The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

by Leila S. Chudori

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Brawijaya E-Books, 2022-09-18 23:12:27

Pulang

by Leila S. Chudori

242 PU LANG

bang dan peralatan PKI. Rasanya semua kekuatan PKI di
Solo sudah lumpuh total. Paling tidak itulah yang disam­pai­
kan melalui berita. Jadi aku pikir, selesailah sudah kegilaa­ n
ini. Ternyata tidak.

Pada saat aku keluar rumah untuk mengetuk kaw­ at, aku
mendengar ada penangkapan terkoordinir ter­h­ adap seorang
petinggi PKI yang konon bersembunyi di Sidorejo di daerah
Sam­beng. Aku sendiri belum jelas bagaimana kisahnya. Beri­
ta ini aku dengar dari Pakde No.

Lalu setelah itu, perburuan masih saja terus terjadi. Kini
giliran para simpatisan: termasuk para ibu, isteri, atau ker­ a­
bat. Itulah yang membuat aku gemetar membayangkan Ibu
ikut dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata Pakde No
cukup sakti dan berwibawa. Karena ada beliau, Ibu dan aku
tidak disentuh, meski beberapa kali diinterogasi.

Kini di Jakarta, meski kami tetap merasa harus memiliki
sepasang mata di balik punggung, paling tidak kami mengisi
hari-hari dengan sedikit lebih tenang. Bukan karena Jakarta
lebih aman. Tetapi kami ingin menjauhkan diri dari keriuhan
di Solo. Paling tidak untuk sementara.

Semoga engkau baik-baik saja. Kalau ada kabar dari
Surti dan anak-anaknya, akan segera kuketuk kawat.

Adikmu,
Aji Suryo

Lintang menggigil membayangkan betapa sintingnya
hidup di masa itu. Untung saja kedua sepupunya belum lahir.
Lintang kemudian membaca surat lainnya dari Om Aji yang
lebih ‘baru’, tahun 1994.

LEILA S. CHU DO RI 243

Jakarta, Juni 1994

Mas Dimas yang kucintai,
Aku baru saja menyaksikan berita televisi peristiwa yang
menggetarkan sekaligus mencemaskan. Tiga media di In­
donesia dibredel pemerintah bulan lalu, membuat masya­
ra­kat pers dan mahasiswa serta aktivis berang. Mereka me­
ngad­­ akan demonstrasi di muka Departemen Penerangan di
Jalan Merdeka Barat. Itu sudah tinggal beberapa ratus met­ er
lagi ke Istana. Rendra membaca puisi. Mahasiswa dan ak­
tivis membawa spanduk perlawanan. Tentara datang. Kor­
ban jatuh. Rendra ditahan, Mas, meski kemudian dilepas lagi.
Pelukis muda Semsar Siahaan dipukuli. Katanya kak­ inya re­
tak atau patah, saya tak jelas.
Saya tahu, Orde Baru semakin kuat. Tetapi pembredelan
ket­ iga media ini sungguh suatu perbuatan yang arogan.
Mereka melakukannya karena tahu tak akan ada penga­ruh­
nya dalam kelangsungan hidup kekuasaan Orde Baru. Pro­
tes-protes akan berjalan terus bak gelombang, tapi mereka
anggap seperti denging nyamuk yang gampang dikeplak.
Gerutuan dunia (Barat) juga akan dibiarkan, telinga akan
di­bikin budeg. Sangat mudah. Hidup berlangsung terus de­
nga­ n aman sentosa.
Bagaimana kabarnya Lintang, Mas? Pasti sedang sibuk
belajar untuk ujian akhir sekolahnya ya. Apakah Lintang jadi
masuk ke Universitas Sorbonne sesuai yang dia rencanakan?
Saya doakan sukses Mas.
Andini juga sedang stres menghadapi ujian akhir. Ren­
cananya dia ingin ikut ujian masuk untuk Fakultas Sastra.
Sedangkan Rama....ini agak mengejutkan sekaligus men­
cemaskan. Dia berhasil diterima di salah satu BUMN bidang

244 PU LANG

konstruksi. Saya rasa, itu karena dia tidak menggunakan
nama Suryo. Se­jak bekerja di sana, dia hampir tak pernah
mengunj­ungi ka­mi kecuali pada hari Lebaran.

Retno mengirim salam untuk Mas. Kalau ada yang ke
Jak­ art­ a, tolong beritahu, nanti saya carikan cengkih untuk
Mas. Juga jika membutuhkan buku-buku sastra yang baru
terb­ it. Salam hormatku untuk Vivienne, Mas Nug, BungRisjaf
dan BungTjai. Peluk rindu untuk Lintang.

Wassalam,
Aji Suryo

Lintang tak pernah mengenal kedua sepupunya secara
langsung: Rama dan Andini, kecuali dari cerita ayahnya dan dari
sur­ at-menyurat antara Lintang dan Andini. Om Aji juga pernah
ber­kunjung ke Paris satu kali ketika ada pekerjaan kantornya
yang mengirim dia ke Eropa. Saat itu, Om Aji menyempatkan
di­ri mengunjungi kakaknya yang sudah puluhan tahun tak di­
temuinya. Meski Lintang masih duduk di sekolah dasar, dia
tak akan lupa bagaimana abang adik itu berpelukan begitu
erat, berbincang sembari merokok dan minum kopi hingga
pagi. Itulah satu-satunya saat Maman tidak menggerutu meski
asbak ayahnya penuh dengan puntung rokok hingga abunya
belepotan ke mana-mana. Saat itu pula, Lintang mendengar
lebih banyak tentang kedua sepupunya: Rama dan Andini.
Saat itu Rama sudah duduk masuk SMA sementara Andini juga
duduk di sekolah dasar seperti Lintang. Menurut Om Aji, Andini
pun senang membaca seperti Lintang. Sore itu juga, bersama
Vivienne, m­er­ eka mencari beberapa buku anak-anak berbahasa
Inggris di­Shakespeare & Co. Lintang merelakan uang sakunya
yang tak seberapa, karena dia ingin sepupunya juga membaca

LEILA S. CHU DO RI 245

buku-buk­ u yang dia baca. Maka mereka membeli buku Little
Women dari Louisa May Alcott, Le Petit Prince karya Antoine
de Saint-Exupéry terjemahan dalam bahasa Inggris, dan Les
Misérables karya Victor Hugo versi yang lebih tipis dalam
bahasa Inggris. Sej­ak itulah Andini menulis surat terima
kasih atas buku-buk­ un­ ya dan mereka rajin berkorespondensi.
Lintang lebih senang lagi karena ternyata Andini, seperti juga
Lintang adalah pembaca buku sastra yang fanatik. Ketika
teknologi sur­ at elektronik sudah mulai digunakan dua tahun
lalu, maka su­rat-menyurat tradisional antar sepupu ini pun
berubah men­jadi pertukaran kabar melalui dunia maya.

Lintang membayangkan pertemuannya dengan para sepu­
punya itu. Alangkah menyenangkan. Darah Lintang meng­alir
deras. Dia tak pernah mempunyai adik-kakak atau saudara.
Alangkah bahagianya menemukan saudara dari sisi yang tak
dikenalnya. Tentu saja Lintang mengenal sepupu jauh, anak-
anak dari sepupu ibunya. Tetapi Lintang tak punya sepupu
dari Jean, kakak Vivienne yang memilih tidak menikah itu.

Surat-surat di bawah surat Om Aji itu terlihat ada beberapa.
Lintang mengais-ngais hingga mendapatkan tulisan tangan
yang berbeda. Surti Anandari. Jari-jari Lintang bergetar. War­
na­ kertas sudah menguning, tinta sudah memudar, tetapi
Lintang masih bisa membaca kata demi kata dengan jelas.

Jakarta, Desember 1968

Dimas yang baik,
Saya tidak tahu apakah surat ini akan tiba di tanganmu
atau tidak. Saat ini kami diperbolehkan pulang ke rumah
setelah beberapa bulan kami ditahan di Budi Kemuliaan.
Saya tidak tahu apalagi yang harus saya jawab setiap
kali mereka bertanya tentang Hananto, karena saya betul-

246 PU LANG

betul tidak tahu dia ke mana. Saya tidak berbohong sekarang
dan tidak akan berbohong kapan pun. Saya tak tahu rute
perjalanan (politik atau asmara) Hananto. Tetapi mereka
tak percaya. Atau tak ingin percaya.

Sejak mereka menahan Hananto bulan April lalu, kami se­­
mua tak pernah mendengar kabar darinya secara langs­ ung.
Sejak dia menghilang Oktober 1965, saya hanya mendengar
bagaimana dia bergerak sep­ ert­­ i bayang-bayang dalam
halimun. Dari desa ke desa. Ko­t­ a ke kota, saya hanya mende­
ngar kelebatannya melalui angin. D­ an selebihnya: sunyi.

Sejak tiga tahun lalu, kami menghadapi sebuah risiko.
Risiko yang telah saya ambil mendampingi seorang Hananto,
ayah dari ketiga anak saya. Saya dilontarkan pada serang­
kaian pertanyaan yang sama dari pagi hingga malam dengan
jeda hanya beb­ er­ apa menit, terkadang oleh interogator yang
sopan. Tak jarang ada yang membentak-bentak dengan
pertan­ yaan yang sama seperti mendengar vinyl yang sem­
ber: apakah saya mengetahui kegiatan Hananto; apa saja
keg­­ iatan kaw­ an-kawan Hananto; apakah saya pernah me­
nget­­ ahui ra­pat-rapat yang dihadiri Hananto. Tetapi kalau
saya boleh me­mi­lih, interogator yang membentak galak le­
bih ‘aman’ dari­pada yang kurang ajar dan gemar mencoba
mengec­ ek kebiasaan saya dan Hananto di ranjang. Pernah
ada satu int­ erog­ ator paruh baya yang sungguh menjijikkan.
Hari itu gi­liran dia mengulik apakah mungkin Hananto
bersembunyi di rumah keluarganya. Dia bertanya, sekaligus
menyelipkan pertanyaan hubungan suami-isteri sembari
perlahan me­muaskan dirinya di balik celana.

Begitu jijiknya, saya menolak meneruskan menjawab
pert­­ an­ yaan dia. Tetapi dengan tenang dia bertanya usia Ke­
nanga dan apakah Kenanga sudah datang bulan. Dimas, itu
te­r­ or mental terburuk yang pernah saya alami!

LEILA S. CHU DO RI 247

Saya tak terlalu khawatir dengan nasib Bulan dan Alam,
karena mereka masih terlalu kecil. Bulan masih enam tahun,
jadi dia masih melihat apa pun sebagai permainan yang lucu
dan para tentara atau interogator malah memberi mainan
un­t­ uknya. Alam masih senang ditimang-timang oleh semua
orang. Wajahnya yang cakap, putih, dengan rambut ikal itu
sering membuat orang-orang penghuni Budi Kemuliaan ja­tuh
kasihan dan memberinya air tajin sebagai pengganti su­su.

Tapi Kenanga sudah mulai remaja. Dia sudah paham
bahw­ a ayahnya sedang diburu dan kita ditahan di sana ka­
rena ‘sesuatu’ yang diperbuat, entah apa. Jika saya tak ber­
hati-hati, mereka bisa mencederai Kenanga.

Salah satu interogator, dengan sopan, menyampaikan
me­reka meminta Kenanga membersihkan salah satu ruang­
an di gedung itu. Saya hanya bisa menyetujui saja, meski
bel­akangan saya baru tahu bahwa tugas Kenanga adalah
me­ngepel bekas bercak darah kering yang melekat di lantai
ruanga­ n penyiksaan. Dia bahkan menemukan cambuk ekor
pari yang berlumur darah kering. Kenanga baru bercerita
seb­­ ulan kemudian sambil menangis tersedu-sedu, karena
dia tak tega melihat saya didera demam tinggi untuk waktu
yang lama. Dia membayangkan jika ayahnya ditangkap,
itu­l­ah yang akan terjadi padanya. Beberapa hari yang lalu,
Kenanga telanjur melihat beberapa lelaki terseok-seok de­
ngan badan penuh darah berjalan berbaris untuk pindah
ruanga­ n.

Dimas, saya menulis ini hanya ingin berbagi dan sekali­
gus berterima kasih kau masih menyempatkan diri mengirim
bant­­ uan meski kalian pun juga dalam kesulitan menjadi pe­
ngelana tanpa tujuan pasti. Apa pun kesulitan yang kami ha­
dapi, kami semua tahu dan sadar kau dan juga Aji sangat
mem­bantu menopang jiwa kami. Saya ingin berterima kasih

248 PU LANG

sed­ alam-dalamnya, dari lubuk hati yang paling dalam.
Pada saat ini, saya menyadari, engkau kawan sejati.

Surti Anandari

Lintang mulai paham betapa beratnya apa yang akan
dihadapi di Jakarta nanti. Surat-surat itu sudah berusia
puluhan tahun, tetapi pemerintah yang berkuasa masih sama.

Sebuah surat lain dengan kertas berwarna putih dengan
tulisan tangan yang rapi dan bersih. Lintang mengamati, tulis­
an tangan orang Indonesia amat rapi, di atas garis, dan seolah
huruf-huruf itu keluar dari sebuah mesin karena cenderung
berbentuk se­ragam. Lintang hampir curiga bahwa anak-anak
Indonesia did­ idik oleh guru tulis halus yang sama, karena
mereka me­miliki tulisan tangan yang begitu mirip dan rapi.
Berbeda de­ngan tulisan tangan Lintang atau kawan-kawannya
yang me­nulis dan membentuk huruf ala kadarnya seperti anak-
anak yang sedang memain-mainkan gulali. Memutar-mutar
jari seenaknya.

Jakarta 18 Juni 1970

Om Dimas,
Saya merasa langit Jakarta sudah retak. Lempengan besi
hitam itu menghujani kami.
Tak habis-habisnya segala yang menimpa kami, Om.
Saya tak tahu apakah ini awal atau akhir dari penderitaan
kami. Sebulan saya tak bisa berfungsi sejak mereka membu­
nuh Bapak. Saya di kamar terus-menerus hingga akhirnya
membusuk bersama tempat tidur dan lantai yang menemani
se­hari-hari. Saya merasa seperti sebuah kubis yang digel­e­

LEILA S. CHU DO RI 249

takk­ an begitu saja, semakin hari semakin tanpa guna.
Tepat sebulan lalu, kami semua diminta berkumpul di Ru­

mah Tahanan Salemba untuk bertemu Bapak terakhir kali.
Ka­mi hanya diberi waktu dua jam untuk berbincang sebelum
Bapak dieksekusi. Tapi, apa yang harus kami katakan dalam
waktu dua jam dengan bayangan Bapak di hadapan sebaris
lelaki dengan senapan yang diarahkan padanya?

Bapak memangku Alam yang tertawa-tawa memainkan
jari-jari Bapak. Tentu saja anak berusia lima tahun masih me­­
lihat langit yang menjanjikan pelangi. Bulan, meski dia ba­r­ u
delapan tahun, sudah memahami konsep ‘datang’ dan ‘per­
gi’. Bulan meneteskan air mata terus-terusan sembari ber­­­
tanya berulang kali apakah dia akan bertemu Bapak lagi. Ibu
mencoba kuat. Dia hanya memegang tangan kanan Bap­ ak
seerat-eratnya dan menahan air mata yang tumpah semb­­ ari
sesekali membisikkan entah apa.

Aku duduk sejauh-jauhnya menghindar dari segala kese­
dihan. Aku ingin kuat, Om. Aku tak tahu caranya untuk mem­
buat tubuhku tegak jika harus meratap. Entah mengapa, aku
malah bangga tak perlu meninggalkan jejak air mata. Aku
bahkan semula enggan melihat wajah Bapak yang hari itu,
dalam dua jam itu, terlihat tenang dan bijak. Apa yang ada
dalam pikirannya?

Menjelang 30 menit terakhir, Bapak menghampiriku.
Sen­dirian. Dia berlutut dan memegang tanganku. “Kenanga,
kam­ u adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga.
Kamu adalah urat nadi kita semua....”

Aku masih menolak melihat wajah Bapak. Menatap sepa­
sang sepatuku yang sudah dower, sepasang sepatu kets yang
su­dah bertahun-tahun kukenakan, dan aku mencoba meng­
in­ gat di mana Ibu membeli sepatu itu? Apa warna aslinya?
Me­rah muda? Jingga? Warna sepatu ini sekarang begitu

250 PU LANG

pudar hingg­ a aku tak tahu lagi apakah kita menyebutnya
cokelat kus­ am atau....

“Kenanga....”
Bapak menggenggam tanganku seeratnya. “Bapak minta
maaf sudah menyusahkan kalian semua. Bapak pamit dan
hanya bisa minta pada Kenanga untuk tetap kuat. Untuk Ibu,
Bulan, dan Alam....”
Om. Saya benci air mata. Karena selalu datang dan me­
ng­a­ lir seenaknya saat saya tak menginginkannya.

Kenanga Prawiro

Lintang merasa seluruh tenaganya habis diisap oleh surat-
su­rat penuh darah ini. Bukan saja karena dia harus sibuk me­
ng­u­ sir air matanya, menangisi keluarga-keluarga yang ter­
pecah-belah yang tak dikenalnya. Tapi dia tiba-tiba merasa
be­gitu dekat dengan mereka semua.

Lintang merasa harus mencari surat lain yang bernada
‘alter­n­ atif’. Membaca surat berdarah membuat dia ikut ber­
darah. Sehelai surat berwarna biru muda dengan tulisan tangan
yang sangat rapi dan kalimat pendek-pendek. Ah, mungkin ini
dia Bang Amir.

Jakarta, 1969

Dimas saudaraku,
Saya menerima suratmu dan segera saat ini juga saya
menuliskan padamu. Saya ikut berduka cita atas kepergiaan
Ibunda, Dimas. Saya bersujud dan berdoa pada Allah agar
Bel­iau segera memeluknya. Semoga engkau dan kawan-ka­
wan lain sehat dan tetap kuat di negeri jauh.

LEILA S. CHU DO RI 251

Dimas, ingatkah kau pembicaraan kita tentang suatu
‘ge­l­embung kosong’ di dalam kita, yang diisi hanya oleh kau
dan Dia, untuk sebuah Persatuan antara kita dan Dia yang
tak bisa diganggu oleh apa pun barang seusapan. Inilah sa­
at yang tepat untukmu untuk melihat sepetak kecil dalam tu­
buhmu itu. Sendirian. Berbincang, jika kau ingin. Atau diam,
jika kau ingin. Dia mendengarkan.

Selalu mendengarkan.

Sahabatmu,
Moh. Amir Jayadi

Tanpa sadar, Lintang memegang dadanya sendiri. Gelem­
bung kosong. Sepetak kecil dalam tubuh. Pembicaraan kita
dan Dia? Adakah itu di dalam dirinya?

252 PU LANG

FLANEUR

On ne voit bien qu’avec le cœur. L’essentiel est invisible
pour les yeux.

(Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry)

Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan
jernih. Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat
mata.

Kalimat itu selalu diingat oleh Lintang sejak pertama kali
ayahnya membacakan novel karya Antoine de Saint-Exupéry
yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang pesawatnya
terjebak di gurun Sahara.

Malam itu, Lintang mempunyai satu pertanyaan. Mungkin
seribu pertanyaan. Namun satu pertanyaan itu, yang terus-
menerus berpijar tanpa henti, ada di dalam hati: Apakah
mungkin dia bisa melihat semua persoalan yang rumit itu
nanti di Jakarta dengan jernih?

254 PU LANG

Lintang belum bisa menjawab.
Tetapi malam itu, dan malam-malam berikutnya dia tak
henti-hentinya mengetik dan mengetik seperti tak ada hari
esok. Sesekali dia membuka buku, manuskrip, jurnal, kliping,
makalah, mengamati foto-foto lama, lalu menulis lagi, mengetik
lagi. Membaca lagi, menandai dengan stabilo kuning, menulis
lagi. Bergelas-gelas kopi mengisi lambungnya yang sebentar
lagi akan menjerit karena terlalu asam dan musik klasik karya
Ravel sudah bolak-balik menggedor telinganya. Mata Lintang
membelalak sebesar-besarnya menatap belasan lembar pro­
posal yang ditulis dalam bahasa Prancis nyaris sempurna,
yang menggunakan beberapa kutipan yang tepat dan efektif
dari wawancara. Lintang menjelaskan betapa pentingnya
menguak sesuatu yang selama ini dikubur dalam sejarah
Indonesia; betapa pentingnya memberi ruang dan tempat bagi
mereka yang selama ini dibungkam untuk bersuara. Lintang
ingin me­yakinkan, betapa pentingnya dia merekam itu semua
di Indo­nesia, bukan di Paris atau Amsterdam. Nama-nama
narasumber yang diwawancara diurut dari yang dikenal sampai
yang dilupakan sejarah.
Ini pagi keempat. Lintang menggeletak di atas sofa, men­
cob­ a memejamkan mata sebelum dia harus mandi, bersiap
men­ gej­ar Profesor Dupont untuk menyerahkan proposalnya.
Dia tertidur begitu lelap dan hampir saja terlambat saat sebuah
ciuman selembut kapas membangunkannya.
“Nara...,” Lintang mengusap-usap matanya. Dia mendadak
merasa tenggorokannya kering betul. Jam berapa? Di manakah
dia?
“Aku khawatir karena kau tak mengangkat telepon. Aku
tahu kau sedang menulis proposal. Dan aku tahu kau harus
segera ke kampus.”
Lintang meloncat dari sofa. Puluhan lembar proposal yang
disusunnya terhambur ke udara, dan dia segera berlari ke kamar

LEILA S. CHU DO RI 255

mandi membanting pintu. Nara tersenyum menggelengkan
kepala sambil memungut lembaran proposal itu satu persatu
dan menyusunnya dengan rapi berurutan.

Dia menuang jus jeruk ke dalam gelas dan mulai melipat
lengan hemnya untuk memasak sarapan. Nara tahu betul ke­
kasihnya pasti tidak makan dengan baik dan hanya meng­kon­
sumsi bergalon kafein selama tiga malam berturut-turut.

“Hm, omellette dan sausage? Dari mana pula kau dapat
croissant? Aku belum belanja seminggu ini. Kamu todong
boulangerie1 dari lantai dasar ya?” Lintang masih dalam kimono
langs­ ung mencomot seluruh makan pagi yang disediakan Nara
dengan rapi di atas meja.

“Mereka baru saja mengeluarkan croissant pertama dari
oven di pagi ini, langsung aku beli,” kata Nara.

“Kau memang malaikat,” Lintang mencium Nara, “itulah
sebabnya aku memilih apartemen busuk ini. Karena tiap pagi
aku bisa mencium bau croissant mereka.”

“Tapi pagi ini kau bangun karena ciumanku,” Nara men­
cium Lintang tak henti-henti. “Masih ada waktukah unt­ uk...
membuatmu tidak tegang?”

Lintang tertawa, menyentil telinga kekasihnya, lalu masuk
ke dalam kamarnya untuk berganti baju.

“Proposalmu sudah kurapikan, kumasukkan ke dalam map
hijau,” Nara berseru.

“Kau sudah baca?”
“Sekilas. Kan aku menyiapkan sarapanmu. Kelihatannya
lengkap dan sangat berisi. Aku yakin Monsieur Dupont akan
terkesan.” Nara membereskan peralatan dapur Lintang yang
kocar-kacir.
Lintang sudah siap mengenakan celana panjang, kemeja,
dan scarf batik tipis milik ibunya. “Apa yang saya baca

1 Toko roti.

256 PU LANG

beberapa pekan terakhir, apa yang saya baca dari manuskrip
Ayah, surat-surat yang dia terima, film-film dokumenter resmi
maupun buatan beberapa sineas dokumenter Australia dan
BBC, ini adalah sejarah berdarah terbesar di Indonesia yang
justru dikubur dalam-dalam,” Lintang lantas duduk di meja
makan dapur sembari menyambar omelet dan sosis dengan
semangat. Nara mendengarkan sambil mengangguk-angguk.

“Pembantaian yang terjadi terus-menerus di berbagai
bagian Indonesia, perburuan terhadap anggota komunis atau
keluarganya adalah sebuah pengukuhan untuk kekuasaan yang
kekal, yang kuat, dan abadi. Dan konsep Bersih Diri dan Bersih
Lingkungan? Merde!” Lintang berbicara menerobos titik koma
dan tanda seru sambil mengunyah omelete dan mengangkat
garpunya ke udara hingga Nara harus menurunkan tangan
kekasihnya agar garpu itu tidak mencolok matanya.

“Bagus sekali, Sayang. Bersiaplah. Aku antar kau ke
kantor Monsieur Dupont, setelah itu aku harus bertemu Prof.
Dubois.”

“Ah,” Lintang merasa bersalah tak memberikan perhat­ ian
sedikit juga pada kekasihnya, “dia akan memberi reko­men­
dasi?”

“Kelihatannya begitu. Ayo, setelah ini semua selesai, aku
akan menculik dan mengurungmu selama tiga hari di dalam
kamar,” kata Nara mencoba menyimpan hasratnya.

Nara menyambar jaket Lintang dan mereka segera berlari
menuju stasiun Metro. Pada saat itu, Lintang tak bisa tidak,
ma­lah berpikir: betapa mudah hidup yang dia lalui. Dia akan
membuat tugas akhir. Kekasihnya akan melanjutkan pen­
didikannya ke Inggris. Paris akan memasuki musim panas se­
bentar lagi. Semua begitu tertata rapi dan apik.

***

Dimas memasukkan amplop besar dan hasil X-ray ke dalam

LEILA S. CHU DO RI 257

sebuah tas besar yang diberikan oleh rumah sakit. Dia ingin
sekali membuang semua hasil tes itu ke dalam tempat sampah.
Plung! Tetapi itu itu terlalu dramatis dan kekanak-kanakan.
Dimas duduk di stasiun Metro memandang tembok Metro
bawah tanah dan tiba-tiba saja dia merasa merasa poster-
poster itu berisi serangkaian iklan dan peringatan untuk men­
jaga kesehatan: vaksin, penyakit kulit, kanker payudara, HIV.
Dimas heran. Alangkah klise: dia bukan mati karena dieksekusi
seperti Hananto, atau ditendang masuk jurang atau dilempar
ke Bengawan Solo. Dia akan digerogoti perlahan-lahan oleh
penyakit yang dengan kurang ajar tak bisa kasat mata.

Begitu klise, begitu banal, begitu medioker hingga Dimas
merasa untuk memikirkan atau membicarakan topik itu saja
adalah bentuk pengkhianatan bagi umat manusia.

Dimas memegang perutnya yang mulai terpilin-pilin. Dia
mengeluarkan botol obat yang baru saja ditebusnya di rumah
sakit. Dia menenggak sekaligus dua butir. Paris sudah ingin
menyambut awal musim panas.

Dimas menghitung berapa musim panas yang masih akan
ditemuinya.

***

Lorong ruangan kuliah umum Universitas Sorbonne selalu
menjadi kenangan bagi Lintang ketika tahun pertama dia
menjejakkan kaki di kampus ini. Kali pertama dia mengenal
Narayana; pertama mengenal belajar bagaimana merekam daun
jatuh di musim gugur dan angin di musim dingin; bagaimana
harus sabar menanti kelopak bunga mekar hanya untuk sebuah
satu rekaman beberapa detik; dan bagaimana mencari kutipan
yang menarik dari orang-orang yang diwawancara untuk film
dokumenter. Tetapi yang lebih penting lagi, berbeda dengan
apa yang dialami di sekolah dasar, Lintang merasa Universitas

258 PU LANG

Sorbonne telah berhasil membuatnya menjadi bagian dari
kehidupan akademis yang tak peduli dengan warna kulit atau
penampilan mahasiswa. Hidup yang begitu bebas, begitu
bebasnya, hingga Lintang merasa ia dan kawan-kawannya di­
ajak terjun dan menukik langsung pada dunia intelektuali­sme.
Asyik dan menggairahkan.

Tantangan Monsieur Dupont untuk menggali sejarah
dirinya lebih dalam telah membawa Lintang berdiri di sini.
Di koridor ini. Berjalan dari lorong ke lorong menuju kantor
Profesor Didier Dupont, Lintang merasa sedang melalui se­
buah upaya mencapai satu titik tujuan yang asing bernama
Indon­ esia. Pintu terbuka. Lintang mengatur nafas, mengetuk
pintu, dan melongokkan kepala. Didier Dupont melihat wajah
Lintang dan melambaikan tangan agar Lintang masuk.

“Lintang....”
“Monsieur Dupont.”
Dupont tersenyum lebar.
“Luar biasa!”
Lintang menghela nafas lega.
“Ah...oui?”
Dupont mengangguk-angguk dan mengeluarkan proposal
Lintang dari tumpukan map. “Topik menarik dan unik. Belum
pernah dikerjakan mahasiswa sebelumnya. Sudut pand­ ang
yang kau ambil tajam. Meski kau bagian dari korban peristiwa
ini....”
“Attendez, Monsieur.2 Saya rasa, saya tak ingin mema­
sukkan diri saya sebagai korban.”
Didier Dupont memandang Lintang dengan matanya yang
biru. Mata yang tersenyum, meski bibirnya tak menunjukkan
emosi apa-apa. “Saya paham. Tapi di mata penonton yang
menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap korban. Karena

2 Tunggu, Monsieur.

LEILA S. CHU DO RI 259

kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal
sebagian dari dirimu. Tanah air ayahmu.”

Lintang terdiam.
“Ini akan menjadi film dokumenter yang luar biasa, asal
kau tepat waktu dan tetap setia pada fokus,” Didier Dupont
menghentikan langkahnya.
“Monsieur, poin saya yang terakhir...”
“Saya tahu...kamu ingin merekam semua itu di Indonesia.
Menurut saya tidak masalah. Akan saya rekomendasikan ke
kepala departemen. Ada sedikit dana. Mungkin kamu harus
tetap mencari sumber dana lain untuk tambahan.”
Lintang ingin sekali memeluk dosen pembimbingnya erat-
erat. Tetapi tentu saja dia harus menahan diri. Dari sorot mata
Lintang, Didier Dupont bisa melihat ada dua butir bintang
yang berloncatan seperti ingin mencelat keluar dari kantong
matanya.
“Akan kuberikan pada mereka, tunggu sehari dua hari, kita
bertemu lagi untuk mengurus hal-hal teknis.”
“Merci, Monsieur,” Lintang meraup tangan Didier Dupont
dan menyalaminya dengan girang.
“Derien, Lintang.”
Dupont memandang Lintang dengan serius, “Film doku­
men­ter itu berkisah tentang manusia, suka-dukanya. C’est la
vie et l’histoire de la vie. Jadi, kamu harus mengerjakan do­ku­­
menter ini bukan hanya karena ini tugas dari saya. Tapi harus
dari sini (Dupont menunjuk dadanya). Jangan hanya meng­
gunakan otak....”
On ne voit bien qu’avec le cœur.3
“D’accord, Monsieur.”
“Tolong, hati-hati. Indonesia sudah mulai bergolak.
Mahasiswa dan aktivis di banyak kota besar sedang turun ke

3 Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih.

260 PU LANG

jalan setiap pekan. Kamu harus tetap fokus. Dan yang lebih
penting lagi, kamu harus tepat waktu. Kamu terlambat, artinya
kamu tidak lulus. Vous comprenez?”4

“Je comprends. Merci Monsieur.”5
Lintang berlari-lari sepanjang koridor. Dia merasa seperti
akan menggapai sesuatu. Menggapai sesuatu yang selalu asing
di dalam dirinya. Memetik satu dari I.N.D.O.N.E.S.I.A....

***

Nasi kuning, ayam goreng kremes, kering tempe, sambal
bajak teri, urap tabur kelapa. Memang sinting. Lintang akan
ke Jakarta. Tapi dia toh melahap masakan ayahnya itu seperti
seorang narapidana yang sudah dua tahun hanya makan nasi
basi dan garam. Semua dicoba, semua dilahap nyaris tak diku­
nyah.

“Makanya jangan berseteru dengan ayahmu sendiri, jadi
kalap begini,” Om Nug tercengang melihat Lintang membuat
dua piring licing tandas. Nara menggaruk kepala, karena baru
saja menikmati sepiring kecil risol untuk makanan pembuka.

Dimas keluar untuk mengecek dan menggaruk kepalanya
mel­ihat nasi kuning dan lauk-pauknya sudah tinggal piring
belaka.

“Mau tambah, Nak?”
Lintang tersenyum lebar.
“O Mon dieu,” Nara melotot.
Dimas tertawa senang. Dia masuk lagi untuk mengambilkan
makanan yang diinginkan anaknya.
Hanya beberapa menit, masuklah tiga orang lelaki muda,
tampan dan bersih, mengenakan jas, kemeja, dan dasi dengan

4 Kamu paham?
5 Saya paham.

LEILA S. CHU DO RI 261

map di tangan. Risjaf berdiri terpana karena dia tahu betul siapa
mereka. Namun dia tak bergerak dari tempatnya karena tak
tahu apakah dia harus mengeluarkan otot atau mempersilakan
mereka. Roman wajah ketiga anak muda ini sungguh ramah
dan bahkan...lapar. Mereka ke sini untuk makan siang? Nug
menurunkan kacamatanya ke tengah hidung dan memandang
mereka dengan was-was, sementara Tjai untuk sementara
melupakan kalkulator kesayangannya saking terpesona.

“Hai, Raditya, Yos...ayo ayo gabung sini. Sini Hans,” Nara
berseru.

Risjaf memberi jalan kepada ketiga pemuda ganteng ini,
masih dengan wajah heran. Kecurigaannya semakin menipis
melihat ketiganya bersalaman begitu akrab dengan Nara dan
akhirnya pupus ketika Lintang malah mempersilakan mereka
du­duk dan menggabungkan dua meja menjadi satu sembari
memberikan lembaran menu yang disodorkan Yazir.

“Ini anak-anak KBRI, Sjaf? Mataku ndak salah?” Nug
berbisik.

“Yo Mas, aku juga sedang mengidentifikasi,” jawab Risjaf.
“Selamat siang...bisa saya bantu?” tiba-tiba Tjai berdiri di
hadapan meja mereka.
Lho?
Nug dan Risjaf saling memandang.
Yazir langsung mundur teratur karena Tjai maju dengan
perkasa. Sejak kapan Tjai tertarik menemui pengunjung dan
me­nawarkan pelayanannya secara langsung? Tjai adalah
makhl­­uk yang mencintai kalkulator dan kedisiplinan transaksi
agar pembukuan rapi dan tak ada garis merah. Apa gerangan
pen­dorong Tjai, yang sukar berpisah dengan podium kasir dan
kal­kulatornya itu, untuk bergerak mendekati tiga pria yang
sedang duduk-duduk mengelilingi ‘keponakan’ mereka yang
cantik itu?
“Nasi padangnya enak. Nasi padang saja ya? Kamu juga ya,

262 PU LANG

Nara? Supaya aku bisa comot dari kamu,” Lintang menguasai
medan. “Nasi padang Om, empat. Minumnya es nangka ya?
Begini,” Lintang mengacungkan jempolnya. Ketiga pemuda
ganteng itu mengangguk-angguk seperti sapi bodoh. Nara
tersenyum membiarkan Lintang memegang kemudi. Tjai
masih berdiri di situ. Tak bergerak memandang Lintang, lalu
memandang Hans, Yos, dan Raditya.

“Oh, Om Tjai...ini Hans, Yos, dan Raditya,” Lintang
segera paham bahwa ketiga pria ini harus kulonuwun pada
para pemilik koperasi. Ketiganya berdiri dengan sopan dan
bersalaman. “Itu Om Nug dan Om Risjaf. Satu lagi, ayahku di
dalam sedang memasak. Merekalah Empat Pilar Tanah Air.”

Ketiganya mengangguk sopan ke arah Risjaf dan Nug yang
berdiri agak jauh memandang mereka. Risjaf dan Nug mem­
balas anggukan itu.

Tjai mencatat pesanan mereka dan pura-pura sibuk me­
nuju dapur. Lintang sudah membayangkan dia kelojotan mela­­
porkan kepada ayahnya bahwa ada tiga diplomat muda KBRI
yang sedang duduk satu meja dengan anaknya. Apalagi Om
Nug dan Om Risjaf juga segera menghilang di balik pintu da­
pur. Lintang ingin sekali ikut menyelip ke dapur hanya untuk
men­d­ engarkan betapa ceriwisnya empat pilar itu untuk kali
pert­­ ama melihat ada ‘unsur’ pemerintah Orde Baru yang me­
ngi­­njakkan kakinya ke restoran itu.

Hans melemparkan pandangan ke seluruh dinding. Raditya
membaca buku tamu yang tergeletak di depan, membaca pesan
dan dukungan nama-nama besar yang sudah pernah ber­
kunjung ke sana: Rendra, Arief Budiman, Abdurrahman Wahid
dan Ny. Nuriah Abdurrahman Wahid, Daniélle Mitterrand.
Hanya beberapa menit, tiba-tiba saja Dimas Suryo, ya, Dimas
Suryo sang ayah datang membawa beberapa piring nasi pa­
dang. Lintang langsung paham, tentu sang ayah ingin yakin
anaknya tidak akan dikuliti atau dicederai oleh ketiga pemuda

LEILA S. CHU DO RI 263

ini. Lintang menyimpan senyum geli dan membantu ayahnya
meletakkan lima piring.

“Ayah tahu kau pesan empat piring. Tapi kasihan Nara, kau
pasti mengorek-ngorek piring dia,” kata ayahnya meletakkan
piring-piring nasi padang itu ke hadapan anak-anak muda itu.

“Ayah, ini Raditya, ini Hans, dan ini Yos...semua teman
Nara.”

Mereka berdiri serabutan seperti tiga serdadu yang ber­
temu dengan Bapak Jenderal. Dimas menyalami mereka satu
persatu dan mempersilakan mereka duduk dan menikmati nasi
padang. Tapi Dimas tak beranjak dari meja Lintang dan para
tamunya. Dia berdiri dan melipat tangannya. Tanpa senyum.

“Ayah...”
“He?” Dimas mengangkat alis.
“Mari makan...Pak Dimas.” Raditya dengan gugup meng­
angkat sendok dan garpunya dan belum berani menyantap.
“O silakan, silakan,” Dimas melirik ketiga kawannya sudah
berbaris melipat tangan di depan dapur. “Kalau ingin tambah,
ada Yazir.”
Dimas meninggalkan mereka, masuk ke dalam dapur. Te­
ta­pi ketiga om gayek tetap di sana, mencoba mencari kesib­ uk­
an meski ekor mata mereka tetap waspada.

“Sorry,” Lintang menggeleng kepala, “mereka agak
protektif. Maklum belum pernah ada orang KBRI yang meng­
injak restoran ini.”

“No problem. Sangat paham,” Yos melahap rendangnya
tanpa ingin mengangkat wajahnya lagi. Daging rendang yang
empuk itu lumer di lidahnya. Dia bahkan tak ingat apakah
Raditya dan Hans juga sudah menyatukan wajah dengan piring
di hadapannya. Ketiga diplomat muda itu tiba-tiba saja lupa di
mana mereka berada. Rendang, kuah gulai ayam yang merayap
pada nasi putih panas, dan sambal goreng ati yang dicampur

264 PU LANG

dengan kentang. Di pojok piring, Dimas memberikan sambal
hijau padang. Mereka tak peduli mereka di Paris, tak peduli de­
ngan sendok dan garpu. Mereka langsung melahapnya de­ngan
tangan. Masya Allah,mengapa mereka dilarang ke sini?

“Ayah masih ingin memasak sendiri, terutama kalau ada
tamu penting,” kata Lintang mencoba membuka pembicaraan.
“Aku sudah lama tak ke sini, makanya Ayah ngotot mau
masak.”

Ketiga diplomat mengangguk tak peduli dengan penjelasan
itu. Yang penting rendang dan gulai ayam ini dahsyat.

“Kalian bukannya dilarang makan di sini? Aku dengar ada
sele­baran resmi dari Jakarta?” Lintang terus bertanya seolah
ingin mengganggu kenikmatan tiga pengunjung baru itu. Ris­
jaf, Tjai, dan Nug langsung memasang telinga, ingin tahu ja­
waba­ n mereka. Hans terpaksa mengangkat kepalanya.

“I don’t give a damn!” jawabnya dengan bibir berminyak,
“Si­apa yang bisa menolak rendang yang dahsyat ini.” Hans
kem­bali memasukkan wajah ke piring nasi padang. Raditya
dan Yos sama sekali tak menjawab karena lebih sibuk dengan
gul­­ai ayam masing-masing. Lintang tertawa melihat Raditya
men­c­ opot jasnya karena dia mulai berkeringat. Lintang ikut
mel­ahap nasi padang itu meski sebelumnya dia sudah meng­
habiskan dua piring nasi kuning.

“Seberapa besar lambungmu, Sayang?” Nara tertawa geli
me­lihat kekasihnya tak berhenti makan sepanjang hari.

Piring-piring sudah licin tandas. Ruangan sudah penuh
asap rokok kretek.

“Oh, aku tak ingin kembali ke kantor,” Yos bersender dan
memandang asap rokok yang baru saja diembuskannya. Kecuali
Lintang yang masih menikmati es nangka, mereka semua
menikmati rokok seperti tengah menikmati liburan panjang.
Ketika rokok sudah memendek, Hans mengambil seb­ uah map
dari tasnya, dan mengeluarkan beberapa helai for­mulir.

LEILA S. CHU DO RI 265

“Isi saja formulir visa ini dan letakkan namamu Lintang
Utara, tak perlu pakai Suryo.”

Lintang mengerutkan kening.
“Lalu, kotak nama keluarga ini?”
“Gunakan nama Utara. For all we care, that is your last
name,” kata Yos dengan nada enteng, “yang penting kau mau
masuk Jakarta kan?”
Lintang mengangguk dan mulai mengisi formulir visa.
Risjaf dan Nug mulai tenang. Mereka mulai mondar-mandir
keluar masuk ruangan itu mengurus tamu lain sementara Tjai
sudah tenggelam dengan soal angka.
“Aneh,” kata Lintang sembari menulis, “first name Lintang,
family name Utara.”
“Jangan khawatir,” Raditya mematikan rokoknya, “pas­
pormu adalah paspor Prancis, jadi mereka tak akan terlalu was­
pada. Kalaupun mereka melihat nama Indonesia, mereka tak
pe­duli juga. Apalagi orang Indonesia, terutama Jawa—kalau
saya bilang Jawa, maksudku Jawa Tengah—jarang menulis
nam­­ a keluarga. Di KBRI ada yang bernama Hesti Handayani.
Teman kuliahku Retno Sulistyowati. Dan begitulah nama yang
ter­cantum di KTP maupun paspor mereka.”
Lintang terpana dengan informasi baru ini. Tetapi dia tak
merasa punya cukup waktu dan energi untuk berdiskusi ten­tang
kebiasaan “tidak menggunakan nama keluarga” di Indonesia.
Pengisian formulir, foto, dan tanda tangan beres. Mereka
kini menikmati pisang goreng sebelum pamit menggelinding
kem­bali ke kantor. Dimas keluar dari dapur karena Lintang me­
manggil ayahnya agar bisa berterima kasih pada tiga diplomat
baik ini. Tetapi Lintang masih penasaran.
“Aku ingin tahu, Yos, Raditya, dan Hans...mengapa...
meng­apa kalian berani melakukan ini. Mengapa kalian mau
mem­bantuku?”
Mereka bertiga memandang Narayana. Nara mengangguk.

266 PU LANG

Raditya yang semula sudah bersiap akan pergi, duduk kembali.
Apalagi dia melihat Nug, Risjaf, Tjai, dan Dimas juga ikut
menanti jawaban.

“Entahlah.”
“Alah...ceritalah.”
“Yang mana?”
“Ya semualah.”
“Oke,” Raditya akhirnya mencoba mengumpulkan kebe­
ranian. “Aku merasa zaman harusnya sudah berubah. Sudah
terlalu lama kita dipenjara oleh soal politik masa lalu. Seperti
kau, Lintang, kami semua kan generasi baru yang lahir jauh
se­sudah tahun 1965. We have brains, we have our own minds,
mengapa harus didikte.”
“Maksudnya Raditya begini,” Hans menambahkan karena
tidak sabar, “setiap diplomat muda, sebelum pos pertamanya
ke luar negeri, harus melalui tes tertulis maupun lisan. Di da­
lam tes tertulis ada pertanyaan, ‘Apa yang akan kau lakukan
jik­ a lawan bicaramu mengatakan bahwa dia komunis?’”
Lintang melotot. Nara terkesiap. Risjaf, Tjai, dan Nug
menga­ ngkat kepala.
“Apa jawabmu?” Lintang tak sabar dengan gaya bercerita
yang dipotong-potong.
Raditya melirik pada kedua kawannya dan tertawa kecil,
“Saya menulis ‘that’s none of my business. Everybody has the
right to have their own political beliefs’.”
Lintang menutup mulutnya saking terkejut. Dimas dan
ketiga kawannya tertawa terbahak-bahak. Nug bahkan meng­
guncang-guncang bahu Raditya.
“Gila! Lalu kau menjawab apa?” tanya Lintang pada Yos.
“Aku mengosongkan bagian itu. Aku tidak menjawab.”
“Aku menjawab: “Nothing. So?”
Ruangan itu kembali penuh dengan tawa gelak mereka.
Dimas tertawa hingga keluar air mata dan sakit perut.

LEILA S. CHU DO RI 267

“Lalu, kalian dihukum?” tanya Nug.
“Ya, Pak. Kami bertiga tidak boleh berangkat tahun itu,”
ja­wab Raditya. “Padahal angkatan kami sudah harus ke pos
masing-masing. Tapi kami bertiga ditah­ an keberangkatannya
selama dua tahun. Seharusnya saya ke­Inggris, Yos ke Argentina,
dan Hans dapat Kanada. Kami dihukum dua tahun di Jakarta
dan mengerjakan hal-hal yang remeh-temeh. Disuruh ikut
kelas P4.”
Raditya berkisah bahwa dia mengambil studi politik
di University of Toronto, Kanada ketika ayahnya menjadi
diplomat di sana. “Siapa pun yang belajar politik dengan serius
harus membaca semua buku politik dan ekonomi, termasuk
karya Marx, Engels, dan semua penulis kiri sesudahnya yang
jauh lebih modern. Tapi kami kan juga harus membaca pe­mi­
kiran politik lainnya. Justru karena kami membaca, kami pa­
ham mengapa komunisme gagal di banyak negara. Buat saya,”
Raditya berdiri mengenakan jasnya, “malah aneh mel­ar­ ang
buku kajian komunisme di Indonesia. Karena itu menga­ ngg­ ap
ma­syarakat kita bodoh dan tak bisa menggunakan otak­nya.
Pul­uh­an tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa ber­
pikir sendiri.”
Dimas kini paham mengapa para diplomat yunior itu berani
datang ke Restoran Tanah Air dan tidak peduli larangan resmi
dari Jakarta. Bukan hanya persoalan lezatnya rendang dan
gul­ai ayam buatannya. Tetapi ini adalah generasi baru yang
merasa tidak bisa didikte oleh sesuatu yang mereka anggap
tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang cerdas, yang
mulai berani berpikir mandiri.
Hans dan Yos ikut berdiri.
“Hans, kami mengikuti di tanah air...,” Nug mencoba me­
nah­ an mereka sebelum pergi, “di beberapa kota besar sed­ ang
ada demonstrasi besar-besaran. Bukan hanya karena BBM
naik, tapi rangkaian dari tahun lalu setelah dolar dilepas, kabi­

268 PU LANG

net dirombak.”
“Ya, ada terminologi yang sedang populer: KKN,” kata

Risjaf.
“Apa Presiden tetap akan pergi ke Kairo?” tanya Dimas.
“Kelihatannya begitu, Pak...situasi memang sedang kacau

sekali. Lintang, hati-hati di Jakarta. Take care.”
“Terima kasih Hans, Radit, dan Yos...terima kasih.”
Raditya, Hans, dan Yos bersalaman dengan Dimas dan

kawan-kawan, “Saya yakin suatu hari akan ada perubahan,
Pak,” kata Yos ketika Dimas memeluk mereka satu persatu.

Sekali lagi, Lintang merasa dia diberkahi begitu banyak
kemudahan di antara absurditas I.N.D.O.N.E.S.I.A.

***

Hanya seminggu kemudian, paspor Lintang sudah lengkap
dengan visa Indonesia. Hari sudah senja. Dimas dan kedua
hambanya sedang mempersiapkan makan malam untuk
tamu. Risjaf dan Tjai sudah mulai bersiap untuk tamu-tamu
yang ingin makan malam. Lintang baru saja minum kopi dan
menikmati pisang rebus bersama Vivienne dan Nara. Nara
menengok arlojinya lalu menghabiskan kopinya.

“Lo, kau mau kemana? Tidak ikut makan malam?” Risjaf
heran melihat Nara berberes-beres ransel.

“Saya banyak paperwork, Om. Perihal ke Inggris. Besok
harus bertemu tiga orang dosen.”

“Jadinya ke universitas apa, Nak?”
“Cambridge, Om.”
Risjaf memperlihatkan jempolnya. Nara mencium pipi
Lintang dan pamit dengan Vivienne.
“Maman, apa Ayah juga bilang pada Maman dia hanya
infeksi lever belaka?” Lintang berbisik-bisik.
“Ya. Kenapa?”

LEILA S. CHU DO RI 269

Lintang mengangkat bahu, “Saya kurang percaya....”
Vivienne menatap pintu dapur. Kepala Dimas terlihat dari
jendela dapur. Dia juga merasa demikian. Dimas nampak me­
nyembunyikan hasil tes kesehatan yang diterimanya.Nam­ un
Vivienne merasa tak berhak untuk mencampuri sikap Dimas
dengan tubuhnya. Dia bukan lagi isterinya. Tapi...
“Kau tunggu di sini. Maman akan coba gali sedikit. Mudah-
mudahan dia mau terus terang, meski Maman tak yakin,” Vivi­
enne berdiri dan menuju dapur.
Ketika Vivienne menghilang ke dapur, ketiga om langsung
duduk melingkari Lintang dan menanti hingga gadis itu selesai
dengan potongan terakhir pisang rebus kesukaannya.
“Ini daftar nama dan alamat serta nomor telepon kawan-
kawan kami dan ayahmu. Sebagian sudah Om email, sebagian
lagi masih terlalu tradisional jadi terpaksa kami kirimi surat,”
kata Tjai yang paling rapi dan teorganisir.
Lintang membaca satu-persatu dan menandai beberapa
nama yang sudah dia hubungi.
“Lintang, ini daftar restoran yang harus kau kunjungi sean­
dainya kau ada waktu,” kata Nug. “Dulu ada yang naman­ ya
restoran Padang Roda...coba tengok, masih adakah res­toran
itu. Juga kunjungi Pasar Senen, itu tempat kami semua duduk
ngobrol dan ngopi.”
“Ah, sudah hancurlah tempat itu,” kata Risjaf yang sudah
pernah ke Indonesia beberapa kali, “sudah berbeda Mas Nug.”
“Yang penting kunjungi keluarga Om Hananto almarhum,
Lintang. Tante Surti....”
“Kenanga, Bulan, Alam...ya sudah saya catat semua,” Lin­
tang memotong kalimat Om Nug dengan sedikit hentakan yang
untung saja tak disadari Nug yang terlalu sibuk mencari-cari
alamat beberapa kawan yang akan diberikan pada Lintang.
Lintang masih belum bisa memutuskan bagaimana peras­ aan­
nya terhadap keluarga ini. Ada sesuatu yang rumit dan aneh

270 PU LANG

antara ayahnya dan keluarga itu. Hubungan ayahnya dengan
Om Hananto almarhum; lantas hubungan ayahnya dengan
Surti (bagaimana dia harus memanggilnya? Tante?). Ada apa
dengan segitiga ini? Di mana letak Maman dan Lintang dalam
segitiga yang aneh ini? Lalu, Kenanga, Bulan, dan Alam. Tiga
nama itu terasa begitu dekat dengannya karena Lintang sudah
membaca surat-surat mereka. Mengapa Ayah merasa jauh
lebih bertanggung jawab atas kehidupan mereka dibanding,
katakanlah, atas anak-anak keluarga tapol lainnya?

Lintang masih mempelajari nama-nama dan alamat yang
diberikan Om Tjai dan Om Nug ketika Dimas keluar dari dapur
bersama Vivienne. Semua mata memandang mereka. Nug tak
tahan tidak menggoda pasangan aneh yang masih saling men­
cintai ini.

“Kalau kalian masih remaja, pasti sudah ada ratusan ejekan
yang bisa kulontarkan pada kalian...misalnya, habis ngapain?
Lama amat di dalam.”

Dimas melambaikan tangannya menunjukkan bahwa
tidak ada yang penting, “Vivienne menodong aku tentang hasil
kesehatanku, menyangka aku sakit berat!” Dimas menggerutu,
“Masakan dia tak terima, usia senja aku masih sehat, segar,
dan ganteng?”

Vivienne mengangkat bahu dan duduk kembali di samping
Lintang.

“Gagal,” bisik Vivienne. Lintang tersenyum, “Aku akan
coba, Maman. Besok kami berjanji makan siang dan jalan-ja­
lan ke warung buku Antoine Martin.”

Vivienne mengangguk, meski tak banyak berharap.
“Lintang, Om mau pesan, kalau kamu bertemu dengan
siapa pun dari pihak pemerintah Orde Baru, jangan langsung
antip­ ati. Banyak sekali yang membantu kita. Banyak sekali,
sama seperti tiga diplomat tadi, yang bahkan mengirim
bantuan finansial, atau diam-diam mempekerjakan anak-anak

LEILA S. CHU DO RI 271

eks tapol di kant­ ornya...jadi Lintang harus bersikap netral
sebagai mahas­ iswa peneliti, oke?” Om Risjaf memberi petuah.
Lintang menga­ ngguk-angguk.

“Om Aji akan menjelaskan pemetaan padamu,” Dimas
meng­elus rambut puterinya, “rata-rata anak-anak kawan kita
banyak yang bekerja di media-media dengan nama samaran.”

“Kau tak bercerita tentang Rama, puteri Dik Aji, Mas?”
Mas Nug bertanya heran.

Dimas menggosok dagunya yang tidak gatal, “Nanti biar
Dik Aji saja yang bercerita. Lintang kan akan tinggal di sana.”

Mereka semua terdiam. Lintang melirik kiri-kanan tak
memahami apa yang terjadi dengan sepupunya.

“Jadi, tiket dan visa beres? Kaset, tape recorder, laptop,
notes, pena semua beres?” tanya Dimas membelokkan topik.

Lintang mengangguk, “Tinggal mengepak.”
“Sebelum mengepak,” Nug mengeluarkan sebuah amplop
cokelat yang agak gemuk, “ini dari kami semua. Masih dalam
franc, kamu nanti tukar sendiri di Jakarta ya.”
“Iki opo to?” Dimas mengerutkan kening.
“Jumlahnya tak terlalu banyak, Lintang,” kata Om Risjaf,
“tap­ i lumayan buat jajan. Bagi kami semua, kamu adalah
anak,” kata Risjaf. Lintang memandang ketiga wajah Om ber­
gant­ ian. Tjai mengangguk membenarkan ucapan Risjaf. Ini
gila. Lintang tahu, mereka bukan orang yang kaya raya.
“Om, saya sudah dapat dana dari sekolah. Saya juga punya
tabungan kan saya bekerja part-time dan Maman...”
“Kami tak bisa menginjak Jakarta, Lintang. Hanya Om
Risjaf yang berhasil ke sana. Jadi Lintang akan menjadi mata
dan telinga kami,” air mata Om Nug mengambang. Tenggorokan
Lintang mendadak tercekat. Dia memegang tangan Om Nug.
“Tolong Lintang, tengok Bimo dan ceritakan padanya bah­
wa Om sehat dan masih sama mudanya seperti saat Om me­
ning­galkan dia 34 tahun yang lalu. Katakan Om masih sama

272 PULANG

gantengnya seperti saat bertemu di Singapura 15 tahun yang
lalu. Meski kami cukup rutin saling berbincang melalui tele­
pon, saya tak bisa sering-sering bertemu dengannya. Terlalu
mahal ke Eropa. Tolong foto dia sebanyak-banyaknya,” suara
Om Nug semakin serak.

Dimas ikut berkaca-kaca. Om Tjai dan Om Risjaf pura-pura
sibuk mengambil gelas dan piring, dan mencoba tak ter­lihat
mereka mengusap air mata sialan yang mengalir. Vivienne
memegang tangan Om Nug.

“Lintang pasti akan menemui Bimo. Dia bersahabat de­
ngan Alam. Saya dengar mereka sedang berusaha datang ke
Eropa untuk Konferensi Hak Asasi Manusia di Den Haag De­
sem­ber nanti,” Vivienne yang selalu rasional biasanya bisa
menen­ angkan hati.

Nug mengangguk-angguk mengusap air matanya, lalu
tertawa kecil, “Iya, iya, dia sudah bilang tanggal 10 Desember
tahun ini, dia akan datang ke Den Haag bersama Alam dan
beberapa kelompok LSM. Setelah itu dia akan meloncat kemari
ber­sama Alam. Saya mencoret kalender setiap hari, meng­
hit­ ung berapa bulan dan berapa hari lagi aku akan bertemu
dengan bocah lanangku.”

“Dia sudah tidak bocah. Dia sudah menjadi lelaki muda
yang ganteng seperti ayahnya,” kata Risjaf menepuk-nepuk
bahu Nug. Dimas memeluk bahu Nug, tak berkata-kata.

“Baik Om, saya pasti melaporkan isi Jakarta. Terima ka­
sih untuk isi amplop ini,” Lintang memeluk ketiga pilar yang
begitu kuat dan begitu teguh. Seandainya ia memiliki barang
sehelai saja kekuatan mereka untuk memasuki Jakarta, Lin­
tang merasa siap untuk meluncur ke sebuah dunia asing yang
dise­but sebagai tanah airnya.

***

LEILA S. CHU DO RI 273

Cimitière du Père Lachaise, Mei 1998
Dimas dan Lintang berjalan mengamati deretan makam
yang cantik dan megah itu. Di depan makam penyanyi Édit
Piaf yang sederhana (hitam dan bersalib), di depan makam
Marcel Proust, mereka berjalan seolah mereka adalah flâneur
yang te­ngah menikmati keindahan kematian yang diabadikan
dal­am bentuk yang cantik. Kematian yang dirayakan dengan
pu­isi, bunga, dan pohon rindang yang meminjamkan bayang-
bay­ angn­ ya untuk kesejukan. Dimas tak tahu mengapa mereka
me­m­ ilih mengunjungi pemakaman untuk mengisi hari per­
pisahannya dengan puterinya.
Hari itu mereka memilih titik-titik Paris mana saja yang
ingin mereka kunjungi. Tanpa rencana rapi, tanpa agenda,
tanp­ a peta. Sebelumnya, mereka sudah menikmati makan
siang yang sederhana di salah satu warung daerah Île St-
Louis sembari menertawakan kegilaan mereka yang bersedia
membuang duit begitu banyak untuk menikmati makan siang
atau makan malam di La Tour d’Argent yang dianggap sebagai
restoran paling tua dan paling mahal di Paris.
“Mengapa Balzac, Dumas, hingga penulis di masa modern
menganggap La Tour d’Argent tempat yang penuh inspirasi,
Ayah tak akan pernah paham,” Dimas menggelengkan kepala.
Me­reka berjalan-jalan dulu ke tepi Sungai Seine menemui
Antoi­ne Martin, berbincang sekaligus pamit sembari mengo­ ­
rek-ngorek buku bekas dan vinyl jualannya.
“Kau akan pergi begitu jauh. Kucarikan bacaan untukmu,”
kata Antoine sambil menggigit rokoknya dan mencari-cari
sesuatu yang tepat untuk Lintang, lalu dia memberikan kum­
pulan puisi T.S Eliot, The Waste Land. “Gratis untukmu,” kata
Antoine. Lintang tertawa. Dia sudah punya kumpulan itu,
tetapi dia mengucapkan terima kasih. Mungkin dia akan mem­
bawanya, karena miliknya sudah busuk, penuh coretan dan
bera­ ntakan.

274 PULANG

Setelah membeli beberapa buku bekas itulah mereka per­
lahan berjalan menyusuri Sungai Seine dengan beberapa buku
bekas di tangan, memikirkan betapa sungai ini, yang sudah
digerayangi turis dan kamera para fotografer dan sineas, bisa
bercerita bahwa begitu banyak cerita di antara desir air yang
menjadi saksi tentang kedatangan Dimas dan kawan-kawannya
ke kota itu. Kota besar yang berisi sastrawan, filsuf, sineas,
desainer, model, arsitek terbesar dan terkemuka di dunia.
Tetapi paling tidak Sungai Seine diperkosa seperti halnya
Bengawan Solo. Betapa manusia telah mengkhianati alam
dengan menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan
mayat, dan terlebih lagi telah mengkhianati kemanusiaan.

“Ayah....”
“Ya....”
“Ayah betul-betul sehat?”
“Ya.”
“Apa hasil tes kesehatannya, Yah?”
“Ya problem lever saja. Tinggal habiskan obat. Nanti
periksa lagi.”
Dimas menjawab sambil memandang Sungai Seine yang
se­karang dilalui perahu turis. Lintang tahu betul kebiasaan
ayahn­ ya jika dia enggan membicarakan sebuah topik: dia
memb­­ e­lokkan percakapan dengan manis.
“Yah,” Lintang berhenti dan memegang tangan ayahnya,
“aku ingin Ayah menyaksikan Lintang diwisuda, bekerja, mem­­
bangun rumah, punya anak.”
Dimas memegang pipi anaknya dengan penuh sayang.
Ada segumpal...entah segumpal apa yang menyangkut di teng­
gorokannya.
“Lalu siapa yang ingin absen dari semua peristiwa penting
itu, Sayang? Ayah pasti berada di baris terdepan. Pada per­
nikahanmu, katakan pada Nara dan orangtuanya, kami, orang­
tua Lintang yang akan merayakan. Ayah tak mau cara Eropa di

LEILA S. CHU DO RI 275

mana kami hanya menjadi tamu!”
Lintang tertawa. “Ayah, pertama, yang mau menikah

dengan Nara itu siapa? Saya sendiri belum tahu akan menikah
dengan siapa. Saya bahkan tak tahu apakah saya ber­minat
menikah. Saya ingin punya anak, tapi saya belum mem­
bayangkan sebuah perkawinan.”

Dimas tertegun. Ini pengetahuan yang cukup baru dan
asing? He?

“Kau tidak serius dengan Nara? Bukannya kau marah pada­
ku karena kau membelanya begitu rupa, karena kau merasa
Ayah mengejek dia? Sekarang...”

“Sudahlah, Yah!” Lintang memotong Ayahnya yang sudah
berhasil mengemudikan topik, “tolong jangan belok-belok,
Yah. Aku sedang bertanya tentang kesehatan Ayah.”

“Dear Lady, can you hear the wind blow, and did you know
Your stairway lies on the whispering wind...”

Ya Tuhan.
Lintang tahu, tak mungkin dia mengejek ayahnya jika
dia sudah masuk ke dalam “Led-Zeppelin-Mode-on”. Jika
Lintang mengejek musik rock-klasik yang sudah layak masuk
ke museum bersama kenangan orangtuanya—kenangan ketika
mereka menyaksikan konsernya di Inggris—itu berarti Lintang
akan mendengarkan tiga jam kuliah-defensif. Ayahnya akan
memberi ceramah tentang band Inggris terkemuka yang hingga
kini, menurut ayahnya, adalah band yang paling berpengaruh
di dunia. Ayah-ibunya hanyalah dua ekor semut dari milyaran
semut pemuja mereka.
Pandai sekali ayahnya memutar percakapan.
Saat Lintang begitu jengkel, tiba-tiba saja dia tak sadar,
begitu saja menyetujui usul Dimas untuk pergi ke pemakaman
Père Lachaise.
Dan begitulah lewat tengah hari, mereka sudah tiba di pe­
ma­kaman itu tanpa rencana, tanpa tujuan, tanpa cita-cita.

276 PULANG

“Hari ini kita benar-benar seperti flâneur.”
“Tidak berarti perjalanan ini tak bermakna,” Dimas ter­
senyum.
Dimas merasa begitu tenang dan tenteram di sini. Aneh.
Tetapi itulah yang dia rasakan. Demikian pula Lintang. Itu
pula yang kemudian menyatukan ayah dan anak. Ada kenang­
an mereka bersama menyusuri makam demi makam dan mem­
bahas tokoh-tokoh yang kini sudah tinggal tulang-bel­ulang.
Lintang kecil, saat pertama kali mengenal kamera dimulai di
pemakaman ini.
Lazimnya, pemakaman di Indonesia memang bukan sebuah
tempat untuk berjalan-jalan, duduk, menatap senja ka­la, ber­
puisi dan mengenang kebesaran Tuhan. Bahkan di had­­ apan
makam Chairil Anwar, yang bentuknya paling unik dib­ an­ding
makam sekitarnya, Dimas tak pernah menganggap tem­pat itu
cukup asyik dan menenteramkan seperti Cimitière du Père
Lachaise. Tetapi, ada sesuatu, ada aroma, ada rasa ke­pe­milikan,
ada rasa penyatuan dengan seluruh pemakaman Karet.
Ketika mereka melalui makam Jim Morrison yang megah,
Dimas membungkuk dan mengambil tanah di pemakaman itu
dan menciumnya. Dimas menggelengkan kepalanya.
“Aromanya berbeda, Lintang.”
Lintang ikut-ikutan mengambil tanah di samping makam
Jim Morrison dan setengah bingung ikut menciumnya, “Apa­
nya yang berbeda? Berbeda dengan tanah di mana?”

“Di Karet...rumahku yang akan datang,” kata ayahnya
tanpa perlu memberitahu asal kutipan itu, karena dia tahu Lin­
tang sangat mengenal sajak-sajak Chairil Anwar.

Seperti kebanyakan anak-anak di mana pun, Indonesia atau
Prancis, Ghana atau Belgia, Meksiko atau Australia, Lintang
tak pernah tenteram mendengar orangtuanya membicarakan
kem­­ at­ ian dan rencana rumah mereka yang terakhir.

“Makam di Paris memang luar biasa. Dibangun bukan se­

LEILA S. CHU DO RI 277

kad­ ar untuk rasa ingin melanjutkan hubungan dengan me­reka
yang sudah ‘menyeberang’ ke alam yang tak kita ketahui, tetapi
sekaligus untuk memelihara melankoli. Tetapi, Ayah rasa,
Ayah akan lebih bahagia jika bisa dikubur di Karet, satu rumah
dengan Chairil Anwar.”

“Ayah, aku ingin Ayah hidup seribu tahun lagi. Jadi ber­
hentilah membicarakan soal pemakaman.”

“Oke,” Dimas mengangguk. “Ayah mau minta tolong satu
hal saja, ” Dimas membuka jam tangan Titoni 17 Jewels yang
sudah puluhan tahun memeluk pergelangan tangannya. “To­
long berikan ini untuk Alam, putera bungsu Om Han yang akan
kau temui nanti. Sudah sangat tua dan antik. Tetapi masih
berjalan dengan baik.”

Lintang menerimanya dengan hati tergetar, “Ini milik Om
Hananto?”

Dimas mengangguk, “Dia memberikannya di hari terakhir
kami bertemu, sebelum Ayah berangkat.”

Lintang membungkusnya dengan skarf yang dia kenakan,
seolah jam tua butut itu lebih berharga daripada berlian
manapun.

“Sebenarnya, Yah, ada apa dengan segitiga Om Hananto,
Tante Surti, dan Ayah?”

Lintang merasa lega bisa memuntahkan pertanyaan yang
dia simpan bertahun-tahun di lapisan terbawah hatinya. Wajah
Dimas sedikit tegang. Akhirnya dia memutuskan duduk di sisi
makam Jim Morrison. Matahari sudah mulai menggelincir.
Tapi karena Paris akan memasuki musim panas, hari masih
lebih panjang.

“Hanya cerita romansa mahasiswa saja, Lintang. Ayah
berkawan dengan Om Hananto sejak kuliah.”

Lintang menunggu cerita berikutnya. Tetapi ayahnya nam­
pak mencoba memutuskan bagaimana caranya meringkas
sebuah bola benang kusut itu menjadi sehelai benang yang

278 PU LANG

lurus, tipis, sederhana, dan tidak melahirkan pertanyaan
yang cerewet. Dimas tidak tahu caranya meluruskan buntalan
benang kusut itu. Bolehkah dia menguburkannya bersama
tulang-belulang ini di Cimitière du Père Lachaise?

“Lalu?” Lintang mencoba menekan nada tuntutan dalam
pertanyaannya.

“Ayah pernah...berkencan dengan Tante Surti di masa
mahasiswa, tetapi akhirnya Tante Surti menikah dengan Om
Hananto. Biasa saja, tak ada yang istimewa. Kisah romans­ a za­
man dulu yang sudah dilupakan,” semakin Dimas mene­kankan
kalimatnya, semakin dia tak yakin apa yang diuc­ apk­ annya.

Lintang membaca wajah ayahnya dan ada redup dalam
mat­ a lelaki itu yang membuat dia tak tega untuk mengejar de­
ng­an pertanyaan berikutnya.

“Sama seperti Om Risjaf yang dulu tertarik pada Tante
Rukmini, tetapi akhirnya Tante Rukmini memilih menikah de­
ngan Om Nug. Itu kan kisah-kisah lucu masa mahasiswa yang
sama sekali tidak penting dan tidak ada....”

“Rasanya itu dua cerita yang berbeda, Ayah,” Lintang me­
motong tak sabar. “Aku sudah sering mendengar gurauan Om
Risjaf dan Om Nug. Om Risjaf tak pernah berkencan den­ gan
Tante Rukmini. Itu berbeda dengan situasi Ayah, Om Hananto,
dan Tante Surti.”

“Kenapa ini semua penting betul kau ketahui?” Dimas
mulai merasa daerah pribadinya diguncang oleh anaknya. Se­
buah daerah pribadi yang tak pernah bisa dia ungkapkan, bah­
kan pada Vivienne ketika isterinya menggugat kejujurannya
ten­t­ ang perasaannya. “Apa hubungannya ini semua dengan
tu­g­ as akhirmu?”

Lintang terdiam, mencoba memahami perasaan ayahnya.
Ini memang ruang pribadi. Tapi dia harus tahu segala konteks
dan latar belakang semua narasumbernya, apalagi keluarga
Han­ anto Prawiro.

LEILA S. CHU DO RI 279

“Ayah, saya akan bertemu keluarga Hananto. Ada sesuatu
yang khusus tentang mereka yang terkait dengan Ayah. Saya
harus siap. Saya datang sebagai seorang mahasiswa peneliti
yang merekam sejarah hidup mereka yang menjadi titik gelap
sejarah tanah air Ayah, tanah air saya juga....”

Dimas memandang Lintang, hatinya tercutik perih men­
dengar kata ‘tanah air saya juga’. “Tahukah kamu...kata flâneur
begitu banyak arti?”

Lintang menggelengkan kepala perlahan.
“Kata flânerie pada abad 16 menunjukkan sebuah kebia­
saan orang-orang yang menyusuri dan mengelus jalan, me­
nikm­ ati udara senja atau pucuk bunga yang mulai merekah di
musim panas. Ada konotasi ini adalah aktivitas untuk kaum
arist­­ okrat yang kebanyakan waktu. Baru belakangan, kata flâ­
neur memberi kesan ambivalen. Ada campuran arti citra ras­ a
seseorang yang melakukan perjalanan untuk memenuhi kei­
ngintahuan dan keinginan mempelajari kebudayaan setem­
pat. Ini kemudian berbeda dengan flâneur yang sebe­lumn­ ya
ber­a­ rti pengelana yang berjalan ke mana saja, tanpa tujuan.
Menyaksikan flâneur, seperti melihat gambaran bergerak dari
se­buah kehidupan urban.”
Lintang merasa ayahnya pasti punya tujuan untuk memberi
kuliah tentang semantik flâneur. Dia mencoba memberi ruang
toleransi karena mendengarkan ceramah kultural jauh lebih
berguna daripada ayahnya ceramah soal kedahsyatan Led
Zeppelin.
“Tetapi, saya paling tertarik dengan penjelasan Charles
Baudelaire, bahwa keramaian dalam perjalanan adalah rumah
bagi flâneur, seperti ikan dengan airnya. Kegairahan dan pe­
ker­jaannya melebur menjadi satu di dalam keramaian. Seo­
rang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di
dalam aliran dan gerakan perpindahan. Dia merasa telah me­
ningg­ alkan rumah, tetapi berhasil membangun sebuah rumah

280 PU LANG

di dalam perjalanan.”
“Seperti burung camar,” kata Lintang menyela.
“Ya,” Dimas menoleh, seperti ditarik ke dunia nyata setelah

tenggelam sejenak dalam lautan pemikiran dan semiotika, “itu
kata Ibumu. Seperti burung camar.”

Pada awal musim panas, matahari Paris tak selalu segera
pensiun dari tugasnya. Pemakaman Père Lachaise masih te­
rang-benderang, meski jam sudah menunjukkan senja.

“Ayah masih berkelana, dengan atau tanpa tujuan, Ayah
ma­sih menjadi flâneur ketika Tante Surti meminta saya me­
lem­par jangkar dan berlabuh. Ayah rasa itu risiko yang wajar
jika Tante Surti memilih seseorang yang sudah siap men­dam­
pinginya dan memberi janji untuk memayungi apa pun yang
dicurahkan langit kepada dia dan anak-anaknya. Itu saja.”

Lintang mengangguk perlahan, meski wajahnya masih
penuh tanda tanya. “Ketika bertemu dengan Maman? Apakah
Ayah sudah merasa siap? Atau masih juga merasa diri sebagai
pengelana?”

Dimas terdiam. Seluruh perasaan hatinya dia simpan, dan
dikubur sedalam-dalamnya, karena dia tahu ada persoalan ke­
but­ uhan, kenyamanan, sekaligus ketidakadilan di sana. Apa
yang dirasakannya pada Vivienne akan selalu tulus dan se­
jati. Tetapi hingga kini, dia tidak tahu apakah itu cinta atau
ra­sa aman. Dimas ingin sekali bercerita pada anaknya, bahwa
me­netap di Paris dan membangun keluarga bersama ibun­ ya
dal­am pengasingan bukan sebuah cita-cita yang diba­ngun.
Bahwa Dimas tak akan pernah mengeluarkan kata ‘peng­
asinga­ n’ di depan ibunya, karena bagi Vivienne: Paris adalah
rumah. Apa yang dilakukan Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf
ber­loncatan dari Santiago, ke Havana, lalu ke Peking untuk
akh­ ir­n­ ya mendarat ke Paris bukan karena ingin berkelana
seba­gai pilihan. Mereka bukan epigon dan bukan pula peng­
agum Generasi Beat yang berkeliling Amerika karena pilihan:

LEILA S. CHU DO RI 281

unt­ uk menghirup udara kebebasan, eksperimen seks dan obat­
-­obatan. Pada Dimas dan kawan-kawannya, ada rasa was-
was yang abadi, bahwa mereka selalu dalam pengintaian dan
perburuan sebagai risiko pilihan politik (atau untuk Dimas dan
Tjai: sebagai risiko tidak memilih apa pun)

“Aku mencintai ibumu untuk segala yang ada pada dirinya.
Dan aku mencintai dia karena telah memberikan mutiara ter­
indah seperti dirimu,” akhirnya Dimas menjawab setelah me­­
ne­m­ ukan formula yang paling tepat untuk mengunci pem­
bicaraan. Tapi Lintang adalah seorang mahasiswa yang pe­nuh
pertanyaan. Dia dididik oleh orangtua dan para dosen­nya untuk
tidak begitu saja menelan jawaban atau buku yang diba­can­ ya.

“Kenanga, Bulan, dan Alam, apakah itu nama-nama dari
Ayah?”

Dimas hampir saja terjengkang mendengar pertanyaan itu.
Mukanya berubah pucat. Sial. Mempunyai anak cerdas itu me­
nye­nangkan sekaligus menjengkelkan.

“Ya,” Dimas menjawab dalam satu nafas yang panjang. “Itu
nama-nama yang Ayah berikan jauh sebelum anak-anak itu
lahir. Itu sebuah nama cita-cita sepasang remaja yang kas­mar­
an. Tetapi Surti memutuskan memberi nama-nama itu pad­ a
anak-anaknya. Bagaimana kamu...”

“Ah Ayah....jangan meremehkan aku,” Lintang tersenyum,
“li­hatlah namaku, lihat nama mereka. Itu semua ada sidik ja­
rim­ u. Seandainya aku punya adik, pastilah Ayah akan mena­
ma­kannya nama-nama seperti Bunga Seruni atau Laut Biru,
se­macam itulah....”

Dimas tertawa terbahak-bahak. Seperti Vivienne, Lintang
tak akan menyisakan ruang rahasia atau kegelapan. Segalanya
harus terang-benderang.

“Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana?
Seorang flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan
tak ingin berlabuh?”

282 PU LANG

Kali ini Dimas menjawab dengan jujur dan ikhlas, “Aku
ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang
pah­­ am bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke
Karet.”

***

Au Petit Fer à Cheval, Le Marais, jam 9 malam.

Setelah mengucapkan perpisahan dengan ayahnya di pintu
apartemen, Lintang menemui Narayana di pojok kafe klasik Au
Petit Fer à Cheval yang terletak di kawasan Le Marais. Lintang
terlambat 10 menit, tetapi Nara menyambutnya dengan
senyum mesra, setengah tak sabar ingin memiliki selama tiga
hari tiga malam, seperti yang sudah diucapkannya berkali-
kali. Begitu Lintang tiba di meja yang sudah lama dipesannya,
begitu pula Nara mengikuti hasratnya yang ditunda begitu
lama. Ia langsung menyambar dan menciumi kekasihnya. Lin­­
tang membalas pelukan itu seadanya, dan duduk dengan ma­
nis sebaris dengan Nara. Di dalam pikirannya berkecamuk ber­
bagai kosakata Indonesia yang sangat tidak cocok dicampur de­
ngan kosakata Prancis: Karet, Surti, Hananto, Kenanga, Bulan,
Alam, Karet, Bimo Nugroho, Karet, Chairil Anwar, Karet...

“Ma chérie...”
“Ayah berkali-kali menyebut Karet....”
“Ka...?”
“Itu pemakaman di Jakarta.”
“Oh....”
“Tidak semewah dan sebagus pemakaman di sini, kata Ayah.
Ya pemakaman biasa. Tapi dia menyebut Karet sebagai tujuan
pulang!” Lintang tak tahu kenapa dia menyentak keka­sihnya
berkali-kali, seperti ada kejengkelan tak berdasar melihat Nara
seperti seorang priyayi muda yang tercengang dengan dunia

LEILA S. CHU DO RI 283

yang masih ada pengemis dan taik berleleran di jalan.
“Aku tahu Karet. Aku tahu Karet adalah pemakaman di

Jakarta,” Nara menjawab dengan tenang dan sabar, dan men­
coba memahami Lintang yang lupa bahwa Nara sudah sering
ke Jakarta.

Lintang merasa bersalah dan ingin menangis. Dia memeluk
Nara lantas mengambil minuman entah apa yang sedang dimi­­
numnya, “Maaf mon chérie, ayahku dalam suasana hati yang
aneh hari ini.”

“Mungkin karena beliau sedih akan berpisah denganmu.”
“Berpisah? Aku hanya pergi beberapa pekan. Kalau diper­
pan­jang, paling lama satu setengah bulan. Aku ada tenggat.”
“Tapi, dia baru saja berbaikan denganmu. Sekarang harus
berpisah lagi.”
“Ah ya,” Lintang membenarkan teori kekasihnya, “mungkin
kau benar.”
“Aku pasti benar. Kedua orangtuamu sangat mencintaimu.
Hubungan kalian tak hanya seperti orangtua dan anak, tetapi
seperti sahabat. Ayolah. Malam sudah turun, Sayang. Kau pe­
san makan, kita makan, dessert, dan yuk kita pulang. Aku ingin
men­culikmu segera,” Nara mengelus-elus leher Lintang.
Lintang tersenyum dengan mata berkilat. Dia menenggak
semua minuman Nara hingga licin tandas, “Bagaimana kalau
kita lupakan saja makan malam ini. Kita bawa sebotol anggur
ke apartemenku.”
Nara melotot mendengar ide brilian itu.
“Tapi kau akan lapar. Aku tahu betul perutmu yang muat
lima truk makanan,” Nara protes karena tahu betul apa yang
bisa mengganggu percintaan dengan kekasihnya yang doyan
makan enak itu.
“Setelah acara penculikanmu, kita order makanan Cina
saja. Yuk!” Lintang membereskan tasnya. Nara langsung mem­
bay­ ar minumannya dengan penuh semangat.

284 PU LANG

Di trotoar, mereka berjalan sembari berpelukan, “Satu
setengah bulan terlalu lama, ma chérie....Tiga minggu saja. Ka­
lau sampai lebih, aku akan menyusul!” Nara menggigit telinga
Lint­ ang. Dia tak sabar membayangkan Metro yang begi­tu jauh
dan lama dan segera memanggil taksi menuju Bellevile.

“D’accord!”
Untuk tiga jam yang membara—tiga hari tidak realistik
namp­ aknya—Nara berhasil membuat Lintang melupakan kata
“Karet”. Paling tidak untuk tiga jam Lintang mendesahkan
kosakata yang berbeda, kosakata yang intim yang membuat
Nar­ a semakin panas. Berpekan-pekan hasrat yang ditunda-
tund­ a itu harus ditunaikan seluruhnya malam itu juga. Mereka
men­ ya­lakan musik sekencang-kencangnya agar tetangga me­
re­ka, yang hanya dibatasi tembok tipis, tak terganggu oleh bu­
nyi berisik repetitif dari pasangan yang sedang bergejolak ini.
Tetapi setelah tiga jam yang riuh dan berkeringat, ketika
Nara tergeletak telanjang, Lintang terbangun menatap langit-
langit. Dia bangun, menutup dirinya dengan sehelai seprai
yang meneduhkan dan berjalan ke dapur. Kosakata ayahnya
mu­lai mendera pikirannya. Lintang mencoba menenangkan
dirinya dengan segelas air putih. Dari jendela apartemen yang
besar, Lintang melihat lampu-lampu di area Belleville yang me­
nyirami bangunan-bangunan tua dengan cahaya. Toko-toko
bum­bu, toko roti, lalu apartemen tua di sebelahnya. Tiba-tiba
saja lampu itu padam satu persatu. Dan hanya dalam beberapa
detik, semua bangunan itu menjelma menjadi barisan makam
kecil, berderet, berbaris. Lintang memicingkan matanya. Tepat
di tengah deretan makam itu, Lintang melihat sebuah gundukan
tanah merah segar yang belum dibungkus semen, dengan papan
dan nama yang sederhana: Dimas Suryo, 1930-1998.

SSEEGGAARRAA AALLAAMM



SEBUAH DIORAMA

Jakarta 1993

Mereka semua berdiri, penuh darah, penuh luka. Mereka
adal­ah patung-patung yang dipasang, diatur, dan dikelola.
Mungkin di sana ada beberapa fakta, mungkin sisanya hanyalah
serangkaian pose.

Patung-patung kecil itu seperti tengah memainkan se­buah
lakon di balik kaca. Ada yang tertembak di sebuah ruang tamu.
Ada yang disiksa di atas kursi. Berbagai kekejian itu dibentuk
menjadi sebuah diorama panjang yang menjadi sejarah resmi
negara ini selama 28 tahun. Lalu kulihat sege­rombolan murid-
murid sekolah dasar berbaris dengan rapi mengikuti guru dan
pemandu wisata yang menjelaskan bagai­mana PKI menyeret
para jenderal dan menyayat-nyayat tubuh mereka. Dua orang
anak merekatkan jidat ke kaca dan melotot menyaksikan
kekejian itu. Serombongan anak perempuan sekolah menengah
atas menyusul.

Serem ya. Takut. Hi. Jahat ya.
Itu darah atau saus tomat, Bu?

288 PU LANG

Kalau di film ada yang menyanyi-nyanyi.
Ayo jangan ribut, dicatet semua untuk laporannya ya....

Itulah komentar anak-anak sekolah dasar; komentar
anak-anak sekolah menengah pertama yang membandingkan
pemandangan di depan mereka dengan film yang wajib mereka
tonton setiap tahun.

Ini adalah sejarah. Mereka meniupkan kisah yang mem­
buat masa kecilku berantakan, kumuh, dan berisik. Dior­ ama
ini mungkin mempunyai efek yang lebih dahsyat dari­pada
film yang terlihat sangat teaterikal itu, karena bentuk seperti
ini memberi ruang untuk imajinasi yang lebih berdarah. Siapa
gerangan yang menciptakan diorama? Apakah sejak semula
itu dibuat untuk alat informasi, pendidikan, propaganda, atau
hiburan? Atau semuanya sekaligus? Apakah penciptanya kelak
tahu bahwa diorama bisa digunakan secara efektif sebagai
dongeng bagi anak-anak sekolah, tentang bagaimana negeri ini
terbentuk menjadi sebuah negeri penuh luka dan paranoia?

Aku mengambil buku, membuka ensiklopedia, dan ke­
luarlah nama-nama Louis-Jacques-Mandé Daguerre dan
Charles Marie Bouton, yang memamerkan diorama kali per­
tama di London pada abad ke-19 sebagai alat hiburan sekaligus
pendidikan. Bukan untuk menyuntikkan sebuah sejarah yang
harus dipercaya sebagai kebenaran.

Kedua anak SD itu masih merekatkan jidat ke kaca. Mereka
masih saja terpana dengan serangkaian adegan penyiksaan
itu.

Lalu aku teringat puluhan tahun silam, ketika Bimo dan
aku duduk di kelas V sekolah dasar. Aku tak akan pernah
melupakannya.

Tanggal 30 September 1975. Kami dihalau naik ke atas bis
warna kuning kunyit untuk mengunjungi Monumen Pancasila
Sakti. Tiba di sana, kami—menyandang ransel di punggung

LEILA S. CHU DO RI 289

berisi nota, pensil, roti, dan air minum—dihalau turun dan
diperintahkan berbaris dengan rapi dan sikap takzim. Sekali
saja mengunjungi Monumen itu, aku sudah hafal luar kepala.
Ada patung-patung jenderal yang berdiri dengan gagah dan
ber­wibawa. Kami harus mengelilingi Ibu Pemandu, mend­ e­
ngarkan kisah Ibu Pemandu yang menjelaskan hal yang sama,
nama yang sama, peristiwa yang sama. Sesuai dengan sejarah:
jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam
Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga
salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-
anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum
lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.

Aku takut. Bimo jeri. Entah mengapa kami gentar. Apa
ka­rena cerita yang terdengar begitu mengerikan. Atau kami
takut karena Ibu pemandu akan tahu siapa Bapak kami. Untuk
menangkal rasa gentar, Bimo dan aku menghitung tambahan
garis putih pada rambut Ibu Pemandu. Hanya kumpulan uban
itulah yang membuat kunjungan ini tidak membosankan.

Suara sang Ibu Pemandu semakin tahun semakin ber­ge­
tar dimakan usia. Aku sering bertanya-tanya, apakah dia han­ ya
melakukan itu demi menambah uang belanja rumah tangganya
atau karena memang dia sedemikian berdedikasi pada menara
sejarah Orde Baru. Ada saat-saat aku merasa dia hanya bekerja
saja tanpa paham apa yang sedang diucap­kan. Aku yakin dia
juga tak yakin siapa pemilik sejarah sesungguhnya.

Sesudah menghitung uban, kami biasanya melanjutkan
dengan kegiatan mengukur tinggi kami. Tentu saja aku lebih
tinggi daripada Bimo, meski dia setahun lebih tua daripada
aku. Sama seperti dua anak SD yang merekatkan jidat ke kaca
ruang diorama di sebuah museum yang dibangun tahun ini. Tak
hanya pameran diorama yang terbentang sepanjang lorong,
museum ini juga memamerkan berbagai ruang penyiksaan dan
ruang rapat-rapat pengkhianatan sebagai bagian dari sejarah.

290 PU LANG

Aku berdiri di sini menatap itu semua dan bertanya-tanya.
Duapuluh delapan tahun yang lalu, pertanyaanku sederhana:
sejauh apa lakon dalam diorama ini memang terjadi?

Mungkin untuk membuat pertanyaanku lebih terdengar
akademis dan filosofis: siapakah pemilik sejarah? Siapa yang
menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat?
Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa?

Mereka, para sejarawan yang dipesan oleh pemerintah
dan ditugaskan menulis peristiwa September? Atau mereka,
seja­rawan dan para intelektual yang nekat mempertanyakan
ber­bagai hal yang tak tertulis dalam ‘sejarah’. Aku tahu, ada
beberapa gelintir sejarawan Indonesia yang sudah lama gatal
untuk menggali, mengulik, dan menggugat sejarah versi
Orde Baru. Aku tahu, diam-diam mereka menggerundeng—
tentu saja gerutuan ilmiah—tentang pembelokan sejarah dan
amplikasi di sana-sini agar beberapa tokoh tampak seperti
pahlawan. Salah satu sejarawan pernah menulis di jurnal
ilmiah, menyatakan bahwa persoalan politik saat itu tidak
hitam-putih seperti yang ditampilkan pada diorama Lubang
Buaya dan film buatan pemerintah yang setiap tahun harus
kami tonton sebagai kewajiban.

Dan aku juga tahu, rekan-rekanku di media sudah lama
memp­ ersoalkan sejarah versi pemerintah yang dijejalkan ke
tenggorokan anak-anak sekolah selama puluhan tahun.

Yu Kenanga sering mengutip bahwa pemilik sejarah adalah
penggenggam kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, di se­mua
negara yang otoritarian. Negara Barat yang demokratis pun
mempunyai kecenderungan membentuk sejarah. Namun seja­
rawan mereka cukup independen. Kalau terjadi pembe­lokan,
kalangan akademis akan berteriak.

Menurutku, pemilik sejarah adalah para perenggut kekua­
saan dan kelas menengah yang haus harta dan tak keberatan
duduk reriungan mesra bersama penguasa. Aku lebih suka

LEILA S. CHU DO RI 291

menggunakan kata ‘perenggut’, karena mereka yang berkuasa
selama puluhan tahun sesungguhnya tak berhak memerintah
negeri ini. Sedangkan kelas menengah yang tercipta selama
era Orde Baru ini adalah kelas yang sebetulnya mempunyai
pilihan untuk menjadi kritis; yang seharusnya mampu mem­
pertanyakan perangkat Orde Baru yang sudah tak mem­pu­
nyai logika saking korupnya. Hingga usiaku yang ke-28 ini,
saat Orde Baru memperluas Monumen ini menjadi Museum
Pengkhianatan PKI, Orde Baru semakin berkibar.

Bagi kelas menengah, mungkin lebih mudah memutuskan
untuk menjadi bagian dari perangkat atau pengagum kekuatan
Orde Baru daripada pengkritiknya. Kalau perlu mereka pura-
pura tuli atau berlagak dungu sembari menguburkan segala
bangkai busuk dan duduk di atas kuburannya seperti burung
nazar. Bayangkan, jika saja kelas menengah yang sebetulnya
berpendidikan itu berani bersuara sedikit saja, niscaya mereka
akan bernasib seperti anggota Petisi 50.

Luar biasa.
Berdiri di museum ini, aku semakin dipaksa untuk meng­
hapus jejak Bapak.

***

Aku mengenal Bapak dari cerita-cerita Ibu, Yu Kenanga,
Yu Bulan, dan Om Aji. Kenanganku tentang Bapak tetap
samar-samar. Aku hanya punya sekelebat bayang-bayang,
bagaim­ ana dia sering menggendong dan memangku aku, anak
lelaki bungsunya.

Menurut Yu Kenanga, Bapak ditangkap tentara ketika
aku ber­usia tiga tahun. Bapak ditahan dan tak pernah diadili.
Beliau akhirnya tewas dieksekusi ketika aku berusia lima
tahun. Ini pun kenangan yang cukup samar, namun ada
samar-samar yang tersimpan dalam lemari ingatan: Bapak,


Click to View FlipBook Version