The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by tlogosadangmtsm, 2022-08-02 18:03:19

Pohon-Pohon Sesawi

Pohon-Pohon Sesawi (Mangunwijaya)

pohon-pohon di pekarangan paroki

itu dalam keadaan per­ang psi­kol­o­gis dingin dan sengit.
Sekaligus mengasyikkan. Psi-war antara Washington lawan
Moskwa sudah menegang­kan, apa­lagi per­ang saraf antara
orang Jawa, lagi sama-sama Katolik. Se­bet­ul­nya naif,
meski dapat dipahami, walaupun tidak dapat ka­mi setujui,
apalagi Pak Pranoto (kendati Katolik) dan Pak Yu­do­
nag­ o­ro (kendati Katolik juga) tidak senang satu sama
lain. Apa soal­nya? Ma­nus­ ia­wi­lah. Atau tidak manusiawi?
Entah­lah! Yang je­las itu soal perasaan. Lebih tepat insting
primordial (ka­ta lebih halus daripada primitip). Pohon
sukun besar kekar dan tingg­ i, daun-daun lebar sekali
bercabang mengkipas, dan ka­re­na itu relatip tidak punya
banyak daun dibanding dengan po­hon sa­wo yang lebat,
sehingga tampaknya agak gundul. Pak Pra­no­to pun ce­la­
ka­nya agak gundul juga. Pak Yudo dulu lebat ram­butn­ ya
tetapi sesudah perang gerilya di panti dengan perang bab­ i,
aneh­nya kolonel purnawirawan kita itu mulai gundul juga.
Umat ta­hu, pa­ling se­di­kit para aktivis dalam Dewan Paroki,
teri­s­tim­ e­wa dari sekian muda-mudi, tentang persaingan
Katolik law­ an Ka­to­lik yang primordial tidak terpuji tetapi
sebetulnya menga­ syikk­­ an itu. Perang Dunia Gundul,
kelakar para mudika itu. Yang tent­u sa­ja se­ca­ra lahiriah
dilarang penguc­ apannya oleh kau­ m tua (akan tetapi
dengan tawa terkikik dalam hati disegani) de­ngan teguran:
Husy! Atau: Tidak boleh! Tidak sopan! Atau: Kurang ajar.
Ka­lian kuwalat kelak gundul sendiri kalau sudah tua! Dan

39

pohon-pohon sesawi

sebagainya. Namun diam-diam di antara mereka, apa­
lagi di ka­langa­ n para ibu, istilah Perang Dunia Gundul
atau dik­ am­ u­flas­ e dengan perpendek­ annya Perdundul,
sangat bahkan ser­ing ter­bisik-bisik. Dan buruknya justru
dengan tawa terkikik-kikik. Bukti tidak halal. Memang
Hukum Cintakasih Kristiani se­ring me­nem­ ui kendala tahu
batasnya. Tetapi menga­pa to kok ada Perdundul?

Ah, sebetulnya manusiawi sekali, nothing extraordinary.
Sel­ain di­se­bab­kan soal insting persaingan antargerombolan
antar­or­gan­isas­ i, juga ada unsurnya yang khas Katolik.
Yakni siapa di an­tar­a me­rek­ a berdua itu yang hirarkis lebih
tinggi. Mana lebih tingg­ i atau lebih rendah: pohon sawo
atau pohon sukun? Orang me­ngir­a: pasti pohon sukun
lebih tinggi, tetapi itu kurang be­nar. Sering pohon sawo
(tetapi sawo manila) lebih tinggi. Pang­kat ko­lon­ el jelas
lebih tinggi dari letkol. Jadi ternyata kali ini po­hon sawo
lebih tinggi daripada sukun. Apalagi, tetapi ini tentun­ ya
klaim pihak sang kolonel, Angkatan Darat lebih ber­kuasa
dari­pada Polisi. Pak Pranoto menolak klaim itu. Tidak
ada sangk­ ut-paut den­ gan Angkatan Darat atau Polisi.
ABRI adalah satu. Me­mang be­liau hanya ber­pangk­ at
letnan kolonel purnawirawan, tet­a­pi lain soal Pak Pranoto
diperbantukan dan masih aktip selaku Wa­kil Ka­kanw­ il
Departemen Keuangan. Bukan cuma penjual sapi dan
babi. Kolonel atau letnan kolonel di sini tidak berbicara
apa-apa. lebih Wakakanwil Prano­to, Dominikus Pranoto.

40

pohon-pohon di pekarangan paroki

Namun kita harus berhati-hati, janganlah Perdun­
dul di­dra­mat­is­ asi apalagi ditiup-tiup menjadi isyu segede
balon Pusat Ri­set An­ta­rik­sa. Perdundul yang dimaksud
menggelikan nyaris kom­ ed­ i, yakni berwujud persaingan
yang amat sengit antara Ignasius dan Do­mi­nik­ us kita tadi
dalam perlombaan bagaimana pa­l­ing ber­jasa untuk Ge­
reja Paroki dan para pastornya. Tentu saja ada uns­ ur lom­
ba-cari-gengsi juga, tetapi itu tidak usah dikatakan (ditulis
boleh). Jika Ignasius tahu Dominikus menyumbang
Rp5.000,00 un­tuk kas para misdinar putra, maka langsung
Sang Igna­sius me­nyum­b­ ang Rp6.000,00 untuk kas para
Miss Binar. Kalau Dominikus kebetulan mendapat
informasi bah­wa Igna­sius men­ girim makanan siang bakmi
gor­eng kepada ke­pal­a pas­tor, pasti langsung pada petang
hari Sang Dominikus me­ngi­rim ser­an­tang capjai dengan
buyonghai yang diperkirakan leb­ ih mahal daripada bak­m­ i
goreng. Jika lagi sang Kolonel Pur­naw­ ir­aw­ an ke­betulan
tahu bahwa baru saja Letnan Kolonel Pur­na­w­ ir­aw­ an
men­ yumb­ ang taplak altar setengah dosin kepada ge­rej­a
paroki, pasti dua tiga hari kemudian ada kiriman tirai hias
dari Wa­ka­kan­wil Depkeu untuk dinding belakang altar
yang leb­ ih mah­ al hargan­ ya daripada setengah lusin taplak
altar. Dan sebagainya dan seterusnya.

***

41

Durian dan Pisang

Aluisia Kisminingsih bukan pohon tetapi bunga
paroki. Maw­ ar? Bu­kan. Melati, dahlia, bakung,
anyelir? Bukan. Bunga mata­ha­ri. Bodinya boleh, pantas
seandainya mengaku karatekawati ban hi­tam dua. Kekar,
montok, dengan gaya superior, “I’m the Champion!”
Karena namanya alamiah memintanya, ia sering dig­ o­sipi
(atau dapat dipraduga didamba juga) oleh para pemuda,
apa­lag­ i maha­siswa, dengan sebutan Miss Kiss-Me. Sebutan
yang tid­ ak re­al­ist­ik, apalagi dambaan mereka di belakang
itu. Khay­ al­an per­cuma untuk direalisasi. Melihat tubuh
super people-nya, me­nu­rut istilah iklan rokok TB, yang
realistik bukan Kiss-Me tet­a­pi Knock-Me-Down.

Lusia hanya tamatan SMEA, tetapi otaknya encer.

durian dan pisang

Sering mel­e­bih­ i cowok-cowok mahasiswa yang berjaket
kuning atau bi­ru atau ber­baret ungu itu. Ini tampak
menonjol dalam setiap dis­kus­ i, re­koleksi, retret, atau
selama berbincang-bincang biasa di bawah pohon
belimbing gereja. Ibunya janda yang mencari naf­kah
den­ gan menjual jamu-jamu galian tradisional di pasar.
Mungk­ in berkat jamu-jamu singset dan obat kuat lain
dari ibun­ ya itu­lah Miss Kiss-Me tampak seperti peremp­ uan
Jerman yang kend­ a­ti tetap feminin tetapi jangan coba-
coba kurang ajar kep­ ad­ an­ ya. Dibanting kau! Knock out!

Ada keistimewaan lain yang membuatnya menjadi a
remakable girl. Ia Katolik fanatik. Masih SD ia anggota putri
alt­ar, kemudian anggota koor paroki, koor lingkungan,
koor da­sa­war­sa, panitia retret, pengikut gladi rohani ini
dan aktivis pe­nat­ar­an itu. Lagi anggota Legio Mariae
yang super aktip. Ha­nya, masuk kelom­pok kharismatik
ia malas. Karena, katanya, ia tid­ ak ingin terlalu dekat
dengan Roh Kudus turun. Kalau samp­ ai Roh Kudus
masuk dalam hati, pasti ia terbakar. Tak usah! Kalau
Legio Mariae dia ikut. Tetapi dalam Legio Mariae ibu-ibu.
Padahal ada kelompok legio mu­da-mudi. Ini pun ada alas­
an­nya, dan ia tidak menyemb­ unyikan alasannya di bawah
kur­si empuk kamar tamu pastoran ataupun dalam almari
sa­kris­ti. Tidak. Ia karatekawati terus terang ala Arimbi
(itu wa­ni­ta rak­sasa, istri Werkudoro dalam wayang).
Pokoknya, ka­re­na me­nu­rut penilaiannya, teman-teman

43

pohon-pohon sesawi

putrinya masih ke­cil-kecil. Yang diomongkan cuma
model potongan rambut, blue jean mana yang murah
tetapi mendekati orisinil made in USA, atau mengg­ osipi
cowok dan cari akal menyontek yang aman. Miss Kiss-Me
entah mengapa tidak suka omong tentang cowok atau
cara-cara meningkatkan sex-appeal dan men-develope stra­te­
gi-strat­eg­ i menj­er­at pemuda. Pokoknya ya tadi itu, fanatik
Katolik. Yang nyaris dap­ at disebut kolot konservatip.
Maka oleh teman-temannya yang ten­tu saja tidak suka,
disebut munafik atau farwek, farisi cewek. Mungkin dia
minum terlalu banyak jamu tradisional, du­ga Fra­ter Gem­
bong yang kuserahi mem­ im­pin para putra-putri al­tar dan
memb­ eri kursus liturgi sedikitlah kepada anak-anak itu
agar ta­hu sopan-santun bila menghadap Tuhan selama
mel­a­yani Misa. Frater Gembong orangnya kecil kurus
seperti po­hon pis­ ang di mus­ im kemarau. Tetapi lucu
dan komentarnya ori­sin­ il, sering menggelikan. Sayang
dia sedikit menderita asma dan mu­dah kehabisan nafas.
Tetapi kehabisan lelucon dia tidak pernah.

Pernah Frater Gembong berteori sewaktu acara
makan sia­ ng, sat­u-satunya acara makan yang tidak dapat
dihindari semua pas­tor atau frater kalau sedang ada.
Macam-macam bahan pem­bi­car­a­an kami. Sampai pada
Pak Hadicondro dan Pak Yudo yang begitu fanatik
Katolik sehingga nyaris abnormal dan mas­ ih ada tokoh-
tokoh lain yang masuk dalam kategori fanatik, walaup­ un

44

durian dan pisang

semua, harus diakui ke arah yang positip: demi Gereja
Kudus.

“Apa bedanya Katolik fanatik dan bukan Katolik
fanatik?” tan­ ya Romo Broto yang tertua di antara kami.
Maaf, langsung Fra­ter Gembong yang sama sekali tidak
gembong karena kurus kecil itu bereaksi. Frater satu ini
agaknya punya bahan untuk men­jadi ahli teologi. Cuma
ya, teologi amatiran yang untung tid­ ak dik­ et­ah­ ui oleh
para profesornya, dan memang sengaja tidak per­nah saya
laporkan kepada para mahagurunya; jangan sampai ia
mendapat angka jelek nanti.

“Yang bukan Katolik fanatik,” begitu kuliahnya,
“bagaikan dur­i sem­barang duri, tetapi Katolik fanatik
bagaikan duri-duri buah durian. Asal tahu caranya
mengupas kulit yang berduri itu, orang dapat menik­mati
pahala di dalamnya yang manis dan mengg­ anja.”

“Wah...wah...wah,” seruku, “kalau begitu fanatisme
Katolik jauh lebih berbahaya. Khususnya untuk para
frater seperti kamu itu, manis dan mengganja. Awas
kamu!”

“Atau duri-duri tanaman bunga mawar?” sanggah
Romo Broto.

“Maaf, saya tidak setuju,” reaksi langsung Frater Anak
Pi­sang Kem­ ar­au itu, “sebab Bunda Maria sering di­lam­
bangkan de­ngan Mawar Mistika dengan duri-duri sapta­
duka yang suci. Ti­dak, tidak pas. Lebih tepat durian.”

45

pohon-pohon sesawi

“Baik, baik. Tetapi jika dikatakan mengganja, aku
tidak set­uj­u,” kritikku. “Bangsa manusia terbelah menjadi
dua golongan besar: yang suka durian dan benci durian.
Jadi sulit untuk pukul rata disebut mengganja. Dan manis
juga belum tentu.” Rekan pas­tor muda kami, Romo
Harsono, tertawa mengikik.

“Ada apa?” tanya kami berbarengan.
Romo Harsono kemudian menjelaskan, “Saya ingat
Pater Pref­ect saya di seminari dulu, seorang Yesuit yang
teramat streng dan as­ket­is. Teristimewa jika menyangkut
kaum wanita. Wah, bo­leh dikatakan de­ngan aman beliau
itu antiwanita. Hawa­lah yang mem­b­ awa malapetaka
kepada Adam. Nah, Pa­ter Pref­ect ini per­nah memberi
instruksi yang seumur hidup ka­mi tidak akan lupa. Ya,
ada hubungannya dengan durian itu. Bel­iau men­ gat­a­
kan dengan tekanan manifesto bahwa beliau tidak suka
durian. Kata orang enak, tetapi buktinya mengacau ling­
kunga­ n, lagi mempro­duksi kentut yang sungguh tidak
enak. Dan memb­ uat orang glegeken (bersendawa), dari
kerongkongan mel­edak-ledak gas-gas seperti dari intip
neraka. Lalu dengan streng se­kal­i beliau memper­ingatkan
kami para seminaris: ‘Ingat, buah durian itu buah ciptaan
iblis’. Dulu ketika pohon du­ria­ n dic­ ipt­ak­ an Tuhan di
Taman Firdaus, buah durian persis rambutan, han­ ya
besar. Isinya empuk, putih mengkilau murni dia. Kulitnya
pun empuk. Tetapi ternyata di bawah naungan rindang

46

durian dan pisang

pohon ram­buta­ n itulah Adam dan Hawa makan buah
kuldi larangan Tu­han. Maka sejak itu buah durian yang
kaget merana ngeri mel­i­hat ulah mereka menjadi seperti
yang kita jumpai itu. Berduri ke­ras, daging buahnya 5
persen saja belum ada. Hanya suatu lapisa­ n lendir seperti
tinja yang tertinggal. Tetapi anehnya, mas­ ih sa­ja ada
orang yang menyukain­ ya. Saya tidak suka durian, kar­e­na
itu lambang dosa sex, begitu menurut Pater Prefect itu.”

“Heh? apa?” Seperti aklamasi menyahut bersama
dalam MPR, saya dan Romo Broto terkejut mendengar
statemen yang aneh itu. Hanya Frater Gembong yang
terkikik-kikik.

“Begini keterangan beliau,” Romo Harsono mene­
rusk­ an, “lendir durian yang busuk baunya itu menggoda
dengan kem­ a­nisa­ n­nya. Kemanisan yang jahanam.
Sebetulnya Tuhan telah mel­in­dungi isi yang manis itu
dengan duri-duri, akan tetapi ma­nu­sia-dosa selalu nekat.
Mengupas kulit durian gayanya. Itul­ah, maka saya tidak
suka durian. Dan kalian, para seminaris, cam­kan­lah
hikmah lambang buah durian.”

“Ah, aku tak percaya Pater Yesuit itu omong begitu,”
kataku. Romo Harsono tertawa saja. Tetapi Frater
Gembong mem­bantu aku, “Itu dagelan kuno yang sudah
lama beredar di kal­ang­an seminaris. Khususnya kakak-
kakak kelas yang sudah men­dapat Teologi Moral.”

“Frater Gembong suka durian?” tanyaku.

47

pohon-pohon sesawi

“Durian yang mana?” Ia menangkis curiga jangan
sampai ma­suk jebakan.

“Ya durian yang durian. Yang dijual di pasar buah
itu.”

“O, kalau itu saya amat suka. Cuma tidak punya duit
untuk memb­ elinya.”

“Pokoknya, awas kau!” kata akhirku. Lalu kami
berdoa ber­sam­ a meng­akhiri makan siang.

Pada suatu waktu Romo Broto yang membina
Legio Mari­ae Ibu-ibu sedang sakit flu berat dan dirawat
di rumah sakit. Sem­ en­tara Frater Gembong kutugasi
mengganti Romo Broto.

“Bagaimana tadi?” tanyaku sesudah session Legio
Mariae.

“Wah, saya berkeringat dingin. Sering ditertawakan
ibu-ibu itu.”

“O, bagus begitu. Biar Frater tidak seenaknya saja.
Harus per­siapan betul. Sebab teristimewa Lusia itu, kalau
dia tanya bisa maut.”

“O, ya, betul Romo. Pertanyaan-pertanyaannya
sungguh maut. Mosok dia tanya: apa betul Gusti Yesus
tidak menikah? Dan men­ gap­ a? Apa perempuan dinilai
Yesus kotor?”

Meledaklah tawaku. Hahahaa, mampus kau Gembong
dengan teori durianmu.

“Uh, fanatik sekali dia. Saya benci!”

48

durian dan pisang

“Nah, katamu Katolik fanatik itu manis.”
“Ya, tetapi dia kebalikannya dari manis. Dia tajam.
Sejenis dur­ia­ n yang hanya punya duri-duri melulu tetapi
tidak ada daging enaknya.”
“Hohohooo, jangan berprasangka, jangan berkata
buruk tent­ang Lusi. Dia okay dan sehat walafiat otakn­ ya.
Cuma dia itu ben­ci pada lelaki yang bloon. Hahahaaa.”
Kisah durian ternyata berakhir dengan apa yang
disebut oleh seorang romo kami dengan kualikasi khas.
Kawan Romo ini pern­ ah di­tanyai sahabatnya sesudah
melihat film di TV. “Bag­ aim­ an­ a tadi happy-end-nya?” Dia
menjawab, “Wah happy-end-nya sedih.”
Hahahaaa, dalam hubungannya dengan kisah durian
tadi aku tidak tahu apakah ini happy-end apa sad-end. Sebab,
apa yang terj­adi? Ternyata aku dan seluruh Seminari
kebobolan. Frater Gem­bong, sesudah retret tahunan,
memohon mengundurkan di­ri da­ri Se­min­­ ari dan melamar
Lusi. Atau lebih historis, Lusi me­la­mar Gembong, tetapi
begitu pintar caranya sehing­ga seo­ lah-olah Gembonglah
yang melamarnya. Mungkin betul istilah tadi: Happy-end-
nya sedih dilihat dari sisi Seminari, tetapi dari sisi Miss
Kiss-Me happy-end yang betul-betul happy. Bahagia atau
sedih, jangan-jangan hanya satu mata uang yang bersisi
dua.
Sebelum pernikahan dilangsungkan, menurut Hu­
kum Ge­re­ja kedua belah pihak harus diperiksa dulu,

49

pohon-pohon sesawi

pemeriksaan kan­ on­ik namanya.
“Nah, bagaimana Lusi khabarnya?” Saya selalu mu­

lai den­ gan calon mempelai putri, karena merekalah yang
paling riskan dit­ipu atau dipaksa kawin. “Betulk­ ah Lusi
tidak dipaksa kawin dengan Gembong?”

“Tidak Romo. Entah dia.”
“Soal Gembong pasti dia nanti kutanyai juga. Tetapi
engk­ au, apa sudah 100 persen berniat sungguh?”
“Ya, Romo. Saya sudah cocok. Entah dia.”
“Soal dia, itu nanti saja. Tetapi Lusi Kisminingsih
tidak akan menyesal?”
“Saya tidak, Romo. Sudah mantap. Entah dia.”
“Lusi, Lusi, kalau sekali lagi kamu berkata ‘entah
dia’, ini akan saya tafsir, dia terpaksa kawin. Atau dipaksa.
Okay?”
“Maaf Romo. Tetapi kalau dia merasa dipaksa, ya
keterlaluan; dia kan sudah frater. Jadi tahu apa yang dia
lakukan.”
“Sudah, sudah. Kau bilang, dia frater. Apa kau tidak
takut mer­ebut pilihan Tuhan?”
“Lho, mana Tuhan bisa direbut. Kalau dia mau
dengan saya, dan ternyata dia tidak disambar petir
atau digigit ular berbisa, kan itu artinya Tuhan ikhlas.
Mungkin bahkan memberi rest­u. Saya tidak merebut,
Romo. Saya ora et labora, berdoa dan bekerja. Nah, Tuhan
mengabulkan. Apa salahnya?”

50

durian dan pisang

“Tidak ada yang salah.” (Dalam hati aku berkata
lirih: ‘Yang sal­ah Romo Yunus. Mengapa frater sekecil
anak pisang musim kem­ a­rau diberi tugas membina Legio
Mariae Ibu-ibu yang ti­dak semua nenek-nenek.’) “Hanya
banyak yang marah.” Lusi ters­ en­ yum deng­ an gaya I’m the
Champion.

“Ya Lusi, dapat dimengerti mereka marah. Marah itu
memb­ ukt­i­kan mereka masih manusia.”

“Dan berarti: menaruh perhatian daripada dingin
acuh tak acuh. Kan Romo pernah berpesan: marah sangat
sering adalah ungkapa­ n cinta. Bukan begitu Romo?”

“Ya, memang pernah itu kukatakan. Tetapi yang
penting, kamu betul sungguh-sungguh bebas berdaulat
tanpa dipaksa mem­ ilih Gembong sebagai calon suami?”

“Tidak mungkin ada satu orang pun memaksa saya
siapa yang ha­rus jadi suami saya, Romo. Ibu saya juga
gembira dan mer­estui.”

“Ya saya percaya, tetapi apa ibunya Gembong
bergembira juga?”

“Memang beliau pada awalnya tidak senang. Saya
dituduh me­re­but pi­lihan Tuhan. Akan kuwalat. Tetapi
saya mengarahkan Mas Gembong, bagaimana dia harus
berbicara dengan ibunya. ‘Begini Ibu, Ibu saya kira punya
firasat Frater Gembong itu tidak ber­ba­kat jadi rohaniwan.
Pasti stres dia kelak. Maka daripada sud­ ah imam lulus
keluar, lebih baik sekarang saja’. Begitulah Ro­mo. Dan

51

pohon-pohon sesawi

ini Romo, sayalah yang akan membimbingnya men­jad­ i
rasul awam yang baik. Awam tetapi baik. Maaf, awam dan
baik. Mungkin dulu dia merasa dipilih Tuhan. Tetapi ya,
kan baru merasa saja. Dan lagi saya tidak sombong lho
Romo, saya hanya berkata seapa-adanya: waktu masuk
seminari itu kan Mas Gemb­ ong belum kenal saya.” Aku
tertawa lepas.

“Wah, wah, wah, Lusi, kau sungguh GR.”
“Tidak GR, Romo. Ini kenyataan.”
“Sudah, sudah, Lusi. Pertanyaan selanjutnya. Lusi,
seb­ et­uln­ ya… terus terang saja, jangan marah. Kalau tak
suka menjawab pert­a­nyaan ini, ya tidak perlu dijawab.”
“Silahkan Romo, Lusi tidak biasa menyembunyikan
yang tid­ ak perlu disembunyikan.”
“Sebetulnya dulu itu yang melamar dia atau kamu?”
“Ya, jelas saya yang mulai, tetapi ini kan hak azasi.”
“Ya, ya, memang kamu berhak. Tetapi Lusi, kamu
ini, setiap orang mel­ihat, gadis kekar perkasa, berbakat
mendominasi ka­wan dan lebih jago bangkok daripada
ayam Kedu.” Lusi tertawa terkikik-kikik.
“Habis, yang membuat saya bukan saya sendiri
Romo. Apa sal­ah­nya saya?”
“Tidak ada salahnya. Cuma apakah Lusi sudah mem­
per­timb­ ang­kan, bahwa ada kemungkinan, Lusi, jangan
salah paham, kem­ ung­kina­ n pria kurus kecil seperti
Gembong itu nanti dapat ter­cekik bila kaupe­luk? Bisa

52

durian dan pisang

mati dia.” Muncratlah tawa Lusi seperti air ledeng kalau
dari selang penyiram kebun.

“Lho, ini jangan ditangkap harfiah, tetapi dalam arti
kiasan.”

“Terima kasih Romo. Tetapi saya kira dia tidak
akan terc­ ekik, karena sudah saya rasakan. Dia itu kurus
kering, tulang-tul­angn­ ya rupanya tidak bulat-bulat seperti
seumumnya, tetapi per­segi seperti pipa kaki meja itu. Jadi
sebelum tercekik, pasti saya sudah mera­sakan sakit dulu
dan saya lepaskan.”

“Bukan dalam arti harfiah Lusi, tetapi dalam arti
mental spiritual.”

“Sama saja Romo, yang penting tidak ada yang
memaksa ka­mi secara fisik, mental atau spiritual. 100
persen suka sama suka. Tiada halangan apa pun. Dia
belum pernah punya istri, ja­di per­ja­ka bebas, dan saya
juga masih prei bukan barang bekas. Ma­sih perawan.
Boleh diperiksa.”

“Cukup, cukup. Jadi Lusi sungguh tidak malu nanti
punya sua­ ­mi yang kurus kecil, sedangkan ya, ya, Anda
raksasi begitu, maaf Lusi.”

“O, Romo, no problem. Ini yang namanya jodoh yang
serasi, harmonis. Positip sama negatip, nah bola listrik
menyala.”

“Syukurlah Lusi, Romo ikut mendoakan, tetapi saya
ter­pak­sa meminta satu hal yang harus kau laksanakan.

53

pohon-pohon sesawi

Soalnya ini za­man sekarang, perlu saya tandaskan.”
“Apa Romo? Lusi siap.”
“Kau harus tetap mejaga keperawananmu, murni

sampai den­ gan upacara pernikahan.”
“O, jangan khawatir Romo. Memang permintaan

Romo itu tep­ at. Beberapa kali Mas Gembong itu men­
desak saya yang mel­e­wati batas. Mungkin karena dia
mantan frater, jadi kebelet be­gi­tu. Ya, saya maklum.
Dalam hati saya kasihan juga, tetapi satu kali merayu
ditertawakan, dua kali diperjuangkan masih nekat. Tiga
kali masih saja menyeruduk padahal sudah saya beri
rambu-rambu merah PKI, eee, coba-coba ngawur, nah
saya je­pit di­a di antara ketiakku: megap-megap sesak
napas dia minta amp­ un.”

“Sudah, sudah, tidak perlu mendetil. Ini bukan
penul­isan ske­na­rio sinetron, tetapi pemeriksaan Hu­kum
Gereja. Sudah, se­ka­rang si Gembong disuruh mas­­ uk.”

“Terima kasih, Romo.” Tiba-tiba tanganku diciumnya,
dis­ ed­ ot sampai basah merah lipstick. Lalu keluarlah dia.
Thok! Thok! Thok! Sepatunya. Membus­ ungk­ an dada
dahsyat ayam ke­du­nya. Sambil melemp­ arkan rambut
gimbalnya ke belakang. I’m the champion!

Pengecekan terhadap Gembong sangat pendek.
“Hallo Frater penggemar durian. Tak ada paksaan?”
“Tidak Romo.”
“Sudah tahu duri-duri apa yang akan menusukmu?”

54

durian dan pisang

“Sudah Romo.”
“Tidak menyesal?”
“Tidak.”
“Tidak malu dianggap anaknya?”
“Malah senang Romo.”
“Dianggap kernetnya?”
“O, kehormatan besar, Romo.”
“Bagaimana kalau debat kalah?”
“Itu tanda cinta, Romo.”
“Bagaimana ibumu? Ayahmu?”
“O, beliau-bel­iau pada permulaannya tidak setuju.”
“Karena apa?”
“Takut saya akan dihukum Tuhan. Soalnya saya
sudah frater.”
“Katakan pada ayah-ibumu: Romo Yunus menjamin
tidak akan ada apa-apa. Asal kalian kelak membuktik­ an
diri menjadi ayah-ibu yang baik seperti Yusup dan Maria
di Nasaret.”
“Maaf Romo, Perawan Maria bukan pegulat hak
asasi yang Katolik fanatik.”
“Ya, dan Santo Yosep tidak harus kecil seperti
kamu.”
“Lain ladang lain belalang, Romo.”
“Ah, ya, lain lubang lain ikan.”
“Mungkin Ibu Hawa seperti Lusi, Romo. Sampai
Adam dapat kalah argumentasi. Tetapi saya menang kok,

55

pohon-pohon sesawi

Romo. Cinta beg­ i­tu, sungguh.”
“Jadi sekali lagi, kau ikhlas kalau nanti kamu jadi

Kario­bakiak?”
“Kehormatan Romo, kebanggaan.”
“Tetapi satu hal yang saya minta…”
“Silahkan, Romo, asal Romo mau memberkati

pernikahan kami.”
“Atas satu syarat mutlak. Buah durianmu harus

matang di pohon. Tidak boleh kaulepas sebelum kalian
diresmikan menj­adi Abraham dan Sarai. Kalau kau
langgar seperti Adam, saya tid­ ak mau memberkati
pernikahan kalian di dalam gereja. Di sa­kris­ti pun saya
tidak mau. Paling pol di belakang sumur kebun sana.”

“Ya Romo, tetapi doakan saya, sebab jiwa saya
memang kuat, tetapi daging saya lemah.”

“Jiwamu pun lemah.”
“Nah, justru itulah saya memerlukan perempuan
kuat sep­ ert­i Lusi.”
“Kau senang mendapat durian sebesar itu?”
“Oooh, bahagia Romo. Sampai saya tidak habis-
habis berp­ ikir, mengapa saya dulu segila itu sampai
masuk Seminari.”
“Sekarang pun kamu masih gila.”
“Ya, tetapi kan lain, Romo. Gila karena cinta kan
lain.”
Upacara pernikahan Pisang-Durian kami seperti

56

durian dan pisang

yang saya harapkan tidak perlu terjadi di belakang sumur.
Tetap di muka altar dan diakhiri dengan doa penyerahan
indah di muka patung Bunda Maria. Khu­sus Pak Koster
saya suruh pasang lilin Paskah di muka Bunda Maria,
mengingat Mrs. Kiss-Me berukuran super-size. Bukan cuma
lilin kecil seharga Rp50,00. Yang ikut upacara tidak
banyak. Sederhana. Maka pada sore sejak menjelang
matah­ ari terbenam itu saya benamkan juga cita-cita si
Gembong dan orang-tuanya ke arah karier rohani jadi
rohaniwan. Upacara sore hari memang nyaman sejuk,
tidak berkeringat seperti pada siang hari. Koor penyanyi
yang gado-gado disusun oleh teman-teman setia Lusi
dan frater-frater sahabat setia Gembong, yang saya tahu
persis pasti membolos dari Seminari, bukanlah koor
super, tetapi justru mengharukan karena “alamiah”,
lengkap dengan nada-nada fals blero juga. It’s life! Real!
Exciting life!

Ketika dalam upacara saya resmi bertanya, “Gem­
bong, apakah kamu berniat menikahi Lusia ini, setia
kepadanya seumur hidupmu, mencintainya dalam suka
maupun duka, dalam kea­ da­an sehat maupun sakit, dalam
keadaan kecukupan atau kem­ is­kina­ n, dalam keadaan jaya
atau kalah kalau bertengkar?”

Si Anak Pisang Kemarau kering kurus itu hanya
berlinang-linang air matanya dan dengan senggruk-
senggruk haru menj­awab lirih, “Yaaa, saayaaa maau.”

57

pohon-pohon sesawi

“Diulangi! Saya sebagai Wakil Gereja tidak mende­
ngar.”

Dia disikut dari sisi oleh Miss Kiss Me. “Ya, saya
mau!” jawab­nya, sekarang agak terang.

“Dan kau, Aluisia, apakah kau berniat menikah
dengan Anak Pisang Kemarau Gembong ini sebagai
istri yang lemah-lembut dalam segala cuaca dan situasi-
kondisi yang okay mau­pun very bad?”

Dengan lantang Arimbi berseru, “Yes Sir! Siap! Ya!
Seumur hidup, sampai salah satu dari kami mampus.”

Happy end? Belum. Happy Beginning? Ternyata me­
mang betul: Apa yang mustahil bagi manusia, tidak
mustahil bagi Tuh­ an. Pisang memeluk Durian. Namun
upacara pernikahan Pisang-Durian itu tidak very happy.
Ketua dan Wakil Ketua Legio Mariae tidak mau hadir.
Mereka marah. Dalam anggapan mer­ek­ a (yang fanatik),
seorang anggota Legio kok tega-teganya (istilah mereka)
men­jatuhkan seorang frater, menjegal panggilan Tuhan.
Ini lebih berdosa daripada Maria Magdalena yang tidak
pern­ ah menggoda misalnya Rasul Yohanes yang perjaka
itu. Menj­atuhkan Yesus jelas mustahil, tetapi menjebak
calon rasul te­ranglah tidak boleh. Maka mereka dengan
sebagian terbesar ibu-ibu warga Legio itu memboikot
pernikahan antara Pisang dan Durian itu. Memang ada
benarnya, mana ada tanaman yang tumb­ uh dari hasil
pisang dan durian? Akan tetapi kan me­rek­ a ha­rus tahu,

58

durian dan pisang

dipanggil menjadi rohaniwan itu sama sek­ a­li lain daripada
dipanggil polisi atau kantor pajak. Dan lagi, kan semua
sudah berjalan mengikuti prosedur-prosedur Hu­kum
Ger­ej­a, Bunda Gereja yang berdisiplin keras tetapi juga
pen­ uh pengertian dan cinta kasih kepada putra-putrinya
yang kuat maupun lemah. Dan bukanlah saya pastor
paroki yang ber­tangg­ ung jawab? Fanatik Katolik? Katolik
fanatik?

Hanya sedikit kawan putri yang datang ke upacara
untuk ikut merayakan pernikahan Lusi yang merupa­kan
hasil gemilang dari Legio Mariae interesan. Mata saya
mencatat bahwa ibu-ibu yang pen­ uh bela-suka ikut hadir
dan mengucapkan selamat ham­pir semua punya anak
putra atau putri yang pernah men­co­ba masuk Seminari
atau Novisiat tetapi berhenti memilih pangg­ il­an jadi
awam biasa, panggilan yang suci dan berat juga. Yang
fana­tik justru mereka yang tak seorang pun dari anak-
anak mer­e­ka pernah mencoba masuk Seminari atau
Novisiat. Memang Ger­e­ja kita seperti perahu Nabi Nuh.
Ada merpati, ada hari­mau. Orang fanatik lupa bahwa
Hukum Tertinggi bagi murid Yesus adalah cinta kasih.
Tetapi aku paham: memang rasanya sakit, seolah-olah
Miss Kiss-Me merebut milik Tuhan. Atau ja­ngan-jangan
mereka cemburu, mengapa Frater Gembong yang per­
nah dekat dengan Samuel di Bait Allah dan karena itu toh
sudah belajar bertangg­ ung jawab dan saleh, tidak memilih

59

pohon-pohon sesawi

anak put­ri mere­ka? Tidak memilih salah seorang gadis
teman lain da­ri Lusi?

Tetapi pemuda-pemuda apalagi mahasiswa yang
berjaket kun­ ing atau biru itu, uaaaah, buanyaaak sekali
yang datang. Berb­ on­dong-bon­dong, istilah mereka
sendiri. Aku tahu mengapa. Ada unsur keinginan meli­
hat Miss Kiss-Me dalam busana kain dan kebaya, dengan
sanggul palsu yang wonderful. She was very beautiful indeed.
Nah, kelakarku kepada mereka, “Maka itu jadi frater­lah.
Wooo!” Kulihat bagaimana para keledai, unta, dan tapir
itu bers­ enggol-senggolan dan dengan bahasa angguk
kepala dan gerak tangan menunjuk kepada kuantitas
dan kualitas mempelai yang perkasa dibanding dengan
mempelai yang rek­ asa. Bunga di kebun Botania Bogor
yang berdiameter sem­ et­er dengan kumbang yang 2 cm.
Mereka pun mungk­ in iri hati, tidak dapat habis berpikir
batang-korek-api bisa ber­hasil memikat seorang Steffi
Graf. Ya, ya, pemuda-pemuda ter­sayang, Via Domini aliae
Sunt homonibus propositis (jalan-jalan Tuhan lainlah dari
yang dirancang manusia). Tetapi jangan ambil ke­simpul­
an sesat seperti yang dengan berkelakar kuka­takan tadi:
Ka­lau ingin mempersunting seorang Steffi Graf, jalannya
jadi fra­ter saja. Mrs. Kiss-Me hanya satu. Dan ex-frater
Gembong juga cuma satu. Dan “champion” pun satu juga.
Kenal itu lagu iklan Bentoel Biru di TV?

60

durian dan pisang

I love the blue of Indonesia.
It’s the flavor in the air.
It’s the flavor in you which attracts!
(Rasa sifat khasmu itulah yang menarik).

***

61

Tukang-tukang
Kebun Anggur

Aku sering merasa bersalah mengapa frater peng­
gemar durian itu dulu kutugasi membimbing Legio
Mariae bagian ibu-ibu. Tet­api rekanku pastor paroki
mengatakan bahwa lebih baik keluar se­belum ditah­biskan
daripada sesudahnya. Memang zamannya sud­ ah lain.
Dulu bunga menunggu kumbang. Sekarang bunga-bu­
nga lari-lari memilih sendiri kumbang merek­ a. Sebabnya
men­ urut para bunga itu, apalagi yang sudah doktoranda
atau yang bek­ erja dengan gaji lumayan, para cowok
tidak bermutu. Ini istil­ah mereka sendiri, karena mereka
ngobrol cuma soal tetek-bengek seperti sepeda motor,
haiking, memanjat gunung, atau karaoke. Sedangkan para

tukang-tukang kebun anggur

bunga itu lebih tertarik kepada hal-hal serius: rumah
tangga yang harmonis; bagaimana menjadi ibu ru­mah
tangg­ a yang baik hati, yang memperhatikan anak-anak,
tet­ap­ i jug­ a be­kerja di luar ikut mencari nafkah; bagaimana
nanti ka­lau suam­ i men­ yel­eweng; apa betul KB alamiah
lebih aman darip­ ada KB pakai alat; berapa jumlah anak
sebaiknya, dan hal-hal lain yang langsung menyangkut
kehid­ upan.

Memang dalam pertumbuhan kematangan para
pemudi leb­ ih cepat larinya daripada cowok. Pada umur
anak-anak lel­ak­ i sukan­ ya masih hanya menaikkan
layang-layang, mencuri mang­ga tetangga, atau mencari
macam-macam akal untuk mem­buat jengk­ el anak-anak
perempuan, lawan jenis mereka yang se­umurn­ ya sudah
diajari ibunya untuk mandi bersih dan ha­rum memb­ ed­ ak­i
wajah agar cantik manis, pita menyala di rambut, blus-
rok ra­pi dan menarik, dan jangan kasar jondal-jondil.
Tumbuh leb­ ih besar lagi, yang satu selesai makan terus
lari mengejar lay­ ang-lay­ ang, tet­api yang lain, dan ini pasti
gadis kecil, sudah di­jinakk­ an oleh ibu atau kakak untuk
ikut menolong mencuci pi­ring. Sebentar lagi menggoreng
telur atau tempe. Nanti bila abang da­tang dengan celana
kotor, nah siapa yang harus mahir menc­ uci? Mungkin si
anak lelaki dengan susah-payah dan ba­nyak ma­ki-maki
ancaman terpaksa jugalah mencuci celananya send­ i­ri,
tet­api di tempat jemuran jelaslah mana pakaian dalam

63

pohon-pohon sesawi

yang put­ih bersih seperti iklan TV, dan siapa punya
yang segan “menyilaukan mata”, redup seperti dalam
gerhana matahari. Dan ji­ka kanc­ ing baju atau celana
sobek, siapa yang menjahitkan samp­ ai pu­lih dapat dipakai
lagi? Sang kakak perempuan. Dari kec­ il si lel­ak­ i be­lajar
berpetualang, si gadis belajar bertangg­ ung jawab dan
praktis. Saya sendiri sering melihat bila ada pesta, khu­
susn­ ya dalam perayaan di kampung RT, kalau ada pesta
per­pisah­an siapa yang mengurus dan membagi konsumsi,
yang meng­hiasi aca­ra koor panembromo, tari-tarian,
deklamasi, yang menj­a­di pew­ arta acara? Ya si gadis.
Anak lelaki bertugas rebut­an kon­sums­ i, me­ngac­ au, dan
menerta­wa­kan mengolok-olok para penari gadis. Wagu!
Wagu! Tetapi apa reaksi gadis-gadis yang diperolok-olok
itu? Kalem menari terus saja. Anak lelaki di­angg­ ap an­jing
menyalak saja, tidak perlu digubris. Koor tetap men­ yan­ yi.
Rugi marah kepada hewan-hewan. Dalam Misa Kudus,
si­apa pembaca Surat Santo Paulus, dirigen koor atau
pengantar kol­ekt­e dan persembahan? Kaum bunga lagi.
Kalau anak sakit, anak mencari sekolah, siapa yang maju
dan berjuang gigih? Ibu-ibu. Dalam pertemuan bulanan
(Kolasi) para pastor pernah di­ajuk­ an keluha­ n, bahwa
jumlah putra altar semakin ambles, sedangk­ an jum­lah
para Miss Binar semakin tambah. Ini dapat men­ gu­rangi
kecintaan anak-anak lelaki kepada altar dan semua saj­a
yang ber­hubungan dengan gereja. Nah, kesal rekan-rekan

64

tukang-tukang kebun anggur

gemb­ ala ini. Ke­cenderungan ini dapat memadamkan
jumlah anak le­laki yang terpangg­ il masuk Seminari.

Memang harus diakui, para Miss Binar ini rajin,
tekun, dan ber­niat sungguh-sungguh bila disuruh berlatih.
Setengah jam seb­ e­lum ditentukan mereka sudah datang.
Serius mereka me­lat­ih di­ri dalam seni dan estetika putri
altar.

“Ya, soalnya mereka ini ingin dekat-dekat Tuhan atau
ha­nya meng­ikuti naluri gadis yang suka memamerkan
diri,” kritik seo­ rang gembala yang hobinya menjerat
anak-anak lelaki masuk Seminari.

“Nah, nah, nah, jangan berprasangka buruk seperti
itu,” sangg­ ah seo­ rang pastor sangat tua yang sudah
banyak makan garam, atau relaw­ an, membagi puluhan
ribu hosti suci kepada umatn­ ya. “Sea­ ndai­nya pun mereka
jadi putri altar agar nomor sa­tu mem­ ant­ask­ an kecantikan,
apa buruknya. Kan mereka mas­ ih kecil-kecil. Bunga gadis
kecil lebih pantas daripada bunga plas­tik.”

“Ya, tetapi anak-anak lelaki pasti kalah dalam lomba
seni pent­as di panti altar. Gengsi mereka tersingg­ ung.
Lalu malas dan men­ ingg­ al­kan gelanggang lomba di mana
mereka dari awal toh akan kalah.”

“Tetapi bagaimana sih sebetulnya peraturan resmi­
nya? Kat­a­nya putri altar masih dilarang oleh Roma. Saya
bukan ahli Hu­kum Ger­eja.”

“Ini bukan soal Hukum Gereja,” tegas pastor tua

65

pohon-pohon sesawi

tadi, ”tetapi kearifan pastoral.”
“Menurut patokan umum dalam teologi moral,”

kata seo­ rang pastor yang lain yang baru saja kembali dari
studi licentiatnya di Roma, “melanggar peraturan dalam
soal kecil itu boleh, asal ada alasan-alasan yang sah dan
seimbang. Demi pem­ ek­ ara­ n Kerajaan Allah.”

“Nah begini saja,” sambutku yang juga sering sok
teologis juga, “kalau memang betul jumlah lelaki yang
masuk Seminari itu berk­ urang karena munculnya para
putri altar itu, maka pert­ama apa­kah memang itu sebabnya.
Jangan-jangan anak-anak le­laki itu me­mang cenderung
suka membolos dan kurang tangg­ ung jawabnya. Nah
kalau begini, lebih baik mereka jangan ma­suk Sem­ in­ ari
saja. Nanti kita mendapat seminaris-seminaris dan pas­
tor-pastor muda yang manja.”

“Hohoho! Hahahao!” Seperti dalam koor para pastor
ber­e­aks­ i dan tertawa menunjuk kepada para pastor muda
yang biasan­ ya diam belum berani mengajukan suara
mereka. Pastor-pastor mud­ a ini ha­nya tertawa tersipu-
sipu saja. Ada yang mencoba memb­ uka mulut protes,
tetapi entah apa yang gagap mereka katak­ an.

“Ini saya tidak menyindir,” maksudku membenahi
suasana, tet­ap­ i hanya gelak tawa yang kuperoleh.

“Menyindir boleh, asal dengan cintakasih,” teriak
seseo­ rang.

“Boleh demi Kerajaan Allah,” seru yang lain lagi.

66

tukang-tukang kebun anggur

“Sindiran orang Jawa nyelekit seperti jarum pantat,”
koment­ar seorang rekan lagi.

Lalu lanjutku, “Baik, baik, alasan kedua dari saya
ialah ini: Jika memang betul terbukti...”

“Tetapi harus terbukti ilmiah dan pastoral,” sela sese­
orang.

“Ya…, dan pastoral. Bahwa para putri altar itu
penyebab dar­i berkurangnya misdinar putra dan jumlah
seminaris atau novis, nah jangan khawatir. Pa­ra putri
altar itu kelak kalau sudah menj­adi ibu-ibu, mereka akan
melahirkan anak-anak lelaki lebih ba­nyak lagi (Hoho!
Hoooo! KB! KB!) daripada jumlah teman-teman mereka
sebaya dulu yang malas.”

Hanya gelak ejekan dan olok-olok ramai saja yang
men­ yangg­ ah alasanku yang kedua itu. (“Psikologi be­
cak! Debat kusir! Spekulasi tukang bakso!” ledek teman-
rekan itu.) Akhirnya Romo Vikep mer­e­dak­ an suasana
dan menutup debat kusir demi Ker­aja­an Allah tadi
dengan menyerahkan kebijaksanaan kepada ma­s­ ing-
masing paroki.

“Sebab situasi-kondisi paroki itu lain-lain,” kata
beliau.

“Ada pastor dan dewan paroki yang bangga putri-putri
mer­ek­ a ber­pentas sambil memuliakan Tuhan, eh maaf,
memuliakan Tuh­ an sambil pamer (hahahahaa!) dan ada
yang masih mengk­ haw­ a­tirk­ an jangan-jangan nanti bapak-

67

pohon-pohon sesawi

bapak kaum lelaki terkena getah­nya karena di rumah
kalah menghadapi kaum istri (hoho­hooo!), atau kalau
pastor ya, kalah terhadap ibu-ibu paro­ki.” (Meledaklah
tawa pastoral sambil tuding-menuding mengejek rekan
sama-sama tukang kebun anggur Gerejawi.)

Ketika hasil kolasi itu saya ceritakan kembali kepada
Pater Pro­fes­ or Doktor Yan van Kikkerland, OFM,
profesor tua saya dulu yang sering saya kunjungi karena
beliau sudah jompo dan ha­nya dapat berdoa saja, beliau
berkata dalam bahasa Belanda: “Ya mijn waarde vriend
(ya, sahabat berharga saya), sebetulnya kita tidak usah
bingung bila jumlah calon imam berkurang. Tuhan ialah
Tuhan. Tuhan juga tidak banyak. Tuhan dapat berkarya
bagus dengan imam sedikit. Dan dapat berkarya gemilang
tanpa imam. Tetapi jangan bingung, imam selalu ada.
Dan dalam jumlah yang pas. Soalnya hanyalah sistem
pastor­alnya.”

“Tetapi Pater, bagaimana kalau jumlah imam terlalu
sedikit? Pada­hal para imam tulang punggung gereja. Dan
jumlah umat se­makin tahun semakin bertambah.”

“Tulang punggung Gereja ialah Kristus. Dan yang
men­ ga­tasi keadaan ialah Roh Kudus. Soalnya bukan pada
jumlah imam, melainkan pada sistem kegemba­laan yang
dipakai. Bila imamn­ ya banyak, maka sistem pastoralnya
yang wajar ialah sistem yang mendasarkan diri pada
realita imam banyak. Kalau imamn­ ya sedikit, sistem

68

tukang-tukang kebun anggur

pastoral yang pas, yang relevan dan yang bet­ul ialah
sistem dengan dasar realita imam sedikit. Kalau tidak
ada imam, ya, tidak ada imam. Sistem penggem­balaan
imam ya harus khusus, jangan sama saja dengan sistem di
mana imam­nya banyak atau sedikit. Lihatlah umat Flores
itu: sekian abad mengalami situa­ si Gereja tanpa imam,
yaitu waktu Spanyol dan Port­ugal diu­ sir Belanda dari
Nusantara. Waktu zaman Jep­ ang Indonesia hanya ada
tiga Uskup. Satu tahanan rumah, Mgr. Willekens, S.J. Jadi
lumpuh. Di NTT-NTB cuma satu Mgr. Leven, S.V.D., di
Semarang Mgr. A. Soegiyopranoto, S.J. Sumatra kosong.
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian kosong. Terp­ aks­ a Sri
Paus mengirim Uskup Jepang, Mgr. Yamaguchi, dip­ er­in­
tahk­­ an membantu di Flores yang umatnya paling banyak.
Nah, semua imam, pater, bruder, suster berkebangsaan
Belanda semua ditawan. Pastor pribumi hanya sedikit
sekali. Romo Pujoh­ andoyo, Pr satu orang untuk seluruh
Sumatra Selatan. Jadi amat sedikit. Nah, dalam situasi
serba darurat itu sistemnya juga darurat. Kaum awam
yang dulu di zaman Belanda hanya ja­di pu­puk bawang,
muncul maju, mengatasi situasi Jepang dan ge­jo­lak
dahsyat revolusi. Nyatanya bagus, bagus sekali. Gereja
Katolik di zaman Jepang dan Revolusi benar-benar
antisipasi real yang gemilang dari apa yang kelak lebih dari
20 tahun kemud­ i­an digariskan oleh Konsili Vatikan II.
Dan jangan lupa, dalam ke­ada­an paling pesimis pun kita

69

pohon-pohon sesawi

masih selalu punya ibu-ibu. Nah, merekalah sebenarnya
dalam Kerajaan Allah imam-imam yang paling sejati.
Tetapi ini jangan kaukatakan kepada Bapak Uskup atau
Rektor Seminari, hahahaaa!”

Saya agak terhibur dari rasa salah pernah menyu­
ruh Frater Gemb­ ong membina Legio Mariae Ibu-ibu
setelah Gembong-Lusi menjadi pasangan yang baik
dan menyenangkan. Anak mer­ek­ a dua, putra dan putri
sesuai anjuran pemerintah. Gembong yang menj­aga
dan menyuapi anak-anaknya, dan Kiss-Me aktip di pa­
ro­ki, bahkan pernah dipilih menjadi Ketua I Dewan
Paroki. Hanya menjadi Pastor Kepala Paroki Alusia
Kisminingsih bel­um boleh. Seandainya boleh, pasti
Gembong disuruhnya men­jadi koster. Pasti senang sekali
dia si Pisang Kemarau itu. Akan dia anggap sebagai
kehormatan besar.

Ketika dua mempelai itu pulang dari perjalanan
bulan madu (hanya ke Sendang Sono, jadi pasti bukan
bulan madu) dan men­ gunj­ungi­ku, aku bergurau berpe­san
kepada mereka, “Nah, sekarang tugas kalian anta­ra lain:
punya anak yang semoga jadi imam paroki, biarawan atau
biarawati.”

“Persis Romo,” seru Nyonya Ayam Kedu, “itulah
yang kami mohon dari Bunda Maria di Sendang Sono.”

“Ya betul, Romo. Soalnya saya ini tidak berbakat, kok
dulu aneh-aneh meraih bulan.”

70

tukang-tukang kebun anggur

“Ah, ya bukan meraih bulan, Mbong. Manusia
berikhtiar, Tuhan memutuskan,” kataku tidak orisinil,
meminjam pepatah usang.

“Tetapi, jika anak-anak kami nanti punya darah
si Lusi ini, past­i anak-anakku nanti kuat kekar seperti
Samson. Mentalnya, Romo. Tidak seperti saya ini.”

“Lho, lha ya Samson, aku percaya,” kataku sambil
mem­ and­ ang kepada Champion, “tetapi kalau ada Delilah,
bagaimana? Hahahaaa!” Kedua mempelai baru tertawa
juga saling senggol-senggolan.

“Maka itu, Romo, anakku nanti jangan diberi tugas
membimbing Legio Mariae Muda-Mudi.”

***

71

Salib Ringan dari Gabus

“Hei, hello, siapa ini? Bunda Maria dari Nasaret
atau Maria Ibu Yakobus? Atau jangan-jangan
Maria Kleofa atau Maria Goretti atau...?”

“Maria Magdalena, bukankah itu yang Romo
maksudkan?” taw­ a tamu Natal pada pagi segar, meng­
harum rumput-rumput bug­ ar basah. Kemenakan saya,
Sri Rejeki nama kecilnya, sek­ ar­ang keren Suster Agnes,
yang baru saja mengucapkan kaul sementara. Belum 3
bulan tamat novisiat dan sekarang di­ber­i tu­gas perc­ obaan
membantu di paroki tetangga. Tepatn­ ya di lingkungan
Benggolan yang punya gereja kecil joglo di pinggir­an
hutan jati pegunungan kapur utara sana, sederhana tetapi
men­ yej­ukk­ an hati. Agnes tinggal di suatu rumah nenek

salib ringan dari gabus

janda dar­i man­tan carik desa, bersama seorang suster
yang sudah ber­uban yang dulu sudah saya kenal juga.
Suster Ola, seorang sa­ha­bat salah seorang adik saya di
SD dulu.

Tidak ada hubungan dengan Hari Natal atau kunjungan
dua tamu itu kecuali jika dicari-cari. Hanya ibarat coretan
bawah yang membuat afdol suatu tandatangan. Iseng
dapat diceritakan, mud­ ah-mudah­ a­ n bukan digosipkan,
sebetulnya Suster Ola itu ke­ti­ka di­resm­ ik­ an jadi biarawati
mendapat hadiah nama (yang pada waktu itu sedang trendy)
dari pembesarnya: Maria Tak Bern­ oda (hari rayanya 8
Desember), dalam bahasa Latin, yaitu Maria Immaculata
(Maria Tanpa Cacat). Atau juga aneh se­ka­li me­ngapa
sampai begini: Maria Inviolata. Kata inviolata sebetulnya
kurang enak, sebab harfiah berarti, terus terang saja, ti­
dak dip­ erk­ osa atau digagahi. Jadi Maria Immaculata jauh
lebih indah. Tetapi para suster itu rupa-rupanya kurang
memahami bahasa Latin. Dari bunyi inviolata agaknya
terdengar merdu. Viola, vioul, violi, biola. Maka Suster
Pemimpin Biara tergoda dan memilih nama fatal. Maria
Inviolata. Lebih fatal lagi, di­sing­kat dalam pemanggilan
sehari-hari: Inviolata. Tetapi segera ini fatal pangkat tiga
dirasakan ruwet, disingkat lagi menjadi Violata, harfiah
(dia yang) digagahi. Lebih malapetaka lagi, Vio­lata
masih terlalu panjang, lalu disingkat lagi menjadi Viola.
Memang merdu bunyinya, bahkan berseni musik karena

73

pohon-pohon sesawi

dekat dengan biola. Akan tetapi begitulah, membuat
gempar pangkat ent­ah berapa, sebab bentuk viola adalah
bentuk kata menyuruh: perkosalah. Untungnya kekeh
dan kikik hanya terdengar di kalang­an yang tahu bahasa
Latin, praktis para pater dan frater. Apa­kah di kalangan
kongregasi Suster Viola itu tidak ada suster Bel­an­da yang
pernah bersekolah di Gimnasium, yakni SMU unggul
yang bermata-ajaran bahasa Latin? Teka-teki.

Namun rupa-rupanya ada seorang Pater Rektor atau
frater ke­ter­laluan beraninya, yang memberitahu pimpinan
tentang arti ses­ ungg­ uhn­ ya dari kata mirip biola tadi.
Tetapi sekali nama Inviolata tetap abadi Maria Inviolata.
Cuma didekritkan bahwa selanjutnya nama panggilan
untuk suster yang malang itu ialah Ola. Agaknya sesudah
konsultasi entah pada kamus Latin-Belanda atau pada
Pater Rektor, bahwa dalam bahasa Latin tidak ada kata
ola. Cuma susahnya, set­iap ada sesuatu yang mengh­­ e­ran­
kan, mengagumk­ an, atau penuh pertanyaan, di Negeri
Salju sana orang berseru: Olala! Terjemahan dari bahasa
Jawa: Uweelha, atau menusuk bagi telinga santri: oallaaa.
Seh­ ingg­ a Suster Ola sering diejek dengan seruan-seruan
yang pura-pura tak tersengaja: Olalaa, Olala celaka sekuali
sekuala, tempen­ ya go­song olalaaa. Tetapi Suster Ola yang
baik hati meng­anggap ejekan-ejekan oallaaa olala itu
hanya sebagai salib ringan dari gabus.

Maka datanglah tamu-tamu Natal itu, yang satu

74

salib ringan dari gabus

seperti Eli­sa­bet, ibu Yohanes Pembaptis, dan yang satu
lagi nyaris masih re­maj­a, mungkin Maria waktu itu.

“Selamat datang, Suster Ola. Senang saya melihat
Suster memb­ aw­ a si Jeki ini. Sudah lama tidak muncul,
pikirku apa dia ini la­ri dari biara.”

“Ada-ada saja, Pakde ini,” protes si yang bukan Ola
bers­ u­ngut-su­ngut pura-pura marah. “Pagi Hari Raya
Natal sudah mulai meledek orang tak berdosa. Selamat
Hari Natal dulu, dong. Berkati dulu dong.”

“Ah, ya. Selamat Hari Natal Sri, eh maaf sekarang
sudah yang terpuji Suster Agnes.” Melengoslah Sri Rejeki
dengan genitn­ ya yang belum dan semoga tidak akan
hilang (begitu ha­rap­an lubuk hatiku) dari dirinya yang
sejak dulu selalu sukaria me­nyen­ ang­kan itu.

“Selamat Hari Natal. Natal gembira ria teriring
dentang lonceng Natal, dong! dong! ding dong!” sindir­
nya. “Sekali lagi: Selamat Hari Natal, dong! dong! ding
dong!” Tawa berderai-de­rai dar­i dua wajah suster.

“Kamu ini kalau berbicara dengan Romo jangan
pakai dong dong dong,” tegur Suster Ola Kakaktua
kepada adik-dongnya. Langsung dua tangan si Agnes
mengatup dan membuat sembah ke arahku.

“Maaf, banyak maaf Natal, Pakde Romo. Memang
Natal Ag­nes kurang sopan, tetapi jangan marah dong.”
Kami bertiga ter­tawa ria.

“Ya Suster Ola, inilah generasi muda yang rupa-

75

pohon-pohon sesawi

rupanya la­hir seperti Yesus dengan teriring paduan
nyanyi malaekat dan lon­ceng-lon­ceng kabar gembira
dalam kepala mereka. Maka set­iap kali terdengar dong
ding dong. Tetapi mari duduk dan cer­i­ta, ada apa di
padang Betlehem Benggolan, ah stasimu itu kok aneh
ben­ ar na­ma­nya. Mana ada nama kok Benggolan. Agnes
tah­ u apa arti benggolan?”

“Tentu saja. Tempat benggol. Benggol itu nama
Jawanya Bengga­la di India itu. Sapi Benggala artinya
sapi besar. Dan du­lu zaman ibu masih kecil, mata uang
tembaga besar yang ka­dang-kad­ ang dih­ adiahkan kepada
ibu namanya benggol.”

“Tidak hanya itu,” sanggahku. Gelak tawa berku­
mand­ ang lagi.

“Kepala gerombolan kecu,” seru si gadis berjilbab
yang sul­it di­ba­yang­kan di sarang penyamun itu.

“Benggol paroki kalian siapa?” tanyaku kering
kerontang. Mel­on­jakl­ah si Agnes dan Suster Ola geleng-
geleng kepala samb­ il tert­aw­ a ter­kekeh tetapi tangan tetap
di muka mulut.

“O, Pakde, tadi malam lucu sekali. Aduh sampai kaku
perut kami. Di ge­re­ja, aduh jika Romo melihat, sungguh
pasti tidak bis­ a ber­hen­ti tertawa. Aduh luar biasa, kami
tidak dapat berdoa, be­gi­tu lucunya.”

“Agnes, kalau bicara dengan Romo jangan menyebut
Pakd­ e, apa­lagi Pakde Romo. Kurang sopan.” (“Ah, sekali

76

salib ringan dari gabus

Pakde sel­a­ma­nya Pakde,” tegas si Kecil.) “Dan bercerita
harus urut, ja­ngan ter­tawa dan aduh aduh lucu begitu.”

“Tetapi nanti dulu, mari duduk dulu. Kami harus
mengh­ or­mati biarawati-biarawati kekasih-kekasih emas
Tuhan.”

“Ah, Pakde ini meledek lagi.”
Kupersilahkan mereka bersantai di serambi muka
terbuka yang ter­lin­dung dari silau matahari berkat pohon-
pohon sawo ma­nil­a rin­dang menyejukkan.”
“Sekarang, ayo cerita.”
“Begini Romo, urut ya (tertawa lagi si suster kecil
itu). Tetapi su­lit (cek­ i­kika­ n lagi). Pokoknya lucu deh.
Tetapi hebat. Sungguh he­bat. Ini­lah yang namanya
perayaan Natal. Mengesankan sekali dan aduh (tert­aw­­ a
lagi cekikikan sambil memegang perut). Suster Viola saja
yang cerita. Saya tidak bisa. Aduh kalau terin­ gat. Ini­lah
baru Natal yang sejati. Pokoknya lucu deh.”
Saya pun tak dapat menahan tertawa, geleng-geleng
kepala. Sust­er Vi­ol­a mem­ andang Agnes-dong yang ingin
menceritakan se­sua­ t­u yang menggelikan akan tetapi
malah dia sendiri yang mengg­ elikan.
“Lucu apa, Suster Ola?”
Dua tangan Suster Viola yang tidak sehalus dulu
berpadu ten­ ang pa­da pangkuannya, lalu mengambil oper
tugas suster adik­nya.
“Begini Romo, Misa Natal tadi malam kan mestinya

77

pohon-pohon sesawi

mulai pukul 19.00. Nah, pukul 19.30 sampai hampir
pukul 20.00 kok Romo Doyo itu belum muncul. Kami
berdua di sakristi yang me­nol­ong para Pak Koster
mempersiapkan upacara tentu sa­ja gel­is­ ah. Apalagi Pak
Prodiakon dan para misdinar dan ya mis­bi­nar­nya juga
(pasti ada misbinarnya pada hari raya). Kami kha­wa­tir:
ada apa? Memang biasanya, eh maaf, tidak jarang Romo
Doyo itu datang terlambat. Banyak uru­sannya di mana-
mana, dan kam­ i ha­nya stasi kecil seder­hana. Tetapi kali
ini amat aneh, mosok ia lu­pa Ma­lam Nat­al. Pak Ketua
Lingkungan sudah tel­ep­ on ke past­or­an-past­or­an mana-
mana, apa ada kecelakaan yang men­ im­pa Romo Doyo
atau bagaimana. Semua tidak tahu di mana. Nah, tiba-tiba
kami dengar suara mesin disel mobil Ro­mo yang sud­ ah
kami kenal betul itu datang menderu dan berh­ enti.”

“Pas di muka pintu sakristi,” seru Agnes yang seka­
rang tak sa­bar me­nungg­ u giliran laporannya. “Romo
Doyo tergopoh-go­poh ma­suk sakristi, langsung me­
mang­gil Pak Koster: ‘Pak Nyamplung, sini. Sini, lekas!’
Kami hela Pak Nyamplung yang wak­tu mel­ih­ at Romo
datang langsung menyalakan lilin-lillin altar. Begitu ia
muncul di sakristi, ia langsung dituding Romo Doyo:
‘Kang Koster jadi Santo Yusup!’ Bengong Pak Koster
mem­ an­dang Romo lalu memandang keliling ke kami.
‘Ya, ini kan Natal. Ki­ta mew­ art­a­kan Injil dengan drama.
Kamu Kang Koster jadi Santo Yusup... lalu, nah siapa…’

78

salib ringan dari gabus

Romo Doyo memandang kel­i­ling. Eiiit, tiba-tiba Romo
menunjuk kepada saya: ‘Suster Agnes, ya suster menjadi
Maria!’ ‘Saya?’ ‘Ya, nama Anda Agnes bu­kan? Sust­er
Kongregasi Maria Bunda Kasih, bukan? Ya, apa ya?’
Saya mengangguk, padahal belum paham betul apa yang
bel­iau mak­sud. ‘Jadi Suster Agnes jadi Maria. Daripada
mencari jilbab, kan Suster sudah pas jika memainkan
peran Maria. Su­dah, pok­ ok­nya siapkan kata-kata, kira-
kira Bunda Maria nanti berbicara apa.’ ‘Lho, Bunda Maria
kan diam saja.’ ‘Ya, diam tet­a­pi jangan tertawa cekikikan
seperti biasanya, lho. Awas nan­ti. Ini liturgi. Lalu... nanti...
nah selanjutnya... E, Pak Ketua Ling­kung­an. Monggo
Bapak menjadi pemilik hotel yang menolak San­to Yu­sup
dan Ibu Maria... O, ya, Bapak Prodiakon juga, ma­in pe­ran
tuan rumah lain. Jadi jika Kang Koster dan Suster Agnes
nan­ti mengetuk pintu sakristi seberang altar sana, jika ada
ketukan pintu, Pak Sarwo pura-pura menolak.’ ‘Mestinya
me­nol­ak sung­guh-sung­guh,’ sanggah Pak Prodiakon
yang juga katekis, guru sek­ i­an puluh rakyat yang minta
dibaptis, ‘tidak hanya pura-pura.’ ‘Be­tul Pak, Anda betul,
nanti Anda menolak betul, terserah ka­ta-kat­a yang Pak
Sarwo pakai. Tetapi ini drama, jadi toh tidak sung­guh-
sung­guh dari lubuk hati. Tetapi Pak Sarwo harus pura-
pura yakin emoh kep­ a­da Santo Yusup dan Ibu Maria. Dan
ini dra­ma Ja­wa, ja­di seperti kethoprak itu lho, tidak perlu
pakai teks baku segala. Tetapi kalian tanggap dan alamiah

79

pohon-pohon sesawi

mengadakan perb­ inc­ anga­ n.’ Tentu saja kami semua
tertawa mendengar kias­an kethoprak. Tetapi memang
Romo Doyo itu kan dari dulu sej­ak ki­ta mengenal beliau,
selalu orisinil ide-idenya.”

“Orisinil atau aneh?” sahutku.
“Ya, terserah, pokoknya menyenangkan.”
“Nah, Suster Agnes ini,” sambung Suster Ola,
“masih ku­rang ajar ber­tanya: ‘Kethoprak apa Srimulat,
Romo?’ Tentu saja se­mua ter­tawa membayangkan
Srimulat. Memang Suster Agnes ini sering sama seperti
Romo Doyo, aneh-aneh.”
“Ah, mosok begitu,” protes Sri Rejeki sambil melengos
genit.
Lanjut Suster Ola, “Romo Doyo membenarkan
Agnes. ‘Betul. Persis Srimulat. Liturgi kethoprak Sri­mu­
lat. Tetapi tetap lit­urg­ i Sri­mulat sangat berkesan dalam
hati pemirsa. Liturgi jug­ a har­ us begitu. Pendek kata,
kalian saya beri 5 menit untuk mem­ i­kir­kan apa yang
akan kalian katakan nanti. Kan Sudah tahu peristiwa
Natal, bukan? Itu pemimpin koor dipanggil.’ Dia jug­ a
dii­ns­ truksikan harus begini begitu nanti. Busana upa­ca­
ra Misa kami tanggalkan semua. Kecuali para misbinar.
Bus­ a­na liturgis yang sudah mereka kenakan dianggap
pas untuk meng­gamb­ ar­kan pa­ra ma­laek­ at. Khusus para
pemain gembala cepat-cepat ke gud­ ang ge­reja yang sering
masih menyimpan pakaian bekas un­tuk dibagikan kepada

80

salib ringan dari gabus

kaum fakir miskin. Gudang dibuka dan me­re­ka mem­ in­
jam apa saja yang kiranya dapat dipakai untuk memb­ e­ri
kesan kaum jembel. Maria tinggal diberi semacam sar­i
Ind­ ia dari taplak altar, sedangkan Yusup harus lekas-lekas
men­ gamb­ il sarung dan caping dari kamar tinggal yang
mend­ om­pleng di belakang sakristi.”

“Mosok dalam lima menit dapat dipersiapkan begitu
saja?” tanya­ku.

“Entahlah, nyatanya bisa. Sementara koor dipesan
untuk me­n­ ya­nyi­kan lagu-lagu pembukaan agar umat
tidak terlalu gel­isah.”

“Suster Viola mendapat peran apa?”
“Saya mendapat tugas di pintu sakristi. Harus
mengatur ka­pan pa­ra gembala dan malaekat keluar.”
“Dan mengawasi jalannya drama, jika ada yang
macet,” tamb­ ah Agnes.
“Romo Doyo sendiri?”
“O, beliau menjadi Pewarta Sabda.”
“Bagus,” reaksiku spontan. “Memang harus begitu.
Itu tugas pastor, pewarta Firman Tuhan.”
“Kami mulai pas 8 menit lebih sedikit.”
“12 menit,” seru Suster Viola.
“Ya, 10 menitlah,” ujar Agnes.
“Romo Doyo keluar dari sakristi dan berlagak heran
melihat ger­e­ja penuh umat,” lanjut Suster Viola. “Beliau
memandang ke kiri, ke kanan, lalu ke altar…”

81

pohon-pohon sesawi

Dan diserobotlah kalimat oleh Sri Rejeki: “Lalu
Romo Do­yo ber­seru, ‘Amboi... amboi alangkah indahnya
hiasan al­tar, pan­ti imam, dan seluruh gereja kita yang
miskin ini.’ Lalu mem­ and­ ang ke pintu sakristi: ‘Kang
Nyamplung, Kang Nyamplung, di mana engkau? Mari
kemari, aku ingin bertanya. Wa­hai Kang Nyamplung,
kau di mana?’ Kudorong Pak Koster kel­uar. Ia bingung
dan melawan sebentar, tetapi melihat jari tel­unj­uk Romo
Doyo seperti pistol menembak ke arahnya, ia ke­lu­ar de­
ngan garuk-garuk kepala. ‘Kang Nyamplung, jawablah.
Ini ada apa?’ ‘Ini Hari Natal, Romo.’ ‘O, ya? Ah iya,
iya iya betul, ya betul ini Malam Natal. Saya terlambat
datang karena ha­rus men­ o­long membawa anak sakit
keras ke rumah sakit di kota. Doa­kan­lah anak itu, ya
saya terlambat, maafkan wahai umat Ba­ni Israel. Maka
wahai umat lingkungan Benggolan, de­ngar­k­ an­lah warta
Injil Yesus Kristus menurut Santo Lukas Bab 2 ayat
1 sampai 14. Dengarkanlah, dengar­kanlah kalian lagu
merdu dari jauh. Rorate, dari para malaekat.’ Romo
Doyo menganggukkan ke­pa­da pemimp­ in Koor, dan lagu
damba rindu Rorate coeli de supe dinyanyikan. Pak Koster
disuruh masuk sakristi lagi. Lalu say­ a di­do­rong Suster
Viola keluar. Pak Nyampl­ung yang masih gug­ up bingung
tidak lekas keluar ke panti imam. Kupaksa dia me­meg­ ang
mesra tanganku seperti Yusup-Maria sungguh. Hahahaa,
biasanya dia takut. Memang Pak Koster dulu konon

82

salib ringan dari gabus

per­nah pa­tah hati, gadis yang ia idam-idamkan ternyata
menjadi doktor­anda Fisika. Sendirian, tanpa konsultasi
pemimp­ in rohani, ia me­mut­usk­ an untuk tidak pernah
menik­ ah atau berurusan de­ngan peremp­ uan.”

“Jadi si Nyamplung toh mesra-mesraan?”
Suster Viola merasa perlu memberi komentar,
“Mungkin karena Maria-nya seorang suster. Jadi ia
merasa aman. Mungkin. Tet­a­pi ia baik kok. Berusaha
seperti Santo Yusup betul, berjalan pelan-pelan di muka
altar menuju ke pintu sakristi seberang altar. Dengan
tegang sekian banyak mata mengikuti Pak Koster dan si
Agnes itu. Sesudah nyanyian usai, ia mengetuk pintu.”
“Teruskan Agnes,” pintaku penasaran.
“Ia mengetuk pintu sambil berkata lugu, ‘Kulo
nuwuuun.’ Langs­ ung umat tertawa geli mendengar
suara jejaka tua pendek tet­a­pi kekar, Kang Nyamp­lung,
yang begitu lugas sederhana. ‘Kurang keras,’ bisikku.
Ia mengetuk lagi. ‘Sepeedaaa! Ada ta­mu!’ La­gi sel­u­ruh
gereja tertawa geli. ‘SePAAAda,’ bisik saya lagi. Me­nge­tuk
untuk ketiga kalinya, ia sekarang berteriak sampai saya
pun kaget: ‘SePAAAda. Ayo buka pintu. Ini Malam Na­
tal. Jangan cemas. Cuma main ceki saja di dalam. Tidak
dib­ uk­ a, say­ a dobrak seperti polisi’.”
Kami bertiga tertawa gelak-gelak sampai tidak dapat
men­ er­ usk­ an ceritanya.
“Aduh, perutku, aduh. Pasti Kang Nyamplung yang

83

pohon-pohon sesawi

lugu lugas itu menyindir Pak Ketua Lingkungan dan
beberapa tokoh lingkungan yang terkenal punya kelem­ a­
han, orang Jawa yang sok priyayi istana, suka main kartu
Cina ceki.”

“Aduh Romo, saya pun tidak dapat mengekang saraf
saya. Be­gi­tu lucu nadanya.”

“Lalu pintu dibuka?”
“Belum. Mungkin Pak Ketua Lingkungan marah
dan malu dis­ ind­ ir blak-blakan di muka umatnya yang
suci. Akhirnya dari bal­ik pintu yang terbuka sedikit ia
berteriak, ‘Ada anak sapi ber­ke­pal­a kuda. Siapa kamu?
Ini sudah malam!’ Jelas menyindir, balas dendam, karena
memang pas sekali gambaran tentang bo­di dan ke­pal­a
Kang Nyamplung. ‘Nah Santo Yusup.’ Entah ka­ren­ a ber­
sem­ a­ngat atau apalah, ia berteriak lagi, ‘Ini Hari Natal.
Ka­mu har­ us memberi penginapan kepada Santo Yusup
dan Bun­da Ma­ria. Apa kamu lupa’?”
Agnes menyambung, “Aku berbisik kepada
Nyamplung, ’Yang halus sedikit, kamu Santo Yusup,
bukan Kang Nyamp­ lung’.” Ia mengangguk-angguk sambil
menyeringai puas mend­ a­pat kesempatan mengeritik para
tokoh.
Suster Ola melanjutkan, “Akhirnya pintu terbuka
lebar. ‘Mau apa kamu heh?’”
“Nah lalu... lalu... teruskan Suster Ola!”
“Saya malu…” Suster Viola geleng-geleng kepala.

84

salib ringan dari gabus

“Ket­erl­al­u­an, memang Pak Ketua Lingkungan itu keter­
laluan. Dia memp­ era­ lat kesempatan untuk men­ yind­ ir
musuhnya.”

“Musuhnya?”
“Ini kan begini, Romo. Pak Ketua Lingkungan itu
kan sud­ ah la­ma dalam soal gengsi bersaing keras de­­­
ngan Komandan Pol­sek yang maklumlah sombong dan
sukanya mencegat pen­dud­ uk yang berkendaraan sepeda
motor bahkan sepeda, se­olah-olah terjadi pe­langg­­ aran.
Pokoknya dibuat-buat dicari ke­sa­lah­an tetek-bengek apa
pun. Hanya untuk mengisi kantong­nya sendiri.”
“Lalu apa hubungannya dengan drama Natal itu?”
“Nah, kan begini Romo. Ketika Pak Ketua Ling­kungan
memb­ uk­ a pintu, langsung Pak Koster itu berkel­uh-kesah,
‘Kami ingin penginapan di hotel ini.’ ‘Apa? Kamu ingin
menginap di ho­tel bintang lima ini? Ayo minggat!’ ‘Ya,
tetapi apa sampeyan teg­ a?’ ‘Tega apa?’ ‘Kan sampeyan
tahu Bunda Maria ini sedang ha­mil tua. Sebentar lagi akan
melahirkan.’ Nah, Romo, lalu Pak Ketua Lingkungan itu
bertanya pura-pura heran, ‘Lho, ada perawan kok hamil,
ini model mana?’ Langsung seluruh ger­e­ja seo­ lah-olah
didatangi sejuta kumbang... ngngngngngng... Jel­as ini
sindiran urik ke alamat Kapolsek, karena belum lama ini
seluruh kecamatan tahu bahwa anak putrinya mengalami
‘kecelakaan’. Tak seorang pun tahu, siapa si suami.”
“Uah, itu tidak Kristiani. Kan kasihan si anak

85

pohon-pohon sesawi

perempuan mal­ang itu,” komentarku.
“Memang. Semua merasa begitu. Maka Romo Doyo

rupa-rupan­ ya berikhtiar menyelamatkan situasi, dan
berdeklamasi lagi: ‘Wahai umatku Bani Israel, itu tadi
bukan kata-kata San­to Luk­ as, akan tetapi nabi tidak
resmi. Maka wahai para pem­ u­da dan pem­ u­di, jangan
lagi berbuat yang semestinya tidak bo­leh di­per­bua­ t.
Hikmahnya, wahai para pemuda dan pemudi Benggol­
an, jan­ gan­lah mengikuti yang itu-itu sebelum menda­pat
berkat per­nik­ aha­ n di Gereja’.”

“Bagaimana reaksi umat?”
“Ya seperti tadi itu, ngngngng… seperti ada seribu
kinjeng dan kum­bang beterbangan di dalam ruang
gereja.”
“Tetapi saya yang malu, Romo. Suster Ola tadi tidak
tepat cer­it­a­nya,” sahut Agnes. “Ceritanya, Nyamplung
berkata, ‘Apa kamu tidak kasihan kepada perempuan
yang sedang hamil tua ini?’ Mosok Pak ketua Ling­kungan
berkata begini: ‘Siapa hamil tua?’ Lalu, melihat saya.
‘Mosok Suster hamil tua? Ini model apa?’ Ya, keruan saja
umat tertawa, bahkan ada yang bersiul. Langs­ ung saja
Santo Yusup saya tarik pergi dari Pak Ketua Ling­kunga­ n
itu.”
“Malah keliru,” kata Suster Ola, “mau Suster Agnes
dan Nyamp­ lung itu langsung pergi ke gua. Pak Prodiakon
yang sud­ ah men­ ungg­ u di sudut terpaksa memanggil

86

salib ringan dari gabus

mereka: ‘Hai, ke sini dulu!’”
“Tetapi Romo, saya sudah jengkel. Saya tidak mau

nanti dip­ er­malukan lagi.”
“Hahahaaa. Begitu saja ngambek. Kan ini drama.

Tidak sung­guha­ n.”
“Drama desa jambu klutuk. Pokoknya saya sudah

tidak mau.”
“Tetapi Pak Ketua Lingkungan kan sudah minta

maaf,” ujar Sust­­er Ola. “Ya, Romo, sesudah drama
selesai, langsung ia minta maaf, karena tadi itu spont­ani­­
tas saja tanpa pikir pan­jang.”

“Ya, tetapi saya yang malu.”
“Yang ditembak kan bukan kamu, Agnes, tetapi Pak
Polsek yang sukan­ ya main pungli itu.”
“Saya setuju. Berdiri di pihak Suster Agnes. Bukan
karena ia kemenakan saya, tetapi karena memang begitu­
lah yang benar. Ba­gai­manapun kita tidak boleh menjelek-
jelekkan orang di ger­ej­a. Tet­a­pi aneh, Ketua Lingkungan
itu kan Pak Sungkan. Mosok orang sal­eh sebaik itu berkata
begitu.”
“Bukan, itu ketua pilihan baru. Pak Sopo.”
“Uaah, makanya. Saya kenal tokoh itu bila sedang
ada pen­ at­ara­ n pemuka paroki. Agak fanatik Katolik
memang.”
“Bukan agak. Totok tulen.”
“Tetapi pasti Agnes mengecewakan Pak Prodiakon

87

pohon-pohon sesawi

yang sud­ ah menunggu gilirannya.”
Suster Viola tertawa, masih dengan tangan di muka

mulut. “Agnes kita ini keterlaluan. Sebetulnya Kang
Nyamplung sudah mem­balik mau pergi ke tempat
Prodiak­ on, tetapi sang Maria ber­siteguh tidak mau.
Kontan umat di gereja mengejek dan ada beb­ er­apa pemu­
da bernyanyi: ‘Aduuu maluuu, siapa maluuu dig­ on­dol
hantuuu.’ Pak Prodiakon tak sabar, lalu maju mendekati
Yusup dan Maria dan berteriak, ‘Sana pergi. Saya tidak
suka ada penge­mis mengotori rumahku. Sudah sana, cari
tempat di tempatnya Mbah Suro sana! (Hahahaa, rumah
Mbah Suro adalah temp­ at dua suster itu mondok selama
mengemban karya par­o­ki mereka.) Kalau tidak mau, ya
malahan saya senang.’ Lalu ged­ e­bag-ged­ e­bug, pura-pura
marah, dengan tangan mengep­ al dan den­ gan semp­ o­
yonga­ n kembali ke sudut­nya. Umat tertawa lagi. O, tidak
hanya tertawa. Siut-siut dan melontarkan ejekan: ‘Wuuuu
sadiiis. Masuk nera­kaaa…!’ Ya seperti itu, Romo.”

“Pak Prodiakon?”
“Uah, dia itu sesudah kembali ke sudut, membalik
dan berk­ ac­ ak pinggang, tertawa terbahak-bahak seper­
ti raja raksasa ket­hop­ rak sungguh, menunjuk kepada
diri sendiri mengiyakan umat. ‘Hahaha. Betul, betul,
saya akan masuk neraka. Tetapi kal­i­an juga, kalian juga.
Karena kalian juga sering kejam kepada gur­ u, orang yang
menderita dan minta pertolongan.’ Anak-anak berj­ing­

88


Click to View FlipBook Version