PENANTIAN RARA
Kumpulan Cerita Pendek
Rustantiningsih, S.Pd.,M.Pd.
ii
PENANTIAN RARA
Kumpulan Cerita Pendek
Penulis: Rustantiningsih, S.Pd.,M.Pd.
Penyunting: Trie Elang Sutajaya
Tata Letak: RM. Krishna
Desain Sampul: Martha Adi Andana
Diterbitkan pertama kali oleh:
Jln. Kerja Bakti RT 001/02 No. 9
Kel. Makasar, Kec. Makasar
Jakarta Timur 13570, Indonesia
Telp: 021-8098208
e-mail: [email protected]
www.DapurBuku.com
Cetakan Pertama: Juni 2014
ISBN:
978-602-1615-98-0
iii
PRAKATA
Karya sederhana ini hadir dari penggalan
pengalaman pribadi dan kisah-kisah kelakar anak-
anak saat penulis bersama mereka meniti hari-hari
dan belajar membekali diri dalam menyiapkan
insan-insan muda yang berjiwa baja berhati sutera.
Tentunya, pengalaman-pengalaman sederhana ini
akan menjadi renungan bagi penulis dan bahkan
bagi pembaca untuk sesaat merenung tentang
kehidupan-kehidupan yang acapkali luput dari
perhatian.
Penulis merangkai kata-kata sederhana ini
dengan harapan sebagai sarana memotivasi diri
untuk menguntai cerita-cerita yang barangkali akan
bermanfaat bagi penulis di kemudian hari. “Lebih
baik menjadi mutiara di tengah kegelapan daripada
menjadi mutiara di tengah terang benderang”,
begitulah penulis senantiasa terilhami oleh suami
yang dalam keseharian juga berkecimpung dalam
dunia kata-kata.
iv
Karya ini juga tidak luput dari dukungan buah
hati penulis, Rara yang senantiasa menginspirasi,
Citta yang selalu cerita tentang kegelisahannya saat
sekolah dan bermain, serta Raja yang memberikan
semangat di sela-sela tingkahnya yang butuh
perhatian. Terima kasih Bunda ucapkan untuk
kalian, semoga karya ini senantiasa mewarnai
kehidupan kita dalam menjalani dharma.
Semarang, Juni 2014
v
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................. i
IDENTITAS ...................................................... ii
PRAKATA ......................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................... vi
Penantian Rara................................................. 1
HP Baruku ....................................................... 6
Hari Senin yang Menegangkan........................... 11
Ular di Atas Meja Makan.................................... 17
Maman Si Penyelamat....................................... 21
Viona Temanku ................................................ 26
Sandalku Kiri Semua ......................................... 35
Bau Misterius ................................................... 39
Maafkan Kami Pak ............................................ 44
Orang Tak Dikenal............................................ 50
Pelajaran untuk Candra..................................... 55
Mutiara Persahabatan ....................................... 60
Penyesalan Ryan .............................................. 65
Bule Makan Tempe ........................................... 70
Serakah Tidak Membawa Berkah ....................... 76
vi
Terima Kasih Paman......................................... 82
Awang Batik..................................................... 90
Arti Sebuah Juara............................................. 96
Bukan Hukuman Tuhan................................... 102
Amin VS Udin................................................. 108
Guci yang Retak............................................. 114
Kejengkelan Seto ........................................... 122
Di Atas Langit Ada Langit ................................ 130
GLOSARIUM................................................... 135
BIODATA PENULIS ......................................... 137
vii
Penantian Rara
Siang itu udara terasa segar, angin berhembus
spoi-spoi. Rumah Rara yang terletak di ujung desa
mendapatkan angin dari segala penjuru. Sawah di
depan rumahnya menambah kesejukan beranda
rumahnya.
Berulang kali Rara menengok ke jalan ujung
desa, ada sesuatu yang ditunggunya siang itu.
Tetapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.
Rara mondar-mandir di teras rumahnya. Raut
mukanya menorehkan kegelisahan yang amat
sangat.
1
“Ada, apa Ra?” tanya ibunya.
“Tidak, ada apa-apa bu!” jawab Rara menutupi
kegelisahannya.
Ibu Rara melanjutkan pekerjaannya menyiapkan
makan siang. Sementara Rara masih kelihatan
gelisah di depan rumah. Sebentar-bentar ia
menengok ke arah jalan manakala ada kendaraan
lewat.
“Aduh, kok lama sekali ya!” gumam Rara sambil
kakinya dihentak-hentakkan di lantai.
“Ra, apa yang kamu lakukan? Tampaknya
gelisah amat, putri ibu ini,” kata Ibu Rara
mengagetkan Rara. Rupanya hentakan kaki di lantai
telah mengundang perhatian ibunya.
“Em, saya, Bu, Saya...”
“Ada apa, Ra?” tanya Ibu penasaran.
“Bu saya menunggu perpustakaan keliling di
desa kita, tapi kok,...”
“Oh, itu sekarang anak ibu suka membaca, ya?”
ujar ibu kelihatan girang. Sejak dulu Rara memang
sulit kalau disuruh membaca, ada saja alasannya.
Ibu Rara heran dengan perubahan sikap Rara.
2
“Ibu jadi penasaran, angin apa yang
menyebabkan kamu suka membaca?”
“Sejak saya diajak Dewi membaca majalah
anak-anak dari perpustakaan keliling Bu, ceritanya
seru sekali. Rara ingin membaca kelanjutan ceritanya
minggu ini.”
Ibu mengangguk-angguk menyambut gembira
kegemaran putri satu-satunya itu. Memang hari
sudah siang tetapi mobil perpustakaan keliling tidak
lewat juga. Ibu Rara ikut gelisah.
“Tunggu saja, Ra mungkin sebentar lagi lewat!”
kata ibu berusaha menenangkan kegelisahan Rara.
Biasanya pukul 09.00 mobil itu sudah lewat
depan rumah Rara lalu berhenti di Balai Desa yang
berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah Rara.
Sekarang sudah pukul 10.30 mobil perpustakaan
keliling tak kunjung lewat juga.
Rara duduk di kursi teras rumahnya sambil
membolak-balik kartu anggota perpustakaan.
Sementara ibu Rara masih sibuk di dalam rumahnya.
Tiba-tiba terdengar suara mobil dari kejauhan.
3
Rara melirik ke ujung jalan, tetapi bukan dari
arah yang dimaksud melainkan dari arah
berlawanan. Rara kembali membolak-balik kartu
perpustakaan. Ketika mobil melewati depan
rumahnya Rara melirik kembali mobil yang lewat
tersebut.
“Lho, kok mobil perpustakaannya sudah
pulang?” Rara tak habis pikir.
Bukankah dari pagi ia sudah menunggu mobil
itu bahkan sebelum pukul sembilan Rara sudah
menanti di depan rumahnya. Rara kecewa, hari itu
tidak bisa membaca dan meminjam buku
perpustakaan keliling di desanya. Ia menyesal tidak
mau berjalan ke Balai Desa, ia hanya mengandalkan
tanda-tanda mobil perpustakaan lewat di depan
rumahnya.
Usut punya usut ternyata mobil perpustakaan,
hari ini bertugas mulai pukul 08.00 dan berakhir
pukul 11.00. Perubahan jadwal ini tidak diketahui
Rara padahal seminggu sebelumnya sudah ditulis di
papan pengumuman di mobil perpustakaan. Rara
4
tidak membacanya sehingga ia tidak mengetahui
kalau ada perubahan jadwal.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Penantian Rara:
Gemar membaca, rasa ingin tahu, dan disiplin
5
HP Baruku
Harum menggenggam hand phone barunya.
Tangan kecilnya memencet tombol-tombol yang ada.
Beberapa kali senyumnya mengembang dibibir. Ia
tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
“Akhirnya aku punya juga HP!” pikirnya dalam
hati.
Harum anak desa tetapi tidak mau ketinggalan
zaman. Ia sudah lama menginginkan benda itu.
Walaupun sebenarnya kedua orang tua Harum
belum mengijinkan untuk memiliki HP.
6
“Ndhuk, kamu masih kecil baru kelas V jadi
belum perlu memakai HP, Ndhuk,” kata Bapaknya.
Ndhuk adalah sebutan khas untuk memanggil anak
perempuan desa di daerah Jawa Tengah.
“Kalau Bapak tidak mau membelikan, aku akan
membeli dengan cara menabung, Pak.”
Sejak saat itu Harum tidak pernah jajan. Uang
saku dari orang tuanya selalu ia simpan. Satu tahun
kemudian ia sudah bisa membeli HP.
Memang di kalangan teman-temannya sudah
beberapa anak memiliki telepon genggam. Tak
jarang mereka bermain bareng dengan
menggunakan HP, entah itu untuk SMS, game, atau
mendengarkan musik kesukaan mereka.
Sayang sejak Harum memiliki HP ia menjadi
malas belajar dan malas membantu orang tua.
Kegemarannya membaca buku jadi hilang, tugasnya
menyapu dan merapikan tempat tidur terabaikan,
bahkan kalau disuruh menjaga adiknya, malah asyik
dengan HP nya sendiri. Nilai ulangannya juga
menurun. Bapaknya yang juga menjadi guru SD di
sekolahnya pusing memikirkan tingkah laku Harum.
7
“Ndhuk, sekarang nilai sekolahmu merosot ada
baiknya, bermain HP-nya berhenti dulu!” kata
Bapaknya pada suatu kesempatan.
“Bapak jangan kawatir, aku akan belajar giat
lagi.”
Setiap kali begitu, Harum pun cepat-cepat
memegang buku dan belajar. Namun kalau
Bapaknya sudah pergi ia kembali asik bermain HP.
Akibatnya nilai ulangannya tetap saja jelek.
Siang itu hasil ulangan IPS Harum jelek. Ia
mendapat teguran dari Guru kelas dan Bapaknya.
Kali ini teguran Bapak lebih keras lagi. Hati Harum
menjadi kacau, ancaman bapak akan menyita HP
nya sangat mengagetkan perasaannya.
Pulang sekolah ia berjalan kaki, seperti biasa
pulang menyusuri sawah-sawah dengan teman-
temannya. Harum berjalan paling belakang,
sepanjang jalan Harum masih saja bermain HP.
“Ayo, Rum jalannya agak cepat!” ajak Rina
sahabatnya.
“Ya!” jawab Harum singkat.
8
“Hati-hati, Rum kalau jalan lihat jalan, jangan
main HP terus!” ujar Rina mengingatkan Harum.
Harum diam saja, ia tidak mengindahkan saran
sahabatnya. Padahal lima meter lagi mereka harus
melewati jembatan kecil yang melintang di atas
parit-parit sawah. Jembatan itu hanya bisa dilalui
oleh satu orang. Teman-teman yang lain sudah
duluan melewati jembatan Rina yang berjalan di
depan Harum lebih dulu melalui jembatan itu.
Sementara di belakang sambil berjalan menuju
jembatan Harum masih sempat memencet-pencet
tombol HP. Tiba-tiba kakinya terpeleset saat
menginjak jembatan bambu.
“Tolong...!” teriak Harum mengagetkan teman-
teman yang dibelakangnya.
Harum terjatuh dan HP-nya terlempar ke dalam
parit-parit. Teman-teman yang melihat segera
menolongnya. Harum meringis kesakitan, HP
kesayangannya masuk ke parit-parit yang banyak
airnya. Apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur,
HP Harum pun mati tidak bisa digunakan lagi. Ia
9
hanya bisa menyesal karena kurang bertanggung
jawab HP-nya rusak.
___________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita HP Baruku:
Disiplin, jujur, tanggung jawab
10
Hari Senin yang Menegangkan
Ita namanya, anaknya tinggi besar dan gendut.
Wajahnya seram tidak suka tersenyum.
Kulitnya yang hitam semakin kelihatan tidak
bersahabat. Posturnya yang lain dari teman-temanya
membuat ia semakin tidak disukai. Acap kali Ita
menangis karena tidak mendapat teman saat kerja
kelompok.
Walau demikian ada satu teman yang mau
membantu dan menyemangati Ita. Teman yang satu
ini bernama Cantika. Cantika anak yang supel dan
peduli dengan orang lain. Sering Ita tidak mau
membaca jika disuruh guru. Ia hanya memandangi
11
tulisan dan tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
Kalau sudah demikian biasanya cantika memberi
dorongan pada Ita.
“Ayo, Ita dibaca kamu pasti bisa!”
Reaksi Ita biasanya menangis, diam, atau
marah. Padahal Bu Guru Sunya pun selalu
mendorongnya agar bisa membaca dengan baik.
Sebenarnya Ita sudah bisa membaca dengan lancar.
Namun karena badannya terlalu besar sementara
suaranya kecil membuat ia rendah diri. Akibatnya
jika ada tugas membaca, menyanyi, atau menjawab
pertanyaan secara lisan, ia hanya diam saja.
Suatu hari saat kegiatan olahraga kelas V
dibentuk kelompok-kelompok untuk tugas upacara
bendera. Semua anak harus merasakan menjadi
petugas upacara, dengan menjadi petugas akan
memupuk rasa cinta tanah air lebih dalam. Ita
mendapat tugas membaca Undang-Undang Dasar.
Semua teman menyangsikan apakah ita bisa
bertugas dengan baik atau tidak.
“Bu, kelas kita sudah terbentuk petugas
upacaranya,” kata Dhani ketua kelas.
12
“Ya, bagus berlatih terus agar optimal,” ujar Bu
Sunya wali kelas V.
“Tapi, Bu!”
“Tapi kenapa Dhani?” tanya Bu Sunya.
“Ita yang membaca UUD’45, Bu?”
“Memangnya, kenapa? Kamu takut, Ita tidak
bisa bertugas, jangan kawatir kita bisa berlatih
bersama,” kata Bu Sunya meyakinkan Dhani.
Hari-hari berikutnya kelas V sibuk dengan
latihan upacara. Setiap ada waktu luang anak-anak
yang bertugas, berlatih dengan penuh semangat.
Namun, tidak demikian dengan Ita. Ita tidak pernah
mau untuk berlatih di depan kelas, maupun di
halaman sekolah. Herannya Bu Sunya masih saja
memberi kesempatan Ita.
“Sudah anak-anak kalau hari ini Ita tidak mau
berlatih, biar ia berlatih di rumah. Bu Guru yakin
pada saat bertugas nanti Ita bisa bertugas dengan
baik. Benar, kan Ita?”
Anak-anak semakin gemas dengan perilaku Ita,
bahkan beberapa anak menawarkan diri untuk
13
mengganti posisi Ita. Tetapi Bu Sunya, tetap
memberi kepercayaan pada Ita.
Saat gladi bersih Ita belum juga mau membaca
naskah UUD’45. Bu, Sunya pun bertanya pada Ita
untuk memberi kepastian apakah ia mau bertugas
pada hari Senin nanti. Ita hanya menggangguk
tanpa bersuara.
“Oke, anak-anak sampai hari Senin nanti,
mudah-mudahan Ita bisa bertugas dengan baik.
Senin pagi anak-anak kelas V sudah siap di
halaman sekolah, Bu Sunya mendampingi anak-anak
mempersiapkan diri, termasuk Ita ia sudah siap di
tempatnya. Bu Sunya mengecek cara jalannya Ita
ketika bertugas, ternyata Ita bisa berbaris dengan
baik.
“Teman-teman kita berdoa dulu agar bisa
bertugas dengan baik. Berdoa mulai!” Dhani
memimpin teman-temannya untuk berdoa sebelum
melaksanakan tugas.
Upacara berjalan dengan baik, anak-anak
tampak tegang menunggu acara pembacaan
UUD’45. Mereka sangat kawatir kalau Ita tidak bisa
14
bertugas dengan baik. Bu, Sunya juga kelihatan
agak tegang. Beberapa kali ia menyeka keringat di
wajahnya.
Giliran pembacaan UUD’45 tiba. Ita maju
dengan langkah pasti. Peserta upacara
mendengarkan pembacaan Ita, kalimat demi kalimat
dibaca dengan suara yang bisa didengar oleh seluruh
peserta upacara. Ita membaca semua teks tanpa
ada yang ketinggalan, walau ada beberapa kalimat
yang intonasinya belum tepat.
Selesai pembacaan UUD’45 semua anak kelas V
dan Bu Guru Sunya bernapas lega. Hingga upacara
selesai semua berjalan dengan lancar. Begitu
upacara selesai tampak Bu Sunya menyalami dan
memeluk Ita, diikuti dengan teman-temannya
mereka memberi selamat untuk Ita yang sudah
berhasil menjalankan tugasnya.
“Hebat, kamu, Ita! Padahal tidak pernah aku
melihat kamu latihan,” ujar Cantika.
“Aku latihan di rumah, kalau di sekolah malu,
yang jelas aku ingat kata-kata Bu Sunya.”
“Kata-kata yang mana?”
15
“Saat pelajaran PKn, orang yang bertanggung
jawab terhadap tugasnya akan memetik hasil yang
manis!” kata Ita. Keduanya pun tersenyum dan
berjalan menuju ruang kelas V, untuk mengikuti
pelajaran selanjutnya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Hari Senin yang Menengangkan:
Religius, cinta tanah air, tanggung jawab, kerja
keras, dan bersahabat
16
Ular di Atas Meja Makan
Hati Wisnu gembira setelah kenaikan kelas
berlibur di rumah kakek. Rumah kakek di desa, jauh
dari kebisingan. Udaranya masih segar dengan
pemandangan hijau menyejukkan. Kakek sangat
senang dengan kehadiran cucunya yang dari kota.
Selama dua minggu Wisnu akan tinggal di rumah
kakek. Sementara itu kedua orang tuanya hanya
mengantar dan menjemput saja sebab mereka masih
harus bekerja di kantor.
“Kalau takut tidur sendiri, Wisnu tidur bersama
kakek, ya?”
17
“Ya, Bu masalah tidur gampang, Wisnu kan
sudah pernah berkemah?” ujar Wisnu.
Hari-hari pertama Wisnu gunakan bersama
kakek untuk berjalan-jalan keliling desa sambil
menikmati indahnya panorama desa. Pemandangan
yang jarang dijumpai di kota seperti hamparan padi
yang hijau, gemericiknya air sungai yang jernih,
burung-burung berkicau, sungguh merupakan
kekayaan alam yang tidak ternilai harganya.
Soal kemandirian Wisnu, tidak diragukan lagi. Ia
terbiasa melakukan tugas nya sendiri. Hanya sayang
ada kebiasaan yang sulit ditinggalkan yaitu sering
menaruh barang-barang pribadinya tidak pada
tempatnya, seperti menaruh sisir di sembarang
tempat, meletakkan tas juga seenaknya sendiri.
Hari ini adalah hari ketiga Wisnu berada di
rumah kakek. Sejak sore hujan mengguyur desa ini.
Suasana desa tambah sepi, menjelang pukul tujuh
malam listrik padam. Kakek segera menghidupkan
lampu tempel di dinding rumahnya.
“Tidak usah kemana-mana, Wisnu! Situasi masih
gelap,” kata kakek.
18
“Ya, Kek!” jawab Wisnu.
Di kamar Wisnu sudah ada lampu tempel yang
dinyalakan kakek. Begitu juga di ruang tamu dan
meja makan.
“Wisnu, makan dulu, sudah malam lho!” suruh
kakeknya.
“Ya, Kek! Kakek makan bersama Wisnu, ya?”
ajak Wisnu.
“Ya, nanti Kakek menyusul, kamu ke meja
makan dulu!”
Wisnu segera beranjak dari tempat duduknya
dan menuju ke ruang makan. Belum sampai di meja
makan Wisnu sudah berteriak-teriak ketakutan.
“Ular, ular, ular, ada ular, Kek!”
Kakek terkejut mendengar teriakan cucunya.
Dengan sigap kakek membawa sapu dan
mengarahkan gagang sapu ke ular yang dimaksud.
“Menjauh, Wisnu! Hati-hati jangan mendekat!”
kata kakek.
Kakek segera mengarahkan gagang sapu dan
dipukulkan ke arah ular yang melingkar di atas meja
19
makan. Bersamaan dengan pukulan kakek lampu
listrik pun menyala.
Pandangan kakek dan Wisnu beradu lalu melihat
ke atas meja makan dan tertawa bersama. Ular yang
tadi dipukul kakek berubah menjadi ikat Pinggang.
Benda yang dikira ular ternyata ikat pinggang Wisnu,
yang ditaruh di atas meja makan tadi siang.
“Nah, Wisnu, Kamu harus belajar disiplin
meletakkan barang-barang milikmu, agar peristiwa
ini tidak terjadi lagi, ya!” nasihat Kakek. Wisnu
menggangguk sambil berjanji dalam hati untuk
belajar disiplin.
__________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Ular di Atas Meja Makan:
Mandiri, disiplin, peduli lingkungan
20
Mamat Si Penyelamat
Badan Mamat memang gembul namun sayang
pakaiannya kelihatan lusuh dan rambutnya merah
kelihatan tidak terawat dengan sehat. Setiap pagi
Mamat selalu lewat di depan rumah Rakyan. Mamat
selalu bertemu Rakyan, ketika Rakyan akan
berangkat sekolah dan Mamat pergi mengamen.
“Halo, Bos!” demikian Mamat selalu menyapa
Rakyan.
“Halo, juga! Selamat bekerja, ya!” balas Rakyan.
Rakyan anak sekolahan tetapi mau bergaul
dengan anak jalanan seperti Mamat, bahkan kalau
Rakyan mempunyai makanan atau mainan kadang-
kadang diberikan pada Mamat. Mamat seusia Rakyan
kalau sama-sama sekolah mungkin Mamat juga
sudah kelas V tetapi sayang nasib Mamat lain. Ia
putus sekolah karena tidak ada biaya bahkan untuk
menopang hidup keluarganya ia harus mengamen.
Anak seusia Mamat seharusnya belum menanggung
beban seberat itu.
21
“Kasihan Pa, Mamat harus bekerja demi
keluarganya,” demikian Rakyan sering bercerita
dengan Papanya tentang kehidupan Mamat.
“Bos, aku lapar punya jajanan Bos?” kadang
Mamat meminta Rakyan kalau memang dia benar-
benar lapar dan tidak punya uang untuk membeli.
Keakraban Rakyan dengan Mamat sering
dikawatirkan oleh Mama Rakyan. Ia kawatir kalau
Rakyan ikut-ikutan menjadi anak jalanan.
“Hati-hati Rakyan sama Mamat jangan-jangan ia
mau berbuat jahat!” pesan Mama menaruh curiga
pada Mamat.
“Tidak Ma, saya bisa menjaga diri!” ujar Rakyan.
Pagi ini seperti biasa Rakyan akan berangkat
sekolah dengan diantar Papanya sekaligus berangkat
22
ke kantor. Keberangkatan Rakyan agak tergesa-gesa
karena bangunnya kesiangan. Untuk mempercepat
perjalanan Papa Rakyan mengantarnya dengan naik
sepeda motor.
“Halo, Bos!” Mamat menyapa Rakyan.
“Ya, halo juga maaf ya aku tergesa-gesa!”
“Ya, Bos silakan berangkat!” kata Mamat.
Papa Rakyan pun menghidupkan motor dengan
terburu-buru. Ia tidak menyadari kalau dompet yang
diletakkan di saku belakang belum masuk betul dan
jatuh saat menghidupkan motor.
Saat itu Mamat masih berdiri di dekat pagar
rumah Rakyan. Melihat dompet jatuh Mamat
berteriak-teriak memanggil Rakyan tetapi Rakyan
tidak mendengar. Mamat segera memungut dompet
tersebut.
“Tante, Tante, Tante!” Mamat memanggil Mama
Rakyan.
Lama panggilan Mamat tidak ada yang
menyahutnya. Rumah Rakyan kelihatan sepi.
Biasanya kalau pagi tinggal Mama Rakyan saja yang
di rumah.
23
“Tante, Tante, Tante!” Mamat mengulangi lagi
panggilannya.
“Ya!” kali ini baru ada sahutan dari dalam
rumah.
Mama Rakyan segera keluar, melihat Mamat
Mama Rakyan merasa tidak senang.
“Ada apa ya? Rakyan sudah berangkat sekolah!”
kata Mama Rakyan ketus tanpa memandang
sedikitpun.
“Ini, Tante, saya,....”
Belum selesai Mamat berbicara tiba-tiba Papa
Rakyan datang dengan wajah kebingungan.
“Kenapa kembali, Pa?” tanya Mama.
“Dompet saya hilang Ma, entah jatuh dimana?”
kata Papa.
“Perasaan tadi saya taruh di saku celana
belakang, begitu saya mau memberi uang saku
Rakyan sudah tidak ada, Ma?”
Mama Rakyan terkejut bercampur bingung.
Kemudian pandangannya ke arah Mamat.
“Nah, jangan-jangan kamu yang mengambil!”
tuduh Mama.
24
“Om Tante, bukan saya mengambil, tapi,
tapi....”
“Dompet siapa yang kamu bawa?” tanya Mama
menyelidik.
“Begini Om, Tante, saya tadi lihat Bos dan Om
berangkat tergesa-gesa, saat Om menghidupkan
motor dompet Om jatuh, saya panggil-panggil Bos
tidak mendengar lalu dompet ini akan saya berikan
Tante, eh ternyata Om sudah datang,” jelas Mamat.
“Kalau tidak percaya Tante dan Om bisa
mengecek isinya kembali,” lanjut Mamat.
Papa dan Mama Rakyan meneliti kembali isi
dompetnya dan ternyata masih utuh seperti sedia
kala, uang dan surat-surat penting masih lengkap
semua. Mama Rakyan menyadari kesalahannya dan
segera minta maaf, ia telah salah menilai pribadi
Mamat. Mamat yang selama ini tidak disenangi
kehadirannya ternyata anak yang jujur.
___________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Mamat Si Penyelamat:
Jujur, peduli sosial
25
Viona Temanku
Anak-anak kelas lima sedang membaca-baca
buku materi ulangan. Tidak berapa lama bel masuk
pun berbunyi, suara anak-anak tambah gaduh
mereka berlarian menuju kelasnya masing-masing.
Namun pagi itu tidak seperti biasanya, Pak
Kresna guru kelas lima tidak segera muncul-muncul
padahal anak-anak sudah tidak sabar menunggu
ulangan yang telah dijanjikannya. Suasana kelas
yang tadi tenang berubah agak sedikit gaduh,
banyak tanda tanya dihati anak-anak.
“Jangan-jangan ada apa-apa dengan Pak
Kresna, ya?” bisik Gita pada Intan.
“Ya, rugi dong kalau nggak jadi ulangan!” balas
Intan sambil menutup buku yang telah selesai
dibaca.
“Intan, sana cari Pak Kresna di kantor!“ kata
Tata kepada Intan.
“Nggak di tunggu dulu barang sebentar? “ Intan
balik bertanya.
26
“Sudah cari sana, kita sudah lama menunggu!”
tambah Salsa yang sejak tadi hanya diam saja.
“Oke-oke, aku akan cari Pak Kresna ke kantor,”
kata Intan setelah mendapat desakan dari beberapa
temannya. Dengan langkah pelan Intan, si ketua
kelas melangkah keluar kelas, setelah menenangkan
teman-temannya sebentar agar kelas tidak gaduh.
Demikianlah suasana kelas lima jika gurunya belum
datang, Pak Kresna selalu menanamkan rasa
tanggung jawab kepada anak-anak serta sikap
mandiri.
Alangkah terkejutnya Intan dan teman-
temannya ketika sang ketua kelas mau keluar, tiba-
tiba Pak Kresna masuk dengan menggandeng
seorang anak perempuan.
“Intan, ayo kembali ke tempat dudukmu!” kata
Pak Kresna.
“Anak-anak, maafkan Bapak jika sudah lama
terlambat. Hal ini karena ada teman barumu yang
baru saja pindah dari Sulawesi Utara. Coba di mana
ibukota provinsi Sulawesi Utara?” tanya Pak Kresna.
27
“Menado, Pak!” jawab anak-anak hampir
serempak.
“Betul! Temanmu ini bernama Viona,“ lanjut Pak
Kresna. Suasana kelas sejenak agak gaduh, anak-
anak saling bergumam membicarakan teman
barunya itu.
“Sudah…sudah perkenalan selanjutnya nanti
ketika jam istirahat. Sekarang Viona duduk di
sebelahnya Dora yang masih kosong,“ kata Pak
Kresna. Viona pun segera duduk di tempat yang
telah ditunjukkan Pak guru.
“Anak-anak seperti janji Pak Guru kemarin
bahwa hari ini ulangan IPS oleh karena itu siapkan
secarik kertas ulangan dan jangan lupa menulis
namanya di sudut kanan atas, dan Viona segera
menyesuaikan dengan ulangan hari ini! “ perintah
Pak Kresna pada anak-anak.
Seisi kelas kembali tenang, Anak-anak mulai
mengerjakan soal yang telah ditulis Pak Kresna di
papan tulis. Hanya suara sepatu Pak Guru yang
sesekali terdengar memecah kesunyian kelas. Soal
kali ini memang cukup sulit, sesekali wajah Intan
28
kelihatan berkerut mencari jawaban yang benar.
Begitu juga Gita, ia juga kelihatan mendapat
kesulitan padahal jika di kelas ia peringkat satu
sedangkan Intan peringkat dua.
Waktu yang telah ditentukan sudah habis,
sepuluh soal ulangan dari Pak Kresna harus selesai.
Anak-anak pun kembali gaduh ketika harus
mengumpulkan hasil ulangannya di meja guru,
apalagi setelah bel istirahat berbunyi, mereka
berhamburan keluar kelas dengan senangnya.
Intan pun tak mau ketinggalan, seperti biasanya
ia buka bekal makanan buatan ibunya di bawah
pohon tanjung bersama sahabat-sahabatnya.
“Wah, ulangannya sulit sekali ya!” Intan
mengawali pembicaraan.
“Memang, terutama nomor sepuluh dan tujuh,“
timpal Gita.
“Sama dong! Nomor itu aku juga nggak bisa,”
sela Salsa.
“Pak Guru memang pintar membuat soalnya.”
“Ehm… ehm,” angguk Gita yang dari tadi sibuk
menelan indomi goreng bekal kesukaanya itu.
29
Bel masuk pun berdering, tanda jam istirahat
telah berakhir. Anak-anak pun kembali ke kelasnya
masing-masing. Pak Hendra bergegas menuju kelas
lima. Kelas kembali tenang, apalagi setelah melihat
Pak Kresna membawa kertas hasil ulangan tadi.
“Anak-anak hasil ulangan akan Bapak bagikan.”
“Hore…!” sahut anak-anak sambil bertepuk
tangan.
“Memang soal kali ini agak sulit, sengaja Bapak
buat demikian agar kalian belajar sungguh-
sungguh,” lanjut Pak guru setelah anak-anak diam.
“Dari hasil ulangan hari ini sungguh di luar
dugaan,” Pak Kresna .berhenti sebentar sehingga
membuat anak-anak semakin penasaran.
“Kalau biasanya nilai terbaik itu diraih Gita tetapi
kali ini lain. Kira-kira siapa anak-anak?”
“Intan, Pak!”
“Bukan!” jawab Pak guru. Anak-anak pun
semakin gaduh.
“Tenang-tenang, kali ini yang meraih nilai
tertinggi adalah…” Pak Kresna memandangi
muridnya satu persatu.
30
”Viona teman baru kita,“ lanjut Pak Kresna
disambut dengan tepuk tangan dari anak-anak.
Kemudian Pak Kresna membagikan kertas
ulangannya kepada anak-anak satu persatu.
Sementara itu Viona memandang Gita secara sinis.
“Jangan sebut nama Viona jika tidak bisa
mengalahkanmu,” bisik Viona pada Gita.
“Anak-anak jika nilaimu kali ini belum
memuaskan jangan berkecil hati, berusahalah terus.
Dan bagi yang mendapat nilai bagus juga jangan
terlalu bangga dengan hasil tersebut karena tugas
untuk mempertahankan nilai itu lebih sulit,“ kata Pak
Kresna.
Hari pun semakin panas, matahari semakin
tegak di atas kepala, anak-anak juga sudah kelihatan
letih belajar. namun pelajaran belum juga usai. Pak
Kresna masih bersemangat sekali dalam
menerangkan pelajaran. Sesekali terlontar
pertanyaan-pertanyaan yang tertuju pada para
siswa. Mungkin hanya Gita yang kelihatan sekali
sangat gelisah hingga beberapa pertanyaan yang
ditujukan padanya sering tidak terjawab.
31
“Kriiiiiiiing…!”
“Anak-anak, pelajaran Bapak akhiri sampai disini
dulu, dan sebagai pekerjaan rumah, silakan kalian
mengarang sebuah puisi yang bertema
kepahlawanan. Minggu depan dikumpulkan dan
dibawakan di depan kelas satu persatu!”
Pukul 12.40 anak-anak berhamburan keluar
kelas, sebagian besar di antara mereka menunggu
mobil antar jemput ataupun keluarganya yang
menjemput. Satu persatu anak-anak sudah pulang
meninggalkan sekolah. Kini tinggal Gita dan Viona
32
yang menunggu jemputan. Setengah jam lebih
mereka duduk di bawah pohon tanjung yang
rindang tanpa saling menyapa. Viona kelihatan
sombongnya dengan pandangan tidak suka pada
Gita. Gita diam tanpa menyapa dengan perasaan
yang menyimpan kejengkelan dengan sikap Viona
yang tidak bersahabat.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan datang, wajah
Gita berubah cerah, mobil yang menjemputnya
datang.
“Ayo masuk, lho itu ada temanmu, ayo diajak
sekalian! Di mana rumahnya? Kasihan sendirian
belum ada yang menjemput,” kata Ayah Gita.
“Em dia...dia anak baru, Yah. Rumahnya di
dekat komplek rumah kita.”
“Nah, ayo diajak pulang bareng!” kata Ayahnya
lagi.
Gita mengajak ajak Viona untuk pulang
bersama. Viona sebenarnya bimbang antara mau
dan tidak. Kalau ikut Gita ia malu sudah bersikap
tidak baik pada Gita. Sementara kalau di menolak ia
33
takut, karena sekolah sudah sepi, ia anak baru yang
belum tahu benar lingkungan sekitar sekolah.
Akhirnya dengan berat hati Viona menerima
ajakan Gita. Beberapa saat di mobil mereka masih
saling diam. Namun akhirnya suasana terpecahkan
setelah ayah Gita mengajak ngobrol dan bercanda.
Suasana semakin cair setelah mereka tahu ternyata
ayah Gita dan Ayah Viona teman kerja satu kantor.
“Gita maafkan sikapku ya, “ bisik Viona pada
Gita sebelum turun dari mobil. Gita mengangguk
pelan sambil tersenyum, menyambut permintaan
maaf Viona yang menyadari kesalahannya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Viona Temanku:
Bersahabat, peduli social, dan jujur
34
Sandalku Kiri Semua
Pagi ini regu Melati dan Regu Elang bersiap-siap
di halaman sekolah. Kalau biasanya hari Minggu
sekolah sepi kini banyak anak-anak berseragam
pramuka penggalang berkumpul di halaman sekolah.
Dua regu dari SD Mutiara akan mengikuti lomba
pramuka di tingkat kota.
Persiapan kedua regu ini sudah matang. Kak Leo
dan Kak Rani melatih mereka setiap hari. Kini tinggal
hari penentuan apakah mereka berhasil atau gagal.
Pagi ini Kepala Sekolah melepas keberangkatan
anak-anak dengan memberikan pengarahan dan doa
35
bersama. Kemudian mereka berangkat ke ajang
lomba. Semua peserta berangkat dengan riang
gembira dan semangat untuk meraih kemenangan.
“Nah, sekarang kita ikuti dulu upacara
pembukaan!” kata Kak Leo.
Upacara pembukaan berjalan dengan lancar.
Anak-anak mengikutinya dengan penuh antusias.
Usai mengikuti upacara anak mengikuti lomba sesuai
bidangnya masing-masing. Ada yang menari, morse,
tali temali, dan membuat kerajinan tangan dari
kertas bekas.
Faiza, Ifa, dan Eurry mendapat tugas lomba
membuat kerajinan tangan dari kertas bekas.
Mereka langsung menuju tempat lomba yang
ditentukan. Setelah duduk di tempat yang ditentukan
juri membagikan kertas koran dan HVS untuk
membuat karya sesuai dengan bahan tersebut.
Semua peserta mulai mengerjakan tugas
masing-masing. Beragam keterampilan yang mereka
kerjakan ada yang membuat bunga, hiasan dinding,
replika alat transportasi dan masih banyak lagi.
36
Faiza dan teman-teman mengawali membuat
sandal dari kertas koran dengan berdoa bersama.
Regu Faiza sudah latihan seminggu untuk membuat
sandal tersebut. Dengan langkah mantap dan
percaya diri mereka bertiga mengerjakan tugas
tersebut sesuai pembagian tugas yang sudah
mereka rancang sebelumnya.
“Hore kita berhasil!” teriak Faiza kegirangan.
Ketiga anak tersebut dapat mengerjakan tugas itu
hanya dalam waktu 30 menit. Padahal waktu yang
disediakan 1 jam.
“Oke, mana sandal satunya? Kita serahkan
bersama-sama kepada dewan juri!” ajak Faiza.
“Ini Fa!”kata Ifa sambil menyerahkan sandal
tersebut.
Namun betapa kagetnya mereka setelah sandal
itu dijajarkan ternyata kiri semua. Ketiga anak
tersebut kebingungan. Mereka berusaha membolak-
balik sandal tersebut agar bisa kanan kiri tetapi tidak
berhasil.
“Kamu sih, yang salah waktu nempel tidak lihat-
lihat dulu!” Ifa menyalahkan Eurry.
37
“Kamu juga kenapa tidak mengingatkan aku!”
Eurry membela diri.
Mereka saling menyalahkan satu sama lainnya.
Gelagat yang tidak baik ini semakin membuat
runyam permasalahan. Faiza mencoba menenangkan
teman-temannya.
“Teman-teman kalau kita saling menyalahkan
masalah tidak selesai. Waktu masih 15 menit
sekarang kita bongkar satu sandal, lalu kita balik
alasnya sehingga menjadi kanan. Dengan catatan
kita harus kerja cepat dan tepat, oke!” kata Faiza.
Ifa dan Eurry menurut apa yang dikatakan
Faiza. Mereka bertiga bekerja tanpa banyak cakap.
Dengan sigap dan kerjasama yang cepat akhirnya
selesai tepat waktu. Kini sandal karya mereka sudah
kanan dan kiri. Dan yang lebih membanggakan
mereka mendapat juara tiga.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Sandalku Kiri Semua:
Kreatif, disiplin, religious, kerja keras
38
Bau Misterius
Anak-anak kelas V baru masuk kelas, pagi ini
ada ulangan IPS. Semua anak membaca buku
pelajaran, walaupun Bu Ratih belum datang. Dea
yang duduk di sebelah Okta cengar-cengir dan
sekali-kali menutup hidungnya.
“Bau apa ya, kok busuk sekali?” celetuk Dea.
Dea berdiri sambil celingak-celinguk melihat
kanan kiri. Teman-teman yang dari tadi membaca
juga cengar-cengir mencari sumber bau yang lama-
lama makin menyengat. Bau menyengat itu kian
lama kian tajam. Kelas yang tadi tenang kini ribut.
39
Keributan anak-anak pun berakhir begitu
melihat Bu Ratih sudah datang di depan kelas. Bu
Ratih berdiri dengan tenang menatap murid-
muridnya penuh kasih sayang.
“Selamat pagi, anak-anak!”
“Selamat pagi, Bu!” jawab anak-anak serempak.
“Anak-anak mari kita berdoa dulu sebelum
memulai pelajaran hari ini, Dani kamu yang
memimpin doa sekarang!” demikian Bu Ratih selalu
membiasakan murid-muridnya untuk berdoa
sebelum mulai belajar.
Anak-anak berdoa dengan tertib, walaupun yang
duduk di dekat Okta kurang merasa nyaman karena
bau miterius tadi. Selesai berdoa Bu Ratih mengecek
kesiapan murid-muridnya untuk belajar. Pandangan-
nya tertuju pada Dea yang tidak duduk tenang,
hidungnya ditutupi dengan sapu tangan.
“Ada apa Dea, kamu sakit, ya?” tanya Bu Ratih
penasaran.
“Ini Bu, ada...ada bau yang tidak enak!”
“Iya, Bu dari tadi baunya busuk sekali!” ujar
Cellin yang duduk di belakang Dea. Bu Ratih berjalan
40
ke arah tempat duduk belakang sambil melihat ke
tempat duduk anak-anak.
“Coba anak-anak kamu lihat di laci meja,
mungkin ada sisa makanan yang lama tidak dibuang
atau kotoran lainnya!” kata Bu Ratih.
Anak-anak memeriksa laci meja masing-masing.
Namun tak satu pun anak yang menemukan benda-
benda yang dimaksud.
“Sekarang tengok ke bawah meja masing-
masing!” Bu Ratih memberi petunjuk pada muridnya.
Tiba-tiba Dea terbatuk-batuk dan mau muntah.
Seisi kelas pandangannya tertuju pada Dea.
“Ada apa Dea?”tanya Bu Ratih penasaran.
“Ini Bu, Dea menunjuk ke arah bawah meja
sambil menutup hidungnya dan masih saja terbatuk-
batuk terasa akan muntah.
Bu Ratih berjalan ke arah Dea, Okta yang
disebelah Dea senyum-senyum malu melihat tingkah
laku Dea. Seisi kelas pandangannya tertuju pada
Okta dan melihat ke bawah meja. Dea menunjuk ke
kaki Okta.
41
“Hi...,” seisi kelas menutup hidung, memandang
jijik, dan menunjuk ke kaki Okta.
“Okta berapa hari kaos kakimu tidak dicuci?”
tanya Bu Ratih.
“Dua minggu Bu!” serentak anak-anak
menertawakan Okta. Okta tertunduk menahan malu.
“Anak-anak jangan menertawakan Okta! Justru
kita harus acungi jempol karena Okta mau berterus
terang!”
“Okta, sekarang kamu ke kamar mandi cuci
kakimu sampai bersih, kaos kaki yang sudah kamu
lepas dimasukkan ke tas plastik ini!“ kata Bu Ratih
sambil menyodorkan tas plastik warna hitam. Okta
segera bergegas ke kamar mandi.
Begitu Okta kembali ternyata baunya masih
menyengat lagi. Bu Ratih kembali menyuruh Okta
melepas sepatunya lalu memasukkan ke tas plastik
dan menggantinya dengan sandal Bu Ratih yang ada
di lemari kelas. Baru bau itu lama-lama hilang.
“Nah, anak-anak mestinya kita sadar bahwa
kebersihan pangkal kesehatan. Apa yang terjadi
pada Okta hendaknya kita jadikan pengalaman ini
42