The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hermeneutika global media, 2023-10-11 22:44:48

SESPIMMEN Book

SESPIMMEN Small

Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 91 IMPIAN IV BAB ANALISA DAN PEMBAHASAN 91


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 92 NAKHODA IMPIAN I NI tentu menjadi tantangan bagi institusi Polri untuk menjawab kebutuhan tiap daerah tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, mekanisme penyiapan calon pimpinan di Polri lebih fokus kepada sumber daya manusianya. Artinya, Polri lebih fokus mendidik calon pemimpin sedemikian rupa, sehingga bisa ditempatkan di mana saja. Sejumlah hasil penelitian tersebut memunculkan sejumlah temuan. Baik itu berupa temuan umum, atau sejumlah temuan turunan terkait pembacaan. Salah satu temuan paling signifikan adalah ternyata tiap daerah mempunyai kekhususan yang memunculkan kebutuhan tersendiri akan sosok calon pimpinan Polri.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 93 IMPIAN Ini merupakan konsekuensi dari sistem organisasi Polri yang terpusat. Artinya, penyiapan dan distribusi calon pemimpin di level KOD semuanya ditentukan oleh pusat. Mekanisme ini masih dianggap yang terbaik dari sisi efisiensi dan kebutuhan organisasi. Namun, di sisi lain, tidak bisa dipungkiri jika masih ada pertanyaan apakah mekanisme ini sanggup menjawab kebutuhan khas daerah akan pimpinan Polri yang diharapkan. Contohnya, adalah soal konflik yang terjadi di sejumlah tempat. Misal di Wadas, di Dago, di Kanjuruhan, Malang, atau pun yang paling menyita perhatian, di Pulau Rempang, Batam. Hasil survey menunjukkan ada kebutuhan khusus mengenai pemimpin Polri yang diharapkan masyarakat. Di Pulau Rempang, misalnya. Masyarakat menunjukkan kebutuhan calon pemimpin Polri yang lebih humanis dan dialogis. Ini penting, karena di tiap konflik besar itu, Polri sebenarnya juga menjadi korban dari situasi tersebut. Yakni, menjadi pihak yang paling disalahkan ketika terjadi ribut-ribut. Menilik dari landasan teori mengenai teori pengakuan Hegel yang berkonsekuensi dengan ruang publik yang hadir, para calon pemimpin dan calon Kapolres ini sudah seharusnya mempunyai bayangan bagaimana dia akan memimpin di daerahnya kelak. Setidaknya memahami bagaimana harus bertindak dan berinteraksi dalam sebuah ruang publik yang tercipta dari pengakuan-pengakuan tersebut.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 94 NAKHODA IMPIAN Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ruang publik berdasarkan teori pengakuan Hegel mensyaratkan adanya mutual recognition kepada para aktor sosial yang terlibat. Konsekuensinya, maka suatu daerah melahirkan kebutuhan khusus mengenai pemimpin yang diharapkan. Karena ini terkait dengan interaksi publik yang ada. Ketika terjadi konflik antara pemerintah-masyarakat, polisi rentan (dan selalu) menjadi korban. Dalam artian menjadi pihak yang selalu disalahkan. Karena memang polisi dalam keadaan terjepit dan dilematis. Antara tugasnya sebagai alat negara untuk menyukseskan pembangunan dengan fungsi utamanya sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat. Dua tugas yang akan selalu bertabrakan. Polisi akan selalu bersalah dan disalahkan jika terjadi konflik vertikal seperti ini. Dengan kata lain, polisi selalu menjadi korban. Sejauh ini, belum ada jalan keluar dari dilema ini. Juga terlihat belum ada upaya secara institusional untuk menyelesaikannya dengan baik. Karena jelas, penyelesaian dalam hal ini selalu harus melibatkan institusi lain. Yang seringkali tidak mudah dalam melakukan koordinasi. Apakah ini berarti tiap calon Kapolres pesimistis jika di wilayahnya terdapat potensi konflik agraria? Tentu tidak seperti itu. Karena, dalam ruang publik yang mengandalkan mutual recognition, dialektika yang terjadi tidak mesti harus karena konflik. Bisa dengan dialog, bisa dengan cipta kondisi, dan segala upaya lainnya untuk bisa mencari jalan tengah. Ketika terjadi konflik antara pemerintahmasyarakat, polisi rentan (dan selalu) menjadi korban. Dalam artian menjadi pihak yang selalu disalahkan. Karena memang polisi dalam keadaan terjepit dan dilematis.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 95 IMPIAN Pembahasan Umum Peran dan fungsi Kapolres sebagai pemimpin lembaga kepolisian di tingkat kabupaten/ kota seharusnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat yang dimaksud — berdasar survei yang dilakukan oleh Aulia Dwi Rahayu dan tim — adalah anggota Polres, pemimpin daerah, kejaksaan negeri, dan masyarakat umum. Namun, ternyata, ada juga faktor-faktor yang membuat kepemimpinan itu tidak terasa. Dalam survei yang dilakukan dengan metode kuesioner, baik langsung maupun online, tersebut didapati hasil yang beragam. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kepemimpinan sebagai cara memimpin atau perihal pemimpin. Secara harafiah, kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin; yang artinya mengarahkan, membina, mengatur, menuntun, menunjukkan, atau memengaruhi. Kepemimpinan 1 Wirawan, Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian, 2007, Jakarta: Salemba Empat menggambarkan hubungan antara pemimpin dan bawahannya. Dalam bab ini, kepemimpinan adalah hubungan atau interaksi antara Kapolres dan anggotanya. Hubungan atau interaksi tersebut meliputi hal-hal mereka rasakan dalam organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Namun, dalam suatu kajian tentang efektivitas organisasi1 , penilaian terhadap kinerja seorang pemimpin tidak dilakukan oleh sang pemimpin. Kapolres pun demikian. Dia tidak menilai dirinya sendiri. Penilaian dilakukan oleh anggota Polres dan masyarakat yang menjadi user atau pengguna kepemimpinannya. Di sisi lain, Kapolres sebagai pemimpin Polres pun menjadi cerminan Polri sebagai institusi yang menaunginya. Karena itu, efektivitas dan efisiensi kinerja institusi, dalam hal ini Polri, pun dilihat dari apa yang dirasakan oleh komponen internal dan eksternal.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 96 NAKHODA IMPIAN Sejatinya, masyarakat umum yang menjadi bagian dari komponen eksternal Polri adalah tujuan terpenting dari institusi terbesar di negeri ini tersebut. Hal itu juga berlaku untuk seluruh lembaga pemerintah yang berorientasi pada layanan terhadap masyarakat. Wajar apabila masyarakat menginginkan, mengharapkan, bahkan menuntut supaya fungsi dan peran Polri bisa mereka rasakan serta membawa manfaat bagi masyarakat luas. Dalam teori kontrak negara dan masyarakatnya, disebutkan bahwa tujuan bernegara adalah membangun kesejahteraan masyarakat. Itu artinya, seluruh lembaga eksekutif pemerintah, termasuk Polri, juga wajib mewujudkan tujuan bernegara tersebut, yakni membangun kesejahteraan masyarakat. Karena itulah, pendapat dan penilaian dari masyarakat menjadi hal yang penting bagi Polri. Khususnya dalam mengukur kinerja para pemimpin dalam tubuh Polri. Dalam bab ini, pemimpin yang menjadi subjek penilaian masyarakat adalah Kapolres. Berhasil tidaknya kepemimpinan seorang Kapolres dapat diukur langsung oleh masyarakat. Hal yang paling sederhana adalah terwujud tidaknya stabilitas keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang menjadi lingkup kepemimpinan Kapolres tersebut. Itu sesuai dengan salah satu fungsi penting Polri sebagai institusi yang mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat. Kajian tentang “corpus” (atau inti dari fenomena sosial berdasar perspektif kepolisian) mengintisarikan bahwa pemolisian di seluruh negara justru berorientasi pada manajemen lembaga/organisasi dan sumber daya kepolisian itu. Selain itu juga pada proses penegakan hukumnya, penggunaan teknologi dalam pekerjaan-pekerjaan polisi, dan jaminan keamanan melalui pembangunan hubungan antara polisi dan masyarakat. Sejatinya, masyarakat umum yang menjadi bagian dari komponen eksternal polri adalah tujuan terpenting dari institusi terbesar di negeri ini tersebut


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 97 IMPIAN Poin tentang hubungan polisi dengan masyarakat bersifat dinamis karena ada penyerapan “keinginankeinginan, harapan-harapan, dan tuntutan-tuntutan” dari masyarakat. Dalam survei di 16 kabupaten/kota dari provinsi di Indonesia terhadap Kapolres diketahui bahwa keinginan, harapan, dan tuntutan itu tidak bisa lepas dari interaksi kedua belah pihak. Fungsi dan peran Kapolres akan kemudian menjadi pengalaman bagi masyarakat. Kepemimpinan Kapolres akan diukur ketika masyarakat berinteraksi dengan Kapolres dan Polres dalam urusan-urusan yang sifatnya rutin seperti perpanjangan surat izin mengemudi (SIM), atau urusanurusan sekali waktu seperti pembuatan SIM dan pembuatan SKCK, atau urusan-urusan darurat seperti kehilangan kartu identitas, kehilangan dokumen penting, kehilangan telepon seluler, dan kehilangan motor. Tentu saja, ada pula urusan-urusan yang sifatnya pelanggaran, seperti kena tilang atau harus membayar denda pelanggaran lalu lintas.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 98 NAKHODA IMPIAN Masyarakat punya banyak cara untuk menilai kinerja Kapolres. Yang paling mudah adalah melalui layanan-layanan langsung yang diberikan oleh Polres. Adanya kemudahan dalam pengurusan perpanjangan SIM, misalnya. Hal tersebut akan relatif memberikan kesan baik pada masyarakat. Demikian juga kelancaran pembuatan SIM, pembuatan SKCK, ataupun pembuatan surat kehilangan. Semakin cepat durasi pengurusannya atau ringkas prosesnya, maka semakin bagus pula penilaian masyarakat terhadap Polres dan Kapolres. Transparansi proses juga membuat penilaian masyarakat terhadap Kapolres dan Polres menjadi lebih bagus. Pengalaman langsung masyarakat mengurus SIM atau SKCK diPolres memunculkan kesan terhadap Kapolres. Jika pengurusan berkas lancar dan sesuai prosedur, masyarakat cenderung memberikan penilaian bagus terhadap kinerja Kapolresnya. Itu karena kinerja Polres memang mengindikasikan kecakapan pemimpinnya, dalam hal ini Kapolres. Atas pengalamanpengalaman menyenangkan, masyarakat langsung memberikan nilai bagus terhadap Kapolresnya. Sebaliknya, jika pengurusan berbelit atau malah melibatkan calo dan pungutan liar sebagai pelicin, maka masyarakat akan langsung menganggap Kapolres tidak becus. Sebab, dia dianggap gagal menertibkan anggotanya dalam urusanurusan yang menjadi bagian dari pelayanan polisi terhadap masyarakat. Karena itulah, dalam keinginan, harapan, dan tuntutan terhadap Kapolres, masyarakat yang menjadi bagian dari survei oleh Aulia dan tim mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mereka. Kendati sebagian besar masyarakat memberikan skor 8, 9, dan 10 terhadap kinerja Kapolres, ada juga yang memberikan skor terkecil, yaitu 1. Sebanyak 15 orang dari total 707 responden memberikan skor 1 untuk kinerja Kapolres. Dua di antaranya sering berurusan dengan Polres karena kena tilang. Sedangkan, 13 sisanya berurusan dengan Polres untuk urusan pembuatan SIM dan SKCK saja.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 99 IMPIAN Dari 15 orang yang memberikan skor terkecil untuk Kapolres itu, terungkap keinginan, harapan, dan tuntutan tentang sosok pemimpin ideal. Ada tujuh kriteria yang mereka tuliskan. Yang paling dominan adalah jujur. Selain mengharapkan Kapolres yang memiliki kejujuran tinggi, mereka juga menginginkan sosok Kapolres yang selalu mengedepankan masyarakat dan tidak mementingkan urusan pribadinya, mengayomi masyarakat, tidak semena-mena, adil, bijaksana, serta memantau anggotanya dan tidak segan mencopot mereka yang melanggar aturan.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 100 NAKHODA IMPIAN Masyarakat Indonesia yang majemuk melahirkan banyak latar belakang budaya yang berbeda. Ada begitu banyak nilai yang tertanam di hati, benak, pikiran, dan pandangan setiap orang. Demikian juga dengan standar, norma, gagasan dan ide tentang kepemimpinan. Di era digital seperti sekarang, pengalaman masyarakat dengan Kapolres atau Polres pun tidak selalu muncul dari pengalaman secara langsung atau pengalaman pribadi. Fenomena itu juga memengaruhi penilaian masyarakat terhadap kinerja polisi, khususnya kepemimpinan Kapolres. Dalam survei yang berlangsung selama sekitar satu bulan mulai awal Agustus hingga awal September 2023 ini, sebagian besar masyarakat mengaku mengenal Kapolresnya lewat medsos. Mereka juga menyebut beberapa platform medsos seperti Facebook dan Instagram, serta situs resmi kepolisian dan portal berita online sebagai sumber atau pemasok informasi terkait kinerja polisi. Media sosial (medsos) memperluas jangkauan pengalamanpengalaman itu. Pamor Kapolres, bahkan Polri, bisa dengan mudahnya terbiaskan oleh trending topic atau rumor dan tanda pagar (tagar) yang diembuskan warganet di medsos. Tentu saja, penularan rumor dari mulut ke mulut atau kabar lisan juga masih tetap terjadi dalam masyarakat dan cukup relevan memengaruhi penilaian masyarakat terhadap polisi.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 101 IMPIAN Simulakra dan Era Post Truth Peradaban masyarakat modern sudah jauh berubah. Kini, masyarakat dihadapkan pada fenomena dekonstruksi sosial, yaitu proses penataan ulang realitas sosial yang dilatari berbagai perubahan fundamental sebagai dampak globalisasi, perkembangan teknologi, revolusi industri 4.0, maupun perubahanperubahan lain yang tidak pernah diduga sama sekali kehadirannya. Para ahli konstruktivisme menyoroti peran kuat individu atau sekelompok individu yang punya kehendak bebas untuk bertindak di luar batas struktur sosial dan pranata sosialnya. Fenomena itu tertangkap dalam proses sosial melalui tindakan dan interaksi di antara para individu atau kelompok individu itu sendiri. Pola tersebut lantas menciptakan realitas yang mereka miliki dan mereka alami bersama. 2 Teori Simulakra Jean Baudrillard. Simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Pandangan tersebut melahirkan konstruksi sosial atas suatu realitas yang sebenarnya hanyalah representasi dari hal-hal yang disepakati bersama sebagai realitas. Fenomena simulakra2 dalam proses dekonstruksi tersebut menempatkan manusia dalam tatanan yang sudah banyak berubah. Ada nilai-nilai lama yang dipertahankan di antara banyaknya nilai-nilai baru yang lahir. Di era postmodern sekarang ini, masyarakat terikat dan sangat bergantung pada teknologi. Komunikasi menjadi semakin cepat, demikian juga koneksi integral lintas negara akibat pesatnya teknologi informasi. Perubahan itu menghadirkan wahana transformasi sosial dimana tatanan nilai modern bergerak dengan serba cepat dan instan.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 102 NAKHODA IMPIAN Komunikasi sebagai dialektika telah menjadi kebutuhan utama, sehingga informasi dan data juga menjadi komoditas penting. Pada akhirnya, beragam media (termasuk medsos) tumbuh menjadi pilar yang tidak tergantikan sebagai sumber utama pemasok kebutuhan manusia terhadap informasi. Akibatnya, masyarakat menjadi bergantung pada asupan informasi dan cenderung responsif pada semua informasi yang mereka terima secara online tersebut.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 103 IMPIAN Berbagai realitas dikonstruksikan ulang, termasuk melalui pemberitaan media atau medsos. Demikian pula realitas-realitas hubungan antara polisi dan masyarakat. Semakin banyak diberitakan oleh media atau semakin sering dibahas di medsos, maka semakin banyak informasi yang membanjiri kognitif publik. Celakanya, masyarakat yang menerima informasi tersebut akan condong menganggap informasi itu sebagai pengalaman pribadi mereka meskipun pengalaman itu mereka dapatkan dari membaca informasi di portal berita atau medsos. Masyarakat kemudian menuangkan gagasan tentang bagaimana seharusnya polisi, kepolisian, dan pemolisian yang ideal itu. Bahkan polisi pun pada akhirnya terseret pada “realitas pemolisian” yang dikonstruksikan media. Namun, apakah realitas itu semu atau nyata? Pengertian itu juga sangat bergantung pada kedinamisan dekonstruksi sosial di tengah masyarakat yang justru semakin menyukai narasinarasi yang lebih dekat dengan emosi dan hal-hal yang mereka yakini. Terkait hubungan polisi dan masyarakat, publik pun lantas menuntut melalui media atau medsos. Mereka juga menumpahkan semua harapan melalui media dan medsos. Semuanya kemudian diberitakan ulang secara besarbesaran. Di sisi lain, polisi juga menarasikan semua hal tentang kepolisian dan pemolisian di hadapan media. Mereka menganggap itu sebagai hal yang efektif dan efisien. Berbicara kepada media kemudian diartikan sebagai upaya problem solving (baik dalam upaya preemptif, preventif, maupun penegakan hukum).


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 104 NAKHODA IMPIAN Selanjutnya, yang dipaparkan polisi di hadapan media mendapatkan respons lagi dari masyarakat. Dari situlah siklus dekonstruksi itu tercipta dan berulang terus. Dalam perspektif simulakra, fenomena itu menunjukkan bahwa manusia (masyarakat dan polisi) mudah terbawa oleh informasi yang ditawarkan oleh media, sehingga pada akhirnya justru kehilangan eksistensinya sebagai manusia (masyarakat dan polisi). Gelombang post-truth menempatkan masyarakat pada emosi-emosi dan fenomena-fenomena yang melekat pada pandangan dan keyakinannya.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 105 IMPIAN Gelombang post-truth menempatkan masyarakat pada emosiemosi dan fenomena-fenomena yang melekat pada pandangan dan keyakinannya. Bahkan, sekarang pun Polri memiliki strategi manajemen media untuk menangkap apa yang terjadi, apa yang diinginkan, dan apa yang paling diharapkan masyarakat. Tujuan strategi itu pada akhirnya adalah untuk mendapatkan kepercayaan publik. Mau tak mau, upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat juga terfokus pada magnet besar yang sedang tren dalam masyarakat. Yakni, pada apa saja yang menjadi perbincangan publik, apa yang diulas media terus menerus, apa yang menjadi perdebatan warganet di jagat maya dan medsos, dan apa saja trending topic-nya. Semua itulah yang kemudian menjadi prioritas untuk segera diselesaikan oleh kepolisian. Maka, tidak heran jika kemudian muncul ungkapan “viral dulu baru diproses” atau “viral dulu baru ditindak” atau tagar #noviralnojustice. Pola tindakan oleh polisi pun juga mengarah pada apa yang berada pada lingkup magnet besar bernama “harapan publik”. Harapan-harapan itu memang sebagian besar lahir dari pertanyaan tentang apa yang diyakini dan dipercaya masyarakat. Namun, konstruksi sosial baru yang tercipta dari proses dekonstruksi juga ikut berperan di sana. Apalagi, masyarakat Indonesia yang majemuk punya karakter yang beragam dan kompleks, latar belakang pendidikan dan literasi mereka pun tidak sama satu dengan yang lain. Pada akhirnya, pemimpin yang profesional seperti Kapolres pun perlu memahami realitas-realitas yang ada dalam masyarakat agar tetap dapat melaksanakan tugastugas pokoknya serta fungsi dan perannya secara seimbang. Dalam menyikapi teknologi, seorang Kapolres tidak hanya bisa mengandalkannya untuk mengurus perkara, meskipun memang kemajuan teknologi bisa sangat efektif untuk membantu penyelesaian tugas. Namun, Kapolres juga perlu mewaspadai dampak negatif teknologi.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 106 NAKHODA IMPIAN Apalagi, pada saat yang bersamaan, teknologi membuat Kapolres dan masyarakat kian berjarak karena kini segala perkara bisa disampaikan dan dibantu secara online atau secara jarak jauh. Itu membuat kehadiran dan komunikasi tatap muka antara Kapolres dan masyarakat menjadi lebih jarang. Jika itu berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka jarak itu akan semakin jauh dan menjadi celah bagi munculnya banyak pembiasan yang lain. Seorang Kapolres harus menerapkan metode kombinasi yang seimbang supaya teknologi bisa dimanfaatkan secara optimal, tetapi penanganan kasus secara konservatif atau yang berbasis kearifan lokal juga tetap bisa berjalan. Kadang-kadang, metode yang kuno justru lebih efektif. Namun, memang ada kalanya juga komunikasi modern yang polisi lakukan lewat medsos atau kontenkonten tematik berbau kepolisian juga lebih berhasil.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 107 IMPIAN Komentar-komentar seperti #polisikerjanyabikinkonten tentu tidak bisa dihindari. Akan tetapi, selama aktivitas tersebut berdampak positif, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Konten-konten yang bertujuan membuka wawasan masyarakat tentang kerja-kerja polisi perlu dioptimalkan di era digital seperti sekarang. Apalagi, jangkauan kontenkonten itu menjadi lebih luas dalam masyarakat. Survei Populix terbaru menyebutkan bahwa 67 persen penduduk Indonesia punya ponsel dan sebanyak 30 persen di antaranya bahkan menggunakan lebih dari satu ponsel. Badan Pusat Statistik melaporkan dalam Susenas 2022, sebanyak 66,48 persen penduduk Indonesia mengakses internet. Fakta-fakta itu tentu menjadi pendukung bagi Polri untuk tetap menyampaikan good practices lewat media dan medsos. Selain itu, konten-konten positif tentang polisi juga bisa menjawab keresahan, tuntutan, dan harapan publik yang disampaikan lewat media, medsos, dan ruang publik yang lain. Dalam tulisan bertajuk Parrhesia: Telling the Truth, Celoteh Kebenaran, Kasesmpin Lemdiklat Polri Irjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana membahas tentang sikap ideal personel Polri (yang dia tuliskan sebagai aparat) di tengah fenomena dekonstruksi sosial seperti sekarang. Aparat sesungguhnya perlu jaim (jaga image) sedikit, tetapi tidak boleh tidak peka, tidak peduli, apalagi tidak berbela rasa terhadap warganya.3 Pada akhirnya, kunci dari semua itu ada pada keseimbangan. Selama konten yang diproduksi polisi bisa berjalan beriringan dengan tugastugas utamanya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apalagi, Polri sekarang punya strategi manajemen media. Jangan sampai gara-gara keasyikan membuat konten, tugastugas pokok polisi dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani, serta hadir di tengah masyarakat malah terabaikan. 3 Chryshnanda DL, Pasar Burung Terminal Cinta, 2023, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, h. 149


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 108 NAKHODA IMPIAN Transisi Ruang Selain dielaborasi dengan Teori Simulakra, fenomena yang terjadi dalam masyarakat sekarang juga menarik untuk dianalisa menggunakan Teori Transisi Ruang yang dikembangkan Jhaishankar. Khususnya, tentang anomali medsos. Medsos memunculkan perilaku konformis dan non-konformis dalam dunia nyata dan jagat maya. Artinya saat orang berpindah ruang (melakukan transisi ruang) dari nyata ke maya, maka perilakunya pun bisa berubah. Orang baik di dunia nyata belum tentu tetap menjadi orang baik di jagat maya. Bisa saja, orang baik itu memainkan peran sebagai orang jahat. Wajar saja mereka bermain peran di jagat maya sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka. Semua bisa terjadi di jagat maya, sesuai preferensi warganet. Namun, apa yang sebenarnya membuat manusia bisa memainkan peran yang sama sekali berbeda dengan esensinya? Ada tujuh postulat yang bisa dipaparkan dalam bab ini untuk menjawab pertanyaan tersebut. 1. Orang yang perilakunya sering ditekan (di dunia nyata) cenderung untuk melakukan “perilaku yang berkebalikan” di jagat maya. Biasanya, peran berbeda yang mereka mainkan di jagat maya itu muncul karena ada kelonggaran untuk tidak memikirkan status dan posisi mereka di dunia nyata ketika sedang “bermain-main” di jagat maya. Mereka meninggalkan segala yang riil di dunia nyata. 2. Kelonggaran di jagat maya memungkinkan seseorang untuk menyembunyikan identitas aslinya atau memilih untuk menjadi anonim agar bisa berbuat semaunya, termasuk berbuat jahat. 3. Fleksibilitas waktu di jagat maya memungkinkan seseorang untuk bertualang kapanpun. Ruang dan waktu yang dinamis itu sekaligus menyuguhkan peluang untuk melarikan diri dari rutinitas dunia nyata.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 109 IMPIAN 4. Mereka yang sebelumnya tidak pernah kenal satu sama lain berkesempatan untuk menjadi satu kubu di jagat maya dan melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan di dunia nyata. Mereka punya peluang untuk melakukan halhal yang tidak baik secara bersama-sama. 5. Orang-orang dengan kepribadian tertutup cenderung menjadi lebih ekspresif di jagat maya. Mereka juga punya tendensi untuk melakukan hal-hal yang tidak baik di jagat maya. 6. Pertentangan norma dan nilai di dunia nyata dengan norma dan nilai di jagat maya berpotensi mengarah pada kejahatan. 7. Perilaku tak baik di jagat maya kemungkinan besar akan dibawa ke dunia nyata, dan demikian juga sebaliknya. Tujuh postulat itu penting untuk diketahui oleh seorang Kapolres. Sebab, pada era postmodern sekaligus post-truth seperti sekarang, Kapolres tidak akan bisa dipisahkan dari teknologi ketika menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya. Penting bagi Kapolres untuk menguasai teknologi dan melakukan manajemen media yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam program-program kepolisian. Dalam tulisan berjudul Merusak Simbol Peradaban adalah Kebiadaban?, Chryshnanda menyampaikan gagasannya tentang anggota Polri yang bertindak dan menanggapi dengan cepat, serta mampu menjadi sosok yang dekat dan bersahabat dengan masyarakat. Sosok ideal seperti itu disebut Chryshnanda sebagai aparat milenial. Dia menambahkan bahwa aparat milenial adalah penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan sekaligus.4 Ke depan, tantangan Kapolres dan anggota Polri, pada umumnya, terkait realitas jagat maya akan menjadi semakin berat dan kompeks. Rumor atau gagasan di jagat maya sangat mungkin untuk kemudian menyulut keributan, kerusuhan, atau pelanggaran-pelanggaran. Sayangnya, regulasi tentang ketidakberaturan sosial di jagat maya belum ada yang jelas. 4 Ibid, h. 123.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 110 NAKHODA IMPIAN Suara Perempuan dan Pengarusutamaan Gender Dari total 707 responden dalam survei yang dilakukan Aulia dan tim, sebanyak 293 atau sekitar 41 persen di antaranya adalah perempuan. Mereka cenderung lebih tegas dalam menyampaikan harapan, keinginan, dan tuntutannya tentang sosok Kapolres yang ideal. Dibanding responden laki-laki, responden perempuan juga lebih berani memberikan skor kecil. Dari kalangan anggota, skor terendah 4,5 diberikan oleh responden perempuan. Demikian juga dari kalangan masyarakat umum. Skor terendah 1 diberikan oleh responden perempuan.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 111 IMPIAN Mereka yang memberikan skor rendah itu menyatakan bahwa sebenarnya Kapolres sudah menjalankan kepemimpinannya sesuai standar. Namun, mereka yakin Kapolres bisa melakukan yang jauh lebih baik dari itu. Dengan demikian, kepemimpinan mereka bisa lebih terasa lewat sikap dan perilaku anggota Polres serta layanan-layanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Salah seorang responden menyebut alasan di balik penilaian buruk yang dia berikan adalah tidak ada peran dan fungsi Kapolres dan Polres yang bisa dia rasakan secara langsung. Di balik skor 3 yang dia berikan pada kinerja Kapolres, perempuan 30 tahun yang berprofesi sebagai dosen itu menyatakan bahwa layanan di Polres salah satu kabupaten/kota di Jawa Tengah itu tidak pernah meningkat menjadi lebih baik. Tanpa memerinci lebih detail, dia juga menyampaikan harapannya agar Kapolres tidak diskriminatif. Mengindahkan masukan dan saran dari responden perempuan menjadi salah satu hal yang penting dilakukan oleh Polri untuk meningkatkan nilainya dalam masyarakat. Apalagi, berdasar data Direktorat Jenderal Pendudukan dan Pencatatan Sipil 2022, komposisi perempuan dalam populasi Indonesia mencapai 49,52 persen atau hampir setengahnya.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 112 NAKHODA IMPIAN Secara kuantitatif, perempuan juga menjadi kekuatan bangsa ini. Maka, masukan dan saran yang sifatnya khas perempuan akan menjadi perlu untuk dipertimbangkan dan menjadi bahan evaluasi ke depan. Di sisi lain, citra polisi sebagai salah satu institusi terbesar negeri ini juga masih sangat patriarkal. Sikap dan tindakan pemolisian dalam masyarakat juga lekat dengan unsur maskulin, apalagi yang melibatkan pengerahan kekuatan dalam mewujudkan keteraturan sosial. Bahkan, penyebutan “Pak Polisi” dalam masyarakat masih begitu kental. Dalam tulisannya untuk Kompasiana, blogger Johan Avie mempertentangkan sebutan Pak Polisi dengan Bu Polisi. Artikel berjudul Reformasi Gender Kepolisian tersebut memaparkan bahwa sifat maskulin yang menonjol dalam tubuh kepolisian dirasa kurang sesuai dengan slogan “Melayani, Mengayomi, dan Melindungi” yang digembor-gemborkan selama ini. 5 Johan Avie, https://www.kompasiana.com/komengavie/550b0b16a33311d21b2e3bee/reformasi-gender-kepolisian, 25 Juni 2015 6 https://koran.tempo.co/read/info-tempo/484266/polisi-wanita-kebanggaan-indonesia Polisi sebagai aparat yang kesehariannya berhadapan dengan masyarakat sipil akan lebih tepat menonjolkan sifat feminin. Sifat gagah berani dan kuat secara fisik justru terkesan menyeramkan di mata masyarakat sipil. Padahal jika mengacu kepada fungsi polisi sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung, maka sifat “ke-ibu-an” lah yang lebih tepat digunakan. Polisi dengan sifat lemah lembut, ramah, dan bisa menjadi tempat berkeluh kesah akan terasa lebih pas untuk menghadapi persoalan-persoalan sosial.5 Komposisi perempuan dalam tubuh Polri sebagaimana dilaporkan Koran Tempo pada 4 September 20236 masih sangat kecil. Jumlahnya berkisar 6 persen saja dari keseluruhan anggota Polri. Angka itu meningkat hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan data 2015 yang hanya sekitar 3,2 persen. Keterwakilan perempuan memang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Polri dan institusi-institusi lain di Indonesia. Tren itu juga terjadi di negara-negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 113 IMPIAN Lekatnya citra maskulin dan budaya patriarkal dalam Polri membutuhkan penyikapan secara internal. Belakangan, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo melakukan banyak terobosan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam tubuh lembaga yang dipimpinnya itu. Salah satunya adalah aturan terkait pengarusutamaan gender di lingkungan Polri yang tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022. Regulasi itu menjadi landasan lahirnya ruang dan kesempatan bagi perempuan, lebih tepatnya polisi wanita atau polwan, untuk mengoptimalkan kiprahnya di kepolisian. Selaras dengan hal tersebut, Polri pun kini menerapkan kebijakan-kebijakan dengan pertimbangan gender (gender awareness) guna mendukung peran polwan dalam institusinya. Selain penerbitan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022 itu, dua kebijakan lainnya juga penting.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 114 NAKHODA IMPIAN Yang pertama adalah meningkatkan kuantitas rekrutmen polwan pada 2023 menjadi sebanyak 1.562 personel. Jumlah itu dua kali lipat rekrutmen tahun sebelumnya. Kebijakan yang kedua adalah memberikan kesempatan yang sama bagi polwan dalam karir struktural organisasi serta memberikan peluang kepada polwan untuk menempati jabatan-jabatan high risk. Pengakuan dan dukungan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan gender itu mengantarkan Listyo pada penghargaan bergengsi dari International Association of Women Police (IAWP). Dia memperoleh IAWP 2023 He for She atas program dan terobosan serta komitmennya terhadap pengarusutamaan gender dalam tubuh Polri. Penghargaan itu menjadi inspirasi bagi institusi lain untuk juga mewujudkan kesetaraan gender dalam lembaga mereka. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, Kapolres-Kapolres pun wajib mengadaptasi kebijakan tersebut. Kapolres perlu mengubah stereotip yang melekat pada polwan dalam konteks feminisme, yaitu: ”subordinasi”.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 115 IMPIAN Seorang Kapolres harus mengakui bahwa polwan pun memiliki kapasitas dan kompetensi yang sama dengan polisi laki-laki terkait kecerdasan dan intelejensinya. Sisi feminis dalam diri polwan membuatnya menjadi lebih taat pada aturan dan selalu mengembangkan kualitas diri. Khususnya, dalam semangat pantang menyerah saat berhadapan dengan tugas atau tantangan.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 116 NAKHODA IMPIAN Karakter perempuan dalam diri polwan juga membuatnya lebih mahir menempati posisi-posisi penting dalam Polri. Misalnya, sebagai negosiator. Polri memiliki kompi polwan atau peleton polwan yang justru diutamakan sebagai negosiator dalam SOP penanganan unjuk rasa. Polwan juga lebih tepat menjadi citra positif kepolisian dalam kaitannya dengan fungsi dan peran Polri sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Itu berlaku tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Pada akhir Juli 2023, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menitipkan salamnya untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui polwan Indonesia yang menjadi salah satu lulusan terbaik Akademi Kepolisian Turki. Dia adalah Briptu Tiara Nissa Zulbida. Dia menempati peringkat kelima lulusan terbaik akademi tersebut sekaligus menjadi satu-satunya peserta asing perempuan terbaik dalam pelatihan capacity building di sana. Sebagai salah satu lulusan terbaik, Tiara menyampaikan pidato berbahasa Turki di hadapan Erdogan dan seluruh tamu undangan yang hadir. “Ini pertama kalinya anggota Polri memperoleh predikat lulusan terbaik. Keberhasilan ini merupakan prestasi Polri di Turki,” ungkap Kombes Pol Harviadhi Agung Pratama, atase Kepolisian RI di Ankara, yang menghadiri wisuda Tiara di Ankara. The First Level Police Chief Training and The Non-Thesis Master Degree yang diikuti Tiara itu berlangsung selama 1,5 tahun dan setara dengan program master. Pelatihan tersebut diikuti oleh 87 peserta didik internasional dari 16 negara, termasuk tiga peserta dari Indonesia. Selain Tiara yang tercatat sebagai anggota Polda Jawa Timur, satu polwan lain yang mengikuti program capacity building tersebut adalah Ipda Regina Setiawan dari Polda Kepulauan Riau. Polwan juga lebih tepat menjadi citra positif kepolisian dalam kaitannya dengan fungsi dan peran Polri sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 117 IMPIAN Sama seperti polisi laki-laki, polwan juga mampu menorehkan prestasi dan membuat bangga institusi Polri. Karena itu, mengoptimalkan akses dan peluang bagi polwan menjadi hal yang penting dan krusial bagi kepolisian di tingkat pusat dan daerah. Bagi Kapolres, memberikan ruang dan kesempatan kepada polwan untuk menjalankan tugas mereka dengan baik akan melahirkan banyak kebijakan yang lebih peka gender di Polres yang mereka pimpin. Secara sadar memberikan ruang dan kesempatan kepada polwan akan berpengaruh pada kinerja Polres, atau Polri secara umum. Perubahan itu juga akan memengaruhi sikap dan penilaian masyarakat terhadap Kapolres dan Polres. Tentunya, kesadaran Kapolres terhadap pengarusutamaan gender itu juga diikuti dengan pemahaman utuh terhadap beban ganda yang menghinggapi perempuan pekerja, termasuk polwan. Bagi sebagian polwan, dualisme peran itu menimbulkan fenomena work family conflict. Sebab, peran di tengah keluarga dan di tengah institusi sama pentingnya. Dalam menjalani peran itu, polwan bisa dihadapkan pada serangkaian ketegangan. Di antaranya kesulitan mengatur waktu, susah fokus karena ada masalah di rumah, dan juga kegagalan beradaptasi dengan budaya polisi (khususnya budaya di Polres) yang bisa jadi bertolak belakang dengan budaya di rumahnya atau family values yang berkembang dalam keluarganya. Karena itu, kemampuan polwan menjadi perempuan pekerja sekaligus istri dan ibu dalam keluarga, membuatnya layak mendapatkan apresiasi. Polwan hebat. Entah itu dalam perannya sebagai bagian dari Polri atau sebagai bagian dari keluarga, polwan adalah “tiang negara”. Saking pentingnya peran perempuan, ada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang hal tersebut. Hadist itu berbunyi: Perempuan adalah tiang negara. Jika baik perempuannya maka baiklah negaranya. Dan jika rusak perempuannya maka rusak pula negaranya.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 118 NAKHODA IMPIAN Chryshnanda dalam artikel Dragon Warrior: Sebuah Ketulusan, Kesederhanaan, Kerelaan dan Pengorbanan mengulas kriteria penting seorang pemimpin, dalam hal ini Kapolres, yang penuh inisiatif dan inovatif. Pemimpin adalah selalu tentang pemahaman dan penemuan jati diri. Kitab-kitab tentang pemimpin itu selalu kosong. Sebab, sang pemimpin itulah yang menemukan, mengisi, dan memikirkan cara untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini, dan mampu menyiapkan masa depan dengan lebih baik.7 Yang disampaikan Chryshnanda itu penting untuk melandasi sikap dan preferensi Kapolres dalam mendukung pengarusutamaan gender di Polres. Apalagi, sejak 2022, Polri menjadikan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) sebagai direktorat tersendiri di bareskrim Polri dan Polda. Kebijakan yang diapresiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga itu menjadi good practice Polri dalam mendukung implementasi UU Tindak Pidana 7 Chryshnanda DL, op. cit., h. 54 Kekerasan Seksual (TPKS). Turunan kebijakan-kebijakan pro-perempuan itu tentunya bisa diselenggarakan oleh Kapolres di lembaga yang dipimpinnya. Apabila sebelumnya belum ada kebijakan atau program yang berprinsip pada pengausutamaan gender, kini Kapolres punya peluang untuk menciptakannya. Namun, apabila sebelumnya sudah ada kebijakan dan program pengarusutamaan gender, Kapolres bisa mengevaluasinya dan memperbaiki hal-hal yang kurang. Akhirnya, Kapolres harus benarbenar menyadari bahwa peningkatan peran, kompetensi, dan profesionalitas polwan bertumpu pada pengembangan tanggung jawab dan kebesaran hatinya sebagai pemimpin. Pemberian ruang yang semestinya dan reward atas pencapaian-pencapaiannya adalah gestur baik untuk memelihara soliditas institusi. Menghormati dan menghargai peran polwan di Polres, atau Polri pada umumnya, merupakan langkah kecil yang positif untuk mengakui peran penting polwan bagi organisasi.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 119 IMPIAN Pemimpin yang Utuh Sebagai salah satu institusi terbesar di Indonesia, Polri harus mencetak pemimpin-pemimpin yang kompeten dan menempatkannya di wilayah-wilayah yang sesuai dengan kompetensi dan kapasitas mereka. Penyebaran sumber daya manusia (SDM) Polri ke berbagai tempat menjadi cara Polri untuk menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat dengan baik. Karena proses penggemblengan pemimpin dalam tubuh Polri sifatnya terpusat, maka model pemolisian di Indonesia tidak bisa lepas dari sistem kepolisian terpusat (centralized model of policing). Merumuskan kebijakan yang bisa mengakomodasi penempatan sebanyak 466.980 personel untuk menjadi Kapolres di berbagai wilayah di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Total jumlah Polres di Indonesia adalah 508. Polres-polres itu didukung oleh 5.022 polsek dan 861 polsubsektor. Sistem kepolisian terpusat membuat urusan terkait SDM menjadi tugas manajemen SDM atau yang sekarang dikenal dengan nama Human Capital Management. Semua kebijakannya terpusat di mabes Polri. Mabes Polrilah yang harus bisa menempatkan para personel itu di seluruh wilayah, baik yang terpencil maupun di perbatasan dan kepulauan.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 120 NAKHODA IMPIAN SDM kepolisian direkrut dari talenta-talenta yang tersebar di tengah kemajemukan masyarakat. Mereka yang memenuhi syarat lantas mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan peningkatan kemampuan untuk menjadi manajer level menengah (KOD). Mereka inilah yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Polres. Tentu saja, proses pendidikan, pelatihan, dan peningkatan kemampuan itu juga mengindahkan kebutuhan dan harapan masyarakat di wilayah Polres itu berada. Titik penting pertama untuk mendapatkan Kapolres yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah menjajaki pengelolaan atau mekanisme pembentukan pemimpin dari berbagai budaya dan kultur daerah di Indonesia. Apakah nilainilai kultur yang melekat pada diri para calon Kapolres itu nantinya akan bisa selaras dengan nilai-nilai kultur maupun subkultur yang diinternalisasikan oleh Polri? Belum lagi adanya budaya polisi yang dibangun lewat partisipasi aktif mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Polres. Bisa jadi, mereka akan menyumbangkan pengalamanpengalaman baru di kepolisian, tapi bisa juga pengalaman-pengalaman itu adalah bentuk pengulangan atau pelestarian dari pengalaman yang lebih dulu disemai oleh para senior mereka. Nilai-nilai kultur dan subkultur yang ditanamkan selama menjalani pendidikan di institusi Polri akan bersinergi dengan nilai-nilai budaya yang melekat pada pribadi para calon pemimpin itu. Namun, ada kemungkinan pula bahwa nilainilai itu tidak akan saling bersinergi melainkan justru saling bertentangan. Jika itu yang terjadi, maka sang calon pemimpin harus bisa mengambil pilihan yang tepat. Moralitas menjadi acuan untuk mengambil pilihan yang tepat. Seorang Kapolres akan membutuhkan kecerdasan dan kecermatan saat menjalankan kepemimpinannya. Etika dan moralitas yang dia diterapkan akan menjadi landasan untuk menentukan konsep benar dan salah. Nilai apa saja yang benar dan nilai apa saja yang salah. Memang etika dan moralitas sangatlah susah diukur.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 121 IMPIAN Akan tetapi, menempatkan Kapolres yang punya integritas, moral, dan tanggung jawab selaras dengan etika kelembagaan, etika profesi, dan etika Polri di wilayah kerja yang sesuai, perlu perhitungan yang tepat. Bagaimanapun latar belakang dan pertimbangan penempatan tugas Kapolres pada akhirnya tidak akan menjadi lebih penting daripada kecakapan sang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Penting bagi seorang Kapolres untuk bisa menerapkan bekal kepemimpinan yang dia peroleh selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan peningkatan kemampuan setelah menjabat. Semuanya akan langsung diukur ketika dia membaur dalam masyarakat. Seberapa cepat dia bisa beradaptasi dengan anggotanya, seberapa fleksibel dia bisa beradaptasi dengan masyarakat, dan secakap apa dia menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Masa-masa awal penugasan menjadi krusial untuk melatih kemampuannya memindai situasi, menganalisis kemungkinan peluang, hambatan, kekuatan, dan kelemahan dirinya sebagai bagian dari Polri dan sebagai bagian dari masyarakat. Masing-masing Kapolres akan menghadapi dinamika tugas dan tantangan yang sangat kompleks di wilayah tugas masing-masing. Bukan hanya terkait peran dan fungsi tertentu, tetapi semua hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial di lapangan yang menjadi lingkup tugas kepolisian. Tantangan-tantangan Kapolres itu akan menjadi kian kompleks saat dihadapkan dengan masyarakat yang majemuk. Karakteristik masyarakat dan pengaruh kultur melahirkan sifat-sifat yang berbeda antar masyarakat berdasar letak geografisnya. Masyarakat kota tidak akan sama dengan masyarakat desa, dan tidak akan sama juga dengan masyarakat urban. Latar belakang budaya dan geografis Kapolres juga bisa memicu timbulnya cultural lag dalam kepemimpinannya. Namun, pemimpin yang baik harus bisa segera beradaptasi dan merumuskan strategi untuk mengantisipasi terjadinya friksi.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 122 NAKHODA IMPIAN Di mana pun area tugasnya, setiap Kapolres wajib menghormati kearifan lokal dan memberdayakannya sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal itulah, Kapolres kemudian berpotensi menjadi ikon toleransi dan kebhinnekaan, mengingat betapa majemuk dan beragamnya masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang dicetuskan para responden dalam survei, faktor kesejahteraan juga menjadi hal penting yang muncul sebagai harapan serta masukan dari masyarakat terhadap Polri. Kesejahteraan adalah tolok ukur yang sangat penting karena bisa langsung terlihat ketika masyarakat internal dan masyarakat eksternal melakukan penilaian. Kesejahteraan tidak hanya menyangkut kebutuhan fisik – sandang, pangan dan papan – tetapi juga meliputi hak. Misalnya, hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan perumahan dinas. Bahkan, juga termasuk pada kesejahteraan intrinsik yang meliputi ucapan terima kasih, kata-kata yang memotivasi, nasihat atau wejangan atau saran terkait masa depan, dan lain sebagainya. Kesejahteraan berdampak langsung pada performa masingmasing anggota. Jika performa mereka meningkat, tentu saja kepercayaan publik terhadap Polri juga meningkat. Pengalaman positif masyarakat dengan Kapolres atau Polres yang merupakan representasi Polri akan menjadi booster yang sangat bagus dalam upaya pemulihan kepercayaan publik terhadap Polri. Pada era medsos yang haus keviralan, Kapolres juga wajib punya kemampuan untuk mengendalikan diri. Tidak bergaya hidup mewah, misalnya. Kapolres harus mampu mengendalikan dirinya, karena asosiasi yang kuat dari masyarakat terhadap Polri sebagai pelayan masyarakat akan ditangkap dari penampilan sang Kapolres. Sebagai pejabat publik, Kapolres juga harus punya empati dan kepedulian untuk menyayangi dan mengasihi masyarakatnya. Sifat dasar manusia itu sangat penting untuk membangun hubungan baik antara Kapolres dengan masyarakat yang dilayaninya, termasuk anggotanya.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 123 IMPIAN Sebagai pemimpin yang mau tidak mau akan dinilai lebih dulu oleh masyarakat, dan bahkan oleh anggotanya, seorang Kapolres memang harus secara sadar mau terlibat secara fisik dan mental dalam institusinya. Chrysnanda mengulas hal tersebut dengan bagus dalam tulisan bertajuk Pemimpin antara Urun Angan dan Turun Tangan. Kapolres harus urun angan, yakni menyumbangkan ide-ide dan gagasan cerdas yang terkonsepkan dalam perencanaan dan program-program implementasinya. Dalam hal ini, Kapolres adalah pencerah, pemberi 8 Chryshnanda DL, op. cit., h. 89 inspirasi, pemberi motivasi, gudang solusi, dan pelopor pemikiranpemikiran cerdas. Di samping itu, menurut Chryshnanda, sebagai pemimpin, Kapolres juga wajib turun tangan. Yakni, mampu melihat dan berperan langsung dalam berbagai upaya dan tindakan pemolisian. Di antaranya dalam menangani dan mengatasi program-program yang mendukung perwujudan mimpi-mimpinya untuk Polres, dan juga untuk memahami keluhan dan permasalahan secara riil.8


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 124 NAKHODA IMPIAN Budaya Polisi Budaya polisi, sebagaimana tergambar dalam hasil survei oleh Aulia dan tim, tercipta karena banyak faktor. Budaya polisi meninggalkan kesan yang berbedabeda dalam masyarakat. Perbedaan penilaian masyarakat itu menggambarkan adanya perbedaan tentang standar dan nilai kepemimpinan yang ideal. Bahkan, pemaknaan tentang kepemimpinan oleh Polri dan masyarakat juga belum tentu selaras. Yang jamak terjadi, dalam memberikan nilai terhadap kinerja Kapolres, masyarakat akan membandingkannya dengan kinerja Kapolres sebelumnya. Subjektivitas seperti itu masih dan akan terus membayangi masyarakat sehingga gap atau perbedaan antara harapan dan gambaran ideal (dalam bentuk masukan dan saran) mereka tentang Kapolres pun tidak bisa diabaikan. Dalam bukunya Understanding Police Culture (2015), John P. Crank menyatakan bahwa budaya polisi memiliki komponen perilaku berupa praktik, aturan, dan prinsip. Perilaku-perilaku itu diterima dan diterapkan secara situasional. Sebagai bentuk konglomerasi pemikiran dan perilaku, budaya selalu ada dalam hubungan timbal balik dan terkadang independen. Seseorang melakukan tindakan tertentu karena itu adalah hal yang sesuai dengan budayanya. Sebelum sampai pada tindakan, orang tersebut akan lebih dulu memikirkan tindakannya. Cara berpikir orang tersebut juga akan dia sesuaikan dengan budayanya. Oleh karena itu, komponen perilaku harus dikenali dan dibedakan secara analitis, karena bisa memiliki implikasi yang berbeda secara fundamental. Perbedaan penilaian masyarakat itu menggambarkan adanya perbedaan tentang standar dan nilai kepemimpinan yang ideal.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 125 IMPIAN Bagan di atas menempatkan polisi sebagai partisipan aktif dalam konstruksi dan reproduksi pengetahuan budaya dan praktik kelembagaan. Kondisi struktural, pengetahuan budaya, dan praktik menjadi faktor-faktor yang memengaruhi individu tersebut dan biasanya terbaca lewat ekspresi-ekspresi budaya individu tersebut. Dia menyadari sepenuhnya peran yang dia mainkan di lingkungan sosialnya. Dia juga sadar bahwa dirinya adalah peserta aktif dalam penciptaan dan interpretasi dunia sosial. Di sisi lain, individu itu juga menyadari pentingnya kepatuhan pada konstruksi realitas dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai polisi. Terkait Kapolres, seorang pemimpin juga sadar tentang pentingnya mematuhi regulasi, diskresi, kekuatan kepolisian, anggaran, dan taktik operasional sebagai suatu realitas. Faktor-faktor itu memengaruhi seorang Kapolres dalam pengambilan keputusan dan dalam menentukan gaya kepemimpinannya. Selanjutnya, keputusan dan gaya kepemimpinan Kapolres diserap masyarakat sebagai pengalaman mereka sehingga melahirkan dampak di dunia nyata maupun di jagat maya (lewat medsos). Contoh dampak kepemimpinan level KOD adalah munculnya tagar #keselamatanpetugas terkait fenomena di Rempang, atau munculnya tagar #keselamatanpublik saat mencermati fenomena di Stadion Kanjuruhan. MODEL INTERAKTIF PRODUKSI BUDAYA PRAKTIK POLISI Structural Condition Police Actor Cultural Knowledge Practice Knowledge


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 126 NAKHODA IMPIAN Pada akhirnya, kebijakan dan pengambilan keputusan seorang Kapolres akan dilihat dan dimaknai langsung oleh masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya, bukan hanya anggota sebagai lingkungan internalnya. Namun, tidak banyak penilaian eksternal atau masukan dan saran dari masyarakat terkait kepemimpinan seorang Kapolres. Selama ini, evaluasi lebih dominan berdasarkan sudut pandang internal organisasi dan pemimpinnya. Karena itu, melalui survei dengan metode kuesioner ini, Aulia dan tim menawarkan sudut pandang baru dalam mengevaluasi kinerja pemimpin dalam tubuh Polri. Menjajaki pendapat masyarakat dengan menjaring penilaian, harapan, keinginan, tuntutan, serta masukan dan saran dari mereka justru akan memperkuat peran dan fungsi polisi. Apalagi, peran dan fungsi polisi dalam prinsip keteraturan sosial adalah membangun masyarakat yang sejahtera.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 127 IMPIAN Data internal mabes Polri menyebutkan bahwa budaya polisi juga dipengaruhi transformasi teknologi, serta perubahan dan ketidakpastian lingkungan eksternal. Akibatnya, terjadi mekanisme transisi, adaptasi, dan transformasi budaya lintas global, nasional dan lokal, yang mendorong kinerja kepolisian menjadi lebih kompleks. Apalagi, ada tuntutan untuk memanfaatkan teknologi modern secara optimal. Sejarah kepolisian dunia memperlihatkan banyak fakta tentang upaya semua negara untuk merekonstruksi struktur sosial dalam masyarakat yang ketika itu hancur lebur pascaperang dingin pada 1991. Pemerintah di seluruh dunia menghadirkan konsep pemolisian sebagai penjaga perdamaian. Namun, karakteristik polisi yang lekat dengan kekuatan (show of force) dalam upaya untuk meredam ketidakteraturan sosial mau tidak mau ikut memengaruhi praktik-praktik pemolisian dalam menjaga nilai-nilai perdamaian, keharmonisan, dan kemanusiaan di seluruh dunia.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 128 NAKHODA IMPIAN Perubahan konsep pemolisian semakin terasa dengan hadirnya demokratisasi dan globalisasi yang membasuh dunia dan memunculkan standar global tentang hukum maupun struktur regulasi normatif. Di satu sisi, kebebasan individu menggema dalam corong narasi tentang “nilai-nilai dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan dihargai dalam sistem demokrasi”. Akibatnya, tindakan abusive atau excessive of power, praktik korupsi, pemolisian yang represif, penegakan hukum yang “tajam ke satu arah” tidak lagi bisa ditoleransi oleh masyarakat. Sebaliknya, tindakan-tindakan itu justru mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Padahal, masyarakat sudah telanjur menaruh harapan dan memberikan kepercayaan pada profesionalitas lembaga kepolisian. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas polisi dalam melaksanakan tugas-tugas pokoknya lantas menjadi “dahaga” publik. Itu tergambar dalam survei yang berlangsung di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua tersebut. Masyarakat menyuarakan banyak kriteria ideal yang berkaitan dengan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas Kapolres. Kata-kata kunci yang mendominasi survei tentang harapan, keinginan, dan tuntutan terhadap Kapolres adalah anggota, pemimpin, masyarakat, adil, amanah, dan humanis. Kata kunci anggota dijabarkan sebagai harapan, keinginan, dan tuntutan terkait kepedulian Kapolres terhadap anggotanya. Peduli pada kebutuhan mereka secara fisik dan mental untuk mendapatkan pengayoman, perhatian, teladan, dan kesejahteraan. Sementara kata kunci pemimpin mewakili harapan, keinginan, dan tuntutan masyarakat (termasuk anggota) tentang pemimpin yang mengayomi, peduli, dan bisa diandalkan. Kata kunci masyarakat menggambarkan harapan, keinginan, dan tuntutan masyarakat terhadap sosok pemimpin yang mengayomi, melayani dengan adil, bertanggung jawab, jujur, bersedia membantu, humanis, bijaksana, dan berintegritas.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 129 IMPIAN Sementara itu, tiga kata kunci lainnya bersifat khas karena dicetuskan sebagai keinginan, harapan, dan tuntutan dari masyarakat di provinsi tertentu. Kata kunci adil disampaikan oleh masyarakat Sulawesi Tenggara. Masyarakat merindukan sosok pemimpin yang adil, mampu memimpin dengan tanpa mempedulikan golongan dalam masyarakat. Berbeda dengan masyarakat Sulawesi Tenggara, masyarakat Maluku mendambakan sosok pemimpin yang amanah. Yakni, pemimpin yang punya integritas dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan bijaksana. Lain lagi seruan masyarakat Kepulauan Riau. Sebagai kata kunci, mereka mencetuskan humanis karena mereka sangat membutuhkan sosok pemimpin yang humanis pada saat ini. Beberapa nilai penting yang menjadi struktur inti dari integritas Polri yang dapat diamati dan bersifat universal baik di dalam komunitas internal maupun eksternal (masya9 Zahari, et al. “Integrity Climate Questionnaire”. Educational Psychology & Counselling: Research Article, Cogent Psychology: https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/23311908.2019.1626541?nee d Access=true, 11 Desember 2019, pk. 20.02 WIB. rakat), adalah: kejujuran, kesadaran, dan prinsip. Kejujuran harus tercermin dari perilaku dan tindakan pemolisian yang transparan, terhormat, tidak dapat rusak, terbuka, dan tulus. Sedangkan, kesadaran merupakan wujud kewaspadaan yang baik dalam melaksanakan tugas pekerjaan sebagai anggota polisi. Sementara itu, prinsip berkaitan erat dengan pegangan moral untuk secara sadar mengutamakan kejujuran dan kebenaran saat melakukan tindakan maupun memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa iklim keterbukaan, kejujuran dan kepercayaan penting dibangun, agar anggota polisi memiliki kekuatan untuk menyuarakan pelanggaran melalui mekanisme whistle-blowing system. Dengan demikian, keseluruhan nilai- nilai penting tersebut bisa ditegakkan untuk menopang iklim organisasi yang melandasi perilaku anggota polisi yang berintegritas.9


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 130 NAKHODA IMPIAN Fakta bahwa lebih dari separuh responden survei kualitatif itu adalah masyarakat dari kalangan usia produktif (kurang dari atau sama dengan 30 tahun) membuat analisa hasil penelitian tidak bisa dilepaskan dari fenomena pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi informasi. Dalam rentang usia tersebut, masyarakat sangat aktif mencari informasi dari berbagai sumber dan cenderung cepat untuk menularkan informasi yang mereka dapatkan itu kepada lebih banyak orang. Perkembangan teknologi dan digitalisasi informasi juga mendorong terjadinya “evolusi kebutuhan publik”. Itu artinya keamanan dan ketertiban sosial tidak hanya diperlukan di ruang-ruang nyata, tetapi juga di ruang maya. Fenomena itu mendorong bergesernya harapan masyarakat terhadap upaya-upaya pemolisian ke arah “pemolisian yang lebih humanis”. Namun seperti apakah humanisme yang intinya adalah keadilan bagi masyarakat, sebagaimana interpretasi sila ke-5 Pancasila yang bunyinya, Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 131 IMPIAN Terkait pergeseran kebutuhan itu, kepemimpinan Kapolres harus dilihat dari perspektif keadilan. Ada dua sudut pandang yang akan diulas dalam bab ini. Sudut pandang pertama adalah keadilan dalam perspektif studi kasus Preposisi 47. Yakni, dekriminalisasi tindakan pencurian barang yang nilai ekonomisnya kurang dari USD 950 (sekitar Rp 14,9 juta dengan kurs USD 1 = Rp 15.412) di California. Di Negeri Paman Sam itu, tindakan kriminal tersebut masuk kategori pelanggaran ringan, tanpa kekerasan, dan karena itu jarang ada tuntutan pada kasus-kasus seperti itu. Preposisi 47 adalah bagian dari serangkaian inisiatif yang dirancang untuk mengurangi populasi tahanan di California. Beberapa kejahatan dan kekerasan diklasifikasi ulang sebagai pelanggaran ringan. Dengan demikian, tersangkanya tidak sampai dikejar polisi, bahkan mayoritas polisi hanya mendokumentasikan video pencuriannya dan segera membebaskan pelakunya. Preposisi 47 memang efektif untuk membantu mengurangi populasi tahanan. Namun, aparat penegak hukum, kejaksaan dan wali kota setempat justru melihat terjadinya banyak ketidakadilan dalam kebijakan tersebut. Salah satu dampak yang sangat signifikan adalah munculnya julukan baru untuk Kota San Fransisco,salah satu kota tujuan wisata di California. Julukan itu adalah San Fransisco surganya para pencuri barang di toko (Shoplifter’s Paradise). Kebijakan yang melipatgandakan aksi-aksi pencurian barang yang nilainya dibawah USD 950 itu membuat jaringan ritel Walgreens Boots Alliance menutup 22 gerainya karena turunnya pendapatan. Selain itu juga ada peningkatan biaya 46 kali lipat dari anggaran untuk memperbaiki keamanan investasi di geraigerai yang menjadi sasaran pencurian. Walgreens menganggap polisi dan aparat penegak hukum lainnya tidak bertugas dan tidak hadir untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi mereka.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 132 NAKHODA IMPIAN Walgreens juga kemudian berencana menutup setidaknya 200 gerai lainnya di seluruh Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari upaya untuk menekan biaya. Fenomena itu juga mengungkap adanya pencurian ritel yang terorganisasi. Ternyata para pencuri dan pengutil itu adalah bagian dari sindikasi kejahatan ritel dengan tujuan menjual kembali barangbarang yang mereka curi itu lewat berbagai platform digital. Sampai pada titik ini, sebenarnya bagaimanakah implementasi keadilan yang masyarakat harapkan? Di satu sisi, mayoritas masyarakat yang mengusung perspektif keadilan untuk semua orang beranggapan bahwa kebijakan untuk tidak mengkriminalisasi pencurian di toko cukup adil agar penjara tidak penuh. Maka mereka mendukung kebijakan yang lantas diundangkan sebagai produk hukum tersebut. Namun, Walgreens jelas tidak merasakan keadilan tersebut. Bagi mereka, regulasi tersebut justru menjadi bentuk ketidakadilan karena mereka mengalami kerugian besar, dan kerugian itu ditanggung pengusaha, karyawan, bahkan keluarga mereka. Ujung-ujungnya, perbedaan perspektif yang dominan itu membuat posisi polisi terjepit. Sebab, merekalah yang menghadapi dampak langsung semua kebijakan itu dalam masyarakat. Baik itu masyarakat yang mendukung regulasi tersebut, maupun masyarakat yang menjadi bagian dari kerugian Walgreens. Sudut pandang kedua adalah kontradiksi peran polisi dalam demokratisasi. Kepolisian adalah bagian dari arsitektur birokrasi negara di bidang eksekutif, yang juga perlu diawasi karena polisi tidak ikut membuat undang-undang (ranah badan legislatif), dan tidak ikut menentukan hukuman bagi para pelanggar undang-undang (ranah badan yudikatif). Polisi hanya menjalankan yang tercantum secara tekstual dalam regulasi, tanpa terlibat dalam proses pembuatannya. Undang-undang yang dibuat berdasarkan perspektif pluralistik para elit politik di bidang legislatif itu mengikat polisi juga dalam implementasinya.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 133 IMPIAN Polisi menegakkan hukum untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban dalam masyarakat, tetapi polisi juga harus menjalankan undang-undang yang disusun sebagai cara tegas untuk mengatur masyarakat dan mewujudkan keteraturan sosial. Masyarakat modern menjadikan penghargaan terhadap kebebasan di alam demokrasi sebagai isu krusial yang secara frontal sering ditempatkan pada sisi yang sangat berlawanan dengan peran dan fungsi polisi sebagai penjaga harmonisasi masyarakat dalam bingkai negara. Sebagian masyarakat bahkan menyebut demokrasi tidak selaras dengan tugas-tugas kepolisian. Mereka beralasan bahwa demokrasi mewakili konsensus kebebasan, partisipasi, dan kesetaraan; sedangkan polisi mewakili pengaturan, pembatasan, dan pelaksanaan wewenang pemerintah sesuai undang-undang secara tegas. Padahal, dalam lingkup tugas dan wewenangnya, polisi justru menjaga pilar-pilar demokrasi agar dapat mengawal kebebasan dalam masyarakat. Sebab, kebebasan dalam perspektif negara hukum adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, polisi menjalankan tugasnya dengan baik tapi juga tetap menghargai kebebasan. Sudut pandang tersebut mendapatkan reaksi berbeda dalam masyarakat. Kini, masyarakat cenderung menggeneralisasi polisi. Satu saja polisi atau oknum yang melanggar undang-undang cukup bagi mereka untuk dijadikan alasan menilai semua polisi adalah pelanggar aturan. Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Ketika salah satu individu dalam masyarakat menerima perlakuan yang tidak sesuai dengan prinsip kebebasan di alam demokrasi, maka individu itu akan cenderung menganggap semua polisi berperilaku sama. Bahkan, sampai ke level pimpinan seperti Kapolres hingga Kapolrinya. Maka, lahirlah persepsipersepsi bahwa polisi tidak mendukung demokrasi dan justru berlawanan dengan prinsip-prinsip baik yang diusung demokrasi. Tidak hanya itu, individu yang dikecewakan oleh polisi tersebut kemudian menceritakan pengalamannya kepada masyarakat luas, entah secara langsung atau melalui medsos.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 134 NAKHODA IMPIAN Penilaian masyarakat terhadap kecakapan Kapolres lantas dilihat dari kontradiksi kebijakan-kebijakan dan pengambilan keputusan yang lahir dalam dualisme pertentangan antara perspektif kebebasan dan perspektif pembatasan di alam demokratisasi ini. Di negara demokrasi yang ditandai oleh transparansi media dan jurnalisme serta kuatnya mekanisme whistle blower, hal tersebut dapat menguatkan komitmen untuk membangun perubahan dan akuntabilitas polisi.10 Kendati demikian, ada pula lapisan-lapisan budaya polisi yang menunjukkan bahwa polisi memiliki perisai perlindungan dan kecenderungan untuk terisolasi dari masyarakat. Faktor-faktor itu mempertebal rasa solidaritas antar personel Polri dan memunculkan fenomena “topeng seribu wajah” yang secara positif sering diartikan sebagai persahabatan atau perasaan bersatu dalam menghadapi bahaya atau ancaman. 10 Louise Porter & Tim Prenzler. _Police Integrity Management in Australia: Global Lesson for Combating Police Misconduct_. 2012. CRC Press: Taylor & Francis Group. Persepsi tentang bahaya nyata dan potensi ancaman menjadi pijakan bagi polisi untuk bersolidaritas satu sama lain. Apalagi ada persepsi yang dibangun oleh para personel Polri bahwa mereka terisolasi dan relatif bertentangan dengan banyak elemen masyarakat. Dorongan-dorongan itu dalam skala besar dan intensi yang terus-menerus kemudian melahirkan budaya kode keheningan alias code of silence. Hal tersebut muncul sebagai dampak dari konflik polisi dengan kelompok luar, dalam hal ini elemen tertentu dalam masyarakat. Itu juga produk dari cara polisi memandang kelompok lain dengan kacamata yang bertentangan perspektifnya. Dalam konflik-konflik yang bersifat fisik dan melibatkan penggunaan kekerasan, misalnya. Untuk membenarkan sikap mereka dalam situasi seperti itu, polisi berlindung di balik istilah “keselamatan petugas.” Istilah itu menjadi “topeng seribu wajah” polisi untuk mendapatkan pembenaran atas penggunaan kekuatan secara penuh dalam suatu kasus atau peristiwa.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 135 IMPIAN


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 136 NAKHODA IMPIAN Kecenderungan seperti itu tetap ada meskipun sebenarnya Polri sudah mengingatkan bahwa kecerobohan alias kegagalan untuk mengikuti alur budaya adalah hal yang berbahaya. Bahkan, kecerobohan itu berpotensi mengganggu “keselamatan publik”. Dalam perspektif lain, polisi meyakini bahwa hukum tidak selalu bisa memberikan solusi untuk masalah-masalah yang mereka hadapi. Sampai sekarang, penyelesaian kasus-kasus di kepolisian bergantung sepenuhnya pada peradilan. Karena sistem hukum masih lunak terhadap kejahatan, maka keterampilan dan teknik kepolisian pun terkadang menyentuh area abu-abu yang beririsan dengan “peradilan jalanan”. Tujuan teknik itu adalah memberikan efek jera kepada para pelanggar aturan. Dengan demikian, polisi selanjutnya mendapatkan kepercayaan dari publik karena berhasil mewujudkan keamanan dengan menangkap pelaku dan menempatkan pelaku sebagai kriminal yang membahayakan masyarakat. Dengan cara itu, biasanya gejolak dalam masyarakat berhasil diredam.11 Fenomena “topeng seribu wajah” juga terindikasi dalam survei oleh Aulia dan tim. Responden survei yang kategorinya adalah anggota Polri relatif memberikan skor tinggi ketika dihadapkan pada penilaian kinerja Kapolres. Mereka menyebutkan alasan-alasan normatif seperti “sudah menjalankan tugas dengan baik”, “sesuai prosedur yang berlaku”, atau “menunjukkan kepemimpinan yang layak” ketika diminta menyebutkan alasan di balik pemberian skor tinggi yang diartikan sebagai kepuasan. Bahkan, untuk dua skor terendah dari anggota (nilai 5 dan 4,5) pun, mereka memaparkan alasan yang sama. Responden tidak puas, tapi kinerja Kapolres di mata mereka tetaplah “sudah sesuai standar”. 11 John P. Crank, Understanding Police Culture, London & New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2015


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 137 IMPIAN Namun, alasan-alasan yang lebih beragam disampaikan oleh responden yang kategorinya adalah masyarakat umum. Perbedaan alasan di balik skor yang tinggi dan rendah menjadi indikasi bahwa reaksi masyarakat lebih organik, tidak terikat kode-kode tertentu. Nilai-nilai sempurna pada skala 9 dan 10 rata-rata diberikan oleh mereka yang jarang berurusan dengan polisi kecuali untuk perpanjangan SIM. Sedangkan, nilai-nilai bagus pada skala 7 dan 8 diberikan oleh masyarakat yang lebih sering berurusan dengan polisi untuk berbagai alasan. Pembuatan SIM, perpanjangan SIM, pembuatan SKCK, kena tilang, dan mengurus surat kehilangan. Untuk dua kategori skor yang artinya memuaskan itu, masyarakat menyatakan bahwa Kapolres sudah cakap karena ratarata sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Itu karena layanan yang diberikan di Polres yang dia pimpin relatif memuaskan. Berbeda dengan masyarakat yang mengaku puas dengan kinerja Kapolres, sebagian masyarakat yang lain memberikan skor 5, 3, dan bahkan 1. Tiga angka itu menunjukkan ketidakpuasan mereka. Alasan mereka memberikan nilai rendah adalah karena layanan yang diberikan di Polres berbelit. Ada indikasi ketidakpatuhan juga karena sebagian masyarakat menuliskan kejujuran dan keadilan sebagai keinginan, harapan, dan tuntutan untuk Kapolres. Bahkan, ada satu responden yang memberikan skor 1 dan menyampaikan harapannya agar Kapolres memantau bawahannya dengan baik dan tidak segan mencopot bawahan yang melanggar aturan. Hasil survei dari kelompok masyarakat umum menunjukkan realita sebenarnya di lapangan. Bahwasanya skor yang tinggi memang lahir dari kepuasan mereka dan apresiasi mereka terhadap kinerja Kapolres.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 138 NAKHODA IMPIAN Sebaliknya, skor yang rendah menjadi cara mereka untuk mengajak Polri merefleksikan diri. Bahwasanya masih ada praktikpraktik yang bertentangan dengan prinsip polisi sebagai pengayom masyarakat. Skor rendah dan alasan di balik penilaian itu diharapkan bisa menjadi masukan dan saran bagi Polri dalam mencetak pemimpin-pemimpin andal. Fenomena code of silence yang menjadi dampak upaya Polri untuk membangun soliditas internal pasca anjloknya kepercayaan publik beberapa waktu lalu, sebenarnya juga bukan hal yang buruk. Kode keheningan itu berfungsi menguatkan dan menyolidkan barisan internal Polri dengan cara meningkatkan performa anggota dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Namun, hal tersebut juga berpotensi memperluas diskresi kepolisian dan terbukanya celah ruang tanpa pengawasan ketika anggota bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena itulah, masing-masing Kapolres harus menyadari betul bahwa kepemimpinan yang mereka jalankan mampu membelah “kode keheningan” tersebut sehingga mampu menerima lebih banyak masukan, saran, dan bahkan kritik dari masyarakat. Polri juga harus mencermati fenomena pemolisian partisipatif yang berakar dari keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat dalam tugas-tugas pemolisian. Tujuannya adalah agar tugas-tugas itu berjalan dengan lebih baik dan lancar. Hanya saja, fenomena itu harus dicermati dalam perspektif yang lebih luas agar terwujud efektivitas dan efisiensi sehingga polisi kembali mendapatkan kepercayaan publik. Misalnya kasus di contohkan tentang aspek penegakan hukum, dimana adanya kritik, saran dan tuntutan yang sangat masif terhadap penanganan suatu kasus di daerah tertentu. Kritik dari masyarakat itu, jika dipandang secara positif, adalah bentuk kepedulian masyarakat. Mereka menaruh harapannya pada polisi untuk segera menuntaskan kasus yang meresahkan mereka. Kritik dan saran dari masyarakat adalah suplemen atau “pil pahit” bagi kinerja polisi, supaya menjadi lebih baik.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman NAKHODA 139 IMPIAN Bagi Kapolres, kepemimpinan juga meliputi kemampuan manajerial dan pengelolaan sumber daya. Jika Kapolres mampu mengelolanya dengan baik dan fokus pada penanganan kasus maka masyarakat yang setiap saat memantau progres penanganan kasus tersebut akan menjadi puas. Kepuasan tersebut akan menormalisasi dan menguatkan kembali hubungan antara polisi dan masyarakat. Dengan demikian, citra baik Polri akan kembali diraih. Demikianlah pentingnya melihat konteks penegakan hukum bukan dari kacamata hukum saja, tetapi juga dampak atau ekses dari penerapan hukum itu terhadap kepastian, rasa keadilan dan kemanfaatannya bagi masyarakat.


Kajian Bagi Sosok Pemimpin Yang Memenuhi Harapan Masyarakat dan Adaptif Terhadap Perkembangan Zaman 140 NAKHODA IMPIAN Benturan Antargenerasi Kemajemukan masyarakat dan tren media serta medsos yang dipaparkan pada bagian sebelumnya bab ini hanyalah dua tantangan yang harus dihadapi Kapolres. Tantangan lain yang tidak kalah pelik adalah ancaman gegar budaya akibat benturan antargenerasi dalam tubuh Polri. Membesarnya komposisi generasi milenial (Y)12 dan generasi Z13 dalam institusi terbesar negeri ini tersebut membutuhkan antisipasi sikap dan perilaku positif dari seorang pemimpin. Khususnya, pemimpin yang menjadi bagian dari generasi X14. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, generasi Z yang komposisinya dalam Polri mencapai 19 persen itu cenderung kurang berkarakter. Mereka juga memerlukan teladan dan bimbingan saat menghadapi masalah di lapangan. Maka, menjadi tugas Kapolres untuk 12 Generasi Milenial atau Generasi Y adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1980 sampai 1996. Data internal menyebutkan sebanyak 209.335 personel polri yang masuk kategori ini. 13 Generasi Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997 sampai 2012. Data internal menyebutkan bahwa sebanyak 77.293 personel polri yang masuk kategori ini. 14 Generasi X adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1965 sampai 1980. Data internal menyebutkan bahwa sebanyak 114.380 personel polri yang masuk kategori ini. memperkuat karakter anggotanya yang berasal dari generasi Z. Kendati demikian, Kapolres bisa memanfaatkan kelebihan generasi Z yang rata-rata sangat melek teknologi. Seorang Kapolres harus bisa mengarahkan supaya kelebihan di bidang teknologi itu sebagai kontribusi maksimal untuk institusinya. Fokus pada generasi X, Kapolres juga tidak boleh melupakan anggotanya yang milenial karena jumlah mereka mendominasi Polri. Dalam komposisi Polri, sebanyak 52 persennya adalah milenial. Lahir pada era yang berbarengan dengan tumbuhnya internet, generasi milenial punya pemahaman yang bagus terhadap teknologi dan dunia digital. Namun, mereka memang tidak terlalu aktif di jagat maya serta cenderung memisahkan kehidupan pribadi dan aktivitas di medsos atau internet.


Click to View FlipBook Version