The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by smpn2kalikajar, 2022-10-11 03:33:38

GEMPITA ANAK NUSANTARA

GEMPITA ANAK NUSANTARA

Keywords: GEMPITA ANAK NUSANTARA

Ada Banyak Kesan
di Pulau Bali

Arina Uli

Sketchify/ Canva for Educatin B.Illustration/Canva for Education Clecker Free Vector Image from Pixabay/Canva for Education

S halom meloncat-loncat kegirangan. Ayahnya
baru saja mengabarkan bahwa mereka
sekeluarga berencana pergi berlibur ke Bali. Memang,
sudah lama Shalom, pemuda cilik berusia sembilan
tahun itu tidak berlibur. Sejak pandemi Covid-19

45

mulai berjangkit bulan April 2020 yang lalu, ia belum
lagi pergi berlibur. Betapa senang hatinya karena kali
ini Ibu dan Ayah memilih Bali, tempat wisata
favoritnya.

“Horeee!” teriak Shalom karena bahagia. “Ayah,
apakah nanti aku boleh belajar berselancar di Pantai
Kuta?” tanya Shalom.

Ayah mengukur tinggi tubuh Shalom, hampir
mencapai satu setengah meter. Artinya, Shalom
sudah boleh berselancar.

“Kita juga akan bermain kano di Danau Batur,
Kintamani,” ujar Ayah. Ayah mengambil ponselnya, lalu
membuka YouTube, memperlihatkan orang yang
sedang bermain kano kepada Shalom.

“Asyik, aku mau, Ayah!” seru Shalom. Matanya
bersinar-sinar gembira.

***
Tibalah hari libur yang dinantikan Shalom. Pukul
enam pagi Shalom beserta Ayah dan Ibu sudah
berada di dalam taksi yang akan membawa mereka ke
bandara. Shalom tertidur di dalam taksi itu. Ia masih
mengantuk karena tadi malam hampir tidak bisa tidur.
Shalom, Ayah, dan Ibu sampai di bandara dua
jam kemudian. Mata Shalom berbinar-binar karena

46

sebentar lagi mereka akan menuju Bali. Perjalanan ke
Bali memakan waktu hampir dua jam.

Akhirnya, mereka sampai di Bali sekitar pukul
dua belas waktu Bali. Ayah, Ibu, dan Shalom menuju
hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Walaupun
perjalanan itu melelahkan, Shalom segera bersiap
untuk pergi ke Pantai Kuta yang letaknya tidak jauh
dari hotel tempat mereka menginap.

“Kita makan dulu, ya,” kata Ibu. “Ibu sudah
memesan makanan di restoran hotel. Sebelum ke
pantai, perut harus diisi dulu.”

Shalom akhirnya menurut dan ia makan cepat-
cepat. Ia sangat ingin berselancar di Pantai Kuta yang
indah, ramai pengunjung, bersih, jernih, serta
ombaknya yang riuh berkejar-kejaran menuju bibir
pantai.

Setiba di pantai, alangkah kecewanya Shalom.
Pantai Kuta sangat sepi, hampir tidak ada orang
bersantai, berenang, atau berselancar. Di sekitar
pantai, hanya terlihat para pedagang bermuka lesu
karena tidak ada yang membeli dagangan mereka.
Shalom lebih kecewa lagi karena melihat banyak
sampah yang mencemari pantai, terutama sampah
plastik.

47

Shalom melihat seorang kakek berjalan
terbungkuk-bungkuk di tepi pantai. Shalom
menghampirinya, lalu bertanya dengan sopan, “Kek,
kenapa pantai begini kotor? Bukankah karena pandemi
ini, tidak banyak turis yang datang?”

“Begini, Nak. Setiap bulan Desember, ada angin
barat yang bertiup kencang di sepanjang pesisir.
Angin ini menyebabkan gulungan ombak yang terus-
menerus mendaratkan sampah dan serpihan-serpihan
lain ke pantai. Pantai menjadi kotor, terutama oleh
sampah-sampah anorganik, seperti plastik.” Kakek itu
menerangkan dengan lugas. Ia asli Bali dan sepertinya
sangat perhatian terhadap kebersihan Pantai Kuta.

Shalom ingat pelajaran mengenai lingkungan
hidup di sekolah, memang ada sampah organik yang
berasal dari sisa-sisa makanan, buah-buahan, atau
sayur-sayuran yang bisa diolah menjadi pupuk.
Sementara itu, sampah-sampah anorganik, seperti
bekas kaleng kemasan dan plastik harus dikumpulkan
terpisah agar dapat didaur ulang.

Sampah organik maupun anorganik kalau dibuang
sembarangan bisa menyebabkan masalah bagi
lingkungan hidup. Sampah-sampah itu akan menutup
saluran-saluran pembuangan sehingga menyebabkan

48

banjir dan bau yang menyengat. Seperti saat ini,
sampah-sampah tersebut dibawa oleh angin sehingga
mengotori Pantai Kuta.

Shalom enggan bermain selancar di pantai yang
kotor itu. Ia menggamit lengan Ayah yang berdiri di
sampingnya, lalu berkata, “Kita berenang di hotel
saja, ya, Ayah.”

“Nanti sore ada kegiatan pembersihan sampah,”
ucap kakek itu. “Kalau Anak mau ikut, boleh saja.”

“Oh, jam berapa mulainya, Kek?” Shalom
berminat mengikuti kegiatan itu. Ia diajarkan oleh
Ayah dan Ibu agar selalu hidup sehat dan bersih,
terutama menjaga kebersihan lingkungan.

“Jam empat sore, supaya tidak terlalu panas.”
Kakek itu mengelap keringat di dahinya. “Kegiatan ini
akan berlangsung tiap hari.”

Shalom mengangguk dan mengatakan kepada
kakek itu akan datang nanti sore. Setelah itu, Shalom
dan Ayah pamit. Mereka kembali ke hotel.

Setiba di hotel, Shalom langsung berenang.
Shalom nyaman sekali berenang di kolam renang hotel
itu karena airnya hangat. Ia berenang sepuas-
puasnya.

49

Tidak lama kemudian, Ibu mengusulkan untuk
makan sate di salah satu restoran hotel. “Masih ada
waktu sebelum ke pantai, kita bisa makan sate dulu.”

Shalom sangat menyukai sate dengan lontong. Ia
bersemangat ketika diajak oleh ibunya.

Tepat pukul empat sore, Shalom, Ayah, dan Ibu
sudah berada di pantai untuk ikut kegiatan
pembersihan pantai. Kakek beserta beberapa orang
sudah tampak sibuk mengumpulkan sampah. Shalom,
Ayah, dan Ibu ikut bekerja dengan giat.

Semuanya bersemangat membersihkan pantai.
Baju Shalom basah karena terkadang ombak
menerjangnya. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi
semangatnya.

Di sekitar pantai sangat banyak sampah plastik
berserakan. Bukan hanya di pantai, melainkan sampah-
sampah di laut juga harus dibersihkan. Sampah-
sampah itu dikumpulkan dan dibuang di tempat-
tempat tertentu, sedikit agak jauh dari pantai. Di
tempat pembuangan sampah itu tercipta gunungan-
gunungan sampah.

“Kek, kapan sampah-sampah yang menggunung
ini akan dipindahkan?” tanya Shalom kepada kakek itu.

50

“Nanti ada Dinas PU yang akan mengangkut
sampah-sampah ini.”

Pukul enam sore sampah-sampah diangkut
sehingga pantai terlihat bersih. Sampah-sampah di
laut pun tidak terlihat lagi. Shalom bergembira.

“Besok pagi kita bisa bermain selancar, ya, Yah,
karena pantai sudah bersih,” kata Shalom kepada
ayahnya.

Ayah mengangguk setuju.
Keesokan harinya, Shalom melihat banyak lagi
sampah-sampah di pantai maupun di laut sehingga
menghilangkan seleranya untuk berselancar. Matanya
mendung dan wajahnya suram karena kecewa.
“Ini adalah kejadian alam yang tidak bisa kita
hindari. Mari kita cari keasyikan lain. Bagaimana kalau
sekarang kita ke Danau Batur untuk bermain kano?”
Hibur Ayah.
“Tapi, Ayah, bisakah kita kembali jam empat
sore ke pantai ini supaya kita bisa ikut lagi kegiatan
pembersihan pantai?” Shalom berpikir kalau pantai
itu bersih, ia akan bisa berselancar.
“Tentu, Nak.” Ayah tersenyum. “Ayah bangga
kepadamu, sebagai putra Indonesia yang ikut menjaga
lingkungan hidup.”

51

Shalom bahagia saat mendengar pujian dari
ayahnya itu.

***
Bermain kano sangat menyenangkan, apalagi di
Danau Batur yang terletak di Kintamani, sebuah
daerah pegunungan yang sejuk. Kano adalah perahu
kecil yang bentuknya lancip pada kedua ujungnya.
Bagian atasnya terbuka dan mempunyai tempat duduk
yang sempit, hanya cukup untuk dua orang yang duduk
berjejer saling membelakangi. Kano didayung oleh dua
orang secara bersamaan.
Walau baru pertama kali mendayung kano,
Shalom sangat tangkas dan cepat menguasai olah raga
yang satu itu. Ia sangat menikmatinya meskipun
keringatnya sudah bercucuran. Lengannya begitu
lincah mendayung perahu itu.
“Besok kita kemari lagi, ya, Ayah,” pinta Shalom.
“Udara di sini sangat bersih.”
Sore itu sepulang dari Danau Batur, Shalom,
Ayah, dan Ibu kembali ke Pantai Kuta untuk ikut
dalam kegiatan pembersihan pantai. Shalom berharap
besok pantai tidak kembali tercemar sehingga ia bisa
berselancar.

52

Esok paginya Shalom kembali ke pantai. Namun,
dilihatnya pantai kembali tercemar. Rupanya, angin
barat masih belum puas meniupkan embusan napasnya.

“Kamu tetap mau mencoba berselancar?” tanya
Ayah.

Shalom menggeleng. “Kita kembali ke Danau
Batur saja, ya, Ayah,” pintanya. Ternyata, bermain
kano sangat memikat hatinya.

***
Liburan itu cepat sekali berlalu. Tidak terasa,
sudah empat malam mereka di Bali. Ibu bersiap-siap
membereskan koper untuk pulang kembali ke rumah
mereka di Depok.
Shalom ingin cepat sampai di rumah. Ia ingin
menceritakan pengalamannya membersihkan sampah
di Pantai Kuta, bermain kano di Danau Batur, dan
keasyikan lainnya selama liburan di Bali kepada
teman-teman tetangganya. Tentu saja, mereka akan
saling berbagi cerita. []

53

Tentang Penulis

Arina Uli saat ini bermukim di Belanda. Dia mulai
tertarik menulis cernak beberapa tahun yang lalu
walaupun hanya untuk konsumsi di kalangan pribadi.
“Ada Banyak Kesan di Bali” adalah cernak
berdasarkan pengalaman dari Shalom, putra dari
salah seorang keponakannya. Dia berharap, semoga
cerita ini bisa menggugah kesadaran anak-anak akan
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

54

Serunya Berkemah

Yulianti Samara

Sumber: Sketchify/Canva, Iconsy/Canva, Sparklestroke Global/Canva, OpenClipart-Vectors from Pixabay/Canva

“A da apa, Sayang? Mama lihat kamu, kok,
kelihatan tidak semangat?” tanya Mama
kepadaku saat menyiapkan makan malam.

“Papa tahu, Ma, anak cantik satu ini sepertinya
pengen liburan, deh,” kata Papa yang tiba-tiba datang

55

dan mengusap kepalaku. Lalu, Papa menggeser kursi
dan bergabung bersamaku di meja makan.

Papa benar. Aku sedang memikirkan liburan. Aku
bosan selalu di rumah karena pandemi yang melanda
tanah air hampir dua tahun lamanya. Semenjak
pandemi juga, aku sudah tidak bertemu dengan
teman-teman sekolahku di SD Sunshine karena
pemerintah melarang sekolah tatap muka. Anak usia
sepuluh tahun sepertiku masih senang bermain.
Namun, apa dayaku karena tidak boleh ke mana-mana.
Kapankah pandemi ini akan berakhir? Aku sudah
bosan.

“Udah, udah mikir-mikirnya, Livi. Kita makan,
yuk! Hari ini Mama udah masak makanan kesukaan
kamu, lo, cumi goreng tepung. Ayo, kita makan dulu!
Habis makan nanti, deh, kita bahas soal liburan.
Gimana, Papa?” bujuk Mama kepadaku sambil
memperlihatkan cumi goreng tepung di hadapanku.

“Iya, Sayang. Hari ini giliran Papa yang pimpin
doa makan, ya,” kata Papa sambil memegang tanganku.

Yah, itu salah satu kebiasaan kami di rumah,
memimpin doa secara bergiliran dan kali ini adalah
giliran papaku. Setelah berdoa, kami pun menikmati
makan malam buatan mamaku yang sangat enak.

56

“Mama, aku bantu membereskan meja, ya,”
kataku kepada Mama.

“Makasih banyak, Sayang,” jawab Mama sambil
tersenyum kepadaku.

“Ayo, Papa juga bantu, deh! Kita sama-sama
bantu Mama juga cuci piring di dapur biar cepat
beres,” sambung Papa seraya mengangkat gelas ke
dapur.

Kami mencuci piring bersama dan karena
bekerja sama dengan baik, semua piring, gelas, meja,
dan dapur menjadi bersih dalam waktu singkat.
Setelah semuanya beres, seperti biasanya, kami
bersantai duduk di ruang tengah sambil menonton
televisi.

“Mama, Papa, aku pengen sekali liburan. Kita
liburan, yuk!” kataku sambil bersandar di bahu Papa.

“Emang mau liburan ke mana, Livi?” tanya Papa.
“Kita berkemah ke puncak, yuk, Pa! Ma, boleh,
ya, kita liburan ke puncak?” bujukku kepada Mama.
“Livi, sepertinya kita enggak bisa liburan dulu,
deh. Omicron makin menakutkan. Coba kamu
dengarkan berita di TV itu! Kita dianjurkan untuk
tidak bepergian dulu,” kata Mama kepadaku.

57

“Aduh, aku bosan, Mama! Kenapa lagi, deh,
dengan omicron yang satu ini?” kataku dengan kesal
sambil mendengar siaran berita dari televisi itu.

Setelah berita itu berakhir, papaku
mengecilkan volume televisi, lalu berkata, “Oke, Papa
punya ide. Yang pasti, bisa menghilangkan rasa kesal
kamu. Bagaimana kalau kita tetap berkemah, tapi
enggak usah ke Puncak.”

“Terus, kalau tidak ke Puncak, di mana, dong,
Papa?” jawabku.

“Di halaman rumah aja, Livi,” kata Papa.
“Good idea, Papa! Kita bisa buat kemah di
halaman rumah, terus bakar-bakar jagung, sosis, dan
panggang daging. Mama baru beli alat panggang baru.
Kita bisa pakai itu. Eh, Livi bisa ajak teman yang lain
juga, kok. Bagaimana?” Mama ikut bicara sambil
tersenyum memegang pipiku.
“Em … oke. Aku boleh ajak temanku, kan, Mama,
Papa?”
“Iya, boleh. Emangnya Livi mau ajak siapa?”
tanya Papa kepadaku.
“Em … aku mau mengajak Audrey, Cherish,
Aaron, Amora, dan Sam. Boleh, kan, Ma? Mereka
semua itu BF-ku. Pasti seru, deh.”

58

“Tapi, Sayang, waktu vaksin kemarin, Amora kan
enggak ikut vaksin karena lagi enggak enak badan.
Supaya lebih aman, Amora di rumahnya aja dulu, ya.
Pasti Papa dan Mama Amora juga belum ijinin Amora
ikut acara ini. Lain kali aja Amora ikut, ya. Nanti Mama
bantu kamu minta ijin ke orang tua mereka semua,
deh,” kata Mama.

“Oke. Mama janji, ya,” kataku lagi penuh
semangat.

Aku sangat bahagia dengan usul Papa dan Mama.
Aku sudah tidak sabar untuk berkemah. Karena jam
sudah menunjukkan pukul sembilan, aku pamit kepada
Papa dan Mama untuk beristirahat.

***
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Beberapa
hari ini langit sangat cerah dan aku berharap bahwa
hari ini pun sama sehingga acara berkemah kami tidak
terganggu.
Papa sudah memasang dua kemah di halaman
belakang rumah kami. Aku juga membantu Papa
memasang lampu kelap-kelip menghiasi kemah kami.
Mama mempersiapkan meja dan alat panggang
barunya dan sudah tersedia juga jagung, sosis, serta
beberapa makanan di meja.

59

Ting-tong, ting-tong!
Bel rumahku berbunyi. Aku segera berlari ke
depan untuk membuka pagar. Ternyata, Audrey dan
Cherish yang datang diantar oleh orang tua mereka.
Aku segera mengajak Audrey dan Cherish ke halaman
belakang. Tidak lama kemudian, Sam dan Aaron pun
datang.
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore ketika
semua sudah siap. Papaku keluar dari dalam rumah
sambil membawa laptopnya. Papa kemudian
memutarkan lagu dari laptop tersebut.
“Paman, lagu “Monsters”, dong,” kata Sam
kepada papaku.
Papa pun menuruti keinginan Sam. Akhirnya,
kami bernyanyi bersama-sama. Mama yang sedang
membakar sosis dan jagung, tersenyum melihat kami.
Aku, Audrey, dan Cherish akhirnya ikut membantu
Mama.
“Seru sekali acara kita ini, ya, Livi? Papa kamu
hebat, deh, punya ide yang keren,” kata Cherish
kepadaku.
“Papaku memang keren,” jawabku.
“Jadi, Mama enggak keren, ya?” sahut Mama
sambil pura-pura cemberut.

60

“Mama pasti keren, lah,” kataku sambil
tersenyum dan diikuti suara tawa Cherish dan
Audrey.

Setelah beberapa jangung dan sosis matang,
Mama memanggil Papa, Aaron, dan Sam untuk
menikmati jagung dan sosis bakar itu.

“Tunggu! Om punya satu hal lagi dan Om yakin,
kalian pasti suka,” kata Papa kepada teman-temanku
sambil menyalakan lampu proyektor. “Sambil makan,
kita nonton Spider-Man, yuk!”

Teman-temanku tampak sangat bahagia dan
mereka mengatakan bahwa papaku sangat keren. Aku
bangga terhadap papa dan mamaku. Mereka membuat
liburanku kali ini sangat menyenangkan. Kami pun
menikmati acara berkemah ini dengan sangat seru.

“Gimana, udah waktunya tidur. Kalian mau tidur
di kemah?” tanya Papa setelah selesai menontom.

“Pastinya, Om. Aku, Livi, dan Cherish di kemah
yang pink, ya. Aaron dan Sam tidurnya di kemah warna
biru,” kata Audrey menjawab pertanyaan Papa.

“Papa dan Mama, bagaimana?” tanyaku
selanjutnya.

“Papa dan Mama akan tidur di ruang tamu. Mama
sementara menyiapkan segala sesuatunya. Kalau

61

kalian membutuhkan sesuatu, kalian bisa langsung
meminta bantuan kepada kami di ruang tamu. Oke!”
jawab Papa sambil mengangkat jempolnya.

“Oke, Om. Terima kasih banyak,” jawab teman-
temanku serentak.

Waktu kian larut dan kami pun masuk ke kemah.
Aku, Audrey, dan Cherish tidak langsung tidur. Kami
masih bercerita. Aku senang dan bersyukur kepada
Tuhan serta sangat berterima kasih kepada Papa dan
Mama.

Aku mulai memejamkan mata ketika kulihat
Audrey dan Cherish sudah tertidur. Aku juga tidak
lagi mendengar suara Aaron dan Sam dari kemah
sebelah, sepertinya mereka juga sudah tertidur.

***
Aku terbangun ketika merasakan seseorang
menggoyang-goyangkan tubuhku. “Ada apa, Audrey?”
tanyaku ketika kulihat Audreylah yang
membangunkanku.
“Livi, aku kebelet pipis, nih. Temani aku, dong!
Aku takut kalo ke toilet sendirian,” jawab Audrey.
Kami pun perlahan keluar dari kemah. Namun,
kami tiba-tiba kaget.

62

“Sssttt! Apa itu yang bergerak-gerak di sana,
Audrey? Kamu lihat enggak? Yang di semak-semak
itu, lo?” kataku kepada Audrey sambil menunjuk
semak-semak yang terus bergerak.

“Livi, aku takut, jangan-jangan hantu,” jawab
Audrey ketakutan.

Sebenarnya, aku agak takut juga. Lalu,aku
mengambil tongkol jagung bakar yang kami makan tadi
dan melemparkan ke semak-semak itu. Ternyata, itu
adalah kucing.

“Ayo, Audrey! Aku temani kamu ke toilet. Kita,
kan, dijaga oleh Tuhan, ngapain takut!” kataku kepada
Audrey.

Setelah kembali dari toilet, kami kembali
menuju kemah untuk melanjutkan tidur. Sebelum
tidur, aku tersenyum. Meskipun kucing tadi sempat
membuatku sedikit takut, tetapi sungguh, acara
berkemah hari ini sangat mengasyikkan buatku.
Liburan yang menyenangkan. Terima kasih, Tuhan. []

63

Profil Penulis

Yulianti Samara, akrab dengan
sapaan Yuli, lahir di Toraja 10
September 1986. Tinggal di kota
Makassar dan berprofesi sebagai
guru PAUD di salah satu sekolah
swasta di Makassar. Memiliki
hobi menata ruang dan membuat
berbagai barang prakarya. Ingin mengenal lebih dalam
lagi dengan Yuli, silakan follow Instagram:
@yuliantilumain atau Facebook: Yulianti Samara
Lumain.

64

Tas Idaman

Siti Nurhikma

Skechify/Canva for Education, AR_/ Canva for Education Gvardgraph’s Image/ Canva for Education, Jemastock2/ Canva for
Education, Kate Danielle Creative/ Canva for Education

“B u, aku pengen tas baru,” ucap Mirna sambil
merajuk kepada ibunya yang sedang sibuk
menggoreng pisang untuk dijual di warung depan
rumah.

“Nanti, ya, Nak, Ibu jualan dulu. Kalau sudah
dapat uang yang banyak, kamu boleh beli tas sesuka

65

kamu,” jawab Ibu sambil terus mengaduk tepung
dalam wadah yang cukup besar.

Mirna sudah meminta dibelikan tas untuk
kesekian kalinya. Tasnya sudah sobek di beberapa
tempat sehingga membuat sudut-sudut bukunya mulai
terlihat. Hal itu menyusahkan Mirna untuk membawa
banyak buku ke sekolah.

Pagi ini sebelum berangkat ke sekolah, Mirna
mencoba meminta lagi tas yang begitu diidam-
idamkannya. Siapa tahu, ibunya bersedia membelikan
tas itu. Namun, permintaan Mirna belum juga
terkabul.

Mirna berangkat ke sekolah setelah berpamitan
kepada orang tuanya. Meskipun keinginannya belum
tercapai, ia tetap semangat ke sekolah.

Seminggu ini ujian kenaikan kelas akan
dilaksanakan. Artinya, setelah menerima rapor nanti,
liburan sekolah akan segera tiba. Seperti biasa, Mirna
akan pergi berlibur ke rumah kakeknya.

***
Sebuah rapor bersampul biru berada di tangan
kanan Mirna. Hadiah terbungkus kertas berwarna
cokelat tergenggam erat pula di tangan yang satunya.
Sambil berlari kecil, Mirna pulang ke rumah sambil

66

membawa hasil proses pembelajarannya selama satu
semester ini.

Menjadi peringkat kedua di kelas adalah hal
pertama yang ingin Mirna ceritakan kepada Bapak dan
Ibu. Walaupun selama ini tidak pernah berhasil
mengalahkan Yuda yang selalu menjadi juara pertama
di kelas, senyum Mirna tetap terkembang.

Setelah tiba di rumah, Mirna langsung
memberikan rapor itu kepada ibunya. Sang Ibu
tersenyum bangga terhadap prestasi anaknya, begitu
juga dengan ayah Mirna. Beliau sangat bangga kepada
Mirna yang selalu bersemangat sekolah meskipun di
tengah kondisi keluarga mereka yang serba pas-
pasan.

“Aku menginap di rumah Kakek, ya, Bu, selama
liburan ini," ucap Mirna dengan bersemangat. Ia
meminta izin kepada ibunya untuk menghabiskan
liburan bersama kakek dan neneknya.

Sebenarnya, jarak rumah Mirna dengan desa
kakeknya tidak terlalu jauh, hanya dibutuhkan waktu
sekitar tiga jam naik sepeda motor. Mirna tidak
pernah menginap dalam waktu lama di sana. Oleh
karena itu, kali ini dia ingin menghabiskan liburan di
rumah Kakek bersama sepupu-sepupunya. Mirna juga

67

ingin membantu Kakek memetik buah cengkeh. Siapa
tahu, kegiatannya saat liburan di rumah Kakek bisa
mewujudkan keinginannya.

Ibu dan ayah Mirna pun mengizinkan. Keesokan
harinya Mirna diantar menuju rumah Kakek oleh
ayahnya.

***
“Bantu Kakek memetik cengkeh, ya. Hati-hati,
supaya batangnya tidak patah.” Kakek berkata sambil
tersenyum memandang cucu-cucunya.
Kain berbentuk persegi dengan ukuran 1 meter
diikatkan di pinggang Mirna. Kain berwarna cokelat
itu dipasangkan oleh Diah, sepupu Mirna, yang juga
menginap di rumah sang Kakek. Mereka saling
membantu memasang perlengkapan untuk membantu
Kakek memetik bunga cengkeh yang telah memerah.
Pohon cengkeh yang berusia lebih dari 50 tahun
itu membentang di hadapan Mirna. Lebih dari 100
pohon siap untuk dipetik. Aroma wangi cengkeh
memenuhi udara karena pucuk-pucuk bunga berwarna
merah itu mulai bermekaran.
"Ini harus segera dipetik," jelas Kakek melihat
Mirna begitu terpesona.

68

"Kalian petik yang bisa dijangkau oleh tangan
dari bawah saja. Jangan terlalu ke atas, berbahaya!"
ujar Kakek menambahkan.

Mirna merasa begitu bersemangat. Tampaknya,
keinginan untuk mendapatkan bunga cengkeh yang
banyak memenuhi pikiran Mirna.

"Bunga cengkeh yang sudah kalian petik,
langsung dijemur aja, ya. Jangan lupa, harus dijaga
sampai kering!" perintah Kakek ketika melihat cucu-
cucunya mulai mengumpulkan bulir-bulir cengkeh
dengan aroma wangi itu.

***
Mirna bertugas untuk menjemur cengkeh yang
sudah dipetik. Butuh waktu sekitar empat hari untuk
memastikan cengkeh itu benar-benar kering. Ketika
mengerjakan semuanya beramai-ramai dengan
sepupu-sepupunya, Mirna begitu bahagia.
"Sudah kering?" tanya Kakek yang tiba-tiba
sudah berjongkok di samping Mirna.
Mirna sedang asyik mengumpulkan cengkeh
kering yang sudah sekian hari di jemurnya.
"Setelah ini, kamu timbang, ya. Nanti Kakek
beli," tambah Kakek sambil mengusap-usap rambut
Mirna.

69

"Bener, Kek?" tanya Mirna. Ia menganga karena
tidak percaya mendengar ucapan kakeknya itu.

Kakek mengangguk sambil tersenyum. Cengkeh
yang Mirna petik akan dibeli oleh Kakek dengan harga
yang sama dengan harga jual cengkeh ketika dibeli
oleh pengepul.

Niat awal Mirna yang ingin membantu Kakek
memetik cengkeh, malah dapat berkah berlipat-lipat.
Biasanya, Kakek hanya memberi upah untuk cengkeh
yang sudah ia kumpulkan.

Mirna bahagia. Liburannya selama dua minggu di
rumah Kakek ternyata membuahkan hasil.

***
Mirna tak henti-hentinya tersenyum ketika
melihat tas bergambar princess idamannya sudah ia
dapatkan. Tadi siang ia dan ibunya pergi ke pasar
untuk membeli tas tersebut. Semua peralatan sekolah
pun sudah tersusun rapi di dalam tas itu.
Esok hari sekolah kembali dimulai. Semangat
Mirna kian bertambah berkali-kali lipat. Ia tak perlu
lagi memakai tasnya yang sudah robek itu ke sekolah.
Ternyata, keinginannya tercapai. Usahanya membantu
Kakek berganti dengan sebuah tas yang telah lama
diidam-idamkannya. []

70

Tya si Pemberani

Brytje Geradus

Sumber: dibuat oleh Debby Aryani menggunakan Corel Draw

T ya menatap gedung bertingkat dua bertuliskan
SD Negeri 066 Pekkabata. Ia mencari Armi,
sahabatnya, di antara kerumunan murid yang berbaris
di lapangan. Ini hari pertama ia masuk sekolah setelah
libur semester.

Tya murid kelas tiga yang selalu memakai pita
merah, berbadan gembul, dan rambut berombak itu,

71

sangat menantikan hari pertama masuk sekolah. Ia
ingin berbagi cerita kepada Armi tentang liburan yang
telah dilaluinya.

***
Setelah menempuh enam jam perjalanan dari
Polewali dengan mengendarai mobil, akhirnya Tya dan
keluarganya tiba di kota Makassar. Papa Tya
ditugaskan ke Makassar selama lima hari. Mama, Tya,
dan Beryl menemani, sekaligus berlibur di Kota Anging
Mamiri.
“Tya, tunggu!” teriak Mama sambil mengejar
Tya yang langsung berlari menuju rumah Om Dado dan
Tante Itje begitu turun dari mobil.
Sudah setahun sejak Natal tahun yang lalu, Tya
tidak pernah berkunjung ke rumah Tante Itje,
saudara perempuan Mama yang tinggal di Makassar.
“Syalom, selamat siang!” ucap Tya dengan suara
keras.
Tante Itje membuka pintu dan terkejut ketika
melihat Tya tersenyum di depan pintu. Lalu, gadis
kecil itu menghambur ke pelukan Tante Itje. Tante
Itje mengajak semuanya untuk masuk ke rumah. Tya
sangat senang, ia berlarian di halaman rumah dengan
riang.

72

Keesokan harinya ketika Papa harus bekerja,
Tya, Mama, dan Beryl diajak oleh Tante Itje dan Om
Dado berbelanja ke Panakukang Mal. Tya senang
sekali. Tempatnya sangat terang dan besar. Mereka
berkeliling mencari keperluan untuk Beryl dan Tya.

“Wow!” kata Tya saat mereka melewati tempat
mainan.

Tya tampak kagum pada semua mainan yang
terpajang dalam lemari kaca. Ia berjalan perlahan di
belakang Mama sambil matanya tak lepas menatap
mainan itu, ada rumah-rumahan, alat masak-memasak,
dan banyak boneka.

Ada sebuah boneka lucu dan cantik yang
menarik perhatian Tya. Hidung boneka itu mancung,
rambut dikepang dua, topi lucu, dan memakai baju
yang bagus. Matanya yang indah, seolah-olah sedang
menatap Tya.

Tya berhenti di depan boneka itu. Boneka itu
seolah-olah tersenyum kepada Tya. Tya ingin
memilikinya. Akan tetapi, di mana Mama dan Tante
Itje? Gadis kecil itu memandang sekeliling, tetapi tak
menemukan yang ia cari. Tya terlalu asyik melihat
mainan dan boneka itu sehingga lupa kepada mama dan
tantenya.

73

Tya berjalan mencari mereka. Tempat itu makin
ramai. Musik diputar dengan suara keras. Tidak
mungkin ia berteriak di tempat itu, Mama pasti tak
mendengarnya. Muka Tya pucat. Ia tampak ketakutan.

Tya berdiri di lantai tiga sambil melihat ke
bawah. Ia tidak ingat tadi masuk dari arah mana, ada
empat pintu kaca yang buka-tutup secara otomatis. Ia
memberanikan diri turun ke lantai dua dan menyusuri
semua penjuru lantai dua, tetapi Mama dan Tante Itje
tak terlihat.

Di dekat pintu keluar ia melihat dua orang
berpakaian seragam hitam lengkap dengan pentungan,
sumpritan, dan alat ukur suhu.

Aku akan minta bantuan mereka kata Tya dalam
hati.

Tya mendekati dua orang itu.
Apa yang akan aku katakan? Bagaimana kalau
mereka sudah pulang, tetapi tidak lewat pintu ini?
tanya Tya dalam hati.
Akhirnya, ia membatalkan niatnya untuk
bertanya kepada petugas itu. Tya kembali menyusuri
lantai satu. Air matanya mulai menetes. Beberapa
orang memandangi dengan rasa iba.

74

Seorang petugas yang berpakaian seragam di
depan pintu, mendekatinya. “Cari siapa, Nak?” tanya
petugas itu.

Tya tak bisa berkata-kata. Ia menangis. Lalu,
petugas itu menenangkannya. Tya dibawa menuju
salah satu pintu keluar. Di depan pintu keluar ada
seorang perempuan sedang duduk dan di mejanya
terpampang tulisan ‘informasi’.

Petugas berbicara kepada perempuan itu.
Kemudian, perempuan itu mendekati Tya. Sambil
tersenyum, perempuan itu menggendong dan
menenangkan Tya. Setelah itu, ia mengambil pulpen
dan mulai bertanya kepada Tya.

“Namamu siapa, Nak?”
“Agastya Dian Pratiwi.”
“Tadi datang ke sini dengan siapa?”
“Mama.”
“Nama mamamu siapa?”
“Bella Juliani.”
“Nama Bapakmu siapa?”
“Oskar Lubis.”
Kemudian, perempuan itu mengumumkan dengan
pengeras suara. Banyak orang yang datang
mengerumuni Tya yang masih tersedu-sedu.

75

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Mama muncul
dari balik orang-orang yang sedang mengerumuni Tya.
Tya segera memeluk Mamanya dengan erat. Dalam
pelukan Mama, Tya menangis bahagia karena bisa
bertemu Mama kembali. []

76

Tentang Penulis

Brytje Kapa’ Geradus punya

hobby membaca dari kecil.

Buku solo pertamanya

terbit berjudul Jejak

Persahabatan, Dongeng Fabel.

Tidak kurang dari tiga puluh

antologi bersama berbagai komunitas telah

diterbitkan.

Berkontribusi dalam “Negeri Sejuta Dongeng”,

“Pelangi Dunia Anak”, dan “Tanah 1000 Satwa.” Buku

antologi dongeng anak yang best seller,

menginspirasinya membuat buku solo untuk bacaan

anak-anak. Berniat mengenalkan dan memajukan

literasi lewat karya-karyanya.

Brytje bisa di-follow di instagramnya

@brytjegeradus atau Facebook Brytje Geradus

https://www.facebook.com/brytje.geradus.

77

Petualangan
di Desa Kakek

Ariek Hapsari

Olgabudrina/Canva for Education Clairev/ Canva for Education

A yah menyalakan mesin mobil. Mobil itu melaju
perlahan di jalanan yang masih cukup sepi.
Ardian duduk di bagian tengah dengan wajah
cemberut. Dia tidak begitu bersemangat meskipun

78

liburan tiba. Dia beserta keluarganya hendak
menikmati liburan di rumah Kakek di desa.

“Ardi, senyum, dong!” Ibu yang ada di
sebelahnya, menepuk bahu Ardian dan mencoba
menghibur.

Ardian menggeleng pelan. Dengan dua tangan dia
menopang dagunya. Ardian tidak ingin ke desa. Apa
yang bisa dia lakukan di desa itu? Padahal, dia sudah
berjanji akan menonton bioskop dan main game
sampai puas bersama teman-temannya.

“Di, kamu enggak tahu aja, banyak yang seru di
desa!” Arnita, kakak Ardian, dari depan
mengacungkan jempolnya.

“Ih, seru apa? Paling cuma lihat sawah sama
sungai.” Ardian menggerutu.

“Tunggu sampai kita tiba di sana,” sahut Arnita.
Perjalanan yang ditempuh menuju rumah Kakek
cukup lama, lebih dari enam jam. Ardian lelah sekali
karena hanya duduk dan melihat jalanan yang seperti
tidak ada habisnya. Selama menuju rumah Kakek,
Ardian tidak banyak bicara. Ayah, Ibu, dan Arnita
mencoba untuk membuat dia tersenyum saja, sulit.
Dalam hati, Ardian masih tidak lega mengapa
liburan kali ini mereka harus ke desa, apalagi sampai

79

dua minggu—menyebalkan. Ardian bahkan berharap
sendirian saja di rumah sehingga bebas melakukan apa
yang dia mau, seperti di film “Home Alone” itu.
Karena bosan, akhirnya Ardian tertidur di sisa
perjalanan.

***
Rumah Kakek sudah di depan mata. Akhirnya,
Ardian dan keluarganya sampai juga di tujuan. Di
depan rumah, Kakek sudah menunggu mereka. Dengan
cepat Ardian turun dari mobil.
“Kakek!” Ardian berlari kecil mendekati Kakek,
lalu memeluk pinggang kakeknya dengan erat.
“Sudah gede cucu Kakek. Ardi kelas berapa?”
tanya Kakek sambil tersenyum lebar.
“Naik kelas 4, Kek. Aku rangking dua di sekolah.”
Ardian menjawab dengan riang. Setelah bertemu
dengan Kakek, Ardian lupa dengan rasa kesal saat
berangkat tadi.
“Ih, pintar. Kakek bangga sama kamu.” Kakek
mengusap kepala Ardian.
Kakek mengajak Ardian dan yang lainnya masuk
ke rumah. Kemudian, mereka menikmati makan siang
bersama sambil melepas rindu.

***

80

Arnita mengajak Ardian menuju persawahan.
Arnita suka dengan hijaunya pemandangan alam di
desa kakeknya. Sementara itu, Ardian mulai lupa jika
awalnya dia enggan pergi ke desa tersebut. Ternyata,
sangat menyenangkan bermain di tengah sawah dan
duduk di pondok bambu.

“Aduh, payah! Putus lagi layanganku. Kejar, ah!”
Terdengar suara anak laki-laki dari arah
belakang Ardian dan Arnita. Saat Ardian dan Arnita
menoleh, anak itu juga melihat kepada mereka.
“Hai! Kalian cucu Kakek, ya? Kenalkan, aku
Trias.”
Anak laki-laki itu mengulurkan tangan kepada
Ardian. Mereka bersalaman. Kemudian, Trias juga
bersalaman dengan Arnita.
“Wah, senang punya teman dari kota. Mau main
bareng?” tanya Trias.
“Ya, ayo! Ada yang seru enggak, di desa ini?”
tanya Ardian.
“Ikut aku!” ajak Trias.
Dengan semangat Trias berjalan meninggalkan
area persawahan. Ardian dan Arnita mengikutinya.
Mereka menuju kampung terdekat dari persawahan.
Trias mengajak Ardian dan Arnita menuju rumahnya.

81

Namun, saat melewati sebuah rumah tua yang tampak
sudah suram, Ardian menghentikan langkahnya.

“Kenapa?” tanya Trias heran.
“Kamu dengar itu?” Ardian mempertajam
pendengarannya.
Arnita dan Trias terdiam, lalu mereka ikut
mendengarkannya. Ada suara tangis lirih dari dalam
rumah itu.
“Hei, ini rumah angker! Kita pergi saja.”
Setengah berbisik, Trias berbicara.
“Kamu yakin?” tanya Ardian terkejut. Tubuhnya
merinding. Namun, dia tetap berjalan mendekat
menuju pintu rumah tersebut.
“Ardi, balik! Bahaya!” ujar Trias.
Arnita dan Trias memperhatikan dengan cemas.
Ardian mendekatkan wajahnya ke pintu itu yang
ternyata ada sedikit bolong di bagian tengahnya.
Kemudian, dia mengintip melalui bagian bolong pintu
rumah itu, melihat apa yang sebenarnya terjadi di
dalam rumah angker tersebut.
“Gelap, remang-remang.” Ardian menoleh ke
belakang kepada Arnita dan Trias.
“Gimana?” tanya Arnita.

82

Ardian menggeleng. Namun, tanpa sengaja,
tangannya menyentuh pintu rumah yang ternyata
tidak terkunci itu sehingga pintu itu terdorong dan
terbuka. Ardian oleng dan hampir terjatuh. Dia
berusaha dengan cepat berdiri, tetapi malah masuk
ke rumah tersebut.

“Ardi!” teriak Arnita.
Trias pun memelotot karena kaget.
Ardian sudah berada di dalam rumah tersebut.
Dia memperhatikan sekeliling rumah yang sudah tua
dan rusak itu. Ada beberapa barang di sana, dua kursi,
satu meja agak besar, dan lemari di ujung yang
menempel ke dinding.
Mata Ardian melebar ketika melihat seseorang
duduk di lantai sebelah lemari dan bersandar pada
dinding. Pemilik dua bola mata bulat itu melihat ke
arah Ardian.
“Jangan … jangan!” Suaranya yang kecil
terdengar serta diiringi sedikit tangisan.
Ardian masih terbengong-bengong. Jadi,
ternyata suara tangis yang dia dengar di luar tadi
berasal dari anak itu?
Dia benar-benar seorang anak manusia, kan?
batin Ardian.

83

“Kamu siapa?” tanya Ardian dengan sedikit rasa
takut.

“Nisa?” Terdengar Trias bicara di belakang
Ardian. “Kamu kenapa di sini?”

Dengan cepat Trias mendekati anak perempuan
kecil itu. Nisa adalah tetangga Trias. Rumah mereka
beda satu gang saja. Trias berjongkok di sebelah
Nisa. Ardian pun ikut mendekat. Arnita juga sudah
berada di sebelah adiknya.

“Aku takut pulang, Mas,” jawab Nisa lirih sambil
menahan tangis.

“Kenapa?” tanya Arnita yang juga penasaran.
Mungkin, dia berpikir, berani sekali anak kecil itu
masuk ke rumah tua yang dianggap angker warga
sekitar.

“Lihat ini!” Nisa mengambil tas kresek yang ada
di sebelahnya. Dia menunjukkan isi kresek itu. Di
dalamnya terlihat beberapa butir telur yang sudah
pecah.

“Kok, bisa?” tanya Ardian.
Nisa pun bercerita. Dia disuruh ibunya ke
warung untuk membeli telur. Namun, di tengah jalan
ketika hendak kembali ke rumahnya, dia terjatuh

84

sehingga telur-telur itu pecah. Karena takut ibunya
marah, dia bersembunyi di rumah tua itu.

Trias, Ardian, dan Arnita tersenyum lebar.
Ternyata, Nisa menangis bukan karena takut dengan
rumah angker itu. Rumah angker itu ternyata tidak
seseram yang mereka bayangkan.

Trias mengajak Nisa pulang. Dia akan membantu
Nisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada
ibu gadis kecil itu. Ardian dan Arnita juga ikut
mengantar.

Langkah Ardian ringan rasanya. Dia siap
berpetualang lebih lama di desa kakeknya. Ternyata,
kakaknya benar, liburan di desa tidak membosankan
seperti yang dia pikirkan. []

85

Profil Penulis

Ariek Hapsari menyukai dunia
menulis sejak masih kanak-kanak.
Ketika memasuki usia remaja, dia
menyukai dunia anak-anak. Dia
juga mengajar anak-anak hingga
sekarang dan menikmati berbagai
kegiatan anak pada acara-acara tertentu.
Kesukaannya pada dunia menulis lahir setelah
membaca novel-novel karya Enid Blyton, seperti Lima
Sekawan, Malory Towers, dan St. Clare.

86

Liburan Haki
sang Karateka Cilik

Bagus Madung

Sumber: Mimosatudio/Vecteenzy Moonproject/CanvaPro Yusup Saputra from DYSA Lab/ CanvaPro

H aki sangat antusias dengan momen liburan kali
ini setelah hampir dua tahun lamanya hanya
berdiam diri di rumah karena pandemi melanda negeri.
Rencananya, Sabtu pagi ini Haki bersama empat orang
temannya, Tyo, Rifat, Ainun, dan Aldi akan bergabung

87

bersama peserta lain untuk mengikuti ujian kenaikan
sabuk. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu sangat
tergila-gila dengan olahraga karate sejak dahulu dan
bercita-cita menjadi seorang karateka handal.

Kegiatan itu akan dilaksanakan di GOR La Patau
yang dijadikan Dojo—tempat karateka beraktifitas—
dan letaknya tidak jauh dari rumah Haki dan teman-
temannya. GOR itu berada di pinggir kota
Watampone, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan.

Pada saat Haki dan teman-temannya memasuki
GOR, tiba-tiba datang Ripo menghadang mereka.

“Tunggu kejutan dariku. Kali ini aku pasti
berhasil mengagalkanmu!” kata Ripo. Remaja kurus itu
menatap tajam ke arah Haki.

Ripo adalah anak seorang pengusaha sukses. Dia
pernah menimba ilmu agama di pesantren, tetapi
dikeluarkan karena sering membuat keributan.
Sekarang Ripo adalah teman seperguruan Haki.
Karena selalu merasa kalah bersaing dengan Haki, dia
sering berbuat curang dan menghalalkan segala cara
agar bisa mengalahkan dan mengganggu Haki.

Haki dan teman-temannya tidak merespons apa
pun dan berlalu meninggalkan Ripo yang terlihat masih
kesal. Mereka terus berjalan memasuki GOR. Di GOR

88

itu sudah banyak peserta lain berkumpul. Haki dan
teman-temannya menuju ruang khusus, tempat acara
tersebut akan dilangsungkan.

“Haki, tolong charge HP saya!” kata Sinpai
Arfandi ketika Haki baru saja memasuki ruangan.

“Baik, Sinpai,” jawab Haki. Haki menerima
ponsel tersebut, kemudian bergegas ke pojok ruangan
mencari colokan listrik. Kebetulan, di pojok ruangan
tersebut terdapat sebuah meja kecil dan Haki
meletakkan ponsel itu di sana. Setelah memastikan
ponsel tersebut tersambung dengan arus listrik, Haki
kembali bergabung dengan teman-temannya.

Sementara itu, Ripo berhasil menyelinap masuk
ruangan tersebut tanpa seorang pun yang menyadari
dan memperhatikan kehadirannya. Remaja itu menuju
pojok ruangan. Dia memperhatikan keadaan sekitar,
kemudian mengambil ponsel Sinpai Arfandi dan
meletakkkan secarik kertas di atas meja.

“Kumpul, ayo, buat barisan!” teriak Sinpai
Arfandi memecah suasana.

Haki dan peserta lainnya bergegas membuat
barisan di tengah ruangan. Ainun dan Rifat masih
terlihat di salah satu sudut ruangan sedang memasang
sabuknya.

89

Sinpai memberitahu para peserta tentang
kegiatan kenaikan sabuk tersebut. Sinpai juga
mengingatkan agar peserta tidak meninggalkan lokasi
ujian selama kegiatan masih berlangsung dan
mematuhi tata tertib agar kegiatan bisa berjalan
dengan lancar.

Setelah acara sambutan selesai, para peserta
dibubarkan untuk mempersiapkan diri. Haki hendak
mengecek ponsel Sinpai Arfandi. Namun, alangkah
terkejutnya Haki ketika dari tengah ruangan dia
melihat ponsel itu tidak lagi berada di tempatnya.

“Ada yang melihat HP Sinpai Arfandi?” tanya
Haki dengan cemas kepada teman-temannya.

Teman-teman Haki kompak menggeleng. “Aku
tidak melihatnya!” seru mereka.

Haki kebingungan. Kemudian, dia mengecek
kembali meja kecil di pojok ruangan tersebut. Haki
menemukan secarik kertas di sana.

“Kamu lagi mencari HP, ya? Segera temukan aku
atau kamu gagal naik sabuk!”

Haki menghelas napas setelah membaca pesan
yang tertulis di kertas itu. Ternyata, Ripolah
pelakunya. Haki sangat geram. Dia harus mencari
keberadaan Ripo.

90

“Ripo telah mengambil HP Sinpai Arfandi. Aku
akan mencarinya. HP itu harus kutemukan. Ingat,
jangan bilang kepada siapa pun dulu sebelum aku
kembali, kecuali Sinpai Arfandi mencariku!” kata Haki
kepada keempat temannya.

“Tunggu, kami ikut!” sahut Tyo, Rifat, Aldi, dan
Ainun serempak.

Haki menyarankan agar Ainun tetap tinggal di
Dojo jika sewaktu-waktu Sinpai Arfandi menanyakan
keberadaannya.

***
Haki beserta tiga orang temannya berjalan ke
luar GOR. Mereka berempat memasuki gang sempit
dan kumuh. Ada genangan air di mana-mana dan
sampah berserakan hampir di sepanjang jalan. Di
hadapan mereka ada sebuah bangunan tua yang sudah
tidak terurus. Haki mengajak teman-temannya
menuju bangunan tua tersebut. Siapa tahu, di sanalah
Ripo bersembunyi.
“Ayo, terus jalan!” seru Haki menyemangati
teman-temannya.
“Tunggu, kita tidak boleh asal melangkah tanpa
petunjuk!” balas Aldi.

91

“Apa tidak sebaiknya kita pulang saja? Laporkan
saja kepada Sinpai Arfandi kalau HP-nya diambil oleh
Ripo,” usul Rifat.

“Setuju!” sahut Tyo dan Aldi.
Haki menatap teman-temannya bergantian.
“Baiklah, kalian bertiga boleh pulang. Biarkan aku
mencarinya sendiri,” ujar Haki mantap.
“Tidak! Bukan begitu maksudku. Kita, kan, udah
berputar-putar mencarinya. Apa kamu yakin dengan
apa yang dikatakan si Kurus itu? Dia itu pembohong.
Ini hanya jebakannya agar kamu gagal dalam ujian ini,”
balas Aldi.
“Pulanglah! Aku akan menyusul kalian,
percayalah!” Haki tetap teguh pendirian.
“Tidak! Kami akan menemanimu sampai
menemukan HP itu,” balas Aldi.
“Baiklah kalau kalian masih ingin menemaniku.
Ayo, kita menuju bangunan tua itu!”
Tanpa sengaja, Haki melihat Ripo melintas di
halaman gedung tua itu. Tanpa aba-aba lagi, Haki
berlari mengikuti laki-laki kurus itu. Tyo, Rifat, dan
Aldi pun ikut berlari di belakang Haki.
Keempat karateka cilik itu memasuki gedung tua
tersebut. Gedung itu merupakan sebuah bangunan

92

bekas pabrik. Suasana di sana sangat sepi. Nyaris
semua benda yang ada dalam bangunan itu tertutup
debu tebal.

“Pabrik ini pasti sudah lama tidak terpakai,” ujar
Haki.

Haki beserta teman-temannya makin masuk ke
gedung itu mencari keberadaan Ripo. Tibalah mereka
di sebuah ruangan sempit dan pengap. Mata Haki
menangkap sesuatu di sudut ruangan.

Haki menghambur ke sudut ruangan itu. Benar
saja, di sudut ruang sempit itu tergeletak sebuah
ponsel dan secarik kertas. Pelan-pelan, Haki
memegang ponsel itu dan memeriksanya. Dia
mengambil kertas, lalu membaca tulisan tangan yang
tertera dikertas itu.

Haki, Sahabatku.
Aku tahu kamu akan menemukan HP ini. Anggap saja
ini pemanasan sebelum berada di atas matras ujian.
Mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak akan
mengganggumu lagi. Kuharap, kamu bisa memaafkan
semua kesalahanku. Aku harap kamu bisa menerimaku
sebagai temanmu lagi. Mau, kan?Malam ini aku kembali
ke pesantren. Aku doakan kamu berhasil dalam ujian

93

dan kelak jadi karateka handal sesuai dengan cita-
citamu.

Salam dari sahabatmu, Ripo Kurus.
Mata Haki berkaca-kaca setelah membaca
tulisan di secarik kertas itu. Dia menoleh ke seluruh
penjuru ruangan. Ruangan itu hanya ada dia dan
teman-temannya, tidak ada Ripo di sana.
“Ayo, Teman-teman, kita balik ke Dojo!” ajak
Haki.
Mereka pun kembali ke Dojo dengan berlari agar
tidak terlambat mengikuti ujian. Sebentar lagi, ujian
pertama akan segera dimulai.

***
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Kegiatan
ujian kenaikan sabuk telah berakhir. Setelah upacara
penutupan selesai, para peserta mulai meninggalkan
Dojo menuju rumah masing-masing.
Haki merasa sangat beruntung karena berhasil
mendapatkan sabuk berwarna jingga. Dia juga sangat
bergembira karena Ripo telah berubah.
“Aku tidak sabar menunggu liburan tahun depan
dan bertemu Ripo lagi. Ah, sudahlah. Liburan tahun ini
benar-benar sempurna!” Haki tersenyum kecil sambil
memandangi langit-langit kamarnya. []

94


Click to View FlipBook Version