The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by tlogosadangmtsm, 2022-08-02 18:03:19

Pohon-Pohon Sesawi

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

salib ringan dari gabus

krak-jingkrak meniru-niru berkacak pinggang dan ter­ta­
wa hahahaaa seperti raksasa-raksasa kecil.”

Suster Viola melanjutkan, “Saya sudah memberi
tanda-tand­ a kep­ a­da Romo Doyo agar tidak berlarut-larut,
tetapi Romo Doy­ o malah tertawa-tawa senang melihat
kegaduhan itu. Maka pa­ra mis­dinar saya suruh saja keluar
dan Koor saya beri isyarat su­pay­ a menyan­ yi. Nah, setelah
para gembala masuk panti altar dan Koor menyanyikan
lagu-lagu merdu yang cocok, umat te­nang kem­bali. Tetapi
ya itu Romo, dasar anak-anak. Gembala-gembala itu serba
omong tidak keruan ujung pangkalnya de­ngan da­gela­ n-
dagelan yang maunya meniru gembala-gembala sung­guh,
tetapi serba konyol. Dan karena konyol, menjadi sumb­ er
ta­wa tak ada ujung pangkalnya juga. Bahkan ada satu-dua
yang mer­engek keliling sambil mengembik-embik.”

“Anak-anak di gereja senang sekali pasti.”
“Uuuh, mereka tertawa dan meneriaki kambing dan
domba yang me­rang­kak dan tidak hanya merangkak. Juga
mengeluarkan lid­ ah seg­ ala kepada anak-anak itu dengan
wajah-wajah yang menj­el­ek-jel­ekk­ an diri agar kelihatan
ngeri.”
“Uah, dapat saya bayangkan bagaimana gaduhnya
liturgi ala Ro­mo Doyo itu.”
“Tetapi sering mereka melompong bolong tegang
mengikuti apa yang diperbuat para gembala itu.”
“Lalu, para misbinar keluar.”

89

pohon-pohon sesawi

“Ya, lalu para malaekat keluar dan menyanyi dan
menari. Nah, mereka satu-satunya yang serius. Saya
melihat sendiri ba­gai­mana adik-adik ayu itu saling
bebincang agar berperan men­ ges­ ank­ an. Maka ketika
mereka keluar dengan seni tari yang rup­ a-rup­ an­ ya sudah
mereka hayati dari pesta sekolah atau entah kapan,
seluruh gereja diam dan terpesona. Memang bagus tarian
itu, walaup­ un dalam perasaanku masih terlalu seksi untuk
ukuran gadis-gadis masih kencur itu. Tetapi ya sudahlah,
memang ini zamannya, mau apa.”

“Segala keindahan dan kecantikan berasal dari
Tuhan,” gumamk­ u.

“Yaa, asal dipakai pada tempatnya dan tidak
menggoda ke dosa.”

“Mosok tarian anak-anak itu menggoda.”
“Memang belum Romo, tetapi bisa, mungkin. Kita
harus hati-hati, jangan main api. Tetapi Romo, saya
akui, betul bagus pe­ment­asa­ n mereka, dan merdu sekali
mereka menyanyikan Gloria. Gloria yang mereka hafal
tuntas. Apalagi ketika Sukemi mengu­ cap­kan berita
dengan suaranya yang bening, seperti ma­laek­ at sungguh:
‘Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kris­
tus, Tu­han, di kota Daud…’ Dan seterusnya. Seluruh
Gereja hening senyap, sampai saya menetesk­ an air mata.
Kemudian ga­dis-ga­dis kec­ il itu menyanyi mengharukan:
‘… kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan

90

salib ringan dari gabus

damai sejahtera di bumi di ant­ara manusia yang berkenan
kepadaNya.’ Tidak ada siulan par­a pemuda atau apa pun
yang membuat gaduh. Romo Doyo di mim­bar menunduk
dan mengatupkan mata. Kulihat di gua ki­ri altar, amat
dekat dengan pintu sakristi, Agnes meneteskan air mata
juga.”

“Ya, saya amat terharu.”
“Suster Agnes senang diminta berperan sebagai
Maria?”
Suster Agnes bersinar berbunga-bunga, “Aduh
senang, senaaang sekali, Romo. Ketika saya peluk patung
Bayi Yesus itu di dadaku, dan para gembala datang dengan
kata-kata bocah me­rek­ a yang sudah tidak bersenda-gurau
lagi tetapi serius se­derh­ an­ a menyampaikan janji-janji
mereka, saya sungguh tidak da­pat men­ ah­ an aliran air
hati saya. Rasanya saya menghayati keb­ ah­ a­gia­an Bunda
Maria.”
“Agnes, saya ingin bertanya, ketika kamu terharu
begitu... tetapi jika tidak mau menjawab, ya tidak apa-
apa. Apa ketika itu kamu tidak merasa sedih bahwa
seorang biarawati tidak akan men­da­pat bayi dan men­ yu­
sui memeluknya seperti kau peluk bayi Yesus itu?”
Sejenak Suster Agnes diam, merenung memandang
ke de­dauna­ n pohon-pohon.
“Jujur, ya… terus-terang ya, Romo.”
“Silahkan. Suster Viola boleh mendengar.”

91

pohon-pohon sesawi

“Jujur, dalam lubuk hati saya, saya menangis juga
bahwa biaraw­ ati tidak akan mengandung dan mereksa
seorang bayi mun­ gil manis anak kandungnya sendiri
dalam dekapan seperti ibu-ibu kita. Sungguh menusuk
dan rasanya nelangsa sekali. Tet­a­pi kem­ ud­ ian saya seolah-
olah melihat gambar-gambar foto sek­ i­an juta bayi kurus
dan anak kecil menderita di seluruh dunia yang sengs­ ara
dalam keadaan kekalutan politik atau ekonomi. Sep­ ert­i di
Afrika atau di Irian Jaya, di Jakarta dan di mana-mana di
negeri ini. Sekian banyak anak yang dianiaya oleh orang-
tuanya sendiri, ditelan­tark­ an oleh kaum dewasa, bahkan
did­ id­ ik dalam keadaan yang kotor kumuh. Anak-anak
yang tak bers­ a­lah tetapi tanpa diminta persetujuannya
terlemp­ ar di dunia ini den­ gan nasib menyedihkan yang
tidak mereka pilih. Tak ber­day­ a dan tak bisa apa-apa
kecuali tumbuh menjadi remaja yang kasar, tergoda ke
dalam kriminalitas atau pelacuran. Atau dip­ erk­ o­sa oleh
lelaki keji. Ah, Suster Viola, pada saat itu, saya lebih
mena­ngis lagi. Bahagia jika boleh menjadi ibu asuh saja
un­tuk seb­ agian dari anak-anak terlantar itu. Ya Romo,
pada saat itu saya meneteskan air mata, berdoa, semoga
saya sebagai biaraw­ ati nanti diizinkan Suster Provinsial
untuk memungut dan membesarkan seba­gian dari anak-
anak tak bersalah itu. Dis­ u­ruh menjadi perempuan
gelandangan sekalipun untuk menc­ a­ri anak-anak itu di
ladang-ladang sampah, saya mau, o saya sungguh mau,

92

salib ringan dari gabus

Romo. Bagaimana Suster Ola, apa Suster Prov­ ins­ ial kira-
kira akan mengizin­kan?”

***

93

Gejala Pencolokan Suci

Selama 39 tahun sebagai pastor tentulah sudah
39 kali sa­ya memp­ er­semb­ ah­kan korban Misa Natal.
Ketika muda mengh­ ar­ u­kan dan meneguhkan. Kemu­
dian menjadi pekerjaan rutin. Walaup­ un sudilah jangan
disebut mekanis. Biasa-biasa sa­ja, seperti seorang ibu
zaman dulu yang sudah melahirkan 11 atau 12 bayi. Yang
penting umat saya bahagia dan merasa keb­ u­tuh­an jiwanya
terpenuhi. Kebutuhan duniawi yang kurang terp­ u­ji tetapi
tak terlarang juga boleh dilayani selama peristiwa Na­tal
atau hari raya lain; jangan dikatakan buruk; manusiawi
sa­ja. Misal­nya dorongan memamerkan diri dalam busana
yah­ ud dan penampilan uah cantiknya, mahalnya, pa­ling
tidak men­ a­rik, ekstremnya norak menor edan mencolok.

gejala pencolokan suci

Mencolok arti­nya menusuk, menusuk mata tentu saja,
memaksa mata unt­uk mel­i­hat si pencolok dan... memu­
jinya. Minimum tahu, bahwa sang Co­lok, biasanya putri
Hawa, ada, exists; artinya tidak hanya ada tet­a­pi ada-dan-
berdampak di dunia, paling tidak dunia paroki. To­koh
kei­ndah­an atau magnet yang harus diperhitungkan. Awas
ra­sa­kan, kalau kamu tidak ternganga Ms. Colok, akan
menyesal. Ka­lau acuh cuek, bukti bukan lelaki, bukan
orang. Mungkin pal kilometer dari beton, gerobak kayu
mundhung atau pipa air bam­bu petung tetapi bukan
manusia normal.

Tentu saja para peserta Misa Kudus Natal atau Paskah
atau har­i raya lain yang suka mencolok tadi tidak sekeras
sekeji sek­ et­us itu. Ada di antaranya yang bermotivasi
baik: untuk menghorm­ at­i Ye­sus yang sudah sudi lahir,
tidak di bunbin Gembira Loka atau Taman Safari yang
masih terhormat, tetapi di kandang orang jemb­ el non-
pariwisata. Berkenan hadir di dunia yang mest­in­ ya harus
dihujani air bah seperti waktu Nabi Nuh dulu atau
seperti..., ya terus terang saja kalau Anda membaca koran,
tid­ ak perlu ditutupi, seperti Sodoma dan Gomora.

Memang sudah keterlaluan ulah maksiat sekarang,
sehingga bar­angk­ ali menurut para nona/nyonya Colok
tadi ibadat di ger­e­ja perlu digemparkan sebagai demo,
sebagai antitesis atau di­ka­tak­ an lebih sederhana: colok-
sodok yang pantas di­par­ti­sip­ as­ i. Kan tidak setiap hari

95

pohon-pohon sesawi

Hari Natal, padahal sikap batin per­lu di­eksp­ re­s­ ik­ an secara
pas dan relevan. Maka perlu pula bu­sa­na yang mencolok
mendemo. Bahwa dalam prakt­ekn­ ya per­is­tiw­ a per­ingat­an
suci lalu sedikit mirip lomba busana yang menj­engk­ el­
kan kaum tua tertentu, khususnya ibu-ibu usia tertentu
dan ber­stat­us tertentu, nah bukan tanggung jawab korps
pencolok itu (maaf itu subyektif). Itu ekses tafsiran
orang luar, bukan bua­ h substansi motivasi intern para
pelaku yang merdeka, ber­dau­ lat, dan ingat apa pun yang
dikatakan, tetap warga Gereja ju­ga yang sudah disucikan
oleh sakramen Baptis, diperkuat, dan didewasakan oleh
Roh Kudus ketika menerima sakramen Pen­ gu­ata­ n, dan
jelas sudah mendapat jaminan berkat lewat set­iap kali
mengi­kuti Ekaristi secara aktip. Sehingga berbusana
men­col­ok pun menjadi sebentuk partisipasi aktip yang
memang tidak di­anj­urk­ an tetapi minim dibiarkan oleh
Gereja.

Jadi apa salahnya ekspresi agak istimewa sedikit atau
taruh­lah ket­erl­aluan. Yang penting kan gloria in excelsis Deo,
mripatmu aja mlolo, cangkemmu aja mlongo. Jadi kesimpulannya:
biarlah saja an­jing-anj­ing menggonggong, kafilah tetap
berjalan menuju oase Natal dan Paskah atau hari raya lain
yang notabene, jangan di­se­pel­e­kan, sudah lama diakui
resmi oleh pemerintah dengan tan­da penghargaan angka-
angka di kalender yang dicetak ber­war­na merah muda,
dengan kata lain: hari yang mencolok.

96

gejala pencolokan suci

Demikianlah dengan langkah lenggok-lenggut goyang
yahok-yahut dan thok-thok-thok sepatu jinjit tinggi tetapi
uah-uah-uah le­her sobek rendah, kafilah tetap melenggang,
biar an­jing-anj­ing melolong. Untunglah kaum pencolok
itu relatip sed­ i­kit sekali, tetapi dampaknya seperti meriam
dan gelombang gunj­ing­nya melingkar luas. Itulah yang
namanya umat, kata Ro­mo H generasi van Holland,
serba suma­rah; Kyrie Eleison, Tuh­ an kasihanilah kami.
Sumarah, karena Romo H cukup mengenal keempat
Injil untuk sadar bahwa keloneng-theng keloneng-theng
lonceng gereja-gereja tidak memanggil umat yang saleh
yang sudah empat minggu Adven mempersiapkan diri
untuk Natal sehingga sebetulnya tidak memerlukan
diingatk­ an lonceng, tetapi justru para norak dan menor
yang masih me-lotion membedak melipsetik terlalu intensip
sehingga bisa-bisa terlamb­ at masuk kapal Nabi Nuh.

Namun masih belum lepas dari apa yang disuma­
rahkan Romo H tadi, sudah waktunya dicatat oleh umat
yang biar ses­ al­eh Samuel sekalipun dan kendati sudah
aman menemukan temp­ at han­ gat dan mapan dalam
kapal Nabi Nuh pun, toh masih ser­ing tidak tahu (karena
mengantuk atau sedang memperha­ti­kan somebody beautiful
di acara khotbah), bahwa liturgi itu bu­kan cuma upacara
yang dilakukan sekian jam sekian menit di gereja. Seolah-
olah Ekaristi itu baru mulai bila theng, Pak Koster
menarik lonceng kecil ke panti-altar, lalu iring-iringan

97

pohon-pohon sesawi

para putra-putri altar keluar dalam busana mereka yang
semakin ta­hun semakin bergaya kethoprak (sewarna rasa
estetik­ a rakyat keb­ a­nyakan yang memang gemar kostum
penari-penari Kirab Rem­ aj­a dan segala macam yang
gempar dan mencolok), ke­mu­dia­ n para imam yang sering
lupa menyisir rambut atau dari ge­rak kep­ a­la dan mata
tampak benaknya belum masuk di padang dan kandang
Betlehem tetapi masih bermobilria di muka mall atau is­
ta­na Anas Kayafas. Tidak, tidak, tidak begitu. Liturgi bu­
kanl­ah pementasan seni teater; juga bukan seni dekorasi,
seni meng­gub­ ah bunga dan pita dan lampu gemerlapan;
itu bagus dan boleh, tetapi bukan itu.

Liturgi Ekaristi, apalagi demi perayaan istimewa,
yang dis­ eb­ ut dengan istilah aneh dan tidak tepat: Misa,
pada dasarnya ada­lah peristiwa. Peristiwa ekspresi
bersyukur berterima kasih, me­ngen­ ang wafat Yesus
Kristus, memuliakan kebangkitanNya, dan ungkapan
menantikan atau mendambakan kedatanganNya kemb­­ a­li.
KedatanganNya kembali praktis konkret jelas gam­blang-
gamb­ long siapa tak tahu tempolong bolong, artinya:
pada saat kita didatangi kiamat kita masing-masing alias
saat kita men­ inggal dunia. Mengerikan? Tidak, mestinya
tidak, untuk orang beriman. Tetapi maklumlah kita masih
manusia biasa temp­ olong bolong.

Ekaristi memanglah peristiwa, atau dalam bahasa
bangku se­kol­ah sekarang: proses total integral dari a

98

gejala pencolokan suci

sampai z, dari segala apa yang kita kerjakan. Dan a-nya
atau c-nya ialah antara lain, un­tuk makhluk-makh­ ­l­uk
tertentu, memilih dan menentukan bu­san­ a yang elok-
melok mencolok. Mungkin beli baru, mungk­ in meng­
gunakan bekas dari kakak lalu diperm­ ak ini itu, recycling and
renovation, atau mengam­b­ il dari almari persediaan busana
yang han­ ya tiga jumlahnya tetapi istimewa, bergilir setiap
tahun dip­ ilih bergan­tian. Ini jika masih diizinkan trend
mode yang maha kuasa dalam seni pencolokan.

Segala peristiwa tetek-bengek yang sudah berjalan di
rum­ ah, bahkan mulai dari proses menabung di Tabanas
demi pemb­ el­i­an busana atau anting-anting atau makara
atau lipsetik, sa­bun apa, shampo merek apa, mandi sambil
jengkel handuk kok sudah bolong, lotion yang mana,
bedak pinjam dari siapa, me­ngen­ a­kan jam tangan bagus
indah tetapi mati tidak berjalan (ya sudah, yang penting
menghias-menarik), kemudian peristiwa mem­ angg­ il Bang
Becak untuk melaksanakan proses berminggu-ming­gu
sebelum mengambil kepu­tus­an pergi ke gereja bersama
sia­ pa dan men­ gapa, lalu tiba-tiba tergencet peristiwa adik
kecil men­ angis karena abang menakali, mendengar ibu
bingung kok BH merek favoritnya belum kering, dan lagi
Bapak Nabi Adam itu kok ngawur belum bangun padahal
lonceng gereja sudah berkelonteng untuk kedua kali­nya,
lalu ndilalah sepatu masih baru kok terasa terlalu sempit
dan sakit bila berjalan, dan sebagainya dan seterusnya et

99

pohon-pohon sesawi

cetera et cetera, itu semua SUDAH terma­suk PERISTIWA
merayakan Ekaristi. Termasuk yang da­lam ba­hasa latin
disebut keren: Introitus (upacara jalan masuk), ter­iring
nyanyian yang pas. Atau dalam pesta perkawinan Jawa
teri­ring lagu Kebogiro mengi­ringi mempelai masuk
ruangan pes­ta. En­tah men­ gapa begitu namanya; apakah
peristiwa perk­ a­win­an itu perjalanan kerbau? Sehingga ada
istilah pisah-kebo (ber­cer­ai bagaikan kerbau) dan akhir-
akhir ini kumpul kebo (berk­ ump­ ul bak kerbau?) Misteri?
Dan hidup perkawinan itu se­per­ti kubangan kerbau?
Walahualam.

Tetapi sebaliknya terjadi setiap peristiwa punya
buntut. Ini is­ti­lah kurang keren. Gagahnya: epilog.
Pada ekor atau epilog pe­ris­tiwa Misa Raya sering tim­­
bul cekcok ramai saling menuduh sia­ pa yang salah siapa
yang bertanggung jawab di kalangan para pen­ yan­ yi
koor atas peristiwa pentasan yang seharusn­ ya nasi tetapi
men­jadi bubur yang mengecewakan, apalagi sekian kali
meraih na­da tetap saja menggandul tidak tercapai. Vales
belero seperti pe­log selendro. Lha celakanya pas saat
hening kudus konsentrasi kok lampu mati konseleting
sehingga membikin gaduh. Entah kar­en­ a sab­ otase entah
karena tololnya para pemuda ketika mem­ a­sang lampu-
lampu byarpet di gerbang atau gua Natal, pa­dah­ al
pemimpin­nya sudah mahasiswa elektro semester ke-7.
Ya, segala peristiwa yang sesuai dengan Warta Gembira

100

gejala pencolokan suci

para ma­lae­kat di padang Betlehem atau Warta Gembira
para ibu yang pul­ang dari makam Yesus yang sudah
kosong, maupun Warta Gembi­ra yang menjengkelkan
menyedihkan, semua itu pada da­sar­nya parsitisapi, maaf
PARTISI­PASI AKTIP merayakan Eka­risti.

Pertanyaan sekarang yang gawat ialah, apakah
muda-mudi yang ha­nya menjaga sepeda di luar sambil
bersendau-gurau dan men­ ak­sir gadis-gadis atau pria-pria
yang lewat itu, tetapi ti­dak pernah ikut berdoa bersama
umat di dalam gereja “Tuhan kasihanilah kami” atau
“Kudus kuduslah Tuhan” atau setidaknya menjawab
“Dan sertamu juga” atau “Amin”, sudah merayakan Eka­
risti atau belum? Menurut laporan bernada tuduhan dari
beb­ er­a­pa ibu Legio Mariae yang amat tajam penglihatan
meskipun mer­ek­ a sudah berkacamata tebal, para muda-
mudi penjaga sepeda praktis tidak pernah ikut berdoa
dalam Ekaristi. Bukan fitn­ ah. Data statistik dan saksi-
saksi mata apa­lag­ i saksi telinga lengk­ ap, setiap saat dapat
dipanggil hakim.

Pernah dalam suatu kelompok diskusi Temu Pastoral
antarp­ ar­a past­or paroki Keuskupan, masalah atau lebih
tepat bukan masalah tetapi gejala tadi diajukan sebagai
sekedar sebagai ba­han peng­asah otak teologis. “Jikalau
menjaga sepeda itu suatu ba­gia­ n integral dari peristiwa
total liturgi,” demikian seorang ro­mo dosen Fakultas
Filsafat dan Teologi berfatwa, “padahal tanpa me­re­

101

pohon-pohon sesawi

ka Misa Kudus sulit dapat dirayakan dengan hati ten­
teram oleh umat, padahal lagi kas Seksi Kepemu­
daan mem­ er­luk­ an tambahan gizi yang substansial dapat
diandalkan, pa­da­hal tugas menjaga sepeda itu tidak
mungkin dikontrakkan atau paling sedikit akan terjadi
konflik berkepanjangan antara pi­hak pem­ ud­ a melawan
pastor dan dewan paroki, padahal ba­nyak sekali padahal
yang masih dapat dipadahalkan, maka teo­ r­et­is dapat
disimpulkan, meskipun jangan diumum­kan: para re­
law­ an-relaw­ ati muda itu sudah sah mengi­kuti Misa
Kudus, walau­pun mereka itu cuma bersenda-gurau di
luar dan pacaran send­ i­ri bahkan bersiul lirih (tetapi toh
tetap kampungan) bila ada gadis lewat dan sebagainya.
Teoretis, sekali lagi ini teoretis,” be­gi­tu peringatan Romo
Dosen Moral yang rupa-rupanya kelak ma­suk surga yang
teoretis juga.

“Tetapi lalu bagaimana praktisnya?” tanya kami.
Sebab kam­ i-kam­ i gembala paroki berwajib menjaga
kesehatan rohani setiap warga kandangnya secara praktis
pastoral, termasuk par­ a baby-sitter sepeda tadi. Teori
memang harus diakui sulit seh­ ing­ga hanya dapat diolah
oleh para pakar, tetapi terlalu gampang bil­a sud­ ah
menyangkut sepeda apalagi siulan pemuda bila gadis lewat.
Perbincangan sengit tidak dihindari, argumen ilmiah me­
law­ an sangg­ ahan emosi, dalil diben­turkan dengan dugaan,
teori dic­ a­plok dengan prak­tek, debat doktor digasak

102

gejala pencolokan suci

debat kusir, pasal dek­ rit konsili dikelahikan dengan ayat
Kitab, nada mendongk­ ol di­jot­os dagelan konyol, dan
seterusnya. Tetapi nihil, nol pantat bo­tol, ibarat catur:
remis. Kesimpulan terakhir yang akhirnya di­re­ko­mend­ asi
penuh frustasi ialah agar iman, harapan, dan cintakasih
berbicara. Serahkan ikhlas kepada penilaian Tuhan yang
Maha Arif. Tetapi jelaslah itu bukan kesimpulan, tetapi
bukti kebin­ gungan. Sekali lagi di sini yang menang jaya-
wijaya ia­lah kaum kafilah, baik yang berbusana cantik
menggemparkan tad­ i maup­ un yang berangin-angin sepoi
nyaman bahagia di oase di bawah pohon angsana
pelataran gereja, penuh sepeda dan se­pe­da motor, yang
tidak ambil pusing dengan ibu-ibu saleh dan kaum filsafat
dan teologi sok saleh yang menggongg­ ong. Den­­ gan
kesadaran tinggi membaktikan diri pada panggilan men­
jaga mobil, sepeda motor, sepeda genjot yang dititipkan
dan yang kadang-kadang dicuri oleh seorang pemuda
Katolik sendiri, persisnya: yang punya agama Katolik
tetapi yang tidak ber-iman Gusti Yesus.

***

103

Kandang Betlehem

Suatu pagi saya mendapat telefon dari Pastor
Keuskupan bahwa Bapak Uskup ingin berbicara
dengan Romo Doyo, itu yang sok sutradara drama Natal
dengan Santo Yusup Pak Koster dan Bunda Maria Suster
Agnes dulu itu. Bapak Uskup gemb­ ala arif dan berhati-
hati. Oleh karena itu, agar Romo Doyo ti­dak terkejut
karena dipanggil (maklumlah biasanya yang di­panggil itu
entah dosen, profesor, konsultan diosesan, atau wakil-
uskup atau provinsial, pokoknya yang punya fungsi
tinggil­ah; maka jika ada pastor desa sampai dipanggil,
nah bisa-bisa panik serba binggung, takut bertanya
diri pernah memb­ uat kesalahan apa kira-kira sehingga
dipanggil Uskup), ia diminta berdoa litani Hati Kudus

kandang betlehem

Yesus agar badai dapat ber­lal­u tanpa banyak kerusakan.
Demikianlah, agar Romo Doyo ti­dak mandek jantungnya
atau pening puyeng kepala­nya, Bapak Uskup menambah
keterangan yang sebet­ulnya tidak harus be­liau berikan
kepada bawa­han. Yakni bahwa beliau ingin tahu, apa­kah
jadwal pember­ian sakramen penguatan dapat diundur
sek­ i­tar 2 minggu karena mendadak beliau diundang
ke Hongk­ ong untuk mengganti Uskup Bandung yang
diminta oleh KWI sebagai peserta delegasi Indonesia ke
Konferensi Pastoral Gereja-Gereja Asia di Hongkong
tetapi terhalang sakit.

Pesan itu mudah saja saya hantarkan lewat seorang
pesuruh ke­pa­da Romo Doyo yang pastorannya belum
dihubungi telefon, te­ta­pi baiklah, akan saya sampaikan
sendiri. Sambil menikmati Hari Natal pagi yang kebetulan
cerah. Saya tahu bahwa Natal pag­ i itu ia mendapat giliran
mengorbankan Misa Natal di suatu stasi terpencil yang
belum punya gereja atau kapel. Tanah den­ gan sebuah
rumah bambu sudah dibeli Keuskupan, tetapi mal­ang
sekali, izin pembangun­annya amat seret untuk tidak
men­ ga­tak­ an dihalang-halangi dengan macam-macam
peraturan dan pa­sal yang entahlah, orang Indonesia kaya
fantasinya, hanya di­bua­ t-buat saja. Padahal sebetulnya
stasi pelosok itu berhak memb­ a­ngun bangunan ibadat
karena gereja lama, atas perintah pem­ er­intah yang
senang meme­rintah, harus ditinggalkan karena gu­rus­

105

pohon-pohon sesawi

an lahar dingin sudah meruntuhkan tebing-tebingnya
seh­ ingg­ a ban­ gunan gereja lama yang kini terlalu dekat
dengan te­bing sungai harus dibongkar dan pindah.
Tetapi begitulah, rup­ a-rup­ an­ ya ada beberapa oknum
berkuasa yang ingin kaya mendadak, maka macam-
macam saja permintaannya. Stasi Kedungwatu miskin,
jelas tidak punya persediaan dana non-bujeter. Bahkan
untuk urusan bujeter pun Senin-Kamis kempas-kempis;
sering hanya menikmati bujet yang non dan non-bujet
yang non juga. Non pangkat non. Tetapi umatnya rajin,
saleh, rukun, dan menggembirakan hati kehidupan iman
mereka. Harapan mereka mengenai pembangun­an kapel
mereka segudang garam. Begitu banyak sehingga para
warga Stasi Kedungwatu tetap berharap belaka serta
berharap murni bisa­nya, hanya tabah tenang-tenang saja,
diam pelan tenang se­per­ti gerak alam raya Kelurahan
Kedungwatu. Beternak dan me­mel­i­hara harapan-harapan
mereka seperti memelih­ ara barisan itik, pen­ uh kesabaran
namun juga bijak­sana menggiring itik-itik ha­rap­an mereka
itu ke sungai dan selokan peristiwa santai pun saw­ ah-sa­
wah kosong; dengan keyakinan yang mengharukan,
dit­ung­gui sabar. Pasti nanti bertelur harapan-harapan
bulat-bulat ber­warn­ a hijau tua. Begitulah pembangun­
an kapel itu macet, pa­da­hal pondasinya sudah rampung
dan besi-besi beton serba men­ yer­ong­ot dari pondasi ke
atas sebagai simbol doa-doa yang men­coba tetapi gagal

106

kandang betlehem

meraih awan-awan surga lalu karatan.
Memang umat stasi itu saleh dan rendah hati, tetapi

merasa perl­u bercita-cita setinggi bintang-bintang di
langit Abraham. Mung­kin karena para pengurusnya
orang-orang kecil yang tet­ap tak­ ut bi­la disuruh menem­
bus pintu-pintu birokrasi negara dwi­fung­si. Atau mungkin
karena malas? Seorang rekan pastor tua men­ gat­a­kan
bahwa mereka salah asuhan dulu; dipim­pin oleh past­or
tarekat yang berduit banyak, sehingga segala-galanya di­
jam­ in oleh para misionaris yang baik hati tetapi bukan
ahli pend­ i­dik itu. Sehingga menjadi stasi serba tak punya
inisiatip den­ gan dewan pemuka umat yang tidak pernah
mencari akal menc­ o­ba ter­obos­an. Sampai Pastor Kepala
mereka selalu me­nyeb­ ut jengkel stasi itu sebagai Stasi
Barnen. Bukan Bubar Panen (Usai Menuai) melainkan
Sabar Perma­nen.

Ketika saya datang di muka halaman berumah
bambu yang berf­ung­si sebagai kapel darurat itu, dengan
jalur-jalur pematang pon­das­ i yang sudah jadi dengan
batang-batang besi yang bosan men­cer­ong­ot sudah lebih
dari setahun di tempat tanpa ada kelanj­uta­ n, dan karena
itu kesal tidak PHK tetapi juga tidak punya kerj­a, lalu
iseng kadang-kadang menjegal kaki seorang bapak yang
kur­ang hati-hati sampai hampir jatuh atau menjambret
sel­end­ ang perempuan yang mereka anggap arogan (anak-
anak anehnya selalu selamat tidak mereka ganggu), hati

107

pohon-pohon sesawi

saya pilu mel­i­hat ketidakberdayaan umat saleh tetapi tidak
inovatip itu. Jip saya parkir di tepi jalan saja agar tidak
menggang­gu upacara yang ru­pa-rup­ a­nya belum lama
berjalan. Beberapa warga umat me­no­leh lalu spontan
mengang­guk dan dengan ibujari memberi isyar­at supaya
saya duduk di muka. Tetapi dengan jari telunjuk di muka
bibir saya memberikan tanda, agar mereka diam, supa­
ya bacaan Injil yang sedang difirmankan Romo Doyo
lewat pen­ ger­as suara jangan terganggu. Menjepitkan diri
antara pohon beli­m­bing dan perdu kembang sepat­u,
saya bersembunyi duduk pa­da kursi setengah reyot yang
disodorkan kepada saya.

Romo Doyo memulai homili. Entah dari mana,
agaknya ia ke­li­ru meniru pastor-pastor Belanda dulu
dari masa kanak-kanakn­ ya, menghantar khotbah den­ gan
suatu ayat yang khusus ia ambil dari Injil dan diucapkan
spesial dalam bahasa Latin. Ada alasan­nya. Seperti yang
pernah ia katakan dalam salah satu sharing: jika umat Islam
punya bahasa keramat Arab, dan Hindu punya mantra-
mantra Sanskrit, kami umat Katolik pun harus punya
identitas dan harga diri; punya bahasa suci juga, ba­has­ a
Latin. Memang dulu sampai penutupan Ordo Lama itu
begitulah walaupun sebetulnya bahasa Hibrani Aram-lah
yang dis­ abd­ a­kan oleh Yesus, para Nabi dan para Rasul.
Tetapi datangl­ah gelombang misionaris Jerman dan
Belanda yang sudah dij­ang­kiti teologi baru yang mengajar

108

kandang betlehem

bahwa semua bahasa itu su­ci karena Sang Kristus sudah
menyucikan seluruh alam raya dan segala makhluk dan
buatan manusia yang digunakan demi Kerajaan Surga.
Antara lain bahasa. Demikianlah bahasa Latin ra­di­kal
dan ekstrem (orang Barat itu memang sukanya ekstrem-
ekstrema­ n) ditinggalkan dan hanya bahasa Indonesia
maupun da­erah digunakan dalam liturgi. Tetapi Romo
Doyo berpegang teguh, bahwa bagaimana pun bahasa
Latin pun bahasa, sama de­ngan bahasa Indonesia atau
bahasa Kubu, dan lagi sudah memp­ unyai sejarah lama
dalam adat Gereja. Sudah hampir 2000 tahun bahasa
resmi Latin dipakai. Demikianlah, seperti segala benda
atau buatan manusia yang sudah ditradisikan amat lama
sedikit banyak menjadi keramat. “Warisan ikat kepala
kak­ ek yang sudah wafat kan juga tidak langsung kita
pakai seb­ agai serbet meja makan,” begitu kata Romo
Doyo. “Dan keris kakek dari kakek kan juga tidak
kita pakai untuk mengiris ba­wang. Tidak ada sangkut-
pautnya dengan takhayul. Ini hanya mur­ni sopan-santun,
penghormatan apa yang pantas dihorm­ ati, ja­di amat
manusiawi dan yang penting masalah soal kepekaan ter­
ha­dap dunia lambang.”

Saya senang mendengarkan argumentasi Romo
Doyo walau­pun cara bicaranya seperti setenggok buah
salak yang belum di­kupas kulitnya amburadul jatuh di
lantai. Betul dia. Silakan se­kian teolog kepala botak atau

109

pohon-pohon sesawi

pakar pemakan buku segudang se­pan­dai Santo Agustinus
berteologi tentang inkulturasi liturgi, pemribumian iman
dsb., tetapi rakyat bawah dan umat jelata mem­ er­lukan
simbol dan bahasa pusaka yang mereka anggap punya
roh dan tenaga Ilahi yang misterius. Tidak cuma bahasa
yang dipakai RRI atau penjual jamu di tepi jalan Pecinan.
Di­seb­ ut feo­dal atau magik atau takhayul sumonggo ndoro,
tetapi saya ada di pihak rakyat, ujarnya retoris dengan
bahasa salaknya berk­ ul­it tajam.

Saya sungguh senang mendengar argumentasi
pastoralnya yang saya anggap jujur dan memang bera­
kar dari pengalaman ten­tang kebutuhan kaum kecil
sederhana yang ia layani. Maka se­lama saya masih pastor
kepala, sekali sebulan pasti ada Misa Hari Minggu dengan
nyanyian-nyanyian Gregorian kuno dan lir­ik berbahasa
Latin tua. Memang Gregorian dusun, saya akui, tetapi saya
yakin musik dan nya­nyian Gregorian pun di zaman­nya
Santo Agustinus dinya­nyikan dengan mutu dusun. Lirik
Latinn­ ya tidak dimengerti, itu hanya soal penerangan.
Asal dib­ e­ri tahu pokok isinya, kan sudah cukup. Lagu-
lagu Gereja kan tidak untuk lomba kejuaraan paduan
suara sekabu­paten, tet­a­pi untuk direnungkan dan ditafsir
sendiri oleh umat masing-masing apa yang bermakna
baginya pribadi. Lagu-lagu antik itu mengh­ ub­ ung­kan
kita dengan para suci dari masa lampau yang kini sudah
berbahagia di surga dan menanti kedatangan kita, begitu

110

kandang betlehem

keyakinan Romo Doyo yang masih mengipuk-ipuk memetri
wa­ris­an pusaka sekian abad yang amat berharga dan penuh
daya spiritual itu. Kulihat Romo Doyo mengatupkan
kedua tel­a­pak tangan­nya di muka dadanya dan dengan
mata terpejam ia menguman­dangkan suara baritonya
yang memang saya akui ber­pamor mistik: Videntes autem
cognoverunt de verbo, quad dictum erat illis de puero hoc (Ketika
melihat sendiri mereka memahami sabda yang telah
diucapkan kepada mereka tentang anak ini).

“Saudara-saudara terkasih.” Ia melihat ke kiri ke
kanan, ke arah umat paling ujung. Lalu memandang ke
atap genting yang serba melengkung tak terurus, seperti
lukisan sketsa tak rapi tetapi berkadar seni. Romo Doyo
memandang ke dinding-dinding bambu yang malu ingin
menyembunyikan diri di bel­a­kang umat tetapi tidak
mampu, ke soko-soko guru yang biar ter­bua­ t dar­i kayu
nangka tetapi mengenaskan harga-dirinya. Lalu ia tertawa
terkekeh. Anak-anak menjerit menirukan kekeh Ro­mo
yang mereka kenal betul sebagai imam tua yang sering
jen­ a­ka. Bapak-bapak dan pemuda-pemuda ikut terkekeh
juga dan para ibu dan gadis-gadis tersipu-sipu saling
memandang atau me­nu­tup­ i mulut mereka karena bagi
orang desa tradisional betul agak ta­bu ter­tawa sampai
kelihatan giginya, apalagi di tempat suci, walaup­ un
teramat miskin.

“Saudara-saudara seiman yang terkasih.” Lalu tertawa

111

pohon-pohon sesawi

lagi. Saya pun berbisik dalam hati: Sinting satu orang
ini. Akhirnya, “Saudara-saudara terkasih pengikut para
gembala Betlehem. Saya sebagai gembal­am­­ u sungguh
bahagia bisa mendapat kes­ emp­­ ata­ n mengo­rbankan Misa
Natal di tempat ibadah ini. Memb­­ u­at hatiku tenang
dan tenteram. Membuat jiwaku seperti para gembala
Betlehem dulu. (Berhenti sejenak, kemudian dengan suara
bisik-bisik tetapi jelas ke dalam maik pengeras suara.) Tadi
(berhenti) tadi... tadi saya dibangunkan oleh Pak Koster
karena ba­ngun ke­siangan (Gerrrr Gerrrr). Maafkan, tadi
malam sesudah Misa Malam pemuda-pemudi kita yang
merasa seperti malaekat za­man dangdutan tidak pulang
dan bersenda-gurau sambil me­nya­nyi-nyanyi di beranda
pastoran, sampai saya tidak dapat tidur. Tahu-tahu
didhodhok pintu kamarku. Bergegas-gegas tanpa man­d­ i
saya kemari (ketawa gelak-gelak). Ya, hanya cuci-muka se­di­
kit, daripada terlambat. Daaan... karena saya ingin meniru
para gem­bala Betlehem yang cerit­anya kita dengar tadi.
Apa yang tert­ulis? Saya akan membacakan dari suatu
Kitab Misa Kudus ku­no kecil tetapi tebal sekali ini.
Dengar: Et venerunt festinantes; et invenerunt Mariam, et Joseph,
et infan­tem positum in praesepio. Dan mer­ek­ a datang bergegas-
gegas, venerunt festinantes, bergegas-geg­ as mer­ek­ a datang, et
inve­nerunt..., dan mereka menemuk­ an Maria, Yusuf, dan
Sang Anak. Bergegas-gegas. Jadi saya tadi, walau­pun tidak
mandi, datang bergegas-gegas ke kapel Stasi Srum­bung

112

kandang betlehem

ini (Hmmmm hmmmm. Ada pemuda yang nyeletuk: Padune!
Alasan saja. Meledaklah tawa umat). Ya, memang itu alas­an,
tet­ap­ i alasan berdasarkan Injil (Orang-orang mengangguk-
angguk geleng-geleng). Sekarang ah, saya tadi mengat­a­kan
dan ini sungg­ uh tulus jujur tidak dibuat-buat: Romo Doyo
selalu sangat bahagia bila diperboleh­kan menghaturkan
Korban Misa Natal di stasi Anda. Mengapa? Mengapa?
Terka? (Suara pemudi: Koornya merdu.) Nah betul. Koornya
merdu. Sangat merdu. Walau­pun dipuji sendiri, daripada
tidak ada orang yang memuji. (Wooooo dari pihak koor dan
muda-mudi dan hahahahaaa dari umat dewasa.) Mengapa lagi,
sauda­ra-saudara terkasih? Bapak-bapak? Kar­en­ a umatn­­ ya
ramah-tamah. (Disam­but kekeh tawa: Ge-Er, ge-er, gegedhen
rumongso, merasa diri sok-hebat.) Bagus dan betul. Karena
umat Srumbung ramah-tamah dan ge-er (terbahak-bahak
reaksi kawanan domba). Apa lagi Ibu-ibu. Mengapa Romo
Doyo sangat senang mengorbankan Misa Natal di kapel
Anda? Mboten ngertos, tidak tahu. (Tetapi ada ibu muda
yang berseru: Suguhane enak.) Betul, sungguh betul. Ibu
sungguh cerdas. Karena hidangan makan­an untuk Romo
sungguh lezat sekali. Paling lezat di selur­ uh dun­ ia. (Ta­
wa gem­ uruh: Ngeceeee, ngenyeeek! Meledek, menghina!) Tidak.
Tidak meledek dan tidak menghina. Dari hati yang tu­lus.
Apa­lagi seperti kebia­saan selama 10 tahun selalu sambel
gor­eng tahu tao­co dengan petai yang aduhai gurihnya.
(Tak terken­dali tawa para ibu sekarang yang tidak merasa

113

pohon-pohon sesawi

perlu menutupi mulut dengan tangan. Gigi-gigi indah maupun
ompong dipamerkan.) Sebetuln­ ya Saudara-sau­dar­a mur­id
Yesus yang terkasih. Tidak hanya sambel goreng taoc­ o
petai itu saja yang amat lezat dan boleh dibanggakan,
akan te­ta­pi Stasi Srumbung MEMANG dapat dibang­
gakan. (Ge-er, ge-er.) Iman­nya, harapannya, cintakas­ ih­
nya. Kecuali yang tid­ ak dapat dibanggakan. (Nyindeeer,
ngenyeeeek, menghinaaaa.) Te­tap­ i perkecualian itu selalu
sedikit. Jadi berbahagia­lah Anda se­mua (Ahem ahem,
tertawa, melirik puas hati). Tetapi sekarang ada soal serius.
Dengarkanlah. Tadi Romo bertanya, ada apa Ro­mo Do­
yo kok sangat bahagia ber-Misa Natal di sini. Jawaban
Ba­pak-bap­ ak, Ibu-ibu, dan Adik-adik Pemuda-pemudi
tadi betul. Sa­ngat bet­ul. Tetapi masih ada alasan lain.
Apa? (Diam.) Apa hayo, apa? (Saling memandang, mata besar
dan mulut menganga.) Tidak tahu? Ja­wab­an­nya sederhana,
AMAT sederhana. Tidak perlu doktor­andus atau Es Satu
atau ijazah SMU Kasimo untuk dapat men­jawab. Hayo,
sekarang anak-anak di muka ini. Ayo anak-anak, de­ngar:
Me-nga-pa pada Hari Natal Romo suka datang berdoa di
sini, ya si-ni i-ni? Ingat: Hari Natal DAN tempat doa ini.
Apa? (Seo­ rang anak lelaki putranya Pak Kebon SD Fransiskus
menunjukkan jari.) Ya apa jawabannya, Tobil?” Sekian
pasang mata anak-anak bun­dar dan besar memandang
penuh tegang ke Tobil yang mas­ ih saja menunjukkan jari
sangat tinggi penuh keyakinan. Se­orang ibu mendorong

114

kandang betlehem

pelan Tobil dan berbisik: “Kamu To­bil.” Dengan suara
bening seruling pikolo dari perak Tobil men­jawab:
“Karena... karena kapel ini seperti kandang sapi Betle­
hem.” Bergegaslah tawa para bapak, cekikik-cekikik
para ibu dan kejang-kejang perut para muda-mudi.
Saya pun ikut ters­ engat tawa spontan umat sederhana
yang digembala pastor yang mer­akyat rada sinting itu.
Pastor Doyo pun ikut terkekeh-kekeh dan lebih menja­
larlah setrum tawa yang membuat pa­ra hadir­in hadirat
terpingkal-pingkal perut kaku. Hanya be­ber­a­pa bapak
pemuka Dewan Stasi tampak cemberut kecut. Se­su­
dah reda, sang Pengkotbah bertanya: “Tobil, dari mana
jawab­an itu kamu dapat?” Lantang tanpa malu, bahkan
bangga bahwa ia berhasil membuat gaduh seluruh gereja,
ia berteriak: “Kemarin sore! Kemarin sore Romo Doyo
yang mengatakan kepada Ayah.” Uaaah, lebih kacau lagi
suasana perjamuan ku­dus itu. Semua tertawa dan pura-
pura protes (Ngenyeeek! Ngeceee! Nyindhiiiir!) “Tenang,
tenang umatku tercinta (pelan ba­dai ta­wa mereda). Ten­ ang...
nah saya ingin jujur. Memang saya men­ gat­a­kan itu kepada
Pak Kebon SD Kasimo. Tetapi dengan mak­sud baik.
(Bela diri. Yang benar aja. Bela diri.) Betul, betul para ber­
iman, para gembala Betleh­ em (Meledek lagiii, nyindhiiir lagi!)
Baik, baik, terima kasih. Tetapi sekarang Romo bertanya,
dan jawab­lah jujur. Mump­ ung sekarang masih Hari
Natal (hari lain boleh bohoooong!). Hari lain juga tidak boleh

115

pohon-pohon sesawi

berb­ohong, tetapi sek­ ar­ang hari istimewa, SANGAT
istimewa. Nah, Et venerunt festi­nantes (langsung umat diam
tenang). Kita semua tadi dari rumah su­dah berge-gas-
gegas seperti para gembala Natal itu pergi ke kan­dang
hew­ an Betlehem, DAN invenerunt Mariam, et Joseph, et
infantem. Dan mereka menemukan Maria dan Yusup dan
Sang Anak. Positum in praesepio, yang dibaringkan dalam
tempat ma­kana­ n. Inilah rahmat Tuhan. Keagungan
orang kecil dan misk­ in di had­ ap­an Allah Yang Maha
Agung. Kelak Yesus akan ber­kata: ‘Berbahagialah kalian
yang miskin dalam hati, sebab ka­li­an akan memandang
Allah.’ Dalam keheningan Malam Natal sia­ pa yang
dipanggil dahulu untuk menyaksikan Emmanuel, Tuh­ an
bes­ ert­a kita? Yang mengejawantah amat mengharukan
dal­am kandang hewan? Bukan Ponsius Pilatus. Bukan
bendoro ra­den ayu isterinya. Bukan Herodes. Bukan para
penghulug­ ung Anas dan Kayafas. Bukan Kaisar di Roma.
Bukan Bapak Bup­ ati, Ba­pak Presiden, Bapak Kardinal.
Bukan Bapak Uskup. Buk­ an jug­ a Romo Doyopratomo
atau Ketua Dewan Paroki Mblud­ ag­an. Akan tetapi para
gembala miskin jelata yang tidak per­nah dip­ er­hi­t­ung­
kan, ya umatku, oleh masyarakat tercinta. Gust­i All­ah
itu memang tak terduga, lain dari yang dian­daikan oleh
mas­ yar­a­kat ramai. Aneh, gemb­ ala-gembala miskin yang
dia­ gungk­ an dan dikumand­­ angkan riwayatnya sepanjang
sejarah. Ter­masyhur sebagai orang-orang yang berkenan

116

kandang betlehem

kepada Tuhan, samp­­ ai did­ atangi ribuan malaekat. Suri
teladan samp­ ai akhir za­man, buk­ an main. Siapa yang
menga­gung­kan diri sendiri akan di­ren­dah­kan, dan siapa
yang merendahkan diri akan diagungkan. Atas nama
Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” (Hamiiin, Hamiiiin,
tangg­ap umat serius.) Romo Doyo turun dari mimbar,
tetapi ber­hen­ti dan bert­anya: “Sekarang, apakah kapel
sama dengan kan­dang hewan? Ya apa tidak? (Tidaaak!)
Apa betul kapel ini me­mang seperti kan­dang Betlehem?
(Betoool!) Apa kalian akan mem­bi­ar­k­ an begini? (Tidaaaak!)
Hamiiiin.” Romo lalu berdiri di muk­ a alt­ar dan memulai
pernyataan sahadat: “Kawulo pitados ing Allah...”

***

117

Te n t a n g P e n u l i s * 

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir di
Ambarawa, 6 Mei 1929, dan wafat di Jakarta, 10 Februari
1999.

1959 Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli,
Yogyakarta.

1966 Sekolah Teknik Tinggi Rhein, Westfalen, Aachen,
Republik Federal Jerman.

1978 Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies,
Aspen, Colorado, USA.

* Biodata penulis ini merujuk pada buku Y.B. Mangunwijaya, Surat Bagimu Negeri,
Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (Penyunting), Jakarta: Penerbit Harian
KOMPAS, 1999.

tentang penulis

Buku-buku Nonfiksi
1975 Ragawidya. Renungan Fenomenologis Religius Kehidupan

Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.
1978 Puntung-Puntung Roro Mendut. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.
1978 Bunga Rampai Soempah Pemoeda. Jakarta: Balai

Pustaka.
1980 Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.
1981 Dialog: Indonesia Kini dan Esok II. LEPPENAS.
1982 Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.
1982 Sastra dan Religiusitas. Pemenang Hadiah Pertama

Dewan Kesenian Jakarta untuk Kategori Esai
1982. Jakarta: Penerbit PT. Sinar Harapan (Cetakan
I); Yogyakarta: Kanisius, 1988 (Cetakan II).
1982 Panca Pramana. Praktis Penggembalaan Jemaat.
Yogyakarta: Kanisius.
1983 Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jilid I (Editor).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1983 Citra Arsitektur. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
1985 Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jilid II
(Editor). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1986 Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
1987 Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa. Jakarta: Penerbit

119

pohon-pohon sesawi

Grafiti Pers.
1987 Putri Duyung yang Mendamba. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.
1987 Esei-esei Orang Republik. Midas Surya Grafindo.
1988 Wastucitra. Pengantar ke Estetika Arsitektural. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.
1995 Gerundelan Orang Republik. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.
1998 Menuju Indonesia Serba Baru. Hikmah 21 Mei.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
1998 Menuju Indonesia Serikat. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.
1999 Surat Bagimu Negeri. Jakarta: Penerbit Harian

KOMPAS.

Buku-buku Fiksi
1981 Romo Rahadi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
1981 Burung-burung Manyar. Jakarta: Penerbit

Djambatan.
1983 Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan (Cetakan I); Jakarta: Penerbit Djambatan,
1987 (Cetakan II).
1983-1986 Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri.
Trilogi novel sejarah akhir jaman Sultan Agung
dan Susuhunan Mangkurat I abad ke-17. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
1985 Balada Becak. Fantasi Humor. Jakarta: Balai

120

tentang penulis

Pustaka.
1992 Burung-burung Rantau. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.
1993 Balada Dara-dara Mendut. Yogyakarta: Kanisius.
1994 Durga Umayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
1999 Pohon-pohon Sesawi. Novel. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.
2000 Rumah Bambu. Kumpulan Cerpen. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

121

Tentang P enyunting

Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962.
Tahun 1987 menamatkan studi pada Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia IKIP (sekarang Universitas) Sana­­­
ta Dharma Yogyakarta, tempat dia kemudian menga­
jar. Sejak 1992 bergabung dengan Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia (Grasindo), dan sejak 1999
menjadi editor pada Bank Naskah Gramedia. Ia juga
ikut berkarya di Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar
(DED), sebuah lembaga yang didirikan oleh almarhum
Y.B. Mangunwijaya. Puisi dan esainya dipu­blikasikan di
berbagai media massa, a.l. Kalam, Horison, Basis. Karyanya
juga dimuat di sejumlah antologi, a.l. Tugu (1986), Tonggak
IV (1987), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Utan Kayu—

tentang penyunting

Tafsir dalam Permainan (1998). Kumpulan sajaknya Celana
diterbitk­ an oleh Indonesia Tera bekerjasama dengan
Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation (1999).
Saat ini dia sedang menyiapkan kumpulan puisi baru.

Th. Kushardini lahir di Salatiga, 26 April 1966,
adalah alumnus Jurusan Sastra Jawa Fakultas Sastra
Universitas Negeri Surakarta. Pada 1991-1997 bekerja
sebagai editor Penerbit Intan Pariwara, kemudian be­
kerja sebagai asisten Y.B. Mangunwijaya. Saat ini dia
mengelola Yayasan Dana Sayang Anak Derita (Dayang
Arita), sebuah yayasan yang didirikan oleh almarhum
Romo Mangun.

123





pohon-pohon

sesawi

Y.B. Mangunwijaya

Sebelum meninggal, Romo Mangun pernah bercerita bahwa ia sedang
mengerjakan sebuah novel. Mungkin novel inilah yang dimaksud.

Semula, naskah novel ini berupa berkas-berkas yang ditulis dengan
mesin ketik, tercerai-berai, penuh coretan, sehingga tidak mudah dibaca.
Setelah diketik ulang dan disunting seperlunya oleh orang-orang yang
dekat dengan Romo Mangun, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
menerbitkannya sebagai buku.

Membaca novel ini kita menangkap kesan kuat bahwa lewat karyanya
ini Romo Mangun ingin merefleksikan perjalanannya sebagai imam
dengan romantika dan konflik-konflik batinnya. Ditulis dengan bahasa
yang segar, jenaka, dan penuh sindiran khas Romo Mangun.

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) SASTRA
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 ISBN: 978-979-91-0463-2
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364 9 789799 104632
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
facebook: Penerbit KPG ; twitter: @penerbitkpg KPG: 901 12 0557


Click to View FlipBook Version