The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Karya Penulisan Peserta Pelatihan Sejarah DISBUDPAR Kota Bandung Tahun 2021

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by pilaalip20, 2021-09-14 01:58:31

Karya Penulisan Peserta Pelatihan Sejarah DISBUDPAR Kota Bandung Tahun 2021

Karya Penulisan Peserta Pelatihan Sejarah DISBUDPAR Kota Bandung Tahun 2021

Keywords: Karya Penulisan Sejarah

KARYA PENULISAN PESERTA
PELATIHAN SEJARAH

DISBUDPAR

KOTA BANDUNG

TAHUN 2021

Kereta Api, Cilembu, dan Candi

Ditulis oleh: Farly Mochamad
Pekan lalu, saya ikut kegiatan Aleut Development Program (ADP) 2020
momotoran menyusuri jejak kereta api antara Bandung-Tanjungsari. Kami
berangkat agak siang dari sekretariat Aleut menuju SPBU Cinunuk untuk bertemu
dengan rekan lain yang akan bergabung.

Jembatan Cincin Cikuda di pagi hari foto: Komunitas Aleut

Dari Cinunuk, kami beranjak ke Jatinangor, melewati kampus Unpad, untuk
menuju lokasi pertama, yaitu Jembatan Cincin atau kadang disebut Jembatan
Cikuda, sesuai dengan nama daerah di situ. Tidak butuh waktu lama sampai kami
tiba di lokasi dan berjalan di atas bekas jembatan kereta api ini.

Dari atas jembatan ini saya bisa melihat Gedung Student Center Fakultas
Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, Asrama Kedokteran Unpad, dan di bawah
jembatan terlihat area permakaman di tengah sawah. Di arah timur terlihat
Apartemen Taman Melati dengan kolam renangnya. Waktu kami datang, ada
beberapa pesepeda yang sedang foto-foto dan eksplorasi seputar jembatan ini
juga. Seorang tua yang sedang berfoto sambil minum air dari cangkir menuturkan
bahwa dia berangkat dari Setiabudi pagi tadi. Lumayan juga perjalanannya,
sepedahan dari Bandung Utara sampai ke Jatinangor, dan entah akan ke mana lagi.

Dari atas jembatan kami mencari jalan untuk turun ke bawah, ke area
persawahan dan permakaman. Pak Hepi yang menyertai kami bercerita bahwa

jembatan ini memiliki 11 tiang dan 10 lengkungan yang membentuk rupa cincin.
Pembangunannya dilakukan pada tahun 1918 dengan tujuan sebagai jalur
pengangkutan hasil perkebunan kopi dan teh dari wilayah Jatinangor ke
Rancaekek dan Bandung. Saat ini bekas jembatan masih digunakan warga sekitar
sebagai jalur lalu lintas antarkampung.

Jembatan Cincin Kuta Mandiri foto: Komunitas Aleut

Tempat kedua yang kami datangi berada di perbatasan Kecamatan
Jatinangor dan Kecamatan Tanjungsari, dan baru saya ketahui bahwa sebenarnya
ada jembatan cincin lainnya di kawasan ini. Letaknya di tengah perkampungan
agak jauh dari jalan raya dan cukup tersembunyi juga, tak heran kalo banyak yang
engga tahu keberadaan jembatan ini. Nama jembatan ini Jembatan Kuta Mandiri.
Saat ini hanya warga sekitar saja yang memanfaatkan jembatan ini sebagai jalur
jalan perkampungan.

Figure 1 Juang 45 Tanjungsari (kanak) Viaduct (kiri) di Tanjungsari Foto : Komuitas Aleut

Jejak kereta api berikutnya yang kami datangi adalah bekas Stasiun
Tanjungsari yang saat ini digunakan sebagai Gedung Juang ’45 Tanjungsari. Jalan
tempat bekas stasiun ini berada ternyata bernama Jalan Staatspoorwegen (SS) dan

gedungnya bernomor 23. Yang masih tersisa di sini selain bangunannya adalah
papan nama stasiun yang terdapat pada salah satu dinding luar luar, letaknya di
bagian atas. Di situ tertulis nama dengan ejaan lama, Tandjoengsari.

Di sini Mang Alex bercerita bahwa jalan raya yang di depan itu adalah bagian
dari De Grootepostweg atau Jalan Raya Pos yang dibangun pada masa Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke-36 yaitu Herman Willem Daendels. Untuk
pembangunan lintasan jalur kereta api Tanjungsari, ada bagian dari Jalan Raya Pos
ini yang dibongkar dan dijadikan viaduct. Bagian atas dan bawah viaduct ini masih
digunakan sampai sekarang sebagai jalur lalu lintas, sedangkan jalur rel kereta api
sudah tidak terlihat lagi, katanya sudah tertimbun sekitar satu meteran di bawah
tanah.

Struktur Jembatan Kereta Api di Citali foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami ke Citali. Di sini kami berjalan ngaleut di tengah
persawahan untuk menuju sebuah bekas bangunan fondasi jembatan yang tidak
selesai dikerjakan. Konon karena masalah kesulitan ekonomi pada waktu itu.
Selain itu ada juga dongengan soal kenapa jembatan ini tidak dapat diselesaikan,
konon karena keberadaan kabut sangat tebal yang selalu menghambat pekerjaan
di sana. Wah, kabut seperti apa ya itu sampai bisa menggagalkan pembangunan
jembatan kereta api?

Sekitar pukul 12.30 kami beristirahat dan makan di daerah Tanjungsari,
yaitu di Warung Makan (Warman) Dua Saudara. Tempatnya sangat strategis
karena berada di pinggir jalan dan kebetulan sedang kosong sehingga dapat

menampung rombongan kami. Saya pikir warman ini baru, terlihat dari catnya
seperti baru dipulas, tapi warman ini sudah semi lama ternyata. Di warman ini
saya memilih makanan yang sederhana saja karena taulah mahasiswa korona,
paspasan kantongnya, hihihi. Saya mengambil lauknya jamur, tempe, tahu dan
sambal, wait, satu lagi asin pemberian Dary yang sengaja di bagikan satu plastik
olehnya, untung saja temen-temen yang lain pada gak ada yang ngambil, kecuali
Pak Hepi, jadi saya bisa ambil satu lagi. Thanks ya Dary. Setelah makan selesai
kami bercanda tawa.

foto bersama Ibu penjual warung (atas) Ibu penjual warung sedang bercerita (bawah) foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami tidak putar balik kembali ke arah Bandung, tapi
mampir dulu ke satu tempat yang namanya sangat khas dan terkenal, Cilembu.
Tadinya saya pikir tempat ini masih berhubungan dengan sejarah kereta api, tapi
ternyata engga. Ternyata oh ternyata, Aleut hanya ingin mengenalkan kawasan ini
saja. Nama Ubi Cilembu memang sudah sangat terkenal, tapi banyak yang engga
tahu di mana sebenarnya Cilembu itu. Nah, karena itulah ternyata kami diajak ke
sini.

Kami berhenti di sebuah warung penjual Ubi Cilembu dekat Kantor Desa. Di
sini kami ngobrol panjang sekali dengan ibu warung dan ada banyak sekali
informasi yang kami dapatkan. Cerita seputar desa, berbagai jenis umbi-umbian,
sampai ke pengolahan ubi yang sudah modern. Selain ubi oven yang sudah dikenal,
di sini juga banyak diproduksi variasi olahan ubi, termasuk keripik yang banyak
jenisnya dan sudah dipasarkan melalui marketplace. Sampai sekarang Desa
Cilembu juga termasuk yang secara rutin menerima kelompok mahasiswa yang
melakukan Kuliah Kerja Nyata di sini.

Situs Candi Bojong Menje. foto: Komunitas Aleut

Dari Cilembu kami pulang melewati Rancaekek dan tiba-tiba berhenti di
tepi jalan. Di situ saya lihat ada sebuah plang kecil dengan tulisan Candi Bojong
Menje. Oh, rupanya kami akan mampir melihat situs ini. Kam masuk melewati
gang sempit di tengah kawasan pabrik dan permukiman. Di situs candi kami
ketemu bapak penjaganya, Pak Ahmad, yang bercerita bahwa sebelum ditemukan
bekas-bekas candi ini, dulunya wilayah itu adalah kompleks permakaman umum.
Pak Ahmad menceritakan berbagai koleksi temuan yang tersimpan di situ sambil
mengatakan juga bahwa sebetulnya di kawasan itu kalau diadakan penggalian
maka masih dapat ditemukan banyak tinggalan kuno lainnya, tapi ya ada masalah
soal pemilikan tanah sehingga penggalian tidak dapat dilakukan.

Ex Stasiun Penerima Radio Nirom foto: Komunitas Aleut.

Dari lokasi Candi Bojong Menje, kami masih mampir lagi ke tempat lain. Kali
ini mengunjungi ex Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep
(Nirom). Gedung depannya terlihat sangat cantik sekali menjulang tinggi dengan
ciri khas bangunan Eropa. Namun sayangnya kondisi bangunan tidak terawat dan
bisa dibilang kumuh. Sekarang gedung bangunan tersebut dikelola oleh PT
TELKOM.

Plang dan spanduk Candi Bojong Emas sobek (atas) Tumpukan bebatuan Candi Bojong Emas (bawah) foto:
Komunitas Aleut.

Kami tidak terlalu lama berada di lokasi bekas stasiun radio itu karena hari
sudah semakin sore. Sambil beranjak menuju pulang, kami masih sempatkan
mampir ke satu lokasi lain di Sapan yang memang terlewati, yaitu situs Candi
Bojong Emas. Lokasinya di pinggir Jl. Raya Sapan dekat sekali dengan Sungai Ci
Tarum. Kondisi candi di sini sangat tidak terawat dan terkesan dibiarkan saja. Di
sini terdapat pagar pembatas kayu lebih kurang satu meter dan plang spanduk
yang sobek. Di bagian dalam terdapat banyak tumpukan batu kali.

Senang rasanya setiap kali momotoran bareng Aleut, apalagi hujan turun,
serasa nostalgia masa kecil, hihihi. Apalagi ini adalah momotoran pertamaku di
Aleut ke wilayah Timur. Di sini aku merasa pengetahuanku tentang sejarah
perkeretaan apian lumayan bertambah. Dan aku baru tau juga ternyata di
Bandung ada Candi, jadi gak usah jauh-jauh deh cari candi ke daerah lain, hihihi.
Pokoknya momororan kali ini enggak kalah menariknya. sampai jumpa di
perjalanan momotoran selanjutnya.

Namanya, Bosscha.

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Setiap kali mendengar nama Bosscha, yang terlintas di pikiran saya hanyalah
peneropongan bintang atau observatorium yang terletak di kawasan Lembang.
Hari ini saya mengetahui bahwa Bosscha lebih dari sekadar nama itu, melainkan
nama sosok yang punya cukup banyak peran bagi kemajuan Kota Bandung dan
tanah Priangan.

Begini kisahnya:

Nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Bosscha. Laki-laki kelahiran s-Gravenhage
(Den Haag), 15 Mei 1865 ini merupakan anak terakhir dari enam bersaudara.
Ayahnya Prof. Dr. J. Bosscha, seorang fisikawan Belanda yang kemudian menjadi
direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. Ibunya bernama Paulina Emilia Kerkhoven,
putri seorang pemilik salah satu perkebunan teh tertua di Jawa. Trah Kerkhoven
inilah yang nantinya membawa Bosscha sampai di tanah Priangan.

Ke Hindia Belanda
Bosscha sempat mengenyam pendidikan dengan berkuliah Teknik Sipil di
Politeknik Delft. Pada suatu waktu, Bosscha berselisih dengan dosennya hingga
akhirnya Bosscha memilih untuk meninggalkan pendidikannya. Tahun 1887 ia
memutuskan untuk pergi ke Hindia Belanda, usianya saat itu baru 22 tahun. Ia
hendak ke perkebunan teh di Sinagar Sukabumi milik pamannya, Eduard Julius
Kerkhoven. Di sinilah awal Bosscha mempelajari teknik budidaya teh.

Sesampainya di Hindia Belanda, Bosscha tidak lantas menjadi pengusaha
perkebunan. Ia sempat pergi menyusul salah satu kakaknya yaitu dr. Jan Bosscha
yang bekerja sebagai ahli geologi di Kalimantan. Beberapa tahun Bosscha
bersama kakaknya melakukan eksplorasi penambangan emas di Sambas Kecil.
Namun pada tahun 1892 Bosscha kembali lagi ke pamannya di Sinagar.

Jan Bosscha di Sambas, Kalimantan Barat. Foto: KITLV.

Mengelola Perkebunan Malabar
Perjalanannya menjadi seorang pengelola kebun teh dimulai pada tahun 1896.
Pamannya, Kerkhoven, mempercayakan Bosscha untuk menjadi pengelola atau
administratur perkebunan teh Malabar di Pangalengan. Perkebunan teh Malabar
terletak di ketinggian 1.550 mdpl dan memiliki luas hingga 2.022 hektar. Bosscha
menerapkan teknik modern dalam melakukan pengelolaan teh di
perkebunannya yang dilengkapi dengan adanya pabrik, laboratorium, dan pusat
listrik tenaga mikrohidro.

Bibit yang digunakan untuk menanami lahan di perkebunan teh Malabar berasal
dari daerah Assam, India. Kepiawaian Bosscha dalam mengelola perkebunan teh
Malabar membuahkan hasil. Pada tahun 1901, produksi teh dari Perkebunan
Malabar terus berkembang pesat. Teh yang berasal dari perkebunan Malabar
pada saat itu merupakan salah satu teh dengan kualitas terbaik di dunia dan
mampu bersaing dengan teh dari Cina, India dan Srilangka. Dividen saham yang
dihasilkan dari penjualannya naik secara drastis, dari yang hanya 9% menjadi
80% di tahun 1907.

Kesuksesan Bossha dalam mengembangkan produk teh Malabar membuat ia
dijuluki sebagai Raja Teh Priangan. Bosscha menjadi seorang yang kaya raya

namun tetap dermawan dan baik hati. Bosscha adalah seorang boss yang sangat
memerhatikan kesejahteraan para karyawannya. Bosscha mendirikan
bedengbedeng bagi para karyawannya serta mendirikan sekolah dasar yang
diberi nama Vervoolog Malabar pada tahun 1901. Sekolah ini merupakan sekolah
setingkat SD yang didirikan bagi kaum pribumi, khususnya anak-anak karyawan
dan buruh perkebunan teh Malabar.
Bosscha mendirikan rumah di tengah kawasan perkebunan. Rumah besar dengan
bergaya arsitektur Eropa dengan hamparan halaman yang luas. Di sekelilingya
ditumbuhi pohon-pohon besar dan rindang serta berbagai tanaman yang indah.
Di rumahnya, ia banyak menghabiskan waktu untuk berkeliling berkebun dan
menunggang kuda.

Rumah Bosscha di tengah Perkebunan Malabar. Foto: KITLV.

Peran dalam Berbagai Bidang
Pada tahun 1895, Bosscha mendirikan Perusaahaan Telepon Preanger (de
Preangers Telefoons Maatschappij) di Bandung. Posisinya di perusahaan itu

terus mengalami kenaikan dari mulai direktur, komisaris utama hingga pada
tahun 1902 ia diangkat sebagai penasehat teknik oleh pemerintah.
Tidak hanya mengenai urusan teh, Bosscha juga aktif pada berbagai bidang lain
seperti menjadi pengurus pada usaha pertanian, perkebunan, industri dan
organisasi sosial. Setelah mendirikan Perusahaan Telepon Priangan di tahun
1895, selanjutnya Bosscha pada tahun 1915 mendirikan Pabrik karet Hindia
Belanda di Bandung (de Nederlandsch Indische Caoutchouc Fabriek).
Dia juga ikut bekerja dalam pembentukan Perusahaan Listrik Bandung (de
Bandoengsche Electriciteits Maatschappij), Perusahaan Impor Mobil (de
Automobiel Import Maatschappij), Bursa Dagang Tahunan Hindia (de
Nederlandsch-Indisch Bandoeng Jaarbeurs), Lembaga Kanker Hindia Belanda
(het Nederlandsch Indisch Kanker Instituut), Rumah sakit Kota (het Stedelijk
Ziekenhuis), dan Sekolah Tinggi Teknik (deTechnische Hoogeschool; ITB
sekarang. Selain itu, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Priangan
(Gewestelijke Raad der Preanger Regentschappen) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (de Volksraad).

Monumen Bosscha di kawasan observatorum Bosscha, Lembang. Foto: KITLV.

Tempat Favorit
Di sela sekian banyak kesibukan, Bosscha kadang menyempatkan diri
beristirahat di salah satu lokasi di tengah Perkebunan Malabar, yaitu Gunung
Nini. Melihat bentuknya, mungkin lebih cocok disebut bukit saja. Ketinggian
Gunung Nini sekitar 1616 mdpl, tidak berselisih jauh dengan ketinggian umum
kawasan perkebunannya yang sekitar 1550 mdpl. Dari atas Gunung Nini,
Bosscha Bosscha dapat bersantai sambil memerhatikan para pegawai
perkebunannya ketika bekerja dengan menggunakan teropong yang ia bawa.

Suatu ketika Bosscha dalam perjalanan menuju Gunung Nini. Di tengah
perjalanan Bosscha terjatuh dari kuda yang ditungginya. Kakinya terluka dan
berujung pada infeksi yang mengakibatkan Bosscha terserang tetanus. Pada 26
November 1928 di usianya yang ke 63 tahun Bosscha menghembuskan nafas
terakhirnya.

Selama 32 tahun menjadi pengelola perkebunan teh termasyhur, Bosscha telah
mendirikan beberapa perkebunan dan pabrik teh, di antaranya Pabrik Teh
Malabar, yang kini bangunannya digunakan untuk Gedung Olahraga Dinamika,
dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini menjadi Pabrik Teh Malabar.

Kini, Bosscha bersemayam di bawah rimbunan pohon di tengah perkebunan teh
Malabar. Sesuai dengan wasiat terakhirnya sebelum ia wafat, ia ingin
dimakamkan di lokasi favoritnya tempat ia menenangkan diri. Di sebuah hutan
kecil bernama Leuleuweungan.

Kutumayang dari Cianjur

Oleh: Deuis Raniarti

Ini cerita singkat saja melanjutkan cerita panen dalam postingan sebelumnya. Padi
yang dipanen pastinya akan dijadikan beras, lalu jadi nasi. Selain menjadi nasi, beras
juga sering dijadikan tepung dan selanjutkan dijadikan bahan pembuatan berbagai
macam makanan ringan, seperti kue-kue jajanan pasar, baik yang basah atau yang
kering. Salah satu penganan berbahan dasar beras yang agak unik, dan ini khas
Cianjur, adalah sejenis kerupuk, namanya kutumayang.

Secara bentuk, kutumayang agak mirip dengan kue putu mayang yang biasa dijual di
tukang jajanan pasar. Rasa putu mayang sedikit hambar, karena itu biasanya disiram
gula cair dan terkadang ditambah parutan kelapa utuk memperkaya rasa. Berbeda
dengan putu mayang, kutumayang bukanlah jenis kue, melainkan sejenis kerupuk
yang rasanya asin. Kutumayang sering disajikan jika ada tamu, atau jika ada perayaan
tertentu seperti hajatan pesta khitanan atau pesta pernikahan.

Saat hajatan, Kutumayang biasanya disajikan dengan makanan khas Cianjur lainnya.

Entah sejak kapan kutumayang ini hadir, namun ketika saya menanyakannya pada
Uyut, beliau menjawab dari zaman uyut muda pun kutumayang ini sudah ada. “Wah,
berarti kutumayang ini jauh lebih tua dari uyut ya?” ucap saya dengan nada bercanda
seraya disambut dengan tawa dari uyut. Uyut sudah sepuh dan tidak ingat berapa
usianya sekarang, namun jika boleh menebak, mungkin usia uyut tahun ini sekitar 80
tahun.

Membuat Kutumayang membutuhkan proses yang cukup panjang, apalagi pada
zaman dulu alatnya masih terbatas, sehingga Kutumayang dibuat dengan cara
tradisional. Beras dicuci dan direndam semalaman, lalu dikeringkan di
atas nyiru (anyaman bambu berbentuk bulat). Dahulu tidak ada penggilingan beras
seperti sekarang, maka lumpang dan halu menjadi peralatan wajib untuk mengawali
pembuatan kutumayang.
Beras yang sudah kering ditumbuk dalam lumpang menggunakan halu sampai halus,
lalu diayak hingga hanya tepung halus saja yang terkumpul. Selanjutnya, tepung
dikukus selama setengah jam, lalu diberi bumbu yang terdiri dari bawang putih halus,
garam, penyedap rasa, dan pewarna makanan. Adonan tepung lalu diberi air mendidih
sambil terus diaduk, tekstur adonan tidak cair ataupun kental, lebih mirip adonan roti,
tapi tidak lengket.

Selanjutnya adonan dicetak menggunakan cetakan khusus yang dibuat dari kaleng
bekas sarden yang diberi lubang kecil di bawahnya. Cetakan ini sepasang dengan
cetakan berbentuk kayu lonjong sebagai pendorong adonan agar keluar dari lubang
kaleng sarden.

Cetakan kayu pendorong adonan keluar dari kaleng Cetakan Kutumayang dari kaleng bekas sarden

Cetakan kaleng sarden diisi adonan, kemudian cetakan kayu dipasangkan, selanjutnya
cetakan ditekan mengarah ke loyang bulat. Saya sempat mencoba mencetak adonan
agar berbentuk seperti pada gambar di bawah, tapi sayangnya saya belum begitu
mahir, adonannya malah kesana-kemari tak berbentuk. Membagi fokus saat menekan
adonan saja cukup sulit, apalagi harus memikirkan bagaimana bentuk yang harus
diciptakan, ah saya tak sanggup.

Adonan yang sudah dibentuk Adonan Kutumayang

Sebelum ada loyang, Uyut biasanya menggunakan daun nangka atau daun cokelat
untuk alas kutumayang yang baru dicetak. Entah ada alasan khusus atau tidak kenapa
Uyut menggunakan kedua daun itu.

Ditiriskan di atas sasag Adonan yang menunggu dikukus

Kutumayang mentah dikukus selama ±15 menit, selanjutnya diangkat dan disusun di
atas anyaman bambu panjang bernama sasag. Sasag yang telah penuh lalu dijemur di
bawah sinar matahari sampai kering. Setelah kering, baru bisa digoreng. Kutumayang
akan mengembang seperti umumnya kerupuk ketika digoreng. Kutumayang yang
sudah kering tapi tidak langsung dikonsumsi, bisa disimpan dan awet hingga
berbulan-bulan. Kadang saya membawa bahan siap goreng ke Komunitas Aleut,
biasanya sih setelah digoreng, tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
Meleng dikit, piring sudah kosong lagi.

Kutumayang setelah digoreng Kutumayang mentah

Nah, kira-kira seperti itulah proses pembuatan salah satu kerupuk khas Cianjur ini.
Mau coba bikin? Saya juga masih penasaran dan sepertinya akan segera mencoba
membuatnya sendiri di sekretariat Komunitas Aleut nanti.

1001 kata tentang Pangalengan

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman.
Kegiatan momotoran merupakan salah satu bentuk pembelajaran di Komunitas Aleut untuk
mempelajari sejarah suatu tempat dengan mengunjunginya. Namun nyatanya kegiatan ini semakin
meluas cakupan pembelajarannya ketika di lapangan, bukan hanya materi sejarah saja, namun
sekaligus mendapatkan pembelajaran tentang kepemimpinan, team work, dan survival.
Pada tanggal 24 Oktober 2020, saya mendapat kesempatan pertama kalinya untuk momotoran ke
kawasan Pangalengan. Tujuannya adalah untuk mengobservasi jejak-jejak perkebunan tempo dulu
dan beberapa tokohnya.

Perjalanan belum jauh, namun tiba-tiba kita berhenti di tepian jalan, tepat di mulut jembatan
Cikalong. Para anggota diperkenalkan kepada wilayah sekitar dan yang akan dilalui sepanjang
perjalanan, juga kepada Gunung Tilu dan Gunung Malabar yang keduanya terlihat cukup baik dari
tempat ini. Pak Ridwan atau yang kita panggil dengan Abang menjelaskan ke arah mana kita
berjalan. Jika kita berjalan ke selatan maka akan kemana kita, begitupun jika kita ke utara, timur,
dan barat.

Perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai.
Perkebunan Kina Tjinjiruan
Setelah melewati lika-liku perjalanan, kami tiba di lokasi Tugu peringatan 100 tahun Penanaman
Kina di Tjinjiruan. Pak Alex sebagai narasumber dengan semangatnya menceritakan sejarah kina,
hingga para tokoh-tokohnya seperti Junghuhn, Hasskarl, Jongkindt, dan Cup.
Kami menyimak kisah tentang Junghuhn seakan mereka menyaksikan sendiri sepak terjang
Junghuhn di tanah Priangan ini.

Mang Alex berbagi cerita di Kebun Tjinyiruan. Foto: reza Khoerul Iman.

Gunung Windu-Wayang-Bedil
Setelah meninggalkan tugu perkebunan kina di Tjinjiruan, kami bergegas melanjutkan perjalanan.
Kami berhenti di dekat rumah yang dijadikan tempat syuting film Pengabdi Setan, bukan untuk
mengunjunginya akan tetapi untuk memperhatikan penjelasan tentang tiga gunung yang
berdekatan yaitu, Gunung Bedil-Wayang-Windu. Selain itu juga kita dapat melihat sekumpulan
asap besar yang dihasilkan dari gas bumi untuk dijadikan tenaga listrik, terdapat di PLTP Wayang-
Windu yang dikelola oleh PT Star Energy.
Ziarah ke Makam K.A.R Bosscha

Walaupun sudah melewati perjalanan yang cukup jauh, tidak tampak sama sekali guratan keluh
kesah dan energi negatif, justru semua saling berbagi energi positif. Padahal banyak di antara
peserta yang baru kali ini momotoran dengan jarak sejauh ini. Bahkan ada beberapa yang baru kali
ini ke Pangalengan.
Akhirnya sampailah kami di kawasan perkebunan Malabar, yaitu di Makam Karel Albert Rudolf
Bosscha. Nama Bosscha indentik dengan sebuah observatorium yang berdiri megah di sebidang
tanah seluas 6 hektar di Lembang pada ketinggian 1300 mdpl. Sejak didirikan pada tahun 1923,
observatorium sudah memberikan banyak manfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang
astronomi. K.A.R. Bosscha juga mempunyai peran penting di dunia perkebunan teh hingga
berdirinya Technische Hooge School (THS), sekarang ITB.
Mungkin ada orang yang berpikiran, mengapa harus ke makam Bosscha yang biasa-biasa saja, dan
bukannya pergi ke tempat yang lebih instagramable seperti Bukit Nini? Kami momotoran bukan
untuk sekadar rekreasi, tetapi juga untuk berliterasi. Oleh sebab itu ketika berziarah ke makam
Bosscha malah banyak informasi sejarah yang disampaikan. Juga untuk bermuhasabah diri setelah
mengenang jasa-jasa Bosscha kepada tanah Priangan ini. Kontribusi apakah, walaupun sedikit,
yang sudah kita lakukan untuk pengembangan dan kemajuan tanah Priangan ini?

Lingkungan di sekitar makam Bosscha. Foto: Reza Khoerul Iman.

Berbagi Kesan di Sekolah Bosscha
Tidak berlama-lama kami singgah di makam K.A.R Bosscha, karena kami harus melanjutkan
perjalanan menuju sekolah yang dibangun oleh Bosscha, Vervoloog Malabar. Melewati jalan
setapak yang licin dan berbatu, tidak membuat gentar melewatinya, walaupun ada motor yang
sedikit tergelincir walaupun tidak terjatuh. Maklum, motor kota.

Entah kapan Vervoloog Malabar ini berganti nama menjadi SD Malabar. Bangunan Sekolah yang
bisa kita lihat sekarang ini bukanlah bangunan aslinya, melainkan replika dari bangunan lamanya.
Bangunan asli dari sekolah ini hancur ketika Pangalengan dilanda gempa bumi besar beberapa
tahun lalu. Sekarang, bangunan sekolah ini sudah tidak digunakan untuk kegiatan belajar-
mengajar, karena telah didirikan bangunan sekolah baru tepat di belakang bangunan ini.

Di sini kami membuka bekal makan siang yang sudah kami beli di warung sebelum memasuki
kawasan Perkebunan Malabar. Sambil menyantap makanan yang terlihat begitu enak karena
dibumbui oleh rasa lapar, setiap orang berbagi kesan selama dalam perjalanan tadi. Ternyata
banyak kisah lucu yang terjadi selama di perjalanan, begitu juga masih banyak hal baru yang masih
harus dipelajari bersama.

Sebelum ngampar makan siang di halaman Sekolah Bosscha. Foto: Reza Khoerul Iman.

Rumah K.A.R Bosscha
Perjalanan masih terus berlanjut. Kabut cukup tebal ketika kami tiba di rumah Bosscha. Sambil
beristirahat, kawan-kawan membuat catatan-catatan pendek untuk bahan tulisan nanti. Setelah itu
kami berkeliling membuat dokumentasi dan mengumpulkan berbagai informasi yang bisa
didapatkan di lokasi. Saat kami di sana, ada sekelompok orang menyewa dua rumah kayu di
belakang rumah Bosscha untuk keperluan foto prewedding. Menarik juga, mereka memilih rumah
kuno di tengah perkebunan ini untuk kenangan pernikahan mereka nanti.

Warung di Situ Cileunca
Dari rumah Bosscha, kami membelah hujan lebat dan kabut di Perkebunan Teh Pasirmalang. Jalur
jalan ini katanya tidak terlalu sering dilewati oleh Aleut. Sekeluarnya dari kawasan Pasirmalang,
kami mampir berteduh di sebuah warung kecil di pinggir Situ Cileunca untuk menghangatkan diri
baik dengan secangkir kopi, atau mie baso.

Abang pernah menuturkan, bahwa beberapa tahun ke belakang warung ini merupakan satu-satunya
warung di daerah tersebut, namun saat ini sudah banyak warung-warung lainnya bahkan ada
warung yang lebih besar yang menutupi warung kecil tersebut. Warung kecil ini memiliki tempat

makan yang menghadap ke Situ Cileunca, sehingga menjadi nilai plus dan menjadi daya tarik
sendiri.

Berat kenangan di Situ Cileunca. Foto: Reza Khoerul Iman.

Membelah Gunung Tilu hingga Gambung
Setelah melepas lelah di warung kecil tadi, kami memutuskan memilih jalan pulang melewati
Gunung Tilu, karena dirasa masih belum puas dengan perjalanan yang telah dilalui. Kami baru
benar-benar berangkat pada pukul lima sore, sebab sebelumnya salah satu anggota kami
mengalami insiden ban bocor.
Selama berada di kawasan Gunung Tilu, pemandangan sekitar dihiasi oleh hutan lindung yang
gelap, dan juga perkebunan teh yang sudah diselimuti kegelapan. Berbagai kebutuhan untuk
melewati Gunung Tilu ini sudah dipersiapkan matang oleh tim, seperti menyiapkan perlengkapan
keamanan untuk berjaga-jaga bila ada hal tak terduga terjadi.
Sebenarnya ada bermacam cerita yang dapat diangkat tentang Gunung tilu dan Gambung, seperti
cerita keluarga Kerkhoven di Gambung, perkebunan teh gambung, hubungan jalur gambung dan
kereta api/statsiun Pasir jambu, hingga kawasan Gunung Tilu yang menjadi kawasan pembuangan
mayat. Namun karena waktu yang tidak tepat, kami melewatkan semua itu.

Akhirnya kami berhasil keluar Gunung Tilu, dan sampai di Pasirjambu sekitar pukul tujuh malam.
Kami beristirahat sebentar di Indomart Pasirjambu sambil bercerita tentang perjalanan ekstrim
barusan. Baru setelah sampai di tempat ini kami mendapat cerita-cerita nyata yang menyeramkan
yang memang pernah terjadi di kawasan itu.

Sesaat sebelum memasuki kawasan hutan di Gunung Tilu. Foto: Reza Khoerul Iman.

Mungkin akan Kau Lupakan, atau Untuk Dikenang
Bandung-Ciwidey, 21-11-2020

“Mungkin akan kau lupakan atau untuk dikenang.“
Penggalan lirik lagu dari Jikustik diatas sepertinya cocok untuk menggambarkan

kondisi beberapa tempat bersejarah yang ada di Bandung, salah satunya adalah jalur kereta
api yang menghubungkan antara Bandung dan Ciwidey. Mungkin banyak dari kita yang
belum tau mengenai rute ini karena memang jalur kereta Bandoeng-Tjiwidej telah ditutup
sejak tahun 1982, kini rute tersebut hanya meninggalkan beberapa kerangka dari jejak
keberadaanya. Kami, peserta ADP 2020 akan menelusuri jejak tersebut. Lets go!

Jalur yang diresmikan pada tahun 1921 ini merupakan jalur yang membuka akses
untuk daerah Bandung Selatan. Pembangunan jalur ini dilakukan melaui dua tahap.
Pembangunan pertama dilakukan pada tahun 1917 untuk menghubungkan antara Bandung
dan Kopo (saat ini menjadi Soreang) dengan melewati Dayeuhkolot sebagai pusat
pemerintahan pada masa itu dan Banjaran sebagai persimpangan menuju daerah-daerah
perkebunan di Pangalengan, Arjasari, Puntang, dan lainnya.

Selanjutnya dilakukan pembangunan tahap kedua yaitu menghubungkan antara
Statiun Kopo dengan Stasiun Ciwidey. Pembangunan jalur ini bisa dibilang cukup berat
dikarenakan topografi wilayah Ciwidey yang merupakan dataran tinggi. Namun pada
akhirnya Staatsspoorwegen, perusahaan yang membangun jalur ini, berhasil menaklukan
tantangan alam tersebut dan mendirikan Stasiun Ciwidey pada tahun 1924 di ketinggian 1106
mdpl. Stasiun Ciwidey merupakan pemberhentian terakhir untuk jalur ini, maka sekitar 800
meter dari stasiun, terdapat sebuah turntable untuk memutarkan lokomotif kereta.

Turntable yang kini menjadi saluran air kotor, Foto: Komunitas Aleut

Pembukaan jalur ini dilakukan karena alat transportasi yang digunakan untuk
mengangkut hasil perkebunan pada masa itu (pedati) dinilai kurang efisien. Biaya perjalanan
yang mahal yaitu 15 sampai 18 sen per ton, kemudian waktu tempuh yang lama
mengakibatkan hasil bumi banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat dijual. Selain itu
jarak yang jauh serta medan yang berat membuat banyak hewan yang menarik pedati tersebut
kelelahan dan akhirnya mati, sehingga harga hewan penarik pedati itu naik hingga berkali-
kali lipat.

Selain untuk mengangkut hasil perkebunan, jalur ini pun digunakan sebagai moda
transportasi bagi masyarakat. Namun kejadian naas terjadi ketika sebuah lokomotif yang
membawa gerbong melintasi jalur tersebut. Kereta tersebut terguling dan terjatuh menuju
area persawahan di daerah Cukanghaur sekitar tahun 1970. Kemudian 12 tahun setelah
kecelakaan tersebut jalur ini resmi ditutup. Selain jalur yang sudah tidak menjadi prioritas,
jalur ini pun dianggap sudah tidak menguntungkan karena kalah bersaing dengan truk dan
mobil pada saat itu.

Bangunan yang berdiri tepat diatas rel (kiri), Lintasan kereta yang sudah menjadi jalan umum (kanan), Foto: Komunitas
Aleut

Ketika kami menelusuri kembali jalur kereta Bandung-Ciwidey, tidak begitu banyak
yang tersisa. Meskipun bangunan stasiun masih berdiri, dan rel-rel perlintasan kereta masih
membentang pada posisinya. Tetapi karena lama terabaikan, lintasan-lintasan kereta tersebut
kini sudah berubah menjadi pemukiman warga. Stasiun yang sudah tidak difungsikan lagi
dimanfaatkan sedemikian rupa menjadi gudang dan tempat usaha. Berawal dari satu,
kemudian memberikan ide bagi warga lainnya untuk bermukim di tempat tersebut.

Sisa Bangunan Stasiun Dayeuhkolot, Foto: Komunitas Aleut
Stasiun Soreang yang telah menjadi gudang salah satu toko grosir, Foto: Annisa Almunfahannah

Selain stasiun, beberapa jembatan yang menjadi jalur bagi kereta Bandung-
Ciwidey kini dimanfaatkan untuk menunjang aktifitas masyarakat seperti Jembatan Sadu,
Jembatan Rancagoong dan Jembatan Cukanghaur. Beberapa lainnya dibiarkan begitu saja
untuk lapuk dan berkarat. Seperti yang terjadi pada Jembatan Andir yang berada di petak
antara Pasir Jambu dan Cukanghaur.

Jembatan Sadu (kanan) Jembatan Rancagoong (kiri) masih digunakan sebagai akses jalan bagi warga sekitar, Foto:
Komunitas Aleut

Jembatan Andir yang sudah tidak digunakan, Foto: Annisa Almunfahannah

Berpuluh tahun masyarakat menempati lokasi tersebut, bayang-bayang penggusuran
selalu hadir setiap kali orang asing mengunjungi pemukiman mereka. Terlebih wacana
mengenai reaktivasi jalur yang berada di bawah rumah-rumah mereka membuat warga
menjadi lebih sensitif mengenai isu tersebut.

Perlu perencanaan yang sangat matang jika wacana reaktivasi jalur kereta Bandung-
Ciwidey ini akan dilaksanakan. Selain faktor sosial, faktor urgensi dari pembukaan jalur ini
pun perlu diperhitungkan agar tidak menimbulkan masalah baru. Satu hal yang pasti saat ini
adalah usianya yang semakin tua dan semakin sedikit yang mengetahui riwayatnya.



MOMOTORAN JEJAK KERETA API BANDUNG-TANJUNGSARI

Ditulis oleh: Aditya Wijaya
Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,

Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang.

Saya tak mengira bahwa Bandung Timur menyimpan kepingan sejarah masa lalu, dari mulai
perkebunan, kereta api, hingga candi. Tema utama momotoran ini sebenarnya menyusuri jejak
jalur kereta api mati antara Bandung-Tanjungsari. Tapi di bagian akhir, ada beberapa bonus yang
mengejutkan.
Jembatan Cincin Cikuda
Lokasi pertama yang kami datangi yaitu Jembatan Cincin yang terletak dekat Jalan Raya Pos dan
kampus Unpad. Setelah melewati satu jalur jalan sempit, kami tiba di atas bekas jembatan kereta
api yang masih berdiri kokoh, seperti tak tergerus oleh waktu. Arah timur dari jembatan ini terlihat
Gunung Geulis, namun sayang pemandangan tersebut terhalang gedung tinggi. Di sekitar jembatan
pun terlihat tidak terawat, banyak tumpukan sampah di sana-sini.

Kereta api sedang melintasi Jembatan Cincin Cikuda, di belakangnya terlihat Gunung Geulis.
Foto: nationaalarchief.nl
Lalu kami berjalan menuju bagian bawah jembatan, di sana terdapat komplek permakaman warga
lokal. Dari bawah sini terlihat jelas bentuk jembatan, lingkaran bawah jembatan memang terlihat
seperti cincin, mungkin itu sebabnya jembatan ini dinamai Jembatan Cincin. Eksplorasi di sekitar
jembatan ini tidak terlalu lama karena kami akan bergerak menuju lokasi berikutnya.
Jembatan Cincin Kuta Mandiri

Lokasi berikutnya ternyata masih berupa jembatan juga, bentuknya tidak jauh berbeda dengan
Jembatan Cincin, hanya lokasinya agak jauh dari Jalan Raya Pos. Pada bagian perjalanan ini hujan
turun dan membuat jalanan menjadi licin, apalagi jalan perkampungan yang banyak tanah
merahnya, membuat kami harus ekstra berhati-hati mengendarai motor.
Jembatan kedua ini terletak di tengah sebuah kampung dan tidak mudah terlihat dari jalanan.
Seperti biasa, Pa Hevi dan Mang Alex memberikan informasi sejarah jembatan ini. Pikiran saya
langsung berimajinasi membayangkan rasanya menaiki kereta dengan melewati jembatan ini. Tak
terbayangkan kereta itu akan melaju berkelok-kelok menembus hutan dan lereng yang curam.

Jembatan kedua dilihat dari bawah. Foto: @pahepipa

Stasiun Tanjungsari
Awalnya saya bingung, ketika Pa Hevi sebagai leader saat itu mengarahkan kami masuk ke tengah
rumah-rumah warga ketika kami tiba di tujuan berikutnya, Tanjungsari. Kami berhenti tepat di
depan papan penunjuk arah menuju sebuah masjid. Tak sangka bahwa di tempat itu dahulu berdiri
Stasiun Tanjungsari.

Papan nama bertuliskan Stasiun Tanjungsari. Foto: Aditya Wijaya.

Tempat ini pastilah sangat sibuk pada masa lalu itu, tapi kini sudah menjadi area pemukiman. Ya,
masa depan siapa yang tahu kan? Sekarang yang tersisa hanya bentuk bangunan dan papan nama
stasiunnya yang tertera pada bagian atas salah satu dindingnya.

Viaduct Tanjungsari
Tak jauh dari lokasi stasiun, kami berjalan menuju Jalan Raya Pos. Ternyata di sini terdapat sebuah
viaduct, bentuknya mirip dengan viaduct yang ada di Bandung. Sambil memberikan sejumlah
informasi dan cerita, Pa Hevi dan Mang Alex juga menunjukkan sebuah video dokumenter viaduct
ini pada masa lalu dan sekarang. Saya beberapa kali mengunjungi Tanjungsari, tak tahu bahwa di
bawah jalan tersebut terdapat sebuah viaduct. Tanpa kita sadari ternyata jejak-jejak sejarah itu ada
di sekitar kita.

Viaduct yang berada di Tanjungsari tempo dulu. Foto: @sejarahbandung/eyefilm.nl

Titik Akhir Jalur Kereta di Citali
Perjalanan lalu kami lanjutkan ke sebuah daerah bernama Citali. Di sini sedang ada proyek Tol
Cisumdawu. Kami berhenti di pinggir jalan, memarkirkan motor, lalu berjalan melintasi area
persawahan milik warga. Terlihat dari kejauhan seperti sebuah struktur seperti bekas fondasi
jembatan. Ternyata memang benar, struktur ini adalah sebuah jembatan yang belum selesai di
bangun. Pa Hevi menjelaskan kenapa jembatan ini tidak selesai dibangun dan kenapa jalur kereta
api yang rencananya akan sampai ke Kadipaten dan Cirebon ini berhenti tidak dilanjutkan. Selain
karena sulitnya medan, ada pula cerita menarik serupa dongengan bahwa ketika para pekerja
meneropong untuk meneruskan pembangunan, selalu ada kabut tebal yang menghalangi.

Bagian jembatan yang belum selesai dibangun. Foto: Aditya Wijaya

Cilembu
Nah, ini bagian bonusnya. Jadi, setelah selesai mengunjungi beberapa tempat yang berhubungan
dengan sejarah perkeretaapian antara Bandung-Tanjungsari, dalam perjalanan pulang kami
memutar jalan agar dapat mendatangi beberapa tempat lainnya.

Tujuan pertamanya adalah Cilembu. Nama ini pasti sudah sangat dikenal sebagai penghasil ubi
legendaris, Ubi Cilembu. Ubi ini dijual di mana-mana, baik dalam keadaan mentah atau yang
sudah dioven. Rasanya terkenal sangat manis dan sangat harum pula.

Di warung setempat kami membeli beberapa kilo ubi, lalu menuju perkampungan untuk melihat-
lihat ladang ubi dengan pemandangan ke arah Gunung Kareumbi. Saya sama sekali tidak menduga
bahwa nama Cilembu yang sangat terkenal itu ternyata letaknya tidak terlalu jauh. Mungkin suatu
saat nanti saya akan kembali ke tempat ini.

Hamparan kebun Ubi Cilembu, terlihat di belakangnya Puncak Kareumbi. Foto: Aditya Wijaya

Candi Bojong Menje
Setelah memutar jalan melewati Parakanmuncang, kami memasuki Jalan Raya Rancaekek yang
terkenal dengan banyaknya pabrik dan selalu saja macet karena padatnya kendaraan. Baru hari ini
saya ketahui bahwa kawasan ini ternyata menyimpan peninggalan masa lalu berupa puing-puing
candi. Candi ini terletak di pinggir jalan raya dan lokasinya terhimpit oleh pabrik-pabrik. Kami
harus menyusur gang sempit untuk mencapai lokasinya.

Papan peringatan mengenai candi, terlihat atap sudah rusak. Foto: Aditya Wijaya

Tiba di lokasi, kami berjumpa dengan Pak Ahmad, juru pelihara situs, yang dengan sigap bercerita
banyak hal seputar Candi Bojongmenje ini. Kondisi di dalam kompleks candi ini agak
memprihatinkan, atap-atap pelindung sudah rusak dan banyak bocor.
Candi Bojong Emas

Candi Bojongmenje ternyata bukan satu-satunya jejak candi di kawasan ini. Di tepi sungai Ci
Tarum di daerah Bojongemas, juga ada puing-puing candi yang sepertinya belum ditemukan
secara lengkap, entah masih terkubur di bawah tanah situ atau mungkin sudah hilang, musnah,
atau terbawa arus sungai. Papan penunjuk informasi menjelaskan bahwa candi ini bernama Candi
Bojong Emas. Di papan itu pula terdapat informasi yang bisa menjelaskan sejarah candi ini.
Kondisi kompleks candi ini terlihat memprihatinkan, pagar dan papan informasinya sudah rusak.

Terlihat papan informasi dan pagar yang kondisinya sudah tidak baik lagi. Foto: Aditya Wijaya

Candi Bojongemas menjadi lokasi terakhir dalam perjalanan momotoran kami kali ini, dan seperti
momotoran biasanya, selalu ada sesuatu yang baru buat saya pribadi, ada pengalaman baru dan
pelajaran baru. Belajar sejarah berarti belajar mengenal diri kita sendiri. Hari ini saya baru sadar
bahwa ternyata cukup banyak tinggalan sejarah yang berserak di sekitar kehidupan saya sehari-
hari. Sepertinya saya perlu mencari pengetahuan yang lebih banyak soal ini.
Sampai bertemu di cerita momotoran berikutnya.
***

Rasa Bakery and Café Dalam Perjalanan Kuliner Bandung

Oleh : Ernawatie Sutarna

Salah satu sektor yang menjanjikan dan selalu diminati masyarakat adalah sektor
pariwisata. Dan salah satu hal yang sangat mendukung dan berpengaruh pada perkembangan
sektor pariwisata adalah bidang kuliner. Bidang kuliner selalu menjadi primadona pada bidang
pariwisata dunia. Salah satu pertimbangan para wisatawan berkunjung ke salahsatu tempat tujuan
wisata adalah makanan yang enak, unik, dan terjangkau. Selain itu belakangan ini wisata sejarah
juga menjadi hal yang diminati, tempat-tempat yang bernilai sejarah menjadi salah satu pilihan
unuk berwisata. Banyak kaum tua yang mengunjungi kawasan bersejarah dengan tujuan
bernostalgia mengenang masa lalu, sedangkan kaum muda dan keluarga muda menjadikan
Kawasan sejarah sebagai tujuan wisata edukasi.

Bandung adalah sebuah kota yang menarik minat para wisatawan dengan daya tarik
kulinernya. Banyak makanan yang menjadi buruan para wisatawan jika mengunjungi Kota
Bandung. Dan selain daya tarik kuliner Bandung juga mempunyai pesona tersendiri pada warisan
sejarah kolonialnya yang begitu pekat. Bangunan-bangunan tempo dulu cukup memanjakan mata
para peminatnya. Lalu bagaimana jika daya tarik kuliner dan sejarah itu bersanding dan menjadi
ikon pariwisata Kota Bandung? Sepertinya akan menjadi perpaduan yang cukup menarik. Apalagi
banyak kuliner Bandung yang juga merupakan warisan sejarah dalam perkembangan Bandung
sebagai sebuah kota.

Beberapa tempat kuliner di kota Bandung yang cukup kuat kontribusinya dalam
perkembangan kota Bandung misalnya Toko Sumber Hidangan (Het Snoephuis) di Jalan Braga,
Braga Permai (Maison Bogerijen), Toko You di jalan Hasanuddin, Warung Kopi Purnama di jalan
Alkateri, Waroeng Sate Karjan di jalan Pasirkaliki, Rasa Bakery and Café di jalan Tamblong, Toko
Roti Sidodadi di jalan Oto Iskandardinata, Kopi Aroma di Jalan Banceuy, BMC di Jalan Aceh,
Banyak hal yang dapat kita tawarkan tentang wisata kuliner peninggalan zaman dulu ini pada dunia
pariwisata Jawa Barat. Dan akan lebih baik jika kita mempelajari sejarah di balik tempat-tempat
wisata kuliner Kota Bandung itu agar menjadi daya tarik kuat yang mengundang minat para
wisatawan untuk datang menikmati Kota Bandung, dan memberikan kesan yang lebih mendalam
ketika mereka pulang ke kota asalnya masing-masing.

Salah satu tempat yang cukup menarik perhatian wisatawan adalah Rasa Bakery and Café
yang terletak di jalan Tamblong no. 15, Bandung. Rasa Bakery and Café menempati bangunan
yang merupakan lokasi berdirinya Firma C.H. Hazes (Hazes). Firma ini adalah milik seorang
pengusaha roti dari Kota Malang yang bernama C.H. Hazes. Firma ini didirikan pada tahun 1930-
an di Tamblongweg, Bandung. Saat itu Hazes mengkhususkan untukmemproduksi permen dan
bon bon (gula-gula). Permen dan bonbon ini sangat dijaga kualitasnya, karena itulah permen dan

bonbon buatan Hazes sangat diminati pada masa itu. Distribusi permen dan bonbon buatan Hazes
dinikmati hampir di seluruh Hindia Belanda. Kualitas terbaik dari permen dan bon bon ini menjadi
jaminan untuk para penjual permen dan bon bon karena mereka tidak perlu lagi mengimpor dari
Eropa.

Firma Hazes mengalami kemajuan yang sangat pesat, kesuksesannya memproduksi
permen dan bonbon, membuat Hazes menjadi pabrik yang besar. Hazes kemudian memperluas
usahanya dengan memproduksi roti. Karena roti menjadi menu utama sarapan orang-orang
Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, produksi roti Hazes berkembang sangat pesat. Dalam
waktu yang singkat, pabrik roti yang dimiliki Hazes makin besar dan maju. Roti yang diproduksi
Hazes memiliki beberama varian, yaitu roti tawar, roti susu, roti manis, dan roti isi. Kemudian
Hazespun memproduksi berbagai macam jenis coklat. Tentu saja coklat yang digunakan untuk
taburan roti, yaitu meses / muisjes dan hagelslag (butiran gula warna-warni).

Pada iklan yang dimuat pada majalah Mooi Bandung tahun 1930 disebutkan bahwa toko
Hazes terletak di Tamblongweg 15, dan nomor telepon 277, Bandung. Dalam iklan itupun
disebutkan bahwa Hazes menyediakan aneka coklat, kue kering, biscuit, cake, dan lain- lain. Iklan
Hazes ini ditemukan dalam beberapa edisi majalah Mooi Bandung. Selain itu pada plakat batu
marmer yang ada di dalam salah satu ruagan Rasa Bakery and Café dituliskan bahwa peletakan
batu pertamadilakukan oleh Keez Hazes, pada 10 Oktober 1932, “De Eerste Steen Gelegd Door
Keez Hazes, 10 October 1932”.

Hazes berpindah kepemilikan pada tahun 1960-an, lalu berubah nama menjadi PT.
Perusahaan Pabrik Tjoklat, Kuwe, dan Gula Rasa, atau dikenal dengan nama PT Rasa. Lalu setelah
itu berubah lagi menjadi Rasa Bakery and Café sampai sekarang. Rasa Bakery dan Café masih
menawarkan suasana Bandung tempo dulu dalam suasana dan menu yang disajikan. Selain
berpindah kepemilikan, bangunan Rasa Bakery and Café sudah mengalami beberapa perubahan
dari bentuk bangunan awal, tapi masih tetap bernuansa Eropa. Dan hal itu menjadi daya Tarik
para wisatawan untuk singgah dan menikmati keasikan wisata kuliner di Bandung, khususnya di
Rasa Bakery and Café.

,

Sumber Mooi Bandoeng September 1933
Sumber: Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng (Sudarsono Katam)

Sumber: Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng (Sudarsono Katam)
Rasa Bakery and Café, 2021 (Koleksi Pribadi)

DAFTAR PUSTAKA

Katam, Sudarsono. Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng. Khazanah Bahari, 2014
Ayu Lestari, Mayang.Rasa Bakery and Café Tempat Makan Legendaris di Kota Bandung.
Cianjurpedia.pikiran-rakyat.com. 2020

BANDUNG DULU DAN SEKARANG

SITU GARUNGGANG

( Dewi Diana Saraswati )

Sebuah Salimar di Situ Garunggang (1923).

Haryoto Kunto, kuncen Kota Bandung menulis dalam bukunya Semerbak Bunga di
Bandung Raya mengenai keberadaan sebuah danau kecil tempat rekreasi penduduk Kota Bandung
masa kolonial yang bernama Situ Garunggang. Dengan uang 5 sen, pengunjung bisa menyewa
sampan kecil yang didayung sendiri selama setengah jam. Jika memiliki uang lebih bisa juga
menyewa Salimar dengan 25 sen untuk orang dewasa dan 2,5 sen untuk anak-anak. Salimar
merupakan sebutan untuk semacam saung kecil yang dibawa oleh dua perahu.

Situ Garunggang juga tercantum di dalam buku panduan mengenai Bandung, Gids van
Bandoeng en Midden-Priangan terbitan tahun 1927 beserta nama-nama tempat lainnya di
Bandung yang menarik untuk dikunjungi warga Eropa saat itu, seperti Jaarbeurs, Pasar Baru, air
terjun Dago, Curug Jompong, Curug Halimun, Kawah Kamojang, Radio Malabar, Lembang, dll.

Dua warga Eropa sedang menikmati Situ Garunggang (1923).
Pengunjung Situ Garunggang yang menggunakan Salimar dan sampan (1930).

Bersampan di Situ Garunggang yang dikelilingi pepohonan (1930).

Dinamakan Situ Garunggang karena lokasinya yang terletak di kawasan yang bernama
Garunggang. Garunggang berasal dari kata garung yang dalam bahasa Sunda berarti tanah
yang belum digarap; semak belukar. Dalam bahasa Kawi, garunggang bermakna kosong atau
hampa. (Prof. Drs. Wojowasito (1998)). Penamaan Garunggang pada kawasan tersebut karena
pada masa lalu kawasan yang terletak di sekitar Cihampelas dan Cipaganti ini merupakan kawasan
yang sepi dan sangat jarang penduduknya.

Dahulu, selain di kawasan sekitar Cihampelas dan Cipaganti, kawasan yang mendapat
nama Garunggang juga terdapat di sekitar Sukajadi dan Pasir kaliki. Tentunya dengan alasan yang
sama, bahwa pada saat itu kawasan tersebut masih kosong dan belum banyak dihuni.

Dilihat pada peta Kota Bandung tahun 1921, terlihat jelas Situ Garunggang terletak tidak
jauh dari Badplaats atau Pemandian Cihampelas milik Nyonya Homann. Terdiri dari dua buah
kolam besar yang letaknya tepat berada di samping aliran Sungai Cikapundung, hanya terpisahkan
oleh tanggul. Pengunjung bisa mendayung sendiri sampan kecil atau bersama-sama menaiki
Salimar, menyantap hidangan seraya menikmati pemandangan aliran sungai Cikapundung,
hamparan sawah di lembah seberang sungai, dan pepohonan yang mengelilingi situ.

Situ Garunggang pada peta Bandung 1921.
Situ Garunggang yang dikelilingi oleh pepohonan (1923).

Pengunjung yang sedang bersantai di tepi Situ Garunggang (kiri) dan bersantap di atas Salimar (kanan) (1930).

Keberadaan Situ Garunggang yang disebut juga dengan Empang Cipaganti ini bukanlah
sisa dari Danau Bandung Purba, melainkan akibat dari pesatnya pembangunan Kota Bandung saat
itu. Pada tahun 1920-an, pembangunan Kota Bandung mengalami peningkatan dalam rangka
mempersiapkan diri sebagai ibu kota Hindia Belanda menggantikan Batavia. Banyak arsitek Eropa
berdatangan ke kota yang dikelilingi oleh gunung ini. Bahkan dalam kurun tahun 1920 – 1940 ada
70 orang arsitek dan ahli bangunan yang tinggal dan turut membangun Bandung (Kunto, 1992 :
61).

Untuk keperluan pembangunan tersebut maka diambillah bahan baku yang terdapat di
sekitar Bandung, seperti pembangunan Gedung Sate dan Gedung Museum Pos yang batu-batunya
diambil dari daerah Cilaja Hilir, Cilaja Girang (Arcamanik), dan Dago Pakar (Katam, 2007: 10).
Begitu juga dengan batu-batu yang saat itu banyak terdapat di sepanjang pinggiran sungai
Cikapundung, batu-batu tersebut ditambang sehingga menciptakan lubang yang cukup besar.

Pinggiran Sungai Cikapundung yang terdapat banyak bebatuan.

Adalah Haji Soebandi yang merupakan salah seorang Keluarga Pasar, sang pemilik tanah
yang mengubah lubang bekas galian tersebut menjadi danau kecil yang kemudian dikenal dengan
nama situ Garunggang.

Dengan kedalaman kurang lebih 3 meter, Situ Garunggang kemudian menjadi salah satu
alternatif bagi penduduk Bandung untuk berlibur atau berplesiran. Berbeda dengan Badplaats
Cihampelas yang saat itu hanya diperuntukkan bagi warga Eropa, Situ Garunggang bisa dikunjungi
oleh warga Eropa maupun pribumi. Bagi yang ingin mengunjungi Situ Garunggang, mereka
tinggal berjalan sebentar dari jalan Cihampelas menyusuri jalan kecil yang menurun ke arah
Sungai Cikapundung. Jalan kecil tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama jalan Plesiran.

Kepopuleran Situ Garunggang sebagai tempat berlibur tampaknya tidak bertahan lama.
Kepopulerannya mulai pudar sekitar tahun 1940-an. Saat itu sebagian besar pengunjung yang
datang ke sana adalah pribumi, dan berperahu bukanlah menjadi tujuan utama, melainkan untuk
berenang di airnya yang berwarna coklat.

“Aki saya cerita kalau setiap hari Minggu dia suka berenang di Situ Garunggang, habis
berenang moyan di pinggirannya. Pulangnya Aki suka beli ayam tulang lunak di pabrik daging
buat dibawa pulang,” tutur Iva (35) yang pernah diceritakan tentang Situ Garunggang oleh
kakeknya.

Seiring berlalunya waktu, Situ Garunggang pun mulai ditinggalkan sebagai tempat wisata
air. Fungsinya pun perlahan berubah menjadi tempat pemancingan dan kolam ikan yang hasilnya
dipasok ke rumah makan, selain juga menyediakan ikan kecil sebagai pakan burung.

Bu Aisyah (40) yang sudah turun temurun tinggal di kawasan Pangumbahan bertutur
bahwa ketika masih kecil ia dan teman-temannya sering bersama-sama pergi ke Situ Garunggang
untuk membeli ikan. Ia menuturkan bahwa saat itu hanya kolam yang kecil yang digunakan
sebagai kolam ikan, sedangkan kolam yang besar terbiarkan begitu saja, dan orang tuanya
melarangnya untuk mendekati kolam yang lebih besar yang suasananya saat itu sudah dikelilingi
oleh pohon-pohon besar.

“Geueuman, Teh,” ujarnya.

Alasan kenapa kolam yang besar itu seakan ditinggalkan didapat dari penuturan Pak Encu
(46), bahwa ada cerita orang tua jaman dulu yang mengisahkan pernah ada sepasang pengantin
baru yang meninggal karena tenggelam di danau yang berukuran lebih besar, sehingga semenjak
itu penduduk sekitar menghindari tempat tersebut.

Satu hal yang menarik, penduduk yang masih mengingat keberadaan sebuah situ atau
kolam besar di sana tidak mengenal nama Situ Garunggang, Empang Cipaganti maupun Situ
Plesiran, melainkan Situ Bunjali. Rupanya dahulu di sekitar sana banyak ditumbuhi tanaman
Hanjeli (Jali) yang oleh penduduk kemudian terucapkan menjadi Bunjali (Katam, 2006 : 530).

Akhirnya pada tahun 1980-an Situ Garunggang mulai dikeringkan sebagian, sehingga
hanya menyisakan kolam-kolam ikan yang kecil. Sampai akhirnya pada tahun 1990 Situ
Garunggang dikeringkan sepenuhnya. Airnya dibuang ke Sungai Cikapundung dan lubang
bekasnya ditimbun. Baru pada tahun 1993-1994 di lokasi yang sama berdiri sebuah komplek
perumahan, bergabung dengan rumah-rumah lainnya yang sudah memenuhi kawasan tersebut.

Lokasi Situ Garunggang yang sudah tidak asri lagi (2019).

Lokasi Situ Garunggang saat ini yang sudah berganti menjadi perumahan padat (2021).

Saat ini tak ada sedikit pun sisa-sisa Situ Garunggang yang bisa dilihat. Keberadaaan
sebuah situ yang pernah ada di sana kini hanya bisa didapat dari penuturan beberapa orang
penduduknya yang sudah berusia lanjut. Jika mencari di Google Map, nama Garunggang juga


Click to View FlipBook Version