The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by smpn2kalikajar, 2022-10-11 03:33:38

GEMPITA ANAK NUSANTARA

GEMPITA ANAK NUSANTARA

Keywords: GEMPITA ANAK NUSANTARA

dari gerakan Fahombo Batu dari Nias.” Brian
menjelaskan sambil tersenyum.

“Wah, keren! Nenek akan datang melihat Brian
saat lomba,” ucap Nenek.

“Terima kasih, Nek,” jawab Brian sambil
memeluk Nenek.

***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Lomba
tari tingkat provinsi itu diselenggarakan di Gedung
Kesenian. Ternyata, Brian mendapatkan giliran tampil
terakhir. Nomor yang diambilnya adalah 37. Brian
sedikit kecewa karena khawatir penampilan terakhir
sudah tidak ada yang menonton dan jurinya sudah
kelelahan. Akan tetapi, Nenek dan Khansa terus
menyemangati.
“Tenang saja, justru Brian bisa mempelajari
penampilan penari-penari lain. Mencari kelemahan
mereka dan tunjukkan keunggulan tarian yang Brian
ciptakan,” ucap Nenek.
“Iya, Yan. Aku akan tepuk tangan paling keras
untukmu,” ucap Khansa.
Brian mengikuti saran Nenek. Matanya tidak
berkedip mengamati semua penari yang tampil. Dia
belajar dari mereka semua, mulai dari teknik menari,

145

penghayatan, pola lantai, musik, kelenturan, dan
semuanya.

Akhirnya, sampailah giliran Brian tampil.
Karena tampil terakhir, dia berusaha mencuri
perhatian penonton dan dewan juri dengan melakukan
lompatan salto sebagai penghormatan awal.

Khansa langsung bertepuk tangan dengan
semangat untuk menggugah penonton ketika Brian
mulai melakukan salto. Suasana bersemangat kembali.

Musik kreasi tarian Brian yang menghentak-
hentak dengan perpaduan musik modern dan
tradisional menjadi alunan yang indah didengar.
Kelenturan gerakan tari yang Brian tampilkan begitu
memukau. Belum lagi, kecepatan gerak serta pola
lantai yang sangat bervariasi membuat semua orang
berdecak kagum. Brian betul-betul menjadi bintang
hari itu. Bahkan, juri pun sampai berdiri untuk
memberikan tepuk tangan penghormatan pada akhir
penampilan Brian.

“Brian, kamu hebat!” teriak Khansa kagum.
Pembawa acara akhirnya memberi waktu satu
jam untuk istirahat dan juri akan melakukan rapat
penentuan juara.

146

Saat pengumuman tiba, walaupun banyak yang
mengatakan Brian akan menjadi juaranya, dia tidak
ingin takabur karena peserta lain juga banyak yang
tampil memukau. Apa pun hasilnya, Brian sudah
bangga dan bahagia bisa menyalurkan hobinya.

Sayang sekali, Ayah dan Ibu tidak datang, batin
Brian.

“Brian, kamu juara satu!” teriak Khansa.
“Apa?” ucap Brian tidak percaya.
“Selamat, Sayang,” ucap sebuah suara yang
tidak asing di telinga Brian.
Brian lalu membalikkan badan. Ayah dan Ibu
sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum.
“Ayah, Ibu, kapan datang?” tanya Brian tidak
percaya.
“Kami sudah datang dari tadi. Ayah dan Ibu
melihatmu tampil. Kamu luar biasa!” ucap Ayah
memuji.
“Selamat, ya, Sayang,” ucap Ibu sambil
memeluk Brian.
Brian bahagia sekali, lebih bahagia daripada
mendapatkan juara satu tadi. Ayah dan Ibu bisa
datang melihatnya menari dan menunjukkan rasa
bangga terhadap hasil karyanya. []

147

Tentang Penulis

Dyse Nursa adalah nama

pena dari Dyah Sari Endah

Nursasongko. Beberapa

novel dan antologi yang telah

ditulis antara lain, Misteri

Burung Araya, Penjelajahan Chelonia, When The

Wind Blows, The perfect Live, Pohon Menangis,

Fahombo Batu, Misteri Ternak. dan Purple. Selain itu

Fabel Semua Juara dan Petualangan Menegangkan

Bayi Paus Biru dipublikasikan dalam Instagram

Corousel. Sementara itu, “Mars TK ZAIS”, “Mars SD

ZAIS”, dan “Indonesia Tanah Airku” adalah karya

lagu yang telah dipublikasikan.

Instagram : Dyse Nursa

Facebook : Dyah Sen

Email : [email protected]

148

Perjuangan Meraih
Impian

Nur Widayati

Nosyvery, Blueringmedia, Srigallery, Djvstock/Canva Pro

A inun, Rita, dan Aisyah sedang bermain lompat
tali di kebun. Mereka biasa bermain bersama
sampai sore.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari
belakang kebun.

“Tolong! Toloong!” jerit Bu Narti.
149

Mereka segera berlari. Terlihat Bu Narti
terduduk lemas sambil menunjuk ke sungai. Tidak
lama banyak orang juga berdatangan. Tiba-tiba Ayah
melompat ke sungai dan berenang dengan gesitnya.
Pak Budi dan Pak Ali juga ikut membantu. Ternyata
Aina—anaknya Bu Narti—hampir tenggelam di sungai.
Alhamdulillah, usaha mereka berhasil. Mereka segera
membantu mengeluarkan air yang terminum oleh Aina
lalu membawa Aina ke Puskesmas terdekat.

Usaha penyelamatan terhadap Aina sangat
fantastis bagi Ainun. Ia kagum melihat kelihaian Ayah
dalam berenang. Ainun ingin menjadi atlet renang.

Ainun mendekati Ayah dan membujuk agar mau
mengajarinya. Awalnya Ayah ragu, tetapi melihat
kesungguhan Ainun, Ayah tidak tega.

“Sungguh kamu ingin bisa berenang, Nun?”
“Iya, Yah. Aku ingin melaksanakan perintah
Rosulullah agar kita belajar berenang, memanah, dan
berkuda.” jawab Ainun dengan cepat.
“Oke, besok kita belajar di sungai. Ayah
carikan yang airnya dangkal, ya,” ucap Ayah dengan
lembut.
Pagi itu Ainun dan Ayah mulai latihan berenang
di sungai. Ainun memperhatikan semua gerakan yang

150

dicontohkan meskipun agak canggung. Ia tekun
belajar dan tak mudah menyerah.

Berkat keuletan Ainun dan kesabaran Ayah,
setelah sebulan berlatih akhirnya usaha mereka
membuahkan hasil. Ainun sudah gesit dan lincah dalam
berenang meskipun belum kuat menempuh jarak jauh.

***
Pagi itu pelajaran Penjaskes berlangsung, Pak
Guru menjelaskan tentang POPDA yang diikuti oleh
murid sekolah dasar. Lomba ini meliputi mata
pelajaran olah raga. Banyak cabang yang bisa diikuti
anak-anak, tergantung kemampuannya masing-masing.
Rita mengikuti cabang atletik, Aisyah ikut bola
voli, Nia ikut lompat tinggi, sedangkan Ainun tidak
ditunjuk oleh gurunya. Ia teringat kata-kata Pak Rudi
kemarin. Ada satu cabang yang tidak ada peserta dari
sekolah ini.
“Nun, apakah kamu sakit?” tanya Rita.
“Aku tidak sakit, aku ingin sepertimu bisa ikut
lomba POPDA,” jawab Ainun lesu.
“Emang kamu ingin ikut cabang apa?”
“Aku ingin ikut renang, Rit. Tapi apa Pak Rudi
mengizinkan aku ikut, ya?”

151

“Kamu bisa renang? Biar aku bantu bicara
dengan Pak Rudi, ya.”

Ainun mengangguk. Secercah harapan muncul
di hatinya.

***
Pagi itu semua atlit yang mau mengikuti POPDA
harus latihan. Ainun menatap teman-teman dengan
pandangan iri. Ia juga ingin ikut lomba.
Tiba-tiba Rita mendekati Ainun dan menarik
tangannya menuju Pak Rudi yang sedang beristirahat.
“Pak, Ainun ingin ikut POPDA dari cabang
renang, boleh?”
“Renang? Apa kamu bisa, Nun?”
“Bisa, Pak. Tapi hanya satu gaya yang saya
kuasai.”
“Tidak apa-apa. Coba kita ke kolam renang
sekarang.”
“Kolam renang? Wah, saya belum pernah
renang di kolam, Pak.”
“Lalu renang di mana?”
“Di sungai, Pak.”
Pak Rudi hanya geleng-geleng kepala saja. Ia
diam sejenak. Ainun merasa takut ketika melihat

152

perubahan wajah Pak Guru, tetapi akhirnya ia
tersenyum.

“Kamu ingin prestasi, kan? Tunjukkan kalau
kamu mampu meraihnya. Perbanyak latihan dan jangan
putus asa, oke?”

“Siap, Pak!”
Pelaksanaan lomba tinggal seminggu lagi. Ainun
sibuk mempersiapkan diri dengan latihan setiap hari.
Setiap pagi ia berlari mengelilingi lapangan tiga kali
sedangkan sorenya latihan renang di kolam dengan
ditemani Pak Guru dan ayahnya.
Ainun sudah mempersiapkan diri dengan matang,
tetapi ada satu ganjalan yang membuatnya ragu. Ia
ingin memakai baju dan kaca mata renang ketika
berenang. Namun, jangankan untuk membeli baju
renang, bisa mendapat uang saku latihan untuk
membeli teh panas saja sudah membuatnya gembira.
Ainun tidak berani meminta semua itu kepada orang
tuanya. Ia memilih diam saja.

***
Ayah selalu menunggui Ainun latihan renang.
Beliau tahu kesedihan Ainun tentang kostum renang.
Sengaja Ayah ingin memberikan kejutan kepada
putrinya satu hari sebelum bertanding. Beliau sudah

153

menabung untuk keperluan membeli satu setel baju
dan kaca mata buat berenang.

Pagi ini adalah latihan terakhir Ainun. Sebelum
berangkat, Ayah dan Ibu mengajak makan bersama.
Ayah bertanya persiapan untuk lomba besok, lalu
memberikan sebuah bungkusan kepada Ainun. Beliau
berpesan agar membukanya ketika Ainun sampai di
sekolah.

Ainun menerimanya sambil tersenyum. Di
sekolah, ia berseru kegirangan saat membuka
bungkusan dari Ayah yang berisi sebuah baju renang
lengkap dengan kaca matanya. Hati Ainun semakin
bertekat kuat untuk mempersembahkan kemenangan.

***
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Ainun.
Ia bangun pagi, salat Subuh, lalu mandi. Ia ingin
berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Ayah dan
Ibu ikut menonton perlombaan Ainun.
Ainun tiba di kolam renang sebelum perlombaan
dimulai. Ia tampak lebih cantik dengan baju renang
warna pink pemberian orang tuanya kemarin.
Ainun mengikuti cabang renang gaya dada 100
meter. Walaupun baru pertama kali, tetapi ia tampak

154

percaya diri. Ia dan teman-temannya sudah siap di
arena.

Wasit meniup peluit tanda lomba di mulai. Ainun
segera melompat masuk kolam dan berenang dengan
cepat. Semua mata memandang tanpa berkedip. Ainun
berhasil meraih juara pertama sekaligus memecahkan
rekor waktu sebelumnya.

Ayah, Ibu, dan Pak Rudi langsung berteriak
bahagiaa. Tak lupa sujud syukur mereka lakukan.
Mereka menangis saat melihat Ainun mendapat
hadiah medali emas.

Selesai lomba Ainun pulang bersama mereka. “
“Ayah, aku harus ikut POPDA tingkat provinsi
bulan depan.”
“Iya, Nak. Ayah doakan kamu bisa menang lagi,
ya.”
“Tetapi musuhnya kan lebih berat, Yah. Aku
takut sekali.”
“Jangan kalah sebelum bertanding. Yang penting
kamu berlatih, berdoa, jaga kesehatan, dan yang
tidak kalah penting adalah harus senantiasa rendah
hati dan tidak sombong kepada siapa pun,”
“Baik, Yah. Aku berjanji melaksanakan semua
nasihat Ayah.”

155

Sejak itu Ainun semakin rajin berlatih renang
untuk persiapan perlombaan berikutnya. Banyaknya
dorongan dari teman, guru, dan orang tua membuat
Ainun ingin lebih berprestasi. Walaupun ia sudah
mengantongi predikat juara, tetapi ia tetap baik hati
dan selalu menjaga salatnya.

Jangan menyerah sebelum bertanding. Jangan
sombong ketika menang dan jangan rendah diri ketika
kalah. Tetap lakukan yang terbaik, perbanyak berdoa,
dan serahkan hasilnya kepada Allah Swt. []

156

Tentang Penulis

Nur Widayati, berharap bisa bermanfaat untuk orang
lain itu adalah motto hidupnya. Ia suka menulis di
sela-sela kesibukannya bersama anak-anak karena
berharap setiap goresan kata bisa diambil hikmahnya
dalam kehidupan manusia. Ini adalah antologi cernak
pertama bersama DD Publising. Jika ingin lebih dekat
mengenalnya bisa menyapa di FB.Widayati.Noor atau
IG. Widayati.Noor.

157

Sepeda Impian Kornel

Brytje Geradus

Sumber Gambar oleh Debby Aryani

“B elajar yang baik, ya!” kata Mama sambil
melambaikan tangan pada Kornel.
Kornel berjalan memasuki gerbang sekolah,
lalu setengah berlari menuju ruang kelas empat. Dari
jendela kelas ia melihat Mama yang berjalan
membawa rantang. Mama akan ke sawah menggantikan
Papa yang sedang sakit.

158

***
Setiap pagi sebelum Papa ke sawah, Kornel
dibonceng Papa ke sekolah naik sepeda ontel karena
jarak sawah tidak terlalu jauh dari sekolah Kornel.
Sepeda ontel dibeli Papa empat tahun lalu,
untuk mengantar Kornel ke sekolah juga mengantar
Mama ke pasar dan jalan-jalan. Kornel sangat
menyukai sepeda itu.
Sepeda berukuran besar itu mampu
mengangkut satu karung gabah. Bannya bundar besar,
lampu depannya juga besar. Kata Papa, sumber energi
untuk lampu berasal dari roda depan yang
disambungkan dengan dinamo. Ketika sepeda dikayuh
lampunya jadi terang, jika tidak dikayuh lampunya
redup.
Kornel sangat bangga berangkat ke sekolah
duduk di boncengan sepeda yang cukup luas. Kadang-
kadang jika mereka bertemu Ibnu—teman sekelas
Kornel—di jalan, Papa akan memberi tumpangan pada
Ibnu.

***
Siang itu Kornel menunggu Papa di depan pintu
gerbang sekolah. Namun, hingga sekolah tampak sepi,

159

Papa tak datang juga. Kornel memutuskan berjalan
kaki pulang.

“Siang, Ma! Aku pulang!” seru Kornel sambil
berjalan ke dapur.

Ia langsung menuju meja makan, menuang air ke
dalam gelas lalu meminumnya hingga tandas.

“Ma! Mama!” panggil Kornel. Namun, tak
terdengar sahutan Mama.

Ia kembali ke ruang tamu. Tiba-tiba pintu
terbuka, tampak Mama berjalan masuk diikuti Papa
yang berjalan tertatih menggunakan tongkat untuk
menyangga tubuhnya. Satu kaki diperban, tangan dan
wajah sebelah kiri lecet.

“Papa kenapa, Ma?’
“Tadi pagi setelah mengantar Kornel ke
sekolah, Papa menuju toko Pak Bur untuk membeli
pupuk. Belum sampai di toko, sepeda Papa disenggol
orang yang naik motor. Untunglah orang yang
menyenggol itu bertanggung jawab, Papa dibawa ke
Puskesmas,” jawab Mama menjelaskan.
“Lalu sepedanya di mana, Ma?” tanya Kornel
sambil mencari sepeda Papa.
“Di bengkel, Nak. Nanti kalau sudah
diperbaiki, baru bisa diambil.” kata Mama.

160

***
Sudah seminggu Kornel ke sekolah berjalan
kaki bersama Ibnu dan teman-teman yang lain. Kornel
tidak merasa capek sebab mereka berjalan sambil
bermain.
Pagi itu banyak anak berkerumun di depan
papan pengumuman sekolah. Mereka melihat poster
yang terpasang. Untuk memperingati Hari Pendidikan
Nasionl pada tanggal 2 Mei bulan depan, Dinas
Pendidikan akan mengadakan lomba lari tingkat
sekolah dasar berhadiah sepeda dan uang pembinaan.
Setelah membaca persyaratannya, Kornel
berencana mengikuti lomba tersebut.
“Bu, aku boleh ikut lomba?” tanya Kornel pada
Bu Narti, guru olahraga di sekolah.
“Boleh, Nak. Kamu boleh mulai berlatih
mempersiapkan diri,” kata Bu Narti memberi
dukungan.
Pulang ke rumah, niat Kornel disampaikan pada
Mama dan Papa. Mereka mendukung keinginan Kornel.
Setiap sore Kornel berlatih, ia berlari pulang
balik dari rumah ke sawah, hingga kakinya lecet.
Melihat kaki Kornel yang lecet karena sepatu yang
mulai kekecilan, Mama membelikan Kornel sepatu

161

baru. Sebelum tidur, tiap malam kaki yang lecet
diolesi minyak yang diberi irisan bawang merah.

Saat lomba dimulai, Kornel terlihat memimpin
di depan. Ia berlari dengan irama yang tetap hingga
lima kilometer terselesaikan. Kornel menjadi peserta
yang pertama memasuki garis finis.

Akhirnya Kornel berhasil membawa pulang
sepeda mini dan uang pembinaan sebesar satu juta
rupiah. Mama dan Papa menyambutnya dengan bangga
dan bersyukur Kornel sudah meraih impiannya. []

Makassar, 25 Februari 2022

162

Tentang Penulis

Brytje Kapa’ Geradus mempunyai
hobi membaca sejak kecil. Ia
mulai menekuni dunia literasi
sejak tahun 2020. Buku solo
pertamanya tentang dongeng
fabel terbit dengan judul Jejak
Persahabatan. Tidak kurang dari tiga puluh
antologinya bersama penulis berbagai komunitas juga
telah diterbitkan.
Brytje bisa di-follow di Instagram
@brytjegeradus atau Facebook Brytje Geradus
https://www.facebook.com/brytje.geradus.

163

Jika Bisa Kenapa Tidak?

Aisyah Azka

Sumber Gambar Malchev/Canva for Education

Ingat tiga hal saat kamu sukses: yang pertama Allah Swt.,
yang kedua kerja kerasmu, dan yang ketiga adalah orang

yang selalu mendukungmu, karena mereka yang
membuatmu terus semangat.

164

P agi ini adalah pagi yang membuatku sangat
bersemangat. Mencium aroma segar rumput di
pagi hari, angin yang bertiup masih bersih. Aku
melangkahkan kaki dengan cepat di bawah cahaya
matahari yang bersinar cerah. Hatiku penuh
semangat, keringat mulai berjatuhan. Saatnya
kembali ke rumah yang sejuk dan nyaman.

Tiba-tiba terdengar alarm berbunyi. Alarm itu
terus berbunyi dengan nyaring. Mataku mengerjap
dan terbuka. Sambil mematikan alarm aku menguap.
Ah, rupanya tadi aku hanya bermimpi. Kukira aku
sudah bangun pagi dan jalan-jalan menghirup udara
segar.

Aku Sasha, seorang anak yang mempunyai mimpi
besar untuk menjadi atlet silat. Namun, aku punya
satu sifat jelek sangat pemalas. Itu kenyataan, bukan
hanya kata orang lain. Aku sendiri tahu kalau aku
pemalas. Hobiku bangun siang, manja, dan
menyusahkan keluarga. Entahlah, sulit sekali
menghilangkan hal ini.

Ini hari Minggu. Saat tepat untuk bersantai.
Aku ingat hari ini ada janji bertemu dengan sahabat-

165

sahabatku. Aku pun langsung mengabari mereka agar
tidak lupa dengan janji kami.

Di grup WhatsApp, kami mengobrol seru. Aku,
Rah, Kei, Tang, dan Pin sudah bersahabat sejak lama.
Kei mengusulkan main basket nanti jam satu siang. Uh,
malasnya! Selain panas, juga kulit bisa jadi gelap.
Namun, demi persahabatan, aku setuju. Teman lain
pun sama. Kami berjanji akan bertemu di rumah Rah,
yang paling dekat dengan lapangan basket.

Chat berakhir. Dengan malas aku mulai beranjak
dari tempat tidur. Ya, Tuhan, kenapa aku malas
sekali? Bergerak saja sangat berat rasanya.

Jam berapa ini? pikirku.
Ternyata baru pukul tujuh pagi. Aku menyalakan
TV dan mulai memainkan sebuah video game yang
sangat seru. Begitulah penyambut pagiku.
Apakah aku bisa mengubah kebiasaanku? Dan
berusaha menjadi atlet seperti yang sangat aku
impikan? Sebuah pikiran yang begitu aneh lewat di
pikiranku. Ah, bodo amat! Aku tidak mungkin bisa
seperti itu. Jangan bercanda!
Pikiran yang baru saja terlintas hilang dari
pikiranku. Aku pun asyik bermain video game dan
tidak sadar sudah jam sebelas. Kumatikan TV,

166

mengumpulkan niat untuk mandi, niat untuk makan,
dan terlebih lagi niat untuk bergerak menjauhi kasur
serta video game. Aku memang semalas itu.

Aku berdiri dengan malas, mencari jersey alias
kaos basket yang ternyata belum kering. Mungkin
hujan semalam mengenai kaos ini.

“Bibiii! Tolong setrikakan jersey-ku ini.
Sekarang!” teriakku pada si Bibi, asisten rumah
tangga di rumah. “Habis ini mau kupakai.

“Mbak mau sarapannya apa? Sekalian saya
buatkan,” tanya Bibi.

“Sereal dan susu saja,” jawabku sambil berjalan
ke kamar mandi. Masih dengan malas tentu saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang
saat aku selesai mandi dan makan. Entah kenapa
waktu begitu cepat sekali. Padahal rasanya aku sudah
bergerak cepat dan mandi secepat kilat.

Lima belas menit kemudian aku turun menunggu
jemputan datang. Sopirku biasanya tepat waktu. Ia
tahu aku tidak suka menunggu. Bagiku, menunggu
adalah hal yang paling membosankan.

Lima menit kemudian jemputan datang. Tempat
ketemuan kami lumayan jauh, bisa empat puluh lima

167

menit baru jika tidak macet. Semoga tidak macet,
doaku dalam hati.

“Ngebut, Pak!” peritahku pada Pak Sopir.
Namun, ternyata di jalan tetap saja macet.
Bosan sekali di dalam mobil. Tanpa sadar, aku
mengamati berbagai hal di sepanjang jalan yang kami
lewati. Para pengamen, pengemis, pemulung, pedagang
asongan, eh … tunggu! Aku seperti melihat sosok yang
kukenal dari beberapa pedagang asongan yang berlalu
lalang.
Kupanjangkan leher, melongok jauh di belakang
deretan mobil yang macet ini, dan aku melihatnya. Itu
Aira. Ya, benar, itu Aira.
Aira adalah teman sekelasku. Anaknya pintar
dan selalu menyabet gelar juara kelas. Beberapa
waktu lalu dia dikirim oleh sekolah untuk mewakili di
ajang olimpiade matematika. Aira menang.
Kami tidak akrab. Aira anak yang pendiam, jadi
kami jarang berbincang. Namun, aku sering iri dengan
deretan prestasinya. Yang sama sekali tak kuduga
adalah dia ternyata seorang pedagang asongan.
Bagaimana mungkin seorang pedagang asongan yang
sibuk dan lelah, bisa berprestasi melebihi kami yang
punya waktu luang begitu banyak?

168

Lima puluh lima menit berlalu. Aku sudah sampai,
tetapi suasana rumah Rah—tempat kami berjanji
ketemuaan—terlihat sunyi. Ini aneh.

Ke mana semua orang?
Sebuah suara yang tak asing terdengar. Aku
menoleh dan sangat terkejut karena ternyata semua
sahabatku muncul sambil menyanyikan lagu Selamat
Ulang Tahun. Sebuah kue cantik pun mereka bawa.
Oh, Tuhan, aku lupa hari ini adalah ulang tahunku.
“Ka-kapan kalian merencanakan ini?” Aku
berseru gugup dan girang.
“Mendadak banget, tau, nggak?” jawab Kei
sambil tertawa.
“Ayo tiup lilinnya, Sha!” seru Pin.
Dengan gembira kutiup lilin di kue, lalu
memotong kue, dan menerima kado dari para
sahabatku. Namun, yang tidak mereka tahu, aku telah
mempunyai satu tekat dan doa dalam hati.
“Sha, kami ingin minta sesuatu sama kamu.
Boleh, nggak?” tanya Kei. Sahabatku yang lain
mengangguk di belakang Kei.
“Ya boleh, dong. Minta apaan, sih?” jawabku.
“Gini, Sha. Kamu sahabat kami, dan kami tahu
betul kamu punya potensi. Bisa, nggak, kamu berhenti

169

bermalas-malasan dan mulai mengejar impian kamu
jadi atlet silat?”

Aku terharu lalu mengangguk. “Sebenarnya
sejak tadi aku sudah memikirkan itu. Dan aku janji
sama kalian, mulai sekarang aku nggak akan malas-
malasan lagi. Aku akan mulai berlatih dan mengejar
impianku.”

Sahabat-sahabatku memelukku sambil terse-
nyum gembira. Aku sadar, selama ini terlalu malas dan
banyak membuang kesempatan bagus.

Malam itu juga aku pergi ke tempat latihan.
Hari-hari selanjutnya aku mulai rajin datang ke
tempat latihan dan berusaha mengalahkan rasa malas
yang kadang datang mengganggu.

Beberapa waktu setelahnya, aku mengikuti
beberapa pertandingan di tingkat lokal dan menang.
Pertandingan berikutnya di tingkat regional, nasional,
hingga internasional. Tidak semua pertandingan bisa
kumenangkan, tetapi aku gembira telah mengalahkan
rasa malasku. Aku juga bangga membawa nama daerah
bahkan nama Indonesia di pertandinganku berikutnya.

Jika kalian ingin sukses dan menggapai cita-cita,
maka berproseslah. Jangan kalah oleh rasa malas dan
kebiasaan buruk lainnya seperti diriku. Ketika kalian

170

bisa mengalahkan rasa malas dan kebiasan buruk
lainya, itu sebuah prestasi.

Jangan takut gagal. Setiap ada kegagalan,
cobalah selalu untuk bangkit dan menyemangati diri
sendiri. Prestasi bukan selalu tentang piagam
penghargaan dan piala yang berkilauan. Prestasi yang
sesungguhnya adalah perubahan diri ke arah yang
lebih baik. []

171

Tentang Penulis

Nama pemberian ibuku adalah
Aisyah Ghoziyah Azka lahir
tanggal 05 juni 2006 di Kota
Bekasi. Anak pertama dari 2
bersaudara, keturunan darah
Jawa asli. Saat ini tinggal bersama
Ibu dan Adik di Depok, Jawa Barat. Panggilan rumah
Sasha, bersekolah di MAN 1 Magelang, sebuah
boarding school yang bernama Darunnajah. Memiliki
banyak hobi dengan sifat pemalu, sangat suka
ketenangan dan perdamaian. Impian pertamaku
adalah sukses dan membahagiakan orang-orang yang
kusayangi. Makanan favoritku bubur, makanan
Jepang, dan sangat suka dengan makanan mentah.
Untuk berkenalan lebih jauh, bisa ke akun sosial
media instagram : @aisyahazka_

172

Bintang Pun Bersinar

Iin Jeffry

Sumber: Happy Broto/Vecteezy

S uasana pandemi Covid-19 masih terasa di mana-
mana. Sekolah-sekolah sepi dan lengang.
Demikian juga dengan sekolah Bintang, hanya ada
aktivitas guru dan karyawan saja tanpa kehadiran
para siswa. Pembelajaran masih berlangsung secara
daring.

173

Seperti biasa, setiap pagi Bintang sudah siap
menerima pembelajaran online dari guru kelasnya.
Ponsel ibunya ia gunakan beberapa jam untuk belajar.
Sejak Ayah meninggal dunia dua tahun lalu, Bintang
hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Tiba-tiba terdengar dering notifikasi pesan
WhatsApp. Ibu Bintang segera membuka pesan yang
masuk. Ternyata pesan dari Bu Titi, guru agama Islam
di sekolah. Bu Titi memberi informasi tentang lomba
MAPSI Virtual tingkat Kecamatan, dan beliau
mengajukan Bintang mengikuti cabang lomba macapat
Islami. Bu Titi berharap Bintang mempersiapkan diri
dengan berlatih sendiri di rumah.

Pada awalnya Ibu keberatan karena merasa
Bintang masih terlalu kecil dan belum ada pengalaman
mengikuti lomba. Namun, setelah diberi motivasi oleh
Bu Titi, akhirnya Ibu setuju dan meyakinkan Bintang
agar siap berlatih dan bersedia mengikuti lomba.

“Ibu, apa aku bisa ya ikut lomba macapat? Aku
kan gak bisa nyanyi Jawa, Bu,” kata Bintang dengan
sedikit cemas.

“Insha Allah bisa, Nak. Bu Titi dan guru-guru
lain tahu kalau kamu suka menyanyi, maka kamu
dipilih,” jawab Ibu dengan tersenyum.

174

“Tapi kan nyanyi bukan lagu Jawa. Lagu Jawa
susah banget, Bu! Ah, pokoknya aku gak mau!” protes
Bintang.

“Baiklah, Bintang, kita coba dulu saja, ya? Nanti
Ibu coba cari contoh lagu di Youtube yang sesuai
dengan yang ada di juknis lomba. Bagaimana?” rayu
Ibu dengan sabar.

“Hmm ... gimana, ya? Okelah kalau begitu,”
jawab Bintang setuju.

Sebenarnya Ibu juga belum tahu sama sekali
seperti apa syair dan lagu yang akan dilombakan
tersebut. Rencananya beliau akan mencari di internet
tentang lagu Macapat Dhandhanggula dan Kinanthi
dengan meminjam laptop Tante Hesti yang bekerja
sebagai guru di sebuah SMP swasta.

Setelah mendapatkan lagunya, Bintang
memutarnya berkali-kali dan mencoba menirukan lagu
seperti yang ada di Ýoutube. Setelah dirasa cukup,
Ibu mengajak Bintang belajar nembang lagu macapat
itu bersama-sama.

Pada awal berlatih Bintang mengeluh, “Ibu,
lagunya susah. Panjang banget, mana gak ada musiknya
lagi.”

175

Dengan sabar Ibu menjawab, “Memang tembang
macapat itu dinyanyikan tanpa iringan musik, Nak,
dinyanyikan pelan dengan penuh penghayatan.”

“Ibu yakin lama-lama kamu akan menikmatinya
juga. Apalagi kata Bu Titi, macapat Islami ini sarat
makna dan hikmah bagi kaum muslim.”

Bintang akhirnya mengangguk.
Untuk mempermudah saat latihan, Ibu
mencetak lirik lagunya di kertas. Di sela-sela belajar
daring, Bintang menyisihkan waktu untuk berlatih.
Jika Bintang sedang malas dan bosan latihan, Ibu
selalu memberinya semangat, demikian juga dengan
Bu Titi.
Suatu sore Deni dan Arya, teman Bintang yang
rumahnya dekat dengan rumah Bintang, penasaran
dengan suara Bintang saat berlatih. Mereka pun
sepakat untuk main ke rumah Bintang.
“Wah, ternyata suaramu merdu sekali, Bintang,”
puji Arya tulus.
“Terima kasih, Arya,” sahut Bintang tersipu
malu.
Sementara Deni justru terheran-heran sambil
berujar ketus, “Itu lagu apaan, sih, Bintang, jelek
amat. Gak kaya lagu-lagunya BTS yang keren abis.”

176

“Ini lagu macapat, Den. Kita kan orang Jawa,
masa tidak tahu,” terang Bintang dengan sedikit
kesal. Ia tahu Deni sangat mengidolakan BTS grup
band asal Korea itu.

“Oh, begitu, ya,” tukas Deni manggut-manggut
dengan nada sedikit mengejek.

“Oke, Bintang, selamat mengikuti lomba, ya.
Semoga juara, kamu pasti bisa!” ucap Arya sambil
memberi isyarat kepada Deni untuk pulang.

“Amin. Terima kasih, Arya. Terima kasih juga
kalian sudah mau datang ke rumahku,” ucap Bintang
senang.

Tiga minggu berlalu, tibalah waktunya untuk
rekaman lomba di sekolah. Lomba dilakukan secara
virtual, jadi yang dinilai juri adalah rekaman. Bintang
sudah siap dengan mengenakan pakaian adat Jawa
berupa beskap. Hadir juga lima kakak kelas Bintang
yang mewakili cabang lomba selain macapat.

Pengambilan rekaman dilakukan di ruang
perpustakaan yang sudah ditata rapi, lengkap dengan
hiasan beberapa pot bunga dan banner lomba. Satu
demi satu peserta lomba sudah direkam oleh Pak Adi,
salah satu karyawan sekolah Bintang. Tibalah giliran
Bintang, tetapi Bintang tidak tampak. Pak Adi

177

memanggil-manggil namanya, tetapi yang dipanggil
tidak muncul juga.

Sementara di ruang lain, wajah Bintang tampak
murung dan tidak semangat. Bu Titi dan guru lainnya
berusaha menghibur dan memberi semangat lagi. Ibu
pun tampak khawatir dan terus berusaha menghibur
anaknya itu.

“Ayo, Bintang pasti bisa. Sekarang giliran
Bintang direkam nembang macapat,” bujuk Ibu.

“Aku takut, Bu. Aku malu, aku gak bisa. Aku gak
mau direkam!” teriak Bintang. Seketika tangis Bintang
pun pecah.

Ibu, Bu Titi, dan beberapa guru yang menemani
dari tadi terkejut dan bingung atas sikap Bintang
yang tiba-tiba down.

Bu Titi segera mengambil inisiatif dengan
berujar, “Baiklah, Bintang, Bintang direkamnya nanti
hanya berdua dengan Ibu, ya. Tidak ada orang lain di
dalam ruang rekam. Tetap semangat, ya, pasti bisa!”

“Tapi aku takut, Bu Guru. Aku takut gak bisa,
aku takut tidak dapat juara,” jawab Bintang masih
dengan suara parau menahan tangis.

178

“Insha Allah bisa. Tidak dapat juara tidak apa-
apa, Bintang sudah juara di sekolah, lho,” hibur Bu Titi
lagi.

“Iya, Bu Guru, maaf kalau nanti aku tidak
juara,” jawab Bintang lirih.

“Nah, gitu, dong! Tetap semangat, ya, Anak
Soleh!”

Beberapa menit kemudian, Bintang sudah siap
dan mulai direkam oleh Pak Adi. Sekitar enam menit
berlalu, dua buah lagu tembang macapat
Dhandhanggula Penganten Anyar dan Kinanthi
Wantah pun terselesaikan dengan lancar.

“Alhamdulillah, Bintang hebat, sudah direkam
dengan baik dan tidak diulang,” puji Ibu sambil
mengacungkan ibu jari.

“Selamat, Bintang, selamat juga anak-anakku,
kalian semua hebat. Semoga nanti hasilnya bagus dan
tidak mengecewakan,” ucap Bu Titi.

Sesampainya di rumah Bintang langsung
membuka masker, cuci tangan, dan berganti pakaian
beskap dengan pakaian rumah. Ibu sudah menyiapkan
makanan kesukaan Bintang sebagai hadiah karena
sudah rekaman dengan baik.

***

179

Satu bulan berlalu, waktu pengumuman lomba
pun tiba. Bintang dan ibunya berdebar-debar
menunggu kabar dari sekolah.

Bunyi pesan WhatsApp membuyarkan
ketegangan mereka. Ibu segera membaca pesan dari
Bu Titi yang menuliskan ucapan selamat di bawah
pengumuman hasil lomba. Mata Ibu berkaca-kaca dan
mengucap syukur.

“Alhamdulillah, selamat, Nak, usahamu tidak
sia-sia!” seru Ibu langsung memeluk Bintang dengan
bangga.

“Hore! Alhamdulillah, aku dapat juara!” sorak
Bintang spontan sambil tertawa girang.

“Tapi ingat, ya, Bintang tidak boleh sombong,
harus tetap rendah hati dan tetap semangat
berlatih,” pesan Ibu sambil terus memberi motivasi.

Hasil indah terwujud dari kerja keras. Jangan
takut memilih hal berbeda dari tren, asal itu sesuatu
yang baik dan mulia. Melestarikan warisan budaya
harus kita lakukan bersama agar tak hilang tergerus
zaman. []

180

Tentang Penulis

Iin Jeffry, lahir di Banyumas

dan tinggal di Desa Kecila

Kecamatan Kemranjen

Banyumas, seorang guru kelas

yang mengajar di SD Negeri 2

Kecila Kecamatan Kemranjen

Kabupaten Banyumas Jawa Tengah.

Di sela-sela kesibukannya sebagai pendidik dan

ibu dari empat orang anak, penulis mencoba

merealisasikan hobinya berupa membaca dan menulis

dalam bentuk karya tulisan. Bagi pembaca yang ingin

mengenal penulis silakan ke Instagram dan Facebook

IinzJeffry.

181

Tania

M. Asyroful Haromain

Dmytrokozyrsky/Canva for Education Porco Rosso

T ania adalah seorang anak gadis berumur enam
tahun dan duduk di bangku TK. Tania sangat
menyayangi ayahnya yang berprofesi sebagai petani.
Bagi Tania, ayahnya sungguh hebat karena bisa
membuat tanah yang gersang menjadi hijau. Tania pun

182

bercita-cita menghijaukan seluruh tanah. Menurut-
nya, hal itu sungguh indah.

Di suatu pagi yang cerah, Tania melihat Ayah
sedang menyiapkan peralatan bertani untuk dibawa
bekerja. Tania menghampiri ayahnya dan bertanya
sawah mana yang akan dibajak.

“Ayah mau membajak sawah di pinggir jalan
sana,” jawab Ayah.

“Tania boleh ikut, Yah?” tanya Tania dengan
manja.

Ayah membetulkan topi jeraminya dan
berjongkok sampai wajahnya setara dengan Tania.
Ayah mengusap kepala Tania sambil tersenyum.

“Tania udah sarapan? Kalau mau ikut, makan
dulu, gih!”

“Beneran, Yah? Hore!” Tania berseru bahagia.
Ayah hanya tersenyum simpul. Tania melompat
kegirangan menuju dapur, meminta makanan kepada
ibunya sambil menyanyikan lagu Pajer Laggu. Ibu
tersenyum sambil menemani Tania makan, sedangkan
Ayah duduk di depan rumah, menunggu.
Tak lama kemudian, Tania datang menemui
ayahnya.
“Yuk, Yah!” ajak Tania.

183

Ayah bangkit dari duduknya, mengambil semua
peralatan bertaninya; cangkul, arit, dan sebongkah
tas selempang usang yang berisi beberapa peralatan.
Tania penasaran isi tas tersebut.

“Isi tas itu apa, Yah?”
“Ini peralatan untuk traktor.”
“Woah! Hari ini Ayah mau nyetir monster bajak
itu, ya?” Tania berdecak kagum.
“Iya, tapi nanti Tania lihatnya jangan deket-
deket. Tania duduk saja di bawah pohon.”
“Hihi, iya pasti, Yah. Aku emang takut sama
monster itu.”
Sesampainya di sawah, Tania dibawa Ayah ke
bawah pohon yang dimaksud. Ternyata itu adalah
pohon mangga yang memiliki dahan berliuk-liuk. Pohon
itu dulu pernah akan dipanjat oleh Tania, tetapi
ibunya melarang. Namun, sampai detik ini Tania masih
ingin memanjatnya.
“Aku suka sama pohon ini, Yah.” Tania tersenyum
lebar.
“Kalau Tania suka sama pohon ini, Tania tunggu
di sini, ya. Ayah mau manggil temen Ayah sekalian mau
bawa monster bajak yang tadi.”

184

Tania mengangguk. “Ayah hati-hati, jangan
sampai monster itu makan Ayah.”

Ayah tergelak. “Dia nggak gigit, kok.”
Ayah menaruh arit dan peralatan bajaknya di
bawah pohon lalu bergegas melewati selokan air. Tak
jauh di depan beliau melompat ke jalan dan terus
menyusuri jalan tersebut sampai mencapai tujuannya.
Tania menatap punggung ayahnya yang mulai
menjauh, lalu memandang pohon yang kini
menaunginya. Pohon itu rantingnya meliuk-liuk indah.
Sepertinya pohon ini bisa kupanjat, batin Tania.
Dengan penasaran, Tania bertekad akan
menaklukkan pohon itu dengan memanjatnya. Namun,
Tania teringat larangan ibunya dulu agar tak
memanjat pohon itu.
Ah, tapi Ibu kan lagi nggak di sini, nggak ngeliat,
pikir Tania.
Tania pun melipat lengan panjang kaosnya serta
celana olahraga yang sedari tadi dipakai. Ia pun
bersiap melancarkan aksinya.
Gadis kecil itu memegang dahan pertama dan
mencoba menggapai dahan kedua. Kaki Tania
menjajaki kulit pohon yang kasar, dengan segenap

185

tenaga ia mengayun dan berhasil memanjat satu
meter dari tanah.

Tania menundukkan kepala dengan bangga,
memastikan dirinya sudah cukup jauh dari tanah.
Namun, ia sangat kecewa saat tahu dirinya hanya naik
sedikit dari tanah. Dengan segenap tenaga Tania
kembali meraih dahan pohon ketiga dengan tangan
mungilnya dan menjejakkan kaki ke dahan yang
sebelumnya ia pegang. Angin segar bertiup bagai
menyemangati. Tania gembira, ia merasa sudah cukup
jauh dari tanah.

Tiba-tiba terdengar suara mesin traktor dari
jauh. Tania terkejut, ia sadar ayahnya mulai
mendekati sawah yang hendak dibajak itu.

Rasa panik tiba-tiba muncul di hati Tania.
Berbagai macam ketakutan memenuhi pikirannya.

Gimana kalau si monster nabrak pohon ini?
Roboh, dong. Gimana kalau Ayah tau aku melanggar
larangan Ibu? Ayah bakal marah, nih. Gimana kalau
pohon ini juga mau dibajak? Waduh, aku gak bisa
turun! pikir Tania. Berbagai pertanyaan polos itu
membuat kepanikan dalam dirinya.

Tanpa berpikir panjang, Tania langsung
melompat dari dahan pohon ke tanah. Namun, saat

186

mendarat, kaki Tania menginjak batu menonjol yang
membuatnya jatuh terguling ke sisi tempat arit tajam
diletakkan.

Arit itu menyobek lutut Tania. Darah mengalir
ke betis, membuat Tania tak kuat melihatnya. Tania
pun pingsan.

Ayah yang melihat kejadian itu dari jauh segera
menghentikan traktor lalu berlari dengan panik
menuju Tania yang sudah tak sadarkan diri. Beliau
segera menggendong Tania dan membawanya ke
dokter bersama beberapa rekan kerjanya.

***
Beberapa saat kemudian, Tania siuman. Ibu
tepat berada di sampingnya ketika Tania membuka
mata. Beliau mengusap perlahan rambut Tania.
“Tania udah bangun?”
Tania mengangguk sembari menjawab, “Tania
ada di mana, Bu? Mana Ayah?”
“Tania ada di rumah sakit. Ayah di luar. Mau
dipanggilkan?”
Tania mengangguk. Ibu beranjak dan tak lama
kemudian beliau kembali bersama Ayah.
“Ibu, Ayah, Tania minta maaf,” kata Tania
sambil menunduk. “Tania udah melanggar larangan

187

Ibu, sekarang sakit, deh. Tania menyesal. Abis ini
Tania janji, akan jujur dan nurut Ayah sama Ibu.”

“Iya, Sayang. Ayah Ibu maafin Tania, tapi
jangan diulangi lagi, ya. Ibu melarang kamu pasti ada
sebabnya,” kata Ibu sambil mengusap lembut pipi
Tania.

“Ayah juga sudah maafin Tania. Yang penting
sekarang Tania nurut sama Pak Dokter biar cepat
sembuh,” kata Ayah.

“Makasih, Ibu, Ayah. Tania janji akan nurut.
Tania sayang Ayah sama Ibu.”

Ayah, Ibu, dan Tania pun berpelukan erat. Kini
Tania tahu, Ayah dan Ibu selalu melakukan yang
terbaik untuk anak-anaknya, termasuk melarang hal-
hal yang berbahaya. Tania berjanji mulai sekarang
akan selalu menurut pada Ayah dan Ibu. []

188

Tentang Penulis

M. Asyroful Haromain adalah
nama dari putra ke lima
pasangan K.H. Jazuli Hasyim
Syarqawi dan Ny. Yumniyah
binti Baihaqi. Dia adalah
seorang yang lahir pada
tanggal 03 November 2001, beralamatkan di Gadu
Barat Ganding Sumenep. Dia adalah seorang pemimpi
yang kadang lupa bangun, berstatus sebagai
mahasiswa aktif semester tiga di Guluk-Guluk
Madura. Dia juga adalah orang yang meminta kepada
pembaca agar mendoakannya menjadi orang yang
lebih baik.

189


Click to View FlipBook Version