TAFSIR HADITS
AQIDAH & AKHLAK
DR. Abdul Karim, SS, MA
Kelas IQTD
Tahun 2022/2023
BAB 1
MENCARI TUHAN : BUKTI BUKTI KE-ESAAN ALLAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Tafsir Hadits Akidah Dan Akhlak
tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita
nantikan kelak.
Makalah dengan judul Amm dan khash disusun guna memenuhi tugas dari Bapak DR.Abdul
Karim,SS,MA pada mata kuliah Tafsir Hadits Akidah dan Akhlak Institut Agama Islam Negeri Kudus.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Mencari Tuhan:Bukti-Bukti Ke-Esa’an Tuhan.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak DR.Abdul Karim. Selaku dosen
mata kuliah Tafsir Hadits Akidah Dan Akhlak.Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Kami juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
1
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR …… ………………………………………………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI …….…………………………………………………………………………………………………………… 3
BAB I …………………………………………………………………………………………………………………………… 4
PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………………………. 4
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………………….……… 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………………….. 4
C. Tujuan ……………………………………………………………………………………………………………. 5
BAB II ………………………………………………………………………………………………………………….……….. 6
PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………………………………………… 6
A. Adanya ALLAH
B. Bukti bukti Ke-Esa’an Allah ……………………………………………………………………………. 6
C. Bukti Bukti Ke-Esa’an Allah menurut Imam Ar-Razi ………………………………………… 11
D. Keberada’an Allah SWT …………………………………………………………………………………. 14
BAB III ……………………………………………………………………………………………………………………….. 18
PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………………………. 18
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………………………………….………. 18
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………… 19
2
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Survei terbaru mengatakan 90% masyarakat dunia percaya akan keberadaan Allah atau kuasa lain
semacamnya. Namun demikian, tanggung jawab untuk membuktikan keberadaan Tuhan
dilemparkan pada orang-orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada.
Namun demikian, Keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan atau disangkal. Al-kitab bahkan
mengatakan bahwa kita harus menerima keberadaan Allah dengan iman. “Tetapi tanpa iman tidak
mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya
bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”
(Ibrahim 11:6). Jikalau Allah menghendaki, Dia bisa muncul begitu saja dan membuktikan pada
seluruh dunia bahwa Dia ada. Namun jikalau Dia melakukan hal itu, tidak diperlukan lagi yang
namanya iman.
2. Rumusan Masalah
I. Apakah harus percaya dengan adanya Allah?
II. Apa Bukti-Bukti ke-Esa’an Allah?
III. Apa Tanda-tanda ke-Esa’an Allah?
IV. Apa Allah SWT ada?
3. Tujuan
I. Meyakini ada-Nya Allah
II. Mengetahui Bukti-Bukti ke-Esa’an Allah
III. Mengetahui Tanda-tanda ke-Esa’ Allah
IV. Mengetahui tentang Ada-Nya Allah
3
PEMBAHASAN
A. Adanya Allah
Wujud suatu manusia menunjukkan adanya Allah Ta'ala. Jika makhluk itu tidak ada, Allah tetap
ada (ada). Allah tidak duduk, tidak di atas singgasana, tidak bersemayam di atas singgasana, dan
adalah makhluk, dan tidak mungkin Tuhan membutuhkan makhluk. Allah ada tanpa membutuhkan
tempat, tanpa ruang dan waktu, Dia tidak dikendalikan oleh waktu dan tidak ke atau di luar. Allah
tidak ada di langit (atas) atau di belakang langit, juga tidak ada di mana-mana, di mana Allah tidak
membutuhkan apapun dan bergantung pada apapun. Dalam Ma'rifah (mengenal Allah) kita disuruh
berpikir tentang makhluk. Menurut pemahaman Mu'tazilah, Tuhan tidak berwujud dan karena itu
tidak dapat dilihat. Asy'ariyah berpendapat bahwa di akhirat Tuhan dapat dilihat sebagaimana
seharusnya kita melihatnya. Ahlu Sunnah Wal Jama'ah yang diungkapkan oleh Ar-Razi sangat
berbeda dalam hal ini. Menurut ideologi mereka, Allah SWT sebagai Tuhan pencipta akan terlihat
oleh mata manusia pada hari kiamat, walaupun sebenarnya juga terlihat di dunia, namun karena
kelemahan potensi penglihatan manusia selama di dunia, itu membuatnya tidak melihat Tuhan Tidak
jauh berbeda dengan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, Zaidiyah Shiaj juga memiliki keyakinan yang sama
bahwa Tuhan bisa dilihat di akhirat, meski kemungkinan untuk melihatnya di dunia ini sangat kecil
kemungkinannya. Perbedaan penafsiran, terutama yang timbul karena perbedaan teologi dan
ideologi, pada gilirannya dapat menimbulkan konflik antara pembaca dan pengikut. Dalam ceritanya,
Nabi Musa yang berdialog dengan Allah di Gunung Tor meminta untuk melihat Allah SWT secara
langsung, namun gunung tersebut hancur karena keagungannya. Bahkan Nabi Muhammad saw,
manusia paling sempurna dalam perjalanan Isra' Mi'raj, juga tidak melihat Tuhan secara langsung.
Bukan berarti Allah swt menunjukkan bahwa Tuhan Maha Besar, sehingga makhluk-makhluk-Nya
yang lemah tidak dapat melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Mereka menggunakan
setidaknya tiga metode untuk memperdebatkan keberadaan Tuhan: pertama, metode yang
digunakan para teolog. Selain penalaran, metode ini didasarkan pada teks-teks agama dan fenomena
keagamaan lainnya. Kedua, metode yang digunakan para filsuf. Penggunaan argumen kausal murni
merupakan karakteristik dari metode kedua. Ketiga, metode yang digunakan para mistikus
(tasawuf), lebih didasarkan pada pembuktian keberadaan Tuhan melalui penglihatan batin (kasyf wa
syuhud), yang didahului dengan penyucian jiwa. Cara pertama, selain pilihan argumen yang lebih
banyak, juga bisa dilebur dengan banyak lingkaran dan lapisan. Oleh karena itu, metode ini lebih
membumi daripada dua metode lainnya. Oleh karena itu, kita melihat betapa banyak praktik
keagamaan yang memiliki kecenderungan teologis yang berlawanan dengan kecenderungan filosofis
dan mistis.Oleh karena itu, meskipun metode mereka berbeda, tujuan mereka satu, yaitu
memecahkan misteri Tuhan. Ini karena mereka percaya pada Tuhan sebagai makhluk absolut. Pada
saat yang sama, orang, tidak peduli seberapa tinggi pangkatnya, memiliki batasan dan perbedaan.
Bentuk dan keberadaan (manusia) yang sepenuhnya terbatas tidak mungkin mengetahui semua
aspek keberadaan dan keberadaan (Tuhan) yang tidak terbatas. Orang-orang beragama ini percaya
bahwa seluruh keberadaan alam semesta berasal dari Tuhan. Dengan demikian, semua individu yang
ada di alam semesta ini bisa menjadi sarana untuk mengenali penciptanya. Tentunya hal ini sesuai
dengan kemampuan kesempurnaan pada masing-masing individu tersebut, karena setiap orang
sudah merupakan perwujudan dari kesempurnaan penciptanya. Dalam kajian filsafat, terdapat
beberapa argumentasi untuk menunjukkan keberadaan Tuhan, yaitu argumentasi ontologis,
4
argumentasi kosmologis, dan argumentasi teologis. Argumen ontologis mencoba menjelaskan
bahwa hal ini tidak mungkin terjadi jika Tuhan tidak ada, sebaliknya keberadaan-Nya adalah wajib.
Argumen kosmologis mencoba menjelaskan bahwa alam itu ada dan selalu berubah, menunjukkan
adanya Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam. Argumen teologis mencoba menjelaskan
keberadaan Tuhan yang merancang alam dan seluruh ciptaannya (Mohammad Subhi dan Nurma
Syelin Komala, n.d.). Secara historis, orang telah mencoba melihat Tuhan sesuai dengan kebutuhan
mereka. Sepanjang sejarah, Tuhan telah dikenal dengan berbagai cara yang berbeda dari kelompok
ke kelompok. Pengakuan akan adanya Tuhan bagi penganut agama samawi berbeda dengan
pengakuan penganut agama Ardhi. Demikian pula, Tuhan bervariasi dalam argumen para teolog,
filsuf, mistik, dan reformis. Harus ada Makhluk Tertinggi yang mereka anggap bertanggung jawab,
yang kepadanya mereka bergantung dan mengharapkan kebahagiaan di akhirat. Dan hakikat Yang
Maha Tinggi adalah Allah SWT. Ada pula yang dikatakan Hamka dengan beberapa dalil sebagai
berikut :
Manusia sudah ada di dunia, tetapi manusia mengakui bahwa itu tidak terjadi sesuai dengan
keinginan mereka. Dia tidak membuat dirinya sendiri. Dia tidak membuat bayi. Bumi tempat dia
tinggal bukanlah penciptanya. Sejak lahir, ia mengamati keberadaan Bumi. Bahkan langit menjadi
tempat perlindungan, dan tangannya tidak pernah membantu membangunnya. Beberapa orang
mencoba untuk pamer dan menyatakan bahwa mereka adalah tuhan ketika mereka bahkan tidak
bisa membuat nyamuk. Jelas bahwa penciptaan dan penciptaan sesuatu yang sebelumnya tidak ada
bukanlah campur tangan manusia. Jelas juga bahwa tidak semuanya terjadi dengan sendirinya.
Menurut akal sehat, terlepas dari tinggi atau rendahnya kualitas akal manusia, akal manusia
melewati bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan, adalah Yang Mahakuasa, adalah Tuhan,
adalah Allah. Bangsa Arab adalah yang pertama menerima Al-Qur' dalam masyarakat yang masih
sederhana, dianjurkan melihat unta, bagaimana kelengkapannya. Menatap langit ketika dia
diangkat. Melihat pegunungan, bagaimana dia tersapu. Melihat negara, bagaimana dia menyebar.
Siapa pun yang meninggalkan empat kata ini (tidak mempertanyakan sifat Tuhan), imannya
sempurna :
1. Dimana?
Ketika seseorang bertanya kepada Anda: Di mana Tuhan? Maka jawablah: Tuhan ada dimana Dia
kehendaki, Tuhan ada tanpa tempat dan tidak terikat ruang dan waktu.
2. Bagaimana?
Ketika seseorang bertanya: Seperti apakah Tuhan itu? Maka jawablah: Allah tidak mengingat apapun
dari ciptaan-Nya.
3. Kapan?
Jika ditanya kapan Tuhan itu ada: maka jawablah bahwa Tuhan itu al-Awwal, Tuhan itu ada tanpa
permulaan (tidak ada yang menciptakan Tuhan dari ketiadaan) dan Tuhan itu al-Akhir, yaitu. Tuhan
ada tanpa akhir (Tuhan tidak mati, memudar). menjauh atau tenggelam).
5
4. Berapa?
Jika Anda ditanya berapa banyak tuhan, jawablah: Tuhan itu tidak banyak, dia adalah satu, dia tidak
memiliki sekutu, Tuhan itu satu, tidak dalam jumlah, tetapi tidak memiliki sekutu dan tidak ada.
Argumen yang digunakan oleh Abdul Huseli Al-Allaf, seorang anggota sekte Mu'tazilah; Keturunan
Wasil bin Atha. Dia memulai argumen ini dengan teori atom. Baik berbentuk padat, cair maupun
gas, dapat dipecah menjadi bagian terkecil yang biasa disebut molekul. molekul ini saling menarik.
Atraksi ini membuat banyak hal terjadi. Setiap molekul tersusun atas atom-atom dengan valensi
teratur, berat teratur, dan interaksi teratur. Semua atom itu berputar di sekitar atom lain, dan rotasi
atom-atom itu menciptakan gaya tarik-menarik antar molekul. Jika atom tidak berputar, tidak akan
ada daya tarik, tidak akan ada satu pun benda di dunia ini Timbul pertanyaan: gaya apa yang
berputar dan menggerakkan begitu banyak atom? Tentu saja, karena ada gerak, pasti ada yang
menggerakkannya, dan yang menggerakkan atau memutarnya tidak lain adalah Tuhan. Jadi jelas
bahwa Tuhan itu ada. Demi Allah, para ulama salaf: tidak beriman mujassimah-musyabbihah (yakni
orang yang menggambarkan Tuhan dengan arah, tempat, duduk, istirahat; istaqarra di singgasana
atau sifat-sifat makhluk lain) karena mereka berdusta; takdzib Nash sajak ayat; Surah ash-Syura ayat
11:
ََل ٌْ َسََ َك ِم ْثلَِهَ َش ًْءَََۚ َو ُه ََوَال َّس ِم ٌْ َُعَا ْل َب ِص ٌْ ُر
Inilah IJMA' ULAMA' SALAF yang dinukil oleh Imam Abu Ja'far ath- Thahawi (w. 321 H)
(seperti ayat: استوىََالعرشََعلىََالرحمنdan hadits nuzul, hadits jariyah-budak perempuan): TIDAK
BOLEH DIPAHAMI & DITERJEMAH SECARA ZHAHIR/TEKSTUAL.
B. Bukti Keesaan Allah dalam Album Qur'an
4(ََ)َ َولَ ْمََ ٌَ ُك ْنََلََّهَ ُكفُ ًواَاَ َحد3(َ)َلَ َْمَ ٌَلِ َْدَ َو َل َْمَ ٌُ ْولَ َْد2(َ)َ َا ٰلّلََُال َّص َم َُد1(َ)قُ ْلََ ُه ََوَا ٰلّلََُاَ َحَد
Artinya:(1) Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa. (2). Artinya: Allah tempat
meminta segala sesuatu. (3). Artinya: (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.(4). Artinya:
Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."
Surat Al Ikhlas di dalamnya mengandung empat keesaan Tuhan. Hal ini di atas semua kesatuan
keberadaan-Nya. Kedua, kesatuan dari semua karya-Nya. Ketiga, kesatuan dari semua sifat-sifat-Nya.
Keempat, kesatuan segala bentuk ibadah: Surat al-Ikhlas membahas secara singkat tentang keesaan
Tuhan, terutama pada ayat pertama yang menegaskan: Qul huwallahu Ahad (Katakanlah: Dialah
Tuhan, Yang Esa dan Satu-Satunya). Makna Esa dalam ayat tersebut diambil dari kata
_________________________
Bab Sifat Shalat: Pasal Tentang Shalat Sunnah, hlm. 206 (cet. Dar al-Fikr).
6
“wahda” yang berarti “kesatuan”. Arti kesatuan ini bukan berarti angka satu adalah angka dua, tiga,
dst. Selain kesatuan lingkaran, tidak ada yang bisa ditambahkan ke nomor dua atau tiga, dll.
Tauhid disini adalah na'at (hakikat) kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang berstatus nama. Jika
Keesaan di sini adalah na'at, maka Keesaan ini hanya berlaku bagi Allah yang memiliki kekuasaan
mutlak, tanpa sekutu untuk mengimbangi-Nya.
Menurut penafsir dan ahli tasawuf, yaitu Abu as-Su'ud, dalam Surat al-Ikhlas kata huwa digunakan
untuk menunjukkan Allah. Sebelumnya, kata merujuk kepada-Nya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
kecuali dalam Surat al-Ikhla. Hal ini tentu saja memberikan kesan bahwa Yang Maha Kuasa begitu
akrab dan nyata yang ada di benak setiap hamba yang beriman kepada-Nya. Alkitab dengan jelas
dan tegas mengatakan bahwa Allah itu esa. Dia adalah satu-satunya Tuhan yang kekal, benar dan
hidup, dan tidak ada yang setara atau sebanding dengan-Nya. Terbukti, sebagaimana dinyatakan
oleh Pengakuan Iman Westminster, bahwa “hanya ada satu Allah yang hidup.
C. Tanda Keesaan Allah
َِا َّنََفِ َىَ َخل ِقََال َّس ٰم ٰو َِتَ َواۡلَر ِ َضَ َواختِ ََل ِفََالٌَّلِ َوال َّن َها ِرََ َوالفُل َِكَالَّ ِتىََ َتج ِر َىَ ِفىَال َبح ِرََبِ َماَ ٌَن َف ُعََال َّنا َسََ َو َماََاَن َز ََلَا ٰلَّلَُ ِم َنََال َّس َما َِءَ ِمنََ َّما َء
َفاَح ٌَاَ ِب َِهَاۡلَر ََضَ َبع ََدَ َموتِ َهاَ َو َب ََّثَفٌِ َهاَ ِم َنَ ُک ِّلََ َدَاَ َّب َةَ َّو َتص ِرٌ ِفََال ِّرٌٰ َِحَ َوال َّس َحا ِبََال ُم َس َّخ َِرَ َبٌ ََنَال َّس َما ِءََ َواۡلَر ِ َضَ َۡ ٰلٌٰتََلِّ َقومََ ٌَّعقِلُون
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di
laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa
air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya
bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
mengerti (Al Baqarah ayat 164).
Ada seorang atheis yang tidak percaya adanya tuhan yang mengatur alam semesta. Saat itu, dia
sedang dalam perjalanan untuk naik pesawat ketika dia tiba-tiba melihat ke luar jendela dan melihat
salah satu baling-baling pesawat bergoyang lalu berhenti. Pesawat berguncang goyah, beberapa
penumpang panik dan mulai berdoa. Pelancong ateis ini terengah-engah, wajahnya pucat, dia
berteriak "Ya Tuhan!".
Jadi,itulah manusi, ingatlah Tuhan saja saat terdesak dan terdesak. Setiap orang secara naluriah
mengakui di lubuk hatinya keberadaan Tuhan, yang memiliki kekuatan di alam semesta. Ego,
kekuasaan dan nafsunya membutakan hatinya, sehingga ia tidak percaya akan kekuasaan mutlak
Tuhan Yang Maha Esa atas segala yang ada di muka bumi. Ayat 22 Surat Ar-rum juga menjelaskan hal
tersebut:
َو ِم ْنََٰاٌٰتِهََ َخ ْل ُقََال َّس ٰم ٰو ِتََ َوا ْۡلَ ْر ِ َضَ َوا ْخ ِت ََل ُفََاَ ْل ِس َن ِت ُك ْمََ َواَ ْل َوا ِن ُك َْمَ ِا ََّنَ ِف ًََْ ٰذلِ َكََ َۡ ٰلٌٰ َتَلِّ ْل ٰعلِ ِم ٌْ ََن
7
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan
bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.(Qs.ar-rum:22).
Makna mufradat, اٌاتbentuk jamak آٌةberarti tanda-tanda yang tampak dan hakikat segala sesuatu
yang tampak adalah sifat yang tampak dan selalu ada di dalamnya. Jika seseorang melihat dan
mengetahui bahwa satu hal terlihat, maka ia juga harus mengetahui sisi lain dari hal yang tidak
dapat dilihatnya, karena hukum keduanya sama, fenomena seperti itu dapat terjadi baik dalam hal
konkret maupun abstrak. خلقArti asli dari kata ال َخ ْلقadalah perhitungan yang cermat. Kemudian
kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan arti menciptakan sesuatu tanpa asal atau imitasi,
kata ال َخ ْلقyang diartikan sebagai menciptakan sesuatu tanpa asal dan imitasi hanya dapat
didasarkan pada Allah SWT, yang dibuat oleh selain-Nya. أَل ِس َنتِ ُكمadalah bentuk jamak dari لسانyang
berarti lisan dan kekuatan. Perbedaan bahasa menunjukkan perbedaan antara bahasa dan
dialektika, karena setiap orang memiliki dialek tertentu yang dapat dibedakan dengan pendengaran,
seperti halnya ia memiliki wajah tertentu yang dapat dibedakan dengan penglihatan.ََۚأَٰۚ َونِ ُكمَلون
jamak berarti warna dan termasuk putih, hitam. Perpaduan kedua warna ini disebutkan dalam
ungkapan تل ّون, yang artinya ditutupi dengan warna yang berbeda dengan warna aslinya. Kata اللوان
juga menggambarkan ragam warna dan jenisnya, yang disebutkan dalam frasa َفَلنَآٌَ َِتَباللوانَمن
الحادٌثyang artinya fulan datang membawa macam macam berita, serta frasa تناولَكذاَألواناَمنَالطعام
artinya mengkonsumsi berbagai makanan.
Menurut Quraish Shihab (Shihab, 2002), ayat ini lebih lanjut menjelaskan bukti keesaan dan
kekuasaan Allah SWT, persamaan laki-laki dan langit dan perempuan dengan bumi, hujan turun dari
langit, yang menyatukan bumi untuk tanaman tumbuh,lahir seperti halnya hubungan antara laki-laki
dan perempuan, atau setelah penyebutan pendamping manusia, disebut pasangan lain.
yaitu langit dan bumi. Ayat ini juga mengatakan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan dan
keesaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, yang di dalamnya segala sesuatu sangat teliti,
murni dan serasi, dan ayat ini juga mengatakan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah
adalah SWT. bahwa ada perbedaan bahasa orang, jadi ada perbedaan bahasa, dialek dan intonasi
dan warna kulit, ada yang hitam, kuning, coklat dan berwarna (putih), meskipun semua orang
berasal dari yang sama. maka sesungguhnya terdapat tanda-tanda bagi orang yang bertakwa, yaitu.
pengetahuan mereka. Hamka (Hamka, n.d.) mengartikan ayat ini bahwa ketika manusia disuruh
melihat ke atas untuk melihat langit dalam tinggi dan lebarnya, awan akan terbelah pada siang hari,
bintang bersinar pada malam hari setelah melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuatan surga. Oleh
Allah SWT dari langit dan bumi, manusia disuruh memandang diri sendiri "dan bahasamu berbeda
dan warna kulitmu" juga merupakan tanda kebesaran Tuhan, terutama perbedaan, meskipun
manusia hidup bersama di bumi, di bawah naungan surga yang sama, tetapi ada perbedaan dalam
bahasa yang berbeda. Benua Eropa memiliki bahasa Inggris, Prancis, Jerman, juga Rusia dan berbagai
bahasa, sedangkan Indonesia sendiri memiliki sekitar 300 bahasa daerah.
Selain keragaman bahasa di dunia ini, ada warna kulit, warna wajah, di antara orang Indian Amerika
ada kulit kuning, kulit putih, kulit hitam, kulit coklat, kulit merah, termasuk perbedaan warna kulit.
adalah bentuk indahnya wajah manusia, tafsir tulisan ke azhar, penduduk bumi ini sedikitnya milyar
manusia, tapi tidak ada yang sama, hanya dengan sekali pandang anda bisa melihat bahwa mereka
adalah sesama manusia, tapi Tuhan memerintahkan agar mereka berbeda satu sama lain sampai ke
8
ujung jari mereka, yaitu sidik jari, mimik wajah, bentuk mata, bentuk hidung, bentuk telinga tidak
mirip satu sama lain, bagaimanapun caranya. kaya. Allah STW ada dalam bentuk dan aspek ini.
Kemudian di akhir ayat ini “Sesungguhnya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”
ayat ini menjelaskan tentang pentingnya ilmu orang disamping menganjurkan orang untuk berfikir
pada ayat sebelumnya, bahkan semua tanda yang disebutkan adalah nyata. benar-benar menantang
orang untuk berpikir dan belajar. Kami mengajak masyarakat untuk mendirikan universitas yang
berbeda dengan fakultas yang berbeda, untuk mempelajari ilmu alam dari ilmu bintang di langit,
ilmu bumi tempat kita hidup, dan banyak ilmu yang berhubungan dengan kemanusiaan dengan cara
yang berbeda, mulai dari antropologi, sosiologi . , psikologi. , sejarah, arkeologi, ekonomi, politik dan
masyarakat. Dalam tafsir Qurthub menjelaskan tafsir surat Ali-Imran ayat 190-191 bahwa Allah SWT
memerintahkan dan mengajarkan kepada kita semua untuk melihat, merenungkan dan menarik
kesimpulan dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Karena tanda-tanda itu tidak akan ada kecuali jika
diciptakan oleh Yang Maha Hidup, Yang Maha Suci, Yang Maha Penyelamat, Yang Maha Kaya
(Qurthubi, 2008: 768), sedangkan tafsir Al-Maragh menjelaskan bahwa itu adalah tanda-tanda dan
bukti-bukti yang menunjukkan kebesaran. dan keesaan Tuhan, kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-
Nya. (Al-Maraghi, 201: 289), selama penafsiran Al-Azhar oleh orang-orang yang melihatnya dan
menggunakan akalnya untuk memikirkan semua ciptaan-Nya, kemampuan dan keahlian ilmu yang
dimiliki oleh seorang naturalis, zoologi, botanis. , penambang, filsuf atau bahkan penyair dan
seniman. Setiap orang terpesona dan takjub dengan tatanan alam semesta yang luar biasa di bumi
ini. Sehingga semakin Anda berusaha untuk mengenal Allah SWT, Anda akan semakin melihat
kebesaran dan kekuasaan-Nya (HAMKA, 2015:6).
D.Eksistensi Allah SWT
Pendekatan fenomenologis merupakan pembuktian keberadaan Tuhan dengan mengacu pada
misteri fenomena alam semesta. Fenomena di alam semesta ini, dari makhluk terkecil hingga
kerajaan yang luas, semuanya menyingkap misteri keberadaan Tuhan. Menurut Said Hawa, ada
empat fenomena yang dapat digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Berikut ini kami
rangkum secara singkat sembilan fenomena tersebut:
1. Fenomena Huduts Alam
2. Fenomena Irada (Kehendak)
3. Fenomena Kehidupan
4. Fenomena Istijabah.
Dalam hadits jariyah sebelumnya, para murjiah sering menggunakannya sebagai dasar untuk
meneguhkan iman hanya dengan pengakuan tanpa amal. Dan kini Hadits Jariyah ini telah menjadi
rukun umat sufahaa ul ahlaam (wahhabi salafi) untuk meneguhkan keberadaan Tuhan di surga.
Kemiripannya aliran sempalan selalu menggunakan Hadits yang bertentangan dengan ihtijah (dalil)
mereka sebagai dalil atas ajaran sesatnya, orang-orang Ahlus Sunnah Wal Jama'ah selalu mencontoh
imam Ahlus sunnah yaitu imam Ahmad. bin Hanbal ketika menolak perlunya murjiah dengan hadits
jariyah. Tidak ada ulama Salafi saleh yang menulis buku hadits termasuk bab tentang aqidah hadits
jariyah. Bahkan Imam Muslim sendiri menambahkannya ke dalam bab furu, , jika Hadits adalah bukti
9
masalah akidah, Imam Muslim akan menambahkannya ke awal bab agama, tetapi dia tidak
melakukannya. Ini adalah bukti bahwa imam Muslim tidak menganggap hadits jariyah sebagai dalil
dalam bab aqidah.Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Baihaqi, namun dalam salah satu
ceritanya, budak perempuan itu menjawab bukan dengan kata-kata, melainkan dengan isyarat
bahasa.
َ"َ:ٌَاَرسولَهلَلَئنَعلًَعتقَرقبةَمإمنةَفقالَلها:َفقال،َأنَر َجلَأتىَالنبًَصلىَهلَلَعلٌهَوسلمَبجارٌةَسوداء،عنَأبًَهرٌرة
ََ"َفمنَأنا؟َ"َفأشارتَئلىَالنبًَصلىَهلَلَعلٌهَوسلمَوئلىَالسماءَتعنًَأنت:َفقالَلها,َأٌنَهلَل؟َ"َفأشارتَئلىَالسماءَباصبعها
َ"َأعتقهاَفانهاَمإمنة:رسولَهلَلَفقالَرسولَهلَلَصلىَهلَلَعلٌهَوسلم
Artinya: Dari Abu Huroiroh, sesungguhnya seorang lelaki mendatangi Nabi ﷺdengan seorang
budak wanita hitam, lalu dia berkata : Wahai Rasulullahََۚ sesungguhnya aku memiliki budak wanita
beriman, lalu Rasulullah ﷺbertanya pada nya : Dimana tuhan? Lalu budak itu ber(bahasa) isyarat
menunjuk kelangit dengan jarinya, lalu Nabi ﷺbertanya lagi padanya : Siapa aku ? lalu budak itu
ber (bahasa) isyarat menunjuk Nabi ﷺdan menunjuk langit, (perowi menjelaskan) maksudnya
tuan adalah Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺberkata : merdeka kan dia karena dia perempuan
beriman. Hadits riwayat Al Baihaqi di dalam sunan Al Kubro dengan sanad yang sohih.
Jawaban si gadis dalam bahasa isyarat menunjukkan bahwa si laki-laki bisu. Itu sebabnya
ditempatkan dalam sebuah bab:
بابَئعتاقَالخرساءَئذاَأشارتَباﻹٌمانَوصلت
Bab tentang membebaskan budak saat dia berisyarat keimanan dan mengerjakan sholat. Lafadz
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim merupakan tafsiran narator yang mengartikan
bahasa isyarat dari budak tersebut. Di sana, narator menafsirkan bagian terakhir dari bahasa isyarat
budak. Ini berarti pertanyaan di mana Tuhan adalah pertanyaan apakah budak bodoh menyembah
berhala atau Allah, tetapi tidak mengklaim bahwa Tuhan berada di atas langit. tidak mungkin
mengetahui iman dengan bertanya kepada orang bodoh siapa Tuhan itu. Orang bisu tidak dapat
berbicara. Demikian pula, orang-orang kafir yang bodoh menyebut Tuhannya Allah, sama seperti
orang beriman yang berdoa dengan mengangkat tangan ke langit tidak berarti Tuhan ada di langit,
sama seperti berdoa menghadap Ka'bah tidak berarti bahwa Tuhan ada di dalam Ka'bah. Jadi
mereka bertanya di mana Tuhan berada untuk mengetahui apakah dia telah mendirikan berhala
atau tidak.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi :
كانَالمرادَامتحانهاَهلَهًَموحدةَتقرَبأنَالخالقَالمدبرَالفعالَهوَهلَلَوحده
Yang dikehendaki adalah menguji budak itu apakah dia seorang yang mentauhidkan Allah, berikrar
bahwa sesungguhnya sang pencipta yang mengurus alam semesta hanya Allah.
َوهوَالذيَئذاَدعاهَالداعًَاستقبلَالسماءَكماَئذاَصلىَالمصلًَاستقبلَالكعبةَولٌسَذلكَ َۚلنهَمنحصرَفًَالسماءَكماَأنهَلٌس
منحصراَفًَجهةَالكعبة
__________________________
Tafsir al-Bahr al-Muhith, Abu Hayyan al-Andalusi, jilid 6 hal. 282
10
Dan dia adalah Tuhan yang, ketika seseorang berdoa kepadanya, melihat wajahnya menghadap ke
langit seperti ketika seseorang berdoa dengan wajahnya menghadap Ka'bah, dan tidak seperti itu,
karena Tuhan berada di atas langit, karena Tuhan tidak seperti itu.
أوَهًَمنَعبدةَالوثانَالعابدٌنَللوثانَالتًَبٌنَأٌدٌهم.
Atau dia adalah salah satu orang kafir yang menyembah berhala yang ada sebelum mereka.
فلماَقالتَفًَالسماءَعلمَأنهاَموحدةَولٌستَعابدةَللوثان
Ketika budak surgawi berbicara, jelas bahwa dia percaya pada Tuhan dan bukan pada penyembah
berhala (karena dia tidak menunjuk pada berhala selain mereka)². Pertanyaan dimana Tuhan
menggunakan makna pertanyaan agama bukanlah klaim bahwa Tuhan berada di atas langit..
فٌهَدلٌلَعلىَأنَالكافرَالٌَصٌرَمإمناَئالَباﻹقرارَبهلَلَتعالىَوبرسالةَرسولَهلَلَصلىَهلَلَعلٌهَوسلم
Di dalamnya adalah dalil orang kafir tidak akan menjadi orang beriman kecuali dengan ikrar beriman
kepada Allah ta'ala dan risalah Rasulullah ﷺ
وفٌهَدلٌلَعلىَأنَمنَأقرَبالشهادتٌنَواعتقدَذلكَجزماَكفاهَذلكَفًَصحةَئٌمانهَوكونهَمنَأهلَالقبلةَوالجن
Dan ini adalah bukti bahwa barang siapa yang berjanji syahadat dengan dua kata dan meyakininya
dengan teguh, maka itu cukup untuk keabsahan iman dan statusnya, dia adalah bagian dari ahli
kiblat dan ahli surga. Imam Abu Hayyan al-Andalusi (wafat 75 H) berkomentar :
ََ َۚلنهَفهمَمنهاَأنَمرادها،َفقاﻹنهاَمإمنة،َفأشارتَئلىَالسماء،َأٌنَربك:َحدٌثالمةَالتًَقالَلهاَرسولَهلَلَصلىَهلَلَعلٌهَوسلم
نفًَاآللهةَالرضٌةَالتًَهًَالصنامَالَئثباتالسماءَمكاناَهللَتعالى
“ Hadits budak yang Rasul Saw bertanya padanya : “ Di mana Tuhanmu” lalu ia mengisyaratkan ke
langit, kemudian Nabi bersabda : “ Dia wanita yang beriman”, maka hadits ini dipahami bahwa
yangdimaksud adalah menafikan tuhan-tuhan yang ada disembah bumi yaitu berhala-berhala, bukan
menetapkan langit sebagai tempat Allah Ta’alaa .Hadits yang ditakhrij oleh imamal-Baihaqi dalam
as-Sunan al- Kubranya di dalam Babzhihar pada sub bab “ Membebaskan budak yang bisu ketika
mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman”
Berikut redaksinya : “Atas wewenang Aun bin Abdillah atas wewenang Abdillah bin Utbah atas
wewenang Abi Hurairah RA. bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dengan seorang
budak wanita berkulit hitam dan dia berkata kepada Nabi SAW: Wahai Rasulullah saw. ., adalah
tugasku untuk membebaskan seorang budak perempuan yang beriman. Kemudian Nabi berkata
kepadanya (gadis itu): "Di mana Tuhan?" lalu dia (gadis itu) menunjuk jarinya ke langit. Rasul SAW
kemudian bertanya lagi "dan siapa aku?" Dia kembali menunjuk Nabi SAW. lalu menunjuk ke langit,
artinya "kamu adalah utusan Tuhan". Kemudian Rasulullah. berkata kepada laki-laki itu: “Biarkanlah
dia, karena dia adalah seorang yang beriman .
Al-Imam Al-fakhru Ar-Razy mengutip Mujassim dalam bukunya At-Tafsirul Kabir mengatakan: "Bukti
telah menunjukkan bahwa orang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Jisim
(tubuh/bentuk/ukuran) telah mengingkari Tuhan Yang Maha Esa karena pencipta alam itu ada dan
11
bukan Jisim atau apapun yang ada di dalam Jisim, jika ada Mujasim yang tidak menerima bahwa zat
tersebut ada (bukan tubuh, bukan sebagai sesuatu), maka dia sebenarnya mengingkari keberadaan
Tuhan, jadi perbedaan antara orang yang beriman kepada Tuhan dan orang yang beriman kepada
Tuhan bukanlah sifat Tuhan, tetapi sifat Tuhan, sehingga benar untuk mengatakan bahwa mereka
tidak percaya pada Tuhan .
PENUTUP
KESIMPULAN
Eksistensi (keberadaan) makhluk menunjukkan kekeberadaan Tuhan Yang Maha Esa, jika tidak ada
makhluk, Tuhan tetap (ada) Tuhan tidak duduk, tidak bertahta, dan tidak duduk bertahta, arys
adalah makhluk dan tidak mungkin karena Tuhan membutuhkan makhluk. Tuhan itu ada tanpa
membutuhkan tempat, tanpa ruang dan waktu, dan tidak dikendalikan oleh waktu dan tidak ke atau
di luar. tidak ada surga (di atas) maupun di luar surga, dan Tuhan tidak ada di mana-mana. .Tuhan
tidak membutuhkan apa pun, tidak bergantung pada apa pun dan tidak terikat oleh apa pun. Setiap
orang secara naluriah mengenali di kedalaman hati mereka keberadaan Tuhan yang perkasa di alam
semesta. Ego, kekuasaan dan nafsunya membutakan hatinya sehingga ia tidak percaya kepada
kekuasaan mutlak Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu di muka bumi ini. . Sebuah
pertanyaan di mana Tuhan diciptakan hanya untuk menguji kepercayaan bodoh dalam keadaan
khusus. Oleh karena itu, tidak ada kisah shahih tentang Nabi ﷺyang menanyakan keberadaan
Tuhan kepada orang yang bisa berbicara. Bertanya di mana Tuhan bukan untuk menyatakan bahwa
Tuhan berada di atas langit, tetapi untuk menguji diri sendiri dengan dua kalimat syahadat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Syihabuddin Ahmad Bin Hajar Al Haitami,1996,kitab al-Minhaj al-Qawim,Beirut,Dar-al fikr
Imam abu husein muslim bin hajaj,Abu zakaria muhyidin an-nawawi, shahih muslim syarh
nawawi,jilid 5,Beirut,:Dar al Kutub al Ilmiyah
Muhammad bin yusuf as-Syahir abi hayyan Andalusi,1992, Tafsir al-Bahr al-
Muhith,Beirut,Dar-al Fikr Al Baihaqi,Abi Bakr ahmad bin husein bin ‘ali,Sunan Kubro,1994,Beirut;
,:Dar al Kutub al Ilmiyah
Muhammad ibn Umar ibn al-Husain ibn al-Hasan ibn Ali al-Tamimi al-Bakri al-Thabrastani Ar-
Razi,1981,Tafsir Ar-razi, Beirut,Dar-al fikr
Suhartini, A., & Nurwadjah, A. (2022). Konsep Pengenalan Terhadap Allah (Ma'rifatullah) dan
Implikasinya Dalam Pendidikan Islam. Asian Journal of Philosophy and Religion, 1(1), 37-50.
Masriyah, A. (2020). BUKTI EKSISTENSI TUHAN (Integrasi Ilmu Kalam dengan Filsafat Islam
Ibnu Sina). Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 19(2), 137-146.
Fauziah, M. (2021). Argumen Adanya Tuhan: Wacana Historis dan Estetis. Jurnal Pemikiran
Islam, 1(1), 30-41.
Komarudin, D. (2016). Argumen Fitrah tentang Adanya Tuhan. Jaqfi: Jurnal Aqidah dan
Filsafat Islam, 1(1), 105-120.
Amin, A. N., & Erihadiana, M. (2022). Pendidikan Multikultural dalam Perspektif QS. Ar Rum
Ayat 22. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(3), 895-900.
Rohman, A. (2022). WACANA MELIHAT ALLAH DALAM TAFSIR TEOLOGIS:(STUDI
KOMPARATIF TAFSIR AZ-ZAMAKHSYARI, IBN KATSIR DAN ASY-SYAUKANI). Jurnal Asy-Syukriyyah,
23(1), 54-74.
Bangil, SP CARA MENGENAL ALLAH DALAM MENINGKATKAN KEIMANAN.
Pandey, D. E. (2020). Allah Tritunggal: Sebuah Risalah Teologis Alkitabiah tentang Keesaan
dan Ketritunggalan Allah. Davar: Jurnal Teologi, 1(1), 43-64.
13
BAB II
IMAN DAN TAFSIR HADIS PERINTAH BERIMAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “TAFSIR HADIS TENTANG PERINTAH
BERIMAN” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pemahamahaman secara mendalam bagi pembaca tentang keimanan. Begitu pula
atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah
ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media
internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua seluruh tim kelompok 2
yang telah berusaha untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Dan tak lupa kami berterimakasih
kepada Bapak Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hadis dan Aqidah Bapak Dr. Abdul Karim, S.S.,
M.A. dalam memberikan tugas makalah ini dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang
membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim penulis
menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang
lebih baik pada kesempatan berikutnya.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penalaran yang sehat pasti berpendapat bahwa adanya alam semesta raya ini, termasuk
manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya pastilah ada penciptanya. Lalu pertanyaan
“Siapa dia?” tentu menjadi pertanyaan wajib dalam setiap benak kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
sudah barang tentu menjadi satu-satunya jawaban absolut dari pertanyaan tersebut. Sebenarnya,
tidak dibutuhkan dalil-dalil tekstual hanya untuk mengakui kebenaran dan keberadaan Allah.
Akal sehat pun tentu sudah bisa berfikir bahwa sesuatu yang ada tidak mungkin tercipta dari
sebuah ketiadaan. Maka dalam konsep logika, absolutisme adanya sang maha ada harus kita
percayai. Karena kita ada, berasal dari tidak ada, maka harus ada satu dzat yang mengadakan kita,
sehingga kita menjadi ada. Dzat tersebut dikenal dengan “wajibil wujud” (sang maha ada). Hal ini
terjadi karena pada dasarnya manusia tercipta sebagai ahlul fitrah atau dengan kata lain, manusia
mempunyai relativitas alamiah untuk meyakini kebenaran, terutama kebenaran teologis.
14
Fitrah dalam prespektif agama islam sendiri cenderung menunjukkan maksud “kecenderungan”.
Dalam hal ini kecenderungan manusia untuk memahami & meyakini konsep ketuhanan yang
menurutnya benar, atau kemampuan akal manusia mengidentifikasi sampai pada pengertian Tuhan
yang maha benar yaitu “Maha Esa” dalam monoteisme. Konsep ini sesuai dengan fitrah manusia
dalam keyakinan Islam, karena menganggap “tidak mungkin” adanya Tuhan selain “Yang maha satu”
yaitu Allah, artinya memunculkan potensi menghilangkan yang bukan “maha satu”, karena tidak
mungkin ada lainnya, jadi harus mengambil “satu” dengan menghilangkan “bukan satu”, jika sampai
pada potensi mengetahui ini yang disebut Tuhan yaitu “Dialah satu-satunya” maka tidak mungkin
menerima “kemungkinan-kemungkinan” lainnya, maka fitrah dalam keyakinan manusia adalah
adanya kecenderungan ini. (DR. Abdul Karim ; Tafsir Hadis Tematik Kajian Akidah Akhlak) Menurut
penulis dan tim, sebenarnya konsep tersebut sudah ada dalam diri manusia secara naluriah, beliau
(Baca ; DR. Abdul Karim) hanya menjelaskan sistematika metodologi berfikir manusia secara
konstruktif, sebagai upaya untuk meminimalisir potensi terjadinya logical fallacies. Sehingga akan
lebih mudah dipahami oleh individu yang relatif awam dalam persoalan teologi.
Karen Amstrong dalam bukunya The History Of God berpendapat bahwa selain homo sapiens
manusia juga merupakan makhluk homo religious, yaitu manusia mempunyai sifat hakiki untuk
menerima kebenaran yang bertendensikan agama, serta menjadikan ajaran agama sebagai refrensi
dasar sikap dan etika dalam mengarungi kehidupannya. Dalam hal ini penulis dan tim
mengerucutkan premis diatas ke dalam hal yang lebih spesifik, yaitu Agama Islam. Sebagai salah
satu bagian dari agama samawi, tentu agama islam berdasar pada wahyu yang turun langsung dari
tuhan kepada utusan-Nya. Wahyu tersebut memuat banyak sekali hal-hal sifatnya moral maupun
esensial, diantaranya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan syari’ah, kultur, sosiologi, politik,
ekonomi, maupun kisah-kisah historis yang kemudian dapat kita ambil edukasi darinya. Sudah
barang tentu persoalan teologi absolutisme ketuhanan juga termasuk didalamnya. Dan ketika
berbicara tentang agama samawi, maka secara dasar pembahasannya juga tidak akan terlepas dari
pembahasan tentang “keimanan”. Kedepan, penulis dan tim akan mencoba menguraikan tendensi
dasar keislaman (baca ; Al-Qur’an) yang berkorelasi pada pembahasan dasar ilmu keagamaan atau
ilmu yang biasa kita sebut dengan “Aqidah” yaitu pembahasan tentang “Iman”. Penulis dan tim akan
mencoba membedah persoalan iman secara definitif dan esensial serta mengurai ayat-ayat yang
hubungannya dengan perintah beriman, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan kita
kepada Sang Maha Ada sehingga akan meminimalisir keimanan yang bersifat fluktuatif atau
berubah-ubah, dan inkonsisten.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian iman ?
2. Bagaimana urgensi keimanan?
3. Bagaimana Perintah beriman dalam ayat Al-Qur’an
15
3. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan tengan iman
2. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
3. Untuk mengasah nalar kritis mahasiswa demi kepentingan intelektual
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
Begitu pentingnya iman dalam kehidupan manusia tentu membuat pikiran kritis kita bertanya-tanya,
sebenarnya apa yang disebut iman itu? Apa definisi iman? Sehingga berhasil menembus unsur pokok
dalam setiap langkah kehidupan kita, sehingga akan terasa kosong atau hampa hati manusia ketika
tanpa dilandasi dengan iman. Tentu tidak afdhol rasanya ketika kita berusaha mengupas “iman”,
tetapi tidak tahu tentang pengertian iman itu sendiri. Berangkat dari persoalan diatas, penulis dan
tim bermaksud untuk menguraikan iman secara definitif menurut pendapat para ahli.
1. Secara Etimologi
Secara etimologis, iman berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar amana-yu’minu-imanan, artinya
beriman atau percaya. Percaya Ketika kita tinjau dalam prespektif linguistik Bahasa Indonesia artinya
meyakini atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercaya) itu memang benar atau nyata adanya. Iman
dapat dimaknai iktiraf yaitu membenarkan, mengakui, dan atau pembenaran yang bersifat khusus.
Al Quran menyebutkan tentang iman dengan menggunakan lafal yaqin (meyakini) yang didukung
oleh bukti-bukti sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah : 4.
ََوالَّ ِذ ٌْ َنََ ٌُ ْؤ ِم ُن ْو ََنَ ِب َماََاُ ْن ِز َلََ ِالَ ٌْ َكََ َو َماََاُ ْن ِز َلََ ِم ْنََ َق ْبلِ ََكََۚ َوبِا ْۡ ٰل ِخ َر ِةََ ُه ْمََ ٌُ ْوقِ ُن ْو َن
Terjemahan :
Dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-
kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.
Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa
yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai Nabi Muhammad, berupa Al-Qur'an dan adz-dzikr
(hadis), dan kitabkitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Suhuf-
suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti Kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab
risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah
kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan
perbuatan. (Tafsir Ringkas Kemenag RI)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa iman harus disertai dengan keyakinan, dalam akhir ayat terdapat
kata َ ٌُ ْو ِق ُن ْو َنyang berarti yakin. Tashdiq dan yaqin, keduanya merupakan amalan hati.
16
Penulis dan tim menyimpulkan bahwa definisi iman secara etimologis tidak jauh dari kata percaya,
yakin, meyakini, mengakui, pembenaran atas apa yang diyakininya, semisal beriman kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, berarti percaya, meyakini, mengakui, dan membenarkan adanya Allah dalam
setiap lini kehidupan manusia.
2. Secara Terminologi
Iman secara istilah yang di kutip dari buku Ensiklopedi Iman yang ditulis oleh Syaikh Abdul Majid Az-
Zandani berarti tashdiq atau mempercayai.
Ada ulama yang menyatakan iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Iman ini dinamakan juga
ucapan hati. Makna iman yang ada di dalam hati juga berarti lawan dari kekafiran. Para ulama salaf
menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Berikut pengertian iman menurut para ulama' :
1. Iman menurut al-Baidlawi dikaitkan dengan ikrar lisan, sedangkan definisi iman menurut Al-
Baidawi, (1484: 38) adalah “at-tasdiq”, yaitu membenarkan di dalam hati terhadap ajaran Nabi Saw.
2. Abul ‘Ala al-Mahmudi menerjemahkan iman dalam Bahasa inggris Faith, yaitu to know, to believe,
to be convinced beyond the last shadow of doubt yang artinya, mengetahui, mempercayai, meyakini
yang didalamnya tidak terdapat keraguan apapun.
3. Syaikh Abdul Majid Az-Zandani, definisi iman menurut istilah syara' adalah iman terkadang
diartikan sebagai tashdiq (memercayai) seperti makna linguistiknya.
4. Menurut abu hanifah, iman adalah pengetahuan dan pengetahuan tentang tuhan, tentang rasul
rasulnya, dan apa yang datang dari tuhan dalam keseluruhan dan dalam perincian dimana tidak
mempunyai sifat bertambah dan berkurang dan tidakal ada perbedaan antara manusia dalam hal
iman.
5. Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja.
6. Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi berpendapat bahwa iman itu cukup dengan
pengetahuan yang ada di dalam hati.
7. Menurut Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, iman adalah pembenaran
dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan aman dengan anggota badan.
Konsep iman dalam teologi Islam, dapat dijelaskan secara umum bahwa iman yang merupakan
aktivitas hati pada dasarnya bukan merupakan keseluruhan aktivitas hati. Iman adalah pengakuan
dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Perlu dimengerti, bahwa iman seseorang kepada Allah
ada tiga macam :
1. Pertama, Iman Taqlidi Adalah mempercayai keesaan Allah SWT. Dengan cara taqlidi (mengikuti)
keterangan ulama tanpa mengerti dalil atau pembuktian. Iman seperti ini rawan berubah akibat ulah
orang-orang yang berusaha merusaknya.
2. Kedua, Iman Tahqiqi Adalah kemantapan hati pada keesaan Allah SWT. Yang jika ditentang atau
diusik oleh siapapun, maka tak berubah sedikitpun.
17
3. Ketiga, Iman Istidlali Adalah iman yang disertai bukti dari makhluk yang ada di ini membuktikan
adanya yang mencipta, suatu bangunan menunjukan adanya yang membangun, kotoran unta
menunjukan akan adanya unta, karena keberadaan sesuatu (akibat) tanpa sebab adanya sebab
adanya pencipta adalah suatu yang tidak masuk akal (muhal).
Dalam Khasyiyah Jami' al-Shahih lil imam al-Bukhari disebutkan bahwa kadar dan tingkat keimanan
seseorang kepada Allah itu tergantung pada sejauh mana kadar pengetahuan dan pengenalan
(ma’rifatullah) orang tersebut kepada Allah. Jadi seseorang yang beriman kepada Allah, maka
tentunya dia mengetahui dan mengenal Allah. Mengenal dan mengetahui Allah berbeda dengan
mengenal makhluk-Nya. Mengenal dan mengetahui Allah adalah dengan mengenal sifat-sifat-Nya,
perintah-Nya dan larangan-Nya yang dapat diperoleh dengan cara mentadabburi dan mentafakuri
ayat-ayat Nya, baik ayat kauniyat (tersirat) di alam raya maupun ayat qur'aniyat (tersurat) dan
tertulis dalam Qur'an.
Adakalanya mengetahui sesuatu tetapi tidak mengimaninya seperti iblis yang mengetahui (ma'rifat)
terhadap Allah, tetapi dia tidak mengimani dan tidak mau tunduk pada perintah Allah SWT. Iman
memiliki beberapa sifat, yaitu:
1. Pertama, iman itu bersifat abstrak dengan pengertian manusia tidak dapat mengetahui dan
mengukur kadar keimanan orang lain. Iman bersifat abstrak karena iman ada dalam hati dan isi hati
tidak ada yang tahu kecuali Allah dan orang tersebut.
2. Kedua, iman bersifat fluktuatif artinya naik turun, bertambah dan berkurang, bertambah karena
melaksanakan keta'atan dan berkurang karena melakukan kemaksiatan. Kondisi iman bersifat
fluktuatif ini karena iman bertempat dalam hati yang mana karakter dasar hati adalah berubah-ubah
dan tidak tetap.
3. Ketiga, iman itu bertingkat-tingkat. Artinya tingkat dan kadar keimanan dalam hati orang beriman
itu berbeda dan tidak sama, ada yang kuat, ada yang sedang dan ada yang lemah imannya.
B. Urgensi Keimanan
Iman manusia dapat mempengaruhi perkataan dan perbuatannya. Dalam keseharian, iman
seseorang dapat berkurang dan juga bertambah. Bertambahnya iman seseorang disebabkan oleh
ketaaan kepada Allah, sedangkan berkurangnya iman seseorang disebabkan oleh kemaksiatan
dengan demikian maka iman memiliki keterkaitan kuat pada kehidupan manusia dengan adanya
iman.
Seorang manusia apabila mempunyai keimanan akan memiliki kehidupan yang terarah karena sudah
memiliki tujuan hidup yang jelas dan dapat mengendalilkan nafsunya. Berikut merupakan peranan
penting keimanan bagi kehidupan :
1. Iman merupakan dasar diterimanya amal
Iman tidak boleh dipisahkan di dalam kegiatan manusia. Setiap pekerjaan harus didorong dengan
keimanan kepada Allah Subahanallahu wata’ala karena niat yang ikhlas menjadi penentu
18
diterimanya amal seperti sabda nabi . Dengan begitu hubungan antara hamba dengan penciptanya
akan terwujud dalam segala aspek kehidupan
2. Iman adalah amal yang paling utama di sisi Allah
Iman merupakan spirit yang menyatu dengan amal saleh, keduanya tidak bisa terpisahkan. Karena
semua amal perbuatan yang tidak didasari oleh keimanan tidak akan diterima oleh Allah Swt.
Berdasarkan hadist nabi Muhammad SWT, Dari Abu Hurairah RA berkata, “Bahwa Rasulullah SAW
pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama? ‘ Beliau menjawab: “(Yaitu) beriman kepada Allah.”
Dia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Dia bertanya lagi,
“Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Haji yang mabrur.” (HR. Muslim, No 118)
Maksudnya adalah Bahwa iman kepada Allah Ta’ala menempati rangking pertama, dalam amal-amal
perbuatan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah. Karena iman merupakan pondasi dan
dasar yang di atasnya tegak berbagai amalan lainnya. Oleh karenanya, hendaknya setiap kita
senantiasa menjaga dan merawat iman, dengan senantiasa mengikuti pengajian pembinaan iman
dan Islam secara rutin. Memiliki bi’ah islamiyah (lingkungan Islami) yang baik, serta menghindarkan
diri dari segala amal perbuatan yang dapat merusak keimanan.
3. Iman merupakan sebab tutunnya hidayah dan jalan kebahagiaan dunia akhirat.
4. Iman membangkitkan kesadaran bagi pemeluknya ketika hendak melakukan maksiat atau durhaka
kepada Allah.
C. PERINTAH BERIMAN DALAM AL-QUR’AN DAN HADIST
1. Q.s An-nisa : 136
َٰ ٌَأَ ٌُّ َهاَٱلَّ ِذٌ َنََ َءا َم ُنوَاَ َءا ِم ُنوَاَبِٲّ َّللََِ َو َر ُسولِ ِهۦَ َوٱ ْل ِكٰ َت َِبَٱلَّ ِذىَ َن َّز ََلَ َع َل َٰىَ َر ُسولِ ِهۦَ َوٱ ْلَوِكٰ َُكت ُت ِب َِب ِهَٱۦلََّ َِذو َُىرَأَُسنلِ َِهزۦ ََلَََوِمٱ ْل ٌَن َْو َقِْمَبَٱَُلَْل َءۚاَ َ ِوخ َِمرََن َفََقٌََْدْكَفُ َْرَضَ ِب َّلَٲَّ َّللَََِضَٰ َلوۢ ًََمَٰلَلَئِ َبَك ِعتٌِ ِهًداۦ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan
hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Tafsiran ayat diatas adalah sebagai berikut ;
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim karya Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ;
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengamalkan semua syariat iman dan cabang-
cabangnya, rukun-rukunnya serta semua penyanggahnya. Tetapi hal ini bukan termasuk ke dalam
pengertian perintah yang menganjurkan untuk merealisasikan hal tersebut, melainkan termasuk ke
dalam Bab “Menyempurnakan Hal yang Telah Sempurna, Mengukuhkannya, dan Melestarikannya
19
Perihalnya sama dengan apa yang diucapkan oleh seorang mukmin dalam setiap salatnya, yaitu
bacaan firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Dengan kata lain, terangilah
kami ke jalan yang lurus, dan tambahkanlah kepada kami hidayah serta mantapkanlah kami di jalan
yang lurus. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada mereka untuk beriman kepada-Nya
dan kepada Rasul-Nya, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Al-
Hadid: 28). Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Barang siapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 136) Dia telah keluar dari jalan hidayah dan jauh dari
jalan yang benar dengan kejauhan yang sangat.
Asbabun Nuzul Surat An-Nisa Ayat 136
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Surat An Nisa Ayat 136 diturunkan berkenaan dengan Abdu ‘I-Lah bin
Salam, Asad dan Usaid yang keduanya putra Ka’ab, Tsa’labah bin Qais, Salam bin saudara
perempuan Abdu ‘I-Lah bin Salam, dan Yamin bin Yamin. Mereka datang kepada Rasulullah SAW dan
seraya berkata, “Kami beriman kepadamu dan kitabmu, kepada Musa dan Taurat, dan kepada ‘Uzair;
tetapi kami ingkar kepada selain kitab-kitab dan rasul-rasul itu”. Maka, Rasulullah SAW bersabda,
“Bahkan, hendaknya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, beserta kitab-Nya, al-
Qur’an, dan seluruh kitab yang diturunkan sebelum itu.” Mereka berkata, “Kami tidak akan
melakukannya”. Maka turunlah ayat ini, kemudian mereka semua beriman. (Ahmad Musthafa Al-
Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi 5, hal. 301.)
2. Al- Baqarah : 258
َآ َم ََنَال َّر ُسو ُلََ ِب َماَأُ ْن ِز ََلَئِلَ ٌْ َِهَ ِم َْنَ َر ِّب ِهََ َوا ْل ُم ْؤ ِم ُنو َنَََۚ ُك َلَآ َم َنََ ِباّ َّللََِ َو َم ََل ِئ َك ِت ِهََ َو ُك ُتبِ ِهََ َو ُر ُسلِ َِهَ َۡلََ ُن َف ِّر ُقََ َب ٌْ َنََأَ َحدََ ِم ْنََ ُر ُسلِ ِهَََۚ َو َقالُواَ َس ِم ْع َنا
ََوأَ َط ْع َناََۚ ُغ ْف َرا َن ََكَ َر َّب َناَ َوئِلَ ٌْ ََكَا ْل َم ِصٌ ُر
Artinya : Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Alquran) dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), "Kami tidak membeda-
bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya." Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat.
Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali."
Tafsiran ayat diatas adalah sebagai berikut ;
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena
Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan,
“Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan
dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat.” Lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. Orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya dalam ayat ini
adalah Raja Babil (yaitu Namrud ibnu Kan’an ibnu Kausy ibnu Sam ibnu Nuh), dan menurut pendapat
yang lain dikatakan Namrud ibnu Falik ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfakhsyad ibnu Sam ibnu Nuh.
Pendapat yang pertama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya. Mujahid mengatakan bahwa raja
yang menguasai belahan timur dan barat dunia ada empat orang; dua orang di antaranya mukmin,
sedangkan dua orang lainnya kafir. Raja yang mukmin ialah Sulaiman ibnu Daud dan Zul Qamain,
20
sedangkan raja yang kafir ialah Namrud dan Bukhtanasar. Makna firman-Nya: Tidakkah kamu
perhatikan. (Al-Baqarah: 258) Yakni apakah kamu tidak memperhatikan dengan hatimu, wahai
Muhammad! Orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya. (Al-Baqarah: 258) Yaitu tentang
keberadaan Tuhannya.
Demikian itu karena raja tersebut ingkar terhadap keberadaan Tuhan selain dirinya sendiri, seperti
halnya yang dikatakan oleh Raja Fir’aun yang hidup sesudahnya kepada para pembantu terdekatnya,
yang disebutkan oleh firman-Nya: Aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku. (Al-Qashash:
38) Dan tidak ada yang mendorongnya (raja itu) berbuat keterlaluan dan kekufuran yang berat serta
keingkaran yang keras ini kecuali karena kecongkakannya dan lamanya masa memegang kerajaan.
Menurut suatu pendapat, Raja Namrud memegang tahta pemerintahannya selama empat ratus
tahun. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan: karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). (Al-Baqarah: 258) Pada mulanya raja itu meminta kepada Ibrahim agar
mengemukakan bukti yang menunjukkan keberadaan Tuhan yang diserukan olehnya. Maka Ibrahim
menjawabnya yang disitir oleh firman-Nya: Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan Yang mematikan.
(Al-Baqarah: 258) Dengan kata lain, sesungguhnya bukti yang menunjukkan keberadaan Tuhan ialah
adanya semua yang wujud di alam ini, padahal sebelumnya tentu tidak ada, lalu menjadi tidak ada
sesudah adanya.
Hal tersebut menunjukkan adanya Pencipta yang berbuat atas kehendak-Nya sendiri dengan pasti.
Mengingat segala sesuatu yang kita saksikan ini tidak ada dengan sendirinya, maka pasti ada pelaku
yang menciptakannya. Dia adalah Tuhan yang aku serukan kepada kalian agar menyembah-Nya
semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Setelah itu orang yang mendebat Ibrahim yaitu Raja Namrud
mengatakan, yang perkataannya disitir oleh firman-Nya: Saya dapat menghidupkan dan mematikan.
(Al-Baqarah: 258) Qatadah, Muhammad ibnu Ishaq, As-Suddi serta lain-lainnya mengatakan bahwa
untuk membuktikan ucapannya itu raja tersebut mendatangkan dua orang lelaki yang keduanya
dikenai sanksi hukuman mati.
Lalu si Raja Namrud membunuh salah seorangnya dan memaafkan yang lainnya hingga selamat,
tidak dikenai hukuman mati. Demikianlah makna menghidupkan dan mematikan menurutnya. Akan
tetapi, pada kenyataannya bukanlah demikian jawaban yang dikehendaki oleh Ibrahim a.s. dan tidak
pula sealur dengannya, mengingat hal tersebut tidak menghalangi adanya Pencipta. Sesungguhnya
raja itu mengakui kedudukan tersebut hanyalah semata-mata sebagai ungkapan keingkaran dan
kecongkakannya, serta mengkamuflasekan jawabannya seakan-akan dialah yang melakukan hal
tersebut.
Bahwa seakan-akan dialah yang menghidupkan dan yang mematikan. Sikapnya itu diikuti oleh Raja
Fir’aun dalam ucapannya yang disitir oleh firman-Nya: Aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain
aku. (Al-Qashash: 38) Karena itulah Nabi Ibrahim menjawabnya dengan jawab an berikut ketika raja
tersebut mengakui dirinya menduduki kedudukan tersebut dengan penuh kecongkakan, yaitu:
Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat. (Al-Baqarah:
258) Dengan kata lain, apabila kamu mengakui dirimu seperti apa yang kamu katakan itu, yaitu
bahwa dirimu dapat menghidupkan dan mematikan, maka Tuhan yang menghidupkan dan yang
mematikan adalah Yang dapat mengatur semua alam wujud, yakni pada semua makhluk dan dapat
menundukkan semua bintang serta peredarannya. Bahwa matahari yang tampak setiap harinya ini
terbit dari arah timur, maka jika kamu seperti apa yang kamu akukan sebagai tuhan, terbit-kanlah
21
dia dari arah barat! Setelah raja itu menyadari kelemahan dan ketidakmampuannya, karena ia tidak
dapat mencongkakkan dirinya lagi kali ini, maka ia terdiam, tidak dapat menjawab sepatah kata pun,
dan hujah Nabi Ibrahim mematahkan argumentasinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim. (Al-Baqarah: 258) Artinya, Allah tidak memberi ilham hujah dan bukti kepada mereka, bahkan
hujah mereka terputus di hadapan Tuhan mereka, dan bagi mereka murka Allah serta azab yang
keras. Analisis makna ayat seperti di atas lebih baik daripada apa yang disebutkan oleh kebanyakan
ahli mantiq yang menyatakan bahwa peralihan jawaban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dari dalil
yang pertama kepada dalil yang kedua merupakan perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang
lebih jelas daripada yang pertama.
Di antara mereka ada yang menganggapnya mutlak dalam jawabannya, tetapi kenyataannya tidaklah
seperti yang dikatakan oleh mereka. Bahkan dalil yang pertama merupakan pendahuluan dari dalil
yang kedua serta membatalkan alasan yang diajukan oleh Raja Namrud, baik pada dalil yang
pertama maupun dalil yang kedua. As-Suddi menyebutkan bahwa perdebatan antara Nabi Ibrahim
dan Raja Namrud ini terjadi setelah Nabi Ibrahim selamat dari api.
-Hadits Tentang Perintah Beriman-
1. Hadits tentang Beriman Kepada Allah
ًََ ًََْ“َقُفِ َْلًََآا َم ْنﻹِ ْسُتَََلب ِاَمَّل َقلَِ َْو ُثۡ َّمََلًََاَۡلَسََتأَ ِق َْْمسأَ”َ ُلَ ََر َ َوعاْنَهُ َُهََ ُأَم َْحسلَِدمَا:َِقُ ْل َُتَ ٌَا َر ُس ْ َوغ ٌْ َلَ ََرالَكَلِ؟ََقُ َق ْاَلَ َلَل:َأَ ِب ًََْ َع ْم َر َةََ ُس ْف ٌَا ََنَ ْب ِنََ َع ْب َِدَالَِلَ َر ِض ًَََاللََُ َع ْن ُهََ َقا ََل،َ َوقِ ٌْ َل،َع ْنََأَبَِ ًََْ َع ْمرو
Artinya : Dari Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Aku berkata: Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam
yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda,
“Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, semakin banyak pula tantanganbaru yang tidaklah
mudah kita lewati. Terkadang kita merasa tidak bisa melewati cobaan-Nyasehingga terkadang kita
melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Sebagai contoh,ketika ada banyak sekali tugas
dan deadline, tetapi file tugas yang harus dikumpulkan tiba-tiba hilang atau tidak bisa dibuka. Dan
kebetulan sekali saat itu ia sedang sakit dan tidakmenyelesaikan tugasnya, tetapi dosennya pun tidak
menerima apa pun alasannya. Tiba-tiba iakehilangan dompet yang berisi kartu-kartu penting,
padahal ia hidup sendiri sebagaimahasiswa perantau. Di sana ia merasa bahwa Allah Swt.
Berlaku tidak adil pada dirinyakarena memberikan ia cobaan yang bertubi-tubi. Padahal sudah
pernah disebutkan bahwaAllah Swt. Tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-
Nya. Yang seharusnya ia lakukan adalah tetap percaya pada Allah Swt. Bahwa akan adajalan di setiap
cobaan yang diberikan. Ia pun juga harus berserah diri kepada Allah Swt. Dantidak boleh
menyalahkan Allah Swt. Atas cobaan yang diberikan. Tidak dipungkiri lagi bahwamahasiswa
memiliki tingkat kesibukan yang luar biasa. Ia harus membagi waktu antarabelajar,
berorganisasi, mengurus event, bekerja part-time, dan lain-lain. Dari kesibukan inilah,muncul
tantangan-tantangan yang tidak sederhana. Dari adanya tantangan ini kita harus tetapmemegang
teguh keimanan kita kepada Allah Swt. Agar senantiasa diberi kelancaran dalam setiap kegiatannya.
22
PENUTUP
KESIMPULAN
Iman merupakan persoalan fundamental manusia sebagai makhluk homo religius. Pada setiap
agama keimanan sudah pasti menjadi unsur primer bagi semua penganutnya. Penulis dan tim
mencoba membuat satu analogi sederhana tentang iman. Jika diibaratkan sebuah bangunan, iman
mendapat bagian dasar pondasi sehingga dapat menopang bangunan diatasnya, kekokohan
bangunan itu sudah barang tentu dipertaruhkan pada pondasi yang tertancap dibawahnya.
Demikian pula peran iman dalam menopang keteguhan manusia secara spiritualis untuk menjawab
tantangan kemajuan zaman. kemajuan zaman merupakan sunnatullah yang tidak bisa kita hindari.
Pesatnya perkembangan teknologi tentu berbanding lurus dengan kompleksitas masalah yang
dihadapi manusia, semakin berkembang teknologi semakin kompleks juga masalah-masalah yang
dihadapi manusia. Hal ini sudah barang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi iman, iman harus
mengambil peran dalam menjaga diri manusia supaya kemudian tidak mudah terjerumus dalam hal-
hal yang keluar dari koridor yang ditentukan oleh agama. Karena ketika manusia berhasil memahami
konsep keimanan sekaligus mempraktekkan dan menancapkannya dalam hati, maka sudah barang
tentu satu step problem solving sudah berhasil teratasi, terutama persoalan yang kaitannya dengan
soal fundamental dan transendental.
Namun (setidaknya sampai saat ini), penulis dan tim belum dapat menemukan dalil naqli yang
secara mutlak memerintahkan manusia untuk beriman. Pun adalam surat An-Nisa’ ayat 136 seperti
yang disampaikan DR. Abdul Karim dalam karyanya yang berjudul Tafsir Hadis Tematik Kajian Tema
Aqidah Akhlak. Dalam penyampaiannya beliau mengatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 136 adalah
ayat tentang perintah beriman, dan setelah penulis dan tim telisik lebih jauh, dalam Tafsir Al-Qur’an
Al-Adzim karangan Imam Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada hakikatnya, ayat tersebut menjabarkan
tentang bertambah sempurnanya iman, bukan ayat yang secara absolut memerintahkan manusia
untuk beriman. Pun dalam buku yang sama Tafsir Hadis Tematik Kajian Tema Aqidah Akhlak juga
terdapat penjelasan bahwa dalam tafsir Al-Azhar ada sebuah statement yang menyatakan dalam
surat An-Nisa’ ayat 136 seruan pertama adalah seruan yang ditujukan kepada orang beriman, dan
seruan selanjutnya baru memuat seruan untuk beriman. Hal itu dimaksudkan supaya orang yang
beriman itu benar-benar percaya, sebagai penguat bagi orang tersebut, bahwa setelah beriman
hendaklah diperdalam lagi keimanannya. Penulis dan tim berpendapat bahwa secara tidak langsung
ayat ini memerintahkan untuk kemudian “menyempurnakan iman” dan bukan perintah absolut dari
yang asalnya tidak ada iman menjadi beriman. Persoalan itu tentu menjadi dua hal yang kontradiktif.
Dalam satu sisi begitu pentingnya iman sehingga dalam faktanya, jika kita hidup tanpa iman maka
akan terasa linglung. Tapi sisi lain, penulis juga belum menemukan suatu ayat yang secara konkrit
menjelaskan perintah iman yang sifatnya absolut.
Walaupun seperti itu, penulis dan tim berpendapat bahwa hal itu justru menjadi rasional apabila
dihubungkan dengan statement beliau (baca ; DR. Abdul Karim) juga tentang fitrah manusia. Dalam
judul buku yang sama beliau menyampaikan bahwa fitrah merupakan kecenderungan manusia
untuk mempercayai kebenaran absolut. Dan iman, pada hakikatnya merupakan kebenaran absolut.
Maka, hemat penulis mengatakan bahwa sebuah konklusi yang bisa diambil adalah sebenarnya iman
merupakan sesuatu yang naluriah yang memang sudah dibawa manusia sejak pertama kali
menginjakkan jiwanya di setiap alam. Sedangkan ayat tentang perintah beriman sifatnya ialah
23
sebagai penentram dan pen-taukid bagi jiwa yang pada hakikatnya sudah tertanam benih-benih
iman itu sendiri, supaya dapat menjadi sebab manusia untuk lebih memantapkan hati dalam
menjalani keimanan, sehingga dapat menuntun manusia untuk tidak keluar dari koridor batasan
yang sudah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim. SimpleQuran, Appstore
Katsir, Ibnu (2001) Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Kuwait. Jamiyyah Ihyaau At-turots Al-Islami
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, (2001) Kuwait. Jamiyyah Ihyaau At-turots Al-Islami
Amstrong, Karen. (2011). A History Of God. Random House.
Az-Zandani, Abdul Majid (2016) .Ensiklopedi Iman. (H. Hafidz Muhammad Amin, Ali Nurdin,
Terjemahan). Jakarta : Pustaka Al- Kausar.
Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail al (1992) .Shahih al-Bukhari . Beirut : Dar al Kotob Al
Ilmiyah.
Karim dkk. (2021). Tafsir Hadis Tematik : Kajian Tema Akidah Akhlak. Cirebon : Nusa Litera Inspirasi.
Suryani dkk. (2021). Rukun Iman Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak. Journal Islam dan
Contemporary Issues, 45-52. Diakses 30 September 2022.
Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof.
Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah Referensi :
https://tafsirweb.com/1668-surat-an-nisa-ayat-136.htmlTafsir Al-Mukhtashar /.
24
BAB III
TAFSIR HADIS TENTANG FLUKTUASI IMAN
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Salah satu aspek kajian terpenting dalam sejumlah besar hadits Nabi adalah persoalan al-iman
(kepercayaan dengan berbagai aspek kandungan di dalamnya). Hampir-hampir umat Islam terfokus
pada kajian iman dalam pengertian yang terbatas, parsial dengan melihat aspek iman hanya
persoalan teologis kepada Allah, Rasul, kitab-kitab, malaikat, hari kiamat dan takdir. Padahal dalam
beberapa hadits Nabi tentang iman, antara lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah adalah: Iman itu memiliki 70 cabang lebih (antara 73-79) yang paling tinggi adalah ucapan
syahadat “Tiada Tuhan selain Allah”, dan yang paling rendah/ringan adalah menyingkirkan sesuatu
yang membahayakan di jalan, rasa malu adalah salah satu cabang iman”.
Persoalan iman nampaknya dipahami hanya berhenti pada ranah teologis (Rukun Iman enam)
seperti yang dipahami selama ini oleh sebagian besar oleh umat Islam. Padahal al-Qur’an mulia dan
hadis-hadis tentang iman menyatakan secara tegas bahwa iman selalu dikaitkan dengan amal saleh
dan akhlak.
Iman merupakan hal yang terpenting dalam sistem aqidah dan amal dalam Islam. Sejatinya
seorang mukmin selalu berusaha mewujudkan di dalam dirinya keperibadian sejati yang dicintai oleh
Allah dan Rasul-Nya. Hal yang harus diperhatikan di dalam proses penghayatan kepada Sang
Pencipta Yang Maha Suci itu diperlukan suatu kondisi yang bersih, baik jasmaninya maupun
rohaninya. Kebersihan rohani disini dimaksudkan bersih dari sifat-sifat tercela yang dapat
menjerumuskan dalam kemaksiatan. Fenomena fluktuasi berlaku juga dalam kaidah keimanan.
“Iman itu bertambah dan berkurang,” sabda Rasulullah SAW. Iman itu fluktuatif, kadang naik,
kadang turun, menguat dan melemah, pasang dan surut. Iman akan bertambah dengan tha’ah dan
berkurang dengan maksiat. Fenomena melemahnya keimanan diindikasikan dengan kelesuan dalam
melakukan setiap bentuk ketaatan. Malas beribadah, malas membaca Alquran, malas berinfak dan
berzakat, merasa berat datang ke majelis ilmu, berat untuk berbuat kebaikan. Pendeknya, lemah
iman telah membuat hati dan jiwa kehilangan antusiasme beramal. Pada saat yang sama, gelora
untuk berbuat yang tidak baik semakin menguat. Sebab, lemah iman akan menjadikan hati dan jiwa
rentan terhadap segala bentuk dan perilaku maksiat.
Adapun contoh surah dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang keimanan, seperti dalam surah
al-Ikhlas yang berbicara tentang tauhid yang menjadi dasar utama keimanan dan sebagaimana juga
keterangan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah bahwasanya
Nabi Muhammad Saw bersabda seutama-utama iman di sisi Allah Swt. adalah iman yang tidak ada
keraguan, jihad yang tidak ada ghulul dan haji yang mabrur (Lestari, 2020). Dengan demikian dapat
dipahami bahwasanya keimanan itu merupakan suatu kepercayaan (tidak ada keraguan) kepada
Allah Swt., Para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Nabi dan Rasul-Nya, hari akhir, dan ketentuan-Nya
atau qada dan qadar.
25
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fluktuasi iman?
2. Apa saja penyebab terjadinya fluktuasi iman ?
3. Bagaimana dalil-dalil tentang fluktuasi iman ?
4. Apa saja cabang-cabang iman ?
5. Bagaimana tingkatan- tingkatan iman itu ?
6. Apa saja karateristik iman ?
7. Bagaimana hubungan iman dan kehidupan sosial ?
3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian fluktuasi iman
2. Mengetahui penyebab terjadinya fluktuasi iman
3. Mengetahui dalil-dalil fluktuasi iman
4. Mengetahui cabang-cabang iman
5. Mengetahui tingkatan-tingkatan iman
6. Mengetahui karateristik iman
7. Mengetahui iman dan kehidupan sosial
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fluktuasi Iman
Iman adalah unsur pokok dalam keberagamaan manusia, karena hal tersebut menjadi penggerak
bagi unsur-unsur lainnya, yang berupa ibadah maupun akhlaq. Ketika iman sudah menempat pada
hati manusia ia akan menjadi sesuatu yang berproses dan bergelombang sehingga membentuk sikap
dan perilaku yang baik.Seorang yang beriman tidak hanya semata-mata membenarkan dalam hati
saja, melainkan ada sebuah aksi dalam kehidupan kesehariannya yang menunjukan aplikasi
keimanannya. Pada hakikatnya, pemisahan itu tidak pernah terjadi.
Iman itu merupakan tashdiq (pembenaran) yang disertai dengan amal. Tashdiq dengan amal itu
dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Maka apabila terdapat tashdiq amalnya pun ada, begitu pun
sebaliknya. Iman seorang hamba akan bertambah dan meningkat bilamana ketaatan dan ibadahnya
26
bertambah dan meningkat, sebaliknya keimanannya akan menurun bilamana kadar ketaatan dan
ibadahnya menurun.
Firman Allah dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 124 :
ََو ِا َذاَ َمَاَاُ ْن ِزلَ َْتَ ُس ْو َرَةَ َف ِم ْن ُه َْمَ َّم ْنََ ٌَّقُ ْو ُلََاَ ٌُّ ُك َْمَ َزا َد ْت َُهَ ٰه ِذَهَ ِا ٌْ َما ًنَاَ َفاَ َّماَالَّ ِذ ٌْ َنََٰا َم ُن ْواَ َف َزا َد ْت ُه َْمَ ِا ٌْ َما ًناَ َّو ُه ْمََ ٌَ ْس َت ْب ِش ُر ْو َن
“Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang
berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun
orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.
Ayat tersebut menegaskan bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat juga berkurang.
Sesungguhnya amal itu merupakan bagian dari iman. Dan iman itu bertambah ketika kita melakukan
hal-hal yang sesuai dengan ajaran dan undang-undang yang berlaku berupa Al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan iman itu berkurang manakala ia melanggar dan keluar dari koridor ajaran agama yang
berupa kemaksiatan. Keimanan orang-orang yang beriman berbeda-beda, tidak sama satu dengan
yang lainnya. Bahkan ketika bertambahnya amal shalih dan keyakinan pada diri seseorang, maka
bertambahlah keimanannya dan menjadi lebih utama dibanding dengan orang yang selainnya.
Dengan demikian iman seseorang akan berkurang kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat,
dan akan bertambah kesempurnaannya jika melakukan ibadah. Adapun tentang bertambah dan
berkurangnya keimanan para ulama beda pendapat:
Pertama, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Asfahani dan Kitab At Tahrir fi Syarhi
Shahih Muslim mengatakan: Iman secara bahasa adalah tashdiq (membenarkan). Jika yang dimaksud
iman adalah tashdiq maka dia tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tashdiq itu tidak terdiri
dari banyak bagian yang terkadang sempurna pada suatu waktu dan berkurang pada waktu yang
lain, dan jika tashdiq berkurang maka berubah menjadi ragu-ragu. Adapun Iman menurut Syara’
adalah membenarkan dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Berdasarkan pengertian ini
maka iman bisa bertambah dan berkurang, dan ini adalah madzhab Ahli Sunnah. Para ulama beda
pendapat dalam masalah bagaimana jika seseorang membenarkan dalam hati tapi tidak disertai
dengan perbuatan iman, apakah dia bisa disebut sebagai mu’min atau tidak ? dan menurut pendapat
mushannif orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mu’min berdasarkan hadits di atas.
Kedua, Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Khalaf dalam kitab Syarah Shahih Bukhari, madzhab
Jamaah Ahli Sunnah adalah ‘bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bisa bertambah
dan berkurang’.Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh Imam
Bukhori, firman Allah SWT :
ََولَ َّماَ َرَاََا ْل ُم ْؤ ِم ُن ْو َنََا ْۡلَ ْح َزا ََبَ َقالُ ْواَ ٰه َذاَ َماَ َو َع َد َناَا ٰلَّلَُ َو َر ُس ْولُهََ َو َص َد ََقَا ٰلَّلَُ َو َر ُس ْولَُهََۚ َو َماَ َزا َد ُه َْمَ ِا ََّۡلَ ِا ٌْ َما ًناَ َّو َت ْسلِ ٌْ ًما
Dan tak kala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata:
“Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al Ahzab: 22).
ُه ََوَٱلَّ ِذ َىَأَن َز ََلَٱل َّس ِكٌ َن َةََفِىَقُلُو ِبََٱ ْل ُم ْؤ ِم ِنٌ ََنَلِ ٌَ ْز َدا ُدواََئٌِ ٰ َم ًناَ َّم ََعَئٌِ ٰ َم ِن ِه َْمََۚ َو ِّ َّلَِلَ ُج ُنو ُدََٱل َّس ٰ َمٰ َو ِتََ َوٱ ْْلَ ْر ِضَََۚ َو َكا َنََٱّ َّلَلَُ َعلٌِ ًماَ َح ِكٌ ًما
27
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Fath : 4).
Dengan demikian jika seorang mu’min bertambah amal baiknya maka tambahlah kesempurnaan
imannya, dan jika berkurang amal baiknya maka berkuranglah kesempurnaan imannya.
Ketiga, menurut pendapat ketiga ini iman itu merupakan pembenaran dalam hati, diikrarkan oleh
lisan dan diamalkan dengan perbuatan.Jika salah satunya tidak ada maka dia belum bisa disebut
mu’min. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
َ٤غ) ِفَٱَلّرَ ِةَذٌَ َ َوَن َِر ٌُ ِقزٌ ُمَقَو َنَ َڪَٱ ِلرٌَم َّصَلَٰ(و ََة٢َ) َأعُ ْلَوٌلَِٰہـ ِٮمََ َكََءَا ٌَُٰهـ ُُتَمَُهَٱَلۥ ُمَ َؤزاِم َُندتوُہ َمََنََئٌَِح َمًّقٰـَا ًنَالََّ ُهَومَََعَدَل َٰرىَ ََج ٰـَر ِّبتَِهََم َِع ٌَن َتَدََوَ َّكَرلُِّبوِه َمََنََ َ(و َم٣َئِ َّن َماَٱل ُمؤ ِم ُنو َنََٱلَّ ِذٌ َنََئِ َذاَ ُذ ِك َرََٱّ َّللَُ)ََوَو ِم َِّجملَاََتَرَ َقُزلُق َنوٰـُب ُُهہَمَمََ ٌَُونئِفِ َذقُاوَ ُتَلِنَ ٌََ(ت
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. (QS. Al Anfal : 2-3).
Setelah kita mengetahui iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab
bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah
sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri
dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman sehingga dapat menjaga diri dan selamat
didunia dan akherat.
B. Penyebab Terjadinya Fluktuasi iman
- Sebab-sebab Bertambahnya Iman
1. Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`an dan as Sunnah.
Hal ini menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi
sarana beribadah kepada Allah SWT dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan
iman yang didapatkan dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya: 1)Sisi keluarnya
ahli ilmu dalam mencari ilmu. 2)Duduknya mereka dalam halaqah ilmu. 3)Mudzakarah (diskusi) di
antara mereka dalam masalah ilmu. 4)Penambahan pengetahuan terhadap Allah dan syari’at-Nya.
5)Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari. 6)Tambahan pahala dari orang yang belajar dari
mereka.
2. Merenungi ayat-ayat kauniyah.
Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah SWT yang beraneka
ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan
28
mengokohkan iman. Syeikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan
faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi
serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang
dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.
3. Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan
mensinambungkannya.
Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman. Karena
iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah. Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Diantara sebab pertambahan iman adalah
melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan
banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya
pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi SAW). Sedangkan jenis
amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih
ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga
penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab
amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan bertambahnya amalan.
-Sebab-sebab Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor internal)
dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal):
a. Faktor internal berkurangnya iman, yaitu:
1) Kebodohan, ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab
terbesar bertambahnya iman.
2) Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab
penting berkurangnya iman.
3) Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki
pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah SWT menambah iman,
demikian juga pelanggaran atas larangan Allah SWT mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan
kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana
disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat-
tingkat”.
4) Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada pada
manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah
Ta’ala jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz:
29
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs. Yusuf: 53).
Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi setiap
muslim berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan
setelahnya.
b. Faktor eksternal berkurangnya iman, yaitu:
1) Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang mempengaruhi
iman dan mengurangi kekokohannya.
2) Dunia dan fitnah, menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat
mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin menginginkannya,
maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat,
sebagaimana dituturkan Imam Ibnul Qayyim.
3) Teman bergaul yang jelek Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya
terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi SAW telah memperingatkan kita dari hal
ini dalam sabda beliau:
“Seorang itu berada di atas agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang
kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”
Demikianlah perkara yang harus diperhatikan dalam iman, mudah-mudahan hal ini dapat
menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman dan menyempurnakannya.
C. Dalil-Dalil Fluktuasi iman
QS. At-Taubah Ayat 12 :
ََو ِا َْنَ َّن َك ُث ْواَاَ ٌْ َما َن ُه َْمَ ِّم َْۢنَ َب ْع ِدََ َع ْه ِد ِه ْمََ َو َط َع ُن ْواَ ِف ًََْ ِد ٌْنِ ُك ْم
“Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak
dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti”.( QS. At-Taubah Ayat 12).
QS. Al-Anfal Ayat 2 :
ِا َّن َماَا ْل ُم ْؤ ِم ُن ْو َنََالَّ ِذ ٌْ ََنَ ِا َذاَ ُذ ِك َرََا ٰلَّلَُ َو ِج َل ْتََقُلُ ْو ُب ُه َْمَ َواِ َذاَ ُتلِ ٌَ َْتَ َعلَ ٌْ ِه ْمََ ٰاٌٰ ُتهََ َزا َد ْت ُه ْمََ ِا ٌْ َما ًناَ َّو َعٰلىَ َر ِّب ِه ْمََ ٌَ َت َو َّكلُ ْو َن
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya
dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal”.(QS. Al-Anfal Ayat 2).
QS. An-Nisa Ayat 48 :
ِا َّنََا ٰلّ َلََ ََۡلَ ٌَ ْغ ِف ُرََاَ َْنَ ٌُّ ْش َر َكََبَِهَ َو ٌَ ْغفِ ُرََ َماَ ُد ْو ََنَ ٰذَلِ ََكَلِ َم ْنََ ٌَّ َش ۤا َُءَ َو َم َْنَ ٌُّ ْش ِر ْكََ ِباّٰ ّلَِلَ َف َق ِدََا ْف َت ٰرىَ ِا ْث ًماَ َع ِظ ٌْ ًما
30
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan
Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa
mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisa Ayat 48).
QS. Al-Ahzab Ayat 47 :
َو َب ِّش َِرَا ْل ُم ْؤ ِمنِ ٌْ َنََ ِباَ َّنََلَ ُه َْمَ ِّم َنََا ٰلَِّلَ َف ْض ًَلََ َك ِب ٌْ ًرا
Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka
karunia yang besar dari Allah”. (QS. Al-Ahzab Ayat 47).
QS. Al-Fath Ayat 4:
ُه َوََٱلَّ ِذىََأَن َز ََلَٱل َّس ِكٌ َن ََةَ ِفىَقُلُو َِبَٱ ْل ُم ْؤ ِم ِنٌ َنََلِ ٌَ ْز َدا ُدواََئٌِ ٰ َم ًناَ َّم َعََئٌِ ٰ َم ِن ِهَمَ َو ِّ َّللََِ ُج ُنو َُدَٱل َّس ٰ َم ٰ َو ِتََ َوَٱ ْْلَ ْر ِضََ َو َكا َنََٱّ َّللََُ َعلٌِ ًماَ َح ِكٌ ًما
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Fath Ayat 4).
QS,Al.Anfal Ayat 2 :
َٱل ُمؤ ِم ُنو َنََٱلَّ ِذٌ ََنَئِ َذاَ ُذ ِك ََرَٱّ َّلَلَُ َو ِج َلتََقُلُو ُب ُهَمَ َوئِ َذاَ ُتلِ ٌَ َتَ َع َلٌ ِهمََ َءاٰ ٌَ ُت ُهۥَ َزا َدت ُهمََئٌِ ٰ َم ًناَ َو َع َل ٰىََ َر ِّب ِهَمَ ٌَ َت َو َّكلُو َن
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakka”. (QS,Al.Anfal Ayat 2).
QS,Al.Anfal Ayat 3 :
َٱلَّ ِذٌ ََنَ ٌُ ِقٌ ُمو َنََٱل َّص َل ٰو َةََ َو ِم َّماَ َر َزقٰ َن ُهَمَ ٌُن ِفقُو َن
“Orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang –(yaitu) orang
Kami berikan kepada mereka”.( QS,Al.Anfal Ayat 3).
QS. Yusuf Ayat 53 :
َو َمَاَاُ َب ِّر ُبََ َن ْف ِس ًََْ ِا َّنََال َّن ْف ََسَ َۡلَ َّما َر َۢةَ ِبال ُّس ْۤو ِءََ ِا َّۡلََ َماَ َر ِح َمََ َر ِّب ًََْ ِا َّنََ َر ِّب ًََْ َغفُ ْورََ َّر ِح ٌْم
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu Selalu
mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Yusuf Ayat 53)
D. Cabang-Cabang Iman
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh sekian
cabang. Dan rasa malu merupakan salah satu cabang dari keimanan.” Dalam riwayat lain, dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu tujuh puluh sekian cabang, atau enam puluh
sekian cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan La Ilaha Ilallah, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri dari jalanan, sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” Dan
dari Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Rasa malu itu tidak datang melainkan
31
(dengan) kebaikan.” (HR. Muslim). Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits-hadits
di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Iman memiliki cabang-cabang dan tingkatan-tingkatan. Dalam hadits riwayat lainnya dikatakan
bahwa iman memiliki 73 cabang. Dan salah satu cabang Iman adalah al-haya’ (rasa malu). Rasa malu
adalah malu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam, bukan
malu dalam pengertian malu berdiri di depan umum, malu ketika dihadapan banyak orang, dsb.
Namun malu adalah keinginan yang kuat untuk melakukan kebaikan, serta tidak suka apabila ia
melakukan perbuatan yang tercela. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika beliau melihat sesuatu
yang tidak disenangi, maka kita dapat melihat itu nampak di wajahnya.” (Muttafaqun Alaih)
2. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa keimanan itu diimplementasikan dalam bentuk amaliyah
(amalan), yang bersumber dari keyakinan kepada Allah SWT. Iman bukan sekedar keyakinan yang
ada dalam diri seseorang. Karena syaitan dan iblis sangat yakin dengan keberadaan Allah SWT.
Namun mereka tidak beramal untuk mengimplementasikan keimanannnya, sebaliknya mereka
beramal untuk mendapatkan kemurkaan Allah SWT. Dan rasa malu merupakan implementasi dari
keimanan dan keyakinan seorang hamba kepada Allah SWT.
3. Malu itu ada yang positif dan ada pula malu yang negatif. Malu melakukan suatu kemungkaran
dan perbuatan maksiat atau larangan agama merupakan sikap malu yang terpuji dan sangat baik.
Akan tetapi malu dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, misalnya malu melaksanakan shalat
fardhu berjamaah di masjid, kerana khawatir dikatakan sok suci atau sok alim, malu kalau membaca
Al-Qur’an, malu kalau menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis, malu jika tidak menerima
risywah, dsb, semuanya itu adalah sifat malu yang tercela dan tidak ada kebaikannya sama sekali.
Justru rasa malu melakukan hal-hal yang mungkar, merupakan malu yang terlahir dari keimanan
kepada Allah SWT.
4. Tingkatan iman yang tertinggi adalah ucapan “La Ilaha Illallah” serta tingkatan iman yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Oleh karenanya, janganlah kita menganggap remeh
suatu perbuatan baikpun, meskipun hanya menyingkirkan duri dari jalanan. Menyingkirkan duri dari
jalanan tidak hanya berarti duri yang ada di jalanan. Namun bisa juga berarti memudahkan jalan,
urusan dan pekerjaan orang lain, serta termasuk juga di dalamnya memudahkan urusan para
nasabah yang membutuhkan uluran tangan kita semua.
5. Sikap malu merupakan sikap yang sangat baik dan perlu dipelihara, baik dalam skala individu,
keluarga, sosial, bahkan dalam skala Negara. Karena rasa malu tidak akan datang, kecuali akan
mendatangkan kebaikan. Sementara apabila rasa malu telah hilang, akan mendatangkan keburukan.
Diantara bentuk dari sikap malu adalah seperti senantiasa jujur, amanah, tulus dan ikhlas, senang
membantu orang, disiplin, rajin dan taat beribadah, tidak membicarakan keburukan orang lain,
sabar, makan dan minum dengan tangan kanan dan tidak berdiri, menghindari tempat-tempat
maksiat, dan senantiasa pasrah kepada Allah SWT.
32
E. Tingkatan-Tingkatan Iman
1. Iman yang terbit daripada “Taklid”
Hasil daripada mengikut fahaman orang lain,contohnya mengikut apa yang dikatakan dan diajarkan
oleh para Guru. Iman ini sangat lemah kerana tiada bukti dan hujah dapat dikemukakan oleh
seseorang itu apabila timbul keraguan.Hanya berpandukan penerangan sesorang itu sahaja.
2. Iman yang tebit daripada “Ilmu”.
Hasil daripada pembelajaran mengenai dalil-dalil dan hujah-hujah yang berpandukan Al-Quran,hadis
dan para Ulama. Sesiapa yang telah mencapai tingkatan iman ini,mereka akan berasa yakin dan
mampu untuk menerangkan dan menghayati hakikat iman itu sendiri.
3. Iman yang terbit daripada “Ayan”(ainun-mata).
Hasil daripada “muraqabatullah” iaitu rasa sentiasa diperhatikan oleh Allah dalam apa juga keadaan
sekalipun. Tingkatan ini dikurniakan oleh Allah kepada insan yang terpilih sahaja.
4. Iman yang terbit daripada “Hak”.
Hasil daripada “musyahadatullah” iaitu dapat melihat Allah dengan mata hati. Juga dikurniakan
kepada insane terpilih sahaja.
5. Iman yang terbit daripada “Hakikat”.
Hasil daripada “fana’unfillah” iaitu tiada melihat selain dari Allah SWT. Para Wali Allah hanya dapat
mencapai sehingga ke tingkatan iman ini. Dimana mereka menjadi fana’ kepada Allah dan tidak
dapat menyedari dan mengawalnya.
6. Iman yang terbit daripada “Hakikatul hakikat”.
Juga hasil daripada “fana’unfillah” tetapi tingkatan ini hanya dikurniakan oleh Allah kepada para
Anbia sahaja. Dimana para nabi dan Rasul fana’ kepada Allah dengan dapat melihat zat Allah itu
tetapi masih mampu untuk mengawalnya dan hidup seperti manusia biasa. Seperti Rasulullah dapat
melihat syurga dan neraka ketika Isra’ dan Mi’raj, tetapi masih turun kebumi dan dapat hidup seperti
manusia biasa.
F. Karateristik Iman
Penjelasan tentang karakter-karakter orang beriman dapat kita temukan baik dalam al-Qur’an
maupun Hadits. Di dalam al-Qur’an misalnya dijelaskan secara rinci dalam surat al-Mu’minun: 1-11,
surat al-Hujurat : 15, dan surat al-Baqarah : 177. Berikut ini terjemahan dari ayat-ayat tersebut:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS. al-Hujurat : 15)
33
Berdasarkan penjelasan di dalam surat al-Hujurat : 15 dapat kita pahami bahwa karakter orang
beriman adalah bahwa iman tidak hanya berhenti pada pembenaran di hati (tas}diq bi al-qalb)
semata, tetapi harus diikuti dengan keterlibatan lisan (iqrar bi al-lisan) dan aktualisasi perbuatan
(amal bi al-arkan), sehingga secara lebih jauh makna iman adalah keterlibatan dimensi teologis dan
fisis, seperti aktivitas pelayanan sosial humanistic (Yusuf, 2008, p. 39).
Di antara karakteristik orang yang beriman menurut surat al-Baqarah:177 adalah Mukmin yang mau
berjuang dengan jiwa dan hartanya, termasuk di dalamnya kegiatan yang menuntut pengorbanan
jiwa dan hartanya sebagai aktivitas filantrofi (derma).
Sedangkan mengenai jawaban-jawaban yang berbeda yang diberikan Rasulullah bukan berarti
beliau tidak konsisiten dan haditsnya bertentangan satu dengan yang lain. Dari haditshadits dengan
perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat substantive. Yang substantife ada dua
kemungkinyan, yakni (a) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang
diberikan; dan (b) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban
yang diberikan. Kemungkinan yang disebutkan kedua mempertimbangkan bahwa jawaban Nabi itu
merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang keseharian mereka menunjukkan gejala
yang perlu diberikan bimbingan dengan menekankan perlunya dilaksanakan amalan-amalan
tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai “wakil” dari keinginan untuk memberikan
bimbingan kepada kelompok masyarakat tersebut (Ismail, 1987, p. 26).
G. Iman Dan Kehidupan Sosial
Iman dalam konteks kehidupan sosial memberi pengertian bahwa iman tidak hanya mencakup aspek
keyakinan beragama, yang meliputi keimanan kepada Allah, MalaikatmalaikatNya, Kitab-kitabnya,
Rasul-RasulNya, Hari Kiamat, dan Qadha’ dan Qadar. Iman juga memberi petunjuk dan tuntunan
serta menaruh perhatian besar terhadap realitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, iman yang
benar-benar sebagai aspek keyakinan berkorelasi positif dan memberi pengaruh kuat dan signifikan
terhadap kualitas kehidupan sosial dan kemanusiaan. Berdasarkan riwayat hadits dari berbagai jalur
periwayatan (sanad), Rasulullah secara eksplisit menjelaskan keterkaitan antara iman dan
kehidupan sosial.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu
perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu
itu termasuk bagian dari iman Zainuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi’i al-Kusyni al-Malibari
pengarang Qâmi’ atThugyân ‘alâ mandzûmâti syu’ab al îmân yang diberi syarah oleh Muhammad
Nawawi Ibn Umar mengatakan bahwa cabang iman ada 77 cabang. Sedangkan menurut Ibn Hajar
dalam kitab Fath al-Bârî mengatakan bahwa berdasarkan informasi dari Ibn Hibban Ia mengatakan
bahwa cabang keimanan dibagi beberapa cabang berdasarkan pengelompokan: perilaku hati,
perbuatan lisan, dan perbuatan badan. Perilaku hati yang berkaitan dengan keyakinan dan niat
terbagi menjadi 24 cabang keimanan, cabang keimanan yang berkaitan dengan amal lisan ada 9
cabang dan perbuatan badan ada 38 cabang keimanan. Berikut uraian tentang cabang-cabang
keimanan:
34
Amalan-amalan yang berhubungan dengan Hati mencakup 24 macam :
1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada Malaikat Allah
3. Beriman kepada kitab-kitab Allah
4. Beriman kepada Rasul-Rasul Allah
5. Beriman terhadap taqdir Allah
6. Beriman terhadap hari kiamat
7. Cinta kepada Allah
8. Cinta dan benci karena Allah
9. Cinta kepada Rasulullah
10. Ikhlas
11. Taubat
12. Takut akan adzab Allah
13. Mengharap ridha dan pahala dari Allah
14. Syukur kepada Allah
15. Memenuhi janji untuk taat kepada Allah
16. Sabar
17. Ridha terhadap ketentuan/takdir Allah
18. Tawakkal kepada Allah
19. Kasih sayang
20. Tawadhu’ hormat kepada yang lebih tua dan saying kepada yang lebih muda
21. Meninggalkan perangai sombong
22. Meninggalkan dengki
23. Meninggalkan perangai marah
Amalan Lisan mencakup 7 macam :
1. Melafalkan kalimat tauhid “la ilaha illallah
2. Membaca (mengagungkan dan memulyakan) al-Qur’an
35
3. Menuntut ilmu
4. Mengajarkan ilmu
5. Berdo’a
6. Berdzikir termasuk istighfar
7. Menjauhi perkara-perkara yang tidak bermanfaat/senda gurau Amala
8. Badan/anggota tubuh, mencakup 38 macam
Amalan badan yang berhubungan dengan ittiba’ Rasulullah, ada 7 macam :
1. Berupaya untuk menikah
2. Melaksanakan hak-hak keluarga (istri, anak dan lainnya).
3. Berbakti kepada orang tua, termasuk tidak boleh durhaka kepada orang tua
4. Mendidik anak
5. Menyambung tali kekerabatansilaturrahmi
6. Taat kepada pemimpin
7. Berlemah lembut kepada orang lain
Amalan badan yang berhubungan dengan kemasyarakatan, ada 17 macam :
1. Menegakkan kepemimpinan yang adil
2. Mengikuti al-jama’ah/kebenaran
3. Taat kepada pemerintah muslim
4. Mendamaikan antara pihak yang bertikai atau sebagai mediator untuk perdamaian
5. Tolong menolong dalam kebaikan termasuk amar ma’ruf nahi munkar
6. Menegakkan hudud atau hokum-hukum Allah
7. Jihad termasuk berjaga-jaga di perbatasan musuh
8. Menyampaikan amanat yang dibebankan kepadanya
9. Pinjam meminjam dengan orang lain
10. Membantu memuliakan tetangga
11. Berbuat baik dalam bermu’amalah, termasuk mengumpulkan harta yang halal
12. Menginfakkan harta kepada yang berhak menerima
36
13. Menjawab salam
14. Mendoakan orang bersin
15. Menolak gangguan dari orang lain
16. Menjauhi hal-hal yang tidak ada manfaatnya
17. Menyingkirkan duri dari jalan
Keseluruhan jumlahnya ada 69 cabang iman, bisa juga dihitung menjadi 79 kalau bagian-bagiannya
dimasukkan pula (Al-Asqalani, n.d., pp. 52–53).
Namun kita dapat mengambil pengertian lain dari jumlah cabang iman yang banyak itu. Jumlah itu
merupakan tanda dari keluasan jangkauan atau ruang lingkup iman. Bisa dikatakan bahwa iman
meliputi seluruh dimensi lini dan nafas kehidupan manusia, baik ketika melakukan relasi dengan
Tuhannya maupun relasi sesama hamba dan lingkungannya, secara individual maupun kolektif.
Maka disini penulis akan menyampaikan hadits-hadits yang berkaitan dengan aspek sosial
kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana operasional iman dalam aktivitas sosial
sehari-hari sebagaimana terekam dalam literature-literatur hadits. Tentu sangat banyak segi-segi
sosial kemanusiaan yang terekam dari kehidupan pribadi Rasulullah, yang menjadi model (uswah
dan qudwah) dan behavior (sunnah) bagi umatnya. Paling tidak kita dapat mengambil nilai-nilai
esensial yang bersifat universal, sehingga memungkinkan untuk dimanifestasikan dalam konteks
kehidupan.
Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata, bersabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang menolong
seorang mukmin dari suatu kesusahan niscaya Allah akan menolongnya dari kesusahan-kesusahan di
hari kiamat, dan siapa saja yang memberikan kemudahan pada orang yang mengalami kesulitan
niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat, dan siapa saja yang menutupi (cela/aib)
seorang muslim niscaya Allah akan menutupi (aib/cela)-nya di dunia dan akhirat, dan Allah
senantiasa menolong hambanya selagi ia masih mau menolong saudaranya”.
Siapa yang membantu seorang muslim dalam menyelesaikan kesulitannya, maka akan dia dapatkan
pada hari kiamat sebagai tabungannya yang akan memudahkan kesulitannya di hari yang sangat sulit
tersebut. Sesungguhnya pembalasan disisi Allah ta’ala sesuai dengan jenis perbuatannya. Berbuat
baik kepada makhluk merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala. Meluruskan niat
dalam rangka mencari ilmu dan ikhlas di dalamnya agar tidak menggugurkan pahala sehingga amal
dan usahanya sia-sia. Memohon pertolongan kepada Alla ta’ala dan kemudahan dari-Nya, karena
ketaatan tidak akan terlaksana kecuali karena kemudahan dan kasih sayang-Nya (Nawawi, n.d., p.
105).
Membantu kesusahan orang lain sangat luas maknanya, bergantung pada kesusahaan yang diderita
oleh saudaranya seiman tersebut. Jika saudaranya termasuk orang miskin, sedangkan ia termasuk
orang berkecukupan atau kaya, ia harus berusaha menolongnya dengan cara memberikan pekerjaan
atau memberikan bantuan sesuai kemampuannya; jika saudaranya sakit, ia berusaha menolongnya,
antara lain dengan membantu memanggilkan dokter atau memberikan bantuan uang semampunya
guna meringankankan biaya pengobatannya; jika saudaranya dililit utang, ia berusaha untuk
37
mencarikan jalan keluar, baik dengan memberikan bantuan agar utangnya cepat dilunasi, maupun
sekedar memberikan arahan-arahan yang akan membantu saudaranya dalam mengatasi utangnya
tersebut dan lain-lain (Syafe’I, 2000, pp. 252–253).
Adapun buah yang terbesar yang akan didapatkan seorang muslim, karena usahanya dalam
membantu saudaranya yang lain adalah bantuan dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam sabda
Rasullah saw., “Allah tetap akan menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya seorang
muslim.” (Musthafa Dieb Al-Bugha, n.d., p. 337).
Pertolongan yang diberikan seorang mukmin kepada saudaranya, pada hakikatnya adalah menolong
dirinya sendiri. Hal ini karena Allah pun akan menolongnya, baik di dunia maupun di akhirat selama
hamba-Nya mau menolong saudaranya. Dengan kata lain, ia telah menyelamatkan dirinya sendiri
dari berbagai kesusahan dunia dan akhirat.
Maka orang yang suka menolong orang lain, misalnya dengan memberikan bantuan materi,
hendaknya tidak merasa khawatir bahwa ia akan jatuh miskin atau ditimpa kesusahan. Sebaliknya,
dia harus berpikir bahwa segala sesuatu yang ia miliki adalah milik Allah SWT. Jika Dia bermaksud
mengambilnya maka harta itu habis. Begitu juga jika Allah bermaksud menambahnya, maka seketika
akan bertambah banyak.
PENUTUP
KESIMPULAN
Iman adalah memebenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengerjakan dengan
anggota badan. Keimanan seseorang harus dipelihara karena kadar iman tersebut dapat bertambah
dan berkurang. Banyak hal yang dapat dilakukan agar keimanan tersebut dapat bertambah, salah
satunya amar ma`ruf nahi munkar yaitu berbuat kebaikan dan mencegah keburukan. Keimanan
seseorang juga dapat berkurang jika seseorang itut tidak mau beribadah kepada Allah,dzat yang
Maha Menciptakan segala sesuatu yang ada dibumi ini. Untuk itu sudah selayaknya sebagai hamba
Allah harus memelihara kadar keimanan yang telah dimiliki diantaranya adalah sholat tepat waktu
dan lain sebagainya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Syarifah, Bidayatus. 2020. Analisis Berkurangnya Iman dengan Dosa dan Maksiat. Journal of
Indonesia Hadith Studies. Vol 1 (1). him: 67-69
Bahren Abidin Susanti Rina. 2020. Pengaruh Iman Terhadap Konsumsi Barang Atau Jasa. The
Renewar of Islamic Economic Law. Vol 1 (1), hlm: 46-48
Saumantri, Theguh & Ulinnuha, Rifqi. 2021. Aktualisasi Nilai Spiritual dalam Menghadapi Cocid-
19. Jurnal Studi Hadis Nusantara. Vol 3 (1). hlm.: 4.
Ahsanulkhaq, M. (2019). Membentuk Karakter Religius Peserta Didik Melalui Metode
Pembiasaan. Jurnal Prakarsa Paedagogia, 2(1), 21–33.
Dzamawy. (2021). Naik Turunnya Iman: Sebuah Refleksi Muslim dalam Mencintai Tuhannya.
Intera.
Lestari, D. (2020). Pendidikan Keimanan dalam Al-Qur’an Surah al-Ikhlas. UIN Raden Intan Lampung.
Sukmasari, D. (2020). Konsep Kesejahteraan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an. At-
Tibyan: Journal of Qur’an and Hadis Studies, 3(1), 1–16.
Darmalaksana, W. (2020). Formula Penelitian Pengalaman Kelas Menulis.
Al-Asqalani, A. ibn A. ibn H. (n.d.). Fath al-Bari. (2021). Syarah Sahih al-Imam Abu Abdullah
ibn Isma’il al-Bukhari. Beirut: al-Muktabah al-Salafiyah.
Yusuf, M. (2019). Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits Relasi Iman dan Sosial Humanistik
Paradigma Integrasi Interkoneksi. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Yogya.
Zakariyya, A. al-H. A. ibn F. ibn. (2020). Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah. Beirut: Dar alFikr.
Ali, N. (2022). Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: CESai YPI
alRahmah.
39
BAB IV
TEKNIK MENINGKATKAN IMAN
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Karunia terbesar dari Allah SWT kepada hamba-Nya adalah karunia Iman. Iman bukanlah sesuatu
yang tetap dalam diri seeorang, ia senantiasa bergejolak, naik dan turun mengikuti kualitas tertentu
pada diri orang itu untuk menjaganya. Tentunya kita sebagai orang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT, senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas iman dengan melaksanakan semua
perintah-Nya serta meninggakan dan menjauhi semua larangan-Nya, agar iman kita tetap terjaga.
Naik turunnya Iman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya merupakan suatu gejala yang kerap dirasakan
oleh seluruh manusia. Walau sejatinya manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam bentuk yang sebaik-
baiknya (At- Tin ayat 4) , akan tetapi pada kenyataannya manusia tidak luput dari salah dan dosa.
Namun sebagai manusia kita mesti berusaha untuk menjaga keimanan tersebut.
Generasi milenial merupakan generasi yang memiliki keterbukaan dengan segala bentuk
informasi. Generasi milenial bukan hanya membentuk pola pikir yang hanya stay tapi lebih bergerak
dalam perkembangan kreativitas, inovatif, dan menanggapi segala bentuk keilmuan yang
baru.Namun, yang perlu dicanamkan adalah bagaimana generasi milenial ini tetap memiliki
pemikiran yang dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Generasi milenial harus memiliki iman dan taqwa yang kuat sebagai benteng dalam menghadapi
segala macam perubahan Hal ini akan menuntun seluruh umat untuk bisa mendapatkan tiga nikmat.
Diantaranya yaitu: nikmat hidup, nikmat merdeka, dan nikmat iman.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep bertambah dan berkurangnya iman dalam perspektif islam?
2. Bagaimana teknik meningkatkan iman?
3. Bagaimana implikasi QS.Qof: 16-18 tentang kewajiban menjaga lisan sebagai bentuk
meningkatkan iman?
4. Apa manfaat iman?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep bertambah dan berkurangnya iman dalam perspektif islam.
2. Untuk mengetahui teknik meningkatkan iman.
40
3. Untuk mengetahui implikasi dari QS.Qof:16-18 tentang menjaga lisan sebagai bentuk teknik
meningkatkan iman.
4. Untuk mengetahui seberapa pentingnya iman
PEMBAHASAN
A. Konsep Bertambah dan Berkurangnya Iman dalam Perspektif Islam
1. Pengertian Iman
Lafal al-iman adalah bentuk masdar aamana-yuaaminu-iimaanan. Para pakar bahasa dan ulama
sepakat bahwa makna al-iman adalah “at- tashdiq” yaitu membenarkan. Sedangkan al-iman
menurut syariat adalah membenarkan dengan hati semua yang dibawa oleh Rasulullah.
Iman adalah membenar dengan hati serta membuktikan kebenarannya secara zahir dan
menyempurnakannya dengan beramal soleh. Konsep Iman bertambah dapat dibuktikan secara nas
yang jelas, manakala konsep iman berkurang pula dapat diperkukuhkan dengan neraca kaedah
kelaziman atau kemestian dan kelompok kata umum dan khusus.
2. Pandangan Ulama Tentang Bertambah dan Berkurangnya Iman
Imam Ahmad bin Hanbal (t.th.: 15) percaya bahawa iman itu bertambah dan berkurang karena
beliau berkeyakinan bahawa setiap yang bertambah akan berkurang. Seterusnya, beliau sandarkan
kepercayaan beliau kepada firman Allah Taala dalam QS.At- Taubah:124
“Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang- orang munafik) ada yang
berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?”
Adapun orang yang-orang yang beriman, maka surah ini menambahi imannya, dan mereka merasa
gembira. Menurut beliau (1991: 6: 3390) Al-Sya’rawi pandangan iman bertambah dan berkurang
adalah berdasarkan beriman kepada hukum yang diturunkan oleh Allah Taala sebagaimana firman-
Nya pada ayat 124, surah al-Taubah (9). Setiap kali diturunkan hukum baru maka bertambahlah
iman orang-orang Islam dengan beriman kepada hukum tersebut serta menjalaninya.
Abdurrahman Habanakah, “Pokok-Pokok Kaidah Islam “ (Jakarta:Gema Insani,1998),Hal 77 .Nik
Muhammad Syukri Nik Wan“Konsep Bertambah dan Berkurangnya Iman Menurut Perspektif Islam”
Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari, Bil. 9 Januari 2015.Hal 18 Al-Qur’anul Karim dan
Terjemah, QS:At-Taubah
41
B. Teknik Meningkatkan Iman
1.Lebih Akrab dengan Al-Qur’an atau Mentadabburi Al-Qur’an
Orang yang bertadabur al-Quran diindikasikan meningkat imannya jika dibacakan al-Quran. Allah
dalam (Q.S. al-Anfal *8+: 2) berfirman yang artinya “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakal”.
Secara umum, ayat di atas menggambarkan tiga tanda orang yang beriman, yaitu mereka yang (a)
gemetar hatinya bila disebut nama Allah,(b) bertambah atau meningkat imannya bila dibacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, dan (c) bertawakkal hanya kepada kepada Allah.
Sekaitan dengan konteks tadabur, kita fokuskan perhatian kita pada penggalan ayat "dan apabila
dibaca-kan ayat-ayat Allah maka bertambahlah iman mereka". Penggalan ayat ini dapat dipahami
bahwa orang yang sungguh-sungguh membaca ayat-ayat Allah (al-Quran),yang antara lain dengan
cara mentadabburkannya akan berdampak pada meingkatnya keimanan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa indikator orang yang mentadabburi Al-Qur’an akan bertambah imannya.
2. Tafakkur
Tafakur atau berpikir secara terminologis adalah nama untuk proses kegiatan kemampuan akal
pikiran di dalam diri manusia, baik yang berupa kegiatan hati, jiwa, atau akal melalui nalar dan
renungan. Tujuannya untuk mencapai makna-makna yang tersembunyi dari suatu masalah, atau
ketetapan hukum, atau asal usul korelasi antar permasalahan. Tafakur adalah proses mengamati,
menganalisis, dan merenungkan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Dari proses tersebut,
lahirlah pendapat atau kesimpulan yang mampu mendekatkan diri kita pada Allah SWT. Tafakur
adalah proses mengamati dan merenungkan semua ciptaan Allah SWT yang ada di muka bumi,
sehingga mampu mengokohkan keimanan. Ujung dari orang yang senantiasa bertafakur adalah ia
akan tercengang dan terkagum-kagum akan kekuasaan Allah SWT yang tidak terhingga.
3. Banyak Berdzikir
Moh. Sholeh menjelaskan bahwa ajaran Islam menganjurkan agar manusia selalu berdzikir kepada
Allah, karena dengan dzikir hati akan menjadi tenang dan damai (Tathmainnul Qulb).
“Tiga perkara yang dapat menghilangkan kegundahan (pikiran stres) yaitu dzikir (mengingat) kepada
Allah SWT, silaturahim kepada para wali dan memperhatikan perkataan para Ulama”.
Karena tidak ada jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat kecuali dengan
tuntunannya. Tidak ada jalan untuk mengetahui baik dan buruk secara mendetail kecuali darinya
Maka kalau seseorang memperhatikan sifat dan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
Al Quran dan Al Hadits, niscaya dia akan mendapatkan manfaat dengannya, yakni ketaatannya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat, dan bertambah cintanya kepada beliau. Itu
adalah tanda bertambahnya keimanan.
42
4. Mempratekkan (Mengamalkan) Kebaikan-kebaikan Agama Islam
Ketahuilah, sesungguhnya ajaran Islam itu semuanya baik, paling benar aqidahnya, paling terpuji
akhlaknya, paling adil hukum- hukumnya.
Dari pandangan inilah Allah menghiasi keimanan di hati seorang hamba dan membuatnya cinta
kepada keimanan, sebagaimana Allah memenuhi cinta-Nya kepada pilihan-Nya, yakni Nabiyullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat QS. Al Hujurat *49+: 7).
Maka iman di hati seorang hamba adalah sesuatu yang sangat dicintai dan yang paling indah. Oleh
karena itu, seorang hamba akan merasakan manisnya iman yang ada di hatinya, sehingga dia akan
menghiasi hatinya dengan pokok-pokok dan hakikat-hakikat keimanan, dan menghiasi anggota
badannya dengan amal-amal nyata (amal sholih).
5. Memperbaiki Shalat
Cara pertama untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT., adalah dengan
memperbaiki shalat. Melaksanakan shalat secara lengkap ( 5 waktu ) saja tidak cukup untuk
meningkatkan iman dan ketakwaan bila tidak dilakukan dengan khusyuk. Perintah untuk
mengerjakan shalat pun sangat jelas sekali, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Dan shalat dapat
mencegah dari perbuatan keji dan munkar, sehingga dengan demikian shalat dapat meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Jadi tugas kita sekarang ialah memperbaiki shalat
kita sekaligus memperbanyaknya. Untuk itu sekali lagi kita mesti mujahadah. Hanya dengan
mujahadah kita dapat meningkatkan iman dan memperbanyak amal sholeh. Serta hanya dengan
iman dan amal sholeh saja kita akan dapat membangun dan menghias rumah kita di akhirat nanti.
6. Bergaul dengan orang shaleh
Salah satu cara meningkatkan iman dan takwa yaitu bergaul dengan orang shaleh. Orang shaleh
memupuk iman, sedangkan bersamanya maka kita akan termotivasi dan semangat menjalankan
segala printah-perintah Allah. Manusia makhluk sosial, membutuhkan teman dan pendampingan
agar hidupnya berwarna dan terdapat dorongan yang berasal dari luar. Carilah orang-orang yang
shaleh. Bentuklah interaksi bersamanya dan biarkan kita bersosialisasi dan saling mengingatkan
kebaikan dengan mereka untuk membantu kita tetap dalam keimanan kepada Allah SWT.
7. Menjalankan Puasa Daud secara Istiqomah
Berlainan halnya dengan puasa Ramadhan. Puasa wajib ini, ditinjau dari segi kebersamaan, jauh
lebih enak dan nyaman dalam menjalankannya, dan pahalanya lebih besar di sisi Allah SWT. ringan
dan nyamannya puasa Ramadhan dikarenakan situasi dan kondisi lingkungan yang mendukung
untuk berpuasa. Semua umat islam yang mengaku beriman kepada Allah SWT. pasti menjalankan
ibadah wajib ini dengan sungguh-sungguh. Bahkan, apabila ada diantara umat islam yang tidak
menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, maka ia kemungkinan akan dikucilkan dari
pergaulan hidup islami. Terlepas dari berat atau tidaknya menjalankan Puasa Daud, sebenarnya yang
terpenting dan lebih utama adalah niat untuk selalu meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah
SWT. Bagi laki-laki muslim, setiap Jum’at pasti mendengarkan imbauan sang khatib untuk selalu
meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Bagi kaum hawa (perempuan), banyak mengikuti
liqa’ atau majelis-majelis ta’lim di berbagai masjid yang bisa diikuti. Hal ini menjadi penting karena
43
realitas iman dan takwa manusia itu selalu mengalami pasang surut, terkadang naik dan terkadang
pula turun. Manusia yang wajar dan masih dikaruniai sifat salah dan lupa pasti mengalami pasang
surutnya iman. Menyadari keberadaan kita sebagai manusia biasa yang mengalami pasang surutnya
iman dan takwa, sudah seharusnya kita meningkatkan iman dan takwa secara terus-menerus.
8. Selalu Bersyukur
Bersyukur juga bisa menjadi cara meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Kita ridha
dengan pemberian Allah SWT. Dalam urusan dunia, kita memandang orang-orang yang berada di
bawah kita sehingga bisa meningkatkan rasa syukur.
“ Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan
sabar. Dalam urusan agama ( Ilmu dan Ibadah ) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan
mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada
Allah bahwa dia masih diberi kelebihan,” (HR.Tirmizdi).
9. Menikmati Hidup yang Allah Berikan
Iman dan taqwa yang kuat serta senantiasa meningkat hanya akan didapatkan oleh orang-orang
yang menikmati hidup dari Allah SWT. Mereka akan mendapatkan keimanan dan ketaqwaan karena
merasakan hidup yang penuh syukur, nikmat, pertolongan Allah, dan rezeki. Mereka yang
merasakan ini tentu akan mendapatkan kenikmatan hidup dunia dan akhirat.
Nik Muhammad Syukri Nik Wan “Konsep Bertambah dan Berkurangnya Iman Menurut Perspektif
Islam” Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari, Bil. 9 Januari 2015.Hal 187 Al-Qur’anul Karim dan
Terjemah, QS:Al-Anfal.
44
10. Menjauhi Lingkungan yang Buruk
Jika kita merasa belum bisa untuk beradabtasi dan menghindari segala kemaksiatan, maka pilihan
kita bisa menjauhi lingkungan tersebut sampai kekuatan iman dan taqwa kita meningkat. Menjaga
diri lebih baik ketimbang harus tetap berada dalam lingkungan yang membuat diri kita semakin
memburuk. Akan tetapi, menjauhi lingkungan yang buruk bukan berarti kita harus bersikap eksklusif
sehingga tidak ada interaksi sosial dengan manusia lainnya. Allah sendiri menyuruh kita untuk
bersosialisasi dan bersyiar agar tercitrakan islam yang baik di masyarakat.
11. Mentadaburi Alam Semesta
Alam semesta jagad raya ini adalah milik Allah SWT. Untuk itu, mentadaburi alam semesta juga salah
satu Cara Meningkatkan Iman dan Taqwa. Aktivitas ini membuat kita semakin yakin dan takjub akan
segala ciptaan Allah SWT. Dengan mempelajari kebesaran Allah dan segala isinya, maka keyakinan
dan ketaqwaan kita kepada Allah juga akan semakin meningkat.
Hal ini juga disampaikan Allah dalam QS Fushilat ayat 37, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah
Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.”..
12. Bersedekah
Bersedekah dapat diartikan pemberian seorang muslim kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Dengan bersedekah di bulan ramdhan ini kita dapat
mendapatkan keberkahan serta dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan .
C. Implikasi QS.Qof: 16-18 tentang kewajiban menjaga lisan sebagai bentuk meningkatkan iman
Lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Lisan merupakan anggota
badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan anggota badan yang lain. Akan tetapi, ia dapat
menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penduduk surga atau bahkan dapat menyebabkan
pemiliknya dilemparkan ke dalam api neraka.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya,
karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele
namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang artinya
________________________
Dr.H.Abas Asyafah,M.pd, “Konsep Tadabbur Al-Qur’an” (Bandung : CV.Maulana Media Grafika,2014)
Hal 56-57 Ahmad Zainal Abidin, ” Ajaibnya Tafakkur dan Tasyakur untuk Percepatan
Rezeki”,(Jogjakarta: Sarifah, 2014), hlm.8
Moh. Sholeh, “ Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Terapi Religius”
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). hlm 27
45
“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridhoan Allah, namun
dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan
sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun
dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api
neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Serta dalam FirmanNya Allah yang artinya ; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Qotadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak
melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan
‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-
jawaban atas semua hal tersebut.”
Ibnu katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu.
Iman adalah beriman atau percaya yang artinya mengakui atau yakin bahwa (sesuatu yang
dipercayai) itu memang benar atau nyata adanya.
Menjaga lisan merupakan bentuk keimanan manusia kepada Allah, yaitu dengan menjauhi
perkataan yang bathil yang dapat menimbulkan keburukan, oleh sebab itu seperti yang sudah di
jelaskan diatas bahwa apabila seseorang telah mampu menjaga lisan desertai dengan iman, maka ia
telah membebaskan dirinya dari kerugian total.
Berikut hasil analisis pendidikan terhadap esensi Q.S Qaaf ayat 16-18 :
1. Setiap perbuatan dan ucapan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah SWT. yang dikiaskan
dengan lebih dekat dari urat leher nadinya sendiri.
Allah menciptakan manusia dibekali dengan akal fikiran sehingga manusia dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Pada kenyataannya, meskipun setiap manusia diberikan
keistimewaan yang yang sama oleh Allah, akan tetapi tiap-tiap orang memanfaatkannya dengan
berbeda-beda. Seperti halnya ucapan atau lisan, ada yang menggunakan untuk ucapan yang positif,
dan ada pula yang menggunakan untuk ucapan negatif. Apabila digunakan untuk ucapan yang
negatif, maka manusia akan berada dalam kerugian, kebinasaan, kekurangan dan kesesatan baik itu
di dunia maupun di akhirat.
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al- ‘Uqala wa Nazhah Al-
Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena
betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang
yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya
senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika
dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan
tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia
46
akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara
apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti
tidak paham terhadap agamanya”.
Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan :”Apabila dia ingin berbicara hendaklah berfikir dahulu. Bila jelas
maslahatnya, maka berbicaralah, dan jika dia ragu, maka janganlah dia berbicara hingga nampak
maslahatnya.
2. Upaya setiap mukmin dalam memelihara lisannya, menunjukkan kualitas Imannya
Manusia yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Iman menimbulkan keyakinan bahwasannyan sesudah hidup yang sekarang ada lagi hidup. Itulah
hidup yang sebenarnya, hidup yang kekal. Iman yang telah tumbuh dalam jiwa dan telah menjadi
keyakinan, dengan sendirinya menimbulkan perbuatan yang baik.
Iman dengan Islam sangatlah erat hubungannya. Iman ibarat pondasi suatu bangunan, sedang amal-
amalan islam ; sholat, zakat, puasa dan haji merupakan tiang- tiang penyangga bangunan yang
melekat berbagai perlengkapan bangunan yang disebut dengan amal shaleh.
Keimanan tidak hanya ungkapan yang dilafalkan diujung lidah saja, dan juga bukan keyakinan yang
terdapat dalam hati, tanpa bukti pengamalan yang nyata yang tercermin dalam sikap dan perilaku
sehari-hari. Iman yang benar dan tepat ialah keyakinan yang mantap dalam hati, yang telah
mendarah daging dalam diri seseorang, dan bekasnya memancar dalam segala gerak tindak-tanduk
dan perbuatan. Karena iman dalam hati, manusia tidak dapat mengukur nilai dan kadar keimanan
seseorang.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi 1988 : 39-40 seorang yang beriman harus mengerti bahwa waktu itu
menuntut aktivitas hati, lisan dan perbuatan untuk kepentingan jiwa dan raganya, yang
dilaksanakannya dengan sepenuh hati agar tercapai apa yang diinginkan, dan mendapat ganjaran
disisi Allah. Maka yang terpenting seseorang itu dapat berbuat apapun pada saat kapanpun.
Beberapa hal yang harus dilakukan manusia untuk meningkatkan keimanan yaitu sebagai berikut :
Memperbanyak membaca Al-Qur’an dan renungkan maknanya; mempelajari ilmu mengenai Asma’ul
Husna, mempelajari sifat-sifat yang Maha Agung; mempelajari dengan cermat sejarah (siroh)
kehidupan Rasulullah SAW.; mempelajari jasa-jasa dan kualitas Agama Islam; mempelajari
kehidupan orang-orang shaleh (generasi shalafus sholihin, para sahabat Rasulullah SAW. murid-
murid para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in); merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada
di alam (ma’rifatullah); berusaha keras melakukan amal perbuatan yang baik secara ikhlas.
Selain itu juga, menjaga/memelihara lisan akan menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Manusia
harus menyadari bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan sebuah tantangan, dan
kebahagiaan ini bisa diraih apabila seseorang bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dalam
lingkungan pergaulannya dengan baik.
Salah satu faktor terpenting untuk menjalin komunikasi yang baik dalam lingkungan pergaulan
adalah dengan menjauhi segala bentuk dari beragam bahaya lidah. Lidah (mulut) sebenarnya adalah
salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia sebagai alat bantu menerjemah dan
menyampaikan pengetahuan dan keimanan. Keimanan dan kekufuran seseorang tiada terang dan
47
jelas selain dengan kesaksian lidah tersebut. Lidahlah yang menghubungkan manusia dengan
manusia, yang memberi suara semua pikiran dan cita. Lidah dapat mempesona masyarakat dan
massa, lidah juga bisa membuat orang yang merasa sedih menjadi senang dan gembira.
Adapun implikasi pendidikan yang dapat diambil dari ayat yang dibahas adalah:
1. Menjaga lisan dari segala ucapan yang tidak bermanfaat
Tanda kesempurnaan Islam dan Iman seseorang salah satunya adalah dengan jalan menjaga lidah
dari segala sesuatu ucapan yang tidak memberikan manfaat serta faedah. Karenanya barang siapa
yang bisa menjaga lidahnya, maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan dan keselamatan
di dunia dan di akhirat.
2. Tidak lalai terhadap bahaya lisan
Penyebab seseorang terjerumus pada bahaya lisan karena ketidaktahuan tentang bahaya dan
dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh perkataannya tersebut. Orang yang tidak mengetahui
suatu perbuatan, tentu akan melakukan perbuatan itu terus-menerus, hingga akhirnya tanpa
disadari perbuatan itu menjadi tabi’at dan kepribadiannya.
3. Iman seseorang hendaknya menjadi tolak ukur dalam dirinya yang selalu mencerminkan perilaku
dan perkataan baik.
Manusia dalam kehidupan selalu yakin bahwa apa yang telah dilakukan dan diucapkannya akan
mendapatkan balasan dari Allah atas apa yang telah ia perbuat dan ucapkan selama menjalani
kehidupan. Manusia mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain, agar apa yang
dilakukannya menjadi bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
Setelah mengkaji dan meneliti tentang kewajiban menjaga lisan dalam Q.S.Qaaf ayat 16-18 dalam
wujud meningkatkan keimanan seorang muslim, maka dapatdiperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Pendapat para mufassir tentang Q.S.Qaaf ayat 16-18
Pada ayat ini Allah SWT. menjelaskan sifat manusia yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji
yaitu :
A. Allah SWT. yang maha kuasa yang telah menciptakan manusia, ilmu pengetahuanNya,
membangkitkannya karena dialah yang menciptakannya. Kemudian Allah menunjukkan
keistimewaan manusia daripada makhluk lain bahwa manusia mempunyai akal, pikiran, budi pekerti,
perasaan, keinginan, cita-cita dan angan-angan . Dan Allah mengetahui segala sesuatu yang
dibisikkan didalam hatinya baik itu kebaikan ataupun keburukan.
B. Allah SWT. lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri, Allah lebih tau tentang
urat nadi leher, urat leher menggambarkan genggaman Penguasa dan pengawasan-Nya langsung. Itu
hanya perumpamaan tentang dekatnya Allah kepada manusia.
C. Selain Allah yang berada di dekat manusia, yang mengetahui setiap gerak-gerik manusia, ada pula
dua malaikat yang berada dikanan dan di kiri kita, yang bertugas mencatat amalan baik dan amalan
buruk manusia.
48
D. Setiap aktivitas manusia, gerak-gerik, desas-desus manusia akan dicatat oleh dua malaikat yang
duduk disebelah kanan untuk mencatat amalan yang baik dan yang duduk disebelah kiri untuk
mencatat amalan yang buruk.
E. Tidak akan ada yang luput satu pun dari pengawasan malaikat, dan semuanya akan dicatat oleh
malaikat yaitu malaikat Raqib yang mencatat amalan baik dan ‘Atid yang mencatat amalan buruk
atau tercela.
D.Manfaat Iman
1. Iman sebagai Penerang
Sebagaimana iman merupakan cahaya yang menyinari manusia dan memperlihatkan tulisan ilahi
yang tertera padanya,ia juga menyinari seluruh alam. Ia menyelamatkan masalalu dan masa yang
akan datang dari kegelapan pekat. Sebuah perumpamaan dengan berlandaskan pada salah satu
Firman Allah QS.Al-Baqoroh(2):257 yaitu :
Artinya : “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya (iman)”.
2. Iman sebagai Kekuatan
Disamping merupakan cahaya , iman juga merupakan kekuatan. Manusia yang mendapatkan iman
hakiki mampu menantang seluruh alam dan berlepas diri dari himpitan berbagai peristiwa. Dengan
bersandar pada kekuatan imannya, ia bisa berlayar diatas bahtera,
kehidupan ditengah gelombang berbagai peristiwa yang dahsyat dengan aman dan selamat seraya
berkata “Aku bertawakkal kepada Allah”. la titipkan seluruh beban beratnya kepada kekuasaan
qudrat Dzat Yang Mahakuasa. Dengan itu, ia menempuh kehidupan dunia dalam kondisi tenang,
mudah, dan lapang hingga sampai ke alam barzakh dan istirahat di sana. Dari sana ia bisa terbang
menuju surga untuk memasuki kebahagiaan abadi. Namun jika manusia tidak bertawakkal, maka
bukan hanya tidak bisa mengepak sayap dan terbang menuju surga, tetapi juga beban yang berat itu
akan menyeretnya menuju tingkatan yang paling rendah.
3. Iman Melahirkan Manusia Sejati
Iman membuat manusia menjadi insan sejati. Bahkan menjadikannya sebagai penguasa. Karena itu,
tugas utamanya adalah beriman kepada Allah dan berdoa kepada-Nya. Sebaliknya, kekufuran
membuat manusia menjadi binatang buas yang sangat lemah.
4. Sebagai Petunjuk Kebenaran
Di tengah pandangan ateisme dan sekularisasi, seorang muslim perlu mengikuti jalan-jalan orang
yang beriman. Sebagaimana dalam QS.Al-Hajj:54 yang artinya “ Dan sungguh, Allah pemberi
petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”. Serta dalam firmanNya Allah
dalam QS.Yunus:9 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal solih, niscaya
diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimannya” dan dalam dalam QS.Taghabun:11 yang
49