PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL Novia Putri Ramadhita, S.Pd KUMPULAN ARTIKEL ILMIAH
Indonesian Journal of Conservation 10(1) (2021) 67-41 Indonesian Journal of Conservation https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc P ISSN : 2252-9195 E-ISSN : 2714-6189 i j Integrasi Smart Water Management Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Upaya Konservasi Sumber Daya Air di Indonesia Fakhriyah*1 , Yeyendra2, dan A Marianti3 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muria Kudus, Indonesia 2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Riau, Indonesia 3Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Abstrak Article History Disubmit 7 Februari 2021 Diterima 25 Juni 2021 Diterbitkan 30 Juni 2021 Kata Kunci evaluasi; pembelajaran; dalam jaringan; pandemic covid-19 Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bermanfaat sebagai upaya konservasi sumber daya air untuk sehingga meningkatkan kualitas pengelolaan yang lebih tinggi, atau Smart Water Management (SWM). SWM merupakan optimalisasi ICT yang menyediakan informasi realtime otomatik kondisi lingkungan dan sumber daya air, serta perkiraan kondisi meteorologi maupun iklim, guna memecahkan masalah yang berhubungan dengan konservasi sumber daya air. Tujuan artikel ini yaitu menganalisis bagaimana konsep Smart Water Management (SWM) berbasis kearifan lokal sebagai upaya konservasi Sumber Daya Air (SDA) di Indonesia. Artikel ini merupakan tinjauan pustaka integratif dengan deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan berbasis systematic literatur review (SLR). Pencarian literatur dilakukan secara online pada database google scholar menggunakan bantuan software Publish or Perish dengan pembatasan tahun 2016-2021 dengan keyword “Smart Water Management”, “Konservasi”, “Kearifan Lokal” dan “Sumber Daya Air”. (1) menganalisis konsep manajemen konservasi sumber daya air secara berkelanjutan, (2) mendeskripsikan kearifan lokal dalam upaya konservasi sumber daya air, di Indonesia, (3) implementasi SWM berbasis kearifan lokal sebagai upaya konservasi sumber daya air, (4) menyajikan kesimpulan. Hasil analisis dari berbagai artikel menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak sekali kearifan lokal dalam upaya konservasi SDA di masyarakat. Konsep SWM belum diterapkan sepenuhnya dalam pengelolaan SDA, yang ada di masyarakat. Adanya konsep SWM ini bisa diintegrasikan dengan kearifan lokal masyarakat, dalam upaya konservasi sumber daya air, di Indonesia. Sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan SDA sehingga upaya konservasi SDA dapat dilaksanakan dengan lebih optimal dan berkelanjutan sehingga dapat memprediksi kebutuhan air di masa mendatang. Abstract Information and communication technology (ICT) is useful as an effort to conserve water resources to improve the quality of higher management, or Smart Water Management (SWM). SWM is an ICT optimization that provides automatic real-time information on environmental conditions and water resources, as well as estimates of meteorological and climatic conditions, in order to solve problems related to water resource conservation. The purpose of this article is to analyze how the concept of Smart Water Management (SWM) is based on local wisdom as an effort to conserve Water Resources in Indonesia. This article is an integrator writing audit with subjective graphics based on a writing survey based on a systematic literature review (SLR). The literature search was carried out online on the Google Scholar database using the Publish or Perish software with restrictions for 2016-2021 with the keywords “Smart Water Management”, “Conservation”, “Local Wisdom” and “Water Resources”. (1) analyzing the management concept of sustainable water resources conservation, (2) describing local wisdom in water resources conservation efforts, in Indonesia, (3) implementing local wisdom-based SWM as an effort to conserve water resources, (4) presenting conclusions. The results of the analysis of various articles show that Indonesia has a lot of local wisdom in efforts to conserve natural resources in the community. The SWM concept has not been fully implemented in the management of natural resources, which exist in the community. The existence of this SWM concept can be integrated with local community wisdom, in an effort to conserve water resources, in Indonesia. So that it can increase the effectiveness and efficiency of natural resource management so that natural resource conservation efforts can be carried out more optimally and sustainably so that it can predict future water needs. © 2021 Published by UNNES. This is an open access * E-mail: [email protected] Address: Po Box 53 Bae Kudus DOI 10.15294/ijc.v10i1.31036
Indonesian Journal of Conservation 10(1) (2021) 67-41 35 PENDAHULUAN Sumberdaya air adalah sumber daya alam abiotik (non hayati) yang dapat diperbaharui karena tersedia terus menerus di alam selama penggunaannya tidak berlebihan. Air merupakan komponen yang sangat berarti dalam kehidupan manusia. Di Indonesia, air melimpah namun ketersediaan air bersih makin tahun ke tahun menjadi langka dan darurat. Diungkapkan oleh Cosgrove, et al. (2015) bahwa air memainkan peran dalam penciptaan segala sesuatu yang kita hasilkan, serta tidak dapat digantikan meskipun dapat diperbaharui namun terbatas. Manfaat pentingnya air dan peranannya pada tubuh manusia diantaranya untuk tumbuh dan menyokong pemeliharaan tubuh dalam proses fisiologis. Dari hal mendasar ini, maka ketersediaan air bersih menjadi hal yang mutlak terpenuhi. Selain itu, air terlibat pada proses biokimia alami serta air merupakan tempat tinggal bagi banyak organisme. Tumbuhan memanfaatkan air selama fotosintesis. Manusia dan hewan menggunakan air untuk minum, sedang disisi lain tumbuhan serta beberapa macam hewan hidup di habitat perairan. Harianja (2020) mengatakan bahwa sumber daya air berperan dalam pembangunan demografi, sosial dan ekonomi. Di Indonesia hampir 100 juta orang (38%) tidak memiliki akses ke sanitasi yang layak, sementara 33 juta (13%) hidup tanpa air minum yang lebih baik (Data WHO & UNICEF, 2017). Hal ini senada dengan hasil data yang telah di publikasikan oleh Purwanto (2020) pada tahun 2018, bahwa akses terhadap SDA layak minum di Indonesia mencapai angka 87,75%, dari populasi, namun sangat disayangkan hanya 20,14% penduduk yang menggunakan akses perpipaan. Sehingga total keseluruhan yaitu 93,2% warga Indonesia belum memiliki akses yang aman untuk ketersediaan air bersih. Penurunan kualitas sumber air permukaan ini merupakan dampak dari lemahnya upaya remediasi dan tekanan pencemaran dari instalasi pengolahan air limbah yang tidak memadai (Dwivedi, 2017; Yustiani, et al. 2018). Kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan karena kecukupan air bersih merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Contohnya pada kebutuhan harian kita memrlukan air untuk minum, mandi, cuci maupun kakus. Dan jika pengelolaan sanitasi kurang baik, maka air kita gunakan tadi akan menjadi air limbah dan jika tidak terolah lagi sehingga dapat mencemari lingkungan serta menimbulkan penyakit-penyakit baru. Bahkan menurut data PBB (2015) hampir setiap hari terdapat 1.000 anak menjadi korban akibat berbagai penyakit yang berhubungan dengan buruknya kualitas air yang digunakan serta sanitasinya. Sedangkan data dari WHO & UNICEF (2017) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah buang air besar sembarangan tertinggi kedua di dunia setelah India. Komarulzaman, et al. (2014) mengungkapkan informasi tentang penyakit diare yang menjadi salah satu penyebab ketiga pada kematian anak di Indonesia. Selain itu, ketimpangan sedang meningkat di Indonesia, di mana terdapat peningkatan kesejahteraan dan kesenjangan kesehatan antara perkotaan dan daerah pedesaan dan rumah tangga kaya dan miskin (Data World Bank, 2017). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ,pada tahun 2020-2024 menunjukkan informasi tentang akses pelayanan air minum belum maksimal pada tahap pembangunan di periode yang telah lampau. Peningkatan akses terhadap air bersih yang aman dan memadai sangat perlu dioptimalkan. Akses ke air bersih memiliki beberapa tantangan; dari pengelolaan kelembagaan yang lemah hingga keterlibatan dan sumbangsih pemerintah daerah yang terbatas. Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 merencanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) bahwa,akses terhadap air minum bersifat universal bagi semua orang dan air minum yang harus memenuhi spesifikasi dan kualitas standar baku mutu kesehatan sebagai air minum yang aman dan dari sumber mata air yang bersih. Sejauh ini, baru 6,8% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses air bersih (Purwanto, 2020). Target TPB yakni akses air bersih pada tahun 2030 bagi seluruh masyarakat dapat tercapai secara maksimal. Dalam RPJMN tahun 2020-2024, dan dibagian akhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, terdapat permasalahan dalam pemenuhan percepatan akses air bersih secara nasional. Oleh karena itu, kendala yang di alami oleh penduduk di hampir semua belahan dunia yaitu air bersih dan sanitasi yang baik serta layak. Pendapat ini dikuatkan dengan informasi dari Cronin et al. (2017) yang mengungkapkan bahwa faktanya, kebanyakan penduduk di dunia tidak memiliki akses ke air bersih, yang menjadikan tujuan ini sebagai target Sustainable Development Goals (SDG’s) ke 6. Hal ini termasuk memastikan bahwa semua penduduk memiliki akses dalam pemanfaatan air bersih, layak pakai, fasilitas sanitasi yang baik serta layak secara rasional. Air sebagai sumber energi yang dibutuhkan untuk aktivitas manusia diantaranya sebagai pasokan air untuk industri, irigasi pertanian, kebutuhan individu (mandi, cuci, dan kakus). Aktivitas manusia yang berkaitan dengan penggunaan air seharusnya dapat dilakukan dengan diimbangi pengelolaan sumberdaya air yang berkualitas dengan baik. Dapat digambarkan, ketika kita menggunakan air bersih (berasal dari air permukaan), tentunya akan muncul air limbah (bekas yang digunakan). Dan tantangan selanjutnya yaitu bagaimana cara pengelolaan air yang telah digunakan tersebut. Selain masalah kualitas air, masalah lain muncul yaitu berkaitan dengan jumlah ketersediaan SDA yang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan yang semakin tinggi dan meningkat (Sasongko, et al. 2014). Kualitas air menjadi masalah penting untuk dibahas lebih lanjut. Hal ini dikarenakan menyangkut pada kesehatan masyarakat maupun lingkungan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Saefudin & Achmad (2019) yang menyatakan bahwa sumber daya air harus dijaga supaya tidak tercemar dan menimbulkan bencana sehingga mempengaruhi kehidupan seluruh makhluk hidup. Umumnya, standar kualitas air ditetapkan berdasarkan konsentrasi berbagai unsur atau senyawa kimia yang dikandungnya. Standarisasi ini berbeda-beda dari satu negara,ke negara yang lain bergantung pemanfaatannya seperti air irigasi, air minum, dan air industri. Dengan berbagai kondisi yang ada, menjaga kualitas air memerlukan sistem pengelolaan yang efisien dan efektif dan pengelolaan sanitasinya dengan melibatkan semua komponen, baik pemerintah pusat, daerah ataupun desa bahkan penduduk dapat terlibat langsung dalam penetapan model penghematan air yang sesuai dalam berbagai situasi. Konservasi sumber air berdasarkan keberadaan
36 Fakhriyah DKK, Integrasi Smart Water Management Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Upaya Konservasi Sumber... sumber daya air (SDA) dimaknai sebagai salah satu bagian,dari sumber daya alam. Guna mewujudkan rencana pemeliharaan SDA, yang dapat dilaksanakan sepenuhnya secara efisien dan efektif dengan melindungi, memulihkan, menjaga dan menggunakan SDA yang ada untuk kepentingan masyarakat di muka bumi ini. Jika ketersediaan air langka, maka akan berdampak besar pada lingkungan (Zhu & Chang, 2020). Pendapat Miao, et.al (2015) menambahkan bahwa guna melakukan konservasi air, maka tata kelola lingkungan sangatlah penting untuk memastikan pencegahan dan mitigasi pencemaran lingkungan di masa mendatang. Untuk mendukung ketersediaan air secara terus menerus dan mendukung pencapaian SDGs poin 6 tersebut, maka ditetapkan target yang meliputi akses terhadap air bersih yang layak, akses sanitasi yang memadai, kualitas air,dan pengolahan air limbah, serta,pemanfaatan, manajemen pengelolaan dan konservasi SDA. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan Lembaga non-pemerintahan dapat bekerjasama untuk menjabarkannya dalam pedoman dan rencana kegiatan yang nyata (Elysia, 2015). Jumadi dan Harmawati (2019) menyatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai kearifan lokal yang besar, yang juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan karakteristik bangsa dengan cara yang ramah lingkungan. Perihal ini, senada dengan komentar Wagiran (2012) melaporkan bahwa kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan sebuah bangsa,dalam pembangunan nasional, melainkan sebagai kekuatan guna mewujudkan bangsa yang berkepribadian. Konsep kearifan lokal meliputi,pengetahuan lokal (local knowledge), kecerdasan,setempat (local genius), kebijakan,setempat (local wisdom) serta tradisi setempat (Siswadi & Purnaweni, 2011). Diungkapkan oleh Sallata (2015) bahwa inovasi berbasis kearifan lokal dapat menjadi alternatif kemandirian masyarakat dalam pengelolaan air yang berkelanjutan. Hal ini diperkuat juga dengan pendapat Aulia & Dharmawan (2010) yang mengungkapkan bahwa kearifan lokal dapat ditemukan pada masyarakat tertentu dalam bentuk konservasi sumber daya alam sebagai aturan daerah yang timbul sebagai dampak panjang dari sejarah dan penyesuaian diri yang lama. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan konsep Smart Water Management (SWM) berbasis kearifan lokal sebagai upaya konservasi Sumber Daya Air di Indonesia. Urgensi dan manfaat dalam penulisan artikel ini adaah 1) sebagai bentuk referensi bagi kalangan akademik dan pemerintah tentang permasalahan dalam upaya konservasi sumber daya air di tengah-tengah masyarakat; 2) sebagai sarana referensi bagi masyarakat tentang model pengelolaan SDA yang baik dan berkelanjutan 3) sebagai bentuk sumber bagi penulis lain tentang kearifan lokal masyarakakat Indonesia dalam manajemen konservasi sumberdaya air; 4) artikel ini dapat dijadikan pertimbangan untuk Badan Pemerintah yang guna mengembangkan dan meningkatkan manajemen konservasi SDA di seluruh Indonesia. METODE Artikel ini merupakan tinjauan pustaka integratif dengan deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan berbasis systematic literatur review (SLR). Kitchebham & Charters (2007) mengungkapkan bahwa SLR ini merupakan cara untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menafsirkan,temuan-temuan tentang tema penelitian yang menjawab pertanyaan,penelitian pada penelitian sebelumnya. Pencarian literatur diperoleh secara online pada database google scholar menggunakan bantuan software Publish or Perish dengan pembatasan tahun 2016-2021 dengan keyword “Smart Water Management”, “Konservasi”, “Kearifan Lokal” dan “Sumber Daya Air”. Hasil penelusuran menemukan artikel berjumlah 438 artikel. Selanjutnya prosedur yang digunakan menggunakan langkah modifikasi dari PRISMA (Preferred Items for Systematic Review and MetaAnalysis Statement) yang meliputi identifikasi, screening, kesesuaian dan included pada topik yang sedang diteliti (Wiyanto, et al. 2019; Fakhriyah, et al. 2021). Artikel yang sesuai dan relevan dengan topik kemudian di analisis dengan lebih mendalam. Hal ini merupakan langkah untuk memperoleh informasi serta data yang dibutuhkan secara mendalam dan menyeluruh terkait keyword yang telah dituliskan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana konsep Smart Water Management (SWM) dan kearifan lokal sebagai upaya konservasi Sumber Daya Air di Indonesia meliputi: (1) menganalisis konsep manajemen konservasi SDA yang berkelanjutan, (2) mendeskripsikan kearifan lokal dalam upaya konservasi SDA di Indonesia, (3) implementasi Smart Water Management (SWM) berbasis kearifan lokal dalam upaya konservasi SDA, (4) menyajikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Manajemen Konservasi Sumber Daya Air Yang Berkelanjutan Berdasarkan informasi hasil penelitian kontemporer terbesar tentang “Air sebagai Sumber Daya Global” (GRoW 2020), yang didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman dan diikuti sekitar 300 peneliti, praktisi, dan pemangku kepentingan di seluruh dunia sedang berkembang pendekatan baru untuk meningkatkan manajemen dan tata kelola di sektor air. Salah satu pendekatan yang dilakukan yaitu dengan konsep Water Footprint (WF). WF dapat meningkatkan kesadaran dan menginformasikan konsumen tentang penggunaan air yang tersembunyi dan dampak yang dihasilkan dari produk dan layanan seharihari. Berdasarkan informasi ini, konsumsi produk padat air yang tidak berkelanjutan (mis. mode cepat saji) atau barang yang mengandung banyak air (misalnya makanan) dapat diidentifikasi dan selanjutnya dapat dikurangi (Berger, et al. 2021). Model pengelolaan konservasi air berkelanjutan dapat diterapkan dengan model sistematis dinamis. System dinamics merupakan penggabungan teori dan teknik komputasi sebagai hasil pemikiran dan dapat dijadikan solusi ilmiah. Dalam studi penyediaan air bersih,di Kecamatan Pamulang, telah terbukti bahwa system dynamics dapat dikatakan sebagai sebuah solusi nyata. Wujud nyatanya yaitu pemanfaatan SDA yang berkelanjutan, dengan menggunakan air PDAM serta air limbah yang telah diolah. Menurut Harianja (2020) keadaan ini dapat meningkatkan,ketersediaan SDA bahkan,di atas kebutuhan
Indonesian Journal of Conservation 10(1) (2021) 67-41 37 normal konsumen. Hasil penelitian lain telah dilakukan oleh Putra & Wardani (2017) diperoleh informasi yang menyebutkan bahwa salah satu bentuk manajemen sumber daya air yang berbasis masyarakat,yaitu HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) di Dusun Kajar Desa Pandanrejo,Kec. Bumiaji, Batu Jawa Timur. HIPPAM adalah organisasi pengelolaan air minum lokal yang didirikan masyarakat. Sistem ini terbentuk disebabkan oleh ketidaksetaraan persepsi masyarakat dengan pemerintah terhadap pengelolaan air. Sistem ini terbukti menjadi solusi bagi masyarakat Pandanrejo dan sinergi antara aspek lingkungan, sosial dan ekonomi telah ditemukan berkat organisasi HIPPAM. Meskipun organisasi HIPPAM bermanfaat bagi masyarakat, pengelolaan yang menggunakan organisasi HIPPAM perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutannya di masa,mendatang. Pemeliharaan SDA yang berkelanjutan dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pada aspek lingkungan, sosial dan ekonomi perlu sinergis. Diungkapkan oleh Mitchell et al. (2010) bahwa terdapat etika keberlanjutan dalam pengelolaan air, termasuk integrasi ekologi dan keanekaragaman hayati untuk membentuk lingkungan yang sehat, ekonomi yang dinamis dan keadilan sosial bagi generasi sekarang dan mendatang. Sinergi ketiga dimensi keberlanjutan ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya sudah memenuhi persyaratan dasar keberlanjutan sumber daya. Keberlanjutan berarti SDA mempunyai fungsi sosial yaitu kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. SDA merupakan bagian dari lingkungan hidup yang berarti bagian dari ekosistem, sebagai tempat hidup hewan dan tumbuhan yang membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat. Upaya Konservasi Sumber Daya Air di Indonesia berbasis Kearifan Lokal Secara umum, masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan, tradisi, adat atau budaya lokal yang secara turun temurun diwariskan kepada kita, dan mereka menggunakan sumber daya alam setempat guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Penduduk biasanya melakukan pengelolaan sumber daya, alam,dan dapat hidup berdampingan dengan alam di sekitarnya. Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai kebiasaan masyarakat untuk memperlakukan SDA sebagai modal sosial sangat penting, namun sayangnya hal itu telah hilang (Hidayati, 2017). Hilangnya kearifan lokal erat kaitannya dengan merosotnya persatuan dan solidaritas gotong royong dalam aktivitas masyarakat. Hal ini disebebkan oleh rendahnya kesadaran rasa memiliki sumber daya alam, di daerah setempat, dan keserakahan masyarakat sehingga berkurangnya keharmonisan antara sesama, anggota masyarakat jika berkaitan dengan SDA dan pemanfaatan lingkungan di sekitarnya (Hidayati, 2017). Kearifan lokal yang diungkapkan lebih lanjut oleh Hidayati (2017) mempunyai dua peran utama, yaitu: memenuhi kecukupan air,bagi penghidupan dan kehidupan, masyarakat, serta memelihara interaksi yang serasi antara masyarakat dengan SDA beserta lingkungan di sekitarnya. Sulastriyono (2009) mengungkapkan bahwa terdapat banyak larangan-larangan, masyarakat, di sekitar Telaga Omang, Ngeloro, Kecamatan, Saptosari, Yogyakarta sebagai upaya konservasi air telaga, dan merupakan salah satu contoh upaya konservasi air berbasis kearifan lokal. Namun, sebagian besar larangan-larangan ini sudah mulai diabaikan. Penebangan tumbuhan besar (beringin, asem, preh widoro, elo dan gayam) di sekitaran telaga sangat, dilarang, karena telaga ini merupakan sumber air yang digunakan masyarakat. Selain itu, masyarakat dilarang mengambil air telaga pada rentang pukul 19.00 sampai pukul 24.00. Aktivitas menangkap ikan sebelum masa panen yaitu pada musim kemarau, dan menjaring satwa liar di sekitaran telaga, merupakan hal terlarang dan menjadi pantangan. Masyarakat pantang membuang,sampah, sembarangan di sekitaran telaga. Pantangan ini telah disepakati sejak nenek moyang sebelumnya. Maka dari itu, kebiasaan yang telah disepakati ini merupakan budaya yang termasuk dalam kearifan lokal. Hal ini secara langsung terkait dengan usaha pemeliharaan telaga agar dapat dikelola secara berkelanjutan dan ekosistemnya dapat terpelihara secara lestari. Namun, data dan informasi tersebut menunjukkan bahwa banyak pembatasan, atau larangan, yang tidak diberlakukan lagi oleh masyarakat lokal atau penduduk ataupun pihak luar (pengusaha). Adanya tumbuhan berakar kuat seperti beringin dan asem, berperan sangat penting, pada proses absopsi air telaga dan menjaga sumber air tersebut. Pengambilan air pada malam hari berkaitan dengan usaha menjaga ketersediaan air dan keselamatan warga dalam proses pengambilan air. Selanjutnya, terdapat pantangan penangkapan ikan sebelum waktunya, strategi ini penting untuk menciptakan peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan ikan di telaga guna mempertahankan produksi yang berkelanjutan. Di sisi lain, larangan membuang sampah disekitar telaga memberikan makna melindungi telaga dari pencemaran air yang berasal dari sampah plastic dan lain sebagainya. Berbagai larangan-larangan ini sejatinya merupakan usaha warga di Ngeloro dalam menjaga dan usaha mengelola SDA yang berkelanjutan. Hidayati (2017) mengungkapkan bahwa dibeberapa daerah tertentu masih terdapat kearifan lokal dalam mengelola SDA di lingkungan masyarakat. Aprianto, et al. (2008) menjelaskan bahwa kearifan daerah terdiri dari lima perspektif sosial; 1) pengetahuan daerah, 2) budaya daerah, 3) keterampilan daerah, 4) sumber-daya daerah, dan 5) proses sosial daerah. Contoh dari kelima aspek tersebut dapat dijelaskan seperti yang diterapkan pada konservasi SDA di DAS Citanduy dan Subak Bali. Pada tabel 1. menyebutkan cara bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan airnya dengan menggunakan dan memelihara SDA yang terdapat di wilayahnya. Selain itu, disebutkan juga cara pengelolaan masyarakat dalam usaha pemenuhan kebutuhan air dengan cara, memanfaatkan dan mengelola SDA yang ada di wilayahnya, dengan pemahaman lokal yang telah teruji selama berabad-abad. Hidayati (2017) berpendapat bahwa bentuk wilayah dan jenis kearifan lokal setiap daerah berbeda-beda menurut golongan masyarakat, dan wilayahnya. Tapi sebagai modal, sosial, kearifan daerah mempunyai nilai universal,yang tidak berbeda. Sayangnya, keberadaan kearifan daerah dalam pengelolaan air di Indonesia semakin berkurang. Keadaan ini tergambar dari kenyataan bahwa banyak nilainilai yang terkandung dalam kearifan daerah yang tidak lagi dipraktikkan dan di banyak daerah keberadaan,kearifan
38 Fakhriyah DKK, Integrasi Smart Water Management Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Upaya Konservasi Sumber... daerah diabaikan serta hanya menjadi mitos dan sejarah di suatu daerah. Temuan artikel selanjutnya, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Hardjono, et al. (2013) menganalisis tentang model penyelenggaraan atau cara penjernihan air di desa Wukirsari di Bantul Yogyakarta. Peneliti menggambarkan, model pengelolaan air minum desa dan permasalahannya. Topik permasalahan yang ditemukan yakni bagaimana menjalankan manajemen dari sudut pandang kelembagaan, kecukupan air bersih, jumlah pelanggan, permintaan air bersih, pedoman peraturan dan perspektif manajemen keuangan. Hasil survei menunjukkan bahwa pengelolaan air bersih (PAB), desa Pucung berbasis masyarakat (kategori C). Ciri khas dari kategori C ini adalah bahwa kekuasaan pengambilan keputusan akhir untuk semua aspek air minum berada di tangan anggota masyarakat. Tahapan tersebut dimulai dengan analisis kebutuhan, perencanaan tingkat pelayanan yang diharapkan, pelayanan air minum, perencanaan,teknis, pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan. Pengelolaan air minum di Pucung dijamin oleh komunitas kepercayaan di bawah perlindungan kepala desa. Namun hasil dari model ini menunjukkan bahwa instansi PAB dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan air. Faktor lokasi dan jaringan memungkinkan PAB seluruh pelanggan dapat terpenuhi dan tidak ikut serta dalam mengelola penyediaan air untuk pelanggan. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Reza & Hidayati (2017) membahas tentang kearifan lokal masyarakat suku Sasak,dalam mengelola sumber daya air di Desa Lenek Daya, Kecamatan Aikmel Kabupaten,Lombok Timur. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kearifan daerah dalam pengelolaan SDA telah dipraktikkan dan masih terus digarap, baik yang bersifat material maupun yang tidak berwujud dengan konsep perencanaan, kinerja dan pemantauan seperti Tangible dan Intangible. Dalam proses perencanaan, terdapat kegiatan yang disebut takepan. Pada aktivitas takepan didalamnya terdapat pesan dan nasehat moral berupa lagu dan atraksi budaya. Peran takepan adalah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian alam dan lingkungan. Proses selanjutnya adalah melakukan suatu kegiatan yang dikenal dengan ngayu-ayu. Kegiatan ngayu-ayu adalah ritual adat, antara lain ngalu ujan (ritual membersihkan lingkungan) dan nyampang (penanaman pohon dan pemeliharaan alam). Proses terakhir adalah tahap pemantauan. Periode ini dikenal sebagai budaya Pamali. Budaya pamali memiliki standar sebagai upaya pelestarian hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Lenek Daya hingga saat ini. Kearifan lokal budaya pamali mempengaruhi kelestarian sumber daya alam,di Desa Lenek,Daya. Hal ini terbukti dengan masih terjaga dan dalam kondisi lestari berdampingan antara hutan dan sungai di Desa Lenek Daya. Budaya Pamali sebagai kearifan lokal sebagai salah satu bentuk upaya konservasi SDA dengan tujuan melestarikan sumber daya alam dan menjamin kelestarian ekologis hutan adat Reban Bela. Larangan guna perlindungan dan pemeliharaan dapat menghindari kerusakan memungkinkan pemanfaatan sumber daya air secara rasional dan berkelanjutan untuk kelangsungan hidup penduduk Desa Lenek Daya (Reza dan Hidayati, 2017). Temuan dari artikel selanjutnya membahas hasil penelitian tentang kearifan daerah dalam pemeliharaan dan manajemen konservasi SDA di Desa Sungai Langka, kecamatan,gedong tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung (Lubis, et al. 2018). Kearifan daerah di desa ini dimulai dari tindakan pengelolaan yaitu kegiatan gotong royong,yang dilaksanakan pada tanggal satu suro, kegiatan konservasi dengan menanam tumbuhan kemadu, (Laportea sinuata), tumbuhan winong (Tetrameles nudiflora) dan tumbuhan beringin, (Ficus benjaamina). Penanaman vegetasi ini secara efisien seharusnya mempu meningkatkan daya serap air tanah, menjaga serta meningkatkan laju infiltrasi (proses meresapnya air ke dalam tanah). Hasil penelitian Lubis, et al. (2018) mengungkapkan database kearifan daerah dalam model, Local Ecological knowledge (LEK) pengelolaan mata air,dengan tradisi menanam tumbuhan, membuat saluran air, gotong royong,membersihkan sumber air, kelompok desa mengalirkan air dan melaksanakan sosialisasi,terkait cara memelihara sumber mata air serta melakukan dokumentasi kegiatan konservasi sumber mata air dengan tidak sembarangan menebang tumbuhan disekitar mata air. Selanjutnya di lakukan tradisi di sumber mata air Desa Sungai Langka seperti menyembelih kambing untuk kegiatan ruwat bumi, makan bersama,atau ambengan, mengirim do’a dengan aktivitas kenduren,dan menunggui di sumber mata air atau dikenal sebagai aktivitas tirakatan. Namun seiring Tabel 1. Dimensi sosial pengelolaan DAS Citanduy dan Subak Bali Dimensi Kearifan Lokal DAS Citanduy Subak Bali Pengetahuan daerah membuat aliran air dari bambu, serta menanam pohon dadap, dan kiara oleh masyarakat Desa Bingkeng DAS, Citanduy oleh petani Subak di Bali membuat bangunan penangkap air sungai, yang ditempatkan di hulu sungai. Budaya daerah mentaati pantangan (tabu dan pamali),oleh masyarakat di DAS Citanduy. konsep Tri Hita Karana yang dilakukan masyarakat (Subak) di Bali Keterampilan daerah membuat aliran SDA di DAS Cintanduy membuat bangunan penangkap air, atau empelan yang dapat diatur sesuai kebutuhan di Subak Bali Sumber daya daerah memanfaatkan keunggulan setempat, , seperti pohon dadap, di DAS Citanduy terowongan irigasi dibuat melengkung menggunakan kekuatan batu asli di Subak. Proses sosial daerah keramatisasi manajemen sumber daya air pada DAS Citanduy upacara ritual sebelum pekerjaan di sawah di lakukan di Subak Bali
Indonesian Journal of Conservation 10(1) (2021) 67-41 39 berjalannya waktu, tradisi kegiatan ini mulai luntur, sedang aktivitas gotong royong membersihkan mata air masih berjalan di malam satu suro. Smart Water Management (SWM) Berbasis Kearifan Lokal dalam Pemeliharaan Sumber Daya Air Berkembangnya teknologi informasi memberikan dampak positif. Salah satunya pemeliharaan SDA dapat dilakukan dengan memanfaatkan penerapan Teknologi,Informasi,dan Komunikasi, (TIK) untuk, memberikan informasi dan kontrol kualitas pemeliharaan yang lebih baik, atau yang disebut Smart Water Management (SWM). SWM mengoptimalkan penggunaan TIK dan dapat menyediakan data otomatis real-time tentang status dan lingkungan SDA, serta SDA yang dilaksanakan berlandaskan pengelolaan,sumber daya alam yang terintegrasi. SWM dapat,digunakan untuk mendukung pembuatan kebijakan di berbagai tingkatan kontrol, kelompok pengguna air, dan di seluruh wilayah, mulai dari tingkatan rencana hingga teknis secara operasional, penggunaan sehari-hari hingga penunjang pengambilan regulasi dan kebijakan. Penerapan SWM juga mempermudah pemerintah, industri, pengamat, dan pengguna untuk menerapkan pandangann Integrated Water Resources Management (IWRM) ke dalam strategi perkotaan, regional, dan,nasional. Kearifan daerah sebagai modal sosial diperlukan untuk mengelola SDA di satu daerah tertentu. Kearifan daerah memiliki dua peran,utama, yakni: kebutuhan air untuk penghidupan guna mencukupi kehidupan, masyarakat, dan menjaga keharmonisan hubungan antara masyarakat, SDA, dan lingkungan sekitar (Reza & Hidayati, 2017). Lebih lanjut Hidayati (2017) menyatakan bahwa kearifan daerah merupakan tatanan sosial budaya yang berupa pengetahuan, norma-norma, peraturan-peraturan, dan keahlian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan (kehidupan) yang telah diturunkan secara,turun-temurun. Kearifan suatu daerah adalah modal sosial yang dikembangkan, oleh masyarakat untuk menghasilkan, keteraturan, dan keseimbangan antara kehidupan sosial,budaya,masyarakat dengan cara melindungi sumber daya alam, di lingkungannya. Aulia dan Darmawan (2010) juga berpendapat bahwa seiring dengan munculnya tatanan daerah dalam sejarah nasional dan adaptasi dalam waktu yang panjang, maka kearifan daerah pada sebagian masyarakat dapat terlihat dalam bentuk pengelolaan sumber daya alam. Kearifan masyarakat ini memiliki peran yang kompleks dan multifungsi, seperti saluran air untuk mengairi sawah, sawah atau ladang pemukiman dan saluran air masyarakat ke dalam hutan, untuk memanen, hasil hutan, yang diperlukan masyarakat, kebutuhan hidup keseharian, kebutuhan MCK (mandi, ,cuci dan,kakus) (Octora, et al., 2010). Sebagai usaha pemenuhan,kebutuhan air, dalam,kehidupan sehari-hari dapat diperoleh langsung dari tanah, air permukaan, atau air hujan. Ketiga mata air tersebut air tanah yang paling banyak digunakan. Hal ini dikarenakan air tanah mempunyai, beberapa keunggulan bila, dibandingkan sumber air lainnya, antara lain kualitas air yang baik dan dampak pencemaran yang relatif rendah. Mengingat pentingnya air bagi kehidupan manusia dan debit air pada musim kemarau semakin lama semakin berkurang, maka SDA,yang ada perlu,dikelola secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, secara kelembagaan diperlukan suatu organisasi khusus yang menangani pengelolaan air bersih yang profesional. Pengelolaan air sebaiknya melihat dari berbagai dimensi: (1) dimensi keterlibatan masyarakat yang meliputi komponen kebutuhan untuk meningkatkan ketersediaan, air bersih, pandangan terkait manfaat dan peningkatan penyediaan air bersih, rasa memiliki dan, bertanggung jawab, kebudayaan, ,kebiasaan dan kepercayaan, yang berhubungan dengan air bersih. (2) Dimensi teknis antara lain meliputi kebutuhan SDA saat ini dan yang akan datang, pengolahan air sebagai air layak minum, standar teknis, prosedur organisasi, dan pengelolaan kualitas,air. (3) Dimensi lingkungan seperti standarisasi kualitas dan kuantitas,air baku dan upaya perlindungan, terhadap SDA. (4) Dimensi keuangan yaitu: analisis, cost–revenew, kapabilitas dan, keinginan untuk aktif melunasi pembayaran serta struktur tarif pada proses pengelolaan SDA. (5) Dimensi kelembagaan yaitu strategi pada tingkat nasional dan landasan hukumnya (Hidayati, 2017). Konsep Smart Water Management (SWM) yang kami tawarkan dalam artikel ini adalah seperti digambarkan dalam diagram 1. Gambar 1. Konsep Smart Water Management (SWM) Konsep “Smart” dalam Smart Water Management (SWM) dimaksudkan untuk menjadikan penggunaan SDA dikelola secara efektif, dan, efisien termasuk menyediakan, air dengan, standar kualitas baik dengan mengeluarkan dana yang sangat minim (Djaksana, et al. 2021). SWM dapat dilakukan dengan pemantauan ketinggian air secara real-time, identifikasi kebocoran pada sistem pendistribusian air yang disalurkan, pemantauan serta pemeliharaan kualitas,air. Selain itu, semua data dan hasil analisisnya, bisa diakses dari perangkat, seperti smartphone dengan berbasis kearifan lokal. Artinya pengelolaan SWM menggunakan norma-norma yang ada di lingkungan sekitar menurut lima aspek: kearifan daerah, budaya daerah, keterampilan daerah, sumber daya daerah, dan proses sosial asosiatif daerah. Lebih lanjut Djaksana, et al. (2021) mengungkapkan lima komponen utama dari SWM diantaranya; 1) layer 1 terdiri perangkat sensor; 2) layer 2 komunikasi; 3) layer
40 Fakhriyah DKK, Integrasi Smart Water Management Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Upaya Konservasi Sumber... 3 management data; 4) layer 4 analisis; 5) layer 5 aplikasi. Kerangka kerja SWM ini diharapkan dapat mengontrol ketersediaan SDA dengan memberikan, peringatan, atau, pemberitahuan dini ketika musim kering, atau jika ada terdapat,kebocoran pada saluran distribusi air serta dengan bantuan algoritma machine learning pada kerangka kerja yang dapat berjalan dengan cara otomatis untuk melakukan prediksi kebutuhan SDA di masa mendatang (Djaksana, et al. 2021). Untuk pengelolaan air bersih guna memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil, dan untuk keberlanjutan di masa depan, maka perlu diperhatikan terkait masalah teknis, kondisi lingkungan, keuangan, kelembagaan, dan partisipatif masyarakat. Memanfaatkan TIK yang ada sekarang ini dapat digunakan untuk mendukung pemeliharaan sumber daya air. Faktor manajemen memegang peranan penting dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan mengutamakan partisipasi masyarakat, pengelolaan air bersih yang baik berjalan seiring dengan unsur kepemimpinan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Secara bersama-sama mengelola sumber daya alam untuk mengatur penggunaan air dalam rangka melestarikan sumberdaya air dan lingkungan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Buwono, et al. (2017) menyatakan bahwa pengelolaan air yang berkelanjutan memberikan manfaat yakni memelihara ketersediaan air saat ini,dan masa depan. SIMPULAN Pentingnya melakukan konservasi sumberdaya air guna keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup yang berada di bumi ini. Konsep Smart Water Management (SWM) berbasis kearifan lokal dapat dilakukan sebagai upaya konservasi Sumber Daya Air di Indonesia. Dengan Smart Water Management (SWM) berbasis kearifan lokal diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan SDA sehingga upaya konservasi SDA dapat dilaksanakan dengan lebih optimal dan berkelanjutan sehingga dapat melakukan prediksi terkait kebutuhan air di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Aprianto, , Y., Pardede, I. A., & Fernando, E. R. (2008). Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan. Makalah Pada PKM IPB, Bogor. Institute Pertanian Bogor Aulia, T. O. S., & Dharmawan, A. H. (2010). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di Kampung Kuta. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4(3); 345-355. Berger, M., Campos, J., Carolli, M., Dantas, I., Forin, S., Kosatica, E., ... & Semmling, E. (2021). Advancing the Water Footprint into an Instrument to Support Achieving the SDGs–Recommendations from the “Water as a Global Resources” Research Initiative (GRoW). Water Resources Management. 35(4); 1291-1298. Buwono, Y. R. (2017). Identifikasi dan Kerapatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Ilmu Perikanan, 8(1), 32-37. Cronin, A. A., Odagiri, M., Arsyad, B., Nuryetty, M. T., Amannullah, G., Santoso, H., Darndiyah, K., Nasution, N.A. (2017). Piloting Water Quality Testing Coupled with a National Socioeconomic Survey in Yogyakarta Province, Indonesia, Towards Tracking of Sustainable Development Goal 6. International Journal of Hygiene and Environmental Health. 220 (7); 1141–1151. doi:10.1016/j.ijheh.2017.07.001 Cosgrove, W. J., & Loucks, D. P. (2015). Water Management: Current and Future Challenges and Research Directions. Water Resources Research. 51 (6) hh. 4823-4839. Djaksana, Y. M. Sukoco, H., Wahjuni, S., Rahmawan, H., & Neyman, S.N. (2021). Smart Water Management Framework Berbasis IoT untuk Mendukung Pertanian Urban. Petir: Jurnal Pengkajian dan Penerapan Teknik Informatika. 14(1); 1-7. Dwivedi AK. (2017). Researches in Water Pollution: a Review. International Research Journal Natural Applied Science. 4 (1); hh. 118-142. doi: 10.13140/RG.2.2.12094.08002. Elysia, V. (2015). Air dan Sanitasi: Dimana Posisi Indonesia?. Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs, hh.157-179. Fakhriyah, F., Rusilowati, A., Wiyanto, W., & Susilaningsih, E. (2021). Argument-Driven Inquiry Learning Model: A systematic review. International Journal of Research in Education and Science (IJRES), 7(3), 767-784. https://doi. org/10.46328/ijres.2001 Hardjono, H., Astuti, N. D., & Widiputranti, C. S. (2013). Model Pengelolaan Air Bersih Desa di Bantul Yogyakarta. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture. 5(2); 168890. Harianja, A. H. (2020). Model Pengelolaan Air Bersih di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Ecolab. 14(2); 111-124. Hidayati, D. (2017). Memudarnya, Nilai Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan, Sumber Daya Air. Jurnal Kependudukan Indonesia. 11(1); 39-48. Jumadi, J., & Harmawati, Y. (2019). Konservasi Sumber Daya Air Berbasis Kearifan Lokal Untuk Membentuk Karakter Peduli Lingkungan: Studi Tradisi Sedekah Bumi. Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 7(1); 54-59. Kitchenham, B., & Charters, S. (2007). Guidelines for performing systematic literature reviews in software engineering. Online at http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download;jse ssionid=958A2FD8B8B5867C008E15CA98144739?doi= 10.1.1.117.471&rep=rep1&type=pdf access 12 Juni 2021. Komarulzaman, A., Smits, J., & de Jong, E. (2014). Clean Water, Sanitation and Diarrhoea in Indonesia: Effects of Household and Community Factors. Nijmegen Center for Economics (NiCE) Institute for Management Research Radboud University Nijmegen Lubis, M.R., Kaskoyo, H., Yuwono, S. B., & Wulandari, C. (2018). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Mata Air di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis. 6(1), 90-97. Miao, X., Tang, Y., Wong, C. W., & Zang, H. (2015). The Latent Causal Chain of Industrial Water Pollution in China. Environmental Pollution. 196, pp. 473-477. Mitchell, B., Setiawan, B., & Rahmi, D. H. (2000). Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Octora, Y., Rompas, A., Subahani, E., & Alfons, S. (2010). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Eks PLG. Palangkaraya: Walhi–Kemitraan Partnership. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (2015) Why it Matters Sanitation. Diakses melalui https://www.un.org/sustainabledevelopment/wp-content/uploads/2016/ 08/6_Why-it-Matters_Sanitation_2p.pdf pada 12 Maret 2021. Purwanto, E. W. (2020). Pembangunan Akses Air Bersih Pasca Krisis Covid-19. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning. 4(2). 207-
Indonesian Journal of Conservation 10(1) (2021) 67-41 41 214. Putra, D. F., & Wardani, N. R. (2017). Evaluasi Keberlanjutan Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air” HIPPAM” pada Masyarakat Desa Pandanrejo Kecamatan Bumiaji, Batu Jawa Timur. Jurnal Pendidikan Geografi: Kajian, Teori, dan Praktek dalam Bidang Pendidikan dan Ilmu Geografi. 22(1). 22-31. Reza, M., & Hidayati, A. N. (2017). Kearifan Lokal Suku Sasak dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Desa Lenek Daya, Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Spectra. 15(30), 1-14. Saefudin, A., & Achmad, R. (2019). Policy Implementation Evaluation about Quality Management and Pollution Control of Water in Regency of Bekasi. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 314 (1). p. 012087. IOP Publishing. Sallata, M. K. (2015). Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air Berdasarkan Keberadaannya sebagai Sumber Daya Alam. Buletin Eboni. 12 (1), hh. 75-86. Sasongko, E. B., Widyastuti, E., & Priyono, R. E. (2014). Kajian Kualitas Air dan Penggunaan Sumur Gali oleh Masyarakat di Sekitar Sungai Kaliyasa Kabupaten Cilacap. Jurnal Ilmu Lingkungan. 12(2), 72-82. Siswadi, T. T., & Purnaweni, H. (2011). Kearifan Lokal dalam Melestarikan Mata Air. Jurnal Lingkungan Program Studi Ilmu Lingkungan. 9(2), 63-68. Sulastriyono, M. (2009). Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Telaga Omang dan Ngloro Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul Yogyakarta. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 21(2), 243-255. Wagiran, W. (2012). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi NilaiNilai Karakter Berbasis Budaya). Jurnal Pendidikan Karakter. 2 (3), 329-339. WHO & UNICEF. (2017), Progress on Drinking Water, Sanitation and Hygiene 2017 Update and SDG Baselines. Geneva: World Health Organization (WHO) and the United Nations Children’s Fund (UNICEF). Wiyanto, Saptono, S., & Hidayah, I. (2020, June). Scientific creativity: a literature review. In Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1567, No. 2, p. 022044). IOP Publishing. World Bank (2017). Improving Service Levels and Impact on the Poor: A Diagnostic of Water Supply, Sanitation, Hygiene, and Poverty in Indonesia. WASH Poverty Diagnostic. World Bank, Washington, DC: World Bank Group. Yustiani YM, Wahyuni, S., & Alfian M.R. (2018). Investigation on The Deoxygenation Rate of Water of Cimanuk River, Indramayu, Indonesia. Rayasan Journal Chemistry. 11(2), 475-481. Zhu, D., and Chang, Y. J. (2020). Urban Water Security Assessment in The Context of Sustainability and Urban Water Management Transitions: An Empirical Study in Shanghai. Journal of Cleaner Production. 275 (13). doi://10.1016/j. jclepro.2020.122968
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-206 KAJIAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Suhartini Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungannya yang diketahui sebagai kearifan lokal suatu masyarakat, dan melalui kearifan lokal ini masyarakat mampu bertahan menghadapi berbagai krisis yang menimpanya. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dikaji dan dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Bertahannya kearifan lokal di suatu tempat tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya. Dalam memahami kearifan lokal kita perlu mengetahui berbagai pendekatan yang bisa dilakukan antara lain : a) Politik ekologi (Political Ecology), b) Human Welfare Ecology, c) Perspektif Antropologi, d) Perspektif Ekologi Manusia, e) Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif) Banyak kearifan lokal yang sampai sekarang terus menjadi panutan masyarakat antara lain di Jawa (pranoto mongso, Nyabuk Gunung, Menganggap Suatu Tempat Keramat); di Sulawesi (dalam bentuk larangan, ajakan, sanksi) dan di Badui Dalam (buyut dan pikukuh serta dasa sila). Kearifan lokal-kearifan lokal tersebut ikut berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti : bertambahnya terus jumlah penduduk, Teknologi Modern dan budaya, Modal besar serta kemiskinan dan kesenjangan. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran masyarakat lokal Kata Kunci : Kearifan Lokal, Pengelolaan, Sumberdaya Alam, Lingkungan PENDAHULUAN Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-207 ada di masyarakat. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang tertera dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya alam disebutkan dalam ayat 10 mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan. Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan demikian memerlukan pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. PEMBAHASAN Lingkungan dan Pembangunan Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang permintaan akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan beragam. Dampak pembangunan tersebut mengakibatkan daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun. Melihat kenyataan tersebut maka kearifan lokal masyarakat setempat juga mendapatkan tantangan dengan harus memenuhi kebutuhan dasar yang semakin besar dan gaya hidup serta pola hidup yang dihadapi oleh masyarakat dengan adanya pengaruh-pengaruh : adopsi inovasi teknologi, ekonomi pasar dan kebijakan politik. Di samping itu dalam pemanfaatkan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga dipengaruhi oleh aspek : pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan masyarakat dan kebijakan pemerintah yang semuanya itu akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang sekaligus merupakan keputusan untuk mempertahankan atau tidaknya kearifan lokal yang selama ini dilakukan.
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-208 Kearifan Lokal 1. Pentingnya Kearifan Lokal Sebagaimana dipahami, dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama. Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya. 2. Perilaku Manusia Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, seperti pada Gambar 1. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis, penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya. (Su Ritohardoyo, 2006:51) Selanjutnya tatanan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam suatu daur bagan, yaitu rangkaian unsur hubungan interpersonal, sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku dan norma (Ronald, 1988 dalam Su Ritohardoyo, 2006:52). Pada dasarnya manusia sebagai anggota masyarakat sangat tergantung pada lahan dan tempat tinggalnya. Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan merupakan lingkungan alamiah sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan (binaan). Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya (Gambar 1 dan 2.). Dalam pengelolaan lingkungan hidup kita juga membutuhkan moralitas yang berarti kemampuan kita untuk dapat hidup bersama makhluk hidup yang lain dalam suatu tataran yang saling membutuhkan, saling tergantung, saling berelasi dan saling memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan kebersamaan hidup yang harmonis. Refleksi moral akan menolong manusia untuk membentuk prinsip-prinsip yang dapat mengembangkan relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia harus menyadari ketergantungannya pada struktur ekosistem untuk dapat mendukung kehidupannya itu sendiri. Manusia harus dapat beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan berkembang (Mateus Mali dalam Sunarko dan Eddy Kristiyanto, 2008:139)
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-209 3. Pendekatan-Pendekatan yang Dilakukan Dalam Belajar Kearifan Lokal Dalam belajar kearifan lokal khususnya dan kearifan lingkungan pada umumnya maka penting untuk mengerti : a. Politik ekologi (Political Ecology) Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem biofisik yakni menyangkut distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan, persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan khususnya menyangkut isu “right to environment dan environment justice” dimana right merujuk pada kebutuhan minimal/standarindividu terhadap obyek-obyek right seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain. Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas obyek-obyek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok (Bakti Setiawan, 2006). Sistem Nilai Hubungan Interpersonal Norma Perilaku Manusia Pola Pikir Sikap Sumber : Ronald Arya dalam Su Ritohardoyo, 2006. Gambar 2. Skema Daur Ulang Perilaku Manusia PERILAKU MANUSIA Faktor Dasar 1. Adat Istiadat 2. Pandangan Hidup 3. Kepercayaan 4. Kebiasaan Faktor Pendukung 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Strata Sosial 4. Budaya Faktor Pendorong 1. Mass Media 2. Penyuluhan 3. Tokoh Agama 4. Tokoh Masyarakat Persepsi 1. Kejiwaan 2. Mental 3. Intelektual Tatanan Perilaku Positif Tatanan Perilaku Negatif Lingkungan Sosial Kelompok Masyarakat LINGKUNGAN HIDUP Sumber : Green, 1980 (dengan modifikasi) dalam Su Ritohardoyo, 2006 Gambar 1. Hubungan Beberapa Faktor Pengaruh terhadap Perilaku Manusia
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-210 Konsep right to environment dan environment justice harus mempertimbangkan prinsipprinsip keadilan diantara generasi (intra-generational justice) dan lintas generasi (inter-generational justice), karena konsep pembangunan berkelanjutan menekankan baik dimensi diantara generasi maupun lintas generasi. b. Human Welfare Ecology Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992 dalam Bakti Setiawan, 2006 menekankan bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya. Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain : a. Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek politik pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu berlebihan (hubungan negara – kapital – masyarakat sipil) b. Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani. c. Perspektif Antropologi Dalam upaya untuk menemukan model penjelas terhadap ekologi manusia dengan perspektif antropologi memerlukan asumsi-asumsi. Tasrifin Tahara dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa secara historis, perspektif dimaksudkan mulai dari determinisme alam (geographical determinism), yang mengasumsikan faktor-faktor geografi dan lingkungan fisik alam sebagai penentu mutlak tipe-tipe kebudayaan masyarakat, metode ekologi budaya (method of cultural ecology) yang menjadikan variabel-variabel lingkungan alam dalam menjelaskan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan manusia. Neofungsionalisme dengan asumsi keseimbangan (equilibria) dari ekosistem-ekosietem tertutup yang dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating system), materialisme budaya (cultural materialism) dengan keseimbangan cost-benefit terlembagakan, hingga ekologi Darwinisme dengan optimal fitness dalam respon atau adaptasi untuk “survival” d. Perspektif Ekologi Manusia Menurut Munsi Lampe dalam Andi M, Akhbar dan Syarifuddin (2007) terdapat tiga perspektif ekologi manusia yang dinilai relefan untuk aspek kearifan lokal, yaitu 1) pendekatan ekologi politik, 2) pendekatan ekosistemik dan 3) pendekatan konstruksionalisme. 1) Pendekatan ekologi politik memusatkan studi pada aspek pengelolaan sumberdaya milik masyarakat atau tidak termiliki sama sekali, dan pada masyarakat-masyarakat asli skala kecil yang terperangkap di tengah-tengah proses modernisasi. 2) Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem yang seimbang dan 3) Paradigma komunalisme dan paternalisme dari perspektif konstruksionalisme. Dalam hal ini kedua komponen manusia dan lingkungan sumberdaya alam dilihat sebagai subyek-subyek yang berinteraksi dan bernegosiasi untuk saling memanfaatkan secara menguntungkan melalui sarana yang arif lingkungan. e) Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif) Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang menjadi pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model penjelasan yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai. Selanjutnya Vayda dalam Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual progressif lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang : (a) aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan (b) penyebab terjadinya aktivitas dan (c) akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas. Praktek-Praktek Kearifan Lokal Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat melakukan norma-
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-211 norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal setempat. Beberapa contoh kearifan lokal adalah sebagai berikut : 1) Di Jawa a. Pranoto Mongso Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya. Urut-urutan pranoto mongso menurut Sastro Yuwono (http://kejawen.co.cc/pranoto mongsoaliran musim jawa Asli ) adalah sebagai berikut : a.1. Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo. a.2. Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas. a.3. Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai kering dan anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air dan panas. Palawija mulai panen. a.4. Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah a.5. Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda. a.6. Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan. a.7. Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang a.8. Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak a.9. Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara a.10. Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan bunting a.11. desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya a.12. sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung. Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa b. Nyabuk Gunung. Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor. c. Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-212 takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air. 2) Di Sulawesi Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Agar tetap terjaga. Dewan Adat karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M Akhmar dan syarifuddin, 2007:3). Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan oleh seorang galla (pelaksana harian pemeritahan adat tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat paska turun sawah (mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai sutu bentuk ketetapan bersama dan semua warga komunitas adat karampuang harus mematuhinya. Contoh kearifan tradisional dalam bentuk larangan (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M Akhmar dan syarifuddin, 2007:3) adalah : * Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke artinya “jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan adat belum bangun, jangan pul;a memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masuk kandangnya” = “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari” Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya. Contoh Kearifan Tradisional dalam Bentuk Sanksi : Narekko engka pugauki ripasalai artinya Jika ada yang melakukannya akan dikutuk = jika melanggar akan dikenakan sanksi adat. Maksud dari ungkapan tersebut adalah jika ada warga komunitas adat Karampuang yang melakukan pelanggaran atau tidak mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan ajakan dan larangan yang difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar kecilnya sanksi tergantung dari pelanggarannya. 3) Di Baduy Dalam Menurut Gunggung Senoaji (2003 :121) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah : 1. Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya 2. Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenisjenis tertentu 3. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-213 4. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dll Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang akan disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya.Ujaran-ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy. Orang Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasa sila, yaitu (Djoeswisno dalam Gunggung Senoaji, 2003 : 125) 1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh orang lain) 2. Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain) 3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong) 4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan 5. Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain/poligami) 6. Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung ku peting (tidak makan pada tengah malam) 7. Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bungaan dan wangiwangian) 8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam tidur) 9. Moal nyukakeun atu ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik atau nyanyian) 10. Moal made emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata) Dasar inilah yang melekat pada diri orang Baduy, menyatu dalam jiwa dan menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Jika dilihat kehidupan masyarakat Baduy, sulit untuk dipertemukan dengan keadaan zaman sekarang. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Masyarakat setempat yang menerapkan cara hidup tradisional di daerah pedesaan, yang nyaris tak tersentuh teknologi umumnya dikenal sebagai masyarakat suku, komunitas asli atau masyarakat hukum adat, penduduk asli atau masyarakat tradisional (Dasmaan dalam M. Indrawan, 2007). Masyarakat setempat seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli kawasan terkait, dan mereka biasanya berhimpun dalam tingkat komunitas atau desa. Kondisi demikian dapat menyebabkan perbedaan rasa kepemilikan antara masyarakat asli/pribumi dengan penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga masyarakat setempat seringkali menjadi rekan yang tepat dalam konservasi. Di sebagian besar penjuru dunia, semakin banyak masyarakat setempat telah berinteraksi dengan kehidupan modern, sehingga sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan diikuti penggunaan barang dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya kedekatan masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika konservasi setempat. Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Masyarakat pedusunan memiliki keunikan khusus seperti kesederhanaan, ikatan emosional tingi, kesenian rakyat dan loyalitas pada pimpinan kultural seperti halnya konsep-konsep yang berkembang di pedusunan sebagai seluk beluk masyarakat jawa seperti dikemukakan oleh Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono (2008:40-41) akan pemahamannya pada : i) Gusti Allah, 2) Ingkang Akaryo jagad, 3) Ingkang Murbeng Dumadi, 4) Hyang Suksma Adiluwih, 5) Hyang maha Suci, 6) Sang Hyang Manon, 7) Agama Ageman Aji, dan 8) Kodrat Wiradat. Semua itu menjadi pedoman bagi orang Jawa dalam berperilaku, sehingga selalu mempertimbangkan pada besarnya Kekuasaan Gustu Allah dan harus menjaga apa saja yang telah diciptakannya. Di samping itu dalam berperilaku orang akan berpedoman pada berbagai macam hal yang pada hakekatnya mempunyai nilai baik dan buruk serta pada kegiatan yang didasarkan pada benar dan salah (Brennan, Andrew, Lo, Yeuk-Sze, 2002) Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka Nababan (1995) mengemukaka prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-214 1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri 2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar. 3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas. 4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat 5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu. 6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku. Tantangan-Tantangan Terhadap Kearifan Lokal 1. Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempengaruhi kebutuhan pangan dan berbagai produksi lainnya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Robert Malthus menyatakan bahwa penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, hal ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur tidak akan pernah terkejar oleh pertambahan makanan dan pakaian yang hanya mengikuti deret hitung (Soerjani dkk, 1997:99). Adanya kebutuhan pangan yang tinggi menuntut orang untuk meningkatklan produksinya guna mencukupi kebutuhan tersebut, sehingga melakukan modernisasi pertanian dengan melakukan revolusi hijau. Dalam Revolusi hijau dikembangkan penggunaan bibit unggul, pemupukan kimia, pengendalian hama penyakit dengan obat-obatan, pembangunan saluran irigasi secara besar-besaran untuk pengairan dan penggunaan teknologi pertanian dengan traktor untuk mempercepat pekerjaan. Sebagai akibat pelaksanaan revolusi hijau yang menekankan pada tanaman padi secara monokultur dengan bibit unggul maka akan mempengaruhi kehidupan petani lokal dalam menggunakan bibit lokal yang sebenarnya mempunyai ketahanan terhadap hama dan penyakit, pupuk kandang dan pupuk organik yang digantikan dengan pupuk kimia, penggunaan hewan untuk membajak yang digantikan traktor, penggunaan obat-obatan dari tanaman untuk pertanian dengan obat-obatan kimia. Melalui program pemerintah ini, petani nampak hanya sebagai obyek, mereka tunduk patuh pada kehendak penguasa sehingga hak petani untuk mengekspresikan sikap dan kehendaknya terabaikan. 2. Teknologi Modern dan Budaya Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cepat menyebabkan kebudayaan berubah dengan cepat pula. Selanjutnya Su Ritohardoyo (2006:42) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat yang kebudayaannya sudah maju atau kompleks, biasanya terwujud dalam proses penemuan (discovery), penciptaan baru (invention), dan melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Perkembangan yang terwujud karena adanya inovasi (discovery maupun invention) dan difusi inovasi mempercepat proses teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Ketiga komponen tersebut secara bersama menghasilkan proses modernisasi dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Teknologi modern secara disadari atau tidak oleh masyarakat, sebenarnya menciptakan keinginan dan harapan-harapan baru dan memberikan cara yang memungkinkan adanya peningkatan kesejahteraan manusia.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-215 Melihat kenyataan tersebut maka mudah dipahami mengapa cita-cita tentang teknologi lokal cenderung diabaikan, karena kebanyakan orang beranggapan bahwa teknologi modern selalu memiliki tingkat percepatan yang jauh lebih dinamis. Menurut Budisusilo dalam Francis Wahono (2005:217) teknologi lokal sebagai penguatan kehidupan manusia sesungguhnya memiliki percepatan yang cukup dinamis, misalnya dalam menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan dasar. Selain menggususr pengetahuan dan teknologi lokal teknologi modern dan seluruh sistem kelembagaannya juga mempunyai potensi “perusakan seperti pembagian hasil yang timpang, pencemaran lingkungan alam dan perusakan sistem nilai sosial-budaya masyarakat. Terjadinya percepatan intregrasi dari lokal ke global yang didukung oleh berbagai bentuk perkembangan teknologi (hardware dan software) telah menjadi suatu sistem dunia yang dominan. Banyak media informasi dan komunikasi dengan gencarnya menawarkan produk berikut gaya hidup, gaya konsumsi, dan berbagai sarana hidup yang dianggap sebagai tolok ukur kemajuan dan kebahagiaan yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Budisusilo dalam Francis Wahono (2005:218) menjelaskan sebagai akibat perkembangan teknologi produksi yang pesat, baik pada sektor pertanian (bioteknologi dan mekanisasi), sektor industri (manufaktur dan eksplorasi alam), maupun sektor jasa (transportasi, medis, laboratoris, komunikasi dan informasi), masyarakat pun menjadi terbiasa menikmati produk barang dan jasa yang bersifat massif dengan efisiensi teknis, kualitas dan jenis yang sama pada semua belahan bumi. Di samping itu ketersediaan akses pada jaringan pemasaran seperti : hypermarket, supermarket, minimarket bahkan traditional market yang ditopang oleh fasilitas/alat bayar yang mudah dan cepat seperti telemarket, cybermarket telah merubah budaya dan kebiasaan baru sejumlah kalangan masyarakat. Pada gilirannya teknologi modern menjadi “standard produksi bagi pasar dunia” yang mengabaikan kemampuan penguasaan teknologi/pengetahuan keanekaragaman sumberdaya lokal dan menganggap teknologi lokal sebagai inferior. Percepatan integrasi tersebut telah mengakibatkan berbagai kondisi paradoksal, seperti meningkatnya jumlah pengangguran, kemiskinan, marginalisasi nilai kemanusiaan, krisis lingkungan, kerusakan dan konflik sumberdaya alam dan lingkungan. Melihat kenyataan tersebut maka perlu dicari cara bagaimana pengetahuan dan teknologi lokal dapat digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak sehingga kerusakan lingkungan sosial dan alam pun dapat terhindarkan. 3. Modal Besar Eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sekarang ini telah sampai pada titik kritis, yang menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan masyarakat. Di samping masalah lingkungan yang terjadi di wilayah-wilayah dimana dilakukan eksploitasi sumberdaya alam, sebenarnya terdapat masalah kemanusiaan, yaitu tersingkirnya masyarakat asli (indigenous people) yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah eksploitasi baik eksploitasi sumberdaya hutan, sumberdaya laut, maupun hasil tambang. Mereka yang telah turun temurun tinggal dan menggantungkan kehidupannya pada hutan maupun laut, sekarang seiring dengan masuknya modal besar baik secara legal maupun illegal yang telah mngeksploitasi sumberdaya alam, maka kedaulatan dan akses mereka terhadap sumberdaya tersebut terampas. Fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam selama ini yang lebih menitikberatkan kepada upaya perolehan devisa negara melalui eksploitasi sumberdaya alam yang bernilai ekonomis. Besarnya keuntungan yang bisa diraih diikuti dengan meningkatnya devisa dan daya serap tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan, semakin menguatnya legitimasi beroperasinya modal besar di sektor tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekayaan sumberdaya alam dan hayati yang dimiliki dipandang sebagai sumberdaya yang dapat diekstraksi untuk mendapatkan surplus. Namun demikian di lain pihak, keberhasilan perolehan devisa tersebut harus dibayar mahal dengan rusaknya ekosistem daerah yang bersangkutan dan akan berakibat pada terganggunya ekosistem global. Selanjutnya secara sosial budaya, terjadi konflik kepentingan antara tatanan budaya lokal dan budaya modern yang melekat pada industrialisasi dari sumberdaya alam yang dieksploitasi. Menurut Rimbo Gunawan dkk, (1998:v) persoalan tersebut di satu pihak, yaitu modernisasi melihat bahwa tatanan budaya lokal merupakan hambatan yang harus “dihilangkan” atau “diganti” agar proses pembangunan tidak mendapat gangguan serius dari komunitas lokal,
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-216 sementara itu masyarakat lokal memandang industrialisasi dari hasil sumberdaya alam yang dieksploitasi sebagai ancaman bagi hak-hak adat mereka terhadap lingkungannya Kejadian-kejadian tersebut khususnya pada sumberdaya hutan diperparah dengan banyaknya pengusaha illegal yang hanya mementingkan keuntungan tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, yang juga wujud dari keserakahan. 4. Kemiskinan dan Kesenjangan Kemiskinan dan kesenjangan merupakan salah satu masalah yang paling berpengaruh terhadap timbulnya masalah sosial. Masalah sosial yang bersumber dari kemiskinan dan kesenjangan atau kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sering kali tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dengan faktor lain. Kemiskinan bukan saja menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di banyak negara berkembang. Kemiskinan juga mempengaruhi orang bertindak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, meskipun tindakan tersebut kadang bertentangan dengan aturan atau norma-norma yang sudah ada atau pun berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Maka dari itu kemiskinan dan lingkungan maerupakan isu strategis dan menjadi tantangan utama dalam proses pembangunan berkelanjutan dan menjadi sasaran dalam Agenda 21. Untuk itu maka UNDP dan EP menggalakkan program inisiatif penanggulangan kemiskinan dikaitkan dengan lingkungan. Basis program ini adalah suatu solusi “win-win” yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pengentasan rakyat miskin dan perbaikan lingkungan. (Baiquni dan Susilo Wardani, 2002) Prospek Kearifan Lokal Di Masa Depan Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam, dimana masyarakat setempat tinggal dan kemauan masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan meskipun menghadapi berbagai tantangan. Maka dari itu penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan tindakan di lingkungan dimana mereka tinggal guna menghindari konflikkonflik sosial seperti diungkapkan Muh Aris Marfai (2005:124) bahwa pengelolaan sumberdaya dalam hal ini pengelolaan hutan wana tani yang kurang memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat lokal akan dapat menimbulkan konflik terutama dalam pengelolaan, alternatif pengelolaan lahan, dan pemetaan sumberdaya alam serta kepentingan antar kelompok masyarakat lokal. Melihat pentingnya peran masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian lingkungannya maka penting untuk mempertahankan dan melindungi tindakan-tindakan masyarakat yang merupakan bentuk dari kearifan ekologis. CBNRM (Community based nature resource management) atau Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat merupakan strategi pengelolaan Sumberdaya Hayati (SDH) dimana masyarakat berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menanggulangi masalah yang mempengaruhi kondisi SDH sehingga dalam hal ini CBNRM sangat menaruh perhatian pada partisipasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan dan memelihara SDH di sekitarnya. CBNRM merupakan contoh pendekatan dalam sistem pengelolaan SDA yang mempertimbangkan aspekaspek keadilan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar SDH secara berkelanjutan (Jatna Supriatna, 2008) Peran masyarakat lokal dalam CBNRM mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Secara umum peran masyarakat sendiri ditentukan oleh 3 hal yaitu : 1) sejauh mana pengetahuan lokal dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sebuah sistem pengelolaan kawasan konservasi yang baik; 2) seberapa besar kepedulian warga komunitas lokal terhadap alamnya sehingga mampu mendorong ke arah upaya-upaya untuk menjaga dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan di dalam maupun di luar kawasan dan 3) seberapa banyak manfaat (material dan nonmaterial) yang bisa diterima masyarakat dari kawasan konservasi sehingga keberadaannya memiliki nilai yang menguntungkan secara terus menerus. Walaupun belum ada contoh yang berhasil namun konseptual CBNRM bisa menjadi rujukan dalam membangun model pengelolaan kawasan konservasi yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayatinya. Beberapa pokok persoalan yang menjadi sasaran utama CBNRM, yaitu : 1) membuka akses bagi masyarakat
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 B-217 (lokal) dan stakeholder lain terhadap informasi dan pengelolaan; 2) memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup lewat pemanfaatan sumberdaya hayati yang tersedia sehingga mendorong mereka untuk terus mempertahankan keberadaannya; dan 3) penguatan posisi masyarakat dan stakeholder lain dalam proses-proses pembuatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Untuk menunjang keberhasilannya maka ada beberapa prinsip dalam penerapan CBNRM, yaitu prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip kesetaraan peran, prinsip berorientasi pada lingkungan, prinsip penghargaan terhadap pengetahuan lokal/tradisional dan prinsip pengakuan terhadap perempuan (Jatna Supriatna, 2008) DAFTAR PUSTAKA Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar Bakti Setiawan, 2006. Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan. Dari Ide Ke Gerakan, PPLH Regional Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, Yogyakarta Brennan, Andrew. Lo. Yeuk-See, 2002. Environmental Ethics, The Stanford Encyclopedia of Phylosophy. Edward N Zalta (ed.), URL Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta Gunggung Seno Aji, 2003. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkunyannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan, UGM, Yogyakarta http://kejawen.co.cc/pranoto-mongso-aliran-musim-asli-jawa. Kejawen: Pandangan Hidup dan Falsafah Kehidupan Orang Jawa, diakses 26 Januari 2009.. Jatna Supriatna, 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna, 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta M. Baiquni dan Susilo Wardani, 2002. Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta Muh Aris Marfai, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Wahana Hijau dan Kreasi Wacana, Yogyakarta. Nababan, 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Analisis CSIS : Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 Tahun 1995 Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono, 2008. Kearifan Lingkugan, Dalam Perspektif Budaya Jawa, Yayasan Obor Indonesia. PPLH Regional Jawa, 2006. Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, PPLH Jawa, Yogyakarta Rimbo Gunawan, Juni Thamrin dan Endang Suhendar, 1998. Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat, Akatiga, Bandung Sony Keraf, 2006. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta
Suhartini/ Kajian Kearifan Lokal … B-218 Soerjani, M; Rofiq Ahmad dan Rozy Munir, 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, UI Press, Jakarta. Sunarko dan Eddy Kristiyanto, 2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi : Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta Su Ritohardoyo, 2006. Bahan Ajar Ekologi Manusia. Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta
http://journal.umpalangkaraya.ac.id/index.php/anterior © 2022 The Authors. Published by Institute for Research and Community Services Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. This is Open Access article under the CC-BY-SA License (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI KALIMANTAN TENGAH Local Wisdom In Forest Management In Central Kalimantan Ariyadi1 1* Ahmadi Hasan 2 2 Gusti Muzainah 3 3 *Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia 2 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia 3 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia *email: [email protected] Abstrak Prinsip kesinambungan dalam kegiatan berladang bisa dilihat dari rotasi areal yang dilakukan dalam berladang. Oleh karenanya sistem ini disebut sebagai sistem ladang berpindah. Areal awal berladang pastilah dilakukan di hutan rimba atau hutan primer. Setelah areal itu selesai dipakai untuk berladang maka mereka akan mencari areal lainnya. Karena itulah disebutkan bahwa sistem kultifasi ini disebut sebagai sistem ladang berpindah. Prinsip Kolektifitas Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan. Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen. 1. Hasil peneitian masyarakat dayak Kalimantan Tengah memiliki prinsip dalam menjaga lingkungan pertama mereka Prinsip Organik. 2. Sistem Subsistensi. 3. Prinsip Keanekaragaman. 4. Prinsip Kolektifitas. 5. Prinsip Kesinambungan. 6. Prinsip Ritualitas. 7. Prinsip Hukum Adat. Kedua banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dari dulu sampai saat ini tentu harus ada penyegaran ditingkat lokal sebagai benteng awal dalam menjaga lingkungan terutama dalam masalah hutan adat, maka tentu diperlukan satu aturan yang mengakomodir tentang penjagaan atau pengawasan lingkungan adat berbasis prinsi-prinsip yang berbasis kearifan lokal sehingga menjadi kepastian hukum bagi masyarakat adat yang ingin menerapkan penjagaan lingkungan Kata Kunci: Kearifan Lokal 1 Pengelolaan lingkungan 2 Kalimantan Tengah 3 Keywords: Local Wisdom 1 Management of the environment 2 Central Kalimantan 3 Abstract The principle of sustainability in farming activities can be seen from the rotation of the area carried out in farming. Therefore, this system is known as shifting cultivation system. The initial area of cultivation must be done in jungle or primary forest. After the area has been used for farming, they will look for other areas. That's why it is said that this cultivation system is called the shifting cultivation system. The principle of collectivity The way to carry out farming activities is certainly not done alone, but in a collective way. In this case the principle of collectivity is applied. The principle of togetherness is carried out in all stages of farming activities: slashing, cutting, burning land, planting, clearing weeds or grazing and harvesting. 1. The results of the research that the Central Kalimantan Dayak community has a principle in protecting their environment, the first is the Organic Principle. 2. Subsistence System. 3. The Principle of Diversity. 4. The Collective Principle. 5. The Principle of Sustainability. 6. The Principle of Rituality. 7. Principles of Customary Law. Second, the many regulations issued by the Indonesian government from the past until now, of course, there must be a refresh at the local level as an initial bastion in protecting the environment, especially in the case of customary forests, so of course we need a rule that accommodates the preservation or supervision of the customary environment based on principles based on the principles of environmental protection. local wisdom so that it becomes legal certainty for indigenous peoples who want to implement environmental protection © year The Authors. Published by Institute for Research and Community Services Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. This is Open Access article under the CC-BY-SA License (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). DOI: https://doi.org/10.33084/anterior.vxix.xxx.
Ariyadi, Ahmadi Hasan dan Gusti Muzainah. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Di Kalimantan Tengah 12 PENDAHULUAN Kalimantan Kalimantan Tengah memiliki luas hutan 12.697.165,00 ha, luas hutan Kalimantan Selatan 1.779.982.00 ha, luas hutan Kalimantan Timur 9.452.513,00 ha, Kalimantan Utara luas hutan 4.500.000,00 ha dan luas Kalimantan Barat 8.168.088,48 ha. Dan dikomperatifkan dengan datadata Deforestasi hutan maka dapat dipresentasekan dalam bentuk table sebagai berikut: No Provinsi Angka Deforestasi (Ha/Th) Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman To tal Jumlah % Ju ml ah % Jumlah % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Kaliaman tan Barat 102,7 3 , 7 2.6 91, 6 96,3 - - 2.7 94, 2 2 Kaliaman tan Selatan 361,6 2 1 , 9 1.9 23, 7 116, 7 -636,3 -38,6 1.6 49, 0 3 Kaliaman tan Timur dan Kaliaman tan Utara 30,7 1 , 0 3.0 28, 3 99,0 - - 3.0 59, 0 4 Kaliaman tan Tengah - - 17. 60 4,8 100, 0 - - 17. 60 4,8 5 Kalimant an 494,9 2 , 0 25. 24 8,4 100, 6 -636,3 -38,6 25. 10 7,1 Keteranga: Dari data-data diatas kalimantan tengah memiliki tingkat deforestasi terendah dalam hutan Primer dan hutan tanaman. Dari data-data yang disajikan diatas bahwa tingkat deforestrasi kawasan hutan di Kalimantan Tengah memiliki tingkat yang paling sedikit terhadap tingkat kerusakan hutan, hutan primer misalnya adalah hutan yang tumbuh di atas puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun, hal ini berbanding terbalik dengan provinsi-provinsi di kaliamantan lainnya, maka peneliti tertarik untuk mencari tau mengapa hutan primer di Kalimantan Tengah masih terjaga keasriannya. Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan pearutan tentang lingkungan untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup atau lingkugan secara umum, hal ini dapat dilihat dari hierarki produk hukum tentang lingkungan dimulai dari undang-undang dasar 1945 dilanjutkan dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, lalu dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013. Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia, undang-undang nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan, serta peraturan pemerintah tentang undang-undang nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. undang-undang nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, undang-undang nomor 73 tahun 2013 tentang rawa, lampiran peta indikatif sebaran rawa nasional. Undangundang nomor 38 tahun 2011 tentang sungai, undangundang nomor 22 tahun 2011 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 20 tahun 2010 tentang angkutan di perairan. Maka peneliti sampai pada bagaimana masyarakat dayak memiliki prinsip dalam menjaga lingkungan hal ini dapat terlihat dari pemahaman mereka tentang lingkungan, bagi masyarakat kita pada umumnya berpendapat bahwa bumi memberikan kehidupan bagi manusia. Tetapi bagi masyarakat Dayak bumi bukan hanya memberikan kehidupan tapi mereka secara khusus beranggapan bahwa hutan adalah ibu. Karena bagi mereka hutan dengan segala sumber daya alamnya merupakan sumber penghidupan mereka. Tanah, sungai dan hutan adalah 3 elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai orang Dayak sejati. Selama berabad-abad 3 elemen ini telah membentuk sebuah identitas yang unik yang kita kenal sekarang sebagai orang Dayak. Orang Dayak dapat mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam menejemen sumber daya alam. Ketujuh sistem pengelolaan ini kalau dilihat adalah hal mendasar untuk menjaga alam ini agar tetap bisa bersahabat dan sungguh bisa secara lestari memberikan arti bagi diri manusia. Prinsip kesinambungan dalam kegiatan berladang bisa dilihat dari rotasi areal yang dilakukan dalam berladang. Oleh karenanya sistem ini disebut sebagai sistem ladang berpindah. Areal awal berladang pastilah dilakukan di hutan rimba atau hutan primer. Setelah areal itu selesai dipakai untuk berladang maka mereka akan mencari areal lainnya. Karena itulah disebutkan bahwa sistem kultifasi ini disebut sebagai sistem ladang berpindah. Prinsip Kolektifitas Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan. Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen. METODOLOGI Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang di mana peneliti membuat suatu usaha untuk memahami suatu realitas organisasi tertentu dan fenomena yang terjadi dari perspektif semua pihak yang terlibat. Penelitian kualitatif juga bisa diartikan sebagai penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. “Qualitative research is a from of social inquiry that focuses on the way people interpret and make sense of their
Anterior Jurnal, Volume 21 Issue 3, Agustus 2022, Page 11 – 16 p-ISSN: 1412-1395; e-ISSN: 2355-3529 13 experiences and the world in which they live. A number of different approaches exist within the wider framework of this type of research, but most of these have the same aim: To understand the social reality of individuals, groups and cultures. Researchers use qualitative approaches to explore the behavior, perspectives and experiences of the people they study. The basis of qualitative research lies in the interpretive approach to social reality.” “Penelitian kualitatif adalah dari penyelidikan sosial yang berfokus pada cara orang menafsirkan dan memahami pengalaman mereka dan dunia tempat mereka tinggal. Sejumlah pendekatan yang berbeda ada dalam kerangka kerja yang lebih luas dari jenis penelitian ini, tetapi sebagian besar memiliki tujuan yang sama: Untuk memahami realitas sosial individu, kelompok dan budaya. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi perilaku, perspektif, dan pengalaman dari orang yang mereka pelajari. Dasar penelitian kualitatif terletak pada pendekatan interpretatif terhadap realitas sosial.” HASIL DAN PEMBAHASAN Prinsip-prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan hutan Hasil dalam penelitian ini ialah orang dayak Ngaju dapat mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan tujuh prinsip dalam menejemen sumber daya alam, yaitu : Kesinambungan, Kolektivitas, Keanekaragaman, Subsistensi, Organik, Ritualitas dan Hukum Adat. Ketujuh sistem pengelolaan ini kalau dilihat adalah hal mendasar untuk menjaga alam ini agar tetap bisa bersahabat dan sungguh bisa secara lestari memberikan arti bagi diri manusia dalam kebaruan temuan penelitian ini adalah bahwa tujuh khas masyarakat dayak ngaju dapat ditemukan dalam konsep Pukung Pahewan . a. Prinsip Kesinambungan Prinsip kesinambungan dalam kegiatan berladang bisa dilihat dari rotasi areal yang dilakukan dalam berladang. Oleh karenanya sistem ini disebut sebagai sistem ladang berpindah. Prinsip Kolektifitas Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan. Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen. b. Prinsip Keanekaragaman Ada banyak orang yang menuduh bahwa kegiatan berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak itu telah membahayakan keanekaragaman hayati. Tuduhan ini tidaklah benar. Masyarakat Dayak sangat sadar bahwa jika menghilangkan keanekaragaman hayati sama saja dengan membakar lumbung sendiri. Karena bagi mereka, hutan adalah supermarket di mana mereka bisa mengambil semua kebutuhan harian mereka seperti: sayuran, buah, ikan, daging, obat - obatan dan tempat rekreasi. Dalam masyarakat Dayak yang masih kuat memegang tradisi, tata ruang dan peruntukan areal hutan masih diatur secara ketat. Perijinan dan lokasi setiap kegiatan ditentukan penatua adat yang biasa disebut sebagai temenggung. Tidak semua areal hutan boleh dijadikan ladang. Ada areal yang tetap dijadikan hutan rimba tempat mereka berburu dan mengambil bahan bangunan dan peralatan transportasi seperti perahu. Sebenarnya masyarakat Dayak tidak terlalu suka membuka hutan rimba atau hutan primer karena pohon - pohonnya yang besar akan sulit untuk dikerjakan sebagai ladang. Areal berladang pun akan sangat memperhatikan kontur atau kemiringan lahan. Umumnya areal perladangan dilakukan di lembah atau lahan yang datar. Jadi hutan di atasnya masih ada. Ini berarti setelah habis berladang maka areal tersebut dengan cepat kembali berhutan dengan aneka pohon dan tanaman, karena hutan di atas lahan menjadi sumber bibit yang gampang dibawa angin, burung, binatang atau aliran air yang mengalir dari lahan yang lebih tinggi. Dalam pembagian tata ruang ada juga areal Tembawang, yakni kebun aneka buah - buahan milik bersama. Jenis buah - buah nya dari durian, cempedak, manggis, Langsat, mangga hutan, dan aneka buah eksotik Kalimantan. Areal Tembawang ini adalah bekas kampung yang ditinggalkan karena alasan tertentu. Biasanya perpindahan kampung Dayak atau bedol desa itu disebabkan oleh bencana alam atau wabah penyakit. Jika ada beberapa orang meninggal di suatu kampung karena alasan penyakit atau alasan yang kurang jelas maka perpindahan kampung pun dilakukan. Dianggap kampung tersebut sudah tidak lagi diberkahi oleh para leluhur.Juga terdapat hutan keramat di mana diyakini sebagai tempat istirahat para leluhur atau "penunggu" hutan. Hutan ini sama sekali tidak boleh dirambah. c. Sistem Subsistensi Prinsip subsistensi atau sesuai dengan kebutuhan ini juga diterapkan dalam membuka lahan berladang. Tidak boleh ada sikap ekploitasi berlebihan terhadap hutan atau sumber dayanya. Tujuan berladang adalah untuk ketersediaan pangan atau dalam hal ini beras selama satu tahun sambil menunggu panen tahun berikutnya. Karena spesies padi yang ditanam dan berladang sangat tergantung pada musim kemarau dan hujan maka panen hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun. d. Prinsip Organik Dalam berladang tidak digunakan pupuk kimia dan pestisida dan herbisida. Semua dilakukan secara organik. Untuk pupuk tanaman masyarakat
Ariyadi, Ahmadi Hasan dan Gusti Muzainah. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Di Kalimantan Tengah 14 Dayak mengandalkan humus hutan dan tanah atau serasah bakar. Itulah salah satu alasan mengapa ladang dibakar karena selain untuk membersihkan lahan, juga hasil pembakaran dijadikan pupuk tanaman. Untuk menghilangkan rumput di selasela padi, rumput - rumput itu dicabut. e. Prinsip Ritualitas Masyarakat Dayak sangat religius dengan aneka ritual dalam kehidupan keseharian mereka, termasuk dalam hal berladang. Semua tahap dari awal sampai paska panen penuh dengan ritual. Ritual ini adalah sikap masyarakat Dayak atas penghormatan yang sangat tinggi pada hutan dan sumber dayanya yang dirasakan sebagai rahmat dan berkah dari Sang Pemberi dan Pencipta. Acara ritual itu dimulai sejak mencari lahan untuk berladang. Mereka akan melihat tanda - tanda alam untuk menentukan di mana akan berladang. f. Prinsip Hukum Adat Hukum adat juga menjadi bagian dalam kegiatan dan tahap kegiatan berladang. Fungsi hukum adat agar setiap kegiatan dan acara serta perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan tersebut sungguh sesuai dengan kultur, tradisi dan kepercayaan yang dianut. Jika ada pelanggaran maka hukum adat diberlakukan. Dalam hal ini fungsi hukum adat adalah untuk menjaga keseimbangan alam atas (alam para leluhur) dan alam bawah (alam kehidupan). Jika penegakan hukum tidak dilakukan dengan benar maka akan terjadi bencana dan karena terjadi ketidakseimbangan alam. Ancaman terhadap prinsip Apa yang telah dijelaskan di atas adalah sikap dan situasi ideal yang saat ini telah banyak hilang dan terancam. Sanksi yang dipakai oleh masyarakat dayak Ngaju Kalimantan Tengah, Masyarakat dayak memiliki sanksi/hukuman dalam menjalankan kehidupan mereka, masyarakat lokal/dayak mengenal istilah singer atau jipen, denda adat sebelum perjanjian damai tumbang Anoi 1894 masih berupa benda-benda berharga maupun hewan/binatang peliharaan yang memiliki nilai tinggi. Denda adat masih belum dikonversikan ke dalam bentuk alat tukar, denda adat inilah yang disebut singer atau para pemuka adat yang menjatuhkan singer berdasarkan sidang adat dalam basara hadat. Para pemuka adat ini akan menyinger seseorang jika terjadi pelanggaran terhadap hadat. Besaran nilai singer yang dikenakan inilah yang disebut jipen. Jipen merupakan polisemi, yakni dapat berarti budak dan satuan dari konversi pelanggaran atas hadat atau besaran denda adat/singer. Singer yang dijatuhi dapat berupa jipen 1, 2 hingga jipen 15, tergantung dari berat/ringannya pelanggaran hadat yang dilakukan. Sinergi hukum adat, nasional dan hukum Islam dalam pembangunan hutan (lingkungan) Dalam temuan ini hal yang menarik dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; point b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; point c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; point d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; dan point f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika kita melihat isi dalam undang-undang tentang lingkungan hidup yang ada kita tidak menemukan isi tentang peraturan hutan adat/lingkungan berbasis kearifan lokal. Hal ini tentu akan mencidrai hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat terutama masyarakat adat, karena mereka yang selama ini yang ikut dan berpartisipasi penuh dalam penjagaan hutan. Masyarakat dayak ngaju merupakan salah satu masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan kalimantan tengah, mereka mempunyai ciri khas dalam menjaga lingkungan hidup melalui tujuh prinsip yang mereka lakukan dari turun temurun sejak jaman nenek moyang mereka, bahwa salah satu penyangga lajunya desporasi hutan atau lingkungan tentu ada campur masyarakat adat sekitar yang mampu mengendalikan kerusakan alam lebih meluas. Oleh sebab itu maka perlu sinergitas antara pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat dalam menjaga lingkungan hidup di Indonesia. Temuan teori sinergi dengan pendekatan top down dan bottom up sinergi hukum adat dan hukum nasional dalam pembangunan lingkungan hidup Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, demokrasi juga disebut dengan pemerintahan rakyat karena
Anterior Jurnal, Volume 21 Issue 3, Agustus 2022, Page 11 – 16 p-ISSN: 1412-1395; e-ISSN: 2355-3529 15 bersumber dari rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat. Banyak pengamat politik yang mengkritik sistem ini tetapi banyak pula yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dapat merepresentasikan rakyat. Setiap negara tentunya menganut sistem pemerintahan yang berbeda. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang di dalamnya selalu melibatkan rakyat dalam setiap pembuatan hukum suatu negara. Demokrasi mengizinkan warga negara untuk berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Maka dari lah ini perlu kita implementasikan dalam pembuatan undang-undang yang hari ini terkesan peraturan atau perundangan itu hanya dari pemerintah saja tampa melihat/melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatan atau penyusunan perundang-undangan terkhusus perundangan lingkungan hidup. Maka kita dalam temuai ini kita bisa menggabungkan dua teori top down dan botton up dalam pembuatan undangundang sehingga perundangan tidak terkesan dilakukan pemerintah saja atau masyrakat lokal saja yang berdiri. Seharusnya perundangan atau peraturan di indonesia terutama lingkungan hidup perlu melihat dan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip masyarakat lokal dalam memelihara dan menjadikan mereka sebagai garda terdepan dan saling menguatkan dalam menjaga lingkungan hidup. Pendekatan Top Down o Menggunakan logika berpikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ‘ke bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan. o Sering disebut sebagai pendekatan policy centered karena fokus perhatian peneliti hanya tertuju pada kebijakan dan berusaha memperoleh fakta apakah kebijakan tsb efektif atau tadak o Biasanya lebih fokus pada kegagalan implementasi kebijakan karena menjelaskan persoalan-persoalan atau faktor penghambat implementasi Tahapan kerja dalam pendekatan Top Down • Memilih kebijakan yang akan dikaji • Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk dapat mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan yang secara formal tercantum dalam dokumen kebijakan • Mengidentifikasi bentuk-bentuk keluaran kebijakan yang digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan • Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah diterima oleh oleh kelompok sasaran dengan baik (sesuai dengan SOP) yang ada • Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan memiliki manfaat bagi kelompok sdasaran. • Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah kelompok sasaran memanfaatkan keluaran kebijakan Pendekatan top dpwn identik dengan command and control keberhasilan implementasi kebijakan didasarkan pada kejelasan perintah dan cara mengawasi atasan kepada bawahan. Contoh model implementasi Top-Down adalah: Mazmanian dan Sabatier; van Meter dan van Horn; Edward III dan Grindle. Pendekatan bottom up muncul botton up tentu sebagai kritik terhadap pendekatan top-down: • Top down model menganggap aktor utama adalah policy maker, sehingga kurang memperhatikan pengaruh aktor-aktor lain misalnya kelompok sasaran, swasta, dll • Top down model sulit diterapkan ketika tdk ada aktor yang dominan • Pendekatan top down melupakan bahwa birokrat garda depan dan kelompok sasaran memiliki kecenderungan untuk menyelewengkan arah kebijakan untuk kepentingan mrk • Pendekatan bottom up dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky(1971), Berman (1978), Herjn dan Porter (1978). Fokus perhatian pendekatan bottom up adalah padaperan street level birokrat dan kelompok sasaran, pendekatan bottom up percaya bahwa implementasi akan berhasil jika kelompok sasaran dilibatkan dari awal mulai proses sampai implementasi kebijakan. Langkah-langkah dalam pendekatan bottom up • Memetakan stakeholders yang terlibat dalam implementasi kebijakan pada level terbawah. • Mencari informasi dari para aktor tsb tentang pemahaman thd kebijakan Memetakan keterkaitan antar aktorpada level terbawah dengan aktor pada level di atasnya . • Peneliti bergerak ke atas dengan memetakan aktor pada level yang lebih tinggi dengan mencari format yang sama. • Pemetaan dilakukan terus sampai pada level tertinggi KESIMPULAN Kearifan lokal masyarakat Kalimantan Tengah dalam pengelolaan lingkungan tidak lepas dari prinsip Kolektifitas Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan. Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen. 1. Hasil peneitian masyarakat dayak Kalimantan Tengah memiliki prinsip dalam menjaga lingkungan pertama mereka Prinsip Organik. 2. Sistem Subsistensi. 3. Prinsip Keanekaragaman. 4. Prinsip Kolektifitas. 5. Prinsip Kesinambungan. 6. Prinsip Ritualitas. 7. Prinsip Hukum Adat.
Ariyadi, Ahmadi Hasan dan Gusti Muzainah. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Di Kalimantan Tengah 16 UCAPAN TERIMA KASIH Kami para peneliti mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada seluruh pihak yang terkait dalam penelitian ini, terutama para informan dan instansi kami masing-masing (Universitas Muhammadiyah Palangkaraya dan UIN Antasari Banjarmasin) serta penghargaan sebesar-besarnya kepada pengelola jurnal Anterior yang bersedia menerbitkan penelitian kami ini. REFERENSI Sumber : Statistik Kawasan Hutan. 2018. Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan; https://kalteng.bps.go.id/statictable/2017/10/ 25/566/luas-kawasan-hutan-dan-perairanmenurut-kabupaten-kota-di-provinsikalimantan-tengah-ha-2016-.html. Diakses senin 20 juni 2021 jam 15:00 wib. Sumber : Statistik Kawasan Hutan. Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan; Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Kementerian Kehutanan.http://www.dephut.go.id/uploads/ files/0763c02133926c27bb0133dd50ff26c6.p df. Diakses senin 05 Februari 2019 jam 15:00 wib. Utomo, Suyud Warno, Sutriyono Sutriyono, and Reda Rizal. "Ekologi." 2014. Pilin, Matheus, and Edi Petebang. "Hutan Darah dan Jiwa Dayak." Pontianak: Sistem hutan Kerakyatan Kalimantan Barat (1998). Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi RakyatSebuah Studi Tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.30. O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: BadanPenerbit Kristen, 1970. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonseia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Budyanto, Dasar-Dasar Ilmu Negara, Jakarta : Erlangga, 2000. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002. 1 Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan Bintang, 1955. Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973. Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah- kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2002. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005. Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazdo’ir, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, 1987. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 74 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1987. C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Leli Joko Suryono, 2011, Asas Keadilan Pada Kontrak di Bidang Hubungan Industrial, Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2012. Ahmad Zaenal Fanani, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Artikel ini pernah dimuat di Varia Peradilan No. 304 Maret 2011. Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum DanTata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009. John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.
90 Jurnal Hutan Tropis Volume 6 No. 1 ISSN 2337-7771 (Cetak) ISSN 2337-7992 (Daring) Maret 2018 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN MATA AIR DI DESA SUNGAI LANGKA, KECAMATAN GEDONG TATAAN, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG Local Wisdom of Springs Management in Sungai Langka Village, Gedong Tataan District, Pesawaran Regency, Lampung Province Muhammad Rasyid Lubis, Hari Kaskoyo, Slamet Budi Yuwono & Christine Wulandari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung ABSTRACT. Local wisdom is the values or behaviors that exist in local communities to better with their environment. Sungai Langka Village has local wisdom in springs management. The research aims to know perception and attitude of community about the spring, to know local wisdom in the management of springs and to create local wisdom database. Sampling was conducted on August 2017 by using purposive sampling method then the data clarity method with interview using. Data were analyzed using Win AKT 5.55 rather than tabulated. Local wisdom conducted by the community of Sungai Langka Village is from the management action which is cooperation activity done on 1st, the conservation action by planting kemadu tree (Laportea sinuata), winong tree (Tetrameles nudiflora) dan beringin tree (Ficus benjamina) done in the eyes of the air like a piece of goat (ruwat bumi), eating together (ambengan), pray (kenduren) meditation in spring (tirakatan). Keyword : local wisdom; spring; WIN AKT software. ABSTRAK. Kearifan lokal adalah tata nilai atau perilaku yang terdapat di dalam masyarakat lokal untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Desa Sungai Langka memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan mata air. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui persepsi dan sikap masyarakat mengenai mata air, mengetahui kearifan lokal dalam pengelolaan mata air dan membuat database kearifan lokal. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2017 dengan menggunakan metode purposive sampling dan metode pengumpulan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan WIN AKT 5.55 dan ditabulasi. Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Langka yaitu mulai dari tindakan pengelolaan yaitu kegiatan gotong royong yang dilakukan pada satu suro, tindakan konservsi yaitu dengan menanam pohon kemadu (Laportea sinuata), pohon winong (Tetrameles nudiflora) dan beringin (Ficus benyaamina) dan tradisi yang dilakukan di mata air seperti potong kambing (ruwat bumi), makan bersama (ambengan), kirim do’a (kenduren) dan menunggu di mata air (tirakatan). Kata kunci: kearifan lokal; mata air; software WIN AKT. Penulis untuk korespondensi, surel: [email protected]
91 Muhammad Rasyid Lubis, Hari Kaskoyo, Slamet Budi Yuwono & Christine Wulandari: Kearifan …(6).: 90-97 PENDAHULUAN Masyarakat lokal memiliki pengetahuan lokal mengenai ekologi, pertanian dan kehutanan yang terbentuk secara turun temurun dalam pengelolaan sumberdaya alam dari generasi ke generasi (Hilmanto, 2009). Pengetahuan lokal didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kontak sehari-hari antara masyarakat dengan dunia alam dan proses-proses ekologis (Knapp dan Fernandez, 2009). Menurut Siswadi dkk (2011) konsep dari kearifan lokal mencakup pengetahuan lokal (local knowledge), kecerdasan setempat (local genius), kebijakan setempat (local wisdom) dan tradidsi setempat. Karakteristik kearifan lokal pada setiap daerah berbeda-beda. Kearifan lokal pada komunitas tertentu dapat di temukan bentuk pengelolaan sumber daya alam sebagai tata pengaturan lokal yang muncul sejak masa lalu melalui sejarah dan adaptasi yang lama (Oktaviani dan Dharmawan, 2010). Buwono dkk (2017) Pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan bertujuan untuk menjaga ketersediaan untuk saat ini dan masa yang akan datang serta terjaminnya ketersediaan untuk masa yang akan datang. Menurut Oktaviani dan Dharmawan (2010), Perlunya dilakukan pengelolaan sumberdaya air agar sumber air tersebut dapat bermanfaat, dimana keberadaan mata air dapat dipergunakan untuk kegiatan religius (mendukung pelaksanaan ibadah), air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), serta ekonomi. Mata air di Desa Sungai Langka ini sudah dimanfaatkan sejak masa penjajahan Belanda. Setelah masa penjajahan, mata air tersebut masyarakat sekitar memanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Beberapa dari masyarakat memanfaatkan sumber air tersebut untuk membudidayakan ikan. Keberadaan mata air di Desa Sungai Langka yang pengelolaannya secara turun temurun diwariskan sangat menarik untuk diteliti karena kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di Desa Sungai Langka informasinya belum terdokumentasikan dengan baik. Penelitian ini penting dilakukan sebagai acuan pengelolaan untuk masa yang akan datang sekaligus mengkombinasikan informasi dan teknologi yang ada tanpa meninggalkan keberadaan kearifan lokal masyarakat. Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui bagaimana persepsi dan sikap masyarakat mengenai mata air, mengetahui kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan dan mata air dan membuat database kearifan lokal dalam pengelolaan mata air. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu bulan Agustus 2017 di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Purposive Sampling Method (Fradian dkk, 2012); (Sekaran, 2000) yang menyatakan pengambilan sampel terbatas pada tipe orang tertentu yang dapat memberikan informasi yang diinginkan atau sesuai dengan beberapa kriteria yang ditetapkan oleh peneliti. Populasi responden dalam penelitian kali ini adalah masyarakat yang menggunakan mata air dan pengurus mata air. Data primer pada penelitian ini yang diperoleh melalui observasi dan wawancara menggunakan kuesioner kepada responden. Penentuan jumlah sampel responden menggunakan rumus Slovin dengan ketetapan batas eror yang digunakan sebesar 15%, karena populasi pengguna mata air sebesar 800 KK. Arikunto (2002), menyatakan penggunaan batas eror 15% dapat digunakan jika populasi lebih dari 100 responden. Penentuan besar sampel menggunakan Rumus Slovin yaitu (Arikunto, 2002) : ( ) 2 N n Ne 1 = +
92 Jurnal Hutan Tropis Volume 6 No. 1, Edisi Maret 2018 Keterangan: n = Jumlah Responden N = Jumlah total kepala keluarga (KK) yang menggunakan mata air di Desa Sungai Langka e = Margin/batas eror Berdasarkan data yang diperoleh jumlah penduduk yang menggunakan atau memanfaatkan mata air sebanyak 800 KK. ( ) 2 800 n 43Responden 800 0,15 1 = = + Hasil yang didapat sebanyak 43 responden ditambah dengan 4 orang yang dianggap memahami mengenai sejarah desa dan 4 orang yang melakukan pengelolaan mata air. Studi pustaka dari instansi yang berkaitan untuk memperoleh data sekunder pada penelitian ini. Pengolahan data yang digunakan penelitian ini mengenai persepsi dan sikap masyarakat dilakukan tabulasi data, pengolahan data mengenai kearifan lokal dan pembuatan database dilakukan dengan menggunakan software Win AKT 5.55 (Agroecological Knowledge Toolkit For Windows ). Menurut Girda dkk, (2016) Win AKT 5.55 dipergunakan untuk pengolahan data yang akan menghasilkan model atau database kearifan lokal. Membuat database mengenai kearifan lokal pengelolaan mata air mempunyai elemenelemen dalam penyusunan pernyataan antara lain objek, proses dan kegiatan dengan jenis pernyataan yang digunakan yaitu, Attribute Value Statements, Casual Statement, Links Statements. Hasil pengolahan data mengenai persepsi dan sikap serta database kearifan lokal dalam pengelolaan mata air di analisis menggunakan analisis deskriptif. Usman dan Akbar (2009) mendefinisikan deskriptif adalah menggambarkan atau melukiskan suatu hal. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Pendidikan Tingkat pendidkan responden masyarakat Desa Sungai Langka beragam mulai dari responden lulusan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, diploma sampai sarjana. Hasil pengambilan data responden mengenai tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram persentase tingkat pendidikan responden Tingkat pendidikan responden didominasi oleh responden lulusan Sekolah Dasar sebanyak 35.29% atau sebanyak 18 responden, untuk lulusan Sekolah Menengah Pertama sabanyak 27.45, lulusan Sekolah Menengah Atas sebanyak 29.41% dan untuk lulusan Diploma dan Sarjana masing masing sebanyak 1.96% dan 5.88%. Sebagian besar masyarakat pedesaan hanya memiliki pendidikan dan keterampilan yang terbatas (Sugiarto, 2010). Akan tetapi tidak dengan masyarakat Desa Sungai Langka yang tingkat pendidikan responden cukup tinggi jika dilihat dari lulusan SMP- S1 sebesar 65%. Pengetahuan responden dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (Girda dkk, 2016). Hal serupa juga dinyatakan dalam penelitian Wulandari (2010) bahwa pendidikan dan jumlah pelatihan merupakan faktor-faktor yang pengaruh sangat nyata terhadap persepsi masyarakat. Menurut Ariyanto dkk (2014) menyatakan tingkat pendidikan yang rendah seperti ini mempengaruhi pola pikir dan berdampak pada kreativitas. Noviyanti dkk (2016) menyatakan pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, diharapkan dengan pendidikan yang lebih tinggi maka orang tersebut akan semakin luas tingkat pengetahuannya yang berdampak kepada pengelolaan hutan dan sumber daya air yang semakin baik
93 Muhammad Rasyid Lubis, Hari Kaskoyo, Slamet Budi Yuwono & Christine Wulandari: Kearifan …(6).: 90-97 Persepsi Masyarakat Desa Sungai Langka mengenai Definisi Mata Air Proses atau cara pandang individu dalam menafsirkan atau mengelola kesan indra untuk memberikan makna kepada lingkungan dapat disebut sebagai persepsi (Meiyanto, 2012). Menurut Wahyuni dan Mamonto (2012) Adanya perbedaan persepsi akan memicu permasalahan. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat mengenai mata air harus digali terutama yang bersentuhan langsung dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Persepsi masyarakat Desa Sungai Langka mengenai definisi mata air dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persepsi masyarakat Desa Sungai Langka mengenai definisi mata air Persepsi Hasil Persentase Tahu 39 76.48% Kurang Tahu 5 9.80% Tidak Tahu 7 13.72% Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat antara lain kurangnya sosialisasi pembinaan dan tingkat pendidikan yang rendah (Wahyuni dan Mamonto, 2012). Persepsi masyarakat Desa Sungai Langka mengenai definisi mata air menjawab tahu sebanyak 39 responden (76.48%) ini sudah cukup baik dimana secara garis besar masyarakat sudah mengetahui definisi dari mata air. Masyarakat mendefinisikan mata air adalah air yang keluar dari dalam tanah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Responden yang menjawab kurang tahu sebanyak lima responden (9.80%) dan responden yang menjawab tidak tahu sebanyak tujuh responden (13.72%). Persepsi masyarakat Desa Sungai Langka mengenai definisi mata air sebesar 76.48% . Penafsiran mengenai definisi mata air ini akan menunjukan tingkat kapasitas masyarakat terhadap pengelolaan serta pemanfaatan mata air. Menurut Buwono dkk (2017) pengelolaan konservasi penting untuk diketahui melalui tingkat kapasitas masyarakat. Sikap Masyarakat Desa Sungai Langka mengenai Pemanfaatan Mata Air Suatu kesiapan seseorang dalam merespon secara konsisten terhadap suatu objek atau situasi dalam bentuk positif atau negatif dapat disebut sikap. Masyarakat didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama terikat oleh normanorma tertentu dalam suatu wilayah untuk mencapai kepentingan dan saling bekerjasama bersama. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat adalah kecenderungan masyarakat untuk menanggapi atau merespon suatu objek tertentu secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif (Utami, 2009). Penelitian ini salah satunya untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat dalam pemanfatan mata air. Sikap yang masyarakat berikan terhadap pemanfaatan mata air yaitu sikap yang menghasilkan berupa respon positif sebagaimana dapat dilihat masyarakat memanfaatkan mata air ini untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sikap masyarakat Desa Sungai Langka mengenai pemanfaaatan mata air Sikap Hasil Persentase (%) kegiatan sehari-hari 51 92.72 kegiatan lainnya 4 7.28 Tidak Memanfaatkan 0 0 Sikap Masyarakat Desa Sungai Langka dalam merespon keberadaan mata air dapat dilihat pada Tabel 3. Responden menjawab untuk kegiatan sehari-hari seperti MCK dan air minum sebanyak 51 responden (92.72%), responden yang menjawab untuk kegiatan lainnya sebanyak empat responden (7.28%). Kegiatan lainnya dalam pemanfaatan mata air ini dari beberapa responden mengatakan untuk kegiatan budidaya ikan dan seorang responden mengatakan untuk kegiatan persemaian menyiram bibit. Penelitian yang dilakukan Buwono dkk (2017) menyebutkan bahwa pemanfaatan mata air di daerah Sumberawan dilakukan untuk penyediaan masyarakat
94 Jurnal Hutan Tropis Volume 6 No. 1, Edisi Maret 2018 sekitar (Minum, mandi, cuci, kakus), penyediaan untuk PDAM, penyediaan untuk peternakan, penyedian air untuk home industry, penyediaan untuk perikanan (budidaya) dan penyediaan untuk pertanian (irigasi sawah) yang diharapkan tidak hanya memanfaatkan saja akan tetapi dilakukan pengelolaan sumberdaya air tersebut. Kearifan Lokal Masyarakat Desa Sungai Langka dalam Pengelolaan dan Konservasi Mata Air Sistem dalam tatanan kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya, serta lingkungan yang hidup di tengah-tengah masyarakat lokal dapat disebut kearifan lokal yang memiliki ciri yang bersifatnya dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya (Reza dan Hidayati, 2017). Pemahaman mengenai kearifan lokal tersebut memunculkan keingintahuan tentang kearifan lokal terkait dengan tatanan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sungai Langka dalam pengelolaan serta konservasi mata air. Adapun kearifan lokal masyarakat Desa Sungai Langka berdasarkan pengetahuan lokal atau Local Ecological Knowledge (LEK) dalam tindakan pengelolaan mata air dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Model kearifan lokal berdasarkan Local Ecological Knowledge (LEK) dalam pengelolaan mata air Keterangan: = Benda, Sifat, Kegiatan atau Proses (Aktifitas) = Tindakan Masyarakat (Action) = Hubungan antar komponen Tindakan dalam menjaga mata air yang dilakukan oleh masyarakat yaitu tindakan pengelolaan mata air. Manik (2012) menyatakan pengelolaan didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam dalam suatu wilayah sehingga dapat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Reza dan Hidayati (2017) menyatakan upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air dan pengendalian daya rusak air adalah pengelolaan sumber daya air. Kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan mata air ini antara lain menanam tanaman bambu, gotong royong membersihkan mata air yang didahului dengan melakukan tradisi adat seperti pada Tabel 5 yang kemudian melakukan kegiatan membersihkan mata air yang kegiatan ini dilakukan pada satau suro, selanjutnya membuat saluran air untuk mengalirkan air ke rumah masyarakat yang menggunakan mata serta kelompok desa mengalirkan air dan melakukan sosialisasi dalam menjaga mata air. Pengaliran air di Desa Sungai Langka pada setiap dusunnya berbeda-beda. Di dusun 4 dan 6 pengaliran air dilakukan pada pukul 06.00-10.00, untuk dusun 1,2 dan 3 pengaliran air dilakukan pada pukul 10.00 – 14.00 dan untuk dusun 5 pengaliran terus menerus selama 24 jam. Jika dilihat dari waktu pembagian air ada ketimpangan waktu untuk tiaptiap desa. Meskipun demikian masyarakat dapat menerima keputusan tersebut karena Dusun 5 yang menerima jatah pembagian air selama 24 jam akan memperoleh debit yang lebih kecil. Hal tersebut merupakan kesepakatan bersama antar dusun dengan lembaga pengelola mata air. Pengukuran debit air ini untuk mengetahui besaran air yang diperoleh setiap dusunnya berdasarkan pembagian waktu dapat dilihat pada Tabel 3.
95 Muhammad Rasyid Lubis, Hari Kaskoyo, Slamet Budi Yuwono & Christine Wulandari: Kearifan …(6).: 90-97 Tabel 3. Debit air berdasarkan pembagian waktu Dusun Waktu Debit (liter/ menit) 1,2 dan 3 Pukul 10.00-14.00 2,43 5 24 jam 1,32 4 dan 6 Pukul 6.00-10.00 2,4 Masyarakat Desa Sungai Langka tidak hanya melakukan tindakan pengelolaan mata air saja akan tetapi masyarakat juga melakukan tindakan konservasi mata air. Menjaga kuantitas dan kualitas sumber air untuk memenuhi kebutuhan mahkluk hidup dilakukan dengan upaya pemelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang (Reza dan Hidayati. 2017). Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sungai Langka dalam hal konservasi mata air yaitu tidak menebang pohon dan menanam pohon yang berdampak kepada peningkatan infiltrasi. Pohon yang masyarakat tanam berdasarkan pengetahuan yang masyarakat miliki yaitu pohon kemadu (Laportea sinuata), pohon winong (Tetrameles nudiflora) dan beringin (Ficus benyaamina). Schwab dkk (1992) menyatakan Fungsi vegetasi dalam hal ini pohon secara efektif dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam mengabsorbsi air, mempertahankan atau meningkatkan laju infiltrasi. Manik (2012) menyatakan proses masuknya atau meresapnya air ke dalam tanah disebut infiltrasi. Adapun tindakan konservasi mata air yang dilakukan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Model kearifan lokal berdasarkan Local Ecological Knowledge (LEK) dalam konservasi mata air Keterangan: = Benda, Sifat, Kegiatan atau Proses (Aktifitas) = Tindakan Masyarakat (Action) = Hubungan antar komponen = Proses Alami Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Langka tidak hanya kepada tindakan pengelolaan serta tindakan konservasi mata air berdasarkan pengetahuan lokal ada juga kegiatan tradisi masyarakat Desa Sungai Langka yang masyarakat lakukan sebagai rasa syukur atas pemberian sumber alam yang diberikan. Menurut Muhammad (2013), dalam memahami suatu tradisi daerah atau kelompok masyarakat terlebih dahulu diselidiki sejarah dari tradisi tersebut, terutama yang menyangkut asal mula daerah setempat. Masyarakat Desa Sungai Langka sendiri banyak berasal atau keturunan suku Jawa yang kala itu melakukan transmigrasi ke daerah Lampung. Responden pada penelitian kali ini diperoleh sebanyak 100% suku Jawa. Adapun kegiatan tradisi yang masyarakat Desa Sungai Langka lakukan dapat dilihat pada Tabel 4.
96 Jurnal Hutan Tropis Volume 6 No. 1, Edisi Maret 2018 Tabel 4. Tradisi masyarakat Desa Sungai Langka Kegiatan Waktu Pelaksanaan Potong Kambing (Ruwat Bumi) 1 Muharam atau 1 Suro Makan Bersama (Ambengan) 1 Muharam atau 1 Suro Kirim Do’a (Kenduren) 1 Muharam atau 1 Suro Gotong Royong membersihkan mata air 1 Muharam atau 1 Suro Menunggu di Mata Air (Tirakatan) Malam Jum’at Kliwon Kegiatan tradisi pada Tabel 5 yaitu kegiatan potong kambing (ruwat bumi), makan bersama (ambengan), kirim do’a (kenduren) sebagai rasa syukur. Kegiatan selanjutnya yaitu gotong royong yang dilakukan dilakukan pada satu muharam atau satu suro. Kegiatan yang dialakukan pada malam juma’at kliwon yaitu menunggu atau semedi di mata air (tirakatan). Kegiatan tersebut terakhir kali dilakukan pada tahun 2013 pada saat itu Desa Sungai Langka di kepalai oleh Ibu Lamisah. Kegiatan semacam itu sudah ditiadakan oleh Kepala Desa Sungai Langka saat ini Bapak Herwan Sukijo dikarena tidak akan mempengaruhi terhadap mata air. Kegiatan yang dipertahankan yaitu kegiatan Gotong royong membersihkan mata air (bersih desa) yang dilakukan satu muharam atau satu suro. Muhammad (2013) menyatakan perubahan sosial seperti itu dipicu oleh penggunaan ilmu pengetahuan sehingga terjadi perubahan sangat cepat. Pengetahuan inilah yang akan mempengaruhi modernisasi akan tetapi modernisasi juga tidak bisa dijauhkan dari tradisi yang mana keduanya harus sejalan beriringan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Persepsi masyarakat Desa Sungai Langka mengenai mata air sebagai berikut : 76.84% mengetahui definisi mata air sebagai air yang keluar dari dalam tanah dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, 9.80% kurang tahu dan 13.72% tidak tahu definisi mata air. Persepsi masyarakat mempengaruhi sikap dimana sikap masyarakat terhadap mata air, yaitu 92.72% memanfaatkan mata air untuk kegiatan sehari-hari, 7.28% untuk kegiatan lain seperti budidaya ikan dan menyiram bibit. Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Langka yaitu tindakan pengelolaan air seperti gotong royong yang dilakukan pada satau suro dan menanam tanaman bambu. Tindakan konservsi yang masyarakat lakukan yaitu menanam pohon dengan jenis pohon yang masyarakat ketahui baik untuk resapan air yaitu pohon kemadu (Laportea sinuata), pohon winong (Tetrameles nudiflora) dan beringin (Ficus benyaamina) serta terdapat suatu tradisi yang dilakukan masyarakat seperti gotong royong membersihkan mata air, potong kambing (ruwat bumi), makan bersama (ambengan), kirim do’a (kenduren) dan menunggu di mata air (tirakatan). Hasil Database kearifan lokal dalam bentuk model Local Ecological Knowledge (LEK) pengelolaan mata air digunakan untuk mendokumentasikan tindakan pengelolaan mata air seperti kegiatan menanam tanaman, gotong royong membersihkan mata air, membuat saluran air, kelompok desa mengalirkan air dan melakukan sosialisasi dalam menjaga mata air serta mendokumentasikan tindakan konservasi mata air yaitu tidak menebang pohon disekitar mata air dan menanam pohon pada daerah yang kurang rapat untuk meningkatan infiltrasi. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka cipta. Jakarta. 342 hlm. Ariyanto., Rachman, I dan Toknok, B. 2014. Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. J. Warta Rimba. 2(2) : 84-91. Buwono, N., Muda, G., dan Arsad, S. 2017. Pengelolaan Mata Air Sumberawan Berbasis
97 Muhammad Rasyid Lubis, Hari Kaskoyo, Slamet Budi Yuwono & Christine Wulandari: Kearifan …(6).: 90-97 Masyarakat Di Desa Singosari Kabupaten Malang. J. Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 9 (1): 25-36. Fardian, F., Maulana, I., dan Rosidah. 2012. Analisis Pemintaan ikan Lele Dimbo (Clarias gariepinus) konsumsi di Kecamatan Losareng Kabupaten Indramayu. J. Perikanan dan Kelautan. 3(4):93-98. Girda, S., Wulandari, C., dan Kaskoyo, H. 2016. Kajian Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Konservasi Tanah Dan Air Di Sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Studi Kasus di Desa Bogorejo Kecamatan Gedong Tataan). J. Sylva Lestari. 5 (2): 23—29. Hilmanto, R. 2009. Local Ecological Knowladge dalam Teknik Pengelolaan Lahan pada Sistem Agroforestry. Buku. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 105 hlm. Knapp, C., dan Fernandez, G. 2009. Knowing the land: A review of Local knowledge Revealed in Ranch Memoirs. J. Rangeland Ecol Manage. 61(2):148–155. Manik, K. 2012. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Konservasi Tanah Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Buku. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 87 hlm. Meiyanto, S. 2012. Persepsi, Nilai dan Sikap. Buku. Minat Utama Manajemen Rumah Sakit Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 14 hlm. Muhammad, S. 2013. Masyarakat Ternate Pergulatan Tradisi dan Modernitas. Buku. Ombak. Yogyakarta. 120 hlm. Noviyanti, R., Wulandari, C dan Qurniati, R. 2016. Kompetensi Sumberdaya Manusia Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Di Lampung. J. Sylva Lestari. 4 (1): 11—20. Oktaviani, T. dan Dharmawan. A. H. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Di Kampung Kuta. J. Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4(3): 345-355. Reza, M., dan Hidayanti, A. 2017. Kearifan Lokal Suku Sasak dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Desa Lenek Daya Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. J. PWK Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN. 30(15): 1-14. Schwab, G.O., Fangmeir, D.D., Elliot, W.J., and Frevert, R.K. 1992. Soil ang Water Conservation Engineering. Four Edition, John Wiley & Sons. Inc, New York. 528 hlm. Sekaran, U. 2000. Reasearch Methods For Business: A Skill-Building Approach. Buku. Jhon Willey & Sons, Inc. New York . 463 hlm. Siswadi., Taruna. T., dan Purnaweni, H. 2011. Kearifan lokal dalam melestarikan mata air (studi kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal). J. Ilmu Ilmu Lingkungan. 9(2) : 63-68. Sugiarto, 2010. Distribusi Ketenagakerjaan dan Tingkat Kesejahteraan Petani di Pedesaan Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Komoditas Palawija. J.Pertanian Terapan, 11 (1): 1-14. Usman, H., dan Akbar, P. 2009. Metode Penelitian Sosial. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 170 hlm. Utami, H. 2009. Sikap Masyarakat Terhadap Ganti Rugi Penggunaan Kawasan Hutan Payau. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung. 61 hlm. Wahyuni, N. dan Mamonto, R. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional dan Sumberdaya Hutan : Studi Kasus Blok Aketawaje, Taman Nasional Aketawaje Lolobata. J. Balai Penelitian Kehutanan Manado. 2(1):1-16. Wulandari, C. 2010. Studi Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Lanskap Agroforestri Di Sekitar Sub Das Way Besai, Provinsi Lampung. J. Ilmu Pertanian Indonesia. 15 (3): 137-140.
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 18 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Nanang Widarmanto Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Cilalawi No. 1. Jatiluhur Purwakarta Email: [email protected] Abstract Indonesia has large potential fishery resources, both marine fisheries and inland public waters. The potential of existing fishing is expected to have an impact on the people’s beneficiaries. However its resources are open access and common property without the accompaniment surveillance which tends to encourage people at maximum utilization patterns and unsustainable. One approach to resource management effort, which is quite effective is the power of local construction. This paper aims to find out the various models of local construction in the management of fishery resources, especially in public waters. The writing method uses the desk or literature study. The study shows that the implementation of community-based management model is proven to deliver results quite effective and efficient. Management efficiency, which reduces conflict of fishermen and the sustainability of the resource is obtained from the management model based on local wisdom, which puts public participation as a key indicator in the implementation of resource management. Key words: Local wisdom, resources, fishery management. 1. Pendahuluan Pengelolaan perairan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, baik perairan darat atau tawar, maupun perairan laut dan pesisir mengalami kendala-kendala dan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar, sehingga dengan alasan kebutuhan ekonomi dan kemiskinan serta sangat sedikitnya lapangan pekerjaan, menyebabkan masyarakat sekitar pantai mencari penghasilan dari alam sekitar dan merupakan tempat pemenuhan kebutuhan ekonomi yang sangat mudah; ditambah kurangnya pengawasan dan pembinaan, laju kerusakan alam semakin besar dan semakin meningkat. Banyak masyarakat melakukan praktek ilegal di dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potasium dan penangkapan yang tak terkendali termasuk nutfah yang ada di wilayah tersebut dan tanpa memikirkan keberlanjutannya. Berbagai tata aturan dalam pemanfaatan sumberdaya, sebenarnya telah dilakukan, baik melalui undangundang maupun peraturan di tingkat desa; namun sifatnya yang terbuka (open access) dan menjadi milik umum (common property), didukung dengan tuntutan kebutuhan yang cenderung terus meningkat, mendorong beberapa pihak untuk berperilaku kurang arif dalam memanfaatkannya. Berdasarkan kondisi tersebut bahwa telah banyak sumberdaya perairan yang rusak terutama di daerah perairan darat atau tawar, maka perlu ada upaya yang dilakukan untuk mencegah meluasnya kegiatan pengrusakan sumberdaya perairan tersebut. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara memadukan keinginan yang ada dalam masyarakat sekitar dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh pemerintah dalam rangka menjaga dan menyelamatkan sumberdaya perairan dari kerusakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mencari dan memfungsikan kembali adat kebiasaan masyarakat setempat di dalam mengelola sumberdaya mereka yang secara turun-temurun telah ada dan efektif dilakukan pada wilayah tersebut yang biasa disebut dengan kearifan lokal, ikut
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 19 berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti bertambahnya terus jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta kemiskinan dan kesenjangan. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran masyarakat lokal (Suhartini, 2009). Menurut Francis Wahono (2005), kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Kearifan Lokal merupakan solusi dalam menjaga kelestarian perairan, beberapa peraturan adat seringkali lebih dipatuhi dibanding peraturan pemerintah, karena kalau melanggar adat, maka bisa dikucilkan oleh masyarakat. Peraturan adat biasanya mengatur kapan warga boleh mencari ikan, cara-cara yang sesuai, serta aturan lain yang bertujuan untuk kelestarian ikan dan hasil-hasil perairan, sehingga dapat dipertahankan sampai anak cucunya kelak. Sejauh mana peran kearifan lokal tersebut dalam mewujudkan sumberdaya ikan yang lestari, kita harus mengenal pemahaman tersebut, serta berbagai praktek keberhasilannya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui berbagai model konstruksi lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya di perairan umum. 2. Pengertian Kearifan Lokal Dalam sejumlah kepustakaan, kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya lebih pas disebut penemuan tradisi (invention of tradition). Terence Ranger & Eric Hobsbawm (1983) mengemukakan "invented tradition" sebagai seperangkat praktik, yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kearifan lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu (masa lalu, sekarang, dan yang akan datang), sehingga dimungkinkan ada upaya sambung-menyambung dan seiring kehidupan manusia dalam setting dan konteks yang berubah-ubah sesuai zamannya. Di sini yang dipentingkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan kebermafaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat seluas-luasnya yang menjadi pendukung kebudayaan setempat. Kearifan local atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Hal tersebut menyiratkan bahwa kearifan lokal memainkan peran dalam mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, kearifan local membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 20 disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari. Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan local atau tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Beberapa pengertian di atas, kemudian dirumuskan ke arah yang lebih konkrit pada beberapa model pelaksanaan kearifan lokal pada masing-masing daerah dan budaya bahkan lengkap dengan pranata hukumnya. Adrianto (2005) mengemukakan beberapa bentuk kearifan lokal, seperti di Jambi misalnya, lubuk larangan (river protected area) dirumuskan sebagai sebuah lubuk di sungai-sungai yang dibiarkan selama 6 bulan hingga 2 tahun tidak dipanen ikannya, sehingga ikan punya cukup waktu untuk berkembang biak. Penutupan sebuah lubuk dilakukan dengan membacakan surah Yasin 40 kali. Bagi siapa yang mengambil ikan selama penutupan lubuk akan dikenai sanksi adat. Setelah dibuka, ikan dipanen dengan cara dilelang. Hasilnya digunakan untuk kepentingan kelompok. Di Maluku, kearifan lokal atau lebih dikenal dengan istilah Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga setempat. Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi, yaitu 1) Sasi Laut; 2) Sasi Kali; 3) Sasi Hutan; 4) Sasi dalam Negeri. 2. 1. Perkembangan Kearifan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis kearifan lokal dapat ditemui di sebagian besar wilayah dii Indonesia. Upaya pengelolaan berbasis kearifan lokal berlaku mulai dari pengelolaan sumberdaya air, hutan, ikan baik di perairan darat maupun pesisir laut, bahkan dalam sistem usaha. Kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya alam sudah ada di masing-masing daerah, misalnya Sasi di Saparua; lahan Lebak di Kalimantan Timur; Pengelolaan Perairan Pesisir Desa Tanjung Barari di Biak; Sistem Rumpon Way Muli di Lampung; Manajemen Danau Sentarum di Kalimantan Barat; Pengelolaan Terumbu Karang di Jemluk Bali; Panglima Laot dan pengelolaan Rawa Singkil di Nangroe Aceh Darussalam; Lubuk Larangan di Jambi; lubuk larangan, penataan ruang banua/huta, tempat keramat 'naborgo-borgo' atau 'harangan rarangan' (hutan larangan) di Mandailing Sumatera Utara; dan lain-lainnya. Hal-hal tersebut adalah pola-pola pelestarian oleh lembagalembaga adat dan masyarakat setempat. Terdapat pula bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, yakni kearifan lokal pada masyarakat Kuala Singkil, Aceh, tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah pernah terjadi di beberapa tempat; misalnya, bisa dilihat pada tumbuhan bakong dibiarkan hidup bebas, karena mereka meyakini, jika tumbuhan bakong itu hilang, maka kampung mereka akan tergenang air dari sungai Singkil dan
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 21 beberapa anak sungai lainnya. Bahkan jika mereka akan mengambil madu di dalam hutan, acap kali harus dikawal oleh Panglima Uten (orang dari pemukiman yang bertanggung jawab atas Sungai dan Hutan), melakukan ritual yang diyakini agar lebahlebah tersebut tidak hilang atau berubah jadi jahat. Jika hal itu dilanggar, maka warga akan dikenakan sangsi dengan bekerja (gotong royong) di Masjid selama 3 hari. Sedangkan kearifan berupa lubuk larangan, awig-awig dan sasi di Maluku merupakan beberapa bentuk kearifan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 2. 2. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum 2. 2. 1. Lubuk Larangan di Jambi Dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan, pemerintah kota Jambi telah mengembangkan kawasan perlindungan berbasis kearifan lokal, yakni Suaka Mina dan Lubuk Larangan. Perbedaannnya, jika Suaka Mina merupakan satu kawasan yang sama sekali ikannya tidak boleh ditangkap, ikan di Lubuk Larangan boleh dipanen namun diatur sesuai adat setempat. Hukum adat setempat sekaligus merupakan manifestasi dari kearifan lokal berisi aturan yaitu dengan membiarkan sebuah lubuk sungai selama 6 bulan hingga 2 tahun tidak dipanen, ikan punya cukup waktu untuk berkembang biak. Penutupan sebuah lubuk dilakukan dengan membacakan surah Yasin 40 kali. Bagi siapa yang mengambil ikan selama penutupan lubuk akan dikenai sanksi adat. Setelah dibuka, ikan dipanen dengan cara dilelang. Hasilnya digunakan untuk kepentingan kelompok. Pada saat ini, pemerintah propinsi Jambi telah menetapkan 6 kawasan suaka perikanan perairan tawar, dan 35 buah lubuk larangan. Beberapa di antaranya adalah lubuk larangan Danau Arang-Arang dan Danau Mahligai di Kabupaten Muara Jambi. Danau Arang-Arang tepatnya terletak di Desa Arang-Arang, di mana terdapat minimal 4 (empat) anggota masyarakat nelayan yang dipercaya Ketua Danau untuk mengawasi penangkapan ikan. Jika ada kejadian tentang pencurian ikan di suaka perikanan atau seseorang mencuri ikan milik nelayan lainnya maka orang yang dipercaya tersebut melapor kepada Ketua Danau untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sistem pengawasan suaka perikanan yang diterapkan di desa Arang-Arang adalah sistem pengawasan yang dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama. Kemudian dalam pelaksanaannya di lapangan dibantu oleh 15 orang yang dipercaya oleh Ketua Keamanan dan Ketua Danau yang berfungsi sebagai pengawas lapangan yang utama untuk pengamanan suaka perikanan. Danau ini telah diatur berdasarkan SK Bupati Muara Jambi Nomor 271 Tahun 2003. Tidak jauh berbeda dengan dengan Danau Arang-Arang, Danau Mahligai telah diatur berdasarkan SK Bupati daerah TK. II Batanghari Nomor 362 Tahun 1996. 2. 2. 2. Lubuk Larangan di Sumatera Utara Di Sumatera Utara lubuk larangan merupakan bentangan sungai yang jernih penuh dengan ikan, sangat menggoda untuk diambil baik secara memancing, menjala atau menembak. Sungguh sangat luar biasa ikan yang jumlahnya begitu banyak dan kelihatan dengan jelas, tidak ada yang berani mengambilnya, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Kearifan lokal berupa lubuk larangan telah berkembang hampir di seluruh wilayah yang bertopografi paparan sungai-sungai, meliputi wilayah Kabupaten Mandailing dan Padang Sidempuan. Di Sungai Batang Gadis (Mandailin), mulai dari hulu di kawasan Pekantan, Kecamatan Muara Sipongi hingga ke hilir di Kecamatan Kotanopan hingga ke Penyabungan banyak didapati lubuk larangan, demikiam juga di Sungai Batang Natal. Pranata hukum yang secara sosial dikembangkan dalam masyarakat adalah sebagai berikut. (1) Penetapan daerah lubuk larangan di mana masyarakat melepaskan ikan dan kemudian diambil pada waktu tertentu -
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 22 biasanya 6-12 bulan - secara bersamaan. (2) Hasilnya akan digunakan untuk berbagai keperluan desa. Tapi bila ada yang mengambil ikan di luar jadwal yang telah ditentukan, maka ia akan dikenai sanksi desa ataupun kampung. Sedangkan pranata hukum pada lubuk larangan yang terdapat di pedalaman Padang Sidimpuan tepatnya di Desa Pardomuan diwujudkan dalam bentuk kepatuhan masyarakat untuk tidak mengeksploitasi ikan sebelum ada pengumuman lubuk larangan dinyatakan dibuka secara umum. Ada beberapa kemungkinan mengapa masyarakat tidak berani mengambil ikan sebelum event lubuk larangan dibuka, sebagai berikut. 1. Takut kena denda sebanyak Rp. 1.000.000,- 2. Takut kena tuah pawang lubuk larangan. 3. Kesadaran masayarakat yang sudah tumbuh. Jarak dan ruang waktu diatur secara sederhana oleh pemangku adat. Lubuk larangan dibuka tiap 1 tahun sekali dan berjarak 3 km, dengan demikian siklus perkembangbiakan ikan dapat berjalan secara alamiah dan lestari. Adapun cara penangkapan ikan di saat acara pembukaan lubuk larangan hanya diperbolehkan dengan cara memancing, menembak, menombak dan menjaring. Penggunaan obat atau racun sangat dilarang dan dikenakan sanksi adat. Sampel lokasi lubuk larangan dapat dilihat pada Gambar 1 dan kegiatan panen raya pada Gambar 2, sebagai berikut. Gambar 1. Dua Lokasi Lubuk Larangan di Sepanjang Sungai Batang Gadis Gambar 2. Kegiatan Panen Raya di Perairan Lubuk Larangan
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 23 2. 3. Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pesisir dan Laut 2. 3. 1. Awig-Awig di Bali Di Bali, awig-awig merupakan aturanaturan yang dibuat oleh Krama Desa melalui Paruman Desa adat dan umumnya banyak yang tidak disuratkan. Aturan-aturan tersebut mengatur keseluruhan tatanan sosial kemasyarakatan termasuk dalam kaitannya dalam pengelolaan sumberdaya perairan. Dalam perkembangannya, dewasa ini telah berhasil disuratkan awig-awig tersebut sebagai pedoman bagi pengurus desa adat dalam melaksanakan kewajibannya maupun bagi warga, dan di dalam awig-awig tersebut kita jumpai sanksi-sanksi bagi warga desa yang melanggarnya. Di dalam awig-awig desa ini dapat dilihat perbuatan atau tindakan yang dilarang serta sanksisanksinya, baik sanksi yang dijatuhkan kepada warga atau keluarganya atau dibebankan kepada masyarakat desa sendiri (Wyadnyana, 1995). 2. 3. 2. Awig-awig di Nusa Tenggara Selanjutnya di Nusa Tenggara, awigawig merupakan produk hukum masyarakat adat Pulau Lombok, yang berisi peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang bertujuan mengatur tata tertib kehidupan komunitas yang terikat dalam satu wilayah domisili (desa adat atau krama desa). Di dalam awigawig termuat peraturan kehidupan yang harmonis antara anggota komunitas dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam hubungan masyarakat lainnya, menyangkut hak, kewajiban, dan sanksi atas pelanggaran (peringatan, denda, perampasan, dan pengusiran) termasuk sanksi spiritual. Awig-awig merupakan bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Di kawasan Teluk Ekas, misalnya telah tersusun 4 bentuk awig-awig yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, sebagai berikut. (1) Awig-awig tentang pengelolaan sumberdaya perikanan; (2) awig-awig tentang pengelolaan suaka perikanan (fish sanctuary); (3) awig-awig tentang pengelolaan sea ranching spat mutiara; dan (4) awig-awig krama/garap di tingkat dusun, yang mengatur tentang keamanan dusun dan sanksi terhadap pelanggar keamanan dusun khususnya di dusun Batunampar. Di dalam awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan diatur mengenai berbagai hal, yaitu (a) ketentuan mengenai penetapan zona penangkapan; (b) wilayah, alat tangkap dan jenis ikan yang boleh ditangkap; (c) pengaturan budidaya laut; (d) larangan penangkapan ikan dengan bom, bahan berbahaya dan beracun; (e) perlindungan hutan bakau, pasir pantai, batu karang dan biota lainnya; (f) kelembagaan dan sumberdana pengelolaan; dan (g) sanksi dan prosedur pemberian sanksi. Awig-awig tentang pengelolaan suaka perikanan (fish sanctuary) mengatur secara khusus tentang suaka perikanan yang terletak di kawasan terumbu karang Sapak Kokok, Teluk Ekas. Dalam ketentuan umum pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan suaka perikanan adalah kawasan laut yang dilindungi secara permanen dari segala kegiatan eksploitasi. Awig-awig ini mengatur tentang (a) cakupan wilayah suaka perikanan; (b) hak dan kewajiban masyarakat; (c) kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang, kelembagaan pengelolaan dan (d) sanksi dan prosedur pemberian sanksi. Awig-awig pengelolaan sea ranching spat mutiara mengatur ketentuan-ketentuan mengenai (a) cakupan wilayah/lokasi sea ranching; (b) pengelolaan; (c) pemanfaatan hasil; (d) kegiatan yang dilarang; dan (e) sanksi dan prosedur pemberian sanksi. Selanjutnya awig-awig tentang krama/garap, berisi ketentuan pemberian sanksi terhadap para pelanggar tata krama atau keamanan khususnya pencurian, yang khusus berlaku pada masyarakat di dusun Batunampar. Dalam awig-awig ini ditentukan bahwa setiap terjadi pencurian harus diselesaikan melalui krama/garap.
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 24 Pada hari pelaksanaan krama/garap, seluruh warga berkumpul di suatu tempat di luar dusun dan mengharuskan setiap warga untuk meminum “air suci.” Warga yang tidak hadir tanpa alasan yang benar dapat dicurigai sebagai pencuri atau dikenakan sanksi membayar denda bahkan senilai barang yang hilang. Dalam praktiknya, kearifan lokal awig awig terbukti mampu meminimalkan berbagai konflik yang sebelumnya sering terjadi, yaitu pertama, hilangnya konflik internal antar masyarakat nelayan lokal yang disebabkan oleh pelanggaran zona tangkapan; dan kedua, berkurangnya konflik antara nelayan lokal dan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak seperti dinamit, potasium sianida dan bahan-bahan beracun lainnya. Sejak disahkannya aturan lokal awig-awig pada tanggal 19 Maret 2000 hingga Juli 2002, hanya terjadi pelanggaran (pengeboman dan pemotasan) sebanyak tujuh kali yang umumnya dilakukan oleh masyarakat nelayan di luar Lombok Barat, seperti Lombok Timur, Jawa Timur, dan Bali. Penguatan hak ulayat laut di Indonesia harus menjadi perhatian utama dalam membuat rancangan kebijakan yang akan ditetapkan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Lombok Utara dalam melakukan pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan/SDKP. Adapun proses penguatan nilai-nilai lokal (hak ulayat laut/HUL) menjadi model pengelolaan SDKP kolaboratif (CoManagement) yang dikenal awig-awig yang merupakan rekonstruksi dari adat-istiadat atau kebudayaan yang berakar dari masyarakat lokal yaitu upacara adat sawen. Setelah rekonstruksi upacara adat sawen, maka tahapan revitalisasi terhadap aturan yang disepakati bersama dengan cara memberikan pengakuan, pemberian peran, penguatan dan formalisasi oleh kedua unsur, yaitu (1) masyarakat, yang diwakili oleh LSM, tokoh masyarakat, nelayan dan satuan petugas lingkungan (Satgas); dan (2) pemerintah yang diwakili oleh kepala desa, kecamatan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Kepolisian, dan TNI. Dengan demikian, kegiatan perikanan yang bertanggungjawab (responsible fisheries) dapat diwujudkan dengan cara melakukan rekonstruksi dan revitalisasi kearifan-kearifan lokal atau Hak Ulayat Laut yang dikenal dengan model Community Based Management/CBM menjadi model Co-Management yang lebih kompleks dan dengan menggabungkan model kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah (Centralized Government Management/CGM). 2. 4. Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pada beberapa kasus, kearifan lokal, tidak saja terbukti mampu menyelamatkan sumberdaya, namun juga mampu mengubah perilaku masyarakat terhadap sumberdaya tersebut. Sebagai contoh adalah implementasi kearifan lokal dalam bentuk lubuk larangan. Dari sudut pandang perspektif teoritis paling tidak ada dua hal istimewa dari fenomena pengelolaan sungai dengan sistem lubuk larangan tersebut, yakni sebagai berikut. 2. 4. 1. Kemampuan komunitas setempat untuk melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumber daya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumber daya yang bisa diakses secara bebas oleh siapa pun (open access) menjadi sumber daya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam terkurangi, sehingga gejala ”tragedi milik bersama” (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumber daya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya yang ada di sungai. 2. 4. 2. Konsistensi dalam menegakkan ”rule-in-uses” yang telah ditetapkan Implementasi kearifan lokal terbukti mampu menggiring masyarakat pada suatu sikap yang konsisten, yakni konsistensi
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 25 dalam penegakan aturan main yang tidak pandang bulu, serta pada kemauan mereka bersikap transparan dalam semua tahapan pengelolaan. Keterbukaan atau transparansi dalam pengelolaan keuangan, terutama dalam pengelolaan keuangan yang dihimpun dari hasil lubuk larangan, menjadi pijakan kuat bagi terbangunnya sikap saling percaya di antara warga komunitas. Sikap saling percaya itu menjadi semacam perekat untuk menyatukan sesuatu yang ideasional (institusi pengelolaan) dengan yang faktual (partisipasi warga komunitas) dalam konteks pengelolaan lubuk larangan. Kemampuan masyarakat menanam dan mengembangkan modal sosial sesungguhnya bukan suatu hal yang baru sama sekali, namun selama berpuluh-puluh tahun di bawah pakem pembangunan Orde Baru yang bersifat sentralistik, hegemonik dan otoritarian, potensi-potensi modal sosial yang tumbuh dari bawah (grass roots) sering diabaikan, bahkan dimatikan; meskipun pada beberapa wilayah, mereka mampu bersiasat dari kondisi tidak sehat tersebut, terlihat dari kukuhnya pengelolaan sistem lubuk larangan yang relatif bebas dari campur tangan penguasa. Keberhasilan pengelolaan sistem lubuk larangan dapat dirasakan khususnya ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Pembangunan Desa (Bangdes) ke desadesa melalui jalur formal, hasilnya sebagian hanyalah korupsi. Akan tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), ternyata mampu menghasilkan banyak hal di desa. Misalnya di Jambi, dimanfatkan untuk pembangunan gedung madrasah (seperti di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kecamatan Kotanopan), masjid (di banyak desa di Kecamatan Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di Batang Natal), menyantuni anak yatim dan fakir miskin (di banyak desa Kecamatan Batang Natal), membangun jalan titi/rambin desa (di desa Koto Baringin, Kecamatan Muara Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya. Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum, sebagai berikut. (1) Ketergantungan manusia terhadap alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan di mana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya. (2). Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat seperti petuanan di Maluku, dan ulayat dan tanah marga di sebagian besar Sumatera, sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. (3). Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (pemerintahan) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. (4). Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas. (5). Mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat. 3. Simpulan Penerapan model pengelolaan berbasis masyarakat terbukti dapat memberikan hasil yang cukup efektif dan efisien khususnya efisiensi pengelolaan, mereduksi konflik antar nelayan, dan keberlanjutan sumber daya laut dan pesisir. Dapat disimpulkan
Sabda Volume 13, Nomor 1, Juni 2018 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN 26 bahwa, indikator sistem sosial-budaya yang paling menentukan dalam keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat tersebut adalah tingkat partisipasi, kemampuan komunitas, dan konsistensi masyarakat. Daftar Pustaka Adrianto, L. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Bogor: IPB Press. Keraf, S. A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ranger, Terence and Eric Hobsbawm. 1983. The Invention of Tradition. Sydney: Cambridge University Press. Suhartini. 2009. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,” Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Wahono, Francis. 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Wyadnyana, I Made. 2005. Eksistensi Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Baru). Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia. Bandung: Eresco.
Jurnal Planologi E-ISSN : 2615-5257 Vol. 17, No. 1, April 2020 P-ISSN : 1829-9172 Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa 114 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DESA LEREP,KECAMATAN UNGARAN BARAT, KABUPATEN SEMARANG Eppy Yuliani1 Megita Aprilina2 Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, UNISSULA1,2 Penulis Korespondensi e-mail : [email protected] ABSTRACT Lerep Village, West Ungaran District, Semarang Regency is located not far from the of Ungaran City, it has the potential of agriculture, plantations and tourist villages. In addition to this potential, Lerep Village has a local wisdom practiced by the community for generations. The Iriban tradition is one of the local wisdoms aimed at managing water resources in Lerep Village. This study aims to find forms of local wisdom in efforts to manage water resources. The research method used is to use qualitative methods with a rationalistic approach. The rationalistic approach emphasizes reason in an analysis process. The conclusion of this research is form of local wisdom Iriban is a community effort in managing water resources for community life both for household and agricultural interests. Keywords: wisdom, local, management, water resources. ABSTRAK Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang letaknya tidak jauh dari pusat kota Ungaran, memiliki potensi pertanian, perkebunan dan desa wisata. Selain potensi tersebut, Desa Lerep memiliki kearifan lokal yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Tradisi Iriban merupakan salah satu kearifan lokal yang bertujuan dalam pengelolaan sumberdaya air di Desa Lerep. Penelitian ini bertujuan menemukan bentuk kearifan lokal dalam upaya pengelolaan sumberdaya air. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Pendekatan rasionaltistik menekankan akal dalam suatu proses analisis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk kearifan lokal Iriban merupakan upaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya air bagi kehidupan masyarakat baik untuk kepentingan rumah tangga,maupun pertanian. Kata kunci : kearifan, lokal, pengelolaan, sumberdaya air.
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 1, April 2020 Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa Eppy Yuliani, Megita Aprilina I 115 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Upaya … 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap wilayah pedesaan memiliki karakter yang menjadi kekhasan dari kehidupan masyarakat di desa tersebut. Karakter ini muncul dalam ke hidupan masyarakat yang merupakan tradisi secara turun temurun selama beberapa masa sebelumnya hingga saat ini masih diaksanakan oleh masyarakat. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai kearifan lokal atau local wisdom (Nasiwan, 2012). Banyak aspek yang dapat diangkat dalam pembangunan dan pengembangan desa dengan melihat potensi yang disesuaikan dengan ciri khas atau keaslian daerah tersebut. Desa Lerep , Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah yang luas yaitu sekitar 682 Ha yang terdiri dari 64 RT, 10 RW dan delapan dusun. Potensi desa ini adalah pertanian, perkebunan dan wisata desa berbasis budaya masyarakat dan religi. (Mohamad Wakhyudin Juhadi, Heri Tjahjono, 2017). Salah satu Program pembangunan Desa Lerep yaitu melestarikan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat melaui tradisi “Iriban’. Iriban merupakan kearifan lokal yang selau dilaksanakan oleh masyarakat dalam upaya melestarikan sumberdaya alam. Tradisi iriban dilakukan masyarakat Desa Lerep setiap awal musim tanam padi. Air merupakan sumber kehidupan , khususnya di wilayah pedesaan yang mana air tidak saja untuk kehidupan manusia melainkan untuk kebutuhan budidaya pertanian. Seperti firman Allah dalam Al Qur’an bagian surat Al Anbiyah ayat :30, yang artinya : dan air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Tujuan penelitian ini menemukan bentuk kearifan lokal dalam upaya pelestarian sumberdaya air. Sasaran penelitian : mengidentifikasi kearifan lokal desa Lerep ; menganalisis kearifan lokal Iriban dalam upaya melestarikan sumberdaya air. Pelestarikan sumberdaya air dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat, hal ini dimaksudkan dalam menggali potensi yang ada di Desa Lerep dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alamnya (Aziz,2015). 1.2. Kajian Teori Kearifan lokal adalah perilaku positif manusia ketika berinteraksi dengan alam dan lingkungan lokalnya yang berasal dari nilai adat religius mereka, nasihat nenek moyang atau budaya lokal, yang secara alami dibangun di dalam komunitas untuk beradaptasi dengan lingkungan lokalnya (Vitasurya 2016, 99). Sedangkan definisi lain dari kearifan lokal adalah upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya yang dapat digunakan
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 1, April 2020 Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa Eppy Yuliani, Megita Aprilina I 116 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Upaya … terus menerus untuk memberi makan masyarakat dan menjaga keseimbangan lingkungan Secara konseptual, kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan.(Sartika, 2018) Kearifan lokal terbentuk dari dua kata yaitu kearifan yang artinya wisdom atau kebijaksanaan dan lokal yang berarti setempat. Kearifan lokal dapat di artikan gagasan dan pandangan yang sifatnya bijaksana dan baik tertanam dan dikuti oleh anggota masyarakat. Pengertian lain terkait kearifan lokal adalah pengetahuan asli di dalam masyarakat yang asalnya adalah nilai luhur kebudayaan untuk mengatur tatanan kehidupan (Sibarani,2012). Pakar Antropologi mengatakan bahwa nilai luhur kebudayaan itu adalah wujud hubungan manusia dengan lima hal seperti Tuhan atau yang diluhurkan, alam, sesama manusia, kerja dan waktu. Sedangkan menurut Sunaryo et al (2003) kearifan lokal adalah pengetahuan lokal yang telah menyatu dengan kepercayaan, norma dan budaya yang kemudian di apresiasikan ke dalam bentuk tradisi dan mitos yang berkembang di dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama. Kearifan lokal bersumber dari nilai, kepercayaan atau agama, etos kerja dan dinamika (Sibarani, 2012). Kearifan Lokal dapat diartikan sebagai semua warisan kebudayaan yang bersifat tangible dan intangible (Sedyawati, 2006). Kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua sifat yaitu adalah sebagai berikut : 1. Tangible Atau kearifan lokal dengan bentuk nyata seperti : a. Tekstual (sistem nilai dan tata cara dalam bentuk tertulis) b. Bangunan atau arsitektural c. Benda cagar budaya atau karya seni budaya 2. Intangible Atau kearifan lokal yang tidak berbentuk seperti ajaran tradisional yang diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Bentuk suatu kearifan lokal disesuaikan dengan pandangan hidup suatu kelompok masyarakat karena kearifan lokal merupakan sarana dalam mengolah suatu kebudayaan yang berkembang sebagai suatu strategi kehidupan dalam wujud aktifitas masyarakat. Kearifan lokal memiliki fungi sebagai penanda suatu komunitas melalui unsur kultural, elemen perekat dalam hubungan manusia dengan nilai kebudayaan, bentuk keberagaman, untuk mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik dan untuk membangun kebersamaan sesama masyarakat (Abdullah,2011)
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 1, April 2020 Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa Eppy Yuliani, Megita Aprilina I 117 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Upaya … Dalam UU No 23 Tahun 2009 kearifan lokal adalah nilai yang berlaku di dalam tatanan kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam kata lain Kearifan lokal adalah wujud implementasi pengetahuan kebudayaan untuk pengelolaan sumber daya alam melalui pemanfaatan yang bijaksana(Widjono 1998 dalam Sedyawati 2006). Pendekatan untuk melestarikan alam dapat berupa pendekatan politik ekologi dimana hal tersebut merupakan kajian sebab akibat dengan melihat isu lingkungan seperti right to environment atau persoalan relasi dan environment justice atau alokasi kepemilikan dengan mempertimbangkan generasi(sedyawati,2006) 2. METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Metode Kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan pendekatan dan implementasi secara kualitatif, dengan pengembangan perspektif yang beragam. Metode kualitatif berguna untuk pengkajian mendalam terhadap suatu histori dan kompleksitas dengan menghasilkan data deskripsi atau data berupa kata-kata (Bodgan&Taylor 1975 dalam Basrowi 2008) Pendekatan rasionaltistik menekankan akal dalam suatu proses analisis masalah dalam suatu penelitian, pendekatan tesebut menjadi sebuah instrumen utama dimana semua data yang dicari dengan cara survei primer melalui wawancara secara mendalam kepada narasumber terpilih (Muhajir, 1996). Responden terpilih diantaranya Aparatur Desa Wisata Lerep, Ketua BUMDes Lerep, Tokoh Masyarakat, Masyarakat Desa Wisata Lerep hingga mencapai komparasi atau perbandingan jawaban yang diinginkan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Wisata Lerep adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Desa Wisata Lerep merupakan desa dengan luas wilayah terbesar di Kecamatan Ungaran Barat, yaitu dengan luas kurang lebih 682Ha. Desa Wisata Lerep memiliki delapan dusun yaitu Dusun Karangbolo, Dusun Indrokilo, Dusun Lerep, Dusun Soka, Dusun Tegalrejo, Dusun Lorog, Dusun Kretek dan Dusun Mapagan.Lokasi Desa Wisata Lerep berada di ketinggian sekitar 30-940mpdl. Memiliki kelerengan sekitar 0-15% dan termasuk ke dalam klasifikasi landai. Desa Wisata Lerep Memiliki suhu rata-rata sekitar 24-34°C serta memiliki curah hujan berikisar antara 2500-3000 mm/tahun dan
Jurnal Planologi Vol. 17 No. 1, April 2020 Available : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/psa Eppy Yuliani, Megita Aprilina I 118 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Upaya … termasuk ke dalam kelas curah hujan tinggi. Jumlah penduduk di Desa Wisata Lerep dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang rata-rata mengalami peningkatan sperti tabel berikut ini Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Wisata Lerep Dalam Lima Tahun Terakhir TAHUN JUMLAH PENDUDUK JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN 2014 5.054 5.155 10.209 2015 5.054 5.133 10.178 2016 5.454 5.496 10.950 2017 5.956 5.930 11.886 2018 5.258 5.221 11.970 Sumber: Kecamatan Ungaran Barat Dalam Angka, 2014-2018 Desa Wisata Lerep memiliki kepadatan penduduk rata-rata 1.491,72 jiwa/Km2 . Untuk jumlah penduduk menurut pekerjaan di Desa Lerep pada tahun 2018 adalah sebagai berikut ini. Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Desa Wisata Lerep Tahun 2018 JENIS PEKERJAAN JUMLAH PENDUDUK Belum/Tidak Kerja 2.543 Mengurus Rumah Tangga 743 Pelajar/Mahasiswa 2.120 TNI dan Polri 70 PNS 353 Petani/Pekebun 246 Karyawan 2.473 Perdagangan 52 Buruh 785 Guru/Dosen 118 Wiraswasta 1.2.51 Tenaga Bid. Kesehatan 22 Lainnya 199 Sumber: Profil Desa Wisata Lerep,2019 Letak Desa Lerep yang berada di 300mdpl sehingga membuat suasana di Desa Lerep menjadi sejuk dan asri dan memiliki sumberDaya air berupa embung dan curug. Berikut ini untuk lebih jelasnya lokasi sumberdaya air di Desa Wisata Lerep.