tanpa suara.

***

Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan
sehari-hari. Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah
kota,beru­ bahpekerjaan,berubahkeluarga...segalanyaterjadi
tanp­ a rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah
berb­­ ur­­ u identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya
sen­diri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya
seb­­ ag­ ai ‘tantangan’, yang kami hadapi datang bertubi-tubi.
Karena itu, setelah keberhasilan malam pembukaan dan ma­
lam-malan berikutnya, kami tahu bahwa perayaan ini mem­­­
butuhkan antagonis.

Seperti siang ini. Tiba-tiba saja Tjai menerima telepon.
Waj­­ah­nya yang datar dan dingin itu hanya mengerutkan ke­­­
ning. Aku yang baru saja selesai mengolah bumbu dan se­dang
menikmati bir di ruang depan.

“Ada apa Tjai?”
“Entah. Orang gila,” dia menjawab dengan nada tak pe­
du­l­i sembari terus menghitung dan mencatat. “Kecap harus
cap Bango ya, Mas?”
“Harus.”
“Oke. Mas Nug akan ke Amsterdam, titip yang banyak ya.
Di sana lebih murah,” Tjai menoleh pada Mas Nug.
“Kalau begitu sekaligus terasi cap jempol yang banyak.
Tempe yang banyak. Rokok kretek. O, ya bubuk kencur, kun­
yit yang....”
“Ya, ya, kunyit yang segar. Itu mahal! ” Mas Nug meng­
ger­­ utu meski tetap menulis juga semua pesananku.
“Ya sudah kalau mau pindang serani yang rasanya aneh.”
Bunyi dering telepon kembali menyalak. Tjai mengangkat

LEILA S. CHU DO RI 123

tapi langsung menutupnya kembali. Mas Nug menatap Tjai
dengan heran.

“Tjai ada apa sih? Kau punya simpanan?” Mas Nug ter­
kekeh-kekeh.

“Itu kan kebiasaanmu,” Tjai menjawab tanpa mengang­
kat wajah dari kesibukannya menghitung.

“Iya, tapi itu siapa? Bagaimana jika itu pelanggan yang
mau pesan katering?”

Tjai mengangkat kepala dan menjenguk jam tangannya.
Jam 11. Lalu dia sibuk kembali. Pertanyaan Mas Nug meng­
am­b­ ang.Telepon berdering. Kali ini Mas Nug tak sabar. Dia
menga­ ngkatnya. Tjai menghela nafas dan melipat tangannya
seperti ingin tahu bagaimana Mas Nug menjawab telepon
misterius itu. Mas Nug nampak terkejut, mukanya memucat.
Dia menutup telepon perlahan.

“Sudah berapa kali dia menelepon, Tjai?”
Tjai mengangkat bahu, “Tak kuhitung. Orang gila.”
“Siapa? Siapa?”
“Preman, minta bagian. Kau kira hanya Indonesia yang
banyak preman,” Mas Nug menggelengkan kepalanya.
“Mereka minta berapa?”
Tjai mendelik dan menyebutkan jumlah yang membuat
aku tersedak. Hirupan bir salah masuk ke saluran hidung.
Siala­­ n. Berapa menu set rendang dan berapa piring sate
ayam belum juga bisa mengatasi permintaan upeti itu. Risjaf
se­g­ era menelepon orang-orang Amnesty International. Teror
te­le­pon itu pun berhenti sejenak, meski kami yakin suatu hari
mer­ eka akan menelepon lagi.
Namun ada lagi telepon model lain: bernafas dengan
suara berat. Kalau sudah begini, karena Tjai yang paling
dekat dengan pesawat telepon, dia hanya menggantung kop
tel­­epon ke bahunya lalu melanjutkan meng­hi­tung pemasukan
dan pengeluaran. Biasanya beberapa me­nit kemudian Tjai
akan mengecek apakah si penelepon yang gem­ ar bernafas itu

124 PULANG

sudah mematikan telepon. Barulah Tjai me­nutup telepon.
Ketika beberapa peneliti Indonesia menghadiri sebuah

konferensi di Sorbonne University, sosiolog Armantono
Bayua­ ji yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru meng­­­
usulkan mencicipi hidangan Restoran Tanah Air. Melihat be­
tapa penuhnya pengunjung restoran kami, apal­agi dengan
acara diskusi buku dan pameran foto yang diku­r­ asi oleh
Risjaf, Armantono sungguh terkesan. Hanya beberapa pekan
setelah kunjungan mereka, keluarlah artikel Armantono di
media terbesar di Indonesia, besar selebar taplak meja, yang
isinya memuji-muji upaya kami dan mengkritik sikap peme­
rintah Indonesia yang tak jelas. Kira-kira tekanan Armantono
adalah: mengapa mereka yang di Pulau Buru sudah pulang—
meski masih ditempel stigma—sedang yang di luar negeri
belum dirangkul untuk kembali ke tanah air. Yang lebih gila,
Armantono menyebutkan betapa Restoran Tanah Air adalah
duta kebudayaan di Paris yang sesungguhnya.

Aku tak tahu apa yang terjadi di Jakarta setelah itu. Pasti
heboh memperdebatkan artikel Armantono. Kami tetap saja
menikmati kunjungan yang membludak setiap hari hingga
suatu hari menjelang jam makan siang, sebuah teror model
bar­ u datang. Yazir berlari-lari masuk dapur seperti baru sa­
ja melihat hantu.

“Si Telunjuk, Si Telunjuk datang.”
Aku terkesiap.
Tukang Tunjuk atau Si Telunjuk adalah julukan bagi se­
se­orang yang lebih rendah daripada kotoran parit. Nama
asli­nya adalah Sumarno Biantoro. Dia seorang penulis andal
yang semula bersahabat, berdiskusi bermalam-malam de­
ngan Mas Hananto dan Mas Nug di Pasar Senen. Dia salah
sa­tu putera keluarga pemilik usaha rokok lintingan di Jawa
Tengah. Sumarno Biantoro menjadi bagian dari barisan se­
nim­­ an yang cukup dihormati karyanya karena puisi-puisi
dan naskah dramanya dianggap revolusioner. Pada saa­ t

LEILA S. CHU DO RI 125

tragedi September Sumarno ikut tersapu. Konon dia di­s­ ik­­­
sa habis-habisan hingga giginya rompal digasak dan pe­
nisn­ ya habis diinjak dengan kaki kursi. Dan konon pula, dia
dile­pas kembali setelah disiksa, tidak dijeblos ke tahanan
man­ a pun, apalagi ke Pulau Buru. Telunjuknya digunakan
unt­ uk menunjuk mereka yang masuk kelompok kiri da­l­am
semua organisasi kesenian di Indonesia. Perburuan ter­h­ adap
Mas Hananto akhirnya berhasil setelah tiga ta­hun, ka­ta­­
nya, berkat Sumarno Biantoro yang tahu betul temp­­ at per­
sembunyian (bekas) kawan-kawannya.

Tjai masuk dengan wajah pias. Baru pertama kali aku
melihat dia bisa diguncang emosi.

“Dia ingin bertemu denganmu, Mas. Dan...dia tahu betul
Mas Nug sedang di Amsterdam.”

Sumarno memang tikus yang tahu semua gerak gerik si­­
apa saja yang dianggap musuh. Tubuhku terpaku dan ta­ngan­
ku masih memegang pisau besar untuk membelah ayam. Besar
dan tajam. Jari-jariku gemetar. Aku berjalan de­n­ gan pisau di
tanganku.

Sumarno nampak duduk menghadap pintu luar. Dia
sengaja tidak memilih meja di lantai bawah. Aku berhenti
me­langkah. Dia merokok dan tidak memesan apa-apa. Tapi
dia tahu aku sudah berada di belakangnya. Di belakangku
ada Tjai, Risjaf, Bahrum, dan Yazir.

Sumarno menoleh. Aku tak tahu apakah rambutnya yang
klimis menggunakan pomade atau giginya dengan satu gigi
emas itu yang menyilaukanku. Rupanya gigi yang rompal itu
kini dia ganti dengan gigi emas.

“Dimas Suryooooooo,” dia bangun dan menyalamiku.
Erat dan pasti. Yakin dan penuh kuasa dan rahasia. Dia ter­
tawa-tawa, entah apa yang lucu, itu tak penting. Tangann­ ya
mempersilakan aku duduk di depannya seolah dia pe­milik
restoran yang ingin sekadar berbincang dengan kokin­ ya.

Aku tetap berdiri dengan pisau di tangan kiriku.

126 PULANG

“Sibuk masak, Mas? Hayooo duduk duduk reriungan sa­
ma aku to, Mas.”

Aku melepas baju kokiku dan akhirnya duduk berhadap­
an dengan tikus bergigi emas ini. Pisau besar pengiris ayam
kul­­etakkan di depanku. Seandainya dia berani menyentuhku,
aku akan menusuk tangannya hingga melekat ke meja ma­
kan. Tjai pasti akan menggerutu karena meja makan itu akan
berlubang. Tapi apa peduliku.

Aku melirik Risjaf dan Tjai yang berdiri dengan sigap, sea­ n­
dainya ada apa-apa. Kedua asistenku mendad­ ak lupa tugasnya
mengolah bahan, ikut menyaksikan deng­an gemetar.

“Ada apa, No? Kenapa kau di sini?”
“Lo lo lo wong bertamu masak ndak boleee. Ke mana to
sopan-santun Eropamu.”
Sumarno menengok ke arah pintu dapur dan melambai-
lambai, “Sjaf, Tjai...mbok ya gabung, gabung. Ayo, aku baru
saja bertemu isterimu Sjaf di supermarket opo iku...tadi
pagi.”
Risjaf mengerutkan kening dan maju melangkah dengan
ter­paksa. Tjai juga ikut maju tapi menuju meja kasir. Aku ta­
hu, dia sengaja berdiri di tempat strategis itu untuk berj­aga-
jag­ a jika dia harus menggunakan telepon.
Tapi Sumarno adalah tikus, bukan preman. Dia pengec­­ ut.
Bermanis gulali di depan, lantas menggigit dari belakang. Ga­
ya Sumarno pamer pengetahuan sebagai bentuk teror adal­­ah
hal yang sangat klise. Dia memperlihatkan bagaim­ an­­ a dia
menget­­ ahui tempat tinggalku dengan Vivienne, apartemen
Risjaf dengan Amira, Tjai dengan Theresa, dan bahkan dia
menget­ ahui tempat tinggal Bahrum dan Yazir sambil sesekali
ter­k­ ekeh. Aku memegang-megang pisau meski aku tahu, se­
kal­i lagi, orang seperti ini adalah tikus pengecut.
“Wis sugih semuanya di negeri orang,” dia tertawa-tawa
sendiri.
“Kau mau minum apa, No?” tanya Risjaf.

LEILA S. CHU DO RI 127

“Kalian punya apa?” Sumarno menoleh ke arah bar yang
terletak di samping kami.

“Racun. Bermacan-macam. Racun tikus, mau?” aku mulai
tak sabar dengan dansa-dansi ini.

Sumarno malah ngakak macam gorila. Kami tidak ikut
tertawa dan hanya diam memandangnya.

Satu jam ke depan, tanpa minum, tanpa makanan, dia te­
rus menerus merepet memamerkan apa saja yang terjadi di
Jakarta dan apa yang terjadi pada eks tapol yang dibebaskan
dari Pulau Buru.

“Kasihan loo, KTP mereka harus diletakkan tanda ET.
Terus, Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di
media sekarang menggunakan nama samaran. Lha tapi
kami semua tahuuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samar­
an Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas Muuuur. Bikin
nam­­ a samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo.
Anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama
sam­­ ar­an juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan na­­
ma samaran. Ya bapak, ya anak, semuanya samar-menya­
mar,” dia terkikik-kikik begitu lama dan panjang hingga
aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni dalam
Bharatayudha.

Nampaknya Risjaf sudah tahu betul akibat kerot-kerot
ra­h­ angku. Tanganku yang tak kunjung ingin melepas pisau
itu dan aku sudah mulai merasa seluruh tubuhku dilanda
pan­­ as dingin. Tikus di depanku ini bukan hanya gemar
mencelakakan sahabat sendiri seperti Hananto, tetapi dia
memang seorang oportunis yang tak layak dianggap ada.
Seperti tikus, hidupnya di dalam gelap dan kebusukan.

Tjai dengan wajah dingin mendekat dan mengatakan
bah­w­ a kami harus memulai pertemuan anggaran. Tentu sa­
ja ini alasan Tjai agar segala dansa-dansi ini selesai de­ngan
aman tanpa kehebohan. Gerak tubuh Tjai dan Risjaf yang
sudah berdiri di samping Sumarno membuat tikus itu terp­­ aksa

128 PULANG

berdiri, masih terkekeh-kekeh mengucapkan per­p­ i­sahan.
Ketika mencapai pintu, Sumarno berhenti dan berbalik

me­n­ atapku serius. “Nganu Dimas...kalau tahun ini kau me­
ngaj­­uken permohonan visa lagi, mbok sebut saja namaku...
mu­d­ ah-mudahan bisa membantu masuk Indonesia,” dia ter­
kekeh-kekeh kembali membuka pintu.

Tjai dan Risjaf memegang lenganku dengan kuat karena
aku sudah tak tahan ingin menancapkan pisau itu ke jantung
bangsat itu.

Ketika tikus itu akhirnya menggelinding pergi, Yazir dan
Bahrum buru-burumengelapmeja,kursi,dan gerendelpintu—
semua yang kena sentuh Sumarno—dengan disinfektan, seo­
lah-olah tubuhnya mengandung kuman yang menular. Aku
rasa kedua anak itu hanya ingin ikut berpartisipasi saja.

“Kembalilah ke dapur, Mas. Gunakan pisau itu untuk
ayam atau daging,” kata Tjai tersenyum mengunci pintu
depan. Jam makan siang masih sejam lagi.

Teringat Mas Hananto, teringat Surti dan anak-anakn­ ya,
ter­ingat semua kawan yang tertangkap atas hasil telunjuk
Sumarno. Kalaupun bukan oleh Sumarno, pasti akan ada ti­
kus lainnya. Dalam hidup, jumlah manusia seperti Sumarno
ter­n­ yata jauh lebih banyak dan lebih mudah beranak pinak.

***

Paris, April 1998
Tiba-tiba saja aku merasa sinar matahari menyerang ma­
tak­­ u. Gila. Apa-apaan? Bagaimana aku bisa berada di apart­ e­­­
menku? Aku bingung dan tak faham waktu dan tempat. Per­
lahan aku bangun. Disorientasi sangat tidak nyaman. Tapi...
kepalaku ringan. Aku tak merasa mual ataupun pusing. Di
ruang tengah, Mas Nug celentang di atas sofa.
“Hei,” Mas Nug bangun menggosok matanya, “enakan?”
“Ya, enakan...siapa yang membawa aku ke sini? Mana

LEILA S. CHU DO RI 129

Sumar­ no?”
“Sumarno? Ha? Kau mimpi, Mas.”
Aku terdiam. Ini gawat. Tahun berapakah ini?
“Semalam kau sakit, minum obat, tertidur di restoran. Aku

masak untuk rombongan Malaysia kawan-kawanmu. Lalu Risjaf
dan aku membawamu ke sini naik taksi.”

Aku mengambil dua cangkir dan menyeduh kopi.
“Sebaiknya kau jangan minum kopi atau teh dulu, Mas.”
Aku diam tak mempedulikan ucapan sintingnya. Bagaim­ a­
na aku hidup tanpa kopi?
“Mas, dengar. Selama kau tidur, aku diam-diam melaku­
kan tusuk jarum di beberapa titik. Makanya kau lebih enak
sekarang. Dari titik-titik yang kutusuk itu, nampaknya levermu
bermasalah.”
Mas Nug ngoceh seperti tukang obat. Aku memberi satu
cangk­ ir kopi untuk Mas Nug dan satu untukku. Sebelum aku
mengh­ irup, aku melihat bekas jarum-jarum akupunktur di da­
lam tempat sampah. Astaga, dia tak bergurau.
“Kau tusuk aku di mana, Mas?” aku mencari jejak-jejak ja­
rum di tangan dan perutku.
“Sudahlah, kau tak perlu tahu. Yang penting, kau merasa
enak kan sekarang?”
Aku mengangguk. “Tak berarti aku setuju untuk tusuk ja­
rum lagi.”
Mas Nug tersenyum dan menghirup kopi, “Selama kau ti­
dur ada beberapa hal penting yang harus kau ketahui....”
Aku diam menanti ocehannya.
“Pertama, aku mendapat info dari kawan-kawan Malaysia,
mereka mendengar bahwa ada aktivis Indonesia yang dicu­lik,
Pius Lustrilanang, mengadakan konferensi pers dan men­ce­ri­
takan bagaimana ia diculik dan disiksa.”
Cangkir kopiku hampir terjatuh.
Gila. Ini perkembangan mutakhir paling mengejutkan yang
pernah kudengar selama 32 tahun dalam perantauan.

130 PULANG

“Kok bisa?”
Mas Nug menggeleng-gelengkan kepalanya, “Dan aku ya­
kin korban penculikan yang lain akan angkat bicara pada wak­­
tu­n­ ya.”
Setelah kami sama-sama merenungi kejadian yang menge­
jutkan itu, barulah aku teringat.
“Lalu...berita lain?
“Oh, tadi pagi Vivienne menelepon, mengatakan rumah
sa­k­ it menelepon dia soal hasil tes yang sudah nongkrong dan
tid­­ ak diambil. ”
“Vivienne?”
Mas Nug tersenyum, “Waktu kami mengisi formulir, saat
kau jatuh, contact emergency yang kami isi adalah nama dan
nomor Vivienne.”
“Semprul kau!”
Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivienne akan
cerewet sekali menyuruh aku berobat. Meski kami sudah ber­
cerai, Vivienne dan aku tetap berkawan baik.
“Dan menurut Vivienne, dia sudah memberitahu Lintang
bahwa kau jatuh di stasiun Metro.”
Merde!
Ini bakal menjadi rumit jika Lintang tahu.
Mas Nug menghabiskan kopinya dan membereskan kotak
ja­rumn­ ya. Dia berdiri dan mengatakan akan pulang, mandi,
memb­­ antu dapur Restoran, dan sore kembali menje­nguk­ku.
“Kami sudah sepakat kau harus istirahat dulu. Ambil hasil
tes, apa pun hasilnya, kau harus berobat. Kalau tidak, kau akan
kut­­ usuk dengan seribu jarum!” suaranya mengancam.
“Dapur?”
“Biar aku dan kedua asistenmu yang mengurus dapur. Tak
ada tawar menawar!” sang fasis memutuskan begitu saja.
Mas Nug meninggalkan apartemenku sambil bernyanyi
“What a Wonderful Life” dengan suara sember.

LEILA S. CHU DO RI 131

LLIINNTTAANNGG UUTTAARRAA



Paris, April 1998

Dari jendela metro, aku melihat Paris di musim semi
yang murung. Hitam dan kelabu berkelebatan seperti bayang-
bayang. Ke mana warna ungu membiru, kuning kunyit, dan
merah kesumba itu? Bulan April, seharusnya Paris menye­bar­
kan harum bunga berbagai warna dan sesobek roti croissant
yang dicelupkan ke dalam cangkir susu cokelat yang menge­­
pul­k­ an aroma manis. Dan seharusnya warga Paris sibuk men­­­
dand­ ani tubuh kota ini untuk sebuah musim panas yang me­
gah.­

Tetapi penyair T.S Eliot memang dahsyat. April is the
cruelest month, breeding Lilacs out of the dead land, mixing
memory and desire....

Ini bukan salah Paris, karena kota ini bukan sebuah tanah
mati yang melahirkan bunga beraroma bacin. Ini juga bukan
salah musim semi yang seharusnya menyajikan warna. Bulan
April adalah bulan terkutuk bagi mahasiswa Universitas Sor­
bonne, karena memaksa mereka untuk hidup tanpa tombol
jeda. Dosen-dosen berubah menjadi dewa penentu na­s­ ib.
Mereka melempar puluhan tugas makalah dan ujian sembari

134 PULANG

duduk-duduk minum anggur dan tertawa terba­hak-bahak
macam gorila.

Di luar jendela Metro, aku masih melihat kelebatan waj­ah­
Monsieur Didier Dupont dari satu tiang ke tiang lain. Wajah
masam yang pagi ini menyaksikan footage video hasil kerjaku
beberapa bulan terakhir: Le Quartier Algerien à Paris.1 Cahaya
dari layar kecil itu sesekali menerpa wajahnya. Aku mel­­irik se­
tiap kali layar menampilkan gambar para imigran Aljaz­­ air yang
aku wawancara beberapa bulan silam, kurekam dan kus­ unt­ ing
dengan seksama. Sesekali Monsieur Du­p­ ont mem­ icingkan
matanya. Sesekali dia mengerutkan bib­ ir saat me­lihat footage
yang menampilkan anak-anak Aljazair yang manis dan lucu.
Tetapi setelah sepuluh menit yang meneg­­ angkan, Monsieur
Dupont menyuruhku duduk di hada­p­ann­­ ya.

Untuk beberapa menit, dosenku itu membiarkan aku geli­
sah sementara dia sibuk mencatat untuk kemudian meng­hela
nafas.

“Quelle est votre opinion?”2
“C’est un bon plan....”3
Suara Dupont terdengar berat.
Didier Dupont, pembimbingku yang ekonomis dalam
kata-kata itu tidak melanjutkan kalimatnya. Dia melepas kaca­
matanya, menggosok-gosok dengan sapu tangan yang sudah
kumal, dan mengenakannya kembali dengan gerak­ a­­ n yang
sangat lamban. Aku sudah tahu, dia belum sele­sai dengan
kalimatnya.
“Tetapi…?” tanyaku tak sabar dengan gerak jarinya. Dia
sungguh sudah renta.
Dupont mengetik keyboard komputernya, lalu keluarlah

1 Daerah Aljazair di Paris.
2 Apa pendapat Anda?
3 Rencana yang bagus.

LEILA S. CHU DO RI 135

ratusan judul tugas akhir mahasiswa La Sorbonne tentang
warga Aljazair di Paris. Jantungku tiba-tiba saja berhenti
berdegup. Tentu saja aku tahu begitu banyak alumni Sorbonne
yang pernah membuat film dokumenter tentang warga Aljazair
di Paris. Tetapi aku merencanakan sebuah dokumenter yang
berbeda. Belum sempat aku menyusun argumen, kulihat
Dupont memutar layar komputernya ke arahku.

“Ini topik yang sudah dikunyah-kunyah berulang kali oleh
mahasiswa Sorbonne. Usulmu ini tidak salah. Sama sekali
tidak salah,” mata biru Monsieur Dupont itu menyorot mataku.
“Untung saja ini masih berbentuk proposal. Saya harap kamu
baru mengerjakan untuk tingkat proposal saja.”

Aku terpaksa mengangguk. Terbayang semua video yang
su­dah berisi rekaman wawancaraku dengan para imigran Alja­
zair. Aku terlalu yakin Didier Dupont akan menyetujui pro­p­ o­
sal tugas akhirku ini.

“Dengan potensi, dengan bakat dan semangatmu, kenapa
kau tidak mengajukan proposal yang jauh lebih menarik?”

Puisi T.S. Eliot langsung saja mendera telingaku. Pantas
saja penyair itu membenci bulan April.

“Kehidupan imigran Aljazair di Paris menurut saya sangat
menarik, Monsieur,” kataku mencoba tidak defensif. “Mereka
adalah orang-orang Prancis yang merasa dirinya memiliki dua
tanah air.”

Monsieur Dupont menatap mataku. Bola matanya yang­
berwarna biru itu seperti batu cincin pirus Maman. Dan bat­ u
pirus itu seperti tengah dilontarkan ke dahiku yang sung­guh
bebal. “Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari diri­
mu, dari latar belakangmu.”

Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini te­ra­
sa mendapat segelintir oksigen. “Kamu juga mempunyai dua
tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan kamu lahir di Paris,
tumb­ uh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin mengetahui

136 PULANG

identitasmu, tanah kelahiranmu?”
Monsieur Dupont mengambil harian Le Monde yang ter­­

lihat sudah dia baca, karena agak lusuh. Dia membuka halam­­
an dalam, lalu menyodorkannya padaku. Sebuah tulisan di
halaman tiga, berjudul “Une Activiste Indonésienne qui a été
Kidnappé Prend sa parole”, yang isinya memberitakan bahwa
aktivis Indonesia yang diculik akhirnya bersuara. Di halaman
Ekonomi, ada berita lebih bes­ ar yang membahas krisis moneter
yang menimpa negara-ne­gara Asia, termasuk Indonesia.

Aku terdiam. Kini aku paham arah pembicaraan Monsieur
Dupont. Terlalu paham. Suatu pertanyaan yang di masa lalu
meng­ganggu tidurku. Tetapi pertanyaan itu sudah lama kusim­
pan dan kukubur dalam-dalam di pemakaman hati. Aku tak
mau mengorek-ngorek sesuatu yang sudah aman, di lapisa­ n
terb­­ awah hatiku.

“Ayahmu adalah bagian dari sejarah politik yang penting di
Indonesia,” katanya sembari melipat harian Le Monde itu dan
memberikannya padaku, “ambil saja.”

Aku menerima lembaran koran itu, tapi masih belum juga
bisa menjawab ide Dupont. Tiba-tiba saja memandangi sepatu
kets yang kumel jauh lebih menarik daripada menghadapi bola
matanya yang biru.

“Negara kelahiran ayahmu sedang bergolak. Ekonomi men­
jadi pemicu. Tetapi situasi politik semakin memanas karena
Indonesia sudah lama dipimpin oleh presiden yang sama.”

Lalu, kenapa? Bukankah semua negara berkembang selalu
saja bergolak karena situasi sosial dan politik yang tak stabil?
Negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia ada
saja yang memiliki pemimpin diktator yang korup dan mili­
teristik.

“Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu?Tak
inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan
kawan-kawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris

LEILA S. CHU DO RI 137

tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?”
Tentu saja aku tahu kenapa rombongan Ayah terbang ke

Paris bukan untuk mengagumi Menara Eiffel atau menyusuri
jejak sejarah Gereja Notre Dame. Bahkan Ayah pernah menga­
takan setelah puluhan tahun menetap di Paris, dia baru
menjejakkan kakinya naik ke Menara Eiffel dua kali, itu pun
karena terpaksa mengantar seorang penyair Indonesia yang
sedang berkunjung. Ayah sangat membenci area turistik.

Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawan-
ka­wannya bukan dengan sekoper perencanaan; segalanya ser­­­
ba gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak
masih terlalu muda untuk memahami politik, aku sudah ta­
hu bahwa Indonesia, tepatnya pemerintah Orde Baru yang
tak kunj­­ung runtuh itu, tak akan pernah memudahkan Ayah
pu­lang ke Indonesia. Ini cerita yang selalu diulang-ulang Ma­
man. Dan ini sebuah cerita yang selalu kuhindari karena se­tiap
kali menge­n­ ang Indonesia, Ayah akan mengakhirinya deng­an
kucura­ n air mata dan rasa pahit.

Aku berlagak mengeringkan tenggorokan, “Saya belum
pernah ke Indonesia.”

Monsieur Dupont pura-pura tuli.
“Apa?”
“Saya tak tahu banyak tentang Indonesia,” jawabku
setengah tersiksa.
Pernyataan pertamaku adalah kalimat yang jujur. Seumur
hidupku selama 23 tahun, aku tak pernah menginjak Indonesia
karena keluarga tak akan bisa menginjaknya—betapapun Ayah
merindukan tanah airnya. Tetapi aku harus mengakui, pernya­
taan keduaku adalah kebohongan. Tentu saja aku mengenal
Indonesia, paling tidak dari tangan kedua. Dari Ayah, ketiga
kawan Ayah: Om Nug, Om Tjahjadi, dan Om Risjaf; dari buku-
buku, dari film dokumenter, dari seluruh pertengkaran Ayah
dan Maman. Dan juga dari berbagai peristiwa, baik dan buruk,

138 PULANG

yang akhirnya bisa membawa pada ketegangan antara Ayah
dan aku hingga hari ini.

“Tak tahu? Tu veux s’évader de l’histoire?4
Monsieur Dupont mengucapkan itu dengan nada datar.
Tet­ api aku bisa mendengarnya dengan jelas. Langsung menan­
cap ke hati dan aku bisa merasakan tetesan darah segar. Dia
sung­guh tahu apa yang terjadi di dalam diriku.
Monsieur Dupont mengambil kalender di mejanya dan
menghitung waktu yang masih tersisa untukku agar bisa beru­
bah topik. Dia menggumam sembari mengambil formulir ko­
song. Dia mengisinya dengan cepat dengan tulisan yang lu­ma­­­
yan halus dan rapi untuk ukuran orang Eropa. “Kau masih pu­
nya enam bulan lagi untuk mengenal Indonesia sembari ri­set
dan merekam tugas akhirmu. D’accord5?”
Aku menerima formulir itu tanpa menjawab.
Mata Dupont menatapku menuntut jawaban.
“D’accord,” akhirnya aku terpaksa menjawab.
“Berikan saya kejutan yang cerdas. Temui saya jika kamu
sudah punya ide.”
Monsieur Dupont sudah berdiri. Aku harus ikut ber­diri.
Aku tahu, dosen ini tak lagi memberi ruang untuk perd­ e­batan,
apalagi penolakan.
“Jangan terlambat, Lintang. Kamu tahu artinya jika kamu
tak selesai tepat waktu…”
Udara di dalam kantor Didier Dupont terasa sesak. April
memang bulan yang paling keji. Bersamaan itu, aku mendengar
deru suara Metro yang seperti mengejar angin. Di luar jendela
Metro, Paris tampak kelabu dan muram. Huruf, kata, poster,
foto semuanya berkelebat begitu cepat. Kelabu, hitam, putih,
kelabu....

4 Kamu ingin lari dari sejarahmu?
5 Setuju.

LEILA S. CHU DO RI 139

***

Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh
cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah,
darahk­ u berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang
mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah
tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang
melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah
menghantam warganya hanya karena perbedaan pemi­kiran.

Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak ku­
kenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan per­
cikan darah lain bernama Prancis.

Desiran darah asing itu senantiasa terasa lebih deras dan
mendorong degup jantungku bergegas setiap kali aku men­­­
dengar suara gamelan di antara musim dingin yang mengg­ ig­ it;
atau ketika aku mendengar kisah wayang dari Ayah tentang
Ekalaya yang merasa terus-menerus ditolak kehadirannya
atau Bima yang cintanya tak berbalas. Atau jika Maman—de­
ngan bahasa Indonesia yang terbata—membacakan puisi Sitor
Situmorang tentang seorang anak yang kembali ke tanah
airnya, tetapi tetap merasa asing. Desiran itu selalu teras­ a
asing, nikmat, dan penuh teka-teki. Segala yang berbau Indo­
nesia, tanah yang bagiku hanya sebuah kisah magis, seperti
sebuah tempat yang hidup di dalam angan-angan; sama se­
perti setiap kali aku membaca novel sastra yang mengambil
lok­ asi di negara yang belum pernah aku kunjungi. Indonesia,
bagik­ u, adalah sebuah nama di atas peta. Ia hanya konsep.
Penge­tahuan yang konon mengalir di dalam tubuhku, berbagi
kaw­ as­­ an dengan darah Prancis.

Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dal­am­
diriku itu.

Pertengkaran demi pertengkaranku dengan Ayah; serang­

140 PULANG

kaian konflik Maman dengan Ayah yang diakhiri dengan
perceraian itu tak memudahkan hubungan kami. Beberapa
bulan yang lalu, pertengkaran kami mencapai titik tertinggi.
Hingga hari ini kami tak saling bersapa. Itu artinya: aku
menghentikan kunjunganku ke Restoran Tanah Air. Dengan
demikian, sudah lama aku berpisah dengan suasana reriungan
di Res­t­ oran yang suasananya sungguh gayeng, musik
gamelannya yang unik, interior yang diramaikan oleh wayang
kulit, topeng-to­peng dan peta Indonesia di dinding. Lebih sulit
lagi, aku jadi jarang bertemu dengan kawan-kawan Ayah, Om
Nug, Om Risjaf, dan Om Tjai yang sudah seperti pamanku sen­­
diri. Kesulitan lain adalah berpisah dengan aroma gulai kam­
bing buatan Ayah yang tak bisa ditandingi chef mana pun di
tanah Eropa. “Permusuhan” dengan orangtua sendiri bukan
situasi yang ideal. Tapi mempunyai Ayah yang menyimpan
begitu banyak kerumitan dan kemarahan juga bukan sesuatu
yang mudah.

Le Metro berhenti di kawasan Rue de Vaugirard.
Entah bagaimana, aku merasa ingin keluar dari Metro dan
men­ enangkan pikiran. Perintah Didier Dupont sama sekali bu­
kan sesuatu yang bisa ditawar lagi. Artinya: aku harus mem­
bu­a­ t dokumenter yang ada hubungannya dengan Ayah atau
de­n­ gan Indonesia.
I.n.d.o.n.e.s.i.a.
Pagi ini, di sebuah musim semi, aku dipaksa untuk menyen­
tuh bagian asing tubuhku. Aku sama sekali tak bersedia me­
ngulik wilayah itu. Mungkin ada beberapa bagian In­d­ on­­ esia
yang terasa begitu unik dan eksotik. Jawa, Bali, Sumatra,
Ramayana, Mahabharata, Panji Semirang, Srikandi, gam­ e­l­an,
kebaya renda merah kesumba, aroma kopi luwak, pe­dasnya
rendang daging, dan gurihnya gulai kambing. Tetapi In­
donesia nampaknya bukan eksotisme kultural. Sejak kecil, aku
sudah dihadapkan pada peristiwa politik yang tak pernah dia­­

LEILA S. CHU DO RI 141

lami kawan-kawan satu kelas di Paris. Sebuah peristiwa yang
dihapus di dalam buku sejarah Indonesia.

***

Restoran Tanah Air, 90 Rue de Vaugirard, 1985

Paris di musim dingin. Aroma sambal bajak itu menabrak
hidungku. Campuran ulekan cabe merah dan bawang putih
yang merangsang penciuman ini adalah siksaan berat. Om
Nug memang koki hebat. Tetapi menurutku Ayah adalah koki
yang paling dahsyat.

Ada perbedaan antara masakan Om Nug dan Ayah. Om
Nug adalah seorang koki modern yang baru mempelajari
kehebatan bumbu Indonesia setelah mereka semua memu­
tus­kan untuk mendirikan koperasi restoran Indonesia. Dia
mementingkan efektivitas dan rasa puas. Misalnya: Om Nug
akan menganggap pembuatan bumbu rendang bisa seder­
hana, tak perlu melalui ritual yang memberatkan hidup.
Semua bumbu akan dia masukkan ke dalam blender dan
ke dalamnya di­tua­­ ngkan santan dari kaleng yang dibeli di
Belleville.

Sedangkan Ayah mencintai ritual. Dia sangat obsesif dan
posesif terhadap ulekan batu yang, menurut kisahnya, diki­rim
khusus oleh bibiknya dari Yogyakarta. Dengan ulekan yang
sungguh setia pada Ayah itu, Ayah selalu men­jauhkan diri dari
blender. Semua bumbu-bumbu digerus dan dicampur dengan
santan sedikit demi sedikit. Dia mela­ku­kan itu sambil sesekali
menggerutu karena terpaksa meng­gunakan santan dalam
kaleng. Bagaimanapun, harus kuakui bumbu rendang buatan
Ayah memang jauh lebih meng­guncang daripada buatan Om
Nug yang diramu dalam blender. Setiap kali aku mencoba
rendang atau gulai buatan Ayah, aku hampir pingsan saking


Click to View FlipBook Version