i
ii
iii
Bermain Pena Demi Makna
Copyright © 2008 oleh Moh. Ilyas
All right reserved Hak penerbitan pada Penerbit LAPMI Press
Cetakan 1, Desember 2008 Diterbitkan oleh LAPMI Press JI.
Pintu Gerbang No. 110 Pamekasan e-mail:
[email protected]
http://www.ilyascita.blogspot.com
Penyunting : Lapmi HMI Cabang Pamekasan
Desain sampul : Lapmi Press Community
Moh. Ilyas Bermain Pena Demi Makna — cet. 1 — Pamekasan:
LAPMI Press, 2008
iv
Ayahanda dan Ibunda;
Para Pencari Makna;
Orang-orang yang mengajarkanku makna;
Kader-Kader HMI
Insan Lapmi HMI Cabang Pamekasan, dan
Para Pecinta Pena.
v
vi
SEKAPUR
SIRIH
ismillahirrahmanirrahim. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Shalawat dan Salam pada Nabi
Muhammad al-Amin.
Melihat fenomena akhir-akhir ini, tradisi
intelektual tampak tidak mencuat lagi di kalangan
mahasiswa, khususnya, atau masyarakat secara
umum. la seakan hanya permainan sejarah yang
sempat ditampilkan di bumi ini, di mana sejarah
itu telah berlalu, dan tidak lagi bisa diputar ulang
hari ini.
Kondisi ini disinyalir karena akibat dari
lemahnya kita saat ini "berbaur" dalam kisaran
vii
intelektual, atau juga kelemahan dalam mencari
makna dan jati diri. Membaca ataupun menulis
seolah "barang dagangan" yang cukup langka
didapat, baik itu di kalangan mahasiswa sendiri
atau di kalangan masyarakat umum. Terkesan,
yang mendominasi tradisi dunia mahasiswa adalah
tradisi leha-leha, atau hedonisme, bukan lagi
tradisi intelektualisme seperti diskusi, membaca,
atau menulis. Ini pulalah di antara beberapa
indikator yang sejatinya turut memperlemah jati
diri mahasiswa.
Karena itu, buku “Bermain Pena Demi
Makna” ini meski di dalamnya masih lebih banyak
mengarah pada dunia pena, tetapi juga diharapkan
bisa hadir sebagai jembatan bangkitnya kembali
pesona intelektualisme yang pernah mengisi
"ruang kampus" negeri ini, di mana rute berfikir
yang hendak dicapai adalah bagaimana mahasiswa
khususnya, dan masyarakat pada umumnya,
senantiasa memiliki ghirah untuk membangun
progressifitas diri, terlebih dalam mencapai
kubangan orientasi, baik melalui pintu tulisan
atau melalui pintu bacaan.
Namun pastinya, membaca dan menulis itu
ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. Keduanya saling mengikat dan saling
membawa pada dimensi intelektual.
viii
Di samping itu, tulisan ini juga dii'tibarkan
sebagai "bebijian sang waktu" yang sengaja dipetik
guna menukil sebuah makna agung yang
tersimpan di dalamnya. Sebab perjalanan hidup
akan bernilai guna jika kita kuasa mengambil
nilai-nilai waktu yang melintasi. Tulisan
Mohammad lqbal yang di antara petikannya,
"...Mereka yang bergerak, merekalah yang
maju ke muka. Mereka yang menunggu meski
hanya sekilas, pasti tergilas" menginspirasikan jiwa
untuk selalu "berpolemik" dengan makna.
Sebenarnya, hadirnya buku ini tidak lepas
dan motivasi dan "ilmu" dari beberapa pihak,
termasuk para kakanda alumni HMI, seperti
Dadang Sastrodiwirjo, yang telah meluangkan
waktunya memberikan "Pengantar Penyemangat"
buku ini, kemudian juga Drs. H Amiril M.Si,
Rektor Universitas Madura, Drs. Khalifaturrahman,
dan para alumni yang lain. Dan, tak lupa pula
kawan-kawan seperjuangan di Komunitas Hijau
Hitam. Kepada mereka semua, saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya karena tak
henti-hentinya menghadirkan inspirasi dan
motivasi, menyisakan waktu untuk berdiskusi
tanpa batas ruang, tanpa batas teori dan materi,
baik di saat gundah maupun tenang, dan di saat
sengsara maupun bahagia.
ix
Namun, ungkapan "tiada gading yang tak
retak" meniscayakan bahwa tulisan ini masih
sangat jauh dari kata sempurna, karena di
samping buku kecil ini hanyalah "keping-keping"
catatan harian, profesionalisme penulis di dunia
jurnalistik masih sangat lemah. Sehingga, kritik
maupun saran sangat kami harapkan dalam
rangka memperbaiki tulisan-tulisan kami di masa
yang akan datang. Insya Allah.
Billahittaufiq wal-Hidayah
Pamekasan, 01 Dzul-Qo'dah 1429 H
30 Oktober 2008 M
Penulis;
Mohammad Ilyas
x
PENGANTAR
PENYEMANGAT
Oleh:
Dadang Sastrodiwirjo
(Wakil Bupati Pamekasan)
qra', adalah ayat yang pertama kali
diturunkan Allah swt. Kepada
Rasulullah, yang diikuti penegasan
bahwa Allah swt. Mengajarkan manusia dengan
"kalam". Ayat-ayat dalam al-Qur'an ini
menegaskan bahwa baca, tulis, dan naskah adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
seorang muslim.
Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan: "Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya". Ini menjadi petunjuk
yang jelas bagi kita bahwa baca, tulis, ilmu, dan
buku merupakan sebuah paket yang utuh dalam
menuju "kemajuan".
xi
Barbara Tuchman mengatakan: "Buku
adalah pengusung peradaban. Tanpa buku,
sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu
pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi
mandek". Tidak seorang pun yang akan
menyanggah kata-kata bijak tersebut, karena
kenyataan memang demikian. Dalam sejarah
kehidupan manusia, banyak buku yang telah
berhasil mengubah wajah dunia. Sebut saja
beberapa contoh seperti Tafsir Jalalain, Ihya'
Ulumuddin, Das Kapital, Mein Kampf, Wulang Reh,
Negara Kertagama, Reinventing Government, dan
setumpuk buku lain yang menunjukkan bahwa
apabila sebuah pemikiran cemerlang ditulis
dengan baik, dia akan menjadi kekuatan yang
menembus ruang dan waktu, tanpa batas, dan
abadi.
Masalahnya sekarang, bagaimana
menumbuhkan kesukaan dan kebiasaan membaca
dan menulis ini? Inilah yang dibidik oleh
Mohammad Ilyas dan adik-adik yang berada di
"rumah pena" (Lapmi) milik HMI Cabang
Pamekasan. Mereka ingin mengajak sejawat
segenerasinya untuk sudi bermain-main dengan
kata, merangkai makna, mengaktualisasikan diri
melalui kegemaran membaca dan menulis.
xii
Apakah upaya ini akan membuahkan hasil?
Kita tidak tahu pasti. Akan tetapi sebuah
perjuangan mesti berbekal keyakinan bahwa akan
berhasil, sambil memohon Ridha-Nya. Jangan
pernah merasa lelah dan jangan pernah berfikir
untuk menyerah.
Inilah sebentuk antaran dari seorang kakak
yang memahami kegelisahan adik-adiknya dan
ingin menyemangati perjuangan mereka. Semoga
Allah swt. Selalu memberikan petunjuk dan Ridha-
Nya. Amin.
Pamekasan, 28 Oktober 2008
Dadang Sastrodiwirjo
xiii
“Nunn...
wa al
qolami wa
maa
yasthuruu
na"
(Demi pena dan
apa yang mereka
tulis)
xiv
(al-ayat)
KETIKA MENULIS
MENJADI
SEBUAH TRADISI
Oleh:
Halifaturrahman
(Budayawan Pamekasan)
apasitas intelektual (intellectual
capasity) yang dimiliki setiap
manusia akan tumbuh karena
berbagai gesekan pemikiran yang dialami secara
terus menerus. Gesekan pemikiran itu berupa
kebiasaan membaca, berdialog, dan menulis.
Di antara berbagai kebiasaan tersebut yang
paling bermakna adalah kegiatan menulis.
Kegiatan ini merupakan salah satu keterampilan
berbahasa yang paling tinggi, karena tidak semua
orang mampu melakukannya dengan baik. Nama
besar seseorang dikenal bukan karena namanya
xv
yang indah, tetapi karena tulisannya yang mampu
melahirkan perubahan sebuah peradaban. Penulis
besar bisa mati, tapi tulisannya akan abadi
sepanjang masa.
Itulah sebabnya Steven R. Covey menyatakan
bahwa kebiasaan tersebut adalah pintu yang
mampu mengantarkan pada perubahan karakter,
karena ketika menulis sudah menjadi sebuah
tradisi maka akan membangun karakter diri
menjadi seorang penulis yang mampu menemukan
identitas dirinya. Lewat tradisi ini, kaum
intelektual berusaha mengeksplorasi pergolakan
pemikiran mereka dalam bingkai tulisan untuk
dikomunikasikan kepada publik.
Sekedar contoh, bahwa iklim semacam ini
dapat kita jumpai dalam kehidupan Seniman dan
Budayawan. Lewat kubangan tradisi menulis yang
sudah pasti melekat pada kaum seniman dan
budayawan, pemikiran mereka tertuang dalam
bingkai tulisan yang cerdas dan estetik.
Sebut saja misalnya, Emha Ainun Najib (Cak
Nun), Taufiq Ismail, hingga budayawan Madura
seperti D. Zawawi Imron. Kiprah mereka dalam
dunia seni diusung melalui tulisan-tulisan mereka
yang hampir setiap hari mengisi ruang media.
xvi
Memang demikian, setiap apapun, baik yang
menyangkut persoalan profesi atau kehendak akan
suatu perkara lainnya, jika dibangun menjadi
sebuah kebiasaan, maka akan menemukan hasil
yang maksimal. Begitu pula keinginan untuk
menghasilkan karya tulis yang berkualitas.
Keinginan ini akan tercapai jika kita membiasakan
diri dalam menulis.
Mungkin ungkapan yang tepat untuk
direnungkan khususnya bagi para penulis pemula
adalah, "Biasakanlah, niscaya kau akan
mendapatkan hasil."
Buku yang ditulis oleh Moh. Ilyas ini cukup
layak untuk dibaca sebagai motivasi dasar untuk
menulis, menulis, dan sekali lagi menulis. Ini
terbukti dari muatan tradisinya yang temporal dan
memorial dalam mengungkap isi hati, ide, gagasan,
hingga pemikirannya. la tampak menekankan pada
aspek tradisi dalam tulis-menulis, begitu pula
sebagian trik-trik dan strategi menejemen diri
dalam upaya menjadi seorang penulis. Hal
demikian seperti terdapat pada judul "Hidup Serba
Instan", "Menjadi Penulis dari Catatan Harian”,
"Degradasi", dan seterusnya.
xvii
Oleh karena muatan inilah buku ini perlu
dikonsumsi, lebih-lebih oleh orang yang memiliki
hasrat kuat menjadi seorang penulis.
Selamat berkarya...!
Billahittaufiq Wal-Hidayah
Pamekasan, 14 Nopember 2008
Halifaturrahman
xviii
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul ............................................ i
Halaman Judul ............................................... iii
Persembahan .................................................. v
Sekapur Sirih ................................................. vii
Pengantar Penyemangat .................................. xi
Ketika Menulis Menjadi Tradisi ....................... xv
Daftar Isi ......................................................... xix
Dakwah Bil Qolam .......................................... 1
Lingkar Pena, Lingkar Impian .......................... 7
xix
Membaca Ibarat Membuka Pintu Kamar Ilmu .. 11
Degradasi Aku Bernyanyi, Maka Aku Ada ........ 19
Aku Bermimpi, Maka Aku Ada ........................ 23
Hidup Serba Instan ......................................... 29
Hadir Antara Ada dan Tiada ............................ 35
Bertarung Melawan Waktu .............................. 39
Urgensi Kesadaran Baca-Tulis ......................... 45
Matinya Karya; Akhir Sebuah Nyawa ............... 53
Di Kesunyian Itu, Aku Belajar Pada –
Lambang HMI ............................................ 61
Menjadi Penulis Dari Catatan Harian ............... 69
Tentang "Rumah Pena" yang Kucinta ............... 75
Pena dan Revolusi Wajah Dunia ...................... 81
Keinginan Kuat, Jalan Meneguhkan Cita ......... 89
11 Jurus Menjadi Penulis Produktif ................. 95
Biografi Penulis ............................................... 103
xx
DA’WAH
BIL-QOLAM
eorang muslim, tentu tidak rela jika
saudara-saudaranya (kaum muslim
lain) menyimpan tradisi dan
kebiasaan buruk, yang menyebabkan mereka
tergolong pada kategori orang yang buruk. la
merasa mengemban tugas untuk memperbaiki
dengan tidak membiarkan hal ini terus terjadi pada
mereka. Dan di antara jalan yang ia tempuh
adalah mengajak (Arab: dakwah) mereka pada
jalan kebaikan itu.
Nah, konsep berdakwah tidak harus selalu
bil-lisan, orasi, diskusi, atau ceramah-ceramah di
pengajian saja. Tetapi, strategi dakwah juga bisa
bil-qolam (melalui pena). Dengan demikian pintu
kebaikan yang dilewati melalui dakwah lebih
bervariasi lagi. Cara ini sebenarnya
menguntungkan umat. Sebab, mereka yang tidak
ada luang waktu untuk hadir ke tempat-tempat
pengajian, bisa membaca tulisan-tulisan yang juga
mengandung unsur dakwah, baik berupa buku,
majalah, atau tulisan-tulisan yang tercecer di
media massa.
Sementara itu, istilah Qolam sendiri adalah
pinjaman dari bahasa al -Qur'an Surat al-Qolam
ayat I, yakni Nun, wal-Qolami wa Maa Yasthurun
(Nun, demi pena, dan apa yang mereka tulis). Dari
kata Qolam yang berarti pena tersebut, kemudian
lahirlah istilah dakwah bil-qolam, yang dapat
dipahami dengan berdakwa melalui tulisan.
Model dakwah bil-qolam sejatinya telah
diorbitkan ribuan tahun silam oleh para ilmuwan
Islam atau ilmuan Romawi. Tradisi mereka dalam
mengungkap kebenaran adalah dengan tulisan. Di
Indonesia pun tradisi ini juga terjadi. Bahkan
banyak para penulis kita (Indonesia) yang
menjadikan tulisan sebagai media perlawanan.
Ketika mereka dilarang berdakwah di atas mimbar,
maka penalah yang menggantikan dakwah itu, dan
kertaslah mimbarnya. Begitulah seterusnya.
2
Dalam catatan sejarah, beberapa nama yang
melakukan perlawanan dengan bersenjatakan
pena antara lain Yusuf Qardhawi. Ketika ia
dilarang berceramah lewat mimbar, maka ia pun
mengalihkan ceramahnya lewat tulisan, sehingga
kemudian lahirlah karya monumentalnya, Al Halal
Wal Haram Fi AI -Islam (Halal dan haram dalam
Islam). Lain lagi dengan Muhammad Quthub. la
melahirkan karya monumentalnya yang berjudul
Fii Dhilalil Qur'an (Di bawah Naungan AI -Qur'an) di
balik jeruji besi. Demikian juga almarhum
Pramudiya Ananta Tour, buku-bukunya lebih
banyak lahir di balik jeruji besi. Pada masa Orde
Baru, buku-bukunya diharamkan beredar di
Indonesia. Namun tak sedikit anak-anak muda dan
aktivis mahasiswa yang secara sembunyi-sembunyi
membaca bukunya.
Selain itu, Tan Malaka dengan Madilog-nya
(Materialisme, Dialektika dan Logika) juga lahir
dibalik jeruji besi. Bahkan Cak Nur — sapaan
akrab Nurcholish Madjid — sempat "dihalalkan
darahnya" oleh salah seorang Khatib Jum'at ketika
sedang berkhutbah lantaran gagasannya tentang
sekularisasi.
Begitu tinggi perjuangan mereka dalam
mempertahankan "kebenaran" menurut mereka.
3
Dengan tulisan, mereka telah membangun sejarah
kehidupan abadi. Mereka tak akan terkubur oleh
sejarah, atau - meminjam kata-kata Pramudiya -
tak akan dilindas sejarah.
Oleh karena pentingnya buah pena sebagai
bekal sejarah, tidak heran jika seorang penulis
buku best seller "Berani Gagal", Billi PS Linn,
mengatakan bahwa ia tidak ingin mati begitu saja.
Kemudian menjadi jasad organik setelah
ditanamkan dalam tanah, tanpa mewariskan
sesuatu. Dan warisan itu adalah karya tulis. Maka
kemudian lahirlah buku dahsyat yang berjudul
(sekali lagi) Berani Gagal, yang diterjemahkan lebih
dari 30 bahasa.
Sekali lagi, berdakwah lewat tulisan adalah
langkah yang jauh lebih abadi dibanding
berdakwah melalui lisan.
Bandingkan, para penceramah — tidak ada
maksud mengecilkan volume kebaikannya — isi
ceramahnya akan dilunturkan oleh zaman. Ia akan
hilang di saat para pendangarnya lupa dengan isi
ceramah itu. Akibatnya, isi yang pernah
disampaikan penceramah tersebut tidak lagi bisa
dikonsumsi orang yang mendengarnya tadi.
Sedangkan para penulis, terutama tulisannya yang
berisi pesan moral dan kebaikan, bila tulisannya
4
dikonsumsi seseorang, maka suatu ketika jika
orang lupa akan pesan-pesan yang terdapat di
dalamnya, ia tidak sulit menemukan kembali, ia
bisa dengan membaca kembali tulisan tersebut.
Alasannya karena tulisan, meski sama-sama
dilunturkan oleh zaman, ia jauh lebih lama dan
lebih abadi.
Kendati pun demikian, tidak banyak orang
yang memaklumi — atau mungkin memaklumi
tetapi enggan melaksanakan - tingginya nilai pena
dalam dakwah ini. Dalam pengertiannya, masih
banyak di antara mereka yang masih menjadikan
wacana, atau lisan mereka sebagai satu-satunya
jalan menebarkan kebaikan. Mereka tidak
mencoba menebarkan kebaikan melalui pena.
Namun, fenomena ini menurut penulis tidaklah
buruk, tetapi akan lebih baik apabila sebuah
wacana disalurkan melalui tulisan. Dan apabila isi
wacana tersebut mengandung dakwah, maka
hakikatnya kita juga telah melakukan dakwah bil-
qolam.
Padepokan Lapmi HMI Cabang Pamekasan,
21 Ramadhan 1429 H
21 September 2008 M
Jam, 22.36 WIB
5
[Type the sidebar content. A sidebar is a standalone
supplement to the main document. It is often aligned on
the left or right of the page, or located at the top or
bottom. Use the Drawing Tools tab to change the
formatting of the sidebar text box.
Type the sidebar content. A sidebar is a standalone
supplement to the main document. It is often aligned on
the left or right of the page, or located at the top or
bottom. Use the Drawing Tools tab to change the
formatting of the sidebar text box.]
6
LINGKAR
PENA,
LINGKAR
IMPIAN
Di sini...
Aku berdendang dengan suara-suara impian
suara-suara penyejuk
suara-suara penyentuh hati sanubari sang pemikir
suara makna,
suara kisah terang tentang arti
nan tiada henti mengusik sukmaku
Di sini...
Aku terbangun dari tidur pulasku
tersadar dari lelapnya angan-angan zaman
terperangah, separuh nafas telah di ujung senja
7
Tidak... belum waktunya...
Aku belum mengikat makna,
aku ingin mendzikirkan aroma-aroma cerita,
cerita impian nan bergelombang
menerjang laksana ombak peradaban
aku telah mengerti bila aku alpa
Di sini...
Penuntun pena mengajakku
bersatu dalam tinta-tinta impian
menginap di bawah atap kesejatian
atap ilmu,
rumah pena,
lingkar tulisan,
bersama...
Nun Wal Qolami Wa Maa Yasthurun
ulisan ini sekali-kali tak diniatkan
menjadi sebuah puisi, tetapi hanya
seonggok kegelisahan diri dalam
berdiskusi dengan berbagai makna yang kerap kali
mengusik sukma, atau juga "kesadaran" akan
"ketidaksadaran" yang selama ini tumbuh subur
dalam jiwa. Tetapi apapun bentuk dan jenis tulisan
ini aku pahami sebagai satu dari sekian banyak
perbincangan hati yang selalu mengajak diri
8
berdiskusi tentangnya. Dan aku menghargainya,
karena ia menyimpan siratan makna.
Gedung PKPN Pamekasan, 11 Sya'ban 1428 H
24 Agustus 2007 M
Jam, 10.23 WIB
9
10
MEMBACA
IBARAT
MEMBUKA
PINTU
KAMAR ILMU
"Dengan membaca satu buku berarti engkau telah
membuka satu dunia"
(Asrul Sani).
alam quotation di atas, membaca
diibaratkan membuka satu dunia,
atau meminjam istilah judul di
atas seperti membuka pintu kamar ilmu, yakni
adanya sebuah upaya menemukan titik-titik
11
pengetahuan yang ada di suatu tempat, yang mana
pintu tempat itu diibaratkan dengan bacaan, baik
jenis bacaan seperti buku, majalah, jurnal, karya
ilmiah, atau jenis bacaan seperti alam dan realitas.
Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan spesifik
pada bacaan yang non alamiah semacam buku,
dan sejenisnya.
Jelasnya, membaca sebuah buku berarti kita
sedang membuka pintu kamar ilmu yang terdapat
dalam buku tersebut. Misalnya, dengan membaca
buku sastra, maka dunia kesusasteraan akan
terbuka lebar dalam otak kita. Dengan membaca
buku politik, maka kita telah membuka pintu awal
ilmu politik. Begitu pun ketika kita membaca buku
filsafat, matematika, pemikiran Islam, dan
seterusnya. Maka akan terkuak dimensi yang
tersimpan di balik ilmu-ilmu itu.
Tidak hanya itu, bacaan juga kerapkali
membawa dan memengaruhi psikologi
pembacanya, atau paling tidak kecenderungan
gaya hidup seseorang tidak jauh berbeda dengan
tradisi bacaan yang ia baca. Sebagai contoh,
seseorang yang obyek bacaannya berkutat di
sekitar filsafat, maka gaya hidup atau
pemikirannya selalu mendekati arah filosofis, dan
12
bisa jadi figur kepribadian hidupnya adalah
filusuf.
Orang yang menghabiskan waktunya dengan
membaca atau meneliti matematika, maka
kecenderungan hidupnya selalu terarah pada
konsepsi matematis. Begitu juga dengan obyek
bacaan lainnya. Artinya dalam menangkap dan
menerjemahkan realitas obyek yang dia lihat atau
dia pikirkan selalu mengarah terhadap bacaan-
bacaan garapannya. Mengambil contoh ini tidaklah
sulit. Ronald Reagen misalnya, seorang aktor film
Cow Boy yang karena popularitasnya ia kemudian
terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Akan
tetapi demi menunjang karir kepemimpinannya ia
senantiasa meluangkan waktu setiap harinya
membaca selama 3 jam.
Tradisi ini menurut Amien Rais - ketika
menghimbau kepada Dede Yusuf karena
terpilihnya sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat,
Ronald Reagen sangat sukses memimpin Amerika
Serikat ketika itu. (Jawa Pos, 07/05/2008).
Dengan demikian, secara tidak langsung
membaca telah turut serta membangun pola, gaya,
dan agresivitas hidup Sang Pembacanya, dari yang
paling sederhana hingga yang paling berat
sekalipun. Maka tak ayal, dalam hal ini di antara
13
inspirator kita - tidak dapat dinafikan - adalah
bahan bacaan yang kita konsumsi.
Namun, perlu ditekankan bahwa daya
tangkap otak terhadap jenis bacaan tidaklah sama.
Ia bervariasi tergantung jenis bacaan yang
dikonsumsinya. Ada kalanya otak kita betul-betul
diperas jika obyek bacaan kita tergolong pada tipe
bacaan berat, seperti filsafat, pemikiran,
matematika, logika, dan sejenisnya. Ada kalanya
juga otak kita akan bekerja lebih ringan dalam
mengelola saripati bacaan jika obyek bacaan
tersebut tergolong pada jenis bacaan ringan,
seperti bahasa, sosiologi, hukum, pergerakan
mahasiswa, kisah-kisah, bacaan cerita, atau
bacaan sejenis.
Adanya tipologi-tipologi obyek bacaan ini
turut memengaruhi proses pemahaman Sang
Pembaca. Sehingga tidak heran kalau banyak
kasus berbeda yang dilontarkan dan dicurhatkan
beberapa kawan mahasiswa atau kawan organisasi
tentang lemahnya daya tangkap otaknya ketika
membaca. Ada yang menuturkan, setelah selesai
membaca buku, selesai pula otaknya dalam
menghadirkan kembali bayang-bayang ilmu yang
terdapat dalam buku tersebut. Ada yang mengadu
dari apa yang dia baca hanya sebagian kecil saja
14
yang masih menempel dalam memori otaknya, dan
banyak lagi pengaduan-pengaduan lainnya yang
sejenis.
Kondisi ini riil — saya pun terkadang juga
begitu — adanya, tetapi ada beberapa faktor yang
biasanya terjadi; Pertama, karena otak dan
wawasan kita belum memiliki koherensi optimal
dengan apa yang kita baca. Alasannya mungkin
karena kita jarang masuk pada dunia yang kita
baca. Seperti kita tidak pernah mengenal filsafat,
tiba-tiba kita dituntut untuk menyelesaikan buku
filsafat. Bisa saja ada juga yang melekat dalam
memori otak kita, tetapi saya dapat meyakini
sebagian besar ada di luar memory (out of memory),
artinya tidak masuk ke kepala kita.
Kedua, hilangnya konsentrasi dan satu
kesatuan pikiran ketika kita sedang membaca. Hal
ini terjadi karena tidak bersatunya otak dan
pikiran, atau otak dan mata, misalnya, karena
menghayal, main main, dan lain sebagainya.
Situasi ini dapat diperbaiki dengan menambah
kinerja anggota tubuh kita. seperti membaca
dengan keras agar telinga dapat menangkap pesan
suara. Jika matematika dan atau estetika, bisa
menggunakan tangan sebagai komplemen dalam
menghantarkan pemahaman yang lebih detil.
15
Ketiga, dengan menerapkan metode-metode dalam
membaca. Banyak pembaca yang tidak
memerhatikan metode-metode membaca yang
menyebabkan hasil bacaanya kabur. Berkaitan
dengan ini dalam membaca setidaknya terdapat
empat metode, yaitu:
Survei. Metode ini mengedepankan garis besar,
di mana arah otak sang pembaca akan tertuju
pada garis besar materi yang dibaca, semisal
rangkuman, kesimpulan, daftar isi, gambar-
gambar, dan lain sebagainya.
Preview. Metode ini mirip dengan survei. Hanya
saja preview dilakukan terhadap teks bacaan itu
sendiri, seperti mengecek bagian awal dan akhir
bab.
lnview. Metode ini menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan, sehingga telaah yang
dibaca akan lebih mendalam.
Review. Metode ini mengutamakan proses
penelaahan kembali apa yang telah dibaca,
yakni dengan membuat catatan-catatan penting,
atau berupa tanggapan dan kritik terhadap isi
dari bacaan tersebut.
Menggunakan empat metode ini ibarat kita
menyeberang sebuah sungai panjang dengan
16
jembatan yang hampir rusak, sedangkan kita juga
menggendong barang bawaan yang cukup berat.
Namun, karena kita tidak asal-asalan dalam
menyeberang, artinya menggunakan metode
penyeberangan yang baik, maka kita bisa melalui
jembatan itu dengan baik, dan kita dapat selamat
menyeberang sungai panjang itu. Dalam ibrah ini,
keselamatan kita telah dibantu oleh metode yang
kita gunakan. Nah, dalam konteks membaca pun
sama. Ketika kita menggunakan metode yang baik,
maka kita akan memperoleh kandungan yang lebih
besar dari apa yang kita baca.
Akhirnya...
Saya titip pesan buat Sang Pecinta bacaan
sebagai motivasi diri.
Jadikanlah membaca sebagai rutinitas
kewajiban. Misalnya, dengan mewajibkan diri Anda
membaca minimal dalam sehari 2 jam.
Asahlah otak dan daya pikir dengan terus
membaca tanpa merasakan kepuasan.
Peliharalah wawasan Anda seolah ia diri
Anda sendiri.
17
Perbanyaklah membaca guna
mempersatukan potensi otak dengan ilmu yang
terdapat dalam bacaan Anda.
Kantor MI Bahrul Ulum, Bungbaruh,
Kadur, 02 Syawal 1428 H
14 Oktober 2007 M
Jam, 16.53 WIB
18
DEGRADASI
Akhir-akhir ini aku tidak tahu apa yang terjadi...
dalam diriku terasa ada yang berbeda,
kreativitasku memudar,
kebiasaan positifku raib,
daya Ansos-ku melemah,
kualitas spritualku menurun,
mengiringi rotasi waktu,
Aku makin tidak kreatif menulis
aku makin malas membaca
aku makin enggan berefleksi diri
19
tindakanku makin bebas nilai
Ah...! Semoga saja ini hanya romantisme kehidupan
yang tak kan terus menggodaku.
ulisan ini lahir dari pribadi yang
sebenarnya selalu berharap bisa
mengevaluasi diri terus menerus,
meskipun seringkali lalai melakukannya. Sebab,
arti evaluasi diri sangatlah berat, terutama dalam
menciptakan pribadi seseorang lebih mantap.
Seseorang akan segera menemukan
kelemahan dan kekurangannya tapi sekaligus
berusaha menutupi kelemahan itu dalam keadaan
melakukan evaluasi diri. Dan, Tuhan pun
mengajarkan manusia untuk melihat hari kemarin
(sebagai bekal) untuk hari esok, seperti dalam
firman-Nya, Wa al-Tanzur Nafsun Maa Qoddamat Li
Ghad.
20
Lapangan Pendopo Ronggosukowati,
Pamekasan, 16 Syawal 1428 H
28 Oktober 2007 M
Jam, 20.46 WIB
21
“Jika
Anda Pikir
Anda
Masih
Hijau,
Anda Akan
Berkemba
ng. Narnun
Jika Anda
Pikir Anda
Sudah
Matang,
Maka
Anda Akan
Membusuk
”
(John
Litellier)
22
AKU
BERMIMPI,
MAKA AKU
ADA
eringkali kita temukan dalam profil
tokoh-tokoh besar, motto hidup
mereka yang telah mengantarkan ke
puncak kesuksesan, tak jauh dari kata "mimpi".
Hal ini benar kalau kita mau menelusuri
bahwa mimpi telah mengantarkan jutaan orang di
belahan bumi ini pada kategori sukses, besar,
menjadi tokoh disegani, dan karismatik. Bagi
mereka awal segalanya bukanlah uang di
genggaman tangan mereka, bukanlah orang besar
di sekeliling mereka, dan bukan pula meroketnya
pendidikan mereka. Meski semua itu memiliki
pengaruh, tapi tak sehebat mimpi dalam jiwa
23
mereka. Mereka telah bermimpi jauh hari sebelum
kenyataan sukses itu tampak di mata mereka.
Pernyataan "Mimpi di malam harimu akan kau
temukan esok pagimu" seolah menjadi tesis yang
tak terbantahkan bagi mereka.
Konon, di masa remajanya, salah satu
presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, pernah
bilang pada temannya, "aku ingin menjadi
penguasa dunia". Mendengar ucapan yang
terdengar mustahil itu temannya bilang, "ah...
kamu ini kalau bicara ngawur terus!". Beberapa
tahun kemudian, di saat Sang Teman sudah tidak
ingat lagi apa yang pernah dikatakan Clinton, hal
yang mulanya dianggap Sang Teman sebagai
bahasa "ngawur" ternyata jadi kenyataan. Bill
Clinton telah menjadi sosok yang disegani dunia,
penguasa dunia, kekuasaannya telah mencapai
taraf internasional, dia telah menjadi presiden
”Negara Super Power” itu.
Sebuah ceritera yang membalikkan dunia
palsu ke dunia nyata, memutihkan angan-angan
kelabu, mengubah retorika hidup yang impossible
menjadi possible, semuanya terjadi berkat jasa
mimpi.
Jadi, mimpi ibarat lampu pijar yang mampu
menerangi gelapnya malam pekat hingga jutaan
24
kilometer di semua arahnya. Tetapi jangan lupa,
banyak pula, bahkan milyaran manusia di muka
bumi ini hanya menjadi penikmat dan penonton
sejarah perubahan, menjadi orang yang
disubordinat—tidak pernah besar— karena mimpi
pula. Tetapi mimpi dalam model ini adalah mimpi
kosong. Dalam wujud mimpinya bagai tiada mimpi,
atau dengan perkataan lain, bermimpi tapi tidak
bermimpi, atau bisa dibilang bermimpi tapi hanya
sebatas mimpi, tidak ada terobosan-terobosan
yang dilalui. Resikonya, dia harus Iapang dada
menerima apa adanya, atau sekadar menjadi orang
kecil saja, tak lebih dari itu.
Model kerangka ini sangat relevan dengan
apa yang dikatakan J. Schwarzd dalam bukunya,
Berfikir dan Berjiwa Besar, "Think Big Will Be The
Big" (berfikir besar akan menjadi orang besar).
Logika terbaliknya, jika seseorang sudah bermimpi
kecil atau tidak pernah menaruh mimpi besar
dalam dirinya, maka ia akan seperti dalam
mimpinya. Adagium serupa dari salah satu produk
rokok sigaret negeri ini, yaitu, "Think Big lf U Want
To Be Big" (berfikirlah besar jikalau engkau ingin
menjadi orang besar).
Ungkapan "Gantungkan Cita-citamu Setinggi
Langit” juga tampak memiliki relevansi dengan
25
kata mimpi. Pasalnya, berfikir, dan cita-cita itu
bisa diterjemahkan dalam bahasa yang sama dan
dalam pengertian yang sama pula, yakni sama-
sama menyatu dalam kata mimpi.
Namun, langkah selanjutnya yang terpenting,
sebuah mimpi tidak boleh didiamkan dan
dibekukan tanpa adanya gerak dan upaya untuk
merealisasikannya. Jika setelah mimpi hanya
diam, tak ada gerak, dan tak ada ikhtiar untuk
menempuh jalan-jalan menuju mimpi itu, maka
mimpi itu telah menjadi mimpi palsu, atau persis
dengan istilah di atas, "bermimpi tapi tidak
bermimpi".
Padahal sesungguhnya, bermimpi yang mesti
kita pahami dalam konteks perbincangan dalam
tulisan ini, adalah model mimpi yang secara
otomatis dibarengi dengan langkah-langkah serta
usaha-usaha konkret dalam menggapainya.
***
Aku lahir untuk bermimpi
tentang apa yang bisa kuharap
dan tentang apa yang tak bisa kuharap
di dunia ini tak ada secuilpun kemustahilan
kecuali lari menuju kemustahilan itu
ia hanya ada dan berwujud jika kita
mengadakannya
26
Sekali lagi,
kemustahilan itu tidak pernah ada
yang ada hanyalah keengganan tuk bermimpi
dan itu berarti,
kekalahan pada hidup ini.
Pantai Jumiang, 07 Syawal 1428 H
19 Oktober 2007 M
Jam, 23.54 WIB
27
“Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama
ia tak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat
dan dari sejarah.”
Pramoedya Ananta Toer
28
H I D U P
S E R B A
I N S T A N
"Saya ingin bisa, tetapi tidak bisa"
alimat inilah yang seringkali
mengisi telinga kita di setiap kita
berbincang seputar "kesuksesan".
Apabila ditilik lebih mendalam, kalimat ini
sebenarnya merupakan kalimat pesimisme yang
tidak hanya mengkarangkeng kreativitas
seseorang, tetapi juga membunuhnya, atau dengan
lain kata, orang yang mengatakannya berarti juga
telah mengutarakan suara kekalahan dan memilih
menyerah pada hidup ini.
Jika memang demikian, lantas muncul
pertanyaan baru, apakah kita memang diciptakan
29
sebagai orang yang kalah pada hidup ini? Lalu
kenapa ada orang yang sukses?
Apakah kesuksesan mereka bagian dari
wujud kemenangan terhadap hidup ini? Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita analisa
agar kita tidak terjebak pada stigma kekalahan
dalam menghadapi hidup ini.
Berkenaan dengan ungkapan pembuka di
atas, saya teringat dengan cerita salah seorang
kawan pada suatu waktu, ketika salah satu kawan
"junior"nya mengutarakan kepolosan pengaduan
kepadanya. "Kak, saya tidak bisa nulis?" akunya.
"Padahal saya telah berusaha, tapi nggak
bisa, apalagi seperti ini (sambil menyodorkan salah
satu tulisan yang menurutnya sangat ilmiah)",
lanjut cewek yang berjiwa organisatoris dan
memiliki keinginan menjadi penulis ini.
Kawan saya itu, seperti dalam dalam
kisahnya, senyum-senyum saja mendengar
pengaduan adik oerempuan organisasinya yang
jujur itu. Tak lama ia pun bertanya, "Apakah kamu
berlatih menulis, apakah tulisan lepas, fiksi/ non
fiksi, catatan harian, atau tulisan-tulisan lainnya?"
Dia menjawab, "tidak".
30