44 Bab 2 Knowledge Management Models
dibagikan dalam pekerjaan mereka atau tertanam dalam teknologi.
Pengetahuan pribadi adalah bentuk pengetahuan yang paling tidak
mudah diakses tetapi paling lengkap. Ini biasanya lebih diam-diam
daripada eksplisit dan digunakan secara tidak sadar dalam pekerjaan,
bermain, dan kehidupan sehari-hari.
Tabel 2.2 Bentuk Pengetahuan Wiig KM Matrix
Selain tiga bentuk utama pengetahuan (pribadi, publik, dan
bersama), Wiig (1993) mendefinisikan empat jenis pengetahuan:
faktual, konseptual, harapan, dan metodologis. Pengetahuan faktual
berkaitan dengan data dan rantai sebab akibat, pengukuran, dan
bacaan—biasanya, konten yang dapat diamati secara langsung dan
dapat diverifikasi. Pengetahuan konseptual melibatkan sistem,
konsep, dan perspektif (mis., Konsep rekam jejak, pasar bullish).
Pengetahuan ekspektasi menyangkut penilaian, hipotesis, dan
ekspektasi yang dipegang oleh para knowers. Contohnya adalah
intuisi, firasat, preferensi, dan heuristik yang kami gunakan dalam
pengambilan keputusan. Akhirnya, pengetahuan metodologis
berkaitan dengan alasan, strategi, metode pengambilan keputusan,
dan teknik lainnya. Contohnya adalah belajar dari kesalahan masa
lalu atau perkiraan berdasarkan analisis tren.
Kekuatan utama dari model Wiig adalah, meskipun telah
diformulasikan pada tahun 1993, pendekatan terorganisir untuk
mengkategorikan jenis pengetahuan yang akan dikelola tetap
Bab 2 Knowledge Management Models 45
merupakan model teoritis knowledge management yang kuat. Model
Wiig knowledge management mungkin yang paling pragmatis dari
model yang ada saat ini dan dapat dengan mudah diintegrasikan
ke salah satu pendekatan lain. Model ini memungkinkan praktisi
untuk mengadopsi pendekatan yang lebih terperinci atau jelas untuk
mengelola pengetahuan berdasarkan pada jenis pengetahuan tetapi
melampaui dikotomi sederhana/eksplisit. Kelemahan utamanya
adalah kurangnya penelitian dan/atau pengalaman praktis yang
melibatkan implementasi model ini.
5. The Boisot I-Space KM Model (1998)
Model Boisot KM didasarkan pada konsep kunci dari “informasi
yang baik”yang berbeda dari aset fisik. Boisot membedakan informasi
dari data dengan menekankan bahwa informasi adalah apa yang akan
diambil oleh pengamat dari data sebagai fungsi dari harapannya atau
pengetahuan sebelumnya. Pergerakan efektif dari barang informasi
sangat tergantung pada pengirim dan penerima yang berbagi skema
atau bahasa pengkodean yang sama. Pengetahuan yang baik adalah
sesuatu yang juga memiliki konteks di mana ia dapat ditafsirkan.
Berbagi pengetahuan yang efektif mensyaratkan bahwa pengirim
dan penerima berbagi konteks serta skema pengkodean. Boisot
(1998) mengusulkan dua poin utama berikut: 1. Semakin mudah
data disusun dan dikonversi menjadi informasi, semakin difusif
jadinya. 2. Semakin sedikit data yang terstruktur membutuhkan
konteks bersama untuk difusi, semakin menjadi difusibel (Boisot,
2011)Bersama-sama, mereka mendukung kerangka kerja konseptual
sederhana, Ruang Informasi atau model KM-Ruang-I. Data
terstruktur dan dipahami melalui proses kodifikasi dan abstraksi.
Kodifikasi mengacu pada pembuatan kategori konten semakin sedikit
jumlah kategorinya, semakin abstrak skema kodifikasi. Diasumsikan
bahwa konten abstrak yang terkodifikasi dengan baik jauh lebih
mudah dipahami dan diterapkan daripada konten yang sangat
kontekstual. Model KM Boisot membahas bentuk pengetahuan
diam-diam dengan mencatat bahwa dalam banyak situasi, hilangnya
konteks karena kodifikasi dapat mengakibatkan hilangnya konten
46 Bab 2 Knowledge Management Models
yang berharga. Konten ini membutuhkan konteks bersama untuk
interpretasinya dan menyiratkan interaksi tatap muka dan kedekatan
spasial yang analog dengan sosialisasi dalam model Nonaka dan
Takeuchi (1995). Model I-Space dapat divisualisasikan sebagai
kubus tiga dimensi dengan dimensi berikut (lihat Gambar 2.6): (1)
dikodifikasikan tidak dikodifikasikan; (2) abstrak konkret; dan (3)
tersebar tidak terurai. Kegiatan kodifikasi, abstraksi, difusi, absorpsi,
pengaruh, dan pemindaian semua berkontribusi pada pembelajaran.
Di mana mereka terjadi secara berurutan dan sampai batas tertentu
mereka harus bersama-sama mereka membentuk enam fase siklus
pembelajaran sosial.
Gambar 2.6 KM Model The Boisot I-Space
Model Boisot menggabungkan landasan teoritis pembelajaran
sosial dan berfungsi untuk menghubungkan konten, informasi,
dan manajemen pengetahuan secara efektif. Dalam arti perkiraan,
dimensi kodifikasi terkait dengan kategorisasi dan klasifikasi; dimensi
abstraksi terkait dengan penciptaan pengetahuan melalui analisis
dan pemahaman; dan dimensi difusi ketiga terkait dengan akses
dan transfer informasi. Ada potensi kuat untuk menggunakan
model Boisot I-Space KM untuk memetakan dan mengelola aset
pengetahuan organisasi sebagai siklus pembelajaran sosial sesuatu
yang tidak ditangani secara langsung oleh model KM lainnya. Namun,
model Boisot tampaknya agak kurang dikenal dan kurang dapat
diakses, dan sebagai hasilnya belum memiliki implementasi yang luas.
Pengujian lapangan yang lebih luas dari model ini akan memberikan
Bab 2 Knowledge Management Models 47
umpan balik mengenai penerapannya serta lebih banyak pedoman
tentang cara terbaik untuk menerapkan pendekatan I-Space.
6. Complex Adaptive System Models of Knowledge Management
Model knowledge management ICAS (Intelligent Complex
Adaptive Systems) memandang organisasi sebagai sistem adaptif
dan kompleks. Model-model ini berisi serangkaian fungsi yang
menjamin kelangsungan hidup sistem kehidupan secara umum dan
organisasi, khususnya. Sistem ICAS didasarkan pada prinsip-prinsip
sibernetika, yang menggunakan mekanisme komunikasi dan kontrol
untuk memahami, mendeskripsikan, dan memprediksi apa yang
harus dilakukan organisasi yang layak. Sistem adaptif mengandung
banyak agen independen yang berinteraksi (Boisot, 2011). Perilaku
mereka memungkinkan munculnya beberapa fenomena adaptasi
yang kompleks. Tidak ada otoritas umum untuk mengatur cara
agen-agen ini bekerja. Model umum dari perilaku yang kompleks
akan menjadi hasil dari semua interaksi. Bennet menggambarkan
pendekatan manajemen pengetahuan, menggunakan sistem ICAS
sebagai titik awal. Dianggap bahwa birokrasi tradisional tidak cukup
untuk memberikan kohesi yang diperlukan untuk kelangsungan
hidup organisasi. Diusulkan model baru (Bennet) di mana organisasi
dianggap sebagai sistem yang ditemukan dalam hubungan simbiosis
dengan lingkungannya. Model Bennet didasarkan pada sejumlah
subsistem yang berinteraksi dan berkembang untuk menghasilkan
sebuah perusahaan teknologi maju dan cerdas. Di dalam model
adaptif, komponen cerdas dibuat dari orang-orang yang mengatur
diri sendiri, tetapi yang dapat tetap menjadi bagian dari hierarki
umum organisasi. Tantangannya adalah menggunakan keuntungan
yang diberikan oleh kekuatan rakyat ketika mereka bekerja sama,
menjaga rasa persatuan global.
Organisasi menciptakan opsi dalam memecahkan
permasalahannya yaitu, menggunakan sumber daya baik internal
maupun eksternal yang dapat menambah nilai dari input awal. Jadi,
pengetahuan menjadi sumber daya yang paling berharga karena itu
adalah satu-satunya yang dapat membantu dalam konteks di mana
48 Bab 2 Knowledge Management Models
ketidakpastian ada. Ini adalah salah satu kriteria yang dengannya
kita dapat membedakan antara informasi manajemen (reaksi yang
dapat diprediksi terhadap situasi yang diketahui dan situasi yang
diantisipasi) dari manajemen pengetahuan (menggunakan reaksi baru
untuk situasi yang tidak diantisipasi). Penulis dapat mengintisarikan
proses utama dalam model Bennet sebagai berikut: 1. Memahami 2.
Menciptakan ide-ide baru 3. Memecahkan masalah 4. Mengambil
keputusan 5. Mengikuti tindakan untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Karena orang dapat mengambil keputusan akhir dan
memenuhi tindakan, model ini menekankan pentingnya orang
tersebut: kompetensi dan kapasitas belajar. Menurut model ini,
untuk bertahan hidup, organisasi memerlukan delapan karakteristik:
kecerdasan organisasi, tujuan bersama, selektivitas, kompleksitas
optimal, batas terbuka, pemusatan pengetahuan, aliran optimal, dan
multidimensi untuk situasi yang relevan.
Dalam konteks model ICAS, mengungkapkan kapasitas
organisasi untuk memahami, menafsirkan, dan merespons
lingkungan sedemikian rupa sehingga memungkinkan mencapai
tujuan yang diinginkan. Kompleksitas optimal diwakili oleh
keseimbangan yang benar antara kompleksitas internal dan
lingkungan eksternal. Selektivitas mengacu pada evolusi konten,
salah satu karakteristik yang bertentangan dengan pendekatan yang
didasarkan pada gudang data. Selektif berarti menyaring informasi
input yang berasal dari lingkungan eksternal. Penyaringan yang baik
membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang organisasi,
pengetahuan khusus tentang klien dan pemahaman yang sangat
baik tentang tujuan strategis. Pemusatan pengetahuan mengarah
pada agregasi informasi setelah pengorganisasian diri, kolaborasi
dan penyelarasan strategis. Aliran informasi akan mengaktifkan
pengembangan pengetahuan dan akan memfasilitasi koneksi dan
kesinambungan yang diperlukan untuk menjaga kesatuan dan
koherensi kecerdasan organisasi. Multidimensionality membawa
fleksibilitas organisasi yang memastikan fakta bahwa staf
memiliki kompetensi, perspektif dan kemampuan kognitif untuk
Bab 2 Knowledge Management Models 49
menyelesaikan masalah. Penulis menyimpulkan dengan mengatakan
bahwa ada empat cara untuk model ICAS untuk menggambarkan
manajemen pengetahuan organisasi: kreativitas (generasi ide-ide
baru, perspektif, pemahaman, produk bangunan, definisi layanan),
pemecahan masalah, proses pengambilan keputusan, implementasi
yang berbeda.
Organizational Intelligence
Shared Multidimensionality Knowledge Optimum
Purpose Centricity Complexity
Selectivity Flow
Permeable Boundaries
Creativity Complexity Change
Gambar 2.7 Overview Of The Icas Model
7. The European Foundation for Quality Management (EFQM) KM
Model
Model Keunggulan EFQM diperkenalkan pada awal tahun 1992
sebagai kerangka kerja untuk menilai aplikasi untuk The European
Quality Award. Ini adalah kerangka kerja organisasi yang banyak
digunakan di Eropa dan telah menjadi dasar untuk serangkaian
penghargaan kualitas nasional dan regional. Model EFQM digunakan
sebagai sistem manajemen yang mendorong disiplin penilaian diri
organisasi (EFQM, 2017). Model Keunggulan EFQM adalah alat
praktis untuk membantu organisasi melakukan ini dengan mengukur
di mana mereka berada di jalur menuju keunggulan; membantu
mereka memahami kesenjangan; dan menstimulasi solusi. Ini berlaku
untuk organisasi terlepas dari ukuran dan struktur, dan sektor.
Penilaian diri memiliki penerapan luas pada organisasi besar dan
50 Bab 2 Knowledge Management Models
kecil, di sektor publik maupun swasta. Keluaran dari penilaian sendiri
dapat digunakan sebagai bagian dari proses perencanaan bisnis dan
model itu sendiri dapat digunakan sebagai dasar untuk tinjauan
operasional dan proyek (EFQM, 2017).
Model EFQM adalah kerangka kerja non-preskriptif yang
mengakui ada banyak pendekatan untuk mencapai keunggulan
berkelanjutan. Dalam pendekatan ini ada beberapa konsep dasar
yang menopang model EFQM. Namun, konsep-konsep ini tidak
diperbaiki. Diterima bahwa mereka akan berubah dari waktu ke
waktu seiring dengan berkembangnya organisasi yang sangat baik
dan lebih baik. Konsep indikatif saat ini tercantum di bawah ini:
• Orientasi Hasil-Keunggulan adalah mencapai hasil yang
mengesankan semua pemangku kepentingan organisasi.
• Fokus Pelanggan-Keunggulan adalah menciptakan nilai
pelanggan yang berkelanjutan.
• Kepemimpinan & Keteguhan Tujuan-Keunggulan adalah
kepemimpinan visioner dan inspirasional, ditambah dengan
tujuan.
• Manajemen oleh Proses & Fakta - Keunggulan adalah mengelola
organisasi melalui serangkaian sistem, proses, dan fakta yang
saling terkait dan saling terkait.
• Pengembangan & Keterlibatan Orang-Keunggulan adalah
memaksimalkan kontribusi karyawan melalui pengembangan
dan keterlibatan mereka.
• Pembelajaran Berkelanjutan, Inovasi & Peningkatan-Keunggulan
menantang status quo dan melakukan perubahan dengan
menggunakan pembelajaran untuk menciptakan inovasi dan
peluang peningkatan.
• Pengembangan Kemitraan-Keunggulan mengembangkan dan
mempertahankan kemitraan yang menambah nilai.
• Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Keunggulan melampaui
kerangka peraturan minimum di mana organisasi beroperasi
dan berusaha untuk memahami dan menanggapi harapan
Bab 2 Knowledge Management Models 51
para pemangku kepentingan mereka di masyarakat (European
Foundation for Quality Management, 2012).
Kerangka Model EFQM Excellence didasarkan pada sembilan
kriteria. Lima di antaranya adalah Enablers dan empat adalah ‘Hasil’.
Kriteria ‘Enabler’ mencakup apa yang dilakukan organisasi. Kriteria
‘Hasil’ mencakup apa yang dicapai organisasi. Hasil ‘disebabkan oleh’
Enablers ‘dan umpan balik dari’ Hasil ‘membantu meningkatkan’
Enablers‘. Model ini mengakui ada banyak pendekatan untuk
mencapai keunggulan berkelanjutan dalam semua aspek kinerja
(Para-gonzález, Jiménez-jiménez and Martínez-lorente, 2015)2009.
E. Kesimpulan
Model knowledge management membantu kita untuk memahami
tingkatan pengetahuan maupun manajemen pengetahuan dalam
mengakses informasi pada kehidupan bermasyarakat maupun
berorganisasi. Model-model ini melengkapi pendekatan analisis
konsep yang koheren dari proses yang didorong oleh pengetahuan
bagi kemampuan inisiatif individu untuk mengatasi tujuan bisnis yang
strategis dalam menghadapi maupun menyelesaikan semua masalah
organisasi. Model-model ini membantu kita untuk memahami
apa yang terjadi di masa sekarang (apa yang telah kita dapatkan
sejauh ini) dan menawarkan cara untuk memahami apa yang akan
terjadi (perkiraan) mensintesis yang disajikan model manajemen
pengetahuan pada bab ini, penulis dapat menyimpulkan beberapa
elemen-elemen utama dari model-model knowledge management
pada bab ini, antara lain:
1. Model Krogh dan Roos mengikuti pendekatan epistemologis
dan menekankan ide pengetahuan yang dapat ditemukan baik
dalam pikiran individu maupun dalam hubungan antar pribadi.
2. Model Nonaka/Takeuchi berpusat pada spiral pengetahuan,
yang dapat menjelaskan secara diam-diam transformasi
pengetahuan dalam pengetahuan eksplisit, jenis pengetahuan
ini dapat dipertimbangkan sebagai landasan untuk pembelajaran
dan inovasi, individu, kelompok dan organisasi.
52 Bab 2 Knowledge Management Models
3. Model Choo/Weick mengadopsi pendekatan yang digunakannya
untuk mendefinisikan indera oleh menganalisis cara bagaimana
elemen informasi ditemukan dalam tindakan organisasi.
4. Model Wiig sebagian besar didasarkan pada prinsip yang
menyatakan bahwa pengetahuan hanya dapat bermanfaat ketika
diatur menggunakan jaringan semantik, untuk memastikan
perspektif dan tujuan.
5. Model Boisot menggabungkan landasan teoritis pembelajaran
sosial dan berfungsi untuk menghubungkan konten, informasi,
dan manajemen pengetahuan secara efektif.
6. Model adaptif atau ICAS (Intelligent Complex Adaptive
Systems) sangat cocok untuk memodelkan proses manajemen
pengetahuan, karena organisasi diperlakukan sebagai organisme
hidup yang peduli dengan independen keberadaan dan yang
berkaitan dengan bertahan hidup di hampir setiap saat. Bir/
Bennet menerapkan model ini untuk menggambarkan kohesi
dan tekanan yang dimanifestasikan lebih dari sistem ICAS.
7. Model EFQM adalah kerangka kerja yang digunakan sebagai
sistem manajemen yang mendorong disiplin penilaian diri
organisasi dalam pendekatan ini ada beberapa konsep dasar
yang menopang model EFQM.
Daftar Pustaka
Ackoff, R. . (1999) ‘Ackoff’s best: His classic writings on management’,
getcitedorg. doi: 10.1016/S0377-2217(00)00161-2.
Bawden, D. (2009a) ‘Perspectives on Knowledge Management’,
Journal of the American Society for Information Science and
Technology, p. n/a-n/a. doi: 10.1002/asi.21196.
Bawden, D. (2009b) ‘Perspectives on Knowledge Management’,
Journal of the American Society for Information Science and
Technology. doi: 10.1002/asi.21196.
Bhatt, D. (2000) ‘Excellence Model and Knowledge Management
Implications’, 2000. doi: http://www.eknowledgecenter.com/
articles/1010/1010.htm.
Bab 2 Knowledge Management Models 53
Boisot, M. H. (2011) Knowledge Assets, Knowledge Assets. doi:
10.1093/acprof:oso/9780198296072.001.0001.
Choo, C. W. (1996) ‘The knowing organization: How organizations
use information to construct meaning, create knowledge and
make decisions’, International Journal of Information Management.
doi: 10.1016/0268-4012(96)00020-5.
Dalkir, K. (2013) ‘Knowledge management in theory and practice’,
Knowledge Management in Theory and Practice, pp. 1–356. doi:
10.4324/9780080547367.
Davenport, T. and Prusak, L. (2000) ‘Working knowledge: Managing
what your organization knows’, Harvard Business School Press.
doi: 10.1145/348772.348775.
Debowski, S. (2006) ‘Knowledge Management: A Strategic
Management Perspective’, Australia: John Wiley &.
Drucker, P. F. (2018) The Essential Drucker, The Essential Drucker. doi:
10.4324/9780080939322.
EFQM (2017) European Foundation for Quality Management, About us.
European Foundation for Quality Management (2012) EFQM Model,
EFQM News.
Gamble, P. R. and Blackwell, J. (2001) Knowledge Management: A
State of the Art Guide, Knowledge Creation Diffusion Utilization.
Garcia-Valdecasas, M. (2015) ‘Knowledge Management and the
Philosophical Value of Knowledge’, in Sison, A. J. G. (ed.) Handbook
of Virtue Ethics in Business and Management. Dordrecht: Springer
Netherlands, pp. 1–11. doi: 10.1007/978-94-007-6729-4_126-
1.
Haslinda, a. and Sarinah, A. (2009) ‘A Review of Knowledge
Management Models Haslinda, A. 1 Sarinah, A. 2’, The Journal
of International Social Research, 2(9), p. 12.
International Telecommunications Union (2017) ICT facts and figures
2017, ITU. doi: 10.1787/9789264202085-5-en.
Jennex, M. E. and Olfman, L. (2006) ‘A Model of Knowledge
Management Success’, International Journal of Knowledge
Management (IJKM). doi: 10.4018/jkm.2006070104.
54 Bab 2 Knowledge Management Models
von Krogh, G. and Roos, J. (1995) ‘A perspective on knowledge,
competence and strategy’, Personnel Review. doi:
10.1108/00483489510089650.
Kurniullah, A. Z. (2020) ‘Visual Industry, Visual Culture and New
Phase of Modern Human Civilization in Indonesian Studies’,
Asian Research Journal of Arts & Social Sciences, 10(3), pp. 11–23.
doi: 10.9734/arjass/2020/v10i330147.
Nonaka, I. and Takeuchi, H. (1995) ‘Theory of Organizational
Knowledge Creation.’, Knowledge-Creating Company.
Para-gonzález, L., Jiménez-jiménez, D. and Martínez-lorente, Á. R.
(2015) ‘The Importance of Intellectual Capital in the EFQM
Model of Excellence’, European Conference on Intellectual Capital.
Pauleen, D. J. (2017) ‘Davenport and Prusak on KM and big data/
analytics: interview with David J. Pauleen’, Journal of Knowledge
Management. doi: 10.1108/JKM-08-2016-0329.
Sensuse, D. I. and Cahyaningsih, E. (2017) ‘Knowledge Management
Models’, International Journal of Information Systems in the Service
Sector, 10(1), pp. 71–100. doi: 10.4018/ijisss.2018010105.
Shields, R. (2001) ‘The New “Knowledge Speak”: the implications of
contested definitions of knowledge and information’, Australasian
Journal of Information Systems. doi: 10.3127/ajis.v8i2.250.
Simon, H. A. and Newell, A. (1958) ‘Heuristic Problem Solving: The
Next Advance in Operations Research’, Operations Research. doi:
10.1287/opre.6.1.1.
Toffler, A. (2009) Alvin Toffler and The Third Wave, The Masters Forum.
Weick, K. and Sutcliffe, K. (2001) ‘Managing the unexpected: Assuring
high performance in an age of uncertainty’, San Francisco: Wiley.
Wiig, K. M. (1997) ‘Knowledge Management: An Introduction
and Perspective’, Journal of Knowledge Management. doi:
10.1108/13673279710800682.
BAB 3
KNOWLEDGE SHARING DALAM ORGANISASI
Oleh:
I Wayan Edi Arsawan
Politeknik Negeri Bali
[email protected]
A. Pendahuluan
Manajemen pengetahuan adalah koordinasi secara sistematis
antara individu, teknologi, proses, dan struktur organisasi untuk
menciptakan dan menambah nilai organisasi melalui optimalisasi aset
pengetahuan (Ayanbode, 2020). Lebih lanjut, (Sadeghi Boroujerdi,
Hasani and Delshab, 2019) mengaitkan knowledge management
dengan penataan dan akses ke pengalaman, pengetahuan dan
keterampilan yang menciptakan kemampuan baru, mengaktifkan
kinerja tinggi, mendorong inovasi (produk, proses dan metode) dan
meningkatkan nilai pelanggan. Dalam perkembangannya, manajemen
pengetahuan telah diteliti dan diakui sebagai sumber keunggulan
kompetitif karena merupakan alat organisasi dalam meningkatkan
kreativitas, inovasi, produktivitas, kinerja dan reputasi organisasi
(Kim and Lee, 2013). Artinya, organisasi yang mampu memetakan
pengetahuan intra dan ekstra akan mampu membangun kreativitas
karyawan, melakukan inovasi dan membangun budaya dan kinerja
inovasi, peka terhadap perubahan dan tidak takut menghadapi
turbulensi bisnis yang tinggi.
Salah satu konsep penting dalam manajemen pengetahuan
adalah knowledge sharing yang merupakan bagian penting dari
usaha organisasi dalam memberikan penghargaan terhadap
modal intelektual. Knowledge sharing adalah proses pemindahan
keterampilan dan kemampuan antar karyawan dalam rangka
meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan manfaat dan kinerja
organisasi yang berdampak pada kesuksesan, keberlanjutan dan daya
55
56 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
saing organisasi. Menurut Park and Kim (2018) berbagi pengetahuan
dapat dilihat sebagai penyediaan atau penerimaan informasi tugas,
umpan balik dan pengetahuan untuk membantu dan berkolaborasi
dengan orang lain dalam pemecahan masalah, mengembangkan
ide, produk, atau prosedur baru. Hal ini mengandung makna
bahwa knowledge sharing merupakan sumber daya terbesar bagi
organisasi untuk meningkatkan kinerja dan mendapatkan keunggulan
kompetitif berkelanjutan. Peranannya adalah sebagai pemicu dalam
menyampaikan ide dan gagasan dalam membentuk pengetahuan
yang baru sehingga dianggap sebagai kunci sukses organisasi.
Untuk itu perlu dilakukan integrasi pengetahuan yang dibangun
di atas tiga perspektif utama (Issues et al., 2019) yaitu:
1. Budaya belajar berasal dari keinginan untuk membuat
dan mempertahankan standar kualitas tinggi kemudian
memanfaatkan pengetahuan yang dipelajari dari pelanggan,
pesaing, pemerintah, dan mengkolaborasikan pengalaman dalam
menyelesaikan masalah bisnis yang telah dialami sebelumnya.
2. Kemampuan dalam mengelola pengetahuan yang relevan
menggambarkan kapabilitas dalam mempertahankan
pengetahuan yang diwarisi dari generasi sebelumnya dan
bertukar informasi di antara anggota kelompok. Setelah
pengetahuan baru diciptakan, kemudian di transfer ke orang
lain dan digunakan untuk mengembangkan produk dan layanan
sesuai dengan permintaan pasar, dan
3. Teknologi dan informasi telah digunakan oleh kelompok dalam
organisasi untuk mengelola dan menyebarluaskan pengetahuan
untuk diaplikasikan dalam sistem dan prosedur kerja, melakukan
inovasi proses, inovasi metode dan inovasi produk sehingga
melahirkan produk yang susah ditiru oleh pesaing dan memiliki
value added.
Ketika pengetahuan telah dibagikan, maka diharapkan dapat
berkembang baik secara kuantitatif dan kualitatif, yang diciptakan
secara dinamis melalui interaksi antara pengetahuan tacit dan
eksplisit (Julpisit, 2019). Mekanisme berbagi pengetahuan dapat
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 57
dijelaskan melalui model SECI yang menyajikan konversi dua jenis
pengetahuan ini dalam empat mode, yakni: sosialisasi, eksternalisasi,
kombinasi, dan internalisasi (Gambar 3.1).
Dari Gambar 3.1 disebutkan bahwa ada empat (4) dimensi utama
knowledge sharing yang dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Socialization adalah proses berbagi pengetahuan antara satu
orang dengan orang lain dalam organisasi, melalui penciptaan
model keterampilan.
Socialization Externalization
(Ex: sharing experience) (Ex: documentation)
Knowledge Sharing
Internalization combination
(Ex: Learning by doing) (Ex:Systemization)
Gambar 3.1. SECI Model (Julpisit, 2019)
2. Externalization adalah bagaimana mengubah pengetahuan
yang terpendam menjadi pengetahuan yang bisa dilihat dalam
organisasi. Dalam hal ini dimensi ini merujuk pada bagaimana
proses individu dalam kelompok mengubah pengetahuan serta
menjadikannya sumber pengetahuan yang baru.
3. Combination adalah proses pembentukan bentuk baru
dari pengetahuan dengan mengkombinasikan dua sumber
pengetahuan yang ada oleh grup pada organisasi. Model baru
pengetahuan ini diharapkan menjadi pengetahuan baru yang
utuh dan menjadi nilai baru dan bermanfaat.
4. Internalisation adalah proses mengubah pengetahuan yang
terlihat (eksplisit) menjadi pengetahuan yang tidak terlihat
(tacit). Dalam proses ini pengetahuan diserap oleh individu lain
dalam organisasi untuk digunakan dalam menyelesaikan proses
pekerjaan, kerjasama tim dan membangun kohesivitas.
58 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
Dalam perkembangannya, ada penambahan dimensi knowledge
sharing yang telah diuji coba oleh beberapa peneliti yang dikaitkan
dengan subjek penelitian. Artinya, pengetahuan adalah aspek unik
dalam organisasi yang tidak bisa disamakan antara satu organisasi
dengan organisasi lainnya. Konteks UKM tentu berbeda dengan
pemerintahan atau bahkan IT karena baik organisasi maupun
pengetahuan yang dibagi memiliki karakteristik unik satu sama
lainnya. Untuk itu, keunikan pengetahuan secara tidak langsung juga
merupakan keunikan subjek tersebut dalam menciptakan produk
bisnisnya masing-masing.
B. Anteseden Knowledge Sharing
Sejak munculnya teori berbasis sumber daya atau resource
based view gagasan Barney pada tahun 1991, maka peran penting
pengetahuan diturunkan dalam knowledge based view yang sampai
saat ini telah merubah paradigma dan perspektif tentang arti penting
pengetahuan dan implikasinya bagi organisasi.
Banyak variabel yang telah diteliti oleh banyak peneliti di berbagai
dunia baik dalam level individu, manajerial maupun organisasional.
Anteseden ini berdampak pada mekanisme maupun kesuksesan
knowledge sharing.
1. Struktur organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap
penciptaan pengetahuan (knowledge creation), dan memberikan
wawasan baru bahwa struktur organisasi dengan karakteristik
desain organik membantu proses penciptaan pengetahuan.
Struktur organik digambarkan melalui komunikasi terbuka,
fleksibilitas tinggi, formalitas yang rendah dan tidak adanya
aturan atau prosedur yang kaku. Desentralisasi dan otonomi
pengambilan keputusan yang lebih tinggi berkontribusi pada
peningkatan penciptaan pengetahuan melalui pemberdayaan
individu yang kreatif dan inovatif. Struktur organik memberikan
kerangka kerja yang menguntungkan dalam mengungkap celah
untuk menghasilkan ide-ide luar biasa, konsep dan solusi
alternatif, yang diharapkan menghasilkan generasi pengetahuan
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 59
baru. Struktur organisasi organik dirancang untuk membantu
karyawan mengoptimalkan potensi kreatif dan mengikuti
pendekatan “out of the box” untuk menyelesaikan masalah.
Fleksibilitas tinggi dari struktur organisasi organik menciptakan
inovasi untuk bereksperimen, dan learning by doing (Stojanović-
Aleksić, Erić Nielsen and Bošković, 2019).
2. Kepemimpinan. Dari sudut pandang manajerial (Berraies, 2019),
mengoptimalkan knowledge sharing akan berdampak pada
inovasi dalam perusahaan dalam konteks keragaman budaya.
Manajer akan menghadapi tantangan dalam mengelola individu
yang memiliki budaya yang berbeda. Dalam hal ini, manajer
harus mengembangkan kemampuan personal dan kognitif
untuk meningkatkan interaksi knowledge sharing. Secara
khusus, manajer harus menyadari bahwa dalam lingkungan
yang memiliki keragaman budaya, kemampuan kognitif tidak
hanya menandakan memiliki pengetahuan tentang budaya lain
tetapi juga membuat langkah besar dalam membangun strategi
metakognitif untuk belajar dan menyesuaikan pengetahuan
selama interaksi dengan karyawan dari budaya yang berbeda-
beda, mendorong karyawan untuk mengeluarkan ide-ide terbaik
mereka dan membangun sistem yang kondusif.
3. Kepuasan kerja adalah dasar dalam menumbuhkan keinginan
untuk berbagi pengetahuan antar karyawan. Menurut Sang et
al. (2019), memperhatikan dan meningkatkan kepuasan kerja
bisa dilakukan dengan mengambil langkah-langkah seperti
memperbaiki kondisi kerja sehari-hari, membangun sistem
gaji yang komprehensif, menyediakan program promosi yang
menantang dan transparan, serta membangun hubungan kerja
yang kondusif. Yang tidak kalah penting, penghargaan terhadap
sikap emosional karyawan sehingga mempromosikan perilaku
positif, membangun budaya positif, mengatur kegiatan komunitas
secara teratur, membangun mekanisme komunikasi dalam
organisasi atau tim kerja, bahkan berbagi tanggung jawab ketika
karyawan berada di bawah tekanan pekerjaan yang ekstrim.
60 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
Lebih lanjut, Kucharska and Erickson (2019) mengemukakan
bahwa kepuasan kerja adalah driver penting dalam membangun
prilaku berbagi pengetahuan. Jadi, organisasi dengan tingkat
pengetahuan yang rendah akan mengurangi proporsi karyawan
yang puas dengan pekerjaan mereka yang berdampak dalam
pengurangan praktik berbagi pengetahuan (Lee and Lee, 2020).
4. Dalam berbagai literatur, peran kepercayaan telah diuji
dalam hubungan langsung, mediasi maupun moderasi. Jika
dihubungkan dengan berbagi pengetahuan maka peran trust
menjadi hal penting dalam menjembatani individu untuk berbagi
pengetahuan. Curado and Vieira (2019) knowledge sharing (KS)
menyebutkan bahwa kepercayaan memupuk hubungan yang
lebih kuat antar karyawan dan organisasi. Tingkat kepercayaan
yang tinggi di tempat kerja sangat penting untuk memastikan
bahwa karyawan bertindak selaras dengan kepentingan
organisasi, oleh karena itu, kepercayaan menimbulkan kerjasama
dan komitmen yang lebih tinggi untuk menjadi bagian penting
dalam organisasi.
5. Komitmen organisasi mengacu pada keterikatan karyawan
dengan organisasi untuk keberhasilan setiap proses bisnis. Oleh
karena itu, harus terus mencari cara untuk mempromosikan
komitmen organisasional karyawan (Sang et al., 2019). Komitmen
organisasi terdiri dari tiga komponen utama: afektif, atau
keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi; kelanjutan,
yang berkaitan dengan biaya meninggalkan organisasi; dan
normatif, atau rasa kewajiban untuk melanjutkan pekerjaan
dengan organisasi. Komitmen memengaruhi kesediaan karyawan
untuk memberikan dan menerima pengetahuan yang merupakan
bagian penting dari budaya berbagi pengetahuan (Ouakouak and
Ouedraogo, 2019). Menurut Lombardi, Sassetti and Cavaliere
(2019) dengan merangsang karyawan untuk berbagi saran dan
solusi dalam memecahkan masalah orang lain, hal itu merupakan
salah satu bentuk knowledge sharing sehingga berimplikasi pada
meningkatnya kerja sama dan bantuan di lingkungan kerja. Hal ini
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 61
menjadi indikasi bahwa individu yang mampu mengidentifikasi
nilai dan tujuan organisasi cenderung memiliki perilaku yang
menguntungkan organisasi. Dalam hal ini, komitmen organisasi
dapat berkontribusi untuk mendorong partisipasi karyawan
dalam kegiatan berbagi pengetahuan karena memfasilitasi
respons positif di antara rekan kerja.
C. Dilema Knowledge Sharing
Dalam perkembangannya, berbagi pengetahuan juga
menimbulkan dilema baik bagi yang berperan sebagai sumber ide/
gagasan atau yang menerima ide/gagasan tersebut. Pengetahuan
yang ditransfer mungkin tidak bisa langsung diterapkan dalam
meningkatkan kreativitas atau inovasi kerja tetapi masih perlu
ditelaah, di saring dan diolah yang melibatkan banyak komponen
di dalamnya seperti peran manajer, devices, standar operasional
prosedur maupun kebijakan atau budaya organisasi. Mulai dari level
individu maupun level organisasi perlu melakukan kolaborasi sehingga
tujuan dapat tercapai. Menurut Zhang (2019) perusahaan perlu
membangun komitmen yang kuat dan budaya saling mendukung
untuk memajukan berbagi pengetahuan dan mendapatkan akses
ke pengetahuan eksternal yang dimiliki oleh mitra aliansi. Hal
ini akan berdampak pada berbagai strategi untuk menahan atau
menyembunyikan pengetahuan (knowledge hiding) karena berbagi
pengetahuan berdampak pada peningkatan daya saing kompetitor.
Kemajuan teknologi, sering diintegrasikan dengan sistem
insentif, menciptakan peluang baru bagi para profesional untuk
menciptakan dan mendistribusikan pengetahuan. Sistem seperti itu
harus mengurangi kesalahan berbagi pengetahuan di mana individu
menahan pengetahuan yang bermanfaat atau berbagi pengetahuan
yang tidak berguna atau berbahaya. Para peneliti telah menyelidiki
budaya organisasi yang berpotensi mempengaruhi berbagi
pengetahuan yang tidak berguna, berbagi pengetahuan semu yang
lebih tidak berguna, memiliki budaya berbagi pengetahuan yang
62 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
lebih lemah, dan memiliki motivasi kualitas yang lebih rendah untuk
berbagi pengetahuan (Cockrell et al., 2012).
Dengan demikian, budaya organisasi dan motivasi berbagi
pengetahuan, dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
berbagi pengetahuan. Dengan demikian, perlu memprediksi dan
membangun sistem, mekanisme dan prosedur untuk meningkatkan
berbagi pengetahuan dan mengurangi kemungkinan akan
meningkatkannya berbagi pengetahuan semu, motivasi berbagi
pengetahuan dan budaya yang berkualitas rendah.
D. Peran Penting Knowledge Sharing Dalam Organisasi
Peran knowledge sharing telah diteliti dan diakui sebagai salah
satu tools paling berdampak pada perjalanan dan keberlanjutan
organisasi. Peran tersebut bisa ditinjau dari sudut pandang internal,
eksternal, atau dalam level individu, kelompok maupun secara
organisasi. Adapun peran penting knowledge sharing adalah sebagai
berikut:
1. Membangun inovasi. Menurut Susanty, Yuningsih and
Anggadwita (2019) perbedaan kinerja di antara organisasi
bertambah karena perbedaan aset pengetahuan dan kemampuan
dalam menggunakan dan mengembangkan pengetahuan. Peran
limpahan pengetahuan sangat terkait dengan peningkatan
inovasi dan kinerja perusahaan. Ini berarti bahwa semakin banyak
organisasi menggunakan praktik manajemen yang bertujuan
untuk mendukung manajemen pengetahuan yang efisien dan
efektif untuk keuntungan organisasi maka semakin besar
kemungkinannya untuk mencapai inovasi dan kinerja bisnis yang
tinggi (Sadeghi Boroujerdi, Hasani and Delshab, 2019). Kinerja
inovasi adalah salah satu faktor keberhasilan perusahaan di
mana proses mencakup berbagai aspek termasuk dampak sosial
dan lingkungan dari proses operasional, merangsang kreativitas
karyawan dan kemitraan dengan rantai pasokan, pelanggan dan
mitra bisnis lainnya dalam merancang dan mengembangkan
produk dan layanan inovatif. Lebih lanjut, menurut Ben Arfi
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 63
et al. (2019) berbagi pengetahuan dalam proses inovasi
memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan konsumen
khususnya mengenai produk-produk baru. Penciptaan dan
berbagi pengetahuan menjadi modal penting dalam melakukan
perubahan untuk mempromosikan kapabilitas organisasi,
meminimalkan kompleksitas, ketidakpastian dan risiko serta
mencapai kinerja tinggi (Jordão, Novas and Gupta, 2019). Jadi,
perusahaan yang bertujuan untuk mengembangkan proyek
inovasi wajib mengembangkan proses manajemen pengetahuan
mereka secara optimal (Teixeira, Oliveira and Curado, 2019).
2. Innovative work behavior. Manajer sumber daya manusia bisa
mempromosikan perilaku berbagi pengetahuan dan perilaku
kerja inovatif secara konsisten dengan memberikan ruang
khusus bahwa ada pengakuan tentang peran individu dalam
proses berbagi pengetahuan dan minat yang tumbuh dalam
organisasi (Kim and Lee, 2013). Hal tersebut mempercepat
perilaku berbagi pengetahuan, menghubungkan manajemen
pengetahuan dan manajemen sumber daya manusia. Dengan
menumbuhkan kesediaan karyawan untuk mengumpulkan dan
menyumbangkan pengetahuan kepada kolega maka manajer
harus mendorong strategi atau mekanisme pembelajaran atau
berorientasi tujuan dan job performance. Lebih lanjut menurut
Mura et al. (2015) berbagi pengetahuan secara langsung
terhubung dengan kecenderungan untuk mempromosikan dan
kapasitas untuk mengimplementasikan ide-ide baru sehingga
menghasilkan perilaku inovatif yang lebih tinggi.
3. Menurut Kwahk and Park (2016) berbagi pengetahuan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hal ini dikarenakan faktor individu (self-efficacy pengetahuan
dan kenikmatan dalam membantu) dan faktor sosial (ikatan
interaksi sosial dan norma timbal balik) sebagai kombinasi
unik yang mempengaruhi orientasi berbagi pengetahuan
dalam suatu organisasi. Lebih lanjut, Masa’deh, Obeidat and
Tarhini (2016) menjelaskan bahwa kinerja individu tergantung
64 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
pada implementasi berbagi pengetahuan dimana semakin
kuat pertumbuhan pribadi, otonomi operasional, pencapaian,
dengan berbagi pengetahuan maka semakin tinggi kinerja
karyawan. Jadi berbagi pengetahuan secara terbuka dan cepat
mempengaruhi kinerja karyawan melalui penciptaan ide-ide
baru, optimalisasi pemanfaatan sumber daya dan kemajuan yang
lebih cepat. Sedangkan menurut Razzaq et al. (2019) penggunaan
pengetahuan memberikan peluang untuk meningkatkan
improvisasi individu.
4. Kinerja organisasi. Implementasi knowledge sharing yang
efektif berperan penting bagi kinerja organisasi (Iqbal et al.,
2019) mengarah pada peningkatan produktivitas, kepuasan,
pengembangan, dan responsif terhadap tantangan lingkungan.
Lebih lanjut Jordão, Novas and Gupta, (2019) menjelaskan bahwa
relevansi strategis dari hubungan antara individu dan organisasi
dalam proses penciptaan, berbagi informasi dan pengetahuan
berkontribusi pada peningkatan kinerja organisasi, inovasi dan
daya saing.
5. Keunggulan bersaing. Integrasi manajemen pengetahuan
khususnya knowledge sharing dan variable-variabel penting dalam
organisasi seperti inovasi, kepemimpinan, kinerja keuangan, new
product development, kinerja karyawan akan mengarah pada
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Bashir and Farooq,
2019). Akuisisi, konversi, penyebaran, aplikasi dan penggunaan
kembali pengetahuan yang dikolaborasikan dengan proposisi
nilai, aset dan kemampuan, arsitektur pendapatan dan biaya
dan jaringan bisnis akan menghasilkan keunggulan bersaing
berkelanjutan. Artinya, berbagi pengetahuan memiliki peran
penting dalam meningkatkan orientasi manajemen pengetahuan
sehingga cara-cara baru dalam menciptakan dan menangkap nilai
dapat diimplementasikan secara optimal dalam suatu organisasi.
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 65
E. Teknologi dan Knowledge Sharing
Dalam konsep berbagi pengetahuan khususnya di era digital,
kapasitas teknologi informasi untuk menggabungkan semua kegiatan
dan proses manajemen pengetahuan untuk penciptaan, penangkapan,
dan berbagi semua jenis pengetahuan yang dinamis dalam organisasi,
sangat besar. Ketika digunakan untuk tujuan kolaboratif, teknologi
informasi dan komunikasi memfasilitasi kolaborasi dari intuisi, elemen
intuisi, keterampilan dan keahlian untuk pengembangan dan efisiensi
profesional pribadi secara efektif serta memfasilitasi orang-orang
dari disiplin ilmu yang sama dan berbeda.
Teknologi didefinisikan sebagai sistem dan aplikasi berbasis
komputer maupun komunitas online yang membantu pemenuhan
pertukaran informasi dan pengetahuan. Teknologi memainkan peran
penting dalam manajemen pengetahuan dalam pendekatan multi-
disiplin untuk pengambilan keputusan.
Ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan penggunaan
teknologi untuk inisiatif manajemen pengetahuan (Ayanbode, 2020).
Adapun faktor tersebut antara lain:
1. Kesediaan orang untuk berbagi pengetahuan menentukan
perilaku mau berbagi dan merupakan bagian dari perilaku
transformasi sosial yang profesional dan memiliki trust. Niat
untuk berbagi pengetahuan sangat penting dalam menentukan
penggunaan teknologi dalam manajemen pengetahuan
khususnya knowledge sharing behavior. Dan sebaliknya,
keengganan untuk menggunakan teknologi akan menurunkan
motivasi karyawan dari berbagi pengetahuan.
2. Kepemilikan pengetahuan yang dirasakan oleh individu
menentukan tingkat penciptaan, berbagi pengetahuan, dan
retensi dalam suatu organisasi. Pencipta pengetahuan tidak
memiliki kebutuhan pribadi untuk membagikannya karena ia
telah memperoleh dan menggunakannya untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, membagikan pengetahuan dapat meningkatkan
kualitas kolega.
66 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
3. Saling ketergantungan tugas memiliki pengaruh positif pada
penggunaan teknologi dalam knowledge management. Artinya,
semakin banyak tugas maka saling ketergantungan dan
memotivasi orang untuk menggunakan teknologi semakin tinggi.
4. Keterampilan penguasaan teknologi menentukan kualitas
adopsi, pemahaman pengguna tentang sifat dan fungsionalitas
teknologi dan penggunaan alat-alat teknologi berarti semakin
mudah berbagi pengetahuan dengan orang lain dalam organisasi.
5. Persepsi pengguna tentang ketahanan teknologi, keramahan
pengguna dan kesesuaian tugas biasanya mempengaruhi adopsi
dan penggunaan teknologi tersebut. Persepsi positif teknologi
memacu penggunaannya untuk knowledge management.
Kemudahan penggunaan, kegunaan, kekayaan media dan
kecanggihan teknologi dalam meningkatkan penggunaan.
Peran teknologi informasi signifikan dalam proses knowledge
sharing terutama dalam membangun kinerja inovasi dalam suatu
organisasi. Ini berarti bahwa implementasi informasi dan teknologi
yang lebih baik akan mendorong kinerja inovasi (Susanty, Yuningsih
and Anggadwita, 2019).
F. Knowledge Sharing dan Future Agenda
Knowledge sharing dalam era revolusi industri 4.0 dan society
era 5.0 telah membawa dampak signifikan pada tanggapan dan
adaptasi organisasi terhadap ketidakpastian dan turbulensi
organisasi. Untuk itu elaborasi peran berbagi pengetahuan dengan
pemanfaatan teknologi telah menjadi agenda besar bagi organisasi
dalam membangun budaya inovasi dalam rangka mencapai continous
quality improvement, superior performance dan keunggulan bersaing
berkelanjutan.
Walaupun studi empiris tentang knowledge sharing sudah banyak
dilakukan, tetapi masih banyak terdapat pertanyaan seperti; mengapa
karyawan berbagi pengetahuan? Mengapa tidak disembunyikan saja?
Apa dampaknya ketika sudah berbagi pengetahuan? Dan masih
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 67
banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang harus dijawab sebagai
transparansi nilai penting dari knowledge sharing itu sendiri.
Menurut Sergeeva and Andreeva, (2016) sudah ada banyak
literatur yang menjelaskan mekanisme, proses dan penjelasan
mengenai peran berbagi pengetahuan dalam berbagai jenis
organisasi. Tetapi ada beberapa hal penting yang perlu mendapat
perhatian, seperti;
a. Memetakan konteks yang diteliti.
Seperti yang kita ketahui ada banyak penelitian tentang
knowledge sharing dalam satu dekade terakhir. Agar memiliki
keteraturan dan data yang terstruktur maka perlu dilakukan
pengelompokan berdasarkan subjek atau organisasi yang diteliti
seperti perusahaan internasional (MNCs), UKM, pendidikan
tinggi, perusahaan teknologi, kantor layanan publik dan
sebagainya. Hal ini mengingat karakter pengetahuan dalam
masing-masing subjek berbeda-beda sehingga kita memiliki big
data tentang knowledge sharing dan segala hal yang berhubungan
dengannya.
b. Bias literatur
Literatur yang ada telah menjelaskan mekanisme pengetahuan
yang dibagi dalam suatu organisasi dengan melibatkan banyak
variabel, artinya hubungan yang terjadi baik hubungan langsung,
mediasi maupun moderasi masih memerlukan uji lanjutan.
Harapannya adalah semakin sedikit efek bias yang dihasilkan
dari literatur, mengurangi tingkat kesalahan dan menemukan
teori yang sahih mengenai knowledge sharing.
c. Ruang yang kurang diselidiki, menunjukkan dimensi teoritis,
kontrasnya, dan pengaturan empiris baru mengenai studi berbagi
pengetahuan. Hal ini berarti para peneliti bidang knowledge masih
harus tetap menemukan celah penelitian (research gap), celah
literatur (literature gap), mengembangkan metode yang paling
sesuai maupun menguji dan menerapkan hasil penelitian kepada
organisasi sehingga memiliki efek penerapan. Konsekuensinya
adalah hilirisasi hasil penelitian dengan dunia industri dan
68 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
terciptanya kolaborasi positif antara dunia pendidikan, industri
dan pemerintah.
d. Membaca dan memahami pengetahuan memerlukan pemikiran-
pemikiran yang filosofis, sehingga masih sering ditemui bahwa
konteks berbagi pengetahuan jarang dijelaskan dalam literatur
yang ada, sehingga mengharuskan para pembaca untuk
mendiskusikan alasannya, kemudian menunjukkan bagaimana hal
tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan kembali beberapa
kontradiksi dalam literatur, dan menyarankan beberapa cara
untuk menghasilkan temuan atau ide-ide baru di masa depan.
Daftar Pustaka
Ben Arfi, W. et al. (2019) ‘The significance of knowledge sharing
platforms for open innovation success: A tale of two companies in
the dairy industry’, Journal of Organizational Change Management,
32(5), pp. 496–516. doi: 10.1108/JOCM-09-2018-0256.
Ayanbode, O. F. (2020) ‘Collaborative technologies and knowledge
management in psychiatric hospitals in South West Nigeria’. doi:
10.1177/0266666919895563.
Bashir, M. and Farooq, R. (2019) ‘The synergetic effect of knowledge
management and business model innovation on firm competence:
A systematic review’, International Journal of Innovation Science,
11(3), pp. 362–387. doi: 10.1108/IJIS-10-2018-0103.
Berraies, S. (2019) ‘Effect of middle managers’ cultural intelligence on
firms’ innovation performance: Knowledge sharing as mediator
and collaborative climate as moderator’, Personnel Review, (1995).
doi: 10.1108/PR-10-2018-0426.
Cockrell, R. C. et al. (2012) ‘Industry culture influences pseudo-
knowledge sharing : a multiple mediation analysis’. doi:
10.1108/13673271011084899.
Curado, C. and Vieira, S. (2019) ‘Trust, knowledge sharing and
organizational commitment in SMEs’, Personnel Review, 48(6),
pp. 1449–1468. doi: 10.1108/PR-03-2018-0094.
Iqbal, A. et al. (2019) ‘From knowledge management to organizational
performance: Modelling the mediating role of innovation and
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 69
intellectual capital in higher education’, Journal of Enterprise
Information Management, 32(1), pp. 36–59. doi: 10.1108/JEIM-
04-2018-0083.
Issues, S. et al. (2019) ‘KNOWLEDGE INTEGRATION CAPABILITY
AND ENTREPRENEURIAL ORIENTATION: CASE OF
PAKTHONGCHAI SILK GROUPS RESIDING * Sareeya
Wichitsathian1, Dussadee Nakruang2 1,2’, 7(2), pp. 977–989.
Jordão, R. V. D., Novas, J. and Gupta, V. (2019) ‘The role of knowledge-
based networks in the intellectual capital and organizational
performance of small and medium-sized enterprises’, Kybernetes,
49(1), pp. 116–140. doi: 10.1108/K-04-2019-0301.
Julpisit, A. (2019) ‘A collaborative system to improve knowledge
sharing in scientific research projects’, 35(4), pp. 624–638. doi:
10.1177/0266666918779240.
Kim, T. T. and Lee, G. (2013) ‘Hospitality employee knowledge-sharing
behaviors in the relationship between goal orientations and
service innovative behavior’, International Journal of Hospitality
Management. Elsevier Ltd, 34(1), pp. 324–337. doi: 10.1016/j.
ijhm.2013.04.009.
Kucharska, W. and Erickson, G. S. (2019) ‘The influence of IT-
competency dimensions on job satisfaction, knowledge sharing
and performance across industries’, VINE Journal of Information
and Knowledge Management Systems, ahead-of-print(ahead-of-
print). doi: 10.1108/vjikms-06-2019-0098.
Kwahk, K. and Park, D. (2016) ‘Computers in Human Behavior The
effects of network sharing on knowledge-sharing activities
and job performance in enterprise social media environments’,
Computers in Human Behavior. Elsevier Ltd, 55, pp. 826–839.
doi: 10.1016/j.chb.2015.09.044.
Lee, G. R. and Lee, S. (2020) ‘How Outsourcing May Enhance Job
Satisfaction in the U.S. Federal Bureaucracy: Exploring the Role
of Knowledge Sharing’, American Review of Public Administration.
doi: 10.1177/0275074020913980.
Lombardi, S., Sassetti, S. and Cavaliere, V. (2019) ‘Linking employees’
affective commitment and knowledge sharing for an increased
customer orientation’, International Journal of Contemporary
70 Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi
Hospitality Management, 31(11), pp. 4293–4312. doi: 10.1108/
IJCHM-03-2018-0261.
Masa’deh, R., Obeidat, B. Y. and Tarhini, A. (2016) ‘A Jordanian
empirical study of the associations among transformational
leadership, transactional leadership, knowledge sharing, job
performance, and firm performance: A structural equation
modelling approach’, Journal of Management Development, 35(5),
pp. 681–705. doi: 10.1108/JMD-09-2015-0134.
Mura, M. et al. (2015) ‘Promoting professionals ’ innovative behaviour
through knowledge sharing : the moderating role of social
capital’. doi: 10.1108/JKM-03-2013-0105.
Ouakouak, M. L. and Ouedraogo, N. (2019) ‘Fostering knowledge
sharing and knowledge utilization: The impact of organizational
commitment and trust’, Business Process Management Journal,
25(4), pp. 757–779. doi: 10.1108/BPMJ-05-2017-0107.
Park, S. and Kim, E. J. (2018) ‘Fostering organizational learning
through leadership and knowledge sharing’, Journal of Knowledge
Management, 22(6), pp. 1408–1423. doi: 10.1108/JKM-10-
2017-0467.
Razzaq, S. et al. (2019) ‘Knowledge management, organizational
commitment and knowledge-worker performance: The
neglected role of knowledge management in the public sector’,
Business Process Management Journal, 25(5), pp. 923–947. doi:
10.1108/BPMJ-03-2018-0079.
Sadeghi Boroujerdi, S., Hasani, K. and Delshab, V. (2019) ‘Investigating
the influence of knowledge management on organizational
innovation in higher educational institutions’, Kybernetes. doi:
10.1108/K-09-2018-0492.
Sang, L. et al. (2019) ‘Influence mechanism of job satisfaction and
positive affect on knowledge sharing among project members:
Moderator role of organizational commitment’, Engineering,
Construction and Architectural Management. doi: 10.1108/
ECAM-10-2018-0463.
Sergeeva, A. and Andreeva, T. (2016) ‘Knowledge Sharing Research :
Bringing Context Back In’. doi: 10.1177/1056492615618271.
Bab 3 Knowledge Sharing Dalam Organisasi 71
Stojanović-Aleksić, V., Erić Nielsen, J. and Bošković, A. (2019)
‘Organizational prerequisites for knowledge creation and
sharing: empirical evidence from Serbia’, Journal of Knowledge
Management, 23(8), pp. 1543–1565. doi: 10.1108/JKM-05-
2018-0286.
Susanty, A. I., Yuningsih, Y. and Anggadwita, G. (2019) ‘Knowledge
management practices and innovation performance: A study at
Indonesian Government apparatus research and training center’,
Journal of Science and Technology Policy Management, 10(2), pp.
301–318. doi: 10.1108/JSTPM-03-2018-0030.
Teixeira, E. K., Oliveira, M. and Curado, C. (2019) ‘Linking knowledge
management processes to innovation: A mixed-method and
cross-national approach’, Management Research Review. doi:
10.1108/MRR-10-2018-0391.
Zhang, J. (2019) ‘Reconciling the Dilemma of Knowledge Sharing :
A Network Pluralism Framework of Firms ’ R & D Alliance
Network and Innovation Performance’, 45(7), pp. 2635–2665.
doi: 10.1177/0149206318761575.
BAB 4
ORGANIZATIONAL CULTURE
Oleh:
Nur Agus Salim
Universitas
[email protected]
A. Definisi Budaya Organisasi
Secara normatif budaya organisasi bergantung bagaimana
karyawan mempersepsikan karakteristik menurut suatu organisasi,
bukannya dengan apakah mereka menyukai atau tidak budaya itu.
Artinya, budaya itu merupakan suatu istilah deskriptif. Budaya
organisasi adalah kebiasaan-kebiasaan yang diterima secara bersama
dan dianut sang dominan organisasi.
Sebelum membahas konsep budaya organisasi terlebih dahulu
akan dijelaskan definisi organisasi. Konsep organisasi telah banyak
dikemukakan oleh para ahli namun dari berbagai konsep tersebut
tidak lepas bahwa organisasi mengandung makna kerjasama, adanya
sistem kerja dan tujuan yang akan dicapai dalam kerjasama tersebut.
Menurut Robbins (2013) organisasi adalah kumpulan sosial
yang diatur dan dikelola secara sadar yang memiliki aturan-aturan
yang spesifik berdasarkan identifikasi tertentu serta aktivitas
yang dilakukan secara berkelanjutan untuk mencapai suatu tujuan
bersama atau sekelompok tujuan. Selanjutnya Hasibuan (2011)
mengatakan bahwa organisasi merupakan suatu sistem perserikatan
resmi, memiliki struktur, dan dikoordinasi oleh sekelompok individu
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari konsep tersebut dapat dirumuskan bahwa organisasi
adalah suatu wadah yang terdiri dari sekumpulan orang yang
saling bekerjasama secara sadar dan saling menguntungkan untuk
kepentingan bersama dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam
72
Bab 4 Organizational Culture 73
melakukan tindakan dalam organisasi terdapat pembagian tugas,
wewenang dan tanggung jawab bagi tiap-tiap individu dalam
mencapai tujuan organisasi tersebut. (Sulaksono 2019)
Budaya seluruh total pikiran, karya & hasil karya manusia,
yang tidak berakar dalam nalurinya, dan karena itu hanya mampu
dicetuskan manusia selesainya melalui suatu proses belajar.
Kebudayaan adalah faktor yang sangat penting dalam organisasi.
Aktivitas organisasi dalam memberikan perintah dan larangan serta
memberitahukan kegiatan yang boleh dilakukan atau tidak yang
mengatur perilaku anggota organisasi. Jadi budaya mengatur sesuatu
yang boleh dilakukan atau tidak agar dapat menjadi acuan yang
digunakan dalam melakukan kegiatan atau aktivitas organisasi.
Kata “budaya” berasal dari bahasa sanskerta budhayah, bentuk
jamak dari budhi yang artinya “nalar atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan perilaku mental”.
Budhi daya berarti menggunakan budi, dalam bahasa Inggris
dikenal kata budaya menggunakan culture yang artinya melakukan
sesuatu yang selanjutnya dikembangkan menjadi cara seorang
untuk mengungkapkan rasa, karsa dan hasil karyanya. (Indrawijaya
2010). Budaya merupakan nilai-nilai, akal dan prilaku mental yang
dimiliki manusia. Manusia sebagai aktor dalam implementasi budaya
dalam sebuah organisasi karena manusia bertindak dalam lingkup
kebudayaan.
Robbin (2013) mengatakan budaya organisasi mengarah pada
suatu sistem makna dan nilai yang diyakini oleh anggota organisasi
sehingga memiliki ciri khas yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lain. Sistem makna bersama tersebut merupakan
seperangkat karakteristik primer yang dihargai oleh organisasi
tersebut. Robert dan Angelo (2014) menyatakan: “Budaya organisasi
adalah salah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara
implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok
tersebut merasa, berpikir dan bereaksi terhadap lingkungannya yang
beraneka ragam”.
74 Bab 4 Organizational Culture
Budaya organisasi menciptakan karakteristik atau ciri khas
pada suatu organisasi. Dalam prakteknya budaya organisasi perlu
disosialisasikan kepada seluruh anggota organisasi agar mereka
memahami sistem yang berjalan di tempat mereka bekerja. Budaya
organisasi akan dapat mempengaruhi perilaku karyawan ditempat
kerja. Karyawan dapat mengetahui hal yang menjadi kewajiban dan
hak mereka. Budaya organisasi memiliki tingkatan yang berbeda.
(Rafiei & Bahmani 2014). Masing-masing tingkat keragaman pada
kaitannya dengan pandangan keluar dan kemampuan bertahan
terhadap perubahan.
Budaya organisasi salah satu isu utama dalam penelitian
akademik dan pendidikan, baik dalam teori organisasi maupun
praktek manajemen. (Alvesson 2013). Budaya organisasi merupakan
karakteristik suatu organisasi. Hal itu mengacu pada sikap, tata
hubungan, asumsi baik secara eksplisit maupun implisit yang
digunakan oleh seluruh anggota organisasi. (Sulaksono 2019).
Budaya organisasi dapat dikatakan sebagai tradisi dari suatu sistem
yang dijalankan dalam mencapai tujuan tertentu pada organisasi.
Sistem yang dijalankan adalah nilai-nilai atau norma yang
menjadi pedoman oleh seluruh anggota organisasi baik dari level
paling bawah sampai level top manajemen. Tiga sudut pandang
mengenai nilai-nilai tersebut adalah: (Sulaksono 2019)
1. Budaya berorientasi pada kebutuhan pasar yang memiliki
peraturan dan etika tertentu.
2. Budaya terdiri dari struktur dan fungsi yang ada pada organisasi.
Hal tersebut yang membedakan organisasi satu dengan yang
lainya.
3. Budaya membentuk perilaku sosial anggota organisasi dalam
melakukan aktivitas.
Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan sosial yang
tidak terlihat, yang dapat menggerakkan anggota dalam sebuah
organisasi untuk melakukan pekerjaan. Secara sadar maupun tidak
sadar anggota organisasi mempelajari budaya atau sistem yang
Bab 4 Organizational Culture 75
berkaku di dalam organisasi tempat mereka bekerja. Anggota sebuah
organisasi akan beradaptasi dengan lingkungan kerja mereka agar
dapat diterima oleh anggota yang lain. Mereka akan mempelajari
hal yang harus dilakukan dan yang dilarang, yang baik dan apa yang
buruk serta yang benar dan salah dalam organisasi tempat mereka
bekerja.
B. Karakteristik Budaya Organisasi
Di era revolusi industri 4.0, teknologi telah menjadi bagian
penting dalam pengembangan budaya. Pada hakekatnya budaya
merupakan dasar dalam membangun sebuah organisasi. Oleh karena
itu budaya menjadi pedoman dalam perencanaan, pengorganisasi
dan evaluasi sebuah organisasi. Pemahaman tentang karakteristik
budaya organisasi menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan
sebuah organisasi.
Sebagai individu bagian dalam organisasi yang memiliki
norma, aturan dan prosedur, perilaku tertentu, ritual, tugas, sistem
penggajian dan motto yang hanya dipahami oleh anggota organisasi
dan sebagainya. Budaya organisasi terdiri dari tujuh karakteristik
yang berkisar dalam prioritas dari tinggi ke rendah. Setiap organisasi
memiliki nilai yang berbeda untuk masing-masing karakteristik ini.
Anggota organisasi menyesuaikan nilai organisasi pada tempat
mereka bekerja dengan karakteristik ini, dan kemudian menyesuaikan
perilaku mereka agar beradaptasi pada lingkungan kerja mereka.
Karakteristik utama dalam budaya organisasi yang dikemukakan
oleh Robbins dan Judge (2013), yaitu:
76 Bab 4 Organizational Culture
Gambar 4.1 Karakteristik Budaya Organisasi (Robbins & Judge
2013)
1. Innovative. Sejauh mana karyawan mengambil risiko lebih tinggi
untuk melakukan inovasi. Anggota organisasi bisa menjadi
seorang pengikut atau pelopor dari inovasi tersebut. Menjadi
perintis memiliki resiko tetapi juga dapat memiliki terobosan
bagi organisasi. Dengan demikian inovasi adalah salah satu
karakteristik utama dari budaya organisasi yang menentukan
berapa banyak ruang yang memungkinkan usaha untuk inovasi.
2. Details-Oriented. Perhatian terhadap detail mendefinisikan
seberapa besar pentingnya sebuah organisasi menjalankan
presisi dan detail di tempat kerja. Ini juga merupakan nilai
universal sebagai tingkat perhatian karyawan yang diharapkan
dapat memberikan hal penting untuk keberhasilan tujuan
organisasi.
3. Outcome-oriented. Tidak semua organisasi yang berorientasi pada
outcome namun banyak juga yang lebih pada hasil. Ini sebenarnya
Bab 4 Organizational Culture 77
adalah model dari setiap organisasi yang menentukan apakah
akan fokus pada hasil atau proses.
4. People-Oriented. Hal ini masih salah satu isu yang paling
kontroversial dalam budaya organisasi. Seberapa banyak
manajemen organisasi yang fokus pada karyawan dan organisasi
yang terkenal karena berorientasi pada karyawan. Organisasi
lebih fokus pada menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik
bagi karyawannya.
5. Team-Oriented. Sejauhmana program dan aktivitas kerja di
organisasi berorientasi pada kepentingan bersama dari pada
kepentingan pribadi.
6. Aggressive. Sejauhmana anggota organisasi dan pengelola
bersikap agresif dan berdaya saing daripada santai.
7. Stable. Sejauhmana aktivitas institusi menekankan
dipertahankannya situasi dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan. Sementara beberapa organisasi percaya bahwa
perubahan konstan dan inovasi adalah kunci untuk pertumbuhan
mereka. Manajemen organisasi mencari untuk memastikan
stabilitas perusahaan daripada melihat pertumbuhan tanpa
pandang bulu.
C. Tipe Budaya Organisasi
Robert dan Kinicki (2014) mengklasifikasikan tiga jenis budaya
organisasi yakni: tipe konstruktif, tipe pasif-defensif dan tipe agresif-
defensif. Dari ketiga jenis budaya organisasi tersebut memiliki
keterkaitan dengan keyakinan nilai dan norma yang berbeda. Norma
dan nilai mencerminkan perilaku sosial seseorang tentang bagaimana
seorang individu dari organisasi tertentu dapat melaksanakan
pekerjaan dan berhubungan dengan orang lainnya.
Budaya konstruktif adalah perilaku anggota organisasi untuk
berinteraksi dengan anggota yang lain dan melakukan pekerjaan
dengan saling membantu satu sama lainnya. Hal itu mereka lakukan
dalam rangka eksistensi diri, saling menghargai dan rasa persatuan.
Organisasi menganggap anggotanya yang dapat menentukan dan
78 Bab 4 Organizational Culture
mencapai tujuannya sendiri. Anggota organisasi diharapkan agar
dapat menetapkan tujuan namum logis dengan perencaaan yang
baik untuk mencapai tujuan dan memberdayakan kemampuan
semaksimal mungkin.
Pada penerapan budaya konstruktif organisasi ini lebih
menghargai kreatifitas, kualitas daripada kuantitas. Budaya ini
menciptakan rasa senang bagi anggota organisasi terhadap pekerjaan
yang mereka lakukan, keinginan untuk belajar dan berinovasi, dan
melakukan kegiatan yang baru dan menantang dalam menyelesaikan
tugas dan pertumbuhan individu anggota organisasi. Dengan
pendekatan ini akan membuat anggota organisasi lebih bersemangat
dalam melakukan pekerjaan dan menumbuhkan kreativitas dalam
pekerjaannya.
Karakteristik budaya konstruktif adalah pengelolaan organisasi
dengan cara partisipatif dan berpusat pada pribadi. Budaya ini
mengharapkan karyawan bersikap jujur, bermanfaat, dan terbuka
terhadap pengaruh saat mereka melakukan aktivitas. Hal tersebut
mendorong karyawan untuk tumbuh dan berkembang dengan
lingkungan kerja mereka.
Prioritas utama dalam pengelolaan organisasi adalah menjadikan
hubungan antar individu yang bersifat konstruktif. Organisasi
mengharapkan anggotanya agar bersikap simpatik, mau berbagi,
dan peka pada hasil pekerjaan dalam kelompok kerja mereka.
Dengan kata lain anggota organisasi harus menjalin komunikasi yang
bersahabat dengan yang lain. Situasi tersebut akan membentuk
budaya yang saling menghargai dan peduli terdahap sesama.
Budaya pasif-defensif memiliki ciri khas keyakinan yang
memungkinkan anggota organisasi dapat berinteraksi dengan yang
lain. Anggota organisasi lebih menghindari ancaman dalam melakukan
aktivitas pekerjaannya. Budaya ini menciptakan keyakinan normatif
bagi anggota dalam orrganisasi. Keyakinan yang memiliki kaitan
dengan kesepakatan, kesederhanaan, Saling ketergantungan, dan
cenderung menghindari resiko. Dengan keyakinan itu organisasi
Bab 4 Organizational Culture 79
terkesan menghindari konflik antar karyawan sehingga akan tampak
menyenangkan setidaknya dari luar.
Sikap anggota organisasi yang terbentuk menjadi orang yang
harus mengikuti aturan, memperoleh kesepakatan, dan disenangi
oleh anggota yang lain. Sehingga akan terjalin hubungan yang
harmonis dalam bergaul dengan karyawan yang lain. Karyawan akan
menghindari munculnya masalah dalam melakukan pekerjaannya.
Manajemen mengelola organisasi secara konservatif, tradisional,
dan birokratis. Pengelola mengharapkan karyawan agar dapat
menyesuaikan diri dengan cepat, mematuhi peraturan, dan
memberikan kesan yang baik. Karyawan dituntuk untuk mematuhi
kebijakan yang sudah diberlaku dan memahami kebiasaan yang
ada dalam lingkungan kerja mereka. Pengelola mengendalikan
organisasi secara hirarkis dan bersifat non-partisipatif. Keputusan
dibuat terpusat dan diberlakukan kesemua karyawan. Karyawan
hanya menjalankan aturan yang dibuat dan mengikuti kebijakan yang
diberikan oleh atasan. Karyawan yang mempunyai posisi sebagai top
leader akan diuntungkan dengan pendekatan tersebut.
Budaya pasif-defensif lebih mengutamakan punishment daripada
reward. Pendekatan ini menjadi sisi negatif yang menyebabkan
karyawan bertukar tanggung jawab atau menghindari resiko gagal.
Karyawan akan menunggu orang lain untuk bertindak karena
menghidari kesalahan dan kegagalan. Kreativitas dan loyalitas
menjadi terabaikan karena karyawan lebih baik mencari posisi aman
daripada mengambil resiko.
Tipe selanjutnya adalah budaya agresif-defensif yang mendorong
karyawan agar melakukan pekerjaannya dengan bekerja keras.
Tujuannya agar terciptanya keamanan dalam melakukan aktivitas dan
melindungi kedudukan mereka. Sistem tersebut memiliki karakteristik
keyakinan normatif yang menggambarkan oposisi, kewenangan
dan memiliki daya saing. Pada umumnya budaya organisasi tidak
mudah dipahami karena tidak memiliki wujud, tersirat dan sebagian
80 Bab 4 Organizational Culture
orang menganggap remeh. Setiap organisasi memiliki jenis budaya
organisasi.
Budaya agresif-defensif berbanding terbaik dengan dengan
pasif-defensif. Budaya ini mendorong karyawan agar bersikap
kritis. Organisasi memberikan penghargaan pada pandangan negatif
dan konfrontasi yang dilakukan karyawan. Karyawan memiliki
kedudukan dan pengaruh dengan bersikap tanggap dan teliti,
organisasi mendukung karyawan untuk mengkritik gagasan orang
lain. Dengan demikian kekurangan dan kelemahan dari kebijakan
maupun pekerjaan yang dilakukan akan lebih diperhatikan oleh
anggota organisasi.
Budaya ini membangun kekuasaan yang melekat pada anggota
organisasi. Hal tersebut akan membuat anggota organisasi yakin
bahwa mereka akan dihargai walaupun hanya bawahan. Oleh karena
itu akan terbentuk budaya agar mematuhi perintah, mengendalikan
staf dan karyawan, dan selalu bersikap tanggap terhadap permintaan
atasan.
Organisasi yang menerapkan budaya agresif-defensif mengubah
pekerjaan menjadi ajang kompetisi. Karyawan yang memiliki
kelebihan dari yang lain akan mendapatkan penghargaan. Karyawan
bekerja dalam konteks menang dan kalah. Karyawan melakukan
pekerjaan dengan melakukan persaingan untuk menjadi yang terbaik
dari yang lain. Dalam organisasi ini ideal, kegigihan, dan kerja keras
sangat dihargai.
Selanjutnya Cameron dan Quinn (2011) membagi tipe budaya
organisasi menjadi 4 yaitu clan culture, adhocracy culture, market
culture dan hierarchy culture.
Bab 4 Organizational Culture 81
Gambar 4.2 Tipe Budaya Organisasi Menurut Cameron dan Quinn
(Tipster 2013)
1. Tipe clan culture
Tipe clan culture memiliki karakteristik organisasi yang
mengedepankan karakter kekeluargaan dalam kerja tim. Lingkungan
kerja dalam organisasi dibentuk dengan baik melalui kerja sama
dalam tim, dan pengembangan sumber daya manusia serta
menganggap konsumen sebagai rekanan. Pengelola memiliki tugas
dalam mengatur dan membimbing karyawan sehingga memudahkan
mereka untuk bekerjasama.
2. Tipe adhocracy culture
Tipe adhocracy culture merupakan budaya organisasi dimana
inovasi dan inisiatif serta menciptakan produk baru dan jasa menjadi
prioritas untuk mengatasi dan mempersiapkan kebutuhan di masa
yang akan datang. Karyawan dituntut memiliki kreativitas dan inovasi
dalam melakukan pekerjaan. Hal ini menjadi tugas yang cukup berat
bagi pengelola untuk menciptakan dan mendukung semangat inovasi
dan kreatifitas.
82 Bab 4 Organizational Culture
3. Tipe market culture
Tipe market culture merupakan budaya organisasi yang menuntut
karyawan memiliki daya saing tinggi. Organisasi berasumsi bahwa
budaya pasar tidak ramah, dan kompetitif. Karakteristik tipe ini adalah
lingkungan kerja yang memiliki tujuan pada hasil. Pengelola berusaha
semaksimal mungkin mengendalikan perusahaan untuk mencapai
produktivitas, hasil, tujuan serta keuntungan yang besar. Organisasi
akan selalu update terhadap perkembangan pasar sehingga akan
menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan.
4. Tipe hierarchy culture
Tipe hierarchy culture adalah budaya organisasi memiliki
hirarki organisasi yang formal dan terstruktur. Organisasi dibangun
dengan standar dan sistematis. Proses penyelenggaraan organisasi
diatur secara baku dan sistematis sesuai dengan standar. Dalam
budaya hirarki yang sistematis dan proseduril relevan dalam
organisasi birokrasi. Organisasi mengembangkan kepemimpinan
yang dapat mengkoordinir dan membimbing karyawan dengan
baik. Penyelenggaraan organisasi berorientasi pada efektifitas
dan efesiensi serta target ketat yang sudah ditetapkan. Proses
pengawasan dan pengendalian merupakan bagian yang menjadi
sangat penting dalam penyelenggaraan organisasi.
D. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang berkembang dalam suatu organisasi
mencerminkan etika dan karakteristik organisasi tersebut. Budaya
organisasi sebagai pemersatu anggota organisasi satu dengan
yang lainnya. Dengan budaya organisasi menjadi perekat sosial
dalam mencapai tujuan organisasi. (Sutrisno 2018). Nilai-nilai
dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam budaya tersebut
menjadi panduan bagi seluruh karyawan dalam bekerja. Organisasi
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan suatu budaya
organisasi yang memiliki nilai agar dapat dijadikan pedoman oleh
seluruh karyawan. Budaya yang dijalankan harus memiliki dasar
dan nilai mulia yang menjadi dasar bagi etika pengelolaan suatu
Bab 4 Organizational Culture 83
organisasi. Berdasarkan tipe-tipe budaya organisasi nilai luhur yang
dapat dikembangkan dalam organisasi mencakup profesionalisme,
kerja tim, penghargaan, keselarasan, kompetitif, kreatif, inovatif dan
kesejahteraan.
Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat penting dalam
organisasi. Menurut Robbins dan Judge (2013) budaya memiliki
beberapa fungsi di dalam organisasi, yaitu:
1. Budaya memiliki fungsi sebagai rambu-rambu;
2. Budaya menjadi ciri khas atau karakteristik pada kepada anggota
organisasi;
3. Budaya mendukung timbulnya komitmen pada seseorang;
4. Budaya dapat memperkuat sistem sosial yang terbentuk dalam
organisasi;
5. Budaya sebagai pemberi nilai dan makna dari sikap yang
terbentuk pada karyawan;
Budaya organisasi yang berkembang dalam organisasi menjadi
identitas dan penciri yang membedakan dengan organisasi yang
lain. Dengan adanya karakteristik tersebut menjadi pengikat antar
anggota organisasi untuk saling menjaga dan menumbuhkan budaya
dalam pekerjaan mereka. Hal tersebut akan membuat munculnya
keyakinan dan komitmen dalam karyawan agar saling menghargai
dan lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadi.
Panbundu (2012) mengungkapkan budaya organisasi berfungsi
sebagai berikut:
1. Pembeda. Budaya organisasi sebagai ciri yang membedakan
suatu organisasi dalam lingkungan kerja organisasi maupun
organisasi lainnya. Budaya organisasi membentuk karakteristik
tertentu yang membedakan satu organisasi dengan organisasi
lainnya.
2. Perekat sosial. Budaya organisasi yang berkembang di suatu
organisasi akan membentuk sikap karyawan rasa saling memiliki
84 Bab 4 Organizational Culture
dan loyalitas dalam melakukan pekerjaan. Hal ini akan menjadi
perekat sosial bagi karyawan terhadap sesama karyawan.
Budaya organisasi harus dipahami oleh anggota organisasi agar
mereka tahu tentang visi, misi dan tujuan yang akan dicapai
oleh organisasi. Dengan memahami budaya yang ada dalam
organisasi akan membuat karyawan lebih dekat karena memiliki
tujuan yang sama.
3. Promosi sistem sosial. Budaya organisasi yang tumbuh dengan
baik dalam organisasi akan menjadi nilai jual yang baik bagi
organisasi tersebut. Bisa jadi sistem yang berjalan menjadi
rujukan bagi organisasi lain yang memiliki visi dan misi
sama. Sehingga budaya organisasi dapat menjadi alat untuk
mempromosikan budaya di dalam lingkungan kerja yang baik dan
saling mendukung, konflik serta perubahan dilakukan dengan
efektif.
4. Mekanisme kontrol. Sistem sosial yang ada dalam organisasi
dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Budaya organisasi
mengontrol dan memandu anggota organisasi ke arah yang sama
untuk mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi. Program dan
kegiatan organisasi akan berjalan dengan baik jika organisasi
mampu mengontrol dan mengatur anggota organisasi dalam
melakukan pekerjaannya dengan efektif dan efisien.
5. Integrator. Budaya organisasi memiliki nilai dan makna yang
diyakini oleh anggota organisasi menjadi pedoman dalam
melakukan pekerjaan. Nilai dan makna yang muncul menjadi
alat pemersatu sub-budaya dalam organisasi dan perbedaan
latar belakang budaya karyawan.
6. Perilaku karyawan. Sistem sosial yang diterapkan akan
membentuk perilaku karyawan. Dengan terbentuknya perilaku
tersebut mereka akan memahami usaha untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan organisasi sehingga karyawan akan bekerja
lebih terarah.
Bab 4 Organizational Culture 85
7. Sarana problem solving. Budaya organisasi juga berfungsi sebagai
sarana atau cara untuk memecahkan masalah perusahaan seperti
adaptasi lingkungan.
8. Pedoman perencanaan. Sebagai pedoman dalam perencanaan
organisasi budaya organisasi menjadi acuan dalam menyusun
perencanaan marketing, penentuan pasar, dan menentukan
posisi.
9. Alat komunikasi. Budaya organisasi dapat memudahkan
komunikasi antar anggota organisasi atau karyawan. Dengan
sistem sosial yang baik akan terjalin komunikasi yang mudah
baik antara karyawan dengan pimpinan maupun sesama anggota
organisasi atau karyawan.
10. Penghambat inovasi. Sisi negatif dari budaya organisasi jika
tidak berjalan sesuai dengan harapan akan menjadi penghambat
inovasi dalam organisasi itu. Organisasi harus tanggap terhadap
perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal. Masalah
yang terjadi harus cepat diatasi agar tidak merusak sistem yang
sudah berjalan dan menghambat inovasi dari anggota organisasi.
Kinicki dan Fugate (2013) membagi 4 fungsi budaya organisasi
adalah sebagai berikut:
1. Give members an organisational personality. Budaya organisasi
yang berjalan dalam organisasi memberikan ciri pada organisasi.
2. Facilitating a joint commitment. Anggota organisasi memiliki
komitmen yang berbeda karena dipengaruhi masa kerja karena
pemahaman yang berbeda terhadap budaya yang berjalan di
organisasi. (Hidayani et al. 2012) Dengan memahami sistem
sosial mampu memfasilitasi komitmen antar organisasi karena
mereka memiliki tujuan yang sama dalam organisasi.
3. Improving social system stability in organization. Budaya organisasi
yang terbentuk dan dipahami oleh anggota organisasi akan
meningkatkan stabilitas sistem sosial antar anggota organisasi.
4. Form behavior by helping members understand their environment.
Perilaku yang terbentuk dari budaya dalam organisasi dapat
86 Bab 4 Organizational Culture
membantu karyawan memahami lingkungan kerja mereka
mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan budaya organisasi
memberikan identitas tertentu pada organisasi yang memiliki nilai
dan makna dalam hubungan sosial anggota organisasi. Pemahaman
sistem yang berjalan dalam organisasi membentuk sikap dan tindakan
anggota organisasi dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian
akan muncul komitmen bersama karena setiap anggota organisasi
memahami target dan tujuan yang dicapai oleh organisasi tempat
mereka bekerja. Budaya organisasi juga membentuk sikap disipin dan
kinerja karyawan yang sangat berperan penting dalam mendukung
terciptanya efektivitas dalam organisasi. (Pribadi & Herlena 2016;
Immanuel & Mas’ud 2017).
E. Faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Budaya organisasi dapat berjalan dengan baik jika
dilaksanakan dengan manajemen yang bagus. Proses perencanaan,
pengorganisasian, kegiatan memimpin, pengawasan, yang dilakukan
akan mencerminkan sistem yang berlaku diorganisasi itu. Oleh karena
itu hal yang menjadi pendukung terciptanya budaya organisasi
yang baik harus diperhatikan. Faktor-faktor yang mendorong
berkembangnya budaya dalam organisasi diantaranya adalah faktor
karakter perorangan, faktor pembagian hak, faktor struktur organisasi,
dan faktor etika organisasi. (Resty et al. 2013).Sedangkan Rivai dan
Mulyadi (2009) mengungkapkan dua faktor yang mempengaruhi
budaya organisasi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua
faktor tersebut harus benar-benar menjadi pertimbangan dalam
pengembangan sistem sosial agar memperlancar tercapainya tujuan
organisasi.
Adapun faktor internal yang dikemukakan oleh Rivai & Mulyadi
(2009) terdiri dari:
1. Intensitas, dimana semakin besar intensitas stimulus dari luar,
semakin besar hal itu dapat dimengerti.
Bab 4 Organizational Culture 87
2. Ukuran, di mana objek yang lebih besar, semakin mudah akan
dipahami.
3. Berwarna atau kontras.
4. Pengulangan stimulus dari luar.
Faktor dari dalam, antar lain:
1. Belajar. Karyawan akan mempelajari budaya perusahaan di mana
ia bekerja. Hasil pembelajaran meliputi peningkatan pengetahuan
dan pemahaman karyawan tentang budaya organisasi.
2. Motivasi. Motivasi karyawan menggerakkan karyawan untuk
belajar atau melakukan nilai yang ada dalam budaya organisasi.
3. Kepribadian. Penyesuaian kepribadian setiap karyawan terhadap
nilai budaya organisasi.
Kemudian Rivai & Mulyadi (2009) menyebutkan tiga hal yang
mempengaruhi budaya organisasi agar produktivitas kerja karyawan
meningkat yaitu norma, nilai-nilai dan kepercayaan. Norma dan nilai
yang berlaku dalam organisasi harus benar-benar dapat dipahami
oleh anggota organisasi. Dengan memahami norma dan nilai akan
memperkuat keyakinan mereka akan tujuan yang akan dicapai oleh
organisasi tersebut.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Robert & Kinicki
(2014) ada lima faktor yang mempengaruhi budaya organisasi yakni
nilai, kepercayaan, perilaku yang dikehendaki, keadaan yang amat
penting, pedoman pengawasan dan evaluasi serta perilaku anggota
organisasi. Budaya dalam organisasi merupakan sistem yang sudah
direncanakan sesuai dengan tujuan organisasi. Peran pengawasan
dan evaluasi juga menjadi faktor penting dalam suskesnya penerapan
budaya organisasi agar efektif dan efisien.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi budaya organisasi adalah
kondisi fisik, kondisi mental perilaku, kondisi sosial ekonomi dan
budaya dan kondisi lingkungan khusus. Luthans (2011). Kondisi fisik
yang dimaksud adalah bagaimana seseorang merawat kesehatannya
dengan baik. Ditandai dengan kesehatan tubuh yang baik, terhindar
88 Bab 4 Organizational Culture
dari sakit dan penyakit yang berkepanjangan. Keadaan sakit
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, lingkungan hidup, dan
pekerjaannnya. Masalah kepadatan penduduk yang tinggi, polusi
dan pola makan sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan
lingkungan dan kondisi fisik seseorang.
Kondisi mental kejiwaan, pikiran, emosional dan kondisi kejiwaan
seseorang menjadi penggerak atau dasar dalam perilaku seseorang.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada saat berinteraksi dengan
orang lain, bekerja, kreativitas dan berpengaruh terhadap perasaan
atau mood. Kondisi mental kejiwaan ini dapat berupa perasaan puas,
gembira dan bahagia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Kondisi sosial-ekonomi dan budaya. Setiap orang yang mencapai
kedewasaan harus memiliki status yang pada umumnya menunjukkan
bahwa perannya secara wajar. Ditandai dengan adanya jabatan,
pangkat, pekerjaan yang memungkinkan dapat memenuhi kebutuhan
dasar dan minimal sebagai anggota masyarakat. Kondisi keluarga
dan masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor budaya, material
serta masalah yang sering menyebabkan ketidakseimbangan dalam
keluarga.
Kondisi lingkungan khusus. Kondisi tertentu akan berpengaruh
terhadap kebahagiaan dan ketidakseimbangan seseorang. Salah
satu contoh dalam lingkungan keluarga yang sangat dekat dengan
lingkungan hidup seseorang yang secara khusus berpengaruh,
misalnya lingkungan pekerjaan.
Daftar Pustaka
Alvesson, M., 2013. Understanding Organizational Culture 2nd ed.,
London: SAGE Publications.
Cameron, K.S. & Quinn, R.E., 2011. Diagnosing And Changing
Organizational Culture. Third Edition 3rd ed., San Fransisco: CA :
Jossey - Bass.
Hasibuan, M.S.., 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Bumi Aksara.
Bab 4 Organizational Culture 89
Hidayani, M.I., Karmiyati, D. & Ingarianti, T.M., 2012. Perbedaan
Komitmen Organisasi Ditinjau dari Masa Kerja Karyawan. In
Prosiding Seminar Nasional Peran Budaya Organisasi terhadap
Efektivitas dan Efesiensi Organisasi. Kudus: Badan Penerbit
Universitas Muria Kudus.
Immanuel & Mas’ud, F., 2017. Analisis Pengaruh Budaya
Organisasi Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.
Diponegoro Journal of Management, 6(4), pp.1–11. Available
at: http://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/
download/16362/16354. Diakses tanggal 30 November 2019.
Indrawijaya, A.I., 2010. Teori, Perilaku dan Budaya Organisasi, Bandung:
PT. Refika Aditama.
Kinicki, A. & Fugate, 2013. Organizational Behavior: Key Concepts,
Skills and Best Practices 5th Edition 5th ed., New York: McGraw-
Hill Education.
Luthans, F., 2011. Organizational Behavior : An Evidence-Based
Approach, New York: McGraw-Hill Education.
Panbundu, M.., 2012. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan, Jakarta: Bumi Aksara.
Pribadi, M.L. & Herlena, B., 2016. Peran Budaya Organisasi terhadap
Disiplin Kerja Karyawan Direktorat Produksi PT Krakatau Steel
(Persero) Tbk Cilegon. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(2),
pp.225–234.
Rafiei, M. & Bahmani, A., 2014. Identification of Factors Affecting
Organizational Behavior with Islamic Approach. International
Journal of Humanities and Cultural …, 1(3).
Resty, L., Hariyadi, S. & Nuzulia, S., 2013. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Budaya Organisasi di Perusahaan Daerah Bank
Perkreditan Rakyat Daerah Pati. Journal of Social and Industrial
Psychology, 2(1), pp.1–9.
Rivai, V. & Mulyadi, D., 2009. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Robbins, S.P. & Judge, T.A., 2013. Organizational Behavior 15th ed.,
New Jersey: Pearson Education.
90 Bab 4 Organizational Culture
Robert, K. & Kinicki, A., 2014. Perilaku Organisasi 9th ed., Jakarta:
Salemba Empat.
Sulaksono, H., 2019. Budaya Organisasi dan Kinerja, Yogyakarta:
Deepublish.
Sutrisno, E., 2018. Budaya Organisasi, Jakarta: Prenadamedia Group.
Tipster, T., 2013. 4 Types of Organizational Culture. www.artsfwd.
org. Available at: http://www.artsfwd.org/4-types-org-culture/
[Accessed June 1, 2020].
BAB 5
KNOWLEDGE MANAGEMENT TOOLS
Oleh:
Nurul Hikmah
Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
[email protected]
A. Pendahuluan
Alat manajemen pengetahuan meupakan campuran dari
pengalaman, nilai, informasi yang nyata (fakta), dan wawasan ahli,
yang menyediakan kerangka kerja untuk menilai dan digabungkan
pengalaman baru dan informasi. Sumber pengetahuan dan
diimplikasikan oleh seseorang yang termuat dalam dokumen,
rutinitas, proses, dan praktik organisasi.
Alat manajemen pengetahuan tidak berdiri sendiri, alat
manajemen pengetahuan hanya bisa dipahami dalam konteks yang
digunakan dan metodologi yang mendukung. Apabila fokus terlalu
banyak pada alat-alat manajemen pengetahuan maka kita bisa
mendeskripsikan pengetahuan itu sendiri, karena ada bermacam
jenis pengetahuan dalam seseorang atau organisasi dan kekayaan
pengetahuan ini dapat hilang apabila kita menempatkan terlalu
banyak penekanan pada satu jenis tertentu pengetahuan atau
pengetahuan budaya, karena ini cenderung `tidak ada hasil yang
keluar’ dari pengetahuan individu atau organisasi dan meninggalkan
mereka rentan kompetitif (pengetahuan mempunyai kehidupan tidak
terbatas).
B. Tools dalam Tahapan Manajemen Pengetahuan
1. Blogs
(Sartono, 2016) menjelaskan bahwa blog merupakan suatu
pelayanan aplikasi dari internet bisa diaplikasikan oleh pendidik dan
91
92 Bab 5 Knowledge Management Tools
pelajar yang dijadikan sumber belajar yang tidak terbatas. Pendidik
bisa mengupload semua informasi yang berhubungan dengan materi
pembelajaran yang diajarkan dengan menambahkan multimedia
(gambar, animasi, efek suara dan video) supaya menarik dan lebih
mudah dipahami. Dilihat dari sisi pelajar, pelajar bisa mengupload
informasi yang sesuai dengan tema dan tujuan yang ingin dicapai.
Menggunakan blog ini dijadikan media pembelajaran dan sebagai
sumber belajar paling tidak akan mengubah cara belajar dan
teknik pembelajaran supaya tidak membosankan, kemudian bisa
memberikan motivasi pelajar dalam mempelajari sesuatu.
(Sulistiyowati, 2011) menjelaskan dalam jurnal Al-Bidayah
bahwa blog mempunyai banyak manfaat diantaranya bagi pendidik
sebagai tempat berbagi lesson plan, link ke sumber-sumber online dan
search engines, menyebarluaskan informasi dan untuk komunikasi
sesama pendidik. Bagi pelajar blog bisa memberikan kemudahan
untuk komunikasi secara online dan melatih siswa untuk berinteraksi
sosial dengan lebih mandiri dan percaya diri. Blog juga menyediakan
ruang pencarian informasi yang berguna bagi pelajar SD/MI untuk
memahami konsep sains secara mandiri.
(Deng and Yuen, 2011) menjelaskan dalam jurnal computers and
education tentang blog sebagai paradigma penerbitan online yang
dominan adalah minat yang tumbuh dalam manfaat dan aplikasi
pendidikan. Studi ini bertujuan untuk mengembangkan kerangka
kerja yang didasarkan secara empiris untuk blogging pendidikan dalam
konteks pendidikan guru. Kerangka kerja pertama kali diusulkan yang
menyoroti empat bidang: ekspresi diri, refleksi diri, interaksi sosial,
dan dialog reflektif. Sebuah studi eksplorasi kemudian dilakukan
untuk memeriksa kerangka kerja dengan melibatkan dua kelompok
guru siswa selama praktik mengajar mereka. Studi ini mengungkapkan
bahwa nilai-nilai penting dari blog berpusat pada ekspresi individu
yang bermuatan emosi dan sosial serta refleksi diri. Fungsionalitas
interaktif blog digunakan terutama untuk bertukar dukungan sosial
daripada dialog reflektif. Dimensi baru - membaca blog - telah
muncul melalui penyelidikan dan ditambahkan ke kerangka kerja
Bab 5 Knowledge Management Tools 93
asli. Temuan ini bisa berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik
tentang nilai-nilai pendidikan blog dan aplikasi yang berarti sebagai
media pendidikan.
(Halic et al., 2010) menjelaskan dalam jurnal internet and higher
education journal tentang blog memiliki potensi untuk meningkatkan
refleksi, rasa kebersamaan dan kolaborasi di ruang kelas sarjana. Studi
tentang keefektifannya masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini yaitu
untuk menyelidiki apakah penggunaan blog dalam kelas kuliah besar
akan meningkatkan persepsi pembelajaran siswa. Siswa dalam kursus
gizi sarjana diharuskan untuk terlibat dalam percakapan blog selama
semester untuk mempromosikan pembelajaran reflektif. Enam puluh
tujuh mahasiswa sarjana menanggapi survei dengan dimensi tentang
persepsi pembelajaran dan rasa kebersamaan. Kepekaan komunitas
dan keahlian komputer diidentifikasi sebagai prediktor signifikan
dari pembelajaran yang dirasakan, ketika dikontrol untuk usia, jenis
kelamin, dan pengalaman blogging sebelumnya. Sementara mayoritas
siswa melaporkan bahwa blogging meningkatkan pembelajaran
mereka dan membuat mereka berpikir tentang konsep kursus di
luar kelas, nilai persepsi yang dirasakan lebih sedikit dalam komentar
rekan. Implikasi untuk mengintegrasikan blog ke ruang kelas sarjana
dibahas.
(Chau and Xu, 2012) menjelaskan dalam jurnal MIS quarterly:
management information systems tentang meningkatnya popularitas
Web 2.0 telah menyebabkan pertumbuhan eksponensial dari
konten yang dihasilkan pengguna dalam volume dan signifikansi.
Salah satu jenis penting konten yang dibuat pengguna adalah blog.
Blog mencakup informasi bermanfaat (mis., Ulasan produk yang
mendalam dan komunitas konsumen yang kaya informasi) yang
berpotensi menjadi tambang emas bagi intelijen bisnis, membawa
peluang besar untuk penelitian akademik dan aplikasi bisnis.
Namun, melakukan intelijen bisnis di blog cukup menantang
karena banyaknya informasi dan kurangnya metodologi yang diadopsi
secara umum untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi
tersebut secara efektif. Dalam tulisan ini, diusulkan kerangka kerja