semarangan yang kini hampir punah, ibu juga
berharap kamu yang mewarisi kebanggaan ibu dan
kamu juga bangga memakai batik semarangan,
Nak.”
Awang baru mengerti sekarang, ternyata baju
batik yang ia kenakan selama ini memiliki nilai yang
sangat luhur dan sejarah dalam kehidupan ibunya.
“Bagaimana masih tetap ingin memakai baju
yang lain?” tanya ibunya.
Awang menggelengkan kepalanya walau masih
terasa berat. Ia pasti akan diejek oleh teman-
temannya lagi. Tetapi ia bertekat untuk
mengabaikan ejekan teman-temannya.
Hari Minggu tiba, Awang sengaja datang
terlambat ke acara ulang tahun Krisna agar teman-
teman tidak mengejeknya. Betul dugaan Awang,
acara sudah dimulai, Awang datang lalu menyelinap
di balik teman-temannya yang mengelilingi Krisna
untuk meniup lilin. Kemudian acara dilanjutkan
dengan pemotongan kue ulang tahun.
93
“Nah, teman-teman terima kasih atas
kehadirannya. Selanjutnya saya akan membagikan
door prize kepada teman-teman.”
Teman-teman menyambutnya dengan tepuk
tangan yang meriah.
“Door prize pertama untuk teman yang kemarin
menolong nenek-nenek menyeberangkan di jalan
raya!” demikian Krisna memberikan door prize
pertama berupa satu set alat tulis kepada Dewa.
Door prise kedua berupa seragam dan tas sekolah
diberikan kepada anak yang selalu datang paling
awal di sekolah yaitu Tika.
“Nah, sekarang door prize ketiga, berupa uang
sekolah dan buku-buku cerita anak diberikan kepada
94
teman saya yang sangat mencintai budaya khas
Indonesia, hal ini terlihat dari kesetiaannya memakai
baju batik walaupun selalu diejek teman-temannya,
dia adalah...,”
Belum selesai Krisna berkata, teman-temannya
sudah menunjuk ke arah Awang. Awang tidak
menyangka akan mendapat door prize dari Krisna.
“Kris, selamat ultah, ya, terima kasih, ternyata
kamu tidak seburuk yang saya sangka.”
“Maafkan aku juga Awang, aku sering
mengejekmu!” kata Krisna keduanya berpelukan
erat. Senyum bahagia menghiasi wajah mereka.
Awang tidak menyangka bahwa krisna yang selama
ini dianggapnya jahat ternyata teman yang baik hati.
___________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Awang Batik:
Cinta tanah air, toleransi, peduli sosial, dan disiplin
95
Arti Sebuah Juara
Anak-anak kelas VI sedang sibuk, mereka harus
membuat kelompok untuk penilaian praktik menari
sekaligus dilombakan antar kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari 4 sampai 6 orang. Kelompok
Bunga terdiri dari 5 orang, mereka adalah Bunga,
Dea, Ifa, Meli, dan Nisa.
“Tari apa yang akan kita tampilkan nanti
teman-teman?” tanya Bunga sebagai ketua
kelompok.
“Bagaimana kalau Dance?” ujar Dea.
“Jangan kebarat-baratan lebih baik tari daerah
nusantara saja,” sanggah Nisa.“Betul, berarti kita
cinta budaya Indonesia,” kata Meli sambil
mengacungkan jempolnya.
“Bagaimana teman-teman, setujukan dengan
usulan Nisa?” tawar Bunga.
Teman-teman Bunga menyetujui jika tarian
yang dibawakan nanti adalah tari daerah. Setelah
panjang lebar berbincang-bincang, mereka
96
berencana akan membawakan tari Pendet. Tari
Pendet adalah tarian khas dari Bali.
Siang sepulang sekolah Bunga dan teman-
temannya berlatih tari di rumahnya Bunga. Bunga
belajar menari dengan teman-temannya tahapan
demi tahapan. Namun sayang Nisa belum bisa
mengikuti dengan baik, sehingga selalu melakukan
kesalahan.
“Aduh, Nisa kamu selalu saja tidak bisa!” Meli
menyalahkan Nisa.
“Iya, dari tadi harus mengulang terus, capek
aku!” Jova merasa kesal.
97
“Sudah-sudah jangan ribut, kita harus berlatih
sungguh-sungguh Nisa, pasti kamu bisa!” Bunga
menyemangati teman-temannya.
Beberapa kali diulang Nisa belum juga bisa
melakukan gerakan dengan baik. Teman-temannya
jengkel dan memarahai Nisa. Latihan siang ini belum
berhasil sebab Nisa sendiri belum bisa menyesuaikan
diri dengan gerakkan tari teman-temannya. Besok
siang kelompok Bunga akan latihan lagi di rumah
Bunga.
Keesokan harinya sepulang sekolah mereka
segera menuju ke rumah Bunga. Namun Nisa tidak
kelihatan, Ia tidak mau lagi latihan. Nisa putus asa,
ia merasa bersalah karena tidak bisa mengikuti
gerakan teman-temannya. Bunga kebingungan
memikirkan nasib kelompoknya itu.
“Wah, gawat Nisa putus asa, ia tidak mau
latihan lagi!” Bunga berkata dengan rasa kawatir.
“Tidak usah dipikir, biarkan saja ia keluar!
Menari lima orang kan masih bisa!” kata Meli.
“Ia, Bunga, biarkan Nisa keluar dari kemarin
juga tidak bisa-bisa, selalu saja salah!” tambah Ifa.
98
“Masalahnya bukan bisa tidaknya kita menari
berlima,” kata Bunga sambil melepas sepatunya.
Teman-temannya saling berpandangan tidak
mengerti apa yang dipikirkan Bunga.
“Maksudmu?” tanya Meli.
Bunga tidak segera menjawab, ia hanya
menghela napas panjang. Lama Bunga tidak segera
menjawab pertanyaan Meli. Ia memandangi teman-
temannya satu persatu.
“Teman-teman saya merasa bersalah jika tidak
bisa mengajak Nisa menari bersama. Ia anggota
kelompok kita. Saya berpikir seandainya saya
menjadi Nisa pasti saya sedih sekali karena merasa
tersingkir.”
Teman-teman Bunga tidak ada yang berani
berbicara, mereka mendengarkan perkataan Bunga.
“Bagaimana kalau kita ke rumahnya, dan
mengajaknya latihan kembali?” kata Bunga.
“Tidak, aku tidak setuju! Memang dia tidak
berbakat, berlatih seribu kali pun pasti juga tidak
bisa,” ujar Meli ketus.
99
Teman yang lain diam, mereka masih bingung
antara menerima Nisa dan menolaknya. Bunga
kembali menarik napas panjang. Ia menatap Meli
dengan tajam.
“Bayangkan teman-teman, semua kelompok
sudah terbentuk. Nisa pasti juga bingung, kalau ikut
kita disalahkan terus. Kalau keluar akan ikut
kelompok siapa? Sementara penilaian menari
semakin dekat.”
“Ingat Bunga kita ingin kelompok kita menjadi
juara terbaik dalam penilaian nanti, Bukan? Nah,
kalau Nisa masih ikut kita tidak akan menjadi yang
terbaik!” tambah Meli.
Teman yang lain mengangguk-angguk
mengiyakan perkataan Meli. Bunga terdiam sejenak.
“Mel, saya ingat pesan guru kita Pak Tirta.
Beliau mengatakan bahwa kita harus belajar
menerima teman apa adanya, kekurangan dan
kelebihannya. Kita harus bisa bersahabat dengan
siapa saja, termasuk dengan Nisa,” kata Bunga.
“Iya, Mel benar apa yang dikatakan Bunga,”
komentar Ifa yang dari tadi tampak diam.
100
“Benar, Mel apa artinya juara jika kita tidak bisa
kompak dengan anggota kelompok kita. Belum lagi
kalau Pak Tirta tahu tentang peristiwa ini, pasti kita
kena dampaknya,” tambah Jova.
Meli tampak diam dan menimbang-nimbang
perkataan teman-temannya. Kemudian ia berdiri dan
berkata,”Oke, saya setuju dengan saran kalian!
Kalau kita kompak pasti akan menjadi juara!”
Teman-teman bertepuk tangan tanda setuju.
Mereka merasa lega setelah ketegangan di antara
anggota kelompok dapat diatasi bersama dengan
mengutamakan persatuan. Kemudian mereka
berangkat bersama-sama menuju rumah Nisa yang
tidak begitu jauh dari rumah Bunga.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Arti Sebuah Juara:
Cinta tanah air, demokratis, semangat kebangsaan,
dan tanggung jawab.
101
Bukan Hukuman Tuhan
Fajar telah menyingsing, matahari pagi belum
juga muncul di ufuk timur. Ratih sudah bangun, ia
membuka jendela kamarnya. Walau suasana pagi
enak untuk dinikmati, namun Ratih tidak juga keluar
dari kamarnya. Matanya masih berkedap-kedip, ia
enggan meninggalkan bantal dan kasurnya.
Hujan masih rintik-rintik di luar rumah. Pagi ini
Ratih tidak berangkat sekolah karena hari Minggu.
Sejak semalam hujan terus mengguyur kampungnya.
Kini Got depan rumah sudah tertutup oleh air.
Musim penghujan merupakan awal datangnya
kesedihan. Dalam waktu sekejap, jalan di depan
rumah Ratih sudah tergenang air dan perlahan-lahan
masuk ke rumah penduduk. Suasana musik alami
terdengar ketika orang-orang berjalan dengan
sepatu air. “Krubyuk-krubyuk…!” Begitulah suara
musik alami yang terdengar ketika air yang
menggenang belum surut.
102
“Brak…!” terdengar suara di luar rumah. Ratih
terperanjat dari lamunannya. Segera ia melompat
dari tempat tidurnya, membuka pintu yang masih
terkunci lalu berlari menuju ke halaman.
“Astaga…!” teriak Ratih sambil mendekat ke
jalan yang masih penuh dengan air, terlihat sebuah
becak terperosok dan seorang tukang becak jatuh
terduduk dan meringis kesakitan.
Ratih segera menolong seorang tukang becak
yang terpeleset masuk ke got karena jalanan licin
dan penuh dengan air. Di dorongnya becak yang
103
menindihi orang itu dengan sekuat tenaga. Walau
tidak membawa alas kaki, Ratih tidak merasa risi.
“Terima kasih ya, Dik!” ucap tukang becak.
“Ya, Pak. Sama-sama, hati-hati Pak!” pinta
Ratih. Tukang becak pun tersenyum, Ratih bergegas
menuju ke teras rumahnya. Tiba-tiba ia terpeleset
dan terjatuh di dekat kursi bambu. Bajunya basah
semua, ternyata air sudah masuk ke teras melalui
saluran air di samping rumah.
Ratih segera bangun, duduk di kursi sambil
menahan sakit. Tiba-tiba ayahnya muncul dari dalam
rumah.
“Lho, celananya kok basah. Pasti sedang mainan
air, ya! Ayo masuk, biar Ayah saja yang
mengurasnya!” kata Pak Surya.
“Nggak, Yah!”
“Lalu kenapa, Ratih?”
“Ini, Yah, kaki Ratih terpeleset?” kata Ratih
sambil menunjukkan kakinya.
“Wah, kakimu terkilir, Nak! Pagi-pagi begini
kamu sudah main di luar. Biasanya kan kamu
104
membantu ibu memberesi rumah dan menyiapkan
sarapan pagi.”
“Maafkan saya, Yah. Tadi saya...saya?”
“Ceritakan semua sama Ayah. Ayah tidak akan
marah, Nak.
“Tadi sewaktu Ratih bangun tidur, ada tukang
becak yang terpeleset ke got. Kasihan lho, Yah.
Badannya tertindih becak!”
“Lalu kamu menolongnya!” tanya Ayah.
“Ya, Yah, terus ketika saya kembali ke rumah,
saya tidak melihat lantai, ternyata sudah penuh air
lalu saya terpeleset, Yah.”
“Aduh, sakit Yah. Kenapa Tuhan menghukum
saya Yah, dengan kaki sakit seperti ini? Padahal
Ratih kan sudaah berbuat baik dengan menolong
orang lain,” ujar Ratih sambil menahan sakit.
“Ratih, kamu tidak boleh berkata begitu. Tuhan
itu Maha Tahu, ia tidak akan memberi hukuman
pada umatnya yang berbuat baik. Kamu terpeleset
karena kurang hati-hati saat berjalan. Ayo, sekarang
Ayah papah ke dalam,” kata Ayah sambil memapah
anaknya.
105
Ayah segera memberi obat gosok lalu mengurut
kaki Ratih yang mulai bengkak. Ratih mengaduh
kesakitan. Namum Ayah menyuruhnya untuk
menahan sakit. Ibu yang mengetahui putrinya
kesakitan ikut menunggui dan memijat-mijat kaki
Ratih.
Hari ini kaki Ratih tidak bisa utuk berjalan
seperti biasanya. Ia hanya bisa tiduran dan duduk-
duduk di tempat tidurnya. Kalau akan ke kamar
mandi atau ke ruang makan masih harus di papah
orang tuanya.
“Yah, apakah kakiku bisa sembuh?” tanya Ratih
ketika usai makan siang bersama.
“Bisa tetapi perlahan-lahan tidak langsung
sembuh,” kata Ayahnya.
Ratih menghabiskan waktu siang ini di dalam
kamarnya. Untuk mengusir kebosanannya ia
gunakan untuk membaca atau menulis. Kalau capek
ia gunakan untuk tidur.
“Apa salahku Tuhan, hingga kakiku seperti ini?”
ujar Ratih saat di kamar sendirian.
106
“Ratih, kamu tidak boleh berpikir begitu,”
Perkataan Ratih ternyata di dengar olah ibunya.
Ratih tersentah kaget dibuatnya.
“Ini peringatan Tuhanagar kamu lebih berhati-
hati dan mendekatkan diri pada Tuhan,” tambah
ibunya.
“Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain.
Dengan begini kamu lebih banyak waktu untuk
belajar dan membaca, iya, kan?”
Ratih menganggukkan kepala, ia menyadari
selama ini memang kurang belajar, banyak bermain,
dan melihat televisi. Dalam hati ia berjanji jika nanti
sudah sembuh akan belajar lebih giat lagi.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Bukan Hukuman Tuhan:
Religius, peduli sosial, dan peduli lingkungan.
107
Amin VS Udin
Di kantin sekolah Tia ada pedagang baru.
Pedagang ini menjual roti bakar. Anak-anak suka
dengan pelayanannya yang ramah dan cepat.
Walaupun baru dua hari di sekolah sudah banyak
pelanggannya.
Tia tidak pernah absen untuk membeli roti bakar
saat istirahat. Begitu juga dengan Nia sahabatnya.
Istirahat kali ini Tia dan Nia bermaksud untuk
membeli roti bakar. Namun ternyata pedagang itu
tidak berjualan.
“Aduh, perut sudah keroncongan, tidak ada roti
bakar siang ini,” keluh Tia.
“Sama, aku sudah membayangkan makan roti
bakar isi coklat di makan anget-anget, tapi hanya
warung kosong yang ada
“Iya, ya kemana Pak Amin ini?” kata Tia pelan.
“Siapa namanya, Tia? Pak Amin? Kamu salah,
bukan Pak Amin,” kata Nia.
“Memang namanya Amin, kan?”
“Bukan?”
108
“Lalu siapa dong? Setiap aku panggil Pak Amin,
dia juga menanggapi,” kata Tia membela diri.
“Namanya itu Udin, setiap ketemu, aku selalu
menyapa dengan sebutan Pak Udin” jelas Nia.
“Masak sih perasaan anak-anak kalu memanggil
Pak Amin,” kata Tia tetap tidak percaya.
“Tidak, Tia. Coba kita buktikan besok kalau Pak
Udin sudah berjualan,” kata Nia.
Kedua anak itu masih penasaran dengan nama
pedagang roti bakar yang ada disekolahnya. Tia dan
Nia sama-sama merasa benar. Memang mereka
berdua bersahabat tetapi mereka belum pernah
membeli roti bakar bersama-sama. Kini nama
109
pedagang tersebut begitu berarti ketika yang
bersangkutan tidak muncul di sekolah.
Tia dan Nia pun mencari kebenaran dengan
bertanya pada teman-temannya. Ternyata ada dua
pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan
namanya Amin, namun ada juga yang mengatakan
namanya Udin. Teka-teki nama ini belum terjawab
juga, pasalnya pedagang tersebut belum juga
muncul di sekolah.
Lima hari sudah pedagang roti bakar itu tidak
kelihatan. Tia dan Nia setiap hari selalu menanti
kedatangannya. Hari ini hari Senin Tia berangkat
lebih pagi dari biasanya. Setelah memarkirkan
sepedanya di tempat parkir sepeda Tia bergegas
menuju kelas.
“Pak Amin baru kelihatan, Bapak betul namanya
Amin, kan?” tanya Tia kelihatan gembira bertemu
dengan Pak Amin.
“Iya Nak benar nama saya Amin, saya habis
sakit, Nak,” kata pedagang itu.
“Bisa saya bantu, Pak!” kata Tia menawarkan
diri.
110
“Tidak usah Nak, Bapak sudah sehat sekarang,
terima kasih,” kata pedagang itu sambil menata
barang-barangnya.
Tia pun pamit dan segera menuju kelas. Tia
sangat yakin bahwa pedagang itu namanya Amin.
Tia berjalan dengan penuh semangat dan ingin
segera memberi kabar pada teman-temannya bahwa
pedagang roti bakar itu namanya Amin.
Lima belas menit berikutnya Nia tiba di sekolah.
Ia juga naik sepeda ke sekolah. Nia segera
memarkirkan sepedanya. Wajah cerah Nia terlihat
ketika melihat pedagang roti bakar sudah mulai
menata dagangannya.
“Selamat Pagi, Pak. Pak Udin kan? Kenapa lama
tidak berjualan Pak?” tanya Nia.
“Pagi Nak, iya saya Udin, habis sakit lima hari,
Nak!” ujar Pedagang itu.
“Sakit apa, Pak?”
“Biasa, Nak, flu berat.”
Setelah cukup bertegur sapa dengan pedagang
roti. Nia bergegas ke kelas dengan langkah mantap
dan yakin bahwa pedagang roti itu bernama Udin.
111
Nia ingin segera memberi kabar kebenaran nama
pedagang tersebut pada teman-temannya.
“Kebetulan Tia sudah datang, Tia pedagang roti
sudah berjualan lagi, aku baru saja tanya tentang
namanya, benar namanya Udin,” kata Nia penuh
percaya diri.
“Aku sudah tahu, aku datang bersama pedagang
roti. Kamu bohong kalau namanya Udin. Aku tadi
tanya apakah namanya Amin dia membenarkan
kalau namanya Amin,” kata Tia tidak mau kalah.
Mereka berdua masih mempertahankan
pendapatnya sendiri-sendiri. Perdebatan mereka
reda setelah ketua kelas datang dan melerainya.
Kemudian ketua kelas mengajak mereka berdua
langsung ketemu dengan pedagang roti tersebut.
“Pak betulkan namanya Amin?” tanya Tia di
hadapan pedagang roti. Pedagang roti itu belum
sempat menjawab Nia sudah bertanya,”Betulkan
nama Bapak Udin?”
Pedagang itu kelihatan bingung dengan
pertanyaan dua anak yang tampak marah dan ingin
mencari kebenaran darinya.
112
“Begini Pak dua teman saya ini dari kemarin
memperdebatkan nama Bapak. Tia bilang Pak Amin
sementara Nia bilang Pak Udin. Saat ini kelas
sedang memperbincangkan nama Bapak. Kami
mohon kebenarnnya Pak, biar anak-anak tidak ribut
lagi,” kata ketua kelas meluruskan permasalahan
yang ada.
“Oh, itu permasalahannya. Memang ada yang
memanggil nama Bapak Amin, namun ada juga yang
memanggil Udin. Kalian semua benar karena nama
Bapak Aminudin,” kata pedagang itu sambil
tersenyum.
Anak-anak yang mendengar pengakuan
pedagang itu sontak langsung tertawa. Tia dan Nia
berpandangan-pandangan lalu tertawa bersama. Kini
mereka tahu nama pedagang roti itu yang
sebenarnya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Amin VS Udin:
Bersahabat, rasa ingin tahu, dan jujur
113
Guci yang Retak
Entah karena apa, pikiran Mira tidak tenang. Ia
merasa sedih ketika mendengar kata-kata Sari yang
terakhir. Biasanya usai pulang sekolah, mereka jalan
kaki bersama menuju rumah Mira, namun hari itu
sahabat-sahabatnya sedang ada kepentingan. Nila
dan Tika diajak ayahnya pergi luar kota, sedang Sari
tidak memberi keterangan apa-apa. Empat sahabat
itu pulang sekolah langsung pergi begitu saja.
“Ayo, makan!” ajak Ibu.
“Sudah kenyang kok, Bu!” jawab Mira seperti
tidak berselera.
“Kenyang apa kenyang!” sahut Ibu sambil
menggandeng tangan Mira dan berjalan menuju ke
meja makan.
“Ibu tahu kamu sedang ada masalah!” kata Ibu
sambil memandang Mira yang sedang menunduk
lesu.
“Sedang ada masalah!” gurau Ibu. Mira yang
merasa belum cuci tangan, segera mencelupkan
114
tangannya ke mangkuk kecil yang berisi air putih.
Sesaatnya kemudian, Mira berdoa kepada Tuhan
atas berkah dan karunia yang diberikan.
“Tumben, teman-temanmu tidak kemari?” tanya
Bu Intan usai makan siang.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Nila dan Tika diajak
ayahnya pergi!”
“Sari juga?” Mira hanya diam tidak menjawab
pertanyaan Ibunya.
“Kamu pasti ada masalah dengan Mira, ya?”
“Nggak kok, Bu!” jawab Mira pendek.
“Mira, permasalahan dalam bersahabat itu
adalah hal yang biasa. Justru dengan adanya
permasalahan, orang akan bertambah dewasa dalam
berpikir. Coba kamu ceritakan, barangkali ibu bisa
membantu?”
“Begini Bu, tadi di kelas ada siswa baru
namanya Vivi!”
“Bagus, berarti kamu akan tambah teman.”
“Masalahnya, Sari merasa tersaingi. Apalagi
setelah ulangan tadi, nilai Sari berada di bawah Vivi,
Bu. Ketika aku memberi nasihat malah dianggap
115
membela Vivi. Bahkan Sari menyatakan perang
dengan saya!” jelas Mira.
“Mira, karena kamu sahabat sari, maka harus
memberi pengertian kepadanya agar tidak terjadi
salah paham! Berdoalah kepada Tuhan, minta
petunjuk agar kamu dapat mendamaikan Sari dan
Vivi, Nak!” pinta ibunya sambil meninggalkan meja
makan.
Ketika malam tiba, Mira tidak bisa tidur dengan
nyenyak. Sebentar-sebentar ia terbangun dan
menengok jarum jam. Malam itu, merupakan malam
paling menyedihkan. Ia ingin hari segera pagi, dan
berangkat ke sekolah lalu bertemu Sari dan Vivi.
Pagi haris usai makan, mereka ayah, ibu, dan
Mira berangkat ke tempatnya masing-masing. Mira
membonceng ibunya, sedang Ayah naik motor dinas
yang biasa dipakai untuk patroli, karena ayah Mira
sebagai polisi.
Lima menit kemudian, Mira sudah sampai di
sekolah. Ia buru-buru menuju ke kelas dengan
mempercepat langkahnya sambil berlari. Bel masuk
pun berbunyi.
116
Sepanjang jam pelajaran pertama, Mira
kelihatan gelisah. Ia tidak berkonsentrasi dalam
pelajaran. Padahal hari itu ulangan matematika, ia
merasa buntu dalam mengerjakan soal cerita.
“Anak-anak, kalian kerjakan selama setengah
jam. Pak Guru mau menghadap kepala sekolah
sebentar karena ada sesuatu yang harus
diselesaikan!” kata Pak Seto.
“Baik, Pak!” jawab anak-anak serempak. Anak-
anak sibuk dengan kertas ulangannya masing-
masing. Angka-angka yang membingungkan
membuat kelas menjadi tenang. Hanya suara-suara
kertas yang dibolak-balik.
Waktu istirahat tiba. Mira keluar kelas dengan
teman-temannya. Mereka duduk-duduk di bawah
pohon bougenvile sambil makan bekal mereka.
“Mana sari?” tanya Mira.
Mira hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu.
Nila yang baru membuka bekalnya, ditutup lagi.
“Biar aku yang mencari Sari,” kata Nila.
Usaha Nila sia-sia saja. Sari duduk menyendiri di
sudut teras dekat ruang komputer. Bujuk rayu Nila,
117
tak mempan menundukkan hati Sari untuk
bergabung dengan teman-temannya.
Mira dan Tika yang sudah lama menunggu
akhirnya, ikut juga mencari sampai menemukan Sari
dan Nila.
“Kenapa malah berada di sini?” tanya Mira.
“Dak tahu nih, Sari nggak mau bergabung,”
jawab Nila agak jengkel.
“Sari, masih marah soal kemarin, Ya?” tanya
Mira.
“Teman-teman memang kemarin Sari marah
sama aku. Aku berusaha mengingatkan Sari untuk
tidak memusuhi Vivi tetapi Sari malah mengira aku
membela Vivi.”
Mereka diam mendengarkan penjelasan Mira
panjang lebar. Sari hanya diam. Berulang kali Mira
bertanya pada Sari tak satu pun jawaban yang
keluar dari mulutnya. Namun jika yang bertanya Tika
dan Nila, Sari mau menjawab walaupun hanya
sepatah dua patah kata.
“Sari, marah ya sama aku?”
118
Sari masih saja diam. Mulutnya seakan terkunci
rapat untuk tidak menjawab pertanyaan Mira.
“Jika aku yang bersalah aku minta maaf, Sari.”
Sari masih juga terdiam. Mira memandangi Sari
dalam-dalam, namun Sari tetap mengacuhkan Mira.
“Aku rela Sari kamu marah padaku, namun
jangan biarkan persahabatan kita pecah,” tambah
Mira.
Sari menarik napas panjang. Entah apa yang
dipikirkan. Semua terdiam, tak satu pun yang
berpendapat. Hingga akhirnya Mira angkat bicara.
“Sari, sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak
bermaksud menyakitimu,” Mira meyakinkan Sari.
“Oke, kalau memang semua diam. Sampai di sini
saja persahabatan kita, selamat jalan!” Mira
meninggalkan tempat itu.
“Mira, jangan pergi!” teriak Tika.
“Mira, kita baikan kembali, ya!” tambah Nila.
Mira tidak menggubris teriakan temannya, ia
ayunkan langkahnya dengan mantap. Bahkan sama
sekali tidak menoleh ke arah teman-temannya.
119
“Mira, tunggu,” teriak Tika dan Nila hampir
bersamaan. Mira tetap berjalan menuju ke arah anak
tangga. Hiruk-pikuk anak-anak yang masih
beristirahat tidak dihiraukan.
“Mira maafkan aku, Mira!” Sari lari
menghentikan langkah Mira. Sari memegangi kaki
Mira sambil meminta maaf berulang-ulang.
Kemudian keduanya berangkulan diiringi isak tangis
mereka. Begitu juga Tika dan Nila.
“Jangan pergi, Mira!” kata Sari.
120
“Persahabatan kita tidak boleh putus Mira,”
tambah Sari.
“Betul Mira kita harus bersatu seperti dulu lagi.
Masih ingatkah dengan guci di rumah Mira, yang kita
retakkankan dulu lalu kita lem lagi sehingga kembali
utuh. Dan saat itu Mira bilang kalau persahabatan
kita akan pecah mari kita ingat guci yang yang
hampir pecah ini!” kata Tika disambut dengan
rangkulan tangan dari Mira.
Keempat sahabat itu berangkulan sambil terisak-
isak. Isak bahagia merayakan kemenangan mereka
dalam menyatukan kembali persahabatan yang
hampir putus.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Guci yang Retak:
Bersahabatt dan cinta damai
121
Kejengkelan Seto
Matahari kian merambat naik, langit berwarna
putih bersih. Udara terasa semakin panas, apalagi
seperti kota Semarang yang letaknya di pesisir
pantai. Demikian juga SD Bina Putra yang berjarak
dua kilometer dari garis pantai.
Siang itu ruang kelas IV sangat ramai. Anak-
anak berteriak-teriak memberi suport pada Seto dan
Bimo. Kedua anak laki-laki itu sedang bertengkar.
Ada yang memihak Seto, ada juga yang memihak
Bimo.
Tiba-tiba bres! Sebuah tonjokan keras mendarat
di muka Bimo. Kelas semakin ramai. Keramaian
berubah menjadi teriakan histeris ketika melihat
hidung Bimo mengeluarkan darah.
Anak-anak berlarian ke luar kelas. Bimo
menangis menahan luka. Doni sang ketua kelas baru
saja dari kantin sekolah. Melihat keadaan Seto, ia
bergegas menggandeng Seto dan membawanya ke
kantor guru.
122
Halaman sekolah semakin ramai, Bimo menjadi
tontonan gratis anak-anak yang sedang beristirahat.
Ada yang ketakutan dan ada pula yang bertanya-
tanya penasaran. Hiruk pikuk anak-anak makin riuh
rendah.
“Bu, Bimo mimisan, Bimo mimisan,“ teriak anak-
anak.
Bu Harum guru kelas IV bergegas ke luar kantor
melihat keadaan Bimo. Betapa kagetnya Bu Harum
melihat hidung Bimo keluar darah banyak sekali. Bu
Harum menggandeng Bimo menuju ruang UKS, lalu
didudukkan pada kursi sofa sambil membiarkan
wajahnya tengadah.
“Don, ambil kapas dalam kotak PPPK,“ kata Bu
Harum pada Doni, teman Bimo.
“Baik, Bu,“ kata Doni ketua kelas IV.
Doni membantu Bu Harum dengan sangat
terampil. Selain anaknya cerdas ia juga termasuk
anggota dokter kecil di sekolahnya. Sehingga
menangani teman-temannya yang sakit sudah hal
biasa.
“Bu Harum, bajunya Bimo kotor sekali, banyak
darahnya, Bu,” kata Doni.
123
“Carikan saja baju seragam yang ada di lemari
kelas IV!” kata Bu Harum sambil terus mengusap
muka Bimo dengan kapas.
Setiap kelas di SD Bina Putra disediakan
seragam sekolah yang sudah tidak terpakai. Hal
tersebut dilakukan untuk berjaga-jaga jika ada
seragam murid yang kotor karena jatuh, basah, atau
kecelakaan seperti yang dialami Bimo. Seragam itu
bisa dipakai sebagai ganti.
“Sudahlah Bimo, tidak boleh menangis. Nanti
juga cepat sembuh,“ hibur Bu Harum sambil
membersihkan darah yang berlepotan di pipi Bimo.
“Mengapa bisa sampai seperti ini, Bimo?” tanya
Bu Harum.
“Seto dulu Bu, yang nonjok sa…saya,” kata Bimo
sambil tersedu-sedu.
“Sekarang Seto mana?”
“Masih di kelas, Bu,“ sahut Doni.
“Ayo anak-anak, sekarang bubar, kembali ke
kelas, biar nanti Ibu yang menyelesaikan,” kata Bu
Harum.
124
Anak-anak pun berhamburan menuju kelas IV.
Halaman sekolah kembali sepi, istirahat kedua telah
berakhir. Bu Harum menggandeng Bimo menuju
ruang kelas.
Suasana kelas IV hening, anak-anak menunggu
sambil bertanya-tanya dalam hati apa yang akan
terjadi nanti setelah Bu Harum masuk kelas. Bu
Harum adalah guru kelas IV yang terkenal sabar,
disiplin, dan bijaksana. Walaupun Bu Harum tidak
pernah marah tetapi karena sikap arifnya inilah yang
menjadi anak-anak justru takut melakukan
kesalahan.
“Seto, di mana anak-anak? Kok tidak ada di
kelas?” tanya Bu Harum.
“Saya tadi lihat, ia berlari ke arah tempat parkir
sepeda, Bu,“ celetuk Yona.
“Biar saya cari, Bu,“ tawar Doni.
Bu Harum menganggukkan kepala tanda setuju.
Doni mencari Seto ke arah yang ditunjuk Yona.
Ternyata betul, Seto berada di sana sedang duduk
menyendiri di sudut tempat parkir.
125
Doni mengajak Seto masuk ke kelas tetapi Seto
menolaknya. Wajah Seto tampak kusut. Bujukan
Doni model apapun tak mampu meluluhkan hati Seto
yang sekeras batu.
Doni kembali ke kelas dan melaporkan kepada
Bu Harum. Akhirnya Bu Harum sendiri yang datang
ke tempat Seto. Kedatangan Bu Harum sempat
membuat hati Seto agak berdetak kencang. Ada
sebersit rasa ketakutan yang menghantui jiwanya.
Bu Harum ternyata tidak marah, ia mengajak
Seto dengan lembut. Sekali dua kali ajakan Bu
Harum hanya didiamkan saja oleh Seto. Dalam
benaknya paling-paling nanti diajak ke kelas terus
dimarahi seperti kalau orang tuanya menghajar
habis-habisan karena malas belajar.
Bu Harum mencoba meyakinkan Seto dengan
penuh kesabaran dan kearifan. Akhirnya Seto pun
luluh dan mau mengikuti ajakan Bu Harum, dengan
langkah agak ragu, Seto berjalan menuju ruang
kelas mengikuti Bu Harum.
Di SD Bina Putra Seto memang anak baru. Ia
pindahan dari SD Wijaya. Konon kabarnya Seto
126
harus pindah karena kenakalannya di SD tersebut.
Kedua orang tuanya selalu sibuk sehingga waktu
untuk anaknya hampir tidak ada.
“Anak-anak ibu berulang kali selalu pesan
kepada kalian untuk tidak bertengkar. Jagalah
kerukunan kalian. Kalau ada kejadian seperti ini
siapa yang rugi? Kalian semua, kan? Bimo rugi
karena sakit, Seto sendiri berbuat tidak benar,” kata
Bu Harum.
“Kalian juga rugi. Rugi waktu, harusnya Bu Guru
sudah mengajar tetapi tertunda,” lanjut Bu Harum.
“Coba Seto ceritakan! Bagaimana peristiwa ini
tadi terjadi?” kata Bu Harum dengan nada tinggi.
Seto hanya diam. Kepalanya tertunduk. Tak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Seto, kamu dengar kata-kata Ibu?” kata Bu
Harum mencoba bersabar sembari menunggu
jawaban Seto.
Seto masih saja diam. Pikirannya tak karuan
antara takut dan merasa bersalah campur menjadi
satu.
127
“Sudah, kalau kamu diam, ibu tunggu sampai
kamu mau bicara.”
Kelas makin hening, tak seorang pun berani
berbicara. Semua menunggu jawaban Seto.
“Kalau Seto tak mau berbicara berarti waktu
pulang kalian juga tertunda,” lanjut Bu Harum.
“Huuu…ayo Seto jangan diam saja!” celetuk
salah satu temannya.
“Ya, Seto ayo angkat bicara dong, biar cepat
pulang!“ sahut yang lain.
“E…anu Bu ba…baju saya ditarik Bimo!“ Seto
diam sejenak.
“Saya marah terus nonjok Bimo,” kata Seto
sambil gemetar.
“Bimo, betul yang dikatakan Seto?” tanya Bu
Harum memastikan.
“Habis Seto ngejek-ngejek Bu. Saya diejek kayak
Mr. Bean.”
“Gerrrrr…,” seisi kelas pun tertawa.
“Ayo anak-anak diam. Tidak ada yang perlu
ditertawakan,” kembali Bu Harum berkata dengan
nada tinggi.
128
“Sudah kalian sekarang harus saling bermaafan.
Jangan ada dendam! Hiduplah yang rukun serta
saling menghormati,“ kata Bu Harum.
Keduanya berjabatan tangan. Anak-anak merasa
lega, kelas pun riuh dengan tepuk tangan.
Kegembiraan anak-anak berhenti ketika Bu Harum
berbicara lagi.
“Seto, sebagai anak baru, seharusnya kamu
menunjukkan perilaku yang baik biar mendapat
teman banyak. Mau kan kamu berbuat yang baik?”
“Mau, Bu.”
“Sekarang kalian boleh duduk.”
“Terima kasih, Bu,“ jawab kedua anak itu sambil
menuju tempat duduk masing-masing.
Semenit kemudian bel sekolah berdering. Anak-
anak berkemas-kemas. Setelah berdoa mereka ke
luar kelas dengan tertib. Anak-anak meninggalkan
ruang kelas sambil berjabat tangan dengan Bu
Harum.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Kejengkelan Seto:
Bersahabat, cinta damai, dan jujur
129
Di Atas Langit Ada Langit
Hasil lomba membaca puisi telah diumumkan,
Kirana sebagai juara ketiga. Ia maju ke atas
panggung untuk menerima piala dan piagam
penghargaan. Sayangnya wajah Kirana tidak
memancarkan kegembiraan ia malah cemberut dan
merasa tidak senang.
Selesai lomba Kirana pulang dengan ibunya.
Sepanjang perjalanan Kirana tidak banyak bicara.
Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya besar di
benak ibu.
Setiap kali ibu membicarakan masalah lomba
yang baru saja diikutinya, dijawab dengan datar-
datar saja oleh Kirana.
“Hebat, kamu, Rana! Baru ikut lomba sekali
langsung mendapat kejuaraan!” kata ibunya.
“Ya, Bu,” jawab Kirana singkat dan datar.
Ini bukan kebiasaan Kirana, ibu tahu persis
pribadinya. Ia selalu ceria, suka bercerita dan tidak
130
mau diam. Anehnya hari ini seharusnya gembira
malah dia kelihatan tidak senang.
Sampai di rumah Kirana saja masih cemberut.
Saat makan siang pun ia masih banyak berdiam diri.
“Kamu, kenapa, Rana? Sakit?” pancing ibu.
Kirana hanya menggelengkan kepala.
“Tidak biasanya Kirana pendiam seperti ini,
bukankah seharusnya gembira karena hari ini anak
ibu menjadi juara?” kata ibunya lagi. Kirana masih
diam saja.
“Oh, ibu tahu, karena tidak menjadi juara satu,
ya?” seloroh ibu ternyata mengena.
131
“Ya, Bu, seharusnya aku yang juara 1 bukan
anak kecil tadi!” kata Kirana dengan nada marah.
“Kirana kamu harus mau menerima keputusan
juri. Kalau ibu amati anak kecil tadi walaupun masih
kelas dua tetapi layak menjadi juara karena ia
membaca dengan ekspresi, intonasi, dan
penghayatannya sangat bagus. Nah, kalau yang
juara 2 memang suara dan penghayatannya cukup
mantap. Ibu mengakui hal ini,” jelas ibu Kirana.
“Tapi Bu, seharusnya saya yang juara. Teknik
membaca saya bagus dan sesuai dengan tema yang
dimaksud,” kata Kirana tidak mau kalah.
“Sudahlah Rana, kamu harus belajar mengakui
kekuranganmu dan kelebihan teman, Oke!” bujuk
ibu.
Kirana diam saja, ia tidak setuju dengan
perkataan ibu. Sampai sore hari Kirana masih banyak
diam. Piala yang diperoleh dari hasil lomba siang tadi
tidak dipandangnya sama sekali, apalagi disentuh.
Hingga waktu makan malam tiba, Kirana masih
cemberut. Ibu tahu persis watak putrinya maka ibu
juga tidak memarahinya. Biarkan Kirana belajar
132
sendiri dari kesalahannya demikian ibu menanamkan
sikap pada anak semata wayangnya.
Malam ini Kirana tidak belajar karena besok hari
Minggu. Ia gunakan waktunya untuk nonton televisi.
Ibu Kirana mendampingi putrinya walaupun Kirana
kelihatan tidak konsentrasi ke televisi.
“Bu, betul kata Ibu!” kata Kirana mengejutkan
Ibunya.
“Apanya yang betul, Rana?” tanya ibu.
“Beruntung, Bu, Saya mendapat juara, walaupun
tidak juara satu. Harusnya saya bersyukur, baru saya
sadar Bu, bahwa di atas saya, masih ada yang lebih
bagus dalam membaca puisi. Jadi saya tidak boleh
sombong. Benar kata-kata film di televisi itu bahwa
di atas langit masih ada langit.
Ibu tidak percaya dengan perkataan Kirana.
Lama ibu memandangi Kirana sambil tersenyum
bangga.
“Hebat, Rana! Kamulah sang juara sejati, karena
mau mengakui keunggulan lawan dan menyadari
kekuranganmu,” kata ibu sambil mengacungkan
jempol.
133
Kirana tersenyum lega begitu juga dengan ibu.
Ia bangga mempunyai anak seperti Kirana yang
biasa belajar sendiri dari kekurangan dan
kekeliruannya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Di Atas Langit Ada Langit:
Religius, jujur, dan menghargai prestasi
134
Bos GLOSARIUM
Budaya : Panggilan untuk orang
besar atau pejabat
Door Prize
Elpiji : Hasil cipta, rasa, dan karsa
Gagang manusia
Gelagat : Hadiah kejutan
Gembul
HP : Bahan bakar gas
Juri : Pegangan pada suatu
Kelakar benda
Kepis
: Tanda-tanda jelek
Laptop
: Gemuk pendek
: Handphone, telepon
genggam
: Penilai dalam lomba
: Bercanda
: Tempat menaruh ikan
hasil pancingan terbuat
dari bambu
: Komputer jinjing
135
Mewarisi : Memiliki setelah pemilik
terdahulu
Misterius : Sesuatu yang belum
terungkap
Perpustakaan Keliling : Mobil tempat membaca
buku
Piagam : Surat berharga semacam
sertifikat
Piala : Tropi tanda kejuaraan
Play station : Tempat bermain game
Postur : Bentuk badan
Regu : Kelompok dalam pramuka
penggalang
Rental : Tempat menyewa
Serep : Cadangan
Strategis : Tempat yang dekat
dengan manapun
UGD : Unit Gawat Darurat
136
BIODATA PENULIS
Rustantiningsih, lahir di
Karanganyar 25 Oktober 1975.
Menempuh pendidikan di TK
Pertiwi Sumberejo (1982), SD
Tawangsari 2 Kerjo (1988),
SMPN 2 Kerjo (1991), SMAN 1
Kerjo (1991), D2 PGSD IKIP
Negeri Semarang (1997), S1 PGSD Universitas
Negeri Semarang (2008), dan menyelesaikan studi
S2 Pendidikan Dasar di Universitas Negeri Semarang
(2012). Mengawali kariernya sebagai pegawai negeri
sipil (guru) di SDN Anjasmoro (sekarang SDN
Tawang Mas 01) Semarang (2005). Di sela-sela
aktivitasnya sebagai pengajar, ibu rumah tangga,
dan beroganisasi, Ibu yang rajin membaca ini, masih
menyempatkan menulis karya ilmiah sebagai wujud
pengembangan profesi. Perpustakaan kecil yang
dibangun sederhana di Jalan Kenconowungu Tengah
III/19 Karangayu Kota Semarang, merupakan
impiannya sejak kecil. Menikah dengan Trimo tahun
1995 dikarunia tiga orang buah hati, yakni Harum
Sunya Iswara (1997), Yonna Aparacitta (2002), dan
137
Rakyan Maharaja Krishna (2009). Kelihaiannya
menulis mendapat dukungan dari sang suami yang
juga aktif di dunia kepenulisan. Beberapa karya yang
sudah diterbitkan: Buku Ajar Bahasa Indonesia Kelas
VI (Penerbit Pemkot Semarang, 2006), Buku Bina
IPS Kelas III, V, VI (Penerbit Gajah Mada Jakarta
2008), Buku Senandung Belajar IPS (2012), Novel
Langit Masih Cerah Candra (Penerbit Iranti Mitra
Utama Surabaya 2012), dan Novel Mutiara
Menggandeng Awan (Penerbit Pelita Hati Surabaya
2012). Berbagai kejuaraan di bidang karya ilmiah
pernah ditorehkan ibu yang aktif di berbagai
organisasi ini, di antaranya Juara 1 Guru Berpestasi
SD Tingkat Nasional (2009) dan Juara 1 Inovasi
Pembelajaran Tingkat Nasional tahun 2014 (elang).
___________________________________________
Contac Person : 085640501084
PIN BB : 2AD07AC0
Email : [email protected]
___________________________________________
138