sebagai pelajaran yang berharga. Caranya
menertibkan diri dalam menjaga kebersihan!”
demikian Bu Ratih memberi nasihat kepada murid-
muridnya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Bau Misterius:
Religius, jujur, disiplin, peduli lingkungan
43
Maafkan Kami Pak
Arum dan Ginta sengaja mengisi liburan hari
Minggu dengan berjalan-jalan di pantai. Memang
antara jarak rumah mereka dengan pantai tidak
begitu jauh kurang lebih 2 km. Sejak kemarin
mereka sudah berencana, minggu pagi akan
bersepeda dan berjalan-jalan di pantai. Pukul enam
tepat Arum dan Ginta sudah sampai di pantai.
“Kita jalan-jalan di jembatan bambu, yuk?” kata
Arum.
44
“Ayo, sambil melihat indahnya mentari pagi, dan
kayanya alam Indonesia,” kata Ginta.
“Wah, mentang-mentang suka puisi, puitis
sekali, Gin!”
“Iya, jelas, dong!” ujar Ginta.
Keduanya tertawa-tawa sambil berkejaran.
Mereka menyusuri jembatan bambu yang dibuat
oleh nelayan untuk menambatkan perahu-perahu
mereka. Pagi ini banyak perahu yang masih berlayar
sehingga jembatan-jembatan itu kosong. Hanya satu
dua anak yang bermain di sekitar jembatan dan
beberapa orang kelihatan sedang memancing.
“Gin, ternyata Indonesia itu kaya hasil lautnya
ya?” kata Arum.
“Baru tahu ya?” kata Ginta berkelakar.
“Aku serius, lho! Makanya kita harus
melestarikan dan menjaganya, karena sumberdaya
alam ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi
pinjaman dari anak cucu kita,”kata Arum berlagak
seperti orang yang sedang berpidato.
“Hebat, hebat, demikian tadi narasumber kita,
Arum Sari!” kata Ginta sambil bertepuk tangan.
45
Kemudian mereka berdua bergandengan tangan
berjalan sepanjang jembatan bambu, sambil
menghirup segarnya udara pagi.
“Hai, Gin ada ikan banyak!” kata Arum
menunjuk kepis berisi ikan yang diikatkan di pinggir
jembatan bambu. Kepis adalah keranjang kecil
tempat menaruh ikan hasil pancingan.
“Iya, besar-besar lagi!” kata Ginta kegirangan.
Kedua anak itu menggoyang-goyangkan kepis
ikan, sambil tertawa-tawa melihat ikan-ikan dalam
keranjang berloncat-loncatan. Lama-kelamaan
goncangan keranjang makin kencang dan akhirnya
semua ikan yang ada dalam keranjang tumpah dan
jatuh ke laut. Tawa kedua anak tersebut berhenti
dan berubah dengan rasa ketakutan. Mereka kawatir
kalau pemilik ikan tersebut tahu dan memarahinya.
Tanpa pikir panjang kedua anak tersebut lari
menjauh dari tempat tersebut.
Di tempat yang menurutnya aman, mereka
berhenti. Dari kejauhan kedua anak itu memandangi
tempat kepis yang terjatuh tadi. Tidak berapa lama
pemilik kepis datang ke tempat tersebut. Pemilik
46
kepis bingung dan heran dengan apa yang sudah
menimpa dirinya. Wajahnya kelihatan sedih dan
berulangkali memandangi kepisnya yang kosong.
“Gin, lihat pemilik kepis itu kasihan ya, ayo kita
minta maaf!” kata Arum mengajak sahabatnya.
“Nggak mau ah, aku takut tapi juga kasihan!”
“Tapi kan kasihan, gara-gara ulah kita lho! Kalau
bapaknya marah kita dengarkan saja, itu kan akibat
kesalahan kita sendiri!” ujar Arum.
“Kalau hanya minta maaf, mudah tetapi
bagaimana cara kita mengganti ikan-ikan itu?” balas
Ginta.
“Bagaimana kalau uang saku kita digunakan
untuk membeli ikan di pasar ikan dekat sini, lalu kita
berikan ikan itu pada bapak tadi sambil minta
maaf?” kata Arum.
“Oke, idemu cemerlang juga!”
“Jelas, dong!”
Uang saku mereka dikumpulkan lalu menuju
pasar ikan di sebelah selatan pantai. Setelah
berbelanja ikan mereka kembali ke pantai. Pemilik
kepis ternyata masih ada di sekitar jembatan bambu.
47
Ia memancing kembali di sekitar situ mungkin ia
berharap ikan-ikan yang lepas tadi bisa dipancing
kembali.
“Selamat pagi, Pak!” sapa Arum dan Ginta
menghampiri pemilik kepis.
“Selamat pagi, Nak!” kata pemilik kepis sedikit
terkejut karena konsentrasi memancingnya terpecah
dengan kehadiran mereka.
“Pak, kami mau minta maaf!”
“Mengapa minta maaf?” tanya Bapak itu tidak
mengerti.
“Kami minta maaf karena telah menumpahkan
ikan Bapak,” kata Ginta ketakutan.
“Oh, jadi kalian ya yang menumpahkan ikan-
ikan saya,” kata pemilik kepis kelihatan marah.
“Kalian jangan macam-macam ya, saya sudah
susah payah memancing ikan-ikan itu, eh malah
ditumpahkan begitu saja,” Pemilik kepis semakin
geram.
“Apa kalian tidak tahu, kalau ikan-ikan hasil
pancingan itu untuk menghidupi keluargaku?” lanjut
Pemilik kepis.
48
“Sejak dini hari saya memancing, tapi
hasilnya,....”
Pemilik kepis tidak melanjutkan lagi kalimatnya,
ia kelihatan kecewa dan merasa jengkel.
“Maaf Pak, itu memang salah kami. Kalau
Bapak berkenan ini Pak saya ganti dengan ini,” kata
Ginta sambil memberikan bungkusan plastik yang
berisi ikan hasil belanja mereka.
Pemilik kepis tidak segera menerima bungkusan
itu, tetapi memandangi kedua anak itu bergantian.
Setelah di desak oleh kedua anak tersebut akhirnya
pemilik kepis itu mau menerimanya dan memaafkan
keduanya. Arum dan Ginta bernapas lega.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Maafkan Kami Pak:
Cinta tanah air, tanggung jawab, kreatif, cinta
damai, dan peduli lingkungan.
49
Orang Tak Dikenal
Terik matahari menyengat kulit Tika. Ia berjalan
sendirian pulang dari sekolah. Biasanya mengayuh
sepeda tetapi sekarang ban sepedanya bocor, maka
hari ini ia harus pulang dengan jalan kaki.
“Ayo, Dik bareng sama Om!” kata seseorang
dari arah belakang Tika. Lelaki dewasa itu naik
motor. Tika menatap heran pada orang asing
tersebut.
“Jangan heran Om tahu rumahmu dan Om kenal
dengan orang tuamu!”
Tika ingat dengan kata-kata gurunya, kalau
pulang sekolah dijalan bertemu dengan orang yang
tidak dikenal dan sok akrab segera lari. Tanpa
berkata apa-apa Tika lari sekencang-kencangnya
menuju rumah.
Setelah orang tersebut tidak kelihatan Tika
berjalan biasa sambil melepas kelelahannya.
Napasnya tersengal-sengal karena capek dan
ketakutan. Belum habis rasa lelahnya tiba-tiba dari
50
arah berlawanan Tika bertemu lagi dengan orang tak
dikenal tadi, ia berbalik dan lari mencari jalan lain
menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah Tika membuka pintu
gerbang lalu masuk ke rumah. Kalau siang hari
rumahnya memang sepi, tetangga sekitar juga masih
banyak yang bekerja. Ayah dan ibunya belum pulang
kerja. Kakaknya yang di SMA juga belum pulang. Ia
segera masuk rumah, ditaruhnya tas punggungnya
di atas meja belajarnya lalu berganti pakaian.
“Permisi!” tiba-tiba dari arah pintu ada orang tak
dikenal tadi.
51
Tika segera keluar kamar betapa terkejutnya ia
ternyata orang asing tadi sudah berdiri di ruang
tamu. Tika ketakutan, ia lupa menutup pintu pagar
dan pintu rumahnya.
Tamu tadi dengan sopan berkata,”Dik, saya
temannya ayahmu, jangan takut!”
Tamu tersebut langsung masuk dan berjalan-
jalan di sekeliling ruangan.
“Kata ayah, Om disuruh memperbaiki laptopnya
yang rusak,” kata orang tadi sambil mencari-cari di
sekeliling ruangan.
“Maaf Om, ayahku tidak punya laptop,” kata
Tika keheranan.
“Oke, tabung gas elpiji saja yang Om bawa, tadi
juga bilang katanya tabung gasnya agak
bermasalah,” kata orang berjalan menuju dapur dan
segera mengangkat tabung gas.
Tika, hanya mengangguk, dan memandangi
orang tersebut mengambil tabung gas dari
rumahnya. Kemudian ia segera menutup pintu
rumah setelah orang tak dikenal itu pergi dengan
membawa tabung gas.
52
Dua jam kemudian ayah dan ibu Tika pulang
dari kantor. Tika segera membuka pintu rumah dan
membawakan tas ibunya.
“Ayah, tadi ada teman ayah kemari, katanya,
ayah menyuruhnya memperbaiki laptop. Padahal kita
kan tidak punya laptop. Lalu teman ayah membawa
tabung gas katanya juga ayah yang menyuruh
karena tabung gasnya bermasalah,” kata Tika sambil
berjalan mengikuti kedua orang tuanya.
“Apa, Tik? Wah, kena tipu ini! Ayah tidak pernah
menyuruh orang untuk memperbaiki apa pun,” kata
ayahnya terkejut.
Tika terkejut mendengar penjelasan ayahnya. Ia
menangis sesenggukan dan merasa bersalah.
“Bagaimana ceritanya?” kata ibu dengan sabar.
Setelah tangisnya reda Tika membeberkan
semua peristiwa siang itu mulai dari ketemu orang
tak dikenal hingga orang tersebut membawa tabung
gas. Tak lupa Tika juga menceritakan ciri-cirinya
dengan lengkap.
“Ayah, Ibu Tika minta maafkan!” kata Tika
menyesali apa yang sudah terjadi.
53
“Sudah Tika tidak usah menangis, jadikan
pengalaman ini sebagai guru yang terbaik,” kata
ibunya.
“Ya, Tika, lain kali kalau kamu pulang sekolah
segera tutup pintu dan kunci dari dalam, jangan
dibukakan kalau kamu tidak mengenal orang yang
akan bertamu!” kata ayahnya.
Kata-kata kedua orang tuanya menyejukkan
hatinya. Peristiwa siang itu pelajaran yang sangat
berharga bagi diri Tika dan keluarganya. Ia berjanji
dalam hati akan selalu menaati nasihat orang
tuanya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Orang Tak Dikenal:
Tanggung jawab, jujur, dan disiplin
54
Pelajaran untuk Candra
Pagi ini pelajaran Olahraga, pelajaran yang tidak
digemari Candra. Apalagi gurunya sangat disiplin.
Pak Wira guru olah- raga memang selalu
menanamkan pada anak-anak agar tepat waktu dan
rajin mengikuti pelajaran olahraga. Candra sering
sekali kena marah karena selalu terlambat. Hampir
setiap olahraga selalu mendapat hukuman.
Hari ini Candra mempunyai suatu rencana. Ia
menghindari pertemuan dengan Pak Wira guru
olahraganya. Bayangan yang ada di otaknya paling-
paling akan mendapat hukuman lagi. Seperti minggu
55
kemarin, gara-gara ia menertawakan teman yang
melakukan gerakan salah pada saat senam, ia harus
berdiri melakukan senam sendiri sampai dua kali.
Candra melangkahkan kakinya menuju tempat
yang selama ini diincar yaitu rental play station. Ia
memang jago main play station. Sampai di tempat
tujuan, Candra langsung memilih tempat yang
dianggap nyaman. Sebentar saja ia sudah asyik
dengan permainannya. Ia sudah tidak ingat lagi
bahwa hari itu saatnya sekolah. Semua perhatian
tercurah pada layar yang dihadapi.
Sementara itu Bu Hanum di kelas menanyakan
keberadaan Candra. Dari beberapa temannya
mengatakan bahwa kemungkinan Candra pergi ke
tempat play station. Pada jam olahraga, Bu Hanum
cepat-cepat mengendarai sepeda motor dan mencari
alamat yang ditunjukkan Bonang muridnya.
“Candra, kembali ke sekolah!” kata Bu Hanum
setibanya di rental play station.
Betapa terkejutnya Candra, ternyata Bu Hanum
sudah berada di belakangnya. Ia tidak mengira sama
sekali kalau Bu Hanum akan sampai ke tempat itu.
56
Hatinya mulai gundah. Candra diboncengkan Bu
Hanum menuju sekolah.
Sampai di sekolah Bu Hanum menyuruh Candra
masuk ruang guru. Bu Harum mengorek keterangan
tentang perbuatan Candra yang baru saja terjadi.
“Berapa kali kamu main play station di rental
itu?” tanya Bu Hanum.
“Ti…tiga kali Bu.”
“Betul hanya tiga kali?” tanya Bu Hanum
memastikan.
“Betul Bu. Pertama dengan Bonang hari Minggu,
kedua ketika pelajaran Agama, dan ketiga sekarang
ini, Bu,” jawab Candra pelan.
“Oh, jadi saat pelajaran Agama yang lalu itu
kamu juga di sana! Candra, Candra, pelajaran
agama yang seharusnya kamu ikuti dengan baik
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan
memperbanyak pahala, malah kamu nodai dengan
dosa,” kata Bu Hanum.
“Lalu mengapa kamu sering membolos?”
“Saya bosan Bu.”
“Bosan dengan pelajaran sekolah?”
57
“Tidak Bu. Tetapi bosan dengan teman-teman
yang selalu menjauhi saya, mengejek saya sebagai
anak nakal,” jawab Candra.
“Candra, Kamu ingin tidak seperti anak-anak
lain? Baik, manis, tidak nakal dan berprestasi?”
Candra hanya menganggukkan kepala.
Walaupun dalam hatinya bimbang.
“Ndra, ibu tahu bahwa kamu tidak bodoh. Ibu
yakin kamu mampu berprestasi. Sudah seharusnya
kamu menunjukkan pada orang lain, pada orang
tuamu bahwa kamu dapat menjadi anak yang bisa
dibanggakan,” tutur Bu Hanum.
“Mungkinkah, Bu?” Candra bimbang
pandangannya kosong ke depan.
“Jika kamu yakin dan mau berusaha pasti bisa.
Belajarlah dengan baik, jangan suka bolos,
bertemanlah dengan rukun dan hilangkan cap anak
nakal yang melekat pada dirimu. Sekarang kembali
ke kelas, belajarlah dengan rajin!” tambah Bu
Hanum.
“Terima kasih, Bu.”
58
Candra berjalan menuju ruang kelas VI. Apa
yang dikatakan Bu Hanum memang ada benarnya.
Kali ini dia tidak menanggapi ejekan teman yang
menyambutnya penuh dengan kebencian. Ia
berusaha menahan emosi dan ingin menjadi anak
baik rajin sekolah dan tekun belajar sehingga disukai
banyak orang.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Pelajaran untuk Candra:
Religius, jujur, dan disiplin
59
Mutiara Persahabatan
Tiara demikian panggilannya nama sebenarnya
Mutiara Kasih. Ia selalu ceria, senang bermain, dan
disegani temannya. Tiara adalah gadis cantik,
berambut panjang, dan bermata lentik tidak pernah
bermanja-manja dengan ibunya Walau ia bersekolah
di tempat ibunya mengajar. Di kelas enam, Tiara
mempunyai tiga orang sahabat yang berbeda-beda,
baik agama dan suku mereka adalah Anisa, Tarigan,
dan Niluh.
Mira berasal dari Semarang beragama Islam.
Tarigan dari Batak beragama Kristen, dan Niluh
60
beragama Hindu asli Bali. Sedangkan Tiara sendiri
beragama Budha, dan berasal dari Surakarta. Ayah
Anisa bekerja di bank milik pemerintah, ayah Tarigan
menjadi pengacara, dan ayah Niluh bekerja sebagai
dokter.
Walau berbeda-beda, Tiara mampu menjadi
pemersatu di antara mereka dan juga teman-
temannya di SD Puri 02. Persahabatan keempat anak
tersebut berlangsung sejak kelas satu sampai
sekarang. Sering kali, mereka memanfaatkan rumah
Tiara sebagai tempat penantian sementara, setelah
pulang sekolah. Sambil menunggu jemputan, mereka
biasanya mengulang pelajaran dan membahas
materi pelajaran yang belum dikuasai.
“Sana, salat dulu!” Tiara mengingatkan Anisa.
“Beres! Tunggu ya, teman-teman!” Anisa
langsung ke belakang, mengambil air wudlu di
kamar mandi dan melaksanakan salat di kamar
Tiara. Walau Tiara beragama Budha, namun ia
memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap teman-
temannya. Rasa toleransi Tiara itulah, yang
menyebabkan Tiara disegani temannya.
61
Tak terasa sudah setengah jam mereka
menunggu di rumah Tiara. Tarigan yang biasanya
dijemput lebih dulu agaknya perlu bersabar, karena
mobil yang datang menjemput pertama kali adalah
mobil Anisa.
“Sampai ketemu ya, teman-teman!” ucap Anisa
ketika mobilnya meninggalkan halaman Tiara.
Mereka pun melambaikan tangan. Lima menit
kemudian, mobil sedan hitam meluncur perlahan-
lahan. Tarigan tampak senang, ia buru-buru menuju
ke mobilnya dan membuka pintu belakang. Sambil
melambaikan tangan, Tarigan meninggalkan rumah
Tiara.
“Niluh, tidak perlu sedih!” hibur Tiara.
“Tidak, aku tidak sedih. Hanya…!”
“Takut, kalau tidak dijemput!” tebak Tiara. Niluh
yang agak pendiam itu menganggukkan kepala
tanda membenarkan apa yang dikatakan Tiara.
Hampir satu jam, Niluh menunggu jemputan
namun tidak juga datang. Pikirannya cemas dan
gelisah.
62
“Kring…., kring….!” terdengar suara telepon di
rumah Tiara.
“Sebentar ya, Niluh!” Tiara meninggalkan Niluh
sendirian di beranda rumah.
“Niluh, baru saja sopirmu telepon kalau ban
mobilnya bocor. Pak sopirmu lupa membawa ban
serep. Jadi, kamu terpaksa harus…!” Tiara terdiam
sesaat, sedangkan Niluh kelihatan jengkel.
“Bagaimana kalau aku antar kau pulang!” kata
Tiara sambil mengeluarkan sepeda mininya. Niluh
mengangguk sambil tersenyum, sedikit demi sedikit,
rasa jengkelnya hilang.
Niluh hanya tersenyum malu, dalam hati ia
merasa berhutang budi pada sahabatnya.
Dikayuhnya sepeda mini itu perlahan-lahan.
Sebentar-sebentar Niluh mengusap keringat yang
membasahi wajahnya. Niluh kelihatan lega sekali,
pikiran cemas dan gelisahnya seketika hilang ketika
sepeda mini yang dikayuhnya sudah sampai di depan
rumahnya. Jarak 3 km dari rumah Tiara terasa dekat
karena dilaluinya dengan senang hati.
63
“Terima kasih, Tiara!”
“Sama-sama, aku langsung pulang ya!” jawab
Tiara sambil mengayuh sepeda. Niluh melambaikan
tangannya, sedangkan Tiara menyambut dengan
lambaian juga hingga menghilang dibelokan jalan.
Niluh bangga dengan Tiara yang pengertian dan
selalu menjaga persahabatan antara mereka.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Mutiara Persahabatan:
Toleransi, religius, semangat kebangsaan, dan
bersahabat
64
Penyesalan Ryan
Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang
ditunggu-tunggu oleh anak kelas VI. Pagi itu anak-
anak sudah bersiap-siap di halaman sekolah.
Setelah berdoa bersama Pak Eri memimpin senam
untuk pemanasan.
“Nah anak-anak setelah pemanasan kalian
berlari keluar halaman, menyusuri jalan di sekitar
sekolah sebanyak 3 kali.
“Siap anak-anak!” kata Pak Eri.
“Siap Pak!” jawab anak-anak serempak.
Anak-anak bersemangat keluar halaman
sekolah, ada yang berlari cepat, ada yang hanya
berjalan, namun ada juga yang berlari-lari kecil.
Demikian juga dengan Ryan, ia kelihatan paling
semangat di antara teman-temannya.
Ryan memang gemar akan kegiatan olahraga,
nilai olahraganya selalu di atas delapan. Namun
untuk pelajaran lainnya Ryan termasuk anak yang
kurang pandai. Di kelasnya Ryan terkenal sebagai
65
anak yang suka usil. Ia tidak mau diam, ada-ada
saja tingkah laku yang sering membuat teman-
temannya kesal.
Kali ini Ryan berlari bersama Baskoro, mereka
sudah berkeliling satu kali putaran. Tiba-tiba mereka
mendengar suara anjing menyalak keras, bersamaan
dengan itu pintu halaman rumah yang mereka lewati
terbuka. Tampak di dalamnya pemilik rumah dengan
anjing kesayangannya. Anjing itu lehernya berantai
dan diikatkan dengan tonggak besi.
Seketika itu keusilan Ryan pun bangkit. Ketika
Rian melihat pemilik anjing masuk rumah, Ia mulai
menggoda anjing tersebut dengan menirukan
suaranya.
“Guk, guk, guk, ...!
Suara Ryan diikuti dengan suara Baskoro. Anjing
menyalak makin kencang apalagi ketika melihat dua
anak tersebut memanjat pagar rumah. Teman-
teman yang lain mendengar suara anjing
menggonggong keras berlarian ketakutan. Baskoro
pun juga lari ketakutan. Namun Ryan tambah
bersemangat menggoda anjing itu.
66
Tiba-tiba anjing menggonggong makin meninggi
dan kemudian berlari mengejar Ryan. Ryan yang
tidak menyangka anjing itu bisa lepas segera lari
tunggang langgang. Namun apa daya nasib Ryan
memang malang, ia terantuk ubin paving yang tidak
rata dan jatuh berguling-guling.
Pemilik rumah rupanya tahu akan hal itu segera
mengejar dan menenangkan anjingnya lalu
mengajaknya ke dalam rumah. Kemudian pemilik
anjing segera menolong Ryan. Teman-teman yang
mengetahui hal itu segera memberitahu Pak Eri.
Ryan menangis kesakitan, tangan kiri Ryan tidak
bisa digerakkan bahkan posisinya menjadi bengkok.
67
Pak Eri yang melihat kondisi Ryan pun segera
menolong dan membawanya ke sekolah untuk
diberikan pertolongan pertama.
“Wah, harus di bawa ke rumah sakit ini!” kata
Bu Kepala Sekolah.
“Diantar ke rumah sakit saja, Pak!” ujar guru
lain.
“Ayo, Ryan dengan Pak Eri periksa di rumah
sakit, biar cepat sembuh!” kata Pak Eri sambil
menggandeng tangan kanan Ryan yang tidak sakit.
Begitu mendengar kata rumah sakit tangis Ryan
semakin menjadi-jadi. Ia membayangkan kalau
disuntik dokter. Ingin rasanya melarikan diri dari
gandengan tangan Pak Eri. Namun apa daya, tangan
Pak Eri lebih kencang memegang Ryan. Akhirnya ia
pun menurut saja ketika diboncengkan motor oleh
guru olahraganya.
Sesampai di UGD Ryan segera di periksa oleh
dokter dan beberapa perawat. Selang beberapa saat
orang tua Ryan juga sudah sampai di rumah sakit,
ternyata telah ditelepon dari sekolah. Beberapa saat
seorang dokter memberitahukan bahwa ada bagian
68
yang retak di tangan kirinya, maka sebaiknya
dioperasi dulu lalu dipasang gift untuk meluruskan.
Setelah dokter, orang tua, dan Pak Eri berembuk,
mereka sepakat besok pagi akan dilakukan operasi.
Ryan semakin ketakutan, namun apa daya ia
hanya bisa pasrah, sebab rasa sakitnya semakin
menjadi, jika tidak segera di tangani oleh dokter
maka tidak akan sembuh. Kini ia hanya bisa
menyesali dirinya, gara-gara tidak disiplin dalam
mengikuti pelajaran olahraga ia harus menderita
sakit.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Penyesalan Ryan:
Religius, disiplin, dan tanggung jawab
69
Bule Makan Tempe
Selera makan Citta hilang, di meja hanya ada
tempe goreng, sayur bayam, krupuk udang, dan
sambal tomat. Tudung saji yang sudah dibuka
ditutup kembali.
Citta bergegas ke kamarnya dengan hati yang
mendongkol. Belum sempat Citta membuka pintu
kamar, mamanya sudah memanggil-manggil.
“Citta..., Citta...!
Citta diam di depan kamar dan tidak menjawab.
“Citta..., Citta...!”teriak mamanya terus
memanggil-manggil Citta.
70
Citta masih tetap diam menunduk lesu di depan
pintu.
“Lho, anak Mama di sini, kok diam saja, sakit,
ya?
Citta menggelengkan kepalanya, ia terus
menunduk. Melihat gelagat yang tidak enak mama
jongkok sembari memandangi wajah Citta yang lesu.
“Oh, Mama tahu sekarang, tidak suka makan
dengan tempe, kan?”
Citta masih diam walau tangan mama
menggandengnya ke meja makan.
“Ayo, cicipi dulu masakan Mama, enak lho! Atau
Mama suapi?” kata Mama sambil mengambilkan nasi
dan menaruhnya di piring.
“Makan sendiri saja, Ma, tapi sedikit saja
nasinya!” kata Citta lirih.
“Oke, kalau nasi yang diambilkan Mama habis,
nanti sore Mama ajak jalan-jalan.”
Citta menggangukkan kepala sambil tersenyum.
Setelah makan ia tidur siang, namun ia ingin hari
cepat beranjak sore agar bisa jalan-jalan.
71
Jam dinding berdentang empat kali. Citta
beranjak dari tidurnya, ia segera mandi. Selesai
memantaskan diri di depan kaca, ia segera menuju
motor yang sudah dihidupkan Mama. Mereka berdua
jalan-jalan menyusuri jalan di kota kecil itu dengan
naik motor sambil menghirup udara sore.
“Ma, kemana kita jalan-jalannya?” tanya Citta
penasaran.
“Rahasia dong, nanti kamu juga tahu sendiri!”
jawab Mama berkelakar.
Setelah beberapa waktu mereka berputar-putar,
motor diparkirkan di sebuah warung makan kecil,
bertuliskan “Tempe Penyet Pak Ndut”. Citta jadi
tambah manyun begitu melihat tulisan tempe.
“Wah, memang Mama nggak gaul!” pikir Citta.
“Ayo, masuk!” ajak Mamanya.
Citta masih berdiri di dekat sepeda yang
diparkirkan Mama. Perasaan Citta tambah tidak
enak, rasa senang diajak jalan-jalan Mama
mendadak buyar.
“Ayo, masuk dulu, kamu kan belum tahu
keadaan di dalam sana!” kata Mama sambil
72
menggandengan tangan anaknya. Citta hanya
menurut saja, walau dalam hatinya tidak suka.
Dalam hatinya berjanji jika nanti Mama mengajak
makan dengan tempe penyet ia akan mogok makan.
Mereka berdua pun masuk, Citta mengikuti
Mamanya mencari temapt duduk. Sepertinya Mama
sengaja mencari tempat yang stratregis sehingga
semua pengunjung yang datang dapat dilihatnya.
Baru ada empat orang yang datang termasuk Citta
dan Mamanya. Mama segera memesan tempe
penyet, mujaer goreng, dan sambal terasi lengkap
dengan lalapnnya. Citta tak berkomentar, ia sudah
terlanjur berjanji akan mogok makan. Ketika Mama
memilihkan menu dan meminta persetujuan Citta, ia
hanya mengangguk saja.
Tiba-tiba pandangan Citta tertuju pada bule
yang baru datang. Bule itu ternyata bisa berbahasa
Indonesia, ia juga memesan tempe penyet dan
mujaer goreng.
“Ma, ada bule!” kata Citta memberitahu
Mamanya.
73
Belum habis keheranan Citta, ada bule lagi
beramput pirang dengan beberapa temannya masuk
dan segera memesan tempe penyet.
“Ma, ada bule lagi, banyak!” bisik Citta.
Mamanya hanya tersenyum melihat keheranan
Citta.
“Nah, baru tahukan kalau warung kecil ini
banyak dikunjungi bule karena tempe penyetnya
yang enak.”
“Iya, ya Ma, mereka kok suka ya makan tempe
goreng yang dipenyet dengan sambal terasi dan
lalapan, bukankan makanan mereka biasanya pizza,
burger, roti?” kata Citta sambil mengambil piring
yang sudah disiapkan oleh pelayan warung.
“Itulah, Cit, orang asing saja senang dengan
makanan khas negara kita, harusnya kita bangga,
dong!”
Betul ya, Ma kita harus cinta produksi dalam
negeri. Maafkan Citta ya, Ma!”
“Lho, kok malah minta maaf!”
“Soalnya Citta tadi sudah berjanji dalam hati,”
kata Citta berdiam sejenak.
74
“Kalau Mama mengajak makan tempe, Citta
akan mogok makan,” lanjut Citta memandangi wajah
Mamanya.
“Tapi...,” kalimat Citta tidak diteruskan lagi.
“Kenapa Citta?” tanya Mama.
“Begitu melihat banyak, bule suka makan
tempe, saya jadi malu Ma, kalau tidak makan
tempe.”
Mama tersenyum gembira mendengar
pengakuan Citta, mereka berdua pun menikmati
tempe penyet dengan lahapnya.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Bule Makan Tempe:
Jujur, cinta tanah air, dan rasa ingin tahu
75
Serakah Tidak Membawa Berkah
Bondan adalah anak tiga bersaudara di
rumahnya. Ia anak yang paling bungsu, kakak-
kakaknya sudah duduk di SMP dan SMA, sementara
ia masih kelas IV SD. Bondan merasa paling kecil di
rumahnya, kalau di rumah ia paling menangan
sendiri. Semua anggota keluarga tidak ada yang
boleh mengalahkannya, terutama dalam makanan.
Bondan mempunyai kegemaran makan, maka
tidak mengherankan jika badannya paling gendut
serumah. Kedua kakaknya yang perempuan
badannya langsing-langsing. Jika makan bakso
kakak-kakaknya satu porsi cukup, Bondan harus dua
porsi sendiri. Namun demikian Bondan tetap lincah,
gesit, dan taat beribadah.
Hari ini hari ketiga memasuki bulan Puasa.
Seperti tahun-tahun kemarin Bondan mengikuti
puasa dengan kusuk walaupun harus menahan lapar
sepanjang hari. Waktu buka puasa tiba atau saat
sahur Bondan makan sebanyak-banyaknya.
76
Sore menjelang berbuka puasa, Bude Rita
datang ke rumah Bondan dengan membawa dengan
membawa kue bandung kesukaan Bondan. Begitu
Bude Rita pulang Bondan langsung berpesan kepada
seisi rumah.
“Bapak-bapak, ibu-ibu semua saja yang ada di
sini tidak boleh makan kue bandung tanpa seizinku
anak yang paling ganteng ini, oke!”
Perkataan Bondan disambut dengan gelak tawa
seisi rumah.
“Dasar gendut suka makan kayak badut,” kata
Dewi kakaknya yang nomer dua.
“Biarin, gendut asal sehat, daripada pungkring
sakit-sakitan lagi,” kata Bondan sambil menirukan
orang yang sakit batuk.
“Sudah-sudah jangan bertengkar, ingat masih
puasa lho, nanti batal, ayo mandi bersiap untuk
berbuka!” kata Ibu melerai mereka.
Bondan segera menuju kamar mandi, lalu
disusul kakak-kakaknya. Selesai mandi mereka
sudah bersiap di depan televisi sambil menunggu
77
waktu berbuka tiba. Bondan dan keluarganya
bercanda ria sambil menikmati acara televisi.
Begitu bedug berbuka puasa tiba keluarga
Bondan bergegas ke ruang makan. Bondan segera
makan kolak pisang buatan ibu. Kemudian
menyantap kue bandung kesukaannya. Kue satu dus
yang dibawa oleh Bude Rita tidak tersisa sedikit pun.
Ayah, ibu, dan kakak-kakaknya hanya melihat saja
tingkah laku Bondan yang makan dengan lahap.
Padahal Ibu sudah mengingatkan agar makan sedikit
dulu nanti dilanjutkan lagi setelah salat mahgrib.
Rupanya Bondan tidak bisa menahan diri ia ingin
cepat-cepat menghabiskan kue yang masih hangat
itu.
Selesai berbuka Bondan dan keluarganya segera
menunaikan salat mahgrib bersama-sama. Ketika
Bondan baru memulai salat berjamaah, perut
Bondan terasa seperti di tusuk jarum. Bondan
berusaha untuk menahan perutnya yang sakit. Salat
sore hari ini terasa lama bagi Bondan. Konsentrasi
Bondan hanya pada perutnya yang sakit. Keringat
dingin keluar dari sekujur tubuhnya.
78
Begitu salat selesai Bondan langsung jatuh
terkulai dengan mengerang kesakitan sambil
memegangi perutnya. Keluarga Bondan panik ada
yang menggosoki badan Bondan dengan minyak
gosok, ada yang memijat tangan dan kakinya.
Hampir setengah jam tidak ada perubahan sama
sekali. Kedua orangtua Bondan memutuskan untuk
membawanya ke rumah sakit.
Sepanjang jalan Bondan muntah-muntah.
Semua makanan yang baru dimakan keluar dari
mulutnya. Di UGD Bondan segera ditangani oleh
dokter. Setelah dipasang infus dan dipindahkan ke
ruang inap rasa sakit Bondan sudah berkurang.
“Bondan, tadi makan apa?” tanya Dokter pada
Bondan.
“Makan kolak lalu kue bandung, Dok,” kata
Bondan.
“Saat berbuka puasa makannya langsung
banyak, ya?” kata Dokter.
“Iya, Dok. Habis kue bandungnya enak sekali,”
kata Bondan polos.
79
“Benar Dok, dihabiskan semua, kami ini tidak
diberi, hanya melihat saja dia makan, Dok,” sahut
Kak Dewi.
“Nah, lain kali kalau berbuka makannya sedikit-
sedikit dulu, awali dari yang manis-manis. Kalau
langsung banyak perut yang tadinya istirahat kaget
sehingga tidak mau menerima makanan, seperti
perutmu Bondan,” kata dokter dengan arif bijaksana.
“Nah untuk sementara Bondan tidak boleh
berpuasa dulu sebelum sembuh benar dari sakitnya,
ya,” lanjut dokter.
Bondan hanya bisa mengangguk. Ia sangat
kecewa dengan keputusan dokter yang tidak
memperbolehkan untuk berpuasa. Dalam benaknya
Bondan menyesal, andaikan ia menurut nasihat ibu
untuk makan sedikit-sedikit dan andaikan ia mau
berbagi dengan kakak-kakaknya pasti ceritanya lain.
“Wah, jagoan Ayah akhirnya kalah juga ya
dengan kue bandung,” kelakar ayah saat menunggui
Bondan di rumah sakit.
“Ayah, jangn ngeledek terus, ah,” kata Bondan
manja.
80
“Bondan kan inginnya menang sendiri, sampai
hal makanan saja, kakak-kakak tidak boleh
memakannya. Eh,...akhirnya harus berbaring di
rumah sakit gara-gara makanan,” ujar Ayah.
“Betul, Yah kalau tidak begini dik Bondan nggak
akan sadar-sadar, Yah,” kata Kak Ayu sambil melirik
adiknya yang cengar-cengir mengakui kesalahannya.
“Iya, iya Kak ternyata kalau serakah itu tidak
membawa berkah ya, Kak. Buktinya Bondan gara-
gara serakah makan sebanyak-banyaknya kini harus
berbaring di rumah sakit, tidak bisa puasa, dan tidak
bisa bermain seperti biasanya, termasuk tidak bisa
menggoda kakak-kakakku yang cantik-cantik ini,”
celoteh Bondan diikuti cubitan dari kakak-kakaknya.
Bagi Bondan ini pelajaran berharga. Ia tidak
akan mengulangi kesalahannya lagi. Dan sejak saat
ini Bondan sudah bisa berbagi dengan keluarganya
dan juga dengan orang lain.
___________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Serakah Tidak Membawa Berkah:
Bersahabat, peduli sosial, dan religius
81
Terima Kasih Paman
Dela memang cantik, selain pintar ia juga pandai
memantas-mantaskan diri untuk berpenampilan.
Walaupun masih kelas V ia sudah pintar menata diri,
sayangnya ia sangat konsumtif terhadap barang-
barang yang harus dimilikinya. Jika Dela memakai
pakaian warna biru maka bando, sepatu, kalung,
atau gelangnya juga harus berwarna biru. Jika salah
satu barang miliknya hilang atau tidak tampak
karena lupa menaruhnya, Dela pasti marah-marah
lalu menuntut orang tuanya untuk membeli lagi.
Saat sekolah pun Dela juga suka tampil modis.
Jika seragamnya merah, bando, tas, dan sepatunya
juga harus merah. Sikap Dela ini bukan karena
didikan orang tuanya tetapi ia meniru artis-artis yang
sering muncul di televisi.
Sikap Dela yang juga sering membuat orang
satu rumah bingung saat berbelanja baju, tas, atau
barang-barang untuk Dela. Dela pasti memilihnya
lama dan paling susah mencarikan benda yang cocok
82
untuknya. Hanya mamanya yang mampu
mengendalikan Dela dan mendampinginya saat
belanja keperluannya.
Suatu saat sepatu yang baru dibelinya dari toko,
ternyata ada tempelan lem kering dari pabriknya dan
sulit untuk dihilangkan. Dela menangis sejadi-jadinya
merasa sepatunya jelek tidak bersih dan tidak bagus.
Ia minta untuk dibelikan lagi sepatu baru yang lebih
bagus. Selain itu jika mempunyai keinginnan harus
terpenuhi sekarang juga.
Orang tua Dela sebenarnya sudah sering
menasihatinya tetapi Dela tetap tidak
memperhatikannya. Seperti hari ini Dela meminta
orang tuanya untuk membelikan baju untuk
menghadiri pesta ulang tahun temannya.
“Ma, besok aku diundang pesta ulang tahun oleh
Dinda,” kata Dela.
“Ya, datang saja nanti mama yang mengantar,
dimana, Dela,” tanya mama.
“Di rumah makan Citra, Ma!” kataDela.
“Mamaku yang cantik,....”
83
Kata-kata Dela tidak diteruskan tetapi mama
tahu keinginan putrinya. Jika ia sudah menyanjung
mama pasti ada maunya.
“Ya, oke mama pasti mengantarmu sayang,”
kata mama pura-pura tidak tahu.
“Ma, mamaku yang cantik, mama ingin nggak
aku tampil cantik di ultahnya Dinda,” kata Dela mulai
merayu mamanya.
“Ingin dong!”
“Nah, berarti anak mama harus dibelikan baju
baru, Ma! Dela ingin bajunya biru, bando biru, dan
sepatunya juga biru,” kata Dela nerocos terus.
Mama yang sedang membaca koran pura-pura
tidak mendengar.
“Ma...Mamaku sayang,” kata Dela merayu.
Mama masih saja membaca koran. Dela merasa
dicueki mamanya Dela mendekat mencium, dan
memeluk mamanya.
“Ma, beli ya, Ma,” kata Dela mulai merengek-
rengek pada mamanya.
“Dela bukannya mama tidak mau, tapi baju
pestamu kan masih banyak. Coba kamu ingat-ingat
84
ada yang pink, hijau, merah, biru juga ada. Dan baru
satu dua kali baju-baju itu kamu pakai. Pakai dulu
yang ada ya, Nak, belajarlah hidup hemat!” kata
mama dengan sabar.
“Ma, baju-baju itu kan pernah Dela pakai,
teman-teman Dela juga sudah pernah melihat
artinya bukan baju baru lagi, Ma,” ujar Dela
meninggi.
“Ke pesta itu tidak harus pakai baju baru, Nak.
Di undangan tidak ada tulisan, harus pakai baju
baru, kan?” kata mama.
“Tapi, ma pokoknya aku ingin baju baru,” teriak
Dela sambil menangis.
“Tidak Dela tidak ada baju baru lagi,” kata
mama ketus.
Mama memang tidak ingin menuruti keinginan
Dela terus biar untuk pelajaran baginya bahwa
keinginan kita mesti terwujud. Hari ini Dela ngambek
ia tidak mau keluar dari kamarnya, ia tidak mau
makan dan tidak mau mandi.
“Mama jahat, mama jahat,” demikian Dela
menangis sambil berteriak-teriak.
85
Mama Dela sudah tahu betul watak putrinya,
maka dibiarkan anak semata wayangnya menangis.
Sampai sore hari Dela masih marah. Ia masih
mengurung diri di kamarnya, bahkan ketika mama
dan papanya pergi Dela tidak tahu. Ia hanya
dirumah dengan pembantunya.
Sampai malam hari Dela masih mengurung diri
di kamarnya. Mama dan papanya pulang pun Dela
tidak tahu. Kepala Dela terasa berat, perutnya mulai
keroncongan namun mau ke ruang makan Dela
malu, ditahannya rasa lapar itu.
“Dela, keluar, ayo makan bersama,” kata Papa.
Dela masih di dalam kamar, ia mau keluar tetapi
malu. Ia berpikir kalau tidak keluar pasti mama dan
papanya akan mengabulkan keinginannya membeli
baju baru.
“Dela keluar, Nak, ada kejutan untukmu,” kata
mama.
Mendengar kata kejutan Dela membayangkan
pasti mama dan papanya sudah membelikan baju
untuknya, dengan riang ia membuka pintu.
86
“Tet...tet....tet...,” suara papa dibarengi dengan
menunjukkan kejutan yang ada di samping pintu.
Dela sudah akan melonjak gembira namun
ketika yang dihadapannya sepeda baru, raut
mukanya menjadi Cemberut.
“Dela tidak suka?” tanya papa.
Dela mengangguk, ia ingin baju baru tetapi
malah sepeda yang di dapatnya.
“Papa tahu Dela tetapi perlu kamu ketahui
sepeda ini mungkin tidak kamu sukai. Tetapi suatu
saat akan sangat bermanfaat bagimu, Nak,” kata
Papa.
“Dela, kamu masih ingat paman Hendra?” tanya
Papa.
“Ya, pa yang rumahnya kebakaran beberapa
tahun lalu,” kata Dela.
“Ya, Nak, yang kamu tolong dengan memberi
baju-bajumu dulu untuk anak-anaknya,” lanjut
papanya.
87
“Nak, karena ketulusan hatimu dulu menyum-
bangkan baju untuk anak-anak paman, kini Paman
menabung khusus untuk membalas budimu, Nak,”
kata Paman Hendra dari belakang.
Dela terbelalak matanya ia tidak mengira kalau
pamannya memberikan perhatian yang lebih
untuknya. Ia masih ingat ketika pamannya
kebakaran habis-habisan, tidak secuil pun baju yang
tersisa tinggal pakaian yang melekat di badannya.
“Paman, terima kasih paman,” kata Dela.
“Sama-sama Tuan Putri tetapi bukan baju
seperti keinginnanmu Tuan putri,” kata Paman
Hendra berkelakar.
88
Dela mencubit lengan pamannya. Ia sadar
bahwa selama ini hanya pemborosan saja sementara
masih banyak orang lain yang membutuhkan seperti
ketika Paman Hendra kena musihah tahun lalu.
___________________________________________
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam
cerita Terima Kasih Pak:
Rasa ingin tahu, peduli sosial, dan bersahabat
89
Awang Batik
Namanya Awang Asmoro ia anak kelas VI SD,
namun teman-temannya sering memanggilnya
dengan sebutan Awang batik, lantaran di setiap
kesempatan ia selalu memakai baju batik. Awang
sendiri sebenarnya merasa tidak nyaman dengan
sebutan itu. “Awang batik! Awang batik!” demikian
teman-temannya memanggilnya setiap kali Awang
mengenakan baju batik semarangan buatan ibunya.
Memang ibunya Awang hanyalah perajin batik
kecil dengan corak khas semarangan. Kecintaan ibu
Awang terhadap batik sudah mendarah daging,
sehingga ia ingin anaknya bangga mengenakan baju
batik. Tak mengherankan jika dalam setiap
kesempatan Bu Raras selalu membuatkan baju
dengan corak batik untuk anak semata wayangnya.
Hari ini seperti biasa Awang pulang sekolah
dengan menaiki sepeda kesayangannya. Mata
bulatnya memancarkan rasa kekawatiran dengan
undangan ulang tahun Krisna, teman yang selalu
90
bersemangat mengejeknya ketika memakai baju
batik. Sepanjang jalan Awang memikirkan
bagaimana caranya agar pada acara tersebut ia tidak
memakai baju batik buatan ibunya.
“Ayo, Awang lekas makan!“ kata Ibunya
setibanya di rumah.
Awang tidak selera untuk menyantap masakan
ibunya. Bu Raras menatapnya heran. Tidak biasanya
Awang seperti itu. Ia selalu makan dengan lahap
sepulang sekolah. Kini ia hanya duduk terdiam di
meja makan.
“Ada apa, Awang? Apakah kamu sakit?” tanya
ibunya sambil membelai kepala anaknya.
Awang menggelengkan kepalanya, kemudian
menatap lekat-lekat wajah ibunya. Dalam hati
Awang ingin mengutarakan maksudnya, tetapi ia
takut menyinggung hati ibunya. Sejak ayahnya
meninggal Awang tidak tega melihat ibunya
bersedih.
Untuk beberapa saat Awang masih diam.
Sampai akhirnya timbul keberaniannya untuk
mengutarakan isi hatinya.
91
“Bu, hari Minggu nanti Krisna ulang tahun. Saya
ingin…” Awang berhenti sejenak.
“Ibu tahu, Awang ingin memakai baju bukan
batik, kan?”
Ibunya menghela napas panjang. Kemudian ia
terdiam sejenak. Awang tidak berani menatap wajah
ibunya.
“Ibu tahu, tetapi ada yang harus kamu ketahui,
Awang. Batik usaha Ibu ini memang tidak besar.
Namun memiliki sejarah yang sulit ibu lupakan. Ini
semua warisan dari nenekmu. Ibu mengenal batik
sejak ibu masih kecil. Di batik semarangan ini
sebenarnya terdapat nilai-nilai budaya dan toleransi
yang sangat luhur.”
Bu Raras terdiam sejenak. Kemudian menatap
wajah anaknya dengan penuh kasih.
“Awang, batik semarangan ini selalu ada tiga
warna. Ini menandakan bahwa masyarakat Kota
Semarang terdiri dari tiga etnis besar yaitu penduduk
asli Semarang, etnis Tionghoa, dan etnis Arab.
Mereka bersatu, saling hormat, hidup rukun, dan
damai. Oleh karena itu ibu selalu memakai baju batik
92