novel
Y.B. Mangunwijaya
Y.B. Mangunwijaya
Pohon-pohon Sesawi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak
sud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara mas ing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pid ana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dim aks ud pad a ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling ban yak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pohon-pohon Sesawi
Novel
Y.B. Mangunwijaya
Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Pohon-pohon Sesawi
Y.B. Mangunwijaya
© KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
KPG: 901 12 0557
Cetakan Pertama, Desember 1999
Cetakan Kelima, Juni 2012
Penyunting
Joko Pinurbo
Th. Kushardini
Perancang Sampul
Boy Bayu Anggara
Penataletak
B. Esti W.U.
MANGUNWIJAYA, Y.B.
Pohon-pohon Sesawi
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012
x + 123 hlm.; 13,5 x 20 cm
ISBN-13: 978-979-91-0463-2
Dicetak oleh Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Daftar Isi vii
Pengantar 1
21
Ulat Kecil di Daun-daun Jarak 32
Si Kecil Ditingg a l d i R u m a h Tu h a n 42
Pohon-pohon di Pekarangan Paroki 62
Durian dan Pisang 72
Tukang-tukang Kebun Anggur 94
Salib Ringan dari Gabus 104
Gejala Pencolokan Suci
Kandang Betlehem 118
122
Tentang P enulis
Tentang P enyunting
Pengantar
KARYA yang kini hadir di hadapan pembaca
semula adalah nask ah yang tercerai-berai. Kami
mendapatkannya di antara sekian banyak berkas tulisan
yang ditinggalkan oleh almarhum Romo Mangun.
Memang, sebelum meninggal, Romo Mangun pern ah
bercerita bahwa ia sedang mengerjakan sebuah novel.
Kami tidak tahu apakah novel ini yang dimaksudkannya.
Kami menyebutnya tercerai-berai karena memang
begitulah keadaa nnya. Naskah yang ditinggalkan oleh
Romo bukanlah naskah yang utuh, terketik rapi, dan
mudah dibaca. Semuanya masih berupa berkas-berkas
ketikan manual yang terpisah-pisah, di sana-sini penuh
coretan tulisan tangan, sebagian bahkan tidak mudah
pohon-pohon sesawi
dibaca. Karena itu, mengetik ulang dan men yunting
naskah ini bukanlah pekerjaan gampang dan ringan. Pada
banyak bagian kami bahkan dibikin pusing dan dengan
sangat hati-hati mencoba merangkai-rangkaikan sekian
banyak “coretan”. Kerja seperti ini, apa boleh buat, tidak
dapat terhindar sama sekali dari “interpretasi”. Namun
kami telah berusaha sekeras mungkin untuk setia pada
aslinya.
Dari berkas-berkas yang ada tidak kami temukan
secuil pun keterangan tentang kapan novel ini ditulis.
Dari salah seorang pembantu dekat Romo Mangun
kami hanya memperoleh keterangan lisan bahwa novel
ini diperkirakan mulai ditulis pada awal 1990-an dan
pada 1998 ia masih mengerjakannya. Sampai selesainya
pengetikan ulang naskah ini, kami tidak tahu pasti apakah
novel ini sudah selesai atau belum.
Sebenarnya Romo Mangun sempat meninggalkan
pesan agar naskahnya ini suatu saat “dititipkan” pada
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Pesan ini seperti
menyiratkan kemungkinan bahwa ia memang tidak sempat
menuntaskan karyanya ini; paling tidak mengetiknya
ulang secara utuh dan rapi.
Membaca novel ini, mungkin mengingatkan kita pada
novel Romo Mangun terdahulu: Romo Rahadi. Dalam
kenangan terh adap Romo Rahadi itulah, kami menangkap
kesan bahwa lewat kary anya ini Romo Mangun ingin
viii
pengantar
merefleksikan perjalanan hid upn ya sebagai seorang imam
dengan berbagai romantikanya, term asuk konflik-konflik
batinnya. Kami teringat, satu tahun menjelang akhir
hidupnya ia sering bercerita tentang keluarganya, masa
kecilnya, dan kisah-kisah hidupnya. Di tengah keasyikan
bercerita, ia kadang tidak dapat menyembunyikan perasaan
ngelan gut, gelisah, dan kesepiannya. Sesekali terbersit
pula perasaan cap ek, lelah, meskipun ia berusaha keras
menutupinya. Namun ia mem ang sosok yang perkasa,
secara fisik maupun rohani. Secara fisik, pada usia
senja, dengan jantung yang sudah dibantu alat pacu, ia
masih kuat mengangkat meja, memindahkan almari, dan
bekerja berjam-jam di depan komputer. Secara rohani,
sem an gat dan keyakinananya tak pernah surut: ia tetap
“keras hati”.
Saat mengenang masa-masa yang telah lewat, sering
ia menyebut-nyebut sejumlah nama yang tampaknya
sangat menges ank ann ya. Misalnya, tentang Om Bardi
(pamannya), tentang Kang Marsin (pembantunya
waktu masih kecil). Juga tentang tiga perempuan yang
dikaguminya dan disebutnya sebagai perempuan-
perempuan perkasa: Ibu Sumadi (ibundanya), nenekn ya
(ibunda dari Ibu Sumadi), dan bibi dari Bapak Sumadi,
ayaha ndan ya (yang dikatakannya seperti Nyai Ontosoroh
dalam roman Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia).
Tidak mengherankan jika dalam novel ini muncul tokoh-
ix
pohon-pohon sesawi
tokoh yang memang diangkat dari pribadi-pribadi yang
dekat dengan hidupnya, yang telah menjadi sumber
inspirasi, spirit, bagi karya dan perjalanan panjangnya
sebagai seorang imam. Karena itu, karyanya ini agaknya
dip ers embahkan pertama-tama kepada keluarganya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Frans
M. Parera dan Ondos Koekerits dari Bank Naskah
Gramedia serta Cand ra Gautama dari Kepustakaan
Populer Gramedia yang telah mengupayakan penerbitan
novel ini. Terima kasih pula kepada rek an-rekan yang
pernah, masih atau sedang ikut terlibat dalam karya yang
dirintis Romo Mangun, khususnya di Yayasan Dinamika
Edukasi Dasar. Ibarat novel, Romo Mangun adalah novel
panjang yang tak habis-habis dibaca.
Yogayakarta, Desember 1999
Penyunting
x
Ulat Kecil
di Daun-daun Jarak
Sebetulnya namaku bukan Yunus, melainkan
(bagus sek ali): Rahadi. Artinya: Darah Indah atau
Keturunan Indah. Tetapi waktu bayi aku sakit-sakitan
terus-menerus. Maka Kakek dan Nenek menasehatkan
agar orang-tuaku mencari nama lain. “Rahad i nama
terlalu berat untuk anak petani,” kata mereka. “Allah
tidak suka orang kecil sombong. Orang besar bolehlah
sombong, karena ada dasarnya. Tetapi kalian?” Waktu
itu orang-tuaku belum Katolik. Tetapi seandainya sudah
Katolik pun, mereka pasti ikut mengakui kebijakan
nasehat Kakek dan Nen ek. Maka upacara diadakan:
si Bayi diletakkan dalam lubang samp ah di kebun.
pohon-pohon sesawi
Mengelabuhi roh-roh jahat seolah-olah si Rahad i sudah
mati dan dibuang. Terdengarlah mantra-mantra:
Adigang Adigung Adiguna
Adiguna Adigung Adigang
Adigang Adiguna Adigung
Metua Minggata Matia
(Haiii...Hai...Hai...)
Saka Bayi wadon bayi lanang Bocah lanang
bocah wadon
Metua minggata matia (Haiii...Hai...Hai...)
Matia minggata metua e’ Adigang
Adigung Adiguna
(Haiii...Hai...Hai...)
Ben aja kaya kebo kuate
Ben aja kaya cebong sirahe
Ben aja kaya merak umuke’ Haiii...Hai...Haiii...
e’ bayi bocah bocah bayi bocah
lanang wadon wadon lanang
gantia balungmu
gantia sirahmu
gantia atimu
gantia jenengmu
2
ulat kecil di daun-daun jarak
gantia niatmu Haiii...Hai...Hai...
Aja dadi dewa apa dewi
Aja dadi buta apa cebol
Aja dadi gajah apa semut
Dadia klapa dadya pari
Dadia bocah dadya simbah
Dadia jaka dadya prawan
Dadia manten dadya resi
Sing prasojo prasojo
Sing so pra jo sojopra
Sing jo so pra jopraso
Sing becik cik cik cik Haiii...
Sing saleh leh leh leh
Sing lumrah rah rah rah
Hai...Hai...
prasojo prasojo, soprajo sojopra, jo so pra jopraso
Sang Nabi ngayomi
Hyang Widhi mberkahi
Bapa biyung mangestoni
Haiii...Hai...Hai....
Mula gantia balungmu
3
pohon-pohon sesawi
gantia sirahmu Haiii....Hai...Hai...
gantia atimu
gantia jenengmu
Kemudian aku diangkat dan dengan upacara Jenang
Merah aku diberi nama pemberian Kakek: Yunus.
Mengapa Yunus? Entahlah. Kata ibuku, itu nama dari
seorang paman-tua dari Kak ek nun di zaman moyang
yang dapat hidup 13 windu, jadi 104 tahun. “Agar kamu
tetap sehat walafiat.” Aku dulu tak pernah bahagia
dengan nama Yunus itu, karena terdengar seperti nama
Islam. Maklumlah kami orang-orang baptisan baru. Jadi
agak fanatik. Belum tahu bahwa nama-nama Arab itu
ses audara dengan nama-nama bangsa penurun Yesus,
Maria, dan Yusuf.
Mas Kamin, abang sulungku, dulu disekolahkan di
Muntilan, di Sekolah Misi, begitu namanya. Itu di ta
hun-tahun 20-an, pas sesudah Perang Dunia I. Di sana
ia tertarik pada ajaran Gusti Yesus Sang Pamarta, lalu
dibaptis. Kami adik-adiknya yang bersekolah di Sekolah-
sekolah Misi semua mengikuti Abang Sulung. Akhirnya
orang-tua kami ikut menjadi Katolik juga. Alasan mereka,
kalau semua anak memilih Katolik bagaimana nanti kalau
mati? Maka agar kelak dapat berkumpul kemb ali di surga
Katolik, sebaiknya orang-tua mengalah saja. Darip ada
4
ulat kecil di daun-daun jarak
sendirian di surga agama lain (dan mungkin Tuhan yang
lain), pikir mereka dulu. Alasan sok teologis kaum awam
sed erh ana itu diterima oleh Pastor, entah Romo van Lith
atau Rom o Mertens, Romo Spekle atau Romo Dieben,
entah saya selalu bingung membedakannya. Mungkin di
zaman komputer sek arang tidak lagi ada alasan begitu.
Maka sudah lazim zaman dulu, tentu saja keluarga kami
seperti keluarga-keluarga Katolik lain, dapat disebut
fanatik Katolik.
Sebenarnya aku tidak senang dengan nama Yunus
itu. Untung Mas Kamin Sang Perintis yang jelas fanatik
500 persen, mem ilihk an nama baptis Yohanes untukku,
Yohanes Pembaptis. Buk an Yohanes Salib atau Yohanes
Boromeus yang pandai dan cerdas. Priagung halus, begitu
ejekan dan ledekan si Abang Sulungk u, tetapi Yohanes
yang sukanya makan belalang dan madu gurun kersang;
apalagi berpakaian kulit binatang, jelas kulit keledai.
Cocok dengan dirimu, olok-oloknya. Tetapi nama Yoha
nes kuanggap bagus dan bergengsi. Bukankah Yohanes-
Baju-Keledai itulah yang membaptis Gusti Yesus? Dan
nabi yang paling dipuji oleh Gusti Yesus, juga sebagai
nabi terbesar? Begitu aku membela diri. Dan lagi, ada
suatu alasan lagi aku bangga. Alasan kolonial memang,
tetapi toh alasan yang sah. Nam ak u Yohanes. Jadi bisa
saja saya minta dipanggil dengan nama bergaya Belanda:
Yohan atau Hans. Tetapi sudah terlanjur aku disebut
5
pohon-pohon sesawi
Yunus atau Yun saja. Atau Nus, kalau abang-abang
sedang suka mencemooh atau meledek aku. Di Seminari
baru aku tahu bahwa Yunus dan Yohanes itu sama.
Seperti Batavia dan Betawi, Malborough dan Malioboro.
Atau lebih saleh: Miry am dan Maria, Isa dan Yesus. Aku
semakin bahagia dengan nama kecilku Yunus.
Yunus bagiku adalah nabi yang paling sinting tetapi
paling simp atik. Yunus dipanggil Tuhan dan diberi tugas,
“Bangunlah Yunus bin Amitai. Pergilah ke metropol
Niniwe. Berserulah kep ad a penduduk yang jahatnya sudah
begitu tinggi sampai di kak iKu agar mereka bertobat.”
Tetapi Yunus bahkan melarikan diri ke Tarsis sampai
Pelabuhan Yafo. Ia naik kapal, maunya lari menjauhi
Tuhan. Sinting bukan? Tetapi sebetulnya dia itu cerdas,
punya logika. Batas antara cerdas dan sinting sebetulnya
tip is sekali. Einstein misalnya, yang wajahnya seperti
badut itu. Tanpa dalil-dalil yang ditemukan Einstein
yang melawan ilmu fisika yang sah waktu itu, orang
tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan sampai
dapat mendarat di bulan dan lebih jauh lagi meluncurkan
pesawat-pesawat canggih ke planet-planet lain.
Tanpa orang sinting dunia kita tidak dapat maju.
Seperti gado-gado pecel tanpa cabe. Atau sambal goreng
tanpa petai. Cuma Yunus ini lebih sinting daripada cerdas.
Mosok lari dari Tuhan. Mana bisa. Tuhan tersenyum saja.
Siapa menabur angin men uai badai. DikirimNya angin
6
ulat kecil di daun-daun jarak
ribut ke laut yang menjadi taufan badai besar beringas.
Sehingga kapal yang ditumpangi Yunus terpukul-pukul
nyaris hancur dan tenggelam. Awak kapal serba ketakutan
tentu saja, lalu berteriak-teriak minta tolong kepada
dewa-dewi masing-masing. Tetapi apa yang dikerjak an
Yunus? Memang dasar saraf sinting. Bayangkan dia ma
lah turun ke ruang-dalam kapal paling bawah, berbaring
lalu tidur nyenyak. Para awak kapal mencarinya, sebab
mereka memb utuhk an bala bantuan pendoa. Cari sini
cari sana akhirnya nakhoda menemukan si pembolos
sedang enak-enak tidur. Dapat dimen gerti betapa marah
dan naik pitam mereka.
“Orang gila! Kita dihempas badai begini, kamu
malah mend engkur seperti babi mabuk kangkung. Tahu
kau, banyak barang berh arga terpaksa kami buang ke laut
agar kapal tidak terlalu berat dan tenggelam. Rugi besar!
Semua awak kapal dan penump ang berteriak kepada
dewa-dewi masing-masing, kamu cum a enak-enak mimpi
bidadari. Ayo! Kamu pun ya Tuhan apa dew a apa entahlah
yang kausembah tidak? Bergotong-royonglah sep erti
Pancas ialis sejati! Ayo naik, minta dari Tuhanmu agar kita
selamat. Goblok!”
Yunus lalu diseret ke atas dan dipaksa untuk berdoa.
Tetapi doan ya tentu saja hanya serba ABS lagi munafik.
Badai tidak reda. Ada yang mengajukan usulan, agar dicari
saja siapa yang salah, mengapa badai datang. Mungkin
7
pohon-pohon sesawi
ada dewa atau Tuhan lain yang marah. Entah mana yang
marah. “Ayo diundi.” Semua setuju. Lalu diundi. Undi
mengena Yunus.
“Nah, ketahuan. Sekarang kami tahu: kamu yang
jahanam!” seru mereka marah. “Lihat, ini bukti, undi
jatuh padamu. Kamu siapa, hei? Dari mana kau datang?
Mana negeri asalmu, hah? Bangsa mana kamu? Paspor
palsu kah?”
Terpaksalah Yunus mengaku, “Aku orang Ibrani.”
“Mengapa Tuhanmu marah? Ayo mengaku!”
Dengan pandangan ke bawah Yunus berkata, ”Ya,
memang aku yang salah. Sebetulnya saya ini diberi tugas
oleh Tuhan. Tetapi saya ogah mengerjakannya. Karena
saya yakin, isi tugas itu keliru. Saya lari.”
“Gila kamu ini. Yang keliru kamu. Siapa sih Tuhanmu
itu?”
“Tuhanku ialah Tuhan yang menciptakan segala-
galanya. Langit, daratan, dan lautan dibuat olehNya.”
“Oooh, pantas saja ada badai. Kalau begitu, kami
juga harus menyembah Tuhanmu. Habis, Pencipta bumi,
langit, dan laut. Kenapa kamu tidak tadi-tadi bilang, heh?
Kenapa kamu lari hah? Kami sungguh menyesal kamu
kami perbolehkan ikut di dalam kapal kami. Apa yang
sekarang harus kami lakukan? Tu tuuu, laut mengamuk
lebih marah lagi. Mati kita! Sungguh kamu menc elakakan
kami. Pusing stres berat kami ini. Apa yang harus kita
8
ulat kecil di daun-daun jarak
kerjakan sekarang. Sungguh pusing kami.”
Yunus kasihan juga pada awak kapal. Walaupun
pengecut tetapi Yunus berhati baik dan bertanggung
jawab, inilah positipnya. Dia yang salah, dia yang harus
menanggung.
“Baiklah kawan-kawan. Saya konsekuen. Ini semua
salah saya. Karena sayalah, kalian digempur badai.
Angkatlah saya dan campakkan saya ke dalam laut. Maka
pasti laut mereda.”
“Berani kamu? Nanti tenggelam. Tidak! Sekejam itu
kami tidak mau.”
“Sudah, begini,” kata nakhoda, “kita berusaha
mendayung mendekati pantai. Agar kamu dapat
mendaratlah.”
Maka para awak kapal dan penumpang yang penuh
perik em anusiaan itu berusaha mati-matian menday ung
mendekati pantai. Tetapi sia-sia saja. Gelombang-gelom
bang justru sem akin besar. Maka berdoalah semua,
“Ya Tuhan, janganlah kiranya Engk au membiarkan
kami binasa hanya karena nyawa satu orang keparat
ini. Janganlah kami harus menanggung sengsara hanya
karena babi ini membolos. Kami tidak bersalah. Ya Tuhan
pembuat bumi dan langit, daratan dan lautan, terjadilah
yang Kau kehendaki. Tetapi jangan Kau biarkan kami
tenggelam tanpa dosa!”
Yunus terharu dan minta lagi agar dicampakkan
9
pohon-pohon sesawi
sajalah dia ke dalam laut. Ini metode yang paling efektif
dan efisien. Daripada semua dikubur dalam laut. Nah,
inilah keksatriaan Yunus. Dia fair-play. Dan bertanggung
jawab. Dengan berat hati para awak kapal menga ngkatnya
sambil minta maaf, dan ia dilempar ke laut. Langsung laut
berhenti mengamuk. Takut dan hormat semua mengakui
dan memuliakan Tuhan pujaan Yunus, Tuhan Pen gu
asa Semesta Alam. Tuhan tersenyum: “Anak nakal!”
Tetap i kebaikan hatiNya mengirim seekor ikan besar,
boleh jadi semacam ikan paus atau bandeng raksasa,
yang mendapat tugas menelan Yunus. Yunus tinggal di
dalam perut ikan yang berbau bangkai amis itu tiga hari
tiga malam lamanya. Di situlah ia berdoa. Kali ini tidak
dengan doa mbalelo, tetapi dengan tulus hati. “Dalam
kesusahanku aku berteriak kepada Tuhan dan Ia men
jawab aku. Ya Tuhan Semesta Raya, telah Kau lemparkan
aku ke tempat yang dalam, ke pusar lautan, segala gelora
dan gelomb angM u melingkupi aku. Sungguh aku merasa
loyo. Tetapi justru pada saat paling gelap inilah Engkau
mengangkat nyawaku dari keadaa n hancur luluh, dari
kegelapan liang kubur, ya Tuhan Allahku. Ketika jiwaku
letih lesu, teringatlah aku kepada Tuhan, dan sampailah
doaku kepadaMu, ke dalam BaitMu yang Kudus. Kes e
lamatan hanya dari Tuhan.”
Bagus bukan doanya? Lalu berfirmanlah Tuhan
kepada ikan itu, dan dengan taat ikan memuntahkan Yunus
10
ulat kecil di daun-daun jarak
ke daratan. Setelah selamat dan segar kembali, Yunus
sekali lagi mendapatkan perintah untuk menobatkan
metropol Niniwe, dengan para koruptorn ya dan para
penguasa, cukong, konglomerat penuh kolus i, semua
majikan yang jahat memeras rakyat dan kaum buruh,
para preman, gali-gali dan pelajar-pelajar yang suka saling
berkelahi keroyokan seperti gerombolan badak mabuk,
para oom senang dan tante girang, tetapi juga semua saja
yang sok saleh ke gereja tetapi di rumah mengabaikan
anak-anak dengan dalih cari uang, atau kejam kepada
istri apalagi para pembantu rumah tangga. Sebetulnya
Yunus juga malas untuk menobatkan orang-orang kaya,
kuasa, manja, dan serba porno itu; apalagi para panglima
dan komandan yang sewenang-wenang main kekerasan,
polisi yang menyiksa menganiaya para terd akwa, dan
orang-orang serakah harta dan kuasa macam itu. Cuma
membuang-buang waktu dan energi saja, pikirn ya. Tetap i
Yunus telah belajar apa akibatnya bila lari dari tugas. Maka
berkhotbahlah ia kepada maharaja dan para pangeran-tu
menggung, bos-bos dan manajer-manajer serta panglima
dan kom and an, para koruptor dan pemeras, juga kepada
para pelajar yang suka berkelahi dalam kota besar yang
angkuh dan serakah itu. Dalam hati Yunus mengharap
agar mereka tid ak bertobat. Ya, tidak bertobat! Biar
begitu. Mengapa? Agar Tuh an memb in asak an onggokan
pendosa itu. Tetapi apa yang terjadi? Gila, orang-orang
11
pohon-pohon sesawi
dosa itu justru bertobat, mengakui dosa-dosa mereka dan
berb aliklah mereka ke arah pemahaman, pengh ayata n
dan pengamala n Pancasila. Maka redalah murka Tuhan,
dan Niniwe tidak jadi dimusnahkan oleh Tuhan.
Melihat itu, Yunus nabi sinting itu, justru malah
menyesal dan jengkel. Ia menyesal mengapa kok orang-
orang metropol itu bertobat dan menjadi baik. Maunya
dibakar sajalah onggokan samp ah dosa itu. Seperti
Sodoma dan Gomora. Dan berdoalah Yunus sok bijak
itu dengan nada menuduh, “Ya Tuhan, bukankah saya
sudah mengira dari dulu, semua ini keliru? Mestinya me
reka dib akar saja. Saya dulu sudah tahu Engkau adalah
Tuhan Maha Pengampun. Kalau saya sudah mengira
dari dulu semua ini keliru, mestinya mereka dibakar
saja. Saya dulu sudah tahu Engkau adalah Tuhan Maha
Pengampun. Kalau saya mengikuti Engkau, maka Niniwe
akan bertobat, lalu Engkau berb elas kasihan, lalu ya lalu...
wah sayang. Seharusnya mereka dibinas ak an. Mereka
bertobat cuma pura-pura saja agar selamat. Merek a ini
orang bisnis dan penipu ulung lagi canggih. Maka itu saya
dulu kan lari menghindari tugas yang menurut saya perc u
ma saja. Orang jahat itu berkembang-biak seperti bekicot
atau rumput seromp ot. Semakin dipotong semakin
subur. Maka maaf ya Tuhan Yang Maha Baik. Susahnya
Engkau terlalu baik, terlalu Pengasih dan Penyayang
untuk orang-orang macam mereka. Engkau panjang,
12
ulat kecil di daun-daun jarak
sabar, dan berlimpah kasih. Mereka jadi semakin manja.
Engkau selalu menyesal apabila harus menghukum orang
jahat dengan malapetaka. Lalu diampuni. Ini mengurangi
disiplin, lalu ya dunia kami ini semakin penuh dengan
orang manja tidak karuan. Maka sekarang begini sajalah
ya Tuhan. Kalau begini terus, cabutlah saja nyawa saya.
Leb ih baik mati daripada hidup di dalam world order yang
serakah munafik liberalistis kapitalistis seperti ini.” Tetapi
Tuhan berfirman, “Apakah marah begitu itu layak? Mana
mungkin seorang abdiKu Kucabut nyawanya? Kamu ini
abdi yang bandel dan sok tah u. Dan terus terang saja sok
saleh. Memang Aku Tuhan yang Maha Penyayang dan
Maha Pengasih, mau apa? Kau pilih mana, Tuh an yang
Maha Pengasih atau Tuhan Yang Maha Kejam dan Maha
Pembalas Dend am? Hayo jawab!”
Yunus menarik nafas panjang dan gusar memandang
cakraw ala. “Ah ya sudah. Berbantahan dengan Engkau
ya Tuhan percuma saja. Tentu saja saya niscaya kalah.
Sudahlah, permisi. Tetapi ingat, saya tidak setuju dengan
politik rekonsiliasi yang hanya favourable untuk orang
buruk, dan karena itu sangat men yud utk an orang-orang
yang saleh dan taat kepadaMu.” Tuhan hanya geleng-
geleng kepala, dan tersenyum kecil melihat abdiNya yang
keras kepala itu. Maksudnya baik, tetapi caranya kelir u.
Maka Yunus keluar meninggalkan metropol Niniwe
dan tinggal di gurun di sebelah timur kota. Di situ ia
13
pohon-pohon sesawi
mendirikan seb uah gubuk dan di dalam bayangan atapnya
ia memandang Kota Niniwe. Akan jadi apa metropol
keparat semacam itu. Pura-pura bertobat, maunya meni
pu Tuhan. Sebentar lagi merek a bertobat lagi, tetapi ke
arah negatip. Nah, tunggu saja, nanti Tuhan pasti marah,
dan mengijinkan pendapat abdiNya Yun us yang logis dan
sosiologis empiris dapat ia buktikan kebenarannya. Akan
terbakarlah kota urban pengisap daerah-daerah rural para
petani itu. Biar ludes! Biar mampus!
Gubuk Yunus dibuat dari daun-daun tebu dan
rendah sekali atapnya. Panaslah semua untuk Yunus yang
bercucuran keringatn ya. Semakin panas semakin kesal
dia. Sedih jadi nabi, pikirn ya. Terpanggil ya terpanggil,
kata ibunya dulu ketika Yunus mengeluh kepad a ibunya
tentang tugas berat yang harus dilaksan akan tetapi malas
ia laksanakan. Mengapa harus dia. Seandainya ibunya
tidak memperteguh imannya, dia pasti tid ak berangkat.
Tetapi di tengah jalan ia toh menyesal, lalu men yimp ang
jalan, lari ke Tarsis dulu itu.
Di luar gubuk Yunus tertidur karena lelah, kesal, dan
panas. Maka mendengkurlah Yunus seperti dulu di dasar
kamar bawah perahu dalam badai. Tuhan tersen yum dan
geleng-geleng kep ala melihat nabiNya jengkel. Tetapi
Tuhan iba hati terhadap nabiNya yang memang sinting
tetapi jujur tidak munafik itu. Sok tahu meski bermaksud
baik. Selama Yunus tidur, Tuhan men umb uhkan pohon
14
ulat kecil di daun-daun jarak
jarak dengan cepat, sambil melampaui dan memayungi
Yunus. Biar abdiNya sejuk, hatinya yang kesal pulih sabar
kembali, lepas dari kejengkelannya.
Ketika bangun, Yunus bergembira sekali ada pohon
yang rindang menaunginya. Bagus. Dia akan bertahan di
gubuknya, samp ai Niniwe keparat kembali ke dosa-dosa
mereka yang lama yang sudah menjadi kebiasaan mereka.
Sesudah itu pasti merek a akan dihukum Tuh an, dibakar
seperti Sodoma dan Gomora dulu. Pemand angan yang
pasti elok nanti bila seluruh kota terbakar. Atraksi yang
gratis. Bonus lumayan atas jerih payahnya. Tetapi pada
pagi hari berikutnya datanglah seekor ulat pesur uh Tuhan,
dan semua daun-daun jarak itu dimakan ludes. Masih
ditambah musibah berupa angin panas luar biasa yang
men iup dari pad ang pasir. Sehingga semua terasa panas
sekali. Yun us rebah lesu dan hanya dapat mengharap agar
selekasn ya mati saja. Tuhan tersenyum dan mengejekn ya,
“Layakkah kamu marah-marah dan mengomel ‘lebih baik
mati daripada hidup’? Cuma karena ulat memak an daun-
daun pohon jarak?” Yun us masih nekat menjawab, “Ya,
saya layak marah. Saya layak marah sampai mati.” Tetapi
Tuhan mengejeknya dan tersen yum menegurnya, “Kamu
ini lucu. Kamu tak mengeluarkan satu jari pun untuk
menanam pohon jarak itu, kok marah. Bukan kamu yang
berjerih payah, bukan kamu yang menanam tumbuhan
itu yang menjulur dalam satu malam dan binasa dalam
15
pohon-pohon sesawi
satu malam pula. Kau marah karena metropol Niniwe?
Apa kamu yang memb uat Niniwe, kok marah? Apa
kamu yang melahirkan penduduk Niniwe yang berjumlah
lebih dari 12.000 orang itu? Pend uduk yang sebetulnya
bodoh, tidak tahu membedakan tangan kanan dan tangan
kiri? Apa bagus membunuh kota yang punya ternak
banyak sekali? Mengapa kamu marah? Marah karen a aku
TuhanMu berbaik hati? Yang suka berbelask asih dan
mengampuni? Ayo jawab. Niniwe pun milikKu, karena
hidup mati mereka pun dariKu. Apa yang kauperbuat
di Niniwe? Membuat gubuk pun tidak becus. Di padang
gurun lagi. Pantas kalau panas sekali. Menghadapi ulat
kecil saja kamu kalah. Mas ih marah lagi. Berani marah
cuma kepada ulat. Yunus, Yunus, kam u tukang cembur u,
pembalas dendam yang tidak dewasa. Tuhanmu baik hati.
Mestinya kamu meniruKu, berbaik hati dan Pen yayang
serta Pengamp un. Sana pulang! Dan jangan marah kalau
ada orang dosa bertobat. Jangan cemburu kalau Tuhan
berb aik hati. Juga jangan iri hati kalau ada orang lain
berbuat baik kepada orang lain.” Yunus bersujud, kepala
di tanah, “Baiklah Tuhanku. Saya akan pulang dan akan
berusaha tidak akan marah lagi.”
“Ya baiklah Yunus. Kamu pun harus bertobat. Tidak
hanya Niniwe. Dengar?”
“Daulat ya Tuhanku. Tetapi tadi saya hanya berjanji:
Saya akan berusaha. Berusaha itu belum tentu berhasil.”
16
ulat kecil di daun-daun jarak
Tuhan tertawa terbahak-bahak mendengar nabiNya
yang harus diakuiNya jujur terbuka berterus terang.
Tidak seperti orang-orang Nusantara. “Kamu ini orang
cerdas sebetulnya,” sabda Tuhan dengan mengeleng-
geleng kepala, “cuma sinting pangk at duabelas.”
“Maaf Tuhan, tujuhbelas, Tuhan. Dibagi delapan,
lalu dikalikan lagi dengan seribu sembilan ratus empat
puluh lima.”
Jelaslah sekarang mangapa aku senang bernama
Yunus, beg itu kukatakan kepada rekan-rekan pastor bila
kami sedang berekrea si tukar pengalaman.
Saya masih ingat peristiwa dulu di Seminari Mene
ngah Mertoy udan. Setiap diumumkan nama-nama para
siswa yang tamat kelas VI (Kelas Retorika namanya
dulu, mengacu kepada pendidikan humaniora para filsuf
Yunani) dan yang mau meneruskan pendidikan ke
Seminari Tinggi atau Novisiat Tarekat, kam i berkum
pul di dalam Kapel Besar, dan Romo Rektor send iri
(Romo Presiden namanya dulu) yang mengum umk an
ke mana para tamatan itu ingin meneruskan pendidikan
mereka. Sekaligus diumumk an nama-nama dewas a
atau nama tua para tamatan itu. Yang dulu namanya
Jimin, misalnya, disebut Atmosusanto. Atmo berarti
jiwa, susanto berarti amat suc i. Atau Dwijosub roto;
dwijo artinya pakar, subroto kira-kira berarti amat tekun
berpuasa. Atau Paijo menjadi Hadilaksono. Hadi berarti
17
pohon-pohon sesawi
indah, laksono berarti melaksanakan. Atau juga Rakimin
menjadi Sastrosudarmo. Dapat diartikan: Kitab penuh
sumb angan suci. Semua nama disesuaikan dengan pang
gilan suci atau yang dicita-citakan oleh para siswa yang
bersangkutan. Lazimn ya nama-nama priyayi, ningrat, atau
yang selaras dengan kasta brahmana. Penuh martabat dan
kerohanian mulia. Ketika suatu akhir tahun nama-nama
siswa kakak-kakak kami dium umk an, Romo Presiden
menguc apkan suatu nama yang aneh di luar jalur aspal,
sehingga 200-an murid di Kapel Besar itu tertawa geli.
Yakni nama Kariyod inomo. Baru pertama kali dalam
sejarah Gereja di Jawa nama Kariyo dipakai untuk imam
atau calon imam. Maklumlah, nama Kariyo biasanya di
pak ai hanya oleh para tukang batu, tukang kayu, atau
kuli-kuli kereta api dan sebangsanya. Jelas nama yang
tidak berbau priyay i apalagi kaum brahmana, bahkan
boleh dikatakan, berbau kand ang kerbau. Sama dengan
nama-nama Mangun, Wongso, Noy o dan sebagainya
yang biasanya dipakai oleh rakyat kecil. Maka mele
daklah sekian ratus murid dalam tawa geli yang tak da
pat dikekang. Mosok Kariyo. Jangan-jangan nanti ada
Romo Kromorejo, Pater Kariodongso, Romo Noyo
dimejo, Uskup Begjo Mangundinomo, Kardinal Legim in,
nama-nama jelata yang menertawakan bagi kaum elit
hirarkis. Saya pun ketika itu ikut tertawa terkikik-kikik
karena tersengat seluruh Kapel. Tetapi entah mengapa,
18
ulat kecil di daun-daun jarak
presedens non-priyayi itu akhirnya ikut mengaspirasikan
saya untuk tetap memakai nama Yunus. Tetapi memang
ada alasan lain yang lebih berbicara, yakni sederhana saja:
nama ayahku memang Kariyodinomo, artinya: “Nama
dia kerja.” Terang sekali bau proletariatnya. Sebaliknya,
untuk memilih nama mulia dengan Dwijo atau Hadi,
Harso, Pujo atau Widyo, apalagi Santo, nah jangan-
jangan seperti dulu lagi waktu aku masih bayi, yang diberi
nama Rahadi. Tidak kuat, lalu harus dimas ukk an lubang
sampah lagi. Sudah, cukup Yunus saja. Yohanes Yunus.
“Ya, Yunus adalah nabi yang simpatik,” kataku dalam
salah satu bincang-bincang sharing antarp ara romo. Tetapi
memang nama Yunus ada persoalannya.
“Saya tidak pernah menganjurkan bacaan Kitab
Yunus itu kepada para siswa Seminari,” tegas Romo
Broto yang pernah bertah un-tahun menjadi prefect
(“penutup”) para seminaris. “Berbahaya. Nanti disimp ul
kan, bahwa boleh-boleh saja orang lari dari panggilannya.
Tidak, saya tidak pernah menganjurkan agar murid-murid
saya membaca Kitab Yunus.”
“Tetapi Romo Broto, Nabi Yunus sudah diangkat
oleh Yes us sendiri menjadi lambang kesengsaraan, maut
dan keb angkita nNya sesudah 3 hari dalam perut maut.”
“Ya, yaaa, memang itu ada benarnya, tetapi anak-
anak kita harus tahu disiplin taat kepada perintah tugas.
Sekarang baru kec il-kecilan, kelak sebagai pastor harus
19
pohon-pohon sesawi
menghadapi tugas berat. Bagaimana jadinya kalau mereka
sudah belajar membolos, lari, dan merasa lebih pintar
daripada Tuhan! Bukan, bukan! Kitab Yunus bukan
bacaan rohani yang baik untuk para siswa Seminari. Lebih
baik Kitab Samuel. Samuel yang mendengar panggilan
Tuhan, dan menjawab, ‘Bersabdalah ya Tuhan. AbdiM u
mend en gar Tuhan.’ Menden gar dalam bahasa Al Kitab
artin ya sekaligus mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ya, itu leb ih tepat,” ujar Romo Broto yang terkenal streng
dan disiplin itu. “Jadi nama Karyorejo tepat juga karena
berarti mengaryak an, men gerjakan,” pikirku dengan hati
yang plong blong lega, bekerja dan mengerjakan.
Ibuku juga ingin aku menjadi Samuel. Tetapi hati
kecilku send iri simpati kepada Yunus. Ah, mungkin ini
yang dimaksud dengan para pemikir Jerman: das Sein
und das Sollen (yang ada dan yang harus). Samuel adalah
lambang das Sollen. Yunus yang apa adanya. Tak dapat
kuingkari, terus terang saja aku lebih bersimp ati kepada
si Yunus sinting itu.
***
20
Si K e c i l D i t ingga l
di Rumah Tuhan
September hari ke-8 ulang tahunku ditahbiskan
menjadi imam Gereja Katolik Roma (Puji Tuhan!
Bukan jasaku!). Hari refleks i pribadi khusus yang
layaknya meminta jawaban jujur. “Kejujuran nomor
satu bagi orang yang ingin maju,” kata selalu ayahku
dulu kepada anak-anaknya. “Hahaha, rarara, tetapi me
ngapa Ayah tetap miskin?” tanyaku sering berkelakar
kepada abang-abangku. “Ayah perkecualian,” kata abang-
abangku. “Ayah dulu mungkin telah mengucapkan kaul
kemiskinan,” ujar yang satu lagi. “Ayah orang yang kaya,
tetapi karena anaknya 10 orang, maka ya cuma begini ini
kita,” komentar satu abang lagi. Abang sulungku punya
pohon-pohon sesawi
keterangan yang sok teologis. Dia selalu sok teologis!
“Ayah betul. Beliau jujur. Maka kekayaannya adalah ke
kayaan rohani. Dan ingat, Ayah tidak pernah bilang: kalau
jujur kau akan menjadi kaya, tetapi maju, begitu tepatnya.
Nah, maju dan kaya itu tidak sama.” Keterangan yang
hebat. Tetapi tid ak memberi terang sedikit pun. Baiklah,
yang dimaksud Ayah sangat baik. Aku pun harus jujur.
Tetapi jika aku harus jujur, pada Hari Refleksi ini aku
harus mengakui: aku tidak berbakat menjadi rohan iwan
apalagi pastor paroki.
“Kau ini dari dulu suka berpetualangan,” tuduh
abang sulungku, Kamin namanya, “maka kamu menjadi
pastor, mampus kau!” Abang sulungku ini memang merek
Werkudoro, fig ur wayang yang tidak kenal tenggang rasa
atau omong yang halus sedikit pun kepada adik-adiknya.
Padahal ia guru SMA. Seg ala yang ia pikirkan, bahkan
yang baru ia duga, langsung ia sentolopkan seperti tesis
skripsi. Mungkin dia benar juga. Tetapi Romo Rektor
Seminari-ku pasti tidak sependapat. “Bukan kamu yang
memilihKu, tetapi Akulah yang memilih kamu,” pasti
itulah yang dikutip beliau dari Sabda Yesus dalam Injil
Yohanes, ayat berapa saya lupa. Nah lihat, tidak hafal
ayatnya, bukan? Gemb ala iman yang tidak meyakinkan.
Tetapi boleh jadi Romo Rektor maupun Mas Kamin
sama-sama benar. Atau barangkali analisis abang sulungku,
siapa tahu, adalah terjemahan atau penjabaran Sabda tadi
22
si kecil ditinggal di rumah Tuhan
dari Sang Manusia Putra Nasaret yang kupercayai itu.
Entahlah. Sus ahnya Mas Kam in sering berlagak sok
ahli teologi dengan sok men gutip Alkitab. “Yunus, dari
buahnya kita kenal pohonnya. Kau matem atik a rata-rata
5 nilainya. Padahal salah satu pertanda kecerd asan orang
adalah kemampuannya tentang hah... apa? Matematika.
Alias kau ini sebetuln ya anak goblok, hah. Nah, ini
pewartaan mistikn ya: Maka Tuhan memanggilmu menjadi
pastor untuk men unjukk an kepada umat, bahwa Gereja
dibangun hah hah bukan oleh pastor-pastornya, melainkan
oleh Tuhan sendiri.” Ya sudah, kalau Mas Kamin si
Abang Sulung sudah berpendapat begitu, pakai hah hah
segala, apa yang dapat diperbantahkan oleh seorang adik.
Apalagi keluargaku yang berjumlah 10 anak itu (4 lelak i
dan 6 peremp uan) tergolong keluarga kuno. Semakin tua
sem ak in berhak bicara. Maklumlah, ayah-ibu petan i kecil
saja yang harus susah-payah kurang daripada pas mem
beri kami nasi dan tahu tempe. Begitulah nasibku selaku
anak lelak i term uda, jarang sekali dibelikan baju-celana
baru. Selalu terbungk us pak aian bekas dari abang-abang
yang tiga itu. Aku dulu sering jengk el dan sedih karena
itu, tetapi aku begitu sayang kep ada ibuku yang (aku
tahu) paling mencintai aku, dan yang amat menggen angi
aku dengan tutur kata yang lembut serta kemesraa n yang
lebih, seh ingg a kejengkelanku karena cuma mendapat pa
kaian bekas itu agak terobati.
23
pohon-pohon sesawi
Tetapi kadang-kadang aku mendapat hadiah baju
atau celana bahkan tas segala yang kincling-kincling baru
sama sekali. Namun itu dari Paman Bardi, abang ibuku.
Paman Bardi seorang guru, dan pun ya sawah lumayan.
Jadi ia kaya untuk ukuran orang Jawa zaman Hind ia Be
land a dulu. Caranya membelikan aku barang-barang baru
itu dengan diam-diam. Aku diajak ke pasar. Di pasar aku
ditelanjangi dan baju-celana baru kukenakan kontan di
sana. Pakaian lam a dibungkus. Pulang, tahu-tahu sudah
berpakaian serb a baru. Tetapi pernah aku melihat ibuku
membelai-belai pakaia n baruku itu sambil meneteskan
air mata.
“Ibu kok sedih?” tanyaku heran.
“Tidak. Ibu justru senang.”
“Mengapa menangis?”
“Orang kalau bahagia menangis juga,” katanya
lembut. Aneh, pik irku dulu. Mosok orang bahagia kok
menangis. Baru ses ud ah kelak menjadi lebih besar dan
lebih berpengalaman, aku tahu, bahwa dalam dasar
hatinya Ibuku menangis tidak karen a bahag ia anaknya
dibelikan baju baru oleh Paman, tetap i sedih dan malu,
mengapa ia dan suaminya tidak mampu membelik an ba
rang-barang yang didapat oleh anak-anak yang mampu,
teman-temanku dan para kemenakanku.
Maka jika Paman Bardi mengajakku lagi ke pasar
dan aku pulang den gan pakaian baru, aku langsung
24
si kecil ditinggal di rumah Tuhan
menyimpan pakaian baruk u itu di almari saja. Dan lebih
suka berbaju-celana yang dulu dibelikan oleh orang-tuaku
sendiri. Meski hanya pakaian bekas. Tetap i susahnya, ini
berakibat Paman Bardi marah. “Anak tidak tahu terima
kasih!” gerutunya. Serba salah. Maka aku sungg uh-sung
guh heran, ketika sekian tahun kemudian Paman Bardi
berk ata kepadaku, bahwa aku anak yang ia banggakan.
Karena tah u menjaga kehormatan orang-tua. Dia tidak
lagi mengajak diam-diam ke pasar. Tetapi giliran akulah
yang kecewa, mengapa tid ak lagi diajak ke pasar. Serba
keliru lagi. Menjelang dewasa aku diberi tahu ibuku,
bahwa Paman Bardi sering memberi uang kepada Ibu
untuk keperluan kami, anak-anaknya. Ya, ibuku memang
adik yang disayangi Paman Bardi. Mungkin karena miskin.
Demikianlah, ketika aku ditahbiskan menjadi imam,
padahal Ayah sudah meninggal, maka Paman Bardi-lah
yang menggantikann ya menjadi wali, mendampingi Ibu.
Saat aku ditahbiskan, aku melihat Ibu bercucuran
air mata. Kali ini aku tahu betul, beliau menangis karena
bahagia. Bukan karen a sedih kehilangan anak. Tetapi siapa
tahu, mungkin karena sedih juga. Paling sedikit khawatir
karena beliau jelas tahu aku bukan siswa cemerlang.
Matematika rata-rata 5. Kata Mas Kamin, “Apa bisa
menjadi imam Gereja Kudus yang pantas? Apalagi
menjadi pastor paroki yang baik?” Tetapi yang paling aku
sen angi pada hari tahbisan itu ialah ketika abang sulungk u
25
pohon-pohon sesawi
men yalamiku dan berkata di hadapan Ibu serta kakak-
kak akk u, “Yun, pastor yang baik bukan yang manajer
atau yang ahli matem atika dagang dan sebangsanya itu.
Untung kau goblok matem atika. Bahaya godaan tidak
terlalu besar.” Pasti bukan istilah manajer yang diucapkan
Abang ketika itu, karena dulu belum ada istilah manajer.
Saya lupa kata apa yang ia pakai. Tetapi aku sud ah tah u
maks udnya. Mendengar itu Ibuku hanya tersenyum saja.
“Min, kamu tak usah menggoblok-goblokkan adik mu.
Goblok atau pandai itu urusan Tuhan. Pokoknya ter
panggil ya terpangg il, sudah.” Kakakku Sri yang selalu
memihakku melawan kak ak abang yang suka menge
jekku, menambahkan, “Dan lagi, tidak ada anak goblok
yang lulus sampai ditahbiskan. Apa kau kira Rom o Kan
jeng Sugiyo (Mgr. A. Soegijapranata, uskup Jawa pertam a,
yang mentahbiskan aku) tokoh yang tidak pandai samp ai
tid ak tah u siapa yang diwisud anya?” “Ah ya, beliau hebat.
Tetapi...,” masih juga Mas Kamin membela posisinya,
tetap i sen gaja demons tratip tiba-tiba ia berbisik-bisik
misterius di dek at telinga Ibu namun membiarkan kami
menden garkan, “Seb en arnya beliau itu goblok juga. Sean
dainya tidak jadi uskup, pasti beliau sudah jadi Menteri
Agama.” “Husy! Kurang ajar! Kuw alat kau!” desis Kak
Sri. “Sekarang jelas yang goblok itu ya kamu sendiri.”
Tertawalah Abang Werkudoro itu terbahak-bahak,
sampai terpaks a ia dibungkam oleh tangan Kak Sri yang
26
si kecil ditinggal di rumah Tuhan
menjulur efektip. Ibu, Kak Sri, dan Romo Rektor sama
pandangannya walau cara mengatakann ya lain. Seluruh
tradisi Gereja hampir 2000 tahun men gatakan yang sama:
jadi imam itu panggilan Rahmat. Tidak pernah dinalar
mengapa dia menjadi imam. Semua Rahmat. Perken an
Kedaulatan Pribadi Tuhan. Mestinya aku bisa tenang
dan mengh adap i tugas penuh kepercayaan. Memang
aku percaya jug a dan ketakuta n biasanya mudah teratasi.
Tetapi imam pun manus ia biasa juga. Dengan segala
perasaan khawatir dan bimbangnya. Apakah orang tidak
berbakat dapat bertahan, apalagi dapat menghasilkan
buah? Apa lama-lama ia tidak akan layu karen a akar-akar
nya kurang panjang? Matematika cuma 5, seperti kata si
Abang Sulung. Entahlah.
Nyatanya aku sekarang sudah hampir 40 tahun
tergolong gemb ala paroki. Dugaanku, itu jasa doa-doa
getol ibuku dan kak ak-kak akk u semua. Sekarang aku
sudah jadi pastor gaek. Seand ain ya dulu aku menikah,
mungkin anak-cucuku sud ah berapa? 25? Sekarang
selaku pastor tua, kendati hanya pastor pemb antu ka
ren a pastor kepala kini muda-muda, anak-cucuk u di
parokiku sekarang kutaksir minimum sudah 5.000
orang. Padahal saya sudah berpindah-pindah paroki 6
kali. Tiga puluh ribu? Ah, jangan dihitung matematis
begitu. Toh untuk matem atika kau cuma mendapat 5,
Yun, Yun!
27
pohon-pohon sesawi
“Tetapi kan lain,” sanggah Romo K, seorang rekan
pastor mud a den gan teologi paling mutakhir dalam suatu
Hari Refleksi Imam-Imam. “Umat dan cucu-cucu yang
darah-daging sendiri lain sama sekali. Umat paroki kan
hanya dititipkan kepada kita. Lain dari anak-anak yang
betul-betul dari orang-tua atau kakek-nen ek.”
“Ya, lain tentu saja,” sumbang gagasan seorang imam
sen io r, “tetapi yang dihitung kan derajat dan kedalaman
kecintaan. Buk an darah-daging.”
“Tetapi tetap lain.” Bersiteguh Romo K memperta
hankan pand anga n teologis mutakhirnya. ”Jumlah
anggota umat, nah memang banyak. Tetapi mereka
bukan anak-cucu. Bagaimana Romo Yunus?”
“Saya? Ya, terus terang saja saya tidak tahu. Cuma
aku menc intai umatk u. Hanya itu saja yang kualami.”
Pernah dalam Misa Penutupan Hari Refleksi dibaca
kan riwayat Nabi Samuel. Isteri Pak Elkana bin Yeroham
dari Desa Rama yang bern am a Hana mandul, sampai
ia tua. Padahal dalam alam bud ay a waktu itu seorang
perempuan yang mandul diperolok-olok, dianggap tidak
disukai Allah. Sedihlah Hana. Karen a itu ia selalu
mencoba menjadi perempuan saleh yang hormat sek ali
pada Allah. Suatu kali ia bersama suaminya berziarah ke
Bait Tuhan di Desa Silo yang dijaga oleh seorang imam,
Eli nam an ya, seorang kiai yang amat disegani umat Israel
sebagai pemimpin roh ani mereka. Menangislah Hana dan
28
si kecil ditinggal di rumah Tuhan
nerocoslah doanya di Bait Silo itu. Hanya bibirnya yang
bergerak-gerak tanpa suara, seperti orang sinting. Betapa
sedihnya ia. Imam Eli mendekatin ya dan agak gusar
menegur, “Berapa lama lagi engkau berlaku seperti orang
mabuk? Lepaskanlah dirimu dari mabukmu.”
Tetapi Hana menjawab, “Bukan! Bukan, tuanku.
Saya hanya seorang perempuan yang sangat bersusah
hati. Anggur atau minuman yang memabukkan tidak
saya minum. Tetapi saya menc urahk an hati saya di
depan Tuhan. Janganlah anggap hamb amu ini seorang
perempuan yang dursila. Karena besarnya cem as dan
sakit hati saya itulah saja saya berbicara demikian lam a.”
Menjawablah Eli dengan terharu, “Pergilah dengan
selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu
apa yang kauminta dari Tuhan.”
Setahun kemudian mengandunglah Hana, dan
melahirkan seorang anak laki-laki. Ia menamai anak itu
Samuel. Artinya: “Say a telah mem intan ya dari Tuhan.”
Samuel disusui Hana sampai umur disap ihn ya. Lalu
dibawalah dia, dengan sumbangan seek or lembu jantan
berumur 3 tahun, satu bungkus tepung dan sebuyung
anggur. Lalu diantarkan olehnya Samuel ke dalam Ru
mah Tuhan di Silo. Waktu itu si kanak-kanak Samuel
masih kec il betul. Setelah lembu, tepung, dan anggur
dipersembahkan di Bait Tuhan, Hana berkata kepada
Imam Eli, “Sayalah peremp uan yang dulu berdiri di sini
29
pohon-pohon sesawi
dekat tuanku untuk berdoa kep ad a Tuhan, dan tuan
sangka saya mabuk. Ternyata ben arlah, Tuhan telah
memberikan kepada hambamu apa yang hambamu min
ta dariNya. Maka saya menyerahkan anak saya ini kep ad a
Tuhan. Seumur hidupnya semoga dipersembahkan kep a
da Tuhan.” Lalu sujudlah Hana, Elkana, dan Samuel kecil
men yemb ah Tuhan. Dan Hana berdoa, ”Hatiku bersu
karia karena Tuhan. Tunduk kekuatanku ditinggikan oleh
Tuhan. Ia men eg akk an orang yang hina dari dalam debu,
dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur. Langkah
kaki orang-orang yang dikasihaniNya dilindungi…”
Lalu pulanglah Hana dan Elkana ke Rama. Si kecil
ditinggal di Rumah Tuhan, dan menjadi pelayan Tuhan,
di bawah penga wasan Eli.
Ibuku perempuan subur, tidak seperti Hana dari
Rama itu. Namun beliau berkata kepadaku pada waktu
pentahbisanku itu, “Anakku Yunus, ketika kau kukan
dung memang aku terharu memb aca riway at Hana, ibu
Samuel itu. Aku ternyata belum apa-apa. Belum pern ah
berjanji untuk menyerahkan kamu menjad i pelayan Tuhan
seperti yang dilakukan Hana. Aku hanya mem oh on agar
kau anakku jadi anak yang baik. Cukup itu saja. Aku tidak
berani memohon lebih hebat kepada Tuhan agar anakk u
jadi imam. Ya, karena tahu dirilah, aku ini cuma siapa.
Tetap i sekarang aku berpesan: “Jika Tuhan berkenan,
jadilah seperti Samuel.” Aku tersenyum, “Ya Bu, semoga
30
si kecil ditinggal di rumah Tuhan
saja. Akan saya coba. Tetapi ya, saya pun harus juga tahu
dirilah, cuma siapa saya ini.” Ibuku mengangguk-angguk.
Tanganku diremas-remas olehnya.
Pasti keras hati konsekuen si perempuan Hana itu.
Pasti ters ayat-say at hatinya waktu menyerahkan anak
satu-satunya itu kepada Eli. Dan si balita Samuel? Aduh,
pasti menangis melolong-lolong si anak kecil itu ditinggal
ibunya begitu saja. Aku men angis waktu membaca dan
merenungkannya.
***
31
Pohon-Pohon
di Pekarangan Paroki
Dalam tradisi sejarah Gereja, umat atau paroki
dilambangkan seb ag ai kebun anggur; mengacu
kepada sabda Yesus, “Akulah pok ok angg ur yang sejati
dan BapaKulah juru tamannya. Setiap ranting padaK u
yang tidak berbuah dipotongnya dan setiap ranting yang
berbuah dibersihkanNya supaya ia lebih banyak berbu
ah.” (Yoh 15, 1-2). Lambang itu bagus, akan tetapi siapa
dari umat parokiku yang pernah melihat kebun anggur?
Bila kuamati umatku dari berbagai paroki di mana aku
pernah ditempatkan, aku lebih condong mengatakan,
bahwa paroki adalah kebun bia s a di belakang rumah
desa; dengan macam-macam pohon, sem ak beluk ar dan
pohon-pohon di pekarangan paroki
rumput, bahkan duri-duri. Ada sumurnya, ada kamar
mandinya berbilik bambu, ada kandang kerbaunya, ada
comb era nn ya, tetapi juga ada pohon kelapanya atau
pohon duriann ya. Dan tentu saja ada rumpun bambunya.
Bahkan kad ang-kad ang (hebat!) ada parabolanya. Cuma
dalam kebun di ped esaa n jarang atau tak ada bunga-
bunga seperti mawar, dahlia, bakung, melati, dan segala
tanaman priyayi yang disukai Romo Sabdo, seorang
keturunan penabuh gender gamelan, ahli yang tersoh or,
dan mungkin karena itu berjiwa puisi halus. Yang ada
hanya bunga-bunga dusun, seperti bunga ungu kecil putri
malu yang berduri banyak dan berbau agak sengak. Atau
sering bun ga bangkai yang (aduhhai baunya!) entah setan
siapa yang menc iptakann ya.
Salah satu “pohon kelapa” paroki ialah Pak Wignyo,
Paulus Wignyo Sudarmo, yang berkali-kali dipilih menjadi
Ketua Dew an Paroki, Kepala SMP Santo Gabriel. Ia
sebetulnya tidak coc ok dilambangkan sebagai pohon
kelapa karena tubuhnya pend ek agak gemuk. Tetapi
cita-citanya tinggi setinggi nyiur, hatin ya tingg i juga agak
berkesan angkuh, meski sebetulnya dia sama sekali tidak
sombong. Ia berkesan begitu karena sejak kec il ia dititip
kan oleh orang-tuan ya kepada paman-tuanya yang tid ak
punya anak. Paman-tuanya ini seorang sersan Tentara
Belanda yang mendisiplinkan anak pungutnya agar se
lalu berd iri atau duduk dengan sikap tegak dan kepala
33
pohon-pohon sesawi
agak menengad ah seperti layaknya seorang komandan.
Sama dengan poh on kelapa, Pak Wignyo tahan angin
badai, tidak pernah putus asa kalau menghadapi soal
teramat sulit, tidak pernah bingung kalau misaln ya paroki
kekurangan duit untuk program ini itu. Sikapn ya san gat
elastis, pandai ngeper. Dan eloknya juga: bila ia melihat
tem an dari jauh, langsung tangannya selalu melambai-
lambai samb il berteriak gaya sersan, “Hai!” Tubuhnya
bergoyang seperti pohon kelapa. Tetapi putra altar (alias
misdinar menurut seb utan warisan kolonial dulu) yang
sudah besar menamak ann ya lain sek ali, bukan Pak Nyiur
tetapi Napoleon. Tentu saja putra altar lelaki. Para putri
altar yang sering diplesetkan oleh kelomp ok Pem uda
Paroki dengan sebutan Miss Binar, bahkan men yeb utn ya
kurang ajar: Pak Duglik, singkatan dari Bedug Katolik.
Pak Napoleon Duglik seorang super aktivis yang dapat
memb ua t pastor-pastor paroki lain iri hati. Tanpa “pohon
kelap a” paroki ini banyak perkara kalang-kabut. Bakat-
bakatnya mengorganisas i sesuatu luar biasa. Maklumlah,
dia putra angk at mantan sersan Hindia Belanda kemudian
kapten TNI.
Pohon lain ialah sawo. Sawo manila. Batangnya besar,
cabang-ranting ded aunan sangat rimbun dan rindang.
Buah-bua hn ya sub ur dan manis. Ini Keluarga Ignasius
Yudonagoro den gan kep ala keluarga sang Ignasius itu.
Ia kolonel pensiunan yang melanjutk an perang gerilya
34
pohon-pohon di pekarangan paroki
melawan Belanda dulu dengan perang jenis lain tetapi
tidak kalah dahsyat dari perang frontal gay a Jend eral
Yamshita ketika di Perang Pasifik menggempur Singa
pura dan Hindia Belanda. Perang besar penuh persaingan
yang dik omand o Pak Ignasius sekarang ialah bisnis sapi
dan babi semb elihan. Setiap hari paling tidak dua truk
sapi dan setiap minggu pasti ada 5 truk babi disuruh
berdarmabakti ke Ibukota untuk berkorb an diri mengabdi
sekian restoran elit dan warung bakmi dalam metropol
Niniwe Nusantara itu. Dan tentu saja juga demi teb alnya
dompet dan konto bank dari sang mahaputra mantan
gerilyawan Ignasius. Kolonel purnawirawan Yudonagoro
ini pern ah sekolah di MULO (SMP) zaman Belanda
asuhan para brud er Don Bosko. Masa perang-perang
kemerdekaan ia isi den gan memasang trekbom (ranjau)
dan menembaki iring-iringa n truk Belanda. Konon ia
punya kebiasaan menyanyi Indonesia Raya bila mandi di
pancuran gunung-gunung basis operasio nalnya. Pernah
sambil mandi itu dengan serius ia berikrar dan bersump ah:
Jika Republik Indonesia menang, maka langsung ia akan
meminta kepada Romo Pusposusanto, gurunya di MULO
dulu, untuk dipermandikan. Ceritanya, sahabatnya, yang
mandi bers ama dia, seorang mayor Katolik, lalu bertanya,
“Bagaimana bila RI kalah?”
Jawabnya sambil menyabun diri, “Tidak mungkin.”
“Lho, jika tidak mungkin, mengapa harus berikrar
35
pohon-pohon sesawi
segala? Kan gampang saja: menang, lalu minta baptis.”
“Iya, itu bisa juga, tetapi tidak dramatis. Ini kan
perang yang pen uh drama dan tragedi. Komedi juga, jujur
kuakui. Jadi sem ua harus menyesuaikan keadaan yang
dramatis ini, kan?”
“Bagaimana jika Romo Puspo gurumu menolak
memb aptism u karena misalnya kau belum hafal doa
penyesalan dos a-dos a?” Jaw abnya lagi, “Tidak mungkin.
Kalau aku ditolak, Romo Puspo akan kutembak mati.”
“Heh! Gila kau! Apa-apaan ini. Persiapan Perman
dian macam apa ini?”
“Ya, jangan harfiah begitu. Menembak kan tidak
harus dengan peluru. Dengan schietgebeden kan bisa juga.”
Schietgebeden ialah nama Belanda (schieten = menembak): ke
arah surga. Doa-doa temb aka n itu dianjurkan oleh pastor
zaman dulu untuk diu capkan serba kerap dalam keadaan
darurat atau di mana pun.
“Tidak, tidak mungkin Romo Puspo menolakku. Dia
akan berdos a besar. Sebab aku dapat menjadi bajingan
tengik yang entah akan menembak dan merampok
dengan peluru sungguh. Itu bisa kujamin.”
Ini yang menceritakan Romo Puspo sendiri kepada
kami. Waktu kami masih mahasiswa di Seminari Tingg i.
“Mayor Yudonagoro adalah murid saya yang paling
lemah lemb ut, dan selalu taat kepada segala permin
taan atau instruksi saya.” Begitu kata beliau. “Dia
36
pohon-pohon di pekarangan paroki
rajin menghafalkan segala doa wajib yang diminta oleh
Gereja. Begitu penurut dia, sampai saya dulu berk ata
agak keras: ‘Yudo, sekali saat kamu harus mbalelo. Mosok
seorang mayor pemimpin gerilya kok seperti novis calon
biarawan Fransiskan saja. Penurut lemah lembut. Yang
sed ik it bergaya opsir, Bung. Kita memerlukan perwira-
perwira Kristus yang kadang-kadang berani berkata:
Tidak! Emoh!’ Tetap i apa jawabannya? ‘Romo Pus, saya
menghadap Romo bukan seb agai mayor gerilyawan,
tetapi sebagai domba.’ Nah, saya katak an: ‘Yudo, domba
sekali pun kan bisa menyeruduk menunjukk an kek ua ta n
nya, membenturkan kepalanya kepada lawan.’ ‘Ya Romo,’
bela dirinya lagi. ‘Pertama, Romo bukan lawan. Kedua
nya, domb a itu bukan bandot. Nah, dalam soal mantan
pacar yang sekarang jadi istri saya, memang saya bandot.
Pokokn ya yang mendekati pacar saya, dia saya seruduk
dengan segala tanduk yang saya punyai. Maka maafkan
Romo, di hadapan Romo say a hanya domba biasa saja’.”
Kolonel Yudo dibaptis dengan nama Ignasius. Santo
Ignas ius dulu seorang perwira purnawirawan juga. Kolonel
purnaw irawan Yudonagoro selalu siap ikhlas membantu
paroki. Tetapi tern yata ia bukan domba dalam segala hal.
Segala-galanya ia lakuk an menurut hati nuraninya. Tetapi
hati nurani bandot juga bila dianggapnya perlu atau pas.
Sungguh bandot bolot alot yang suka kolot ngotot.
Tetapi sebelumnya, sebaiknya kita memperhatikan
37
pohon-pohon sesawi
pohon lain dalam kebun petani kita, jelasnya pohon
sukun itu yang buah-buahnya gurih lezat bila digoreng,
khususnya bagian dalamnya jika digoreng agak keras
seperti kripik. Pohon yang dimaksud ialah Pak Pranoto,
seorang Wakil Kepala Kanwil Dep artem en Keu anga n,
atau lebih tepat: seorang perwira menengah dari Kep oli
sian yang oleh Pusat diperbantukan sebagai pejabat sip il.
Nah, orang tahu, bahwa dulu, mungkin sekarang
tidak lag i, orang-orang kalangan Polisi tidak pernah suka
pada orang-orang Angkatan Darat. Pernah pos polisi di
paroki kami diajak berk elah i serius oleh satu jip kebak
Baret Merah karena entahlah, konon men ur ut cerita Pak
Koster kami karena seorang Baret Merah yang sed ang
berpakaian sipil disemprit oleh Pak Polisi, didend a, tetapi
dengan quality service all in: dimaki-maki dengan keterang
an yang jelas tidak berbahasa Jawa tinggi halus atau ba
hasa Injil. Nah, ramailah atraksi yang penuh ketegangan
itu untuk penduduk kampung di sekitarnya yang asyik
kendati berdebar-debar melihat adu kekuatan aneh itu.
“Seandainya Baret Merah tadi tidak pakai pici hitam,”
begitu kilah Pak Koster, “tetapi pak ai baret merah,
sungguh, pasti pertunjukan gawat itu tid ak terjadi.”
Nah, contoh kebetulan atau karena sudah logis akan
terjad i dalam masa perang dingin waktu itu, hubungan
antara kolon el purnawirawan Yudo dan Wakakanwil
Depkeu Letkol Pranoto, Domin ik us Pranoto. Dua tokoh
38