artinya “Dan barang siapa yang menerima musibah kecuali atas kehendak Allah SWT, dan barang
siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”. As-Syaukani
dalam tafsirnya “ Seseorang yang ditimpa musibah, maka ia mengetahui bahwasanya itu adalah dari
Allah, lalu dia ridho dan atasnya keselamatan”.
5. Kehidupan yang Baik
Sebagaimana dalam QS.An-Nahl:97 yang artinya “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan” serta dalam hadis dari Ubaidillah bin Mihshon Al Khomthi RhodiyaAllahu Anhu, Rasulullah
SAW bersabda
َ" َم َْنَأَ ْص َب َحََ ِم ْن ُك َْمَآ ِم ًناَ ِفًَ ِس ْر ِب ِهََ ُم َعا ًفىَ ِفًَ َج َس ِد َِهَ ِع ْن َدهََُقُو ُتََ ٌَ ْو ِم ِهََ َف َكأَ َّن َماَ ِحٌ َز َْت:ََۚ
لَ ُهََال ُّد ْن ٌَاَ ِب َح َذافٌِ ِر َها
“Barangsiapa di antara kamu menjadi aman dalam makannya cukup, sehat dalam tubuhnya,
memiliki makanan sehari-harinya, seolah-olah seluruh dunia dimiliki untuknya”
6. Mendapatkan Penolong
Sebagaimana dalam QS.Al-Baqoroh;257 yang artinya “Allah pelindung orang yang beriman”. Serta
dalam QS.Al-Maidah:56 yang artinya “Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-
orang beriman sebagai penolongnya,maka sungguh agama (Allah) itulah pemenang”.
7. Mendapatkan Keberkahan
Sebagaimana dalam QS.Al-A’rof:96 yang artinya “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan
bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
8. Mendapatkan Kekuatan
Sebagaimana dalam QS.Al-Munafiqun:8 yang artinya “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah,
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin” Dia memiliki martabat sesuai dengan apa yang dia miliki
tentang iman dan realitasnya, jadi jika dia melewatkan sebagian dari keagungan dan kemuliaan,
maka sebagai imbalan atas apa yang dia lewatkan dari realitas iman, baik dalam pengetahuan
maupun dalam tindakan, lahiriah dan ke dalam.
9. Mendapatkan Kemenangan
Sebagaimana dalam QS.Ghafir:51 yang artinya “Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami
dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari
Kiamat)”.
Dalam versi buku lain disebutkan manfaat iman yaitu sebagai berikut:
1. Keimanan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda.
2. Keimanan menanamkan semangat berani menghadapi maut.
50
3. Keimanan menanamkan sikap self help dalam kehidupan.
4. Keimanan memberikan ketentraman jiwa.
5. Keimanan mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah).
6. Keimanan melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7. Keimanan memberikan keberuntungan dalam kehidupan.
Demikianlah manfaat dan pengaruh keimanan dalam kehidupan manusia, bukan hanya sekedar
kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi kekuatan yang mendorong dan
membentuk sikap dan prilaku hidup islami.
Jadi, manfaat dan pengaruh keimanan dalam kehidupan seorang muslim yaitu sangat berguna dan
terlihat dari segi spiritual keagamaan. Seorang muslim-pun mempercayai adanya keimanan yang
terdapat di dalam hatinya, sehingga keimanan yang ia punya mampu menentramkan dan
menyejukan hati tatkala ia mampu mempercayai akan arti dari kekuatan iman tersebut.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S Ar-Ra’d ayat (28): “Hai orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram,
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Iman menurut syariat adalah membenarkan dengan hati semua yang dibawa oleh Rasulullah.
Imam Ahmad bin Hanbal (t.th.: 15) percaya bahawa iman itu bertambah dan berkurang karena
beliau berkeyakinan bahawa setiap yang bertambah akan berkurang.
2. Beberapa cara termasuk teknik meningkatkan iman diantaranya yaitu yaitu :Lebih Akrab dengan
Al-Qur’an atau Mentadabburi Al-Qur’an, Tafakkur, Banyak Berdzikir, Mencari Ilmu Agama, Menjauhi
Maksiat, Mmperhatikan Sirah atau Perjalanan Hidup Rasulullah SAW., Mempraktekkan
(Mengamalkan) Kebaikan-kebaikan Agama Islam dan lain sebagainya.
3. Sebagaimana dalam implikasi QS.Qof: 16-18 yaitu berisi tentang pentingnya menjaga lisan dalam
salah satu teknik meningkatkan iman.
4. Manfaat Iman diantaranya yaitu: Iman Sebagai Penerang, Iman Sebagai Kekuatan, serta Iman
Melahirkan Manusia Sejati dan lain sebagainya.
51
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abbaad dkk, “Sebab-Sebab Naik Turunnya Iman”, Jakarta:Cakrawala Publishing,2004
Al-Qur’anul Karim dan Terjemah
Abdurrahman Habanakah, “Pokok-Pokok Kaidah Islam “ (Jakarta:Gema Insani,1998)
Nik Muhammad Syukri Nik Wan“Konsep Bertambah dan Berkurangnya Iman Menurut Perspektif
Islam” Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari, Bil. 9 Januari 2015.
Dr.H.Abas Asyafah,M.pd, “Konsep Tadabbur Al-Qur’an” (Bandung : CV.Maulana Media Grafika,2014)
Ahmad Zainal Abidin, ” Ajaibnya Tafakkur dan Tasyakur untuk Percepatan Rezeki”,
(Jogjakarta: Sarifah, 2014)
Moh. Sholeh, “ Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Terapi Religius”(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005)
Syaikh Prof.Dr. ‘Abdurrozaq Al-Badr ,Kitab At-Taudhih Wal Bayn Li Syajarotil Iman
Rizem Aizid, “Ajak Aku ke Surga Ibu” (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2018)
Dato’ Hatijah Aam, “Mengenal Diri Melalui Rasa Hati” (PT Global Ikhwan Grup Media Production)
Muslimin Ibrahim, “Panggilan Allah SWT Dalam Al Qur’an Untuk Orang Beriman”, (Sidoarjo: Zifatama
Jawara, 2021).
52
BAB V
STRUKTUR KEBERAGAMAAN SEBELUM NABI MUHAMMAD SAW
PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa. Atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “STRUKTUR KEBERAGAMAAN
SEBELUM NABI MUHAMMAD SAW” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penyusun berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman secara mendalam bagi pembaca
tentang keimanan. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai
kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian
pustaka maupun melalui media internet. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua seluruh tim kelompok 5 yang telah berusaha untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
Dan tak lupa kami berterimakasih kepada Bapak Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hadis dan
Aqidah Bapak Dr. Abdul Karim, Ss, MA. Dalam memberikan tugas makalah ini dan juga kepada
teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan
materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di
dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan
saran yang membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya. Demikian makalah ini kami buat,
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun adanya ketidaksesuaian materi yang kami
angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim penyusun menerima kritik dan saran seluas-luasnya
dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
53
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Dalam jajaran kitab-kitab suci agama barang kali saja al-Qur’an adalah dokumen sejarah yang
paling menarik untuk didiskusikan. Selain keontetikan dan keorisinalannya yang terpelihara dari
kemunculannya 14 abad yang lalu hingga kini dan bahkan sampai kapanpun, al-Qur’an memiliki
cakupan keluasan yang tak terhingga korelasinya dengan Islam (umat Muhammad). Umat-umat
beragama dalam perspektif al-Qur’an menjadi penting lantaran mereka adalah umat-umat dari para
Rasul Allah yang mendahului kaum Muslim, umat nabi Muhammad. Terlebih lagi bahwa pandangan
al-Qur’an mengenai kerasulan merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Dalam konteks ini, tentu saja agama-agama atau umat-umat beragama yang dimaksud adalah umat-
umat agama atau agama-agama yang turun di Timur Tengah yang turun dari Tuhan yang sama.
Umat-umat inilah yang banyak disebut dalam konteks turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam hubungan dengan ayat-ayat yang terkait dengan agama-agama atau umat-umat beragama
itu, menimbulkan ragam penafsiran (multi tafsir) dikalangan para ahli-ahli tafsir. Adanya multi tafsir
terhadap ayat-ayat itu menunjukkan adanya dinamika pemahaman yang wajar saja terjadi, semata
karena latar pemikiran yang berbeda pula. Ayat-ayat yang berkaitan dengan agama-agama atau
umat-umat beragama ini dibahas disini tidak lain untuk memperoleh gambaran yang jelas namun
tegas dari para mufasir yang hendak dibahas dalam tulisan pendek ini. Lain dari itu, mengingat dari
waktu kewaktu kehidupan keberagaman khususnya dikalangan suatu bangsa dan kedalaman yang
tidak bertepi. Berbagai permasalahan terkover dalam al-Qur’an maupun secara global. Salah satu hal
yang menjadi perhatian al-Qur’an adalah masalah agama-agama.
Salah satu latar turunnya Al-Qur’an adalah umat beragama dan karena itu dalam banyak surat dan
ayat ia membahasnya secara majemuk (plural) selalu saja mengalami pasang surut dan atas dasar
alasan itu masih sangat perlu mencermati kembali karya-karya tafsir mengenai ayat-ayat tersebut
dalam pandangan mufasir, khususnya para mufasir modern. Dalam tulisan ini penyusun mencoba
meninjau kembali tafsir-tafsir yang ditulis oleh para mufasir yang hidup dijaman modern khususnya
abad 20 M., baik mufasir dalam maupun luar Indonesia.
2. Rumusan Masalah
1. Apa saja struktur keberagamaan sebelum nabi muhammad saw?
2. Bagaimana pandangan tafsir tentang ayat keberagamaan?
3. Apa yang dimaksud dengan definisi keberagaman dalam struktur keberagaman Islam sebelum
Nabi Muhammad?
4. Bagaimana kondisi keberagaman bangsa Arab sebelum datangnya Nabi Muhammad?
3. Tujuan
1) Mengetahui agama yang sebelum nabi Muhammad SAW
2) Memahami agama secara lebih meluas
54
3) Mengetahui dalil-dalil tentang agama terdahulu
PEMBAHASAN
1.Struktur Keberagamaan Sebelum Nabi Muhammad
Tahun 570 M di Mekah tercatat dalam sejarah sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad saw
sebelum diangkat menjadi Nabi di umur ke-40, konteks sosial masyarakat yang tinggal di kota
Mekkah terdiri dari entitas beragam dalam kategori paganisme Arab, Ahl al-Kitab, animisme, Majusi.
Tidak dipungkiri bahwa “kenabian” lahir di Mekah disaat masyarakat meyakini kepercayaan yang
disebut “warisan nenek moyang”, meskipun ahl kitab saat itu mewakili kaum intelektual karena
dianggap menguasai budaya “baca tulis”, informasi sejarah terhadap kaum terdidik ini jarang
diketahui orang banyak yang tinggal di Mekah. Padahal, mereka merupakan kategori yang dianggap
mengetahui informasi-informasi sebelumnya dalam kitab-kitab terdahulu dan penganut ajaran
monoteisme Ibrahim. Mengapa demikian? Jika dibandingkan dengan Yatsrib saat itu, lebih banyak
ditemukan ahl al-Kitab di kota Yastrib, faktanya Nabi membuat “Piagam Madinah” untuk mengikat
komunitas berbeda yaitu Yahudi, Kristen dan komunitas lainnya dengan tujuan “persatuan dan
toleransi” dalam konteks melindungi kota ini, jauh sebelumnya ini tidak terjadi di Mekah.
“Piagam di Mekah” sebagaimana di Madinah di atas tidak pernah tercatat ada dalam sejarah,
respon pertama masyarakat Mekah terhadap seruan Nabi berbeda jika dibandingkan Yatsrib yang
lebih terbuka terhadap “hal baru”, tidak heran penolakan terhadap Nabi bukan berasal dari
masyarakat mereka yang tidak memahami konsep “monoteisme” saja, tetapi justru muncul dari
lingkaran keluarga Nabi yang secara “genealogi” sangat dekat. Kecenderungan penduduk Mekah
saat itu terhadap “informasi baru” dikatakan masih tertutup karena “tidak sesuai dari pengetahuan
sebelumnya” sehingga sulit diterima bagi mereka. Ketidaktahuan ini dalam teks disebut “jahiliyah”,
tidak heran 13 tahun selama kenabian masih sedikit yang mengikuti risalah, bukan tanpa sebab jika
dalam hal ini mengaitkannya dengan kronologisasi pewahyuan yang dilihat berdasarkan kategori dua
kota ini yaitu Mekah dan Madinah, ayat-ayat di Mekah cenderung “teosentris” karena sesuai dengan
kondisi dan kebutuhannya mengenai “pengetahuan” terhadap millah Ibrahim ditambah praktik
“paganisme” warisan nenek moyang meyakini “ada kekuatan” pada benda semakin utuh dan padat
dalam kepercayaan menjadikan potret Mekkah saat itu tidak mudah menerima “hal baru”,
kecenderungan seperti ini lazim muncul pada masyarakat demikian, tidak sederhana jika
disimpulkan kenapa ahl alKitab lebih banyak di Madinah di bandingkan Mekah, kemungkinan
paganisme Arab tentu menjadi pertimbangan, jelas praktik seperti ini diketahui bertentangan dalam
tradisi Yahudi dan Nasrani yang mempelajari kitab pada saat itu. Kategori ayat teosentris terkait
ketuhanan, tauhid, syurga, neraka, hari pembalasan, penciptaan sesuai tujuannya yaitu terjadinya
transmisi pengetahuan dari paganisme ke monoteisme, atau pada aspek fundamental. Oleh karena
itu pentingnya mendudukan pertimbangan dua kota ini dalam penafsiran sebuah redaksi, karena
tentu karakter masing-masing berbeda.
____________________
QS.Ali Imran : 67.
55
Berbeda dengan Mekah, Madinah adalah antroposentris, entitas Yatsrib dengan beragam
komunitas terutama ahl al-Kitab, cukup beralasan jika dikatakan “informasi baru” mudah diterima
pada masyarakat seperti ini, bahkan sebelum Nabi menginjakkan kaki di Yatsrib, respon terhadap
Islam dengan cepat diterima di kota ini melalui utusan yang dipilih Nabi terlebih dahulu menetap di
Yastrib, ketika terjadi peristiwa hijrah ke 2, sambutan tala al-Badru ‘alaina kepada Nabi
membuktikan “risalah kenabian” secara masif sudah berkembang dan diterima masyarakat. Alasan
bahwa ahl al-Kitab banyak tinggal kota ini dan banyaknya masyarakat meyakini Islam, menjelaskan
kota Yastrib memiliki pandangan terbuka terhadap “informasi” baru bagi mereka, tentu semacam ini
lazim terjadi di masyarakat dengan karakter “madani” yaitu berkemajuan dan heterogen. Setidaknya
ketika nabi di Madinah, seringkali ditanya tentang sejarah masa lalu, meskipun sekedar ingin tahu
atau mengetes pengetahuan nabi, semisal pertanyaan tentang “Dzul Qarnain” dari seorang Yahudi
Madinah, tentu cerita semacam ini tidak berkembang di masyakarat Arab karena tidak terjadi di
wilayah Arab dengan meninjau penggunaan bahasa Arab yang masih cakupannya kecil saat itu,
cerita Dzul Qarnain berkembang di wilayah utara sebagian besar wilayah kekuasaan Romawi, bahkan
jika ditanyakan Dzul Qarnain yang mana yang dimaksudkan dalam hal ini? karena berdasarkan
pendapat yang dominan setidaknya memunculkan 3 nama, yaitu Alexander Agung dari Macedonia,
Cyrus Agung di Persia, ada juga pendapat maksudnya yaitu Iskandar dimana “satu masa” dengan
Nabi Ibrahim as, meskipun merujuk ke tiga tokoh tersebut setidaknya kota dari Barat yaitu kota
Alexandria/Iskandariyah di Mesir sampai Kandahar di Afghanistan disebut kota yang pernah
dibangun atau dilaluinya diambil dari nama “Iskandar atau Alexander”, untuk pendapat pertama
dalam bahasa Arab kata ini dimaksudkan untuk untuk menyebut orang yang sama, sehingga sering
disebut Iskandar Dzul Qarnain, namun siapa yang dimaksud dengan julukan Dzul Qarnain masih
menjadi perdebatan sampai sekarang.
Nabi ketika ditanya Yahudi tentang kisah ini maka dijawab Nabi atas bimbingan wahyu, tentu
kisah tersebut tidak berkembang sebelumnya di masyarakat saat itu, atau tidak terjadi di wilayah
tersebut secara geografis, wajar jika kisah ini hanya diketahui oleh mereka yaitu “ahl Kitab” baik
Yahudi atau Nasrani, meskipun sebenarnya pertanyaan seperti ini tidak dalam konteks benar-benar
bertanya, tetapi untuk mengetes pengetahuan seorang Nabi, terkadang dijawab ahl al-Kitab “anda
benar”, karena diketahui ada relevansi/kesesuaian dengan yang diketahui ahl al-Kitab. Maka dalam
hal ini penyebutan kisah dalam al-Quran adalah dalam konteks “membenarkan” yang dahulu
sekaligus “mengoreksi” kisah-kisah demikian, hal ini dilihat dari banyaknya kesamaan sejarah dalam
literatur sebelumnya, dalam konteks ini al-Quran membenarkan yang sudah datang sebelumnya
sekaligus koreksi terhadap distorsi, oleh karena itu sebagaimana dalam rukun Iman disebutkan
percaya kepada kitab-kitab dahulu yang pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya adalah
bagian dari keimanan, Allah Swt berfirman:
َماَ َكاَ ََنَ ِا ْب ٰر ِه ٌْ َُمَ ٌَ ُه ْو ِد ًٌّاَ َّو ََۡلَ َن ْص َراَ ِن ًٌّاَ َّوََٰل ِك َْنَ َكاَ ََنَ َح ِن ٌْ ًفاَ ُّم ْسلِ ًماََۚ َو َماَ َكاَ َنََ ِم ََنَا ْل ُم ْش ِر ِك ٌْ ََن
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-
orang musyrik.
____________________
1 Abdul Karim, Abdullah Hanapi, Waffada Arief Najiyya, Tafsir Hadis Tematik (Cirebon: Nusa Literasi
Inspirasi: 2021), hal. 82-88.
56
Berdasarkan ayat ini dalam keyakinan Islam dijelaskan bahwa nabi Ibrahim seorang yang hanif dan
muslim yaitu orang yang lurus dalam keyakinannya dan berserah diri dan bukan lainnya. Maka
sebenarnya sejak awal ajaran para nabi adalah mengajarkan keyakinan sama sebagaimana
disampaikan dalam kenabian terakhir karena merupakan satu konsep ajaran, tidak heran jika tidak
sedikit ditemukan kesamaan dalam sejarahnya karena sebenarnya berangkat dari kesejarahan yang
sama, dan dalam sejarahnya juga penyimpangan muncul, sehingga untuk mendapatkan dan
menghubungkan kesesuaian informasi-informasi kesejarahannya dilakukan melalui penelitian
mendalam, tidak heran istilah “millah Ibrahim” digunakan untuk menyebut kepercayaan
sebagaimana ajaran/agama yang diajarkan nabi Ibrahim, millah Ibrahim juga disebut agama samawi
kata ini diambil dari al-Sama atau Al Samawat yang berarti langit.
2.Tafsir Ayat Keberagamaan
Tafsir Ayat-Ayat Keberagamaan Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang mengajarkan tentang
pluralitas sebagai Sunnatullah yang mesti kita yakini. Ajaran mengenai pluralitas itu meliputi
berbagai hal tak terkecuali masalah agama. Dalam masalah agama saja mencakup bayak aspek
seperti: pluralitas kitab suci, agama, syariat, jalan, metode dan sebagainya. Tentu saja pluralitas
aneka ragam itu dibawa oleh para Nabi dan Rasul yang berbeda. Kendati demikian dalam pluralitas
itu mengimplisitkan adanya kesatuan yang sulit dibantah. Karena semua itu semata bersumber dari
yang Satu.
Dalam sebuah karya cukup menarik oleh seorang sarjana muslim mesir Muhammad Imarah yang
berjudul Al-Islam wa at-Ta’addudiyyah:al Ikhtilaf wa at-Tanawwu’ fi Itharil Wihdah dan bab agama
yang satu dapat disimpulkan bahwa agama perspektif al-Qur’an adalah satu yaitu “al-Islam” dalam
arti agama dengan dasar Tauhidullah (mengesakan Allah) mengabdi dan menyembah hanya kepada-
Nya semata. Meskipun syariat dan manhaj (metode) mengandung pluralitas. Sepanjang umat
manusia menjunjung tinggi agama seperti itu dan masih disatukan oleh aqidah-aqidah yang
konstandari agama yang tunggal yaitu mengesakan Allah SWT., mengikhlaskan Ibadah kepada-Nya
semata, beriman pada hari Akhirat, dan melakukan amal shalih, maka akan diperoleh keselamatan.
Pemikiran itu dirujuk dari beberapa ayat al-Quran. Selanjutnya akan dipaparkan apa yang menjadi
fokus tulisan pendek ini yakni mengenai tafsir ayat-ayat keberagamaan dalam pandangan tiga (3)
mufasir muslim, yaitu Abdullah Yusuf Ali, Muhammad Asad, dan Muhammad Quraish Shihab. Ayat-
ayat al-Qur’an yang menjadi konsen tulisan ini terdapat dalam surat al Baqarah:62, dan al Maidah :
69, yang berbunyi
َئِ َّنََٱلَّ ِذٌ ََنَ َءا َم ُنوَاَ َوٱلَّ ِذٌ ََنَ َها ُدواََ َوٱل َّن ٰ َص َر ٰىََ َوٱل ٰ َّص ِبـٌِ ََنَ َم ْنََ َءا َم َنََبِٲّ َّللََِ َوٱ ْل ٌَ ْو ِمََٱ ْل َءا ِخ َِرَ َو َع ِم َلََ ٰ َصلِ ًحاَ َفلَ ُه َْمَأَ ْج ُر ُه َْمَ ِعن َدََ َر ِّب ِه ْم
ََو َۡلََ َخ ْو َفَ َعلَ ٌْ ِه ْمََ َو ََۡلَ ُه َْمَ ٌَ ْح َز ُنو َن
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
57
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah : 62)
ئِ َّنََٱلَّ ِذٌ ََنَ َءا َم ُنوَاَ َوٱلَّ ِذٌ َنََ َها ُدوَاَ َوٱل ٰ َّصبِـُو ََنَ َوٱل َّن ٰ َص َر ٰىََ َم َْنَ َءا َم ََنَ ِبٲّ َّللََِ َوٱ ْل ٌَ ْو َِمَٱ ْل َءا ِخ َِرَ َو َع ِم ََلَ ٰ َصلِ ًحاَ َف ََلََ َخ ْو َفَ َعلَ ٌْ ِه ْمََ َو َۡلََ ُه ْمََ ٌَ ْح َز ُنو ََن
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa
saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS al Maidah :69)
Seperti terlihat dalam terjemah di atas, ketiga komunitas agama yaitu kaum Beriman (pada al-
Quran) Yahudi dan Nasrani sudah jelas dan hingga kini pun ketiganya masih eksis dan hidup
berdampingan di berbagai belahan dunia. Namun siapa gerangan kaum Sabiah itu? Abdullah Yusuf
Ali menjelaskan bahwa kaum Sabiah adalah komunitas agama dalam jumlah sangat kecil yang tersisa
sekitar 2.000 pemeluk terdapat didataran rendah Iran dekat Basrah. Dalam istilah Arabnya mereka
disebut “Subbi” (Subba) mereka dipanggil juga Sabian, Nasorean, atau Mandean atau bahkan kaum
Kristen pengikut St. John (Yahya) mereka mengklaim sebagai kaum Gnostic dan mengetahui the
great life. Mereka berpakaian serba putih dan percaya pada pencelupan berulangkali (baptis) di air.
Kitab suci mereka adalah Ginza dalam dialek bahasa Aramik, mereka mempunyai doktrin mengenai
“kegelapan dan cahaya”. Seperti dalam agama zoroastrian mereka hidup damai dan harmonis
berdampingan dengan kaum muslim.
Ada juga yang disebut Pseudosabiah dari Haran dengan ciri rambut panjang dan berpakaian
khusus. Mereka mengklaim sebagai pengikut kitab suci. Mereka adalah orang orang Syria
penyembah bintang dengan tendensi helenistik seperti kaum Yahudi yang sejaman dengan Yesus.
Namun ada juga yang menghubungkan dengan sejarah paling awal jazirah Arabia Selatan yaitu pada
kerajaan Saba di Yaman, yang disinyalir berasal dari keyakinan bangsa Arabia bagian utara, mereka
adalah penyembah planet, bintang, bulan, matahari, dan venus.
Terhadap ayat-ayat tersebut diatas, Abdullah Yusuf Ali memberikan komentar bahwa Islam
tidaklah mengajarkan doktrin yng bersifat eksklusif dan juga tidak dimaksudkan untuk satu umat
secara eksklusif. Jika kaum Yahudi mengklaim sebagai bangsa eksklusif (pilihan Tuhan) dan demikian
juga kaum Kristiani karena merupakan sempalan dari Yahudi. Namun organisasi gereja-gereja Kristen
modern mengasalkan diri mereka pada “VicariosAtonement” (perwakilan penebusan dosa) dalam
pengertian barang siapa tidak percaya pada hal itu ataupun barangsiapa yang hidup sebelum
kematian Yesus secara spiritual sungguh tidak beruntung dihadapan tahta Tuhan.
Sikap Islam sama sekali berbeda dengan pandangan tersebut. Islam sudah ada sebelum Nabi
Muhammad mulai mendakwahkannya di muka bumi. Bukankah al-Qur’an secara tegas menyebut
Ibrahim sebagai seorang Muslim (Q.S. 3:67) ajaran islam mengenai kepasrahan terhadap kehendak
Allah sungguh telah dan akan menjadi ajaran bagi segala jaman dan semua umat manusia. Semua itu
kembali bahwa misi Allah adalah satu, bahwa Islam mengakui sebuah keyakinan yang benar dalam
bentuk-bentuk yang lain asalkan diikuti dengan sikap yang tulus dan penuh kesungguhan yang
didukung oleh akal sehat dan alasan yang benar dan diperkuat dengan perilaku yang baik (amal
shalih).
________________________
Abdullah Mahmud, Tafsir Ayat Ayat Keberagamaan, Vol.29, Tafsir Ayat Keberagamaan, hal.189-195.
58
Muhammad Asad, seperti halnya Abdullah Yusuf Ali juga memberikan komentar mengenai kaum
Sabiah secara lebih singkat. Menurutnya kaum Sabiah adalah komunitas agama yang monoteistik
(percaya pada Ke-Esaan Tuhan) dan berada di tengah antara Yahudi dan Nasrani. Nama Sabiah bisa
jadi terambil dari bahasa Aramik “Tsebha” (mencelub diri dalam air,/baptis), yang mengindikasikan
bahwa mereka adalah pengikut dari John Baptis. Dalam hal ini mereka dapat diidentifkasikan dengan
kaum Mandean, yaitu satu komunitas agama yang hingga hari ini masih terdapat di Iraq. Tidak
diragukan lagi mereka juga disebut “Sabiah” dari Harrau, yaitu sebuah aliran/sekte gnostik yang
masih ada pada abad-abad awal Islam.
Sementara itu, ketika mengomentari kedua ayat tersebut secara umum Muhammad Asad
menyatakan bahwa ayat-ayat itu meletakkan asas-asas fundamental doktrin Islam dengan visi yang
amat luas yang tak terbandingkan dengan keyakinan agama agama lain. Kedua ayat tersebut secara
eksplisit mengajarkan konsep “Salvation” atau keselamatan dengan 3 elemen pokok, percaya pada
Allah, percaya pada Hari Pengadilan, dan amal shalih dalam kehidupan. Selanjutnya Asad
menyatakan bahwa statement doktrin pokok itu dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap bani
Israel yang mengklaim diri mereka sebagai “The Chosen People of God” (bangsa pilihan Tuhan). Dan
karena itu mereka adalah kaum yang terselamatkan.
Muhammad Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya “Al Misbah” dengan sedikit agak berbeda,
menjelaskan bahwa yang dimaksud “kaum Shabiin” adalah kaum musrik atau penganut agama dan
kepercyaan lain. Lebih lanjut,dia menambahkan Shabiin berasal dari akar kata Shabi’, yang berarti
muncul dan tampak, sehingga dipahami bahwa kaum Shabiin adalah penyembah bintang, karena
menampak pada menjelang dan malam hari. Selanjutnya tafsirnya tidak jauh berbeda, dalam hal ini
dengan tafsir Abdullah Yusuf Ali yang menghubungkan dengan kerajaan Saba’ yang penduduknya
adalah penyembah matahari dan bintang.
Mengenai pesan pokok kedua ayat tersebut diatas, Quraish Shihab tidak jauh berbeda dalam
penafsirannya dengan mufasir sebelumnya, Muhammad Asad. Sesuai dengan Judul karya tafsirnya
yaitu mengenai keserasian, dia menghubungkan dengan ayat ayat sebelumnya yang membahas
kaum Yahudi dengan segenap keingkarannya. Bahwa melalui ayat tersebut, katanya, Allah memberi
jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Hal ini sejalan
dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hambaNya yang insyaf. Kepada
mereka disampaikan bahwa jalan guna meraih ridha Allah bagi mereka serta bagi umat-umat lain
tidak lain kecuali iman kepada Allah dan Hari Kemudian serta beramal shaleh, yaitu amal-amal yang
bermanfaat dan sesuai dengan nilai nilai yang ditetapkan Allah. Dengan landasan itu mereka akan
mendapatkan pahala di dunia maupun diakhirat kelak, serta tidak ada kekhawatiran dan sedih hati.
Namun demikian, Quraish Shihab buru-buru menggaris bawahi bahwa “iman kepada Allah dan hari
kemudian” dalam kedua ayat itu bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka
tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman
yang benar dan mencakup semua rukunnya. Selanjutnya dia menambahkan bahwa jika sementara
ada orang yang berpendapat bahwa umat-umat agama yang beriman pada kedua pokok ajaran
agama ini akan memperoleh “keselamatan” dipandangnya, menjadikan semua agama sama. Padahal
lanjutnya, agama-agama itu pada hakikatnya berbeda beda dalam aqidah serta ibadah yang
diajarkannya. Adapun surat al-Baqarah : 112 dan Ali Imran : 64 masing masing berurutan
dikemukakan sebagai berikut
59
ََب َل َٰىَ َم َْنَأَ ْسلَ ََمَ َو ْج َه ُهۥَ ِّ َّللََِ َو ُه ََوَ ُم ْح ِس َنَ َف َل ُهَۥَأَ ْج ُرهُۥَ ِعن ََدَ َر ِّب ِهۦَ َو ََۡلَ َخ ْوفََ َع َل ٌْ ِه َْمَ َو َۡلََ ُه َْمَ ٌَ ْح َز ُنو َن
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
َقُ َْلَٰ ٌَأَ ْه َلََٱ ْل ِكٰ َت ِبََ َت َعا َل ْوَاَئِ َل َٰىَ ََكلِ َمةََ َس َواءََ َب ٌْ َن َناَ َو َب ٌْ َن ُك َْمَأَ ََّۡلَ َن ْع ُب ََدَئِ َّۡلََٱّ َّل ََلَ َو َۡلََ ُن ْش ِر َكََ ِب ِهۦَ َش ٌْـًاَ َو ََۡلَ ٌَ َّت ِخ ََذَ َب ْع ُض َنا َتَ ََبو ْلَّع ْوَا ًضَاَفَقُأَوْلرُ َبواَاًبَاٱَ ِّْمش َهن ُدَ ُدواَوَ ِب َِنأَ ََّنٱاََّّلَلُِمَ ْسلَُِۚم َفاوِ َنَن
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Ali Imran : 64)
Terhadap al-Baqarah : 112 Abdullah Yusuf Ali tidak memberikan komentar panjang melainkan
fokus pada kata “wajh” dalam ayat itu. Kata “wajh” dalam al-Qur’an bisa berarti diri. Akan tetapi,
dalam konteks bahasa Arab secara umum berarti: wajah, air muka, kehormatan, keagungan,
kehadiran, dsb. Namun semua itu dapat dipahami bahwa kata “wajh” menunjukkan personalitas
atau keseluruhan/keutuhan diri manusia.
Adapun mengenai surat Ali Imran : 64, dia memberikan komentar bahwa Ahli kitab sepakat
terhadap 3 proposisi yang terdapat pada ayat diatas. Namun dalam praktek dan implementasinya
mereka telah gagal sebab terjadi penyimpangan doktrin pokoknya, yaitu ke-Esaan Tuhan (monoteis),
Tuhan yang benar. Dalam agama Yahudi sendiri terdapat doktrin penting yang sudah menjadi
warisan yaitu “pendeta suci”, padahal mereka layaknya manusia biasa. Paus, Pendeta, Brahma, yang
bisa mengklaim sebagai manusia “unggul” (super) karena semata ilmu dan kesucian hidupnya
sehingga bisa menempati posisi perantara antara manusia dan Tuhan. Atas dasar itu, terjadilah
pemujaan terhadap “manusia-manusia suci” (Saints). Boleh saja mereka mengklaim sebagai
“manusia suci”, akan tetapi tidak perlu adanya klaim ketuhanan diantara kita (manusia) melainkan
hanya God (Allah). Bukankan Ibrahim adalah manusia yang paling dekat dengan Allah (True Man of
God) namun dia tidak disebut sebagai Yahudi atau Kristen karena dia hidup jauh sebelum Taurat
Musa (Law of Moses) dan Injil Jesus diwahyukan (Gospel of Jesus).
Sementara Muhammad Asad juga memberikan tafsiran pada kata “wajh” (dalam) yang intinya
tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Yusuf Ali, yaitu karena wajah seseorang itu adalah
bagian tubuh manusia yang paling ekspresif yang dipakai dalam bahasa Arab klasik sebagai diri
secara utuh. Ungkapan itu beberapa kali disebut dalam al-Qur’an yang menggambarkan definisi
Islam yang sempurna, yakni “ kepasrahan total (kepada Allah)”. Kemudian terhadap bagian akhir
ayat tersebut dia berpendapat bahwa “keselamatan” (salvation) tidak diperuntukkan bagi “aliran”
tetentu, akan tetapi terbuka bagi siapapun yang secara sadar menyadari akan keesaan Allah, pasrah
diri kepada kehendak-Nya, dan dengan hidup beramal shalih akan memberikan pengaruh praktis
pada perilaku spiritual. Demikian Muhammad Asad.
Terhadap Ali Imran : 64 pada frase “wala yattahid ba’dhuna ba’dha arbaban mindunillah”, tidak
hanya dimaksudkan semata kepada kaum Kristiani yang mengatributkan ketuhanan pada Jesus dan
aspek-aspek ketuhanan tertentu pada “Saints” (orang-orang suci), akan tetapi juga dialamatkan
60
kepada kaum Yahudi yang memberikan otoritas “kuasa Tuhan” kepada Ezra dan bahkan terhadap
sarjana sarjana besar kitab Talmud. Quraish Shihab ketika memberi tafsiran tentag “wajh” hampir
sama dengan mufasir sebelumnya. Secara singkat dia menjelaskan mengenai ayat tersebut bahwa
barangsiapa yang menyerahkan wajah (totalitas diri) nya secara tulus kepada Allah, dalam arti ikhlas
beramal dan amal itu adalah amal yang baik, maka baginya ganjaran disisi Tuhannya. Amal disini
adalah amal dalam ukuran Allah sebagai seorang “muhsin” yang lebih banyak kebaikan ketimbang
keburukannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian sejarah dan uraian kitab yang singkat, dapat disimpulkan bahwa Tuhan satu tidak
memberi ajaran akidah, syariah dan akhlak yang berbeda diantara Yahudi, Nasrani, Islam akan tetapi
penegasan ketauhidan Allah dan penyempurnaan ajaran-Nya. Pemikiran bangsa yahudi sendirilah
yang dalam sejarah tidak mengakui kerasulan dari nabi Isa dan nabi Muhammad. Juga pemikiran
bangsa nasrani yang juga tidak mengakui kerasulan ajaran nabi Muhammad. Ketidaktaatan bangsa
Yahudi dan Nasrani dilakukan dengan membuat penyimpangan kitab Taurat dan kitab Injil, yang
tidak dapat dibuktikan keasliannya. Meskipun demikian tetap ditemukannya ajaran yang sama
dengan Al-Quran sebagai kitab yang terakhir. Perang terus akan berkecambuk hingga akhir zaman.
Karena seluruh kitab baik Taurat, Injil dan Al-Quran telah mengkabarkan peperangan ini. Namun
demikian sebagai manusia yang beragama, kita wajib melakukan ikhtiar agar bangsa Yahudi, bangsa
Nasrani, Islam hidup berdampingan dan tidak menumpahkan darah di tanah suci Yerussalem.
Terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang agama-agama (umat-umat beragama) bahwa
agamaIslam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama universal, yang berdasar pada sikap
keprasarahan secara total kepada Allah yang maha Esa. Sikap kepasrahan ini telah dan akan menjadi
ajaran bagi segala jamaah dan semua umat manusia. Sikap fundamental ini dapat di rujuk pada diri
Nabi Ibrahim sebagai pribadi yang “hanif” dan “muhsin” dengan merujuk pada al-Baqarah: 62 dan al-
Maidah: 69 yang meletakkan asas-asas fundamental doktrin Islam, denga visi yang sangat luas yang
tidak terbandingkan dengan keyakinan agama-agama lain.
B. Saran
Penulis menyarankan agar penelitian berkaitan dengan Struktur Keberagamaan Sebelum Nabi
Muhammad ini terus berkembang. Dengan harapan hasil penelitian- penelitian tersebut bisa ikut
serta membentengi iman dari keraguan-keraguan dalam beragama.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Abdullah Hanapi, Waffada Arief Najiyya, 2021, Tafsir Hadis Tematik, Cirebon,
Nusa Literasi Inspirasi
Abdullah Mahmud, 2017, Tafsir Ayat-Ayat Keberagamaan, Jurnal Universitas Muhamadiyah
Sukarta.Vol 29 (2), hal. 189-195.
]Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Bairut, Dar al-Ma’rifah, 1986), jilid I, hlm 192.
[3]Al-Raghîb al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut, Dâr asy-Syâmiyyah, 1997), hlm.
491-492.
*4+Ismâ’îl Raji’ al-Fârûqî, “Islam and Other Faiths”, dalam Altaf Gauhar, The Challenge of Islam
(London: Islamic Council of Europe, 1978), hlm. 82-111.
[5]Al-Raghîb al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut, Dâr asy-Syâmiyyah, 1997), hlm 260.
[6]Ibid, hlm. 394.
[7]Ahmad Shalaby, al-Muqâranah al-Adyân, juz. 1: al-Yahûdiyah, cet. Ke-12 (Cairo: Maktabah al-
Nahdlah al-`Arâbiyah, 1997), hlm. 60.
[8]Baca selengkapnya dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj.
Hartono (Jakarta: LP3ES, 1994).
62
BAB VI
STRUKTUR KEBERAGAAN KAUM MUSLIMIN DAN MUNAFIQ
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “STRUKTUR KEBERAGAMAN KAUM MUSLIMIN DAN
MUNAFIQ” dapat kami selesaikan dengan baik..Begitu pula atas kelimpahan kesehatan dan
kesempatan yang Allah SWT karunia kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui
beberapa sumber yakni melalui kajian pustakan maupun media internet.
Makalah dengan judul struktur keberagaman kaum muslimin dan munafiq disusun guna memenuhi
tugas dari Bapak Dr.Abdul Karim,Ss,MA,pada mata kuliah Tafsir hadis Institut Agama Islam Negri
Kudus.Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada bapak Dr.Abdul Karim,Ss,MA
selaku dosen mata kuliah Tafsir hadis dari tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan waawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.penulis juga mengucapkan
terimakasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat,apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,ataupun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada penulisan,kami mohon maaf.Tim penulis menerima
kritik dan saran seluas luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada
kesempatan berikutnya.
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Manusia itu ada tiga macam, yaitu mukmin, musyrik, dan munafik. Pemahaman ini tercermin
dalam tafsir Mu'tabarah pada ayat terakhir. Alasan penafsiran ini adalah bahwa ayat pertama al-
Baqarah menjelaskan tiga kelompok secara berurutan. Mulai sekarang, pertanyaan di benak kita
adalah:Apakah AlQur'an sengaja memerintahkan untuk menunjukkan hierarki "nasib" orang terbaik?
Jika demikian, apakah Al-Qur'an juga mengajarkan kepada kita bahwa orang munafik lebih buruk
daripada musyrik? Jika tidak, mengapa ada pengaturan seperti itu? Apa yang munafik tentang
kesucian takdir manusia dalam Al-Qur'an?
Manusia itu ada tiga macam, yaitu mukmin, musyrik, dan munafik. Pemahaman ini tercermin
dalam tafsir Mu'tabarah pada ayat terakhir. Alasan penafsiran ini adalah bahwa ayat pertama al-
Baqarah menjelaskan tiga kelompok secara berurutan. Mulai sekarang, pertanyaan di benak kita
adalah:Apakah Al-Qur'an sengaja memerintahkan untuk menunjukkan hierarki "nasib" orang
terbaik? Jika demikian, apakah Al-Qur'an juga mengajarkan kepada kita bahwa orang munafik lebih
buruk daripada musyrik? Jika tidak, mengapa ada pengaturan seperti itu? Apa yang munafik tentang
kesucian takdir manusia dalam Al-Qur'an?
63
Seorang munafik memiliki sifat batin memeluk Islam, tetapi lahiriahnya hanyalah penampilan dan
tipu daya. Orang munafik adalah orang yang tampak bagi banyak orang setuju dengan kebenaran
padahal tindakan atau hatinya tidak. disebut juga orang munafik.
2. Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan munafik?
2. Bagaimana dengan sifat-sifat orang munafik?
3. Bagaimana munafik dalam teks keagamaan Islam?
4. Sebutkan hal-hal Yang Harus Dihindari Agar Tidak Terjerumus Dari Sifat
Orang-Orang Munafik
3. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui pengertian dari kaum munafik
2.Untuk mengetahui sifat-sifat orang munafik
3.Untuk mengetahui munafik dalam teks keagamaan Islam
4.Untuk mengetahui hal-hal Yang Harus Dihindari Agar Tidak Terjerumus Dari
Sifat Orang-Orang Munafik.
PEMBAHASAN
1.pengertian kaum muslimin dan kaum munafik
Secara linguistik, Munafik berasal dari kata Nafiqa, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya anakan
(binatang sejenis tikus) dari sarangnya, mencari satu lubang keluar dari lubang lainnya. Katakanlah
juga. , berasal dari kata nafaq, yaitu lubang yang tersembunyi. Nifak menurut Syara menunjukkan
Islam dan kebaikan tetapi menyembunyikan ketidakpercayaan dan kejahatan. Tentang tuduhan
kemunafikan dalam ayat 1 Q.S Al-Munafiqun:
ئ ِذاَََ َجا َء ََكَٱ ْل ُمٰ َن ِف َۚق ُو َنََ َقال ُوَاَ َن ْش َه ُدَََئَِنَ َكََل َر َۚ ُسو ُلََٱَل َّل َََِۚۚ َوٱَل َّل ََُۚ ٌَ ْعلَ ُمََئ َِنَ َكََلَ َر ُسول ُهَۥَُ َوٱَل َّل ََُۚ ٌَ ْش َه َُدَئَ َِنَٱ ْل ُمٰ َن ِف َۚقٌِ ََنَلَ َك َۚ ٰۚ ِذب ُو ََن
Artinya: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
"Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
64
2.Munafik dalam Pandangan Islam
Abdullah ibn Ubay ibn Salul adalah pemimpin suku Khazraj yang sedang naik daunmenjadi kepala
sukunya dan kota Yatsrib. Namun, menjadi mimpiKepemimpinan Yathrib menjadi korup karena
perubahan drastis yang berkembang sepanjang tahunYathrib. Nabi bersumpah setia kepada
beberapa pemimpin KhazrajMuhammad melihat dan berjanji akan menyebarkan ajaran Islam di
Yathrib. kemunafikanberawal dari kekecewaan Abdullah bin Ubay yang tidak diangkat menjadi raja.
Apakegagalannya karena konversi orang Austi dan Khazraj menjadi pengikut Nabi. Jadi Abdullah ibn
Ubay memiliki kecemburuan, kecemburuan dan ketidakpercayaan pada agama.Islam dan Muslim.
Kegelisahan Abdullah bin Ubay bertambah ketikaUmat Islam memenangkan Perang Badar,
kemudian Abdullah bin Ubay dan Para masuk Islam (mualaf). Dari sinilah kemunafikan mulai bangkit
di Madinah.Maka Allah menjadikan Abdullah bin Ubay salah seorang munafikdengan segala
keistimewaannya, dan masih banyak ayat Alquran yang muncul di latar belakangtindakannya .
Macam-macam munafik yakni:
1. Nifak asghar adalah nifak pada amal perbuatan yaitu seseorang yang menampakkan amal shalih
dihadapan banyak orang tapi menyalahi hal itu secara diam-diam. Ibnu Rajab berkata,
“kesimpulannya, kemunafikan asghar adalah semuanya kembali kepada berbedanya seseorang
ketika ia sedang sendiri dengan ketika ia sedang bersama orang lain sebagaimana dikatakan oleh
Imam Hasan al-Bishri dalam kitab Jami’ul ulum wal ahkam.
2. Munafik akbar atau biasa disebut nifak I’tiqad yaitu jika seseorang menampakkan iman kepada
Allah, Malaikat, kitab-kitab, para Rasul, dan hari akhir, tetapi menyembunyikan perkara yang
menyalahi hal itu baik secara keseluruhan atau sebagian.
Di antara sekian banyak ayat Al-Qur'an yang membahas tentang orang munafik adalah sifat-
sifatnyaini termasuk bermuka dua, ketidaksabaran dengan ketidakbahagiaan, penyakit
jantung,malas beribadah, penipuan diri yang tidak disadari, kurangnya pendapat, melanggar sumpah
dan kutukantidak benar Ibnu Kasir berpendapat bahwa orang munafik memiliki masalah dengan
pengabdiandewa mereka. Kadang-kadang mereka beriman, tetapi lebih sering mereka
berimanmengarah pada ketidakpercayaan.
Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa orang-orang munafik sering membuka tembokkeyakinan
yang mereka adopsi untuk menutupi ketidakpercayaan mereka. Tidak ada yang salah dengan
ituketika dikatakan bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang kafir. kata Hasbi Ash-Shiddieqy
bahwa iman orang munafik hanya ada di mulut mereka. apa yang mereka miliki di dalam hati adalah
ketidakpercayaan. Selain itu, ada beberapa ciri-ciri orang munafik dalam hadis yang perlu diketahui
umat Islam.
Asep Muhammad Pajarudin mengatakan bahwa kata munafik memiliki kedudukan sebagaisubjek
dan objek. Dalam posisi subjek mengacu pada seseorang atau kelas yangmelakukan kemunafikan
dengan dua sikap; kata-kata dan tindakan. Berdasarkan Pertama, target mereka adalah orang kafir
dan beriman. Berdasarkan kedua, target mereka adalah orang-orang beriman dan Allah. Sikap dan
perilaku mereka berbeda,tetapi mereka memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu mengejar
keuntungan, penghindarankehilangan dan pertengkaran. Tiga poin itu kemudian menjadi
Parmunafik Di sisi lain, dalam posisi objek, mereka terkait dengan orang-orang kafir, musyrik,mujrif
dan jahat dalam menerima ancaman dan hukuman dari Allah.
65
Orang munafik adalah sekelompok orang yang berkerumun di tengah barisan orang percaya
Mereka memiliki banyak topeng palsu untuk melindungi bentuk aslinya mereka atas keberhasilan
misi penghancuran garis internal Islam.Orang-orang munafik adalah mereka yang dalam tubuh umat
Islam sangat menyimpang Strategi dan taktik begitu canggih tanpa mengkhawatirkan halal
haramnya. Mereka adalah mata-matasiapa yang curang Mereka adalah mata orang-orang kafir dan
musuh Islamditanamkan Mereka selalu mencari celah untuk merusak tatanan kehidupan spiritual
Spiritualitas dan Persatuan Islam.
Syaikh ‘Abdul-‘Aziz b. Marzuq al-Ṭuraifi mengatakan bahwa Allah menyebut golongan orang
munafik di dalam al-Qur’an lebih banyak dari menyebut kaum Yahudi, 8 sebab golongan munafik
menggunakan perantaraperantara syar’i untuk menghancurkan prinsip dasar Islam. Keberadaan
mereka tersamarkan dari khalayak .
2.Sifat-Sifat Orang Munafik
Allah menjelaskan secara rinci dalam beberapa ayat yang berbicaramencirikan orang-orang
munafik, sehingga disebut sebagai sura dengan AlquranSurat Al-Munafiqun. Menurut Tafsir Wajiz4,
Allah menggambarkan orang-orang munafik sebagai orang yang bersumpah di hadapan Nabi dan
orangorangIman sebagai perisai agar mereka tidak ditangkap atau dibunuh dan harta benda mereka
aman Terjadi perang antara kaum muslimin dan kaum kafir. Anda melakukan perbuatan itu karena
mereka benar-benar mengakui iman mereka dengan mulut merekakafir karena iman mereka hanya
di mulut mereka. Hati mereka terikat pada diri mereka sendiridiri mereka sendiri sehingga mereka
tidak dapat merasakan sukacita iman yang sejati. Tuhan jugamerancang strategi untuk Nabi
menghadapi mereka sehingga dia tidak akan melakukannyapercaya apa yang mereka katakan dan
tegaskan bahwa Tuhan selalu adalindungi Utusanmu dan Tuhan yang tahu yang terbaik.
Allah menerangkan kembali dalam ayat lain tentang karakteristik orang munafik, yaitu mereka
yang gemar menampilkan kesombongan ketika Nabi menyampaikan dakwah atau mengajak kepada
kebaikan. Syeikh Wahba AzZuhaily dalam kitab Tafsir Al-Munir5 mengutip sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Syaikhoni dan Imam at-Tirmidzi untuk menelusuri asbabun nuzul ayat
penggambaran kesombongan orang munafik.
Tafsir Ibnu Katsir dengan menukil hadits serupa juga menggambarkan secara runtut sebab
turunnya ayat ketika orang munafik menampakkan kesombongannya dengan ekspresi membuang
muka dan berpaling dari sahabat muhajirin, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai
berikut:
Yunus ibn Bukair meriwayatkan atas otoritas Ibn Ishaq yang dia ceritakanI Muhammad bin
Yahya bin Hibban dan Abdullah bin Abu Bakar dan Asimbin Umar bin Qatadah dalam riwayat Banil
Mustaliq ketika Rasulullah saw.digantikan oleh Banil Mustaliq, Jahjah bin Sa'id Al-Gifari, pegawai
Umar binKhattab melawan Sina ibn Yazid untuk mendapatkan air.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Muhammad binu Yahya binu memberitahukuHibban itulah yang
kemudian mereka perjuangkan untuk mendapatkan air dari mata air tersebutkeduanya berkelahi.
Terakhir, Sinan berkata, "Wahai kaum Ansar," sedangkan Al-Jahjah berkata, "Wahai kaum Muhajir."
Saat itu, Zaid bin Arqam dan rombonganKaum Ansar bersama Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Oleh
Abdullah bin Ubaysetelah mendengar ini, dia berkomentar, “Benarberani melakukan
66
pemberontakan di negara kita. Demi Tuhan, teladan kita danPenggalan orang Quraisy (yakni
Muhajirin) ini sama dengan peribahasa tersebutPepatah "Ukur anjingmu dan dia akan
memakanmu". Demi Tuhan, sungguhSungguh, ketika kita kembali ke Madinah, yang kuat akan
mengusir yang lemah dari sana.” Kemudian dia menoleh ke mereka yang ada di sana.di sampingnya
dari kalangan kaumnya, lalu berkata kepada mereka: Inilah akibatnya Tindakan Anda, Anda
membiarkan mereka menduduki negara Anda dan Anda setuju untuk berbagi aset Anda dengan
mereka. Ingatlah itu, demi Tuhan, untuk berjaga-jagajika Anda menghindarinya, mereka akan
dengan aman pergi dari Anda ke tanahyang lain." Al-Hadits. Kemudian turunlah surah al-munafiqun
sebagai pembenaran untuk Zaid bin Arqam dan dusta dari Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Lalu
dikatakan kepada Abdullah ibn Ubay “Telah turun ayat yang keras untukmu, pergilah menemui
Rasulullah agar beliau memohonkan ampun bagimu”, dia berpaling membuang muka dan turunlah
ayat ini.
َُه َُمَالَّ ِذََاٌ َنٌََ َقََا ُولَا ُو َنََ َل ََْۚتَا ُن ِفقَا ُواَ َعٰلىَ َماَنَ ِعاَن ََدَ َر ُسََاو َِلَهال َِّٰلَ َحتهىَيَا َن َف َُّضَاوَاَ ََوَه ِل ِۚ ِّلََ َخ َزَۤاَ َِۚۚٮ ُنََال َّس َٰم
َٰو َِتَ َواَا َْلَا َر ۚ َِۚ ِ َضَ َوٰل ِك ََّن
َاَال ُمٰن ِف َِقَاٌ َنََ َل ََْۚيَا َف َق ُهََاو َن
Allah menyampaikan pesan yang dapat dijadikan pembelajaran dari beberapa ayat tentang
penggambaran sifat-sifat orang munafik8 , antara lain:
1. Diantara sebab-sebab murkanya Allah kepada orang munafik adalah penolakan mereka untuk
memohon ampun atas perkataan dan perbuatan mereka, juga sikap takabburnya tentang iman.
2. Ada atau tidaknya ishtighfar oleh mereka adalah hal yang sama, permohonan ampun mereka tidak
memiliki manfaat apapun karena Allah sudah tidak menerimanya
3. Perkataan Ibn Ubay kepada kaum Anshar membuat murka Allah.
4. Allah membantah perkataan hasud mereka dengan penjelasan bahwa tidak ada yang dapat
mengatur pintu rezeki seseorang, Allah yang mengatur itu semua. Kebodohan mereka tidak mampu
berfikir bahwa segala hal menjadi mudah di tangan Allah.
Hal-hal Yang Harus Dihindari Agar Tidak Terjerumus Dari Sifat Orang Orang Munafik:
Ada beberapa hal-hal yang harus di hindari agar kita sebagai orang Muslim tidek terjerumus dari
sifat-sifat orang-orang munafik. Diantaranya yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
1. Memperkokoh Loyalitas sesama Muslim
Loyalitas secara harfiah diartikan sebagai kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Di dalam Islam
disebut dengan al-wala yang memiliki beberapa makna yaitu mencintai, menolong, mengikuti, dan
mendekat kepada sesuatu (Supadie 2013, 74). Untuk menghadapi orangorang munafik dengan
perilaku, dan sifat mereka yang tercela yang membahayakan orang-orang mukmin, Allah swt
mengajarkan kepada orang-orang mukmin agar memperkokoh loyalitas salah satunya adalah
tarbiyyah Ilahi yang terkandung di dalam Al-Qur‟an sebagaimana dalam
Qs An-Nisa ayat 88 :
67
َف َم َۚاَل ُك َََۚامَفِىَاَال ُمٰن ِف ِقََاٌ ََنَفئِ ََتَا ٌَ ِنََ َوََهال ٰ َّلَُااَ َر َك َس ُهاَمَبِ َماََ َك َسبَا ُواََۚا َت ِر ََُۚاٌدَا ُو ََنَاَا َنََتَاا َهدضلَِا َُِلوَاَه َامَلَاٰ َُّلنَا َض َۚها ََّللَ ٰ ُّلََ َو ََمَانَ ُّي
ََف ََلَانَت ِج َۚ ََدَله َََۚ َسبَا ٌِ ًل
Artinya: 88. Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-
orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha
mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah
disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya. Wahyu ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dari Zaid bin Thabit ketika Nabi pergiDia bergabung dengan beberapa pasukan di
Pertempuran Uhud. Jika Anda pulang tanpa ikut perang, ada bedanya perbedaan antara para
sahabat Nabi pada waktu itu. Kemudian dua hal terjadi Pendapat yang muncul, yang pertama
mengatakan bahwa dia akan membunuhmereka yang tidak ikut perang, kata yang lain, seharusnya
tidak bunuh dia Maka Allah menurunkan ayat ini ('Ali 1994). Ibnu Katsirmenegaskan bahwa Allah
menghindari kontroversi melalui
Firman-NyaOrang beriman berbeda sikap dan pendapatmenghadapi orang-orang munafik
(Imaduddin 2004). Bahwa ini ditandaisebaliknya, Allah swt memerintahkan orang-orang
berimanberkumpul dalam barisan yang menyatukan visi dan misinya untuk menghadapi orang-orang
munafik (Admizal 2018). Menimbang pendapat di atas bahwa kamiTidak ada gunanya membela
orang munafik yang sudah munafikdatang ke nifak menjadi lembut dan menunggu mereka menjadi
mendapat petunjuk dari Allah sampai mereka berbalik dan mendukung perjuangan orang beriman
hanya demi Allah menyatakan ketidakpercayaannya dan menegaskannya dari waktu ke waktuTidak
ada yang bisa menawarkan perlindungan.
2. Menghindari Perbuatan Berdusta (bohong)
Berbohong yaitu memberitahukan tidak sesuai dengan kebenaran yang ada, baik berita itu
disampaikan secara lisan, ataupun berita yang didengarkan yang pada semestinya tidak sesuai
dengan realita yang sebenarnya terjadi. Secara keseharian ada beberapa arti kata yang mengandung
kemiripan dengan berdusta seperti, berbohong, dusta, tipu. Kata-kata tersebutlah yang lazim
digunakan. Dalam hal ini yaitu orang orang munafik sangat erat dengan pemakaian kata al-kadzib
yaitu mereka yang benar-benar mendustakan kebenaran-kebenaran yang datang, pengingkaran
terhadap kebesaran Allah. Dalam hal prakteknya kata al kadzib disandarkan pada subyek yang
memiliki kepribadian sebagai penentang, pendusta, penyebar fitnah dan cenderung memusuhi.
Karakter ini sesuai dengan mereka orang-orang munafik yang perkataan dan perbuatannya tidak
sesuai dengan apa yang tersimpan dalam hatinya (Latif 2004, 3) Dalam hal ini berita bohong
terdapat di dalam Al-Qur‟an Qs Al Hujurat ayat 6 sebagaimana firman-Nya
• ا ُص ِب ََُۚ َُۚاواَ ٰي ٰۚۚا ٌَ َّه ُۚاَالَّ ِذاٌَ ََنَٰا َمنَا ٰ ُواَ َِاَانَ َج ۤا َء َُكَامَ َفا ِسََ َۢقَب ِن َب َۚاََ َفت َب َۚ ٌَّنَا ٰ ُواَاَا ََنَت ِص ََُۚاٌبَا ُواَقَا َو ًم ۢاََبِ َج َهالََةَفَ ََت
َعٰلىَ َماَ َف َََۚ ََۚالتَا َُمَ ٰۚ َٰۚ ِد ِمََاٌ ََن
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu
berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
68
Bahwasannya sudah sangat jelas penjelasan ayat di atas. Bahwa jika kita mendapatkan suatu berita
atau kabar haruslah teliti terlebih dahulu agar 11 nantinya tidak menimpa atau mendapatkan
musibah dari kabar yang diperoleh tanpa mengetahui kebenarannya yang sebenarnya dan
menyebabkan akan menyesal sendiri atas perbuatan yang diperbuat yaitu menyebarkan berita
bohong atau berdusta. Untuk itu sebagai orang mukmin tidak sepantasnya seperti mereka yaitu
orang-orang munafik dengan karakter suka berdusta atau berbohong dengan menyebarkan kabar
yang tidak sebenarnya. Yang harus diperbuat adalah dengan berkata jujur, sebagai orang mukmin
yang taat kepada Allah perbuatan semacam itulah yang harus dihindari dalam kehidupan sehari-hari.
Berkata jujur lebih baik dan meninggalkan yang munkar.
3. Menghindari Sifat Malas Beribadah
Beribadah dapat diartikan dengan berbakti, berkhidmat, patuh, tunduk serta mengesakan Allah
swt, dengan harapan ridho dan perlindungan dari Allah. Serta harus dilakukan sesuai dengan
tuntunan dari Rasulullah. Secara esensial ia tunduk pada perubahan situasi dan kondisi, sehingga
tata cara beribadah sesungguhnya tidak berubah dari zaman ke zaman (Zulkifli 2017). Pengertian lain
beribadah adalah sebuah bentuk ketaatan dan merendahkan diri kepada Allah swt dengan
melaksanakan perintahNya yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan di ridhai oleh Allah baik
berupa ucapan atau perbuatan, maupun yang bersifat jasmani maupun rohani (Susanto 2012).
Karena sesunggunya orang-orang munafik memiliki karakter yaitu malas beribadah. Mereka semua
malas untuk melakukan beribadah seperti dalam halnya melaksanakan shalat. Mereka mau
melaksanakan shalat namun dikerjakan di akhir waktu, melambatkan bacaan, gerakan shalat, dan
menunda-nunda untuk beribadah
4. Meneguhkan Perjanjian
Janji secara umum memiliki arti yaitu hubungan antara dua orang atau lebih yang dinyatakan
dengan ucapan atau tulisan yang bersifat mengikat baik secara hukum maupun moral. Apabila
terjadi ikrar perjanjian maka terjalinlah hubungan antara dua orang atau lebih (Abudin Nata DKK 12
2001). Berjanji itu harus ditepati dan jika melanggar perjanjian yang sudah dibuat akan berdosa.
Bukan sekedar berdosa kepada orang orang yang kita janjikan tetapi berdosa pula kepada Allah.
Ingkar janji merupakan sifat dan perbuatan syaitan. Dan mereka menggunakan janji itu dalam rangka
mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan.
5. Perbanyak Doa
Di dalam Al-Qur‟an, kata doa mempunyai arti memohon, mengharap, meminta, memanggil,
menyeru, memuji, menyembah atau beribadah (Hidayat 1993). Secara istilah doa adalah memohon
sesuatu dari Allah swt dengan harapan agar Allah mengabulkannya, atau meminta sesuatu sesuai
dengan hajatnya atau meminta perlindungan kepada Allah swt terhadap bencana, malapetaka yaitu
dengan merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya dan ia merupakan bagian dari ibadah (Admizal
2018). Dalam pembahasan ini doa yang dimaksudkan adalah memohon kepada Allah untuk
senantiasa dijaga dari segala perkataan yang keluar dari lisan kita atau yang ada didalam hati,
khususnya yang berhubungan dengan permohonan mengharapkan pertolongan Allah swt agar
terhindar dari sifat orang-orang munafik. Al-Qur‟an mengajarkan bahwa dalam menghadapi musuh,
yang harus dilakukan salah satunya dengan berdoa. Termasuk dalam hal menghadapi orang-orang
munafik sebagaimana musuh tersembunyi yang sangat berbahaya .
69
PENUTUP
SIMPULAN
1.Munafik adalah orang yang berpura-pura iman kepada agama, namun sebenernya tidak dalam
hatinya. Nifaq yaitu menampakkan keimanan dalam ucapan, tetapi menyembunyikan kekafiran di
dalam hati. Segolongan manusia yang menampakkan wajah islam namun menyembunyikan
kekafiran merupakan golongan munafik. Contoh sifat munafik seperti menipu, tidak sabar
menghadapi rintangan, penyakit hati, bermuka dua, malas beribadah, tidak berpendirian, ingkar
janji, dan bersumpah palsu.
2.Penafsiran ayat-ayat tentang munafik dalam konteks tafsir bi al- Ma'thur Karya Ibn Katsir memiliki
banyak kandungan yang dikelompokkan berdasakan pembahasannya diantaranya seperti: Sakit
hatinya dan memandang orang mukmin tertipu agamanya, Takut terbongkar nifaqnya dan
memperolokkan Allah dan Rasulnya, Menyuruh munkar melarang ma'ruf, kikir, tidak ta'at dan fasiq,
Memandang Allah dan Rasulnya penipu, Penyebar kabar bohong, Pendusta, tidak paham dan bodoh,
Sesat karena perilakunya sendiri, Menipu Allah, malas shalat, riya, tidak menyebut Allah dan ragu-
ragu, Berprasangka buruk terhadap Allah, Ingkar janji dan dusta.
Ayat-ayat yang menunjukkan tentang kemunafikan di dalam al- Qur'an, merupakan ayat yang
secara faktual mengungkap tentang orang-orang bimbang yang tidak bisa menentukan keimanan
dan kekafiran. Penafsiran ayat-ayat munafik menunjukkan bahwa secara sosial munafik merupakan
sifat yang harus dijauhi karena orang munafik adalah orang yang menampakkan keyakinan lisannya
sejalan dengan kebenaran di depan orang banyak, padahal kondisi batinnya atau perbuatan yang
sebenarnya tidak demikian. Kepercayaan atau perbuatannya itu disebut nifaq. Sedangkan menurut
syara' artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Dengan kata lain, nifaq adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
terkandung di dalam hati orang munafik.
SARAN
Mari kita pelajari dan kita pahami mengenai pengertian munafik. Lebih memahami tentang
keberagamaan kaum muslimin dan munafik, kita lebih mudah untuk mengetahui Tafsir Hadis Akidah
dan Akhlaq secara mendalam. Makalah ini hanya membahas secara singkat Struktur Keberagaamaan
antara Kaum Muslimin dengan Munafik. Dengan demikian, diharapkan kepada para pembaca agar
memperdalam kembali pada buku-buku yang lebih luas dan terperinci. Mudah-mudahan makalah
yang sederhana ini memberikan manfaat yang besar kepada para pembaca umumnya dan kepada
penulis.
70
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim,simplequran,Appstore
Ibnu Katsir, Tafsit Alquran al-'Adhim, Sulaiman Mar'a, Singapur, tanpa tahun
AlMaraghi, Ahmad Mushtafa Tafsir Al-Maraghi, Dar Al-Fikr, Baerut, Lubnan,1971
Ibnu Katsir, Tafsit Alquran al-'Adhim, Sulaiman Mar'a, Singapur, tanpa tahun
AlMaraghi, Ahmad Mushtafa Tafsir Al-Maraghi, Dar Al-Fikr, Baerut, Lubnan,1971
Karim dkk.(2021).Tafsir Hadist Tematik:kajian tema akidah akhlak.Cirebon:Nusa Litera Inspirasi
Admizal, Iril. “Strategi Menghadapi Orang Munafik Menurut Alquran”, ALQUDS : Jurnal Studi
Alquran dan Hadis, Vol. 2, No. 1, April 2018.
KHAIRUNNISA, K. (2021). MUNAFIK MENURUT M. QURAISH SHIHAB
DALAM TAFSIR AL-MISHBĀH DAN IMPLIKASINYA DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA (Doctoral dissertation, IAIN Bone).
Tim Penyusun, Tafsir Wajiz Jilid II, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQuran), 2016.
71
BAB VII
TAFSIR HADIS TENTANG AYAT-AYAT TEOLOGIS
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai perbedaan-perbedaan pemikiran dan Aqidah
yang diyakini oleh individu maupun kelompok warga. Perbedaan pemikiran tadi tidak sedikit
menghasilkan saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Semuanya mempunyai hujjah
serta pendapat masing-masing tentang tauhid/keyakinan atau perihal hal ketuhanan yang diyakini
menjadi kebenaran. Sebagai seseorang Muslim yang ingin selamat di dunia dan utamanya pada
akhirat nanti, tentu hal yang menyangkut keyakinan tentang ketuhanan harus mendapat perhatian
yang lebih. dan orang yang memegang kepercayaan Allah (Islam) dituntut mengetahui manakah
pemikiran yang benar berasal yang salah, antara yang Haq dan yang batil, dan seterusnya.
Tentu yang wajib menjadi pijakan pada keyakinan kita adalah al-Qur’an serta al-Hadis dan
pemahaman salaf al-Salih. Persoalan ini sangat penting serta harus di pelajari agar apa yang menjadi
keyakinan kita perihal Haq Allah tidak keliru. Diskusi goresan pena ini artinya perihal al-Qur'an dan
teologi (ketuhanan). Kita tentu sepakat bahwa ide sentral pada teologi al-Qur'an merupakan
inspirasi tawhidullah (mengesakan Allah). Secara khusus goresan pena ini akan mengupas perihal
tawhidullah dan bagaimana mengimani sifat-sifat-Nya yang Mulia? Dan bagaimanakah pandangan
para sarjana muslim klasik juga kontemporer terhadap pertarungan tersebut menggunakan logika
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat maupun hadis yang menjelaskan wacana sifat Allah.
B. Al-Qur’an dan Aktifitas Penafsiran
Al-Qur´an diturunkan sedikitnya mempunyai dua fungsi primer, yaitu sebagai sumber aturan Islam
(dustur ilahi) dan sebagai bukti kebenaran kerasulan Nabi Muhammad ﷺ. Menjadi sumber
aturan, al-Qur´an menyampaikan banyak sekali adat keagamaan menjadi petunjuk bagi kehidupan
umat manusia untuk mencapai kebahagiaan pada dunia dan pada akhirat. Karena sifatnya memberi
arah petunjuk, maka istiadat-istiadat tersebut lalu dinamai syari’ah, yang berarti jalan yang lurus.
Al-Qur´an artinya kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺmenjadi
mukjizat yang ditulis pada mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya artinya
ibadah.1 Diturunkannya kepada jin serta manusia supaya mampu dijadikan petunjuk (hudan) serta
pembeda (furqan) antara kebenaran serta kesesatan.2
_____________________
* Dosen Tetap Prodi. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Hidayah Bogor .
72
1.Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2012), 15. Bandingkan
dengan Muhammad ‘Ali al-Sabuni dalam Pengantar Studi al-Qur´an, bandingkan juga dengan
Khudari Beik dalam Tarikh Tashr’i Islami. Menurut bahasa, “Qur’an” berarti
“bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur´an sendiri yakni dalam QS. al-Qiyamah
(75) ayat 17-18: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur´an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
2 Lihat (QS. al-Baqarah *2+: 18) “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil “
3 Lihat (QS. al-Nisa *4+:82), perhatikan juga firman Allah , “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur´an ataukah hati mereka terkunci (QS. Muhammad [47]:24).
4.Lihat Ibn Qayyim dalam Al-Fawaid. (Beirut: Darul Kutub Arabi, 1414), 1.
5.Lihat ( QS. Qaf [50]: 37)
Allah sudah menurunkan al-Qur´an buat dibaca dengan penuh penghayatan (tadabbur), agar
diyakini kebenarannya dan buat diusahakan mengamalkan isinya. Sebagaimana firmanNya:
َ﴾۲٢﴿َأ َف َل َۚ َََۚ ٌَت َد َََۚبر َۚو ََنَال ْۚق ْر ُۚ َءا ََنََخََ َول ْو َََۚ َكا َنََ ِم َْنَ ِعن َِدَ َغ ٌْ َِرَاۚل َّل ََّۚلَ َو َج ُدو َْاَفٌِ ِهََاخ ْۚتِل ًف َۚاَ َكثٌِ ًرا
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya alQur´an itu bukan dari sisi-
Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.3
Berdasarkan ibn Qayyim al-Jawziyah (w.751 H) untuk bisa mewujudkan perintah tersebut, seseorang
wajib bisa memahami makna dan kandungan ayat tersebut.4 Beliau berkata:
“Apabila ingin mengambil pelajaran dari al-Qur´an, maka harus memusatkan hati dan pikiran di
saat membaca dan mendengarnya. Beliau mengutip ayat” dan perhatikanlah firman-Nya baik-baik,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”5.
Masih berdasarkan ibn Qayyim ayat di atas mendorong umat Islam buat menggali nilainilai yang ada
pada al-Qur´an. Agar fungsi al-Qur´an tersebut dapat terwujud, maka wajib menemukan makna
firman-Nya terutama di waktu menafsirkan al-Qur´an.
Para ulama tafsir sudah menyepakati (ijma’) bahwa buat menafsirkan ayat-ayat alQur´an mencari
dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya seseorang mufassir wajib menguasai
dan tahu di antaranya, asbab nuzul (karena-karena turunnya), menguasai qawaid bahasa Arab,
memahami munasabat (korelasi antar ayat), nasikh mansukh, umum spesifik dan lain-lain.
Allah sudah menurunkan al-Qur´an6 menggunakan bahasa Arab7, yaitu bahasa mayoritas penduduk
Arab masa itu. Meskipun demikian tidak secara otomatis orang yang mampu bahasa Arab bisa tahu
al-Qur´an secara pribadi tanpa membutuhkan penafsiran. oleh karenanya, orang yang ingin
menafsirkan Al-Qur´an harus tahu bahasa Arab baik qaidah lughawiyahnya seperti nahwu, sharf
73
(gramatical), juga ta’biriyah (Linguistic) seperti majaz, balaghah, i’jazdan lainnya. pula ulum al-Qur´an
mirip asbab al-nuzul, nasikh mansukh, qira’ah dan lainnya. Studi interdisipliner juga dibutuhkan oleh
seorang mufassir, mengingat al-Qur´an tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah serta
syariah saja, tetapi pula memuat isyaratisyarat ilmu pengetahuan yang lainnya.
Sejarah mencatat bahwa, kaidah-kaidah penafsiran telah terdapat semenjak zaman sahabat, yang
kemudian metode mereka pada menafsirkan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu
tafsir. Tetapi yang jelas waktu ekspansi dakwah Islam masuk wilayah-
wilayah ‘Ajam (non Arab) dan ajaran Islam beredar luas terutama pada abad ketiga hijrah, maka di
sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis persoalan Islam sinkron
dengan disiplin mereka masing-masing. Buat memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus
menyampaikan rambu-rambu agar tidak terjerumus pada kesalahan, maka dibakukanlah qaidah-
qaidah tersebut.
jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Allah semesta alam; (2) Mengajarkan manusia yang adil beradab; (3) untuk menciptakan persatuan
dan kesatuan; (4) Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin hikmah
kebijaksanaan; (5) Untuk membasmi keyakinan material dan spiritual, kebodohan penyakit, dan
penderitaan hidup; (6) Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dengan rahmat dan kasih sayang
dengan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan; (7) Untuk memberikan jalan tengah
antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme dalam menciptakan
ummatan wasatan yang menyeru kepada kemungkaran dan mencegah kepada kemunkaran; dan (8)
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan
dengan jati diri manusia dengan panduan nur Ilahi. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur´an; Tafsir
Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan 1996), 12-13.
7.Lihat QS. Yusuf (12): 2.
َََ﴾٢﴿ََََِا َّن ۤاََا َنۚ َزلٰن َُهَقُر ٰء ًناَ َع َربِ ًٌّاَلَّ َعلَّ ُكَمَت َعۚ ِقلُو َن
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur´andengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”. QS: Yusuf *12+: 2)
ََو َماَ ِم َْنَ َدۤا َّبةََفِىَا َل ْۚ ْۚ ْر ِ َضَ َو َل ََْۚ َٰۤطَ َِۚۚٮرََ ٌَّ ِط ٌْ ُرََب ِج َۚ َنا َح ٌْ ِهََاِ َّل ََْۚا َم َُۚمَا ْم َۚثاَلُ ُك ْمَََۚ َماَ َف َّر ْط َناَفِىَاَ ْل ِكٰت ِبََ ِم ْنََ َش ًْ َءَث َّم ََُۚ ِاٰلىَ َرََبِ ِه َْم
َ﴾٣۲﴿ٌَََُ ْح َش ُر ْو ََن
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada
sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Allah mereka dikumpulkan”. QS:
al-‘An’am *6+: 38
Menurut ibn Taymiyyah apabila tidak ditemukan pada al-Qur´an, Sunnah dan tidak pula terdapat
dalam perkataan sahabat, maka Sebagian Ulama mengharuskan merujuk pada perkataan
Tabi'in.misalnya Hasan Basri, 'Ata' ibn Rabah, Mujahid ibn Jubayr murid 'Abdullah ibn'Abbas yang
pernah mengemukakan al-Qur´an menurut awal hingga akhir dan menanyakan tafsiran menurut
setiap ayat yang dibaca. Sufyan al-Thawri berkata; Jika terdapat tafsir menurut Mujahid maka itu
74
telah cukup. Ibn Jarir meriwayatkan menggunakan sanadnya menurut Ibn 'Abbas, mengungkapkan
penafsiran itu terdapat empat macam: Pertama, Penafsiran yg diketahui oleh orang Arab melalui
turunannya. Kedua, Penafsiran yg bisa diketahui oleh seluruh orang yakni penafsiran yg menyangkut
halal & haram. Ketiga, penafsiran yang hanya diketahui oleh para Ulama, Keempat, Penafsiran yg
tidak diketahui kecuali hanya Allah.8
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, dan untuk memahaminya diperlukan pemahaman yang
baik tentang bahasa dan aturannya, apalagi interpretasinya. Selain itu untuk memahami ajaran
Alquran lainnya seperti Fiqh, Qawaid, Ushul dan disiplin ilmu lainnya sebagai penunjang.
Menafsirkan puisi dengan al-awah (keinginan) saja, tanpa bersandar pada ilmu atau pengetahuan,
melibatkan kebohongan, seperti kata-katanya.9 Juga,dalam hadits Rasulullah ﷺsering diingatkan
untuk tidak menafsirkan ayat al-Qur'an tanpa pengetahuan, diantara hadist yang di maksud kan
yakni:
منَقالَفًَالقرآنَبرأٌهَأوَبماَ َْلٌَعلمَفلٌتبوأَمقعدهَمنَالنار
“Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur´an dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan
ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. (HR. AlTurmudhi)
Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah ﷺbersabda;
منَقالَفًَالقرآنَبرأٌهَفقدَأخطأ
“Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur´an dengan pendapatnya, maka ia telah keliru”, (HR.
Turmudhi, Abu Dawd, dan Nasa’i)
Mencermati pembahasan di atas, maka kegiatan menafsirkan al-Qur'an (secara wajar) dalam ijtihad
ra'yu merupakan tradisi sejak zaman Nabi Muhammad ﷺdan itu dilakukan oleh istrinya sendiri
yakni 'Aisyah, yang mana beliau banyak melakukan hal-hal penting dalam agama dan ditafsirkan
secara religius. Dan pada suatu kesempatan Nabi sendiri menasihati sahabat Muad bin Jabal untuk
melakukan Ijihad ra'yu (akal) untuk menyelesaikan masalah ummat ketika ia tidak mendapat
jawaban dari al-Quran dan Sunnah. Dan hal tersebut harus dilakukan agar al-Qur'an menjadi
pedoman yang benar untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat dengan
memperhatikan aturan-aturan tafsir yang benar.
Selain dua fungsi pada atas, al-Qur´an untuk umat Islam juga sebagai asal primer dan sangat
fundamental, dia berfungsi menjadi hudan (petunjuk), diantaranya pada
permasalahanpermasalahan akidah (keyakinan), shari'ah (hukum), moral dan lain-lain, juga berfungsi
menjadi furqan (pembeda) antara kebenaran dan kebatilan.
____________________
Lihat Ibn Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-Tafsir. (Makkah: Matba’ah al-Hukumah, tt) juz. 13, hlm.
375 Lihat QS. al-Nahl *16+: 16 “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap.
sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap tiadalah beruntung”.
75
C. Teologis dalam al-Qur’an
Seiring dengan majunya peradaban umat Islam serta berakhirnya generasi terbaik dari umat ini
yaitu lebih kurang abad tiga Hijriyah, maka muncul lah aneka macam pemahaman dan penafsiran
terhadap al-Qur´an. Secara tidak eksklusif insiden terbunuhnya khalifah Utsman ibn ‘Affan di tahun
34 H / 654 M, yang kemudian digantikan sang khalifah Ali ibn Abi Thalib, menurut Hanafi peristiwa
tersebut sebagai permulaan perpecahan umat Islam serta sangat berpengaruh terhadap
pemahaman teologi mereka.11 Selain itu pula faktor masalah-persoalan di lapangan politik yang
terjadi di masa akhir pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib ikut memicu lahirnya dilema-dilema teologi.12
Inilah faktor primer yang berdasarkan Harun Nasution memicu lahirnya cikal-bakal madzhab-
madzhab di dalam tubuh umat Islam. Selain munculnya madzhab pada bidang fiqih yang sangat
terkenal, pula bermunculan madzhab-madzhab pada bidang aqidah (teologi) dan hal demikian
berkembang hingga saat ini.13
Ada banyak teori yang menjelaskan wacana teologi yang berkembang sebelum datangnya Islam
yang banyak dianut sang masyarakat Jahiliyah (Makkah dan sekitarnya) sebelum datangnya Islam
yang dibawa sang nabi Muhammad ﷺ. Pada hal ini terdapat banyak pendapat di antaranya adalah
pendapat ulama serta sekaligus fakar sejarah Islam yaitu Safiy alRahman al-Mubarakfuri14 yang
membagi fase dakwah Nabi Muhammad ﷺmenjadi dua periode; yaitu pertama, periode Makkah
yaitu selama hampir tiga belas tahun, dan kedua, periode Madinah selama sepuluh tahun. Al-
Mubarakfuri menyebutkan bahwa pada masa sebelum diutusnya Muhammad ﷺke tengah-
tengah bangsa Arab, kala itu bangsa Arab sejatinya artinya beragama millah Ibrahim (Islam), tetapi
pada perjalanannya sudah tak lagi murni melainkan telah disusupi khurafat dan kesyirikan yang
kemudian mempengaruhi kehidupan beragama mereka (bangsa Arab) yang akhirnya sebagai
kepercayaan paganisme penyembah berhala.
Menurut Abdul ‘Aziz Dahlan, agama Islam, yang dibawa sang Nabi Muhammad ﷺ, mempunyai
ajaran-ajaran menjadi panduan hayati buat keselamatan manusia di dunia serta akhirat kelak.
Menurutnya bahwa ajaran Islam itu bisa di bagi kepada dua bagian yaitu: pertama, bagian yang
berada pada bidang aqidah (keyakinan), dan kedua, bagian yang berada di bidang amal (perbuatan).
Ajaran yang berada dalam bidang aqidah dimaksudkan buat mendorong serta membimbing umat
manusia membuatkan diri menuju kesempurnaan pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan
pengetahuan, pemahaman, aqidah, atau iman.
Sedang ajaran yang berada dalam bidang amal (perbuatan) dimaksudkan buat mendorong serta
membimbing umat manusia demi mengembangkan amal-amal, sehingga tercapai kesempurnaan
amali (simpel).16
Terdapat warga Yahudi17 yang mengaku umat kekasih serta menjadi anak-anak, dan menganggap
bahwa Nabi yang pantas dibangkitkan (diutus) artinya berasal kalangan mereka saja. Selain itu ada
komunitas Nasrani18 yang memper-Allah-kan Isa al-Masih. Akidah-akidah tersebut ialah akidah yang
menyimpang, sehingga dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad ﷺdi samping menegakan akidah
Islam, akan tetapi pula meluruskan akidah yang menyimpang tersebut.19
Al-Qur´an menyebutkan bahwa Rasulullah beriman kepada apa yang diturunkan (diwahyukan)
Allah kepadanya, demikian juga orang-orang beriman; masing-masing beriman pada, para Malaikat-
76
Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kebangkitan.20 Meskipun dalam al-Qur´an tidak dijelaskan kata iman
dihubungkan dengan qada/takdir sebagaimana yang ada pada hadis nabi, tetapi permanen ayat
tersebut mencakup keimanan terhadap qada/takdir Allah yang berlaku di alam semesta ini serta
sangat jelas ditunjukkan pada banyak ayat al-Qur´an lainnya.
D. Dasar Memahami Teologi
Pembahasan tentang teologi (ketuhanan), adalah hal yang paling urgen pada agama Islam sebab
ini menyangkut aqidah bagi seseorang muslim serta mempunyai peranan penting dalam
menghasilkan tertentu-eksklusif muslim yang kaffah (tepat). Selain itu, peran aqidah pula
merupakan inti atau dasar dari pada pelaksanaan shariah Islamiyah (aturan Islam) yang diturunkan
Allah di manusia.
Ibn Taymiyyah menjelaskan, bahwa yang sebagai pokok di pembahasan aqidah Islamiyyah
merupakan dilema keuluhiyahan (keAllahan) Allah pembahasan tersebut berkisar pada tiga hal yaitu;
pertama, pembahasan wacana Dhat Allah; kedua, pembahasan wacana sifat Allah; dan ketiga,
pembahasan perihal perbuatan Allah. Menurutnya pembahasan ihwal ketiga aspek tadi artinya
perkara yang tidak mudah pada masalah aqidah.21 Masih menurut Ibn Taymiyah, selain berpatokan
pada lafadz dzahir seseorang ulama dituntut mengungkap makna yang sesuai menggunakan maksud
lafadz tadi, menggunakan tanpa ta`wil.22
Memperhatikan pendapat di atas maka dapat dikonklusikan bahwa inti berasal aqidah Islam ialah
tawhidullah (mengesakan Allah), pada perkembangannya ini mengalami metamorfosis (perubahan)
makna dan menjadi salah satu disiplin ilmu yang dikenal sang kalangan umat Islam yaitu ilmu
tawhid/aqidah. Ilmu inilah yang sang kaum muslimin diyakini akan menuntun jalan pada
pemahaman aqidah Islam yang lurus.
Menurut Muhammad Hassan, ulama tawhid telah membagi tawhid menjadi tiga macam;
pertama, tawhid Rububiyah, yang maknanya mengakui bahwa Allah itu Allah segala sesuatu, yang
menciptakan, mengatur dan menjalankan segala sesuatu di alam semesta ini; kedua, tawhid
Uluhiyyah, yaitu hanya menyembah Allah dalam ibadah dan menjauhkan diri dari menyembah
selain-Nya.23 Ketiga adalah tawhid asma wa al-Sifat, yaitu keimanan pada semua nama dan sifat
Allah yang ada dalam al-Qur´an dan hadis-hadis yang sahih, dan menetapkan semua nama serta sifat
tersebut secara benar dan layak bagi Allah tanpa taḥrif, ta’ṭil, takyif dan tamthil.24 Hal ini sebagai
pengamalan firman Allah dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4:
25َ﴾۴﴿َََ﴾ََ َولم َََۚ ٌَك ُنََۚلَّهََ ُكف ًو ُۚاَا َح َۚد٣﴿َََۚ﴾ََ َلمٌََ ِل َۚدَََۚ َولم ٌَََۚ ُوۚل َد٢﴿َقل ََُۚ ُه ََوَهال ُّلََا َح َۚدََ﴿ا﴾ََهاَۚل ُّلََال َّص َمد
Katakanlah Allah itu Esa, Allah tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu, dia tidak beranak dan
tidak di peranakan, dan dia tidak serupa dengan sesuatu apa pun.
_____________________
16Lihat ‘Abdul Aziz Dahlan, selanjutnya disebut Dahlan dalam Teologi dan Akidah dalam Islam.
(Padang, IAIN-IB Press, 2001), hlm. 135. Komunitas mereka banyak terdapat di daerah Yaman.
77
Dan firman Allah dalam surat al-Shura ayat 11 berikut:
26َ﴾لَ ٌْ ََسَ َك ِمث ِل َْۚهَ َش ًْ َءََۚ َو ُه ََوَال َّس ِم ٌْ َُعَا ْلب ِص َۚ ٌْ ُرَََ﴿اا
dia (Allah) tidak serupa dengan sesuatu apa pun dan dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Menurut ibn Baz, taḥrif semakna dengan taghyir yang berarti merubah, taḥrif dalam nama dan
sifat bisa berarti taḥrif lafdzi dan bisa berarti taḥrif maknawi. Umumnya taḥrif lafdi tak terjadi kecuali
sebab kejahilan, seperti perubahan syakal pada kata “al-ḥamd li Allah” dengan fathah, padahal yang
sempurna merupakan “al-ḥamdu lillah” dengan ḍammah. Adapun tahrif maknawi, inilah yang
banyak terjadi pada banyak manusia yang sering dinamai dengan ta’wil, dan para ulamanya
dinamakan ahl al ta’wil. Penyebutan tahrif pada perubahan makna dan sifat ini lebih tepat karena ini
adalah bahasa al-Qur´an sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nisa [4] 46.27 Adapun menurut
Ibn Salih Uthaymin, lafaz dzahir di surat Taha [20]: 5 tersebut menunjukan bahwa peristiwa di atas
‘Arsh, yang ialah berada di atasnya, Bila ada yang mengatakan bahwa makna “istawa” ialah “istawla”
(menguasai), maka ini adalah ta`wil yang berhakekat taḥrif, karena tak ada dalil yang
mendukungnya.28 Adapun ta’ṭil, secara bahasa artinya takhliyah (mengosongkan) dan tark
(meninggalkan). Adapun secara istilah ta’ṭil adalah mengingkari nama dan atau sifat Allah yang di
tetapkan oleh diri-Nya sendiri, baik secara totalitas ataupun sebagiannya, baik karena taḥrif maupun
karena pengingkaran, semua ini dinamakan ta’ṭil.29
Kandungan surat al-Ikhlas [112]: 1-3 di atas menurut Ugi Suharto, menunjukan bahwa Allah
memiliki sifat ada (al-wujud) yang sangat mudah difahami oleh kaum muslimin yang berarti Allah itu
ada (bukan ghaib) dan Esa (al-Ahad) tidak beranak dan diperanakan, dan tidak ada yang sebanding
dengan dia. Menurutnya, walaupun ada perbedaan pemahaman antara orang awam menggunakan
ulama mengenai tauhid ini, namun tidak ada seseorang muslim pun mengatakan bahwa Allah itu
satu pada antara yang tiga, atau tiga pada antara yang satu.
_______________________
Ibn Taymiyah, Daqaiq al-Tafsir. ditahqiq oleh Muhammad Sayyid al- Julayndi. (Beirut: Dar al-Qiblah
al-Islamiyyah, 1986), hlm. 45. Ibn ‘Uthaymin dalam al-Usul fi al-Ilmi al-Usul, menyatakan bahwa
"Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafadz dari
maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang
lain itu sesuai dengan al-Qur´andan al-Sunnah. Bandingkan dengan Manna Khali al-Qattan dalam
Studi Ilmu-ilmu al-Qur´an, 311. Lihat juga alSabuni dalam Pengantar Studi al-Qur´an, hlm. 202. Lihat
Muhammad Hassan, Haqiqat al-Tawhid. (Madinah, Maktabah Fayyad li al-Tijarah wa al-Tawji: 2007),
hlm. 59. QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4 QS. Shura [42]:19 27 QS. al-Nisa [04]: 46.
78
E. Ragam Nalar Tentang Teologi
Menurut Ramadhan al-Buti terdapat tiga metodologi yang di pergunakan sang para ulama pada
usaha memahami ayat-ayat dan hadis ihwal sifat Allah, yaitu pertama, metode tafwidh,31 kedua,
metode ithbat dan ketiga metode ta’wil. akan tetapi berdasarkan al-Buti mayoritas ulama salaf
dalam memahami ayat-ayat serta hadis perihal sifat Allah meggunakan metodologi tafwidh,32 yaitu
tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tadi, namun mencukupkan diri dengan
penetapan sifat-sifat yg sudah memutuskan bagi Dzat-Nya, serta mensucikan asal segala kekurangan
dan penyerupaan terhadap hal-hal yg baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengikuti metode
ta’wil ijmali (global) terhadap teks-teks tersebut serta menyerahkan pengetahuan maksud yang
sebenarnya pada Allah.33 umumnya mereka memakai Bahasa ”tidak tenggelam”, ”tidak
menafsirkan”, ”diam terhadap sifat-sifat tersebut”, dan ”bacaannya artinya tafsirnya”.34
Pada memahami sifat-sifat Allah, Imam al-Ghazali (W: 520 H)35 telah menyampaikan rambu-
rambu perihal pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadis yang mengungkapkan sifat Allah khususnya
berkenaan menggunakan sifat Dhatiyah supaya umat Islam tidak keliru memahaminya. Menurutnya
terdapat tujuh kaidah yang dikemukan sang beliau dalam kitabnya
Qawa’id al-‘Aqaid fi al-tawhid al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi al-Jam al-‘Awwam ‘an Ilmi alKalam.
Pertama, Taqdis yaitu mensucikan Allah asal penjisiman; kedua, Tasdiq yaitu mengimani dan
membenarkan seluruh yang sudah dikabarkan oleh-Nya; Ketiga, ‘Itiraf yaitu pengakuan akan
kelemahan diri; Keempat, diam yaitu tidak menanyakan hakikat maknannya; Kelima, Imsak yaitu tak
memalingkan makna lafadz menggunakan cara merubahnya; Keenam Mencukupkan diri yaitu
menunda diri buat tidak memikirkannya; serta ketujuh, menyerahkan pada ahlinya.36
Sedangkan pada pandangan kaum Mu’tazilah,37 yang merupakan grup rasionalis, Bila dipandang
dari argumen-argumennya tentang lima prinsip ajarannya, akan terlihat kecenderungannya
mengutamakan nalar dari pada al-Qur´an. Pemahaman mereka tadi tercermin pada lima prinsip
sebagai berikut:
Pertama, keesaan Allah (tawhid). Bagi Mu’tazilah, keesaan telah final. Mereka berpandangan
bahwa sifat-sifat adalah tidak lain dari hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat itu
terpisah dari hakikat-Nya serta berdiri sendiri, tentunya percaya akan “kemajemukan” ajaran
monoteisme. Maka berasal itu keesaan berarti tidak terdapat yang tak pernah mati serta qadim
selain.38 Kosep tauhid Mu’tazilah tersebut sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap al-
Qur´an. Menurutnya al-Qur´an artinya makhluk bukan Kalam. Hal itu dikarenakan Jika al-Qur´an ialah
Kalam, maka al-Qur´an bersifat qadim. mustahil bagi mu’tazilah terdapat Bila dua keqadiman Yaitu
serta Kalamnya (al-Qur´an). Jelas itu menyalahi konsep monoteismenya.39
Kedua, keadilan Allah (al-‘adl). Penafsiran Mu’tazilah mengenai pengertian keadilan ialah bahwa,
harus berbuat adil dan tidak mungkin Jika tidak adil, maka wajib mengganjar orang yang sahih dan
menghukum yang keliru. mustahil pada hari kiamat orang akan lolos dari hukuman dan orang yang
benar tidak memperoleh pahala. Allah tidak adil bila berbuat demikian.40
Ketiga, janji serta ancaman (al-wa’ad wa al-Wa’id). Janji serta ancaman ini ialah salah satu
konsekuensi asal pemahaman Keadilan Allah di atas. Pasti menepati janji dengan memberikan surga
79
pada yang berbuat baik dan pasti juga mewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka
kepada pelaku dosa.
Keempat, kawasan pada antara dua daerah (manzilah baina al-manzilatain). Posisi ini tak jarang
dikaitkan menggunakan orang yang fasiq (yaitu orang yang berbuat dosa akbar misalnya saja minum-
minuman keras, pezina, pedusta, dan sebagainya) bukanlah orang yang beriman serta bukan pula
orang kafir. Dengan demikian, fasiq merupakan kedudukan di antara iman serta kafir.
Kelima, menganjurkan kepada kebaikan serta mencegah pada kemungkaran (Amar ma’ruf nahi
munkar). Pandangan Mu’tazilah tentang kewajiban Islam ini. Merupakan bahwa syari’at bukanlah
satu-satunya jalan buat mengidentifikasi mana yang ma’ruf serta mana yang munkar. logika
manusia, setidak-tidaknya sebagian, dapat mengidentifikasikan sendiri banyak sekali jenis
kemakrufan serta kemungkaran.
Berasal lima prinsip tadi dua prinsip yang pertma; yaitu paham keesaan dan keadilan (al-tawhid
dan al-‘adl) yang menjadi prinsip utama. Tiga prinsip yang lain baru berarti sebab memberi ciri
Mu’tazilah. Selanjutnya kelima prinsip pada atas menjadi tolak ukur gerombolan Mu’tazilah dalam
memahami serta mengimani ayat-ayat ihwal sifat Allah.
Pandangan Mu’tazilah tersebut berbeda dengan para mufassir yang justru memutuskan sifat yang
terkandung dalam nama-namaNya. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. al-A'raf (7): 180:
َََََََوَه ِل ِۚ ِّلََا ْل ْۚ ْس َۚ َم ۤا ُءََا ْل ُح ْسٰنىَ َفا ْد ُع ْوَهَُب ِه َۚاََ َوذ ُر َۚواَال ِّذ َۚ ٌْ َنٌََ ُل ْۚ ِح ُد ْو َنََفِ ًََْا ْس َۚ َم َۤاَ َِۚۚٮ َهَ َسٌ ُج ْۚ َز ْو َنَََ َماَ َكان ْو ُۚاَ ٌَ ْع َمل ْو ُۚ َن
َ﴾ا۲ٓ﴿
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-
nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Al-Nasafi pada dalam tafsirnya Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, menyatakan bahawasanya
Asma-ul Husna di pada ayat 180 surah al-A‘raf tadi merujuk kepada sebaik-baik nama milik Allah.
Dialah yang paling berhak ke atas semua sifat-sifat yg menunjukkan kesempurnaan-Nya mirip al-
Qadim (ada sebelum sesuatu), al-Baqi (tak pernah mati sehabis musnah segalanya), al-‘Alim (Maha
Mengetahui setiap sesuatu), al-Qadir (Maha Berkuasa ke atas setiap sesuatu), al-Wahid (Maha Esa
tanpa terdapat yang menyamai-Nya). Pada samping itu, pula memiliki nama-nama yang
menyampaikan ketenangan pada hati mirip al-Ghafur (Maha Pengampun), serta al-Rahim (Maha
Pengasih).41
Selain itu, memliki nama-nama yang di maknanya beliau berbuat demikian seperti al‘Afwu (Maha
Pemaaf) serta nama-nama yang menunjukkan bahwa beliau harus mengetahui setiap keadaan dan
pada setiap masa mirip al-Sami‘ (Maha Mendengar) dan al-Basir (Maha Melihat). Juga mempunyai
nama-nama yang menunjukkan kebesarannya seperti al-Jabbar (Maha Memaksa) serta al-
Mutakabbir (Maha memiliki Kesombongan).42
Nawawi al-Jawi pada dalam buku tafsirnya Mirah Lubaid, menyatakan ayat 180 surah al-A‘raf
mengandungi seruan supaya hamba-Nya jangan menyeru pada kecuali dengan Asmaul Husna (nama
yang latif). Seruan ini hanya akan mendatangkan kesan pada orang yang memohon bila dia sahih-
sahih mengetahui makna yang sebenarnya akan nama-nama serta meyakini dalil bahwasanya ialah
80
Allah yang berhak disembah, Maha Pencipta dan hanya Dialah yang paling berhak disifatkan
menggunakan sifat-sifat yg paling mulia.43
Dalam al-Qur´an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan persamaan “lafadz” antara sifat Allah
dan sifat manusia, seperti pada sifat “al-sami’ dan al-Basir”. Allah sudah menetapkan bahwa diri-Nya
sami’ serta basir dalam surat al-Syura [42]: 11 dan pada surat alinsan [76]: 2.
Dalam kedua ayat di atas diyakini bahwa “Sami dan Basir” serta manusia pun “Sami serta Basir”, tapi
hakekat keduanya kentara tidak sinkron walaupun berlafadz sama. telinga dan penglihatan sinkron
dengan keagungan-Nya dan indera pendengaran dan penglihatan manusia sinkron dengan
kelemahannya. Dalam surat al-Baqarah [2]: 235 menyatakan dirinya mempunyai ilmu dan dalam
surat al-Mumtahanah [60]: 10, pun menyebut manusia memiliki ilmu. Walaupun sama lafadz maka
di hakekatnya tidak sinkron karena “Laitha ka mithlihi shaiun”.44 Dari sini maka Ahl al-Sunnah
memutuskan bahwa mempunyai tangan, wajah, mata dan sifat lainnya tanpa merubah makna tadi
serta tanpa menyamakan menggunakan makhlukNya.
Allah telah menghabarkan pada manusia melalui kalam-Nya yaitu al-Qur´an perihal nama-nama-Nya
yang Maha Esa, itulah al-Asmaal-Husna (nama-nama yang latif) yang bisa menjadi petunjuk siapa
Allah itu. Allah yang Maha Kuasa, yang Maha Adil, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, beliau
tidak beranak serta tidak diperanakan, dan tidak suatu apapun yang menyerupai-Nya,45 segala
sesuatu akan hancur selain wajah-Nya.46 Kursi-Nya meliputi langit serta bumi,47 ia duduk di atas
‘Arsh serta lain-lain.
Demikianlah sebagian asal gambaran wacana Allah dan sifat-sifat-Nya pada al-Qur´an al-Karim serta
hadis benar. Bahkan tidak diragukan lagi bahwa ayat-ayat al-Qur´an itu diturunkan pada bahasa yang
dapat dengan mudah dipahami sang para generasi salaf dan khalaf. Andai pun demikian, tidak
berarti bahwa setiap ayat dalam al-Qur´an dapat dipahami maksudnya secara praktis baik secara
ijmal (secara garis besar) juga tafsil (secara terperinci), terutama ayat atau ungkapan pada al-Qur´an
dan hadis Nabi yang bekerjasama menggunakan sifat Allah.
PENUTUP
Berdasarkan uraian pada atas, bisa disimpulkan bahwa perjuangan memahami alQur´an telah
berlangsung sejak masa nabi Muhammad ﷺ, bahkan menafsirkan al-Qur´an adalah tugas berasal
tugas-tugas kerasulan. Aktifitas penafsiran terhadap al-Qu´an pula pada lakukan sang para sahabat
Nabi mirip para khulafa al-Rashidin serta para sahabat lainnya. Meskipun al-Qur´an sangat terbuka
buat dipahami oleh siapapun, tetapi para ulama tafsir sudah berijma’ (bersepakat) wacana adanya
kondisi-syarat yang wajib dipenuhi sang orang yang hendak memahaminya, mirip menguasai asbab
nuzul, munasabat antar ayat, menguasai kaidah-kaidah Bahasa Arab dan lain-lain.
Dalam perjuangan memahami al-Qur´an, khususnya ayat-ayat yang berbicara tentang sifat Allah
sudah terjadi disparitas pemahaman. Kaitannya dengan hal tersebut para sarjana muslim terbagi
pada tiga poros pemahaman, pertama, metode tafwidh, kedua, metode ithbat wa al-Nafyu
(memutuskan dan meniadakan), dan yang ketiga metode ijmaly. Berdasarkan ketiga metodologi
yang digunakan tersebut, maka metode kedua lebih kuat dari sisi hujjah naqli dan aqli.
81
31 Istilah tafwidh dalam pembahasan nama dan sifat Allah maksudnya adalah menyerahkan makna
nama atau sifat Allah kepada Allah (lihat Al-Muhalla fi Sharh al-Qawa’id Al-Mutsla, hal. 227).
Mufawwidhah (orang yang menganut paham tafwidhh) hanya sekedar menetapkan lafadz tanpa
makna, karena beranggapan bahwa makna lafazh itu tidak diketahui oleh manusia, dan hanya
diketahui oleh Allah Ta’ala. Kaum Mufawwidah menjadikan hujjah mereka kepada dalil naqli yaitu
surah Ali Imran ayat 7, Allah berfirman:
َُه ََوَالَّ ِذ َْيَاَ ْن َز ََلَ َعلََ ٌْ ََكَا ْل ِكٰت َبََ ِم ْن َُهَٰاٌٰ َتَ ُّم ْح َك ٰم تَتََش ُه َ َّۚنَا ََبا َهَُّمَ ُِمَۚ ْنَاَُه ْلَ ِاكْٰبت ِت َغَِبۤاَ ََءَوَاا ْل ُخفِ ْت ََنۚ َِة َُرَََو ُما ْتب ِتٰ َشَغ ِبۤا ٰهََءَتتَأََ ِوۚ َْۚ َْفٌالِ َّمَهََ َۚواََماالَِّذ ََيََۚ َْْيع َلَ ُمََنَََتأفَ ِوًِ ْ ٌََْْۚۚلَقَُهلَُْاِوبِ َّل ِه ْْمََََۚ َزه ٌْالَغ ََُّل َفَ ٌَتَۚ َ ِّوبال ََّۚراُع ِْسو َُخنَ َْو َمََنا
َ﴾۷﴿َََِفىَا ْل ِع ْل ِمََ ٌَقُ ْولُ ْو َنََٰا َم َّناَ ِبَهَ ُكلَََ ِم ْنََ ِع ْن َِدَ ََرَ ِب َناََۚ َو َمََاَ ٌَ َّذ َّك َُرَ ِا َّل ََْۚا ُولُواَا َل ْۚ ْۚ ْل َبا َِب
Ahli Bid’ah menjadikan ayat di atas sebagai dalil tentang Tafwidh dan Ta’wil sekaligus di mana
menurut mereka nas-nas sifat adalah mutasyabihat pada maknanya yang tidak diketahui ta’wilnya
melainkan Allah. Bagi kaum Mufawwidah mereka berpegang dengan waqaf pada ayat: (dan tidak
ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah) maka menurut mereka makna nas-nas sifat ini
hanya diketahui oleh Allah saja dan makna zahir nas-nas ini mesti ditakwilkan (jangan difahami
seperti zahirnya). Adapun yang mentakwil (yakni takwil tafsili) berpegang dengan waqaf pada ayat:
(dan orang-orang yang kukuh ilmunya) maka menurut mereka Allah dan mereka yang rasikh (kukuh)
ilmunya mengetahui makna nas-nas ini. Dari ayat ini juga, kaum Mufawwidah membuat tiga kaedah
mereka yang batil: Pertama, nasnas Sifat adalah dari mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya
kecuali Allah Kedua, ayat muhkamat adalah ayat yang zahirnya diketahui sebagaimana maksud ayat
tersebut, sedangkan mutasyabihat adalah lafadz yang tidak diketahui dengan bahasa arab. Ketiga,
ta’wil dalam ayat ini bermaksud memalingkang makna zahir kepada makna yang lain yang hanya
diketahui oleh Allah (ta’wil ijmali). Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Kubra al-Yaqiniyyat al-
Kauniyyah. (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 138. Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 80. Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting
dalam memadukan sufisme dengan syariah. al-Ghazali di lahirkan di Kota Thus, Provinsi Khurasan,
Persia (Iran), pada tahun 450 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1058 Masehi. Al-Ghazali berasal
dari keluarga ahli tenun (pemintal). Ayahnya adalah seorang pengrajin sekaligus penjual kain shuf
(yang terbuat dari kulit domba) di Kota Thus, salah satu kota di Iran. Imam Abu Hamid al-Ghazali,
Qawa’id al- ‘Aqaid fi al-tawhid al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi al-Jam al-‘Awwam ‘an Ilmi al-Kalam. terj.
Rambu-Rambu Mengenal. (Surabaya: Pustaka Progressif, 2003), hlm. 37-38.
82
DAFTAR PUSTAKA
Ali ‘Aqdah, Khalid Ibn ‘Abd al-Qadir, Jami’ al-Tafasir Min Kutub al-Aḥadith. Riyad: Dar al-Tayyibah,
1421 H.
Alu Shaikh, Ṣaliḥ Ibn ‘Abd al-Aziz Ibn Muḥammad. al-Tafsir al-Muyassar, Madinah: Maktabah al-
Malik Fahd, 1430 H.
‘Abd al-Baqi, Muḥammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur´an Indonesia: Maktabah
Dahlan, tanpa tahun.
‘Abd al-Latif, ‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad ibn ‘Ali, Da’awa al-Munawi’in li Da’wah al-Shaikh
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ‘Ardh wa Naqdh. Riyaḍ: Dar al-Watan, 1412 H.
‘Abd Gani, Bustami. dkk, al-Qur´an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990M.
‘Ali, ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abi al-Izz,Sharh al-Akīdah al-Ṭaḥawiyah. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1415 H.
An ibn ‘Abd al-Lathif, Masahir ‘Ulama’ Najd wa Ghairihim, Riyaḍ: Dar al-Yamamah li al-Bahts wa
al- Tarjamah wa al-Nashr, 1392 H.
Abadi, Abu Ṭahir Ibn Ya’qub al-Fairuz. Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn ‘Abbas. Beirut: Dar al-Fikr,
1410 H.
Abu Zaid, Muhammad Abu Zaid, Manahij al-Mufassirin muhktasar al-Tafsir wa al-Mufassirūn. Ṣan’a:
Maktabah Jil al-Jadid, 2006 M.
Ahmad ibn Taymiyyah. Beirut: Dar al-Masyari’ 2007 M.
Al-‘Abbad, ‘Abd al-Razzaq ibn ‘abd al-Muhsin, al-Syaikh ‘Abd al-Rahman Ibn Sa’diwa Juhuduhu fi
Tawdhih} al-‘Aqidah. Riyaḍ: Maktabah al-Rusyd, 1990 M.
Al-‘Abd, Khālid Ibn ‘Abd al-Raḥmān. Ṣafwah al-Bayān Li Ma’ani al-Qur`an, Bairut: Dar al-Bashair, 1414
H.
Al-‘Abdali, Muḥammad Ibn ‘Abd al-Wahhab Ibn ‘Ali al-Wuṣabi. Al-Qawa’id al-Mufid fi Adillati al-
Tawḥid. Sana’a: Maktabah al-Irshad, 1424 H.
Al-‘Aql, Naṣir Ibn ‘Abd al-Karim. Mujmal Uṣul ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fī al-Aqīdah. Sana’ā:
Markaz al-Jazīrah al-‘Arabiyyah, 1411 H.
al-‘Usairi, Ahmad Ma’mur Lahiq, al-Tarikh al-Islami Mundzu Zhuhur al-Rasul ila al-‘Ashr al-Hadhir,
Damam: tp., 2004
al-‘Uthaymin, Muḥammad ibn Ṣaliḥ, Majmu' Fatawa, Riyaḍ: Dar al-Tharayya, 1413.
83
BAB VIII
RELASI ISLAM YAHUDI DAN NASRANI
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
makalah berjudul Relasi Islam Yahudi dan Nasrani.
Makalah dengan judul Relasi Islam Yahudi dan Nasrani, disusun guna memenuhi tugas dari bapak
Dr. Abdul Karim, SS, MA pada mata kuliah Tafsir Hadis Aqidah dan Akhlak Institut Agama Islam
Negeri Kudus. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang Relasi Islam Yahudi dan Nasrani.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak. Dr. Abdul Karim, SS, MA.
Selaku dosen mata kuliah Tafsir Hadis Aqidah dan Akhlak. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir dari rumpun agama semitik memiliki hubungan erat dengan
komunitas Yahudi dan Nasrani. Al- Qur’an mendeklerasikan dirinya sebagai musaddiq dan muhaimin
bagi kitab suci sebelumnya ( Q.S. Al-Maidah; 46-48). Kedatangan Nabi Muhammad SAW beserta Al-
Qur’an merupakan kelajutan dari pesan universal yang dibawa oleh nabi nabi sebelumnya. Fungsinya
untuk mengukuhkan, meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran mereka. Sehingga islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW diasumsikan sebagai bentuk terakhir dari rangkaian evolusi dari
islam yang dibawa nabi sebelumnya sejak Nabi Adam.
Konsep agama yang bersifat politeisme dan menyembah berdasarkan sifat-sifat kekuatan benda
atau imajinasi dari manusia merupakan awal dari pencarian kekuatan yang lebih dari manusia atau
alam semesta. Hal itu yang membuat manusia menyembah matahari, gunung, pohon besar, hingga
84
patung yang dianggap memiliki kekuatan memberi kehidupan. Adanya subtansi tuhan yang berbeda
berarti ada penyimpangan yang dilakukan oleh manusia dalam keterbatasan pemikirannya.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kronologis antar umat beragama?
2. Bagaimana penjelasan dari Yahudi menurut Islam?
3. Bagaimana penjelasan dari Nasrani menurut Islam?
4. Langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh demi menciptakan relasi yang baik antara Islam
dengan Yahudi dan Nasrani?
3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Kronologis antarumat beragama.
2. Untuk mengetahui Penjelasan dari Yahudi menurut Islam.
3. Untuk mengetahui Penjelasan dari Nasrani menurut Islam.
4. Untuk mengetahui Langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh demi menciptakan relasi
yang baik antara Islam dengan Yahudi dan Nasrani.
PEMBAHASAN
A. KRONOLOGI RELASI ANTAR UMAT BERAGAMA
Sikap fanatisme akan membuat seseorang memiliki ikatan emosional dan membuat orang-orang
yang terikat saling menuntut dan memberi. Tentunya manusia sebagai makhluk sosial akan mencari
seorang pemimpin yang dapat menuntun mereka. Maka seorang pemimpin harus dapat mengontrol
masyarakatnya. Kemudian kemampuan ini disebut juga dengan al- mulk (kekuasaan). Namun, gelar
itu bisa diperoleh jika seorang pemimpin dapat sedikit menekan bawahannya. (Muqaddimah Ibnu
Khaldun (tt:151). Keadaan masyarakat manapun sejalan dengan perkataan Ibnu Khaldun tersebut.
Tak terkecuali kondisi masyarakat masa jahiliah dulu. Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah SWT
untuk membawa Al-Qur'an. Al-Qur'an diturunkan ditengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki
sifat fanatisme terhadap ajaran dari nenek moyangnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
adanya Al-Qur'an--yang akan mengubah tatanan kekuasaan--akan berdampak kepada kondisi sosial
masyarakatnya.
Al-Qur'an adalah kitab yang mampu berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan proses penurunan Al-Qur'an yang tidak langsung sekaligus. Tetapi secara
perhalan sesuai dengan kondisi dan keadaan Nabi Muhammad Saw. dan sosial kemasyarakatan.
85
Maka, diharapkan masyarakat dapat memahami Al-Qur'an. Singkatnya, Al-Qur'an menanggapi
berbagai persoalan yang timbul dari masyarakat itu.
Apabila terdapat orang yang membantah atau menolak, maka Al-Qur'an akan memberikan
ancaman. Begitu pula sebaliknya. Jika terdapat orang yang menerimanya dan ingin merenung juga
memikirkannya, maka seruan Allah tersebut akan membuat kebahagiaan, kedamaian, dan
ketentraman.
Dari semua itu, dikotomi dalam generalisasi sejarah-pun mulai muncul. Hal ini terlihat dengan
adanya dua sudut yang saling berlawanan. Satu sudut menyatakan bahwa "Islam didirikan dengan
pedang", yang lain menyatakan "Islam dikukuhkan dengan perdamaian". Terkait hal tersebut, kami
akan mempersembahkan sedikit data mengenai hubungan atau relasi antara Islam dengan non-Islam
dalam Al-Qur'an.
1. Q.s Al-Lahab. Surat yang terdiri dari 6 ayat dan diturunkan di Makkah ini merupakan surat
pertama yang bersentuhan langsung non-Islam. As-Suyuti menarik pendapat dari Al-Baihaqi dalam
kitab Dala'il An-Nubuwwah menyatakan bahwa surat ini adalah surat yang ke-5 yang turun dalam Al-
Qur'an (Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri 2014:403). Secara umum, surat ini mengandung kecaman
terhadap Abu Lahab dan Umum Jamil, istrinya. Disebutkan Riwayah dari Bukhori (1422 H:111) dari
jalur Ibnu Abbas r.a mengemukakan latar belakang dari surah ini. Pada saat itu Rasulullah
Muhammad Saw. Mendapatkanwahyu untuk mulai berdakwah kepada kerabat-kerabat dekatnya,
dalam istilah lain yaitu berdakwah secara terang-terangan.
َوأَن ِذرََ َع ِشٌ َر َت َكََٱْلَق َر ِبٌ ََن
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat," (QS. Asy-Syu'ara'
26: Ayat 214). Kemudian Rasulullah Muhammad Saw. menaiki bukit Shafa seraya berseru "Wahai
kamu Quraisy, bagaimana pendapat kalian jika aku memberi kabar bahwa musuh akan datang besok
pagi atau besok petang? Adakah kalian mempercayainya?". Kaum Quraisy menjawab "Kami percaya
perihal tersebut dengan sepenuh hati". Rasulullah Muhammad Saw. kembali berseru "Aku
peringatkan kepada kalian, bahwa siksa Allah yang teramat ganas dan keji akan datang menimpa".
Sontak Abu Lahab menyaut "Celakalah kau Muhammad. Apakah dengan ini maksud mengundang
kami untuk berkumpul?" Seketika itu Allah mengutus Jibril a.s untuk datang kepada Nabi
Muhammad Saw. dengan membawa wahyu berupa Q.S Al-Lahab 1-5. Surat ini berisi tentang kondisi
keduanya di hari kiamat kelak. Sebagai balasan atas kelancangan mereka.
2. Nabi Muhammad Saw. terhadap kau kafir Quraisy yang ingin mengelabuhi Nabi Muhammad Q.S
Al-Kafirun. Surat Makkiyah yang turun ke-18 dalam Al-Qur'an ini, berisikan tanggapan Saw. bertukar
agama.
3. Q.S Al-Hijr:94. Surat ini adalah surat ke-54 yang turun dalam Al-Qur'an dan tergolong ke dalam
surat Makkiyah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ََفٲص َد َعَبِ َماَ ُتؤ َم ُرََ َوأَع ِر َضَ َع َِنَٱل ُمش ِر ِكٌ َن
"Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik." (QS. Al-Hijr 15: Ayat 94).
86
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw. agar berdakwah secara terang-
terangan. Terdapat kata " َ " َوأَع ِرضyang berarti "berpalinglah". Berpaling di sini memiliki arti bagi
Nabi Muhammad Saw. untuk tidak mempedulikan orang-orang musyrik dan tidak terpengaruh
dengan cemooh mereka yang ingin menghalangi Nabi untuk berdakwah.
4. Q.S An-Nahl:106. Surat ini adalah surat yang turun ke-70 dalam Al-Qur'an dan termasuk ke dalam
golongan surat Makkiyah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ََمنَ َك َف َرََ ِبٲّ َّل َِلَ ِم ۢنََ َبع َِدَئٌِ ٰ َمنِ ِهۦَئِ ََّۡلَ َمنََأُك ِر ََهَ َو َقل ُب ُهۥَ ُمط َمئِ ۢ َُّنَبِٲﻹٌِ ٰ َم َِنَ َوٰ َل ِكنَ َّمنَ َش َر َحََبِٲل ُكف َِرَ َصد ًراَ َف َع َلٌ ِهَمَ َغ َض َبَ ِّم َنََٱّ َّلَلَِ َو َل ُهَمَ َع َذابََ َع ِظٌم
"Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan
mendapat azab yang besar." (QS. An-Nahl 16: Ayat 106). Sebagian besar ulama tafsir mengemukakan
bahwa ayat ini berkenaan dengan riwayah dari Ammar bin Yasin yang disiksa oleh kafir Quraisy
karena telah beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw.
Kafir Quraisy menyiksa Ammar dengan membunuh kedua orang tuanya, yakni Yasir dan
Sumaiyyah. Karena terus disiksa dan tidak tahan dengan siksaan tersebut, maka ia terpaksa harus
mengucapkan kekafiran kembali. Akan tetapi, hal yang mengejutkan timbul saat cerita ini
tersampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. . Beliau justru bersabda "Jika mereka mengulangi
penganiayaan kepadamu, maka lakukanlah hal yang sama". (Abu Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi
1992:281). Riwayah ini lemah menurut sebagian sejarawan. Salah satunya Abdul Mun'im Al-Hafni
(Ensiklopedi Muhammad:247). Namun, ada juga yang menguatkan Riwayah ini, seperti Asbab An-
Nuzul karya Al-Wahidi. Ayat itu juga mendapatkan penafsiran dan Riwayah lain. Diantaranya adalah
riwayat penduduk Makkah yang diundang sahabat untuk berhijrah ke Madinah. Para penduduk-pun
berangkat. Namun, saat di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh kaum kafir Quraisy dan kafir
Quraisy-pun menganiaya mereka. Kemudian memaksa mereka untuk kufur.
5. Q.S Al-Hajj: 39-40. Surah ini adalah salah satu surah Madaniyyah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:
َأُ ِذ َنََلِلَّ ِذٌ َنََ ٌُ ٰ َق َتلُو ََنَ ِبأَ َّن ُهمََ ُظلِ ُمو ْاَََۚ َوئِ َّنََٱّ َّللَََ َع َل َٰىَ َنص ِر ِهَمَلَ َق ِدٌر
"Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan
sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu,"
َٱلَّ ِذٌ َنََأُخ ِر ُجو ْاََ ِمنَ ِدٰ ٌَ ِر ِهمَبِ َغٌ َِرَ َحقََئِ َّۡلََأَنَ ٌَقُولُوَْاَ َر ُّب َناَٱّ َّلَلََُۚ َولَو َۡلََ َدف ُعََٱّ َّل َِلَٱل َّنا ََسَ َبع َض ُهمَبِ َبع َضََلَّ ُه ِّد َم َتَ َصٰ َو ِم َُعَ َوبِ ٌَعََ َو َصلَٰ َو َتَ َو َم ٰ َس ِج َُد
ٌُذ َك ُرََ ِفٌ َهاَٱس َُمَٱّ َّللََِ َك ِثٌ ًراََۚ َولَ ٌَن ُص َر َّنََٱّ َّللََُ َمنَ ٌَن ُص ُرهُۥََۚئِ َّنََٱّ َّللَََ َل َق ِو َيَ َع ِزٌ َز
"(yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar hanya karena
mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah." Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha
Perkasa."
Semenjak Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabat mendakwahkan ajaran Islam di Makkah,
smenjak itu pula sikap kaum Quraisy mulai berubah. Semula mereka menghormati dan mencintai
87
nabi karena sikap Al-Amin-nya, tapi setelah nabi berdakwah mereka selalu menyakiti nabi, sahabat,
juga rombongan² nabi. Tak segan mereka selalu mencaci maki nabi beserta pengikutnya dan kerap
kali nabi dan pengikutnya dilempari dengan kotoran dan baru sampai nabi berdarah. Demikian yang
pernah dialami nabi saat hijrah ke Thaif. Setiap hari penderitaan mereka selalu bertambah berat
sampai tidak bisa dibayangkan lagi pedih dan perihnya.
Banyak dari kalangan sahabat yang sering berkonsultasi dengan Nabi Muhammad Saw. untuk
meminta izin agar dapat membalas perbuatan buruk kafir Quraisy. Tapi, Rasulullah Muhammad Saw.
belum bisa melakukan hal itu. Karena Allah belum menurunkan ayat yang berisi perlawanan untuk
betahan dan menjaga diri. Rasulullah Muhammad Saw. hanya bisa berusaha untuk membuat para
sahabat sabar dan menstabilkan emosi mereka yang sedang panas-panasnya.
Hari demi hari, penderitaan dan penyiksaan tersebut semakin menjadi-jadi. Sehingga memaksa
Nabi Muhammad Saw. dan para rombongan untuk berhijrah ke beberapa tempat, hingga pada
akhirnya sampai ke Madinah.
Pada saat di Madinah inilah ayat yang pertama kali memperbolehkan untuk berperang inipun turun
supaya umat Islam bisa memerangi siapapun yang berusaha melukai dan menghancurkan agama
islam. Allah memperbolehkan peperangan jika itu merupakan satu-satunya jalan dalam usaha
mempertahankan agama Islam. Pada ayat selanjutnya Allah menerangkan siapa saja yang boleh
diperangi, yaitu orang-orang musyrik Makkah yang mengusir Nabi dan rombongannya dari kampung
halaman Nabi sendiri.
Selanjutnya asal muasal relasi antarumat beragama dapat ditemukan di Piagam Madinah (Shahifah
Al-Madinah). Ahmad Sukardjo (1995:99) memaparkan bahwa Rasulullah mendirikan perjanjian itu
dengan maksud menstabilkan keadaaan sosial. Maka dengan itu Rasulullah melaksanakan berbagai
langkah, diantaranya:
1. Mendirikan masjid Quba' sebagai pusat pertemuan dengan kaum muslimin.
2. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.
3. Membentuk dasar tatanan baru yang mengikat antara bangsa-bangsa, termasuk Yahudi dan
Nasrani, dll.
Dalam paparan yang disebutkan terlihat pada periode Makkah, hubungan Islam dengan non-Islam
sangatlah tidak baik. Islam menyebarkan dirinya dengan cara yang halus dan lemah lembut. Akan
tetapi, hal itu malah di tolak dengan sangat kasar dan keterlaluan. Sementara pada periode
Madinah, relasi antara Islam dengan non-Islam mulai mengalami peningkatan yang baik. Nabi
Muhammad mempersaudarakan antara Islam dengan Yahudi dan Nasrani Madinah saat itu dan
sering membuat perjanjian-perjanjian yang sama-sama menguntungkan semua pihak sesama
penghuni Madinah.
B. Penjelasan Yahudi
Yahudi itu dikenal sebagai agama yang berasal dari keturunan nabi Ibrahim yaitu nabi Musa a.s.
kemudian ada beragam pendapat tarkait penamaan Yahudi dalam bukunya Muhammad Amin Suma
yang didalamnya mencantumkan tiga pendapat yang dia kutip dari al—awardi al-Bashari, yaitu:
88
1. Yahudi dinisbahkan kepada Yahuza putra tertua nabi Ya’qub a.s
2. Terambil kata Hadiqaumi yahudunahuda wahiyadah, dinamakan yahudi karena mereka
bertaubat dari kesalahan menuhankan anak lembu yang terbuat dari emas ketika nabi Musa a.s
menerima wahyu di bukit Tursina.
3. Mereka menyebut Yahudi karena statment mereka itu menyatakan sesungguhnya kami kembali
atau bertaubat kepada engkau sebagaimana yang termasuk dalam Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 156.
Secara bahasa kata Yahudi berasal dari Bahasa Arab, turunannya adalah hada-yahudu artinya
raja’-yarji’u ( kembali ) kata hawadah artinya kasih sayang atau tawahhud yang berarti taubat.
Agama Yahudi itu agama yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. Ada seorang ulama terkemuka asal suriah
yakni wahbah az-zuhaili yang menuturkan dalam tafsirnya bahwa manusia yang paling memuji umat
islam pada masa turunnya al-qur'an adalah umat Yahudi.
Sejarah Israel berawal dari hijrahnya Nabi Ibrahim ( 1900 SM) bersama pengikutnya dan Babilonia
guna menghindari tekanan Raja Namrud. Orang orang Assyria dan Kan’an menyebut mereka sebagai
Ibrani. Menurut bahasa Aramy atau Siryany, ibrani berarti orang yang menyebrang, karena mereka
hijrah dari Babilonia ke Kan’an ( palestina ) melintasi sungai Eufrat.
Sejarah lahirnya bangsa Israel berawal dari keturunan Nabi Ishaq, yakni Ya’qub. Menurut catatan
sejarah, Ya’qub beristri 4 orang dan memiliki 12 putra. Mereka disebut dengan Al-Asbath yang
berarti cucu cucu. Sibith dalam bangsa Yahudi sepadan dengan suku bagi bangsa Arab dan mereka
yang berada dalam satu sibith berasal dari satu bapak. Bahkan, beberapa anak Ya’qub melahirkan
nabi-nabi besar dalam sejarah kerasulan. Diantara putra Nabi Ya’qub , yang paling banyak
keturunannya adalah Yahuda. Maka, Bani Israil pun yang berbangsa kepada Yahuda disebut Yahudi.
Jadi, sudah jelas, Yahudi itu Israel.
Ayat ayat al-Qur'an berkait dua saudara tua ini melahirkan dua tiga kubu muslim. Kubu pertama
memupuk kebencian pada Yahudi-Nasrani. Kubu kedua memupuk persaudaraan dengan keduanya.
Kubu ketiga, jika memang bisa dikategorikan sendiri. Umat Yahudi dan islam sama sama percaya
kepada Nabi Ibrahim a.s. atau Abraham dalam sebutan mereka, yang merupakan jalur asal usul
Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Namun, seiring berkembangnya zaman, al-Qur’an menyebutkan bahwa kaum Yahudi
memperlihatkan permusuhan yang sangat keras terhadap umat islam. Hal ini diperjelas dalam Q.S
Al-Maidah (5); 82
َ۞َ َل َت ِج َد َّنََاَ َش ََّدَال َّنا ِسََ َع َدا َوَ ًَةَلِّلَّ ِذ ٌْ ََنَٰا َم ُنواَا ْل ٌَ ُه ْو َدََ َوالَّ ِذ ٌْ َنََاَ ْش َر ُك ْواََ َولَ َت ِج َد َّنََاَ ْق َر َب ُه ْمََ َّم َو َّد ًَةَلِّلَّ ِذ ٌْ ََنَٰا َم ُنواَالَّ ِذ ٌْ ََنَ َقالُ ْواَ ِا َّناَ َن ٰص ٰر َىَ ٰذلِ ََكَبِاَ َّنََ ِم ْن ُه َْم
قِ ِّس ٌْ ِس ٌْ ََنَ َو ُر ْه َبا ًناَ َّواَ َّن ُه َْمَ ََۡلَ ٌَ ْس َت ْكبِ ُر ْو ََن
” Pasti akan kamu dapati orag yang paling keras permusuhannya terhadap orang orang yang
beriman, yaitu orang orang Yahudi dan orang orang yang berkata, “sesungguhnya kami adalah orang
Nasrani”. Yang demikian itu karena diantara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, juga
karena mereka tidak menyombongkan diri.”
89
Dari ayat diatas disimpulkan bahwa, orang Yahudi dari dahulu memang sudah memperlihatkan
permusuhan yang keras terhadap umat Islam, sedangkan kaum Nasrani lebih bersikap bersahabat.
Hubungan antara Islam dan Yahudi pada masa Rasulullah saw dan sahabatnya berlangsung
secara toleran. Islam menentang Zionisme, yang merupakan suatu gerakan yang metencakan
mengubah Palestina dan wilayah wilayah yang bersebelahan dengannya menjadi sebuah negara
Yahudi dengan cara Machiavelli yang mengabaikan segala pertimbangan, termasuk moral.
•Karakter Yahudi dalam Bidang Akidah.
Orang-orang Yahudi pernah menghina Allah dengan menyebut bahwa Allah itu sama dengan
makhluknya (mempunyai anak). Mereka merubah ajaran Allah yang dibawa nabi Musa a.s dengan
berkata "Uzair adalah putra Allah". Padahal Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan
(Q.S Al-Ikhlas). Yang dimaksud Uzair adalah seorang pendeta beragama Yahudi sekitar tahun 457 SM.
Mereka menganggap bahwa Uzair adalah orang yang menghimpun Wahyu kitab Taurat sebelum
nabi Sulaiman a.s. Maka pusat rujukan mereka berasal darinya. Karena ia menghimpun Wahyu,
maka ia dianggap spesial dan diangungkan. Sehingga menyebutnya "Anak Tuhan". Ini merupakan
suatu perbelokan atau penyalahtafsiran yang sangat salah sekali.
Selain itu, Yahudi sering memaparkan hal yang sebenarnya dibuat-buat untuk merendahkan Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َََو َِقمالَنَ ِتَ َّرَ ِّبٱل ٌَََك ُهَو ُطُدَغَٰ ٌٌََ ًنُدَاََٱ َّوَّلَلُِكَف َمًراغلَُولََۚةَ ََوأَلۚ َقٌَ َن ُغالََّ َبٌتََنَأَُهٌ َُم ِدٌَٱلِه َعَمٰ َدَ ََوولََُة َِع َُنوٱولَْاَبَ ِبغ َما َضَاَقاَءَلَُئِو َلَاَْٰىََۚ ٌََ َبو ِمََلََٱٌَل َدقِٰاٌَهََُمَ َِةَمَب ُۚسَو ُكلََّط ََمتاَاَ ِأَنََو ٌُ َقن ُدِفوَُقَاََْ َنَكاٌ ًراََفَلَِّلٌَ َحَشار َُءَ ِبََۚأََ َطولََف ٌَأَ َِهزاٌ ََدٱَّّ َّنَللَََُ َك ِثٌَۚ ًَروا ٌََ ِّمسنَع ُهوم ََنَ َّمَاَفَِأًُنَ ِٱزْلَََلَرئِ َلٌِ ََضَك
َف َسا ًداََۚ َوٱّ َّللََُ ََۡلَ ٌُ ِح َُّبَٱل ُمف ِس ِدٌ ََن
"Dan orang-orang Yahudi berkata, "Tangan Allah terbelenggu." Sebenarnya tangan merekalah yang
dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal
kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki. Dan (Al-Qur'an) yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi
kebanyakan mereka. Dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari
Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Dan mereka berusaha
(menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
(QS. Al-Ma'idah 5:Ayat 64)
Mereka menganggap bahwa Allah itu pelit dalam kebaikan. Padahal sebenarnya merekalah yang
Bakhil dan tidak pernah atau mengerti cara bersyukur. Selalu mengingkari kebenaran adalah sifat
mereka.
• Karakter Yahudi dalam Bidang Sosial
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ََو ِمنََأَه َِلَٱل ِكٰ َت ِبََ َم َنَئِنَ َتأ َمن ُهََبِقِن َطا َرَ ٌُ َؤ ِّد ِهۦَئِ َلٌ ََكَ َو ِمن ُهمَ َّم َنَئِنَ َتأ َل َمٌن َُهَسََبَِ ِدَعٌلََنٌا َناَرََفََِّۡلًٌََُٱَؤْ ِّلدُ ِهِّم ٌِّۦۧـَئََِنلٌََ ََسكَ ِبٌَئِ ََّۡللَََ َ َوم ٌَاقَُ ُدولُمو َََتنَََ ََععلَلٌَ َِهىََ َقٱّا َّلئَِلِ ًمَاٱلَ َكِۚذَ ٰ َذََبلَِ َََكوَ ُبِهأََمَّنَ َُهٌَمعلََ َقُمالُوونَْا
"Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia
mengembalikan kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan
kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu
90
menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap
orang-orang yang buta huruf." Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka
mengetahui." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 75)
Allah menerangkan bahwa Yahudi adalah orang-orang yang suka khianat dan sulit dipercayai.
Mereka suka berbohong, ingkar janji, dll. Mereka suka meremehkan bangsa lain. Karena mereka
menganggap bahwa diri merekalah yang paling hebat diantara bangsa lainnya. Mereka akan selalu
berbuat kerusakan dimuka bumi ini secara terus menerus. Sikap mereka sangat tidak manusiawi.
Seperti yang telah terjadi di depan kita bahwa rakyat Palestina di babat olehnya. Hati mereka sudah
tertutup dan tidak bisa dibuka kembali. Berbagai kecaman dari negara lain diabaikan oleh mereka.
Yahudi pernah mengalami diaspora . Mereka hanya menumpang dan menjadi benalu sebuah
negara. Karena itulah, mereka meluluhlantakkan Gaza, Palestina. Tahun 1948 merupakan tahun
berdirinya Israel yang sampai saat ini membuat setiap orang, khususnya orang Islam beristigfar.
Dengan jahatnya dia memaksa setiap jiwa rakyat Palestina untuk keluar. Tahun 2008 merupakan
puncaknya. Mereka menunjukkan kembali sifat mereka yang suka mengingkari janji. HAM tidak
menjadi halangan lagi untuk mereka. Pesawat tempur F-16 mereka kerahkan untuk menghanguskan
Palestina. Peta negara yang berisikan Palestina telah dirobek mereka menjadi Israel. Bukti itu
menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai rasa dendam terhadap umat Islam.
C. Penjelasan dari Nasrani
Nasrani adalah sebuah julukan bagi kaum yang mengikuti arau memeluk agama dari nabi Isa a.s (
Yesus). Telah dijumpai berbagai pengertian tentang Nasrani ini:
1. Nasrani berasal dari نصرyang berarti menolong, karena kebiasaan mereka yang saling menolong
dan selalu sedia membantu antara satu dengan yang lainnya.
2. Kata Nasrani dipakai karena merujuk pada daerah asal kelahiran nabi Isa a.s yaitu Nasiroh (
nazarat).
3. Kata nasrani digunakan dari Al-Qur’an sendiri.
QS. Al-Baqarah: Ayat 62
َِا ََّنَالَّ ِذ ٌْ ََنََٰا َم ُن ْواَ َوالَّ ِذ ٌْ َنََ َها ُد ْواَ َوال َّن ٰص ٰرىَ َوال َّصابِــِ ٌْ ََنَ َم َْنَٰا َم ََنَ ِباّٰ ّللََِ َوا ْل ٌَ ْو ِمََا ْۡ ٰل ِخ َِرَ َو َع ِم َلََ َصالِ ًحاَ َف َل ُه ْمََاَ ْج ُر ُه َْمَ ِع ْن َدََ َر ِّب ِه َْمَ َو ََۡلَ َخ ْوفََ َعلَ ٌْ ِه َْم
ََو ََۡلَ ُه ْمََ ٌَ ْح َز ُن ْو َن
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-
orang sabi‘in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan
melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka,
dan mereka tidak bersedih hati.
____________________
Majalah Sabili, No. 14 TH. XVI, 29 Januari 2009/3 Shafar 1430
Ahmad Syalaby, Perbandingan Agama-agama Kristen, (Bandung : Al-Ma’arif,Tth.), h. 62
91
Menurut Tabari dalam Tafsirnya berdasarkan Ibnu Abbas, kata النصريmerujuk pada kota
kelahiran nabi Isa a.s yaitu Nashiro. Agama Nasrani juga biasa disebut dengan agama Kristen. Agama
ini dimulai di Palestina dan dicetuskan oleh Yesus. Kemudian agama ini meluas ke wilayah Eropa dan
beralih nama menjadi Kristen.
Menurut Berry, Kristen kini adalah Kristennys Paulus, karena dialah yang menyebarluaskannya. Ia
membumbui agama Kristen dengan bumbu ajaran agama lain agar orang-orang dari agama lain
tertarik .
D. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menciptakan relasi yang baik antara Islam, Yahudi,
dan Nasrani.
Islam adalah agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.. Islam adalah agama yang
Rahmatan Lil 'Alamin. Islam adalah agama yang disebarkan tanpa paksaan seperti agama lain. Agama
Islam menyebarkan wahyu secara umum, namun tetap mengakui keberadaan agama lain dan
menghormatinya. Karena Allah sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih
agama dan keyakinan yang mereka anggap benar dan sukai.
Toleransi dalam agama adalah kepentingan yang menanggung pemantapan sosial dari desakan
aliran maupun bentrokan tubuh dalam masyarakat. Perbedaan agama adalah hal yang biasa. Banyak
orang yang memiliki teman bahkan saudara yang berbeda keyakinan. Kita seharusnya saling
mengakui adanya agama tersebut, saling menjaga, dan bergotong royong dalam hal apapun yang
bersifat positif. Perbedaan bukanlah sarana untuk saling membenci dan memaki antara satu dengan
yang lain.
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Secara bahasa kata Yahudi berasal dari Bahasa Arab, turunannya adalah hada-yahudu artinya
raja’-yarji’u ( kembali ) kata hawadah artinya kasih sayang atau tawahhud yang berarti taubat.
Nasrani adalah sebuah julukan bagi kaum yang mengikuti arau memeluk agama dari nabi Isa a.s (
Yesus). Telah dijumpai berbagai pengertian tentang Nasrani ini:
2. Nasrani berasal dari نصرyang berarti menolong, karena kebiasaan mereka yang saling menolong
dan selalu sedia membantu antara satu dengan yang lainnya. Kata Nasrani dipakai karena merujuk
pada daerah asal kelahiran nabi Isa a.s yaitu Nasiroh ( nazarat). Kata nasrani digunakan dari Al-
Qur’an sendiri.
3. Islam adalah agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.. Islam adalah agama yang
Rahmatan Lil 'Alamin. Islam adalah agama yang disebarkan tanpa paksaan seperti agama lain. Agama
Islam menyebarkan wahyu secara umum, namun tetap mengakui keberadaan agama lain.
92
DAFTAR PUSTAKA
http://www.stiq-almultazam.ac.id/jurnal/index.php/muhafidz/article/view/23/19
Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi: Watak, Sifat, dan Perilaku Buruk Bangsa
Buku Tasfsir Hadis Tematik
Aizid, Rizen. 2015. Al-Qur’an mengungkap tentang Yahudi, watak, sifat, dan perilaku buruk
bangsa. Yogyakarta : DIFA Press.
Ula’, Miftahul . Islam dan Pluralisme agama. UIN Pekalongan
Dudung Abdul Karim , Dkk 2021. Yahudi dalam Al-Qur’an (analisis Tematik penafsiran imam Ibnu
Katsir). Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Vol 1 no 2.
Fitriani, Shohifah. Analisis Jurnal Studi Keislaman. 20(1) 179-192. 2020.
Suryan, suryan. Jurnal Fakultas Ushuluddin. 23(2). 185-200, 2017). https://tafsirweb.com
Ahmad Syalaby, Perbandingan Agama-agama Kristen, (Bandung : Al-Ma’arif,
Tth.), h. 62
Ahmad Idris. Sejarah Injil dan Gereja. Jakarta: Gema Insani Press, tth. h 75-76.
Saidurrahman. "SIKAP DAN PANDANGAN ORANG-ORANG YAHUDI TERHADAP ISLAM". TEOLOGIA,
VOLUME 25, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2014
Mansur, Syafiin. "STUDI SEJARAH AGAMA". AL-FATH. VOL. 03, NO. 01 (JANUARI-JUNI) 2009.
Majalah Sabili, No. 14 TH. XVI, 29 Januari 2009/3 Shafar 1430.
93
BAB IX
AYAT AYAT MODERASI BERAGAMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa. Karena atas limpahan rahmatnya kami
dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan suatu apapun yang berarti
sesuai dengan harapan.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada bapak Abdul Karim,SS,MA. Sebagai dosen pengampu
mata kuliah Tafsir Hadis dan Akidah Akhlak yang telah memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negeri tempat tumbuh suburnya beragam kebudayaan yang dipelihara
dan dijaga oleh masyarakatnya. Disamping itu,juga menganut beragam agama seperti islam, kristen,
hindu, buddha, konghu-chu dan beratus agama dan kepercayaan setempat yang menjadi bagian dari
kebudayaan lokal setempat. Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena
bertemunya berbagai budaya, berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa
perilaku budaya memiliki cara hidup berlainan dan spesifik.
Islam sebagai agama, menekankan adanya kehidupan yang harmonis terhadap sesama manusia
dan mampu membangun masyarakat berperadaban dengan memiliki sifat terbuka, demokratif,
toleran, dan damai. Untuk itu dalam kehidupan msyarakat kiranya dapat menegakkan prinsip
persaudaraan dan mengikis segala bentuk fanatisme golongan ataupun kelompok. Sebab pada
dasarnya setiap agama berfungsi menciptakan kesatuan sosial, agar manusia tetap utuh dibawah
semangat panji-panji ketuhanan. Pembahasan Al-Qur’an tidak ada habisnya,akan selalu ada hal hal
yang menraik dari setiap sisnya. Al-qur’an layaknya sebuah permata yang memancar cahaya berbeda
sesuai denagn sudut pandang masing masing.
94
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian Moderasi beragama
2. Ayat-ayat Al-qur’an dan Hadist mengenai moderasi beragama
3. Ciri-ciri moderasi beragama yang harus tertanam dalam jiwa
4. Penguatan moderasi beragama untuk mengatasi intoleransi dikalangan intelektual
5. Urgensi Moderasi Beragama
3. Tujuan
1. Menambah wawasan tentang moderasi beragama
2. Mengetahui ayat-ayat Al-qur’an dan Hadist yang berkaitan dengan moderasi beragama
3. Mengetahui apa saja ciri ciri moderasi beragama
4. Mengetahui cara penguatan moderasi beragama untuk intoleransi dikalangan intelektual
5. Mengetahui Urgensi Moderasi Beragama
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moderasi beragama
Secara bahasa kata moderasi berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti kesedangan (tidak
kelebihan dan tidak kekurangan). bahasa arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau
wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawasuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan
tawazun (berimbang). Apapun makna atau kata yang di pakai, semuanya menyiratkan satu makna
yang sama.
moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil
dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat
mengimplementasikannya. Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama
dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Bukan agama
jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, kezaliman, dan angkara murka. Agama tidak perlu
dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus
senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan.
Moderasi adalah jalan tengah. Moderasi juga berarti “sesuatu yang terbaik.” Sesuatu yang ada di
tengah biasanya berada di antara dua hal yang buruk. Contohnya adalah keberanian. Sifat berani
dianggap baik karena ia berada di antara sifat ceroboh dan sifat takut. Sifat dermawan juga baik
karena ia berada di antara sifat boros dan sifat kikir. Tapi, jika seseorang melakukan
95
kedermawanannya secara berlebih-lebihan, ia bisa terjatuh dalam keborosan. Dengan itu, bahkan
kebaikan pun bisa menjadi buruk.
Jadi, kunci moderasi adalah tidak berlebih-lebihan, apalagi dalam masalah beragama. Kunci ini
penting dipahami supaya setiap orang bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan
moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran
agamanya. Orang yang mempraktikkannya disebut moderat. Orang moderat harus berada di tengah,
berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak
berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa
menghiraukan akal/nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks.
Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem
dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan
manusia.Prinsip beragama agar moderat ada dua: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat
mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti selalu berada di tengah di antara dua kutub.
B. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist tentang Moderasi Beragama
• Moderasi Beragama dalam Al-Qur’an
Kalau membahas mengenai moderasi beragama, biasanya para ulama atau sarjana muslim
mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 143 yaitu:
ٌَََّ َّتبِ ََُعوََكاٰلذلَِّر ََكُسَْو َج ََلَعَْلٰنِم ُكَّم َْمَْنَاَُ ٌََّّمْن ًةََقلَِ َّو ُبَ َسَ ًَعطٰلاَلِّى َتَ ُكَعْوِق َُنب ٌْْو َِاهََ َوُش ِا َهْ َنَدَۤا ََكَءاََن َع َْلَتَىلَََكابِل ٌَّْنا َر ًةَ ََِس ِاَ َََّۡلو ٌََ ُكَعْلَو َنَىََااللَّ ِذَّرٌْ َُسنَ َْو َهَُل َدَ َعىلٌََْا ُٰكلّ َْلَمََُ َشَۚ َِهو ٌْ َمًدااََ َكاۚ ََنََوَاَمٰلّالَََُلَِجٌُ َع ْل َِنضاٌَْ َاَع ْلَقِِاْبٌْ َل َمَةَاََنالَُّك ِتْمَ ًَََْۚ ُكَْنِا َّنََتَََا ٰلَّع َلََل ٌَْبِ َهاَال َّنَاِا ََّۡلِسََلَِ َنلَ ْعَرَل َُءمَ َْو َم َْنَف
َّر ِح ٌَْم
Yang artinya:
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami
mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan
kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
Pada penafsiran diatas ayat 143 dijelaskan bahwa ayat ini berbicara tentangpemindahan arah
kiblat dari Baitul Makdis ke Ka’bah adalah perintah Allah SWTuntuk menguji manusia siapa diantar
amereka yang benar-benar berimanmengikuti rasul dan siapa diantara mereka imannya lemah dan
membelot darijalan yang lurus,9 sehingga tujuan dalam pemindahan arah kiblat ini posisi umatIslam
barada ditengah-tengah, yaitu umat yang adil dan seimbang dan umat pilihanserta umat yang
terbaik dan akan menjadi saksi atas keingkaran orang yang membelot Menurut Ibnu Katsir kata
wasath di sini adalah pilihan yang terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang Quraisy
adalah orang orang Arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal, artinya yang terbaik
sebagaimana yang dikatakan Rasulullah saw. Wasathan fi Qaumihi yang artinya beliau adalah orang
terbaik dan termulia.
96
Menurut Quraish Shihab kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan obyeknya, segala
yang baik barada pada posisi diantara dua ektream. Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh
takut, kedermawanan merupakan pertengahan anatra boros dan kikir, kesucian merupakan
pertengahan antara kedurhakaan yangmenggebu karena dorongan nafsu dan impotensi Sedangkan
menurut at-Thabari kata wasathan diartikan adil, Sayyid Quthub juga mengartikan kata tersebut
dengan maskud baik, utama, adil dan pertengahan. Muhammad Quraish Shihab dalam hal ini
memberi maksud dari kata tersebut yaitu moderat, adil dan tidak berlebihan. Sedangkan penjelasan
menurut habib husein ja’far Al hadar dalam video beliau mengenai apa itu moderasi beragama,
sesuai ayat al-baqarah itu tadi setidaknya ada 3 hal yang harus di garis bawahi yaitu
Yang pertama, kata ummatan yang menjadi objek pembahasan yakni ummat, dari sini kita akan
mengetahui bahwa agamanya ini sudah beres sebenarnya, sudah clear, sudah pasti moderat, akan
tetapi yang menjadi masalah ini adalah ummatnya belum tentu moderat, terkadang ummat islam itu
tidak menjalankan keislamannya dengan baik, bahkan terkadang sebagian umat islam justru tingkah
lakunya bertentangan nilai-nilai islam. oleh karena itu disini yang di suruh moderat adalah
ummatnya, kalau agamanya ya sudah pasti moderat.
Yang kedua, dsini allah menggunakan kata َج َعلyang artinya dadeaken atau menjadikan. Kalau
khalaqa kan artinya menciptakan, menciptakan itu istilahnya seperti instan saja bim salabim
langsung jadi. Tapi kalau َج َعلitu harus ada upaya dari kita, untuk menjadikan sesuatu yang di berikan
oleh allah sebagai potensi teraktualisasikan. Karena itu kita harus mengupayakan moderasi ini
berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Al-qur’an dan juga sunnah.
Yang ketiga, adalah kata َّو َس ًطاyang artinya moderat, moderat ini memiliki beberapa makna, salah
satunya adalah tidak berlebihan, karena Allah tidak menyukai segala sesuatu yang bersifat
berlebihan, kita mengambil contoh yang dekat-dekat saja seperti makan, makan itu kalau kita tidak
moderat, minimal kita akan kembung, sedangkan maksimal makanan itu dapat menyakiti. Oleh
karena itu allah menyuruh kita untuk makan dan minumlah tapi jangan berlebihan, karena itu tidak
di sukai oleh allah dan segala sesuatu yang tidak di sukai allah itu pasti buruk bagi kita.
C. PENAFSIRAN MODERASI BERAGAMA MENURUT SAYYID QUTB
Sayyid Quṭb memberikan penafsiran moderasi beragama atau umatan wasaṭan sebagai berikut:
a. Umatan wasaṭan dalam tashawwur pandangan, pemikiran, persepsi dan keyakinan.
Umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dan terhanyut dengan ruhiyah (rohani) dan
juga bukan umat yang semata-mata beraliran materi (materialisme). Akan tetapi umat Islam adalah
umat yang pemenuhan nalurinya seimbang dan bersuaian dengan pemenuhan jasmani. Dengan
keseimbangan ini akan bisa meningkatkan ketinggian mutu kehidupan. Pada waktu yang sama, ia
memelihara kehidupan ini dengan mengembangkannya,mejalankan semua aktivitas didunia spiritual
dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurang-ngurangkan, melainkan dengan sederhana,
teratur dan seimbang. Jadi keberlangsungan dalam hidup harus seimbang antara kebutuhan duniawi
dan kebutuhan ukhrawi, agar dalam menjalankan hidup teratur dan selaras.
Dalam menjalan kehidupan ini serta melaksanakan semua aktifvitas antararohani dan jasmaninya
seimbang, antara urusan dunia dan akhiratnyapun seimbang pula tidak dilebih-lebihkan dan tidak
mengurang-ngurangkan, melainkan dengan sederhana, teratur dan seimbang. Dalam
97
memandang,berependapat, dan bertindak sesuatu juga harus dipertimbangkan terlebih dahulu
sehingga bisa membuat keputusan yang benar dan bijaksana. Jadi keberlangsungan dalam hidup
harus seimbang antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi, agar dalam menjalankan hidup
teratur danselaras.
b. Umat Pertengahan” dalam Pemikiran dan Perasaan.
Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan yang diaketahui.Juga bukan umat yang
tertutup dengan eksperimentasi ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan lain. Mereka juga bukan
umat yang mudah mengikuti suara-suara yang didengung-dengungkan orang lain dengan taklid buta
seperti taklid kera yang lucu. Akan tetapi, umat Islam adalah umat yang berpegang pada perinsip-
prinsipnya. Kemudian mereka melihat, memperhatikan, dan meneliti pemikiran yang merupakan
hasil pemikiran dan eksperimen. Semboyan mereka yang abadi adalah “Hikmah ( ilmu pengetahuan)
itu adalah barang milik orang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menjumpainya maka ia
berhak mengambilnya dengan mantap dan yakin.
Selaku umat Islam sebagai umat petengahan, umat Islam tidak bolehberdiam diri (tertutup) atau
stagnan dalam hidup, mengikuti pembicaraan orang lain tanpa pengetahuan yang luas (taklid buta),
namun umat Islam harus aktif dengan apa yang ia ketahui melalui prinsip-prinsip hidupnya artinya
dalam menyelaraskan pemikiran dan perasaan, harus selalu yakin pada setiaphasilyang telah kita
pikiran dan harus menambah wawasan pengetahuan dalam diriagar dapat berpegang teguh pada
prinsip hidup sesuai dengan aturan
c. “Umat Pertengahan” dalam Peraturan dan Keserasian Hidup.
Umat Islam tidak bergelut dalam hidupnya dengan perasaan dan hati nurani.Dan juga tidak
terpaku dengan adab dan aturan manusia. akan tetapi umat Islam mengangkat Nurani manusia
dengan aturan dari Allah SWT, serta dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan, menjamin aturan
masyarakat dengan suatu pengaturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan aturan
kemasyarakatan dibuat penguasa, dan juga tidak dilakuakan secara langsung oleh wahyu. Tetapi
aturan kemasyarakatan itu adalah percampuran antara keduanya, yakni aturan yang barasal dari
wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa
Sayyid Quṭb memandang umatan wasatha ndalam peraturan dan keserasian hidup karena melihat
kondisi mesir di rundung konplik yang berkelanjutan,mulai dari ideologi, hukum, ekonomi khususnya
dalam persoalan tentang keadilan sosial politik. Peraturan dan kebijakan otoriter yang merugikan
banyak elemen dan hanya menguntungkan para elit negara dan pengusaha dibuat sewenang-
wenang tanpa melihat masyarakat mesir sendiri. Setelah kembali nyadari Amerika, ia terjun kedunia
politik kemudian mengkritik pemerintah tentang keadilan sosial dimesir melalui tulisan-
tulisannya.Karena umat Islam adalah umat yang menjadi penegak keadilan dan pemegang hukum
yang diperintahkan oleh Allah diantara manusia untukmengatur kehidupan manusia secara adil dan
seimbang.Itulah yang melatar belakangi Sayyid Quṭb memandang umatan wasaṭan dalam peraturan
dan keserasian hidup.
d. “Umat Pertengahan ”dalam Ikatan dan Hubungan.
islam tidak membiarkan manusia melepaskan dan melampaui batas dalam individualnya dan juga
tidak menidakan peran individualnya dalam masyarakat dan negara. Islam juga tidak membiarkan
98
serakah dan tamak dalam kehidupan kemasyarakatannya, akan tetapi Islam memberikan kebebasan
yang positif saja,seperti kebebasan menuju kemajuan dan pertumbuhan. Sehingga, akan tumbuh
suatu keterkaitan yang sinergis antara individu dan masyarakat atau Negara
Islam tidak membiarkan hambanya terjerumus dalam kesesatan namun Islam memberikan sebuah
pengingat atau nasihat agar tidak terjerumus dalam kesesatan (kejahiliyahan). dan juga tidak
membiarkan peran individualnya dalam masyarakat maupun dalam tatanan pemerintahan, juga
Islam tidak membiarkan hambanya serakah dan tamak terhadap apa yang ia miliki. Akantetapi Islam
membebaskannya dalam ha lpositif. Sehingga akan terbentuk suatu sinergisitas antara individu dan
masyarakat yang akan menciptakan hubungan harmonis sesama manusia lainnya.
e. “Umat Pertengahan ”dalamTempat.
Yakni suatu tempat dipermukaan bumi, dimana umat Islam ada diseluruh pelosoknya baik dibarat,
utara, timur maupun selatan. Dengan posisiini, umat Islam menjadi saksi atas manusia lainnya.Umat
Islam mengalami penggradasian oleh pihak pemerintahan sehingga terasingi dan tidak memiliki
peran strategis, namun Sayyid Quṭb terus memperjuangkan atas kebenaran agama Islam diatas
muka bumi, sesuai dengan misinya Ikhwanu Muslimin yaitu berdakwah menyebarkan agama Islam
menyuruh kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar)dimuka bumi sebagai
tugas yang agung sesuai yang diperintahkan Allah SWTdalam al-Qur’ān. Sehingga dengan posisi
keberadaan umat Islam diseluruh dunia menjadi saksi atas manusia lainnya.
f. “Umat Pertengahan”dalam Zaman.
mengakhiri masa anak-anak dan menyongsong masa kedewasaan berpikir.Tegak ditengah-tengah
mengikis segala khurafat dan takhayul yang melekat karena terbawadari zaman kebodohan dan
kekanak-kanakan yang lalu, danmemelihar kemajuan akal yang dikendalikan hawa nafsu setan. Dan,
tegak mempertemukan ajaran-ajaran nabi berupa risalah tuhan yang berkenaan dengan
keharmonian, dengan bahan-bahan yang ada padanya yang dinamis dan lancer mengikuti akal
pikiran. Kemudain menyalurkannya kejalan taufik dan hidayah serta terhindar dari kesesatan.
Ajaran tauhid merupakan posisi sentral dalam pemikiran Sayyid Quṭb .Didalamnya terkandung misi
telogi pembebasan sebagaiman yang ada dalam kalimah syahadat ( kesaksian atas keesaan Allah)
bahwa manusia yang telahbersaksi mengakui bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah,
makadalam hal ini menunjukan pada hakikatnya semua manusia sama derajatnya hanya
menghamba kepada Allah semata. Bahkan dalam urusan moderat ini termasuk juga soal agama,
dalam beragama dan dalam beribadahpun nabi melarang kita untuk tidak berlebihan.
Berlebih-lebihan itu merupakan ciri orang kafir, untuk itu kita ummat islam di larang untuk
berlebihan. Dalam surat Al-maidah ayat 77 yang berbunyi :
ࣖ قُ ْلٌََٰاَ ْه ََلَا ْل ِكٰت ِبََ َۡلََ َت ْغلُ ْواَفِ ًََْ ِد ٌْ ِن ُك ْمََ َغ ٌْ َرََا ْل َح ِّقََ َو َۡلََ َت َّت ِب ُع ْواَاَ ْه َوۤا ََءَ َق ْوَمَ َق ْدََ َضلُّ ْواَ ِم ْنََ َق ْب ُلََ َواَ َضلُّ ْواَ َك ِث ٌْ ًراَ َّو َضلُّ ْواَ َع َْنَ َس َوۤا َِءَال َّسبِ ٌْ َِل
Yang artinya:
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang
tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah
tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan
99