Cinta Sepucuk Pinang
Sebuah Antologi Puisi
Penyair Kampus Seribu Jendela
Jilid I
Yoseph Yapi Taum
(Editor)
Iksana Murib, Eunike Zabrina AL, Yulani Wonge, Yulita Maizia,
Rizki Valensi, A. Ria Puji Utami, Bayang Kalbu, Brigitha Dina
Anggraeni, Elizabeth Ratnasari, Lidia Nathalia Trysnawati Rido,
Ludgerdius Beldi, Mikail Septian A.V., Paskaria Tri Astanti,
Paulina Vianty Eka Permata, Wendy Nugroho
2013
2
CINTA SEPUCUK PINANG,
REPRESENTASI CINTA PARA PENYAIR KAMPUS
Antologi puisi Cinta Sepucuk Pinang ini memuat puisi-puisi dari 15 orang
penyair Kampus Seribu Jendela -- julukan untuk menyebut Kampus Universitas
Sanata Dharma. Pada mulanya puisi-puisi ini merupakan hasil latihan dalam mata
kuliah Penulisan Puisi, salah satu mata kuliah yang tergolong di dalam kelompok
mata kuliah creative writing. Mata kuliah ini dirancang untuk memberikan ruang
dan panggung bagi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Angkatan 2011
untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikapnya dalam bentuk puisi.
Pengalaman menulis puisi merupakan sebuah pengalaman yang sangat
personal sifatnya. Dengan alat yang sangat sederhana, yaitu kemampuan dan
ketrampilan berbahasa, seseorang dapat menghasilkan sebuah karya seni dalam
bentuk puisi maupun prosa. Ibarat seorang pematung, penyair juga menakik-nakik
bahasa untuk membentuk sebuah sketsa kehidupan yang dapat dirasakan
geloranya, semangatnya, rohnya, jiwanya. Sebagai ekspresi personal, setiap
ungkapan puitis muncul dari moment-moment estetis yang juga berada pada ranah
privat. Siapa pun tidak dapat mengatur irama puitis itu datang dan pergi.
Yang dapat dilakukan dalam kuliah creative writing adalah menciptakan
suasana dan menunjukkan sarana-sarana puitik yang bisa dan biasa digunakan para
penyair untuk menghasilkan puisi-puisinya. Dengan situasi dan proses yang sama,
para penyair memberikan hasil yang berbeda-beda, baik kuantitas maupun
kualitasnya. Ada penyair yang hanya menghasilkan lima buah puisi, tetapi ada
pula yang menghasilkan dua kali lipat daripada temannya. Keberanian beberapa
penyair mengeksplorasi bentuk dan isi puisi-puisinya kadang mengagumkan,
sekalipun banyak pula yang berpuisi dengan mengikuti pakem sastra yang sudah
lazim. Hasil itu dapat dinikmati para pembaca dalam sajian antologi puisi ini:
puisi-puisi yang diafan maupun yang prismatis tersaji di sini.
Antologi ini diberi judul Cinta Sepucuk Pinang. Judul ini diambil dari judul
salah satu puisi karya A. Ria Puji Utami. Puisi ini dijadikan semacam maskot bagi
antologi ini karena dua alasan. Pertama, judul puisi Ria Puji Utami ini merupakan
sebuah judul yang puitis, alegoris, dan analogis. Kedua, membaca puisi-puisi
dalam antologi Cinta Sepucuk Pinang, kita seperti membaca semangat hidup.
Selalu ada harapan, semangat, kerinduan, cahaya keilahian yang lembut dalam
situasi batas tergelap sekalipun. Semangat hidup itu adalah cinta. Cinta dalam
ekspresinya yang paling sederhana, cinta saat berempati terhadap nasib orang-
orang yang terpinggirkan, yang didera ketidakadilan, cinta kepada kampung
halaman, ibu atau kekasih. Yang terakhir ini tak dapat dielakkan karena rata-rata
usia mereka adalah usia remaja yang sedang menikmati indahnya cinta romantis.
3
Seperti terlihat pada puisinya, bagaimana pun, puisi “Cinta Sepucuk Pinang”
merupakan sebuah puisi yang sangat berhasil. Puisi ini mengungkapkan rasa rindu
dan kecintaan penyair pada negeri Melayu –tanah kelahirannya di Muara Bulian,
Batanghari, Jambi, bekas kerajaan Sriwijaya. Tema rindu akan kampung halaman
merupakan sebuah tema yang banyak digarap para penyair Indonesia. Kerinduan
itu kemudian menjadi representasi berbagai ekspresi kerinduan lainnya, seperti
telah disebutkan di atas. Berikut ini disajikan puisi „maskot‟ itu.
Cinta Sepucuk Pinang
Oleh A. Ria Puji Utami
Negeriku indah
Negeri penuh cinta
Negeriku kurindu
Negeri buah pinang masak
Mengukir sejarah negeri Melayu
Kerajaan Sriwijaya bertahtah
Di bantaran sungai Batanghari
Meninggalkan cerita lama
Kini kujauh darimu
Negeriku kurindu
Ingin kukembali
Bermain sampan
di huluan sungai
Pinang masak tlah membenam di ufuk senja
Memejamkan mataku di akhir cerita
Membawa rinduku ke dalam mimpi
Mimpi tentang cinta sepucuk pinang
Penerbitan antologi ini merupakan penerbitan perdana dari serial Penyair
kampus Seribu Jendela. Diharapkan agar setiap akhir mata kuliah Penulis Puisi,
akan lahir antologi-antologi serupa yang diurutkan serial atau jilid-nya. Pentingnya
menerbitkan antologi ini, antara lain, agar para calon penyair mempelajari
kekuatan dan kelemahan puisi-puisi yang ada agar mereka dapat menghasilkan
puisi-puisi yang lebih baik dan lebih bermutu di kemudian hari.
Dalam mempersiapkan penerbitan antologi perdana ini, saya dibantu oleh
Wendy Nugroho. Saya mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Semoga
terbitan ini bermanfaat.
Yoseph Yapi Taum
Editor
4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
01 Iksana Murib
(1) Sebasibisubisa
(2) A dan A
(3) Penampung
(4) Terbalik
(5) Sempit
(6) Catatan Gelap
(7) Liar
(8) Matahari Bungkam
(9) Tenggelam
(10) Lenyap
02 Eunike Zabrina AL
(1) Kembali Pulang
(2) Cinta itu Sederhana
(3) Sajak Cahaya
(4) Sajak Lelaki Pecundang
(5) Sepiku Satu
(6) Sajak Kerinduan
(7)
(8) Mimpi
03 Yulani Wonge
(1) Kejahatan
(2) Burung-burung Kecil
(3) Untuk Kekasihku
(4) Takdir
(5) Anugerah
04 Yulita Maizia
(1) Sajak Alam
(2) Langit
(3) Gadisku yang Malang
(4) Sang Dewa Pencemburu
(5) Di Sisa Jawaban
(6) Alam pun Hidup
(7) Menyerah
5
05 Rizki Valensi
(1) Jam Tua
(2) Aku Kamu
(3) Bangkai
(4) Doa Untuk Pahlawan
(5) Doa di Ambang Petang
(6) Bintang yang Hilang
06 Ria Puji Utami
(1) Senyum Mentari Ibu
(2) Ketika Senja
(3) Elegi Hujan
(4) Sajak Pelangi
(5) Sepenggal Duka
(6) Sayap Amarah
(7) Aku Orang Kecil
(8) Cinta Sepucuk Pinang
(9) Sang Penguasa
(10) Puing-puing Kekejaman
(11) Sayap yang Patah
(12) Keindahan Cinta
07 Bayang Kalbu
(1) Kutukku
(2) Pohon Apel
(3) Seorang Putri
(4) Dia
(5) Sajak Puzzle
08 Brigitha Dina Anggraeni
(1) Selamat Pagi Cinta
(2) Wahai Kekasih
(3) Hentikan Kekerasan di Muka Bumi
(4) Kekecewaan
(5) Banjir Darah Ayah
(6) Aku Pelacurmu, Bung!
(7) Aku Perempuan
(8) :R
(9) Tragedi
(10)Dilema
(11)Losmen
(12)Aku Menunggumu R
6
09 Elizabeth Ratnasari
(1) Kekasihku
(2) Berikan Hidupku
(3) Sajak Adikku Malang
(4) Merapiku
(5) Perpisahan
10 Lidia Nathalia Trysnawati Rido
(1) Hilangmu, Dukaku
(2) Denting Rindu
(3) Kemiskinan
(4) Jika Kau adalah Aku
(5) Sanggupkah
11 Ludgerdius Beldi
(1) Segitiga Pekat
(2) Ballada Badu dan Budi
(3) Cuap-cuap Bro-Bra
(4) Anjing!
(5) Bee
(6) Suaka Kuasa
12 Mikail Septian A.V.
(1) Penguasa
(2) Bocah Berbisa
(3) Pantai
(4) Koral Cinta
(5) Kopi Secangkir
(6) Ada-ada Sajak
(7) Kuning
(8) Tua Renta
13 Paskaria Tri Astanti
(1) Kaca Kerinduan
(2) Sajak Tengkorak
(3) (Bukan) Pendosa
(4) Sajak Seonggok Mayat
(5) Ujung
(6) Pada Malam
(7) Pintu
7
14 Paulina Vianty Eka Permata
(1) Sajak Kerinduanku
(2) Ajari Aku
(3) Tikus Negara
(4) Kejamnya Dunia
(5) Penyesalan Tak Berujung
(6) Untukmu Ibu
(7) Goresan-goresan Rindu
15 Wendy Nugroho
(1) 11002722013
(2) 23.19/16413
(3) 02034/18.09
(4) 1744 04032013
(5) 0613 04032013
(6) 22032013/2041
(7) 808.080513 k20
(8) 2105.070513
8
01 Iksana Murib
Iksana Murib, lahir 1 Agustus 1992 di Wamena, Papua. Tamat SD dan
SMP (2007) di Timika, SMA Masehi II PSAK (2011) di Semarang , Jawa
Tengah. Masuk Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma (USD) Yogyakarta angkatan 2011. Sekarang sedang
menempuh kuliah di USD.
9
Sebasibisubisa
: Sutardji Calzoum Bachri
Sebisabisu luka sebisubisa memori
Sebasibisa hangan sebasibisu bayangan
Sebisabisu sakit sebisubisa mati
Sebisabasi hitam sebisubasi gelap
Sebisubisa sebasibisu
Sebisabisunya sebasibisa biasa
Sebisubisa sebasibisu
Sebisa bias menahan mati
Sebisubisa sebasibisu
Sebisabisu sebisubasi
Sebisubasi sebasibisa
Selesai bisanya menghantam usia
10
A dan A
Dari A harus ke Z
Dari Z tidak ke A
Aku tidak harus
Harus tidak aku
Dari 1 harus ke 100
Dari 100 tidak ke 1
Kau tidak harus
Harus tidak kau
Dari lalu harus ke depan
Dari depan tidak ke lalu
Hidup tidak mati
Mati tidak hidup
11
Penampung
Berdiri tegak di dalam tenang
Geser bergerak
Buka hidup
Nikmati berkurang
Keluar habis
Sampai kosong saat itu
Setelah itu ada lagi
Masih ada
Akan ada
Ada seterusnya
Sangat membutuhkan pelindung dan isi
Mungkin pelindung akan habis
Isi akan abadi
Sampai mata tak melihat
Tangan tak memegang
Mulut dan lidah tak merasakan
Nafas hilang
Selamanya akan ada
12
Terbalik
Tahun yang tua menjadi muda
Lama menjadi baru
Tahun yang muda menjadi tua
Baru menjadi lama
Dulu negeri ini negeri perjuangan
Dulu negeri ini disanjung tinggi
Darah menjadi bayarannya
Kematian menjadi keharusan
Namun, kini negeri ini menjadi lemah
Dipermalukan dan dibodohkan
Korupsi menjadi budaya
Manipulasi menjadi motivasi
Dan kita hanya bisa menjerit
di dalam lubangnya.
13
Sempit
Wajah memucat
Mulut gementar
Hati gelisa
Keringat membasahi baju
Ayah tergeletak di atas darah
Rumah hitam
Matahari dan bunga tak lagi bicara
Ayah, diam tanpa kata
Beku semuanya
Angin tak lagi menari
Rumah asam diikat
Kanan buntut
Kiri buntut
Pintu-pintu tak mau konfomi
Kunci tanpa bunyi
Jendela patung
Dan hanya bisa bergetar
14
Catatan Gelap
Tersimpan
Lalu memori
Memori kemudian simpan
Hati dan pikiran
Bumi
Matahari
Diam
Kau menyapa diriku
Cukup hanya aku
Andaikan bibir tak kaku
Cukup untuk aku
Andaikan hati bertindak
15
Liar
Dendam membara
Cemburu pemburu
Dan kau puas menjadi serigala
Rasamu mati
Otak hilang
Kejar darah sampai puas
Manusia menjadi makanan
Dimana nilainya?
Tidak kah kau puas
Serigala
16
Matahari Bungkam
Jauh tak terlihat
Semakin mendekat tak nampak
Dekat tak jelas
Semakin depan mala hilang
Tetapi tangan tak sampai
Penasaran dengan rasa
Akan kudapat
Dalam waktu yang sama
Dan tangan ini akan sampai
Dengan dirimu
Harum bunga
Mengantarkanmu mewakili aku
17
Tenggelam
Rasa terpendam
Bayangan gelap
Tak begitu nampak
Dan rasa ini mulai tak tentu
Kau akan ada dalam bungkusan hati
Yang selalu diam
Di pikirkan
Kau mengalir dalam pikiranku
Bunga sakura berguguran
Aku di bawa
Rasa akan terungkap
Di sini
18
Lenyap
Bagaikan semu rupamu
Tak terpikir hingga nampak
Akhirnya wajahmu hanyut
Dalam bayang bayangan-bayangan
Sebagai otak aku tak mampu
Menampung wajamu yang semu
Tetapi sepertinya aku paham
Bahwa kau selamanya akan semu
Seperti memori yang dicut
19
02 Eunike Zabrina AL
Eunike Zabrina AL, lahir di Semarang, 3 Juli 1993. Tinggal
di Jl. Soka No. 36 Baciro, Yogyakarta. No.telp/e-mail
081804107375/[email protected]. Beragama Katolik.
Hobiku nonton TV, baca novel, baca majalah, tidur. Cita-cita
menjadi penulis, editor. Moto “Jangan pernah
menutup bolpoin sebelum ujian selesai!” Kini menjadi
mahasiswi USD dan belum menikah.
Pendidikan (1) SD Tarakanita 1, Jakarta; (2) SMP
Tarakanita 5, Jakarta dan SMP Kalam Kudus Jayapura,
Papua; (3) SMA Stella Duce 1, Yogyakarta; dan kini (4)
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
20
Kembali Pulang
Jika kau datang lagi
Dengan tulus hati
Aku masih setia
Kau yang dulu t‟lah bermetamorfosis
menjadi seorang yang kukagumi
Bagai ulat yang menjadi kupu-kupu
tataplah wajahku
Jika kau datang lagi
Hanya untukku
cintamu kauberi
Dengan kaca pun
aku tak mau berbagi
21
Cinta itu Sederhana
Saat itu adalah hari yang sangat berarti
hanya ada kau dan aku
di sebuah taman kecil yang indah
dihiasi bunga-bunga berwarna-warni
Burung-burung beterbangan
menghiasi langit biru cerah
Bunga-bunga bermekaran
menandakan cintaku kepadamu
Cinta itu cinta kita
yang semakin indah
Aku terhanyut dalam suasana romantis itu
hanya ada kau dan aku
di sebuah taman kecil yang indah
dihiasi oleh bunga-bunga yang berwarna-warni
Aku menggenggam tanganmu erat-erat
Dan tak akan kulepaskan
Sayang, kau tampak begitu mempesona
Senyummu…
Tawanmu…
Candamu…
Semua yang ada pada dirimu
Kau tampak indah dan menawan di mataku
Kau tampak sempurna di mataku
Seperti bunga-bunga yang bermekaran
Di bawah langit biru cerah
Aku sangat mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Kadang, aku merasa kesal
sikapmu kekanak-kanakan
Tapi aku sadar…
rasa kesal itu berubah menjadi cinta
yang tak menuntut kesempurnaan
Cinta yang penuh kesederhanaan
Cinta itu, hanya kau dan aku
Cinta itu sederhana
22
Sajak Cahaya
Aku berdiri seorang diri
Diantara ribuan laki-laki pembunuh
Aku berteriak sekencang-kencangnya
Tapi tak seorang pun mendengar
Malam begitu dingin dan mencekam
Aku melihat ayahku sudah tak berdaya
Ku goyang-goyangkan badannya
Tapi tak ada reaksi
Aku berteriak lagi sekencang-kencangnya
Dan tak seorang pun mendengar
Kali ini bintang pun tak mau menampakkan dirinya
Aku takut!
Aku mencoba melarikan diri
Tapi selalu gagal
Mereka bagaikan tameng yang sulit dihancurkan
Sekali lagi aku berteriak
Kali ini aku sadar
Ada seseorang yang mendengarku
Aku melihat ke langit
Ada setitik cahaya yang muncul
Aku tahu aku akan terbebas
Dari kerumunan pembunuh ayahku
Semakin kencang aku berteriak
Semakin banyak cahaya yang timbul
Ah,
Aku sadar akan satu hal
Aku melihat wajah ayahku
Dalam cahaya itu
23
Sajak Lelaki Pecundang
Tubuh mungilnya tergeletak di lantai
Hei, tunggu!
Apa aku salah lihat?!
Mana tangannya? Mana kakinya?
Aku tahu kau sangat membenci adikku
Tapi…kau apakan tubuhnya??
Tubuhnya bak kertas yang di sobek-sobek
Yang tak dapat disatukan kembali
Kau laki-laki biadab!
Kau tega memotong-motong tubuh adikku
Tubuh mungilnya yang dulu selalu ia rawat
Sekarang kau hancurkan begitu saja
Kau sungguh laki-laki pecundang!
Tak punya hati apalagi perasaan!
Kau rela membuang potongan tubuhnya ke jalanan
Seperti sampah yang di urak-arik oleh anjing jalanan
Kau dan perempuan itu adalah manusia paling hina!
Manusia yang tak ber-Tuhan!
24
Sepiku Satu
Malam seperti membisikkan
sesuatu padaku
Tetapi yang kudengar
hanya gumaman sendu
Kulihat bintang
Tetapi bintang menundukkan kepalanya
Seakan malu melihatku
Kulihat bulan
Bulan pun membalikkan badannya
Agar tidak melihatku
Malamku terasa pahit
Berteman pada bulan
dan bintang pun tak mungkin
Aku mencium bau melati di sekitarku
Ah! untuk apa aku hidup
25
Sajak Kerinduan
Setiap detik kutengok layar ponselku
Waktu berjalan sangat lamban
Jantungku berdebar tak karuan
Menunggu kabar darimu
Jam dinding seakan menertawakanku
Aku tak peduli !
Tawanya semakin keras
Aku makin tak peduli !
Dadaku sesak ditikam oleh 1000 pisau
Mataku seperti mengeluarkan nanah bening
Tubuhku seperti hilang nyawa
Karena menunggu ketidakpastian darimu
Ku tengok lagi layar ponselku
Senyumku sinis pada jam dinding
Tubuhku sudah bernyawa lagi
Pisau-pisau tak lagi menembus dadaku
Kabar yang kutunggu
akhirnya datang darimu
Jam dinding pun menyembunyikan mukanya
Karena tak mampu melihatku
Yang sedang berbunga-bunga
26
Wajahnya merah bak udang rebus
Seikat mawar merah darimu
Mampu membuat tubuhnya terpaku
Air mata menetes dari pelupuk mata
Air mata bahagia
Air mata masa depan
Orang itu seperti cupid
Yang mampu menaklukan hatinya
Hati yang dulu seperti batu
Kini lembut bagai kapas putih
27
Mimpi
Mimpiku pada bulan
Mimpiku pada malam
Larut dalam cahaya lilin yang meredup
Harapan tergantung pada bulan
Cita-cita menjadi yang utama seperti malam
Waktu seperti berlari mengejar
Atau kita yang mengejar waktu ?
Bulan tak selalu terang
Malam tak selalu gelap
Dengan keyakinan yang kuat
Berlandas mimpi, harapan, cita-cita
28
03 Yulani Wonge
Yulani Wonge lahir di Jara-jara, Halmahera Timur, Propinsi Maluku
Utara, tanggal 16 Oktober 1993.
Pendidikan:
SD: Sekolah Dasar Negri , Kec. Maba. Kab, Halmahera Timur,
Prov. Maluku Utara (1999-2004)
SMP: Sekolah Menengah Pertama Negri Kec. Maba. Kab,
Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara (2005-2007)
SMEA: Sekolah Menengah Ekonomi Atas, Tobelo Halmahera
Utara, Prov. Maluku Utara (2008-2011),
Kuliah pada tahun 2011 di Universitas Sanata Dharma-
Yogyakarta, jurusan Sastra, prodi Sastra Indonesia hingga saat ini.
Catatan; sejak SD sampai SMP saya bercita-cita menjadi
seorang polwan (polisi wanita) tapi cita-cita saya tidak terwujud
karena ketika saya duduk dikelas tiga SMP saya mengalami rabun jauh
yang menyebabkan saya harus memakai kacamata sampai sekarang,
sehingga cita-cita saya tidak terwujud, saya lalu melanjutkan pendidikan saya di SMEA Tobelo
Halmahera Utara.
Pada tahun 2010 saya pernah mendapat juara 1 umum di SMEA Tobelo Halmahera
Utara, dan mendapat juara 1 kelas sampai menamatkan pendidikan saya, dan saat SMA saya
bercita-cita menjadi perawat, tapi karena saya mengira kalau lulusan SMEA tidak diterima di
sekolah perawat akhirnya saya bercita-cita lagi menjadi seorang wartawan, dan sampai saat ini
saya memilih kuliah di Sanata Dharma dan mengambil jurusan Sastra Indonesia. Awalnya saya
merasa bingung karena saya belum sama sekali mengenal dunia kesastraan, dari kecil saya tidak
perna diajari dunia sastra tapi ketika saya mendapatrkan mata kuliah puisi, saya mulai tahu sosok
saya sebenarnya. Ternyata saya juga punya bakat dalam menciptakan puisi dan karya-karya
lainya. Semoga dengan mata kuliah penulisan puisi, yang sudah saya dapatkan, bisa menambah
pengetahuan dan ketrampilan yang lebih baik lagi dalam berpuisi.
29
Kejahatan
Ketika jiwa-jiwaku terus menari-nari dan tenggelam
Membawa diri ku hanyut dalam keheningan
Tanpa terasa waktu terus bergulir menggrogoti duniaku
Menelan perlahan-lahan semua impianku
Satu per satu jiwa berguguran meninggalkan nama
Meneteskan air mata yang mengalir deras ke bumi
Menancapkan batu nisan yang termakan oleh kejahatan
Datangnya kegelapan dan kehampaan
Menyelimuti hati dan melenyapkan cahayaku
Menggemparkan Bumi yang hangus dengan gelora kekejaman
Yang terus berjalan membuntuti raksasa-raksasa dunia
Sang mentari dan rembulan tak harmonis lagi
Ketika kelembutan cinta terenggut keganasan nafsu
Ketika kehangatan kasih sayang tercabik oleh kebencian
Membutakan kebenaran dan berkuasanya kejahatan
Raksasa-raksa telah menelan jiwa-jiwa kebenaran
Mengikuti alur kehidupan yang mengarah pada kehancuran
Menghembuskan suasana kehinaan yang merambat ke jiwa
dan menusuk jiwa dengan kesedihan dan kepahitan hidup
30
Burung-burung Kecil
Burung kecil yang selalu hinggap
di ranting pohon dalam taman kampus
entah dari jenis dan kelompok mana
riang berkicau menatap hari pagi
selalu memberi salam pada matahari
burung-burung kecil terbang di sore hari
menuju arah selatan bersama-sama
adakah sesuatu yang menarik di sana
sepertinya tidak ada yang ingin mengetahui
bukankah alam terbentang semesta
semata semua adalah milik-Nya
31
Sajak untuk Kekasihku
Semoga hari ini.
Hatimu secerah hari ini.
Secerah matahari bersinar.
Langkah yang kau tapak
selalu membawa kebahagiaan.
Biarkan musim berganti.
Tinggalkan kesan yang mendalam.
tak mudah dilupakan
dari mata jernihmu yang berkaca.
Lihat aku..
Yang selau bisa membaca pikiranmu.
Mengisi jiwamu
menyapamu menghias hari-harimu.
Lihat senyumku...
Dengarkan suaraku...
Akan teduhkan jiwamu.
Karena aku mencintamu
dengan kesungguhanku.
32
Takdir
Telah kutuliskan bahwa air itu dingin
bahwa api itu panas dan keduanya
selalu berlawanan.
Telah kutuliskan bahwa siang pasti terang
bahwa malam selalu gelap
dan keduanya saling berganti peran.
Telah kutuliskan bahwa bumi seperti ibu
dan matahari sebagai ayah dan keduanya
meniupkan nafas kehidupan.
Telah kutuliskan bahwa kepalsuan dan pengkhianatan
adalah milik manusia, orang yang terpercaya,
yang menyimpan rencana dan perhitungan.
Telah kutuliskan bahwa sejarah akan berulang tanpa disadari,
tanpa dimengerti, dia datang tanpa ada kemampuan
dan tanpa mungkin dipahami
Karena takdir merupakan suatu kejadian
suatu peristiwa yang sejak lama telah kutuliskan.
33
Anugerah
Tuhan melihatku lapar
Dia hamparkan sawah seluas pandanganku
Tuhan melihatku dahaga
Dia sediakan laut lepas yang tidak terjangkau
Tuhan melihatku dalam kegelapan
Dia ciptakan matahari dan bulan
Tuhan melihatku penuh persoalan
Dia mengajariku arti kesabaran
34
04 YULITA MAIZIA
Yulita Maizia, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, pada
tanggal 19 Mei 1993. Mulai tahun 2011 ia menjalani pendidikan di
Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Hobinya mendengarkan musik, bernyanyi, nonton film, browsing,
dan isengin orang. Cita-citanya ingin menjadi seorang yang
terkenal. Motto hidupnya adalah Kebahagiaan yang kamu
dapatkan akan jauh lebih bermakna jika diawali dengan kejujuran.
35
Sajak Alam
Riuh rendah suara ombak
Terasa tenang bila kumenikmatinya
Burung camar pun ikut bersua menyambutnya
Sambil menerobos langit yang terkoyak
Sayup-sayup sasando berkumandang
Sambil diliputi serbuan angin lembut yang datang
Memaksaku untuk menyimaknya dengan seksama
Suara yang begitu indah dan menyejukkan di dada
Nyiur melambai-lambai bagaikan penari hula-hula
Mengajakku untuk bergoyang dan berdendang
Tak habis kupikir mereka mengajakku dengan penuh gembira
Saling berpandangan dan melenggang
Namun saat ini tak lagi kutemukan mereka
Mereka yang begitu ramah padaku
Kini hanya padang pasir yang fana
Panas mencekik membuat hatiku menggerutu
36
Langit
Langit siang yang indah
Kau menari-nari di sana bersama raja siang
Kagum kumelihatmu begitu kau mempesona
Kuingin kau menghampiriku
mengajakku berdansa bersama kalian
Namun ada penyihir jahat
mengubah langit menjadi gelap
Tampaknya ia iri padamu kawan
Kau menangis dan basahlah bumi
Hingga sungai-sungai
memuntahkan isi perutnya
Bunga-bunga bersorak riang
dan menari-nari menyambut tangisanmu
Katak bernyanyi menikmati tangisanmu
Bagi manusia tangisanmu membawa pilu
Takut akan muntahan sungai
Memporak-porandakan gubuk mereka
Langit terus berkobar-kobar
Ia terus menghajarmu, ia iri padamu
Karena kau indah dan menyejukkan hati
Hatimulah yang membuat langit gelap
menjadi langit berwarna
37
Gadis Kecilku yang Malang
Ribuan senjata
Menghadangku, menakutiku
Menenggelamkanku
Seakan membuatku jatuh
Terperosok ke jurang kematian
Hentakkan jantung ini
Tak jua tenang
Aku berteriak
Aku menangis
Nafasku tersenggal-senggal
Tak ada yang menggendongku
Ataupun mempedulikanku
Jari-jari kecil ini
Hanya sanggup terkulum di mulutku
Menyaksikan orang terkasihku
Disentuh oleh bambu besi
Perasaanku terguncang
Ketika kau mengacungkan senjata itu
Dan melepaskan biji besi itu ke kepalanya
Lidahku kelu menghadang
Apa yang membuatku tertahan
Betapa hinakah ia
Jahatkah ia hingga kalian menghentikan hidupnya
Tangisku seketika terhenti
Melihat orang terkasihku
Bermandikan tinta merah
Dan ia hilang
Tinggalkan aku sendiri
38
Sang Dewa Pencemburu
Taman ini terlihat sepi
Hanya dihuni makhluk berakar tua
Awan putih itu sungguh ramai
Bergerombol bagaikan kawanan domba
Matahari terlalu semangat berolahraga
Cucuran keringatnya jatuh ke tubuhku
Aku haus
Aku gerah
Dan kau pun begitu
Setangkai es krim
Membuat matahari ngiler
Menjatuhkan panas sinis
Melihat aku dan kamu
Di bawah pohon beringin
Yang rindang ini
Menikmati panas
Yang tak kita suka
Biar saja sang dewa
Cemburu pada kita
Yang terpenting aku dan kamu
Tak terganggu
39
Di Sisa Jawaban
Ini apa...
Itu apa...
Aku tak lagi mengenalnya
Dulu yang kuanggap bongkahan emas
Kini telah menjelma sekat menjulang
Lapangan luas dilahap gedung-gedung pencakar langit
Jalan kampung tergilas aspal keras
Aku menebarkan kehidupan
kau merubahnya menjadi rumah mewah
Apa yang kupunya kawan
Hanya kaki tak terawat
Wajah penuh lukisan kepiluan
Kain pembungkus luka yang menggangga
Kunikmati keterisakan tangis di wajahku
Kurasakan sayatan batin
yang tlah mendarah daging di batinku
Tak ada kenyamanan
Tak ada keindahan
Bagaimana dengan nasibku
Nasib yang tak pernah diperjuangkan
Aku bagaikan tulang-belulang
yang tak berguna
Tunggang-langgang ke sana kemari
Mencari asa yang tertunda
Manusia lebih kejam dari dunia ini
Yang bisa melakukan banyak hal
Melebihi mahkluk lainnya
Apa yang kudapatkan kawan
Hinaan
Cacian
Kesengsaraan
Kemunafikan
Keserakahan
Tragis...
40
Alam pun Hidup
Di ujung senja sana
Kulihat bongkahan batu yang kokoh
Sungguh pemandangan penuh panorama
Menjamu langit yang memerah
Berjuta bintang melukis langit
Indah dan tak bercelah
Semakin membuatmu terpesona genit
Memanjakan dirimu yang mulai marah
Langit di ujung sana mendadak gelap
Mendung disertai hujan dan petir menampar
Tak mampu mulut ini untuk berucap
Hanya tangis dan jantung yang mengempar
Batu kokoh tak juga lagi kulihat
Hanya butiran debu yang tak bernilai
Bersenyawa dengan air laut menggeliat
Menambah haru biru dunia ini
41
Menyerah
Tak pernah aku tahu
kapan semuanya akan berakhir
Itu bukan hal yang tabu
walau terasa hambar
Gambaran tentangku di matamu
sulit kutemukan sulit kulukiskan
Hanyalah bayangan semu
yang tak pernah terungkapkan
Terasa begitu miris tersaji tak beralasan
genggaman khayalan yang tak bertuan
Hempasan makna pedih menyakitkan
melengkapi suasana di ruang pesakitan
Apa yang kuinginkan
Apa yang kuwujudkan
Remang-remang lampu ini
mengikuti alur hatiku
Aku merasa semakin sepi
keadaan yang benar-benar meracuniku
Ingin aku berontak
tapi aku bisa berbuat apa
Keadaan sungguh menguasaiku dengan membentak
hilang tersaji di pelupuk mata
Apa yang kupunya
Apa yang kurasa
Indah
Bahagia
Damai
Tidak...!!!
Semakin terpuruk
42
05 Rizki Valensi
Rizki Valensi lahir di Lubuklinggau, Palembang, 15 Juni
1991, beragama Islam, suku Palembang. Alamat Jl. Cendana Blok
G No 116 Perumnas Lubuk Tanjung Lubuklinggau Sumatera
Selatan
085378326665 dan E-mail: [email protected]
FB : [email protected]; twitter :
@valend_olive
Orang tuanya: Adi Sumaryanto dan Rayu Sumarti; Rizki anak kedua dari tiga bersaudara
Pendidikan:SD Negri NO 47 Perumnas; Lubuktanjung Lubuklinggau Sumsel; SMP Xaverius
Lubuklinggau Sumsel; SMA Xaverius Lubuklinggau Sumsel; dan sekarang mahasiswa di
Jurusan Sastra Indonesia 2011Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
43
Jam Tua
TIK. . . tok. . . tik. . . tok
Jam tua berbunyI
Dalam kegelapan malam
Menusuk setiap jiwa
Seolah memberi petanda
TIK. . . tok. . . tik. . . tok
Lagi jam itu berbunyi
Dalam terik matahari
Menerobos masuk kedalam raga
Petanda sebagai semangat
Rumput-rumput berbau surga
Lantai berbau neraka
Siang kita di taman
Malam kita di kamar
Kau dan aku dalam dekapan
Membangun kekokohan cinta
Dan jam tua menjadi saksi
44
Aku Kamu
Cinta adalah setia
Izinkan aku untuk mencintaimu
Berharap cinta yang tulus
Seperti air yang menemani hujan
Hatiku adalah kamu
Di hatiku ada namamu
Berharap jodohku adalah kamu
Seperti lebah dan madu
Bumi adalah tempatku berpijak
Ada hujan ada matahari
Begitu pula dengan cinta
Aku ada karna kau telah tercipta
45
Bangkai
Bunga tumbuh karna adanya air
Jika tak ada air maka ia akan kering
Begitu juga “Kau”
Kau tumbuh subur dan makmur
Hanya harta yang kau cari
Bumi hanya menerimamu sesaat
Uang hanya lewat sebentar saja
Daun beterbangan dibawa angin
Kau hanya duduk manis
Bersama teman-temanmu yang kejam
Kau berada di tingkatan tinggi
Sedangkan kami berada di bawah
Kau dan kami bagaikan langit dan bumi
Kau tak ada apa - apanya tanpa kami
Kau jadikan kami korban
Matahari menatapmu dengan sinis
Ia tahu kaulah penyebabnya
Banyak orang kelaparan
Banyak juga orang mati
Terciumlah bangkai dimana-mana
Kau penghancur bumi
Kau tikus rakus, kau juga siluman
Kau tak henti-hentinya menggerogoti
Hingga kami semua musnah
Hancurlah tanah airku
46
Doa Untuk Pahlawan
Suara hujan terdengar diluar sana
Riuh – riuh angin menerbangkan atap – atap rumah
Kubungkam mulutku dengan tanggan
Agar ayah tak mendengar tangisku
Mereka terus menyakiti ayahku
Seperti burung yang sedang menyantap bangkai
Darah segar mengalir deras
Seperti derasnya hujan di luar
Ayah terus merintih
Aku tak kuat melihat ini
Pemandangan buruk dan sangat menyedihkan
Aku melihat sendiri pintu kematian
Detik – detik dimana aku akan kehilangannya
Aku benci mereka! Mereka adalah musang liar
Andai bisa kuhentikan waktu
Hendak kubawa lari ayah jauh – jauh
Sejauh kakiku berlari
Meninggalkan bumi yang kejam ini
Asal aku tetap bersama ayah
Aku memohon dengan suara lirih
“ Tuan . . . jangan bunuh ayahku “
“ Bunuhlah aku saja“
“ Aku ingin ayah hidup“
“ Hidup selama – lamanya“
Aku hanyalah gadis kecil
Tak banyak yang bisa aku perbuat selain berdoa
Ya Allah . . .
Hanya satu pintaku: lindungi ayahku
Selamatkan pahlawan keluargaku
47
Doa di Ambang Petang
Dari terbit
Hingga tenggelamnya matahari
Dari terang
Hingga gelapnya langit
Kau tak kunjung pulang
Aku, bapak dan ibu
Mencari kau kemana-kemana
Di bantu juga warga dan pak polisi
Kau tetap tak kami temui
Tiga hari berlalu
Satu minggu berlalu
Satu bulan pun berlalu
Kau masih tak pulang
Saat kota ini diramaikan
Saat potongan mayat ditemukan
Bau amis berlalu – lalang di hidung
Membuat goa mulut ingin memuntahkan
Aku, bapak dan ibu
Segera datang ke sana
Melihat apakah itu kau
Kau yang slama ini kami cari
Kaki terasa lemas
Jantung berhenti
Mata hendak meloncat
Dan nadi tak mampu berdenyut
Ternyata itu kau!
Kau adikku sayang
Kau seperti binatang jalang
Terlihat tiada artinya
Keparat . . .
Sampah keluar dari mulutku
Siapa yang kejam melakukan ini
Apa salah adiku ?
Kami kaum miskin
Kami kaum kumuh
48
Dan kami pula kaum menderita
Apa kami punya salah ?
Mengapa adikku menjadi korban
Gadis yang tak tahu apa – apa
Dunia ini membuatku semakin muak
Muak akan perlakuan manusia
Manusia yang serupa dengan setan!!
Adik . . .
Aku berjanji
Selalu berdoa untukmu
Dengan hati yang pilu
Dengan badan berserah diri
49
Bintang yang Hilang
Bintang ke manakah engkau
kutunggu setiap malam
aku memandang angkasa luas
berharap dapat temukan sinarmu
Mungkin kau sedang terluka
Bersembunyi mencari obat
Jika sembuh keluarlah
Temui aku melalui sinarmu
Aku merenung seorang diri
sepertinya aku tahu
apa penyebabmu menghilang
Dunia dan isinya ini
diciptakan dengan indah
tapi manusia merubahnya
Hingga kau tak mau menampakkan diri lagi
50
Syair Hembusan Rindu
Kamu di sana
Kamu jauh di sana
Sedangkan aku
Aku hanya di sini
Kesadaranku hilang
Hilang entah kemana
Mungkin aku diterpa angin
Mungkin aku dibawa bintang malam
Diam adalah aku
Aku diam menantimu
Berharap kita bertemu
Seperti kemarin
Sejuknya udara pagi
ku hirup dalam-dalam
Kurasakan tiap hembusan
Berharap beraromakan engkau
Hanya foto yang dapat kupandangi
Hanya bayangmu hadir bersamaku
Hanya ketulusan yang membuatku bertahan
Bertahan atas nama cinta