salib ringan dari gabus
krak-jingkrak meniru-niru berkacak pinggang dan terta
wa hahahaaa seperti raksasa-raksasa kecil.”
Suster Viola melanjutkan, “Saya sudah memberi
tanda-tand a kep ada Romo Doyo agar tidak berlarut-larut,
tetapi Romo Doy o malah tertawa-tawa senang melihat
kegaduhan itu. Maka para misdinar saya suruh saja keluar
dan Koor saya beri isyarat supay a menyan yi. Nah, setelah
para gembala masuk panti altar dan Koor menyanyikan
lagu-lagu merdu yang cocok, umat tenang kembali. Tetapi
ya itu Romo, dasar anak-anak. Gembala-gembala itu serba
omong tidak keruan ujung pangkalnya dengan dagela n-
dagelan yang maunya meniru gembala-gembala sungguh,
tetapi serba konyol. Dan karena konyol, menjadi sumb er
tawa tak ada ujung pangkalnya juga. Bahkan ada satu-dua
yang merengek keliling sambil mengembik-embik.”
“Anak-anak di gereja senang sekali pasti.”
“Uuuh, mereka tertawa dan meneriaki kambing dan
domba yang merangkak dan tidak hanya merangkak. Juga
mengeluarkan lid ah seg ala kepada anak-anak itu dengan
wajah-wajah yang menjelek-jelekk an diri agar kelihatan
ngeri.”
“Uah, dapat saya bayangkan bagaimana gaduhnya
liturgi ala Romo Doyo itu.”
“Tetapi sering mereka melompong bolong tegang
mengikuti apa yang diperbuat para gembala itu.”
“Lalu, para misbinar keluar.”
89
pohon-pohon sesawi
“Ya, lalu para malaekat keluar dan menyanyi dan
menari. Nah, mereka satu-satunya yang serius. Saya
melihat sendiri bagaimana adik-adik ayu itu saling
bebincang agar berperan men ges ank an. Maka ketika
mereka keluar dengan seni tari yang rup a-rup an ya sudah
mereka hayati dari pesta sekolah atau entah kapan,
seluruh gereja diam dan terpesona. Memang bagus tarian
itu, walaup un dalam perasaanku masih terlalu seksi untuk
ukuran gadis-gadis masih kencur itu. Tetapi ya sudahlah,
memang ini zamannya, mau apa.”
“Segala keindahan dan kecantikan berasal dari
Tuhan,” gumamk u.
“Yaa, asal dipakai pada tempatnya dan tidak
menggoda ke dosa.”
“Mosok tarian anak-anak itu menggoda.”
“Memang belum Romo, tetapi bisa, mungkin. Kita
harus hati-hati, jangan main api. Tetapi Romo, saya
akui, betul bagus pementasa n mereka, dan merdu sekali
mereka menyanyikan Gloria. Gloria yang mereka hafal
tuntas. Apalagi ketika Sukemi mengu capkan berita
dengan suaranya yang bening, seperti malaek at sungguh:
‘Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kris
tus, Tuhan, di kota Daud…’ Dan seterusnya. Seluruh
Gereja hening senyap, sampai saya menetesk an air mata.
Kemudian gadis-gadis kec il itu menyanyi mengharukan:
‘… kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan
90
salib ringan dari gabus
damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepadaNya.’ Tidak ada siulan para pemuda atau apa pun
yang membuat gaduh. Romo Doyo di mimbar menunduk
dan mengatupkan mata. Kulihat di gua kiri altar, amat
dekat dengan pintu sakristi, Agnes meneteskan air mata
juga.”
“Ya, saya amat terharu.”
“Suster Agnes senang diminta berperan sebagai
Maria?”
Suster Agnes bersinar berbunga-bunga, “Aduh
senang, senaaang sekali, Romo. Ketika saya peluk patung
Bayi Yesus itu di dadaku, dan para gembala datang dengan
kata-kata bocah merek a yang sudah tidak bersenda-gurau
lagi tetapi serius sederh an a menyampaikan janji-janji
mereka, saya sungguh tidak dapat men ah an aliran air
hati saya. Rasanya saya menghayati keb ah agiaan Bunda
Maria.”
“Agnes, saya ingin bertanya, ketika kamu terharu
begitu... tetapi jika tidak mau menjawab, ya tidak apa-
apa. Apa ketika itu kamu tidak merasa sedih bahwa
seorang biarawati tidak akan mendapat bayi dan men yu
sui memeluknya seperti kau peluk bayi Yesus itu?”
Sejenak Suster Agnes diam, merenung memandang
ke dedauna n pohon-pohon.
“Jujur, ya… terus-terang ya, Romo.”
“Silahkan. Suster Viola boleh mendengar.”
91
pohon-pohon sesawi
“Jujur, dalam lubuk hati saya, saya menangis juga
bahwa biaraw ati tidak akan mengandung dan mereksa
seorang bayi mun gil manis anak kandungnya sendiri
dalam dekapan seperti ibu-ibu kita. Sungguh menusuk
dan rasanya nelangsa sekali. Tetapi kem ud ian saya seolah-
olah melihat gambar-gambar foto sek ian juta bayi kurus
dan anak kecil menderita di seluruh dunia yang sengs ara
dalam keadaan kekalutan politik atau ekonomi. Sep erti di
Afrika atau di Irian Jaya, di Jakarta dan di mana-mana di
negeri ini. Sekian banyak anak yang dianiaya oleh orang-
tuanya sendiri, ditelantark an oleh kaum dewasa, bahkan
did id ik dalam keadaan yang kotor kumuh. Anak-anak
yang tak bers alah tetapi tanpa diminta persetujuannya
terlemp ar di dunia ini den gan nasib menyedihkan yang
tidak mereka pilih. Tak berday a dan tak bisa apa-apa
kecuali tumbuh menjadi remaja yang kasar, tergoda ke
dalam kriminalitas atau pelacuran. Atau dip erk osa oleh
lelaki keji. Ah, Suster Viola, pada saat itu, saya lebih
menangis lagi. Bahagia jika boleh menjadi ibu asuh saja
untuk seb agian dari anak-anak terlantar itu. Ya Romo,
pada saat itu saya meneteskan air mata, berdoa, semoga
saya sebagai biaraw ati nanti diizinkan Suster Provinsial
untuk memungut dan membesarkan sebagian dari anak-
anak tak bersalah itu. Dis uruh menjadi perempuan
gelandangan sekalipun untuk menc ari anak-anak itu di
ladang-ladang sampah, saya mau, o saya sungguh mau,
92
salib ringan dari gabus
Romo. Bagaimana Suster Ola, apa Suster Prov ins ial kira-
kira akan mengizinkan?”
***
93
Gejala Pencolokan Suci
Selama 39 tahun sebagai pastor tentulah sudah
39 kali saya memp ersemb ahkan korban Misa Natal.
Ketika muda mengh ar ukan dan meneguhkan. Kemu
dian menjadi pekerjaan rutin. Walaup un sudilah jangan
disebut mekanis. Biasa-biasa saja, seperti seorang ibu
zaman dulu yang sudah melahirkan 11 atau 12 bayi. Yang
penting umat saya bahagia dan merasa keb utuhan jiwanya
terpenuhi. Kebutuhan duniawi yang kurang terp uji tetapi
tak terlarang juga boleh dilayani selama peristiwa Natal
atau hari raya lain; jangan dikatakan buruk; manusiawi
saja. Misalnya dorongan memamerkan diri dalam busana
yah ud dan penampilan uah cantiknya, mahalnya, paling
tidak men arik, ekstremnya norak menor edan mencolok.
gejala pencolokan suci
Mencolok artinya menusuk, menusuk mata tentu saja,
memaksa mata untuk melihat si pencolok dan... memu
jinya. Minimum tahu, bahwa sang Colok, biasanya putri
Hawa, ada, exists; artinya tidak hanya ada tetapi ada-dan-
berdampak di dunia, paling tidak dunia paroki. Tokoh
keindahan atau magnet yang harus diperhitungkan. Awas
rasakan, kalau kamu tidak ternganga Ms. Colok, akan
menyesal. Kalau acuh cuek, bukti bukan lelaki, bukan
orang. Mungkin pal kilometer dari beton, gerobak kayu
mundhung atau pipa air bambu petung tetapi bukan
manusia normal.
Tentu saja para peserta Misa Kudus Natal atau Paskah
atau hari raya lain yang suka mencolok tadi tidak sekeras
sekeji sek etus itu. Ada di antaranya yang bermotivasi
baik: untuk menghorm ati Yesus yang sudah sudi lahir,
tidak di bunbin Gembira Loka atau Taman Safari yang
masih terhormat, tetapi di kandang orang jemb el non-
pariwisata. Berkenan hadir di dunia yang mestin ya harus
dihujani air bah seperti waktu Nabi Nuh dulu atau
seperti..., ya terus terang saja kalau Anda membaca koran,
tid ak perlu ditutupi, seperti Sodoma dan Gomora.
Memang sudah keterlaluan ulah maksiat sekarang,
sehingga barangk ali menurut para nona/nyonya Colok
tadi ibadat di gereja perlu digemparkan sebagai demo,
sebagai antitesis atau dikatak an lebih sederhana: colok-
sodok yang pantas dipartisip as i. Kan tidak setiap hari
95
pohon-pohon sesawi
Hari Natal, padahal sikap batin perlu dieksp res ik an secara
pas dan relevan. Maka perlu pula busana yang mencolok
mendemo. Bahwa dalam praktekn ya peristiw a peringatan
suci lalu sedikit mirip lomba busana yang menjengk el
kan kaum tua tertentu, khususnya ibu-ibu usia tertentu
dan berstatus tertentu, nah bukan tanggung jawab korps
pencolok itu (maaf itu subyektif). Itu ekses tafsiran
orang luar, bukan bua h substansi motivasi intern para
pelaku yang merdeka, berdau lat, dan ingat apa pun yang
dikatakan, tetap warga Gereja juga yang sudah disucikan
oleh sakramen Baptis, diperkuat, dan didewasakan oleh
Roh Kudus ketika menerima sakramen Pen guata n, dan
jelas sudah mendapat jaminan berkat lewat setiap kali
mengikuti Ekaristi secara aktip. Sehingga berbusana
mencolok pun menjadi sebentuk partisipasi aktip yang
memang tidak dianjurk an tetapi minim dibiarkan oleh
Gereja.
Jadi apa salahnya ekspresi agak istimewa sedikit atau
taruhlah keterlaluan. Yang penting kan gloria in excelsis Deo,
mripatmu aja mlolo, cangkemmu aja mlongo. Jadi kesimpulannya:
biarlah saja anjing-anjing menggonggong, kafilah tetap
berjalan menuju oase Natal dan Paskah atau hari raya lain
yang notabene, jangan disepelekan, sudah lama diakui
resmi oleh pemerintah dengan tanda penghargaan angka-
angka di kalender yang dicetak berwarna merah muda,
dengan kata lain: hari yang mencolok.
96
gejala pencolokan suci
Demikianlah dengan langkah lenggok-lenggut goyang
yahok-yahut dan thok-thok-thok sepatu jinjit tinggi tetapi
uah-uah-uah leher sobek rendah, kafilah tetap melenggang,
biar anjing-anjing melolong. Untunglah kaum pencolok
itu relatip sed ikit sekali, tetapi dampaknya seperti meriam
dan gelombang gunjingnya melingkar luas. Itulah yang
namanya umat, kata Romo H generasi van Holland,
serba sumarah; Kyrie Eleison, Tuh an kasihanilah kami.
Sumarah, karena Romo H cukup mengenal keempat
Injil untuk sadar bahwa keloneng-theng keloneng-theng
lonceng gereja-gereja tidak memanggil umat yang saleh
yang sudah empat minggu Adven mempersiapkan diri
untuk Natal sehingga sebetulnya tidak memerlukan
diingatk an lonceng, tetapi justru para norak dan menor
yang masih me-lotion membedak melipsetik terlalu intensip
sehingga bisa-bisa terlamb at masuk kapal Nabi Nuh.
Namun masih belum lepas dari apa yang disuma
rahkan Romo H tadi, sudah waktunya dicatat oleh umat
yang biar ses aleh Samuel sekalipun dan kendati sudah
aman menemukan temp at han gat dan mapan dalam
kapal Nabi Nuh pun, toh masih sering tidak tahu (karena
mengantuk atau sedang memperhatikan somebody beautiful
di acara khotbah), bahwa liturgi itu bukan cuma upacara
yang dilakukan sekian jam sekian menit di gereja. Seolah-
olah Ekaristi itu baru mulai bila theng, Pak Koster
menarik lonceng kecil ke panti-altar, lalu iring-iringan
97
pohon-pohon sesawi
para putra-putri altar keluar dalam busana mereka yang
semakin tahun semakin bergaya kethoprak (sewarna rasa
estetik a rakyat keb anyakan yang memang gemar kostum
penari-penari Kirab Rem aja dan segala macam yang
gempar dan mencolok), kemudia n para imam yang sering
lupa menyisir rambut atau dari gerak kep ala dan mata
tampak benaknya belum masuk di padang dan kandang
Betlehem tetapi masih bermobilria di muka mall atau is
tana Anas Kayafas. Tidak, tidak, tidak begitu. Liturgi bu
kanlah pementasan seni teater; juga bukan seni dekorasi,
seni menggub ah bunga dan pita dan lampu gemerlapan;
itu bagus dan boleh, tetapi bukan itu.
Liturgi Ekaristi, apalagi demi perayaan istimewa,
yang dis eb ut dengan istilah aneh dan tidak tepat: Misa,
pada dasarnya adalah peristiwa. Peristiwa ekspresi
bersyukur berterima kasih, mengen ang wafat Yesus
Kristus, memuliakan kebangkitanNya, dan ungkapan
menantikan atau mendambakan kedatanganNya kemb ali.
KedatanganNya kembali praktis konkret jelas gamblang-
gamb long siapa tak tahu tempolong bolong, artinya:
pada saat kita didatangi kiamat kita masing-masing alias
saat kita men inggal dunia. Mengerikan? Tidak, mestinya
tidak, untuk orang beriman. Tetapi maklumlah kita masih
manusia biasa temp olong bolong.
Ekaristi memanglah peristiwa, atau dalam bahasa
bangku sekolah sekarang: proses total integral dari a
98
gejala pencolokan suci
sampai z, dari segala apa yang kita kerjakan. Dan a-nya
atau c-nya ialah antara lain, untuk makhluk-makh luk
tertentu, memilih dan menentukan busan a yang elok-
melok mencolok. Mungkin beli baru, mungk in meng
gunakan bekas dari kakak lalu diperm ak ini itu, recycling and
renovation, atau mengamb il dari almari persediaan busana
yang han ya tiga jumlahnya tetapi istimewa, bergilir setiap
tahun dip ilih bergantian. Ini jika masih diizinkan trend
mode yang maha kuasa dalam seni pencolokan.
Segala peristiwa tetek-bengek yang sudah berjalan di
rum ah, bahkan mulai dari proses menabung di Tabanas
demi pemb elian busana atau anting-anting atau makara
atau lipsetik, sabun apa, shampo merek apa, mandi sambil
jengkel handuk kok sudah bolong, lotion yang mana,
bedak pinjam dari siapa, mengen akan jam tangan bagus
indah tetapi mati tidak berjalan (ya sudah, yang penting
menghias-menarik), kemudian peristiwa mem angg il Bang
Becak untuk melaksanakan proses berminggu-minggu
sebelum mengambil keputusan pergi ke gereja bersama
sia pa dan men gapa, lalu tiba-tiba tergencet peristiwa adik
kecil men angis karena abang menakali, mendengar ibu
bingung kok BH merek favoritnya belum kering, dan lagi
Bapak Nabi Adam itu kok ngawur belum bangun padahal
lonceng gereja sudah berkelonteng untuk kedua kalinya,
lalu ndilalah sepatu masih baru kok terasa terlalu sempit
dan sakit bila berjalan, dan sebagainya dan seterusnya et
99
pohon-pohon sesawi
cetera et cetera, itu semua SUDAH termasuk PERISTIWA
merayakan Ekaristi. Termasuk yang dalam bahasa latin
disebut keren: Introitus (upacara jalan masuk), teriring
nyanyian yang pas. Atau dalam pesta perkawinan Jawa
teriring lagu Kebogiro mengiringi mempelai masuk
ruangan pesta. Entah men gapa begitu namanya; apakah
peristiwa perk awinan itu perjalanan kerbau? Sehingga ada
istilah pisah-kebo (bercerai bagaikan kerbau) dan akhir-
akhir ini kumpul kebo (berk ump ul bak kerbau?) Misteri?
Dan hidup perkawinan itu seperti kubangan kerbau?
Walahualam.
Tetapi sebaliknya terjadi setiap peristiwa punya
buntut. Ini istilah kurang keren. Gagahnya: epilog.
Pada ekor atau epilog peristiwa Misa Raya sering tim
bul cekcok ramai saling menuduh sia pa yang salah siapa
yang bertanggung jawab di kalangan para pen yan yi
koor atas peristiwa pentasan yang seharusn ya nasi tetapi
menjadi bubur yang mengecewakan, apalagi sekian kali
meraih nada tetap saja menggandul tidak tercapai. Vales
belero seperti pelog selendro. Lha celakanya pas saat
hening kudus konsentrasi kok lampu mati konseleting
sehingga membikin gaduh. Entah karen a sab otase entah
karena tololnya para pemuda ketika mem asang lampu-
lampu byarpet di gerbang atau gua Natal, padah al
pemimpinnya sudah mahasiswa elektro semester ke-7.
Ya, segala peristiwa yang sesuai dengan Warta Gembira
100
gejala pencolokan suci
para malaekat di padang Betlehem atau Warta Gembira
para ibu yang pulang dari makam Yesus yang sudah
kosong, maupun Warta Gembira yang menjengkelkan
menyedihkan, semua itu pada dasarnya parsitisapi, maaf
PARTISIPASI AKTIP merayakan Ekaristi.
Pertanyaan sekarang yang gawat ialah, apakah
muda-mudi yang hanya menjaga sepeda di luar sambil
bersendau-gurau dan men aksir gadis-gadis atau pria-pria
yang lewat itu, tetapi tidak pernah ikut berdoa bersama
umat di dalam gereja “Tuhan kasihanilah kami” atau
“Kudus kuduslah Tuhan” atau setidaknya menjawab
“Dan sertamu juga” atau “Amin”, sudah merayakan Eka
risti atau belum? Menurut laporan bernada tuduhan dari
beb erapa ibu Legio Mariae yang amat tajam penglihatan
meskipun merek a sudah berkacamata tebal, para muda-
mudi penjaga sepeda praktis tidak pernah ikut berdoa
dalam Ekaristi. Bukan fitn ah. Data statistik dan saksi-
saksi mata apalag i saksi telinga lengk ap, setiap saat dapat
dipanggil hakim.
Pernah dalam suatu kelompok diskusi Temu Pastoral
antarp ara pastor paroki Keuskupan, masalah atau lebih
tepat bukan masalah tetapi gejala tadi diajukan sebagai
sekedar sebagai bahan pengasah otak teologis. “Jikalau
menjaga sepeda itu suatu bagia n integral dari peristiwa
total liturgi,” demikian seorang romo dosen Fakultas
Filsafat dan Teologi berfatwa, “padahal tanpa mere
101
pohon-pohon sesawi
ka Misa Kudus sulit dapat dirayakan dengan hati ten
teram oleh umat, padahal lagi kas Seksi Kepemu
daan mem erluk an tambahan gizi yang substansial dapat
diandalkan, padahal tugas menjaga sepeda itu tidak
mungkin dikontrakkan atau paling sedikit akan terjadi
konflik berkepanjangan antara pihak pem ud a melawan
pastor dan dewan paroki, padahal banyak sekali padahal
yang masih dapat dipadahalkan, maka teo retis dapat
disimpulkan, meskipun jangan diumumkan: para re
law an-relaw ati muda itu sudah sah mengikuti Misa
Kudus, walaupun mereka itu cuma bersenda-gurau di
luar dan pacaran send iri bahkan bersiul lirih (tetapi toh
tetap kampungan) bila ada gadis lewat dan sebagainya.
Teoretis, sekali lagi ini teoretis,” begitu peringatan Romo
Dosen Moral yang rupa-rupanya kelak masuk surga yang
teoretis juga.
“Tetapi lalu bagaimana praktisnya?” tanya kami.
Sebab kam i-kam i gembala paroki berwajib menjaga
kesehatan rohani setiap warga kandangnya secara praktis
pastoral, termasuk par a baby-sitter sepeda tadi. Teori
memang harus diakui sulit seh ingga hanya dapat diolah
oleh para pakar, tetapi terlalu gampang bila sud ah
menyangkut sepeda apalagi siulan pemuda bila gadis lewat.
Perbincangan sengit tidak dihindari, argumen ilmiah me
law an sangg ahan emosi, dalil dibenturkan dengan dugaan,
teori dic aplok dengan praktek, debat doktor digasak
102
gejala pencolokan suci
debat kusir, pasal dek rit konsili dikelahikan dengan ayat
Kitab, nada mendongk ol dijotos dagelan konyol, dan
seterusnya. Tetapi nihil, nol pantat botol, ibarat catur:
remis. Kesimpulan terakhir yang akhirnya direkomend asi
penuh frustasi ialah agar iman, harapan, dan cintakasih
berbicara. Serahkan ikhlas kepada penilaian Tuhan yang
Maha Arif. Tetapi jelaslah itu bukan kesimpulan, tetapi
bukti kebin gungan. Sekali lagi di sini yang menang jaya-
wijaya ialah kaum kafilah, baik yang berbusana cantik
menggemparkan tad i maup un yang berangin-angin sepoi
nyaman bahagia di oase di bawah pohon angsana
pelataran gereja, penuh sepeda dan sepeda motor, yang
tidak ambil pusing dengan ibu-ibu saleh dan kaum filsafat
dan teologi sok saleh yang menggongg ong. Den gan
kesadaran tinggi membaktikan diri pada panggilan men
jaga mobil, sepeda motor, sepeda genjot yang dititipkan
dan yang kadang-kadang dicuri oleh seorang pemuda
Katolik sendiri, persisnya: yang punya agama Katolik
tetapi yang tidak ber-iman Gusti Yesus.
***
103
Kandang Betlehem
Suatu pagi saya mendapat telefon dari Pastor
Keuskupan bahwa Bapak Uskup ingin berbicara
dengan Romo Doyo, itu yang sok sutradara drama Natal
dengan Santo Yusup Pak Koster dan Bunda Maria Suster
Agnes dulu itu. Bapak Uskup gemb ala arif dan berhati-
hati. Oleh karena itu, agar Romo Doyo tidak terkejut
karena dipanggil (maklumlah biasanya yang dipanggil itu
entah dosen, profesor, konsultan diosesan, atau wakil-
uskup atau provinsial, pokoknya yang punya fungsi
tinggilah; maka jika ada pastor desa sampai dipanggil,
nah bisa-bisa panik serba binggung, takut bertanya
diri pernah memb uat kesalahan apa kira-kira sehingga
dipanggil Uskup), ia diminta berdoa litani Hati Kudus
kandang betlehem
Yesus agar badai dapat berlalu tanpa banyak kerusakan.
Demikianlah, agar Romo Doyo tidak mandek jantungnya
atau pening puyeng kepalanya, Bapak Uskup menambah
keterangan yang sebetulnya tidak harus beliau berikan
kepada bawahan. Yakni bahwa beliau ingin tahu, apakah
jadwal pemberian sakramen penguatan dapat diundur
sek itar 2 minggu karena mendadak beliau diundang
ke Hongk ong untuk mengganti Uskup Bandung yang
diminta oleh KWI sebagai peserta delegasi Indonesia ke
Konferensi Pastoral Gereja-Gereja Asia di Hongkong
tetapi terhalang sakit.
Pesan itu mudah saja saya hantarkan lewat seorang
pesuruh kepada Romo Doyo yang pastorannya belum
dihubungi telefon, tetapi baiklah, akan saya sampaikan
sendiri. Sambil menikmati Hari Natal pagi yang kebetulan
cerah. Saya tahu bahwa Natal pag i itu ia mendapat giliran
mengorbankan Misa Natal di suatu stasi terpencil yang
belum punya gereja atau kapel. Tanah den gan sebuah
rumah bambu sudah dibeli Keuskupan, tetapi malang
sekali, izin pembangunannya amat seret untuk tidak
men gatak an dihalang-halangi dengan macam-macam
peraturan dan pasal yang entahlah, orang Indonesia kaya
fantasinya, hanya dibua t-buat saja. Padahal sebetulnya
stasi pelosok itu berhak memb angun bangunan ibadat
karena gereja lama, atas perintah pem erintah yang
senang memerintah, harus ditinggalkan karena gurus
105
pohon-pohon sesawi
an lahar dingin sudah meruntuhkan tebing-tebingnya
seh ingg a ban gunan gereja lama yang kini terlalu dekat
dengan tebing sungai harus dibongkar dan pindah.
Tetapi begitulah, rup a-rup an ya ada beberapa oknum
berkuasa yang ingin kaya mendadak, maka macam-
macam saja permintaannya. Stasi Kedungwatu miskin,
jelas tidak punya persediaan dana non-bujeter. Bahkan
untuk urusan bujeter pun Senin-Kamis kempas-kempis;
sering hanya menikmati bujet yang non dan non-bujet
yang non juga. Non pangkat non. Tetapi umatnya rajin,
saleh, rukun, dan menggembirakan hati kehidupan iman
mereka. Harapan mereka mengenai pembangunan kapel
mereka segudang garam. Begitu banyak sehingga para
warga Stasi Kedungwatu tetap berharap belaka serta
berharap murni bisanya, hanya tabah tenang-tenang saja,
diam pelan tenang seperti gerak alam raya Kelurahan
Kedungwatu. Beternak dan memelihara harapan-harapan
mereka seperti memelih ara barisan itik, pen uh kesabaran
namun juga bijaksana menggiring itik-itik harapan mereka
itu ke sungai dan selokan peristiwa santai pun saw ah-sa
wah kosong; dengan keyakinan yang mengharukan,
ditunggui sabar. Pasti nanti bertelur harapan-harapan
bulat-bulat berwarn a hijau tua. Begitulah pembangun
an kapel itu macet, padahal pondasinya sudah rampung
dan besi-besi beton serba men yerongot dari pondasi ke
atas sebagai simbol doa-doa yang mencoba tetapi gagal
106
kandang betlehem
meraih awan-awan surga lalu karatan.
Memang umat stasi itu saleh dan rendah hati, tetapi
merasa perlu bercita-cita setinggi bintang-bintang di
langit Abraham. Mungkin karena para pengurusnya
orang-orang kecil yang tetap tak ut bila disuruh menem
bus pintu-pintu birokrasi negara dwifungsi. Atau mungkin
karena malas? Seorang rekan pastor tua men gatakan
bahwa mereka salah asuhan dulu; dipimpin oleh pastor
tarekat yang berduit banyak, sehingga segala-galanya di
jam in oleh para misionaris yang baik hati tetapi bukan
ahli pend idik itu. Sehingga menjadi stasi serba tak punya
inisiatip den gan dewan pemuka umat yang tidak pernah
mencari akal menc oba terobosan. Sampai Pastor Kepala
mereka selalu menyeb ut jengkel stasi itu sebagai Stasi
Barnen. Bukan Bubar Panen (Usai Menuai) melainkan
Sabar Permanen.
Ketika saya datang di muka halaman berumah
bambu yang berfungsi sebagai kapel darurat itu, dengan
jalur-jalur pematang pondas i yang sudah jadi dengan
batang-batang besi yang bosan mencerongot sudah lebih
dari setahun di tempat tanpa ada kelanjuta n, dan karena
itu kesal tidak PHK tetapi juga tidak punya kerja, lalu
iseng kadang-kadang menjegal kaki seorang bapak yang
kurang hati-hati sampai hampir jatuh atau menjambret
selend ang perempuan yang mereka anggap arogan (anak-
anak anehnya selalu selamat tidak mereka ganggu), hati
107
pohon-pohon sesawi
saya pilu melihat ketidakberdayaan umat saleh tetapi tidak
inovatip itu. Jip saya parkir di tepi jalan saja agar tidak
mengganggu upacara yang rupa-rup anya belum lama
berjalan. Beberapa warga umat menoleh lalu spontan
mengangguk dan dengan ibujari memberi isyarat supaya
saya duduk di muka. Tetapi dengan jari telunjuk di muka
bibir saya memberikan tanda, agar mereka diam, supa
ya bacaan Injil yang sedang difirmankan Romo Doyo
lewat pen geras suara jangan terganggu. Menjepitkan diri
antara pohon belimbing dan perdu kembang sepatu,
saya bersembunyi duduk pada kursi setengah reyot yang
disodorkan kepada saya.
Romo Doyo memulai homili. Entah dari mana,
agaknya ia keliru meniru pastor-pastor Belanda dulu
dari masa kanak-kanakn ya, menghantar khotbah den gan
suatu ayat yang khusus ia ambil dari Injil dan diucapkan
spesial dalam bahasa Latin. Ada alasannya. Seperti yang
pernah ia katakan dalam salah satu sharing: jika umat Islam
punya bahasa keramat Arab, dan Hindu punya mantra-
mantra Sanskrit, kami umat Katolik pun harus punya
identitas dan harga diri; punya bahasa suci juga, bahas a
Latin. Memang dulu sampai penutupan Ordo Lama itu
begitulah walaupun sebetulnya bahasa Hibrani Aram-lah
yang dis abd akan oleh Yesus, para Nabi dan para Rasul.
Tetapi datanglah gelombang misionaris Jerman dan
Belanda yang sudah dijangkiti teologi baru yang mengajar
108
kandang betlehem
bahwa semua bahasa itu suci karena Sang Kristus sudah
menyucikan seluruh alam raya dan segala makhluk dan
buatan manusia yang digunakan demi Kerajaan Surga.
Antara lain bahasa. Demikianlah bahasa Latin radikal
dan ekstrem (orang Barat itu memang sukanya ekstrem-
ekstrema n) ditinggalkan dan hanya bahasa Indonesia
maupun daerah digunakan dalam liturgi. Tetapi Romo
Doyo berpegang teguh, bahwa bagaimana pun bahasa
Latin pun bahasa, sama dengan bahasa Indonesia atau
bahasa Kubu, dan lagi sudah memp unyai sejarah lama
dalam adat Gereja. Sudah hampir 2000 tahun bahasa
resmi Latin dipakai. Demikianlah, seperti segala benda
atau buatan manusia yang sudah ditradisikan amat lama
sedikit banyak menjadi keramat. “Warisan ikat kepala
kak ek yang sudah wafat kan juga tidak langsung kita
pakai seb agai serbet meja makan,” begitu kata Romo
Doyo. “Dan keris kakek dari kakek kan juga tidak
kita pakai untuk mengiris bawang. Tidak ada sangkut-
pautnya dengan takhayul. Ini hanya murni sopan-santun,
penghormatan apa yang pantas dihorm ati, jadi amat
manusiawi dan yang penting masalah soal kepekaan ter
hadap dunia lambang.”
Saya senang mendengarkan argumentasi Romo
Doyo walaupun cara bicaranya seperti setenggok buah
salak yang belum dikupas kulitnya amburadul jatuh di
lantai. Betul dia. Silakan sekian teolog kepala botak atau
109
pohon-pohon sesawi
pakar pemakan buku segudang sepandai Santo Agustinus
berteologi tentang inkulturasi liturgi, pemribumian iman
dsb., tetapi rakyat bawah dan umat jelata mem erlukan
simbol dan bahasa pusaka yang mereka anggap punya
roh dan tenaga Ilahi yang misterius. Tidak cuma bahasa
yang dipakai RRI atau penjual jamu di tepi jalan Pecinan.
Diseb ut feodal atau magik atau takhayul sumonggo ndoro,
tetapi saya ada di pihak rakyat, ujarnya retoris dengan
bahasa salaknya berk ulit tajam.
Saya sungguh senang mendengar argumentasi
pastoralnya yang saya anggap jujur dan memang bera
kar dari pengalaman tentang kebutuhan kaum kecil
sederhana yang ia layani. Maka selama saya masih pastor
kepala, sekali sebulan pasti ada Misa Hari Minggu dengan
nyanyian-nyanyian Gregorian kuno dan lirik berbahasa
Latin tua. Memang Gregorian dusun, saya akui, tetapi saya
yakin musik dan nyanyian Gregorian pun di zamannya
Santo Agustinus dinyanyikan dengan mutu dusun. Lirik
Latinn ya tidak dimengerti, itu hanya soal penerangan.
Asal dib eri tahu pokok isinya, kan sudah cukup. Lagu-
lagu Gereja kan tidak untuk lomba kejuaraan paduan
suara sekabupaten, tetapi untuk direnungkan dan ditafsir
sendiri oleh umat masing-masing apa yang bermakna
baginya pribadi. Lagu-lagu antik itu mengh ub ungkan
kita dengan para suci dari masa lampau yang kini sudah
berbahagia di surga dan menanti kedatangan kita, begitu
110
kandang betlehem
keyakinan Romo Doyo yang masih mengipuk-ipuk memetri
warisan pusaka sekian abad yang amat berharga dan penuh
daya spiritual itu. Kulihat Romo Doyo mengatupkan
kedua telapak tangannya di muka dadanya dan dengan
mata terpejam ia mengumandangkan suara baritonya
yang memang saya akui berpamor mistik: Videntes autem
cognoverunt de verbo, quad dictum erat illis de puero hoc (Ketika
melihat sendiri mereka memahami sabda yang telah
diucapkan kepada mereka tentang anak ini).
“Saudara-saudara terkasih.” Ia melihat ke kiri ke
kanan, ke arah umat paling ujung. Lalu memandang ke
atap genting yang serba melengkung tak terurus, seperti
lukisan sketsa tak rapi tetapi berkadar seni. Romo Doyo
memandang ke dinding-dinding bambu yang malu ingin
menyembunyikan diri di belakang umat tetapi tidak
mampu, ke soko-soko guru yang biar terbua t dari kayu
nangka tetapi mengenaskan harga-dirinya. Lalu ia tertawa
terkekeh. Anak-anak menjerit menirukan kekeh Romo
yang mereka kenal betul sebagai imam tua yang sering
jen aka. Bapak-bapak dan pemuda-pemuda ikut terkekeh
juga dan para ibu dan gadis-gadis tersipu-sipu saling
memandang atau menutup i mulut mereka karena bagi
orang desa tradisional betul agak tabu tertawa sampai
kelihatan giginya, apalagi di tempat suci, walaup un
teramat miskin.
“Saudara-saudara seiman yang terkasih.” Lalu tertawa
111
pohon-pohon sesawi
lagi. Saya pun berbisik dalam hati: Sinting satu orang
ini. Akhirnya, “Saudara-saudara terkasih pengikut para
gembala Betlehem. Saya sebagai gembalam u sungguh
bahagia bisa mendapat kes emp ata n mengorbankan Misa
Natal di tempat ibadah ini. Memb uat hatiku tenang
dan tenteram. Membuat jiwaku seperti para gembala
Betlehem dulu. (Berhenti sejenak, kemudian dengan suara
bisik-bisik tetapi jelas ke dalam maik pengeras suara.) Tadi
(berhenti) tadi... tadi saya dibangunkan oleh Pak Koster
karena bangun kesiangan (Gerrrr Gerrrr). Maafkan, tadi
malam sesudah Misa Malam pemuda-pemudi kita yang
merasa seperti malaekat zaman dangdutan tidak pulang
dan bersenda-gurau sambil menyanyi-nyanyi di beranda
pastoran, sampai saya tidak dapat tidur. Tahu-tahu
didhodhok pintu kamarku. Bergegas-gegas tanpa mand i
saya kemari (ketawa gelak-gelak). Ya, hanya cuci-muka sedi
kit, daripada terlambat. Daaan... karena saya ingin meniru
para gembala Betlehem yang ceritanya kita dengar tadi.
Apa yang tertulis? Saya akan membacakan dari suatu
Kitab Misa Kudus kuno kecil tetapi tebal sekali ini.
Dengar: Et venerunt festinantes; et invenerunt Mariam, et Joseph,
et infantem positum in praesepio. Dan merek a datang bergegas-
gegas, venerunt festinantes, bergegas-geg as merek a datang, et
invenerunt..., dan mereka menemuk an Maria, Yusuf, dan
Sang Anak. Bergegas-gegas. Jadi saya tadi, walaupun tidak
mandi, datang bergegas-gegas ke kapel Stasi Srumbung
112
kandang betlehem
ini (Hmmmm hmmmm. Ada pemuda yang nyeletuk: Padune!
Alasan saja. Meledaklah tawa umat). Ya, memang itu alasan,
tetap i alasan berdasarkan Injil (Orang-orang mengangguk-
angguk geleng-geleng). Sekarang ah, saya tadi mengatakan
dan ini sungg uh tulus jujur tidak dibuat-buat: Romo Doyo
selalu sangat bahagia bila diperbolehkan menghaturkan
Korban Misa Natal di stasi Anda. Mengapa? Mengapa?
Terka? (Suara pemudi: Koornya merdu.) Nah betul. Koornya
merdu. Sangat merdu. Walaupun dipuji sendiri, daripada
tidak ada orang yang memuji. (Wooooo dari pihak koor dan
muda-mudi dan hahahahaaa dari umat dewasa.) Mengapa lagi,
saudara-saudara terkasih? Bapak-bapak? Karen a umatn ya
ramah-tamah. (Disambut kekeh tawa: Ge-Er, ge-er, gegedhen
rumongso, merasa diri sok-hebat.) Bagus dan betul. Karena
umat Srumbung ramah-tamah dan ge-er (terbahak-bahak
reaksi kawanan domba). Apa lagi Ibu-ibu. Mengapa Romo
Doyo sangat senang mengorbankan Misa Natal di kapel
Anda? Mboten ngertos, tidak tahu. (Tetapi ada ibu muda
yang berseru: Suguhane enak.) Betul, sungguh betul. Ibu
sungguh cerdas. Karena hidangan makanan untuk Romo
sungguh lezat sekali. Paling lezat di selur uh dun ia. (Ta
wa gem uruh: Ngeceeee, ngenyeeek! Meledek, menghina!) Tidak.
Tidak meledek dan tidak menghina. Dari hati yang tulus.
Apalagi seperti kebiasaan selama 10 tahun selalu sambel
goreng tahu taoco dengan petai yang aduhai gurihnya.
(Tak terkendali tawa para ibu sekarang yang tidak merasa
113
pohon-pohon sesawi
perlu menutupi mulut dengan tangan. Gigi-gigi indah maupun
ompong dipamerkan.) Sebetuln ya Saudara-saudara murid
Yesus yang terkasih. Tidak hanya sambel goreng taoc o
petai itu saja yang amat lezat dan boleh dibanggakan,
akan tetapi Stasi Srumbung MEMANG dapat dibang
gakan. (Ge-er, ge-er.) Imannya, harapannya, cintakas ih
nya. Kecuali yang tid ak dapat dibanggakan. (Nyindeeer,
ngenyeeeek, menghinaaaa.) Tetap i perkecualian itu selalu
sedikit. Jadi berbahagialah Anda semua (Ahem ahem,
tertawa, melirik puas hati). Tetapi sekarang ada soal serius.
Dengarkanlah. Tadi Romo bertanya, ada apa Romo Do
yo kok sangat bahagia ber-Misa Natal di sini. Jawaban
Bapak-bap ak, Ibu-ibu, dan Adik-adik Pemuda-pemudi
tadi betul. Sangat betul. Tetapi masih ada alasan lain.
Apa? (Diam.) Apa hayo, apa? (Saling memandang, mata besar
dan mulut menganga.) Tidak tahu? Jawabannya sederhana,
AMAT sederhana. Tidak perlu doktorandus atau Es Satu
atau ijazah SMU Kasimo untuk dapat menjawab. Hayo,
sekarang anak-anak di muka ini. Ayo anak-anak, dengar:
Me-nga-pa pada Hari Natal Romo suka datang berdoa di
sini, ya si-ni i-ni? Ingat: Hari Natal DAN tempat doa ini.
Apa? (Seo rang anak lelaki putranya Pak Kebon SD Fransiskus
menunjukkan jari.) Ya apa jawabannya, Tobil?” Sekian
pasang mata anak-anak bundar dan besar memandang
penuh tegang ke Tobil yang mas ih saja menunjukkan jari
sangat tinggi penuh keyakinan. Seorang ibu mendorong
114
kandang betlehem
pelan Tobil dan berbisik: “Kamu Tobil.” Dengan suara
bening seruling pikolo dari perak Tobil menjawab:
“Karena... karena kapel ini seperti kandang sapi Betle
hem.” Bergegaslah tawa para bapak, cekikik-cekikik
para ibu dan kejang-kejang perut para muda-mudi.
Saya pun ikut ters engat tawa spontan umat sederhana
yang digembala pastor yang merakyat rada sinting itu.
Pastor Doyo pun ikut terkekeh-kekeh dan lebih menja
larlah setrum tawa yang membuat para hadirin hadirat
terpingkal-pingkal perut kaku. Hanya beberapa bapak
pemuka Dewan Stasi tampak cemberut kecut. Sesu
dah reda, sang Pengkotbah bertanya: “Tobil, dari mana
jawaban itu kamu dapat?” Lantang tanpa malu, bahkan
bangga bahwa ia berhasil membuat gaduh seluruh gereja,
ia berteriak: “Kemarin sore! Kemarin sore Romo Doyo
yang mengatakan kepada Ayah.” Uaaah, lebih kacau lagi
suasana perjamuan kudus itu. Semua tertawa dan pura-
pura protes (Ngenyeeek! Ngeceee! Nyindhiiiir!) “Tenang,
tenang umatku tercinta (pelan badai tawa mereda). Ten ang...
nah saya ingin jujur. Memang saya men gatakan itu kepada
Pak Kebon SD Kasimo. Tetapi dengan maksud baik.
(Bela diri. Yang benar aja. Bela diri.) Betul, betul para ber
iman, para gembala Betleh em (Meledek lagiii, nyindhiiir lagi!)
Baik, baik, terima kasih. Tetapi sekarang Romo bertanya,
dan jawablah jujur. Mump ung sekarang masih Hari
Natal (hari lain boleh bohoooong!). Hari lain juga tidak boleh
115
pohon-pohon sesawi
berbohong, tetapi sek arang hari istimewa, SANGAT
istimewa. Nah, Et venerunt festinantes (langsung umat diam
tenang). Kita semua tadi dari rumah sudah berge-gas-
gegas seperti para gembala Natal itu pergi ke kandang
hew an Betlehem, DAN invenerunt Mariam, et Joseph, et
infantem. Dan mereka menemukan Maria dan Yusup dan
Sang Anak. Positum in praesepio, yang dibaringkan dalam
tempat makana n. Inilah rahmat Tuhan. Keagungan
orang kecil dan misk in di had apan Allah Yang Maha
Agung. Kelak Yesus akan berkata: ‘Berbahagialah kalian
yang miskin dalam hati, sebab kalian akan memandang
Allah.’ Dalam keheningan Malam Natal sia pa yang
dipanggil dahulu untuk menyaksikan Emmanuel, Tuh an
bes erta kita? Yang mengejawantah amat mengharukan
dalam kandang hewan? Bukan Ponsius Pilatus. Bukan
bendoro raden ayu isterinya. Bukan Herodes. Bukan para
penghulug ung Anas dan Kayafas. Bukan Kaisar di Roma.
Bukan Bapak Bup ati, Bapak Presiden, Bapak Kardinal.
Bukan Bapak Uskup. Buk an jug a Romo Doyopratomo
atau Ketua Dewan Paroki Mblud agan. Akan tetapi para
gembala miskin jelata yang tidak pernah dip erhitung
kan, ya umatku, oleh masyarakat tercinta. Gusti Allah
itu memang tak terduga, lain dari yang diandaikan oleh
mas yarakat ramai. Aneh, gemb ala-gembala miskin yang
dia gungk an dan dikumand angkan riwayatnya sepanjang
sejarah. Termasyhur sebagai orang-orang yang berkenan
116
kandang betlehem
kepada Tuhan, samp ai did atangi ribuan malaekat. Suri
teladan samp ai akhir zaman, buk an main. Siapa yang
mengagungkan diri sendiri akan direndahkan, dan siapa
yang merendahkan diri akan diagungkan. Atas nama
Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” (Hamiiin, Hamiiiin,
tanggap umat serius.) Romo Doyo turun dari mimbar,
tetapi berhenti dan bertanya: “Sekarang, apakah kapel
sama dengan kandang hewan? Ya apa tidak? (Tidaaak!)
Apa betul kapel ini memang seperti kandang Betlehem?
(Betoool!) Apa kalian akan membiark an begini? (Tidaaaak!)
Hamiiiin.” Romo lalu berdiri di muk a altar dan memulai
pernyataan sahadat: “Kawulo pitados ing Allah...”
***
117
Te n t a n g P e n u l i s *
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir di
Ambarawa, 6 Mei 1929, dan wafat di Jakarta, 10 Februari
1999.
1959 Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli,
Yogyakarta.
1966 Sekolah Teknik Tinggi Rhein, Westfalen, Aachen,
Republik Federal Jerman.
1978 Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies,
Aspen, Colorado, USA.
* Biodata penulis ini merujuk pada buku Y.B. Mangunwijaya, Surat Bagimu Negeri,
Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (Penyunting), Jakarta: Penerbit Harian
KOMPAS, 1999.
tentang penulis
Buku-buku Nonfiksi
1975 Ragawidya. Renungan Fenomenologis Religius Kehidupan
Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.
1978 Puntung-Puntung Roro Mendut. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
1978 Bunga Rampai Soempah Pemoeda. Jakarta: Balai
Pustaka.
1980 Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
1981 Dialog: Indonesia Kini dan Esok II. LEPPENAS.
1982 Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
1982 Sastra dan Religiusitas. Pemenang Hadiah Pertama
Dewan Kesenian Jakarta untuk Kategori Esai
1982. Jakarta: Penerbit PT. Sinar Harapan (Cetakan
I); Yogyakarta: Kanisius, 1988 (Cetakan II).
1982 Panca Pramana. Praktis Penggembalaan Jemaat.
Yogyakarta: Kanisius.
1983 Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jilid I (Editor).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1983 Citra Arsitektur. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
1985 Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jilid II
(Editor). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1986 Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
1987 Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa. Jakarta: Penerbit
119
pohon-pohon sesawi
Grafiti Pers.
1987 Putri Duyung yang Mendamba. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
1987 Esei-esei Orang Republik. Midas Surya Grafindo.
1988 Wastucitra. Pengantar ke Estetika Arsitektural. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
1995 Gerundelan Orang Republik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
1998 Menuju Indonesia Serba Baru. Hikmah 21 Mei.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
1998 Menuju Indonesia Serikat. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
1999 Surat Bagimu Negeri. Jakarta: Penerbit Harian
KOMPAS.
Buku-buku Fiksi
1981 Romo Rahadi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
1981 Burung-burung Manyar. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
1983 Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan (Cetakan I); Jakarta: Penerbit Djambatan,
1987 (Cetakan II).
1983-1986 Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri.
Trilogi novel sejarah akhir jaman Sultan Agung
dan Susuhunan Mangkurat I abad ke-17. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
1985 Balada Becak. Fantasi Humor. Jakarta: Balai
120
tentang penulis
Pustaka.
1992 Burung-burung Rantau. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
1993 Balada Dara-dara Mendut. Yogyakarta: Kanisius.
1994 Durga Umayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
1999 Pohon-pohon Sesawi. Novel. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
2000 Rumah Bambu. Kumpulan Cerpen. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
121
Tentang P enyunting
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962.
Tahun 1987 menamatkan studi pada Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia IKIP (sekarang Universitas) Sana
ta Dharma Yogyakarta, tempat dia kemudian menga
jar. Sejak 1992 bergabung dengan Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia (Grasindo), dan sejak 1999
menjadi editor pada Bank Naskah Gramedia. Ia juga
ikut berkarya di Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar
(DED), sebuah lembaga yang didirikan oleh almarhum
Y.B. Mangunwijaya. Puisi dan esainya dipublikasikan di
berbagai media massa, a.l. Kalam, Horison, Basis. Karyanya
juga dimuat di sejumlah antologi, a.l. Tugu (1986), Tonggak
IV (1987), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Utan Kayu—
tentang penyunting
Tafsir dalam Permainan (1998). Kumpulan sajaknya Celana
diterbitk an oleh Indonesia Tera bekerjasama dengan
Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation (1999).
Saat ini dia sedang menyiapkan kumpulan puisi baru.
Th. Kushardini lahir di Salatiga, 26 April 1966,
adalah alumnus Jurusan Sastra Jawa Fakultas Sastra
Universitas Negeri Surakarta. Pada 1991-1997 bekerja
sebagai editor Penerbit Intan Pariwara, kemudian be
kerja sebagai asisten Y.B. Mangunwijaya. Saat ini dia
mengelola Yayasan Dana Sayang Anak Derita (Dayang
Arita), sebuah yayasan yang didirikan oleh almarhum
Romo Mangun.
123
pohon-pohon
sesawi
Y.B. Mangunwijaya
Sebelum meninggal, Romo Mangun pernah bercerita bahwa ia sedang
mengerjakan sebuah novel. Mungkin novel inilah yang dimaksud.
Semula, naskah novel ini berupa berkas-berkas yang ditulis dengan
mesin ketik, tercerai-berai, penuh coretan, sehingga tidak mudah dibaca.
Setelah diketik ulang dan disunting seperlunya oleh orang-orang yang
dekat dengan Romo Mangun, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
menerbitkannya sebagai buku.
Membaca novel ini kita menangkap kesan kuat bahwa lewat karyanya
ini Romo Mangun ingin merefleksikan perjalanannya sebagai imam
dengan romantika dan konflik-konflik batinnya. Ditulis dengan bahasa
yang segar, jenaka, dan penuh sindiran khas Romo Mangun.
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) SASTRA
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 ISBN: 978-979-91-0463-2
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364 9 789799 104632
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
facebook: Penerbit KPG ; twitter: @penerbitkpg KPG: 901 12 0557