Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 141 IMPIAN Memberdayakan anggota Polri yang milenial untuk memantau perkembangan informasi di media atau medsos bukan hal yang buruk, sembari terus membiarkan mereka aktif di lapangan. Sebab, bagaimanapun, milenial masih lebih serius dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya faktual jika dibandingkan generasi Z yang relatif tidak tahan pada tekanan dan tidak takut kehilangan pekerjaan. Membahas generasi-generasi penyusun Polri tentu tidak bisa dipisahkan dari fenomena “Quarter Life Crisis”. Para ahli menganalisa fenomena itu sebagai krisis yang muncul akibat kecemasan dan kualitas hidup. Faktor-faktor lain yang memengaruhi adalah gap psikologis individu terhadap perubahan lingkungan yang relatif konsisten, dan puncak kestabilan yang diinginkan masing-masing individu. Krisis tersebut biasanya dialami oleh mereka yang berusia 25-35 tahun15 ketika dihadapkan pada banyak pilihan. Kerentanan 15 Oliver Robinson, How to Turn Your Quarter-Life Crisis into Quarter-Life Catalyst, https://www.firstdirect. com/content/dam/wpb/fsdt/en/documents/pdf/quarter-life-crisis-guide.pdf, 6 Oktober 2023, pk 04.43 WIB mereka saat harus mengambil langkah penting dengan banyak pertimbangan itu menempatkan individu-individu itu pada posisi yang tidak berdaya. Seringkali, mereka diserang kepanikan. Generasi milenial, tidak hanya anggota Polri, sedang dihadapkan pada gejala psikologis berupa kecemasan. Ada begitu banyak hal yang mereka cemaskan meskipun hal-hal itu belum tentu akan mereka alami. Misalnya, ketidakpastian dalam karir, keuangan, dan hubungan sosial mereka: serta kekhawatiran berlebih atas relasi, mimpi, dan harapan mereka. Dalam tubuh Polri, kondisikondisi itu sangat memengaruhi aspek mikro organisasinya. Terutama, terkait sumber daya manusia (SDM) yang menjadi aset utama Polri. Jika seorang pemimpin tidak mampu mengelolanya dengan baik, dampak krisis itu bagi kinerja organisasi sangatlah besar. Selanjutnya, citra Polri di mata masyarakat pun akan ikut terpengaruh.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 142 NAKHODA IMPIAN Apalagi jika misalnya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang berpotensi besar mendegradasi kepercayaan masyarakat kepada Polres dan Polri secara keseluruhan. Tantangan gegar generasi yang mengancam Polri juga mau tidak mau memengaruhi tata kelola SDM. Pola rekrutmen anggota polisi sekarang dan di masa depan pasti akan banyak menjaring talenta muda. Mereka itulah yang akan meregenerasi karakteristik SDM Polri pada masa mendatang. Mereka juga akan mewarnai SDM Polres pada masa mendatang. Karena itulah, pengelolaan SDM milenial pada setiap level Polri harus betulbetul dicermati dan diantisipasi sebijaksana mungkin. Data terbaru saat ini menunjukkan proporsi generasi Y dan Z dalam Polri mencapai 71 persen atau sebanyak 286.608 personel. Ke depan, tentu Polri akan dikuasai oleh milenial. Hasil survei Deloitte tentang karakteristik generasi (2021) menyebutkan bahwa sebanyak 53 persen milenial berkeinginan pindah kerja dalam waktu 2 tahun. Sedangkan, sekitar 21 persen yang lain berkeinginan pindah kerja setelah 5 tahun. Hasil survei itu didukung riset Censuswide dan Linkeldn pada 2017 di Amerika Serikat (AS), Australia, India, dan Britania Raya. Hasilnya, sekitar 75 persen milenial mengalami quarter-life crisis dan sebanyak 61 persen menyebut passion dalam bekerja sebagai alasannya. Ratarata setelah bekerja selama 2-5 tahun, mereka tidak menemukan gairah dalam bekerja dan memutuskan untuk pindah.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 143 IMPIAN Fenomena perpindahan kerja yang dalam istilah psikologi disebut job hopping itu menjangkiti generasi milenial. Para job hopper (milenial yang pindah-pindah kerja) itu berpindah-pindah dalam waktu relatif singkat karena keinginan mereka sendiri, bukan karena kebijakan organisasi atau tempat kerja mereka. Dalam teori tentang organisasi, fenomena semacam itu dikenal sebagai gejala turnover. Fenomena job hopping itu merupakan metamorfosa dari HoboSyndrome. Pengertian sindrom tersebut adalah keinginan untuk pindah kerja karena berbagai motif yang tidak rasional. Fenomena itu melekat pada kebanyakan milenial karena generasi yang lahir bersamaan dengan era berkembangnya teknologi itu punya karakter yang tidak stabil. Mereka juga tidak bisa bertahan dalam penugasan jangka panjang. Jika dipaksa, mereka akan stres, kehilangan gairah dan motivasi kerja, bahkan kehilangan komitmen kerja. Hal-hal semacam itulah yang sangat mempengaruhi kesuksesan program-program kepolisian di lapangan. Fenomena quarter-life crisis juga bisa muncul akibat beragam tantangan dalam transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Tantangantantangan itu diwarnai ketidakstabilan emosi karena milenial mencemaskan eksistensi diri mereka. Sedangkan, peluang dan tantangan yang menghampiri mereka menjadi kian kompleks. Dampak disrupsi pada hilangnya berbagai sektor pekerjaan yang disukai milenial juga membuat mereka nekat bekerja apa saja walaupun tanpa persiapan matang. Ada pula yang kebingungan menghadapi pilihan baru dalam hidupnya sehingga merasa cemas dan stres. Parahnya lagi, mereka juga sering dibebani banyak tuntutan dari lingkungan sekitarnya terkait kesuksesan, kemerdekaan finansial, dan lain sebagainya. Gambaran itu pula yang membayangi polisipolisi muda di lapangan saat ini.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 144 NAKHODA IMPIAN Masih banyak tantangan lainnya yang perlu diantisipasi dari perbedaan karakteristik lintas generasi, yang perlu dianalisis dan dikaji melalui mekanisme penelitian dan pengembangan. Fenomena itu juga layak menjadi perhatian seorang pemimpin di tingkat KOD. Bukan berarti harus pesimistis, sebaliknya justru Kapolres perlu lebih kreatif dan inovatif dalam mengambil keuntungan dari keunggulankeunggulan generasi muda di masa depan sebagai bagian dari upaya memanfaatkan bonus demografi. Kapolres masa depan harus punya manajemen yang bagus untuk menanggulangi atau mengantisipasi benturan lintas generasi dalam institusinya. Itu juga akan membantu dalam tugas-tugasnya dalam masyarakat. Sebab, komposisi lintas generasi dalam tubuh Polri menjadi gambaran demografi masyarakat. Karena sasaran layanan polisi adalah masyarakat, maka seorang kapolres perlu mengenali masyarakatnya. Termasuk juga diversifikasi pandangan antar komunitas. Generasi muda dan generasi tua pasti punya cara pandang yang berbeda terhadap fenomena dan masalah yang sedang dihadapi bersama. Peka pada kebutuhan berbeda masyarakat yang menjadi sasaran peran dan fungsinya akan menjadi nilai plus seorang Kapolres.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 145 IMPIAN Kapolres Sebagai Simbol Kebhinekaan Alkisah, Presiden pertama RI Ir. Soekarno bertemu dengan Pemimpin Yugoslavia Joseph Broz Tito dalam sebuah pertemuan di Gerakan Non-Blok. Kondisi geopolitik dunia pasca PD II memang meresahkan. Uni Sovyet menguasai banyak negara di kawasan Eropa Timur dan mendirikan Blok Timur dengan Pakta Warsawa-nya. Sementara, AS beserta Inggris dominan di kawasan Eropa Barat dan mendirikan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dunia seolah menjadi dua kubu yang sama-sama kuat dengan mengusung ideologi dan kepentingannya masing-masing, Uni Sovyet dengan Blok Timurnya vs Blok Barat. Tak ingin masuk menjadi salah satu dari dua kubu, Indonesia beserta Yugoslavia dan sejumlah negara lainnya mendirikan gerakan Non-Blok. Dan dalam salah satu break rapat itu, si Bung Besar berbicara santai dengan pemimpin gerakan Partisan yang memerdekakan Yugoslavia tersebut. Ketika itu, Bung Karno bertanya kepada Tito. ’’Apa yang akan terjadi dengan bangsa anda jika nanti anda meninggal dunia?’’ Tito menjawab dengan nada yakin. ’’Tidak akan ada apa-apa. Karena, bangsa kami mempunyai tentara-tentara yang kuat dan pemberani,’’ ucapnya. Ini beralasan, karena para pejuang Partisan Yugoslavia sudah menunjukkan keberanian dan kekuatannya ketika menahan gempuran tentara Jerman. Kemudian, Tito balik bertanya. ’’Lalu bagaimana dengan bangsa anda?’’ Bung Karno beringsut, dan kemudian menjawab: ’’Tidak ada kekhawatiran apa pun. Karena saya telah meninggali bangsaku dengan sebuah way of life, yaitu Pancasila.’’ Percakapan itu sempat diulas oleh para ahli sejarah di Serbia, dan analisa mereka dari dua bangsa ini (Indonesia dan Yugoslavia) maka yang berpotensi ambyar dan pecah adalah Indonesia.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 146 NAKHODA IMPIAN Sebab, secara geografis Indonesia lebih mudah “terpecah”. Terdiri dari kepulauan dengan ratusan suku dan bahasa yang berbeda-beda. Beda dengan Yugoslavia yang merupakan daratan utuh. Tapi, sejarah kemudian membuktikan Yugoslavia kemudian ambyar menjadi negaranegara kecil seperti Bosnia, Serbia, Montenegro, dan lain-lainnya. Meski mempunyai tentara dan orang-orang yang berkarakter kuat khas Slavia, namun ketiadaan satu ideologi pemersatu yang dijaga kuat dan bisa mengelola kemajemukan membuat mereka ambyar.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 147 IMPIAN Pancasila, lepas dari apa pun kritikan yang pernah dialamatkan kepadanya, adalah sebuah ideologi yang bisa mengelola kemajemukan. Kata ini seharusnya menjadi perhatian dan prioritas bagi calon pemimpin Polri. Dengan tugasnya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, maka Polri menjadi alat yang strategis bagi Pancasila dalam mengelola kemajemukan. Ada banyak definisi mengenai negara. Namun, definisi paling modern yang kemudian menjadi acuan adalah definisi negara menurut Indonesianis asal AS, Benedict R. Anderson. Menurut Ben Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities, negara adalah sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Jadi, ada sejumlah individu yang bermukim di sebuah daerah membayangkan mereka bersama menjadi sebuah bangsa. Kongruen dengan teori pengakuan Hegel tentang ruang publik, maka kemajemukan menjadi sesuatu yang niscaya dan harus dihormati (mutual recognition). Maka, building block wawasan nusantara ini sangat penting untuk dapat dikembangkan di lingkungan internal Polres. Juga di tengah masyarakat, melalui peran penting Kapolres di daerah penugasannya. Inti daripada kebangsaan adalah merekat persatuan dan menghormati kemajemukan, untuk menjaga peradaban dan NKRI di mana pun wilayah penugasan seorang Kapolres. Sebab, sebagaimana yang dianalisa oleh para ahli sejarah Serbia, Indonesia secara inheren mempunyai potensi keterpecahan yang amat besar. Terutama karena situasi geografisnya. Itu masih tantangan dari sisi geografis. Masih ada tantangan dari kepentingan politik, ideologi, dan ekonomi dari banyak pihak, termasuk luar negeri untuk memecah belah dan mengambil keuntungan di sana. Inti daripada kebangsaan adalah merekat persatuan dan menghormati kemajemukan, untuk menjaga peradaban dan NKRI di mana pun wilayah penugasan seorang Kapolres.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 148 NAKHODA IMPIAN Di sinilah peran Polri, dan khususnya Kapolres yang menjadi ujung tombak, menjadi strategis. Dalam bertugas, mereka tidak hanya sekedar menjalankan tour of duty dan mengerjakan tugas harian belaka saja. Tetapi juga harus mempunyai wawasan yang luas. Tantangan yang terdekat adalah soal radikalisme. Diakui atau tidak, Indonesia termasuk negara yang paling parah menjadi korban terorisme. Bukan hanya menjadi sasaran bom saja, tetapi juga paparan radikalisasi yang cukup kuat. Hasil riset Setara Institute yang menjadi kontributor utama penelitian I-khub BNPT Outlook Tahun 2023, menyatakan bahwa tiga kelompok yang rentan terpapar radikalisme adalah: perempuan, anak, dan remaja. Padahal, tiga kelompok tersebut adalah pilar masa depan bangsa. Belum lagi, bicara kemajuan teknologi yang menjadi ancaman tersendiri. Meski secara induk sudah hancur dan tak punya wilayah, ISIS telah bertransformasi menjadi ideologi yang merasuk dari ruang-ruang di dunia maya. Aksi lone wolf di seluruh dunia menjadi salah satu buktinya. Sesuatu yang harus terusmenerus diwaspadai. Juga potensi dari ancaman kelompok radikal pasif, yang kemudian berubah menjadi aktif. Dengan potensi sebesar ini, seorang kapolres harus menjadi simbol kebhinekaan. Juga harus berlaku adil, atau setidaknya menunjukkan komitmen sebagai aparat penegak hukum yang berjuang untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sebab, tindakan tak adil atau represif, bisa menjadi celah bagi mereka untuk menanamkan dan meluaskan paham radikal mereka. ’’Lihat aparat thaghut-nya sangat zhalim, maka penting untuk melawan mereka,’’ kira-kira demikian alasan mereka menjustifikasi ideologi terornya.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 149 IMPIAN Muncul lah kemudian sebuah identitas. Sesuatu kemudian diubah menjadi hitam putih. Antara “kami” dan “mereka”. Kami selalu benar, mereka pasti salah. Yang disebut sebagai pemikir kontemperor Francis Fukuyama sebagai thymos, atau hasrat yang ada dalam diri manusia untuk diakui keberadaannya. Yang kemudian berkembang menjadi isothymia, yaitu keinginan kelompok yang meletakkan kelompoknya superior dibandingkan kelompok lainnya. Yang parah ketika kemudian berubah menjadi megalothymia, atau bentuk aksi apa pun dari kelompok yang lebih besar manakala ada satu pertentangan dari kelompok lainnya. Jika dibiarkan, maka bisa jadi Indonesia akan bubar. Untuk itu, seorang Kapolres harus mampu menjadi role model, sebagai simbol, sebagai inspirator, dan menjadi simbol toleransi dan kebhinekaan. Bukan hanya untuk anggotanya, tetapi juga untuk masyarakat lebih luas. Dia harus bisa mengubah paradigma “kami” dan “mereka” menjadi “kita bersama”. Menjadi jembatan, fasilitator, dan apa pun namanya untuk merekatkan semua hal yang bebeda tersebut. Mak, seorang Kapolres dituntut untuk tidak hanya sekedar datang dan pergi di wilayah penugasannya. Dia harus keluar, dia harus dikenal, dia harus berdialog, dia harus berkomunikasi dengan semua pihak. Karena, dia lah seharusnya menjadi jembatan pertama ketika terjadi konflik yang berkaitan dengan kebhinekaan.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 150 NAKHODA IMPIAN
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 151 IMPIAN V BAB SARAN DAN REKOMENDASI 151
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 152 NAKHODA IMPIAN I BARAT permainan bola, posisi Polri itu ibarat penjaga gawang. Tak peduli seberapa banyak dia melakukan penyelamatan (saves), satu kali blunder yang berujung gol bisa menjadi petaka baginya. Kepercayaan publik bakal rontok. Sudah ada banyak contoh mengenai hal tersebut. Untung saja, pola hubungan ini selalu bersifat dinamis. Dalam kerjanya, polisi tak akan pernah bisa lepas dari masyarakat yang dilayaninya. Dalam perspektif teori pengakuan Hegel, ini membuat sebuah hubungan konstan yang selalu bersifat dinamis. Situasi ini adalah sebuah tantangan yang sangat besar kepada segenap punggawa Polri. Apalagi, kepercayaan publik adalah sesuatu yang esensial bagi Polri. Mendapat kepercayaan publik sama saja dengan separuh pekerjaan Polri sudah tercapai.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 153 IMPIAN Kaidah emas “berbuat salah itu manusiawi, yang penting belajar darinya untuk menjadi lebih baik” masih tetap berlaku. Sepanjang satu tahun terakhir ini, Polri sendiri sudah membuktikannya. Penelitian di dalam buku ini memang jauh dari sempurna. Namun, ini adalah sebuah ikhtiar, sekecil apa pun, untuk membuat Polri menjadi lebih baik serta tetap relevan dengan perkembangan zaman. Penelitian ini juga menghasilkan sejumlah saran dan rekomendasi. Karena penelitian ini adalah jenis penelitian internal, maka saran dan rekomendasi yang diberikan semuanya bersifat ke internal. Berikut ini poin-poinnya: 1. Kapolres harus punya visi memimpin yang jelas. Tidak hanya sekedar datang dan pergi di wilayah penugasan. Menguasai wilayah juga berarti mengenali karakter dan potensi apa pun yang terkait harkamtibmas di wilayahnya. 2. Kapolres harus keluar untuk menyapa masyarakat, dan membuat masyarakat mengenalinya. Selain itu, kapolres juga bukan hanya sebagai problem solver belaka, tetapi juga menjadi jembatan pertama ketika terjadi konflik horizontal. Dia harus menjadi simbol dan ikon perawat dan penjaga kebhinneka-an. 3. Melakukan survey berkala mengenai kebutuhan pemimpin semacam apa yang dibutuhkan di sejumlah daerah. Hasil temuan survey menunjukkan ada kebutuhan yang khas di masingmasing daerah. Jika dikombinasikan dengan mekanisme yang ada di Polri sekarang (yang menyiapkan sosok calon pemimpin dengan kompetensi dan moralitas tinggi), maka diharapkan bisa mengoptimalisasi peran Polri di masyarakat. Dengan menempatkan karakter personel yang cocok dengan kebutuhan daerah, maka diharapkan Polri bisa menjadi makin bisa menjawab tantangan yang ada di daerah.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 154 NAKHODA IMPIAN
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 155 IMPIAN 4. Pendalaman assessment karakter calon pemimpin dengan parameter yang lebih detail lagi supaya bisa mendapatkan gambaran untuk bisa menempatkannya sesuai dengan kebutuhan khas masing-masing daerah. 5. Melakukan survey berkala di masyarakat mengenai kepuasan layanan. Untuk kemudian menjadi catatan di Polres tertentu mana yang harus dibenahi. Temuan survey menunjukkan ada fenomena “dua wajah”. Di mana, responden merasa tak puas dengan layanan kepolisian tertentu, namun menjawab “baik” ketika ditanya kinerja kapolres. Artinya, masih ada ketidakpuasan dalam layanan kepolisian. Karena tiap daerah mempunyai kekhasan tertentu, maka tentu survey ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan layanan kepolisian di masing-masing daerah. 6. Menginisiasi upaya untuk mengurangi gesekan terkait konflik-konflik, terutama agraria. Bisa dengan mengajak stakeholder yang ada untuk lebih baik lagi dalam melakukan land clearing, sehingga potensi seperti yang terjadi di Pulau Rempang dapat dihindari. Bisa dimulai dengan mengusulkan SOP baru seperti sosialisasi penyelesaian dengan tenggat waktu lebih panjang, sehingga potensi gesekan dapat dikurangi. 7. Terus menerus melakukan pengayaan diri dan pemahaman mengenai norma interaksi yang terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, tidak ada lagi potensi konflik atau dialog yang tidak jalan akibat kegagapan dalam membaca perkembangan zaman.
Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 156 NAKHODA IMPIAN 8. Perbaikan pola komunikasi yang lebih baik lagi dalam menjawab perkembangan zaman. Setiap calon pemimpin Polri harusnya lebih memahami, terutama di kota besar, bahwa masyarakat kini tak bisa lagi menerima jawaban defensif dan tak komprehensif dari pejabat Polri. Mereka menuntut transparansi. Hal yang sebenarnya sudah berkali-kali ditekankan oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, terutama dalam poin transparansi berkeadilan dalam kredo Presisi. Setiap jajaran ke bawah harus lebih bisa mengimplementasikannya. 9. Sosialisasi dan pencitraan keluar sebaiknya mempertimbangkan gender. Hasil temuan survey menunjukkan bahwa perempuan paling banyak memberikan rapor buruk kepada Polri. Hal ini disebabkan karena perempuan merasa tidak relate dan merasa Polri adalah sebuah institusi yang sangat maskulin dan tidak ramah perempuan. 10. Dengan moralitas, kapolres dapat lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, menampilkan sisi humanis dan tegas secara berkesimbangan, mengambil perspektif yang lebih berkeadilan, menjadikannya lebih profesional dalam menjalankan profesinya, serta menjadi role model yang mendorong budaya institusi kepolisian yang lebih baik. Tentu saja saran dan rekomendasi ini tentu belum sempurna. Artinya, masih ada sejumlah aspek yang harus dilihat dan dipertimbangkan. Juga dibutuhkan untuk membangun Polri yang ideal, Polri yang memenuhi harapan masyarakat. Polri yang mampu menjadi pengayom masyarakat sekaligus juga menjadi institusi yang mengawal pembangunan serta pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang Presisi. Demikian, jika masih ada kurangnya, maka itu adalah murni kekurangan kami sebagai peneliti. Namun, kami berharap bahwa penelitian yang kami lakukan ini bisa memberikan manfaat, walau sekecil apa pun.
HAMPIR semua orang pasti mengaku tahu ketika ditanya apa itu kepemimpinan. Namun, menjadi hal yang tak mudah ketika harus mengkaji dan mengimplementasikannya. Banyak contoh yang menunjukkannya. Sebuah klub sepak bola misalnya. Ada banyak tim dengan materi bagus dan pelatih jempolan yang justru menunjukkan performa yang buruk. Sebaliknya, ada tim bermateri biasa-biasa saja, tetapi justru menunjukkan performa yang jauh lebih baik. Ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apa sebenarnya karakteristik dari pemimpin? Sebenarnya bagaimana relasi antara pemimpin dan anggotanya? Situasi seperti apa yang bisa membangkitkan kepemimpinan efektif dalam organisasi? Bagaimana kepemimpinan didefinisikan? Bagaimana proses psikologis dan proses sosial yang membentuk sebuah kepemimpinan efektif? Sejumlah pertanyaan ini juga menunjukkan bahwa ternyata ada banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas sebuah kepemimpinan. Ada sejumlah kondisi di mana kepemimpinan dengan tipe tertentu menjadi sangat efektif, namun di kondisi lain menjadi sangat tidak efektif. Ada sejumlah model relasi antara berbagai karakter manusia yang bisa meningkatkan efektivitas kepemimpinan, namun di sisi lain juga mengurangi pengaruh kepemimpinan. Di sini, kepemimpinan justru menunjukkan sebuah relativitas. Jangan-jangan, memang tidak ada satu model kepemimpinan yang bisa berlaku untuk semua keadaan. Tapi, jika kepemimpinan itu benar-benar relatif, tentu saja akan membuat banyak sekolah pemimpin harus meninjau ulang kurikulumnya. Tampaknya, soal kepemimpinan tidak sesederhana seperti yang dibayangkan semula. Ada banyak faktor yang ada di dalamnya (baik faktor internal maupun eksternal), sehingga tidak mudah untuk mendefinisikan kepemimpinan. Tidak mudah untuk sekedar menyebut bahwa “pemimpin yang baik adalah yang seperti ini.” Dalam konteks Polri, adalah sebuah tantangan luar biasa untuk menyiapkan calon pemimpin yang bisa pas dengan kebutuhan daerah. Apalagi, Indonesia adalah sebuah negara majemuk yang mempunyai keberagaman kultur, bahasa, dan suku. Yang otomatis menuntut kebutuhan akan pemimpin yang khas pula. Sejauh ini, mekanisme penyiapan calon pemimpin setingkat KOD selalu terpusat. Artinya, mekanisme yang dipilih adalah untuk menyiapkan calon pemimpin sebaik-baiknya dengan standar umum, sehingga bisa ditempatkan di mana saja. Dengan peningkatan kualitas assessment dan pengukuran tiap tahunnya untuk memperbaiki sistem. Sebuah pilihan yang realistis tentu saja. Namun, tetap masih jadi pertanyaan, apakah ini sudah mencukupi? Apalagi, dari hasil survey yang dilakukan, ternyata tiap daerah mempunyai kebutuhan khas yang berbeda-beda. Ini tentu saja menjadi tantangan bagi Polri ke depannya. Penerbit : Serat Alam Media (SAM) Jl. G. Arus No. 82 Sr. Sawah, Jagakarsa Jakarta Selatan (12640) Telp. : +6221 7867659 HP. : +6281959194387 E-mail : [email protected] Web : www.seratalammedia.com