MATAHARI PUN
TAK BOSAN
Antologi CERPEN kelas ix
Tp 2020/2021
MATAHARI PUN TAK BOSAN
Antologi Cerpen Siswa Kelas TP 2020/2021
Disklaimer: Buku ini merupakan buku kumpulan
cerpen karya siswa kelas IX TP 2020/2021 yang
merupakan hasil karya siswa selama Belajar Dari
Rumah saat Indonesia dilanda wabah Covid-19.
Penerbit : Bengkel Literasi SMP N 3 Ampek
Angkek
Editor : Mariratul Mawaddah, M.Pd.
Hak cipta @2021 SMP N 3 Ampek Angkek
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala syukur kehadirat Allah
yang selalu melimpahkan berkah dan rahmat kepada
kita semua. Sehingga buku kumpulan cerpen
“MATAHARI PUN TAK BOSAN” karya siswa kelas 9
TP 2020/2021 ini dapat diselesaikan dengan baik.
Cerpen dalam buku ini ditulis ketika siswa harus
belajar dari rumah, karena pandemi Covid 19 yang
melanda Indonesia.
Tujuan penulisan buku ini adalah sebagai salah
satu bentuk giat literasi bagi guru dan siswa di SMP
Negeri 3 Ampek Angkek. Berimajinasi dan
menarasikan kisah kehidupan dalam bentuk
kumpulan cerpen adalah suatu hal yang
membutuhkan proses pemikiran dan pengalaman
dalam menulis. Namun meskipun sulit, pada akhirnya
buku ini selesai ditulis.
Yetti Yulia, M.Pd.
Kata Hati
Afifa Elmania
Setiap detik, menit aku mendengar suara
hati seseorang yang sebenarnya. Aku sering melihat
tatapan manis namun busuk di hatinya.
"Hei!, selamat pagi Vicky," tampak luar.
"Kenapa sih ia harus sekolah hari ini? Dasar
menyebalkan," yang ia ucapkan dalam hati.
Banyak orang bermuka manis namun busuk
di dalam hatinya disekitarku, sering mendengar caci
maki yang diperuntukan untukku. Aku ini hanya
anak yatim piatu yang tidak bisa mengeluarkan
emosi, dan tidak suka bersosialisasi dengan orang
sekitar, setiap saat aku kesepian, sendirian. Tak
banyak orang yang mau berteman denganku karna
aku membosankan dan selalu ada orang yang ingin
mendekati dengan tujuan tertentu.
"Vicky, kok kamu sendirian saja? Main
bareng aku yuk" Dengan wajah tersenyum lebar
namun ada tujuan busuk dalam hatinya.
"Fufufu.., bagus ni aku dapet orang cupu
yang bakal aku bully" tampak dalam hatinya.
"Tidak, terima kasih aku ingin sendiri,"
ucapku dengan nada rendah dan tatapan kosong.
"Oh, jadi begitu ya kalau begitu aku duluan
ya," sembari pergi dari hadapanku.
"Cih, menyebalkan," ucap di dalam hatinya.
Setiap hari orang-orang disekitarku
mencoba membullyku mulai dari memukul,
menampar dan mengganguku saat akan makan.
"Syraaak!, brrukkk!" Suara air dan makanan
yang jatuh menimpaku.
"Aduh maaf ya tanganku licin."
"Kasian sekali, bajumu jadi kotor."
"Kok bauk gini!, iiiuu!"
"Hei liat tu! Ada orang yang mau ngebully,
rekam-rekam."
Entah kenapa aku tak mau terlibat
perkelahian dengan mereka, karna menurutku itu
sangat merepotkan dan tidak berguna."
"Hei..,hei..,hei..., mau kemana? Mau nangis?"
"Huu..huuu...huuu."
Begitulah hari-hariku yang sangat tidak
berguna. Dulu waktu aku masih kecil aku
mengetahui bahwa aku bisa mendengar kata hati
orang, aku belum terbiasa dengan cemoohan mereka
aku ingin lari dan lari hingga aku menghilang, karna
kata-kata dalam hati mereka begitu menyakitkan
untuk perasanku yang mudah rapuh saat kecil. Dan
aku mulai dewasa, aku mulai terbiasa dengan muka
dua orang-orang disekitarku. Perkataan mereka
begitu tajam setajam silet, hingga bisa mongoyak-
ngoyak hati seseorang hingga berkeping-keping.
Tentang kekuatanku tidak ada seseorang
yang tau kalau aku bisa membaca hati seseorang,
karna aku tidak mudah terbuka dengan orang di
sekitarku walau ada yang mau mendekatiku
kemudian pergi entah kemana.
Matahari mulai menampakkan kehadiranya,
burung beterbangan sambil bernyanyi-nyanyi, bunga
warna warni tumbuh untuk hidup. Entah kenapa aku
berpikir apakah ini pertanda baik atau buruk
untukku. Setiba di sekolah dan bel masuk kelas
berbunyi, aku pun masuk ke kelas dengan tertib.
Terdengar suara langkah kaki dari luar kelasku.
"Cekkleek!" Bunyi pintu yang dibuka.
"Pagi anak-anak!" Sapa wali kelas.
"Pagi Pak!" Jawab serentak para murid.
"Hari ini kita kedatangan murid pindahan
dari Sekolah XXX, dan dia akan belajar bersama kita
mulai hari ini!"
"Nah, silakan perkenalkan dirimu!"
"Perkenalkan namaku Evaline Jassamyn, bisa
di panggil Evaline mohon bantuannya ke depan!"
"Nah sekarang kamu bisa duduk di bangku
kosong di belakang sana!"
"Terima kasih Pak" ucap Evaline.
Dia mulai berjalan ke arah bangku kosong di
belakang, bangku kosong di kelasku ada tiga dan
menurutku dia nggak akan duduk di sampingku.
"Hei!, apakah aku boleh duduk di
sampingmu?" Ucap Evaline dengan suara lembut.
" Terserah."
"Oke, aku bakalan duduk di sini ya," dia
tersenyum gembira duduk di sampingku.
"Aku dapat teman baru, hehee..." Ucap
dalam hati Evaline.
Suasana kelas menjadi ribut dan bising,
karna anak pindahan duduk di sampingku. Aku
mendengar setiap kata yang mereka bersamaan,
membuatku sedikit muak.
"Tak!, tak! tak!" wali kelas memukul meja
menandakan untuk diam, semua siswapun diam.
"Nah, kita lanjutkan pelajaran minggu
lalu...." ucap wali kelas sambil menerangkan
pelajaran.
"Halo namaku Evaline Jassamyn, kalau
boleh tau namamu siapa?" Sambil mengulur tangan
ke arahku.
Aku hanya sekilas melihat tanganya dan
menolak berjabat tangan denganya namun aku tidak
menolak menjawab pertanyaanya.
"Vicky Armania," sambil mencatat pelajaran
yang diterangkan oleh wali kelas.
"Kalau begitu salam kenal dan mohon
bantuanya ke depan ya!" sambil mengarahkan
senyum lebarnya kepadaku.
Setelah beberapa jam berlalu, waktu
istirahat pun sudah tiba. Aku pergi meninggalkan
kelas menuju balkon paling atas, karna di sanalah
tempat paling sepi di sekolah. Tak lupa aku
membawa roti lapis yang aku buat di rumah tadi.
Setelah sampai di balkon atas tanpa kusadari Evaline
membuntutiku saat pergi ke sini.
"!!?"
"Waah..! Tempat ini sangat bagus ya, aku
nggak nyangka kalau kamu suka tempat yang bebas
seperti ini!" Ucap Evaline sambil melihat
pemandangan.
"Kenapa kamu mengikutiku?" Tanyaku ke
Evaline.
"Karna kamu orangnya menarik, entah
kenapa aku ingin dekat denganmu," ucap Evaline.
"!!?"
Perkataan Evaline membuatku terkejut,
karna belum ada seorang pun yang mau berteman
dekat denganku. Anehnya lagi dia berkata jujur
dalam hati dan ucapanya. Baru kali ini kutemui orang
seperti Evaline.
"Apa kau lapar? Ini aku ada satu lagi roti
lapis," sambil mengarahkan roti lapis yang aku
pegang.
"Wah, terima kasih," ucap Evaline.
"Enaknya.., apa kamu yang membuat ini?"
"Hmm" aku mengangguk menandakan iya.
"Ini sangat enak sekali, aku suka!" Ucap
Evaline.
"Apa besok aku boleh makan bersamamu?
Aku akan membawa bekal juga dan kita akan makan
bersama."
"Terserah" ucapku dengan cepat.
"Yeeey, jadi kita makan bekal bersama ya."
Setelah makan bersama kami pun masuk
kelas. Tiba-tiba Evaline kebelet ingin ke toilet.
"Vicky, aku ke toilet dulu ya."
Aku pun melanjutkan perjalanan ke kelas.
sesampai di kelas gerombongan geng pembully
berdiri di hadapanku.
"Hei!, Vicky udah lama ya kita nggak main
bersama lagi, nanti kita main bersama ya di belakang
sekolah! Kamu harus datang ya jangan kabur lo,"
seringai si pembully.
"Ha..ha..ha.., hari ini kamu akan mampus,"
ucap dalam hati si pembully.
Siswa yang ada di kelaspun mulai
menggosipkanku, mereka tidak akan peduli dengan
apa yang akan terjadi denganku ke depanya. Lebih
tepatnya mereka gembira kalau aku dibully.
"Wah asik ni jadi bahan gosipan baru ni."
"Aduh udah lama ni aku ga liat dia di bully."
"Ki..ki..kii.., mampus dasar sampah."
"Bagus ni jadi bahan tontonan," ucap hati
siswa yang ada di kelas.
Pembully itu pun pergi meninggalkan aku
yang berada di kelas. Kemudian Evaline masuk ke
dalam kelas setelah pembully itu pergi. Evaline
berjalan ke arah bangkunya dan bicara kepadaku.
"Kenapa orang pada ribut?"
"Entahlah."
"Teng..teng..teng..!" Bel masuk kelas
berbunyi.
Kemudian para siswa duduk dengan rapi
menunggu wali kelas masuk kelas dan menerangkan
pelajaran. Di tengah pelajaran hujan mulai turun
dengan derasnya dan aku melihat Evaline tertidur
pulasnya di atas meja.
"Teng..teng..teng.."
Bel pulang mulai berbunyi semua siswa
mulai berhamburan keluar dari kelas. Aku bersiap-
siap ke belakang sekolah. Dua orang pembully
menungguku di depan kelas, mereka merangkulku
dan membawaku ke kebelakang sekolah. Evaline
yang tertidur saat pelajaran tadi terbangun setelah
aku pergi dari kelas.
"Loh! Udah pulang ya, kenapa Vicky nggak
bangunin aku?" Ucap dalam hati Evaline sambil
beberes bukunya ke dalam tas.
"Keknya pembully itu udah mau beraksi tu,"
ucap salah satu siswa yang masih tinggal di dalam
kelas.
"Iya kayaknya Vicky bakal mampus dibully
hari ini di belakang sekolah."
"Haaa...haaa...haaa..."
"Vicky!?" ucap dalam hati Evaline.
Mendengar hal itu Evaline sangat terkejut
dengan apa yang ia dengar. Evaline langsung berlari
ke arah belakang sekolah dan menemukan Vicky
tergeletak disekitar para pembully sambil dipukul-
pukul dan diinjak-injak. Hujan yang turun sangat
deras membuat Vicky kedinginan dan tak berdaya.
"Heh, bocah bangun dong tidur-tiduran aja,"
ucap pembully.
"Aduh ni anak nggak ada semangatnya."
"Mungkin jiwanya udah hilang kali makanya
nggak ada emosinya gitu," sambil menarik rambutku.
"Haha..hahaaa..haaa.." Tawa pembully itu.
Evaline mulai berlari ke arahku dan
berteriak dengan keras.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Oh anak baru jangan sok peduli."
"Dia itu nggak ada gunanya dan nggak
istimewa."
"Haaaa..haaaa..haaaa.." Tawa para pembully
mulai memuncak.
"Heh! Kalian kira Vicky itu nggak istimewa?
Dia itu istimewa dari siapa pun dan kalian apa?
Cuma butiran pasir yang suka mengganggu," tunjuk
Ecalibe satu-persatu ke setiap pembully.
"Cih!"
Salah satu pembully melayangkan tamparan
ke arah Evaline. Namun tamparan itu tidak mengenai
Evaline, yang ada pukulan Evalinelah yang mendarat
ke arah pembully itu.
"Aaakh!!" Teriak kesakitan si pembully.
"Ekkh.. Aku akan mrmbalas perbuatan
kalian liat aja nanti," sambil kabur dari hadapan
Evaline.
"Heh dasar pengecut!" Teriak Evaline
Di sanalah kesadaranku mulai hilang entah
kenapa pandanganku mulai buram, Evaline berbicara
denganku namun aku tidak bisa mendengar apa yang
dia bicarakan. Saat terbangun, aku sudah ada di
dalam kamar, aku tidak mengenal kamar yang telah
aku tempati ini.
"Di mana ini?" Ucapku di dalam hati.
"Wah kamu udah bangun rupanya, udah 3
jam kamu nggak bangun-bangun," ucap Evaline
dengan sangat sedih.
"Aku dangat cemas kalau kamu nggak
bangun-bangun," ucap dalam hati Evaline.
"Ini minum dulu teh hangatnya, pasti kamu
kedinginan kan?"
Aku mengulur tangan mengambil teh hangat
di tangan Evaline.
"Terima kasih," sambil menatap teh hangat
di tanganku.
"Sama-sama, oh kamu bermalam di sini saja
ya, karna udah malam. Apa aku boleh minta nomor
orang tuamu," ucap Evaline kepadaku.
"Terima kasih, karna sudah menawarkan
tempat untuk menginap. Tapi aku akan pulang dan
maaf sudah merepotkanmu," ucapku kepada Evaline
sambil beberes kasurnya.
"Tidak, kamu nggak ngerepotin aku kok.
Kalau kamu menginap di sini aku akan menerima
dengan senang hati," ucap Evaline.
"Tidak, terima kasih," ucapku dengan cepat.
"Dan satu hal lagi, kenapa kamu menolong
orang sepertiku?" Sambil berjalan keluar rumah
Evaline.
Evaline termenung mendengar ucapanku,
seketika ia tersadarkan dan langsung menyusulku
dari tampak kejahuan. Dia berlari mengejarku dan
memegang pergelangan tanganku dari belakang yang
membuatku berhenti melangkah.
"Karna kamu istimewa," ucap Evaline
dengan mata berbinar-binar.
"Memang iya aku baru bertemu denganmu
sehari ini, namun kita bisa jadi teman yang baik
untuk ke depannya"
"Aku belum mengenalmu dengan baik, aku
tidak tau apa pun tentangmu tapi aku bisa
mengenalmu dengan perlahan-lahan," ucap Evaline.
"!!?" Aku yang terkejut dengan ucapan
Evaline.
"Aku ingin menjadi teman yang membuatmu
bahagia," ucap Evaline dalam hati.
Setelah dipikir-pikir, Evaline orangnya
sangat jujur perkataan maupun hati, orang yang
sangat bersemangat dan ceria mungkin saatnya aku
mulai membuka hati kepada seseorang. Mungkin ini
akan mengubah hidupku.
"Baiklah aku menerimamu."
"Sekarang kita teman, tidak… tidak kita akan
menjadi sahabat selamanya."
Di sanalah hari-hariku mulai berubah, para
pembully pun tidak mau membuliku dan orang tidak
terlalu menggosipiku walau masih ada sebagian yang
menjelek-jelekkanku di depan Evaline, namun
Evaline membantah perkataan itu.
Hari-hariku bersama Evaline bagai padang
bunga warna warni di setiap waktunya.
Anak Yang Tersesat
Di Jalan
Dea Oktri Fani
Pada zaman dahulu terdapat sebuah desa
kecil bernama Kampung Durian. Di sanalah Rara
tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah meninggal
sejak ia berumur 9 tahun sekarang. Ia tinggal bersama
ibunya di gubuk kecil. Rara bahagia tinggal di sana,
walau di gubuk asal bersama ibu, pasti Rara bahagia.
Hari itu Rara pergi ke sekolah seperti biasa
dengan temannya Nurul. Nurul selalu menjemputnya
ke sekolah. Ketika di perjalanan mereka berbincang-
bincang Rara memulai berbicara.
“Rara, apa cita-citamu Nurul?"
“Aku ingin menjadi dokter," Nurul
menjawab.
"Wow, bagus sekali cita-citamu."
“Kalau kamu ingin menjadi apa?" Rara
melanjutkan.
"Aku tak tahu," Nurul manjawab.
“Kenapa Rara?"
“Mmmm…." mereka pun telah sampai di
Sekolah.
"Ayo kita masuk kelas. Rara bentar lagi bel
akan berbunyi. "
"Iya."
Setelah pulang sekolah Rara langsung
pulang ke rumah Rara mencari ibu untuk salam. Rara
pergi ke kamar dan melihat dan terkejut melihat ibu
yang terbaring di atas lantai. Rara pun
membangunkan ibu-ibu pun tak kunjung bangun
akhirnya Rara memanggil tetangga-tetangga pun
memeriksa Ibu. Ternyata Ibu telah meninggal dunia.
Rara sangat bersedih karna keluarga yang Rara miliki
telah pergi.
Sepuluh tahun setelah kepergian Ibu, Rara
menjadi anak yang malas dan jadi anak yang tak
sopan dan sombong. Warga selalu membicarakan
tentang Rara, Nurul temannya pun kecewa atas
perubahan Rara. Rara selalu pulang malam dan
sampai tengah malamnya, Nurul bertemu dengan
Rara.
Nurul pun menghampiri Rara. "Ra, kamu
kenapa?"
"Kamu siapa?" Nurul seketika paham
keadaan Rara yang tak mungkin ngaku ia temannya.
Rara dalam pengaruh minuman keras. Tiba-tiba Rara
pingsan di jalan. Nurul pun membawa Rara pulang
bersamanya.
Pagi itu, Nurul membuat sarapan untuk
temannya Rara. Setelah beberapa saat Rara bangun
dan langsung pergi ke dapur Rara.
"Ngapain kamu di rumah aku?"
“Makanlah, pasti kamu lapar kan?" Rara pun
memakan masakan Nurul. Tiba-tiba ia teringat
dengan ibunya yang selalu memasakkan untuk Rara.
Tiba-tiba Rara menangis teringat ibunya.
"Rara, sudahlah," Nurul membujuk Rara.
"Pasti ibu kecewa dengan sifatku." Rara
menunduk.
"Sekarang berubahlah. Buat ibumu bangga
di sana.”
"Pasti aku akan berubah."
"Nurul maafkan aku ya."
"Sudah kumaafkan Rara."
Rara pun berniat menyambung untuk
sekolah dan menggapai cita-citanya dan membuat
ibunya bangga.
PERSAHABATAN
FERDI KURNIAWAN
Pada suatu hari aku pergi berangkat ke
sekolah. Sesampai ke sekolah aku bertemu dengan
sahabat baik aku, namanya hafiz. Lukman dan Fatan.
Menurut aku mereka adalah sahabat terbaikku.
Karena mereka bisa membuat aku tertawa dan
nyaman bersama mereka semua. Begitu pun juga apa
yang dirasakan sahabat-sahabatku itu kepada aku.
Pada suatu hari tepatnya di ruang kelas pada
saat pelajaran dimulai, ada seorang anak laki-laki
namanya Rivaldo. Anaknya lucu dan baik, dia teman
sekelas kami. Orangnya suka bercanda kepada
teman-teman termasuk dengan guru pengajar pun
juga dibuatnya lucu, sehingga semuanya ikut tertawa
melihatnya.
Pada waktu itu, anak laki-laki itu sedang
bertanya kepada guru pengajar tentang pelajaran.
"B..B..Buk apa ini artinya Buk?" kata anak
laki-laki itu. Entah kenapa teman-teman tertawa
melihat anak laki-laki itu bertanya dengan gaya
khasnya. Dengan suara yang agak terbata-bata dan
dengan pertanyaan yang sedikit kurang masuk akal,
sehingga membuat teman-teman tertawa
mendengarnya. Namun semua itu tidak masalah bagi
anak laki-laki itu, karena dia merasa senang bisa
membuat semua orang tertawa dengan kehadirannya
itu.
Lalu setelah berjalannya waktu terdengar
bunyi lonceng dari luar kelas yang menandakan jam
istirahat telah tiba dan pelajaran pun telah berakhir.
Pada saat waktu istirahat tiba.
Tiba-tiba anak laki-laki itu langsung terdiam
dan merenung di dalam kelas. Entah kenapa. Karena
dia merasa bahwa dirinya sedang tidak mempunyai
uang untuk belanja ke kantin seperti teman-teman
yang lain, lalu aku dan sahabat-sahabat aku datang
menghampirinya dan menanyakan sesuatu. Apa
yang terjadi dengan anak laki-laki itu sehingga
membuat dia murung setelah mendengar waktu
istirahat telah tiba?
Lalu anak laki-laki itu mengatakan, "Aku
tidak mempunyai uang untuk belanja di kantin." Dia
menceritakan itu kepada kami semua. Pada saat itu
aku dan sahabat aku berniat untuk membantu dia,
agar dia bisa belanja di kantin seperti teman-teman
yang lain.
Lalu aku dan sahabatku berkata, “Kami
akan memberimu uang untuk belanja di kantin,” dan
akhirnya dia tidak merasa sedih lagi karena dia sudah
mempunyai uang untuk belanja di kantin. Dari
pemberian kami semua dan pada akhirnya kami pun
ikut senang bisa melihat dia ceria lagi dan bisa
membantu dia, dari segala kekurangannya.
Persahabatan
yang Baik Hati
Lukmanul Hakim
Aku Ferdi, aku beruntung mempunyai
sahabat yang selalu ada untukku, kami melewati
suka duka bersama. Suatu ketika aku dan sahabatku
bertengkar karena masalah yang kuanggap sepele,
semua itu baru kusadari bahwa sahabatku sangat
penting bagiku.
Suatu hari aku pergi bermain bersama
sahabatku, aku menyuruhnya untuk memegang
gawaiku. Ternyata gawaiku yang dibawanya
tertinggal. Saat itu juga aku marahi dia dengan
perkataan yang kasar karena keegoisanku.
“Lukman, tolong pegang hpku ini ya,
soalnya aku nggak ada kantong celana,” kataku.
“Iya, sini aku bantu bawa hpmu, takut kamu
kelepas hpnya,” katanya.
“Siap, kamu memang sahabatku yang paling
pengertian.” Jawabku.
“Ha.. ha iyalah sesama sahabat memang
seharusnya saling membantu.” Jawabnya sambil
tersenyum.
“Kamu lapar ngga?” Tanyanya.
“Lapar si, mulai keruyukan nih perut,”
Jawabku.
“Makan yuk! Sekarang aku yang traktir, aku
juga lapar,”sSambil menatapku dengan lemas.
“Hmm ya sudah ayo,” jawabku.
Lalu sampailah kami di warung dekat
tempat biasa kita main.
“Kamu mau jajan apa Ferdi?” Tanyanya.
“Aku ngikut kamu deh.” Jawabku.
“Hmm oke deh,” jawabnya.
Beberapa menit kemudian kami selesai jajan
dan mulai berjalan untuk pulang.
“Eh.. kayaknya ada yang ketinggalan deh,
tapi apa ya?” Tanyanya dengan muka yang heran.
“Hmm apa ya?” Aku membantu berpikir.
“Oh iya hpku mana? Celetukku.
“Ya ampun.. oh iya aku lupa, ketinggalan di
warung tempat kita jajan tadi,” jawabnya dengan rasa
bersalah.
“Apa? Ketinggalan? Yang bener aja, kita kan
udah jauh dari warung tempat kita jajan tadi.”
Jawabku dengan kesal.
“Duh, maaf banget ya Ferdi, aku benar-benar
lupa.” Jawabnya dengan berkeringat.
“Apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan
minta maaf bisa membuat hpku kembali dan masalah
selesai? Enggak kan? Seenaknya aja kamu minta
maaf.” Jawabku dengan kesal, lalu tanpa basa basi
aku pergi meninggalkannya.
Keesokan hari, dia datang membawa hpku
dan meminta maaf karena kejadian kemarin, tetapi
aku tetap menghiraukannya. Maka setelah beberapa
lama, aku sadar bahwa hal yang aku lakukan adalah
sebuah kesalahan, dan aku tersadar betapa egoisnya
diriku. Akupun meminta maaf.
Akhirnya persahabatan kita kembali lagi dan
kami pun bisa main bersama lagi.
Matahari Pun
Tak Bosan
Misbah
Ku bangkit setelah lama ambil posisi jongkok
menyaksikan kejadian yang menimpa embun.
Mentari mulai meninggi dan membasahi seluruh
ragaku dengan cahaya kuningnya yang lembut.
Kugerakkan seluruh ototku. Kuajak tubuhku
beraktivitas.
Putar kanan… putar kiri… hadap kanan…
hadap kiri… badanku meliuk-liuk. Aliran darah segar
segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai
keasikan. Di tengah keasyikan itu, samar-samar
kudengar orang bercakap-cakap. Kuajak kakiku
melangkah mencari asal suara. Di ruang tamu
kudapati dua orang tengah terlibat perbincangan
yang serius. Aku intip di balik pintu belakang. Bapak
angkat dan temannya. Aku tak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Bahasa sunda adalah
penghalangnya, karena aku tidak mengerti bahasa
itu.
Diam-diam kuberanikan duduk disamping
bapak angkatku setelah mendapat perizinan. Akupun
kini terlibat dalam pembicaraan yang telah mereka
mulai. Dengan menggunakan bahasa Indonesia raya,
aku bertanya dan menjawab serta menanggapi apa
yang ada dalam diskusi pagi itu.
Masalah pekerjaan dan tetek bengeknya, hal
itulah ternyata yang jadi perdebatan. Bapak angkatku
seorang pedagang dan beliau menekuni pekerjaan
itu. temannya seorang guru dan setengah-setengah
menjalani profesi yang dimilikinya.
“Saya heran kenapa kamu tak pernah capek
bolak-balik dari rumah ke pasar tiap hari?”
Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol
kupikir. Bagaimana tidak coba, kalau aku boleh
bertanya padanya kenapa pula dia tak pernah capek
bolak-balik dari rumahnya ke sekolah? Ya… kan?
“Kata siapa saya tidak capek?” Bapak
menanggapinya singkat.
“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu
tidak bosan?” pertanyaan lanjutan buat bapak. Gila,
sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich
dengan kerjanya. Ah, tapi apa mungkin. Kalau tidak
kenapa dia bertanya dengan pertanyan konyol seperti
itu? Hatiku berdialog sendiri.
Suasana ruangan membisu. Kulirik bapak
angkatku. Bapak diam. Bukan diam biasa. Ada
kebijaksanaan dan wibawa tercipta di wajahnya dan
aku baru tahu itu. Perkenalanku dengan bapak
angkatku belumlah lama, baru sepekan lebih dua
hari. Sejauh ini aku lihat bapak orangnya humoris,
kocak, suka bercanda dan jarang serius. Tapi pagi ini
beda sekali.
Bapak menghela napas, mengisi ruang
kosong di dadanya. Perlahan mengalir nasihatnya
lewat lisannya. Diwejangkan jawaban buat
pertanyaan temannya.
“Kamu tahu matahari bukan?” Retoris bapak
bertanya. Temannya mengangguk. Begitu juga aku.
“Matahari bersinar di siang hari. Muncul di
timur dan tenggelam di barat. Dia bertugas
menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk
yang ada di seantero persada.”
Kembali bapak diam. Kulihat teman bapak
diam menyimak sabda bapak. Aku ikut menunggu
apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.
“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari
tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman bapak. Aku
mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa.
Suasana kembali tak tegang.
“Bagaimana jadinya jika matahari pun ikut
bosan dan meninggalkan tugasnya?” Pertanyaan
retoris bapak muncul lagi.
“Begitulah, bagaimana pula saya akan bosan
bolak-balik ke pasar. Jika saya bosan dan berhenti
bekerja, tentunya anak istri saya tak akan makan.
Bukankah begitu Jang?”
Temannya tersenyum di balik anggukannya.
Tampak semangat baru terpancar di air mukanya,
seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja
Jang, mendidik dan mengajar siswa-siswamu.”
Aku terharu mendengar untaian petuah
bapak barusan. Aku tidak menyangka sedikit pun
kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat
menyelesaikan sekolah dasar ini mampu memberikan
motivasi dan pencerahan pada temannya, meskipun
profesinya hanyalah sebagai seorang pedagang. Salut
dech… dua jempol untuk bapak angkatku… Hidup
pak Rohim, Bapak yang ikhlas penuh cinta
menerimaku selama melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di pinggiran Kota Banten ini.
Bukan Segitiga
Nur’aini Alvia Fitri
Empat tahun yang lalu, Bimo kembali
memandang mata gw sayu dan bercerita tentang gw,
Sera. Akhir-akhir ini gw jadi objek gosip satu
angkatan.
“Bi lu iseng banget sih” nada kesal ucap gw.
Bimo temen dekat gw yang pertama kali tau kalau gw
suka sama cowo kelas sebelah, Alvin.
“Gw keceplosan Ra, sumpah,” bisik Bimo.
“Lu bener-bener deh ah, lu awas ya kalau
dia illfeel sama gw, pokoknya lu harus tanggung
jawab,” balas gw lagi.
“Iyaa tenang aja,” balas Bimo.
Gw kesal bukan karna satu angkatan tau
kalau gw suka sama Alvin, gw takut nanti Alvin tiba
tiba illfeel sama gw terus ngerasa jijik, karna gw tau
gw bukan cewe cantik idaman para cowo.
Ini udah jam pulang sekolah, kelas sebelah
udah berlari nyandang tas bersiap untuk pulang, tapi
kelas gw, masih sibuk milih kelompok untuk tugas
minggu depan.
“Lima, Bimo, Revan sama Sera,” teriak ketua
kelas.
“Bodo amat deh,” bisik gw.
“Ra lu yang bikin ya gw pengen futsal
minggu depan,” ucap Bimo.
“Ha?! Gw coret ya nama lu!” Balas gw.
“Canda doang Ra, serius banget lu,” jawab
Bimo nada tertawa.
“Rahasianya lu bongkar sih, langsung bad
mood deh,” potong Revan yang tiba tiba udah duduk
di sebelah gw.
“Cari mati lu Van?” Balas Bimo.
“Tau ah gw mau pulang,” gw berdiri
nyandang tas cepet-cepet keluar kelas.
Jam 8 malam, di dalam selimut gw pandang
layar hp berharap ada notif dari seseorang. Gak ada
satu pun kecuali dari group kelas, gw ambil hp, gw
liat udah jam 9 tetap gak ada notif. Gw matiin data
dan lanjut tidur, berharap nanti pagi ada notifnya.
Benar, notif dari dia penuh di layar hp gw.
”P, P, Ra kamu udah tidur? Maaf ya paket
gw habis, ini aja pakai wifi,” isi notifnya. Gw seneng
bercampur khawatir, gw ingat posisi, gw bukan pacar
nya tapi kenapa? Tanya gw ke diri sendiri, gw
abaikan pesannya dan siap-siap ke sekolah.
“Lama banget lu dateng, mau bolos lu yak?”
Suara Bimo udah gw denger di depan gerbang yang
tadi liat kiri kanan seperti menunggu seseorang,
“Emang, nungguin siapa lu?” Tanya gw
balik.
“Nungguin pacar gw,” balas Bimo.
“Kek punya aja,” ledek gw.
“Sera,” ucapnya.
“Ha?” Bales gw, ada jeda saat gw balik
badan ngeliat Bimo.
“Apaan?” Tanya gw lagi.
“Lu jelek,” jawabnya, “Bangsat” jawab gw
cepet dengan kesal.
Itu cerita 4 tahun yang lalu, besok adalah
acara pertunangan gw dan Revan, seiring berjalannya
waktu gw tau ternyata Alvin adalah playboy. Revan
dan Bimo di samping gw waktu itu, waktu di mana
gw terpuruk dan malam ini gw di cafe depan taman
Sari bareng Bimo.
“Terus lu maunya apa?” Tanya gw.
“Gak ada, gw cuma mengungkapkan
perasaan gw selama 4 tahun ini, cuma itu kok,”
jawabnya sepele.
“Revan tau?” Tanya gw lagi.
“Tau, dia tau dari 4 tahun yang lalu saat lu
masih suka sama Alvin, gw cuma ngasih tau ini agar
waktu gw tua nanti gw gak nyesel Ra,” jawabnya.
Gw minum jus jeruk gw satu tegukan, berharap Bimo
paham.
“Gw balik, udah malam,” ucap gw sembari
berdiri dari meja makan.
“Gw antar?” Tanya Bimo. Gw lirik Revan di
depan pagar cafe, Bimo paham terlihat senyum tipis
tak ikhlas di wajahnya, dan gw pulang bareng Revan.
”Kamu gak mau nanya?” ucap gw ke Revan
sambil gw peluk erat.
”Gak perlu, aku percaya kok sama pasangan
aku,” balas Revan sambil memegang tangan gw.
Besoknya Bimo datang ke acara tunangan
gw dan Revan, dia gak duduk apalagi makan. Dia
cuma berdiri di depan pintu masuk acara, dan
melihat gw dan Revan, terlihat raut wajah datarnya
dan senyum tipisnya sebentar, dan langsung pamitan
dengan nyokap gw.
Rindu Pupu
DEA TAURISA
"Oke, pelajaran hari ini kita tutup dengan
mengucapkan Hamdallah, dan juga jangan
melupakan tugas kalian ya." Kata Bu Vita
mengakhiri pelajaran Bahasa Indonesia.
"Allhamdulillah," kata kami serempak.
Aku dan teman-teman langsung bersiap-siap
untuk pulang. Ketika di tengah jalan kami mengobrol
hal-hal ringan.
"Hei, apakah kita memiliki PR dari Buk
Vita?" Tanyaku dengan semangat.
"Ooohhh, kau benar Elizabeth," kata Vika,
teman kecilku.
"Kauuuuuu, sudah berapa kali aku bilang
namaku bukan Elizabeth tapi Elisa Elisa. Kau bisa
mendengarnya haaaa." Kataku dengan marah, lalu
mengejarnya.
Dia berlari lalu tertawa dengan keras.
"Jika aku tidak dapat memukul, maka aku
tidak akan bernama Elisa. " Kataku dengan keras.
Semua teman-temanku tertawa, mendengar
tawa mereka aku langsung berhenti mengejar Vika
dan berbalik.
"Apa yang kalian tertawakan haa?" Tanyaku
sambil meletakkan tangan di atas pinggang.
"Hahaa, apa hubungannya Elis dengan
memukul. Benar bukan?" Kata Fera sambil bertanya
pada teman-teman yang lain.
"Kalian menyebalkan!" Kataku pura-pura
merajuk lalu berlari masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum, Bu." Kataku langsung
masuk ke rumah melalui pintu belakang. Aku
melihat ibu sedang memasak makan malam dengan
penuh semangat.
Aku heran, lalu bertanya pada Ibu. "Bu,
kenapa Ibu tampak semangat, apakah ada sesuatu
yang spesial gitu? "
"Hahaha sayangku, nanti Ayah akan
pulang." Kata Ibu dengan semangat. Mendengar
jawaban dari Ibu Aku langsung tersenyum.
"Lalu, apakah Pupu juga pulang bersama
Ayah?" Tanyaku pada Ibu.
"Kata Ayah sih iya, tapi Ibu tidak tau
pastinya." Jawab Ibu dengan ragu.
"Yeeeeaaahhhh!" Aku bersorak dengan riang,
akhir-akhir ini aku merindukan Pupu, karena aku
sudah lama tidak melihatnya.
"Bu, kapan Ayah akan pulang?" Tanyaku
pada Ibu.
"Ayah akan tiba di rumah saat makan
malam." Jawab Ibu.
"Bu, apa ayah akan membawa oleh-oleh
yang banyak untukku?" Tanyaku sambil terus
menyapu lantai.
"Ya, ayah akan membawa oleh-oleh yang
banyak untukmu." Kata Ibu yang sedang mencuci
tangan di wastafel.
"Tok tok, Assalamualaikum." Terdengar
suara ketukan pintu dan ucapan salam. Aku lansung
bergegas membukakan pintu, karenaku yakin kalau
itu adalah ayah. Aku membukakan pintu tapi yang
terlihat hanyalah ayah dengan dua koper berwarna
coklat dan hitam.
"Wa’alaikum salam Ayah." Jawab aku dan
ibu serempak sambil tersenyum.
"Ayah, apakah Pupu benar - benar tidak
pulang bersama Ayah? " Tanyaku untuk memastikan.
"Tadi abangmu ingin pulang bersama Ayah,
tapi gurunya memberikan tugas secara mendadak,
jadi Pupu akan pulang seminggu lagi," jelas ayah
sambil duduk di kursinya.
Aku kurang puas dengan jawaban Ayah jadi
Aku tidak membahasnya lagi.
"Gimana kabar Ayah?" Tanya ibu sambil
meletakkan nasi ke piring Ayah.
"Allhamdulillah, Ayah baik - baik aja di sana,
tapi sempat demam sih dua hari," jawab ayah dengan
tersenyum.
"Nah kalau Elis gimana?" Tanya Ayah
padaku.
"Hmm, Elis sehat dan Ibu juga sehat kok. Oh
ya Ayah tau perut Ibu semakin besar." Kataku sambil
tersenyum. Mendengar hal itu ayah langsung melihat
ke perut Ibu yang sudah mengandung 4 bulan, lalu
tersenyum.
"Ya, Ibu sekarang terlihat gendut." Kata
Ayah dengan tersenyum.
"Ohhh, Ayah baik deh bilang Ibu gendut."
Kata Ibu dengan tersenyum kesal.
"Bercanda kok Bu." Seru ayah.
Kami makan malam dengan tenang, sesudah
makan malam aku mulai menceritakan tentang
teman-teman sekolah, pekerjaan rumah, dan lainnya.
Di pagi hari, aku berjalan melewati koridor
untuk mencapai kelasku, ketika berbelok melewati
koridor tiba-tiba "BUGH" aku berbalik untuk melihat
apa itu tadi.
"Ehh, kau baik -baik saja?" Tanyaku sambil
membantunya berdiri.
"Aku baik - baik saja," kata gadis itu.
"Vika.... Ohhhh, jadi kau tadi ingin
mengejutkanku ya?" Tanyaku dengan menaik-
naikkan alisku.
"Hehe jangan marah haaa, kan aku hanya
bercanda." Katanya.
Ketika jam istirahat aku bersama Vika, Rara
dan Fera pergi ke kantin sekolah.
"Elisabetzh, tadi malam aku melihat ada
sebuah mobil berhenti di depan rumahmu, apa
benar?" Tanya Vika dengan mulut penuh berisi
bakso.
"Ketika mulut berisi makanan jangan bicara,
nanti kau tersedak baru tau rasa," kataku
menasihatinya.
"Iya ustazah." Kata Rara sambil membawa
segelas air.
"Uhuk, uhuk," Rara terbatuk saat ia
meminum air putih tadi.
"Hahaha karma kan? Makanya jangan
ngeledek orang lain. Kualat tuh," kataku
menertawakannya.
"Hmmm iya, tadi malam ayahku pulang,"
jawabku.
"Bagaimana dengan abangmu?" tanya Fera
sambil menduduki kursinya.
"Abangku tidak pulang bersama ayah."
Jawabku dengan lesu.
"Assalamualaikum, aku pulang." Kataku
sambil membuka sepatu.
"Waalaikum salam, kok gitu wajahnya?"
Tanya Ibu.
"Tidak ada kok Bu." Jawabku lalu menaiki
tangga menuju kamarku.
"Ibu, aku akan pergi bermain ke rumah
Vika." Seruku pada Ibu yang sedang menonton TV.
"Pulangnya jangan terlalu malam ya Nak."
Kata Ibuku.
"Ya Bu, assalamualaikum," ucapku.
Ketika Aku ingin membuka pintu, “ BUGH “
"Aaaaaadddduhhh!" Aku mendengar suara
orang terjatuh.
"Vika, apa yang kau lakukan? Jika kau ingin
tidur, kau bisa tidur di kamarku." Kataku tanpa
merasa bersalah.
"Dasar kauuu, Elizabethhh jeleekk,"
teriaknya dengan keras, lalu berdiri sendiri.
"Aku akan bermain di rumah mu." Kata
Vika, lalu masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum tante." Kata Vika sambil
menyalami Ibu.
"Kenapa di sini? Tapi katanya mau main di
rumah Vika." Tanya Ibu.
"Nggak jadi kok Tan." Kata Vika. Lalu kami
mengobrol tentang hal-hal yang ringan, bahkan Vika
membawa kue kering untuk ayah.
Sudah seminggu, hari ini seharusnya Pupu
pulang. Aku membersihkan rumah lebih awal dari
biasanya.
"Ayah, sekarang sudah malam kenapa Pupu
belum pulang?" Tanyaku pada ayah yang membaca
koran.
"Ayah juga tidak tau. Sejak tadi Ayah telfon,
tapi nggak diangkat." Kata Ayah.
"Humph, menyebalkan. Kan dia sudah
berjanji akan memberiku coklat." Kataku lalu menaiki
tangga.
Setiba di kamar, aku merebahkan tubuhku di
kasur, lalu mulai berbicara sendiri.
"Apa yang harus kulakukan?" Tanyaku pada
diri sendiri.
"Pupu jahat, padahal dia berjanji untuk tidak
melewatkan makan malam." kataku sendiri lagi.
Aku beranjak menuju meja belajar,
mengambil pena dan buku diary. Penaku mulai
menari-nari di atas kertas.
Diary, 05 Maret
Hari itu adalah hari pertama kumasuk Sekokah
Menengah Pertama, karena ayah pindah kerja, jadi aku
dan Pupu juga pindah sekolah. Setelah menyalami ibu dan
ayah, aku langsung berangkat sambil menggenggam
tangan Pupu, hal itu adalah kebiasaanku. Aku benar-benar
malu, aku selalu takut untuk berbaur dengan orang lain,
itu terasa asing bagiku.
“Lisa, Lisa " panggil Pupu di sebelahku.
Aku mengangkat kepalaku lalu melihatnya, lalu...
Bugh. Aku tersandung batu, lalu terjatuh. Pupu yang di
sebelahku tertawa terbahak-bahak. Waktu itu aku benar-
benar malu dan melupakan pakaianku yang kotor, lalu
bangkit dengan cepat. Aku langsung memukul Pupu, aku
akhirnya tau kenapa dia memanggilku, lalu melepaskan
genggamannya saat itu. Pupu berlari menghindariku
sambil tertawa. Aku marah lalu mengejarnya.
"Hai, perkenalkan namaku Elisa Graysya. Kalian
bisa memanggilku Lisa. Aku berasal dari Sekolah
Menengah Pertama 03 Batu Jaya. Terima kasih" Kataku
memperkenalkan diri di depan semua siswa di kelasku. Aku
sangat malu-malu dan insecure. (kalian tau arti kata
insecure? Kalau kata Pupu kata insecure itu artinya
kurang percaya diri).
Lagi pula bajuku kotor karena terjatuh saat
berangkat ke sekolah tadi.
"Oke guys, ada yang mau bertanya?" Kata
seorang guru di sebelahku, guru itu terlihat muda, cantik
dan juga asik, mungkin beliau adalah guru yang
menyenangkan.
"Saya." Kata seorang gadis berkulit coklat.
"Oke, silahkan." Jawab Bu guru.
"Lisa, kamu tinggal di mana?" Tanya gadis
berkulit coklat yang tadi. (kalian tau, saat aku melihatnya,
aku berpikir bahwa dia adalah orang yang pendiam, tapi
ternyata dia orang yang cerewet dan tingkahnya itu
MasyaAllah, Ya Allah, Astagfirullah.)
"Aku tinggal di jalan Taman Hijau No 15."
Jawabku.
"Ohh, benarkah? Nah, kalau begitu kita tetangga.
Kamu tau, aku mendengar percakapan mama sama papa
kalau tetangga di sebelahku, Bu Tika, akan pindah dan
digantikan oleh orang baru, dan ternyata itu adalah
kamu." Katanya dengan suara keras. (waktu itu sih aku
sempat mikir kayak gini: apa dia ga malu nguping mama
sama papanya ngobrol?)
"Ada lagi yang ingin bertanya?" Tanya Bu guru
di sebelahku.
"Tidakkk." Jawab mereka serentak.
"Okke Elisa kamu duduk di samping Vika." Ujar
Bu guru.
"Saya Vika." Kata Vika, gadis berkulit coklat.
"Baik Buk." Jawabku sopan.
Tanganku terus menulis di atas kertas, tiba-
tiba “BOOOOMMM“ aku sangat terkejut, lalu
memejamkan mata dan jatuh dari kursi. Ketika aku
membuka mata, aku melihat Pupu menertawakanku.
"Pupu jaaahhhaattt," teriakku, lalu berlari
menuruni tangga. Ketika kakiku ingin melangkah,
aku berhenti saat melihat koper berwarna putih abu-
abu. Aku langsung mengambilnya lalu menuruni
tangga. Aku tidak memedulikan Pupu yang sakit
perut karena terlalu banyak tertawa.
Aku sangat bahagia ketika melihat coklat
yang berada di dalam koper dan akan selalu berusaha
bahagia.