The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by tlogosadangmtsm, 2022-08-02 18:03:19

Pohon-Pohon Sesawi

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

novel

Y.B. Mangunwijaya
Y.B. Mangunwijaya



Pohon-pohon Sesawi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumum­kan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak­

sud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara mas­ ing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (sat­u juta rupiah), atau pid­ ana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dim­ aks­ ud pad­ a ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda pal­ing ban­ yak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pohon-pohon Sesawi

Novel
Y.B. Mangunwijaya

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Pohon-pohon Sesawi
Y.B. Mangunwijaya
© KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
KPG: 901 12 0557
Cetakan Pertama, Desember 1999
Cetakan Kelima, Juni 2012
Penyunting
Joko Pinurbo
Th. Kushardini
Perancang Sampul
Boy Bayu Anggara
Penataletak
B. Esti W.U.

MANGUNWIJAYA, Y.B.
Pohon-pohon Sesawi
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012
x + 123 hlm.; 13,5 x 20 cm
ISBN-13: 978-979-91-0463-2

Dicetak oleh Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Daftar Isi vii

Pengantar 1
21
Ulat Kecil di Daun-daun Jarak 32
Si Kecil Ditingg a l d i R u m a h Tu h a n 42
Pohon-pohon di Pekarangan Paroki 62
Durian dan Pisang 72
Tukang-tukang Kebun Anggur 94
Salib Ringan dari Gabus 104
Gejala Pencolokan Suci
Kandang Betlehem 118
122
Tentang P enulis
Tentang P enyunting



Pengantar

KARYA yang kini hadir di hadapan pembaca
semula adalah nask­ ah yang tercerai-berai. Kami
mendapatkannya di antara se­kian banyak berkas tulisan
yang ditinggalkan oleh almarhum Ro­mo Mangun.
Memang, sebelum meninggal, Romo Mangun pern­ ah
bercerita bahwa ia sedang mengerjakan sebuah novel.
Ka­mi tidak tahu apakah novel ini yang dimaksudkannya.

Kami menyebutnya tercerai-berai karena memang
begitulah ke­adaa­ n­nya. Naskah yang ditinggalkan oleh
Romo bukanlah nas­kah yang utuh, terketik rapi, dan
mudah dibaca. Semuanya masih berupa berkas-berkas
ketikan manual yang terpisah-pisah, di sana-sini penuh
coretan tulisan tangan, sebagian bah­kan tidak mudah

pohon-pohon sesawi

dibaca. Karena itu, mengetik ulang dan men­ yunt­ing
naskah ini bukanlah pekerjaan gampang dan ringan. Pada
banyak bagian kami bahkan dibikin pusing dan dengan
sangat hati-hati mencoba merangkai-rangkaikan sekian
banyak “coretan”. Kerja seperti ini, apa boleh buat, tidak
dapat terhindar sama sekali dari “interpretasi”. Namun
kami telah berusaha sekeras mungkin untuk setia pada
aslinya.

Dari berkas-berkas yang ada tidak kami temukan
secuil pun keterangan tentang kapan novel ini ditulis.
Dari salah seorang pembantu dekat Romo Mangun
kami hanya memperoleh ket­er­ang­an lisan bahwa novel
ini diperkirakan mulai ditulis pada awal 1990-an dan
pada 1998 ia masih mengerjakannya. Sampai selesainya
pengetikan ulang naskah ini, kami tidak tahu pasti apa­kah
novel ini sudah selesai atau belum.

Sebenarnya Romo Mangun sempat meninggalkan
pesan agar naskahnya ini suatu saat “dititipkan” pada
Pusat Dokumentasi Sast­ra HB Jassin. Pesan ini seperti
menyiratkan kemungkinan bahwa ia memang tidak sempat
menuntaskan karyanya ini; paling tidak mengetiknya
ulang secara utuh dan rapi.

Membaca novel ini, mungkin mengingatkan kita pada
no­vel Romo Mangun terdahulu: Romo Rahadi. Dalam
kenangan terh­ a­dap Romo Rahadi itulah, kami menangkap
kesan bahwa lewat kary­ a­nya ini Romo Mangun ingin

viii

pengantar

merefleksikan perjalanan hid­ upn­ ya sebagai seorang imam
dengan berbagai romantikanya, term­ asuk konflik-konflik
batinnya. Kami teringat, satu tahun men­jelang akhir
hidupnya ia sering bercerita tentang keluarganya, masa
kecilnya, dan kisah-kisah hidupnya. Di tengah keasyikan
bercerita, ia kadang tidak dapat menyembunyikan perasaan
ngelan­ gut, gelisah, dan kesepiannya. Sesekali terbersit
pula perasaan cap­ ek, lelah, meskipun ia berusaha keras
menutupinya. Namun ia mem­ ang sosok yang perkasa,
secara fisik maupun rohani. Se­car­a fisik, pada usia
senja, dengan jantung yang sudah dibantu alat pacu, ia
masih kuat mengangkat meja, memindahkan almari, dan
bekerja berjam-jam di depan komputer. Secara rohani,
sem­ an­ gat dan keyakinananya tak pernah surut: ia tetap
“keras hati”.

Saat mengenang masa-masa yang telah lewat, sering
ia menyebut-nyebut sejumlah nama yang tampaknya
sangat me­nge­s­ ank­­ ann­ ya. Misalnya, tentang Om Bardi
(pamannya), tentang Kang Marsin (pembantunya
waktu masih kecil). Juga tentang tiga perempuan yang
dikaguminya dan disebutnya sebagai perem­puan-
perempuan perkasa: Ibu Sumadi (ibundanya), nenekn­ ya
(ibunda dari Ibu Sumadi), dan bibi dari Bapak Sumadi,
ayaha­ n­dan­ ya (yang dikatakannya seperti Nyai Ontosoroh
dalam roman Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia).
Tidak mengherankan jika dalam novel ini muncul tokoh-

ix

pohon-pohon sesawi

tokoh yang memang diangkat dari pribadi-pribadi yang
dekat dengan hidupnya, yang telah men­jadi sumber
inspirasi, spirit, bagi karya dan perjalanan pan­jang­nya
sebagai seorang imam. Karena itu, karyanya ini agaknya
dip­ ers­ embahkan pertama-tama kepada keluarganya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Frans
M. Parera dan Ondos Koekerits dari Bank Naskah
Gramedia serta Cand­ ra Gautama dari Kepustakaan
Populer Gramedia yang telah meng­upayakan penerbitan
novel ini. Terima kasih pula kepada rek­ an-rekan yang
pernah, masih atau sedang ikut terlibat dalam karya yang
dirintis Romo Mangun, khususnya di Yayasan Dina­mika
Edukasi Dasar. Ibarat novel, Romo Mangun adalah novel
panjang yang tak habis-habis dibaca.

Yogayakarta, Desember 1999
Penyunting

x

Ulat Kecil
di Daun-daun Jarak

Sebetulnya namaku bukan Yunus, melainkan
(bagus sek­ al­i): Rahadi. Artinya: Darah Indah atau
Keturunan Indah. Tetapi wak­tu bayi aku sakit-sakitan
terus-menerus. Maka Kakek dan Nenek menasehatkan
agar orang-tuaku mencari nama lain. “Ra­had­ i nama
terlalu berat untuk anak petani,” kata mereka. “Allah
tidak suka orang kecil sombong. Orang besar bolehlah
som­bong, karena ada dasarnya. Tetapi kalian?” Waktu
itu orang-tuaku belum Katolik. Tetapi seandainya sudah
Katolik pun, mereka pasti ikut mengakui kebijakan
nasehat Kakek dan Nen­ ek. Maka upacara diadakan:
si Bayi diletakkan dalam lubang samp­ ah di kebun.

pohon-pohon sesawi

Mengelabuhi roh-roh jahat seolah-olah si Ra­ha­d­ i sudah
mati dan dibuang. Terdengarlah mantra-mant­ra:

Adigang Adigung Adiguna

Adiguna Adigung Adigang

Adigang Adiguna Adigung

Metua Minggata Matia

(Haiii...Hai...Hai...)

Saka Bayi wadon bayi lanang Bocah lanang

bocah wadon

Metua minggata matia (Haiii...Hai...Hai...)

Matia minggata metua e’ Adigang

Adigung Adiguna

(Haiii...Hai...Hai...)



Ben aja kaya kebo kuate

Ben aja kaya cebong sirahe

Ben aja kaya merak umuke’ Haiii...Hai...Haiii...

e’ bayi bocah bocah bayi bocah
lanang wadon wadon lanang
gantia balungmu
gantia sirahmu
gantia atimu
gantia jenengmu

2

ulat kecil di daun-daun jarak

gantia niatmu Haiii...Hai...Hai...
Aja dadi dewa apa dewi
Aja dadi buta apa cebol
Aja dadi gajah apa semut

Dadia klapa dadya pari
Dadia bocah dadya simbah
Dadia jaka dadya prawan
Dadia manten dadya resi

Sing prasojo prasojo
Sing so pra jo sojopra
Sing jo so pra jopraso

Sing becik cik cik cik Haiii...
Sing saleh leh leh leh
Sing lumrah rah rah rah
Hai...Hai...

prasojo prasojo, soprajo sojopra, jo so pra jopraso

Sang Nabi ngayomi

Hyang Widhi mberkahi

Bapa biyung mangestoni

Haiii...Hai...Hai....

Mula gantia balungmu

3

pohon-pohon sesawi

gantia sirahmu Haiii....Hai...Hai...
gantia atimu
gantia jenengmu


Kemudian aku diangkat dan dengan upacara Jenang
Merah aku diberi nama pemberian Kakek: Yunus.
Mengapa Yunus? En­tah­lah. Kata ibuku, itu nama dari
seorang paman-tua dari Kak­ ek nun di zaman moyang
yang dapat hidup 13 windu, ja­di 104 tahun. “Agar kamu
tetap sehat walafiat.” Aku dulu tak pernah bahagia
dengan nama Yunus itu, karena terdengar se­per­ti nama
Islam. Maklumlah kami orang-orang baptisan baru. Ja­di
agak fanatik. Belum tahu bahwa nama-nama Arab itu
ses­ au­dara dengan nama-nama bangsa penurun Yesus,
Maria, dan Yusuf.

Mas Kamin, abang sulungku, dulu disekolahkan di
Muntil­an, di Sekolah Misi, begitu namanya. Itu di ta­
hun-tahun 20-an, pas sesudah Perang Dunia I. Di sana
ia tertarik pada ajaran Gust­i Yesus Sang Pamart­a, lalu
dibaptis. Kami adik-adiknya yang berse­kolah di Sekolah-
sekolah Misi semua mengikuti Abang Sulung. Akhir­nya
orang-tua kami ikut menjadi Katolik ju­ga. Alas­an mereka,
kalau semua anak memilih Katolik bagaimana nanti kalau
mati? Maka agar kelak dapat berkumpul kemb­ a­li di surga
Katolik, sebaiknya orang-tua mengalah saja. Da­rip­ ada

4

ulat kecil di daun-daun jarak

sendir­ian di surga agama lain (dan mungkin Tuhan yang
lain), pikir mereka dulu. Alasan sok teologis kaum awam
sed­ erh­ a­na itu diterima oleh Pastor, entah Romo van Lith
atau Rom­ o Mert­ens, Romo Spekle atau Romo Dieben,
entah saya sel­alu bingung membedakannya. Mungkin di
zaman komputer sek­ a­rang ti­dak lagi ada alasan begitu.
Maka sudah lazim zaman dulu, tentu saja keluarga kami
seper­ti keluarga-keluarga Katolik lain, da­pat disebut
fanatik Katolik.

Sebenarnya aku tidak senang dengan nama Yunus
itu. Un­tung Mas Kamin Sang Perintis yang jelas fanatik
500 persen, mem­ i­lihk­ an nama baptis Yohanes untukku,
Yohanes Pembaptis. Buk­ an Yohanes Salib atau Yohanes
Boromeus yang pandai dan cerdas. Pria­gung halus, begitu
ejekan dan ledekan si Abang Su­lungk­ u, tetapi Yohanes
yang sukanya makan belal­ang dan madu gurun kersang;
apalagi berpakaian kulit binatang, jelas ku­lit keledai.
Cocok dengan dirimu, olok-oloknya. Tetapi nama Yo­ha­
nes kuanggap bagus dan bergengsi. Bukankah Yohanes-
Baju-Keledai itulah yang membaptis Gusti Yesus? Dan
nabi yang paling dipuji oleh Gusti Yesus, juga sebagai
nabi terbesar? Begitu aku membela diri. Dan lagi, ada
suatu alasan lagi aku bang­ga. Alasan kolonial memang,
tetapi toh alasan yang sah. Nam­ ak­ u Yohanes. Jadi bisa
saja saya minta dipanggil dengan nama bergaya Belanda:
Yohan atau Hans. Tetapi sudah terlanjur aku disebut

5

pohon-pohon sesawi

Yunus atau Yun saja. Atau Nus, kalau abang-abang
sedang suka mencemooh atau meledek aku. Di Seminari
baru aku tahu bahwa Yunus dan Yohanes itu sama.
Seperti Batavia dan Betawi, Malborough dan Malioboro.
Atau lebih saleh: Miry­ am dan Maria, Isa dan Yesus. Aku
semakin bahagia dengan na­ma kecilku Yunus.

Yunus bagiku adalah nabi yang paling sinting tetapi
paling simp­ atik. Yunus dipanggil Tuhan dan diberi tugas,
“Bangunlah Yunus bin Amitai. Pergilah ke metropol
Niniwe. Berserulah kep­ ad­ a penduduk yang jahatnya sudah
begitu tinggi sampai di kak­ i­Ku agar mereka bertobat.”
Tetapi Yunus bahkan melarikan diri ke Tarsis sampai
Pelabuhan Yafo. Ia naik kapal, maunya la­ri menjauhi
Tuhan. Sinting bukan? Tetapi sebetulnya dia itu cer­das,
punya logika. Batas antara cerdas dan sinting sebetulnya
tip­ is sekali. Einstein misalnya, yang wajahnya seperti
badut itu. Tanpa dalil-dalil yang ditemukan Einstein
yang melawan il­mu fisika yang sah waktu itu, orang
tidak dapat membuat per­hi­tung­an-perhitungan sampai
dapat mendarat di bulan dan lebih jauh lagi meluncurkan
pesawat-pesawat canggih ke planet-planet lain.

Tanpa orang sinting dunia kita tidak dapat maju.
Seperti ga­do-gado pecel tanpa cabe. Atau sambal goreng
tanpa petai. Cu­ma Yunus ini lebih sinting dari­pa­da cerdas.
Mosok lari dari Tuhan. Mana bisa. Tuhan tersenyum saja.
Siapa menabur angin men­ uai badai. DikirimNya angin

6

ulat kecil di daun-daun jarak

ribut ke laut yang menjadi tauf­an badai besar beringas.
Sehingga kapal yang ditumpangi Yu­nus terpukul-pukul
nyaris hancur dan tenggelam. Awak ka­pal serba ketakutan
tentu saja, lalu berteriak-teriak minta tolong kepada
dewa-dewi masing-masing. Tetapi apa yang di­ker­jak­ an
Yunus? Memang dasar saraf sinting. Bayangkan dia ma­
lah turun ke ruang-dalam kapal paling bawah, berbaring
lal­u tidur nyenyak. Para awak kapal mencarinya, sebab
mereka memb­ ut­uhk­ an bala bantuan pendoa. Cari sini
cari sana akhirnya na­kho­da menemukan si pembolos
sedang enak-enak tidur. Dapat di­men­ ger­ti betapa marah
dan naik pitam mereka.

“Orang gila! Kita dihempas badai begini, kamu
malah mend­ engkur seperti babi mabuk kangkung. Tahu
kau, banyak ba­rang berh­ arga terpaksa kami buang ke laut
agar kapal tidak terl­alu berat dan tenggelam. Rugi besar!
Semua awak kapal dan pe­num­p­ ang berteriak kepada
dewa-dewi masing-masing, kamu cum­ a enak-enak mimpi
bidadari. Ayo! Kamu pun­­ ya Tuhan apa dew­ a apa entahlah
yang kausembah tidak? Bergotong-royonglah sep­ er­ti
Pancas­ ialis sejati! Ayo naik, minta dari Tuhanmu agar kita
selamat. Goblok!”

Yunus lalu diseret ke atas dan dipaksa untuk berdoa.
Tetapi doan­ ya tentu saja hanya serba ABS lagi munafik.
Badai tidak reda. Ada yang mengajukan usulan, agar dicari
saja siapa yang salah, mengapa badai datang. Mungkin

7

pohon-pohon sesawi

ada dewa atau Tuhan lain yang marah. Entah mana yang
marah. “Ayo diundi.” Semua se­tuj­u. Lalu diundi. Undi
mengena Yunus.

“Nah, ketahuan. Sekarang kami tahu: kamu yang
jahanam!” seru mereka marah. “Lihat, ini bukti, undi
jatuh padamu. Kamu siapa, hei? Dari mana kau datang?
Mana negeri asalmu, hah? Bang­sa mana kamu? Paspor
palsu kah?”

Terpaksalah Yunus mengaku, “Aku orang Ibrani.”
“Mengapa Tuhanmu marah? Ayo mengaku!”
Dengan pandangan ke bawah Yunus berkata, ”Ya,
memang aku yang salah. Sebetulnya saya ini diberi tugas
oleh Tuhan. Tet­a­pi saya ogah mengerjakannya. Karena
saya yakin, isi tugas itu kel­i­ru. Saya lari.”
“Gila kamu ini. Yang keliru kamu. Siapa sih Tuhanmu
itu?”
“Tuhanku ialah Tuhan yang menciptakan segala-
galanya. La­ngit, daratan, dan lautan dibuat olehNya.”
“Oooh, pantas saja ada badai. Kalau begitu, kami
juga harus menyembah Tuhanmu. Habis, Pencipta bumi,
langit, dan laut. Kenapa kamu tidak tadi-tadi bilang, heh?
Kenapa kamu lari hah? Kami sungguh menyesal kamu
kami perbolehkan ikut di dalam kapal kami. Apa yang
sekarang harus kami lakukan? Tu tuuu, laut mengamuk
lebih marah lagi. Mati kita! Sungguh kamu menc­ el­akakan
kami. Pusing stres berat kami ini. Apa yang harus kita

8

ulat kecil di daun-daun jarak

kerjakan sekarang. Sungguh pusing kami.”
Yunus kasihan juga pada awak kapal. Walaupun

pengecut tetapi Yunus berhati baik dan bertanggung
jawab, inilah positip­nya. Dia yang salah, dia yang harus
menanggung.

“Baiklah kawan-kawan. Saya konsekuen. Ini semua
salah saya. Karena sayalah, kalian digempur badai.
Angkatlah saya dan campak­kan saya ke dalam laut. Maka
pasti laut mereda.”

“Berani kamu? Nanti tenggelam. Tidak! Sekejam itu
kami tidak mau.”

“Sudah, begini,” kata nakhoda, “kita berusaha
mendayung mendekati pantai. Agar kamu dapat
mendaratlah.”

Maka para awak kapal dan penumpang yang penuh
perik­ em­ a­nusiaan itu berusaha mati-matian menday­ ung
mendekati pantai. Tetapi sia-sia saja. Gelombang-gelom­­
bang justru sem­ akin besar. Maka berdoalah semua,
“Ya Tuhan, janganlah kir­a­nya Engk­ au membi­ar­kan
kami binasa hanya karena nyawa satu orang keparat
ini. Janganlah kami harus menang­gung seng­sara hanya
karena babi ini membol­os. Kami tidak bersalah. Ya Tu­han
pembuat bumi dan langit, daratan dan lautan, terjadilah
yang Kau kehendaki. Tetapi jangan Kau biarkan kami
tenggelam tanpa dosa!”

Yunus terharu dan minta lagi agar dicampakkan

9

pohon-pohon sesawi

sajalah dia ke dalam laut. Ini metode yang paling efektif
dan efisien. Dari­pada semua dikubur dalam laut. Nah,
inilah keksatriaan Yunus. Dia fair-play. Dan bertanggung
jawab. Dengan berat hati para awak kapal menga­ ngkatnya
sambil minta maaf, dan ia dilempar ke laut. Langsung laut
berhenti mengamuk. Takut dan hormat semua mengakui
dan memuliakan Tuhan pujaan Yunus, Tuhan Pen­ gu­
a­sa Semesta Alam. Tuhan tersenyum: “Anak nakal!”
Tet­ap­ i kebaikan hatiNya mengirim seekor ikan besar,
boleh jadi semacam ikan paus atau bandeng raksasa,
yang mendapat tugas menelan Yunus. Yunus tinggal di
dalam perut ikan yang berbau bang­kai amis itu tiga hari
tiga malam lamanya. Di situlah ia ber­doa. Kali ini tidak
dengan doa mbalelo, tetapi dengan tulus hati. “Dalam
kesusahanku aku berteriak kepada Tuhan dan Ia men­
jawab aku. Ya Tuhan Semesta Raya, telah Kau lemparkan
aku ke tempat yang dalam, ke pusar lautan, segala gelora
dan gel­omb­ angM­ u melingkupi aku. Sungguh aku merasa
loyo. Tetapi jus­tru pada saat paling gelap inilah Engkau
mengangkat nyawaku da­ri ke­adaa­ n hancur luluh, dari
kegelapan liang kubur, ya Tuhan Allah­ku. Ketika jiwaku
letih lesu, teringatlah aku kepada Tuhan, dan sampailah
doaku kepadaMu, ke dalam BaitMu yang Kudus. Kes­ e­
lamatan hanya dari Tuhan.”

Bagus bukan doanya? Lalu berfirmanlah Tuhan
kepada ikan itu, dan dengan taat ikan memuntahkan Yunus

10

ulat kecil di daun-daun jarak

ke daratan. Set­el­ah selamat dan segar kembali, Yunus
sekali lagi mendapatkan pe­rin­tah untuk menobatkan
metropol Niniwe, dengan para ko­rupt­orn­­ ya dan para
penguasa, cukong, konglomerat penuh kol­us­ i, semua
majikan yang jahat memeras rakyat dan kaum bu­ruh,
para preman, gali-gali dan pelajar-pelajar yang suka sa­ling
berkelahi keroyokan seperti gerom­bolan badak mabuk,
par­a oom senang dan tante girang, tetapi juga semua saja
yang sok saleh ke gereja tetapi di rumah mengabaikan
anak-anak de­ngan dalih cari uang, atau kejam kepada
istri apalagi para pembantu rumah tangga. Sebetulnya
Yunus juga malas untuk menobatkan orang-orang kaya,
kuasa, manja, dan serba porno itu; apalagi para panglima
dan komandan yang sewenang-we­nang main kekerasan,
polisi yang menyiksa menganiaya para terd­ akwa, dan
orang-orang serakah harta dan kuasa macam itu. Cuma
membuang-buang waktu dan energi saja, pikirn­ ya. Tet­ap­ i
Yunus telah belajar apa akibatnya bila lari dari tugas. Maka
berkhotbahlah ia kepada maharaja dan para pangeran-tu­
meng­gung, bos-bos dan manajer-manajer serta panglima
dan kom­ and­ an, para koruptor dan pemeras, juga kepada
para pelajar yang suka berkelahi dalam kota besar yang
angkuh dan serakah itu. Dalam hati Yunus mengharap
agar mereka tid­ ak bertobat. Ya, tidak bertobat! Biar
begitu. Mengapa? Agar Tuh­ an memb­ in­ a­sak­ an onggokan
pendosa itu. Tetapi apa yang ter­ja­di? Gila, orang-orang

11

pohon-pohon sesawi

dosa itu justru bertobat, mengakui dosa-dosa mereka dan
berb­ a­likl­ah mereka ke arah pemahaman, pengh­ ayata­ n
dan peng­amala­ n Pancasila. Maka redalah murka Tuhan,
dan Niniwe tidak jadi dimusnahkan oleh Tuhan.

Melihat itu, Yunus nabi sinting itu, justru malah
menyesal dan jengkel. Ia menyesal mengapa kok orang-
orang metropol itu bert­obat dan menjadi baik. Maunya
dibakar sajalah onggokan samp­ ah dosa itu. Seperti
Sodoma dan Gomora. Dan berdoalah Yu­nus sok bijak
itu dengan nada menuduh, “Ya Tuhan, bukan­kah saya
sudah mengira dari dulu, semua ini keliru? Mestinya me­­
re­ka dib­ akar saja. Saya dulu sudah tahu Engkau adalah
Tu­han Maha Pengampun. Kalau saya sudah mengira
dari dulu se­mua ini keliru, mestinya mereka dibakar
saja. Saya dulu sudah tahu Engkau adalah Tuhan Maha
Pengampun. Kalau saya mengi­kuti Eng­kau, maka Niniwe
akan bertobat, lalu Engkau berb­ elas kasihan, lalu ya lalu...
wah sayang. Seharus­nya mereka di­bi­nas­ ak­ an. Mereka
bertobat cuma pura-pura saja agar selamat. Me­rek­ a ini
orang bisnis dan penipu ulung lagi canggih. Maka itu saya
dulu kan lari menghindari tugas yang menurut saya perc­ u­
ma saja. Orang jahat itu berkembang-biak seperti bekicot
atau rumput seromp­ ot. Semakin dipotong semakin
subur. Maka maaf ya Tuhan Yang Maha Baik. Susahnya
Engkau terlalu baik, ter­lalu Pengasih dan Penyayang
untuk orang-orang macam mer­e­ka. Engkau panjang,

12

ulat kecil di daun-daun jarak

sabar, dan berlimpah kasih. Mereka jadi semakin manja.
Engkau selalu menyesal apabila harus meng­hu­kum orang
jahat dengan malapetaka. Lalu diampuni. Ini mengurangi
disiplin, lalu ya dunia kami ini semakin penuh dengan
orang manja tidak karuan. Maka sekarang begini saja­lah
ya Tuhan. Kalau begini terus, cabutlah saja nyawa saya.
Leb­ ih baik mati daripada hidup di dalam world order yang
serakah munafik liberalistis kapi­talistis seperti ini.” Tetapi
Tuhan ber­fir­man, “Apa­kah marah begitu itu layak? Mana
mungkin seor­ang ab­di­Ku Kucabut nyawanya? Kamu ini
abdi yang bandel dan sok tah­ u. Dan terus terang saja sok
saleh. Memang Aku Tuhan yang Ma­ha Penya­yang dan
Maha Pengasih, mau apa? Kau pilih mana, Tuh­ an yang
Maha Pengasih atau Tuhan Yang Maha Kejam dan Maha
Pembalas Dend­ am? Hayo jawab!”

Yunus menarik nafas panjang dan gusar meman­dang
cakraw­ ala. “Ah ya sudah. Berbantahan dengan Engkau
ya Tuhan per­cuma saja. Tentu saja saya nisca­ya kalah.
Sudahlah, permisi. Tet­a­pi ingat, saya tidak setuju dengan
politik rekonsiliasi yang ha­nya favourable untuk orang
buruk, dan karena itu sangat men­ yud­ utk­ an orang-orang
yang saleh dan taat kepa­daMu.” Tuhan hanya geleng-
geleng kepala, dan tersenyum kecil melihat abdi­Nya yang
keras kepala itu. Maksudnya baik, tetapi caranya kel­ir­ u.
Maka Yunus keluar meninggalkan metropol Niniwe
dan ting­gal di gurun di sebelah timur kota. Di situ ia

13

pohon-pohon sesawi

mendirikan seb­ uah gubuk dan di dalam bayangan atapnya
ia memandang Ko­ta Niniwe. Akan jadi apa metropol
kepar­at semacam itu. Pur­a-pura bertobat, maunya me­ni­
pu Tuhan. Sebentar lagi mer­ek­ a bertobat lagi, tetapi ke
arah negatip. Nah, tunggu saja, nan­ti Tuhan pasti marah,
dan mengijinkan pendapat abdiNya Yun­ us yang logis dan
sosiologis empiris dapat ia buktikan kebe­narannya. Akan
terbakarlah kota urban pengisap daerah-daerah rural para
petani itu. Biar ludes! Biar mampus!

Gubuk Yunus dibuat dari daun-daun tebu dan
rendah se­kal­i atapnya. Panaslah semua untuk Yunus yang
bercucuran ke­ringatn­ ya. Semakin panas semakin kesal
dia. Sedih jadi nabi, pikirn­ ya. Terpanggil ya terpanggil,
kata ibunya dulu ketika Yu­nus mengeluh kepad­ a ibunya
tentang tugas berat yang harus dil­ak­sa­n­ a­kan tetapi malas
ia laksanakan. Mengapa harus dia. Se­andai­nya ibunya
tidak memperteguh imannya, dia pasti tid­ ak berangkat.
Tetapi di tengah jalan ia toh menyesal, lalu men­ yimp­ ang
jalan, lari ke Tarsis dulu itu.

Di luar gubuk Yunus tertidur karena lelah, kesal, dan
pa­nas. Maka mendengkurlah Yunus seperti dulu di dasar
kamar ba­wah pe­ra­hu dalam badai. Tuhan tersen­ yum dan
geleng-geleng kep­ a­la melihat nabiNya jengkel. Tetapi
Tuhan iba hati terhadap nabiNya yang memang sinting
tetapi jujur tidak munafik itu. Sok tahu meski bermaksud
baik. Selama Yunus tidur, Tuhan men­ umb­ uh­kan pohon

14

ulat kecil di daun-daun jarak

jarak dengan cepat, sam­bil melampaui dan memayungi
Yunus. Biar abdi­Nya sejuk, hatinya yang kesal pu­lih sabar
kembali, lepas dari kejengkelannya.

Ketika bangun, Yunus bergembira sekali ada pohon
yang rin­dang menaunginya. Bagus. Dia akan bertahan di
gubuknya, samp­ ai Niniwe keparat kembali ke dosa-dosa
mereka yang la­ma yang sudah menjadi kebiasaan mereka.
Sesudah itu pasti mer­ek­ a akan dihukum Tuh­ an, dibakar
seperti Sodoma dan Gomo­ra dulu. Pemand­ angan yang
pasti elok nanti bila seluruh ko­ta terba­kar. Atraksi yang
gratis. Bonus lumayan atas jerih payah­nya. Tet­a­pi pada
pagi hari berikutnya datanglah seekor ulat pe­sur­ uh Tuhan,
dan semua daun-daun jarak itu dimakan ludes. Ma­sih
ditambah musibah berupa angin panas luar biasa yang
men­ iup dari pad­ ang pasir. Sehingga semua terasa panas
sekali. Yun­ us rebah lesu dan hanya dapat mengharap agar
selekasn­ ya mati saja. Tuhan tersenyum dan mengejekn­ ya,
“Layakkah kamu marah-marah dan mengomel ‘lebih baik
mati daripada hidup’? Cuma karena ulat memak­ an daun-
daun pohon jarak?” Yun­ us masih nekat menjawab, “Ya,
saya layak marah. Saya layak marah sampai mati.” Tetapi
Tuhan mengejeknya dan tersen­ yum menegurnya, “Kamu
ini lucu. Kamu tak mengel­uarkan satu jari pun untuk
menanam pohon jarak itu, kok marah. Bukan kamu yang
berjerih payah, bukan kamu yang menanam tumbuhan
itu yang menjulur dalam satu malam dan binasa dalam

15

pohon-pohon sesawi

satu malam pula. Kau marah karena metropol Niniwe?
Apa kamu yang memb­ uat Niniwe, kok marah? Apa
kamu yang mela­hirkan penduduk Niniwe yang berjumlah
lebih dari 12.000 orang itu? Pend­ uduk yang sebetulnya
bodoh, tidak tahu membedakan tangan kanan dan tangan
kiri? Apa bagus membunuh kota yang pu­nya ternak
banyak sekali? Mengapa kamu marah? Marah kar­en­ a aku
Tuhan­Mu berbaik hati? Yang suka berbelask­ asih dan
meng­am­puni? Ayo jawab. Niniwe pun milikKu, karena
hidup mati mereka pun dariKu. Apa yang kauperbuat
di Niniwe? Membuat gubuk pun tidak becus. Di padang
gurun lagi. Pantas kalau panas sekali. Menghadapi ulat
kecil saja kamu kalah. Mas­ ih marah lagi. Berani marah
cuma kepada ulat. Yunus, Yunus, kam­ u tukang cembur­ u,
pembalas dendam yang tidak dewasa. Tuhan­mu baik hati.
Mestinya kamu meniru­Ku, berbaik hati dan Pen­ yayang
serta Pengamp­ un. Sana pulang! Dan jangan marah kal­au
ada orang dosa bertobat. Jangan cemburu kalau Tuhan
berb­ aik hati. Juga jangan iri hati kalau ada orang lain
berbuat baik kepada orang lain.” Yunus bersujud, kepala
di tanah, “Baiklah Tuhanku. Saya akan pulang dan akan
berusaha tidak akan marah lagi.”

“Ya baiklah Yunus. Kamu pun harus bertobat. Tidak
hanya Nini­we. Dengar?”

“Daulat ya Tuhanku. Tetapi tadi saya hanya berjanji:
Saya akan berusaha. Berusaha itu belum tentu berhasil.”

16

ulat kecil di daun-daun jarak

Tuhan tertawa terbahak-bahak mendengar nabiNya
yang ha­rus diakui­Nya jujur terbuka berterus terang.
Tidak seperti orang-orang Nusantara. “Kamu ini orang
cerdas sebetulnya,” sab­da Tuhan dengan mengeleng-
geleng kepala, “cuma sinting pangk­ at duabelas.”

“Maaf Tuhan, tujuhbelas, Tuhan. Dibagi delapan,
lalu di­kali­kan lagi dengan seribu sembilan ratus empat
puluh lima.”

Jelaslah sekarang mangapa aku senang bernama
Yunus, beg­ i­tu kukatakan kepada rekan-rekan pastor bila
kami sedang ber­ekrea­ si tukar pengalaman.

Saya masih ingat peristiwa dulu di Seminari Mene­
ngah Mertoy­ u­dan. Setiap diumumkan nama-nama para
siswa yang tamat kelas VI (Kelas Retorika namanya
dulu, mengacu kepada pen­di­dik­an humaniora para filsuf
Yunani) dan yang mau me­nerus­kan pendidikan ke
Seminari Tinggi atau Novisiat Tarekat, kam­ i berkum­
pul di dalam Kapel Besar, dan Romo Rektor send­ iri
(Romo Presiden namanya dulu) yang mengum­ umk­ an
ke mana para tamatan itu ingin meneruskan pendidikan
mereka. Sekaligus diumumk­ an nama-nama dewas­ a
atau nama tua para tamatan itu. Yang dulu nama­nya
Jimin, misalnya, di­se­but Atmosusanto. Atmo berarti
jiwa, susanto berarti amat suc­ i. Atau Dwijosub­ roto;
dwijo artinya pakar, subroto kira-kira ber­arti amat tekun
berpuasa. Atau Paijo menjadi Hadilaksono. Hadi berarti

17

pohon-pohon sesawi

indah, laksono berarti melaksanakan. Atau juga Ra­ki­min
menjadi Sastrosudarmo. Dapat diartikan: Kitab penuh
sumb­­ ang­an suci. Semua nama disesuaikan dengan pang­
gilan suci atau yang dicita-citakan oleh para siswa yang
bersangkutan. Lazimn­ ya nama-nama priyayi, ningrat, atau
yang selaras dengan kasta brahmana. Penuh martabat dan
kerohanian mulia. Ketika suatu akhir tahun nama-nama
siswa ka­kak-kakak kami diu­m­ um­k­ an, Romo Presiden
menguc­ apkan suatu nama yang aneh di luar jalur aspal,
sehingga 200-an murid di Kapel Besar itu tertawa geli.
Yakni nama Kariyod­ inomo. Baru pertama kal­i dal­am
sejarah Gereja di Jawa nama Kariyo dipakai untuk imam
atau calon imam. Maklumlah, nama Kariyo biasanya di­
pak­ ai hanya oleh para tukang batu, tukang kayu, atau
kuli-kuli kereta api dan sebangsanya. Jelas nama yang
tidak berbau pri­yay­ i apa­lagi kaum brahmana, bahkan
boleh dikatakan, berbau kand­ ang kerbau. Sama dengan
nama-nama Mangun, Wongso, Noy­ o dan sebagainya
yang biasanya dipakai oleh rakyat kecil. Ma­ka me­le­­
dak­lah sekian ratus murid dalam tawa geli yang tak da­
pat dikekang. Mosok Kariyo. Jangan-jangan nanti ada
Romo Kromor­ejo, Pater Kariodongso, Romo Noyo­
dimejo, Uskup Begjo Mangun­dinomo, Kardinal Legim­ in,
nama-nama jelata yang me­ner­tawa­kan bagi kaum elit
hirarkis. Saya pun ketika itu ikut tertawa terkikik-kikik
karena tersengat seluruh Kapel. Tetapi entah mengapa,

18

ulat kecil di daun-daun jarak

presedens non-priyayi itu akhirnya ikut mengaspirasikan
saya untuk tetap memakai nama Yunus. Tetapi memang
ada alasan lain yang lebih berbicara, yakni sederhana saja:
nama ayahku memang Kariyodinomo, artinya: “Nama
dia kerj­a.” Terang sekali bau proletariatnya. Sebaliknya,
untuk me­mi­lih nama mulia dengan Dwijo atau Hadi,
Harso, Pujo atau Widyo, apalagi Santo, nah jangan-
jangan seperti dulu lagi waktu aku masih bayi, yang diberi
nama Rahadi. Tidak kuat, lalu harus di­mas­ ukk­ an lubang
sampah lagi. Sudah, cukup Yunus saja. Yo­ha­nes Yunus.
“Ya, Yunus adalah nabi yang simpatik,” kataku da­lam
salah satu bincang-bincang sharing antarp­­ ara romo. Tetapi
memang nama Yunus ada persoalannya.

“Saya tidak pernah menganjurkan bacaan Kitab
Yunus itu kepada para siswa Seminari,” tegas Romo
Broto yang pernah ber­tah­ un-tahun menjadi prefect
(“penutup”) para seminaris. “Berbahaya. Nanti disimp­ ul­
kan, bahwa boleh-boleh saja orang lari dari panggilannya.
Tidak, saya tidak pernah menganjurkan agar murid-murid
saya membaca Kitab Yunus.”

“Tetapi Romo Broto, Nabi Yunus sudah diangkat
oleh Yes­ us sendiri menjadi lambang kesengsaraan, maut
dan keb­ ang­kita­ n­Nya sesudah 3 hari dalam perut maut.”

“Ya, yaaa, memang itu ada benarnya, tetapi anak-
anak kita harus tahu disiplin taat kepada perintah tugas.
Sekarang baru kec­ il-kecilan, kelak sebagai pastor harus

19

pohon-pohon sesawi

menghadapi tugas ber­at. Bagaimana jadinya kalau mereka
sudah belajar membolos, la­ri, dan merasa lebih pintar
daripada Tuhan! Bukan, bukan! Kit­ab Yunus bukan
bacaan rohani yang baik untuk para siswa Semi­nari. Lebih
baik Kitab Samuel. Samuel yang mendengar pang­gil­an
Tuhan, dan menjawab, ‘Bersab­da­lah ya Tuhan. AbdiM­ u
mend­ en­ gar Tuhan.’ Menden­ gar dalam bahasa Al Kitab
artin­ ya sekaligus menger­jakan apa yang diperintahkan.
Ya, itu leb­ ih tepat,” ujar Romo Broto yang terkenal streng
dan disiplin itu. “Jadi nama Karyorejo tepat juga karena
berarti mengaryak­ an, men­ gerja­kan,” pikirku dengan hati
yang plong blong lega, be­kerja dan mengerjakan.

Ibuku juga ingin aku menjadi Samuel. Tetapi hati
kecilku send­ iri simpati kepada Yunus. Ah, mungkin ini
yang dimaksud de­ngan para pemikir Jerman: das Sein
und das Sollen (yang ada dan yang harus). Samuel adalah
lambang das Sollen. Yunus yang apa adanya. Tak dapat
kuingkari, terus terang saja aku lebih ber­simp­ a­ti kepada
si Yunus sinting itu.

***

20

Si K e c i l D i t ingga l
di Rumah Tuhan

September hari ke-8 ulang tahunku ditahbiskan
menjadi imam Ger­e­ja Katolik Roma (Puji Tuhan!
Bukan jasaku!). Hari ref­leks­ i pribadi khusus yang
layaknya meminta jawaban jujur. “Kejujuran nomor
satu bagi orang yang ingin maju,” kata selalu ayahku
dulu kepada anak-anaknya. “Hahaha, rarara, tetapi me­
nga­pa Ayah tetap miskin?” tanyaku sering berke­lakar
kepada abang-abangku. “Ayah perkecual­ian,” kata abang-
abangku. “Ayah du­lu mungkin telah mengucapkan kaul
kemiskinan,” ujar yang satu lagi. “Ayah orang yang kaya,
tetapi karena anaknya 10 orang, maka ya cuma begini ini
kita,” komentar satu abang lagi. Abang sulungku punya

pohon-pohon sesawi

keterangan yang sok teologis. Dia selalu sok teologis!
“Ayah betul. Beliau jujur. Maka kekayaannya adalah ke­
kaya­an rohani. Dan ingat, Ayah tidak pernah bilang: kalau
jujur kau akan menjadi kaya, tetapi maju, begitu tepatnya.
Nah, maju dan kaya itu tidak sama.” Keterangan yang
hebat. Tetapi tid­ ak memberi terang sedikit pun. Baiklah,
yang dimaksud Ayah sangat baik. Aku pun harus jujur.
Tetapi jika aku harus jujur, pada Hari Refleksi ini aku
harus mengakui: aku tidak berbakat men­ja­di ro­han­­ i­wan
apalagi pastor paroki.

“Kau ini dari dulu suka berpetualangan,” tuduh
abang sul­ung­ku, Kamin namanya, “maka kamu menja­di
pastor, mam­pus kau!” Abang sulungku ini memang merek
Werkudoro, fig­ ur wa­yang yang ti­dak kenal tenggang rasa
atau omong yang ha­lus sedikit pun kepada adik-adiknya.
Padahal ia guru SMA. Seg­ ala yang ia pikirkan, bahkan
yang baru ia duga, langsung ia sen­tol­op­kan se­perti tesis
skripsi. Mungkin dia benar juga. Tetapi Ro­mo Rek­tor
Seminari-ku pasti tidak sependapat. “Bukan kamu yang
memilihKu, tetapi Akulah yang memilih kamu,” pasti
itul­ah yang di­kut­ip beliau dari Sabda Yesus dalam Injil
Yohanes, ayat berapa saya lupa. Nah lihat, tidak hafal
ayatnya, bukan? Gemb­ ala iman yang tidak meyakinkan.

Tetapi boleh jadi Romo Rektor maupun Mas Kamin
sa­ma-sa­ma benar. Atau barangkali analisis abang sulungku,
si­apa tahu, adalah terjemahan atau penja­baran Sabda tadi

22

si kecil ditinggal di rumah Tuhan

dari Sang Manusia Putra Nasaret yang kupercayai itu.
Entahlah. Sus­ ah­nya Mas Kam­ in sering berlagak sok
ahli teologi dengan sok men­ gut­ip Alkitab. “Yunus, dari
buahnya kita kenal pohonnya. Kau ma­tem­ a­tik­ a rata-rata
5 nilainya. Padahal salah satu pertanda ke­cerd­ as­an orang
adalah kemampuannya tentang hah... apa? Matematika.
Alias kau ini se­be­t­uln­ ya anak goblok, hah. Nah, ini
pewartaan mist­ikn­ ya: Maka Tuhan memanggilmu menjadi
pastor untuk men­ unj­ukk­ an kepada umat, bahwa Gereja
dibangun hah hah bu­kan oleh pastor-pastornya, melainkan
oleh Tuhan sendiri.” Ya sudah, kalau Mas Kamin si
Abang Sulung sudah berpendapat be­gi­tu, pakai hah hah
segala, apa yang dapat diperbantahkan oleh seorang adik.
Apa­lagi keluargaku yang berjumlah 10 anak itu (4 le­lak­ i
dan 6 peremp­ uan) tergolong keluarga kuno. Se­ma­kin tua
sem­ ak­ in ber­hak bicara. Maklumlah, ayah-ibu pe­tan­ i kecil
saja yang harus susah-payah kurang daripada pas mem­
ber­i ka­mi nasi dan tahu tempe. Begitulah nasibku selaku
anak le­lak­ i term­ uda, jarang sekali dibelikan baju-celana
baru. Selalu ter­bungk­ us pak­ aian bekas dari abang-abang
yang tiga itu. Aku dulu se­ring jengk­ el dan sedih karena
itu, tetapi aku begitu sayang kep­ a­da ibu­ku yang (aku
tahu) paling mencintai aku, dan yang amat meng­gen­ ang­i
aku dengan tutur kata yang lembut serta ke­mesraa­ n yang
lebih, seh­ ingg­ a kejengkelanku karena cuma mendapat pa­
kai­an bekas itu agak terobati.

23

pohon-pohon sesawi

Tetapi kadang-kadang aku mendapat hadiah baju
atau celana bah­kan tas segala yang kincling-kincling baru
sama sekali. Namun itu dari Pa­man Bar­di, abang ibuku.
Paman Bardi seorang guru, dan pun­ ya sa­wah lumayan.
Jadi ia kaya untuk ukuran orang Jawa za­man Hind­ ia Be­
land­ a dulu. Caranya membelikan aku barang-ba­rang baru
itu dengan diam-diam. Aku diajak ke pasar. Di pasar aku
di­tel­an­jangi dan baju-celana baru kukenakan kontan di
sana. Pakai­an lam­ a di­bung­kus. Pulang, tahu-tahu sudah
berpakaian serb­ a baru. Tetapi pernah aku melihat ibuku
membelai-belai pa­kaia­ n baruku itu sambil meneteskan
air mata.

“Ibu kok sedih?” tanyaku heran.
“Tidak. Ibu justru senang.”
“Mengapa menangis?”
“Orang kalau bahagia menangis juga,” katanya
lembut. Aneh, pik­ ir­ku dulu. Mosok orang bahagia kok
menangis. Baru ses­ ud­ ah ke­lak men­jadi lebih besar dan
lebih berpengalaman, aku tahu, bahwa dalam dasar
hatinya Ibuku menangis tidak ka­ren­ a ba­hag­ ia anaknya
dibelikan baju baru oleh Paman, tet­ap­ i sedih dan malu,
mengapa ia dan suaminya tidak mampu mem­be­lik­ an ba­
rang-barang yang didapat oleh anak-anak yang mam­pu,
teman-temanku dan para kemenakanku.
Maka jika Paman Bardi mengajakku lagi ke pasar
dan aku pul­ang den­ gan pakaian baru, aku langsung

24

si kecil ditinggal di rumah Tuhan

menyimpan pakaian ba­ruk­ u itu di almari saja. Dan lebih
suka berbaju-celana yang dul­u dibelikan oleh orang-tuaku
sendiri. Meski hanya pakaian be­kas. Tetap­ i susahnya, ini
berakibat Paman Bardi marah. “Anak ti­dak tahu terima
kasih!” gerutunya. Serba salah. Maka aku sungg­ uh-sung­
guh her­an, ketika sekian tahun kemudian Paman Bardi
berk­ at­a kepada­ku, bahwa aku anak yang ia banggakan.
Karena tah­ u menjaga kehormatan orang-tua. Dia tidak
lagi menga­jak di­am-diam ke pasar. Tetapi giliran akulah
yang kecewa, mengapa tid­ ak lagi diajak ke pasar. Serba
keliru lagi. Menjelang dewasa aku di­ber­i tahu ibuku,
bahwa Paman Bardi sering memberi uang kepada Ibu
untuk keperluan kami, anak-anaknya. Ya, ibuku me­mang
adik yang disayangi Paman Bardi. Mungkin karena miskin.
De­mi­kian­lah, ketika aku ditahbiskan menjadi imam,
padahal Ayah sudah meninggal, maka Paman Bardi-lah
yang mengganti­kann­ ya menjadi wali, mendampingi Ibu.

Saat aku ditahbiskan, aku melihat Ibu bercucuran
air mata. Kal­i ini aku ta­hu betul, beliau menangis karena
bahagia. Bukan ka­ren­ a sedih kehilangan anak. Tetapi siapa
tahu, mungkin karena sedih juga. Paling sedikit khawatir
karena beliau jelas ta­hu aku bu­kan siswa cemerlang.
Matematika rata-rata 5. Kata Mas Kamin, “Apa bisa
menjadi imam Gereja Kudus yang pant­as? Apalagi
menjadi pastor paroki yang baik?” Tetapi yang pal­ing aku
sen­ ang­i pada hari tahbisan itu ialah ketika abang sul­ungk­ u

25

pohon-pohon sesawi

men­ yal­ami­­ku dan ber­kata di hadapan Ibu serta ka­kak-
kak­ akk­ u, “Yun, pastor yang baik bukan yang manajer
atau yang ahl­i ma­tem­ at­i­ka dagang dan sebangsanya itu.
Untung kau goblok matem­ at­i­ka. Bahaya godaan tidak
terlalu besar.” Pasti bukan istilah manajer yang diucapkan
Abang ketika itu, karena dulu belum ada istilah manajer.
Saya lupa kata apa yang ia pakai. Tetapi aku sud­ ah tah­ u
maks­ udnya. Mendengar itu Ibuku hanya tersenyum saja.
“Min, kamu tak usah menggoblok-goblokkan adik­ mu.
Go­blok atau pan­dai itu urusan Tuhan. Pokoknya ter­
panggil ya ter­pangg­ il, sudah.” Kakakku Sri yang selalu
memihakku melawan kak­ ak abang yang suka menge­
jekku, menambahkan, “Dan lagi, tidak ada anak goblok
yang lulus sampai ditahbiskan. Apa kau ki­ra Rom­ o Kan­
jeng Sugiyo (Mgr. A. Soegijapranata, uskup Ja­wa pert­am­ a,
yang mentahbiskan aku) tokoh yang tidak pandai samp­ ai
tid­ ak tah­ u siapa yang diwisud­ anya?” “Ah ya, beliau hebat.
Tetapi...,” masih juga Mas Kamin membela posisinya,
tet­ap­ i sen­ ga­ja demons­ tratip tiba-tiba ia berbisik-bisik
misterius di dek­ at telinga Ibu namun membiarkan kami
menden­ garkan, “Seb­ en­ ar­nya beliau itu goblok juga. Sean­
dainya tidak jadi uskup, pas­ti beliau sudah jadi Menteri
Agama.” “Husy! Kurang ajar! Kuw­ a­lat kau!” desis Kak
Sri. “Sekarang jelas yang goblok itu ya ka­mu sendiri.”

Tertawalah Abang Werkudoro itu terbahak-bahak,
sampai ter­paks­ a ia dibungkam oleh tangan Kak Sri yang

26

si kecil ditinggal di rumah Tuhan

menjulur efektip. Ibu, Kak Sri, dan Romo Rektor sama
pandangannya walau cara me­ngat­a­kann­ ya lain. Seluruh
tradisi Gereja hampir 2000 tahun men­ ga­ta­kan yang sama:
jadi imam itu panggilan Rahmat. Tidak per­nah dinalar
mengapa dia menjadi imam. Semua Rahmat. Per­ken­ an
Kedaulatan Pribadi Tuhan. Mestinya aku bisa tenang
dan mengh­ a­dap­ i tugas penuh kepercayaan. Memang
aku percaya jug­ a dan ket­a­kuta­ n biasanya mudah teratasi.
Tetapi imam pun ma­nus­ ia biasa juga. Dengan segala
perasaan khawatir dan bim­bang­nya. Apa­kah orang tidak
berbakat dapat berta­han, apalagi da­pat menghasilkan
buah? Apa lama-lama ia tidak akan layu kar­en­ a akar-akar­
nya kurang pan­jang? Matematika cuma 5, seperti kata si
Abang Su­lung. Entahlah.

Nyatanya aku sekarang sudah hampir 40 tahun
tergolong gemb­ al­a paroki. Dugaanku, itu jasa doa-doa
getol ibuku dan kak­ ak-kak­ akk­ u semua. Sekarang aku
sudah jadi pastor ga­ek. Se­and­ ain­ ya dulu aku menikah,
mungkin anak-cucuku sud­ ah be­ra­pa? 25? Sekarang
selaku pastor tua, kendati hanya pas­tor pemb­ an­tu ka­
ren­ a pastor kepala kini muda-muda, anak-cu­cuk­ u di
parokiku sekarang kutaksir minimum sudah 5.000
orang. Pa­da­hal saya sudah berpindah-pindah paroki 6
kali. Tiga puluh ribu? Ah, jangan dihitung matematis
begitu. Toh untuk ma­tem­ a­ti­ka kau cuma mendapat 5,
Yun, Yun!

27

pohon-pohon sesawi

“Tetapi kan lain,” sanggah Romo K, seorang rekan
pastor mud­ a den­ gan teologi paling mutakhir dalam suatu
Hari Refleksi Imam-Imam. “Umat dan cucu-cucu yang
darah-daging sendiri lain sama sekali. Umat paro­ki kan
hanya dititipkan kepada kita. Lai­n dar­i anak-anak yang
betul-betul dari orang-tua atau kakek-nen­­ ek.”

“Ya, lain tentu saja,” sumbang gagasan seorang imam
sen­ io­ r, “tetapi yang dihitung kan derajat dan kedalaman
kecintaan. Buk­ an darah-daging.”

“Tetapi tetap lain.” Bersiteguh Romo K memperta­
hankan pand­ anga­ n teologis mutakhirnya. ”Jumlah
anggota umat, nah me­mang banyak. Tetapi mereka
bukan anak-cucu. Bagaimana Ro­mo Yunus?”

“Saya? Ya, terus terang saja saya tidak tahu. Cuma
aku menc­ intai umatk­ u. Hanya itu saja yang kualami.”

Pernah dalam Misa Penutupan Hari Refleksi diba­ca­
kan ri­wa­yat Na­bi Samuel. Isteri Pak Elkana bin Yeroham
dari Desa Ra­ma yang bern­ am­ a Hana mandul, sampai
ia tua. Padahal da­lam alam bud­ ay­ a waktu itu seorang
perempuan yang mandul diperolok-olok, diang­gap tidak
disukai Allah. Sedihlah Hana. Kar­en­ a itu ia selalu
mencoba menjadi perempuan saleh yang hor­mat sek­ a­li
pada Allah. Suatu kali ia bersama suaminya berziarah ke
Bait Tuhan di Desa Silo yang dijaga oleh seorang imam,
Eli nam­ an­ ya, seorang kiai yang amat disegani umat Israel
sebagai pe­mim­pin roh­ a­ni mereka. Menangislah Hana dan

28

si kecil ditinggal di rumah Tuhan

nerocoslah doa­nya di Bait Silo itu. Hanya bibirnya yang
bergerak-gerak tanpa suara, seperti orang sinting. Betapa
sedihnya ia. Imam Eli men­de­kati­n­ ya dan agak gusar
menegur, “Berapa lama lagi eng­kau ber­laku seperti orang
mabuk? Lepaskanlah dirimu dari ma­buk­mu.”

Tetapi Hana menjawab, “Bukan! Bukan, tuanku.
Saya ha­nya seorang perempuan yang sangat bersusah
hati. Anggur atau mi­num­an yang memabukkan tidak
saya minum. Tetapi sa­ya menc­ u­rahk­ an hati saya di
depan Tuhan. Janganlah anggap hamb­ a­mu ini seorang
perempuan yang dursila. Karena besarnya cem­ as dan
sakit hati saya itulah saja saya berbicara demikian lam­ a.”

Menjawablah Eli dengan terharu, “Pergilah dengan
selamat, dan Al­lah Israel akan memberikan kepadamu
apa yang kauminta dar­i Tuhan.”

Setahun kemudian mengandunglah Hana, dan
melahirkan se­or­ang anak laki-laki. Ia menamai anak itu
Samuel. Artinya: “Say­ a tel­ah mem­ int­an­ ya dari Tuhan.”
Samuel disusui Hana sam­pai umur di­sap­ ih­n­ ya. Lalu
dibawalah dia, dengan sumbangan se­ek­ or lembu jantan
berumur 3 tahun, satu bungkus tepung dan se­bu­yung
ang­gur. Lalu diantarkan olehnya Samuel ke dalam Ru­
mah Tu­han di Silo. Waktu itu si kanak-kanak Samuel
masih kec­ il betul. Setelah lembu, tepung, dan anggur
dipersembahkan di Bai­t Tuhan, Hana berkata kepada
Imam Eli, “Sayalah pe­remp­ uan yang dulu berdiri di sini

29

pohon-pohon sesawi

dekat tuanku untuk ber­doa kep­ ad­ a Tuhan, dan tuan
sangka saya mabuk. Ternyata ben­ ar­lah, Tuhan telah
memberikan kepada hambamu apa yang ham­ba­mu min­
ta dariNya. Maka saya menyer­ahkan anak saya ini kep­ ad­ a
Tuhan. Seumur hidupnya semoga dipersembahkan kep­ a­
da Tuhan.” Lalu sujudlah Hana, Elkana, dan Samuel kecil
men­ yemb­ ah Tuhan. Dan Hana berdoa, ”Hatiku bersu­
karia kar­e­na Tu­han. Tunduk kekuatanku ditinggikan oleh
Tuhan. Ia men­ eg­ akk­ an orang yang hina dari dalam debu,
dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur. Langkah
kaki orang-orang yang dikasihaniNya dilindungi…”

Lalu pulanglah Hana dan Elkana ke Rama. Si kecil
ditinggal di Rumah Tuhan, dan menjadi pelayan Tuhan,
di bawah penga­ was­an Eli.

Ibuku perempuan subur, tidak seperti Hana dari
Rama itu. Na­mun beliau berkata kepadaku pada waktu
pentahbisanku itu, “Anakku Yunus, ketika kau kukan­
dung memang aku terharu memb­ aca ri­way­ at Hana, ibu
Samuel itu. Aku ternyata belum apa-apa. Be­lum pern­­ ah
berjanji untuk menyerahkan kamu menj­ad­ i pel­ayan Tuhan
seperti yang dilakukan Hana. Aku ha­nya mem­ oh­ on agar
kau anakku jadi anak yang baik. Cukup itu saja. Aku tidak
berani memohon lebih hebat kepada Tuhan agar anakk­ u
jadi imam. Ya, karena tahu dirilah, aku ini cuma siapa.
Tet­ap­ i sekarang aku berpesan: “Jika Tuhan berkenan,
jadilah se­per­ti Samuel.” Aku tersenyum, “Ya Bu, semoga

30

si kecil ditinggal di rumah Tuhan

saja. Akan saya co­ba. Tetapi ya, saya pun harus juga tahu
dirilah, cuma siapa saya ini.” Ibuku mengangguk-angguk.
Tanganku diremas-remas oleh­nya.

Pasti keras hati konsekuen si perempuan Hana itu.
Pasti ters­ a­yat-say­ at hatinya waktu menyerahkan anak
satu-satunya itu ke­pa­da Eli. Dan si balita Samuel? Aduh,
pasti menangis mel­o­long-lo­long si anak kecil itu ditinggal
ibunya begitu saja. Aku men­ angis waktu membaca dan
merenungkannya.

***

31

Pohon-Pohon
di Pekarangan Paroki

Dalam tradisi sejarah Gereja, umat atau paroki
dilambangkan seb­ ag­ ai kebun anggur; mengacu
kepada sabda Yesus, “Akulah pok­ ok angg­ ur yang sejati
dan BapaKulah juru tamannya. Setiap ran­ting pa­daK­ u
yang tidak berbuah dipotongnya dan setiap ran­ting yang
ber­bu­ah dibersihkanNya supaya ia lebih banyak ber­bu­
ah.” (Yoh 15, 1-2). Lambang itu bagus, akan tetapi siapa
dari umat pa­ro­ki­ku yang pernah melihat kebun anggur?
Bila kuamati umat­ku dari berbagai paroki di mana aku
pernah ditempatkan, aku le­bih condong mengatakan,
bahwa paroki adalah kebun bia­ s­ a di belakang rumah
desa; dengan macam-macam pohon, sem­ ak be­luk­ ar dan

pohon-pohon di pekarangan paroki

rumput, bahkan duri-duri. Ada sumurnya, ada kamar
mandinya berbilik bambu, ada kandang kerbaunya, ada
comb­ era­ nn­ ya, tetapi juga ada pohon kelapanya atau
pohon dur­i­ann­ ya. Dan tentu saja ada rumpun bambunya.
Bahkan kad­ ang-kad­ ang (hebat!) ada parabolanya. Cuma
dalam kebun di ped­ e­saa­ n jarang atau tak ada bunga-
bunga seperti mawar, dah­lia, ba­kung, melati, dan segala
tanaman priyayi yang disukai Ro­mo Sab­do, seorang
keturunan penabuh gender gamelan, ahli yang ter­soh­ or,
dan mungkin karena itu berjiwa puisi halus. Yang ada
hanya bunga-bunga dusun, seperti bunga ungu kecil putri
mal­u yang ber­duri banyak dan berbau agak sengak. Atau
sering bun­ ga bang­kai yang (aduhhai baunya!) entah setan
siapa yang menc­ ip­ta­kann­ ya.

Salah satu “pohon kelapa” paroki ialah Pak Wignyo,
Paulus Wig­nyo Sudarmo, yang berkali-kali dipilih menjadi
Ketua Dew­ an Pa­ro­ki, Kepala SMP Santo Gabriel. Ia
sebetulnya tidak coc­ ok di­lam­bang­kan sebagai pohon
kelapa karena tubuhnya pend­ ek agak gemuk. Tetapi
cita-citanya tinggi setinggi nyiur, hatin­ ya tingg­ i juga agak
berkesan angkuh, meski sebe­tulnya dia sama sekali tidak
sombong. Ia berkesan begitu karena sejak kec­ il ia dit­it­ip­
kan oleh orang-tuan­ ya kepada paman-tuanya yang tid­ ak
punya anak. Paman-tuanya ini seorang sersan Tent­ar­a
Bel­an­da yang mendisiplinkan anak pungutnya agar se­
la­lu berd­ iri atau duduk dengan sikap tegak dan kepala

33

pohon-pohon sesawi

agak me­ne­ngad­ ah seperti layaknya seorang komandan.
Sama dengan poh­ on kelapa, Pak Wignyo tahan angin
badai, tidak pernah put­us asa kalau menghadapi soal
teramat sulit, tidak pernah bi­ngung kal­au mi­saln­ ya pa­ro­ki
kekurangan duit untuk program ini itu. Sikapn­ ya san­ gat
elastis, pandai ngeper. Dan eloknya juga: bila ia melihat
tem­ an dari jauh, langsung tangannya selalu melambai-
lambai samb­ il ber­ter­i­ak gaya sersan, “Hai!” Tubuhnya
bergoyang se­per­ti pohon kelapa. Tetapi putra altar (alias
misdinar menurut seb­ ut­an warisan kolonial dulu) yang
sudah besar menamak­ ann­ ya la­in sek­ ali, bukan Pak Nyiur
tetapi Napoleon. Tentu saja putra altar lelaki. Para putri
altar yang sering diplesetkan oleh ke­lomp­ ok Pem­ u­da
Paroki dengan sebutan Miss Binar, bahkan men­ yeb­ ut­n­ ya
kurang ajar: Pak Duglik, singkatan dari Bedug Kat­ol­ik.
Pak Napoleon Duglik seorang super aktivis yang dapat
memb­ ua­ t pastor-pastor paroki lain iri hati. Tanpa “pohon
kel­ap­ a” paroki ini banyak perkara kalang-kabut. Bakat-
bakatnya meng­or­gani­­sas­ i sesuatu luar biasa. Maklumlah,
dia putra angk­ at man­tan ser­san Hin­dia Belanda kemudian
kapten TNI.

Pohon lain ialah sawo. Sawo manila. Batangnya besar,
ca­bang-ran­ting ded­ aunan sangat rimbun dan rindang.
Buah-bua­ hn­ ya sub­ ur dan manis. Ini Keluarga Ignasius
Yudonagoro den­ gan kep­ a­la keluarga sang Ignasius itu.
Ia kolonel pensiunan yang mel­an­jutk­ an perang gerilya

34

pohon-pohon di pekarangan paroki

melawan Belanda dulu dengan pe­rang jenis lain tetapi
tidak kalah dahsyat dari perang frontal gay­ a Jend­ er­al
Yamshita ketika di Perang Pasifik menggempur Singa­
pura dan Hindia Belanda. Perang besar penuh persaingan
yang dik­ o­mand­ o Pak Ignasius sekarang ialah bisnis sapi
dan ba­bi semb­ el­ih­an. Setiap hari paling tidak dua truk
sapi dan setiap minggu pas­ti ada 5 truk babi disuruh
berdarmabakti ke Ibukota untuk ber­korb­ an dir­i mengabdi
sekian restoran elit dan warung bakmi da­lam metropol
Niniwe Nusantara itu. Dan tentu saja juga demi teb­ al­nya
dompet dan konto bank dari sang mahaputra mantan
ger­il­ya­wan Ignasius. Kolonel purnawirawan Yudonagoro
ini pern­ ah se­ko­lah di MULO (SMP) zaman Belanda
asuhan para brud­ er Don Bosko. Masa perang-perang
kemerdekaan ia isi den­ gan memasang trekbom (ranjau)
dan menembaki iring-iringa­ n truk Belanda. Konon ia
punya kebiasaan menyanyi Indo­nesia Raya bila mandi di
pancuran gunung-gunung basis ope­ra­sio­ ­nal­nya. Per­nah
sambil mandi itu dengan serius ia berikrar dan ber­sump­ ah:
Jika Republik Indonesia menang, maka langsung ia akan
meminta kepada Romo Pusposusanto, gurunya di MULO
dulu, untuk dipermandikan. Ceritanya, sahabatnya, yang
mandi bers­ a­ma dia, seorang mayor Katolik, lalu bertanya,
“Bagaimana bi­la RI kalah?”

Jawabnya sambil menyabun diri, “Tidak mungkin.”
“Lho, jika tidak mungkin, mengapa harus berikrar

35

pohon-pohon sesawi

segala? Kan gam­pang saja: menang, lalu minta baptis.”
“Iya, itu bisa juga, tetapi tidak dramatis. Ini kan

perang yang pen­ uh drama dan tragedi. Komedi juga, jujur
kuakui. Jadi sem­ ua ha­rus menyesuaikan keadaan yang
dramatis ini, kan?”

“Bagaimana jika Romo Puspo gurumu menolak
memb­ ap­tism­ u karena misalnya kau belum hafal doa
penyesalan dos­ a-dos­ a?” Jaw­ ab­nya lagi, “Tidak mung­kin.
Kalau aku ditolak, Romo Puspo akan kutembak mati.”

“Heh! Gila kau! Apa-apaan ini. Persiapan Perman­
dian ma­cam apa ini?”

“Ya, jangan harfiah begitu. Menembak kan tidak
harus dengan peluru. Dengan schietgebeden kan bisa juga.”
Schietgebeden ialah nama Belanda (schieten = menembak): ke
arah surga. Doa-doa temb­ aka­ n itu dianjurkan oleh pastor
zaman dulu untuk diu­ cap­kan serba kerap dalam keadaan
darurat atau di mana pun.

“Tidak, tidak mungkin Romo Puspo menolakku. Dia
akan ber­dos­ a be­sar. Sebab aku dapat menjadi bajingan
tengik yang en­tah akan menembak dan merampok
dengan peluru sungguh. Itu bisa kujamin.”

Ini yang menceritakan Romo Puspo sendiri kepada
kami. Wakt­u kami masih mahasiswa di Seminari Tingg­ i.

“Mayor Yudonagoro adalah murid saya yang paling
lemah lemb­ ut, dan selalu taat kepada segala permin­
taan atau instruksi saya.” Begitu kata beliau. “Dia

36

pohon-pohon di pekarangan paroki

rajin menghafalkan segala doa wa­jib yang diminta oleh
Gereja. Begitu penurut dia, sampai saya du­lu berk­ ata
agak keras: ‘Yudo, sekali saat kamu harus mbalelo. Mosok
seorang mayor pemimpin gerilya kok seperti novis ca­lon
biarawan Fransiskan saja. Penurut lemah lembut. Yang
sed­ ik­ it bergaya opsir, Bung. Kita memerl­ukan perwira-
perwira Krist­us yang kadang-kadang berani berkata:
Tidak! Emoh!’ Te­tap­ i apa jawabannya? ‘Romo Pus, saya
menghadap Romo bu­kan seb­ a­gai mayor gerilyawan,
tetapi sebagai domba.’ Nah, sa­ya katak­ an: ‘Yudo, domba
sekali pun kan bisa menyeruduk me­nun­jukk­ an kek­ ua­ ta­ n­
nya, membentur­kan kepalanya kepada lawan.’ ‘Ya Romo,’
bela dirinya lagi. ‘Pertama, Romo bukan lawan. Kedua­
nya, domb­ a itu bukan bandot. Nah, dalam soal mantan
pacar yang se­ka­rang jadi istri saya, memang saya bandot.
Pokokn­ ya yang men­dekati pacar saya, dia saya seruduk
dengan segala tan­duk yang sa­ya punyai. Maka maafkan
Romo, di hadapan Romo say­ a hanya domba biasa saja’.”

Kolonel Yudo dibaptis dengan nama Ignasius. Santo
Ig­nas­ i­us dulu seorang perwira purnawirawan juga. Kolonel
pur­naw­ ir­a­wan Yudonagoro selalu siap ikhlas membantu
paroki. Tetapi tern­ yat­a ia bukan domba dalam segala hal.
Segala-galanya ia la­kuk­ an menurut hati nuraninya. Tetapi
hati nurani bandot juga bi­la dianggapnya perlu atau pas.
Sungguh bandot bolot alot yang suka kolot ngotot.

Tetapi sebelumnya, sebaiknya kita memperhatikan

37

pohon-pohon sesawi

pohon lai­n da­lam kebun petani kita, jelasnya pohon
sukun itu yang bu­ah-buahnya gurih lezat bila digoreng,
khususnya bagian da­lam­nya jika digoreng agak keras
seperti kripik. Pohon yang di­mak­sud ialah Pak Pranoto,
seorang Wakil Kepala Kanwil Dep­ ar­tem­ en Keu­ ­anga­ n,
atau lebih tepat: seorang perwira menengah da­ri Kep­ o­l­i­
si­an yang oleh Pusat diperbantukan sebagai pejabat sip­ il.

Nah, orang tahu, bahwa dulu, mungkin sekarang
tidak lag­ i, orang-orang kalangan Polisi tidak pernah suka
pada orang-orang Ang­kat­an Darat. Pernah pos polisi di
paroki kami diajak berk­ el­ah­ i serius oleh satu jip kebak
Baret Merah karena entahlah, ko­non men­ ur­ ut cerita Pak
Koster kami karena seorang Baret Mer­ah yang sed­ ang
berpakaian sipil disemprit oleh Pak Polisi, di­dend­ a, tetapi
dengan quality service all in: dimaki-maki dengan ket­er­ang­
an yang jelas tidak berbahasa Jawa tinggi halus atau ba­
ha­sa Injil. Nah, ramailah atraksi yang penuh ketegangan
itu unt­uk penduduk kampung di sekitarnya yang asyik
kendati ber­de­bar-debar melihat adu kekuatan aneh itu.
“Seandainya Baret Mer­ah tadi tidak pakai pici hitam,”
begitu kilah Pak Koster, “tet­a­pi pak­ ai baret merah,
sungguh, pasti pertunjukan gawat itu tid­ ak terjadi.”

Nah, contoh kebetulan atau karena sudah logis akan
ter­jad­ i dal­am masa perang dingin waktu itu, hubungan
antara ko­lon­ el purnawirawan Yudo dan Wakakanwil
Depkeu Letkol Pra­no­to, Do­min­ ik­ us Prano­to. Dua tokoh

38


Click to View FlipBook Version