Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 91 melepaskan beberapa proteinase yang akan mendestruksi jaringan di parenkim paru dan menstimulasi pembentukan mucus (Review Literatur, Erica Gilda Simanjuntak) WHO menyebutkan angka kematian akibat pajanan rokok akan meningkat hingga 8,3 juta kematian per tahun pada tahun 2030. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena faktor risiko genetik mempengaruhi setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. ( Kemenkes 2008 ) 2. Polusi Udara Paparan zat berbahaya di tempat kerja American Thoracic Society (ATS) mengemukakkan bahwa 20% kasus PPOK dapat diakibatkan oleh paparan zat-zat beracun saat bekerja. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa paparan uap air, gas berbahaya, debu, dan uap berkaitan dengan perkembangan PPOK. Sektor pekerjaan yang paling sering terkena PPOK adalah sector pertambangan, konstruksi, pengeboran, pengelasan, dan tekstil. 3. Infeksi saluran nafas bawah berulang Infeksi saluran napas berulang Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran napas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK. Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresivitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada saat anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada
92 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperreaktivitas bronkus yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada usia lebih dari 40 tahun. 4. Paparan Pekerjaan Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Pekerjaan yang berisiko terkena PPOK yaitu pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK. Pekerja industri gelas dan kramik serta pekerja yang terpapar debu katun akan berisiko terkena PPOK. 5. Genetik (Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT) Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT) Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan monosit. 4. Patofisiologi Peningkatan respon inflamasi akibat pajanan gas beracun dari asap rokok maupun polutan merupakan patogenesis PPOK. Pajanan gas beracun akan mengakibatkan stress seluler pada saluran napas dan dikombinasikan dengan respon sel secara alami mengakibatkan kerusakan pada jaringan paru. Sel inflamasi utama pada PPOK berupa neutrophil, makrofag dan limfosit. Sitokin proinflamasi TNF-, IL-1, IL-8, dan IL-6 meningkat
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 93 jumlahnya pada pasien-pasien PPOK melalui aktivasi faktor transkripsi NF k. Sitokin IL-8 merupakan mediator inflamasi paling kuat yang akan menarik neutrophil ke dalam paru. Pengeluaran IL-8 di induksi oleh sel BEAS 2B akan meningkat sejalan dengan peningkatan kadar sitokin dalam jaringan paru. Pengeluaran mediator-mediator inflamasi seperti leuktorien B4 (LTB4) dan interleukin (IL)-8 secara terus menerus akan meningkatkan aktivasi neutrophil ke dalam jaringan paru. Pelepasan protease tersebut akan mengakibatkan kerusakan pada jaringanjaringan di sekitar paru, mengakibatkan paruparu kehilangan elastisitasnya dan hipersekresi mukus. 5. Manifestasi klinis Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis pun mulai dari tidak ada kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Adapun tanda dan gejala klinik PPOK Gejala dan tanda PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) yaitu: a. Sesak yaitu progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu), bertambah berat dengan aktivitas, dan persistent (menetap sepanjang hari). b. Batuk kronik hilang timbul dan mungkin tidak berdahak c. Batuk kronik berdahak, setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK d. Riwayat terpajan factor resiko, terutama asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja dan asap dapur. 6. Komplikasi PPOK Follow urutin penting untuk dilakukan pada pasien PPOK. Fungsi paru seiring waktu dapat diprediksi semakin memberat bahkan dengan perawatan terbaik yang tersedia. Gejala dan pemeriksaan obyektif hambatan jalan napas harus dimonitor untuk menentukan kapan harus melakukan modifikasi terapi dan untuk mengidentifikasi komplikasi yang mungkin berkembang.
94 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK Beberapa komplikasi PPOK diantaranya: 1. Gagal napas Gagal napas pada pasien PPOK dapat terjadi akut, kronis ataupun acute on chronic. Hiperinflasi paru merupakan faktor utama terjadinya gagal napas hiperkapnik selain adanya gangguan ventilasi/perfusi. Gagal napas berhubungan dengan pendataran diafragma dan mengurangi efisiensi otot dan meningkatkan konsumsi energi. Onset gagal napas akut pada PPOK umumnya merupakan tanda serius perubahan status klinis dan penyebab paling banyak perawatan gawat darurat dan ICU. Gagal napas akut juga berhubungan dengan mortalitas yang meningkat baik selama perawatan dan bulan bulan setelah pasien pulang dari rumah sakit. Hiperkapnia kronik sekunder karena hipoventilasi alveolar dapat dianggap sebagai respons adaptif penyakit obstruksi paru dengan menurunkan kerja napas, mencegah kelelahan otot napas dan memungkinkan untuk mengurangi sensasi sesak. Efek samping dari hiperkapnia kronik adalah berkembangnya hipoksia alveolar dan berakibat hipertensi pulmoner. Pendekatan hiperkapnia kronis adalah dengan penggunaan suplementasi oksigen pada konsentrasi terkontrol. Oksigen konsentrasi terkontrol dengan masker venture lebih diutamakan daripada nasal kanul pada pasien yang sensitif dengan oksigen. Ventilasi nokturnal efektif mengurangi hiperkapnia siang pada pasien dengan penyakit neuromuskuler dan kifoskoliosis. 2. Pneumothoraks Pneumothoraks spontan pada pasien dengan paru normal memberikan sedikit gejala dan gangguan pada paru. Pneumothoraks karena komplikasi PPOK bagaimanapun dapat mengakibatkan sesak berat dan gagal napas akut dan mengancam jiwa. Pada pasien PPOK yang hanya memiliki cadangan fungsi paru sedikit, adanya pneumothoraks kecil dapat mengakibatkan gangguan respirasi berat. Pneumothoraks dapat sulit diatasi karena kadang disertai kebocoran udara persisten antara paru dan rongga pleura (fistula bronkopleural). Pneumothoraks harus
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 95 dicurigai pada pasien PPOK dengan sesak napas berat yang mendadak. Penurunan atau hilangnya suara napas pada saat auskultasi merupakan tanda klinis paling penting namun mungkin sulit untuk terdeteksi karena suara napas kadang menurun pada emfisema berat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan radiografi thoraks; film diambil saat ekspirasi atau dengan CT scan memiliki sensitifitas diagnosis lebih tinggi. Bula yang besar kadang mirip dengan pneumothoraks. Pemeriksaan radiografi thoraks dapat membantu membedakan hal ini. Pasien pneumothoraks kecil dengan gejala ringan atau tanpa gejala dapat diatasi dengan observasi serial namun dengan adanya emfisema lebih baik dipasang chest tube dengan katup satu arah. Tension pneumothorax atau pneumothoraks luas memerlukan pemasangan chest tube dengan water seal drainage. Sebagian besar fistula bronkopleura menutup setelah beberapa hari terapi dengan tubethoracostomy meskipun kadang diperlukan tekanan negatif sampai dengan 30 cmH2O atau lebih diberikan pada system WSD untuk mengembangkan paru. Penutupan kebocoran udara bersama dengan pleurodesis atau parietal pleurectomy diindikasikan jika terjadi kegagalan penutupan fistula spontan dalam 48-72 hari karena kegagalan penutupan fistula spontan sering gagal setelah interval 48-72 jam. Thoracoscopic lebih diutamakan bila memungkinkan. 3. Cor Pulmonale Chronic cor pulmonale (CPC) adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi atau dilatasi) karena peningkatan afterload ventrikel kanan karena penyakit pada paru atau sirkulasi pulmonal. Rerata tekanan arteri pulmonalis dapat meningkat sampai 30-40 mmHg pada pasien dengan PPOK berat dibandingkan pada angka normal 10-18 mmHg. Rerata tekanan selama aktivitas dapat meningkat 50-60 mmHg atau lebih.
96 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK 7. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien PPOK menurut Tabahrani ( 2017 ) a. Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada paru-paru tergantung pada penyebab dari COPD. Pada emfisema gambaran yang paling dominan adalah radiolusen paru yang bertambah, sedangkan gambaran pembuluh darah paru mengalami penipisan atau menghilang. Pada bronkovaskular dan pelebarandari arteri pulmonalis, ukuran jantung juga mengalami pembesaran. Dengan pemeriksaan fluoroskopi dinali kecepatan aliran udara pada waktu ekspirasi. Infeksi pada bronkiolus ditandai dengan adanya bercak pada bagian tengah paru. b. Pemeriksaan faal paru Pemeriksaan faal paru dengan spirometer sederhana, akan tampak jelas penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dibandingkan dengan orang normal, dengan umur dan potongan badan yang sama. Pada kasus ringan, VEP1 hanya mencapai 80% atau kurang, dibanding orang normal pada kasus berat VEP1 mungkin hanya 40% atau malah kurang. c. Pemeriksaaan analisa gas darah (arteri) Perjalanan bronchitis kronis berlangsung lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membuat keadaan penderita betul-betul buruk. Penurunan PAO2 serta peningkatan PACO2 dan semua akibat sekundernya (asidosis, dan lainlain) akan terjadi perlahan-lahan dengan adaptasi secara maksimal dari tubuh penderita. Kadang-kadang dapat dijumpai seorang penderita dengan PAO2 hanya sebesar 50% tetapi masih dapat melakukan pekerjaaan rutin sehari-hari. Penurunan PAO2 juga akan terjadi penurunan saturasi oksigen. d. Pemeriksaan CT scan Memeriksa gambaran paru-paru secara lebih detail. e. Pengambilan sampel dahak Pemeriksaan sampel dahak untuk mengidentifikasi
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 97 keberadaan maupun jenis bakteri yang mungkin menyebabkan bronchitis kronis 8. Penatalaksanaan PPOK Penatalaksanaan utama adalah meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok, Memperbaiki nutrisi, dan latihan pernapasan. Edukasi merupakan hal penting untuk mengatur pasien dengan PPOK agar selalu dalam keadaan stabil. Sangat penting bagi tenaga kesehatan menginformasikan pasien untuk menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit. Terapi farmakologis pada PPOK bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengendalikan gejala gejala klinis dan menurunkan frekuensi ekaserbasi. Bronkodilator Bronkodilator merupakan medikasi yang bertujun untuk meningkatkan FEV1 dan merubah variabel spirometry. Obat ini bekerja dengan merubah tonus otot polos saluran napas dan meningkatkan aliran udara expirasi dengan memperluas saluran pernapasan. Penggunaan bronkodilator sebagai medikasi PPOK terutama diberikan utnuk mencegah munculnya gejala atau meringankan gejala yang sudah muncul. Terapi Kombinasi Bronkodilator Terapi kombinasi bronkodilator dengan mekanisme dan durasi yang berbeda dapat meningkatkan efek bronkodilatasi dan menurunkan efek samping pengobatan dibandingkan dengan penggunaan bronkodilator tunggal. Kombinasi SABA dan SAMA merupakan pilihan yang paling baik dalam memperbaiki FEV1 pasien dan meringankan gejala yang muncul. Pengobatan dengan Formoterol dan tiotropium memiliki pengaruh yang besar dalam memperbaiki nilai FEV1. Pada penelitian klinis, pengobatan dengan bronkodilator kombinasi LABA dan LAMA akan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih baik dibandingkan
98 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK monoterapi bronkodilator. Agen Anti inflamasi Obat-obatan anti inflamasi diberikan terutama pada kasuskasus PPOK Eksaserbasi. Kortikosteroid Inhalasi (Inhaled Corticosteroid/ICS) Penggunaan Kortikosteroid inhalasi tidak memperbaiki FEV1 pada pasien maupun tidak mengurangi angka mortalitas pasienpasien PPOK. Namun, tidak didapati peningkatan angka mortalitas pada pasienpasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi. Pada pasien-pasien dnegan PPOK derajat sedang sampai berat, penggunaan kortikosteroid inhalasi yang dikombinasikan dengan LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, peningkatan status kesehatan dan menurunkan kejadian eksaserbasi. Penggunaan LABA/ICS juga akan mengurangi angka eksaserbasi pada kasus-kasus sedang sampai berar dan meningkatkan skor CAT pasien. Pencegahan penyakit PPOK Menghentikan merokok sebagai faktor risiko tertinggi. Menerapkan gaya hidup sehat (menjaga pola makan sehat, cukup istirahat, dan rutin berolahraga). Sebisa mungkin menghindari polusi udara. Anda bisa mengenakan masker jika terpaksa harus berada di luar. Melakukan vaksinasi secara berkala, yakni vaksin flu dan vaksin pneumonia. 9. Pengkajian Pengkajian Menurut Lasma & Sirait tahun 2017 pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan memiliki peran mengumpulkan informasi, data pasien untuk selanjutnya diidentifikasi dan dilakukan proses keperawatan.
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 99 CONTOH KASUS : Tn. A 68 thn, datang ke IGD diantar keluarga dengan keluhan pusing, sesak napas dan batuk berdahak semenjak 3 hari yang lalu, sejak awalnya dirasakan saat beraktivitas,..sesak semakin memberat 1 jam sebelum masuk Rumah sakit. Hasil pengkajian fisik di dapatkan S : 38,5 °C, P: 100 x/m RR : 30 x/m TD : 140/90 mmHg,terdapat bunyi Ronchi +, Nafsu makan menurun. Berdasarkan anamnesia dan pemeriksaan spirometri dan foto thoraks, diagnose yang di tegakkan klinis/ dokter adalah PPOK. 10. Diagnosa Keperawatan Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan atau penilaian seorang perawat terhadap masalah yang muncul akibat respon pasien. Berdasarkan data pengkajian kasus di atas maka didapatkan diagnose keperawatan sebagai berikut : a. Bersihan jalan nafas b.d hipersekresi di jalan nafas dibuktikan dengan batuk tidak efektif, ronkhi dan sputum berlebih b. Pola nafas tidak efektif b.d suplai oksigen tidak edekuat keseluruh tubuh dibuktikan dengan sesak nafas (dispnea) c. Intolernasi aktivitas b.d Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan sesak nafas saat beraktivitas. d. Resiko defisit nutrisi b.d Ketidak mampuan mencerna makanan 11. Intervensi Keperawatan a. Bersihan jalan nafas b.d hipersekresi di jalan nafas dibuktikan dengan batuk tidak efektif, ronkhi dan sputum berlebih sesudah mengimplementasikan selama 3 x 24 jam diharap bersihan jalan nafas meningkat dengan kriteria hasil batuk efektif meningkat, ronkhi menurun, Produksi Sputum menurun, Frekkuwnsi nafas membaik. 1) Tindakan Observasi dan teraupetik Identifikasi kemampuan batuk
100 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK Monitor adanya retensi sputum Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas Atur posisi semi-fowler Pasang perlak dab bengkok di pangkuan psien Buang sekret di tempat sputum 2) Kolaborasi Jika perlu. Kolaborasi pemberiak mukolitik atau ekspektoran b. Pola nafas tidak efektif b.d suplai oksigen tidak edekuat keseluruh tubuh dibuktikan dengan sesak nafas (dyspnea) sesudah mengimplementasikan selama 3 x 24 jam diharap Pola napas membaik dengan kriteria hasil batuk efektif meningkat, Frekkuwnsi nafas dalam batas normal . 1) Tindakan Observasi dan teraupetik Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) Monitor bunyi nafas tambahan (mis, gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma ) Posisikan semi-fowler atau fowler Berikan minum hangat Lakukan fisioterapi dada, jika perlu Lakukan hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakea Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill . Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik Berikan oksigen , jika perlu 2) Kolaborasi Jika perlu. Kolaborasi pemberiak mukolitik atau ekspektoran c. Intolernasi aktivitas b.d Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan sesak nafas saat beraktivitas Setalah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam maka toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria :
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 101 Saturasi oksigen meningkat , Kemudahan dalam aktivitas seharihari meningkat,. Keluhan lelah menurun, Dispnea saat aktivitas menurun,. Tekanan darah membaik, Frekuensi napas membaik. 1) Tindakan Observasi dan teraupetik Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan Monitor kelelahan fisik dan emosional Monitor pola dan jam tidur Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama melakukan aktivitas Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara, kunjungan) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpisah atau berjalan 2) Kolaborasi Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan. d. Resiko defisit nutrisi b.d Ketidak mampuan mencerna makanan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam maka status nutrisi membaik. Dengan Kriteria hasil Porsi makanan yang di habiskan meningkat,. Persaan cepat kenyang menurun , Frekunsi makan mebaik 1) Tindakan Observasi dan teraupetik Identifikasi status nutrisi Identifikasi alergi dan intoleransi makanan Identifikasi makanan yang disukai Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi Monitor asupan makanan Monitor berat badan Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
102 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK Terapeutik: Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein Berikan suplemen makanan, jika perlu Kolaborasi dengan ahli gizi 12. Implementasi a. Bersihan jalan nafas b.d hipersekresi di jalan nafas dibuktikan dengan batuk tidak efektif, ronkhi dan sputum berlebih Berdasarkan intervensi yang telah dirancang sesuai dengan diagnose yang telah ditegakkan, kemudian di implementasikan sebagai tindak lanjut. Tindakan keperawatan yang diupayakan untuk kesembuhan pasien yaitu : Memonitor pola nafas dengan frekuensi 30 x/mnt, pernafasan danggal Memonitor bunyi nafas tambahan, yaitu inspeksi adanya ronkhi Memonitor sputum, dengan hasil sputum susah dikelurkan Mengaturposisi yaitu dengan semo fowler Menganjurkan minum air hangat Melakukan batuk efektif Berikan Oksigen 4 l/jam dengan nasal kanul b. Pola nafas tidak efektif b.d suplai oksigen tidak edekuat keseluruh tubuh dibuktikan dengan sesak nafas (dyspnea) Mengidentifikasi indikasi latihan pernafasan yaitu pursep lip breating Memonitor frekuensi, irama dan kedalaman napas sebelum dan sesudah latihan yaitu frekunsi nafas 25 x/mnt, irama tidak teratur, nafas sebelm latihan danggal dan pendek, setelah latihan danggal panjang. Menyediaan tempat yang tenang Memposisikan pasien nyaman dan rileks yaitu semi fowler Mengajarkan teknik pursed lip breating
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 103 Kolaborasi Kolaborasi pemberian oksigen dengn dokter yaitu 4 l/jam c. Intolernasi aktivitas b.d Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan sesak nafas saat beraktivitas Mengidentifikasi fungsi tubuh yang menyebabkan kelehana yaitu klien sesak nafas Monitor pola dan jam tidur yaitu klien tidur tidak teratur dan sering terbangun kerena sesak nafas menyeediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (yaitu dengan membatasi pengunjung membatu keperluan klein me fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpisah atau berjalan d. Resiko defisit nutrisi b.d Ketidak mampuan mencerna makanan Mengidentifikasi status nutrisi Meidentifikasi alergi dan intoleransi makanan: Mengidentifikasi makanan yang disukai Memonitor berat badan Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium Melaakukan oral hygiene sebelum makan Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi Memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein Menganjurkan makan sedikit tapi sering Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan. 13. Evaluasi Evaluasi merupakan tindakan untuk melihat respon pasien terhadap implementasi asuhan keperawatan yang telah diberikan dan untukperkembangan pasien.
104 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan PPOK DAFTAR PUSTAKA Am J Respir Crit Care Med, 2007 - ci.nii.ac.jp Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease (2020 Report). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Inc. 2020 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, - Laporan Nasional Riskesdas 2018. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. ISBN 978-602-373-118-3 JURNAL RESPIRATORIK INDONESIA Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Official Journal of The Indonesian Society of Respirology VOL. 41, No. 1, Januari 2021 lSSN 0853-7704 e-Lssn 2620-3162 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/KEMENKES/SK/XI/2008 Tentang Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik Jakarta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/687/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik Jakarta Lutfian Lutfian Yoga Pranayama Sebagai Upaya Rehabilitatif Paru Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok): Literature Review Vol. 12 No. 2 (2021): Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Science Journal PPNI, T. P. S. D., 2017. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia Divisi dan Indikator Diagnostic. Jakarta TIM Pokja DPP PPNI. PPNI, T. P. S. D., 2018. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia Divis Dan Indikator Diagnostic. Jakarta Tim Pokja DPP PPNI.
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 105 BAB VIII ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA REMAJA DENGAN OBESITAS A. Pendahuluan Obesitas telah menjadi epidemi global dan menjadi tantangan terbesar bagi kesehatan masyarakat global saat ini dan menjadi tiga besar penyebab gangguan kesehatan kronis, demikian menurut (Kementerian Kesehatan RI dalam jurnal epidemi obesitas ; WHO ; Mutia et al., 2022). Kajian WHO pada tahun 2011 menerangkan bahwa angka kejadian obesitas di dunia diperkirakan sekitar 1,6 milyar remaja berumur 15 tahun kelebihan berat badan dan sebanyak 400 juta orang obesitas. (Evan, Joko Wiyono, Erlisa Candrawati, 2017). Gambaran umum profil remaja tahun 2021 oleh Unicef dikatakan bahwa dari 270.203.917 usia remaja, 2/3-nya berada pada usia produktif. Dari 46 juta remaja atau 17% tersebut yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 48% dan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 52%. 17% remaja terbagi lagi menjadi 2 golongan usia yaitu usia 10-14 tahun berjumlah 51% dan usia 15-19 tahun berjumlah 49%. Enam sebaran populasi tertinggi berada di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Banten dan DKI sedangkan lima sebaran populasi terendah berada di daerah Sumatra Barat, Maluku Utara, Gorontalo, Papua Barat dan Kalimantan Utara. Dari gambaran umum profil remaja tahun 2021 juga didapatkan gambaran bahwa dari tahun 1990 hingga 2016 remaja perempuan usia 10-19 tahun yang memiliki beban malnutrisi dengan kategori berat badan berlebihan sebesar 3% - 13% sedangkan kategori yang mengalami obesitas sebesar 3% - 4%. Pada laki-laki yang memiliki beban malnutrisi dengan kategori berat badan berlebihan sebesar 2% - 15% sedangkan yang kategori mengalami obesitas sebesar 2% - 6%. Remaja usia 15-19 tahun, 22% lebih banyak melakukan aktifitas fisik dan 49% sedikit melakukan aktifitas fisik. Berdasarkan jumlah tersebut maka tar-
106 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas get indiator yang ditentukan adalah mengurangi prevalensi obesitas pada penduduk usia ≥ 18 tahun. Prevalensi obesitas penduduk usia 18 tahun keatas yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 26,60% dan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 44,40%. Prevalensi tersebut mengalami penurunan pada tahun 2020 sebesar 13,5% pada remaja usia 16-18 tahun. (Susenas dan Riskesdas 2018 Kementerian Kesehatan dan BPS ; Kemenkes RI, 2020 dalam Hanani, et.al, 2021). Obesitas dikalangan remaja dapat menjadi masalah sebab selain mempengaruhi pertumbuhan secara biologis juga mempengaruhi perubahan pada tingkat psikologis, kognitif dan kehidupan sosial remaja. Obesitas dan overweight berbeda dalam pengertiannya namun overweight merupakan bagian dari obesitas. Obesitas adalah akumulasi lemak tubuh dalam jaringan adiposa sebagai akibat dari asupan yang berlebihan sedangkan overweight adalah status berat tubuh yang melebihi atau diatas standar yang dimiliki oleh seseorang yang berasal dari otot, tulang, lemak dan cairan tubuh. Pada wanita dikatakan obesitas apabila memiliki lemak tubuh > 30% dan pada pria > 25%. (PPNI, 2017; Nelm, et, al 2011; Almatsier, 2011 ; Kemenkes, 2010; WHO/SEARO, 2011 dan Dorland, 2006 dalam Hanani, R, et al, 2021; WHO, 2000). Percepatan pertumbuhan mempengaruhi komposisi tubuh, tingkat aktivitas fisik, berat badan, dan pertumbuhan massa tulang. Remaja dengan kekhasan yang di miliki sebagai seorang remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang besar dan energik dan berani sangat menyukai petualangan dengan segala tantangannya serta risiko dan dengan mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga sering pengambilan keputusan tersebut menimbulkan risiko dan menjadi konflik jangka pendek maupun jangka panjang pada masalah kesehatan fisik maupun psikososial. Dalam hal ini peran dan tugas keluarga adalah menciptakan/ mengarahkan pada komunikasi terbuka dan memberikan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab kepada seorang remaja untuk menjadi dewasa dan lebih mandiri. (Amrynia & Prameswari, 2022; infodatin, 2017; Nies, M.A and McEwen, M., 2015).
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 107 1. Definisi Beberapa sumber mendifinisikan bahwa obesitas merupakan terjadinya ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama sehingga mengakibatkan akumulasi lemak yang berlebihan di dalam jaringan tubuh melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik atau tidak sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang melampaui kondisi berat badan lebih (overweight), akumulasi tersebut mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia pada jaringan adiposa. Sumber lain juga mengatakan bahwa perbandingan lemak tubuh normal dan berat badan wanita dan pria berbeda, pada wanita memiliki sekitar 25-30% sedangkan pria sekitar 18-23%. Obesitas pada wanita apabila memiliki lemak tubuh > 30% dan pada pria > 25%. Mengukur tingkat obesitas dan overweight menurut WHO dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI). Dikatakan overweight apabila hasil IMT sebesar 25,0 – 29,9 dan dikatakan obesitas apabila IMT sebesar 30,0 – 34,9. (PPNI, 2017I ; Nelm, et, al 2011 ; WHO/SEARO, 2011 dan Dorland, 2006 dalam Hanani, R, et al, 2021 ; Kemenkes, 2010 ; Aru W. Sudoyo, 2006). 2. Etiologi Beberapa pernyataan tentang faktor penyebab terjadinya obesitas, yaitu menurut (PPNI, 2017) yaitu kurangnya aktifitas harian, kelebihan konsumsi gula gangguan kebiasaan makan gangguan persepsi makan, kelebihan konsumsi alcohol, penggunaan energi kurang dari asupan, sering mengemil, sering makan makanan berminyak/berlemak, faktor keturunan, misalnya distribusi jaringan adiposa, pengeluaran energi, aktifitas lipase lipoprotein, sisntesis lipid, dan lipolysis, penggunaan makanan formula atau makanan campuran pada bayi, asupan kalsium rendah pada anak, BB bertambah dalam waktu yang cepat (selama masa anak-anak, selama masa bayi termasuk minggu pertama, 4 bulan pertama, dan tahun per-
108 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas tama, makanan padat sebagai sumber makanan utama pada usia < 5 bulan. Menurut (Seema S, Rohilla KK, Kalyani VC, 2021 ; Hamulka et al., 2018) bahwa faktor penyebab terjadinya obesitas disebabkan oleh adanya factor jenis kelamin, tingkat Pendidikan dan pengaruh lingkungan eksternal dan sosial ekonomi sehingga menyebabkan perubahan gaya hidup, meningkatnya frekuensi konsumsi fast food , penggunaan ponsel dan televisi yang pada akhirnya menjadi kebiasaan gaya hidup menetap (sedentary lifestyle) dan penurunan aktivitas fisik. (Sherwood, 2001) menjelaskan penyebab obesitas adalah faktor internal dan eksternal seperti gangguan emosi yang disertai konsumsi makanan secara berlebihan menyebabkan terbentuknya sel-sel lemak secara berlebihan sehingga juga mempengaruhi kerja pusat pengatur kenyang dan selera makan di hipotalamus, disamping kurangnya aktifitas yang menimbulkan minimnya pengeluaran kalori, faktor lainnya adalah adanya gangguan pada fungsi endokrin tertentu dan kecenderungan herediter. Kondisi klinis lain adalah adanya gangguan genetik, hipotiroid dan diabetes mellitus maternal. 3. Patofisiologi Patofisiologi obesitas dijelaskan oleh (Stefan Silbernagl dan Florian Lang, 2007) sebagai berikut : a. Sel adiposa atau sel lemak sebagai tempat menyimpan 1,2 pg trigliserida dalam setiap selnya dan juga sebagai tempat memproduksi leptin yang memegang pengaruh sangat penting dalam metabolisme keseimbangan energi (homeostatis) dan berat badan sehingga leptin dikatakan sangat berpengaruh terhadap terjadinya obesitas. Bila terjadi peningkatan asupan energi dalam bentuk makanan yang melebihi dari yang dibutuhkan maka terjadi hipertrofi jaringan adiposa dan merangsang terjadinya pembentukan sel lemak baru disertai peningkatan kadar leptin dalam plasma darah. Jaringan lemak juga menjadi sumber angiotensin yang menyebabkan hipertensi.
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 109 b. Penyebab obesitas selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, DM tipe II, hiperlipidemia, aterosklerosis, batu ginjal dan batu empedu. Beberapa kasus obesitas ditemukan kerusakan pada gen obesitas menyebabkan tidak ditemukannya protein leptin dalam plasma dan sebagian lagi ditemukan liptin dalam konsentrasi yang tinggi dalam plasma yang menandakan terjadinya kerusakan dan gangguan umpan balik pada suatu tempat di hipotalamus. Gangguan tersebut mengakibatkan liptin : 1) Tidak dapat mengatasi sawar darah otak 2) Terjadinya hambatan seksresi neuropeptide (NPY) di hipotalamus yang merangsang asupan makanan dan menurunkan pemakaian energi 3) Tidak terjadinya pelepasan α-melanocortin (melanocytestimulating hormone α-MSH) yang bekerja melalui reseptor MCR-4 dan memilii efek yang berlawanan dengan NPY. 4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis oleh (PPNI, 2017) menjelaskan 2 tanda klinis pada obesitas yang terdiri dari tanda mayor dan tanda minor, yaitu : a. Tanda mayor dengan IMT >27 kg/m² (pada dewasa) atau lebih dari presentil ke 95 untuk usia dan jenis kelamin (pada anak) b. Tanda minor dengan tebal lipatan kulit trisep > 25mm. Manifestasi klinis lainnya adalah bentuk tubuh, penampilan dan raut muka penderita obesitas, yaitu : a. Paha tampak besar terutama pada daerah proximal, tangan relative kecil dengan jari-jari yang berbentuk runcing b. Raut muka, hidung dan mulut relatif tampak kecil dengan dagu yang berbentuk ganda
110 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas c. Dada dan payudara membesar, bentuk payudara mirip dengan payudara yangtelah tumbuh pada anak pria keadaan demikian menimbulkan perasaan yang kurang menyenangkan d. Abdomen membuncit dan menggantung serupa dengan bentuk bandul lonceng, kadang terdapat strie putih atau ungu e. Lengan atas membesar, pada pembesaran lengan atas ditemukan biasanya pada biseb dan trisebnya. 5. Komplikasi a. Gangguan perilaku b. Kardioaskuler : dislipidemia c. Masalah orthopedik d. Kelainan kulit (achanthosis nigricans) e. endokrinopati f. Gangguan pernafasan seperti asma, nafas pendek dan mengorok pada saat tidur yang disebabkan oleh penimbunan lemak yang berlebihan di bawah diafragma dalam dinding dada yang menekan paru-paru 6. Pemeriksaan Penunjang Menurut Direktorat Pengendalian Penyalit Tidak Menular. Kemenkes RI Tahun 2015 bahwa terkait dengan obesitas dalam proses wawancara (anamnesis) mengarah pada pertanyaan-pertanyaan tentang risiko obesitas, yaitu : a. Terhadap adanya keluhan seperti mendengkur (snoring) dan nyeri pinggul b. Pada gaya hidup yang terdiri dari pola/kebiasaan makan dan aktivitas fisik (baik di rumah, sekolah, kantor, transportasi ke tempat kerja, waktu luang) c. Riwayat keluarga yaitu orang tua yang memiliki kelebihan berat badan dan obesitas. d. Riwayat kebiasaan mengonsumsi obat-obatan seperti obat untuk menggemukkan badan, terapi hormonal tertentu, steroid, dll.
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 111 e. Riwayat sosial/psikologis misalnya stres. f. Riwayat berat badan sebelumnya Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pengukuran antropometri, yang terdiri dari : a. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) Dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan nilai IMT agar dapat digunakan dalam menentukan derajat obesitas. Penilaian IMT menggunakan rumus: WHO menetapkan angka cut off > 25 untuk kategori obesitas pada orang Asia dewasa seperti pada tabel berikut : Tabel 1. Klasifikasi obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO, 2016. Sumber : Obesity and Overweight. WHO Technical Report Series Berat Badan Kurang (Underweight ) Berat Badan Normal Kelebihan Berat Badan (Overweight ) Dengan Risiko Obesitas I Obesitas II IMT < 18,5 IMT 18,5 - 22,9 IMT > 23 IMT 23 - 24,9 IMT 25 - 29,9 IMT > 30 Berat Badan (Kg) IMT = ------------------------- ---- Tinggi Badan (m2)
112 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas Tabel 2. Klasifikasi Nasioal Kurus Berat Ringan IMT < 17,0 IMT 17,0 – 18,4 Normal IMT 18,5 – 25,0 Gemuk Berat Ringan IMT 25,1 – 27,0 IMT >27 Sumber : Pedoman Umum Pengendalian Obesitas.Direktorat Pengendalian Penyalit Tidak Menular. Kemenkes RI Tahun 2015 b. Pengukuran Lingkar Pinggang Selain menggunakan IMT, metode lain yang dapat dilakukan adalah melalui pengukuran antropometri tubuh dengan cara mengukur lingkar pinggang. Kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis dari Internasional Diabetes Federation (IDF) dalam (Kemenkes, 2018) untuk orang Asia Selatan, populasi China, Melayu dan Asia-India yaitu pada Pria > 90, dan Wanita > 80. c. Lingkar perut menurut pada pria >90 cm, pada Wanita > 80 cm. (Kemenkes, 2018) d. Analisis komposisi tubuh. Pemeriksaan ini memerlukan alat khusus yaitu body composititon analyzer. e. Pemeriksaan laboratorium untuk melihat komorbiditas penyakit yang disebabkan oleh obesitas. Pemeriksaan tersebut mencakup pemeriksaan glukosa darah puasa, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, SGOT, SGPT, asam urat, dan HbA1c. 7.Penatalaksanaan Menurut (Kemenkes, 2017) bahwa sayuran yang mengandung serat merupakan diet makanan yang mengurangi penyerapan karbohidrat, lemak dan protein yang dapat mengurangi kegemukan atau obesitas apabila dilakukan secara berkesinambungan dan serat membantu memberikan rasa kenyang dalam
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 113 waktu yang cukup lama. Dengan demikian asupan yang mencakup pola makan, jenis makanan serta bahan makanan dapat lebih dikendalikan. Sumber sayuran yang banyak mengandung serat adalah alpukat, belimbing, kemang, mangga, nanas srikaya, cempedak, nangka dan sebagainya. Serealia yang kaya serat adalah beras, jagung, jail dan jewawut. Sumber protein yang dianjurkan adalah yang mengandung lemak rendah dan lemak sedang. Protein hewani yang rendah lemak diantaranya daging ayam tanpa kulit, putih telur ayam, ikan lele, ikan mas, udang segar dan lain-lain. Sedangkan protein hewani lemak sedang seperti daging sapi, daging kambing, hati ayam, hati sapi, telur ayam dan lain-lain. Konsumsi buah dan sayuran dan protein serta karbohidrat minimal setara atau seimbang. Minyak sebagai sumber lemak dalam pengolahan makanan dianjurkan berjumlah 3-4 porsi atau setara dengan 3-4 sendok teh yang berasal dari jenis lemak tak jenuh ganda maupun tunggal seperti minyak zaitun, kacang-kacangan, minyak jagung, minyak biji matahari dan lain-lain yang dalam pengolahannya tidak boleh dipanaskan namun ditambahkan ketika makanan telah matang dan siap disajikan. Penanganan lainnya adalah melalui pola aktivitas fisik. Pada orang dewasa dilakukan dengan meningkatkan aktivitas fisik setidaknya selama 30 menit dalam intensitas sedang atau berat sekitar 5 hari atau lebih dalam satu minggu. Dalam satu sesi atau beberapa sesi aktivitas berlangsung 10 menit atau lebih sedangkan 60-90 menit sehari bagi penderita obesitas untuk melakukan aktivitas fisik sebagai upaya mencegah pertambahan berat.(Saridewi. 2021) 8.Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan yang berperan dalam mengumpulkan berbagai informasi kemudian diidentifikasi menjadi sumber data sehingga dapat dilakukan proses keperawatan selanjutnya. (Rohmah, N., & Walid, S, 2010 dalam Salamung, et.al, 2021). Mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan remaja, menurut (Wong, 2009
114 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas ; McMurray & Clendon, 2003 ; Gross & John, 2003 dalam Primasari N.A dan Salamung, et.al, 2021) remaja mengalami masa transisi dari masa anak-anak ke masa pra dan masa remaja dimana terjadi perubahan fisik, emosi dan kognitif serta sosial . Berdasarkan hal tersebut maka pengkajian dilakukan menurut pertumbuhan dan perkembangan remaja yang dimulai dari identitas klien, yaitu a. Identitas remaja : berisi data identitas remaja yang mengalami obesitas yang terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, berat badan, tinggi badan, suku bangsa, status dalam keluarga (anak ke ? dari berapa saudara). b. Riwayat keluhan : berisi riwayat keluhan terjadinya obesitas hingga remaja membutuhkan pelayanan keperawatan c. Riwayat penyakit yang terjadi di dalam keluarga, dapat digambarkan melalui genogram. d. Pemeriksaan fisik, terdiri dari keadaan umum dan tandatanda vital serta yang terkait dengan sistem tubuh. e. Perubahan fisik Perubahan fisik terkait overweight yaitu apabila hasil IMT sebesar 25,0 – 29,9 dan obesitas apabila IMT sebesar 30,0 – 34,9. (Aru W. Sudoyo, 2006). f. Pola fungsi kesehatan yang terdiri dari : 1) Perubahan emosi. a)Keyakinan individu dalam mengatasi suatu masalah, kemampuan menentukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan (Strategi to Emotion Regulation). b)Perilaku positif individu dalam mengatasi pengaruh emosi negative yang dirasakan (Engangung in Global Directed Behavior-Goals) c)Kemampuan individu dalam merespon emosi dengan tepat sebagai control terhadap emosi yang dirasakan (Control Emotional Responses-Impulses).
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 115 d)Kemampuan dalam menerima kenyataan atas suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negative tanpa rasa malu (Acceptance of Emotional Response-Acceptance). 2) Perubahan kognitif Perubahan kognitif mengenai cara pandang, cara berpikir nyata dan abstrak. Cara pandang merupakan transformasi kognitif yang didukung oleh adanya kesadaran untuk mengubah cara berpikir dimana remaja berada didalam situasi pengaruh yang kuat untuk mengendalikan emosi atas situasi yang dihadapi dan kesadaran akan tuntutan kebutuhan lingkungan yang positif selama menjalani masa remaja. 3) Perubahan sosial Perubahan lingkungan sosial dan adanya pengaruh teman sebaya akan mempengaruhi pembentukan identitas remaja. 9. Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian terhadap kondisi klinis mengenai respon seseorang terhadap kondisi kesehatannya/proses dalam kehidupannya atau hal rentan terhadap respon tersebut baik individu, keluarga, atau komunitas (NANDA, 2018-2020). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 edisi 1 Cetakan II menjelaskan tentang diagnose keperawatan terkait obesitas, yaitu : a. Obesitas, merupakan akumulasi lemak berlebih atau abnormal yang tidak sesuai dengan usia dan jenis kelamin, serta melampaui kondisi berat badan lebih (overweight). b. Harga diri rendah Masing-masing diagnose keperawatan tersebut dihubungkan dengan kriteria obyektif dan subyektif tersebut di bawah ini : Kriteria obyektif : a.Jumlah BB b.Jumlah TB
116 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas c.IMT : Perempuan : lemak tubuh > 30% ; Pria > 25% (Obesitas) d.Jumlah tekanan darah e.Jumlah nadi Kriteria Subyektif : a. Kurang aktivitas fisik harian b. Kelebihan konsumsi gula c. Gangguan kebiasaan makan d. Gangguan persepsi makan e. Kelebihan konsumsi alcohol f. Penggunaan energi kurang dari asupan g. Sering mengemil h. Sering memakan makanan berminyak/berlemak i. Sering mengantuk j. Tidur mengorok k. Perasaan berbeda dari yang ideal l. Perasaan diabaikan m. Kurangnya aktualisasi diri 10.Intervensi Intervensi keperawatan dilakukan mengacu pada Standar Intervensi Keperawatan Indonesia tahun 2018, yaitu : a.Diagnosa Keperawatan : Obesitas berhubungan dengan kurang aktivitas harian. b. Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah klien teratasi c. Kriteria hasil : 1) Klien memiliki komitmen pada rencana makan yang sehat 2) Klien dapat menghindari makanan dan minuman tinggi kalori 3) Klien dapat mengontrol porsi makan 4) Klien dapat memonitor berat badan 5) Klien dapat memonitor IMT
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 117 Intervensi : a.Manajemen Berat badan Lakukan Observasi dengan mengidentifikasi kondisi kesehatan klien yang dapat mempengaruhi berat badan. b. Terapeutik 1) Hitung berat badan ideal pasien 2) Hitung persentase lemak dan otot pasien 3) Fasilitasi menentukan target berat badan yang realistis c.Edukasi 1) Jelaskan hubungan antara asupan makan, aktivitas fisik, penambahan berat badan, dan penurunan berat badan 2) Jelaskan faktor resiko berat badan lebih dan berat badan kurang 3) Anjurkan mencatat berat badan setiap minggu, jika perlu 4) Anjurkan melakukan pencatatan asupan makan, aktivitas fisik dan perubahan berat badan 5) Edukasi berat badan efektif 6) Dukungan kelompok 7) Edukasi diet 8) Konseling nutrisi 9) Manajemen cairan 10) Manajemen hiperglikemia 11) Manajemen hipoglikemia 12) Manajemen nutrisi 13) Manajemen perilaku 14) Pemantauan cairan 15) Pemantauan nutrisi 16) Pemberian makanan 17) Pemberian makanan enteral 18) Penentuan tujuan bersama 19) Promosi berat badan 20) Promosi koping 21) Promosi latihan fisik 22) Reduksi ansietas 23) Terapi aktivitas
118 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas 11.Implementasi Implemetasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 12.Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dilakukan dengan membandingkan pencapaian tujuan asuhan keperawatan dengan hasil yang teramati pada setiap rencana intervensi . Pada tabel dibawah ini ditampilkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia Tahun 2019 yang mengacu pada perilaku menurunkan berat badan. Kriteria Menuru n Cukup menuru n Sedang Cukup meningkat Meningkat Menentukan target berat badan dalam rentang normal 1 2 3 4 5 Memiliki komitmen pada rencana makan yang sehat 1 2 3 4 5 Menghinda ri makanan dan minuman tinggi kalori 1 2 3 4 5
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 119 Memilih makanan dan minuman bergizi 1 2 3 4 5 Mengontrol porsi makan 1 2 3 4 5 Menetapkan latihan rutin 1 2 3 4 5 Memonitor berat badan 1 2 3 4 5 Memonitor IMT 1 2 3 4 5 Sumber : PPNI, SLKI, 2019
120 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas Daftar Pustaka Altmatsier S, Susirah S, Moesijanti S. (2011). Gizi seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; Amrynia, S. U., & Prameswari, G. N. (2022). Hubungan Pola Makan, Sedentary Lifestyle, dan Durasi Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Demak). Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, 2(1), 112–121. Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2018;44(8). 425-436. Badan Pusat Statistik, ( ). Prevalensi Obesitas Penduduk Usia 18 Tahun Menurut Jenis Kelamin. https://www.bps.go.id/indicator/30/1781/1/html Badan Pusat Statistik, (….). Prevalensi Obesitas Penduduk Diatas Usia 15 tahun https://www.bps.go.id /indicator/6/715/1/ jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golonganumur.html) Cahyaningrum, A, (2015). Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal Kesehatan Prima. http://jkp.poltekkes-mataram.ac.id/ Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyalit Tidak Menular. Kemenkes RI, 2015. Pedoman Umum Pengendalian Obesitas. DOI : http://dx.doi.org/10.26630/jkm.v14i2.2665 Evan, Wiyono J, Candrawati E, (2017). Hubungan antara pola makan dengan kejadian obesitas pada mahasiswadi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. Nurs News (Meriden). 2017;2(3):708-717. Friedman JM, (1997). Leptin, leptin receptors and the control of
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 121 body weight, Eur J Med Res. 1997. Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. (2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, & Praktik (E. Tiar (ed.); 5th ed.). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hamulka, J., Wadolowska, L., Hoffmann, M., Kowalkowska, J., & Gutkowska, K. (2018). Effect of an education program on nutrition knowledge, attitudes toward nutrition, diet quality, lifestyle, and body composition in polish teenagers. The ABC of healthy eating project: Design, protocol, and methodology. Nutrients, 10(10). Hanani, et. Al (2021). Pola Makan, Aktivitas Fisik dan Genetik Mempengaruhi Kejadian Obesitas pada Remaja. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai. Heather, H.T, (2020). Nanda. Definition And Classification. Eleventh Edition. Penerbit; Buku Kedokteran EGC. Info Datin, (2017). https://pusdatin.kemkes.go.id/pdf Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional, (2018). Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LBP), 2018. Kementerian Kesehatan RI. (2018). Epidemi Obesitas. In Jurnal Kesehatan (pp. 1–8). Mutia, A., Jumiyati, J., & Kusdalinah, K. (2022). Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Remaja Pada Masa Pandemi Covid-19. Journal of Nutrition College, 11(1), 26–34. https://doi.org/10.14710/jnc.v11i1.32070 Nelm, et, al 2011 ; Almatsier, 2011 ; Kemenkes, 2010 ; Wikipedia, 2007 ; World Health Organization, 2000). Nies, M. A., & McEwen, M. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga. (Junaiti sahar, Agus Setiawan, & Ni Made Riasmini, Eds.) (Indonesia). Singapore: Elsevier.
122 Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Dengan Obesitas PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI. Primasari N.A, Salamung, Pertiwi, M.R, et al, (2021). Keperawatan Keluarga. Proses Keperawatan Keluarga Pada Anak Remaja Dan Anak Sekolah. Duta Media Publishing. Rohmah, N., & Walid, S. (2010). Proses Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Seema S, Rohilla KK, Kalyani VC, B. P. (2021). Universal health coverage - There is more to it than meets the eye. Journal of Family Medicine and Primary Care, 10(5), 1890– 1894. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_1524_20 Sherwood L, (2016).Fisiologi Manusia :Dari Sel ke Sistem.Edisi IX. Jakarta: EGC.12 p. Silbernagl, S dan Lang, F, 2007. Teks Dan Atlas Berwarna. Patofisiologi. Jakarta : EGC. Unicef, 2021. Profil Remaja. Gambaran Umum. https://www.unicef.org/indonesia/media/9546/file/ProfilRema ja.pdf WHO. (2016). Obesity and Overweight. WHO technical report series. https://www.who.int/ news-room/fact-sheets/detail/ obesity-andoverweight
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 123 BAB IX ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN DIABETES MELLITUS A. Pendahuluan Pembangunan keluarga dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Selain lingkungan yang sehat, kondisi kesehatan dari tiap anggota keluarga sendiri juga merupakan salah satu syarat dari keluarga yang berkualitas. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, meningkatnya urbanisasi, terjadinya perubahan iklim dan transisi pekerjaaan serta kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya pola hidup sedentary di masyarakat dan berdampak pada timbulnya beban ganda akibat PTM dan penyakit infeksi emerging. Gambaran beban ganda semakin terlihat nyata saat masa pandemi Covid-19 ini. Hal ini sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, 2013, dan 2018 yang menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi Diabetes Mellitus. jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 271.066.366 jiwa yang terdiri atas 136.142.501 jiwa penduduk laki-laki dan 134.923.865 jiwa penduduk perempuan (Profil Kesehatan Indonesia 2020). Diabetes Mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia . Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2014). Salah satu penyebab Diabetes Mellitus yaitu pola makan yang tidak sehat, seperti makanan yang banyak mengandung kadar gula yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah. Gaya hidup yang tidak baik juga dapat menjadi pemicu Diabetes Mellitus seperti jarang berolahraga, merokok, dan minumminuman beralkohol. Pada 2021, International Diabetes
124 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus Federation (IDF) mencatat 537 juta orang dewasa (umur 20 - 79 tahun) atau 1 dari 10 orang hidup dengan diabetes di seluruh dunia. Diabetes juga menyebabkan 6,7 juta kematian atau 1 tiap 5 detik. Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta. Dengan jumlah penduduk sebesar 179,72 juta, ini berarti prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 10,6%. ( Data Indonesia, 2022). Untuk dapat menanggulangi masalah tersebut dapat dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dimana perawat mempunyai peranan penting dalam pemberian asuhan keperawatan yaitu pada aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Peran promotif dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang cara mencegah terjadinya Diabetes Mellitus dengan mengatur pola makan, olahraga yang cukup, istirahat yang cukup, dan kontrol kadar gula darah secara berkala. di rumah memakai alas kaki, menjaga berat badan agar tidak obesitas dan berolahraga secara teratur serta pengaturan pola makan. B. Defenisi Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2014). Berdasarkan definisi American Diabetes Association (2010) dalam PERKENI 2011, Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Menurut Kemenkes RI (2020), menjelaskan bahwa diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis atau menahun berupa gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah diatas normal. Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang membutuhkan perawatan medis berkelanjutan dengan strategi pengurangan risiko multifaktor di luar kendali glikemik (American Diabetes
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 125 Association, 2018). Menurut P2PTM Kemenkes RI (2020), diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Dimana nilai normal gula darah sewaktu (GDS) / tanpa puasa adalah < 200 mg/dl sedangkan gula darah puasa (GDP) < 126 mg/dl. Diabetes mellitus disebabkan oleh kekurangan hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas untuk menurunkan kadar gula darah. Disamping itu Diabetes Mellitus juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa kedalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui. C. Etiologi Menurut American Diabetes Association (2021), diabetes mellitus terjadi karena organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh. Di bawah ini beberapa etiologi/sebab sehingga organ pankreas tidak mampu memproduksi insulin berdasarkan tipe/klasifikasi penyakit diabetes mellitus tersebut: a. Diabetes mellitus tipe I Diabetes tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Millitus) sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk mengontrol kadar glukosa darah. Faktor penyebabnya antara lain: 1) Faktor imunologi Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen 2) Faktor lingkungan Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu
126 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus dekstruksi sel beta. Sebagai contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan dekstruksi (hilangnya) sel beta. Virus penyebab DM adalah Rubela, Mumps, dan Human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun (aktivasi limfosit T reaktif terhadap antigen sel pulau kecil) dalam sel beta. b. Diabetes mellitus tipe II Diabetes tipe 2 atau NIDDM (NonInsulin Dependent Diabetes Millitus) tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme dan penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat. Selain itu tedapat pula faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2. Faktor-faktor ini adalah : 1) Usia Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. 2) Obesitas Orang yang mengalami obesitas, tubuhnya memiliki kadar lemak yang tinggi atau berlebihan sehingga jumlah cadangan energydalam tubuhnya banyak begitupun dengan yang tersimpan dalam hati dalam bentuk glikogen. Insulin merupakan hormon yang bertugas untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah mengalami penurunan fungsi akibat dari kerja kerasnya dalam melakukan tugas sebagai pendistribusian glukosa sekaligus pengkompensasi dari peningkatan glukosa darah, sehingga menyebabkan resistensi insulin dan berdampak terjadinya DM tipe 2. 3) Riwayat keluarga c. Diabetes mellitus gestasional Diabetes gestational terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan, diperkirakan karena terjadinya perubahan
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 127 pada metabolisme glukosa (hiperglikemia akibat sekresi hormone-hormon plasenta). Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes tipe 2 ini disebut sebagai “unmasked” atau baru 11 ditemukan saat hamil dan patut dicurigai pada wanita yang memiliki ciri gemuk, riwayat keluarga diabetes, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat bayi lahir mati, dan riwayat abortus berulang d. Diabetes tipe lain Ada diabetes yang tidak termasuk kelompok diatas, yaitu diabetes yang terjadi sekunder atau akibat penyakit lain, yang mengganggu produksi insulin atau mempengaruhi kerja insulin, seperti radang pankreas (pankreatitis), gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi atau infeksi. Demikian juga pasien stroke, pasien infeksi berat, penderita yang dirawat dengan berbagai keadaan kritis, akhirnya memicu kenaikan gula darah dan menjadi penderita diabetes. D. Patofisiologi Patofisiologi dari semua jenis diabetes ada kaitannya dengan hormon insulin yang disekresikan oleh sel-sel beta pankreas. Pada orang sehat, insulin diproduksi sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dalam aliran darah dan peran utamanya adalah untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Saat glukosa tinggi, maka hormon insulin bertugas untuk menetralkan kembali. Hormon insulin juga berfungsi untuk meningkatkan metabolisme glukosa pada jaringan dan sel-sel dalam tubuh. Ketika tubuh membutuhkan energi, maka insulin akan bertugas untuk memecahkan molekul glukosa dan mengubahnya menjadi energi sehingga tubuh bisa mendapatkan energi. Selain itu, hormon insulin juga bertanggung jawab melakukan konversi glukosa menjadi glikogen untuk disimpan dalam otot dan sel-sel hati. Hal ini akan membuat kadar gula dalam darah berada pada
128 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus jumlah yang stabil. Pada penderita diabetes melitus, hormon insulin yang ada di dalam tubuh mengalami abnormalitas. Beberapa penyebabnya antara lain sel-sel tubuh dan jaringan tidak memanfaatkan glukosa dari darah sehingga menghasilkan peningkatan glukosa dalam darah. Kondisi tersebut diperburuk oleh peningkatan produksi glukosa oleh hati yaitu glikogenolisis dan glukoneogenesis yang terjadi secara terus menerus karena tidak adanya hormon insulin. Selama periode waktu tertentu, kadar glukosa yang tinggi dalam aliran darah dapat menyebabkan komplikasi parah, seperti gangguan mata, penyakit kardiovaskular, kerusakan ginjal, dan masalah pada saraf. E. Tanda dan Gejala Menurut Purwanto (2016), tanda gejala yang khas dialami oleh pasien DM disebut TRIAS DM yaitu poliuria (sering BAK), polidipsia (mudah haus) dan poliphagia (mudah lapar) serta beberapa tanda gejala lainnya yaitu: a. Poliuria Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah keginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria). b. Polidipsia Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia). c. Poliphagia Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun,
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 129 penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia). d. Penurunan berat badan Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofi dan penurunan secara otomatis. a. Malaise atau kelemahan. b. Kesemutan pada ekstremitas. c. Ketoasidosis & penurunan kesadaran bila berat. 6. Pemeriksaan penunjang Menurut Purwanto (2016), untuk mengetahui apakah seseorang mengalami diabetes melitus, maka akan dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik yang meliputi : a. Gula darah meningkat Kriteria diagnostik menurut WHO untuk diabetes mellitus: 1) Glukosa plasma sewaktu/random : > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). 2) Glukosa plasma puasa/nuchter : > 140 mg/dL (7,8 mmol/L). 3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian setelah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial) : > 200 mg/dL. b. Tes toleransi glukosa 1) Pada tes toleransi glukosa oral pasien mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat (150-300gr) selama 3 hari sebelum tes dilakukan, sesudah berpuasa pada malam hari keesokan harinya sampel darah diambil, kemudian karbohidrat sebanyak 75 gr diberikan pada pasien. 2)Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok. 3) Osmolaritas serum : meningkat <330 m osm/lt.
130 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus 4) Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik). 5) Alkalosis respiratorik. 6) Trombosit darah : mungkin meningkat/ dehidrasi, leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan respon terhadap stres/infeksi. 7) Ureum/ kreatinin : mungkin meningkat,/ normal lochidrasi/ penurunan fungsi ginjal. 8) Amilase darah : mungkin meningkat. 9) Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe 1), normal sampai meningkat pada tipe 2 yang mengindikasikan insufisiensi insulin. 10) Peningkatan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan insulin. 11) Urine : gula dan aseton positif, berat jenis dan osmolaritas mungkin meningkat. 12) Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih,infeksi pada luka. c. HbA1c Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes dalam waktu 2- 3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal antara 4 - 6%. Semakin tinggi maka akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi 7. Penatalaksanaan Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 5 pilar pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis dan pemantauan kadar gula darah (Rokhman & Supriati, 2018). Terapi yang efektif bagi semua tipe penderita DM akan mengoptimalkan
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 131 kontrol glukosa darah dan mengurangi komplikasi meliputi terapi non medis dan medis: a. Non medis 1) Manajemen diet Rencana diet yang dimaksudkan untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal dan mempertahankan berat badan dalam batasbatas normal atau 10% dari berat badan idaman, mencegah komplikasi akut dan kronik. Selain itu penatalaksanaan nutrisi dimulai dari menilai kondisi gizi dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) BB (kg) TB2 (m) untuk melihat apakah penderita DM mengalami kegemukan atau obesitas, normalnya IMT pada orang dewasa antara 18-25 kg/m2 2) Latihan fisik (olahraga) Bertujuan mengaktifasi insulin dan reseptor insulin di membran plasma sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah. Memperbaiki pemakaian insulin dan sirkulasi dalam darah, tonus otot, mengubah kadar lemak darah sebagai peningkatan kadar HDL kolestrol dan menurunkan kolestrol total serta trigliserida 3) Pemantauan kadar gula darah Pemantauan kadar gula secara mandiri atau self monitoring blood glucose (SMBG) sebagai deteksi dini dan mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia untuk mengurangi komplikasi jangka panjang. 4) Penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit (PKMRS) Merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita DM melalui bermacam- macam cara b. Medis 1) Penanganan DM tipe I : a) Terapi sulih insulin, perencanaan makanan dan latihan fisik (bentuk terapi insulin yang mutakhir melliputi penyuntikan preparat mixed insulin,
132 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus splitmixed, dan penyuntikan insulin reguler (RI) lebih dari satu kali per hari serta penyuntikan insulin subkutan yang kontinu). b) Transplantasi pankreas (yang kini menentukan terapi imunosupresi yang lama) 2) Penanganan DM tipe 2 meliputi: Obat antidiabetik oral untuk menstimulasi produksi insulin endogen, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin pada tingkat seluler, menekan glukoendogenesa pada hepar, dan memperlambat absorbsi karbohidrat dalamtraktus GI (dapat digunakan kombinasi obat-obatan tersebut). Obat-obatan yang dapat dikonsumsi bagi penderita diabetes mellitus antara lain glimepiride dan metformin 8. Komplikasi Menurut Mustika (2019), komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh diabetes mellitus antara lain: a. Penyakit jantung Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gangguangangguan biokimia yang ditimbulkan akibat insufisiensi insulin berupa: 1) Penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, 2) Hiperlipoproteinemia dan, 3) Kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. b. Gagal ginjal Terjadi akibat hipoksia yang berkaitan dengan diabetes jangka panjang, glomerulus, seperti sebagian besar kapiler lainnya, menebal. Terjadi hipertropi ginjal akibat peningkatan kerja yang harus dilakukan oleh ginjal pengidap diabetes mellitus kronik untuk menyerap ulang glukosa.
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 133 c. Retinopati Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati. Retina adalah jaringan yang sangat aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronik akan mengalami kerusakan secara progresif. d. Stroke Diabetes mellitus dapat menyebabkan stroke iskemik karena terbentuknya plak aterosklerotik pada dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh gangguan metabolisme glukosa sistemik. Diabetes mellitus mempercepat kejadian aterosklerosis (penimbunan plak lemak, kolesterol, dan zat lain dalam dinding pembuluh darah) baik pada pembuluh darah kecil maupunpembuluh darah besar di seluruh pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak. e. Impotensi Impotensi disebabkan pembuluh darah mengalami kebocoran sehingga penis tidak bisa ereksi. Impotensi pada penderita diabetes juga bisa disebabkan oleh faktor psikologis. f. Luka gangren (luka yang lama sembuh dan cenderung membusuk) yang harus Di amputasi, infeksi kaki mudah timbul pada penderita diabetes kronis dan dikenal sebagai penyulit gangren atau ulkus. Jika dibiarkan, infeksi akan mengakibatkan pembusukan pada bagian luka karena tidak mendapat aliran darah. Pasalnya, pembuluh darah penderita diabetes banyak tersumbat atau menyempit. Jika luka membusuk, mau tidak mau bagian yang terinfeksi harus diamputasi. 9. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengumpulan data meliputi : a.Biodata Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
134 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus pendidikan dan pekerjaan. Penyakit Diabetes Mellitus sering muncul setelah seseorang memasuki usia 45 tahun terlebih pada orang dengan berat badan berlebih (Sukarmin &Riyadi , 2013). b.Riwayat kesehatan Keluhan utama : Keluhan utama yang biasanya dirasakan oleh klien Diabetes Mellitus yaitu badan terasa sangat lemas sekali disertai dengan penglihatan kabur, sering kencing (Poliuria), banyak makan (Polifagia), banyak minum (Polidipsi) (Riyadi dan Sukarmin, 2013). c.Riwayat kesehatan sekarang Keluhan dominan yang dialami klien adalah munculnya gejala sering buang air kecil (poliuria), sering merasa lapar dan haus (polifagi dan polidipsi), luka sulit untuk sembuh, rasa kesemutan pada kaki, penglihatan semakin kabur,cepat merasa mengantuk dan mudah lelah,serta sebelumya klien mempunyai berat badan berlebih (Riyadi dan Sukarmin, 2013 d.Riwayat penyakit dahulu Menurut Riyadi dan Sukarmin (2013) penyakit Diabetes Mellitus klien pernah mengalami kondisi suatu penyakit dan mengkonsumsi obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu timbulnya Diabetes Mellitus dan perlu dilakukan pengkajian diantaranya: 1) Penyakit pankreas 2) Gangguan penerimaan insulin 3) Gangguan hormonal 4) Pemberian obat-obatan seperti : (1) Furosemid (diuretik) (2) Thiazid (diuretik) (Riyadi dan Sukarmin, 2013) e.Riwayat penyakit keluarga Diabetes Mellitus dapat berpotensi pada keturunan keluarga, karena kelainan gen yang dapat mengakibatkan tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik (Riyadi dan Sukarmin, 2013) f. Riwayat kehamilan Pada umumnya Diabetes Mellitus dapat terjadi pada masa
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 135 kehamilan, yang terjadi hanyalah pada saat hamil saja dan biasanya tidak dialami setelah masa kehamilan serta diperhatikan pula kemungkinan mengalami penyakit Diabetes Mellitus yang sesungguhnya dikemudian hari (Riyadi dan Sukarmin, 2013). g.Riwayat psikososial Diabetes Mellitus dapat terjadi jika klien pernah mengalami atau sedang mengalami stress baik secara fisik maupun emosional (yang dapat meningkatkan kadar hormone stress seperti kortisol, epinefrin, dan glukagon) yang dapat menyebabkan kadar gula darah meningkat(Susilowati, 2014). h. Pola fungsi kesehatan 1) Pola metabolik nutrisi Penderita Diabetes Mellitus selalu ingin makan tetapi berat badan semakin turun, cenderung mengkonsumsi glukosa berlebih dengan jam dan porsi yang tidak teratur, karena glukosa yang ada tidak dapat ditarik kedalam sel sehingga terjadi penurunan masa sel. Pada pengkajian intake cairan yang terkaji sebanyak 2500 – 4000 cc per hari dan cenderung manis (Susilowati, 2014). 2) Pola eliminasi Data eliminasi buang air besar pada klien Diabetes Millitus tidak ada perubahan yang mencolok. Frekuensinya satu hingga dua kali perhari dengan warna kekuningan, sedangkan pada eliminasi buang air kecil. Jumlah urin yang banyak akan dijumpai baik secara frekuensi maupun volume ( pada frekuensi biasanya lebih dari 10 x perhari, sedangkan volumenya mencapai 2500 – 3000 cc perhari). Untuk warna tidak ada perubahan sedangkan bau ada unsur aroma gula (Susilowati, 2014). 3) Pola aktivitas Penderita Diabetes Mellitus mengalami penurunan gerak karena kelemahan fisik, kram otot, penurunan tonus otot gangguan istirahat dan tidur, takikardi atau takipnea pada saat melakukan aktivitas hingga terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan otot-otot bagian tungkai
136 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus bawah pada penderita Diabetes Mellitus akan mengalami ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara maksimal serta mudah mengalami kelelahan. Penderita Diabetes Mellitus mudah jatuh karena penurunan glukosa pada otak akan berakibat penurunan kerja pusat keseimbangan (diserebrum/otak kecil) (Susilowati, 2014) 4) Pola tidur dan istirahat Pada penderita Diabetes Mellitus mengalami gejala sering kencing pada malam hari (Poliuria) yang mengakibatkan pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan (Susilowati, 2014). 5) Pola konsep diri Mengalami penurunan harga diri karena perubahan penampilan, perubahan identitas diri akibat tidak bekerja, perubahan gambaran diri karena mengalami perubahan fungsi dan struktur tubuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan serta pengobatan menyebabkan klien mengalami gangguan peran pada keluarga serta kecemasan (Susilowati, 2014). 6) Aktualisasi diri Kebutuhan ini merupakan kebutuhan puncak pada hirarki kebutuhan Maslow, jika klien sudah mengalami penurunan harga diri maka klien sulit untuk melakukan aktivitas di rumah sakit enggan mandiri, tampak tak bergairah, dan bingung (Susilowati, 2014). 7) Pola nilai keyakinan Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan kebutuhan mendapatkan sumber kesembuhan dari Tuhan (Susilowati, 2014). 8) Pemeriksaan Fisik (1) Keadaan umum : Cukup (2) Tingkat kesadaran kesehatan Kesadaran composmentis, latergi, strupor, koma, apatis tergantung kadar gula yang tidak stabil dan kondisi fisiologi untuk melakukan
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 137 konpensasi kelebihan gula darah. (3) Tanda tanda vital (4) Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi dan hipertensi dapat terjadi pada penderita Diabetes Mellitus karena glukosa dalam darah yang meningkat dapat menyebabkan darah menjadi kental. (5) Frekuensi pernafasan: Takipnea (pada kondisi ketoasidosis) (6) Suhu tubuh Hipertemi ditemukan pada klien Diabetes Mellitus yang mengalami komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain. Sedangkan hipotermi terjadi pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik akibat penurunan masukan nutrisi secara drastis (7) Berat badan dan tinggi badan Kurus ramping pada Diabetes Mellitus fase lanjutan dan lama tidak melakukan terapi. Sedangkan pada penderita Diabetes Mellitus gemuk padat atau gendut merupakan fase awal penyakit atau penderita lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih belum terkontrol. (Willem Pieter, 2013) (8) Kulit Pemeriksaan ini untuk menilai warna, kelembapan kulit, suhu, serta turgor kulit. Pada klien yang menderita Diabetes Mellitus biasanya ditemukan: Warna : kaji adanya warna kemerahan hingga kehitaman pada luka. Akan tampak warna kehitaman disekitar luka. Daerah yang seringkali terkena adalah ekstermitas bawah Kelembapan kulit : lembab pada penderita yang tidak memiliki diuresis osmosis dan tidak mengalami dehidrasi. Kering pada klien yang mengalami diuresis, osmosis dan dehidrasi. Suhu : klien yang mengalami hipertermi biasanya mengalami infeksi.
138 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus Turgor : menurun pada saat dehidrasi (9) Kuku Warna : pucat, sianosis terjadi karena penurunan perfusi pada kondisi ketoasidosis atau komplikasi saluran pernafasan (10) Kepala Inspeksi : Kaji bentuk kepala warna rambut jika hitam kemerahan menandakan nutrisi kurang, tekstur halus atau kasar penyebaran jarang atau merata, kwantitas tipis atau tebal pada kulit kepala terdapat benjolan atau lesi antara lain : kista pilar dan psoriasis yang rentan terjadi pada penderita DM karena penurunan antibody. Amati bentuk wajah apakah simetris serta ekspresi wajah seperti paralisis wajah. Palpasi : raba adanya massa dan atau nyeri tekan (11) Mata Inspeksi : pada klien dengan DM terdapat katarak karena kadar gula dalam cairan lensa mata naik. Konjungtiva anemis pada penderita yang kurang tidur karena banyak kencing pada malam hari. Kesimetrisan pada mata. penglihatan yang kabur dan ganda serta lensa yang keruh serta kesimetrisan bola mata. Palpasi : saat dipalpasi bola mata teraba kenyal, tidak teraba nyeri tekan. (12) Hidung Inspeksi : Pengkajian daerah hidung dan fungsi sistem penciuman, septum nasi tepat di tengah, kebersihan lubang hidung, jalan nafas/ adanya sumbatan pada hidung seperti polip, peradangan, adanya sekret atau darah yang keluar, kesulitan bernafas atau adanya kelainan bentuk dan kelainan lain Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan pada sinus
Asosiasi Guru & Dosen Seluruh Indonesia (AGDOSI) 139 (13) Telinga Inspeksi Pengkajian pada daerah telinga serta sistem fungsi pendengaran, keadaan umum telinga gangguan saat mendengar, pengguanaan alat bantu dengar, adanya kelainan bentuk dan kelainan lain, kebersihan telinga, kesimetrisan telinga kanan dan kiri. Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan pada daerah tragus (14) Mulut dan gigi Inspeksi : Adanya peradangan pada mulut (mukosa mulut, gusi, uvula dan tonsil), adanya karies gigi, terdapat stomatitis, air liur menjadi lebih kental, gigi mudah goyang, serta gusi mudah bengkak dan berdarah. Adakah bau nafas seperti bau buah yang merupakan terjadinya ketoasidosis diabetik pada penderita DM serta mudah sekali terjadi infeksi. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. (Rohman, 2010) (15) Leher Inspeksi : pembesaran pada leher , pembesaran kelenjar limfa leher dapat muncul jika ada pembesaran kelenjar sistemik, persebaran kulit. Palpasi : ada tidaknya pembendungan vena jugularis (Susilowati, 2014) (16) Thorax Inspeksi : persebaran warna kulit, ada tidaknya bekas luka, ada tidaknya sesak nafas, batuk, nyeri dada, pergerakan dinding dada Palpasi : kesimetrisan dada, taktil fremitus Perkusi : semua lapang paru terdengar resonan, tidak ada penumpukan sekret, cairan atau darah Auskultasi : ada atau tidaknya suara nafas tambahan seperti ronchi dan whezzing di semua lapang paru (Mulyati, 2014)
140 Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Mellitus (17) Pemeriksaan jantung Inspeksi : tampak atau tidaknya iktus kordis pada permukaan dinding dada di ICS 5 midklavikula sinistra Palpasi : teraba atau tidaknya iktus kordis di ICS 5 midklavikula sinistra. Perkusi : pada ICS 3 hingga ICS 5 terdengar pekak Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 terdengar tunggal, tidak ada suara jantung tambahan (Muttaqin, 2012). (18) Pemeriksaan abdomen Inspeksi : warna kulit merata, ada atau tidaknya lesi, bentuk abdomen apakah datar, cembung, atau cekung. Kaji adanya mual atau muntah disebabkan karena kadar kalium yang menurun akibat polyuria, pankreastitis, kehilangan nafsu makan. Terjadi peningkatan rasa lapar dan haus pada individu yang mengalami ketoasidosis Auskultasi : bising usus terdengar 5-30 x/menit Palpasi : ada massa pada abdomen, kaji ada tidaknya pembesaran hepar, kaji ada tidaknya asites, ada atau tidaknya nyeri tekan pada daerah ulu hati (epigastrium) atau pada 9 regio Perkusi : Bunyi timpani, hipertimpani untuk perut kembung, pekak untuk jaringan padat (19) Genetalia dan reproduksi Inspeksi : Klien yang mengalami DM biasanya pada saat berkemih terasa panas dan sakit, terdapat keputihan pada daerah genetalia, ada atau tidaknya tanda-tanda peradangan pada genetalia. (20) Ekstremitas Inspeksi: kaji persebaran warna kulit, kaji turgor kulit, akral hangat, sianosis, persendian dan jaringan sekitar saat memeriksa kondisi tubuh. Amati kemudahan dan rentan gesekan kondisi sekitar. Klien akan merasakan cepat lelah, lemah dan nyeri, serta adanya gangrene di ekstermitas, amati warna dan kedalaman pada bekas luka