pohon-pohon di pekarangan paroki
itu dalam keadaan perang psikologis dingin dan sengit.
Sekaligus mengasyikkan. Psi-war antara Washington lawan
Moskwa sudah menegangkan, apalagi perang saraf antara
orang Jawa, lagi sama-sama Katolik. Sebetulnya naif,
meski dapat dipahami, walaupun tidak dapat kami setujui,
apalagi Pak Pranoto (kendati Katolik) dan Pak Yudo
nag oro (kendati Katolik juga) tidak senang satu sama
lain. Apa soalnya? Manus iawilah. Atau tidak manusiawi?
Entahlah! Yang jelas itu soal perasaan. Lebih tepat insting
primordial (kata lebih halus daripada primitip). Pohon
sukun besar kekar dan tingg i, daun-daun lebar sekali
bercabang mengkipas, dan karena itu relatip tidak punya
banyak daun dibanding dengan pohon sawo yang lebat,
sehingga tampaknya agak gundul. Pak Pranoto pun cela
kanya agak gundul juga. Pak Yudo dulu lebat rambutn ya
tetapi sesudah perang gerilya di panti dengan perang bab i,
anehnya kolonel purnawirawan kita itu mulai gundul juga.
Umat tahu, paling sedikit para aktivis dalam Dewan Paroki,
teristim ewa dari sekian muda-mudi, tentang persaingan
Katolik law an Katolik yang primordial tidak terpuji tetapi
sebetulnya menga syikk an itu. Perang Dunia Gundul,
kelakar para mudika itu. Yang tentu saja secara lahiriah
dilarang penguc apannya oleh kau m tua (akan tetapi
dengan tawa terkikik dalam hati disegani) dengan teguran:
Husy! Atau: Tidak boleh! Tidak sopan! Atau: Kurang ajar.
Kalian kuwalat kelak gundul sendiri kalau sudah tua! Dan
39
pohon-pohon sesawi
sebagainya. Namun diam-diam di antara mereka, apa
lagi di kalanga n para ibu, istilah Perang Dunia Gundul
atau dik am uflas e dengan perpendek annya Perdundul,
sangat bahkan sering terbisik-bisik. Dan buruknya justru
dengan tawa terkikik-kikik. Bukti tidak halal. Memang
Hukum Cintakasih Kristiani sering menem ui kendala tahu
batasnya. Tetapi mengapa to kok ada Perdundul?
Ah, sebetulnya manusiawi sekali, nothing extraordinary.
Selain disebabkan soal insting persaingan antargerombolan
antarorganisas i, juga ada unsurnya yang khas Katolik.
Yakni siapa di antara merek a berdua itu yang hirarkis lebih
tinggi. Mana lebih tingg i atau lebih rendah: pohon sawo
atau pohon sukun? Orang mengira: pasti pohon sukun
lebih tinggi, tetapi itu kurang benar. Sering pohon sawo
(tetapi sawo manila) lebih tinggi. Pangkat kolon el jelas
lebih tinggi dari letkol. Jadi ternyata kali ini pohon sawo
lebih tinggi daripada sukun. Apalagi, tetapi ini tentun ya
klaim pihak sang kolonel, Angkatan Darat lebih berkuasa
daripada Polisi. Pak Pranoto menolak klaim itu. Tidak
ada sangk ut-paut den gan Angkatan Darat atau Polisi.
ABRI adalah satu. Memang beliau hanya berpangk at
letnan kolonel purnawirawan, tetapi lain soal Pak Pranoto
diperbantukan dan masih aktip selaku Wakil Kakanw il
Departemen Keuangan. Bukan cuma penjual sapi dan
babi. Kolonel atau letnan kolonel di sini tidak berbicara
apa-apa. lebih Wakakanwil Pranoto, Dominikus Pranoto.
40
pohon-pohon di pekarangan paroki
Namun kita harus berhati-hati, janganlah Perdun
dul didramatis asi apalagi ditiup-tiup menjadi isyu segede
balon Pusat Riset Antariksa. Perdundul yang dimaksud
menggelikan nyaris kom ed i, yakni berwujud persaingan
yang amat sengit antara Ignasius dan Dominik us kita tadi
dalam perlombaan bagaimana paling berjasa untuk Ge
reja Paroki dan para pastornya. Tentu saja ada uns ur lom
ba-cari-gengsi juga, tetapi itu tidak usah dikatakan (ditulis
boleh). Jika Ignasius tahu Dominikus menyumbang
Rp5.000,00 untuk kas para misdinar putra, maka langsung
Sang Ignasius menyumb ang Rp6.000,00 untuk kas para
Miss Binar. Kalau Dominikus kebetulan mendapat
informasi bahwa Ignasius men girim makanan siang bakmi
goreng kepada kepala pastor, pasti langsung pada petang
hari Sang Dominikus mengirim serantang capjai dengan
buyonghai yang diperkirakan leb ih mahal daripada bakm i
goreng. Jika lagi sang Kolonel Purnaw iraw an kebetulan
tahu bahwa baru saja Letnan Kolonel Purnaw iraw an
men yumb ang taplak altar setengah dosin kepada gereja
paroki, pasti dua tiga hari kemudian ada kiriman tirai hias
dari Wakakanwil Depkeu untuk dinding belakang altar
yang leb ih mah al hargan ya daripada setengah lusin taplak
altar. Dan sebagainya dan seterusnya.
***
41
Durian dan Pisang
Aluisia Kisminingsih bukan pohon tetapi bunga
paroki. Maw ar? Bukan. Melati, dahlia, bakung,
anyelir? Bukan. Bunga matahari. Bodinya boleh, pantas
seandainya mengaku karatekawati ban hitam dua. Kekar,
montok, dengan gaya superior, “I’m the Champion!”
Karena namanya alamiah memintanya, ia sering dig osipi
(atau dapat dipraduga didamba juga) oleh para pemuda,
apalag i mahasiswa, dengan sebutan Miss Kiss-Me. Sebutan
yang tid ak realistik, apalagi dambaan mereka di belakang
itu. Khay alan percuma untuk direalisasi. Melihat tubuh
super people-nya, menurut istilah iklan rokok TB, yang
realistik bukan Kiss-Me tetapi Knock-Me-Down.
Lusia hanya tamatan SMEA, tetapi otaknya encer.
durian dan pisang
Sering melebih i cowok-cowok mahasiswa yang berjaket
kuning atau biru atau berbaret ungu itu. Ini tampak
menonjol dalam setiap diskus i, rekoleksi, retret, atau
selama berbincang-bincang biasa di bawah pohon
belimbing gereja. Ibunya janda yang mencari nafkah
den gan menjual jamu-jamu galian tradisional di pasar.
Mungk in berkat jamu-jamu singset dan obat kuat lain
dari ibun ya itulah Miss Kiss-Me tampak seperti peremp uan
Jerman yang kend ati tetap feminin tetapi jangan coba-
coba kurang ajar kep ad an ya. Dibanting kau! Knock out!
Ada keistimewaan lain yang membuatnya menjadi a
remakable girl. Ia Katolik fanatik. Masih SD ia anggota putri
altar, kemudian anggota koor paroki, koor lingkungan,
koor dasawarsa, panitia retret, pengikut gladi rohani ini
dan aktivis penataran itu. Lagi anggota Legio Mariae
yang super aktip. Hanya, masuk kelompok kharismatik
ia malas. Karena, katanya, ia tid ak ingin terlalu dekat
dengan Roh Kudus turun. Kalau samp ai Roh Kudus
masuk dalam hati, pasti ia terbakar. Tak usah! Kalau
Legio Mariae dia ikut. Tetapi dalam Legio Mariae ibu-ibu.
Padahal ada kelompok legio muda-mudi. Ini pun ada alas
annya, dan ia tidak menyemb unyikan alasannya di bawah
kursi empuk kamar tamu pastoran ataupun dalam almari
sakristi. Tidak. Ia karatekawati terus terang ala Arimbi
(itu wanita raksasa, istri Werkudoro dalam wayang).
Pokoknya, karena menurut penilaiannya, teman-teman
43
pohon-pohon sesawi
putrinya masih kecil-kecil. Yang diomongkan cuma
model potongan rambut, blue jean mana yang murah
tetapi mendekati orisinil made in USA, atau mengg osipi
cowok dan cari akal menyontek yang aman. Miss Kiss-Me
entah mengapa tidak suka omong tentang cowok atau
cara-cara meningkatkan sex-appeal dan men-develope strate
gi-strateg i menjerat pemuda. Pokoknya ya tadi itu, fanatik
Katolik. Yang nyaris dap at disebut kolot konservatip.
Maka oleh teman-temannya yang tentu saja tidak suka,
disebut munafik atau farwek, farisi cewek. Mungkin dia
minum terlalu banyak jamu tradisional, duga Frater Gem
bong yang kuserahi mem impin para putra-putri altar dan
memb eri kursus liturgi sedikitlah kepada anak-anak itu
agar tahu sopan-santun bila menghadap Tuhan selama
melayani Misa. Frater Gembong orangnya kecil kurus
seperti pohon pis ang di mus im kemarau. Tetapi lucu
dan komentarnya orisin il, sering menggelikan. Sayang
dia sedikit menderita asma dan mudah kehabisan nafas.
Tetapi kehabisan lelucon dia tidak pernah.
Pernah Frater Gembong berteori sewaktu acara
makan sia ng, satu-satunya acara makan yang tidak dapat
dihindari semua pastor atau frater kalau sedang ada.
Macam-macam bahan pembicaraan kami. Sampai pada
Pak Hadicondro dan Pak Yudo yang begitu fanatik
Katolik sehingga nyaris abnormal dan mas ih ada tokoh-
tokoh lain yang masuk dalam kategori fanatik, walaup un
44
durian dan pisang
semua, harus diakui ke arah yang positip: demi Gereja
Kudus.
“Apa bedanya Katolik fanatik dan bukan Katolik
fanatik?” tan ya Romo Broto yang tertua di antara kami.
Maaf, langsung Frater Gembong yang sama sekali tidak
gembong karena kurus kecil itu bereaksi. Frater satu ini
agaknya punya bahan untuk menjadi ahli teologi. Cuma
ya, teologi amatiran yang untung tid ak dik etah ui oleh
para profesornya, dan memang sengaja tidak pernah saya
laporkan kepada para mahagurunya; jangan sampai ia
mendapat angka jelek nanti.
“Yang bukan Katolik fanatik,” begitu kuliahnya,
“bagaikan duri sembarang duri, tetapi Katolik fanatik
bagaikan duri-duri buah durian. Asal tahu caranya
mengupas kulit yang berduri itu, orang dapat menikmati
pahala di dalamnya yang manis dan mengg anja.”
“Wah...wah...wah,” seruku, “kalau begitu fanatisme
Katolik jauh lebih berbahaya. Khususnya untuk para
frater seperti kamu itu, manis dan mengganja. Awas
kamu!”
“Atau duri-duri tanaman bunga mawar?” sanggah
Romo Broto.
“Maaf, saya tidak setuju,” reaksi langsung Frater Anak
Pisang Kem arau itu, “sebab Bunda Maria sering dilam
bangkan dengan Mawar Mistika dengan duri-duri sapta
duka yang suci. Tidak, tidak pas. Lebih tepat durian.”
45
pohon-pohon sesawi
“Baik, baik. Tetapi jika dikatakan mengganja, aku
tidak setuju,” kritikku. “Bangsa manusia terbelah menjadi
dua golongan besar: yang suka durian dan benci durian.
Jadi sulit untuk pukul rata disebut mengganja. Dan manis
juga belum tentu.” Rekan pastor muda kami, Romo
Harsono, tertawa mengikik.
“Ada apa?” tanya kami berbarengan.
Romo Harsono kemudian menjelaskan, “Saya ingat
Pater Prefect saya di seminari dulu, seorang Yesuit yang
teramat streng dan asketis. Teristimewa jika menyangkut
kaum wanita. Wah, boleh dikatakan dengan aman beliau
itu antiwanita. Hawalah yang memb awa malapetaka
kepada Adam. Nah, Pater Prefect ini pernah memberi
instruksi yang seumur hidup kami tidak akan lupa. Ya,
ada hubungannya dengan durian itu. Beliau men gata
kan dengan tekanan manifesto bahwa beliau tidak suka
durian. Kata orang enak, tetapi buktinya mengacau ling
kunga n, lagi memproduksi kentut yang sungguh tidak
enak. Dan memb uat orang glegeken (bersendawa), dari
kerongkongan meledak-ledak gas-gas seperti dari intip
neraka. Lalu dengan streng sekali beliau memperingatkan
kami para seminaris: ‘Ingat, buah durian itu buah ciptaan
iblis’. Dulu ketika pohon duria n dic iptak an Tuhan di
Taman Firdaus, buah durian persis rambutan, han ya
besar. Isinya empuk, putih mengkilau murni dia. Kulitnya
pun empuk. Tetapi ternyata di bawah naungan rindang
46
durian dan pisang
pohon rambuta n itulah Adam dan Hawa makan buah
kuldi larangan Tuhan. Maka sejak itu buah durian yang
kaget merana ngeri melihat ulah mereka menjadi seperti
yang kita jumpai itu. Berduri keras, daging buahnya 5
persen saja belum ada. Hanya suatu lapisa n lendir seperti
tinja yang tertinggal. Tetapi anehnya, mas ih saja ada
orang yang menyukain ya. Saya tidak suka durian, karena
itu lambang dosa sex, begitu menurut Pater Prefect itu.”
“Heh? apa?” Seperti aklamasi menyahut bersama
dalam MPR, saya dan Romo Broto terkejut mendengar
statemen yang aneh itu. Hanya Frater Gembong yang
terkikik-kikik.
“Begini keterangan beliau,” Romo Harsono mene
rusk an, “lendir durian yang busuk baunya itu menggoda
dengan kem anisa nnya. Kemanisan yang jahanam.
Sebetulnya Tuhan telah melindungi isi yang manis itu
dengan duri-duri, akan tetapi manusia-dosa selalu nekat.
Mengupas kulit durian gayanya. Itulah, maka saya tidak
suka durian. Dan kalian, para seminaris, camkanlah
hikmah lambang buah durian.”
“Ah, aku tak percaya Pater Yesuit itu omong begitu,”
kataku. Romo Harsono tertawa saja. Tetapi Frater
Gembong membantu aku, “Itu dagelan kuno yang sudah
lama beredar di kalangan seminaris. Khususnya kakak-
kakak kelas yang sudah mendapat Teologi Moral.”
“Frater Gembong suka durian?” tanyaku.
47
pohon-pohon sesawi
“Durian yang mana?” Ia menangkis curiga jangan
sampai masuk jebakan.
“Ya durian yang durian. Yang dijual di pasar buah
itu.”
“O, kalau itu saya amat suka. Cuma tidak punya duit
untuk memb elinya.”
“Pokoknya, awas kau!” kata akhirku. Lalu kami
berdoa bersam a mengakhiri makan siang.
Pada suatu waktu Romo Broto yang membina
Legio Mariae Ibu-ibu sedang sakit flu berat dan dirawat
di rumah sakit. Sem entara Frater Gembong kutugasi
mengganti Romo Broto.
“Bagaimana tadi?” tanyaku sesudah session Legio
Mariae.
“Wah, saya berkeringat dingin. Sering ditertawakan
ibu-ibu itu.”
“O, bagus begitu. Biar Frater tidak seenaknya saja.
Harus persiapan betul. Sebab teristimewa Lusia itu, kalau
dia tanya bisa maut.”
“O, ya, betul Romo. Pertanyaan-pertanyaannya
sungguh maut. Mosok dia tanya: apa betul Gusti Yesus
tidak menikah? Dan men gap a? Apa perempuan dinilai
Yesus kotor?”
Meledaklah tawaku. Hahahaa, mampus kau Gembong
dengan teori durianmu.
“Uh, fanatik sekali dia. Saya benci!”
48
durian dan pisang
“Nah, katamu Katolik fanatik itu manis.”
“Ya, tetapi dia kebalikannya dari manis. Dia tajam.
Sejenis duria n yang hanya punya duri-duri melulu tetapi
tidak ada daging enaknya.”
“Hohohooo, jangan berprasangka, jangan berkata
buruk tentang Lusi. Dia okay dan sehat walafiat otakn ya.
Cuma dia itu benci pada lelaki yang bloon. Hahahaaa.”
Kisah durian ternyata berakhir dengan apa yang
disebut oleh seorang romo kami dengan kualikasi khas.
Kawan Romo ini pern ah ditanyai sahabatnya sesudah
melihat film di TV. “Bag aim an a tadi happy-end-nya?” Dia
menjawab, “Wah happy-end-nya sedih.”
Hahahaaa, dalam hubungannya dengan kisah durian
tadi aku tidak tahu apakah ini happy-end apa sad-end. Sebab,
apa yang terjadi? Ternyata aku dan seluruh Seminari
kebobolan. Frater Gembong, sesudah retret tahunan,
memohon mengundurkan diri dari Semin ari dan melamar
Lusi. Atau lebih historis, Lusi melamar Gembong, tetapi
begitu pintar caranya sehingga seo lah-olah Gembonglah
yang melamarnya. Mungkin betul istilah tadi: Happy-end-
nya sedih dilihat dari sisi Seminari, tetapi dari sisi Miss
Kiss-Me happy-end yang betul-betul happy. Bahagia atau
sedih, jangan-jangan hanya satu mata uang yang bersisi
dua.
Sebelum pernikahan dilangsungkan, menurut Hu
kum Gereja kedua belah pihak harus diperiksa dulu,
49
pohon-pohon sesawi
pemeriksaan kan onik namanya.
“Nah, bagaimana Lusi khabarnya?” Saya selalu mu
lai den gan calon mempelai putri, karena merekalah yang
paling riskan ditipu atau dipaksa kawin. “Betulk ah Lusi
tidak dipaksa kawin dengan Gembong?”
“Tidak Romo. Entah dia.”
“Soal Gembong pasti dia nanti kutanyai juga. Tetapi
engk au, apa sudah 100 persen berniat sungguh?”
“Ya, Romo. Saya sudah cocok. Entah dia.”
“Soal dia, itu nanti saja. Tetapi Lusi Kisminingsih
tidak akan menyesal?”
“Saya tidak, Romo. Sudah mantap. Entah dia.”
“Lusi, Lusi, kalau sekali lagi kamu berkata ‘entah
dia’, ini akan saya tafsir, dia terpaksa kawin. Atau dipaksa.
Okay?”
“Maaf Romo. Tetapi kalau dia merasa dipaksa, ya
keterlaluan; dia kan sudah frater. Jadi tahu apa yang dia
lakukan.”
“Sudah, sudah. Kau bilang, dia frater. Apa kau tidak
takut merebut pilihan Tuhan?”
“Lho, mana Tuhan bisa direbut. Kalau dia mau
dengan saya, dan ternyata dia tidak disambar petir
atau digigit ular berbisa, kan itu artinya Tuhan ikhlas.
Mungkin bahkan memberi restu. Saya tidak merebut,
Romo. Saya ora et labora, berdoa dan bekerja. Nah, Tuhan
mengabulkan. Apa salahnya?”
50
durian dan pisang
“Tidak ada yang salah.” (Dalam hati aku berkata
lirih: ‘Yang salah Romo Yunus. Mengapa frater sekecil
anak pisang musim kem arau diberi tugas membina Legio
Mariae Ibu-ibu yang tidak semua nenek-nenek.’) “Hanya
banyak yang marah.” Lusi ters en yum deng an gaya I’m the
Champion.
“Ya Lusi, dapat dimengerti mereka marah. Marah itu
memb uktikan mereka masih manusia.”
“Dan berarti: menaruh perhatian daripada dingin
acuh tak acuh. Kan Romo pernah berpesan: marah sangat
sering adalah ungkapa n cinta. Bukan begitu Romo?”
“Ya, memang pernah itu kukatakan. Tetapi yang
penting, kamu betul sungguh-sungguh bebas berdaulat
tanpa dipaksa mem ilih Gembong sebagai calon suami?”
“Tidak mungkin ada satu orang pun memaksa saya
siapa yang harus jadi suami saya, Romo. Ibu saya juga
gembira dan merestui.”
“Ya saya percaya, tetapi apa ibunya Gembong
bergembira juga?”
“Memang beliau pada awalnya tidak senang. Saya
dituduh merebut pilihan Tuhan. Akan kuwalat. Tetapi
saya mengarahkan Mas Gembong, bagaimana dia harus
berbicara dengan ibunya. ‘Begini Ibu, Ibu saya kira punya
firasat Frater Gembong itu tidak berbakat jadi rohaniwan.
Pasti stres dia kelak. Maka daripada sud ah imam lulus
keluar, lebih baik sekarang saja’. Begitulah Romo. Dan
51
pohon-pohon sesawi
ini Romo, sayalah yang akan membimbingnya menjad i
rasul awam yang baik. Awam tetapi baik. Maaf, awam dan
baik. Mungkin dulu dia merasa dipilih Tuhan. Tetapi ya,
kan baru merasa saja. Dan lagi saya tidak sombong lho
Romo, saya hanya berkata seapa-adanya: waktu masuk
seminari itu kan Mas Gemb ong belum kenal saya.” Aku
tertawa lepas.
“Wah, wah, wah, Lusi, kau sungguh GR.”
“Tidak GR, Romo. Ini kenyataan.”
“Sudah, sudah, Lusi. Pertanyaan selanjutnya. Lusi,
seb etuln ya… terus terang saja, jangan marah. Kalau tak
suka menjawab pertanyaan ini, ya tidak perlu dijawab.”
“Silahkan Romo, Lusi tidak biasa menyembunyikan
yang tid ak perlu disembunyikan.”
“Sebetulnya dulu itu yang melamar dia atau kamu?”
“Ya, jelas saya yang mulai, tetapi ini kan hak azasi.”
“Ya, ya, memang kamu berhak. Tetapi Lusi, kamu
ini, setiap orang melihat, gadis kekar perkasa, berbakat
mendominasi kawan dan lebih jago bangkok daripada
ayam Kedu.” Lusi tertawa terkikik-kikik.
“Habis, yang membuat saya bukan saya sendiri
Romo. Apa salahnya saya?”
“Tidak ada salahnya. Cuma apakah Lusi sudah mem
pertimb angkan, bahwa ada kemungkinan, Lusi, jangan
salah paham, kem ungkina n pria kurus kecil seperti
Gembong itu nanti dapat tercekik bila kaupeluk? Bisa
52
durian dan pisang
mati dia.” Muncratlah tawa Lusi seperti air ledeng kalau
dari selang penyiram kebun.
“Lho, ini jangan ditangkap harfiah, tetapi dalam arti
kiasan.”
“Terima kasih Romo. Tetapi saya kira dia tidak
akan terc ekik, karena sudah saya rasakan. Dia itu kurus
kering, tulang-tulangn ya rupanya tidak bulat-bulat seperti
seumumnya, tetapi persegi seperti pipa kaki meja itu. Jadi
sebelum tercekik, pasti saya sudah merasakan sakit dulu
dan saya lepaskan.”
“Bukan dalam arti harfiah Lusi, tetapi dalam arti
mental spiritual.”
“Sama saja Romo, yang penting tidak ada yang
memaksa kami secara fisik, mental atau spiritual. 100
persen suka sama suka. Tiada halangan apa pun. Dia
belum pernah punya istri, jadi perjaka bebas, dan saya
juga masih prei bukan barang bekas. Masih perawan.
Boleh diperiksa.”
“Cukup, cukup. Jadi Lusi sungguh tidak malu nanti
punya sua mi yang kurus kecil, sedangkan ya, ya, Anda
raksasi begitu, maaf Lusi.”
“O, Romo, no problem. Ini yang namanya jodoh yang
serasi, harmonis. Positip sama negatip, nah bola listrik
menyala.”
“Syukurlah Lusi, Romo ikut mendoakan, tetapi saya
terpaksa meminta satu hal yang harus kau laksanakan.
53
pohon-pohon sesawi
Soalnya ini zaman sekarang, perlu saya tandaskan.”
“Apa Romo? Lusi siap.”
“Kau harus tetap mejaga keperawananmu, murni
sampai den gan upacara pernikahan.”
“O, jangan khawatir Romo. Memang permintaan
Romo itu tep at. Beberapa kali Mas Gembong itu men
desak saya yang melewati batas. Mungkin karena dia
mantan frater, jadi kebelet begitu. Ya, saya maklum.
Dalam hati saya kasihan juga, tetapi satu kali merayu
ditertawakan, dua kali diperjuangkan masih nekat. Tiga
kali masih saja menyeruduk padahal sudah saya beri
rambu-rambu merah PKI, eee, coba-coba ngawur, nah
saya jepit dia di antara ketiakku: megap-megap sesak
napas dia minta amp un.”
“Sudah, sudah, tidak perlu mendetil. Ini bukan
penulisan skenario sinetron, tetapi pemeriksaan Hukum
Gereja. Sudah, sekarang si Gembong disuruh mas uk.”
“Terima kasih, Romo.” Tiba-tiba tanganku diciumnya,
dis ed ot sampai basah merah lipstick. Lalu keluarlah dia.
Thok! Thok! Thok! Sepatunya. Membus ungk an dada
dahsyat ayam kedunya. Sambil melemp arkan rambut
gimbalnya ke belakang. I’m the champion!
Pengecekan terhadap Gembong sangat pendek.
“Hallo Frater penggemar durian. Tak ada paksaan?”
“Tidak Romo.”
“Sudah tahu duri-duri apa yang akan menusukmu?”
54
durian dan pisang
“Sudah Romo.”
“Tidak menyesal?”
“Tidak.”
“Tidak malu dianggap anaknya?”
“Malah senang Romo.”
“Dianggap kernetnya?”
“O, kehormatan besar, Romo.”
“Bagaimana kalau debat kalah?”
“Itu tanda cinta, Romo.”
“Bagaimana ibumu? Ayahmu?”
“O, beliau-beliau pada permulaannya tidak setuju.”
“Karena apa?”
“Takut saya akan dihukum Tuhan. Soalnya saya
sudah frater.”
“Katakan pada ayah-ibumu: Romo Yunus menjamin
tidak akan ada apa-apa. Asal kalian kelak membuktik an
diri menjadi ayah-ibu yang baik seperti Yusup dan Maria
di Nasaret.”
“Maaf Romo, Perawan Maria bukan pegulat hak
asasi yang Katolik fanatik.”
“Ya, dan Santo Yosep tidak harus kecil seperti
kamu.”
“Lain ladang lain belalang, Romo.”
“Ah, ya, lain lubang lain ikan.”
“Mungkin Ibu Hawa seperti Lusi, Romo. Sampai
Adam dapat kalah argumentasi. Tetapi saya menang kok,
55
pohon-pohon sesawi
Romo. Cinta beg itu, sungguh.”
“Jadi sekali lagi, kau ikhlas kalau nanti kamu jadi
Kariobakiak?”
“Kehormatan Romo, kebanggaan.”
“Tetapi satu hal yang saya minta…”
“Silahkan, Romo, asal Romo mau memberkati
pernikahan kami.”
“Atas satu syarat mutlak. Buah durianmu harus
matang di pohon. Tidak boleh kaulepas sebelum kalian
diresmikan menjadi Abraham dan Sarai. Kalau kau
langgar seperti Adam, saya tid ak mau memberkati
pernikahan kalian di dalam gereja. Di sakristi pun saya
tidak mau. Paling pol di belakang sumur kebun sana.”
“Ya Romo, tetapi doakan saya, sebab jiwa saya
memang kuat, tetapi daging saya lemah.”
“Jiwamu pun lemah.”
“Nah, justru itulah saya memerlukan perempuan
kuat sep erti Lusi.”
“Kau senang mendapat durian sebesar itu?”
“Oooh, bahagia Romo. Sampai saya tidak habis-
habis berp ikir, mengapa saya dulu segila itu sampai
masuk Seminari.”
“Sekarang pun kamu masih gila.”
“Ya, tetapi kan lain, Romo. Gila karena cinta kan
lain.”
Upacara pernikahan Pisang-Durian kami seperti
56
durian dan pisang
yang saya harapkan tidak perlu terjadi di belakang sumur.
Tetap di muka altar dan diakhiri dengan doa penyerahan
indah di muka patung Bunda Maria. Khusus Pak Koster
saya suruh pasang lilin Paskah di muka Bunda Maria,
mengingat Mrs. Kiss-Me berukuran super-size. Bukan cuma
lilin kecil seharga Rp50,00. Yang ikut upacara tidak
banyak. Sederhana. Maka pada sore sejak menjelang
matah ari terbenam itu saya benamkan juga cita-cita si
Gembong dan orang-tuanya ke arah karier rohani jadi
rohaniwan. Upacara sore hari memang nyaman sejuk,
tidak berkeringat seperti pada siang hari. Koor penyanyi
yang gado-gado disusun oleh teman-teman setia Lusi
dan frater-frater sahabat setia Gembong, yang saya tahu
persis pasti membolos dari Seminari, bukanlah koor
super, tetapi justru mengharukan karena “alamiah”,
lengkap dengan nada-nada fals blero juga. It’s life! Real!
Exciting life!
Ketika dalam upacara saya resmi bertanya, “Gem
bong, apakah kamu berniat menikahi Lusia ini, setia
kepadanya seumur hidupmu, mencintainya dalam suka
maupun duka, dalam kea daan sehat maupun sakit, dalam
keadaan kecukupan atau kem iskina n, dalam keadaan jaya
atau kalah kalau bertengkar?”
Si Anak Pisang Kemarau kering kurus itu hanya
berlinang-linang air matanya dan dengan senggruk-
senggruk haru menjawab lirih, “Yaaa, saayaaa maau.”
57
pohon-pohon sesawi
“Diulangi! Saya sebagai Wakil Gereja tidak mende
ngar.”
Dia disikut dari sisi oleh Miss Kiss Me. “Ya, saya
mau!” jawabnya, sekarang agak terang.
“Dan kau, Aluisia, apakah kau berniat menikah
dengan Anak Pisang Kemarau Gembong ini sebagai
istri yang lemah-lembut dalam segala cuaca dan situasi-
kondisi yang okay maupun very bad?”
Dengan lantang Arimbi berseru, “Yes Sir! Siap! Ya!
Seumur hidup, sampai salah satu dari kami mampus.”
Happy end? Belum. Happy Beginning? Ternyata me
mang betul: Apa yang mustahil bagi manusia, tidak
mustahil bagi Tuh an. Pisang memeluk Durian. Namun
upacara pernikahan Pisang-Durian itu tidak very happy.
Ketua dan Wakil Ketua Legio Mariae tidak mau hadir.
Mereka marah. Dalam anggapan merek a (yang fanatik),
seorang anggota Legio kok tega-teganya (istilah mereka)
menjatuhkan seorang frater, menjegal panggilan Tuhan.
Ini lebih berdosa daripada Maria Magdalena yang tidak
pern ah menggoda misalnya Rasul Yohanes yang perjaka
itu. Menjatuhkan Yesus jelas mustahil, tetapi menjebak
calon rasul teranglah tidak boleh. Maka mereka dengan
sebagian terbesar ibu-ibu warga Legio itu memboikot
pernikahan antara Pisang dan Durian itu. Memang ada
benarnya, mana ada tanaman yang tumb uh dari hasil
pisang dan durian? Akan tetapi kan merek a harus tahu,
58
durian dan pisang
dipanggil menjadi rohaniwan itu sama sek ali lain daripada
dipanggil polisi atau kantor pajak. Dan lagi, kan semua
sudah berjalan mengikuti prosedur-prosedur Hukum
Gereja, Bunda Gereja yang berdisiplin keras tetapi juga
pen uh pengertian dan cinta kasih kepada putra-putrinya
yang kuat maupun lemah. Dan bukanlah saya pastor
paroki yang bertangg ung jawab? Fanatik Katolik? Katolik
fanatik?
Hanya sedikit kawan putri yang datang ke upacara
untuk ikut merayakan pernikahan Lusi yang merupakan
hasil gemilang dari Legio Mariae interesan. Mata saya
mencatat bahwa ibu-ibu yang pen uh bela-suka ikut hadir
dan mengucapkan selamat hampir semua punya anak
putra atau putri yang pernah mencoba masuk Seminari
atau Novisiat tetapi berhenti memilih pangg ilan jadi
awam biasa, panggilan yang suci dan berat juga. Yang
fanatik justru mereka yang tak seorang pun dari anak-
anak mereka pernah mencoba masuk Seminari atau
Novisiat. Memang Gereja kita seperti perahu Nabi Nuh.
Ada merpati, ada harimau. Orang fanatik lupa bahwa
Hukum Tertinggi bagi murid Yesus adalah cinta kasih.
Tetapi aku paham: memang rasanya sakit, seolah-olah
Miss Kiss-Me merebut milik Tuhan. Atau jangan-jangan
mereka cemburu, mengapa Frater Gembong yang per
nah dekat dengan Samuel di Bait Allah dan karena itu toh
sudah belajar bertangg ung jawab dan saleh, tidak memilih
59
pohon-pohon sesawi
anak putri mereka? Tidak memilih salah seorang gadis
teman lain dari Lusi?
Tetapi pemuda-pemuda apalagi mahasiswa yang
berjaket kun ing atau biru itu, uaaaah, buanyaaak sekali
yang datang. Berb ondong-bondong, istilah mereka
sendiri. Aku tahu mengapa. Ada unsur keinginan meli
hat Miss Kiss-Me dalam busana kain dan kebaya, dengan
sanggul palsu yang wonderful. She was very beautiful indeed.
Nah, kelakarku kepada mereka, “Maka itu jadi fraterlah.
Wooo!” Kulihat bagaimana para keledai, unta, dan tapir
itu bers enggol-senggolan dan dengan bahasa angguk
kepala dan gerak tangan menunjuk kepada kuantitas
dan kualitas mempelai yang perkasa dibanding dengan
mempelai yang rek asa. Bunga di kebun Botania Bogor
yang berdiameter sem eter dengan kumbang yang 2 cm.
Mereka pun mungk in iri hati, tidak dapat habis berpikir
batang-korek-api bisa berhasil memikat seorang Steffi
Graf. Ya, ya, pemuda-pemuda tersayang, Via Domini aliae
Sunt homonibus propositis (jalan-jalan Tuhan lainlah dari
yang dirancang manusia). Tetapi jangan ambil kesimpul
an sesat seperti yang dengan berkelakar kukatakan tadi:
Kalau ingin mempersunting seorang Steffi Graf, jalannya
jadi frater saja. Mrs. Kiss-Me hanya satu. Dan ex-frater
Gembong juga cuma satu. Dan “champion” pun satu juga.
Kenal itu lagu iklan Bentoel Biru di TV?
60
durian dan pisang
I love the blue of Indonesia.
It’s the flavor in the air.
It’s the flavor in you which attracts!
(Rasa sifat khasmu itulah yang menarik).
***
61
Tukang-tukang
Kebun Anggur
Aku sering merasa bersalah mengapa frater peng
gemar durian itu dulu kutugasi membimbing Legio
Mariae bagian ibu-ibu. Tetapi rekanku pastor paroki
mengatakan bahwa lebih baik keluar sebelum ditahbiskan
daripada sesudahnya. Memang zamannya sud ah lain.
Dulu bunga menunggu kumbang. Sekarang bunga-bu
nga lari-lari memilih sendiri kumbang merek a. Sebabnya
men urut para bunga itu, apalagi yang sudah doktoranda
atau yang bek erja dengan gaji lumayan, para cowok
tidak bermutu. Ini istilah mereka sendiri, karena mereka
ngobrol cuma soal tetek-bengek seperti sepeda motor,
haiking, memanjat gunung, atau karaoke. Sedangkan para
tukang-tukang kebun anggur
bunga itu lebih tertarik kepada hal-hal serius: rumah
tangga yang harmonis; bagaimana menjadi ibu rumah
tangg a yang baik hati, yang memperhatikan anak-anak,
tetap i jug a bekerja di luar ikut mencari nafkah; bagaimana
nanti kalau suam i men yeleweng; apa betul KB alamiah
lebih aman darip ada KB pakai alat; berapa jumlah anak
sebaiknya, dan hal-hal lain yang langsung menyangkut
kehid upan.
Memang dalam pertumbuhan kematangan para
pemudi leb ih cepat larinya daripada cowok. Pada umur
anak-anak lelak i sukan ya masih hanya menaikkan
layang-layang, mencuri mangga tetangga, atau mencari
macam-macam akal untuk membuat jengk el anak-anak
perempuan, lawan jenis mereka yang seumurn ya sudah
diajari ibunya untuk mandi bersih dan harum memb ed aki
wajah agar cantik manis, pita menyala di rambut, blus-
rok rapi dan menarik, dan jangan kasar jondal-jondil.
Tumbuh leb ih besar lagi, yang satu selesai makan terus
lari mengejar lay ang-lay ang, tetapi yang lain, dan ini pasti
gadis kecil, sudah dijinakk an oleh ibu atau kakak untuk
ikut menolong mencuci piring. Sebentar lagi menggoreng
telur atau tempe. Nanti bila abang datang dengan celana
kotor, nah siapa yang harus mahir menc uci? Mungkin si
anak lelaki dengan susah-payah dan banyak maki-maki
ancaman terpaksa jugalah mencuci celananya send iri,
tetapi di tempat jemuran jelaslah mana pakaian dalam
63
pohon-pohon sesawi
yang putih bersih seperti iklan TV, dan siapa punya
yang segan “menyilaukan mata”, redup seperti dalam
gerhana matahari. Dan jika kanc ing baju atau celana
sobek, siapa yang menjahitkan samp ai pulih dapat dipakai
lagi? Sang kakak perempuan. Dari kec il si lelak i belajar
berpetualang, si gadis belajar bertangg ung jawab dan
praktis. Saya sendiri sering melihat bila ada pesta, khu
susn ya dalam perayaan di kampung RT, kalau ada pesta
perpisahan siapa yang mengurus dan membagi konsumsi,
yang menghiasi acara koor panembromo, tari-tarian,
deklamasi, yang menjadi pew arta acara? Ya si gadis.
Anak lelaki bertugas rebutan konsums i, mengac au, dan
menertawakan mengolok-olok para penari gadis. Wagu!
Wagu! Tetapi apa reaksi gadis-gadis yang diperolok-olok
itu? Kalem menari terus saja. Anak lelaki diangg ap anjing
menyalak saja, tidak perlu digubris. Koor tetap men yan yi.
Rugi marah kepada hewan-hewan. Dalam Misa Kudus,
siapa pembaca Surat Santo Paulus, dirigen koor atau
pengantar kolekte dan persembahan? Kaum bunga lagi.
Kalau anak sakit, anak mencari sekolah, siapa yang maju
dan berjuang gigih? Ibu-ibu. Dalam pertemuan bulanan
(Kolasi) para pastor pernah diajuk an keluha n, bahwa
jumlah putra altar semakin ambles, sedangk an jumlah
para Miss Binar semakin tambah. Ini dapat men gurangi
kecintaan anak-anak lelaki kepada altar dan semua saja
yang berhubungan dengan gereja. Nah, kesal rekan-rekan
64
tukang-tukang kebun anggur
gemb ala ini. Kecenderungan ini dapat memadamkan
jumlah anak lelaki yang terpangg il masuk Seminari.
Memang harus diakui, para Miss Binar ini rajin,
tekun, dan berniat sungguh-sungguh bila disuruh berlatih.
Setengah jam seb elum ditentukan mereka sudah datang.
Serius mereka melatih diri dalam seni dan estetika putri
altar.
“Ya, soalnya mereka ini ingin dekat-dekat Tuhan atau
hanya mengikuti naluri gadis yang suka memamerkan
diri,” kritik seo rang gembala yang hobinya menjerat
anak-anak lelaki masuk Seminari.
“Nah, nah, nah, jangan berprasangka buruk seperti
itu,” sangg ah seo rang pastor sangat tua yang sudah
banyak makan garam, atau relaw an, membagi puluhan
ribu hosti suci kepada umatn ya. “Sea ndainya pun mereka
jadi putri altar agar nomor satu mem antask an kecantikan,
apa buruknya. Kan mereka mas ih kecil-kecil. Bunga gadis
kecil lebih pantas daripada bunga plastik.”
“Ya, tetapi anak-anak lelaki pasti kalah dalam lomba
seni pentas di panti altar. Gengsi mereka tersingg ung.
Lalu malas dan men ingg alkan gelanggang lomba di mana
mereka dari awal toh akan kalah.”
“Tetapi bagaimana sih sebetulnya peraturan resmi
nya? Katanya putri altar masih dilarang oleh Roma. Saya
bukan ahli Hukum Gereja.”
“Ini bukan soal Hukum Gereja,” tegas pastor tua
65
pohon-pohon sesawi
tadi, ”tetapi kearifan pastoral.”
“Menurut patokan umum dalam teologi moral,”
kata seo rang pastor yang lain yang baru saja kembali dari
studi licentiatnya di Roma, “melanggar peraturan dalam
soal kecil itu boleh, asal ada alasan-alasan yang sah dan
seimbang. Demi pem ek ara n Kerajaan Allah.”
“Nah begini saja,” sambutku yang juga sering sok
teologis juga, “kalau memang betul jumlah lelaki yang
masuk Seminari itu berk urang karena munculnya para
putri altar itu, maka pertama apakah memang itu sebabnya.
Jangan-jangan anak-anak lelaki itu memang cenderung
suka membolos dan kurang tangg ung jawabnya. Nah
kalau begini, lebih baik mereka jangan masuk Sem in ari
saja. Nanti kita mendapat seminaris-seminaris dan pas
tor-pastor muda yang manja.”
“Hohoho! Hahahao!” Seperti dalam koor para pastor
bereaks i dan tertawa menunjuk kepada para pastor muda
yang biasan ya diam belum berani mengajukan suara
mereka. Pastor-pastor mud a ini hanya tertawa tersipu-
sipu saja. Ada yang mencoba memb uka mulut protes,
tetapi entah apa yang gagap mereka katak an.
“Ini saya tidak menyindir,” maksudku membenahi
suasana, tetap i hanya gelak tawa yang kuperoleh.
“Menyindir boleh, asal dengan cintakasih,” teriak
seseo rang.
“Boleh demi Kerajaan Allah,” seru yang lain lagi.
66
tukang-tukang kebun anggur
“Sindiran orang Jawa nyelekit seperti jarum pantat,”
komentar seorang rekan lagi.
Lalu lanjutku, “Baik, baik, alasan kedua dari saya
ialah ini: Jika memang betul terbukti...”
“Tetapi harus terbukti ilmiah dan pastoral,” sela sese
orang.
“Ya…, dan pastoral. Bahwa para putri altar itu
penyebab dari berkurangnya misdinar putra dan jumlah
seminaris atau novis, nah jangan khawatir. Para putri
altar itu kelak kalau sudah menjadi ibu-ibu, mereka akan
melahirkan anak-anak lelaki lebih banyak lagi (Hoho!
Hoooo! KB! KB!) daripada jumlah teman-teman mereka
sebaya dulu yang malas.”
Hanya gelak ejekan dan olok-olok ramai saja yang
men yangg ah alasanku yang kedua itu. (“Psikologi be
cak! Debat kusir! Spekulasi tukang bakso!” ledek teman-
rekan itu.) Akhirnya Romo Vikep meredak an suasana
dan menutup debat kusir demi Kerajaan Allah tadi
dengan menyerahkan kebijaksanaan kepada mas ing-
masing paroki.
“Sebab situasi-kondisi paroki itu lain-lain,” kata
beliau.
“Ada pastor dan dewan paroki yang bangga putri-putri
merek a berpentas sambil memuliakan Tuhan, eh maaf,
memuliakan Tuh an sambil pamer (hahahahaa!) dan ada
yang masih mengk haw atirk an jangan-jangan nanti bapak-
67
pohon-pohon sesawi
bapak kaum lelaki terkena getahnya karena di rumah
kalah menghadapi kaum istri (hohohooo!), atau kalau
pastor ya, kalah terhadap ibu-ibu paroki.” (Meledaklah
tawa pastoral sambil tuding-menuding mengejek rekan
sama-sama tukang kebun anggur Gerejawi.)
Ketika hasil kolasi itu saya ceritakan kembali kepada
Pater Profes or Doktor Yan van Kikkerland, OFM,
profesor tua saya dulu yang sering saya kunjungi karena
beliau sudah jompo dan hanya dapat berdoa saja, beliau
berkata dalam bahasa Belanda: “Ya mijn waarde vriend
(ya, sahabat berharga saya), sebetulnya kita tidak usah
bingung bila jumlah calon imam berkurang. Tuhan ialah
Tuhan. Tuhan juga tidak banyak. Tuhan dapat berkarya
bagus dengan imam sedikit. Dan dapat berkarya gemilang
tanpa imam. Tetapi jangan bingung, imam selalu ada.
Dan dalam jumlah yang pas. Soalnya hanyalah sistem
pastoralnya.”
“Tetapi Pater, bagaimana kalau jumlah imam terlalu
sedikit? Padahal para imam tulang punggung gereja. Dan
jumlah umat semakin tahun semakin bertambah.”
“Tulang punggung Gereja ialah Kristus. Dan yang
men gatasi keadaan ialah Roh Kudus. Soalnya bukan pada
jumlah imam, melainkan pada sistem kegembalaan yang
dipakai. Bila imamn ya banyak, maka sistem pastoralnya
yang wajar ialah sistem yang mendasarkan diri pada
realita imam banyak. Kalau imamn ya sedikit, sistem
68
tukang-tukang kebun anggur
pastoral yang pas, yang relevan dan yang betul ialah
sistem dengan dasar realita imam sedikit. Kalau tidak
ada imam, ya, tidak ada imam. Sistem penggembalaan
imam ya harus khusus, jangan sama saja dengan sistem di
mana imamnya banyak atau sedikit. Lihatlah umat Flores
itu: sekian abad mengalami situa si Gereja tanpa imam,
yaitu waktu Spanyol dan Portugal diu sir Belanda dari
Nusantara. Waktu zaman Jep ang Indonesia hanya ada
tiga Uskup. Satu tahanan rumah, Mgr. Willekens, S.J. Jadi
lumpuh. Di NTT-NTB cuma satu Mgr. Leven, S.V.D., di
Semarang Mgr. A. Soegiyopranoto, S.J. Sumatra kosong.
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian kosong. Terp aks a Sri
Paus mengirim Uskup Jepang, Mgr. Yamaguchi, dip erin
tahk an membantu di Flores yang umatnya paling banyak.
Nah, semua imam, pater, bruder, suster berkebangsaan
Belanda semua ditawan. Pastor pribumi hanya sedikit
sekali. Romo Pujoh andoyo, Pr satu orang untuk seluruh
Sumatra Selatan. Jadi amat sedikit. Nah, dalam situasi
serba darurat itu sistemnya juga darurat. Kaum awam
yang dulu di zaman Belanda hanya jadi pupuk bawang,
muncul maju, mengatasi situasi Jepang dan gejolak
dahsyat revolusi. Nyatanya bagus, bagus sekali. Gereja
Katolik di zaman Jepang dan Revolusi benar-benar
antisipasi real yang gemilang dari apa yang kelak lebih dari
20 tahun kemud ian digariskan oleh Konsili Vatikan II.
Dan jangan lupa, dalam keadaan paling pesimis pun kita
69
pohon-pohon sesawi
masih selalu punya ibu-ibu. Nah, merekalah sebenarnya
dalam Kerajaan Allah imam-imam yang paling sejati.
Tetapi ini jangan kaukatakan kepada Bapak Uskup atau
Rektor Seminari, hahahaaa!”
Saya agak terhibur dari rasa salah pernah menyu
ruh Frater Gemb ong membina Legio Mariae Ibu-ibu
setelah Gembong-Lusi menjadi pasangan yang baik
dan menyenangkan. Anak merek a dua, putra dan putri
sesuai anjuran pemerintah. Gembong yang menjaga
dan menyuapi anak-anaknya, dan Kiss-Me aktip di pa
roki, bahkan pernah dipilih menjadi Ketua I Dewan
Paroki. Hanya menjadi Pastor Kepala Paroki Alusia
Kisminingsih belum boleh. Seandainya boleh, pasti
Gembong disuruhnya menjadi koster. Pasti senang sekali
dia si Pisang Kemarau itu. Akan dia anggap sebagai
kehormatan besar.
Ketika dua mempelai itu pulang dari perjalanan
bulan madu (hanya ke Sendang Sono, jadi pasti bukan
bulan madu) dan men gunjungiku, aku bergurau berpesan
kepada mereka, “Nah, sekarang tugas kalian antara lain:
punya anak yang semoga jadi imam paroki, biarawan atau
biarawati.”
“Persis Romo,” seru Nyonya Ayam Kedu, “itulah
yang kami mohon dari Bunda Maria di Sendang Sono.”
“Ya betul, Romo. Soalnya saya ini tidak berbakat, kok
dulu aneh-aneh meraih bulan.”
70
tukang-tukang kebun anggur
“Ah, ya bukan meraih bulan, Mbong. Manusia
berikhtiar, Tuhan memutuskan,” kataku tidak orisinil,
meminjam pepatah usang.
“Tetapi, jika anak-anak kami nanti punya darah
si Lusi ini, pasti anak-anakku nanti kuat kekar seperti
Samson. Mentalnya, Romo. Tidak seperti saya ini.”
“Lho, lha ya Samson, aku percaya,” kataku sambil
mem and ang kepada Champion, “tetapi kalau ada Delilah,
bagaimana? Hahahaaa!” Kedua mempelai baru tertawa
juga saling senggol-senggolan.
“Maka itu, Romo, anakku nanti jangan diberi tugas
membimbing Legio Mariae Muda-Mudi.”
***
71
Salib Ringan dari Gabus
“Hei, hello, siapa ini? Bunda Maria dari Nasaret
atau Maria Ibu Yakobus? Atau jangan-jangan
Maria Kleofa atau Maria Goretti atau...?”
“Maria Magdalena, bukankah itu yang Romo
maksudkan?” taw a tamu Natal pada pagi segar, meng
harum rumput-rumput bug ar basah. Kemenakan saya,
Sri Rejeki nama kecilnya, sek arang keren Suster Agnes,
yang baru saja mengucapkan kaul sementara. Belum 3
bulan tamat novisiat dan sekarang diberi tugas perc obaan
membantu di paroki tetangga. Tepatn ya di lingkungan
Benggolan yang punya gereja kecil joglo di pinggiran
hutan jati pegunungan kapur utara sana, sederhana tetapi
men yejukk an hati. Agnes tinggal di suatu rumah nenek
salib ringan dari gabus
janda dari mantan carik desa, bersama seorang suster
yang sudah beruban yang dulu sudah saya kenal juga.
Suster Ola, seorang sahabat salah seorang adik saya di
SD dulu.
Tidak ada hubungan dengan Hari Natal atau kunjungan
dua tamu itu kecuali jika dicari-cari. Hanya ibarat coretan
bawah yang membuat afdol suatu tandatangan. Iseng
dapat diceritakan, mud ah-mudah a n bukan digosipkan,
sebetulnya Suster Ola itu ketika diresm ik an jadi biarawati
mendapat hadiah nama (yang pada waktu itu sedang trendy)
dari pembesarnya: Maria Tak Bern oda (hari rayanya 8
Desember), dalam bahasa Latin, yaitu Maria Immaculata
(Maria Tanpa Cacat). Atau juga aneh sekali mengapa
sampai begini: Maria Inviolata. Kata inviolata sebetulnya
kurang enak, sebab harfiah berarti, terus terang saja, ti
dak dip erk osa atau digagahi. Jadi Maria Immaculata jauh
lebih indah. Tetapi para suster itu rupa-rupanya kurang
memahami bahasa Latin. Dari bunyi inviolata agaknya
terdengar merdu. Viola, vioul, violi, biola. Maka Suster
Pemimpin Biara tergoda dan memilih nama fatal. Maria
Inviolata. Lebih fatal lagi, disingkat dalam pemanggilan
sehari-hari: Inviolata. Tetapi segera ini fatal pangkat tiga
dirasakan ruwet, disingkat lagi menjadi Violata, harfiah
(dia yang) digagahi. Lebih malapetaka lagi, Violata
masih terlalu panjang, lalu disingkat lagi menjadi Viola.
Memang merdu bunyinya, bahkan berseni musik karena
73
pohon-pohon sesawi
dekat dengan biola. Akan tetapi begitulah, membuat
gempar pangkat entah berapa, sebab bentuk viola adalah
bentuk kata menyuruh: perkosalah. Untungnya kekeh
dan kikik hanya terdengar di kalangan yang tahu bahasa
Latin, praktis para pater dan frater. Apakah di kalangan
kongregasi Suster Viola itu tidak ada suster Belanda yang
pernah bersekolah di Gimnasium, yakni SMU unggul
yang bermata-ajaran bahasa Latin? Teka-teki.
Namun rupa-rupanya ada seorang Pater Rektor atau
frater keterlaluan beraninya, yang memberitahu pimpinan
tentang arti ses ungg uhn ya dari kata mirip biola tadi.
Tetapi sekali nama Inviolata tetap abadi Maria Inviolata.
Cuma didekritkan bahwa selanjutnya nama panggilan
untuk suster yang malang itu ialah Ola. Agaknya sesudah
konsultasi entah pada kamus Latin-Belanda atau pada
Pater Rektor, bahwa dalam bahasa Latin tidak ada kata
ola. Cuma susahnya, setiap ada sesuatu yang mengh eran
kan, mengagumk an, atau penuh pertanyaan, di Negeri
Salju sana orang berseru: Olala! Terjemahan dari bahasa
Jawa: Uweelha, atau menusuk bagi telinga santri: oallaaa.
Seh ingg a Suster Ola sering diejek dengan seruan-seruan
yang pura-pura tak tersengaja: Olalaa, Olala celaka sekuali
sekuala, tempen ya gosong olalaaa. Tetapi Suster Ola yang
baik hati menganggap ejekan-ejekan oallaaa olala itu
hanya sebagai salib ringan dari gabus.
Maka datanglah tamu-tamu Natal itu, yang satu
74
salib ringan dari gabus
seperti Elisabet, ibu Yohanes Pembaptis, dan yang satu
lagi nyaris masih remaja, mungkin Maria waktu itu.
“Selamat datang, Suster Ola. Senang saya melihat
Suster memb aw a si Jeki ini. Sudah lama tidak muncul,
pikirku apa dia ini lari dari biara.”
“Ada-ada saja, Pakde ini,” protes si yang bukan Ola
bers ungut-sungut pura-pura marah. “Pagi Hari Raya
Natal sudah mulai meledek orang tak berdosa. Selamat
Hari Natal dulu, dong. Berkati dulu dong.”
“Ah, ya. Selamat Hari Natal Sri, eh maaf sekarang
sudah yang terpuji Suster Agnes.” Melengoslah Sri Rejeki
dengan genitn ya yang belum dan semoga tidak akan
hilang (begitu harapan lubuk hatiku) dari dirinya yang
sejak dulu selalu sukaria menyen angkan itu.
“Selamat Hari Natal. Natal gembira ria teriring
dentang lonceng Natal, dong! dong! ding dong!” sindir
nya. “Sekali lagi: Selamat Hari Natal, dong! dong! ding
dong!” Tawa berderai-derai dari dua wajah suster.
“Kamu ini kalau berbicara dengan Romo jangan
pakai dong dong dong,” tegur Suster Ola Kakaktua
kepada adik-dongnya. Langsung dua tangan si Agnes
mengatup dan membuat sembah ke arahku.
“Maaf, banyak maaf Natal, Pakde Romo. Memang
Natal Agnes kurang sopan, tetapi jangan marah dong.”
Kami bertiga tertawa ria.
“Ya Suster Ola, inilah generasi muda yang rupa-
75
pohon-pohon sesawi
rupanya lahir seperti Yesus dengan teriring paduan
nyanyi malaekat dan lonceng-lonceng kabar gembira
dalam kepala mereka. Maka setiap kali terdengar dong
ding dong. Tetapi mari duduk dan cerita, ada apa di
padang Betlehem Benggolan, ah stasimu itu kok aneh
ben ar namanya. Mana ada nama kok Benggolan. Agnes
tah u apa arti benggolan?”
“Tentu saja. Tempat benggol. Benggol itu nama
Jawanya Benggala di India itu. Sapi Benggala artinya
sapi besar. Dan dulu zaman ibu masih kecil, mata uang
tembaga besar yang kadang-kad ang dih adiahkan kepada
ibu namanya benggol.”
“Tidak hanya itu,” sanggahku. Gelak tawa berku
mand ang lagi.
“Kepala gerombolan kecu,” seru si gadis berjilbab
yang sulit dibayangkan di sarang penyamun itu.
“Benggol paroki kalian siapa?” tanyaku kering
kerontang. Melonjaklah si Agnes dan Suster Ola geleng-
geleng kepala samb il tertaw a terkekeh tetapi tangan tetap
di muka mulut.
“O, Pakde, tadi malam lucu sekali. Aduh sampai kaku
perut kami. Di gereja, aduh jika Romo melihat, sungguh
pasti tidak bis a berhenti tertawa. Aduh luar biasa, kami
tidak dapat berdoa, begitu lucunya.”
“Agnes, kalau bicara dengan Romo jangan menyebut
Pakd e, apalagi Pakde Romo. Kurang sopan.” (“Ah, sekali
76
salib ringan dari gabus
Pakde selamanya Pakde,” tegas si Kecil.) “Dan bercerita
harus urut, jangan tertawa dan aduh aduh lucu begitu.”
“Tetapi nanti dulu, mari duduk dulu. Kami harus
mengh ormati biarawati-biarawati kekasih-kekasih emas
Tuhan.”
“Ah, Pakde ini meledek lagi.”
Kupersilahkan mereka bersantai di serambi muka
terbuka yang terlindung dari silau matahari berkat pohon-
pohon sawo manila rindang menyejukkan.”
“Sekarang, ayo cerita.”
“Begini Romo, urut ya (tertawa lagi si suster kecil
itu). Tetapi sulit (cek ikika n lagi). Pokoknya lucu deh.
Tetapi hebat. Sungguh hebat. Inilah yang namanya
perayaan Natal. Mengesankan sekali dan aduh (tertaw a
lagi cekikikan sambil memegang perut). Suster Viola saja
yang cerita. Saya tidak bisa. Aduh kalau terin gat. Inilah
baru Natal yang sejati. Pokoknya lucu deh.”
Saya pun tak dapat menahan tertawa, geleng-geleng
kepala. Suster Viola mem andang Agnes-dong yang ingin
menceritakan sesua tu yang menggelikan akan tetapi
malah dia sendiri yang mengg elikan.
“Lucu apa, Suster Ola?”
Dua tangan Suster Viola yang tidak sehalus dulu
berpadu ten ang pada pangkuannya, lalu mengambil oper
tugas suster adiknya.
“Begini Romo, Misa Natal tadi malam kan mestinya
77
pohon-pohon sesawi
mulai pukul 19.00. Nah, pukul 19.30 sampai hampir
pukul 20.00 kok Romo Doyo itu belum muncul. Kami
berdua di sakristi yang menolong para Pak Koster
mempersiapkan upacara tentu saja gelis ah. Apalagi Pak
Prodiakon dan para misdinar dan ya misbinarnya juga
(pasti ada misbinarnya pada hari raya). Kami khawatir:
ada apa? Memang biasanya, eh maaf, tidak jarang Romo
Doyo itu datang terlambat. Banyak urusannya di mana-
mana, dan kam i hanya stasi kecil sederhana. Tetapi kali
ini amat aneh, mosok ia lupa Malam Natal. Pak Ketua
Lingkungan sudah telep on ke pastoran-pastoran mana-
mana, apa ada kecelakaan yang men impa Romo Doyo
atau bagaimana. Semua tidak tahu di mana. Nah, tiba-tiba
kami dengar suara mesin disel mobil Romo yang sud ah
kami kenal betul itu datang menderu dan berh enti.”
“Pas di muka pintu sakristi,” seru Agnes yang seka
rang tak sabar menungg u giliran laporannya. “Romo
Doyo tergopoh-gopoh masuk sakristi, langsung me
manggil Pak Koster: ‘Pak Nyamplung, sini. Sini, lekas!’
Kami hela Pak Nyamplung yang waktu melih at Romo
datang langsung menyalakan lilin-lillin altar. Begitu ia
muncul di sakristi, ia langsung dituding Romo Doyo:
‘Kang Koster jadi Santo Yusup!’ Bengong Pak Koster
mem andang Romo lalu memandang keliling ke kami.
‘Ya, ini kan Natal. Kita mew artakan Injil dengan drama.
Kamu Kang Koster jadi Santo Yusup... lalu, nah siapa…’
78
salib ringan dari gabus
Romo Doyo memandang keliling. Eiiit, tiba-tiba Romo
menunjuk kepada saya: ‘Suster Agnes, ya suster menjadi
Maria!’ ‘Saya?’ ‘Ya, nama Anda Agnes bukan? Suster
Kongregasi Maria Bunda Kasih, bukan? Ya, apa ya?’
Saya mengangguk, padahal belum paham betul apa yang
beliau maksud. ‘Jadi Suster Agnes jadi Maria. Daripada
mencari jilbab, kan Suster sudah pas jika memainkan
peran Maria. Sudah, pok oknya siapkan kata-kata, kira-
kira Bunda Maria nanti berbicara apa.’ ‘Lho, Bunda Maria
kan diam saja.’ ‘Ya, diam tetapi jangan tertawa cekikikan
seperti biasanya, lho. Awas nanti. Ini liturgi. Lalu... nanti...
nah selanjutnya... E, Pak Ketua Lingkungan. Monggo
Bapak menjadi pemilik hotel yang menolak Santo Yusup
dan Ibu Maria... O, ya, Bapak Prodiakon juga, main peran
tuan rumah lain. Jadi jika Kang Koster dan Suster Agnes
nanti mengetuk pintu sakristi seberang altar sana, jika ada
ketukan pintu, Pak Sarwo pura-pura menolak.’ ‘Mestinya
menolak sungguh-sungguh,’ sanggah Pak Prodiakon
yang juga katekis, guru sek ian puluh rakyat yang minta
dibaptis, ‘tidak hanya pura-pura.’ ‘Betul Pak, Anda betul,
nanti Anda menolak betul, terserah kata-kata yang Pak
Sarwo pakai. Tetapi ini drama, jadi toh tidak sungguh-
sungguh dari lubuk hati. Tetapi Pak Sarwo harus pura-
pura yakin emoh kep ada Santo Yusup dan Ibu Maria. Dan
ini drama Jawa, jadi seperti kethoprak itu lho, tidak perlu
pakai teks baku segala. Tetapi kalian tanggap dan alamiah
79
pohon-pohon sesawi
mengadakan perb inc anga n.’ Tentu saja kami semua
tertawa mendengar kiasan kethoprak. Tetapi memang
Romo Doyo itu kan dari dulu sejak kita mengenal beliau,
selalu orisinil ide-idenya.”
“Orisinil atau aneh?” sahutku.
“Ya, terserah, pokoknya menyenangkan.”
“Nah, Suster Agnes ini,” sambung Suster Ola,
“masih kurang ajar bertanya: ‘Kethoprak apa Srimulat,
Romo?’ Tentu saja semua tertawa membayangkan
Srimulat. Memang Suster Agnes ini sering sama seperti
Romo Doyo, aneh-aneh.”
“Ah, mosok begitu,” protes Sri Rejeki sambil melengos
genit.
Lanjut Suster Ola, “Romo Doyo membenarkan
Agnes. ‘Betul. Persis Srimulat. Liturgi kethoprak Srimu
lat. Tetapi tetap liturg i Srimulat sangat berkesan dalam
hati pemirsa. Liturgi jug a har us begitu. Pendek kata,
kalian saya beri 5 menit untuk mem ikirkan apa yang
akan kalian katakan nanti. Kan Sudah tahu peristiwa
Natal, bukan? Itu pemimpin koor dipanggil.’ Dia jug a
diins truksikan harus begini begitu nanti. Busana upaca
ra Misa kami tanggalkan semua. Kecuali para misbinar.
Bus ana liturgis yang sudah mereka kenakan dianggap
pas untuk menggamb arkan para malaek at. Khusus para
pemain gembala cepat-cepat ke gud ang gereja yang sering
masih menyimpan pakaian bekas untuk dibagikan kepada
80
salib ringan dari gabus
kaum fakir miskin. Gudang dibuka dan mereka mem in
jam apa saja yang kiranya dapat dipakai untuk memb eri
kesan kaum jembel. Maria tinggal diberi semacam sari
Ind ia dari taplak altar, sedangkan Yusup harus lekas-lekas
men gamb il sarung dan caping dari kamar tinggal yang
mend ompleng di belakang sakristi.”
“Mosok dalam lima menit dapat dipersiapkan begitu
saja?” tanyaku.
“Entahlah, nyatanya bisa. Sementara koor dipesan
untuk men yanyikan lagu-lagu pembukaan agar umat
tidak terlalu gelisah.”
“Suster Viola mendapat peran apa?”
“Saya mendapat tugas di pintu sakristi. Harus
mengatur kapan para gembala dan malaekat keluar.”
“Dan mengawasi jalannya drama, jika ada yang
macet,” tamb ah Agnes.
“Romo Doyo sendiri?”
“O, beliau menjadi Pewarta Sabda.”
“Bagus,” reaksiku spontan. “Memang harus begitu.
Itu tugas pastor, pewarta Firman Tuhan.”
“Kami mulai pas 8 menit lebih sedikit.”
“12 menit,” seru Suster Viola.
“Ya, 10 menitlah,” ujar Agnes.
“Romo Doyo keluar dari sakristi dan berlagak heran
melihat gereja penuh umat,” lanjut Suster Viola. “Beliau
memandang ke kiri, ke kanan, lalu ke altar…”
81
pohon-pohon sesawi
Dan diserobotlah kalimat oleh Sri Rejeki: “Lalu
Romo Doyo berseru, ‘Amboi... amboi alangkah indahnya
hiasan altar, panti imam, dan seluruh gereja kita yang
miskin ini.’ Lalu mem and ang ke pintu sakristi: ‘Kang
Nyamplung, Kang Nyamplung, di mana engkau? Mari
kemari, aku ingin bertanya. Wahai Kang Nyamplung,
kau di mana?’ Kudorong Pak Koster keluar. Ia bingung
dan melawan sebentar, tetapi melihat jari telunjuk Romo
Doyo seperti pistol menembak ke arahnya, ia keluar de
ngan garuk-garuk kepala. ‘Kang Nyamplung, jawablah.
Ini ada apa?’ ‘Ini Hari Natal, Romo.’ ‘O, ya? Ah iya,
iya iya betul, ya betul ini Malam Natal. Saya terlambat
datang karena harus men olong membawa anak sakit
keras ke rumah sakit di kota. Doakanlah anak itu, ya
saya terlambat, maafkan wahai umat Bani Israel. Maka
wahai umat lingkungan Benggolan, dengark anlah warta
Injil Yesus Kristus menurut Santo Lukas Bab 2 ayat
1 sampai 14. Dengarkanlah, dengarkanlah kalian lagu
merdu dari jauh. Rorate, dari para malaekat.’ Romo
Doyo menganggukkan kepada pemimp in Koor, dan lagu
damba rindu Rorate coeli de supe dinyanyikan. Pak Koster
disuruh masuk sakristi lagi. Lalu say a didorong Suster
Viola keluar. Pak Nyamplung yang masih gug up bingung
tidak lekas keluar ke panti imam. Kupaksa dia memeg ang
mesra tanganku seperti Yusup-Maria sungguh. Hahahaa,
biasanya dia takut. Memang Pak Koster dulu konon
82
salib ringan dari gabus
pernah patah hati, gadis yang ia idam-idamkan ternyata
menjadi doktoranda Fisika. Sendirian, tanpa konsultasi
pemimp in rohani, ia memutusk an untuk tidak pernah
menik ah atau berurusan dengan peremp uan.”
“Jadi si Nyamplung toh mesra-mesraan?”
Suster Viola merasa perlu memberi komentar,
“Mungkin karena Maria-nya seorang suster. Jadi ia
merasa aman. Mungkin. Tetapi ia baik kok. Berusaha
seperti Santo Yusup betul, berjalan pelan-pelan di muka
altar menuju ke pintu sakristi seberang altar. Dengan
tegang sekian banyak mata mengikuti Pak Koster dan si
Agnes itu. Sesudah nyanyian usai, ia mengetuk pintu.”
“Teruskan Agnes,” pintaku penasaran.
“Ia mengetuk pintu sambil berkata lugu, ‘Kulo
nuwuuun.’ Langs ung umat tertawa geli mendengar
suara jejaka tua pendek tetapi kekar, Kang Nyamplung,
yang begitu lugas sederhana. ‘Kurang keras,’ bisikku.
Ia mengetuk lagi. ‘Sepeedaaa! Ada tamu!’ Lagi seluruh
gereja tertawa geli. ‘SePAAAda,’ bisik saya lagi. Mengetuk
untuk ketiga kalinya, ia sekarang berteriak sampai saya
pun kaget: ‘SePAAAda. Ayo buka pintu. Ini Malam Na
tal. Jangan cemas. Cuma main ceki saja di dalam. Tidak
dib uk a, say a dobrak seperti polisi’.”
Kami bertiga tertawa gelak-gelak sampai tidak dapat
men er usk an ceritanya.
“Aduh, perutku, aduh. Pasti Kang Nyamplung yang
83
pohon-pohon sesawi
lugu lugas itu menyindir Pak Ketua Lingkungan dan
beberapa tokoh lingkungan yang terkenal punya kelem a
han, orang Jawa yang sok priyayi istana, suka main kartu
Cina ceki.”
“Aduh Romo, saya pun tidak dapat mengekang saraf
saya. Begitu lucu nadanya.”
“Lalu pintu dibuka?”
“Belum. Mungkin Pak Ketua Lingkungan marah
dan malu dis ind ir blak-blakan di muka umatnya yang
suci. Akhirnya dari balik pintu yang terbuka sedikit ia
berteriak, ‘Ada anak sapi berkepala kuda. Siapa kamu?
Ini sudah malam!’ Jelas menyindir, balas dendam, karena
memang pas sekali gambaran tentang bodi dan kepala
Kang Nyamplung. ‘Nah Santo Yusup.’ Entah karen a ber
sem angat atau apalah, ia berteriak lagi, ‘Ini Hari Natal.
Kamu har us memberi penginapan kepada Santo Yusup
dan Bunda Maria. Apa kamu lupa’?”
Agnes menyambung, “Aku berbisik kepada
Nyamplung, ’Yang halus sedikit, kamu Santo Yusup,
bukan Kang Nyamp lung’.” Ia mengangguk-angguk sambil
menyeringai puas mend apat kesempatan mengeritik para
tokoh.
Suster Ola melanjutkan, “Akhirnya pintu terbuka
lebar. ‘Mau apa kamu heh?’”
“Nah lalu... lalu... teruskan Suster Ola!”
“Saya malu…” Suster Viola geleng-geleng kepala.
84
salib ringan dari gabus
“Keterlaluan, memang Pak Ketua Lingkungan itu keter
laluan. Dia memp era lat kesempatan untuk men yind ir
musuhnya.”
“Musuhnya?”
“Ini kan begini, Romo. Pak Ketua Lingkungan itu
kan sud ah lama dalam soal gengsi bersaing keras de
ngan Komandan Polsek yang maklumlah sombong dan
sukanya mencegat pendud uk yang berkendaraan sepeda
motor bahkan sepeda, seolah-olah terjadi pelangg aran.
Pokoknya dibuat-buat dicari kesalahan tetek-bengek apa
pun. Hanya untuk mengisi kantongnya sendiri.”
“Lalu apa hubungannya dengan drama Natal itu?”
“Nah, kan begini Romo. Ketika Pak Ketua Lingkungan
memb uk a pintu, langsung Pak Koster itu berkeluh-kesah,
‘Kami ingin penginapan di hotel ini.’ ‘Apa? Kamu ingin
menginap di hotel bintang lima ini? Ayo minggat!’ ‘Ya,
tetapi apa sampeyan teg a?’ ‘Tega apa?’ ‘Kan sampeyan
tahu Bunda Maria ini sedang hamil tua. Sebentar lagi akan
melahirkan.’ Nah, Romo, lalu Pak Ketua Lingkungan itu
bertanya pura-pura heran, ‘Lho, ada perawan kok hamil,
ini model mana?’ Langsung seluruh gereja seo lah-olah
didatangi sejuta kumbang... ngngngngngng... Jelas ini
sindiran urik ke alamat Kapolsek, karena belum lama ini
seluruh kecamatan tahu bahwa anak putrinya mengalami
‘kecelakaan’. Tak seorang pun tahu, siapa si suami.”
“Uah, itu tidak Kristiani. Kan kasihan si anak
85
pohon-pohon sesawi
perempuan malang itu,” komentarku.
“Memang. Semua merasa begitu. Maka Romo Doyo
rupa-rupan ya berikhtiar menyelamatkan situasi, dan
berdeklamasi lagi: ‘Wahai umatku Bani Israel, itu tadi
bukan kata-kata Santo Luk as, akan tetapi nabi tidak
resmi. Maka wahai para pem uda dan pem udi, jangan
lagi berbuat yang semestinya tidak boleh diperbua t.
Hikmahnya, wahai para pemuda dan pemudi Benggol
an, jan ganlah mengikuti yang itu-itu sebelum mendapat
berkat pernik aha n di Gereja’.”
“Bagaimana reaksi umat?”
“Ya seperti tadi itu, ngngngng… seperti ada seribu
kinjeng dan kumbang beterbangan di dalam ruang
gereja.”
“Tetapi saya yang malu, Romo. Suster Ola tadi tidak
tepat ceritanya,” sahut Agnes. “Ceritanya, Nyamplung
berkata, ‘Apa kamu tidak kasihan kepada perempuan
yang sedang hamil tua ini?’ Mosok Pak ketua Lingkungan
berkata begini: ‘Siapa hamil tua?’ Lalu, melihat saya.
‘Mosok Suster hamil tua? Ini model apa?’ Ya, keruan saja
umat tertawa, bahkan ada yang bersiul. Langs ung saja
Santo Yusup saya tarik pergi dari Pak Ketua Lingkunga n
itu.”
“Malah keliru,” kata Suster Ola, “mau Suster Agnes
dan Nyamp lung itu langsung pergi ke gua. Pak Prodiakon
yang sud ah men ungg u di sudut terpaksa memanggil
86
salib ringan dari gabus
mereka: ‘Hai, ke sini dulu!’”
“Tetapi Romo, saya sudah jengkel. Saya tidak mau
nanti dip ermalukan lagi.”
“Hahahaaa. Begitu saja ngambek. Kan ini drama.
Tidak sungguha n.”
“Drama desa jambu klutuk. Pokoknya saya sudah
tidak mau.”
“Tetapi Pak Ketua Lingkungan kan sudah minta
maaf,” ujar Suster Ola. “Ya, Romo, sesudah drama
selesai, langsung ia minta maaf, karena tadi itu spontani
tas saja tanpa pikir panjang.”
“Ya, tetapi saya yang malu.”
“Yang ditembak kan bukan kamu, Agnes, tetapi Pak
Polsek yang sukan ya main pungli itu.”
“Saya setuju. Berdiri di pihak Suster Agnes. Bukan
karena ia kemenakan saya, tetapi karena memang begitu
lah yang benar. Bagaimanapun kita tidak boleh menjelek-
jelekkan orang di gereja. Tetapi aneh, Ketua Lingkungan
itu kan Pak Sungkan. Mosok orang saleh sebaik itu berkata
begitu.”
“Bukan, itu ketua pilihan baru. Pak Sopo.”
“Uaah, makanya. Saya kenal tokoh itu bila sedang
ada pen atara n pemuka paroki. Agak fanatik Katolik
memang.”
“Bukan agak. Totok tulen.”
“Tetapi pasti Agnes mengecewakan Pak Prodiakon
87
pohon-pohon sesawi
yang sud ah menunggu gilirannya.”
Suster Viola tertawa, masih dengan tangan di muka
mulut. “Agnes kita ini keterlaluan. Sebetulnya Kang
Nyamplung sudah membalik mau pergi ke tempat
Prodiak on, tetapi sang Maria bersiteguh tidak mau.
Kontan umat di gereja mengejek dan ada beb erapa pemu
da bernyanyi: ‘Aduuu maluuu, siapa maluuu dig ondol
hantuuu.’ Pak Prodiakon tak sabar, lalu maju mendekati
Yusup dan Maria dan berteriak, ‘Sana pergi. Saya tidak
suka ada pengemis mengotori rumahku. Sudah sana, cari
tempat di tempatnya Mbah Suro sana! (Hahahaa, rumah
Mbah Suro adalah temp at dua suster itu mondok selama
mengemban karya paroki mereka.) Kalau tidak mau, ya
malahan saya senang.’ Lalu ged ebag-ged ebug, pura-pura
marah, dengan tangan mengep al dan den gan semp o
yonga n kembali ke sudutnya. Umat tertawa lagi. O, tidak
hanya tertawa. Siut-siut dan melontarkan ejekan: ‘Wuuuu
sadiiis. Masuk nerakaaa…!’ Ya seperti itu, Romo.”
“Pak Prodiakon?”
“Uah, dia itu sesudah kembali ke sudut, membalik
dan berk ac ak pinggang, tertawa terbahak-bahak seper
ti raja raksasa kethop rak sungguh, menunjuk kepada
diri sendiri mengiyakan umat. ‘Hahaha. Betul, betul,
saya akan masuk neraka. Tetapi kalian juga, kalian juga.
Karena kalian juga sering kejam kepada gur u, orang yang
menderita dan minta pertolongan.’ Anak-anak berjing
88