The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ilyas.assaidy, 2018-10-26 14:41:40

Buku "Bermain Pena Demi Makna"

Mendengar jawabannya, selanjutnya, ia
katakan, "Berlatihlah terus menerus menulis, tiada
cara cepat selain berlatih dan berlatih".


Dari kutipan dialog di atas dapat kita pahami
bahwa cara mencapai sesuatu — apapun bentuk
dan jenisnya — tetap mengacu pada ikhtiar, dan
kerja keras, atau dalam bahasa kepenulisan, “terus
berlatih”. Usaha-usaha ini sebagai modal sebab
yang nantinya akan membias pada sebuah akibat.

Abdul Hadi WM. Misalnya, yang menepis bahwa
kemahiran menulis itu berasal dari bakat.
Menurutnya, bakat hanya mempengaruhi 5%,
keberuntungan 5%. Sedangkan sisanya yang
terbesar (90%) tergantung kepada kesungguhan

dan kerja keras. Sehingga tidak mengherankan jika
Wilson Nadeak mengatakan bahwa kemahiran
menulis itu hanya bagi yang membiasakan diri.
(Aep Kusnawan, 2004).


Kalaupun tanpa usaha dan kerja keras
sebagai wujud kemauan untuk bisa, sebenarnya
bukanlah kemustahilan, tetapi merupakan pola
kehidupan yang ingin cepat, tetapi tidak mau sulit,
atau pola kehidupan yang "tak peduli" dengan

proses, tapi mengharapkan hasil. Akhirnya pola
kehidupannya adalah pola instan yang sangat sulit
untuk mencapai apa yang dituju. Maka dalam hal


31

ini yang memalukan, meminjam istilah Plato,
bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmauan
untuk belajar.


Ingin Serba Instan

Fenomena keinginan untuk sampai pada
suatu tujuan tanpa melewati jalur semestinya
(yakni melalui jalur cepat) adalah sebuah tindakan

instan yang bertolak belakang dengan prinsip
hidup manusia, yaitu bernaung di bawah naungan
sunnatullah. Artinya, seseorang yang mengamini
dan mengikuti fenomena ini sejatinya telah
mengingkari hukum Tuhan yang berlandaskan
hukum kausa (sebab-akibat). Dia tidak mau

menciptakan sebab, tetapi dia mengharapkan
akibat. Dia menginginkan sebuah reaksi, padahal
tidak ada aksi. Maka, orang tersebut secara tidak
langsung telah menyimpang dari aturan Tuhan

(QS. 13: 11).

Tidak hanya dalam wacana di atas. Dalam
konteks kebangsaanpun, yang bertolak dari skala
lokal hingga nasional, kehidupan di Tanah Air

saat ini ingin serba instan. Keinginan membabat
habis para koruptor hingga ke akar-akarnya,
keinginan menghilangkan krisis multi
dimensional, dan seterusnya. Atau di daerah,
seperti keinginan untuk menerapkan syariat Islam

32

secara totalitas, keinginan memberantas buta
huruf, kemiskinan, dan keinginan-keinginan
lainnya, kesemuanya secara kualitas merupakan
harapan ideal.


Tetapi persoalannya ada pada prosedur. Gaya
prosedur yang dipakai adalah gaya instan, gaya di
mana tujuan diagungkan, tetapi tahapan-
tahapannya ditinggalkan. Maka akibatnya,
keinginan-keinginan tersebut tidak tercapai,

bahkan hanya tinggal keinginannya saja, atau
meskipun tercapai, tapi sangat sedikit sekali.

Dengan demikian, pola hidup serba instan
yang sudah mentradisi di negeri ini jika dibiarkan

berlarut-larut hanya akan memperkeruh
kepribadian dan kodrat kita saja yang dituntut
untuk senantiasa berusaha dalam mencapai
sebuah tujuan.




Rumahku, 11 Syawal 1428 H


23 Oktober 2007

Jam, 11.01 WIB.








33

“Tak ada

yang akan

memperbaiki

kehidupanmu

jika kau tak


mau dan tak

mampu

memperbaikin

ya sendiri”






Bertolt Brecht
























34

HADIR


ANTARA

ADA DAN
TIADA














Ada makhluk kecil berkehendak


Hadir dari tiada ke ada
Bukan dari tiada ke tiada
Dan bukan pula dari ada ke tiada
Nyawa, jiwa, dan batinku pun
ingin selalu kupersembahkan pada yang Ada.

Tiada harapan, melainkan agar aku juga ada.

Sekiranya aku tak dapat meraih ada
Ketiadaan lebih bahagia ku jalani
Atau aku ada, tapi laksana tiada,
Maka,... Betapa bahagia bila aku tak pernah ada

Dilahirkan dan tidak dilahirkan sama saja


35

Lebih baik tak pernah dilahirkan

Tapi,...
Sudah terlanjur aku ada
Menyerah pada ketiadaan bukanlah ksatria

tuk jadi pemenang dan pencipta ada
Kehadiranku bukanlah sekali-kali kekosonganku,
melainkan ke-ada-anku

Oh... Ada, datanglah...

Kunjungilah aku dalam ketiadaan,
dan jemputlah aku dari padanya.
Aku ingin Bersama-Mu,
Bersama kekasih dan para nabi-Mu,
dalam perjalanan menuju Ada.




JI. Raya Jatirejo, Porong,


Sidoarjo, 03 Dzulhijjah 1428 H
13 Desember 2008 M

Jam, 19.45 WIB







36

[Menulislah, Karena


Dengan Menulis

Berarti Anda Sudah


Mencoba

Mewariskan

Kebaikan untuk


Orang-orang


Setelah Anda]



(Mohammad Ilyas)














37

Semua Ingin
Mengubah Dunia,
Tapi tak Ada yang

Ingin Mengubah
Diri Sendiri


(Leo Tolstoy)

























38

BERTARUNG


MELAWAN
WAKTU

















"Begitu tinggi nilai sebuah waktu".






alimat inilah yang tepat dijadikan
tolak ukur banyaknya statemen
orang-orang tentang waktu. Nabi

Saw mengibaratkan waktu itu seperti pedang.

Jika kita mengendalikannya, kita akan
menggores banyak hal, namun jika kita
membiarkannya, pedang itulah yang bakal




39

menggores kita. Bahkan, bisa jadi ia akan
membunuh kita.

Adalah Filusuf Muhammad lqbal di antara

sedikit orang yang betul-betul menghargai waktu.
Dia mengatakan, "berhenti, tak ada tempat di jalan
ini. Sikap lamban berarti mati. Mereka yang
bergerak merekalah yang maju ke muka. Mereka
yang menunggu meski hanya sekilas, pasti
tergilas".


Begitulah sosok pemikir asal Pakistan ini
menilai makna istimewa dari sebuah waktu.
Ungkapan senada juga lahir dari seorang pujangga
AS, Henry Van Dyke. Dalam catatannya ia

menuliskan, "Waktu terkadang terlalu lambat bagi
mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang
takut, terlalu panjang bagi yang gundah, terlalu
pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu

mengasihi waktu adalah keabadian".

Ungkapan-ungkapan di atas merupakan
"ungkapan kepedulian" terhadap identitas waktu
yang mesti dijaga dan dipelihara. la tidak boleh

dibiarkan berlalu dengan sia-sia, tidak boleh
dibiarkan "mengatur" diri kita. Tetapi kitalah yang
wajib mengaturnya.





40

Dalam konteks ini, signifikansi waktu juga
mewarnai hidupku. Aku harus melalui waktu ini
dengan berharga, dengan makna, dan dengan nilai.
Tidak boleh ada selembar waktu pun yang berlalu
dalam kekosongan. Sebab bertarung melawan

waktu kosong adalah pribadiku. Aku ingin
mengisinya seapik mungkin di mana tak seorang
pun "tahu" tentangnya.

Hari ini pun adalah waktu-waktu besar yang

kulewati. Di sini (Malang, pen), saat ini,
pergumulanku dengan kawan-kawan dari berbagai
daerah di Jawa Timur dalam agenda Diklat
Jurnalistik Lapmi HMI Cabang Malang ternyata
menjadikanku berfikir ulang tentang waktu

sebenarnya yang mesti ku jalani. Pasalnya,
kehadiranku pada agenda ini meninggalkan
seabrek persoalan-persoalan dan tugas-tugas di
Pamekasan, tempat aku dilahirkan dan menjalani
studi dan organisasiku. Baik tugas organisasi

seperti LK2 HMI Cabang Pamekasan dan RAK HMI
komisariat Unira, maupun tugas kampus sendiri
seperti seminarku yang hingga kini belum
kusentuh sedikit pun, padahal menurut informasi
dari kawan-kawanku, tanggal 24 Desember sudah

harus rampung atau Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) di kampusku yang belum berakhir,
serta tugas-tugas kecil lainnya.

41

Oleh karenanya, menurutku dalam suasana
begini, membagi waktu-waktu ini dengan seideal
mungkin adalah satu-satunya jalan yang bisa aku
tempuh.


Meskipun sebelumnya, yakni sebelum aku
melangkah ke arena ini, langkahku sekali-kali
bukanlah langkah spekulatif, apalagi jika harus
mengorbankan berbagai energi yang juga berharga
itu.


Namun, menurutku, waktu menjadi baik di
saat aku mampu memilih yang lebih baik. Aku
akan lebih berharga di saat aku memilih aktivitas
yang lebih berharga pula. Semuanya bergantung

sejauh mana aku bertarung melawan
waktu.

Aku berfikir, domain point-nya, bukanlah
berakivitas, melainkan memilih aktivitas terbaik,

terutama aktivitas yang prospek untuk masa
depanku. Aku tidak terlalu jauh berfikir, siapa
diriku di masa depan, tapi cukuplah bagiku jika
hari ini tak ada waktu sia-sia dari diriku, dalam

petualanganku, tentu itu demi masa depanku
jua.






42

Aku ingin menembus batas khayalan masa
depanku, menerabas kondisi waktu yang terus
bergulir. Aku ingin waktuku berhamba untukku,
bukan untuk siapa-siapa, tapi untukku.




Asrama No. 17, Wisma Tawang Sari, Lawang,
Malang, 05 Dzulhijjah 1428 H

15 Desember 2007 M






































43

“Mulailah

menulis, jangan
berpikir. Berpikir

itu nanti saja.
Yang penting

menulis dulu.
Tulis draft

pertamamu itu
dengan hati. Baru

nanti kau akan
menulis ulang

dengan kepalamu.

Kunci utama
menulis adalah
menulis,

bukannya

berpikir.”

James Whitfield

Ellison
44

URGENSI

KESADARAN


BACA-TULIS


(Menyoal Destruksi
Tradisi)













“Reading and writing is a basic tool in living of a
good life"


(Membaca dan menulis merupakan salah satu
piranti dasar kehidupan yang berkualitas).



tulah kutipan Mortimer J. Alder saat
mengilustrasikan betapa tinggi nilai
magic membaca dan menulis hingga
dia menjadikan keduanya sebagai instrumen
kehidupan berkualitas.



45

Bagi Mortimer, tentu ungkapannya bukanlah
sesuatu yang berlebihan dengan menjadikan
membaca dan menulis sebagai key word istimewa
menuju kehidupan berkualitas, suatu model
kehidupan di maria setiap orang mengimpikannya.

Saya pun tidak menafikan paradigma ini, sebab
keduanya di samping memang telah
mendatangkan dimensi pengetahuan (baca; ilmu)
juga mengajarkan kejujuran kepada kita tentang
arti, arah, dan tujuan hidup ini. Minimalnya, kita

dapat memahami beberapa pertanyaan spektakuler
dengan jawabannya yang filosofis, yakni, "where
we are from?, who are we?, dan where we are going
to? Beberapa pertanyaan yang sudah lazim dipakai
para filusuf ketika mereka mencari jati diri.


Manfaat menulis sendiri di samping -
diharapkan - mampu menjadi jembatan panjang
kebaikan, juga merupakan media yang
mengajarkan kita berfikir. Hal ini seperti dikatakan

Prof. Robert Pinckert dalam bukunya, The Truth
About English. la mengatakan, "Menulis adalah
hasil olah pikir. Jika seseorang tidak bisa berpikir,
niscaya ia tidak bisa menulis. Belajar menulis
berarti belajar berpikir". Dengan kata lain, orang

yang berpikir dengan baik berarti mampu
mengorganisasi pikirannya dengan baik pula
(Lihat: Wishnubroto, 1997: 312).

46

Kekuatan membaca pun demikian, selain
memperkaya khazanah keilmuan dan menutupi
kebodohan, juga mendidik sikap rendah hati kita.
Maka, semakin wawasan keilmuan kita bertambah,
kesadaran akan kelemahan diri pun juga akan

bertambah. Imam Abu Hamid Al-Ghazali, seorang
tokoh sufi besar dengan pernyataannya
"membenarkan" hal ini. Dalam kitab
monementalnya, Ihya 'Ulumuddin, ia
mengibaratkan orang yang mencari ilmu itu

laksana kaca, semakin kaca itu bersih, semakin
tampak jika ada debu yang menempel padanya.
Artinya, dalam konteks keilmuan, semakin dalam
pengetahuan yang kita miliki, maka kita akan
semakin sadar kebodohan kita. Mengetahui

hikmah di balik 2 kekuatan ini (membaca dan
menulis), kita akan sadar betapa pentingnya
budaya baca—tulis dalam kehidupan kita.

Konstruksi Realitas Dunia Mahasiswa


Bertolak dari alur pemikiran di atas, maka
membaca dan menulis menjadi aktivitas penting
yang mesti ditradisikan oleh masyarakat bangsa
ini, termasuk kita (mahasiswa) yang memang

sering dinobatkan sebagai “intellectual
community”, sebuah status yang tidak dimiliki oleh
komunitas selain mahasiswa.


47

Kita berharap bahwa sebutan ini tidak
hanya sebutan dengan nilai hampa, tetapi terdapat
kandungan nilai yang betul-betul bisa
dipertanggungjawabkan. Sehingga kemudian
mahasiswa mampu menampilkan tindakan

konseptual, ilmiah, dan bernuansa intelektual.
Dan inilah sebenarnya makna sandangan status
tersebut.

Akan tetapi, dalam realitas kekinian, harapan

harapan ideal ini belum mampu membangun
tradisi yang dapat mengarah padanya. Justru
tradisi yang marak adalah tradisi yang “menjauh”
dari budaya intelektual, seperti keengganan
berdiskusi seputar keilmuan, keengganan pada

tradisi baca-tulis, dan keengganan mematangkan
konsepsi tentang penelitian. Bahkan yang tampil
secara dominan di lingkungan mahasiswa adalah
budaya-budaya romantisme, pragmatisme, dan
hedonisme.


Akibat tradisi-tradisi ini volume
inteiektualisme yang - mulanya - memiliki gaung
terhadap publik, kini tidak lagi demikian. Bahkan,
sebaliknya, yang kerap dijadikan "santapan" tradisi

oleh publik, termasuk juga pihak pers, bukan lagi
tingginya kualitas penelitian mahasiswa atau
bukan juga soal melambungnya wawasan


48

intelektual mahasiswa, tetapi style anarkisme yang
sering mewarnai aksi-aksi mereka serta budaya
"kondom" atau budaya mesra antara sesama yang
lebih menyentuh pada kisaran hedonisme.


Bagaimana Dengan HMI?

Fenomana yang mengisi ruang kehidupan
mahasiswa di atas sedikit banyak, diakui atau

tidak, juga berimbas pada Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), sebagai salah satu organisasi yang
inhern dengan dunia mahasiswa (beranggotakan
mahasiswa). Artinya, destruksi (menurunnya)
budaya baca-tulis yang mewarnal dunia
mahasiswa secara langsung juga mewarnai HMI.


Hal ini sangat jelas sekali ketika menyoroti
eksistensi kader HMI saat ini, di mana nilai plus
HMI, yakni budaya intelektual yang dulunya
bermetaformosis kuat dan menjadi trade mark

organisasi, kini tidak lagi mencuat di kalangan
kader. Nuansa itu telah redup bahkan nyaris mati.

Wal-hasil, fenomena kader HMI secara

eksistensial tidak jauh berbeda dengan kader
organisasi mahasiswa lainnya.Sehingga wajar
apabila Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus
(OMEK), termasuk HMI, saat ini tidak memiliki
daya tarik yang tinggi terhadap mahasiswa.


49

Berbeda dengan HMI tempo dulu yang dalam
konstalasi rekrutmen kadernya tidaklah sesulit
saat ini. Sebab HMI ketika itu lebih berstatus
"dicari" daripada "mencari", sebagaimana status
hari mi. Dulu mahasiswalah yang berlomba-lomba

mencari HMI.

Menguak fenomena ini merupakan
keniscayaan bagi kita untuk menemukan kembali
solusi-solusi alternatif guna mengakhiri fenomena

yang terus berkecambah ini. Ini tidak lain karena
bagaimanapun HMI pernah menemukan
momentumnya yang berupa kejayaan intelektual
pada sekitar tahun 60-80an yang ditandai dengan
lahirnya tokoh-tokoh intelektual terkemuka negeri

ini. Sebut saja misalnya nama-nama besar seperti
Nurcholish Madjid, Tsakib Mahmud,Endang
Salfuddin Anshari (ketiganya perumus NDP HMI),
Ahmad Wahib, Delier Noer, Amien Rais, Fachry Al,,
Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Azzumardi Azra,

dan lain-lain. Torehan intelektual yang terjadi pada
mereka harus kita akui tak lepas dari tradisi-
tradisi mereka saat berkiprah di HMI, termasuk
tradisi baca-tulis yang sangat berpengaruh dalam
mengantarkan mereka menjadi kaum intelektual

kelak.





50

Dari sini, jelaslah bahwa faktor utama
destruksi intelektual kita, mahasiswa, termasuk
juga HMI beriringan kuat dengan destruksi
budaya baca-tulis kita. Dan menyadari sekaligus
mengakhiri kondisi ini adalah keniscayaan yang

mesti disadari bersama, sehingga ke depan
budaya intelektual yang di antaranya dapat
direfleksikan dengan budaya baca-tulis, balk di
kalangan mahasiswa ataupun masyarakat secara
umum akan semakin tinggi.




Gedung Pelatihan Hasan Metareum,


Graha Insan Cita. Depok, 21 Jumadil Ula 1429 H
29 Mei 2008 M

Jam, 15.31 WIB




















51

Kecemasan

terbesarku

bukan

apakah aku

gagal, tetapi

apakah aku

berlarut-


larut pada

kegagalan
itu.




(Abraham

Lincoln)























52

MATINYA

KARYA,


AKHIR


SEBUAH
NYAWA









ehidupan bakal mengalami
kehampaan dan kekeringan jika

tiada "hiasan" yang
membingkainya. la laksana orang dikubur di saat
ia masih hidup. Dan kehidupan baru akan
menemukan nafasnya bila instrumen-instrumen
hidup yang saya i'tibarkan dengan hiasan itu

sudah terpenuhi.

Apa hiasan itu? Hiasan itu tak lain adalah
karya. Bagi manusia, karya dapat disandingkan
dengan pintu mengarungi hidup ini. Tanpa karya,

kehidupan manusia akan hampa dan sia-sia. Bila
karya hidup, maka nyawa pun hidup. Sebaliknya,
bila karya mati, maka nyawapun akan berakhir.


53

Lantas, apa karya itu? Menurut Kamus Besar
Bahasa lndonesia (1988), karya adalah hasil
perbuatan; buatan; ciptaan (terutama hasil
karangan).


Namun, penulis masih membagi definisi
karya ini pada dua makna, makna tunggal dan
makna plural. Bila dipetakan, secara umum karya
manusia dapat diterjemahkan dengan hasil
konstruksi perilaku, tindakan, atau apapun dari

buah tangannya selama ia hidup. Di mana dengan
karya tersebut, kemujuran, kerugian, kebaikan
atau keburukannya akan berimplikasi pada
dirinya. Jika karyanya selama di dunia positif,
maka ia akan temukan ganti darinya, pun juga

sebaliknya, jika karyanya negatif, dengan banyak
berbuat dosa ketika di dunia, maka akan ia
temukan ganti darinya pula (QS. 99: 7-8). Karena
latar belakang inilah, maka buah karya manusia
akan berakibat pada dua pilihan, surga dan

neraka.

Ditinjau dari makna fungsional jenis karya
ini tergolong pada makna tunggal, sebab berimbas
pada dirinya saja. Adapun yang tergolong makna

fungsional-plural adalah perbuatan atau tindakan
yang tidak hanya berakibat pada dirinya saja,
tetapi juga pada orang lain. Jenis ini yang oleh


54

Nabi dilegitimasi dengan dawuhnya: Khairu an-
naas anfa'uhum li an-naas" (sebaik-baik manusia
adalah yang lebih bermanfaat pada orang lain).


Fungsionalisasi karya yang kedua ini secara
kualitas nilai masih lebih baik dari yang pertama.
Alasannya karena ia tidak hanya memiliki dampak
individual semata, tetapi juga memiliki dampak
sosial. Bentuk karya yang kedua ini pun variatif, ia
tidak terbatas pada karya-karya ansich atau formal

saja, tetapi juga menyangkut non-formal, dengan
batas masih memberikan imbas positif pada orang
lain. Hanya saja dalam tulisan ini saya akan
spesifik pada karya kedua dengan bentuk karya

tulis saja.

Berbicara tentang karya tulis, sepintas
memang terasa sementara dan temporal, tetapi
kenyataannya tidak demiklan. Ia tidak temporal

serta tidak diikat oleh ruang dan waktu. la terus
mengalir daiam hidup ini sembari mencerahkan
para konsumennya. Nilai manfaatnya akan
membias, bahkan akan mampu mengubah rlbuan
hingga jutaan manusia di zamannya dan zaman
setelahnya. Nilai manfaatnyapun warna warni

sesuai dengan konstruks essensial dalam karya
tulisnya. Jika muatannya positif, maka betapa
banyak nilai-nilai positif yang akan menyentuh


55

relung-relung hati para konsumennya. Begitupun
jika bermuatan negatif, maka nilai negatif itu akan
juga dikonsumsi oleh para pembacanya. Hanya
saja karya tulis yang saya maksud di sini adalah
karya yang bernilai positif saja.


Hidupnya karya tulis berjalan linier dengan
sosok penulisnya. Tulisan yang masih hidup,
segar. dan masih diambil manfaat banyak orang
adalah suatu gambaran bahwa penulisnya pun,

hakikatnya, juga masih hidup, meski jasadnya
telah mati. Sebab. matinya seseorang tidak
sepenuhnya dinilai dari jasmani. tetapi juga dari
aspek rohani. Nah, rohani para penulis itu tidak
mengikuti kondisi jasmani. ia tetap hidup bersama

kebaikan-kebaikan yang termaktub dalam tulisan-
tulisan mereka. Inilah yang saya maksud dari isi
tema di atas, bahwa jika karya masih ada, maka
nyawa pun sejatinya tidak akan pernah berakhir.
Fakta ini bersinergi dengan ungkapan Ernest

Hamengway, "Menulislah jika anda ingin berumur
panjang".

Mengambil imsal sosok dari wacana tersebut
tidaklah sulit. Di sana kita akan mudah

menemukan sosok Al-Ghazali, As-Syafi'ie, Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Rusyd,
Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu `Araby, Jalaluddin


56

Rumi, Fariduddin Attar, Ibnu Katsir, Ibnu
Bathutah, Imam Jalalain, Ibnu Taimiyah,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mohammad
lqbal, Fazlur Rahman, para pemikir muslim
Indonesia dari Hamka, Natsir, Nurcholish Madjid,

Abdurrahman Wahid, Ahmad VVahib hingga Emha
Ainun Najib yang Slilit Sang Kiai-nya membuat
penulis "termenung" sekaligus "tertawa".

Adapula sederetan nama seperti Aristoteles,

Socrates, Plato, Karl Marx, Mahatma Gandhi, Al-
Khawarizmi, al-Gebra, Albert Einstein, dan lain-
lain yang telah turut mengisi memori otak kita.
Mereka semua adalah refresentasi para tokoh yang
menjadikan pena sebagai kunci ilmu dan media

yang telah “mengantarkan” usia mereka hingga
hari ini. Berakhirnya nyawa dan aktivitas lasad
mereka tahun puluhan, ratusan hingga ribuan
tahun silam tak menjadikan ilmu, pribadi, nama,
dan pikiran mereka berakhir pula. Hingga hari ini

nama mereka masih harum, dan bahkan
sepanjang masa nama mereka akan tetap
terkenang.

Oleh karenanya, kita mesti berfikir tentang

diri kita. Bisakah kita seperti mereka, atau bahkan
melebihi mereka? Menjawab hal itu, jiwa kita
harus optimis bahwa tak ada yang tak mungkin di


57

dunia ini jika kita memiliki kemauan keras untuk
mewujudkannya. Manusia adalah makhluk
berkarya.




Mari berkarya!

Rumahku, 03 Ramadhan 1429 H
03 September 2008 M

Pukul 20.49 WIB





































58

Menulislah


Jika Anda



Ingin Hidup


Selamanya





(Lapmi



Pamekasan)





















59

60

DI KESUNYIAN



ITU, AKU

BELAJAR


PADA

LAMBANG
HMI











alam itu, sekitar medio 2005,
entah apa yang menghantui
pikiranku. Hatiku merasa
gundah, pikiranku mengawang-awang tanpa arah
dan tujuan. Batinku gelisah, tapi tak mengerti apa

di balik kegelisahan itu. la hanya bisa pasrah,
terpaku membuntuti gelapnya malam.

Dinding-dinding Sekretariat HMI Universitas

Madura menjadi saksi tunggal Kebisuan diri. Aku
terdampar dalam teki-teki antara kejujuran dan
kebohongan hidup ketika itu.





61

Aku masih diam terpana, sembari ku lihat
benda-benda di sampingku yang ku harap kan jadi
penghiburku. Ku tatap pula papan struktur
pengurus komisariat yang hampir lusuh, dengan
warna hitam melemah, tanda menjelang lawas.


Di pojok kiri atas papan itu, terpampang
lambang organisasi yang baru sekitar satu tahun
aku ikuti, lambang Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), organisasi mahasiswa yang ketika itu masih

dihembuskan dengan kualitas intelektualnya.
Tolah-toleh ke setiap sudut telah aku lalui, tatapan
ke setiap benda terus melabuhkan kedua sinar
mataku, tapi entah siapa yang menghentikan
pandangan itu, ketika kedua mata tadi menatap

lambang HMI. Aku hampir tidak percaya jika
mataku bergerak tanpa kendaliku, ku tatap
keseimbangan warna hijau-hitam ujung atas
seperti tiga gunung kembar, di ujung bawah
membuncit seperti tajamnya pena. Tak lama

kemudian, tiba-tiba lambang bentuk pena itu
mengajak pikiranku berputar kembali pada satu
tahun yang telah berlalu, aku teringat dengan
salah satu instruktur LK-1 yang menerjemahkan
lambang pena sebagai simbol kehausan akan ilmu

pengetahuan.





62

"Benarkah begitu?" Tanyaku sedikit
meragukan ingatan itu.

Setengah jam pikiranku terenggut untuk

jawaban ini tak menjadikanku puas, aku masih
bertanya, benarkah begitu? "Apa kaitannya dengan
HMI"? Tapi, entah detik/ menit ke berapa setelah
itu, pikiranku telah hilang, kedua mataku telah
tertutup rapat, aku telah terlena pada buaian
angin malam yang menyelimuti tubuhku dengan

jurus-jurus kantuknya, aku telah tertidur pulas.

Waktu demi waktu telah berlalu, pagipun
datang dengan senyumnya yang khas, kurang
lebih 7 jam semua dimensiku menghilang. Pukul

05.30 WIB, kedua mataku telah terbuka kembali,
spontan, ku angkat paksa tubuhku menuju kamar
kecil yang hampir tak layak itu, ku segera
berwudhu' dan ber-shubuh, keburu waktu shubuh

kan segera berakhir. Tapi, mungkin karena
sholatku yang tidak khusyu', tiba-tiba pada sujud
terakhir pikiranku kembali “digoda” dengan pikiran
semalam tentang lambang HMI yang berbentuk
pena. Aku biarkan saja pikiran itu hingga sholat
pun berlalu.


"Aku harus konsentrasi memecah "kasus"
ini," pikirku sekitar 10 menit setelah sholat.



63

Benar, dalam waktu itu, aku memang
merenung tentang kebenarannya... "Apa kaitannya
lambang pena dengan HMI?" pertanyaan semalam
kembali terulang.


Otakku di pagi itu terasa berbeda dengan
semalam yang sudah agak kusut dan jenuh. Pagi
itu terasa lebih cemerlang berfikir. Sehingga saat
berpikir, aku merasa lebih mudah memeras otak
yang menurutku masih bening itu.


Selang sekitar seperempat jam aku teringat
dengan sosok-sosok intelektual, penulis, dan
pemikir yang lahir dari rahim HMI. Nama mereka
yang sempat singgah pagi itu dalam benakku, ada

Cak Nur, Deliar Noer, Ahmad Wahib, Djohan
Effendi, Bahtiar Effendi, Dawam Rahardjo, Endang
Saifuddin, Azzyumardi Azra, Komaruddin Hidayat,
Agussalim Sitompul, Budhi Munawar Rahman, dan

Wahyuni Nafis. Tak ayal, ternyata deretan nama ini
tampaknya telah menjadi "wahyu" bagiku pagi itu.
Aku mulai mengerti akan lambang pena yang
selalu kutanyakan itu. Dari mereka, aku mulai
mengeja-eja tentang kreativitas berfikir dan
berkarya, kehausan terhadap ilmu pengetahuan,

kegelisahan intelektual yang ditelurkan melalui
"pena-pena peradaban" itu.




64

Mereka tidak hanya berfikir, tetapi juga
menulis, mereka tidak hanya menghayal tentang
Islam yang indonesiawi, tetapi khayalan itu
ditumpahkan melalui tinta-tinta "emas".
Menurutku, mereka tidak hanya berfikir bahwa

semua itu untuk konsumsi diri mereka saja, tetapi
untuk orang lain, untuk umat negeri ini, bahkan
untuk umat di dunia.

Hembusan waktu yang terus berkelindan

menuntunku makin paham arti di balik lambang
pena itu. Aku makin banyak tahu dengan para
penulis "cetakan" komunitas Hijau Hitam ini. Di
sana aku tahu ada Emha Ainun Najib, Taufiq
Ismail, Ridwan Saidi, Sulastomo, Marwah Daud

Ibrahim, Titi Said, Indra J. Piliang, Alfan Alfian,
Yudi Latif, Anies Baswedan, M.Qodari, Arif Satria,
M.Fadli Hassan, Bustanul Arifin, Imam Sugema,
Amich Alhumami, M.Yasin Kara, Ihsan Loulembah,
Hamid Basyaib, Chusnul Mar'iyah, Kartono

Muhammad, Ikranegara, Satrio Arismunandar,
Tulus Widjanarko, Zacky Caherul Umam, Yuddy
Chrisnandi, Harry Azhar Azis, Marbawi, dan
banyak lagi yang tidak mungkin disebut di sini.
(Menemukan Kembali Himpunan Mahasiswa Islam,

2008).





65

Mereka semua telah bergelut di dunia pena,
dan ini sekaligus bukti lambang pena HMI telah
mengantarkan banyak kadernya di wilayah
keilmuan dan pemikiran. Menurutku mengingat
nama-nama mereka adalah "cambuk motivasi" diri

kita untuk tidak sekedar hidup dalam
kehampaan.

Ada sesuatu yang sangat perlu kita
tinggalkan untuk orang-orang setelah kita. Esok,

ketika ajal terenggut, kita dikubur, dan ketika itu,
tak ada apa-apa yang bisa diberikan, yang bisa
dikenang untuk orang-orang pasca-kita, karena
kita memang tidak berbuat dan tidak
meninggalkan apa-apa, habislah riwayat kita

bersama dengan berakhirnya nyawa.

Hidup ternyata sangat pendek bagi kita yang
tak pernah menulis dan berkarya, atau kita yang

tak pernah berjasa untuk orang lain. Namun, tidak
bagi nama-nama para penulis di atas. Nyawa
mereka hidup seiring dengan hidupnya karya
mereka. Pikiran mereka terus segar, tak
terpengaruh dengan matinya jasad mereka.


Mereka berharga bukan karena harga untuk
dirinya, tapi karena harga yang mereka berikan
pada orang lain, khususnya setelah mereka
melalui "lambang pena'', simbol inspirator karya

66

mereka. Tidak salah jika mereka disamakan
dengan kata "Anda" dalam tulisan Franklin, "Jika
Anda ingin tidak dilupakan orang segera setelah
Anda meninggal dunia, maka tulislah sesuatu yang
patut dibaca atau berbuatlah sesuatu yang patut

diabadikan (dikenang)".




Sekretariat Lapmi Cabang
Pamekasan , 09 Ramadhan 1429 H
09 September 2008 M



Jam, 23.12 WIB




























67

Buku adalah

pengusung

peradaban.

Tanpa buku,

sejarah

menjadi sunyi,

serta bisu,


ilmu

pengetahuan

lumpuh, serta


pikiran dan

spekulasi

mandeg.






(Barbara
68
Tuchman)

MENJADI


PENULIS DARI

CATATAN

HARIAN


(Mengenal
Manfaatnya)








“Setiap hari banyak sekali gagasan yang
dilahirkan hanya untuk mati dengan cepat karena
tidak dituangkan ke atas kertas".



ngkapan David J. Schwartz inilah
yang mengingatkan kita pada ide
yang kita miliki. Ide kita sendiri
datang tanpa diundang, dan juga tanpa pamit.

Bahkan dalam satu detikpun ide yang
muncul bisa kembali hilang. Karenanya mencatat
setiap ide yang muncul adalah suatu jalan,


69

bagaimana kita dapat mempericaya ide secara
terus menerus.

Catatan ide yang ditulis secara harian inilah
yang kemudian kita kenal sebagai catatan harian,
atau senng juga disebut diary. Setiap ide kita yang
muncul dimanapun, kapanpun, dan dalam bentuk
apapun; pelepasan emosi, pengalaman, kesedihan,
imajinasi, kegelisahan, momori persahabatan,
refleksi, dan bentuk-bentuk lain yang masih
mungkin di-”pena” kan, maka jangan ada yang
tertinggal dari pantauan kita, yaitu kerajinan
mencatat ide tersebut.

Perlu diingat bahwa catatan harian tidak
harus panjang, tetapi yang terpenting adalah
masuknya ide, kemudian ide tersebut dirangkai
dalam bentuk kalimat yang sistematis. Hal yang
juga penting dalam catatan harian adalah
menuliskan sesuatu yang sering dianggap tidak
begitu penting. Seperti tempat, hari, tanggal,
bulan, tahun, dan jamnya. Melakukan hal
demikian di antaranya mengandung fungsi
romantika sejarah, berdzikir masa silam, baik
kelabu, hitam, atau putih, dan banyak alasan
lainnya. Catatan harian lengkap dengan jam bisa
dilihat dalam "Ibu Tamparlah Mulut Anakmu",
buku harian Emha Ainun Najib sewaktu
menggelandang di Eropa (Zaituna, 2000).





70

Tentang catatan harian sendiri memiliki
beberapa manfaat dan nilai guna, di antaranya:

1) Memperlancar menulis.


Berlatih secara kontinyu dengan terus menulis
dapat melenturkan kekakuan otak dalam
mengungkapkan ide lewat tulisan, di samping
juga mempermudah merangkai kata, bermain
kata, dan mensistematisir kata menjadi sebuah
kalimat sekaligus memperpanjangnya menjadi
paragraf.

2) Tempat curhat.

Di saat otak kita jenuh, beku, risau, dan
seterusnya, sementara tidak ada kawan untuk
berbagai perasaan alias curhat, maka bukulah
tempat persinggahan kegamangan/kejenuhan
otak yang sangat handal. Seseorang yang
melarikan pengaduannya pada catatan
hariannya akan menemukan kejujuran diri,
pengakuan nuraniah dan ketulusan hati secara
mendalam.

3) Menghidupkan file memori otak yang sudah
layu, atau mengasah file yang sudah tumpul
sekaligus berfungsi sebagai media memelihara
wawasan.

File memori otak kita selalu bertambah seiring
dengan perubahan waktu. Akibatnya, sangat

71

mungkin file otak yang sudah lama tidak dibuka
akan terkena "virus", yakni virus waktu yang
cukup lama, dan kemudian hilang ditelan virus
tersebut. Oleh karena itu, guna memelihara file
tersebut alangkah baiknya jika kita selalu
menyegarkannya lewat media tulisan. Hal
demikian sekaligus potensial untuk merawat
wawasan kita. Bukankah Napolion Hill pernah
mengatakan, "Peliharalah wawasan anda
seakan-akan itu anak-anak jiwa anda;
rancangan untuk pencapaian akhir anda".

4) Media evaluasi diri.

Memonitoring diri setiap saat merupakan suatu
trik menjaga perubahan Sebab, perubahan din i
ini mengikuti detak hati.

Sementara hati sendiri bisa bermakna berbolak
batik (Qolbu, Arab). Karenanya mencatat isi
kehidupan kita dalam catatan harian dapat
mengungkap sisi-sisi baik dan buruk diri kita
antara dulu, kemarin, hari ini, dan hari esok.
Hal ini bertolak pada kandungan Hadits Nabi
yang menjelaskan konstalasi perubahan antara
kemarin, sekarang, dan esok, berikut nilai-nilai
perubahan itu.






72

5) Membuat buku dari catatan harian.

Banyak para penulis kita melahirkan karya
buku yang diangkat melalui catatan hariannya.
Ahmad Wahib dengan bukunya yang populer,
“Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian
Ahmad Wahib”. Eep Saefullah Fatah dengan
buku catatan politiknya, “Menuntaskan
Perubahan: Catatan Politik 1998-1999”. Soe Hok
Gie dengan buku “Catatan Seorang
Demonstran”-nya.

Dengan mengetahui nilai-nilai guna (usefull
values) ini kita akan terbiasa mencatat setiap
dimensi kehidupan kita. Catatan harian kita dapat
dikatakan diri kita. Dus, siapa yang hendak
mengetahui kepribadian seseorang secara
menyeluruh, maka "jembatannya" adalah membaca
catatan hariannya.


Sekretariat Lapmi, 10 Ramadhan 1429 H

10 September 2008 M


Jam, 00.32 WIB









73

Ide dapat kita peroleh

dari banyak hal. "Anda
mendapatkan ide dari

mengkhayal. Anda mendapatkan
ide dari rasa bosan. Anda


mendapatkan ide setiap saat.
Perbedaan penulis dengan orang
biasa adalah kita sadar saat kita

melakukannya."


(Neil Gaiman)














74

TENTANG

“RUMAH


PENA” YANG
KUCINTA















asih tebersit dalam ingatanku 2
tahun silam, tepatnya di bulan
— yang dikenal umat Islam —
penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan, aku
merebahkan tubuhku di "kamar-kamar ilmu", atau

juga di "rumah pena", Lembaga Pers Mahasiswa
Islam (Lapmi) nama identitas rumah itu.

Ketika itu, lembaga milik HMI yang concern

pada seputar pena ini masih "rada-rada sunyi",
sehingga aku dan beberapa kawanku seakan
datang bak lampu pijar menerangi area yang
sudah agak lama gelap ini. Maklumlah,



75

sebelumnya Lapmi sempat "terang", namun tidak
berjalan lama, Lapmi kembali "redup".

Perjalanan kisah selanjutnya adalah kisah

baru bagi Lapmi, di mana lembaga semi otonom
HMI ini — di masa aku dan kawan-kawan
"singgah" — mampu menunaikan cerita-cerita
terang di dalamnya, Lapmi kembali hidup, bahkan
itu berjalan hingga hari ini. Dalam pengalamanku
berlabuh di Lapmi, tampak ada sejuta kisah yang

telah merajut dimensi-dimensi keilmuanku,
terutama ilmu tentang mengurai dan bermain
kata. Apa yang tak pemah terbayang dalam
benakku tentang ilmu-ilmu tersebut, ternyata
LAPMI mampu menepis bayangan itu. Dan rumah

sederhana (Lapmi) inilah kelak yang
mengantarkan beberapa kader HMI Cabang
Pamekasan menyelam sebegitu dalam di lautan
pena tercinta ini.


Tentang tema di atas sendiri, pemakaian
istilah rumah pena sebenarnya berangkat dani
kesadaran masa laluku sebelum berkiprah di
Lapmi, di mana aku "buta" tentang masalah tulis-
menulis, atau meskipun "bisa melihat", tetapi

kualitas tulisanku jauh lebih rendah dibandingkan
hari ini. Demikian ini terjadi, karena Lapmi
dengan pesona "Dialektika"-nya memberiku


76

peluang bagaimana aku merangkai kata-kata,
bermain pena, dan bahkan mengenal dunia pers,
sebuah dunia yang kemudian aku kenal sebagai
dunia para "malaikat penyelamat" bangsa.


Lapmi Menulis

Sebagai lembaga pers HMI sudah seyogyanya
Lapmi mengumandangkan kejayaan HMI (agenda

kerja, forum keilmuan, dimensi pengetahuan dan
pemikiran, atau juga kreativitas berkarya kader
HMI) dan mempersembahkannya kepada publik.
Kader-kader HMI yang berkiprah di Lapmi -
minimalnya - kapabel menuangkan ide dan
gagasannya lewat tulisan.


Maka wajar jika tradisi tulis-menulis adalah
tradisi yang niscaya adanya di Lapmi. Satu slogan
yang mungkin dapat menginspirasi kreativitas
menulis insan-insan Lapmi yaitu "Menulislah Jika

Anda Ingin Hidup Selamanya", sebuah adagium
khas Lapmi Cabang Pamekasan.

"Jembatan" ini di samping mencerahkan para

pelaku internal Lapmi dalam tulis-menulis,
sejatinya juga mencerahkan eksternalnya, yakni
seluruh kader-kader HMI, baik di tingkatan lokal,
regional, maupun nasional. Lebih lanjut, secara
tidak langsung, Lapmi juga menjadi "Aktor Utama"


77

dalam memanifestasikan inspirasi lambang HMI
yang berbentuk pena itu.

*Ditulis saat menjadi instruktur Kursus

Menjadi Penulis Kreatif yang diadakan oleh Lapmi
HMI Cabang Pamekasan di Gedung Avicenna
Pamekasan pada tanggal 07 s/d 22 Ramadhan
1429 H.




Gedung Avicenna Pamekasan + Wisma LAPMI HMI
Cabang Pamekasan, 13 Ramadhan 1429 H
13 September 2008 M



Jam, 19.40 WIB.



























78

"Ikatlah ilmu dengan menulis"






― Ali Bin Abi Thalib ra.






























79

80


Click to View FlipBook Version