Profil Penulis
Bagus Madung XV, lahir di
Cinennung, Bone, 28 Agustus
1982. Punya hobi membaca dari
kecil. Sangat mengidolakan Andre
Hirata dan Dewi Lestari.
Semenjak terlibat di
lembaga pers kampus, dia mulai
aktif menulis artikel di tabloid kampus. Ayah dari
Sulolipu, Riporio, Paampii ini juga mencintai olahraga.
Bagus Madung XV bisa di-follow di instagramnya
@lagungxv atau twitter @bagus_bugies.
95
Devaryo
si Mutiara Hitam
Chika Ssi
J antung Sumber: Iconsy/Canva berumur
delapan kencang.
seorang anak laki-laki
tahun sedang berdegup
Devaryo Kaikoa adalah nama yang diberikan
kepadanya. Mata bocah itu terpejam dengan jemari
yang saling bertautan. Bibirnya komat-kamit
memanjatkan doa.
Tuhan, semoga aku menang! batin Ryo.
96
“Dan, pemenangnya adalah ... Devaryo Kaikoa!”
seru pembawa acara dan disambut oleh tepuk
tangan meriah para penonton.
Ryo melompat kegirangan sambil berulang kali
meninju udara. Ujung matanya mulai basah karena
rasa haru memenuhi dada. Papa dan mama Ryo
memeluk anak lelaki kebanggaan mereka itu penuh
kasih. Di bangku penonton, teman sekolah dan guru
Ryo berteriak bersahut-sahutan menyerukan
namanya.
Ingatan Ryo kembali ke empat bulan yang lalu
saat dia baru saja pindah sekolah.
Ryo melangkah memasuki ruang kelas baru.
Bocah laki-laki itu harus pindah sekolah karena
ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Ayah Ryo
adalah seorang TNI Angkatan Laut. Ini adalah
momen pertama dalam hidup Ryo. Sebelumnya, Pak
Ito hanya berdinas selama beberapa bulan,
kemudian pulang ke rumah.
Langkah kaki Ryo menggema memenuhi lorong.
Kepala bocah kecil itu sedikit menunduk ketika
memasuki ruang kelas. Bu Sintia memanggil Ryo
untuk berdiri berdampingan dengannya.
“Ryo, ayo, masuk!”
97
Perlahan Ryo melangkah memasuki kelas. Dia
mendongak saat menatap teman-teman sekelas.
Jantung Ryo berdegup kencang, keringat dingin
mengucur di balik seragam, dan perutnya terasa
mulas.
“Ha-halo, Teman-teman, namaku Devaryo
Kaikoa, asal Sorong. Se-semoga kita bisa berteman
baik,” ucap Ryo gugup.
Suasana kelas hening. Beberapa anak
memandang Ryo dengan tatapan aneh. Sebagian lagi
saling berbisik, entah apa yang membuat mereka
seperti itu.
Ryo yang merasa tidak mendapat sambutan,
merasa sedih. Dia menunduk. Namun, Bu Sintia
berusaha melelehkan kecanggungan dalam kelas.
Beliau meminta murid-muridnya untuk menyapa
Ryo.
“Ayo, sapa Ryo!” seru Bu Sintia.
“Hai, Ryo ....” Suara seisi kelas menggema
memenuhi ruangan.
“Ryo bisa duduk di samping Ahmad.” Bu Sintia
menunjuk bangku kosong yang ada di samping
Ahmad.
98
Ryo berjalan gontai menuju bangkunya. Dia
langsung duduk di bangku tanpa menyapa Ahmad.
“Halo, Ryo. Namaku Ahmad.” Anak laki-laki
berkulit putih itu mengulurkan tangannya.
Perlahan Ryo mendongak dan menatap Ahmad
yang sedang tersenyum. Dia menyambut uluran
tangan Ahmad, kemudian menggerakkannya ke atas
dan ke bawah.
***
Dua minggu berlalu, Ryo hanya berteman
dengan Ahmad tanpa mau berbaur dengan teman
lain.
Suatu hari, Ryo tanpa sengaja mendengar
percakapan Ahmad dengan beberapa teman lain.
“Mad, kok, kamu mau duduk dengan anak kulit
hitam itu?” tanya Kevin.
“Dia punya nama, Vin. Namanya Devaryo!” seru
Ahmad sambil menautkan alisnya.
“Ingat tadi? Dia tidak bisa mengerjakan soal
Matematika! Padahal, soal itu sangat mudah! Duh,
apa yang mau dibanggakan?” kata Joko sembari
menggeleng-menggelengkan kepalanya.
“Kamu tidak boleh seperti itu, Joko! Kita dan
Ryo itu sama! Kita punya keunikan masing-masing.
99
Mungkin, dia tidak pandai matematika, tapi Ryo
memiliki suara yang bagus!” Ahmad melipat lengan
di depan dada.
Dada Ryo bergetar hebat. Dia tak menyangka
teman-teman memandangnya sebelah mata. Ryo
mengepalkan tangan, kemudian menghampiri
mereka. Joko dan Kevin saling senggol ketika
melihat Ryo datang.
“Maaf, ya ... aku sudah membuat kalian enggak
nyaman.” Ryo sedikit menunduk, tangannya
mengepal erat di samping tubuh.
“Ryo ...,” ucap Ahmad.
“Aku ini memang beda dengan kalian dan tidak
pintar. Tapi, aku ingin sekali bisa bermain dengan
kalian.”
“Terus, kamu bisa apa? Tunjukkan bahwa
kamu juga memiliki kelebihan seperti kami!” seru
Kevin sambil membusungkan dada.
“Aku pintar bernyanyi. Bahkan, aku sudah
mendaftar untuk mengikuti lomba menyanyi antar
sekolah,” ucap Ryo dengan mata berkilat.
“Baguslah! Tunjukkan kalau kamu bisa
menang!” Joko berkacak pinggang sambil menatap
tajam ke arah Ryo.
100
Sejak hari itu, Ryo berlatih dengan giat.
Sesekali Ahmad menemaninya. Ruby dan Lulu juga
datang untuk menyemangati. Berkat kegigihannya
dalam berlatih, Ryo berhasil lolos ke babak final.
Jantung Ryo berdetak sangat cepat ketika
menunggu giliran menyanyi. Dia berulang kali izin
untuk buang air kecil. Saat duduk di bangku ruang
tunggu, kaki Ryo terus beradu dengan lantai. Rasa
gugup mendominasi hatinya saat itu.
Namun, semua kekhawatirannya sirna
seketika. Begitu selesai menyanyikan lagu, suara
tepuk tangan meriah memenuhi gedung
pertunjukan. Beberapa teman sekolah dan para
guru bergantian mengelu-elukan namanya.
“Ryo! Ryo! Ryo!”
Puncaknya ketika Ryo berhasil menjadi juara
pertama lomba menyanyi tersebut. Selesai acara,
Kevin dan Joko menemui Ryo di belakang panggung.
Dua anak laki-laki itu menunduk malu.
“Ryo, maafkan sikapku selama ini, ya,” ucap
Kevin.
“Aku juga minta maaf, Ryo. Aku baru
menyadari kalau Ahmad memang benar. Kita unik
dan punya keunggulan masing-masing. Maaf karena
101
sudah membuatmu sedih.” Joko mengulurkan
tangan sebagai tanda permintaan maaf.
Ryo menyambut tangan temannya itu dengan
ringan hati. Sudah tidak ada lagi jarak antara
mereka. Akhirnya, Ryo bisa berteman dengan
semua anak di sekolahnya. Mereka bahkan sangat
rukun dan saling mengingatkan jika ada yang
bersalah. []
102
Profil Penulis
Nama: Ika Kartika Rani
Nama Pena: Chika Ssi
Tempat dan tanggal lahir:
Semarang, 20 Desember 1992
Saya seorang ibu dengan satu
putra dan dua putri. Menulis
adalah salah satu hobi saya
sejak duduk di bangku SMP. Dahulu saya hanya
menyimpan sebagian besar tulisan dalam buku catatan
yang sekarang entah ke mana. Baru-baru ini, saya
kembali aktif menulis di salah satu platform menulis
online.
Ketika melihat visi & misi dari Negeri Sejuta
Dongeng, hati saya tergerak untuk ikut serta menulis
antologi cerita anak. Alasannya? Melihat minat baca
generasi milenial yang menurun drastis, membuat hati
saya miris. Saya juga memiliki seorang putra berumur
delapan tahun, yang bisa dibilang minat bacanya tidak
begitu tinggi. Melalui antologi ini, saya ingin
berkontribusi dalam dunia literasi sekaligus
menanamkan nilai moral sejak dini. Saya berharap apa
yang saya tulis, sedikit banyak bisa bermanfaat. Aamiin.
103
Liburan Arini
Margoyani
Sumber Gambar oleh Debby Aryani
P agi ini Arini terlihat segar saat berdandan di
kamar tidur Nenek. Dia mengenakan kaos
berwarna hijau cerah dan celana berbahan jeans
selutut. Rambutnya diikat dua di samping telinganya.
Pita warna hijau terpasang untuk menutupi karet
gelang yang mengikat rambutnya. Arini baru naik ke
104
kelas 4 SD dan sedang berlibur di rumah neneknya di
Porong, sebuah kota kecil di pinggir Surabaya.
Tiba-tiba, terdengar suara Nenek. “Arini. Ayo,
bantu Nenek! Pembeli sebentar lagi berdatangan.”
“Ya, Nenek,” sahut Arini.
Sekali lagi, Arini mematut diri di depan cermin
besar yang menempel di lemari pakaian Nenek.
Setelah memastikan rambutnya terikat rapi dan
pitanya terpasang dengan benar, Arini bergegas
mencari sandal jepit, kemudian menuju ruang depan
rumah Nenek yang digunakan sebagai toko kue.
“Arini, tolong bungkuskan kue-kue ini untuk Bu
Mira, ya!” kata Nenek sambil memberikan empat
potong kue dalam nampan.
Arini membungkus kue-kue itu dengan cekatan.
Setelah selesai, Arini menyerahkan bungkusan kue
itu kepada Bu Mira sambil tersenyum serta berterima
kasih.
Bu Mira menjawab, “Aamiin. Terima kasih, Arini
yang manis. Sampai jumpa besok.”
Arini merasa senang disebut manis oleh Bu Mira.
Setelah itu, Arini kembali membungkus pesanan kue
selanjutnya.
105
Begitulah kesibukan Arini pagi ini, membantu
Nenek melayani pembeli. Kebanyakan pembeli adalah
pelanggan yang tiap hari membeli untuk bekal di
tempat kerja ataupun ibu-ibu yang berbelanja
sepulang dari pasar dekat rumah Nenek.
***
“Arini, tolong Nenek membereskan karton yang
tak terpakai, ya! Jangan lupa, hitung kue yang tersisa.
Nenek mau ke dalam dulu,” kata Nenek ketika pembeli
sudah tidak terlihat lagi.
Arini melirik jam dinding, waktu menunjukkan
pukul sebelas siang. Memang sudah waktunya menutup
toko. Toko Nenek sungguh sederhana, penutup
tokonya berupa papan yang dipasang tegak berjajar.
Setelah seluruh papan dipasang sesuai nomor urutnya,
akan dipasang balok kayu untuk menahan dan
mengunci supaya papan tersebut tidak bergeser atau
roboh.
Arini melangkah mendekati etalase, mengamati
kue-kue yang tersisa. Sementara itu, Nenek
mengambil nampan plastik dan memberikannya kepada
Arini.
“Bereskan kue-kue itu seperti biasanya, ya,
Arini,” ucap Nenek.
106
Arini menerima nampan itu dan mulai menata
kue-kue yang tersisa, ada bolu kukus, roti manis, roti
coklat, jentik manis, dan dadar gulung.
“Wah, Nenek, risole ragout dan risole mayo
habis terjual! Ah, senangnya!” seru Arini dengan
riang. Itu adalah kue spesial yang Arini pilih kemarin.
Arini sangat gembira karena kue yang dia pilih
ternyata sangat disukai pembeli.
Arini bergumam menghitung jumlah kue yang
tersisa. ”Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, dikalikan
dua, jadi totalnya ada dua belas.”
Sambil berjalan mambawa nampan berisi kue-
kue itu ke ruang tengah, Arini berkata dengan nada
kecewa, “Tapi, sisanya masih 12 buah kue, Nek.”
Diletakkannya kue-kue itu di meja, di samping buku
resep.
Nenek keluar dari kamar tidurnya, kemudian
menghampiri Arini dan berkata sambil tersenyum,
“Tidak mengapa, Arini. Mungkin, kue-kue ini Tuhan
sediakan untuk menjadi berkat buat orang lain.”
Rasa kecewa di hati Arini langsung pudar
mendengar perkataan Nenek. Senyuman Arini kembali
menghiasi wajah manisnya.
107
“Yuk, rapikan pakaian dan rambutmu! Kita akan
mengunjungi keluarga Adi. Adik Adi sedang sakit.”
“Adi siapa, Nek?” tanya Arini penasaran.
“Adi, Putra Pak Budi, yang rumahnya dekat
warung Bu Siti.”
“Baiklah, Nek,” jawab Arini sambil berjalan
menuju kamar untuk merapikan diri.
Sementara itu, Nenek mengambil delapan buah
kue dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak untuk
dibawa sebagai buah tangan bagi keluarga Adi.
Tak lama kemudian, Arini keluar dari kamar.
“Yuk, Nek, aku sudah siap!”
Nenek berjalan menghampiri Arini sambil
membawa kantong berisi sekotak kue. Mereka pun
akhirnya berangkat.
***
Nenek dan Arin memasuki pekarangan rumah
berpagar biru. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi
sangat sejuk karena banyak sekali tanaman dalam pot
yang ditata rapi di pekarangannya. Di teras rumah itu
terdapat tiga buah kursi dan sebuah meja bundar
kecil. Di salah satu kursi, duduk seorang bocah laki-
laki memangku seekor kucing berbulu coklat.
“Hai, Adi!” sapa Nenek.
108
Adi mendongak sambil tersenyum kepada
Nenek. Diturunkannya kucing dari pangkuan, lalu dia
berlari ke dalam rumah sambil berteriak, “Ibu, ada
tamu!”
Nenek menggandeng tangan Arini dan
mengajaknya duduk di bangku teras itu. Arini duduk
dan menatap sekelilingnya.
Tak lama kemudian, terdengar derap langkah
mendekati teras dan terlihatlah seorang wanita
sebaya dengan ibu Arini. Wanita itu menggendong
bayi dengan selendang batik sambil menggandeng
tangan Adi.
“Selamat pagi, Bu Budi, apa kabarnya?” sapa
Nenek.
“Kami sekeluarga baik, Nek. Terima kasih sudah
menjenguk kami,” jawabnya dengan suara yang sangat
ramah.
“Arini, ayo, ucapkan salam! Ini cucu saya yang
sedang menginap di rumah selama libur sekolah,” kata
Nenek.
Arini memperkenalkan diri sambil menyalami Bu
Rudi.
Nenek menanyakan kabar Doni, adiknya Adi.
Arini menatap Doni dalam gendongan Bu Budi dengan
109
rasa tertarik. Tanpa sadar, Arini telah beranjak dari
bangkunya, mendekati Bu Budi dan menyentuh Doni.
“Nenek, Arini ingin punya adik seperti Doni,”
kata Arini.
Bu Budi dan Nenek tertawa mendengarkan
ucapan Arini.
“Arini sering-sering main kemari saja, bermain
dengan Doni dan Adi. Liburnya masih panjang, kan?”
kata Bu Budi.
Arini menatap Nenek dan Adi bergantian, lalu
berkata, “Bolehkan, Nenek, kalau Arini besok kemari
lagi?”
“Tentu boleh, Arini sayang,” jawab Nenek.
Arini bersorak girang, “Wah, senangnyaaa!
Horeee! Adi, besok kita main, ya?”
Adi terlihat masih malu-malu di samping ibunya.
“Adi, besok ajak Arini main puzzle yang belum
Adi selesaikan, ya.”
“Wow ... puzzle! Arini suka main puzzle, Tante.
Sekarang aja, yuk!” sahut Arini kegirangan.
“Jangan sekarang, Arini! Kita harus membuat
kue sekarang. Besok saja, ya!” kata Nenek.
110
Arini tersenyum. “Baik, Nek. Tante, besok Arini
akan ke sini bermain dengan Doni dan Adi, ya,” ucap
gadis kecil itu.
“Ya, Arini. Kami menunggu dengan senang hati,”
jawab Bu Budi.
Tidak lama kemudian, Nenek dan Arini pamit
pulang. Bu Budi sangat berterima kasih kepada Nenek
karena sudah menjenguk Doni serta membawakan
beberapa potong kue. Bu Budi dan Adi mengantar
Nenek dan Arini sampai pintu pagar.
Matahari makin tinggi, Arini berjalan sambil
setengah melompat-lompat karena hatinya gembira
memikirkan rencana besok di rumah Adi.
“Nenek benar, ternyata kuenya memang Tuhan
sediakan untuk Adi sekeluarga, ya,” kata Arini sambil
tersenyum lebar.
Arini senang sekali. Ternyata, liburannya kali ini,
selain belajar membuat aneka kue dan membantu
Nenek di toko, dia mendapat teman baru. []
111
Lompat Batu
Dyse Nursa
Sumber: gambar dibuat Rahadyah Najma Kaisara diedit dengan ibispaintX
T angga batu yang harus dilalui masih panjang.
Namun, Adam mulai kelelahan, sedangkan Zokhi
sudah lebih dulu sampai di atas.
“Cepat naik! Lambat sekali kau!” teriak Zokhi
kepada Adam.
112
“Ama, kenapa Zokhi bisa cepat sampai di atas?”
tanya Adam.
“Karena tiap pagi dan sore, dia naik dan turun
tangga,” jawab ama Zokhi.
“Bagaimana cara mengatur napas supaya kuat
dan panjang?” tanya Adam.
“Tarik napas dari hidung, simpan di dada, lalu
keluarkan dari mulut. Terus dan fokus dengan pola
seperti itu,” jawab ama Zokhi.
Adam pun mempraktikkan sambil terus
berjalan menapaki anak tangga. Begitu Adam sampai
di atas, Zokhi memberikan air minum.
“Minumlah, lalu kita latihan Fahombo,” ucap
Zokhi.
Mereka berjalan menuju lapangan dengan
piramida batu di tengahnya.
“Wah, tinggi sekali! Bisa kau lompati, Zokhi?”
tanya Adam.
“Bisalah, akan kutunjukkan caranya,” jawab
Zokhi.
Zokhi bersiap-siap. Kakinya mulai berlari
cepat. Ketika sampai pada batu kecil yang menjadi
tumpuan, kakinya dihentakkan untuk melompat tinggi.
Tubuh Zokhi melayang di atas piramida batu besar
113
setinggi dua meter itu. Walaupun kaki belakangnya
sempat menyentuh batu besar, Zokhi berhasil
melompati piramida dan mendarat dengan baik di
tanah.
“Wow, kamu hebat!” ucap Adam sambil
bertepuk tangan.
“Belum berhasil. Kakiku masih menyentuh batu
besar,” jawab Zokhi.
“Ama, aku juga ingin bisa melompati batu
besar itu,” ucap Adam.
“Berlatihlah! Kau harus melatih kecepatan
serta kekuatan kaki dan tangan agar bisa melompat
dan mendarat dengan baik. Kau juga harus melatih
kelenturan badan agar bisa melayang di atas batu, ”
ucap ama Zokhi.
“Bisa tidak, ya?” ucap Adam ragu.
“Berlatihlah dengan rutin setiap pagi dan sore.
Kau bisa naik turun tangga, berayun-ayun di dahan
pohon. Mulailah melompat dari rintangan yang rendah
dan lama-lama makin tinggi,” jawab ama Zokhi.
Sejak saat itu, Adam rajin berlatih bersama
Zokhi. Adam akan pergi menemui sahabatnya itu
sepulang sekolah. Hal itu membuat ibu Adam menjadi
heran.
114
“Sekarang kau rajin menemui Zokhi, ada apa,
Dam?” tanya Ibu.
“Aku ingin mengikuti Fahombo Batu, Bu,” ucap
Adam.
“Apa? Ibu tidak mengijinkan kau ikut Fahombo
Batu,” jawab Ibu tegas.
“Kenapa, Bu?” tanya Adam.
“Fahombo Batu sangat berbahaya karena
melatih seseorang suka berperang, itu budaya
primitif,” jawab Ibu.
***
Keesokan harinya Adam menemui Zokhi.
“Ibu tidak mengizinkanku mengikuti Fahombo
Batu,” ucap Adam dengan kesal.
“Jangan putus asa, Adam!” ucap Zokhi
menyemangati sahabatnya itu. “Berlatihlah walau
tidak mengikuti Fahombo!” jawab ama Zokhi bijak.
Adam dan Zokhi berlatih dengan bimbingan
ama Zokhi. Semangat Adam yang tinggi membuatnya
cepat menguasai. Ternyata, kegigihan Adam
diperhatikan Duman Wau, tokoh pemuda adat desa
tradisional Bawomataluo.
“Kau mau ikut Fahombo bulan depan?” tanya
Duman Wau.
115
“Ibuku tidak mengizinkan. Menurut ibuku,
Fahombo adalah tradisi primitif yang mengajarkan
peperangan,” ucap Adam lirih.
“Kalau begitu, berikan buku yang berisi
sejarah Fahombo dan perannya sekarang sebagai
olahraga ini kepada ibumu. Bahkan, olahraga modern
seperti lompat jauh, lari halang rintang mirip dengan
olahraga tradisional Fahombo Batu,” terang Duman
Wau.
“Sampaikan juga kepada ama dan ina Adam,
kami mengundang ke pesta Fahombo bulan depan,”
ucap ama Zokhi.
Sampai di rumah, Adam menyerahkan buku
tersebut kepada ibunya.
“Buku tentang tradisi dan adat istiadat suku
Nias ini hadiah untuk Ayah dan Ibu dari Duman Wao,
pimpinan pemuda Desa Bawomataluo,” ucap Adam.
“Oh, kau masih latihan Fahombo?” tanya Ibu
kurang senang.
“Iya, Bu, tetapi untuk olahraga. Ama dan ina
Zokhi juga mengundang Ayah dan Ibu ke pesta adat
Desa Bawomataluo bulan depan,” ucap Adam.
“Oh, ya? Kita datang, yuk, Bu!” ucap Ayah
semangat.
116
“Baiklah, asalkan Adam tidak ikut Fahombo,”
jawab Ibu.
***
Pada hari perayaan Fahombo Batu, Ayah, Ibu,
dan Adam datang satu jam lebih awal. Mereka sampai
di gerbang pintu masuk Desa Bawomataluo.
“Dam, banyak sekali tangganya?” ucap Ibu.
“Iya, Bu. Desa Bawomataluo artinya Bukit
Matahari, letaknya di atas bukit. Jadi, kita harus
melewati 86 anak tangga ini,” jawab Adam.
Sesudah melewati anak tangga, sampailah
mereka di Desa Bawomataluo. Tampak banyak pemuda
mengenakan baju pejuang khas Nias. Ama, ina Zokhi,
dan Duman Wao datang menyambut mereka.
“Selamat datang, Ama, Ina. Perkenalkan, saya
Duman Wao, ini ama dan ina Zokhi,” sambut Duman
Wao.
“Mari, berkeliling melihat kampung kami!”
sambut ama Zokhi.
“Ini Omo Hada, rumah adat yang terbuat dari
kayu tanpa paku. Di dalamnya tersimpan peninggalan
dari leluhur kami, seperti pusaka, patung, dan pakaian
adat.” Ama Zokhi menjelaskan kepada ayah dan ibu
Adam.
117
“Desa ini tempat yang indah untuk menikmati
sunrise dan sunset. Sejak tahun 2018, Desa
Bawomataluo ditetapkan sebagai Desa Cagar Budaya
oleh Kemdikbud. Sekarang sedang diajukan sebagai
situs budaya dunia,” ucap Duman Wao.
“Desa Bawomataluo memiliki tradisi yang
tinggi,” puji Ayah dan Ibu.
“Saohagolo, Ama, Ina, terima kasih, Bapak,
Ibu, atas pujiannya. Mari kita melihat Fahombo Batu!”
jawab Duman Wao.
Sebuah bangunan terdiri dari tumpukan batu
berbentuk piramida dengan tinggi 2 meter, lebar 40
cm, dan panjang 60 cm terletak di tengah tanah yang
datar.
“Ama, Ina, kami mohon izin mengajak Adam
mengikuti Fahombo. Adam sudah mahir karena sudah
satu tahun berlatih bersama Zokhi,” ucap ama Zokhi.
“Piramidanya tinggi sekali. Apakah aman untuk
Adam?” tanya Ibu.
“Adam sudah bisa melompatinya, Ina,” ucap
ama Zokhi yakin.
“Baiklah.” Ibu akhirnya mengizinkan.
“Hore!” teriak Adam dan Zokhi gembira.
118
Adam pun bersiap-siap. Pakaian adat pejuang
Nias telah dipakainya. Satu persatu para pemuda
melakukan pemanasan. Setelah itu, mulailah bergiliran
para pemuda melompati piramida batu. Penonton
bertepuk tangan dan bersorak sorai menyemangati.
Giliran berikutnya, Adam sudah bersiap-siap.
Dia mulai berlari cepat. Ketika sampai pada batu kecil
yang menjadi tumpuan, kakinya dihentakkan untuk
melompat tinggi. Tubuh Adam melayang di atas
piramida batu.
Mata Ayah dan Ibu tak berkedip, dadanya
berdebar-debar, khawatir Adam jatuh dan cedera.
Piramida batu setinggi dua meter itu berhasil
dilompati. Kaki dan tangan Adam mendarat dengan
baik di tanah.
“Wow, Adam hebat!” ucap Ayah dan Ibu bangga
sambil bertepuk tangan.
Betapa bangga dan bahagia Adam mendapat
pujian dari Ayah dan Ibu.
“Terima kasih, ama Zokhi, telah membimbing
anak kami menjadi setangkas ini,” ucap Ayah sambil
membungkuk kepada ama Zokhi.
119
“Sama-sama, Pak. Mari, ke rumah, kami sudah
memotong beberapa ekor ayam untuk merayakannya.
Ina Zokhi sudah memasaknya,” ucap ama Zokhi.
***
Sesudah makan bersama, Ayah, Ibu, dan Adam
pamit.
“Sekali lagi, saohagolo, terima kasih,” ucap Ayah
kepada ama Zokhi.
“Saohagolo. Dafalakhi sui, sampai jumpa lagi,”
jawab ama Zokhi.
“Dafalakhi sui, sampai jumpa lagi” balas Ayah.
Indahnya persahabatan yang tulus. Perbedaan
adalah awal untuk saling mengenal, memahami, dan
akhirnya saling menghargai dan menghormati. []
120
Tentang Penulis
Dyse Nursa adalah nama
pena dari Dyah Sari Endah
Nursasongko. Beberapa
novel dan antologi yang
telah ditulis antara lain,
Misteri Burung Araya,
Penjelajahan Chelonia, When The Wind Blows, The
perfect Live, Pohon Menangis, Tarian Juara, Misteri
Ternak, dan Purple. Selain itu Fabel Semua Juara dan
Petualangan Menegangkan Bayi Paus Biru
dipublikasikan dalam Instagram Corousel. Sementara
itu, “Mars TK ZAIS”, “Mars SD ZAIS”, dan
“Indonesia Tanah Airku” adalah lagu karya Dyse
Nursa yang telah dipublikasikan.
Instagram : Dyse Nursa
Facebook : Dyah Sen
Email : [email protected]
121
Kejutan Saat Liburan
Prudence Patricia
Sumber: Sketchify /Canva
“E va, ayo, cepat!” seru Ayah dari depan rumah.
“Iya, Ayah, sebentar,” jawab Eva sambil
berlari ke luar rumah.
Eva menghampiri Ayah dan Ibu yang sudah
menunggu di dalam mobil. Hari ini mereka akan
berangkat ke Kota Batu, Malang.
122
Sebenarnya, Eva tidak ingin ikut bersama ayah
dan ibunya ke Kota Batu karena besok adalah hari
libur sekaligus hari ulang tahunnya yang kedelapan.
Eva bilang, dia ingin merayakan hari ulang tahun
bersama teman-temannya, bukan malah menemani
Ayah untuk urusan pekerjaan.
Perjalanan dari Surabaya ke Kota Batu hanya
dua jam. Sepanjang jalan, Eva hanya diam dan
cemberut.
“Eva, kenapa diam saja, Nak?” tanya Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu. Eva hanya mengantuk,”
jawab Eva.
“Kalau tidak ada apa-apa, harusnya Eva senang,
dong, kita mau ke Kota Batu. Kota Batu, kan, terkenal
banyak tempat wisatanya.” Ibu mencoba menghibur
Eva.
“Iya, sih, Bu. Memang, Kota Batu banyak tempat
wisatanya, tapi kita ke sana bukan buat liburan.” Eva
mengatakan perasaannya kepada Ibu.
“Ya, sudah. Nanti kalau ada waktu luang, kita ke
Museum Angkut biar Eva bisa liburan sambil belajar
sejarah angkutan di Indonesia,” ucap Ibu sambil
tersenyum kepada Eva yang duduk di kursi belakang.
123
Tidak terasa, tepat pukul 15.00 WIB, mereka
sudah sampai di depan vila yang disewa Ayah selama
tinggal di Kota Batu. Vila Mawar tertulis di bagian
depan vila itu. Vila itu berlantai dua. Halaman
depannya cukup luas, ditanami bunga mawar putih dan
merah. Di bagian dalam vila terdapat ruang keluarga,
dua kamar yang saling berhadapan, serta di bagian
belakang vila ada kolam renang.
“Ibu, lihat, ada kolam renang!” teriak Eva
dengan girang kepada Ibu.
“Iya, Nak. Kalau Eva mau berenang, ganti baju
dulu.” Ibu membuka koper untuk mengambil baju
renang Eva.
Eva mengganti bajunya dan berenang sendiri.
Sementara itu, Ibu merapikan barang-barang yang
dibawa dari Surabaya.
“Eva, sudah, Nak. Sudah sejam kamu berenang.”
Ibu memanggil Eva dari pinggir kolam.
“Naik dulu, Nak! Besok lagi dilanjut
berenangnya. Ini Ayah bawa bakso buat Eva.” Ayah
ikut memanggil Eva sambil membawa bakso Malang di
tangannya.
124
Eva yang memang sangat suka bakso, bergegas
mandi dan mengganti pakaian. Kemudian, gadis kecil
itu makan bersama Ayah dan Ibu.
“Setelah makan, Ayah mau keluar sebentar, ya,
Nak. Ada urusan,” ucap Ayah.
“Eva di rumah saja istirahat sama Ibu.” Ibu
menambahi.
Eva dan Ibu langsung beristirahat setelah Ayah
pamit untuk keluar.
***
“Eva, bangun, Nak.” Ibu membangunkan Eva
ketika hari sudah pagi.
Eva menggeliat di balik selimut tebal yang
membungkus tubuh mungilnya. “Iya, Bu,” jawabnya
dengan suara serak.
“Langsung mandi, ya, Nak! Kita mau keluar,”
pinta Ibu sambil menyodorkan handuk.
“Baik, Bu.” Eva bergegas turun dari tempat tidur
setelah mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Eva sarapan
bersama Ayah dan Ibu.
“Hari ini kita mau ke mana, Bu? Bukannya Ayah
mau rapat?” tanya Eva.
125
“Kita mau ke Museum Angkut, Nak. Kebetulan,
Ayah rapat di sana,” jawab Ibu.
“Memangnya, bisa rapat di sana, Bu?” tanya Eva
tidak yakin.
“Bisa, dong. Ada ruangan khusus untuk meeting
di sana,” jawab Ayah.
“Oke, Ayah, Ibu, aku sudah selesai sarapan.
Ayo, kita berangkat!” seru Eva senang.
Eva, Ayah, dan Ibu bergegas menuju mobil dan
berangkat ke Museum Angkut. Setelah sepuluh menit
perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
“Ibu, aku mau ke kamar kecil dulu,” ucap Eva.
“Baik, Nak. Kita masuk dulu, baru cari kamar
kecil, ya.” Ibu menggandeng tangan Eva.
Eva, Ayah, dan Ibu mengantre untuk masuk ke
wahana Museum Angkut. Ibu membayar tiket untuk
mereka bertiga. Mereka diberi tiket berbentuk
gelang yang dipasang di pergelangan tangan.
“Eva, ke kamar kecilnya ditemani Ayah saja, ya.
Ibu tidak bisa, Nak. Ibu ada urusan di atas. Setelah
selesai nanti, Eva dan Ayah langsung ke lantai tiga
saja. Ibu tunggu di pesawat Boeing 737-200,” kata
Ibu.
126
Ayah yang berdiri di samping Ibu, mengangguk.
Ayah mengajak Eva ke kamar kecil. Setelah selesai,
Eva dan Ayah menuju lantai tiga seperti petunjuk Ibu
tadi.
Saat ingin memasuki pesawat, Eva melihat
seseorang yang mencurigakan, laki-laki tua membawa
baskom tertutup. Dari baskom itu, keluar tetesan
seperti darah. Eva hendak mengajak Ayah untuk
mengikuti orang tersebut yang berjalan ke dalam
pesawat. Namun, baru saja mereka memasuki pesawat
tersebut, Eva dikagetkan dengan tepukan Ibu yang
tiba-tiba berdiri di belakangnya. Akhirnya, Eva
mengikuti Ibu masuk ke pesawat.
“Selamat ulang tahun, Eva!”
Ketika tiba di dalam pesawat, Eva dikagetkan
dengan teriakan Ibu, Ayah, dan sahabat Eva, yaitu
Lala dan Rena yang sudah berada di dalam pesawat
itu.
“Selamat ulang tahun, Adik Eva,” ucap seorang
kru pesawat yang memegang kue tar berwarna pink
dan di belakangnya ada beberapa kru lain, termasuk
laki-laki tua yang tadi hendak Eva ikuti.
127
Eva kaget menyaksikan semuanya. Tanpa
sepengetahuannya, ternyata Ibu sudah
mempersiapkan pesta kejutan.
“Eva kira, Ibu dan Ayah sudah lupa ulang tahun
Eva,” ucap Eva sedih.
“Mana mungkin Ibu dan Ayah lupa ulang
tahunmu, Nak.” Ibu mengelus kepala Eva.
“Ayah dan Ibu sudah merencanakannya jauh
hari, Nak. Kami juga meminta Lala dan Rena bisa hadir
di hari yang spesial ini.” Ayah memeluk Eva.
“Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya, Nak.” Ibu
dan Ayah bersamaan memeluk putri kecil mereka.
“Selamat ulang tahun, Eva,” timpal Lala dan Rena
dengan raut wajah senang.
“Terima kasih karena sudah repot-repot ke
sini,” ucap Eva.
“Bu, makanannya sudah siap,” ucap seorang kru
pesawat kepada Ibu.
“Oh, iya, terima kasih, Mbak,” jawab Ibu sambil
tersenyum.
“Ayo, kita makan bakso kesukaan Eva!” ajak
Ayah bersemangat.
Semuanya menuju sebuah meja yang sudah
terhidang bakso sesuai pesanan Ayah dan Ibu.
128
“Ibu, siapa laki-laki tua yang tadi membawa
baskom itu? Dia terlihat mencurigakan.” Eva berbisik
kepada ibunya sebelum menyantap bakso.
“Oh, itu pegawai di sini, Nak. Tadi dia sedang
membawa saos untuk bakso.“ Ibu sedikit tertawa.
Raut wajah Eva memerah karena malu.
Setelah makan bersama, mereka menyanyikan
lagu selamat ulang tahun, kemudian memotong kue
tar.
“Mumpung di Museum Angkut, ayo, kita jalan-
jalan!” ajak Ayah.
Mereka kemudian berkeliling melihat koleksi
jenis angkutan tradisional hingga modern. Museum
Angkut terbagi dalam beberapa zona yang didekorasi
dengan setting landscape model bangunan dari Benua
Asia, Eropa, serta Amerika. Mereka menikmati hari
itu dengan penuh canda dan tawa.
Ini adalah liburan dan hari ulang tahun yang
paling menyenangkan, ucap Eva dalam hati. []
129
Profil Penulis
Halo, saya Prudence Patricia. Lahir pada bulan
Desember tahun 1995, tepat dua hari setelah natal.
Seorang teknisi yang mencoba mengisi waktu dengan
menulis meskipun saat ini juga sedang menyusun
skripsi. Ini adalah cerita anak pertama yang saya tulis
sehingga masih perlu banyak belajar dan berlatih.
130
Juz 27 Fatihah
Sulis Ari
Sebaik-baik manusia adalah orang yang belajar Alqur’an
dan mengajarkannya
(Hadits riwayat Bukhari).
Sketchify/Canva Clouds dari Captain images/Canva
Rabu pagi, 8 Januari 2020.
F atihah gadis kecil kelas lima SDIT Flowing
Qur'an itu merengut kesal saat motor Pakde
Solihin—tetangga yang juga ojek motor langganan
131
antar jemputnya—tiba-tiba mogok. Padahal jarak ke
sekolah masih cukup jauh, kurang lebih dua ratus
meter. Jika Fatihah terlambat masuk, berarti ia
terlambat menyetorkan hafalan Al-Qur'an juz 27-
nya.
"Aduh, maaf, ya, Kak. Motornya Pakde utak atik
dulu. Kakak harus jalan kaki ke sekolah, ya," ujar
Pakde Solihin.
"Iya, gak apa-apa. Aku jalan dulu, Pakde," ujar
Fatihah pamit dan mulai melangkahkan kaki menyusuri
jalan kampung yang juga ramai dilalui motor karena
jalan utama macet.
"Kak Fatihah!" seru seseorang dari motor yang
sedang melintas. Kendaraan roda dua tersebut
memutar balik menghampiri gadis berjilbab seragam
hijau itu.
"Kok jalan kaki?" tanya pengendara motor
tersebut saat sudah menghentikan kendaraan roda
duanya.
"Eh, Ayah Nadiva. Iya, Om. Motor Pakde ojegku
mogok," jawab Fatihah pada ayah sahabatnya itu.
"Oh, gitu. Ya, udah, ayo, naik! Om antar ke
sekolah," ajak ayah Nadiva.
132
"Alhamdulillah, makasih, ya, Om." Fatihah
tersenyum. Jika begitu berarti ia akan tetap bisa
menyetorkan hafalan juz 27-nya tanpa terlambat.
***
"Murid-murid, harap mengulang-ulang hafalan
Al-Qur'annya di rumah, ya. Bapak salut kalian
mempunyai potensi yang luar biasa. Diberikan Allah
kemampuan untuk bisa menghafal Al-Qur'an hingga
tiga juz hari ini, bahkan sedang berjuang menuju
empat juz. Hanya yang bersungguh-sungguh yang akan
berhasil. Dan ingat, walaupun kalian sedang berusaha
menghafal juz dua puluh tujuh, tetapi juz tiga puluh,
dua puluh sembilan, dan dua puluh delapan harus tetap
diulang-ulang agar tidak lupa, ya. Terima kasih sudah
menyetorkan hafalannya. Silahkan sekarang masuk ke
kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya," ucap
Pak Priyadi, bapak kepala sekolah yang turun tangan
langsung sebagai guru fasilitator kelompok juz dua
puluh tujuh pada Fatihah dan kelima rekannya.
Setelah membaca doa penutup majelis, anak-
anak tersebut berlarian meninggalkan ruang
muroja'ah menuju kelas mereka.
"Fat, kamu lancar setorannya? Iiih, aku nggak,
tauuu! Harus ngulang lagi surat Al-Jin. Males aku, niih,
133
bete!" lapor Aqil begitu masuk kelas dan duduk di sisi
gadis kalem itu.
Fatihah tersenyum, sudah terbiasa dengan
curhatan Aqil yang juga sahabatnya. Sebenarnya Aqil
mampu dan cerdas, tetapi semangatnya menghafal juz
dua puluh sembilan sedang menurun. Tiap anak
memang berbeda hafalannya, sesuai kemampuan
masing-masing. Fatihah dan kelima teman lainnya
masuk kelompok cepat dalam menghafal Al-Qur'an.
"Sabaaar, harus sering diulang emang. Kan,
orang sabar disayang Allah,” ujar Fatihah sambil
tertawa.
"Iya, kayak kamu, ya! Kamu tuh sabaar, sabaaar,
dan sabaaar," kata Aqil sambil menyenggol lengan
Fatihah.
Keduanya tertawa. Namun, mereka segera
terdiam dan membenarkan posisi duduk saat Bu Laura
guru mata pelajaran IPA memasuki kelas.
***
Senin pagi, 13 April 2020.
Fatihah sudah rapi dengan seragam putih-putihnya
duduk di depan laptop dalam kamar. Ia berusaha
masuk dalam Zoom meeting kelasnya. Ibu tak bisa
mendampingi karena mengurus Faqeeh—adiknya—
134
yang menangis, sedangkan Ayah sudah berangkat
dinas sejak tadi. Fatihah tersenyum lega saat
berhasil bergabung. Tampak wajah-wajah beberapa
temannya yang sudah lebih dulu hadir. Pandemi
COVID-19 semakin banyak memakan korban jiwa,
sehingga pemerintah memutuskan sekolah diadakan
secara daring.
***
Bakda Isya, 5 Juni 2020.
"Kak, kenapa?" tanya Ibu saat melihat Fatihah turun
dari tangga kamarnya dengan wajah cemberut.
"Setoranku gak lancar, Bu. Harus diulang lagi
besok," jawab Fatihah lalu duduk di sofa panjang
sebelah Ibu yang sedang memangku Faqeeh. Pak
Priyadi memang meluangkan waktu boleh setoran
dengan video call di luar jam sekolah setelah membuat
perjanjian terlebih dahulu.
"Oh, ya sudah, gak apa-apa. Kan, dengan
mengulang-ulang insyaallah pahala yang Kakak dapat
semakin banyak. Niatkan untuk mencari ridho Allah,
ya, Kak," sahut Ibu tersenyum menghibur.
"Iya, insyaallah karena Allah. Tapi aku capek!
Bosen juga setoran pakai video call dan rekam video.
Aaah!" ucap Fatihah lagi masih cemberut.
135
"Naah, ini tugas Kakak. Mohon pada Allah agar
pandemi COVID-19 segera berakhir dan Kakak bisa
sekolah tatap muka lagi. Insyaallah doa penghafal Al-
Qur'an diijabah Allah," tukas Ibu menguatkan.
"Iya, Bu."
Fatihah masih kesal. Menurutnya, Ibu tak
mengerti betapa menjenuhkan sekolah virtual yang
sudah berjalan tiga bulan ini. Harus duduk di depan
laptop menghadiri Zoom meeting, tidak bisa berbisik-
bisik dengan teman saat guru menjelaskan pelajaran.
Apalagi setoran hafalan Al-Qur'an juz 27-nya,
kadang harus merekam sendiri videonya sebelum
dikirim via WA ke Pak Priyadi. Ia harus mengecek lagi,
mencocokkan dengan Al-Qur'an dan mengulangi lagi
jika ada yang terlewat.
Bakda Subuh, gerimis di luar membuat siapa pun
ingin bermalas-malasan di tempat tidur. Fatihah
hanya menatap Al-Qur'annya. Ia masih duduk di atas
sajadah setelah berdoa pada Allah Swt. agar
diberikan semangat lagi dalam menghafal Al-Qur'an.
Gadis kecil itu telah merampungkan setoran
harian juz 27-nya dan mulai mengulang menyetorkan
hafalan untuk mengikuti proses wisuda Al-Qur'an.
Jika Fatihah mampu menyelesaikan setoran ulang juz
136
27 sesuai jadwal yaitu sekitar dua bulan, maka ia
berhak mengikuti wisuda Al-Qur'an dan mendapat
sertifikat tanda kelulusan juz 27.
Allah Swt. sudah menjanjikan bahwa seorang
penghafal Al-Qur'an akan membawa sepuluh orang
keluarganya untuk memasuki surga. Fatihah sayang
keluarganya dan ingin mewujudkan hal itu. Namun,
pandemi yang berkepanjangan dan sekolah daring
membuatnya jenuh dan turun semangat dalam
menghafal.
"Masyaallah tabarakallah, Fatihah, kamu bisa
menyetorkan surat Ar-Rahman langsung satu surat.
Tiga lembar, lho, ini! Semangat terus, ya. Insyaallah
dengan berusaha maksimal, Fatihah bisa ikut wisuda
Al-Qur'an juz 27. Jangan lupa jaga kesehatan.
Semoga Allah mudahkan Fatihah dalam menghafal.
Barakallah, Nak," ujar Pak Priyadi melalui video call
hari itu.
Fatihah izin menutup panggilan setelah
membaca doa penutup majelis. Gadis kecil itu
tersenyum. Semangatnya tersulut lagi.
***
137
14 Desember 2020.
Fatihah didampingi Ayah dan Eyang Uti menghadiri
Wisuda Al-Qur'an drive thru di sekolah.
Perjuangannya untuk meraih impian mengikuti Wisuda
Al-Qur'an juz 27 di semester ini berhasil. Ibu tidak
bisa mendampingi karena masih sibuk mengurus
Faqeeh saat Fatihah harus berangkat ke sekolah.
***
5 Juni 2021.
Wisuda kelulusan kelas 6 diadakan secara sederhana
dengan prokes ketat. Fatihah mendapat piala
penghargaan penghafal Al-Qur'an terbaik. Amanah
yang luar biasa untuknya, harus menjaga hafalannya
agar tidak berkurang apalagi hilang. Selain doa dan
usaha, yang utama adalah ridho dan rahmat Allah
Yang Mahasempurna hingga ia bisa meraih prestasi
mulia tersebut. []
138
Tentang Penulis
Sulis Ari adalah ibu tiga orang
anak. Bernama lengkap
Sulistianingsih. Lahir di Jakarta
tahun 1977. Pernah berprofesi
sebagai bidan dan kini tertarik
menekuni literasi. Turut
berkontribusi menulis buku-buku
antologi. Berharap dengan menulis, ada manfaat yang
direguk pembaca. Berpikir positif akan takdir Allah
Swt. dan terus belajar lebih baik adalah moto
hidupnya.
139
Tarian Juara
Dyse Nursa
Sumber: dibuat oleh Debby Aryani menggunakan Corel Draw
A lunan lagu yang sedang terkenal itu terdengar
sangat indah. Tubuh Brian meliuk-liuk
mengikuti irama lagu tersebut. Kaki, tangan, dan
badan Brian bergerak lentur. Begitu pula raut wajah
dan matanya yang ekspresif menghayati setiap
140
hentakan musik. Semua mata tertuju kepada Brian
yang sedang berada di toko sepatu yang ramai.
“Brian, kamu dilihatin orang banyak,” tegur
Khansa.
“Biarin!” jawab Brian.
“Sepatu yang akan kamu beli sudah dapat
belum?” ucap Khansa.
“Belum, yuk, bantuin! Carikan nomor 34!” ucap
Brian.
Setelah selesai membayar sepatu yang dibeli,
mereka pun berjalan pulang.
“Brian, kamu serius mau mengikuti kompetisi
tari itu?” tanya Khansa.
“Iya, dong! Nih, aku sudah beli sepatu baru,”
ucap Brian.
“Ayahmu mengizinkan?” tanya Khansa
penasaran.
“Aku belum ngomong sama Ayah,” ucap Brian.
“Waduh, bahaya!” ucap Khansa.”Kalau tidak
diizinkan, bagaimana?”
“Aku akan tetap ikut. Aku suka sekali menari.
Aku ingin sekali menciptakan banyak tarian,” jawab
Brian mantap. “Tetapi, aku lagi bingung, nih! Di
141
formulir pendaftaran harus ada tanda tangan orang
tua, bagaimana, ya?”
“Coba izin dulu sama ayah dan ibumu!” ucap
Khansa menguatkan.
“Iya, semoga berhasil. Terima kasih, Sa,” jawab
Brian.
Begitu sampai di rumah, Brian sengaja
meletakkan sepatu barunya di atas meja ruang
tengah.
“Brian beli sepatu baru?” tanya Ayah.
“Iya, Yah. Bagus, kan? Rencananya, mau dipakai
untuk lomba tari. Boleh, ya, Yah?” ucap Brian sambil
merajuk.
“Apa? Jadi, Brian masih menari?” tanya Ayah
menyelidik.
“Iya, Yah,” jawab Brian pelan.
“Brian, Ayah tidak izinkan! Seorang laki-laki
tidak pantas menari!” ucap Ayah tegas.
“Tapi, Brian suka menari,” ucap Brian sedih.
“Tidak boleh! Kamu boleh ikut futsal, silat,
bulutangkis, dan kegiatan olahraga lain, tetapi tidak
boleh ikut menari. Titik!” ucap Ayah tegas.
Brian kecewa. Ternyata, Ayah belum terbuka
hatinya.
142
***
Esoknya di sekolah, Khansa mendekati Brian
yang tampak murung pada saat jam istirahat.
“Hei, melamun! Kenapa?” tegur Khansa kepada
Brian.
“Ayahku tidak mengizinkan. Padahal, besok
pendaftaran sudah ditutup,” jawab Brian.
“Oh, begitu? Bagaimana jika kamu minta tanda
tangan Nenek?” tanya Khansa memberi ide.
“Oh, iya, kamu pintar Khansa,” ucap Brian.
***
Pada hari Minggu mereka pergi ke rumah nenek
Brian yang tinggal di kecamatan berbeda. Brian minta
tolong kepada Mang Robani—tetangganya yang suka
bawa angkot—untuk mengantar.
“Apakah ayah dan ibumu tahu kalau kita akan ke
rumah Nenek?” tanya Khansa.
“Tidak! Aku bilang mau main ke rumahmu,” jawab
Brian.
Sampai di rumah Nenek, Brian senang sekali.
Selain bertemu dengan sosok yang diidolakan—karena
nenek Brian seorang penari, di halaman rumah Nenek
banyak ditanami buah-buahan.
143
“Nek, Brian ingin ikut kompetisi menari, tetapi
Ayah tidak setuju.”
“Jangan patah semangat, Brian, teruslah
berlatih! Nenek mendukungmu,” jawab Nenek sambil
tersenyum.
“Kalau begitu, Nenek saja yang tanda tangan
formulir pendaftaran lomba menari ini. Brian ingin
berprestasi dan punya piala yang bisa Brian
banggakan di depan Ayah, Ibu, dan teman-teman,”
ucap Brian.
“Iya, sini Nenek tanda tangan! Tenang, Nenek
akan bilang baik-baik ke ayah dan ibumu,” ucap Nenek
menyemangati.
“Tarian apa yang akan Brian tampilkan?” tanya
Nenek kemudian.
“Tari Pesona Nusantara, Brian ciptakan sendiri,
lo,” jawab Brian bangga.
“Wah, hebat! Seperti apa tarian itu?” tanya
Nenek.
“Perpaduan beberapa gerakan tari tradisional
dari berbagai daerah. Ada silat yang gagah, ada Jawa
yang lentur, ada Papua yang lincah, dan beberapa
tarian nusantara lain, diakhiri dengan lompatan tinggi
144