The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by wisnujatinugrahini, 2021-12-30 08:13:52

Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

86 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Berbeda dengan pendapat Blum, Naylor dan Naylor (1968) ada pendapat lain
dari Gilmer (1966) dalam Simanjuntak et al., (2021) tentang faktor-faktor yang
memengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut:

1. Kesempatan untuk maju;
Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.

2. Keamanan kerja;
Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi
karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat
memengaruhi perasaan karyawan selama kerja.

3. Gaji;
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang
diperolehnya.

4. Perusahaan dan manajemen;
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu
memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang
menentukan kepuasan kerja karyawan.

5. Pengawasan (Supervise);
Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus
atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.

6. Faktor intrinsik dari pekerjaan;
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu.
Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan
atau mengurangi kepuasan.

7. Kondisi kerja;
Termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin
dan tempat parkir.

8. Aspek sosial dalam pekerjaan;
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang
sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.

9. Komunikasi;
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen
banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini

Bab 7 Faktor-faktor Pengembangan SDM dalam Masyarakat 87

adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan
mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan
dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.
10. Fasilitas;
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan
standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan
rasa puas.

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam Ike (2008)
menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah:

1. Prestasi
2. Penghargaan
3. Kenaikan jabatan
4. Pujian.

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan adalah:

1. Kebijaksanaan perusahaan
2. Supervisor
3. Kondisi kerja
4. Gaji

Berdasarkan indikator yang menimbulkan kepuasan kerja tersebut di atas akan
dapat dipahami sikap individu terhadap pekerjaan yang dilakukan. Karena
setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan
persepsi pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan
yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat
kepuasan yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang
karyawan secara subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan
memuaskan. Meskipun untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada
keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip
ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari padanya (Blum, Naylor and
Naylor, 1968; Schuler, 1992; Riniwati, 2016).

88 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Bab 8 dalam

Kepemimpinan
Pengembanganm SDM

8.1 Pendahuluan

Kepemimpinan dan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah dua
faktor kunci yang memengaruhi kinerja organisasi, kinerja tim atau unit, dan dan
kinerja karyawan suatu organisasi (McClean dan Collins, 2019; Steffensen Jr
dkk., 2019). Namun, dalam perkembangannya kedua bidang tersebut sebagian
besar berjalan masing-masing secara paralel (Vermeeren, Kuipers and Steijn,
2014), sehingga tidak menunjukkan berbagai manfaat potensial dan wawasan
yang mendorong sebuah pemikiran untuk mengintegrasikan kepemimpinan dan
MSDM dalam berbagai konteks (Boada-Cuerva, Trullen and Valverde, 2019).
Oleh karena itu bab ini bertujuan untuk membahas topik bagaimana peran
kepemimpinan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Saat ini, ada kebutuhan yang meningkat untuk melakukan pembahasan dengan
mengintegrasikan konsep kepemimpinan dan MSDM, kami mencatat bahwa
pembahasan yang hanya fokus pada peran kepemimpinan atau MSDM saja
akan gagal untuk menjelaskan sebagian besar varians kinerja organisasi
(Tzabbar, Tzafrir and Baruch, 2017). Karena kepemimpinan dan MSDM dapat
berkorelasi satu sama lain (Chang, 2016) dan keduanya dapat memengaruhi

90 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

hasil organisasi, tim dan individu (Steffensen Jr et al., 2019). Sehingga, penting
bahwa keduanya dapat diteliti secara bersamaan untuk meminimalkan bias
variabel ketika memperkirakan dampak keduanya.

Kepemimpinan dan MSDM dapat berinteraksi satu sama lain ketika
membentuk berbagai hasil organisasi, keduanya dapat saling melengkapi dan
memberikan dampak satu sama lain. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi
interaksi tersebut (Chuang, Jackson and Jiang, 2016). Chuang, Jackson and
Jiang, (2016) telah mengidentifikasi efek interaktif antara sistem kerja kinerja
tinggi (High Performance Works System) berorientasi layanan dan
kepemimpinan layanan pada iklim layanan. Temuan lain mengungkapkan
tentang praktik MSDM dan perilaku kepemimpinan dapat memediasi pengaruh
individu karyawan terhadap kinerja organisasi (Lopez-Cabrales, Bornay-
Barrachina and Diaz-Fernandez, 2017). Namun, temuan tersebut masih pada
tahap awal, sehingga diperlukan pembahasan yang lebih teoritis dan empiris
untuk meningkatkan pemahaman tentang kompleksitas yang terlibat dalam
interaksi kepemimpinan dan MSDM di berbagai tingkatan organisasi, dan
berbagai konteks situasi.

Banyak pembahasan tentang MSDM dan kepemimpinan mendasarkan pada
teori, dan konseptualisasi Negara-negara Amerika dan Eropa atau sering disebut
Negara Barat, namun mengabaikan ciri-ciri khusus kepemimpinan dan MSDM
yang dibangun oleh budaya, kelembagaan, dan sejarah Asia Pasifik (Rowley,
Ishikawa and Oh, 2019). Di negara-negara dengan latar belakang budaya
konfusianisme, dengan menonjolkan gaya kepemimpinan paternalistik yang
memiliki implikasi penting bagi kinerja (Lau, Li and Okpara, 2020). Selain itu,
praktik MSDM yang efektif di Asia Pasifik berbeda dengan praktik MSDM di
Negara Barat (Cooke et al., 2019). Praktik kontrol tinggi MSDM memiliki
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kinerja perusahaan di Cina (Su,
Wright and Ulrich, 2018). Ciri-ciri unik dari perilaku kepemimpinan dan MDM
di Asia Pasifik ini telah menunjukkan adanya interaksi satu sama lain antara
kepemimpinan dan MSDM dan implikasinya terhadap hasil organisasi dan
karyawan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses interaksi antara elemen-
elemen MSDM di Asia Pasifik seperti kinerja tinggi, komitmen tinggi, kontrol
tinggi, keterlibatan tinggi dengan elemen-elemen kepemimpinan seperti
kepemimpinan otentik, etis, transformatif, dan akan berpengaruh terhadap
berbagai hasil organisasi, tim dan individu, yaitu bahwa:

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 91

1. Kepemimpinan mungkin memiliki efek tidak langsung pada kinerja
organisasi dan harus melalui praktik MSDM, atau praktik MSDM
mungkin memiliki efek tidak langsung pada kinerja organisasi dan
harus melalui kepemimpinan. Misalnya, seorang pemimpin
transformasional cenderung mengadopsi praktik MSDM berbasis
keterampilan (Lopez-Cabrales, Bornay-Barrachina and Diaz-
Fernandez, 2017), dan praktik MSDM yang meningkatkan
kemampuan SDM (Zhu, Chew and Spangler, 2005), dan akhirnya akan
memengaruhi kinerja organisasi.

2. Peningkatan praktik MSDM kepemimpinan transformasional tingkat
organisasi dapat memengaruhi kepemimpinan transformasional
tingkat tim, yang pada gilirannya, akan memengaruhi kreativitas tim
(Han et al., 2018).

3. Kepemimpinan dapat memperkuat pengaruh praktik MSDM terhadap
kinerja organisasi, atau praktik MSDM dapat memperkuat pengaruh
kepemimpinan terhadap kinerja organisasi. Misalnya, seorang
pemimpin karismatik akan memperkuat hubungan positif antara
praktik SDM dengan komitmen tinggi dan kinerja organisasi
(McClean and Collins, 2019). Sebaliknya, kepemimpinan juga dapat
melemahkan pengaruh praktik MSDM terhadap kinerja organisasi,
atau praktik MSDM dapat melemahkan pengaruh kepemimpinan
terhadap kinerja organisasi;

4. Dalam sebuah studi tentang ekspatriat Perusahaan Multi Nasional,
menjelaskan mengenai hubungan antara keterampilan kepemimpinan
dan praktik MSDM. Misalnya dalam kepegawaian global tentang
penilaian kinerja lintas budaya telah disorot sebagai isu penting untuk
penelitian lebih lanjut (Wooten and James, 2008).

Oleh karena itu, untuk kepentingan kemajuan teori dan praktik perlu untuk
menganalisis mengenai interaksi antara kepemimpinan dan MSDM dan
pengaruhnya terhadap kinerja organisasi dalam konteks yang berbeda. Praktik
MSDM maupun kepemimpinan adalah konsep multi-level. Praktik MSDM
dalam konteks nasional atau multinasional dapat dirumuskan dan dianalisis dari
setiap tingkat atau beberapa tingkat termasuk tingkat perusahaan,

92 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

departemen/unit, tim, dan individu (Nishii and Wright, 2007). Sejalan dengan
itu, teori kepemimpinan dapat diterapkan pada peran pemimpin tunggal atau
banyak pemimpin termasuk dewan direksi, CEO, tim manajemen puncak,
manajer SDM, dan manajer menengah ke bawah (Steffensen Jr dkk., 2019).
Namun, dalam hal ini terdapat gambaran yang kurang jelas tentang bagaimana
praktik MSDM berinteraksi dengan kepemimpinan di masing-masing tingkat
yang berbeda ini (perusahaan, unit, tim, dan individu) dan dalam berbagai jenis
konteks dalam literatur yang ada. Dengan demikian, kami percaya bahwa
dengan mengintegrasikan kepemimpinan dan MSDM di berbagai tingkatan
dan/atau dalam konteks yang berbeda sepenuhnya dapat menunjukkan peran
kepemimpinan pada MSDM (atau sebaliknya). Dengan memahami karakter
kepemimpinan dapat membantu memberi gambaran interaksi antara praktik
MSDM dengan kepemimpinan di tingkat masing-masing tingkat yang berbeda.

8.2 Karakter Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses di mana seseorang memengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan dan mengarahkan organisasi dengan cara yang membuatnya
lebih kohesif dan koheren. Untuk menunjukkan karakteristik seorang
pemimpin, Anda harus lebih fokus secara strategis dan daripada mengarahkan
karyawan melalui tugas, mereka menginspirasi dan memotivasi karyawan untuk
mendorong diri mereka sendiri. Pemimpin juga sangat fokus pada perubahan.

Kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses bagi seseorang untuk
melakukan perubahan dan perbaikan dalam suatu organisasi dengan
memengaruhi orang lain atau mengejar proses dalam organisasi tersebut.
Kepemimpinan merupakan proses sosial yang dinamis yang dilihat berdasarkan
kualitas individu. (Antes, Mart and DuBois, 2016). Pemimpin adalah ahli,
pemecah masalah, dan asisten dalam memenuhi kebutuhan manusia. (Zaccaro,
2014). Manajemen diartikan sebagai suatu proses bagi seseorang yang
memegang peranan administratif formal dalam suatu organisasi (Hallinger and
Chen, 2015). Kepemimpinan dan manajemen kemudian didefinisikan sebagai
mekanisme sosial di mana orang mencapai kesuksesan melalui upaya kolektif.
Kepemimpinan yang efektif termasuk pemimpin yang menegaskan atau
menguraikan aturan, norma, batasan tugas yang merupakan model normatif dan
lingkungan tugas organisasi. (Kanki, 2019). Pemimpin yang efektif harus
mengenal staf mereka dengan cukup baik untuk memenuhi kemampuan dan

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 93

tuntutan mereka yang selalu berubah. (Simarmata, 2021). Pemimpin harus
menetapkan dinamika otoritas yang jelas, serta kompetensi teknis, sosial, dan
manajerial serta bentuk-bentuk pengaruh hierarkis dan distribusi kerja yang
diperlukan (Bush and Glover, 2016).

Ada beberapa model kepemimpinan tertentu yang dapat menggambarkan
model kepemimpinan dalam suatu organisasi. Semua model kepemimpinan
berpusat pada karakteristik yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang
efektif. Namun, Mann, (1959) dan Stogdill, (1948) mempertanyakan validitas
karakteristik kepemimpinan untuk memprediksi efektivitas menjadi seorang
pemimpin. Sehingga fokus karakteristik kepemimpinan beralih ke tema perilaku
kepemimpinan dalam memprediksi efektivitas menjadi pemimpin.

Kenny and Zaccaro, (1983) menunjukkan bahwa 48% - 82% karakteristik
kepemimpinan disebabkan oleh sifat-sifat pemimpin. Peneliti lain
menyampaikan hal yang sama bahwa karakteristik kepemimpinan digunakan
untuk memprediksi kinerja kepemimpinan (Avolio dkk., 2004). Model
berdasarkan karakteristik kepemimpinan dirumuskan oleh Robbins dan Hakim
dengan ciri-ciri sebagai berikut: kepemimpinan karismatik, kepemimpinan
transaksional, dan kepemimpinan transformasional (Robbins and Judge, 2013).

Kepemimpinan memiliki tiga bentuk. Pertama adalah otokratis. Ini adalah
sistem kepemimpinan dengan otoritas pusat atau figur pemimpin yang kuat.
Kepemimpinan otokratis dapat secara efektif menyelesaikan dilema sosial
dengan memaksa anggota untuk bergabung dalam kelompok, tetapi anggota
mungkin kurang berkomitmen karena pemimpin memberikan sedikit
kesempatan anggota untuk menyuarakan pendapatnya (Van Vugt et al., 2004).
Yang kedua adalah demokratis. Ini dikenal sebagai bentuk pemerintahan oleh
rakyat di mana kekuasaan dan tanggung jawab sipil dijalankan oleh semua
warga negara dewasa baik secara langsung atau tidak langsung melalui
perwakilan yang dipilih secara bebas. Hal ini dianggap hampir secara universal
sebagai bentuk kepemimpinan yang baik (Klein, A., Kiranda, Y., & Bafaki,
2016). Yang ketiga adalah gaya freerein. Pemimpin memberikan kebebasan
penuh kepada bawahan dalam operasinya. Mereka membiarkan bawahan
mereka menetapkan tujuan mereka sendiri dan mencapainya. Satu-satunya
tugas seorang pemimpin adalah menyediakan berbagai bahan dan informasi
yang diminta oleh bawahan. (Jaricha, 2016).

Dengan demikian, kepemimpinan dapat dicirikan sebagai proses pengaruh
sosial, karena ia membangun hubungan antara kelompok orang di sekitar tujuan

94 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

individu, kelompok, atau institusional (Spector, 2021). Oleh karena itu,
kepemimpinan melibatkan memengaruhi sikap, keyakinan, perilaku, dan
perasaan orang lain untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey,
Blanchard and Natemeyer, 1979). Dalam nada yang sama, penulis seperti
(Salas, E., Tannenbaum, S. I., Kraiger, K., & Smith-Jentsch, 2012)
menunjukkan bahwa komponen utama dari kepemimpinan adalah pengaruh
interpersonal, kepemimpinan dalam situasi, proses komunikasi, dan pencapaian
tujuan. Sasaran tersebut dapat berasal dari organisasi, kelompok, pengikut,
dan/atau pemimpin. Dalam pengertian ini, pemimpin akan memengaruhi
perilaku bawahan melalui komunikasi.

8.3 Pengembangan Sumber Daya
Manusia

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) sekarang telah menjadi perhatian
utama dari akademisi dan praktisi. Pengembangan pengetahuan mengharuskan
karyawan untuk menggunakan kemampuan kognitif mereka, seperti pemecahan
masalah dan keterampilan berpikir kreatif, dan memiliki kemampuan yang jauh
lebih besar daripada pekerjaan rutinitas (Timonen, H., & Paloheimo, 2008). Isu-
isu seperti perubahan lingkungan, globalisasi, pengetahuan ekonomi, dan
evolusi teknologi telah menjadi peran sentral pembelajaran dan pengembangan,
keterampilan dan kemampuan, serta nilai pengetahuan bagi masyarakat,
organisasi, dan individu. (Widyatmoko, Pabbajah and Widyanti, 2020).
Pengembangan SDM melibatkan pemimpin dan manajer dalam proses untuk
membuat hubungan antara pembelajaran dan pengalaman kerja mereka.
Pengembangan SDM adalah proses pengembangan tenaga kerja yang
dipengaruhi oleh faktor global dan politik (Garavan et al., 2007). McLean and
McLean, (2001) mendefinisikan pengembangan SDM sebagai proses atau
kegiatan yang baik yang dalam jangka panjang memiliki potensi untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, produktivitas, dan kepuasan kerja
baik untuk individu atau kelompok, untuk perolehan tim, atau untuk
kemaslahatan organisasi, komunitas, bangsa, atau akhirnya, untuk kemaslahatan
seluruh umat manusia'.

Pengembangan SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar saat ini dan masa depan
membutuhkan kompetensi. Dauvrin and Lorant, (2015) mendefinisikan

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 95

kompetensi sebagai serangkaian keterampilan, kemampuan, pengetahuan,
sikap, dan motivasi yang dibutuhkan oleh individu untuk secara efektif
digunakan dalam menghadapi tugas dan tantangan yang berkaitan dengan
pekerjaan. Kompetensi tenaga kerja berkaitan dengan pengembangan SDM.
Hal ini sejalan dengan (Guest, 2011) yang menyatakan bahwa ada tiga bidang
utama pengembangan SDM, yaitu pengembangan pribadi (kompetensi),
pengembangan tim (kolaborasi), dan pengembangan organisasi (struktur dan
proses). Pengembangan kompetensi dan kualifikasi staf berkaitan dengan siklus
perbaikan berkelanjutan Pengembangan kompetensi bertujuan untuk
mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan dan selanjutnya membantu
kesenjangan kritis (Sung and Choi, 2014). Kompetensi adalah karakteristik
seseorang yang berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam
pekerjaannya. Kompetensi merupakan faktor penting dalam mencapai kinerja
individu dan perusahaan. Kompetensi menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi kinerja seseorang. Dengan kompetensi apa yang ingin dicapai
oleh seseorang atau perusahaan akan tercapai.

8.4 Karakter Kepemimpinan dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia

Secara umum, pengembangan pengetahuan mengharuskan karyawan untuk
menggunakan kemampuan kognitif mereka, seperti pemecahan masalah tingkat
tinggi dan mungkin keterampilan berpikir kreatif. untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan karakter kepemimpinan dalam pengembangan SDM. Ada
tiga karakter yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama,
keteladanan seorang pemimpin. Dengan keteladanan seorang pemimpin akan
mendapatkan penilaian yang baik oleh SDM. Bahkan bisa menjadi contoh baik
untuk SDM. Keteladanan dilakukan dengan memberikan contoh yang baik bagi
semua SDM dalam suatu organisasi. Karakter tersebut mendasarkan pada hati
nurani, nilai norma, etika, kebebasan, kepercayaan, pengawasan, siap menerima
kritik, saran yang membangun, tegas, dan menghargai kreativitas, inovasi, dan
motivasi. (Suwarno, S., & Bramantyo, 2019).

Kedua, spiritual seorang pemimpin. Dengan spiritual, seorang pemimpin
mampu membawa dimensi duniawi ke dimensi spiritual. Nilai-nilai spiritual
ditunjukkan dengan sikap yang menginspirasi, melayani, dan menggerakkan

96 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

hati nurani anggotanya dengan cara yang sangat bijaksana melalui pendekatan
etis. Kepemimpinan spiritual dapat memengaruhi keputusan untuk membangun
hubungan dengan lembaga, sehingga perlu dijadikan sebagai catatan dan
refleksi dalam kelangsungan pengelolaan (Widyatmoko, Pabbajah and
Widyanti, 2020). Kepemimpinan spiritual dapat menginspirasi,
membangkitkan, memengaruhi, dan menggerakkan melalui keteladanan,
pelayanan, kasih sayang, dan penerapan nilai-nilai dan sifat- sifat ketuhanan
lainnya dalam tujuan, proses, budaya, dan perilaku kepemimpinan. (Rafsanjan,
2017).

Ketiga, etika seorang pemimpin. Dengan etika, seorang pemimpin memiliki
komitmen moral. Moralitas merupakan nilai-nilai pribadi tentang benar dan
salah, baik dan buruk yang dihasilkan dari keyakinan, standar upakanr dalam
pengaturan sosial. (West, 2019). Moralitas merupakan sistem aturan seseorang
dalam bertindak secara kolektif dengan cara yang stabil dan produktif (Smyth,
2017). Moralitas merupakan norma-norma sikap dan perilaku, seperti larangan
untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain yang akan menjadi
kebiasaan etis secara turun temurun dalam masyarakat (James Jr, 2015).
Moralitas yang baik dapat membuat kehidupan manusia berjalan dengan baik
(Elizondo, 2016).

Seorang pemimpin terlihat tulus ketika mereka menunjukkan komitmen
terhadap norma yang mereka patuhi. Dan percaya pada norma yang baik untuk
semua dan menunjukkan komitmen mereka pada semangat kebaikan bersama
(Lindenberg dkk., 2018). Dengan demikian, moralitas lebih menekankan pada
aspek keikhlasan dalam bekerja untuk kebaikan bersama, dan memiliki
tanggung jawab tanpa selalu menjatuhkan orang lain.

8.5 Peran Pemimpin dalam
Mengembangkan Profesional

Pengembangan profesional relevan untuk karyawan, organisasi, dan, untuk
negara. Dalam bab ini akan membahas pengaruh kepemimpinan dalam
pengembangan profesional, dan menunjukkan pentingnya kinerja
kepemimpinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, disajikan hasil penelitian
tentang hubungan antara kepemimpinan dan pengembangan profesional.
Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan profesional

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 97

berkaitan langsung dengan aktivitas karyawan sehari-hari dan harus menjadi
bagian dari proses pembelajaran berkelanjutan yang lebih luas, yang dihasilkan
baik dari tindakan pembelajaran formal maupun informal. Dalam
pengembangan profesional dengan mengkombinasikan proses kognitif, afektif,
dan perilaku yang melibatkan pembelajaran daripada hasil spesifik dari tindakan
pembelajaran formal atau informal tertentu. Dengan demikian, kami membahas
bagaimana hubungan yang terjalin dengan kepemimpinan di lingkungan kerja
dapat memengaruhi pengembangan profesional bawahan selain jenis
pembelajaran yang diberikan kepada karyawan. Diskusi ini dapat menggeser
fokus penelitian—yang saat ini berpusat pada mode pembelajaran—menjadi
fokus pada praktik kepemimpinan untuk pengembangan keterampilan dan
kemajuan karier bawahan sebagai konsekuensinya.

Dalam bab ini, kita membahas pengaruh kepemimpinan dalam pengembangan
profesional bawahan, menunjukkan pentingnya kinerja kepemimpinan. Kinerja
pemimpin dapat menjadi sangat relevan untuk pengembangan profesional
bawahan, karena kepemimpinan dapat menetapkan strategi kualifikasi, serta
menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk belajar. Tapi ini adalah
jalan dua arah, karena menganalisis daftar karakteristik pengembangan
profesional yang efektif merupakan strategi penting untuk mempromosikan
kepemimpinan visioner (Guskey, 2003) atau kepemimpinan transformasional
juga.

8.5.1 Pengembangan Profesional

Pengembangan profesional berkaitan langsung dengan aktivitas karyawan
sehari-hari dan harus menjadi bagian dari proses pembelajaran berkelanjutan
yang lebih luas (Guskey, 2003). Pengembangan profesional sesuai dengan
pertumbuhan dan pematangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
diperoleh sepanjang hidup karyawan, sebagai hasil dari tindakan formal dan
informal belajar di tempat kerja (Monteiro and Mourão, 2017).

Literatur menunjukkan hubungan antara pelatihan formal, pembelajaran di
tempat kerja, dan pembelajaran sehari-hari (Dobos, 2014). Oleh karena itu,
perbedaan bentuk pembelajaran formal dan informal di tempat kerja terkait
dengan pengembangan sumber daya manusia (Noe, Clarke and Klein, 2014),
dan dipandang sebagai pelengkap. Proses pengembangan profesional juga
melibatkan pengalaman dan pengalaman pribadi yang menjadi ciri
pembelajaran sepanjang karir.

98 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Dengan demikian, kita dapat mempertimbangkan bahwa pengembangan
profesional didukung oleh Teori Pembelajaran Eksperiensial Kolb (Kolb, 1984),
yang dicirikan oleh perspektif holistik yang menggabungkan pengalaman,
persepsi, kognisi, dan perilaku. Menurut teori ini, belajar adalah proses di mana
pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman menjadi model
pembelajaran siklus, berdasarkan empat tahap berturut-turut: pengalaman
konkret, pengamatan refleksif, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif.

Menurut Kolb (Kolb, 1984), empat tahap siklus belajar menganggap bahwa
pengalaman dibangun oleh proses niat, perluasan, pemahaman, dan
pemahaman. Dalam logika model ini, pengalaman konkret mendorong tindakan
refleksif yang disengaja, berubah menjadi konseptualisasi abstrak, yang
memungkinkan pengalaman eksperimen aktif. Dengan demikian, proses
pengembangan profesional melibatkan pengalaman, pengamatan, refleksi, dan
transformasi.

8.5.2 Pemimpin Visioner

Di antara berbagai gaya kepemimpinan, apa yang disebut kepemimpinan
visioner dan kepemimpinan transformasional (Bennis, 1993) adalah yang
memberikan kontribusi terbesar untuk menyoroti peran pemimpin dalam
pengembangan profesional bawahan. Konsep kepemimpinan visioner
melibatkan manajemen strategis dalam proses interaksi pengulangan,
representasi, dan bantuan. Menurut proses, konten, dan konteks, ada berbagai
jenis kepemimpinan visioner: pencipta yang fokus terhadap produk; propaganda
yang fokus terhadap pasar; idealis yang fokus terhadap sesuatu yang ideal;
bricoleur yang fokus terhadap produk dan organisasi; dan peramal yang fokus
terhadap pelayanan (Westley and Mintzberg, 1989). Jenis pemimpin visioner
yang terkait dengan pengembangan profesional bawahan adalah peramal, yang
kelompok sasarannya adalah karyawan dan yang kapasitas menonjolnya adalah
wawasan, kecerdasan, dan inspirasi.

Kepemimpinan visioner telah didefinisikan sebagai proses dengan tiga langkah
spesifik: (1) visi (ide), (2) komunikasi (perkataan), dan (3) pemberdayaan
(tindakan). Sebuah gambaran alternatif dari kepemimpinan visioner mungkin
adalah sebuah drama dengan aksi dan komunikasi yang terjadi secara
bersamaan. Jadi, pemimpin visioner bertindak sebagai berikut: pengulangan
(ide), representasi (visi), dan bantuan (emosi dan tindakan) (Westley and
Mintzberg, 1989). Dengan mengulang ide, menciptakan representasi visi
tertentu untuk masa depan, dan bertindak dengan cara yang menginspirasi

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 99

bawahan, secara bersamaan dalam hal emosi dan tindakan, pemimpin visioner
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan profesional.
Pemimpin visioner memobilisasi tindakan pengikut dengan menghubungkan
tujuan dan kegiatan organisasi dengan konsep diri pengikut dan hierarki nilai,
serta dengan menghubungkan pengikut ke kolektif sedemikian rupa sehingga
kepentingan mereka menjadi menyatu dengan kepentingan organisasi. (Bass
dan Riggio, 2006). Pentingnya komunikasi visi pemimpin ditunjukkan baik
dalam kepemimpinan visioner maupun teori kepemimpinan transformasional
(Venus, 2013).

8.5.3 Pemimpin Transformasional

Dengan demikian, Pemimpin transformasional juga memiliki kemampuan yang
besar untuk berkontribusi dalam pengembangan profesional bawahannya.
Pemimpin bertindak dalam menciptakan tujuan bersama dan mendorong
eksperimentasi solusi, membuat konsesi kekuasaan dan memelihara
komunikasi sistemik yang mengarah pada keterlibatan kolektif. Oleh karena itu,
pemimpin transformasional bertindak dalam berbagai jenis manajemen, yaitu:
manajemen perhatian, manajemen makna, manajemen kepercayaan, dan
manajemen individu. Masing-masing dimensi ini dikaitkan dengan salah satu
dari empat dimensi Bass (Bass and Stogdill, 1990) yaitu Karisma, Inspirasi,
Stimulasi Intelektual, dan Pertimbangan Individu seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 8.1.

Jadi, dalam logika pemimpin transformasional, ada keterlibatan kolektif di
sekitar tujuan bersama. Ini mendukung pengembangan profesional karena
bawahan merasakan pentingnya partisipasi mereka dalam membangun sesuatu
yang berarti, yang meningkatkan komitmen individu.

100 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Tabel. 8.1: Tindakan yang Diharapkan dari Seorang Pemimpin
Transformasional Menurut Empat Dimensinya

8.6 Kompetensi Kepemimpinan
dikaitkan dengan Fungsi Pengembangan
SDM

pada bagian ini akan menjelaskan mengenai hubungan kompetensi
kepemimpinan dengan strategi manajemen krisis yang efektif. Penjelasan ini
didasarkan pada karya konseptual (James and Wooten, 2006) yang
mengartikulasikan beberapa kompetensi kepemimpinan krisis yaitu
kemampuan untuk belajar dari krisis. Kompetensi kepemimpinan krisis ini
dengan mengadopsi pengambil keputusan di tengah-tengah sebuah krisis.
Kompetensi ini dikaitkan dengan fungsi pengembangan SDM.
Pada tahap awal dari suatu krisis, para pemimpin menunjukkan kompetensi
dengan terlibat dalam kegiatan dengan membantu mereka lebih memahami
situasi krisis yang dihadapi dan tindakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
berbagai pemangku kepentingan. Pemimpin akan terlibat dalam pengambilan
keputusan, pengambilan risiko, dan komunikasi yang efektif. Pada tahap ini,
fokus MSDM pada masalah dan aktivitas personel misalnya, pencatatan, sistem
disiplin, rekrutmen, program keselamatan. Pelatihan dan pengembangan

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 101

menjadi aspek yang penting dari MSDM yang profesional (Yorks, 2005). Lebih
lanjut disampaikan bahwa fokus MSDM pada mengintegrasikan pelatihan,
pendidikan, dan pengembangan karyawan (Ulrich, 1996). Bahkan terdapat
kecenderungan untuk memasukkan kegiatan yang terkait dengan SDM ke
dalam tujuan strategis organisasi (Dunn, 2006).

Kompetensi kepemimpinan para eksekutif dibutuhkan untuk mengelola krisis
secara efektif. Oleh karena itu, MSDM memainkan peran penting dalam
mengidentifikasi para manajer yang dapat terampil dalam kondisi
ketidakpastian yang besar, tekanan waktu, dan stres, serta membantu
mengembangkan kemampuan ini pada orang lain, karena posisi atau
pengetahuan mereka, harus menjadi bagian dari tim manajemen krisis. Selama
fase pengendalian kerusakan dan penahanan krisis, organisasi harus gesit
sehingga mereka dapat dengan cepat memanfaatkan keahlian individu dari
berbagai area operasional perusahaan dan, jika perlu memanggil pakar eksternal.
MSDM harus dilibatkan sebagai mitra strategis dalam fase pemulihan, refleksi,
dan pembelajaran dari krisis karena ini adalah waktu untuk pembaruan dan
pembangunan kembali praktik dan kebijakan manajemen. Dalam fase ini,
MSDM dapat menyelaraskan program pelatihan dan pengembangan dengan
strategi pemulihan organisasi. Selain itu, masalah MSDM harus menjadi aspek
integral dari proses pengambilan keputusan jika kepemimpinan memutuskan
untuk melakukan restrukturisasi.

Untuk menjadi kompeten dalam kepemimpinan krisis membutuhkan pemimpin
yang mampu meningkatkan modal manusia dan modal sosial anggota melalui
pendidikan, pelatihan, praktik, pengalaman, atau kemampuan alami. Hal ini
berfungsi sebagai upaya untuk mengidentifikasi kompetensi kepemimpinan
krisis dan peran yang dapat dimainkan MSDM dalam memberikan peluang bagi
organisasi untuk menciptakan keunggulan kompetitif.

8.6.1 Kompetensi Kepemimpinan dan Manajemen Krisis

Kepemimpinan dapat dikonseptualisasikan sebagai fenomena kolektif di mana
individu yang berbeda berkontribusi pada organisasi (Spreitzer and Quinn,
2001). Kompetensi kepemimpinan mengacu pada pengetahuan, keterampilan,
atau kemampuan yang memfasilitasi kemampuan seseorang pemimpin untuk
melakukan tugas (Ulrich, Zenger and Smallwood, 1999). Kepemimpinan
dipandang sebagai proses dinamis yang berkembang terus dari waktu ke waktu,
dan pengaruh kepemimpinan dapat melampaui batas-batas organisasi (Denis,
Lamothe and Langley, 2001). Dalam situasi krisis, kepemimpinan bersifat

102 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

kolektif dan dinamis, dan membutuhkan persepsi dan keterampilan akal para
pemimpin agar dapat menentukan tindakan yang tepat (Walsh, 1995). Karena
itu, kompetensi kepemimpinan krisis dapat memasukkan kegiatan seperti
pengambilan keputusan, komunikasi, menciptakan kemampuan organisasi,
mempertahankan budaya organisasi yang efektif, mengelola beberapa
konstituen, dan mengembangkan modal manusia (Wooten and James, 2008).

8.6.2 Kepemimpinan, Pengembangan SDM dan
Manajemen Krisis

Krisis organisasi digambarkan sebagai peristiwa dengan probabilitas rendah dan
konsekuensi tinggi dan umumnya ditandai dengan ambiguitas (Pearson dan
Clair, 1998). Manajemen yang efektif dari krisis organisasi tergantung pada
perilaku kepemimpinan yang secara aktif mendorong anggota untuk akuisisi
pengetahuan dan perumusan strategi untuk menyelesaikan krisis (Wooten and
James, 2004). Ketika lingkungan bisnis berubah dan semakin kompleks, sangat
penting bagi para pemimpin untuk mengembangkan seperangkat keterampilan
yang akan membantu mereka mencegah dan secara efektif menanggapi krisis
dan isu-isu strategis lainnya (Mitroff, 2005).

Kompetensi kepemimpinan krisis sangat relevan dalam mengelola fungsi dan
hasil operasional, strategis, dan SDM ketika krisis terjadi (Walsh, 1995). Para
pemimpin harus mengambil tanggung jawab langsung untuk mengatur
lingkungan kerja yang menanamkan pendekatan berbasis kompetensi untuk
manajemen krisis (Wooten and James, 2004). Pemimpin menciptakan budaya
mendorong dan menghargai anggota organisasi untuk berpikir sistematis.
Menciptakan budaya seperti itu memerlukan kompetensi kepemimpinan yang
multifaset selama fase krisis yang berbeda dalam konteks krisis.

Kompetensi kepemimpinan yang paling relevan dengan manajemen krisis
adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Jenis komunikasi yang
relevan adalah komunikasi hubungan masyarakat yang berupaya memposisikan
perusahaan yang relatif menguntungkan. Komunikasi ini digunakan secara
positif untuk membentuk persepsi pemangku kepentingan tentang krisis
organisasi (James and Wooten, 2006). Para pemimpin akan terhubung dengan
personel organisasi kunci, memberikan atau meminta informasi dan instruksi
yang diperlukan, dan berusaha memulihkan ketenangan atau memberikan
kepastian kepada konstituen yang terkena dampak. Tergantung pada jenis krisis,
pemimpin juga mungkin perlu persuasif, dan percaya diri.

Bab 8 Kepemimpinan dalam Pengembanganm SDM 103

Hal yang sering merugikan perusahaan dalam krisis adalah kurangnya
transparansi dan pesan komunikasi yang ditafsirkan sebagai upaya defensif.
Misalnya, dalam krisis Coca-Cola, para pemimpin menyampaikan sikap
penyangkalan mengenai perlakuan diskriminatif terhadap karyawan minoritas,
meskipun banyak bukti sebaliknya. Reputasi Coca-Cola hancur dihadapan
media karena sikap penyangkalannya. Sebagai lawan dari komunikasi Coca-
Cola yang buruk, eksekutif Wal-Mart mengadopsi strategi komunikasi
multimodal yang menjangkau berbagai pemangku kepentingan dalam
menangani tuntutan hukum diskriminasinya. Perusahaan menyampaikan pesan
utama ke setiap konstituen, tetapi menyesuaikan pesan dengan cara yang
bermakna bagi seluruh pemangku kepentingan.

104 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Bab 9

Peluang Kerja di Perdesaan dan
Perkotaan

9.1 Pendahuluan

Penduduk adalah sekelompok manusia yang menempati suatu wilayah tertentu.
Wilayah tersebut merupakan habitat atau daerah tempat hidup bagi penduduk
tersebut, wilayah tempat penduduk hidup dan tinggal tidak bertambah luas,
tetapi penduduk yang bertempat tinggal tersebut terus bertambah banyak setiap
tahunnya karena adanya terdapat kelahiran dan meninggal (Rahman, 2018)
Penduduk yang tinggal disuatu wilayah akan berusaha mencukupi
kebutuhannya dengan bekerja. Bekerja adalah upaya untuk berproduksi di
berbagai sektor. Penduduk yang bekerja disebut sebagai tenaga kerja, yang
Maka penduduk suatu negara merupakan sumber daya bagi suatu wilayah.
Peran penduduk yang bekerja, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu
negara dapat dilihat melalui kegiatannya dengan menjadi tenaga kerja (Putra,
2018)
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penduduk yang bekerja disebut
sebagai angkatan kerja yakni berumur 15 tahun keatas adalah angkatan kerja.
Jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2018 di Indonesia mencapai

106 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

sebanyak 131,01 juta orang, dan mengalami kenaikan sebesar 2,95 juta orang
apabila dibandingkan dengan bulan Agustus 2017 (Nuraeni, 2019)
Angkatan kerja diharapkan dapat melaksanakan kerja sesuai dengan tuntutan
beban kerja. Hal penting yang diharapkan dari tenaga kerja adalah keahlian dan
tenaga untuk dapat menghasilkan produk. Keahlian merupakan representasi dari
kualitas tenaga kerja biasanya didekati dengan tingkat pendidikan formal dan
ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Pada tenaga kerja di Pedesaan,
mayoritas tenaga yang menjadi andalan penduduk bekerja di sektor pertanian.
Tenaga kerja yang terlibat di sektor pertanian memiliki unsur penting yakni
tenaga. Berarti bahwa tenaga kerja manusia di sektor pertanian memberikan
kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani lewat curahan tenaga kerja
manusia yang terlibat (dalam satuan orang) dan curahan kerjanya (dalam satuan
jam ker per hari, hari kerja per minggu, per bulan, per tahun ) (Winarso, 2014)
Tenaga kerja ada yang berada di perkotaan dan perdesaan. Dari data Kemenaker
2020 diketahui bahwa kelompok usia kerja di Perkotaan di Indonesia pada
Tahun 2020 lebih banyak didominasi oleh perempuan. Hal ini menarik karena
ternyata pekerjaan dengan di perkotaan memerlukan keahlian dibandingkan
dengan tenaga. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.1. berikut ini

Gambar 9.1: Kelompok Kerja di Perkotaan Indonesia Tahun 2020
Sumber: Satu Data Kemenaker 2020

Fakta menarik didapatkan bahwa angkatan kerja yang bekerja di perdesaan lebih
banyak didominasi oleh laki laki. Laki laki mayoritas bekerja mengandalkan
tenaga di sektor pertanian. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 9.2 berikut ini

Bab 9 Peluang Kerja di Perdesaan dan Perkotaan 107

Gambar 9.2: Kelompok Kerja di Perdesaan Indonesia Tahun 2020.Satu Data
Kemenaker 2020

Pada Gambar 9.3 menggambarkan bahwa bahwa penduduk yang bekerja
mayoritas masih di dominasi oleh laki laki, yakni sebanyak 77.755.026,
perempuan 50.699.158 orang. Begitu juga dengan tingkat pengangguran masih
di dominasi laki laki sebesar 6.268.364 orang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan perempuan yang 3.499.390 orang .Penduduk yang bersekolah yakni
7.490.406 orang laki laki dan perempuan 7.862.233 orang. Banyak didominasi
perempuan. Penduduk yang mengurus rumah tangga banyak didominasi oleh
perempuan,untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9.3 berikut ini

Gambar 9.3: Kelompok Penduduk Usia Kerja di Indonesia Tahun 2020 Satu
Data Kemenaker 2020

Usia kerja adalah umur 15 tahun. Umur usia kerja di Indonesia banyak yang
berumur 15 sampai dengan 19 tahun yakni untuk laki laki adalah 11.181.150
orang dan perempuan 10.936.902 orang, yang paling kecil jumlahnya adalah
angkatan kerja yang berumur 60-64 yakni untuk laki laki 5.286.099 orang
dan perempuan 5.338.685 orang.

108 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Gambar 9.4: Kelompok Penduduk Usia Kerja di Indonesia Tahun 2020 Satu
Data Kemenaker 2020

Penduduk Usia Kerja di Indonesia pada periode Agustus 2020 sebanyak 203,97
juta orang, di mana jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 2,78 juta
orang atau sebanyak 1,38 persen dibanding periode Agustus 2019 dengan nilai
PUK sebesar 201,19 juta orang. Kaum muda di banyak negara menghadapi
tingkat pengangguran, setengah pengangguran, dan ketidakstabilan yang jauh
lebih tinggi pekerjaan daripada yang lebih tua (Shaw et al., 2019)

Gambar 9.5: Pendidikan Kelompok Usia Kerja di Indonesia Tahun 2020 Satu
Data Kemenaker 2020

Pendidikan usia kerja masyarakat Indonesia mayoritas masih di Tamatan
sekolah dasar yakni 76.627.138 terdiri dari 35.840.359 laki laki dan 40.786.779
perempuan . Tenaga kerja tamatan SLTP dan SLTA umum tidak jauh
perbedaannya, tetapi yang menarik dari angkatan kerja berdasarkan pendidikan
ini adalah angkatan kerja yang berpendidikan S1, S2 dan S3 ternyata banyak

Bab 9 Peluang Kerja di Perdesaan dan Perkotaan 109

didominasi oleh perempuan. Perempuan memiliki pendidikan S1, S2 dan S3
sebesar 51,1 % dibandingkan dengan laki laki 48,9. Hal ini menunjukkan bahwa
kesempatan perempuan menempuh pendidikan lebih tinggi sudah mulai
terbuka.

9.2 Peluang Kerja di Perkotaan

Perkotaan menjadi pusat perkembangan dari suatu wilayah, menjadi daya tarik
atau absorpsi, pusat pelayanan dan penggerak perdesaan. Dengan adanya daya
tarik perkotaan tersebut maka menyebabkan orang dari daerah perdesaan
berbondong bondong pindah ke kota. Untuk dapat menilai tingkat
perkembangan kota berdasarkan penduduknya yakni dengan mengamati
penyebaran penduduk antar kota, kepadatan penduduk dan pembagian
penduduk menurut jenis kelamin, umur maupun pekerjaannya (Kusreni, 2009)

Pada tabel 9.1 menegaskan tentang fasilitas di perkotaan yang lebih lengkap
dibandingkan dengan perdesaan.

Tabel 9.1: Proporsi Rumah tangga Dengan Akses Terhadap Pelayanan Dasar
Menurut daerah Tempat Tinggal di Indonesia. BPS Indonesia 2019-2020

Daerah Proporsi Rumah Tangga Dengan Akses Terhadap Pelayanan
Tempat Dasar Menurut Daerah Tempat Tinggal
Tinggal
Akses pada Akses pada Akses pada Indeks pada
layanan air layanan mobilitas fasilitas
minum sanitasi dasar dasar kesehatan
dasar

2019 2020 2019 2020 2019 2020 2019 2020

Perkotaan 40.26 38.89 82.27 83.66 - - 79.42 82.09

Perdesaan 46.12 46.66 71.17 74.27 - - 71.81 73.47

Perkotaan + 42.84 42.31 77.39 79.53 - - 76.07 78.30
Perdesaan

Akses layanan air minum perkotaan di Indonesia pada tahun 2019 sampai
dengan 2020 ternyata masih lebih baik di perdesaan, tetapi layanan sanitasi dan

110 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

fasilitasi kesehatan lebih baik di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa layanan
air minum sudah lebih siap sebelum tahun 2019 di perkotaan. Data tentang
mobilitas dasar tidak ada data. Karena masyarakat perkotaan sangat tinggi
dalam mobilitasnya. Peluang kerja di perkotaan akan lebih terbuka apabila
terdapat sarana transportasi yang medukung, hal ini karena Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sarana transportasi perlu untuk disediakan diperkotaan
semakin padat penduduk maka sangat membutuhkan, seperti hasil penelitian
yang menyatakan sarana transportasi di perkotaan akan diadakan tergantung
pada populasi, lokasi, dan daya beli masyarakat, dampak tarif redistribusi
sehubungan dengan aksesibilitas ke pasar tenaga kerja dapat lebih besar apabila
ada perluasan dan peningkatan jaringan transportasi umum (Bocarejo S. and
Oviedo H., 2012).

Sebagai perbandingan bahwa wilayah perkotaan di Indonesia dan negara lain
hampir sama, wilayah perkotaan mengalami pertumbuhan yang pesat.
Pertumbuhan perkotaan Prancis lebih padat penduduknya daripada daerah
pedesaan. Setelah dan selama boom pasca perang, urbanisasi tumbuh lebih
cepat. Sejak tahun 1936, jumlah penduduk unit perkotaan Prancis 2 telah
meningkat lebih dari dua kali lipat (dari 22 menjadi 48 juta), sedangkan daerah
pedesaan telah kehilangan 6 juta penduduk (Hilal, Legras and Cavailhès, 2017)

9.3 Peluang Kerja di Perdesaan

Perdesaan identik dengan masyarakat petani yang bekerja pada sektor pertanian.
Sektor pertanian di Indonesia identik dengan kemiskinan. Kemiskinan
merupakan suatu permasalahan sosial masa kini, karena masyarakat sangat sulit
keluar dari kondisi kemiskinan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena
masyarakat di desa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumtif rumah
tangga, sehingga penghasilan yang diperoleh tidak mampu untuk melakukan
investasi dalam dunia pendidikan maupun dunia usaha (Maifizar, 2018).

Bab 9 Peluang Kerja di Perdesaan dan Perkotaan 111

Tabel 9.2: Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Penerangan
Dengan Sumber Listrik (40% Ke Bawah), Menurut Daerah Tempat Tinggal

(Persen) Susenas 2020

Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan
Penerangan Dengan Sumber Listrik (40% Ke Bawah),

Menurut Daerah Tempat Tinggal (Persen)

Daerah Tempat

Tinggal 2017 2018 2019

Perkotaan 96.56 99.76 99.80

Perdesaan 97.92 95.38 96.34
Perkotaan + 96.88 97.45 98.01
Perdesaan

Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Penerangan Dengan Sumber
Listrik (40% Ke Bawah), Menurut Daerah Tempat Tinggal (Persen) yang
diamati mulai tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 menunjukkan bahwa di
wilayah perkotaan mengalami peningkatan dari tahun 2017 ke tahun 2018.
Diwilayah perdesaan dari tahun 2017 mengalami penurunan pada tahun 2018
dan meningkat lagi pada tahun 2019.

Gambar 9.6: Urban and Rural Indonesia United Nation, World urbanization
Prospect 2018

Perbandingan menggunakan penerangan listrik lebih tinggi di perkotaan
dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di
perkotaan dapat bekerja dengan mengandalkan listrik, karena listrik merupakan

112 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

sumber energi untuk menghidupkan mesin mesin pabrik, peralatan rumah
tangga, komputer dikantor kantor yang digunakan oleh pekerja mengerjakan
pekerjaannya yang mengandalkan keahlian.Di desa yang mengandalkan tenaga
untuk bekerja memang tidak terlalu membutuhkan listrik, hal ini yang
mendasari Pemerintah kurang memberikan fasilitas listrik di pedesaan

Masyarakat desa yang masih banyak mengandalkan tenaga dalam bekerja, tetap
perlu untuk ditingkatkan lapangan kerjanya agar tidak melakukan urbanisasi.
Alternatif usaha yang masih relevan dilaksanakan adalah agribisnis. Menurut
Soekartawi(2006), agribisnis adalah suatu kegiatan usaha yang salah satu atau
keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang
ada hubungannya dengan pertanian.(Mulyaningrum and Rusliati, 2019)

9.4 Strategi Meningkatkan Lapangan
Pekerjaan di Perkotaan dan Perdesaan

Peluang kerja di Indonesia menjadi masalah, hal ini karena penduduk
mengharapkan penghasilan dari bekerja. Disisi lain kualitas pendidikan
penduduk yang mayoritas lulusan SD menjadi kendala. Permasalahan
ketenagakerjaan di indonesia juga masih perlu diteliti.

Penelitian ketenagakerjaan di Indonesia kebanyakan masih menggunakan
konsep "labor force" atau "gainful worker". Pada konsep tersebut angkatan kerja
hanya dikelompokkan ke pada kategori bekerja atau menganggur. Pembagian
pada kategori bekerja dan menganggur saja tidak dapat menunjukkan,kondisi
seberapa banyak angkatan kerja tersebut memiliki tingkat curahan tenaga
kerjanya. Untuk dapat memperoleh gambaran tentang tingkat pencurahan kerja
efektif, maka diperlukan pendekatan lain. Seperti contohnya di sektor pertanian.
Gejala setengah pengangguran dalam sektor pertanian tampak lebih menonjol
dibanding sektor-sektor lainnya. Dan total angkatan kerja laki-laki yang bekerja,
hanya 3.2. persen termasuk pekerja penuh dan untuk pekerja perempuan hanya
0.5 persen yang termasuk pekerja penuh (Kusreni, 2009).

Lapangan kerja menjadi kebutuhan bagi angkatan kerja, maka upaya
pemerintah sangat penting menciptakan lapangan pekerjaan. Menilik kondisi
pembangunan infrastruktur yang berbeda di pedesaan dan perkotaan maka perlu
ada strategi yang berbeda dalam menciptakan lapangan kerja. Salah satu

Bab 9 Peluang Kerja di Perdesaan dan Perkotaan 113

peluang kerja di perkotaan adalah bisnis online, bisnis online merupakan bisnis
yang memanfaatkan jaringan internet memberikan peluang bagi para programer
bahkan design program di perkotaan. Bisnis online menghasilkan aplikasi yang
mempermudah bagi setiap pengguna jasa internet untuk membuka bidang
usaha. Program aplikasi yang disediakan sarana internet yang dewasa ini yang
menjadi trend yaitu bisnis online bersifat jasa dibidang transportasi yaitu GoJek,
Grab, Uber dan model lainnya (Situmeang, 2018) Tidak kalah pentinganya di
perkotaan diperlukan biaya transportasi yang rendah. Dengan biaya transportasi
turun, perusahaan tidak perlu sangat dekat dengan pasar input dan output, dapat
menetap di lokasi yang lebih terpencil untuk jauh dari persaingan, dan menjadi
lebih sensitif terhadap biaya input faktor lainnya (Hilal, Legras and Cavailhès,
2017).

Alternatif untuk mengisi peluang kerja di perkotaan adalah pendidikan.
Pendidikan untuk meningkatkan keahlian. Salah satu alternatif pendidikan yang
ditawarkan adalah pendidikan jarak Jauh. Pendidikan Jarak Jauh merupakan
alternatif yang dapat diterapkan pada bidang pendidikan, melayani para siswa
yang belajar dan bekerja sendiri di rumah atau di kantor dan berkomunikasi
dengan fakultas dan siswa lain melalui email, forum elektronik, konferensi
video, ruang obrolan, papan, pesan instan dan berbagai bentuk lain dari
komunikasi berbasis komputer. Pembelajaran jarak jauh memudahkan beberapa
siswa untuk menyelesaikan gelar atau mendapatkan pelatihan kerja tambahan
sambil menyeimbangkan komitmen pekerjaan dan keluarga. Pendidikan Jarak
Jauh yang berorientasi pekerjaan yang ditawarkan oleh universitas Terbuka
kepada calon yang mencari gelar untuk resume yang lebih baik dan untuk
peningkatan karir.(Saxena and Bharti, 2015). Selain itu tenaga kerja perkotaan
memerlukan pelatihan untuk dapat melaksanakan kerja secara optimal.
Pelatihan patut diterima oleh karyawan di perusahaan maupun calon karyawan.
Pelatihan karyawan sangat penting untuk meningkatkan kinerja karyawan
dalam organisasi. Motivasi karyawan akan meningkat ketika organisasi
memberikan peluang pengembangan kepada karyawannya. Karyawan
termotivasi untuk memberi manfaat bagi organisasi. Tingginya tingkat peluang
pelatihan, menyebabkan kinerja organisasi terbaik. Ketika karyawan merasa
mereka tidak mendapatkan atau berpartisipasi dalam kesempatan pelatihan,
mereka mungkin memiliki niat yang lebih tinggi untuk keluar dari organisasi.
Oleh karena itu, pimpinan perusahaan mampu mengurangi niat karyawan untuk
pergi jika mereka memberikan pelatihan yang memadai (Albloush, 2020).

114 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Selain upaya membuka peluang kerja di perkotaan maka tidak kalah pentingnya
membuka peluang usaha di perdesaan. Pelaung usaha di perdesaan tentunya
masih berkaitan dengan pertanian. Udayana (2011) menyatakan, bahwa
agroindustri mampu meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis, mampu
menyerap tenaga kerja, mampu meningkatkan perolehan devisa dan mampu
mendorong munculnya industri yang lain. Menurut BPS (2010) berdasarkan
jumlah tenaga kerja, industri dikategorikan menjadi empat kelompok, Jumlah
tenaga kerja lebih atau sama dengan 100 orang termasuk kelompok industri
besar. Kegiatan usaha membuat gula kelapa masih memanfaatkan hasil
pertanian bahan bakunya dan tenaga kerja yang dibutuhkan tidak lebih dari tiga
orang dalam satu kali proses produksi, sehingga usaha pembuatan gula kelapa
dikategorikan sebagai kelompok industri rumah tangga.

Hasil penelitian Helmy dkk. (2017) menunjukkan bahwa peranan agroindustri
gula kelapa terhadap penyerapan tenaga kerja di Kecamatan Kemalang
Kabupaten Klaten cukup besar, yaitu rata-rata 3 orang dengan curahan jam kerja
per orang rata-rata 5 jam per hari (Hardiyanto, 2020)

1. Peluang kerja di perkotaan lebih membutuhkan keahlian dibandingkan
dengan tenaga

2. Peluang Pekerjaan di Perdesaan memerlukan lebih banyak tenaga
dibandingkan dengan keahlian

3. Peluang Kerja di perkotaan memerlukan keahlian yang dapat diperoleh
dari pelatihan

4. Peluang kerja di Perdesaan dapat ditingkatkan dengan membuka
agribisnis dan agroindustri

5. Peluang kerja di perdesaan dan perkotaan dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan akses pada kebutuhan dasar.

Bab 10 dalam Era

Pendidikan
Globalisasi

10.1 Pendahuluan

Globalisasi sudah terwujud di berbagai tingkatan dan dimensi publik dan
kehidupan individu dan memengaruhi kondisi dan nilai-nilai yang ada di
berbagai bidang tidak terkecuali pendidikan (Roth and Gur-Ze’ev, 2007).
Meskipun terdapat keragaman yang luas dalam berbagai aspek, semua negara
memiliki kepentingan bersama dalam investasi dan pengembangan pendidikan
dalam konteks mereka sendiri. Pendidikan memiliki fungsi esensial untuk
meningkatkan pembangunan individu, masyarakat dan negara. Pendidikan
memberikan kesempatan kepada individu untuk berkembang secara fisik,
intelektual, moral, sosial, estetika dan spiritual, untuk memaksimalkan potensi
dan mempersiapkan generasi untuk masa depan. Pendidikan memfasilitasi
penguatan masyarakat, dan meningkatkan keadilan sosial, kesetaraan dan
kohesi. Pendidikan membantu negara menanamkan tanggung jawab sipil dan
sosial di antara warganya, mengembangkan kapasitas membangun, memajukan
integrasi nasional, dan meningkatkan daya saing nasional. Setiap negara dalam
satu dunia berusaha untuk membangun sistem pendidikan untuk kesejahteraan
dan pengembangan generasi mudanya, masyarakat dan bangsanya (Pang,
2014).

116 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Dunia akan mengalami perubahan yang luar biasa karena adanya globalisasi.
Globalisasi dalam bidang pendidikan telah terlihat dari perkembangan
pendidikan dari pendidikan dasar dan tinggi di banyak negara. Dalam bab ini
akan dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan globalisasi, bagaimana
pengaruhnya terhadap pendidikan dan perubahan prinsip apa yang terjadi,
bagaimana sekolah, dan pendidikan tinggi menanggapi globalisasi, dan apa
implikasinya bagi penelitian dan pengembangan pendidikan.

10.2 Definisi Globalisasi

Globalisasi pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt pada tahun 1985 yang
mengacu pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan
transaksi keuangan. Secara historis, munculnya globalisasi didahului oleh
revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Kata “globalisasi”
berasal dari kata “global” atau “universal” yang meliputi seluruh dunia. Menurut
John Huckle, globalisasi adalah suatu proses di mana peristiwa, keputusan, dan
kegiatan di satu bagian dunia menjadi konsekuensi yang signifikan bagi individu
dan masyarakat di daerah terpencil (Arjoni and Handayani, 2017). Menurut
Emanuel Ritcher, globalisasi adalah jaringan masyarakat global yang secara
bersamaan menyatukan yang sebelumnya tersebar dan terisolasi dalam dunia
yang saling ketergantungan dan kesatuan (Arjoni and Handayani, 2017).

Globalisasi bukanlah proses yang baru. Bates mengungkapkan bahwa migrasi
dari ide, artefak, dan manusia telah menjadi bagian konstan dari sejarah
manusia, tetapi apa yang tampak baru adalah kecepatan migrasi yang sekarang
dicapai dan kelemahan relatif dari penghalang-penghalang tersebut, yang
dibangun oleh negara atau bangsa untuk mempertahankan status sosial,
integritas politik dan budaya (Bates, 2002). Meskipun konsep globalisasi saat ini
masih kabur dan sulit untuk didefinisikan, secara umum diterima sebagai hal
yang berkaitan dengan jangkauan global dalam proses pertukaran barang,
pembentukan perusahaan multinasional raksasa, dan penghapusan virtual waktu
karena kualitas instan dari komunikasi di seluruh dunia (Capella, 2000).
Globalisasi berarti lebih banyak persaingan, yang memiliki arti bahwa investasi,
produksi, dan inovasi suatu negara tidak dibatasi oleh batas-batas negara.
Globalisasi menjadi mungkin hanya karena infrastruktur teknologi yang
disediakan oleh telekomunikasi, sistem informasi, peralatan mikroelektronika,
dan sistem transportasi yang dikendalikan komputer (Carnoy, 1999).

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 117

Globalisasi juga bukan merupakan proses tunggal, terintegrasi atau evolusioner
(Perraton et al., 1997). Faktanya, proses globalisasi terjadi pada banyak dimensi
yang berbeda, pada tingkat yang berbeda dan dengan efek yang berbeda.
Beberapa dari proses ini saling bergantung. Beberapa relatif independen dan
memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Meskipun masalah ini rumit, jika
kita ingin membahas masalah bagaimana para pemimpin pendidikan dapat
menanggapi berbagai globalisasi ini, kita perlu memikirkan beberapa perbedaan
ini dan mengeksplorasi kemungkinan mereka untuk perubahan konstruktif.

Sementara itu, Tjiptoherijanto menyatakan bahwa konsep globalisasi pada
dasarnya mengarah pada tidak adanya batas negara (Tjiptoherijanto, 1997).
Berdasarkan pendapat tersebut, globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses
pengintegrasian manusia dengan segala macam aspeknya ke dalam suatu
komunitas yang utuh dan lebih besar. Mitos yang selama ini hidup tentang
globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia menjadi
seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas bangsa. Hal ini
ditegaskan dengan pernyataan, Sebagai sebuah proses, globalisasi berlangsung
melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan
waktu. Ruang semakin menyempit dan waktu semakin dipersingkat dalam
interaksi dan komunikasi dalam skala dunia. Oleh karena itu, beberapa pihak
sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya
peran negara atau batas-batas negara. Globalisasi membawa perubahan yang
sangat mendasar dalam kehidupan manusia di abad 21. Globalisasi menuntut
adanya perubahan dalam diri manusia itu sendiri, bagaimana manusia
memandang dunia ini sebagai tempat hidup yang selalu berubah. Globalisasi
mendorong organisasi atau lembaga masyarakat bahkan lembaga negara untuk
mengkaji paradigma.

Globalisasi adalah proses tatanan masyarakat secara global dan tanpa batas.
Globalisasi adalah hakikatnya suatu proses gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa-bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama
bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Globalisasi dicirikan oleh ambivalensi
yang dipandang sebagai “berkah” di satu sisi tetapi pada saat yang sama menjadi
“kutukan” di sisi lain. Hal ini muncul sebagai "kegembiraan" di satu sisi tetapi
pada saat yang sama menjadi "sakit" di sisi lain. Globalisasi pendidikan di
Indonesia juga ditandai dengan ambivalensi karena ingin mengejar
ketertinggalan kualitas pendidikan internasional, padahal Indonesia belum siap
untuk mencapai kualitas tersebut. Namun, jika tidak ikut globalisasi, Indonesia

118 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

akan tertinggal. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting di era
globalisasi. Ketiga masalah ini sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia
pendidikan (Ketut Sudarsana et al., 2020).

Peningkatan sumber daya manusia yang menjadi tugas pokok dan tanggung
jawab pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor globalisasi dan teknologi.
Pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi dan informasi, serta perubahan nilai-
nilai sosial harus diperhitungkan dalam penyelenggaraan pendidikan terutama
tanggung jawab pendidikan untuk mencapai tujuan utama menghasilkan
manusia yang berkualitas. Dalam konsepsi ini, peran dan penguasaan informasi
sangat vital, sehingga perlunya proses pengumpulan, penyaringan, dan analisis
informasi menjadi penting. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
disertai dengan globalisasi membawa dampak tersendiri pada dunia pendidikan.
Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga menjadi kerepotan dan
akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia sesuai dengan tuntutan
era globalisasi (Ketut Sudarsana et al., 2020).

10.3 Dampak Globalisasi pada
Pendidikan

Globalisasi berimplikasi pada segala bidang kehidupan, membawa bangsa
Indonesia menghadapi tantangan global. Krisis multidimensi yang dimulai dari
krisis moneter, ekonomi, politik, hukum hingga konflik sosial berujung pada
krisis kepercayaan yang berkepanjangan. Krisis kemerdekaan manusia
Indonesia mencerminkan budaya bangsa yang memudar. Artinya sistem nilai
yang hidup dalam masyarakat yang dinamis sebagai identitas nasional
mengakibatkan terjadinya perubahan budaya. Globalisasi bekerja selama 24 jam
dengan menawarkan banyak pilihan dan kebebasan pribadi. Pendek kata,
dewasa ini telah terjadi “banjir pilihan dan peluang”, sesuai dengan kemampuan
individu untuk memilikinya. Pendidikan harus memberikan satu kecakapan
hidup yang penting kepada peserta didik, yaitu keterampilan mencari,
menyaring, memilah, dan memanfaatkan berbagai informasi, peluang, dan
pilihan secara tepat. Selain itu, pendidikan harus memberikan nilai-nilai hidup
untuk menyingkirkan informasi dan pilihan yang tidak berguna dan merusak.
Di sisi lain, ada dorongan untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan, daya
saing, dan perkembangan zaman, sehingga timbul konflik budaya yang

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 119

mengurangi keseimbangan budaya bangsa. Dengan demikian, pendidikan
nasional perlu diselenggarakan sebagai upaya sadar untuk melindungi bangsa
Indonesia dari kehilangan jati diri dengan tetap menjaga kelangsungan nilai-
nilai kebangsaan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, tujuan pendidikan
nasional adalah membentuk manusia yang bermutu, mandiri, memiliki rasa
memiliki, dan bertanggung jawab terhadap manusia dalam masyarakat, bangsa,
dan negara (Ketut Sudarsana et al., 2020).

Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial untuk mengembangkan sistem
pengembangan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan
zaman. Globalisasi telah menghadirkan nilai-nilai baru, pemahaman baru, dan
perubahan dalam seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak dapat
diharapkan. Dengan demikian, pendidikan membutuhkan perangkat
pembelajaran yang dapat menghasilkan manusia sesuai dengan tuntutan global.
Penguasaan teknologi informasi, penyediaan sumber daya manusia yang
profesional, terampil, dan berdaya guna bagi masyarakat, kemampuan
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perwujudan masyarakat sosial
yang terbuka, demokratis, humanis, dan progresif dalam menghadapi kemajuan
zaman adalah beberapa di antaranya. ketentuan mutlak yang harus dimiliki oleh
semua bangsa di dunia bagi mereka yang ingin bertahan dalam menghadapi
tatanan masyarakat baru berupa globalisasi (Ketut Sudarsana et al., 2020).

Pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi
masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat antara bangsa-bangsa lain
di dunia. Masa depan yang berkembang menuntut pendidikan untuk selalu
menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif demokratisasi dan pembangunan
bangsa. Pendidikan membangun masa depan bangsa. Namun, pendidikan yang
masih menjadi budak sistem politik saat ini telah kehilangan jiwa dan
kekuatannya untuk memastikan bahwa reformasi sejalan dengan tujuan dan
berada di jalur yang benar. Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia
perlu membiasakan anak-anak untuk memahami keberadaan bangsa dalam
kaitannya dengan keberadaan bangsa lain dan semua masalah dunia. Pendidikan
nasional perlu mempertimbangkan tidak hanya pembangunan negara dan
pembangunan bangsa tetapi juga pembangunan kapasitas. Proses pendidikan
yang sebenarnya adalah usaha sadar manusia yang tidak pernah berhenti karena
jika dihentikan akan terjadi. Sulit membayangkan apa yang akan terjadi pada
sistem peradaban dan kebudayaan tersebut karena sejak zaman batu hingga
zaman modern sekarang, proses pendidikan manusia tetap berjalan walaupun
tidak dalam bentuk formal (sekolah). Suatu bangsa harus mampu membangun

120 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

sistem pendidikan yang sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman
untuk menghasilkan luaran yang relevan dengan tuntutan zaman. Itulah
sebabnya sistem pendidikan juga harus sesuai dengan sistem dan praktik
pendidikan yang memenuhi tuntutan global. Ini benar-benar menjadi masalah
besar bagi pendidikan di era globalisasi (Ketut Sudarsana et al., 2020).

Efek potensial globalisasi pada pendidikan sangat banyak dan luas, karena skala
dan sifatnya. Karena basis utama globalisasi adalah informasi dan inovasi yang
intensif pengetahuan, globalisasi seharusnya memiliki dampak besar pada
pendidikan (Carnoy, 2002). Sistem pendidikan saat ini menekankan untuk
menghasilkan individu-individu yang kompeten dalam menghadapi persaingan
global, yaitu individu-individu yang dapat bersaing untuk posisi mereka sendiri
dalam konteks global, dan yang dapat melegitimasi negara serta memperkuat
daya saing globalnya (Daun, 2002). Globalisasi ekonomi dan teknologi
menantang negara-bangsa dalam cara yang berbeda. Negara-negara berbeda
dalam menanggapi proses globalisasi menurut ukuran, tingkat ekonomi dan
teknologi, posisi ekonomi di pasar dunia, komposisi budaya, hubungan antara
negara dan ekonomi (Green, 1997; Daun, 2002). Menganalisis bagaimana
negara atau bangsa menanggapi globalisasi sangat penting untuk memahami
efek globalisasi pada pendidikan (Carnoy, 2002). Carnoy juga berpendapat
bahwa pendekatan yang diambil dalam reformasi pendidikan, respons
pendidikan terhadap globalisasi, bergantung pada tiga faktor utama yaitu situasi
keuangan riil, interpretasi terhadap situasi, dan posisi ideologis mengenai peran
sektor publik dalam pendidikan. Ketiga faktor ini diekspresikan melalui metode
yang diadopsi oleh suatu negara untuk penyesuaian struktural ekonominya
dengan lingkungan global yang baru (Mok and Welch, 2003).

Globalisasi memiliki efek mendalam pada pendidikan di berbagai tingkatan.
Pendidikan telah menjadi prioritas nasional di banyak negara, dan sebagian
besar dipahami dalam hal kelangsungan hidup ekonomi nasional dalam dunia
yang sangat kompetitif. Banyak negara telah mengambil tindakan untuk
meningkatkan daya saing mereka melalui pengembangan institusi (Daun and
Strömqvist, 2011). Pengembangan pengetahuan melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan, yaitu peningkatan sumber daya manusia, telah
menjadi agenda penting dalam kebijakan pendidikan di banyak negara (Bates,
2002). Globalisasi akan memiliki efek yang lebih besar pada pendidikan di masa
depan, sehingga penyediaan pasokan tenaga kerja terampil yang siap pakai
untuk meningkatkan taraf pendidikan sangat diperlukan. Persaingan global
mengarah pada peningkatan permintaan akan keterampilan yang lebih tinggi
dalam populasi secara keseluruhan, dan pembelajaran seumur hidup untuk

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 121

semua. Persaingan global juga menyebabkan pergeseran tekno-ekonomi.
Pergeseran yang menghasilkan pengangguran dalam jangka pendek tetapi ke
standar hidup yang lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih tinggi dalam jangka
panjang. Karena kedatangan masyarakat global juga akan menandai
pengetahuan masyarakat, peran pendidikan adalah untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing bangsa di lingkungan global (Bates, 2002).
Tantangan ke depan bagi sebagian besar sistem pendidikan dan keberhasilannya
dalam persaingan global akan bergantung pada (i) apakah mereka dapat
menentukan keterampilan dan sikap yang dibutuhkan oleh kaum muda dan
pembelajar sepanjang hayat, (ii) konstruksi kurikulum global yang sesuai, (iii)
pengembangan pedagogi yang dimediasi secara teknologi yang tepat, (iv)
spesifikasi standar universal yang dengannya kinerja dapat dievaluasi, dan (v)
pengelolaan sistem yang melaluinya pencapaian ini dapat dicapai dan
diwujudkan (Bates, 2002).

10.4 Globalisasi dan Perubahan
Pendidikan

Globalisasi telah membawa perubahan paradigma dalam kebijakan pendidikan
dan administrasi di banyak negara. Di bawah pengaruh globalisasi, Mulford
mengamati bahwa nilai-nilai kuno kebijaksanaan, kepercayaan, empati, kasih
sayang, rahmat, dan kejujuran dalam mengelola pendidikan telah berubah
menjadi apa yang disebut nilai kontrak, pasar, pilihan, dan persaingan. di dalam
administrasi pendidikan (Mulford, 2002). Administrator sekolah akan menilai
efisiensi keterampilan instrumental, akuntabilitas dan perencanaan daripada
keterampilan kolaborasi dan timbal balik. Pendidikan di sekolah saat ini lebih
menekankan pada jangka pendek, simbolis dan kemanfaatan, memiliki jawaban
dan kesamaan, daripada masa lalu, yang fokus pada jangka panjang, tujuan dan
sasaran yang nyata dan substantif, kebijaksanaan dan pertimbangan cadangan,
dan karakter. Dalam ekonomi dan lingkungan global yang kompetitif, negara
tidak memiliki pilihan tapi lebih menyesuaikan diri agar lebih efisien, produktif,
dan fleksibel. Untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing suatu bangsa
dalam situasi global, desentralisasi dan penciptaan “pasar” dalam pendidikan
telah menjadi dua strategi utama yang digunakan untuk merestrukturisasi
pendidikan (Lingard, 2000; Mok and Welch, 2003). Desentralisasi dan

122 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

manajerialisme korporat telah digunakan oleh sebagian besar pemerintah untuk
meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja dan menciptakan lembaga pendidikan
yang lebih otonom sambil memenuhi banyaknya permintaan dan keragaman
dalam pendidikan (Blackmore, 2000).

Munculnya pasar pendidikan juga menjadi pusat reformasi pendidikan untuk
globalisasi di banyak negara. Carnoy berpendapat bahwa jika pendidikan
direstrukturisasi pada prinsip-prinsip pasar dan berdasarkan hubungan pasar
yang kompetitif di mana pilihan individu difasilitasi, pendidikan akan menjadi
lebih efisien. Memang benar bahwa banyak perkembangan pendidikan
disebabkan oleh globalisasi, dinamika, kompleksitas, dan mekanisme yang
dampak tersebut masih belum sepenuhnya dipahami (Carnoy, 2002).

Martin Carnoy menganalisis bagaimana globalisasi telah memengaruhi sistem
pendidikan, secara langsung dan tidak langsung, dan merangkum bahwa
globalisasi baru-baru ini membawa perubahan besar dalam pendidikan
diantaranya (Carnoy, 1999):

1. Globalisasi telah, dan terus berdampak pada organisasi kerja dan pada
pekerjaan yang dilakukan orang. Biasanya pekerjaan ini menuntut
keterampilan tingkat tinggi.

2. Tuntutan tersebut mendorong pemerintah untuk memperluas
pendidikan tinggi, dan untuk meningkatkan jumlah lulusan yang siap
untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.

3. Sebagian besar pemerintah berada di bawah tekanan yang lebih besar
untuk meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan guna
menghasilkan angkatan kerja yang lebih terdidik.

4. Kualitas pendidikan selalu dibandingkan secara internasional yaitu
dengan adanya Studi TIMSS dan PISA.

5. Ada penekanan yang lebih besar pada kurikulum
6. Penggunaan teknologi informasi, seperti penggunaan internet dan

instruksi berbantuan komputer menjadi lebih umum di dalam kelas.

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 123

10.5 Penataan Pendidikan Tinggi di Era
Globalisasi

Berbagai peristiwa sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang penting telah
terjadi dengan kekuatan yang terkait dengan perkembangan global pendidikan
tinggi. Schugurensky mengidentifikasi (i) globalisasi ekonomi, (ii)
'komodifikasi' pengetahuan, dan (iii) kesejahteraan negara sebagai tiga kekuatan
penting, antara lain, untuk perubahan dalam pendidikan tinggi (Schugurensky,
2003). Globalisasi mengarah pada munculnya ekonomi pengetahuan, di mana
pentingnya teknologi informasi dan manajemen pengetahuan menjadi lebih
penting daripada modal dan tenaga kerja. Globalisasi juga menyebabkan
intensifikasi arus transnasional informasi, komoditas, dan modal di seluruh
dunia. Hal itu, pada gilirannya, membuat produksi dan penyebaran pengetahuan
semakin menjadi komoditas. Sejalan dengan awal globalisasi, semakin banyak
kesejahteraan negara mengadopsi ideologi neoliberal yang diarahkan untuk
mempromosikan daya saing ekonomi internasional melalui pengurangan
pengeluaran sosial, deregulasi ekonomi, penurunan pajak modal, privatisasi dan
fleksibilitas tenaga kerja (Novelli and Ferus-Comelo, 2010). Semua kekuatan
ini tersirat dalam restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di seluruh dunia
(Peters, Marshall and Fitzsimons, 2000; Mok and Welch, 2003). Dampak dari
kekuatan-kekuatan ini pada perubahan ke pendidikan tinggi terwujud dalam
restrukturisasi drastis sistem pendidikan tinggi, di mana nilai-nilai, seperti
akuntabilitas, daya saing, devolusi, nilai uang, efektivitas biaya, manajemen
perusahaan, jaminan kualitas, indikator kinerja, dan privatisasi ditekankan (Mok
and Welch, 2003; Ngok K. and Kwong, 2003).

Meskipun bangsa-bangsa sangat beragam dalam karakteristik sosial, politik,
budaya dan ekonomi mereka, apa yang mencolok adalah kesamaan besar dalam
lingkup dan kedalaman restrukturisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara umum, sebagian besar perubahan ini merupakan ekspresi dari pengaruh
pasar dan pemerintah yang lebih besar terhadap sistem di pendidikan tinggi. Inti
dari perubahan ini adalah redefinisi hubungan antara pendidikan tinggi, negara,
dan pasar (Schugurensky, 2003). Currie telah mampu mengidentifikasi tren
tertentu dalam restrukturisasi pendidikan tinggi, dalam praktik globalisasi. Tren
ini memiliki implikasi penting bagi perkembangan sistem pendidikan tinggi di
negara lain di era globalisasi ini (Currie, 1998).

124 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Tren tersebut antara lain (Currie, 1998):

1. Pergeseran dari pendidikan tinggi elit ke massa,

2. Privatisasi pendidikan tinggi,

3. Praktik manajerialisme perusahaan, dan

4. Penyebaran pendidikan transnasional.

Telah terjadi pergeseran dari pendidikan tinggi elit ke massa secara global,
didorong oleh fakta bahwa dalam ekonomi berbasis pengetahuan.
Meningkatnya pendapatan untuk tenaga kerja berpendidikan lebih tinggi
meningkatkan permintaan untuk pendidikan tinggi, mendorong pemerintah
untuk memperluas pendidikan tinggi (Carnoy, 2002; Maringe and Foskett,
2010). Dalam menghadapi keterbatasan sumber daya dan pesatnya perluasan
pendidikan tinggi, pemerintah telah dipaksa menuju privatisasi pendidikan
tinggi dan korporatisasi. Privatisasi adalah tren global lain dalam pendidikan
tinggi, yang berarti pengurangan tingkat ketentuan negara, dan sejalan dengan
itu, dorongan perluasan penyediaan swasta (Lee, 2000). Ideologi yang
mendasari privatisasi didasarkan pada keyakinan bahwa sektor publik tidak
efektif, tidak efisien, dan tidak fleksibel, sedangkan sektor swasta dianggap lebih
efektif, efisien, dan responsif terhadap perubahan cepat yang diperlukan di dunia
global. Dengan korporatisasi, pendidikan tinggi dijalankan seperti korporasi
bisnis. Pendekatan bisnis akan menghasilkan penghematan biaya keuangan;
peningkatan efisiensi administrasi; dan mempertahankan staf akademik melalui
penawaran remunerasi pasar yang kompetitif (Lee, 2000). Perubahan global
tersebut mencerminkan fakta bahwa institusi pendidikan tinggi semakin dituntut
untuk mengamankan dana tambahan dari sumber eksternal dan untuk
mengurangi ketergantungan pada pemerintah (Ngok K. and Kwong, 2003).
Sebuah fitur unik dari ekspansi yang cepat dari pendidikan tinggi adalah
munculnya program luar negeri yang ditawarkan oleh universitas asing.
Munculnya program terkait asing mencerminkan tren yang berkembang dari
pendidikan transnasional, yang berarti bahwa ada peningkatan volume
pendidikan tinggi yang disampaikan melintasi batas-batas nasional. Pendidikan
menjadi semakin dipengaruhi oleh komoditisasi. Dalam konteks global, batasan
tentang bagaimana, di mana, dan di bawah otoritas siapa pendidikan
dilaksanakan dan disertifikasi menjadi kurang jelas karena universitas
menginternasionalkan kampus, kurikulum, dan staf pengajarnya (Lee, 2000;
Maringe and Foskett, 2010).

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 125

Ada beberapa efek backwash yang dibuat dari arus global ini yaitu
restrukturisasi pendidikan tinggi akibat globalisasi. Pertama, ekspansi yang
cepat dalam pendidikan tinggi pasti dapat menyebabkan penurunan standar
akademik rata-rata dan kinerja lulusan. Kemungkinan definisi dan penetapan
kualitas akan menjadi hak prerogatif manajemen daripada profesional
akademik. Ketika universitas menjadi lebih terkorporatisasi, mereka akan lebih
terkait dengan pasar dan kurang untuk mengejar kebenaran. Intelektual akan
menjadi kurang penjaga pencarian kebenaran, dan administrator akan
mengambil peran dominan (Stromquist and Monkman, 2000). Dalam hal ini,
norma yang secara tradisional menjadi bagian dari kehidupan universitas
mungkin dipertanyakan.

10.6 Globalisasi dan Reformasi
Pendidikan di Sekolah

Sementara sistem pendidikan tinggi di seluruh dunia telah mengalami
restrukturisasi sebagai respon terhadap tantangan globalisasi, sistem pendidikan
sekolah mau tidak mau harus direformasi juga. Berdasarkan strategi yang
diadopsi dalam reformasi pendidikan sekolah yang diterapkan dalam konteks
globalisasi, telah mampu mengidentifikasi tiga model reformasi pendidikan
yang berbeda dan membuat perbedaan antara (Carnoy, 2002):

1. Reformasi yang didorong oleh daya saing,

2. Reformasi yang didorong, dan

3. Reformasi yang didorong oleh kesetaraan.

Didorong oleh daya saing reformasi adalah dilaksanakan dalam rangka
meningkatkan daya saing suatu negara di pasar dunia dan strategi utama
termasuk desentralisasi, sentralisasi, ditingkatkan pengelolaan sumber daya
pendidikan dan peningkatan rekrutmen guru dan pelatihan. Reformasi yang
didorong oleh keuangan terdiri dari privatisasi, pergeseran pendanaan publik
dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah, dan
pengurangan biaya per siswa sebagai strategi utama, sementara reformasi yang
didorong oleh kesetaraan sering ditargetkan pada kelompok-kelompok yang
diabaikan atau lebih terpengaruh oleh konsekuensi dari program penyesuaian
struktural. Setiap negara akan berbeda dalam mengadopsi model reformasi

126 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

pendidikan ini pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil sesuai dengan
situasi keuangan, budaya dan interpretasi globalisasi mereka. Meskipun masing-
masing negara memiliki persepsi globalisasi yang berbeda-beda dan
mengadopsi berbeda strategi dalam reformasi pendidikan di sekolah, namun
dapat menjadi acuan untuk menggunakan strategi dalam merestrukturisasi dan
desentralisasi pendidikan tinggi. Argumen utama untuk desentralisasi berasal
dari asumsi bahwa peningkatan fleksibilitas dan kontrol memungkinkan
kesesuaian yang lebih baik antara metode pendidikan dan siswa yang dilayani,
serta akuntabilitas yang lebih besar untuk hasil pendidikan. Desentralisasi
berperan dalam reformasi yang dapat meningkatkan produktivitas dalam
pendidikan dan dengan demikian memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa (Pang, 2014).

10.7 Implikasi untuk Penelitian dan
Pengembangan Lebih Lanjut

Meskipun masih belum ada konseptualisasi globalisasi yang diterima secara
universal, apa yang kita sebut “globalisasi” telah membawa banyak dan
perubahan besar pada kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik bangsa
serta perubahan dalam pendidikan (Pang, 2006). Globalisasi tampaknya
mengarah pada beberapa kecenderungan homogenisasi, tetapi juga membuka
ruang bagi identitas baru dan menentang nilai dan norma yang sudah mapan
(Stromquist and Monkman, 2000). Arus informasi dan budaya global serta
penyebaran teknologi baru yang cepat memiliki konsekuensi yang sangat besar
bagi pendidikan. Globalisasi mungkin memerlukan penerapan konsep
persaingan, pasar, pilihan, desentralisasi dan privatisasi pada pendidikan, yaitu,
infiltrasi lebih lanjut oleh kekuatan bisnis ke dalam pendidikan. Globalisasi juga
mengarah pada peningkatan komoditisasi pendidikan dan membuat pendidikan
berkualitas hanya dapat diakses oleh elemen elit masyarakat yang mampu
(Kellner, 2000). Globalisasi pendidikan mungkin melibatkan pengistimewaan
Barat, sebagian besar khususnya bahasa Inggris, budaya di satu dunia. Jelaslah
bahwa di banyak tempat, globalisasi telah menyebabkan ketimpangan ekonomi
dan sosial yang lebih besar; dan bahwa akses pendidikan, meskipun diperluas,
juga menjadi semakin tidak merata kualitasnya. Desentralisasi dan privatisasi
pendidikan yang lebih besar pada umumnya tidak meningkatkan kesetaraan

Bab 10 Pendidikan dalam Era Globalisasi 127

dalam layanan pendidikan, melainkan lebih mengarah pada ketimpangan
(Carnoy, 2002).

Terdapat pemahaman dikotomis globalisasi dalam literatur, misalnya (Burbules
and Torres, 2000):

1. Hubungan antara global dan lokal;
2. Antara globalisasi yang dipandang sebagai kecenderungan menuju

homogenisasi seputar norma dan budaya barat dan globalisasi
dipandang sebagai era peningkatan kontak antara beragam budaya,
yang mengarah pada peningkatan hibridisasi dan kebaruan; dan
3. Antara materi dan efek retoris globalisasi.

Ada juga pertanyaan apakah globalisasi menyebabkan perkembangan atau
perpecahan dalam pendidikan, dan sampai sejauh mana? (Mok and Welch,
2003). Pertanyaan apakah globalisasi dalam berbagai manifestasinya, buruk
atau baik untuk pendidikan, sebagian besar masih belum terjawab.

Ada catatan dikotomis globalisasi dalam literatur, misalnya (Burbules and
Torres, 2000; Suárez-Orozco and Qin-Hilliard, 2004):

1. Hubungan antara global dan lokal;
2. Antara globalisasi yang dipandang sebagai tren menuju homogenisasi

seputar norma dan budaya barat dan globalisasi dipandang sebagai era
peningkatan kontak antara beragam budaya, yang mengarah pada
peningkatan hibridisasi dan kebaruan; dan
3. Antara materi dan efek retoris globalisasi.

Penelitian lebih lanjut tentang isu kontroversial harus terus dilakukan, selama
globalisasi terus memengaruhi pendidikan. Tantangan ke depan untuk
penelitian tentang globalisasi dalam Pendidikan bukan hanya apakah kemajuan
sedang dibuat, tetapi apakah itu dibuat dengan cukup cepat, akurat dan
berdampak positif bagi perkembangan pendidikan yang dapat memperbaiki
kualitas sumber daya manusia, yaitu manusia yang terdidik dan kompeten di
segala bidang.

128 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Daftar Pustaka

Abdillah, Leon A. (2020). “Human Capital Management,” Medan: Yayasan
Kita Menulis.

Albloush, A. (2020) ‘Impact of Organizational Citizenship Behavior on Job
Performance in Jordan: The Mediating Role of Perceived Training
Opportunities’, International Journal of Psychosocial Rehabilitation.
Hampstead Psychological Associates, pp. 5584–5600. doi:
10.37200/ijpr/v24i5/pr2020264.

Ambita, A. (2013). ”Pengaruh Pendidikan, Pelatihan, Dan Pembinaan Sumber
Daya Manusia Terhadap Kinerja Pegawai”. Management Analysis
Journal, 2(2).

Amin, W. T. (2012). Manajemen: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Antes, A. L., Mart, A. and DuBois, J. M. (2016) ‘Are leadership and
management essential for good research? An interview study of genetic
researchers’, Journal of Empirical Research on Human Research Ethics,
11(5), pp. 408–423.

Arjoni, A. and Handayani, T. (2017) ‘Peran Madrasah dalam Menangkal
Dampak Negatif Globalisasi terhadap Perilaku Remaja’, JIP: Jurnal Ilmiah
PGMI, 3(1), pp. 1–14. doi: 10.19109/jip.v3i1.1373.

Arni, M. (2001) Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Avolio, B. J. et al. (2004) ‘Transformational leadership and organizational
commitment: Mediating role of psychological empowerment and
moderating role of structural distance’, Journal of Organizational
Behavior: The International Journal of Industrial, Occupational and
Organizational Psychology and Behavior, 25(8), pp. 951–968.

Ayu, K, S., Ani, S, Nurul, H., Ibrahim, K, R., Ulil, A, R. (2015) ‘Efektifitas
Penggunaan Game HOM ( Hose Of MBTI) Sebagai Alat Test Kepribadian
Pada Remaja’. Semarang: Artikel Ilmiah Universitas Diponegoro.

130 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Banjaŕnahor, A. R. et al. (2021) Manajemen Komunikasi Pemasaran. Yayasan
Kita Menulis.

Bass BM, and Riggio RE. (2006). Transformational Leadership. Mahwah:
Lawrence Erlbaum.

Bass, B. M. and Stogdill, R. M. (1990) Bass & Stogdill’s handbook of
leadership: Theory, research, and managerial applications. Simon and
Schuster.

Bates, R. (2002) ‘Administering the Global Trap: The Role of Educational
Leaders’, Educational Management & Administration, 30(2), pp. 139–
156. Available at:
https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02611X02030002506.

Batmomolin, d., (2003). Budaya Media,Bagaimana Pesona Media Elektronik.
Memberdaya Anda.. Ende, Nusa Inda: s.n.

Benardin, J. H & Russel, J. E. A. (1993). Human Resouce Management.
Singapore: Mc.Graw Hill, Inc.

Bennis, W. G. (1993) An invented life: Reflections on leadership and change.
Addison Wesley Publishing Company.

Blackmore, J. (2000) ‘Globalization, a useful concept for feminists rethinking
theory and strategies in education’, in In: N. C. Burbules & C. A. Torres
(Eds.) Globalization and education, Critical perspectives. London:
Routledge, pp. 133–155.

Blum, M. L., Naylor, Jack C and Naylor, James C (1968) Industrial psychology;
Its theoretical and social foundations. Harper & Row.

Boada-Cuerva, M., Trullen, J. and Valverde, M. (2019) ‘Top management: the
missing stakeholder in the HRM literature’, The International Journal of
Human Resource Management, 30(1), pp. 63–95.

Bocarejo S., J. P. and Oviedo H., D. R. (2012) ‘Transport accessibility and social
inequities: a tool for identification of mobility needs and evaluation of
transport investments’, Journal of Transport Geography. Elsevier Ltd, 24,
pp. 142–154. doi: 10.1016/j.jtrangeo.2011.12.004.

Burbules, N. C. and Torres, C. A. (2000) ‘An introduction to globalization and
education’, in In: N. C. Burbules & C. A. Torres (Eds.) Globalization and
education: critical perspectives. London: Routledge, pp. 1–26.

Daftar Pustaka 131

Bush, T., & Glover, D. (2016). School of Leadership and Management in South
Africa. International Journal of Educational Management, 30 (2), 211-231.

Capella, J. R. (2000) ‘Globalization, a fading citizenship’, in N. C. Burbules &
C. A. Torres (Eds.). Globalization and education: critical perspectives. 1st
Editio. London: Routledge, pp. 227–251. doi: 10.4324/9781315022642.

Carnoy, M. (1999) ‘Globalization and Educational Reform: What Planners
Need to Know’, in Fundamentals of Educational Planning. doi:
10.1016/s0272-7757(01)00023-1.

Carnoy, M. (2002) ‘Educational restructuring in the context of globalization and
national policy’, in Foreword. In: H. Daun (Ed.). New York: Routledge
Falmer.

Catchart, Jim (2002). Empowerment Checklist dalam handout Pelatihan
Manajemen SDM. Bandung. Humanis Asia Consulting

Chang, Y.-Y. (2016) ‘High-performance work systems, joint impact of
transformational leadership, an empowerment climate and organizational
ambidexterity: Cross level evidence’, Journal of Organizational Change
Management. 29 (3): pp. 424–444.

Cherrington, D. J. (1995). The Management of Human Resources, 4th Edition.
New Jersey: Prentice Hall Inc.

Chuang, C.-H., Jackson, S. E. and Jiang, Y. (2016) ‘Can knowledge-intensive
teamwork be managed? Examining the roles of HRM systems, leadership,
and tacit knowledge’, Journal of management, 42(2), pp. 524–554.

Cooke, F. L. et al. (2019) ‘Human resource management and industrial relations
in multinational corporations in and from China: Challenges and new
insights’, Human Resource Management, 58(5), pp. 455–471.

Currie, J. (1998) ‘Globalization practices and the professoraite in Anglo-Pacific
and North American universities’, Comparative Education Review, 42(1),
pp. 15–29.

Damanik, D. et al. (2021) Ekonomi Manajerial. Yayasan Kita Menulis.

Daryanto dan Bintoro. (2014). Manajemen Diklat. Yogyakarta: Gava Media.

Daun, H. (2002) Educational restructuring in the context of globalization and
national policy. New York; London: RoutledgeFalmer.

132 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Daun, H. and Strömqvist, G. (2011) Education and development in the context
of globalization. New York: Nova Science Publishers.

Dauvrin, M. and Lorant, V. (2015) ‘Leadership and cultural competence of
healthcare professionals: a social network analysis’, Nursing research,
64(3), pp. 200-210.

Denis, J.-L., Lamothe, L. and Langley, A. (2001) ‘The dynamics of collective
leadership and strategic change in pluralistic organizations’, Academy of
Management journal, 44(4), pp. 809–837.

Der Veer, Kees Van (2006). Communication and Human Resource
Management and its Compliance with Culture. International Journal of
Human and Social Sciences.

Dessler, Gary. (2015). “Manajemen Sumber Daya Manusia,” Jakarta: Salemba
Empat.

Dobos, Á. (2014) ‘Experiential learning for professional development in the
civil service’, Procedia-Social and Behavioral Sciences, 116, pp. 5085–
5090.

Dunn, J. (2006) ‘Strategic Human Resources and Strategic Organization
Development: an alliance for the future?’, Organization Development
Journal, 24(4). pp. 69-77.

Elizondo, E. S. (2016) ‘Morality is its own Reward’, Kantian Review, 21(3), pp.
343–365.

Forsyth, P. (2002) Persuasive Business Writing. Oxford: How To Books Ltd.

Garavan, T. N., O'Donnell, D., McGuire, D., & Watson, S. (2007) ‘Exploring
perspectives on human resource development: An introduction’. Sage
Publications Sage CA: Thousand Oaks, CA.

Green, A. (1997) ‘Education, Globalization and the Nation State’, Education,
Globalization and the Nation State, pp. 130–186. doi:
10.1057/9780230371132_8.

Guest, D. E. (2011) ‘Human resource management and performance: still
searching for some answers’, Human resource management journal, 21(1),
pp. 3–13.

Daftar Pustaka 133

Guskey, T. R. (2003) ‘Analyzing lists of the characteristics of effective
professional development to promote visionary leadership’, NASSP
bulletin, 87(637), pp. 4–20.

Halim, F. et al. (2021) Manajemen Pemasaran Jasa. Yayasan Kita Menulis.

Hallinger, P. and Chen, J. (2015) ‘Review of research on educational leadership
and management in Asia: A comparative analysis of research topics and
methods, 1995–2012’, Educational management administration &
leadership, 43(1), pp. 5–27.

Han, J. H., H. Liao, M. S. Taylor, and S. Kim. (2018) ‘Effects of high-
performance work systems on transformational leadership and team
performance: Investigating the moderating roles of organizational
orientations’, Human Resource Management, 57(5), pp. 1065–1082.

Handoko, T. H. (2001). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: BPFE.

Hanggraeni, D. (2012) Manajemen sumber daya manusia. Universitas
Indonesia Publishing.

Hardiyanto, T. (2020) ‘PROFITABILITAS DAN PELUANG
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA KELAPA DALAM
SISTEM AGRIBISNIS KELAPA ( Cocos nucifera L . ) ( Suatu Kasus Di
Desa Sukanagara Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis )
PENDAHULUAN Potensi sumber daya alam Indonesia sebagai karunia
Tuha’, Agritekh (Jurnal Agribisnis dan Teknologi Pangan, 1(1), pp. 46–
58.

Hardjana, A. M (2001). Training Sumber Daya Manusia yang Efektif.
Yogyakarta: Kanisius.

Hasan, N. A. (2018). “Pendidikan dan Pelatihan sebagai Upaya Peningkatan
Kinerja Pustakawan”. Libria, 10(1), 95-115.

Hasibuan, A. et al. (2021) Manajemen Logistik dan Supply Chain Management.
Yayasan Kita Menulis.

Herlintatia, F. H. J. and Akbar, M. F. (2019) ‘Peran Komunikasi Dalam
Pembangunan Sumber Daya Manusia’,. Jakarta: Prosiding Seminar
Nasional FISIP Universitas Lampung (SeFila) 3, ‘Agenda Baru

134 Komunikasi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pembangunan Indonesia Berbasis Local Knowledge’, Kamis, 8 Agustus
2019, Hotel Bukit Randu, Kota Bandarlampung, Indonesia.

Hermin, I. W., (2018). Kebijakan Media Baru di Indonesia (harapan dinamika
dan Capaian Kebijakan Media Baru di Indonesia. s.l.:s.n.

Hersey, P., Blanchard, K. H. and Natemeyer, W. E. (1979) ‘Situational
leadership, perception, and the impact of power’, Group & Organization
Studies, 4(4), pp. 418–428.

Hidayatullah, F. (2009) Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan
Cerdas. Cet. 2. Surakarta: Yuma Pustaka.

Hilal, M., Legras, S. and Cavailhès, J. (2017) ‘Peri-Urbanisation: Between
Residential Preferences and Job Opportunities’, Raumforschung und
Raumordnung, 76(2), pp. 133–147. doi: 10.1007/s13147-016-0474-8.

Ike, R. (2008) ‘Manajemen sumber daya manusia’, Yogyakarta: Andi.

Irwin, Harry. & More, Elizabeth. (1994). Managing corporate communication.
St. Leonards, N.S.W : Allen & Unwin

Iswarahadi, (2003). Beriman dengan bermedia.Yogyakarta: Kanisius: s.n.

James Jr, H. S. (2015) ‘Generalized morality, institutions and economic growth,
and the intermediating role of generalized trust’, Kyklos, 68(2), pp. 165–
196.

James, E. H. and Wooten, L. P. (2006) ‘Diversity crises: How firms manage
discrimination lawsuits’, Academy of Management Journal, 49(6), pp.
1103–1118.

Jaricha, M. & (2016) ‘Styles of Leadership in Institutions’, International Journal
of Business and Management Invention, 5(5), pp. 72–77.

Julyanthry, J. et al. (2020) Manajemen Produksi dan Operasi. Yayasan Kita
Menulis.

Kanki, B. G. (2019) ‘Communication and crew resource management’, in Crew
resource management. Elsevier, pp. 103–137.

Kasmir. (2016). “Manajemen Sumber Daya Manusia (Teori dan Praktik),”
Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Kato, I. et al. (2021) Manajemen Pembangunan Daerah. Yayasan Kita Menulis.

Daftar Pustaka 135

Kellner, D. (2000) ‘Globalization and new social movements: Lessons for
critical theory and pedagogy’, in In: N. C. Burbules & C. A. Torres (Eds.)
Globalization and education, critical perspectives. London: Routledge, pp.
299–321.

Kenny, D. A. and Zaccaro, S. J. (1983) ‘An estimate of variance due to traits in
leadership.’ Journal of Applied Psychology, 68, 678-685

Ketut Sudarsana, I. et al. (2020) ‘The existence of education and culture in
globalization era’, Journal of Advanced Research in Dynamical and
Control Systems, 12(6), pp. 731–739. doi:
10.5373/JARDCS/V12I6/S20201087.

Klein, A., Kiranda, Y., & Bafaki, R. (2016) ‘Concepts and Principles of
Democratic Governance and Accountability Pseudo Power Contestation
and Modelling in Indonesia’, JSP: Journal of Social and Political Sciences,
19(1), pp. 1–15.

Kolb, D. A. (1984) ‘Experience as the source of learning and development’,
Upper Sadle River: Prentice Hall.

Kotler, Philip & Armstrong, G. (1997). “Principles of Marketing (Jilid I, Edisi
Bahasa Indonesia),” Jakarta: Prenhallindo.

Kreitner, R., & Kinicki, A. (2014). Organizational Behavior. Jakarta: Four
Salemba.

Kurniullah, A. Z. et al. (2021) Kewirausahaan dan Bisnis. Yayasan Kita
Menulis.

Kusreni, S. (2009) ‘Pengaruh Perubahan Struktur Ekonomi terhadap
Spesialisasi Sektoral dan Wilayah serta Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral
Untuk Daerah Perkotaan Di Jawa Timur’, Majalah Ekonomi, (1), pp. 20–
31.

Kuswandi, S. et al. (2021) Manajemen Aset dan Pengadaan. Yayasan Kita
Menulis.

Lau, W. K., Li, Z. and Okpara, J. (2020) ‘An examination of three-way
interactions of paternalistic leadership in China’, Asia Pacific Business
Review, 26(1), pp. 32–49.

Lee, M. N. N. (2000) ‘The impacts of globalization on education in Malaysia’,
in In: N. P. Stromquist & K. Monkman (Eds.) Globalization and education:


Click to View FlipBook Version