The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2021-11-04 10:17:35

SPORASA

Di Musim Kemarau

Keywords: Prosa

Antara jarak dan aroma perasaan. Tentang harapan temu
di bibir kerinduan. Pada nyanyian-nyanyian kalbu
sebening kasih sayang.

Terkisahkan, pertemuan suara di ruang-ruang dunia fana.
Seperti terbang bebas ke arah mata angin Nusantara.
Sesuatu yang mustahil, bisa bertemu dengan orang lain
pertama kali. Perkenalan diri di ke heningan tatar kota.
Pada tanggal kata yang bisu karena kita.

Suara angin, tetesan hujan, dan sinaran rembulan
malam. Menjadi saksi, jika kita pernah terjebak pada
dimensi nyata tak berwujud. Melahirkan berjuta
peristiwa di setiap detik-detak sang waktu. Menimbun
perasaan yang bersembunyi dengan baik, dibalik suatu
nama pertemanan.

Meski aku lantangkan dengan sangat. Meski terhampar
dengan canda. Kenyataannya, sakitnya jiwa yang
terhempas, terasa nyata di kehidupan nyata.

Zaman yang semakin meningkat dalam peradaban.

Bukan lagi saling berbalas surat dengan jarak yang
bersekat. Tapi suara-suara yang mendayu sampai kita
tertidur di ranjang paling nyaman yang di hantarkan
lagu-lagu.
Teman, keluarga, sahabat yang selalu ada, hingga
mantan kekasih pujaan hati.
Ingatlah ... di sana kita pernah punya cerita.
Bandung, 01 Agustus 2020

Pelangi di Saku Celanaku
Karya : Garis Hitam
Tangan itu kini sampai padaku
Sepasang dua bola mata saling bertemu

Setelah dua purnama jadi saksi bisu
Betapa keras hatimu saat itu

Di ujung pandang yang kau ceritakan
Di satu bintang yang kau inginkan
Sedalam laut yang sering kau tenggelamkan jiwa ini
Kini telah bersemi, setelah hujan datang kemarin pagi

O kekasihku ...
Masih berbekas, goresan perjuangan mendapatkanmu
Masih terasa, ribuan luka penolakan caci maki
Pada jiwa yang kini kerap kau tangisi, pada mutiara
hitam yang menari di malam hari

Apalah dayaku kekasih, jikalau memang terlanjur cinta
Kepada nama di dalam puisi-puisi rapalan mantra
Kepada rengekan bayi malang di saat pagi buta
Kepada kamar tidur yang sering membuatku lupa

O kekasihku ...
Aku mencintaimu begitu keras
Di pagi buta, sering aku meninggalkanmu

Malam tiba, kuberikan seember keringat lelah yang siang
tadi aku peras.
Bandung, 1 Agustus 2020

Hidrasi Intipati; di Ambang Batas
Garis Hitam
Kelambu kelam, kini terpasang di rona wajahmu hari ini
menandakan sepi yang merindukan pelangi
memecah belah pertahanan hati
ketika Tuan yang kau cintai; tertidur pulas menyemai
sepi

Terkisahkan; dua ucap janji saling mengucapkan
menari-nari di taman harapan
mengenggam harap dan kepercayaan
menimbang rindu di setiap buaian mimpi malam

Meski mendung, kini hinggap di matamu
meraba di bagian terdalam inti jiwamu
yang diperas— rintik sesak kian menyiksa
di gerus waktu dan kehilangan saat Ia tiada

Tetaplah tenang, hai adinda ...
beberapa orang masih percaya birunya langit
meski gelap telah menyetubuhi relung hati

Langkahmu masih jauh untuk menepi
rumah; sedang menunggumu
pelabuhan kekal penutup usiamu
mungkin, kemarin hanya bias jeda untuk kauratapi
hingga kau temukan kembali, cahaya mentari yang
menyinari setiap pagi

Kau perlu terluka— untuk dapat mengetahui bagaimana

rasa bahagia
Bandung, 13 Agustus 2020

Rumah Virtual
Garis Hitam
Dalam kejenuhan keadaan yang memaksaku berteman
dengan sepi. Aku menemukan sebuah wahana
permainan yang mengoyak-ngoyak perasaanku. Banyak
ruang-ruang imaji yang bervariasi, nada-nada rasa, dan
kata-kata yang membuat kita seakan terbang ke angkasa.

Aku tak mengira, ternyata— rumah ternyaman, tak
harus memiliki sekat serta dinding kaca. Meski mata tak
menyapa, kita dapat berinteraksi lewat suara. Berbagi
rahasia, bercengkrama banyak hal, sampai lupa waktu,
dan terus terbayang.

Seakan roh-roh yang melayang, datang dan pergi tanpa
pesan yang pasti. Mengetuk pintu hati memberikan
perhatian kian berbagi. Ada pula, di titik jenuh di
ambang rasa, terluka hingga menderita.

Ya, begitulah hukum fana. Meski main-main sakitnya
bukan main. Meski hanya pura-pura, lukanya terasa
nyata.

Kadang, kita seakan gila dibuatnya. Bisa jadi/mungkin.
Lebih menyiksa dari kehidupan yang sebenarnya. Tapi,
apa yang mau di katakan lagi. Kita merasa nyaman di
rumah virtual suara ini. Meski sering kali tersakiti; di
khianati, menjadi pelampiasan hati, di tinggal pergi
dengan perlahan hingga kesalahpahaman perasaan.

Jika dikatan orang yang kesepian, bisa jadi iya. Tapi
setiap orang memiliki alsan yang berbeda. Barangkali, di
sini ialah ruang yang menyenangkan. Keluarga, sahabat,
teman, hingga musuh dalam selimut, sedia dalam ruang.

Suatu saat, daun-daun akan berguguran. Tanah akan
kembali kering setelah hujan. Mendung akan kembali
menyapa lewat senyuman. Hingga nanti, kita pasti akan
menghilang tidak ada kabar. Tapi setidaknya, kita pernah
berbagi cerita, kita pernah berbagi tawa, kita pernah
berbagi duka, dan kita pernah memastikan; apakah kita
masih baik-baik saja?

Di sinilah, rumah virtual suara yang terkadang membuat
kita lupa; siapa diri kita.

Bandung, 15 Agustus 2020

Mea Culpa
Garis Hitam

melacut diri di gelap-sunyi
bermandikan sungai penyesalan tiada henti
barangkali, mata bulan telah tercongkel malam tadi
lenyap tanpa tahu, dimanakah kucarikan lagi lentera
hati?

nada telah buta serta rasa telah sirna

kau perempuan yang kuberikan lelap
ketika cahaya— sedang senang-senangnya menari di
atas jemari
lekuk senyum yang manis

telah menjadi purba di terkam masa
lalu kemudian pergi ialah sebab
mata luka kembali terbuka

mea culpa di ambang batas
menyerap dengan perlahan di altar penyesalan
berbunyilah panah sendaren di langit-langit tua
terbentuknya trilogi prasasti; pahatan tegas _setra_
_atma_ _aksara_

karena namamu, dulu sempat kulambungkan ke angkasa
mengucap rindu— seumpama
melafal cinta kasih _kirana_

tapi kini terjatuh tak berdaya
mati di rajam luka
sampai hilang sebuah bahasa

malu-malu tanpamu-kini
kau yang dirembulankan malam kelabu
aku; membumihanguskan sisi kelamku
dan selalu ingin kuberikan buah apel kesukaanmu

lalu masing-masing dari kita menatap mata
bercengkrama seraya benar-benar saling melupa
di meja peraduan, di penghujung kata-kata beribu
makna

karena akan kuambil yang tertinggal di dadamu
lalu kubunuh secara perlahan di jantungmu
hingga suatu masa, engkau tidak lagi menderita

Bandung, 16 Agustus 2020

Ribuan Doa

Pada jeda lamunan di tengah malam, di hamparan
imajinasi taman impian. Sekilas, bayangmu kembali
hadir dalam benakku. Entah mengapa aku seperti ini?
Akupun tak tahu.

Hujan kini tercurah di dalam puisi-puisiku, pada setiap
bait yang tergenang di antara diksi-metaforaku. Serta
lagu-lagu yang lebih terdengar minor; nada sendu.

Bukan inginku kembali menjamahmu atau sedikit
membelai helai rambutmu. Bukan aku menantikan badai
luka, ketika langit sudah membiru. Tapi hanya sekadar
ingin tahu, bagaimana hatimu saat tak lagi bersamaku.

Antara cemburu atau rindu? Entahlah, aku hanya ingin
memastikan kau baik-baik saja. Sebab perpisahan rasa,
bukan menjadi alasan bahwa kita tak dapat menyapa.
Meski yang bisa kulakukan, hanya bisa melihatmu dari
kejauhan.

Di _Tamansari_ pada sudut jalan lampu kota. Serta
sorotan cahaya yang menembus dedaun kencana. Bising
jalanan seketika hening saat jiwa tenggelam dalam
lamunan. Hanya karena mengingatmu; mustahil itu kini
terjadi.

Terdengar kabar—
jika dirimu kini mendapatkan kebahagiaan yang kau
nantikan di masa lalu.
" _Congratulations_ "tulusku mengucap. Meski kata-kata
itu mungkin tak dapat kau dengar. Bisa jadi, tulisan ini
takkan sempat kau bacakan.

Sekali lagi, apa kau baik-baik saja? Apakah kau bahagia
sekarang?— Kuharap iya. Karena selalu kudoakan, di

setiap langkah perjalanan yang kau tuju, di setiap
pencapaian yang kau harapkan, dan pada keinginan di
dalam sebuah pelukan.

Aku masih di sini melihatmu. Tanpa harus kau tahu,
berapa banyak doa yang selalu kusematkan, jua
memuisikan namamu pada lembar-lembar tulisan
kenangan.

Sehat selalu dariku; seseorang yang pernah singgah di
dalam hatimu.


Click to View FlipBook Version