34 H. Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 3 minggu, dimulai pada tanggal 28 April 2022 hingga 19 Mei 2022. Pengambilan data pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penerapan discovery learning dilakukan secara berurutan setiap minggunya pada hari kamis. Pertemuan 1 dan 2, video animasi diberikan sebagai stimulus di tahap orientasi dan sebagai konfirmasi pembelajaran di tahap regulasi. Pertemuan 3 dilaksanakan posttest untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa. Media video animasi pada kelas eksperimen diberikan pada tahap sintaks orientasi dan regulasi. Video animasi pada tahap orientasi digunakan sebagai stimulus untuk merangsang keingintahuan siswa terhadap topik materi yang akan dipelajari. Video animasi pada tahap regulasi bertujuan untuk penguatan materi dari pembelajaran yang telah diberikan. Pemberian video animasi saat pembelajaran berkisar 3-5 menit di tahap orientasi dan regulasi. Pada kelas kontrol tidak diberikan video animasi, namun diberi media lain berupa gambar.
35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di SMA Negeri 1 Surakarta pada semester genap tahun pelajaran 2021/2022, didapatkan hasil berupa skor kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa pada materi sistem imun KD. 3.14 dan 4.14. a. Hasil Kemampuan Berpikir Kritis Data penelitian kemampuan berpikir kritis diperoleh dari nilai posttest esai pada materi sistem imun yang berjumlah 12 poin pertanyaan. Penskoran jawaban esai siswa dengan skala 1-4 dengan bantuan rubrik penskoran berpikir kritis oleh Facione & Facione (2011). Skor yang diperoleh dikonversi menjadi nilai skala 1-100 dengan kategori kemampuan berpikir kritis menurut Nainggolan & Hanifah (2020). Kelas XI MIPA 5 sebagai kelas eksperimen dan XI MIPA 3 sebagai kelas kontrol, setiap kelas memiliki jumlah siswa yang sama yaitu 36 siswa. Kelas XI MIPA 5 diberi perlakuan berupa penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi dan kelas XI MIPA 3 dengan penggunaan model discovery learning. Data kemampuan berpikir kritis siswa ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan Lampiran 25-26. Tabel 4.1 menggambarkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dibandingkan kelas dengan penggunaan model discovery learning saja. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi sebesar 80.83 yang lebih tinggi dari kelas dengan penggunaan model discovery learning saja yaitu sebesar 73.89.
36 Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi termasuk kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning termasuk kategori tinggi. Nilai minimum dan maksimum kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan model discovery learning, hal ini memperlihatkan kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki skor kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan model discovery learning saja. Tabel 4. 1 Data Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Hasil Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen XI MIPA 5 Kelas Kontrol XI MIPA 3 N 36 36 Minimum 42 40 Maximum 98 94 Mean 80.83 73.89 Standar Deviasi 13.479 13.680 Varians 181.686 187.130 Distribusi frekuensi nilai kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning terdapat pada Tabel 4.2 Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Nilai Kategori Eksperimen Kontrol Frek % Frek % 81.25 - 100 Sangat tinggi 19 53% 13 36% 71.50 – 81.25 Tinggi 8 22% 6 17% 62.50 – 71.50 Sedang 6 17% 11 30% 43.75 – 62.50 Rendah 2 5% 5 14% 0 – 43.75 Lemah 1 3% 1 3%
37 Berdasarkan Tabel 4.2 frekuensi kemampuan berpikir kritis dengan kategori sangat tinggi dan tinggi lebih banyak dimiliki oleh kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dibandingkan kelas dengan penggunaan model discovery learning, yaitu 19:13 dan 8:6. Kategori kemampuan berpikir kritis sedang, rendah, dan lemah lebih banyak terdapat pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dibandingkan kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi, yaitu 11:6 ; 5:2 ; dan 1:1. Perbandingan kemampuan berpikir kritis pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning pada setiap aspek kemampuan berpikir kritis terdapat pada Tabel 4.3. Tabel 4. 3 Rata-Rata Nilai Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen XI MIPA 5 Kelas Kontrol XI MIPA 3 Interpretasi 78.82 66.32 Analisis 80.21 74.31 Evaluasi 77.43 70.49 Inferensi 82.29 71.18 Eksplanasi 72.22 69.79 Self Regulasi 93.75 90.69 Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih besar daripada kelas kontrol dengan penggunaan model discovery learning pada setiap aspek kemampuan berpikir kritis yang digunakan. Nilai aspek kemampuan berpikir kritis kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi yang tertinggi yaitu self-regulasi sebesar 93.75 dan nilai terendah pada aspek eksplanasi sebesar 72.22. Kelas dengan penggunaan model discovery learning saja memiliki nilai aspek kemampuan berpikir
38 kritis yang tertinggi yaitu self-regulasi sebesar 90.69 dan nilai terendah pada aspek interpretasi sebesar 66.32. Nilai tertinggi kemampuan berpikir kritis baik di kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning saja terdapat pada aspek self-regulasi. Setiap aspek kemampuan berpikir kritis dapat dikategorikan tingkatan kemampuan berpikir kritisnya menurut menurut Nainggolan & Hanifah (2020) sebagai berikut. Aspek kemampuan berpikir kritis pertama yaitu interpretasi, selisih nilai rata-rata aspek interpretasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning yaitu sebesar 12.5. Aspek interpretasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 78.82 yang merupakan kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 66.32 yang merupakan kategori sedang. Aspek kemampuan berpikir kritis kedua yaitu analisis, selisih nilai rata-rata aspek analisis pada kedua kelas sampel yaitu sebesar 5.9. Aspek analisis pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 80.21 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 74.31. Kedua kelas pada aspek analisis termasuk dalam kategori kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Aspek kemampuan berpikir kritis ketiga yaitu evaluasi, selisih nilai rata-rata aspek evaluasi pada kedua kelas yaitu sebesar 6.94. Aspek evaluasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 77.43 yang termasuk kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 70.49 yang termasuk kategori sedang.
39 Aspek kemampuan berpikir kritis keempat yaitu inferensi, selisih nilai rata-rata aspek inferensi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning yaitu sebesar 11.11. Aspek inferensi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 82.29 yang termasuk kategori sangat tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 71.18 yang termasuk kategori sedang. Aspek kemampuan berpikir kritis kelima yaitu eksplanasi, selisih nilai rata-rata aspek eksplanasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 2.43. Aspek eksplanasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 72.22 yang termasuk kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 69.79 yang termasuk kategori sedang. Aspek kemampuan berpikir kritis keenam yaitu selfregulasi, selisih nilai rata-rata aspek self-regulasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 3.06. Aspek self regulasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 93.75 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 90.69. Kedua kelas pada aspek self-regulasi termasuk dalam kategori kemampuan berpikir kritis yang sangat tinggi.
40 b. Hasil Keterampilan Proses Sains Data penelitian keterampilan proses sains diperoleh dari nilai posttest pilihan ganda pada materi sistem imun yang berjumlah 12 soal. Penskoran jawaban siswa yaitu jawaban benar dengan skor 1 dan jawaban salah dengan skor 0. Skor yang diperoleh dikonversi menjadi nilai skala 1-100. Data keterampilan proses sains siswa ditunjukkan pada Tabel 4.4 dan Lampiran 27- 28. Tabel 4. 4 Data Nilai Keterampilan Proses Sains Hasil Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen XI MIPA 5 Kelas Kontrol XI MIPA 3 N 36 36 Minimum 42 33 Maximum 92 83 Mean 70.39 63.14 Standar Deviasi 15.001 15.535 Varian 225.044 241.323 Tabel 4.4 menampilkan bahwa keterampilan proses sains siswa kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dibandingkan kelas dengan penggunaan model discovery learning. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi yaitu 70.39 yang lebih tinggi dari kelas dengan penggunaan model discovery learning yaitu sebesar 63.14. Nilai rata-rata keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi termasuk kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning termasuk kategori sedang. Nilai minimum dan maksimum kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan model discovery learning saja, hal ini memperlihatkan kelas dengan penggunaan model discovery
41 learning dipadu video animasi memiliki skor keterampilan proses sains yang lebih baik daripada kelas dengan penggunaan model discovery learning saja. Distribusi frekuensi nilai keterampilan proses sains siswa kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning terdapat pada Tabel 4.5. Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Proses Sains Nilai Kategori Eksperimen Kontrol Frek % Frek % 66.67 – 100 Tinggi 24 67% 19 53% 33.33 – 66.67 Sedang 12 33% 15 42% 0 – 33.33 Rendah - - 2 5% Berdasarkan Tabel 4.5 frekuensi keterampilan proses sains siswa kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih banyak pada kategori tinggi dan sedang, tidak ada siswa dengan kategori rendah. Kelas dengan penggunaan model discovery learning memiliki sebaran pada kategori tinggi, sedang, dan rendah. Tabel 4. 6 Rata-Rata Nilai Aspek Keterampilan Proses Sains Aspek Keterampilan Proses Sains Dasar Kelas Eksperimen XI MIPA 5 Kelas Kontrol XI MIPA 3 Mengobservasi 68.06 58.33 Menyimpulkan 54.17 52.78 Mengukur 84.72 77.78 Mengklasifikasi 62.50 51.39 Memprediksi 72.22 70.83 Mengkomunikasi 80.56 68.06 Perbandingan keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning pada setiap aspek keterampilan proses sains terdapat pada Tabel 4.6.
42 Berdasarkan Tabel 4.6 rata-rata nilai keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan model discovery learning pada setiap aspek keterampilan proses sains. Nilai aspek keterampilan proses sains tertinggi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi yaitu mengukur sebesar 84.72 dan aspek terendah yaitu menyimpulkan sebesar 54.17. Kelas dengan penggunaan model discovery learning memiliki nilai rata-rata aspek keterampilan proses sains tertinggi pada aspek mengukur sebesar 77.78 dan aspek terendah yaitu mengklasifikasi sebesar 51.39. Rata-rata nilai keterampilan proses sains tertinggi dari kedua kelas terdapat pada aspek mengukur. Setiap aspek keterampilan proses sains dapat dikategorikan tingkatan keterampilan proses sainsnya menurut Fadillah (2017) sebagai berikut. Aspek keterampilan proses sains pertama yaitu mengobservasi, selisih nilai rata-rata aspek mengobservasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning yaitu sebesar 9.73. Aspek mengobservasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 68.06 yang termasuk kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 58.33 yang termasuk kategori sedang. Aspek keterampilan proses sains kedua yaitu menyimpulkan, selisih nilai rata-rata aspek menyimpulkan pada kedua kelas yaitu sebesar 1.39. Aspek menyimpulkan pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 54.17 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 52.78. Kedua kelas pada aspek menyimpulkan termasuk dalam kategori sedang.
43 Aspek keterampilan proses sains ketiga yaitu mengukur, selisih nilai rata-rata aspek mengukur pada kedua kelas sebesar 6.94. Aspek mengukur pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 84.72 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 77.78. Kedua kelas pada aspek mengukur termasuk dalam kategori tinggi. Aspek keterampilan proses sains keempat yaitu mengklasifikasi, selisih nilai rata-rata aspek mengklasifikasi pada kedua kelas adalah 11.11. Aspek mengklasifikasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 62.50 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 51.39. Kedua kelas pada aspek mengklasifikasi termasuk dalam kategori sedang. Aspek keterampilan proses sains kelima yaitu memprediksi, selisih nilai rata-rata aspek memprediksi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 1.39. Aspek memprediksi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 72.22 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 70.83. Kedua kelas pada aspek memprediksi termasuk dalam kategori tinggi. Aspek keterampilan proses sains keenam yaitu mengkomunikasi, selisih nilai rata-rata aspek mengkomunikasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning yaitu sebesar 12.5. Aspek mengkomunikasi pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi memiliki rata-rata sebesar 80.56 dan kelas dengan
44 penggunaan model discovery learning sebesar 68.06. Kedua kelas pada aspek mengkomunikasi termasuk dalam kategori tinggi. 2. Hasil Uji Persyaratan a. Uji Normalitas Data Uji normalitas dilakukan pada data kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains kelas eksperimen dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi maupun kelas kontrol dengan penggunaan model discovery learning. Uji normalitas dengan uji Kolmogorov-smirnov (α = 0.05) dengan bantuan SPSS 22. Keputusan dalam uji normalitas yaitu H0 berdistribusi normal apabila Sig. > 0.05, sehingga H0 diterima. H1 berdistribusi tidak normal apabila Sig < 0.05, sehingga H0 ditolak. Hasil perhitungan uji normalitas pada data kemampuan berikir kritis dan keterampilan proses sains terdapat pada Tabel 4.7 dan secara rinci pada Lampiran 29. Tabel 4. 7. Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Uji Normalitas Sig. Kriteria Keputusan H0 Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kemampuan Berpikir Kritis 0.132 0.169 Sig. > 0.05 Diterima Keterampilan Proses Sains 0.108 0.078 Sig. > 0.05 Diterima Hasil perhitungan uji normalitas pada Tabel 4.7 didapatkan hasil bahwa nilai Sig. pada data kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains >0.05, sehingga H0 diterima. H0 diterima berarti nilai kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains baik pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi maupun kelas dengan penggunaan model discovery learning berdistribusi normal
45 b. Uji Homogenitas Data Uji homogenitas dilakukan pada data kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi maupun kelas dengan penggunaan model discovery learning. Uji homogenitas dilakukan melalui uji Levene (α = 0.05) dengan bantuan SPSS 22. Pengambilan keputusan dalam uji homogenitas yaitu H0 data homogen apabila Sig. > 0.05, sehingga H0 diterima. H1 mempunyai data tidak homogen apabila Sig < 0.05, sehingga H0 ditolak. Hasil perhitungan uji homogenitas pada data kemampuan berikir kritis dan keterampilan proses sains terdapat pada Tabel 4.8 dan secara rinci pada Lampiran 30. Tabel 4. 8 Hasil Uji Homogenitas Data Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Uji Homogenitas Sig. Kriteria Keputusan H0 Kemampuan Berpikir Kritis 0.623 Sig. > 0.05 Diterima Keterampilan Proses Sains 0.689 Sig .> 0.05 Diterima Hasil perhitungan uji homogenitas pada Tabel 4.8 didapatkan hasil bahwa nilai Sig. pada data kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains >0.05, sehingga H0 diterima. H0 diterima berarti nilai kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains mempunyai data yang homogen. 3. Hasil Uji Hipotesis Uji hipotesis dapat dilakukan apabila data penelitian sudah memenuhi uji normalitas dan homogenitas yaitu data berdistribusi normal dan homogen. Uji hipotesis dilakukan pada dua data penelitian yaitu kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains. Uji hipotesis dengan Uji T (α = 0.05) yang dibantu SPSS 22.
46 Tabel 4. 9 Hasil Uji T Data Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Uji T Sig (2-tailed) Kriteria Keputusan H0 Kemampuan Berpikir Kritis 0.033 Sig. < 0.05 Ditolak Keterampilan Proses Sains 0.048 Sig. < 0.05 Ditolak a. Uji Hipotesis Pertama Tujuan dari uji hipotesis yang pertama yaitu untuk mencari ada tidaknya perbedaan dari kemampuan berpikir kritis siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi. Hasil Uji T pada data kemampuan berpikir kritis terdapat pada Tabel 4.9 dan secara rinci pada lampiran 31. Hasil perhitungan Uji T pada data kemampuan berpikir kritis yang terdapat pada Tabel 4.9 menunjukkan Sig (2-tailed) sebesar 0.033. Hasil signifikansi ini menunjukkan pengambilan keputusan H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil signifikansi <0.05, sehingga diambil keputusan yaitu ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi. b. Uji Hipotesis Kedua Tujuan uji hipotesis yang kedua yaitu untuk mencari ada tidaknya perbedaan dari keterampilan proses sains siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi. Hasil Uji T pada data keterampilan proses sains terdapat pada Tabel 4.9 dan secara rinci pada lampiran 31. Perhitungan Uji T pada data keterampilan proses sains yang terdapat pada Tabel 4.9 menunjukkan Sig (2-tailed) sebesar 0.048. Hasil signifikansi ini menunjukkan pengambilan keputusan H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil signifikansi <0.05, sehingga diambil keputusan yaitu ada perbedaan keterampilan proses sains siswa
47 dengan penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi. B. Pembahasan 1. Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Menggunakan Model Discovery Learning dipadu Media Video Animasi Data penelitian menunjukkan rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi lebih besar dibandingkan kelas dengan penggunaan model discovery learning. Rata-rata nilai kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi sebesar 80.83 dan kelas dengan penggunaan model discovery learning sebesar 73.89, seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. Uji T kemampuan berpikir kritis pada kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan model discovery learning memperoleh hasil signifikansi sebesar 0.033 yaitu <0.05. Hasil uji T ini berarti ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa kelas dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan discovery learning saja. Penelitian ini sesuai dengan Nurma’ardi et al. (2020) yang menjelaskan bahwa penerapan discovery learning berbantuan video interaktif efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan hanya penerapan model discovery learning saja. Proses pembelajaran dengan penerapan discovery learning diintegrasi dengan penggunaan video bertujuan agar siswa tertarik mengikuti pembelajaran, sehingga siswa lebih fokus dan pemikiran kritis siswa akan optimal digunakan. Penayangan video animasi merangsang siswa untuk menciptakan pola pikir yang berkembang dalam menghadapi informasi yang diperoleh di dalam video. Media pembelajaran berupa video animasi digunakan sebagai bahan bagi siswa untuk
48 melaksanakan penyelidikan bersamaan dengan pembelajaran discovery. Gambar 4. 1 Rata-rata Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Sintaks pembelajaran discovery terdiri dari 5 tahapan yaitu orientasi, hipotesis generation, hipotesis testing, conclusion, dan regulation. Tahap pada discovery learning dapat melatihkan kemampuan berpikir kritis siswa (Chusni et al., 2020). Aspek kemampuan berpikir kritis dapat dilatihkan dalam tahap discovery learning. Hubungan setiap tahap discovery learning dengan kemampuan berpikir kritis ditampilkan pada Tabel 4.11. Discovery learning menuntun siswa secara langsung aktif dalam pembelajaran, dari mengidentifikasi masalah hingga menarik kesimpulan. Siswa dalam pembelajaran tidak hanya memahami materi, namun juga konsep pembelajaran. Ketika siswa menemukan masalah yang lebih rumit kedepannya, mereka bisa menerapkan konsep yang telah dipahami sebelumnya dengan kritis (Haeruman et al., 2017). 80.83 73.89 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai Sampel
49 Tabel 4. 10 Sintaks Dicovery Learning dengan Kemampuan Berpikir Kritis No Kemampuan Berpikir Kritis Sintaks Discovery Aspek Sub Kemampuan Learning 1. Interpretasi Mendefinisikan makna Orientasi 2. Analisis Mengidentifikasi argumen Hipotesis Menganalisis argumen generation 3. Evaluasi Menilai klaim Menilai kualitas argumen dengan Hipotesis testing penalaran induktif dan deduktif 4. Inferensi Membuat perkiraan/ jawaban sementara Conclution Menarik kesimpulan 5. Eksplanasi Menyajikan argumen 6. Self- Regulation regulasi Monitor diri Koreksi diri Sumber : (Chusni et al., 2020) Gambar 4. 2 Nilai Rata-rata Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dari kelas dengan penerapan discovery learning pada setiap aspek kemampuan berpikir kritis. Perbedaan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Nilai Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
50 terjadi karena penggunaan model dan media pembelajaran yang digunakan. Kelas eksperimen menggunakan model discovery learning yang dipadu video animasi, sedangkan kelas kontrol menggunakan model discovery learning. Data perbedaan nilai setiap aspek kemampuan berpikir kritis terdapat pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 memperlihatkan perbedaan perolehan nilai ratarata pada setiap aspek kemampuan berpikir kritis pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penerapan discovery learning. Aspek kemampuan berpikir kritis Facione (2020) yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dibawah ini : a. Aspek Interpretasi Indikator yang digunakan pada aspek interpretasi yaitu mengenali dan mendeskripsikan sebuah permasalahan (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan bahwa rata-rata nilai aspek interpretasi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 78.82 lebih besar daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 66.32. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu mengenali dan mendeskripsikan permasalahan lebih baik, karena dengan adanya stimulus berupa video animasi yang mampu memvisualisasikan suatu fenomena abstrak menjadi lebih jelas. Media gambar yang digunakan pada kelas kontrol kurang merangsang daya interpretasi siswa, sehingga kemampuan untuk pengenalan suatu permasalahan kurang terlatihkan. Aspek interpretasi dilatihkan pada tahap discovery learning orientasi (Chusni et al., 2020). Melatihkan kemampuan interpretasi siswa pada tahap orientasi didasarkan pada keyakinan bahwa untuk berpikir secara kompleks diperlukan penguasaan pengetahuan
51 secara mendasar, oleh karena itu guru menampilkan istilah, makna, dan kerangka dasar materi (Afandi et al., 2017). Tahap discovery learning orientasi yaitu proses membangun ide awal untuk menggali pengetahuan dan mengidentifikasi materi. Siswa pada kelas eksperimen dihadapkan pada suatu hal yang memunculkan rasa ingin tahu yaitu melakukan observasi dari penanyangan video animasi. Guru tidak langsung memberikan generalisasi mengenai video, tetapi guru mengajukan pertanyaan pada siswa untuk mengidentifikasi masalah dari video yang telah ditampilkan. Video animasi digunakan sebagai stimulus untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir siswa. Tahap orientasi sebagai awal pembelajaran yang mengharuskan siswa melakukan observasi untuk menyelidiki suatu topik pembelajaran. Penyelidikan dilakukan dengan melakukan eksplorasi terhadap fenomena yang ada untuk merangsang rasa ingin tahu siswa (Saputri et al., 2019). Interpretasi yang dilakukan siswa pada tahap ini yaitu mampu memberikan argumen yang berkaitan dengan data atau fenomena pada video animasi yang ditampilkan (Chusni et al., 2020). Hal ini sesuai dengan aspek kemampuan berpikir kritis interpretasi yang diungkapkan oleh Facione (2020) yaitu siswa mampu mengungkapkan maksud dari fenomena, peristiwa, masalah, maupun situasi sehingga memiliki makna yang jelas, salah satunya melalui fenomena yang ditayangkan dalam video animasi. Penggunaan video animasi dapat mempengaruhi pemahaman siswa karena dapat melihat suatu fenomena secara langsung walaupun dalam bentuk animasi bergerak. Hal ini, membuat siswa memiliki pengalaman belajar dan kemampuan berpikir yang lebih baik dari sebelumnya (Nurma’ardi et al., 2020).
52 Kelas dengan penggunaan model discovery learning saja tanpa adanya stimulus melalui video animasi, namun dengan menggunakan gambar. Penyajian gambar memuat sedikit unsur pesan yang akan berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan pesan dari gambar bagi siswa. Semakin banyak materi yang disampaikan melalui gambar, maka siswa akan semakin sulit dalam menangkap pesan yang disampaikan (Jatmika, 2005). Video animasi yang digunakan pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi menampilkan pesan dalam bentuk gambar bergerak, suara, dan teks dalam bentuk animasi sehingga dapat hidup dalam suatu video (Rumengan et al., 2021). Video animasi lebih memuat banyak pesan yang dapat disampaikan pada siswa dan lebih menarik daripada tampilan gambar biasa. b. Aspek Analisis Indikator yang digunakan pada aspek analisis yaitu mengidentifikasi dan menganalisis argumen (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan bahwa rata-rata nilai aspek analisis pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 80.21 lebih besar daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 74.31. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu mengidentifikasi dan menganalisis argumen lebih baik dari kelas yang diterapkan model discovery learning. Aspek analisis dilatihkan pada tahap discovery learning hipotesis generation. Menganalisis sebagai proses menghubungkan berbagai informasi untuk membuat suatu pernyataan atau argumen (Chusni et al., 2020). Hal ini sesuai dengan salah satu indikator kemampuan berpikir kritis pada aspek analisis yang disampaikan oleh Facione (2020) yaitu memberikan argumen dalam bentuk pernyataan, deskripsi, maupun konsep.
53 Siswa pada tahap hipotesis generation merumuskan hipotesis dari suatu permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Penyusunan hipotesis dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar sebagai acuan siswa dalam menyusun hipotesis. Tahap ini mendorong siswa untuk menghubungkan ide-ide, pemahaman yang dimiliki sebelumnya, pengalaman, dan pendapat pribadi (Chusni et al., 2020). Siswa lebih aktif pada tahap hipotesis generation untuk mengemukakan jawaban dari rumusan masalah dan bertukar pendapat dengan siswa lain. Siswa kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi lebih banyak yang aktif dalam mengemukakan jawaban dari rumusan masalah daripada kelas dengan penerapan discovery learning. Hasil lembar observasi keterlaksanaan sintaks diperoleh perhitungan rata-rata jumlah siswa kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi yang mengemukakan jawaban sebesar 8 siswa dan kelas dengan penerapan discovery learning sebanyak 5 siswa. c. Aspek Evaluasi Indikator yang digunakan pada aspek evaluasi yaitu menilai klaim dan kualitas argumen dengan penalaran induktif dan deduktif (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan nilai aspek evaluasi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 77.43 lebih besar daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 70.49. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu menilai klaim dan kualitas argumen lebih baik dari kelas yang diterapkan model discovery learning. Aspek kemampuan berpikir kritis evaluasi dilatihkan pada tahap discovery learning hipotesis testing. Kemampuan siswa
54 dalam mengevaluasi yaitu memberikan penjelasan mengenai suatu permasalahan secara logis. Kegiatan pada tahap hipotesis testing sesuai dengan penjelasan aspek kemampuan berpikir kritis menurut Facione (2020), aspek evaluasi yaitu siswa mampu menilai pernyataan atau pendapat secara logis. Siswa pada tahap hipotesis testing menyusun kegiatan untuk membuktikan kebenaran jawaban sementara yang telah dibuat sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan siswa yaitu merancang pembuktian, melaksanakan pembuktian, dan menafsirkan data hasil pembuktian. Pembuktian dilakukan dengan studi literatur secara berkelompok, kemudian hasil studi literatur didiskusikan oleh siswa untuk dianalisis. Hasil pembuktian dengan diskusi kelompok disampaikan di depan kelas dalam bentuk presentasi. Apabila terdapat satu kelompok yang mempresentasikan hasil diskusi, maka kelompok lain dapat membantu memberi masukan terhadap hasil diskusi maupun mengoreksi hasil diskusi kelompok lain, sehingga terjadi komunikasi antar kelompok (Afandi et al., 2017). Hasil lembar observasi keterlaksanaan sintaks tahap hipotesis testing pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi terlihat lebih banyak siswa yang berpendapat ketika kelompok lain menyampaikan hasil presentasi yaitu rata-rata sebanyak 7 siswa, sedangkan pada kelas dengan penerapan discovery learning siswa yang berpendapat rata-rata sebanyak 5 siswa. Terlihat pada penilaian aspek evaluasi pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi mendapatkan rata-rata nilai yang lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan discovery learning saja.
55 d. Aspek Inferensi Indikator yang digunakan pada aspek inferensi yaitu membuat perkiraan/jawaban sementara dan menarik kesimpulan (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan nilai aspek inferensi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 82.29 lebih besar daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 71.18. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu membuat hipotesis dan menarik kesimpulan lebih baik dari kelas kontrol. Aspek inferensi dilatihkan pada tahap discovery learning conlusion. Inferensi dilakukan siswa dengan menentukan bagianbagian yang dibutuhkan untuk menyusun kesimpulan dan meninjau informasi yang relevan dari suatu bukti (Chusni et al., 2020). Salah satu indikator aspek inferensi yaitu siswa mampu menarik kesimpulan dalam memecahkan suatu masalah Facione (2020). Tahap conclusion yaitu siswa dibantu guru untuk menarik kesimpulan berdasarkan temuan materi yang telah dipelajari. Siswa dapat menyimpulkan hasil pembuktian yang dilakukan sesuai hipotesis yang telah disusun atau mengidentifikasi perbedaan dari hasil pembuktian dengan hipotesis (Veermans, 2003; Chusni et al., 2020). Tahap coclusion bertujuan untuk mendorong siswa menemukan bukti dari hasil analisis dan menentukan kemungkinan kesimpulan yang dapat diambil untuk mengubungkan antar materi pembelajaran (Chusni et al., 2020). e. Aspek Eksplanasi Indikator yang digunakan pada aspek eksplanasi yaitu menyajikan argumen (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan nilai aspek eksplanasi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 72.22 lebih besar daripada
56 kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 69.79. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu menyajikan argumen lebih baik dari kelas kontrol. Aspek eksplanasi dilatihkan pada tahap discovery learning regulasi. Eksplanasi sebagai proses menyatakan hasil pemikiran berdasarkan bukti yang ada, proses ini berguna untuk memastikan respon siswa dalam memahami materi (Chusni et al., 2020). Guru pada kelas eksperimen memastikan respon siswa dalam memahami materi dengan memberikan penjelasan dalam bentuk video animasi, sehingga siswa memperoleh penguatan materi dari hasil diskusi sebelumnya. Kelas kontrol dengan penerapan discovery learning mendapatkan penjelasan dari guru dalam bentuk gambar, sehingga dapat terlihat bahwa aspek eksplanasi pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dari kelas dengan penggunaan discovery learning. f. Aspek Self-regulasi Indikator yang digunakan pada aspek self-regulasi yaitu monitor diri dan koreksi diri (Facione, 2020). Gambar 4.2 menampilkan nilai aspek self-regulasi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 93.75 lebih besar daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 90.69. Perbedaan ini memperlihatkan kelas yang diterapkan model discovery learning dipadu video animasi mampu memonitor diri dan koreksi diri lebih baik dari kelas kontrol. Self-regulasi sebagai proses menerapkan keterampilan menganalisis dan mengevaluasi diri (Chusni et al., 2020). Aspek self-regulasi dilatihkan pada tahap discovery learning regulasi. Self-regulasi sebagai proses menerapkan keterampilan menganalisis dan mengevaluasi diri (Chusni et al.,
57 2020). Menurut Facione (2020) self-regulasi yaitu siswa mampu mengoreksi kemampuan diri setelah berpendapat untuk perbaikan kedepannya. Tahap regulation, guru memberikan tanggapan dari hasil diskusi siswa dan memberikan penjelasan lanjut mengenai materi. Penguatan materi dari guru pada kelas eksperimen disampaikan melalui video animasi, sedangkan pada kelas kontrol melalui tampilan gambar. Penggunaan video dapat membantu guru dalam menggambarkan konsep materi yang abstrak sehingga lebih mudah dimengerti oleh siswa (June et al., 2014). Pendapat tersebut sejalan dengan Turkoguz (2012), visualisasi konsep abstrak akan lebih mudah memberi pengetahuan baru pada siswa, sehingga kemampuan berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan ketertarikan belajar dapat meningkat. 2. Perbedaan Keterampilan Proses Sains Siswa Menggunakan Model Discovery Learning dipadu Media Video Animasi Hasil penelitian menunjukkan rata-rata nilai keterampilan proses sains siswa kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi lebih besar daripada kelas yang hanya dengan penerapan discovery learning. Rata-rata nilai keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi sebesar 70.39 dan kelas dengan penggunaan discovery learning sebesar 63.14, seperti yang terdapat pada Gambar 4.3. Uji T pada data keterampilan proses sains kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan discovery learning memperoleh hasil signifikansi sebesar 0.048 yang <0.05. Hasil uji T menunjukkan bahwa ada perbedaan keterampilan proses sains siswa di kelas eksperimen dengan penggunaan model discovery learning dipadu video animasi dan kelas kontrol yang hanya dengan penggunaan model discovery learning.
58 Gambar 4. 3 Rata-rata Nilai Keterampilan Proses Sains Penelitian ini sesuai dengan Surya (2020) yaitu penerapan model discovery learning berbantu multimedia, salah satunya berupa video pembelajaran terhadap keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains siswa lebih tinggi ketika menggunakan model discovery learning berbantu multimedia daripada dengan kelas yang hanya diajarkan dengan discovery learning dan direct interaction. Penelitian lain mengenai penggunaan media video dilakukan oleh Adiprastyo et al. (2013), modeling learning yang dipadukan dengan video eksperimen secara signifikan dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Video animasi yang ditampilkan dapat membuat siswa melakukan keterampilan proses sains berupa mengamati atau melakukan observasi dari video hingga dapat menyimpulkan hasilnya. Menampilkan video pada siswa memiliki potensi untuk mudah diingat sebesar 50%, sedangkan melihat gambar sebesar 30% (Ambarjaya, 2012). Penggunaan video menjadi bagian dari pembelajaran secara visual yang memudahkan siswa untuk 70.39 63.14 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai Sampel
59 menghubungkan apa yang dilihat dari video dengan kenyataan (Adiprastyo et al., 2013). Keterampilan proses sains perlu diberdayakan di dalam kegiatan pembelajaran, karena membantu siswa untuk mengoptimalkan pemikirannya, melatih siswa melakukan penemuan, meningkatkan daya ingat, dan memudahkan siswa memahami konsep sains. Melatih keterampilan proses sains membantu siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri dengan bimbingan guru baik melalui studi literatur maupun eksperimen, oleh karena itu materi akan lebih mudah dipahami dan diingat siswa dalam waktu yang lama (Haryadi & Pujiastuti, 2019). Discovery learning dan keterampilan proses sains memiliki kelebihan yang sama yaitu pada kegiatan investigasi dan penemuan konsep (Handayani et al., 2018). Tahaptahap pada discovery learning mendukung aspek keterampilan proses sains siswa seperti memberikan stimulus atau rangsangan, mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data, mengolah data, hingga menarik kesimpulan (Sugiarti & Ratnanigdyah, 2021). Hasil nilai keterampilan proses sains siswa kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dari kelas dengan penerapan discovery learning di setiap aspek keterampilan proses sains. Perbedaan terjadi karena penggunaan model dan media pembelajaran yang diterapkan. Kelas eksperimen menerapkan model discovery learning yang dipadu media video animasi, sedangkan kelas kontrol menerapkan model discovery learning saja. Data perbedaan nilai setiap aspek keterampilan proses sains terdapat pada Gambar 4.4.
60 Gambar 4. 4 Nilai Rata-rata Aspek Keterampilan Proses Sains Gambar 4.4 menampilkan perbedaan perolehan nilai pada setiap aspek keterampilan proses sains pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penerapan discovery learning. Penjelasan mengenai setiap aspek keterampilan proses sains dasar disajikan dibawah ini : a. Aspek Mengamati Aspek kemampuan berpikir kritis mengamati atau mengobservasi menggunakan indikator mengamati perubahan dan menjelaskan hasil pengamatan (Rizal & Ridwan, 2019). Nilai rata-rata pada aspek mengamati pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi dari kelas dengan penggunaan discovery learning yaitu 68.06 dan 58.33. Perbedaan pada aspek mengamati ini karena adanya video animasi yang diberikan pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi yang memberbesar keterampilan siswa dalam mengamati hal yang disampaikan didalami video. 0 20 40 60 80 100 120 Nilai Aspek Keterampilan Proses Sains Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
61 Perbedaan keterampilan proses sains siswa yang ditemukan pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penerapan discovery learning disebabkan pemahaman yang diperoleh siswa lebih bermakna. Proses mengamati hal yang disampaikan dalam video animasi menjadi awal siswa dalam mengkontruksi pengetahuan dan pengalaman belajar. Siswa mengamati video animasi yang disampaikan dengan menggunakan indera pengelihatan dan pendengaran serta fakta-fakta yang relevan, sehingga siswa mampu memiliki keterampilan proses sains yang lain seperti merumuskan permasalahan, mengelompokkan berdasarkan persamaan dan perbedaan, hingga mengkomunikasikan secara lisan maupun tertulis (Nirmala & Darmawati, 2021). b. Aspek Menyimpulkan Aspek menyimpulkan memiliki indikator berupa membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan dan menentukan pola dari hasil pengamatan (Rizal & Ridwan, 2019). Rata-rata nilai pada aspek menyimpulkan pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 54.17 lebih besar dari kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 52.78. Keterampilan siswa dalam menyimpulkan dilatihkan pada tahap discovery learning yaitu di awal pembelajaran dengan pemberian stimulus pada siswa kelas eksperimen berupa video animasi. Video animasi memberikan stimulus pada siswa agar tertarik dalam mengikuti pembelajaran dan mengungkapkan hal yang akan dipelajari. Keterampilan siswa dalam menyimpulkan isi dari video animasi sangat ditekankan dalam tahap ini. Akhir pembelajaran pada tahap conclusion, siswa membangun kesimpulan akhir dari materi keseluruhan yang telah dipelajari. Keterampilan siswa dalam membuat kesimpulan baik di awal maupun akhir pembelajaran melibatkan bimbingan guru yaitu dengan memancing siswa dengan pertanyaan-
62 pertanyaan. Pembelajaran dengan discovery learning membuat siswa terlibat aktif di kelas. Siswa tidak hanya menghafalkan materi dan mencatat, namun siswa ikut aktif berpikir dan membuat kesimpulan dengan bimbingan guru (Handayani et al., 2018). c. Aspek Mengukur Keterampilan siswa dalam mengukur memiliki indikator berupa menggunakan alat yang sesuai untuk memperoleh data dan mengukur dengan satuan yang sesuai (Rizal & Ridwan, 2019). Kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi memiliki nilai rata-rata pada aspek mengukur yang lebih tinggi yaitu 84.72 daripada kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 77.78. Keterampilan siswa dalam mengukur tidak langsung diajarkan di kelas, karena materi pembelajaran berupa materi sistem imun yang tidak memungkinkan siswa untuk melakukan pengukuran secara langsung. Keterampilan siswa dalam mengukur didapatkan dari studi literatur dan pengalaman yang dialami dalam kehidupan. Contoh dari indikator mengukur berupa penggunaan alat untuk memperoleh data yang dapat siswa pelajari dari lingkungan sekitar yaitu alat yang digunakan untuk pengecekan penderita Covid-19. Indikator mengukur dalam satuan yang sesuai didapatkan siswa dari pengalamannya sendiri yaitu saat mengikuti vaksinasi Covid-19, siswa mengetahui satuan dosis pemberian vaksin yang diberikan. Siswa yang memiliki keterampilan proses sains tinggi dapat melakukan eksperimen dengan metode ilmiah yang tepat. Siswa memiliki keterampilan mulai dari melakukan pengamatan, mengukur, menghitung, merancang eksperimen, dan menyajikan data (Sugiarti & Ratnanigdyah, 2021). Penelitian ini melaksanakan pembuktian hipotesis tidak menggunakan eksperimen karena kurangnya persediaan dan waktu dalam eksperimen pada materi sistem imun. Pembuktian
63 hipotesis dilaksanakan dengan studi literatur oleh siswa dengan diskusi kelompok. d. Aspek Mengklasifikasi Indikator pada aspek mengklasifikasi yaitu menentukan dasar pengelompokan (Rizal & Ridwan, 2019). Nilai rata-rata aspek mengklasifikasi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi sebesar 62.50 yang lebih besar dibandingkan kelas dengan penerapan discovery learning yaitu sebesar 51.39. Keterampilan siswa dalam melakukan pengelompokan atau klasifikasi yaitu pada tahap discovery learning hipotesis testing saat menentukan pengelompokan dari beberapa jenis kelainan pada sistem imun dan jenis imunitas. Mengklasifikasi sebagai keterampilan untuk mengidentifikasi sifat-sifat yang tampak pada suatu objek atau fenomena, kemudian dikelompokkan berdasarkan perbedaan, persamaan, maupun hubungan (Sugiarti & Ratnanigdyah, 2021). e. Aspek Memprediksi Aspek memprediksi memiliki indikator yaitu menggunakan pola-pola hasil pengamatan (Rizal & Ridwan, 2019). Aspek memprediksi memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi pada kelas dengan penerapan discovery learning dipadu video animasi yaitu 72.22 dibandingkan dengan kelas dengan penerapan discovery learning yaitu 70.83. Kegiatan pembelajaran dalam melakukan aspek memprediksi yaitu mengemukakan hal yang dapat terjadi menggunakan pola-pola hasil pengamatan yang berasal dari video animasi yang ditampilkan. Kegiatan memprediksi mendukung keterampilan siswa dalam berhipotesis (Linggasari et al., 2021), yaitu pada tahap discovery learning hipotesis generation. Siswa yang telah merumuskan masalah dari tayangan video, kemudian mencoba membuat jawaban sementara atau hipotesis. Hipotesis sebagai keterampilan siswa dalam
64 memprediksi kemungkinan-kemungkinan jawaban. Hipotesis yang telah dibuat perlu dibuktikan dengan melakukan studi literatur. Hasil dari pembuktian hipotesis pada tahap hipotesis testing bisa saja berbeda maupun bertolak belakang dengan yang sudah diprediksi siswa di awal. Peningkatan keterampilan siswa dalam melakukan prediksi akan mempengaruhi kemampuan dalam membuat hipotesis (Suhanda & Suryanto, 2018). Keterampilan siswa dalam memprediksi harus berdasarkan pola atau data yang ada, sehingga dalam membuat hipotesis siswa menjawab dengan apa yang telah diketahui sebelumnya dan dari buku pegangan yang dimiliki. Memprediksi menunjukkan keterampilan siswa dalam menentukan kemungkinan tentang suatu kejadian ataupun fenomena. Model discovery learning membantu siswa untuk berpikir ilmiah, sehingga keterampilan dalam memprediksi akan semakin berkembang (Sugiarti & Ratnanigdyah, 2021). f. Aspek Mengkomunikasi Mengkomunikasi memiliki indikator yaitu menggambarkan data dengan grafik, tabel, atau diagram (Rizal & Ridwan, 2019). Aspek mengkomunikasikan pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi lebih tinggi daripada kelas dengan penggunaan discovery learning yaitu sebesar 80.56 dan 68.06. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi pada aspek mengkomunikasi pada kelas eksperimen dengan video animasi dibandingkan kelas kontrol. Video animasi menyajikan data berupa bagan dengan penjelasan yang lebih mudah dipahami oleh siswa. Aspek berkomunikasi selain dalam bentuk lisan, dapat dilakukan juga dalam bentuk tulisan (Yusefni & Sriyati, 2016). Keterampilan siswa dalam mengkomunikasikan suatu persoalan dalam bentuk tulisan saat presentasi hasil diskusi dapat membantu siswa dalam mentransfer
65 informasi. Tampilan data pada video dapat melatihkan siswa untuk menyampaikan informasi dengan baik (Linggasari et al., 2021).
66 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Kesimpulan dari penelitian antara lain : 1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi. Perbedaan terdapat pada setiap aspek kemampuan berpikir kritis yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan self regulasi. Kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi dan kelas dengan penggunaan discovery learning memiliki kategori tinggi. 2. Terdapat perbedaan keterampilan proses sains siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi. Perbedaan terdapat pada aspek keterampilan proses sains yaitu mengobservasi, menyimpulkan, mengukur, mengklasifikasi, memprediksi, dan mengkomunikasi. Keterampilan proses sains siswa pada kelas dengan penggunaan discovery learning dipadu video animasi memiliki kategori tinggi dan kelas dengan penggunaan discovery learning memiliki kategori sedang. B. Implikasi Implikasi dari penelitian yaitu : 1. Implikasi Teoritis Hasil penelitian teoritis dapat dijadikan bahan referensi terkait model discovery learning, media video animasi, kemampuan berpikir kritis, dan keterampilan proses sains. 2. Implikasi Praktis Data penelitian dapat digunakan guru sebagai referensi dalam memilih model dan media pembelajaran di kelas. Model discovery learning dipadu media video animasi dapat digunakan dalam
67 melatihkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa. C. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan implikasinya dalam pembelajaran, maka peneliti memberikan saran antara lain : 1. Bagi Guru Guru dapat menerapkan model discovery learning dipadu media video animasi sebagai alternatf model dan media pembelajaran agar tidak membosankan. Model discovery learning dan media video animasi juga dapat melatihkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa. 2. Bagi Siswa Siswa diharapkan mampu menguasai materi pembelajaran dengan baik serta mampu menerapkan materi pembelajaran dalam kehidupan. Siswa yang telah mempelajari materi sistem imun dapat menerapkan ilmu yang telah dipelajari untuk selalu menjaga kesehatan. 3. Bagi Peneliti Lain Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian masih perlu dikaji lebih mendalam, sehingga peneliti lain dapat melakukan pengkajian lebih lanjut terkait kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa dengan penggunaan model discovery learning dipadu media video animasi.
68 DAFTAR PUSTAKA Abungu, H. E., Okere, M. I. O., & Wachanga, S. W. (2014). The Effect of Science Process Skills Teaching Approach on Secondary School Students’ Achievement in Chemistry in Nyando District, Kenya. Journal of Educational and Social Research, 4(6), 359–372. https://doi.org/10.5901/jesr.2014.v4n6p359 Adiprastyo, B., Sumarni, W., & Saptorini. (2013). Penerapan Modelling Learning dengan Video Eksperimen untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa. 2(1), 27–35. Afandi, Sajidan, Akhyar, M., & Suryani, N. (2017). Buku Panduan Model Stimulasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. UNS Press. Alsaleh, N. J. (2020). Teaching Critical Thinking Skills: Literature Review. The Turkish Online Journal of Educational Technology, 19(1), 21–39. Ambarjaya, B. S. (2012). Psikologi Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Center for Academic Publishing Service. Amran, P., & Al Qarni, A. W. (2019). Analisis Jumlah Pemeriksaan Limfosit pada Penderita Human Immunodefisiency Virus (HIV). Jurnal Media Analis Kesehatan, 10(1), 28–34. https://doi.org/10.32382/mak.v10i1.982 Arikunto, S. (2012). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Atika, D., Nuswowati, M., & Nurhayati, S. (2018). Pengaruh Metode Discovery Learning Berbantuan Video terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa SMA. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 12(2), 2149–2158. Azwar, S. (2014). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Busyaeri, A., Udin, T., & Zaenudin, A. (2016). Pengaruh Penggunaan Video Pembelajaran Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Mapel IPA di MIN Kroya Cirebon. Al Ibtida: Jurnal Pendidikan Guru MI, 3(1), 116–137. https://doi.org/10.24235/al.ibtida.snj.v3i1.584 Chusni, M. M., Saputro, S., Suranto, & Rahardjo, S. B. (2020). The potential of discovery learning models to empower students’ critical thinking skills.
69 Journal of Physics: Conference Series, 1464(1), 1–6. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1464/1/012036 Çimer, A. (2012). What makes biology learning difficult and effective: Students’ views. Educational Research and Reviews, 7(3), 61–71. Clements, D. H., & Joswick, C. (2018). Broadening the horizons of research on discovery-based learning. Instructional Science, 46(1), 155–167. https://doi.org/10.1007/s11251-018-9449-1 Cuccio-Schirripa, S., & Steiner, H. E. (2000). Enhancement and Analysis of Science Question Level for Middle School Students. Journal of Research in Science Teaching, 37(2), 210–224. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098- 2736(200002)37:2<210::AID-TEA7>3.0.CO;2-I Eggen, & Kauchak. (2012). Strategi Dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks. Ennis, R. H. (2016). Critical Thinking Across the Curriculum: A Vision. Topoi, 37(1), 165–184. https://doi.org/10.1007/s11245-016-9401-4 Facione, P. A. (2020). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. In Critical Thinking (p. 33). Hermosa Beach, CA : Measured Reasons LLC. Facione, P. A., & Facione, N. C. (2011). The Holistic Critical Thinking Scoring Rubric—HCTSR (p. 2). Millbrae, CA : California Academic Press. Fadillah, E. N. (2017). Pengembangan Instrumen Penialaian untuk Mengukur Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. Didaktika Biologi: Jurnal Penelitian Pendidikan Biologi, 1(2), 123–134. Fisher, A. (2012). Critical Thinking: An Introduction. Penterjemah : Benyamin Hadinata. Jakarta : Erlangga. Gasila, Y., Fadillah, S., & Wahyudi. (2019). Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa dalam Menyelesaikan Soal IPA di SMP Negeri Kota Pontianak. Jurnal Inovasi Dan Pembelajaran Fisika, 6(1), 14–22. Haeruman, L. D., Rahayu, W., & Ambarwati, L. (2017). Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Self-Confidence Ditinjau dari Kemampuan AAwal Matematis Siswa SMA di Bogor Timur. Jurnal Penelitian dan
70 Pembelajaran Matematika, 10(2), 157–168. https://doi.org/10.30870/jppm.v10i2.2040 Handayani, A. S., Kirana, T., Rahayu, Y. S., & Jayanti, P. (2018). Implementation of Guided Discovery Learning to Improve Student Science Process Skills of Junior High School. Proceedings of the 2nd International Conference on Education Innovation (ICEI 2018), 212, 731–735. https://doi.org/10.2991/icei-18.2018.165 Harlen, W. (1999). Purposes and Procedures for Assessing Science Process Skills. Assessment in Education: Principles, Policy & Practice, 6(1), 129–144. https://doi.org/10.1080/09695949993044 Haryadi, R., & Pujiastuti, H. (2019). Discovery Learning based on Natural Phenomena to Improve Students’ Science Process Skills. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika, 5(2), 183–192. https://doi.org/10.21009/1.05214 Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor : Ghalia Indonesia. Husen, A., Indriwati, S. E., & Lestari, U. (2017). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA Melalui Implementasi Problem Based Learning dipadu Think Pair Share. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 2(6), 853—860. Husna, N. (2019). Developing students’ critical thinking through an integrated extensive reading program. TEFLIN Journal - A Publication on the Teaching and Learning of English, 30(2), 212–230. https://doi.org/10.15639/teflinjournal.v30i2/212-230 Hutagalung, F. M., Rohadi, N., & Koto, I. (2020). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Proses Sains melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah Menggunakan Video Pemelajaran pada Materi Fluida Statis. Jurnal Kumparan Fisika, 3(2), 171–180. https://doi.org/10.33369/jkf.3.2.171-180
71 Jatmika, H. M. (2005). Pemanfaatan Media Visual dalam Menunjang Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 3(1), 89–99. June, S., Yaacob, A., & Kheng, Y. K. (2014). Assessing the Use of YouTube Videos and Interactive Activities as a Critical Thinking Stimulator for Tertiary Students: An Action Research. International Education Studies, 7(8), 56–67. https://doi.org/10.5539/ies.v7n8p56 Karim, N. (2015). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Jucama di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(1), 92–104. Kusuma, A. E. & Rusmansyah. (2021). Analysis of Science Process Skills for Senior High School Students in Banjarmasin: Proceedings of the 2nd International Conference on Innovation in Education and Pedagogy (ICIEP 2020), 11–16. https://doi.org/10.2991/assehr.k.211219.003 Lepiyanto, A. (2014). Analisis Keterampilan Proses Sains pada Pembelajaran Berbasis Praktikum. BIOEDUKASI (Jurnal Pendidikan Biologi), 5(2), 156–161. https://doi.org/10.24127/bioedukasi.v5i2.795 Lestari, W. (2017). Efektivitas Model Pembelajaran Guided Discovery Learning terhadap Hasil Belajar Matematika. SAP (Susunan Artikel Pendidikan), 2(1), 64–74. https://doi.org/10.30998/sap.v2i1.1724 Linggasari, M. N., Suzanti, F., & Pertiwi, S. R. (2021). Penguatan keterampilan proses sains siswa SMA melalui video tutorial praktikum lapangan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi, 94–102. Nainggolan, E. E. & Hanifah. (2020). University Students’ Critical Thinking Ability in Listening Skill. Getsempena English Education Journal (GEEJ), 7(2), 340–358. https://doi.org/10.46244/geej.v7i2.1022 Nirmala, W., & Darmawati, S. (2021). The Effectiveness of Discovery-Based Virtual Laboratory Learning to Improve Student Science Process Skills. Journal of Education Technology, 5(1), 103–112. https://doi.org/10.23887/jet.v5i1.33368
72 Noviyanti, E., Rusdi, & Ristanto, R. H. (2019). Guided Discovery Learning Based on Internet and Self Concept: Enhancing Student’s Critical Thinking in Biology. Indonesian Journal of Biology Education, 2(1), 7–14. https://doi.org/10.31002/ijobe.v2i1.1196 Nurcahyo, E., Agung S, L., & Djono. (2018). The Implementation of Discovery Learning Model with Scientific Learning Approach to Improve Students’ Critical Thinking in Learning History. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 5(3), 106–112. https://doi.org/10.18415/ijmmu.v5i3.234 Nurma’ardi, H. D., Rusdarti, R., & Murwatiningsih, M. (2020). The Effectiveness Analysis of Discovery Learning Assisted by Interactive Video toward Social Study Critical Thinking Skills of Primary School. Journal of Primary Education, 9(3), 278–285. https://doi.org/10.15294/jpe.v9i3.37935 Ozdem-Yilmaz, Y., & Bilican, K. (2020). Discovery Learning—Jerome Bruner. In Science Education in Theory and Practice (pp. 177–190). Cham : Springer. Pratama, A. A., Sudirman, & Andriani, N. (2014). Studi Keterampilan Proses Sains pada Pembelajaran Fisika Materi Getaran dan Gelombang di Kelas VIII SMP Negeri 18 Palembang. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika, 1(2), 137–144. Prayitno, B. A., Sugiharto, B., & Suciati. (2013). Prototipe Model Pembelajaran Konstruktivis-Kolaboratif Untuk Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa Akademik Bawah. Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning, 10(1), 11. Purba, R. T. (2015). Sebuah Tinjauan Mengenai Stimulus Berpikir Kritis bagi Siswa Sekolah Dasar. Scholaria : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 5(3), 59–64. https://doi.org/10.24246/j.scholaria.2015.v5.i3.p59-64 Putri, D. R., Hanim, N., & Taib, E. N. (2020). Pengunaan Model Pembelajaran Discovery Learning pada Materi Sistem Pernapasan untuk Meningkatkan
73 Keterampilan Proses Sains Siswa SMAN 11 Banda Aceh. Prosiding Seminar Nasional Biotik 2020, 374–379. Rizal, R., & Ridwan, I. M. (2019). Implementasi Discovery Learning untuk Meningkatkan Keterampilan Dasar Proses Sains Siswa SMA. Journal of Teaching and Learning Physics, 4(1), 1–10. https://doi.org/10.15575/jotalp.v4i1.3618 Rumengan, J. L. C., Mamahit, D. J., & Paturusi, S. D. E. (2021). Development of Interactive 3D Animation Video of the Bible Story of Cain and Abel. Jurnal Teknik Informatika, 16(1), 29–38. Rustaman, N. Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Seminar Nasional II Himpunan Ikatan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia, Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Saputri, A. C., Sajidan, S., Rinanto, Y., Afandi, & Prasetyanti, N. M. (2019). Improving Students’ Critical Thinking Skills in Cell-Metabolism Learning Using Stimulating Higher Order Thinking Skills Model. International Journal of Instruction, 12(1), 327–342. https://doi.org/10.29333/iji.2019.12122a Senjani, J. H., Khoiri, N., & Nuroso, H. (2015). Pengaruh Model Discovery Learning Berbantuan Video Pembelajaran terhadap Pemahaman Konsep Siswa pada Pokok Bahasan Optika Geometris Kelas X SMA Negeri 2 Pati Tahun Pelajaran 2014/2015. Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika, 6(2), 31–37. https://doi.org/10.26877/jp2f.v6i2.2576 Setiaji, R., Koeswanti, H. D., & Giarti, S. (2018). Perbedaan Penggunaan Discovery Learning dan Problem Solving Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Gugus Cokro Kembang Jenawi Karanganyar. Jurnal Basicedu, 2(1), 11–18. https://doi.org/10.31004/basicedu.v2i1.21 Sugiarti, S., & Ratnanigdyah, D. (2021). Analysis of student science process skills on electrical material using discovery model. Journal of Physics: Conference Series, 1731(1), 1–4. https://doi.org/10.1088/1742- 6596/1731/1/012084
74 Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suhada, H. (2017). Model Pembelajaran Inquiry dan Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA. Jurnal Pendidikan Dasar, 8(2), 13–24. Suhanda, & Suryanto, S. (2018). Penerapan Pembelajaran Kimia Berbasis Proyek untuk Meningkatan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Purworejo. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 12(2), 2137–2148. Sulistiani, E., Waluya, S. B., & Masrukan. (2018). The analysis of student’s critical thinking ability on discovery learning by using hand on activity based on the curiosity. Journal of Physics: Conference Series, 983(1), 1–7. https://doi.org/10.1088/1742-6596/983/1/012134 Surya, R. (2020). Pengaruh Model Dicovery Learning Berbantuan Multimedia terhadap Keterampilan Proses Sains, Berpikir Tingkat Tinggi, dan Keterampilan Bertanya pada Materi Sistem Pernapasan di SMA Negeri 5 Langsa. Jurnal Biolokus, 3(1), 234–244. Svinicki, M. D. (1998). A theoretical foundation for discovery learning. Advances in Physiology Education, 20(1). https://doi.org/10.1152/advances.1998.275.6.S4 Turkoguz, S. (2012). Learn to teach chemistry using visual media tools. Chem. Educ. Res. Pract., 13(4), 401–409. https://doi.org/10.1039/C2RP20046E Ulum, B., & Hidayah, R. (2015). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) pada materi pokok ikatan kimia untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa kelas X SMA Widya Darma Surabaya. Unesa Journal Of Chemical Education, 4(2), 156–162. Utaminingsih, S. (2020). Improving Critical Thinking Ability Through Discovery Learning Model Based on Patiayam Site Ethnoscience. 1823(1), 012104. Veermans, K. H. (2003). Intelligent support for discovery learning: Using opportunistic learner modeling and heuristics to support simulation based discovery learning. Enschede : Twente University Press.
75 Vural, Ö. F. (2013). The Impact of a Question-Embedded Video-based Learning Tool on E-learning. Educational Sciences: Theory & Practice, 13(2), Question-Embedded Video-based. Winarni, Santosa, S., & Ramli, M. (2016). Discovery Learning Model for Enhancing Oral Activities of High School Student. Bioedukasi: Jurnal Pendidikan Biologi, 9(2), 55–61. https://doi.org/10.20961/bioedukasiuns.v9i2.4220 Wuryanti, U., & Kartowagiran, B. (2016). Pengembangan Media Video Animasi untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Karakter Kerja Keras Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, 6(2), 232–245. https://doi.org/10.21831/jpk.v6i2.12055 Yusefni, W., & Sriyati, S. (2016). Pembelajaran IPA Terpadu Menggunakan Pendekatan Science Writing Heuristic untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Tulisan Siswa SMP. EDUSAINS, 8(1), 9–17. https://doi.org/10.15408/es.v8i1.1562 Zeidan, A. H., & Jayosi, M. R. (2014). Science Process Skills and Attitudes toward Science among Palestinian Secondary School Students. World Journal of Education, 5(1), p13. https://doi.org/10.5430/wje.v5n1p13
76 LAMPIRAN
Lampiran 1. Silabus Sistem Imun Kelas XI Silabus Sistem Im Kompetensi Dasar Indikator Materi 3.14 Menganalisis peran sistem imun dan imunisasi terhadap proses fisiologi di dalam tubuh 3.14.1 Menjelaskan fungsi sistem imun 3.14.2 Menjelaskan mekanisme imunitas tubuh 3.14.3 Menjelaskan jenis imunisasi 3.14.4 Menggambarkan respon imunitas tubuh 3.14.5 Menganalisis faktor yang mempengaruhi sistem imun 3.14.6 Menganalisis kelainan sistem imun - Fungsi siste imun -Mekanisme imunitas -Jenis imunisasi -Respon imunita -Faktor ya mempengaruhi sistem imun -Kelainan pa sistem imun 4.14 Melakukan kampanye pentingnya partisipasi masyarakat dalam program dan immunisasi serta kelainan dalam sistem imun 4.14.1 Membuat poster mengenai kelainan sistem imun 4.14.2 Membuat poster mengenai imuniasi
77 mun Kelas XI Alokasi Waktu (JP) Kegiatan Pembelajaran Penilaian Media dan Alat Sumber Belajar em i as ang ada 2 x 4 JP 1 JP=25 menit Discovery learning -Kognitif -Afektif -Psikomotor -Buku ajar -Video animasi -Gambar -Laptop -LCD Irnaningtyas. (2013). Biologi untuk SMA/MA Kelas XI Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta : Erlangga. Tim MGMP Biologi SMA Kota Surakarta. (2016). Modul Pengayaan Biologi untuk SMA Kelas XI Semester Genap. Surakarta : Pustaka Mulia.
78 Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KELAS EKSPERIMEN TAHUN PELAJARAN 2021/2022 Satuan Pendidikan : SMA N 1 Surakarta Mata Pelajaran : Biologi Kelas/Semester : XI / Genap Materi Pokok : Sistem Imun Alokasi Waktu : 4 x 25 menit (Pertemuan 1) A. Kompetensi Inti KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI 2: Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. KI 3: Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah KI 4: Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator 3.14 Menganalisis peran sistem imun dan imunisasi terhadap proses fisiologi di dalam tubuh 3.14.1 Menjelaskan fungsi sistem imun 3.14.2 Menjelaskan mekanisme imunitas tubuh 3.14.5 Menganalisis faktor yang mempengaruhi sistem imun 3.14.6 Menganalisis kelainan sistem imun 4.14 Melakukan kampanye pentingnya partisipasi masyarakat dalam program dan immunisasi serta kelainan dalam sistem imun 4.14.1 Membuat poster mengenai kelainan sistem imun C. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti pembelajaran : 1. Siswa mampu menjelaskan 4 fungsi sistem imun melalui studi literatur 2. Siswa mampu menjelaskan 2 macam mekanisme imunitas tubuh melalui studi literatur
79 3. Siswa mampu menganalisis 4 faktor yang mempengaruhi sistem imun melalui studi literatur 4. Siswa mampu menganalisis 4 macam kelainan pada sistem imun melalui studi literatur 5. Siswa mampu membuat poster mengenai 4 macam kelainan pada sistem imun D. Materi Pembelajaran 1. Fungsi sistem imun 2. Mekanisme imunitas 3. Faktor yang mempengaruhi sistem imun 4. Kelainan pada sistem imun E. Metode Pembelajaran 1. Pendekatan : Saintifik Approcah 2. Model Pembelajaran : Discovery Learning 3. Metode Pembelajaran : Ceramah, tanya jawab, resitasi, diskusi, presentasi F. Media, Alat/Bahan dan Sumber Belajar 1. Media : Video mengenai AIDS dan mekanisme pertahanan tubuh 2. Alat/Bahan : LCD proyektor, laptop, papan tulis dan spidol 3. Sumber Belajar : Irnaningtyas. (2013). Biologi untuk SMA/MA Kelas X Berdasarkan Kurikulum 2013. Erlangga : Jakarta. G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran Kegiatan Tahapan Uraian Alokasi Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Waktu Pendahuluan Salam Guru memberi salam dan menanyakan kabar siswa Siswa menjawab salam dari guru 15 menit Guru meminta salah satu siswa memimpin do’a Siswa memimpin do’a Guru melakukan presensi Siswa merespon guru saat melakukan presensi Apersepsi dan motivasi Guru meminta siswa menyaksikan video animasi mengenai seseorang yang menderita penyakit AIDS Siswa memperhatikan video yang ditampilkan Guru bertanya pada siswa “Apakah isi dari video yang kalian lihat anak-anak?” Siswa menjawab pertanyaan guru “Penyakit AIDS” Guru bertanya pada siswa “Benar, mengenai penyakit AIDS. Apakah yang diserang pada tubuh kita Siswa menjawab pertanyaan guru “Daya tahan tubuh, imunitas tubuh”
80 oleh penyakit AIDS?” Guru memberi tanggapan pada siswa “Ya betul, virus HIV AIDS menyerang imunitas tubuh atau sistem imun manusia. Jadi, apakah akibat dari masuknya virus HIV AIDS pada sistem imunitas manusia?” Siswa menjawab pertanyaan guru “Menyebabkan imunitas lemah, kelainan pada sistem imun, gangguan pada sistem imun, penyakit pada sistem imun” Guru memberi tanggapan pada siswa “Ya benar, HIV AIDS sebagai salah satu kelainan yang menyerang pada sistem imun manusia. Jadi, apakah materi yang akan kita pelajari anakanak?” Siswa menjawab pertanyaan guru “Kelainan pada sistem imun” Kegiatan Inti Orientasi Guru memberi penjelasan mengenai sistem imun dan kelainan pada sistem imun Siswa memperhatikan penjelasan guru mengenai sistem imun yaitu sistem pertahanan yang berperan dalam mengenal, menghancurkan, serta menetralkan benda-benda asing yang berpotensi merugikan tubuh. Namun, beberapa manusia memiliki kelainan yang menyerang sistem imun atau pertahanan tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor. 10 menit Guru bertanya pada siswa “Bagaimanakah rumusan masalah yang dapat kalian buat dari materi kelainan pada sistem imun? Baik dari video animasi yang kalian lihat maupun penjelasan Ibu” Siswa membuat rumusan masalah: 1. Bagaimanakah kelainan yang menyerang sistem imun manusia? 2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi sistem imun manusia? 3. Apa sajakah fungsi sistem imun? 4. Bagaimanakah mekanisme imunitas tubuh dalam melawan penyakit? Guru membimbing siswa menyederhanakan rumusan masalah Rumusan masalah : 1. Bagaimanakah kelainan yang menyerang sistem imun manusia? 2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi sistem imun manusia? 3. Apa sajakah fungsi sistem imun?
81 4. Bagaimanakah mekanisme imunitas tubuh dalam melawan zat asing? Hipotesis generation Guru bertanya pada siswa “Bagaimanakah jawaban sementara dari rumusan masalah yang kalian buat?” Siswa menjawab rumusan masalah: 1. Kelainan yang menyerang sistem imun manusia antara lain HIV AIDS, Rheumatoid arthritis, Sindrom Steven Johnson, dan alergi Beberapa kelainan tersebut menyebabkan gejala yang Nampak seperti ruam, gatal, kemerahan, serta kegagalan imunitas tubuh untuk membedakan sel tubuh dengan sel asing yang menyerang tubuh. 2. Faktor yang mempengaruhi sistem imun adalah genetik atau diturunkan dari kedua orang tua seperti AIDS, diabetes militus. Stres menyebabkan turunnya jumlah sel darah putih dan berdampak pada produksi antibodi. Penggunaan obatobatan seperti antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan resistensi tubuh terhadap bakteri dan tubuh gagal melawan. 3. Fungsi sistem imun yaitu mempertahankan tubuh dari patogen, mengenali sel yang abnormal, dan melindungi tubuh dari agen eksternal seperti bulu dan zat kimia. 4. Mekanisme imunitas dalam melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh yaitu dengan pertahanan awal seperti kulit, membran mukosa, dan cairan tubuh, faositosis, dan penyerangan antibodi pada antigen. 10 menit Guru mengapresiasi siswa “Bagus jawaban yang kalian sampaikan” Siswa memperhatikan guru Hipotesis Guru memerintahkan siswa Siswa membagi kelas menjadi 8 30
82 testing membentuk kelompok dan membagikan kertas asturo untuk menuliskan poin pembahasan “Apakah jawaban dari rumusan masalah yang telah kalian sampaikan sudah benar? Untuk membuktikan kebenarannya silakan kalian membentuk 8 kelompok! Ada 4 macam kelainan pada sistem imun yang akan kita pelajari. Kelompok 1 dan 2 = Lupus Kelompok 3 dan 4 = Rheumatoid arthritis Kelompok 5 dan 6 = SJS Kelompok 7 dan 8 = HIV AIDS” kelompok dan menyesuaikan diri menit Guru meminta setiap kelompok untuk membuktikan jawaban sementara dari rumusan masalah melalui studi literatur sesuai masingmasing tema kelompok Merencanakan Pembuktian Hipotesis Generation dengan Studi Literatur Siswa berdiskusi kelompok merencanakan pembuktian “Memperhatikan topik yang diberikan oleh guru, mencari pembahasan topik di internet dan buku paket, mengumpulkan hasil pencarian data, menganalisis data, membuat kesimpulan sementara, mempresentasikan hasil diskusi” Melaksanakan Perencanaan Pembuktian Hipotesis Generation Siswa melaksanaan perencanaan yang telah disusun Mengumpulkan Data Siswa mengumpulkan data melalui studi literatur Guru menghampiri setiap kelompok menanyakan kesulitan dalam diskusi Menganalisis Data Siswa berdiskusi kelompok untuk mendiskusikan hasil pencarian yang diperoleh Menyimpulkan Sementara Siswa membuat kesimpulan sementara dari hasil diskusi : 1. Kelainan pada sistem imun