hanya akan ditemukan sebagai sebuah nama jalan kecil di kawasan Sukajadi yang keadaannya kini
jauh dari arti nama Garunggang itu sendiri.
Kemajuan Kota Bandung yang demikian pesat, ditambah pendirian perumahan yang tanpa
kendali membuat Bandung heurin ku tangtung. Banyak tempat yang berganti rupa, banyak tempat
yang menghilang dan seringnya hanya meninggalkan nama dan sepenggal cerita dalam ingatan
sebagian penduduknya. Nama dan kisah yang akan menghilang jika tidak ada lagi yang menyusuri
jejaknya. Sungguh sangat disayangkan.
( Dewi Diana Saraswati)
* Geueuman : menyeramkan.
Referensi:
Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia, 1986.
Kunto, Haryoto. Riwayat Kota di Tatar Sunda, Bandung: Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Provinsi DATI I Jawa Barat, 1993.
Katam, Sudarsono. Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah, Bandung:
Kiblat, 2006.
Katam, Sudarsono. Gedung Sate Bandung, Bandung: Kiblat, 2007.
Reitsma, SA dan Hooglend. Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, 1927.
Syamsuri. Himpunan Silsilah Keluarga Besar Pasar Baru Bandung, Bandung, 1972.
https://ubl.webattach.nl/ (diakses 9 Januari 2019).
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ (diakses 12 Agustus 2019).
https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2019/11/09/situ-garunggang-pernah-ada-di-bandung
(diakses 9 November 2019).
https://www.google.com/maps/ (diakses 20 Juni 2021).
Maraknya keragaman langgam arsitektur yang dimiliki bangunan bangunan cagar budaya kota
Bandung, mewarnai sejarah kota Bandung dengan dinamisasi yang membiaskan latar belakang
kehidupan masyarakat kota Bandung pada tiap masa. Bukan saja bangunan bangunan cagar
budaya pusat pemerintahan kota dan pemukiman yang dibangun di masa Kolonial, Kawasan
militer kota Bandung sebagian besar merupakan bangunan cagar budaya peninggalan masa
kolonial pun menyisakan kenangan manis juga menjadi saksi sejarah perjuangan kota Bandung
pada masa memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan bangsa, Ketika darah dan
airmata menetes serta saat patriotisme membakar semangat para pejuang bangsa.
Salah satu bangunan militer yang merupakan bangunan cagar budaya berada di jalan lembong
no.38 yang memiliki gaya arsitektur Late Romanticism dibangun pada tahun 1910 sampai
1915, dalam lingkup ksatrian pembinaan mental Angkatan darat, awalnya bangunan ini adalah
rumah jendral KNIL Hendry Maurer, lalu digunakan sebagai markas militer Belanda, kemudian
sejak tahun 1949, diambil alih menjadi markas divisi siliwangi pertama di Bandung (Militaire
Akademi Bandung) , pada masa inilah sebuah tragedi tergores menambah catatan sejarah kota
bandung .
Dua puluh tiga Januari tahun seribu Sembilan ratus lima puluh, Subuh pukul 4.30 wib, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA
bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Begitulah peringatan yang diberikan
sebelum Raymond pierre paul westerling menorehkan nestapa yang memilukan di wajah
sejarah kota Bandung, dengan memimpin sekelompok mantan anggota Koninklijk Nederlandsch
Indische legger di Pusat Latihan Militer Batujajar Kabupaten Bandung , menamakan dirinya
pasukan Angkatan Perang Ratu Adil, Melancarkan aksi Kudeta . Pagi hari tanggal 23 Januari
1950, mereka bergerak mulai dari berjalan kaki, bermotor, dan menggunakan truk serta jeep
kendaraan militer, berseragam dengan bersenjata lengkap, melepaskan tembakan ke atas,
menghabisi setiap serdadu dan perwira yang memakai seragam tentara, juga meneror
penduduk sipil dengan membuat suasana mencekam.
Tanggal 22 Januari Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi, mensinyalir adanya
suatu gerakan dari kelompok milisi di luar kota Bandung. Namun rupanya Westerling
menjalankan taktik gerak cepat , kudeta pun terjadi mulai dini hari keesokanya mereka telah
memasuki kota Bandung dan menghabisi anggota tentara yang mereka jumpai. Angkatan
Perang Ratu Adil juga berhasil menduduki staf Divisi Siliwangi setelah membunuh hampir
seluruh regu jaga yang berjumlah 15 orang, jumlah gerombolan penyerbu lebih dari 150
orang, hanya 3 orang yang berhasil selamat karena dapat meloloskan diri dari pengepungan. Di
hari yang sama, letnan kolonel adolf Gustaaf Lembong dan ajudannya kapten Leo kailalo
hendak menemui panglima divisi siliwangi di Bandung , sungguh tak disangka pada saat itu
markas divisi siliwangi sedang diserang pasukan bekas Koninklijk Nederlandsch Indische yang
tergabung dalam Gerakan Angkatan perang ratu adil.
Pemerintah Republik Indonesia Serikat segera mengirimkan bantuan ke Bandung, pada saat itu
di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Drs. Moh. Hatta yang merupakan wakil
pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan Komisaris Tinggi Belanda, lalu Mayor Jenderal
Engels berhasil mendesak Westerling untuk meninggalkan Bandung dan Angkatan Perang Ratu
Adil pada sore itu juga meninggalkan kota Bandung. Setelah meninggalkan Bandung Angkatan
Perang Ratu Adil menyebar
ke berbagai tempat dan terus dikejar oleh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat dengan
bantuan rakyat APRA pun berhasil dilumpuhkan.
Dilatarbelakangi oleh rongrongan Kaum konservatif dan kolonialis Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat yang baru saja diakui oleh pemerintahan Belanda, dengan memanfaatkan
kegalauan anggota Koninklijk Nederlandsch Indische Leger yang cemas akan didiskreditkan oleh
Tentara Indonesia dalam APRIS setelah dimasukan ke dalam Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat.
Salah satu landasan bagi Gerakan APRA adalah kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil.
Raymond Westerling memahami bahwa sebagian besar rakyat Indonesia yang telah lama
menderita akibat penjajahan bangsa Belanda maupun Jepang mendambakan datangnya suatu
kemakmuran seperti terdapat dalam ramalan Jayabaya. Berdasarkan ramalan tersebut akan
datang seorang pemimpin yang disebut dengan Ratu Adil yang akan memerintah rakyat dengan
adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan kembali aman dan damai serta rakyat akan
mengalami kemakmuran dan sejahtera.
Padahal tujuan APRA sebenarnya mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan adanya
tentara tersendiri pada negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat. Sedang pada
konferensi intern di Jogja telah disetujui bahwa APRIS adalah Angkatan Perang Nasional
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan
yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI)
dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari
pasukan khusus KST/Regiment Speciale Troepen (RST) . Dia juga mendapat bantuan dari
temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Westerling setelah melaksanakan kudeta APRA, kemudian bersembunyi dan dibantu melarikan
diri oleh rekan militer Belanda yang ada di Indonesia, ke Singapura pada tanggal 22 Februari
1950 menggunakan Pesawat Catalina
Permintaan ekstradisi Indonesia kepada Pengadilan Belanda digagalkan oleh keputusan hakim
Mahkamah Agung pada tanggal 31 Oktober 1952, Oleh karena itu, pemerintahan Indonesia
tidak bisa melakukan apapun terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh Westerling.
Sampai pada akhirnya meninggal dunia di Purmerend, Belanda pada tanggal 26 November
1987.
Jejak sejarah semakin kuat dirasakan dari pemberian nama jalan yang diambil dari nama
Letnan kolonel lembong yang gugur sebagai kesuma bangsa, terlebih lagi dalam lingkup
ksatrian pembinaan mental Angkatan darat ini terdapat Musium militer Mandala Wangsit
siliwangi
Sumber : 1.perpustakaan dinas sejarah Angkatan darat
2 historie Van bandung
Rr.saptini ariyanti
Terlupakan, Sanatorium Dago dan Keterkaitannya dengan
Palang Merah Indonesia Cabang Bandung
Oleh : Merrina Listiandari
Hamparan rumput gajah menutup puing-puing sisa bangunan, di atas lahan kosong yang
kini telah ditutup seng, tepat di belakang kantor PMI Jawa Barat, di daerah Dago atas.
Masih terlihat bekas fondasi yang membentuk petak-petak kamar, bekas rumah penulis,
yang di zaman Belanda merupakan bagian dari kompleks sanatorium. Edi, 49 tahun, adalah
petani penggarap yang masih menempati sebuah rumah, diatas tanah yang masih
termasuk bagian kompleks bekas sanatorium ini. Sebuah kompleks yang sempat digunakan
sebagai perumahan karyawan PMI Cabang Kota Bandung. Dia memanfaatkan tanah kosong
ini untuk ditanami singkong “katanya mau dibuat resort, tapi sampai sekarang masih belum
dibangun. Daripada kosong, saya garap, lumayan buat tambah-tambah” katanya.
Lahan Bekas Kompleks Sanatorium Dago Heuvel atau Kompleks Perumahan PMI
Cabang Kota Bandung, Dokumen Pribadi
Tidak banyak yang tahu, bahwa di kawasan Dago atas pernah terdapat sebuah kompleks
sanatorium, yang awalnya digunakan untuk merawat pasien syaraf dan dalam
perkembangannya berubah sebagai sanatorium khusus Tuberkulosis. Rata-rata orang
hanya tahu bahwa sanatorium di Bandung, yang didirikan di zaman Hindia Belanda
hanyalah sanatorium Tjipaganti, atau kemudian dikenal sebagai Sanatorium Solsana, yang
merupakan cikal bakal Rumah Sakit Khusus Paru Dr.H.A.Rotinsulu, di daerah Ciumbuleuit.
Ketidaktahuan orang akan adanya bekas sanatorium Dago itupun, selain karena minimnya
dokumen resmi terkait keberadaan sanatorium tersebut, juga karena beralih fungsinya
sanatorium itu menjadi kompleks perumahan. Sehingga pada akhirnya masyarakat hanya
mengenal kompleks yang kini telah rata tanah itu, sebagai bekas kompleks perumahan
karyawan PMI Cabang kota Bandung.
Tidak ditemukan dokumen resmi yang mencatat tentang kapan sanatorium Dago, berdiri.
Karena, setelah didirikannya rumah peristirahatan seorang juragan perkebunan kopi,
Andre Van Der Brun sekitar tahun 1905, tidak ada catatan resmi tentang kapan kawasan
Dago Heuvel atau Bukit dago dijadikan sebagai kawasan perumahan bahkan area bisnis.
Terlacak oleh penulis dalam berita sebuah harian yang terbit saat itu. Koran Het Niews Van
Den Hag, Selasa, 22 Juli 1930 melaporkan, bahwa ada sebuah rencana besar untuk
mendirikan sebuah pemukiman berkelas dengan rumah berarsitektur moderen dan tahan
terhadap cuaca dingin, oleh Insinyur Voorhoeve. Seiring dengan telah dibukanya jalan baru
dari daerah Dago, menuju kawasan Lembang. Dimana kawasan tersebut akan dilengkapi
dengan area bermain, kawasan hutan pinus, kolam renang, lapangan tennis dan juga
rencana akan didirikannya sebuah sanatorium sekaligus rumah peristirahatan mewah,
dengan fasilitas lengkap yang diinisiasi oleh Ny.Dr. schelts Van Kloosterhuis-Houtman.
Harian Het Niews Van Den Hag, Selasa, 22 Juli 1930
Selain kabar, mengenai rencana kawasan Dago Heuvel atau Bukit Dago tersebut akan
dijadikan pemukiman, dua buah artikel lain dari dua buah surat kabar berbeda, sebulan
kemudian mengkonfirmasi dengan jelas tentang rencana pembangunan sanatorium itu
secara khusus. De Nieuwe Vorstealanden, Senin, 4 Agustus 1930, mengabarkan bahwa
rencana pembangunan Sanatorium di kawasan Dago Heuvel sempat ditunda untuk
dilaksanakan, hal tersebut justru karena pihak pengembang, dalam hal ini Ny.Dr. Schelts
Van Kloosterhuis-Houtman, beserta sejawat-sejawatnya ingin membangun sebuah
sanatorium yang jauh lebih besar, dengan fasilitas yang moderen dan jauh lebih lengkap.
Senada dengan harian tersebut, harian lain yaitu, De Indische Courant, pada tanggal yang
sama, 4 Agustus 1930 menguatkan berita tersebut.
De Indische Courant, 4 Agustus 1930 De Nieuwe Vorstealanden, Senin, 4 Agustus
1930
Menyimak apa yang diberitakan dalam surat kabar yang terbit pada zaman itu, sekaligus
mengkonfirmasi bahwa sebelum tahun 1930, Daerah Dago Atas belumlah dijadikan tempat
permukiman. Jalan besarpun baru dibangun sekitar tahun 1915. Bisa jadi, rumah
peristirahatan Andre van Der Brun adalah satu-satunya rumah kala ini. Bisa dibayangkan,
dago yang masih berupa hutan pinus. Sedikit lebih keatas, tentu vegetasi semakin
beragam, liar dan tentunya semakin rapat. Tanaman liar merambat dan hewan buas masih
berkeliaran di kawasan tersebut.
Satu hal yang tak kalah mengerikan adalah, masih banyaknya begal yang berkeliaran untuk
merampok para pedagang yang terpaksa harus melintasi daerah tersebut untuk menjual
hasil kebunnya ke kota. Mengingatkan, akan salah satu asal usul penamaan daerah dago,
dari kata padago-dago dalam bahasa sunda, yang artinya saling menunggu. karena
kabarnya di wilayah itulah para pedagang saling menunggu pedagang lainnya untuk
bersama-sama berjalan menuju kota, atau sebaliknya, saat mereka akan kembali ke desa
asal mereka, agar terhindar dari usikan para perampok atau binatang buas.
Jalan Dago Zaman Hindia Belanda, Photo by Google
Kompleks sanatorium Dago, tidak bisa dibayangkan sebagai tempat perawatan orang sakit
seperti biasa. Alih-alih seperti bangunan rumah sakit pada umumnya, yang merupakan
selasar panjang dimana di kiri kanannya terbentang kamar-kamar perawatan. Kompleks
sanatorium tersebut, adalah sebuah lahan yang sangat luas, dimana diatasnya didirikan
rumah-rumah indah dan nyaman di zamannya, berarsitektur gothic dan art-deco seperti
karakteristik rumah-rumah Belanda lainnya di kawasan Dago. Salah satu rumah yang
mencirikan arsitektur yang hampir sezaman dengan kompleks sanatorium tersebut adalah,
rumah peristirahatan pertama di daerah Dago, milik Andre Van Der Brun, seorang pemilik
perkebunan kopi, yang dulu letaknya tepat disebelah Hotel Jayakarta, Dago Atas.
Bisa dibayangkan betapa cantiknya kompleks sanatorium tersebut. Sanatorium yang
dirancang pada awalnya sebagai tempat perawatan bagi orang-orang yang bermasalah
dengan syarafnya, sekaligus sebagai tempat peristirahatan mewah bagi kalangan berduit
kala itu. Rumah-rumah beratap tinggi dengan sebagian dinding yang dilapisi kayu, dan
perapian didalamnya khusus dirancang untuk menahan hawa dingin yang menusuk di
kawasan Dago kala itu. Jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya,
menjadikan halaman-halaman yang luas di setiap rumah itu sedemikian indahnya dengan
banyak tanaman bunga beraneka warna dan dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang
berjajar rapi. Karena, fungsinya adalah selain merawat juga membuat pasien yang tinggal
disana merasakan kenyamanan dan bahagia, sebagai upaya untuk mempercepat
kesembuhan mereka.
Het Niews Van Den Hag, Rabu, 6 Januari 1932
Gambaran tentang kondisi kompleks sanatorium tersebut, terkonfirmasi dalam sebuah
berita pada harian Het Niews Van Den Hag, Rabu, 6 Januari 1932 yang memberitakan
bahwa, Ny.Dr. Schelts Van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di
kawasan Dago Heuvel, dengan sebelas bangunan milik Ny.Dr. Schelts Van Kloostehuis-
Houtman, pribadi. Sebuah kompleks sanatorium yang dilengkapi dengan lapangan tennis,
kolam renang, kawasan hutan pinus untuk para penderita penyakit syaraf yang harus
mendapatkan terapi fisik scara khusus. Berita dari harian inipun sekaligus mengkonfirmasi,
terdapat jeda dua tahun dari mulai direncanakan pada tahun 1930 hingga berdiri di tahun
1932.
Masih jelas terekam dalam ingatan, saat penulis masih tinggal bersama dengan orang tua,
menempati salah satu rumah dari bekas kompleks sanatorium tersebut. Sebuah rumah
peninggalan Belanda dengan halaman yang luas, sesuai dengan apa yang digambarkan
dalam berita tahun 1932 tersebut. Dimana jarak antara rumah penulis dan tetangga
memiliki jarak yang lumayan jauh. Sebuah rumah tua nan kokoh peninggalan Belanda,
dengan dinding luar berlapis kayu yang ditata sedemikian rupa. Dengan atap menjulang
khas bangunan dengan arsitektur gothic. Sebuah area dengan pohon-pohon pinuspun
masih ada saat penulis tinggal disana sampai akhir tahun 2000. Sebuah kompleks yang
dijadikan sebagai perumahan bagi karyawan PMI Cabang Kota Bandung, sampai dengan
tahun 2006.
Sanatorium ini memang sangat erat kaitannya dengan PMI Cabang Kota Bandung. Menurut
H.Suganda Permana, 75 tahun, seorang pensiunan humas, kantor PMI Cabang Kota
Bandung, menuturkan bahwa, kompleks bekas sanatorium ini mulai resmi digunakan
sebagai kompleks perumahan karyawan PMI sejak tahun 1964 “ada sekitar 12 bangunan
yang siap huni, dua bangunan sudah dihuni terlebih dahulu, namun sejak kapan tahun
pastinya saya tidak terlalu ingat. Namun yang jelas tidak lama setelah agressi militer kedua
tahun 1949, seluruh tanah dan bangunan, yang dulu dikuasai oleh NERKAI (Netherlands
rode Kruis Afdeling Indie) diserahkan kepada PMI” kata dia. Gambaran yang sesuai dengan
yang diceritakan dalam artikel diatas bahwa Ny.Dr.Schelts vn Kloosterhuis_Houtman
membangun sebelas unit rumah dan direncanakan akan ada penambahan kemudian.
Lebih lanjut, H.Suganda Permana menjelaskan, bahwa seluruh rumah tersebut diberi
nama sesuai dengan nama-nama kota di Jawa Barat. Sangat khas kala itu, dimana rumah
diberi nama alih-alih diberi penomoran seperti zaman sekarang. Adapun nama-nama
rumah tersebut antara lain Banjarnegara, sebuah rumah yang terletak dibagian paling atas
kompleks sanatorium, dekat dengan Dago Thee Huis atau Dago Tea House sekarang, yang
kini telah beralih fungsi sebagai pom bensin.
Boeah Dua, sebuah bangunan yang pernah difungsikan sebagai hotel yang menjadi salah
satu bentuk usaha PMI Cabang Kota Bandung. Soekanagara, meliputi tiga bangunan
dimana salah satunya merupakan sebuah rumah dengan atap menjulang khas bangunan
dengan arsitektur gothic, lalu rumah di bagian depan jalan Dago, yang kini masih berdiri
dan dialih fungsikan sebagai rumah makan dan berikut bangunan di sebelahnya yang kini
digunakan sebagai markas PMI Jawa Barat. Karang Noenggal, Lebak Sioeh, Gedoeng
Soebang, merupakan bangunan yang pernah ditempati oleh orang tua penulis dan
Wanayasa, keseluruhannya merupakan bangunan dengan arsitektur gothic.
Selanjutnya adalah Tjisajong, sebuah bangunan cantik dengan arsitektur art-Deco, yang
dari depan mirip dengan locomotif. Sebuah bangunan laboratorium yang tidak diberinama
serta sebuah kompleks bangunan yang sangat besar bernama Panoembangan, yang sering
digunakan sebagai aula dan dibelakangnya dijadikan tiga rumah bagi tiga orang karyawan
PMI Cabang Kota Bandung. Blok bangunan terakhir inilah, yang sampai terakhir
penggunaannya masih dikelilingi oleh tanaman pinus.
Rumah Banjarnegara, Dokumen PMI Kota Bandung Lahan Bekas Rumah Banjarnegara, Dokumen Pribadi
Siapakah Dr.Schelts van Kloosterhuis-
Houtman?
(1890-19510)
Bagaimana, sehingga sanatorium
tersebut sampai dikelola oleh PMI Cabang
Kota Bandung, tidak ada literatur yang
khusus menjelaskannya. Namun seiring
dengan kondisi politik yang terus berubah
pasca proklamasi kemerdekaan, sangat
masuk akal dimana sanatorium yang awal
pendiriannya diperuntukan untuk
masyarakat umum itupun, pada akhirnya
berubah fungsi menjadi sanatorium
militer. Hal tersebut terkonfirmasi dari
Nama gadisnya adalah Emilie Suzanne Houtman, sebuah artikel pada sebuah surat kabar
seorang dokter wanita kelahiran, Batavia, dari orang tua yang beredar saat itu, terlacak oleh
indo-eropa. Suzzane dibesarkan di lingkungan elit penulis. AID, De Preangerbode, Selasa, 10
Batavia di Koningsplein, salah satu gedung yang Juli 1951, melaporkan bahwa Presiden
merupakan gedung resmi pemerintahan Hindia Belanda. Soekarno melakukan kunjungan ke barak-
Walaupun memiliki latar belakang kehidupan sosial barak militer di Tjimahi sekaligus
yang baik, namun, pada saat itu, bukan sesuatu yang melakukan kunjungan ke rumah sakit-
umum bagi seorang wanita memiliki pendidikan yang rumah sakit yang memberikan pelayanan
tinggi. Suzzane menyelesaikan pendidikan dokternya di bagi para tentara yang sakit dan terluka
Universitas Municipal. Seperti banyak siswa asal Hindia akibat peperangan. Dimana dalam
Belanda lainnya, Suzzane mulai aktif di Indische kunjungannya tersebut, Presiden
Vereeneging bersama rekan-rekan mahasiswanya yang Soekarno beserta Menteri Monotutu,
kebanyakan pemuda bumiputera. Suzzane tertarik pada Gubernur Sanusi dan Kolonel Sadikin, juga
apa yang disebut dengan politik etis. Pada akhir abad melakukan kunjungan ke Sanatorium
kesembilan belas, yang merupakan reaksi terhadap militer di kawasan Dago atas tersebut.
sistem kebudayan dengan penggunaan paksa atas tanah
dan tenaga kerja pribumi. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, pada tanggal 17
Suzzane sangat kritis ketika berada dalam organisasi Agustus 1945, dua bulan setelahnya,
kemahasiswaan indonesia yang berada di negeri Belanda tepatnya pada bulan Oktober 1945 di
tersebut. Hingga akhirnya dia bertemu dan menikah Kota Bandung, masih sering terjadi
dengan salah seorang aktivis organisasi kemahasiswaan bentrokan antara para pemuda yang
tersebut, yang bernama Dr.Gerungan Saul Samuel Jacob tergabung dalam satuan Tentara
(Sam) Ratulangie, dari Menado, yang kemudian dikenal Keamanan Rakyat (TKR) melawan Belanda
sebagai salah satu pahlawan Indonesia. Pernikahannya
dengan Sam Ratulangie akhirnya kandas, setelah
dikaruniai dua orang putera. Akhirnya Suzzane menikah
untuk yang kedua kalinya, dengan Koenrad Schelts van
Kloosterhuis, seorang mantan pengusaha dan tergabung
dalam pemerintahan Hindia Belnda sebagai asisten
residen. Saat itulah Suzzane mendirikn sanatorium di
Dago Heuval.
dan sekutu-sekutunya. Akibat dari bentrokan tersebut banyak berjatuhan korban dari
kedua belah pihak. Saat itu Palang Merah Indonesia masih belum mengonsolidasikan diri,
markasnyapun masih sering berpindah-pindah. Hal tersebut, terjadi karena masih belum
ada penyerahan dari pihak NERKAI (Nederlandsch Rode Kruis Afdeling Indie) kepada Palang
Merah Indonesia. Dimana dalam aturan internasional, Palang Merah hanya boleh ada satu,
disetiap negara yang berdaulat. Maka, para relawan yang merupakan cikal bakal dari
anggota Palang Merah Indonesia Cabang Kota Bandung, bergerak untuk terus melakukan
pertolongan dimanapun, termasuk membantu rumah sakit-rumah sakit, termasuk
sanatorium yang saat itu banyak merawat masyarakat umum ataupun tentara yang terluka
akibat peperangan.
Pergolakan politik di Kota Bandung terus memanas, bentrokan fisik melalui kontak senjata
sering terjadi. Pada tanggal 28 Oktober 1945, rakyat Kota Bandung yang berada di sebelah
utara rel kereta api berduyun-duyun, berjalan kaki sambil membawa harta bendanya ke
daerah selatan, sementara pertempuran terus berkobar. Menurut catatan sejarah PMI
Kota Bandung, tak ayal situasi itupun berdampak keras kepada markas PMI, yang saat
itupun terkena mortir. Maka PMI pun saat itu terpaksa harus ikut pindah ke Rumah Sakit
Situsaeur, yang merupakan cikal bakal dari Rumah Sakit Immanuel sekarang.
Tanggal 24 Maret 1946, pemimpin tentara sekutu dengan tegas meminta agar rakyat yang
berada disebelah selatan rel kereta api, menyingkir dan meninggalkan kota sejauh sebelas
kilometer dari pusat kota. Pada saat itulah, terjadi peristiwa yang tak dapat dilupakan oleh
sejarah Bangsa Indonesia, khususnya Bandung, yang selanjutnya dikenal sebagai peristiwa
“Bandung Lautan Api”. Dalam peristiwa yang terus berlanjut sampai tahun 1949 ini,
menjadi titik tolak pergerakan PMI Kota Bandung, dimana pergerakan organisasi
kemanusiaan ini, memiliki peran yang semakin penting dalam pergerakan kemerdekaan
Republik Indonesia.
Saat situasi politik di Bandung mulai mendingin, secara resmi NERKAI (Netherlands Rode
Kruis Indie) mundur dan Republik Indonesia Palang Merah Indonesia diakui secara
internasional. Saat itulah, PMI perlu melakukan pembenahan. Oleh karena itu, pada
tanggal 26 januari 1950 dibentuklah kepengurusan PMI Cabang Bandung, yang diketuai
Oleh dr.Djunjunan Setiakusumah. Seorang dokter yang memiliki kiprah sangat luar biasa
bagi bangsa ini. Dr.Djunjunan, banyak terlibat dalam penuntasan wabah penyakit di
berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja, kolera, pes, cacingan dan penyakit mata
trachoom adalah berbagai penyakit yang mewabah di Indonesia kala itu, akibat dari
minimnya pengetahuan rakyat Indonesia kala itu dalam hal menjaga kebersihan.
Dr.Djunjunan saat itu menjabat sebagai Kepala Kesehatan Kota Bandung, sejak jaman
Jepang, yaitu tahun 1942. Dimana area penugasannya meliputi RS.St.Yusup, Cicendo, dan
RS.Imanuel. Disaat itulah Dr.Djunjunan mengumpulkan banyak pemuda sukarelawan
untuk dilatih PPPK. Para pemuda itulah yang menjadi paramedis, yang pada tanggal 24
Maret 1946, sebagian ikut mengungsi bersama rakyat dan sebagian lagi ditempatkan di
RS.Situsaeur yang kemudin menjadi RS.Imanuel. Para pemuda sukarelawan itulah yang
menjadi cikal bakal anggota PMI dikemudian hari.
Sejak penunjukan Dr.Djunjunan, sebagai ketua PMI Cabang Bandung, Mulai saat itulah,
PMI Kota Bandung mulai memiliki markas sendiri, yang terletak di Jl.Nias No.2 Bandung,
yang sekarang gedungnya menjadi Fakultas Filsafat sebuah universitas swasta terkenal di
Bandung.
Tampak Dalam Foto,Gubernur Sanoesi Hardjadinata dan
Dr.Djunjunan Setiakusumah di PMI Jl.Nias NO.2 Bandung
Setelah penyerahan NERKAI (Netherlands Rode Kruis Indie) kepada PMI, Sanatorium Dago
yang kala itu khusus menangani rehabilitasi bagi tentara yang sakit dan terluka pasca
peperangan, yang sebelumnya dikelola oleh NERKAI inipun otomatis ikut diserahkan
kepada PMI.
Setelah PMI mengelola penuh Sanatorium Dago Heuvel ini, maka Dr.Djunjunan
merencanakan untuk mengembangkan Sanatorium tersebut. Sanatorium yang awalnya
hanya dikhususkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada militer, akan
diupayakan dapat diperluas. PMI merencanakan akan membeli sebidang tanah, dimana
kedepannya, akan dibangun sebuah bangsal yang mampu memuat seratus tempat tidur
tambahan, dimana enam puluh tempat tidur akan didedikasikan bagi masyarakat sipil
secara gratis. Dimana, saat itu kondisi Bandung sedang dalam situasi memprihatinkan
karena serangan penyakit TBC. Rencana PMI tersebut diberitakan oleh berbagai surat
kabar saat itu, salah satunya adalah harian AID De Preangerbode, Selasa, 29 Januari 1952.
Dalam rangka merealisasikan pembangunan dan perluasan Sanatorium Dago ini, pada
bulan Maret 1952, dalam pidatonya di cara Bulan Dana PMI, Walikota Bandung, R. Enoch,
menghimbau kepada masyarakat borjuis Bandung kala itu, untuk bekerjasama dan
memberikan dukungan penuh kepada rencana PMI Cabang Bandung kala itu, untuk
membantu perluasan sanatorium di Dago dan tempat perawatan khusus bagi orang tua.
Rencana PMI untuk merealisasikan rencana tersebut, bukanlah sebuah perjalanan yang
mudah. Dibutuhkan dana dan pengorbanan yang besar, namun masyarakat berduit
Bandung kala itu, rela bergotong royong untuk merealisasikannya.
Maka setahun setelah direncanakan, pada tanggal 17 September 1953, bertepatan dengan
ulang tahun PMI ke delapan, perluasan Sanatorium Dago dapat terealisasi. Dimana akan
dibangun asrama untuk staf perawat dan ruang operasi, dimana peletakan batu
pertamanya dilakukan oleh ibu Sanusi Hardjadinata, istri dari Gubernur Jawa Barat kala itu
_ AID,Preangerbode, senin 14 September 1953. Setahun kemudian setelah
pembangunannya, di ulang tahun PMI yang ke sembilan, ruang operasi dan asrama bagi
perawat itupun akhirnya mulai digunakan. Berita tersebut dilansir oleh harian, Java Bode,
Senin, 20 September 1954.
Dr.Djudjunan Setiakusumah Berpidato Dalam Acara Dies Natalis PMI
Tahun 1954
Pada periode 1956-1957, pasukan Belanda ditarik dari Republik Indonesia. Bersamaan
dengan itu, warga negara Belanda, baik yang tergabung dalam korps militer ataupun warga
sipil, pada akhirnya harus meninggalkan negara ini. Baik secara sukarela, ataupun
mengalami pengusiran oleh rakyat Indonesia. Menurut Thomas Lindbald dalam Bridges To
New Business: The Economic Decolonization of Indonesia (2008:181), terdapat dua tahap
yang menguatkan pengusiran orang-orang Belanda dari Indonesia. Pertama adalah
pengunduran diri Hatta dari jabatannya sebagai wakil Presiden Republik Indonesia, pada
tanggal 1 desember 1956. Kedua, adalah berlakunya Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau
Keadaan Darurat Perang pada Maret 1957, yang menyebabkan gelombang besar-besaran
kepulangan warga Belanda tersebut terjadi.
Pada saat yang sama, sebuah peristiwa gempa bumi terjadi. Markas PMI Jl.Aceh no.2
Bandung, mengalami kerusakan berat. Hal tersebut memaksa PMI harus memiliki gedung
yang baru.
NERKAI, yang saat itu bermarkas di sebuah gedung bekas Koninklijke Militaire Academie
atau Akademi Militer, di Jl.Aceh no.79, karena berlakunya Staat van Oorlog en Beleg itupun
harus meninggalkan Indonesia. Karenanya, NERKAI yang saat itu bersama dengan Leger des
Heils (Bala Keselamatan) menjadikan markas tersebut sebagai gedung perawatan orang
tua, menyerahkan markas mereka kepada PMI Cabang Bandung, beserta dengan dua orang
tua yang masih dalam perawatan mereka.
Markas PMI Saat Masih Menjadi KMA
Setelah penyerahan markas NERKAI kepada PMI Cabang Bandung tersebut, PMI kembali
berbenah diri. Dr.Djunjunan, pada tahun 1958, menginisiasi pembukaan sebuah klinik
bersalin sebagai sebuah bentuk usaha pertama PMI Cabang Bandung. Klinik bersalin Banyu
Tresna yang dipimpin oleh seorang dokter ahli kebidanan, dr.J.E. Karamoy dan bidan
Rr.Sutriasih Soekono, ini, merupakan cita-cita PMI sejak tahun 1950, setelah PMI
mengupayakan sanatorium penderita paru di wilayah Dago Heuvel, Dago straat km.6,3.
Markas Nerkai yang Diserahkan Kepada PMI, Jl. Aceh No.79 Bandung
Seiring waktu berjalan, menurut H.Suganda Permana, wabah penyakit TBC pun mulai
berkurang. Tentara yang sakit dan telah direhabilitasipun kembali kerumah masing-
masing. Masyarakat sipil yang mengalami masalah dengan paru-paru tidak lagi terlalu
banyak. Rumah Sakit lainpun sudah mulai berfungsi dengan baik, sejak pengelolaan
dikembalikan kepada Indonesia. Karenanya, akses untuk mendapat perawatan kesehatan
terbuka dengan luas. Seiring dengan itu, pasien sanatorium Dago mulai berkurang. Setelah
sekitar lima belas tahun mengabdikan diri kepada masyarakat, sanatorium itupun
menghentikan operasinya.
Setelah sanatorium tersebut berhenti beroperasi, maka sebagian gedung mulai kosong.
Beberapa orang yang masih membaktikan diri, bertahan tinggal disana. Maka,
Dr.Djunjunan berpikir, bila kompleks tersebut tidak segera diisi, maka kompleks
sanatorium tersebut bisa berpindah tangan kepada orang lain karena legalitas yang masih
belum terurus dengan baik.
Mengingat karyawan PMI saat itu sudah banyak, maka Dr.Djunjunan menawarkan
bangunan-bangunan kosong itupun agar ditempati oleh karyawan PMI Cabang Bandung.
Maka, sejak tahun 1964, bekas kompleks sanatorium itupun berubah fungsi, menjadi
kompleks perumahan karyawan PMI Cabang Bandung sampai dengan tahun 2006.
Kini, kompleks yang menyimpan sejarah panjang tentang keberadaan sebuah sanatorium
peninggalan Hindia Belanda, serta memiliki hubungan erat dengan sebuah organisasi
kemanusiaan yang banyak mengambil peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa
itupun, sayangnya harus mengalah karena tuntutan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
- Sejarah Singkat PMI Cabang Bandung, dokumen PMI Cabang Bandung
- De Indische Courant, Mandaag, 4 Augustus 1030
- Het Niews Van Den Hag, Woendsdag, 6 Januari 1932
- AID De Preangerbode, Dinsdag, 29 Januari 1952
- AID De Preangerbode, Donderdag, 13 Maret 1952
- AID de Oreangerbode, Maandag, 14 September 1953
- Java Bode, Maandag, 20 September 1954
- AID De Preangerbode, Dinsdag, 8 Januari 1957
- Biografi Dr. h.Rd. Djunjunan Setiakusumah, sebuah kenangan (2002),
disunting oleh Iskandarwassid.
- Humprey de La Croix, Maand van de Geschiedenis, Thema 2015: Tussen
Droom en Daad.
- Thomas Lindbald, Bridges to New Business: The Economic Decolonization
of Indonesia (2008: 181)
Potret Pandemi Influenza di Bandung (1918-1919)
Penulis: Ahamd Fikri
Tanggal 26 Agustus 1918 malam, di salah satu kamar di Hotel Homan, Kota Bandung, Karel Albert
Rudolf Bosscha, 53 tahun, berpidato mewakilii rekan-rekannya, anggota perkumpulan
“Bandoengsche Zieken-verpleging”. Malam itu adalah rapat ke sekian kalinya yang digelar
perkumpulan yang beranggotakan pemilik perkebunan, tuan tanah, dan pengusaha yang ada di
sekitar Bandung. Yang berbeda, Bertus Coops, anggota perkumpulan tersebut hadir di sana atas
nama jabatannya, walikota Bandung.
“Pak Walikota. Saya akhiri dengan harapan agar kesehatan Bandung dan sekitarnya di masa depan
dapat menjadi sangat baik sehingga rumah sakit dapat sering kosong. Tetapi bahwa setiap saat
dapat ditemukan siap untuk memberikan perhatian penuh kasih kepada umat manusia yang
menderita dalam hal epidemi dan perang—dari mana Ned. Indie dapat dipertahankan(1),” kata
Bosscha.
Pidato Bosscha disambut aplaus. Dia lalu menyerahkan selembar cek bernilai 100 ribu gulden, atau
setara 1 ton emas pada Coops di pertemuan itu. Dana tersebut berasal dari kolekan anggota
perkumpulan Bandoengsche Zieken-verpleging yang beridir tanggal 6 Mei 1914. Bosscha didapuk
menjadi ketuanya.
Coops tidak bisa menutupi kegembirannya. Pemerintah Kota Bandung menyetujui seluruh nama
pemberi sumbangan dana yang diterimanya malam itu akan mendapat potongan biaya jika
memerlukan perawatan di rumah sakit kelak. Coops menjanjikan proyek rumah sakit itu sudah mulai
dibangun tahun depan. “Batu pertama akan diletakkan tahun depan. Proyek akhir sedang diproses
dan akan segera selesai(1),” kata dia.
Bosscha, selain pemilik perkebunan teh Malabar, dikenal luas sebagai filantropis sejati.
Sumbangsihnya banyak tercatat dalam sejarah. Mulai dari pendirian sekolah dasar sekolah
Vervoloog Malabar bagi pribumi yang hingga saat ini masih berdiri menjadi SDN Malabar II,
menyumbang 100 ribu gulden demi pengembangan Technische Hoogeschool Bandoeng (Institut
Teknologi Bandung), hingga membangun obeservatorium di Lembang yang kini kita kenal sebagai
Observatorium Bosscha.
Tak heran jika Bosscha menjadi motor “Bandoengsche Zieken-verpleging”, perkumpulan yang yang
dibentuk untuk mewadahi inisiatif warga Kota Bandung yang menginginkan rumah sakit yang layak
untuk Kota Bandung. Anggota lainnya di antaranya J Bosscha, Thion, G Lengan, A Bryan, TJ Janssen,
de Kock, V Leuweun, AE Reynst, R Schoemaker, Tjei Djie Tong, Utermöhlen, serta AEO Vervooren(2).
Kota Bandung sejak lama sohor dan dikenal dengan sebutan Parijs van Java. Tapi status “Gemeente”
atau kota baru resmi disematkan oleh Gubernur Hindia Belanda JV Van Heutz pada tahun 1906 (3).
Sejak saat itu, kota tersebut berhak mengelola pemerintahannya sendiri, terpisah dari induknya,
Kabupaten Bandung.
Setelah resmi menyandang predikat sebagai kota, Bandung terus bersolek. Selain deretan toko dan
tempat kongkow yang terus tumbuh di sepanjang Jalan Braga, tempat hiburan juga menjamur. Kota
Bandung kala itu misalnya, menjadi salah satu kota di Hindia Belanda yang sudah memiliki bioskop
sendiri. Bukan cuma satu, tapi 4 bioskop yang berdiri yakni Oriental, De Royal, Orion, dan Elita. De
Locomotief dalam salah satu beritanya tanggal 3 Mei 1919 mencatat pajak hiburan sepanjang tahun
1918 mencapai 47.815,52 gulden dari setiap 10 picis yang tiket yang terjual (4).
Keramaian beragam hiburan dan perputaran uang menjadi magnet bagi warga Eropa dan pribumi
membuat Kota Bandung makin ramai. Dua peta yang dibuat Belanda untuk Kota Bandung cukup
menjadi gambaran. Legenda, atau keterangan bangunan penting pada peta tahun 1910
(Topographische Inrichting, 1910) hanya mencantumkan 14 bangunan penting, pada peta yang
terbit 25 tahun kemudian bertambah menjadi 138 bangunan penting (Bandoeng : Glashandel
A.N.I.G.G.I., [ca. 1935]) di dalam keterangan legendanya. De Locomotief dalam artikelnya di tahun
1919 mencatat dalam setahun bangunan baru bertambah sebanyak 297 bangunan.
Tapi ironisnya, Kota Bandung saat itu belum memiliki rumah sakit yang layak. Sedikitnya ada 3
rumah sakit yang bisa dijangkau warga kota karena jaraknya yang dekat. Yakni Rumah Sakit Tjilentah,
Rumah Sakit Militer Tjimahi di kompleks militer di Cimahi, serta Rumah Sakit Immanuel di Kabupaten
Bandung. Dari tiga rumah sakit tersebut, Rumah Sakit Tjilentah yang jadi andalan warga Kota
Bandung karena letaknya paling dekat.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
"Bandoeng en omstreken", diterbitkan oleh "Batavia: Topographische Inrichting", 1910.
Rumah Sakit Tjilentah yang berada di Jalan Tjilentah (kini Jalan Karapitan), saat ini lokasinya
ditempati oleh Universitas Langlangbuana. Rumah Sakit Tjilentah adalah rumah sakit milik
pemerintah. Kendati sudah dikelola oleh dokter yang kompeten dan mempraktekkan ilmu
pengobatan modern di zamannya, tapi untuk perawatan pasien masih dilakukan oleh tenaga yang
tidak terdidik. Perawat rumah sakit kala itu adalah pegawai yang diperbantukan sekaligus untuk
mengurus rumah sakit seperti tukang sapu, pelayan, hingga narapidana. Keluarga yang menunggu
pasienlah yang sebenarnya melakukan perawatan pasien di rumah sakit tersebut(5).
Bandung kala itu, seperti kota-kota penting milik Hindia Belanda juga masih harus berhadapan
dengan wabah penyakit yang mengancam jiwa manusia. Sedikitnya saat itu ada dua wabah penyakit
yang masih terus menjadi ancaman yakni cacar dan kolera. Dan tahun 1918 Hindia Belanda juga
ditambahi harus menghadapi ancaman baru yakni pandemi influenza, yang dikenal dengan nama flu
Spanyol. Tahun 1918-1919 adalah puncak penyebaran flu Spanyol di Hindia Belanda.
Sebagian besar peneliti meyakini dampak flu Spanyol pada dunia, mirip seperti pandemi Covid-19
yang muncul saat ini. Catatan yang dikumpulkan para peneliti dari data milik pemerintah Hindia
Belanda mendapati pandemi influenza di Jawa dan Madura merengut sedikitnya 1,5 juta jiwa hanya
dalam 2 tahun kemunculannya. Sebagian peneliti meyakini jumlah korban yang tewas akibat flu
Spanyol di Jawa dan Madura jauh lebih besar. Siddharth Chandra misalnya membuat pemodelan dan
menghasilkan estimasi angka kematian yang jauh lebih besar yakni menembus 4,26-4,37 juta jiwa
hanya untuk pulau Jawa akibat pandemi influenza 1918-1918 (6).
Ancaman wabah penyakit mematikan di Hindia Belanda yang terus-menerus melanda membuat
Bosscha dan kawan-kawannya menginginkan Bandung harus memiliki satu rumah sakit yang
representatif. Rumah sakit modern yang akan menjadi benteng kemanusiaan menghadapi ancaman
wabah dan juga peperangan.
Rumah sakit tersebut tidak hanya memiliki alat kesehatan modern, tempat perawatan pasien yang
nyaman, tapi juga mempekerjakan perawat yang handal. Mereka membayangkan Kota Bandung
akan memiliki rumah sakit seperti Rumah Sakit Juliana yang ada di Semarang dan Batavia, rumah
sakit sipil yang melayani semua bangsa, memiliki dokter pilihan, serta memberikan pelayanan
perawatan modern dan memadai.
Bosshca dan kawan-kawannya sudah merintis pendirian rumah sakit modern tersebut sejak tahun
1914, dengan mendirikan “Bandoengsche Zieken-verpleging”. Perkumpulan itu menginginkan Kota
Bandung memiliki rumah sakit sebagai lembaga andalan untuk mereawat orang sakit tanpa
membedakan agama dan bangsa, memiliki perawat yang terdidik(7).
Periode 1918-1919 adalah tahun yang sulit bagi Kota Bandung. De Locomotief memotretnya dalam
salah terbitannya tanggal 3 Mei 1919 di halaman 2 berjudul “Een diefstal-statistiek”, atau Statistik
Pencurian. Koran yang dimotori oleh aktivis politik etis(8) tersebut memotret tak berdayanya
institusi polisi Kota Bandung menghadapi melonjaknya kasus pencurian di tengah serangan wabah
penyakit menular di tengah pesatnya pertumbuhan Kota Bandung.
Koran tersebut menyajikan data statistik naiknya kasus pencurian dalam empat tahun terakhir. Pada
1915-1916 angka pencurian tercatat berkisar 600-an peristiwa setiap tahunnya, hanya bertambah 17
kasus saja. Tapi pada 1917 angkanya tiba-tiba melonjak tajam. Kasus pencurian sepanjang tahun
1917 mencapai 772 kasus. Tahun 1918 naik lagi jadi 913 kasus. Kasus pencurian di tahun 1918 juga
makin beragam. Pertama kalinya warga melaporkan pencurian beras dan padi. Pencurian pada
bahan makanan justru belum pernah terjadi sebelumnya di Kota Bandung.
Jumlah kasus pencurian yang berhasil di ungkap polisi saat itu justru menurun. De Locomotief
menyajikannya dalam data statistik kasus yang berhasil di ungkap polisi sepanjang 1917-1918.. Polisi
berhasil mengungkap 358 kasus, dari 772 kasus pencurian yang terjadi sepanjang tahun 1917. Di
tahun berikutnya jumlahnya malah turun. Polisi hanya berhasil mengungkap 356 kasus,dari 913
kasus pencurian yang terjadi sepanjang 1918.
Koleksi Delpher
"De locomotief" (3-5-1919), halaman 2, "Een diefstal-statistiek".
De locomotief (3-5-1919), halaman 2
Een diefstal-statistiek Statistik Pencurian
Oaze Bandoengsche correspondent schrijft ons: Koresponden Oaze Bandung menulis kepada kami:
Uit de statistiek der te Bandoeng gepleegde diefstallen gedurende Statistik pencurian yang dilakukan di Bandung selama tahun 1918
het jaar 1918. blijkt, dat de toename van het aantal gepleegde menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pencurian yang dilakukan
diefstallea groot is te noemen; de cijfers uit de statistieken over de dapat disebut besar; angka-angka dari statistik untuk tahun 1915-
jaren 1915-1916 en 1917-1918 wijzen op de verder volgende 1916 dan 1917-1918 menunjukkan perbedaan berikut:
verschillen:
Pada tahun 1915 601 pencurian
In 1915 601 diefstallen Pada tahun 1916 618 pencurian
In 1916 618 diefstallen meningkat 17.
toename 17.
Pada tahun 1917 772 pencurian
In 1917 772 diefstallen Pada tahun 1918 913 pencurian
In 1918 913 diefstallen meningkat 159.
toename 159.
Pertama-tama, peningkatan pencurian harus dikaitkan dengan
In de allereerste plaats moet die toename van het aantal diefstallen kendala waktu yang sulit terkait dengan kelangkaan makanan dan,
worden toegeschreven aan de moeilijke tijdsomtandigheden in sebagai akibatnya, standar hidup yang bertahan lama. Sungguh luar
verband met de voedsel-schaarschte en als gevolg daarvan den biasa bahwa beberapa pencurian padi dan beras ditemukan selama
duren levensstandaard. Opmerkelijk is, dat gedurende het jaar tahun 1918; pencurian, yang tidak pernah terjadi pada tahun-tahun
1918 verscheidene padi- en rijst-diefstallen zijn geconstateerd; sebelumnya, dan sekarang sangat jarang terjadi.
diefstallen, die vorige jaren nimmer, al thans zeer zelden zijn
voorgekomen. Faktor penting kedua adalah perluasan kota Bandung yang besar,
dengan akibat langsung masuknya tenaga kerja, tidak hanya dari
Als tweede belangrijke factor moet worden vermeld de groote daerah sekitarnya, tetapi juga dari tempat-tempat yang lebih jauh,
uitbreiding van de stad Bandoeng met als direct gevolg daarvan de seperti Batavia, Cheribon dan Tengah, bahkan dari Jawa Timur. . .....
toe strooming van werkvolk, niet alleen uit de omliggende streken, sebagian besar ........ berada pada tingkat rendah ........ yang
maar ook van verder gelegen plaatsen, zooals Batavia, Cheribon en bermigrasi ke daerah lain adalah ..... orang yang tinggal di
Midden-, ja zelfs van Oost Java. Het ..... van het grootste gedeelte negaranya sendiri tidak dapat mencari nafkah atau melarikan diri
van ........ staat op een laag peil ........ die uitwijken naar andere untuk menghindari polisi atau keadilan. Orang-orang yang energik
streken, zijn ..... menschen, die in hun eigen land niet in staat zijn, yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk memperbaiki kondisi
hun brood te verdienen of wel zijn uitgeweken om politie of justitie kehidupan mereka atau karena haus akan petualangan sangat
te ontloopen. Energieke personen, die hun geboortegrond verlaten jarang ditemui di antara kelas bawah penduduk asli.
om hunne levensomstandig-heden te verbeteren of uit zucht naar
avontuur, ontmoet men bij de lagere klasse van de inlandsche Ribuan buruh, pembantu rumah tangga, kuli, dll, dari luar Bandung,
bevolking heel zelden. yang sebagian besar tidak memiliki tempat tinggal tetap, tidak
dapat diperiksa secara rutin oleh polisi. Polisi ibukota Bandung
Op deze duizenden van buiten Bandoeng afkomstige werklieden, memiliki terlalu sedikit personel untuk dapat menempatkan orang-
huisjongens, koelie's, enz., waarvan de meesten geen vaste orang ini di bawah pengawasan khusus, sementara pendatang baru
woonplaats hebben, kan door de politie geen geregelde controle di sini umumnya juga tidak melapor ke kepala desa.
worden uitgeoefend. De politie van de hoofdplaats Bandoeng
beschikt over te weinig personeel om deze lieden onder bepaald Hasil dari layanan investigasi tetap hampir sama. Sementara 358
toezicht te kunnen stellen, terwijl ook aangifte bij het desahoofd pencurian terbongkar pada tahun 1917, pada tahun 1918
door nieuw-aangekomenen hier in den regel niet gebeurt. jumlahnya menjadi 356. Sungguh luar biasa bahwa tidak ada lagi
pencurian yang terbongkar daripada tahun 1917, sehingga
De resultaten van den opsporingdienst zijn vrijwel gelijk gebleven. persentasenya turun. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa hanya
Werden in 1917 358 diefstallen tot klaarheid gebracht, in 1918 sejumlah tertentu pencurian yang dapat diungkap oleh sejumlah
bedraagt dat aantal 356. Opmerkelijk is, dat niet meer diefstallen detektif tertentu (dengan kerja maksimal), sehingga semakin besar
tot klaarheid zijn gebracht dan in 1917, zoodat het percentage is jumlah pencurian yang dilakukan hanya dapat memberikan
gedaald. Dit is toe te schrijven aan het feit, dat door een bepaald pengaruh yang sangat kecil terhadap total kasus. diklarifikasi.
aantal rechercheurs ook slechts een bepaald aantal diefstallen aan
het licht kan worden gebracht (bij maximum-werk), zoodat het Selain itu, aparat kepolisian Bandung selama tahun 1918 bekerja
grootere aantal van de gepleegde diefstallen slechts in zeer geringe dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Dari 3 pengawas
mate invloed kan uitoefenen op het totaal van de tot klaarheid polisi (tidak termasuk yang bertugas melayani opium), 2
gebrachte zaken. dipindahkan dan digantikan oleh calon pengawas, sementara ketiga
mantri polisi dipromosikan menjadi asisten wedana dan digantikan
Hierbij komt nog dat het politie-personeel van Bandoeng oleh pekerja muda yang tidak berpengalaman.
gedurende het jaar 1918 onder zeer ongunstige omstandigheden
heeft gewerkt. Van de 3 politie-opzieners (die voor den Influenza juga memiliki korban di kalangan aparat kepolisian,
opiumdienst niet medegerekend) werden 2 overgeplaatst en door terutama di kalangan aparat kepolisian dan penjaga malam; selama
aspirant-opzieners vervangen, terwijl alle 3 mantri's politie paruh kedua tahun 1918 bahkan sering terjadi separuh dari jumlah
bevorderd werden tot assistent-wedana's en vervangen door agen malam tidak dapat melakukan layanan mereka.
jonge, nog niet geroutineerde werkkrachten.
Cacar dan terutama epidemi kolera juga berkontribusi pada fakta
De influenza heeft ook onder het politie personeel, in het bizonder bahwa terlalu banyak yang harus dituntut dari personel polisi.
onder de in landsche agenten en nachtwakers, hare slachtoffers Tidak berlebihan dapat dikatakan bahwa pencegahan dan
gehad; gedurende de tweede helft van het jaar 1918 is het zelfs penanggulangan penyakit menular seperti kolera dan cacar di kota
dikwijls voorgekomen, dat de helft van het aantal nachtagenten ini masih sepenuhnya diserahkan kepada polisi.
hunne diensten niet hebben kunnen verrichten.
Perlu juga disebutkan bahwa pemekaran kota telah sangat
Ook de pokken en in het bizonder de cholera-epidemieën hebben meningkatkan kegiatan kepolisian lainnya, tidak secara langsung,
er toe bijgedragen, dat van het politie-personeel dikwijls te veel sehingga sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat digunakan
moest worden geëischt. Zonder eenige overdrijving kan verklaard seluruhnya untuk pekerjaan kepolisian.
worden, dat bet tegengaan van de verspreiding en het voorkomen
van besmettelijke ziekten zooals cholera en pokken hier ter stede Kurangnya personel ini berarti bahwa perhatian yang diperlukan
nog geheel aan de politie is overgelaten. belum diberikan pada pencurian kecil, seperti yang dapat dilihat
dengan jelas dari beberapa angka dalam statistik: pada tahun 1918
Ook dient nog te worden medegedeeld, dat door de uitbreiding van hanya 270 pencurian dengan nilai kurang dari 25 gulden yang
de stad de andere, niet direct politioneele werkzaamheden a berhasil diselesaikan, sedangkan jumlah untuk tahun 1917 adalah
anmerkelijk zijn vermeerderd, waardoor een gedeelte van de 286; Di sisi lain, dari pencurian yang lebih besar pada tahun 1918,
aanwezige werkkrachten niet geheel voor politiewerk kan worden 86 ditemukan, pada tahun 1917 hanya 72.
aangewend.
Dengan mempertimbangkan semua keadaan, muncullah
Dit gebrek aan personeel heeft er toe geleid, dat de noodige perbandingan hasil dari layanan investigasi tahun 1918 dengan
aandacht niet is geshonken aan de kleinere diefstallen, wat tahun 1917 masih mendukung yang pertama, meskipun inspeksi
duidelijk uit enkele cijfers van de statistiek kan blijken: in 1918 zijn dangkal persentase pencurian yang terungkap memberi kesan
slechts 270. diefstallen van beneden f 25 tot klaar heid gebracht, bahwa penyelidikan telah melakukan lebih sedikit pekerjaan tahun
terwijl dat getal voor 1917 bedraagt 286; hiertegenover staat, dat ini.
van de grootere diefstallen in 1918 er 86 tot klaarheid zijn
gebracht, in 1917 slechts 72. Mungkin tidak perlu, beberapa tokoh yang disertakan di bawah ini
mengenai pemekaran kota Bandung:
Alle omstandigheden in aanmerking genomen, komt een
vergelijking van de resultaten.. Konstruksi rumah ...... 297.
... van den opsporingsdienst van 1918 met die van 1917 nog in het Peningkatan jumlah jiwa Eropa dari 1 April 1918 hingga 1 April
voordeel van de eerste, ofschoon oppervlakkige inzage van het 1919. 1764.
percentage van de tot klaarheid gebrachte diefstallen den indruk
geeft, dat door de recherche dit jaar minder werk is gepresteerd. Pajak hiburan (10 pc) pada tahun 1918 menghasilkan NLG
47.815,52.
Wellicht ten overvloede worden hieronder nog enkele cijfers
opgenomen betreffende de uitbreiding van de stad Bandoeng: Jumlah ini menunjukkan. bahwa di bandung tempat-tempat
hiburan sangat ramai. Malam demi malam, bioskop terbuka di
Huizenbouw ...... 297. tempat yang disebut tempat pesta, di mana pencopet ditawari
banyak kesempatan untuk melakukan pekerjaan mereka, menarik
Vermeerdering van het Europeesch zielental van 1 April 1918 tot 1 ratusan penonton. Terlepas dari kontrol yang diterapkan atas
April 1919. 1764. pertunjukan bioskop, banyak bukti bahwa representasi dari dunia
pencuri selalu memiliki pengaruh pada tindakan dan perilaku
De belasting op de vermakelijkheden (10 pCt.) bracht in 1918 f serikat berjari panjang; di salah satu majalah pribumi yang muncul
47.815,52 op. di sini bahkan bisa melihat nama tokoh film terkenal, penjahat
besar, sebagai nom deplume.
Uit dit bedrag blijkt. dat te Bandoeng de gelegenheden tot vermaak
zeer druk worden bezocht. Avond aan avond trekken de openlucht-
bioscopen op de zoogenaamde feestterreinen, waar aan
zakkenrollers ruime gelegenheid wordt aangeboden om hun slag te
slaan, honderden toeschouwers. Niettegenstaande de toegepaste
controle op de bioscoop-voorstellingen zijn bewijzen te over, dat
voorstellingen uit de dievenwereld steeds van eenigen invloed zijn
op de handelingen en het optreden van het langvingerige gilde; in
één van de hier verschijnende inlandsche bladen kan men zelfs den
naam van een bekend filmfiguur, een groote misdadiger, als
nomdeplume zien prijken.
Kota Bandung yang tumbuh pesat menjadi magnet penarik. Nyaris segala bangsa dan suku bisa
ditemukan di sana. Warga pribumi tak terkecuali. Mereka berdatangan dari Batavia, Cirebon, hingga
Jawa Timur demi mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka datang dengan beragam sebab. Dari
mencari nafkah, mencari pengalaman, hingga menghindari kejaran polisi. Mereka mengerjakan apa
saja yang bisa menghasilkan uang, menjadi kuli, pembantu rumah tangga, hingga kerja serabutan
lainnya. Sebagian tidak punya tempat tinggal tetap.
Saat itu polisi Kota Bandung tidak melulu mengurusi ketertiban sipil. Pemerintah Kota Bandung juga
membebankan polisi tugas penanganan penyebaran wabah cacar dan kolera. Polisi mendapat tugas
melakukan pengawasan pada warga kota agar patuh pada aturan pemerintah kota yang sengaja
dibuat untuk menghentikan penularan penyakit cacar dan kolera yang kala itu masih mewabah.
Pemerintah Kota Bandung membuat aturannya begini. Bagi warga Eropa yang tertular cacar dan
kolera wajib menjalani perawatan di rumah sakit, dan rumahnya harus di desinfeksi. Sementara bagi
pribumi aturan tidak sama. Warga pribumi hanya wajib memasang bendera untuk menandai
penghuninya ada yang tertular cacar, atau kolera agar warga lainnya menghindari agar tidak ikut
tertular(9).
De Locomotief dalam “Een diefstal-statistiek” menggambarkan masalah polisi Kota Bandung
berawal dari kekurangan jumlah personil, tapi itu bukan satu-satunya. Masalah yang paling
merepotkan adalah wabah influenza. Bukan akibat penyakit cacar dan kolera yang justru menjadi
ranah tugasnya, tapi influenza membuat petugas polisi bertumbangan.
“Influenza juga memiliki korban di kalangan aparat kepolisian, terutama di kalangan aparat
kepolisian dan penjaga malam; selama paruh kedua tahun 1918 bahkan sering terjadi separuh dari
jumlah agen malam tidak dapat melakukan layanan mereka),” tulis De Locomotief(10).
Influenza adalah istilah yang dipergunakan koran yang terbit kala itu untuk menggambarkan
penyakit flu Spanyol, sakit flu yang memicu pneumonia yang kerap berujung maut. “Het nieu s van
den dag voor Nederlandsch-Indi ” misalnya, koran berbahasa Belanda yang terbit di Batavia pada
terbitannya tanggal 13 Januari 1919 di halaman 3 menurunkan berita berjudul “Spaansche
influenza”. Keseluruhan isi beritanya menggunakan istilah “influenza” untuk merujuk pada penyakit
flu yang mematikan, yang tengah mewabah di seluruh Hindia Belanda sejak 1918.
Medan adalah kota pertama di Hindia Belanda yang melaporkan kemunculan penyakit misterius
dengan gejala seperti influenza yang belakangan diketahui sebagai flu Spanyol. Penyakit tersebut
kemudian dilaporkan muncul nyaris di sepanjang lalu perkotaan di lintas jalur pelayaran di kota-kota
utama yang berada di pesisir kepulauan Nusantara.
“Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi ”, terhitung yang pertama menurunkan berita
masuknya flu Spanyol di wilayah Hindia Belanda. Tanggal 17 Juli 1918 koran tersebut menurunkan
berita pendek yang mencolok dengan penggunaan huruf yang lebih besar di halaman 2 dengan judul
Da geheimzinnige ziekte heeft Indië bereikt! (Penyakit misterius itu telah mencapai Hindia!). Berita
tersebut menceritakan tentang penyakit misterius yang sebelumnya ditemukan di Singapura muncul
di Medan. Sedikitnya 60 polisi tertular, 100 kuli Cina meninggal. Koran itu menyebutkan penyakit
tersebut sebagai flu Rusia.
Besoknya, 17 Juli 1918, “Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi ” kembali menurunkan
berita yang lebih panjang di halaman 2 melanjutkan, dengan judul De geheimzinnige ziekte (Penyakit
Misterius). Penyakit misterius mirip flu tersebut sebelumnya ditemukan di Singapura, korbannya 36
awak kapal yang kemudian menulari pekerja di dermaga. Penyakit misterius tersebut membuat
petugas kesehatan Singapura kewalahan. Penyakit misterius tersebut mirip dengan penyakit yang
muncul pertama kali di Shanghai, China.
Koran tersebut menerangkan penyakit misterius menular. Penderitanya menunjukkan gejala demam
tinggi yang berlangsung hingga 7-8 hari. Dipastikan bukan penyakit malaria.
“Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi ” (17 Juli 1918), halaman 2
“Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi ” melaporkan penyakit tersebut tidak hanya di
temukan di Medan, tetapi juga di Semarang. Koran itu menyebutkan di Semarang, penyakit
misterius tersebut menulari tentara dalam “jumlah sangat banyak”. Di Batavia disebutkan korbannya
“luar biasa besar”. Koran itu menyebutkan skala penularannya sebagai abah.
Besoknya, tanggal 18 Juli 1918, “Bataviaasch nieu sblad” di halaman 3 menurunkan berita dengan
judul “De Epidemie”, atau Wabah. Koran terbitan Batavia tersebut menuliskan lebih rinci lagi
tentang abah yang disebutnya “mirip influenza”. Wabah tersebut dilaporkan menulari tentara
Belanda di Batavia. Korban yang tertular menembus 100 orang. Wabah mirip influenza tersebut
menyebakan rencana latihan tentara Beladan di Soenter, ditangguhkan. Prajurit yang batal berlatih
tersebut diminta tidak boleh keluyuran. Penyakit serupa dilaporkan sudah mencapai daerah di
pantai timur Sumatera. Wabah penyakit dengan gejala demam selama 5 hari tersebut tidak
menimbulkan korban jiwa di kalangan tentara yang tertular.
Direktur Stadsverband, rumah sakit kota di Batavia, menyatakan penyakit yang mewabah tersebut
memiliki gejala mirip influenza disertai demam selama lima hari. Sebagian pasien sembuh. Namun
dia belum mengetahui perkembangan warga pribumi yang tertular karena mereka dirawat di
rumahnya masing-masing.
“Burgerlijken Geneeskundigen Dienst” atau Dinas Kesehatan Sipil Belanda disebutkan sudah
memulai penyelidikan untuk memastikan di mana wabah tersebut bermula.
“Het nie s van den dag voor Nederlandsch Indie” dalam berita pendeknya tanggal 24 Juli 1918
menuliskan bahwa wabah penyakit misterius tersebut adalah flu Spanyol. Bersamaan, pemerintah
Hindia Belanda mengumumkan upaya perawatan korban wabah flu Spanyol mulai dilakukan.
Dampak wabah influenza tersebut besar kemungkinan tersamar karena sejumlah wabah yang sudah
menjangkit sebelumnya di Hindia Belanda masih terus memakan korban. “De Locomotief” misalnya,
dalam terbitannya tanggal 29 Juli 1918 melaporkan penyakit pes mewabah di Ambarawa
menyebabkan 12 orang meninggal.
Selang dua pekan setelah kemunculannya, flu Spanyol diberitakan sudah mencapai Kota Bandung.
“De Preanger-bode” tanggal 1 Agustus 1918 memberitakannya di halaman 1 koran tersebut dengan
judul “Influenza”. Penyakit misterius disebutkan sudah mewabah dalam beberapa hari terakhir.
Warga Eropa, baik dari kalangan sipil ataupun militer, serta pribumi tertular penyakit tersebut.
Penyakit tersebut juga menulari dokter.
Dokter Borst menyatakan pendapatnya di koran tersebut bahwa tidak ada yang misterius pada
penyakit tersebut. “Kita berurusan dengan influenza biasa, yang memanifestasikan dirinya dalam
berbagai cara. Gejala yang paling khas adalah demam tinggi dan nyeri pada persendian,” kata dia
dalam berita koran itu.
Dua pekan sejak kemunculannya pertama kali di Medan, Batavia, serta Semarang penyakit tersebut
menjangkau Kota Bandung. Flu Spanyol seperti bergerak mengikuti jalur perdagangan, serta
pergerakan militer Belanda. Ini terlihat dari kota-kota utama yang terjangkit,serta latar belakang
korban yang tertular.
Flu Spanyol misalnya menjangkiti kota-kota utama di pesisir Nusantara yang menjadi lintas jalur
perdagangan kala itu. Berawal dari Singapura, wilayah jajahan Kerajaan Inggris yang menjadi pintu
gerbang utama menuju Hindia Belanda. Hanay dalam hitungan hari saja, flu Spanyol bergerak cepat
menuju Medan, Batavia, serta Semarang – seluruhnya adalah kota-kota yang berada di lintasan
kapal-kapal dagang. Korban yang tertular adalah kuli dermaga, polisi, serta warga Eropa dari
kalangan sipil dan militer, tentara yang berada di barak, serta warga pribumi setempat. Besar
kemungkinan flu Spanyol berpindah mengikuti pergerakan warga Eropa dan tentara yang di zaman
itu memiliki keleluasaan lebih banyak untuk bergerak bebas di wilayah Hindia Belanda.
Lalu bagaimana tiba-tiba flu Spanyol menyelusup masuk menuju Kota Bandung yang berada di
wilayah pegunungan di pedalaman Jawa bagian barat?
Berita yang dilansir “Bataviaasch nieu sblad” di tanggal 20 Juli 1918 nampaknya menjadi
ja abannya. Di halaman satu, koran tersebut menerbitkan berita pendek berjudul “De Influenza”.
Berita tersebut pendek. Isinya campur aduk. Di dalamnya melaporkan 90 orang tertular influenza
(termasuk warga Eropa) di penjara Batavia, Tuan V yang baru datang dari Bandung ditemukan
meninggal karena sakit kolera, influenza yang mewabah di Tjimahi menyebabkan belasan orang yang
diantaranya tentara dari Batalion IV Belanda di sana terpaksa dirawat di rumah sakit karena tertular
influenza, serta serangan wabah influenza di Soerabaja yang mulai cenderung menurun.
Berita tersebut menguatkan dugaan bahwa flu Spanyol menyelusup menuju Kota Bandung lewat
Tjimahi, yang berjarak sekitar 15 kilometer di arah barat. Tjimahi kala itu nyaris seperti terpisah dari
Kota Bandung karena dibangun khusus untuk tangsi militer Belanda.
Hingga saat ini belum ditemukan catatan korban flu Spanyol di Kota Bandung. Media berbahasa
Belanda yang terbit di zaman tersebut menuliskan flu Spanyol di Kota Bandung mirip hantu. Media
memberitakan kasusnya terjadi, tapi tidak pernah menyebutkan jelas ada tidaknya korban
meninggal akibat penyakit tersebut di Kota Bandung.
Misalnya, “De Preanger-bode” koran berbahasa Belanda yang terbit di Bandung pada tanggal 4
November 1918 menuliskan berita pendek berjudul “Tegen de influenza”, kira-kira terjemahan
bebasnya adalah “Mela an Flu”. Isinya pendek alau menempati dua halaman koran itu, sepotong
berada di pojok kiri bawah di halaman 1, lanjutannya nyempil di kanan atas di halaman 2.
Isinya menceritakan arak-arakan yang digelar warga Kota Bandung dari komunitas Cina. Arak-arakan
tersebut yang digelar untuk memperingati “lahirnya Koedoes” yang bertujuan untuk memohon pada
Tuhan agar terhindar dari wabah influenza. Berita tersebut mengutip pernyataan komunitas
Tionghoa yang dituliskan dalam bahasa melayu.
“Mohon dengan hormat soepaja Toean-toeans dari segala bangsa jangan berikan sesoewatoe
kariboetan, karena ini adalah pawai boekan diambil dari hati yang gembira, namun dengan hati yang
sedih arak-arakan ini dibuat, karena, kita mengingat tidak sedikit orang yang pernah menjadi korban
penyakit ini,” dikutip dari berita “Tegen de influenza” (De Locomotief, 4 November 1918).
Bandingkan saat koran yang sama menuliskan abah penyakit lainnya. “De Preanger Bode” dalam
terbitannya tanggal 23 September 1918 menuliskan berita berjudul “Besmettelijke ziekten”(Penyakit
Menular). Berita pendek tersebut menuliskan dua hal. Pertama tentang warga Cina dari Oedjoeng-
broeng yang dilarikan ke Rumah Sakit Tjilentah dengan gejala kolera, serta anak penghuni rumah
seorang wedana Bandoeng yang meninggal karena cacar yang kemudian menulari warga lain.
Pemberitaan flu Spanyol juga terlihat kontras saat memberitakan penyakit yang sama di kota-kota
lainnya di Hindia Belanda. “De Preanger-bode” pada 4 Desember 1918 dalam berita berjudul
“Influenza en ondervoeding” (Influenza dan Malnutrisi) di halaman satu menuliskan soal wabah flu
Spanyol di Kabupaten Tjitjoeroeg, Soekaboemi, yang menyebabkan ratusan orang tewas. Dalam
sepekan tingkat kematian akibat flu Spanyol di sana mencapai 800 orang per 1000 penduduk.
Penguasa Tjitjoeroeg menggelar rapat di Paroengkoeda. Rapat itu memutuskan Gomperts, seorang
dokter pemerintah, bersama Patih Soekaboemi diminta menyediakan makanan untuk membantu
perawatan warga yang tertular influenza. Patih Soekaboemi melaporkan penderita influenza di
Kecamatan Tjitjoeroeg sebanyak 6000 orang. Residen Preanger sudah memberikan izin untuk
pemberian makanan bagi penderita influenza sebanyak 2 porsi sehari dengan biaya 0,2 gulden,
sehingga biaya hariannya yang harus disiapkan sebesar 200 gulden.
“De Preanger-bode” dalam beritanya tanggal 4 Desember 1918 juga menuliskan, obat-obatan tidak
cukup untuk membantu perawatan penderita influenza. Asupan makanan yang cukup dibutuhkan
untuk menjaga daya tahan tubuh penderitanya. Daya tahan tubuh yang melemah bisa menyebabkan
nyawa melayang jika tertular influenza. Sementara warga pribumi yang hidup dari penghasilan
sehari-hari kesulitan untuk memenuhi kebutuhan untuk makan jika sakit, sehingga pemenuhan
kebutuhan makanan ini harus dibantu agar bisa bertahan melawan wabah influenza.
Kota Bandung seperti tidak terjangkau wabah influenza. Padahal situasi di daerah lainnya terus
memburuk.
Distrik Wlingi di Blitar salah satunya yang mengalami pukulan keras akibat wabah influenza. “De
Preanger-bode” pada 14 Desember 1918 melaporkan wabah influenza yang melanda Distrik Wlingi,
Blitar. Distrik Wlingi dengan penduduk sekitar 200 ribu orang, harus kehilangan 16.700 orang
warganya yang meninggal dalam 40 hari akibat wabah influenza. Tentara pribumi Hindia Belanda
akhirnya harus turun tangan untuk mengerjakan sawah warga karena wabah tersebut menyebabkan
berkurangnya tenaga kerja.
Media masih mengikuti perkembangan wabah influenza di Wlingi. Sebulan kemudian misalnya,
koran berbahasa Belanda “Het nieuws van den dag voor Nederlandsch- Indi ” pada terbitannya
tanggal 14 Januari 1919 menulis laporan panjang dampak wabah influenza di Wlingi dalam berita
berjudul “Verkoop van vee in het Wlingische (Penjualan ternak di Wlingi). Wabah influenza
membuat harga ternak sapi terjun bebas. Penyebabnya karena berlomba-lomba menjual hewan
peliharaannya tersebut karena membutuhkan biaya untuk menggelar upacara “slametan” karena
anggota keluarganya yang meninggal dunia. Adat setempat meyakini upacara “selamatan” tersebut
wajib dilakukan untuk agar penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut tidak mengambil
korban lagi pada anggota keluarganya yang lain. Agar bisa secepatnya mengadakan acara tersebut,
warga terpaksa menjual sapi dengan harga saja dari harga normalnya. Angka penjualan sapi pada
1918 tercatat sebanyak 1.735 ekor, naik drastis dibandingkan angka penjualan sapi pada tahun 1917
yakni 1.594 ekor. Dalam tiga bulan, sejak Oktober 1918 hingga Desember 1918, wabah influenza di
Wlingi menyebakan 4.800 warga pribumi meninggal dunia. Populasi Wlingi saat itu 111.045 orang.
Di awal tahun 1919, media mulai menuliskan dampak wabah influenza atau flu Spanyol tersebut di
Hindia Belanda di sepanjang tahun 1918.
Koran berbahasa Belanda “Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi ” tanggal 13 Januari
1919 dalam berita berjudul “Spaansche influenza” mengutip data yang dilansir oleh “Burgerlijken
Geneeskundigen Dienst”, atau Dinas Kesehatan Sipil Belanda mengenai taksiran korban ji a akibat
wabah influenza di seluruh Hindia Belanda. Data yang ditampilkan adalah perbandingan jumlah
korban meninggal akibat wabah penyakit pada tahun 1917 dan 1918. Pada tahun 1917 korban
meninggal hanya 70 ribu orang, tapi pada 1918 jumlah korban yang meninggal di seluruh Hindia
Belanda melonjak menjadi 486 ribu orang. Lonjakan jumlah kematian di seluruh Hindia Belanda
tersebut diduga disebabkan oleh wabah influenza.
Sepanjang tahun 1919 hanya ditemukan satu berita mengenai terkait wabah influenza di Kota
Bandung. Itu pun hanya disinggung sekilas oleh media berbahasa Belanda yang terbit di Semarang,
yakni “De Locomotief” dalam terbitannya tangggal 3 Mei 1919 di halaman 2 berjudul “Een diefstal-
statistiek” (Statistik Pencurian). Koran tersebut menceritakan polisi Kota Bandung yang
bertumbangan akibat tertular influenza, membuat terkadang hanya separuh polisi yang bertugas
yang berjaga saat malam tiba.
Ada beberapa kemungkinan penyebab minimnya laporan mengenai korban wabah influenza di Kota
Bandung. Antara wabah tersebut memang tidak banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan warga
kota (padahal begitu banyak warga Eropa yang terus berdatangan ke Bandung), atau jumlah
kematiannya yang tersamar oleh penyakit lainnya.
Media berbahasa Belanda yang terbit di Bandung terlihat lebih banyak memberitakan kasus
kematian akibat serangan wabah penyakit lainnya, diantaranya cacar dan kolera. “De Preanger
Bode” pada terbitannya tanggal 11 April 1919 misalnya menerbitkan berita dengan judul “Cholera”
(Kolera). Isi berita tersebut memperingatkan warga Kota Bandung atas ancaman kolera dengan
adanya kasus kematian Ny A karena penyakit tersebut. Korban kolera juga terdeteksi di Kampung
Nangkasoepi. Warga di ingatkan kembali untuk berhati-hati dengan kebersihan makanan dan
minumannya.
“De Preanger-bode” pada terbitan koran itu tanggal 18 Juli 1919 dalam berita pendek berjudul
“Pokken” (Cacar), memperingatkan warga Kota Bandung atas kemunculan penyakit menular
tersebut. Sudah 35 pasien cacar yang di rawat, 3 di antaranya meninggal dunia. Kasus cacar
dilaporkan muncul di Pangalengan, dan Kosambi.
Penjelasan “Inpecteur Burgerlijk Geneeskundigen Dienst” (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Dr. Ch. WF
Winckel yang dikutip dalam berita “De locomotief” tanggal 7 Oktober 1919 berjudul “De BGD”
memberikan gambaran situasi Hindia Belanda dan dampak wabah influenza. Dalam perhitungan
BGD, tingkat kematian di Jawa saat itu 20 per mil. Kasus kematian di Jawa memang terus memburuk
sejak tahun 1916 hingga 1918. Tapi terjadi anomali pada jumlah kasus kematian pada tahun 1918.
Pada tiga kuartal pertama tahun 1918, tingkat kematian masih normal, dan tiba-tiba melonjak di
kuartal empat akibat masuknya flu Spanyol. BGD melansir 118 ribu orang meninggal dunia hanya
dalam satu minggu di Pulau Jawa. BGD mencatat, flu Spanyol menimbulkan malapetaka di
Semarang, Banyumas, Jogja, dan Oostoek yakni sebutan bagi kawasan tapak kuda yang berada di
ujung timur pulau Jawa.
“Di Jawa Barat, bagaimanapun, pada tingkat yang jauh lebih rendah,” kata Winckel, dikutip dari
berita “De locomotief” tanggal 7 Oktober 1919 berjudul “De BGD”.
Ancaman beragam wabah yang masih melanda Hindia Belanda , ditambah kemunculan wabah
influenza di awal tahun 1918 tersebut, sedikitnya membuat Kota Bandung mempercepat pendirian
rumah sakit kota yang akan menjadi andalan warganya. Tapi mewudukan pendirian rumah sakit
tidak gampang. Baru lima tahun kemudian Kota Bandung akhirnya memiliki rumah sakit yang layak
yang dinamai “Het Juliana-Ziekenhuis der Gemeente Bandoeng” (Rumah Sakit Juliana Kota
Bandung).
Rencana membangun rumah sakit mulai dikebut setelah Bosscha dan kawan-kawannya
menghibahkan uang tunai setara 1 ton emas pada pemerintah Kota Bandung. Awalnya rumah sakit
tersebut hendak didirikan di atas lahan di Dagoweg, tapi belakangan dipilihlah lahan di Pasteurweg
(sekarang Jalan Pasteur). Rumah sakit tersebut dibangun di atas lahan seluas hampir 6 hektare,
dirancang oleh Biro Arsitek Algemeen Ingenieursen di Batavia, dan mulai dibangun tahun 1919.
Biaya pembangunan yang asalnya ditaksir sekitar 480 ribu gulden, akhirnya membengkak hingga dua
kali lipatnya. Fisik bangunan rumah sakit sebenarnya sudah rampung sejak tahun 1921 tapi, butuh
beberapa tahun lagi untuk mengumpulkan seluruh peralatan dan isi perut rumah sakit itu agar bisa
mulai beroperasi.
“Het Juliana-Ziekenhuis der Gemeente Bandoeng” akhirnya mulai membuka layanannya pada
tanggal 1 Agustus 1923. Di tanggal yang sama, Rumah Sakit Tjilentah di Jalan Tjilentah (kini Jalan
Karapitan) yang sudah bertahun-tahun melayani warga Kota Bandung akhirnya ditutup, dan 25
pasien yang sedang dirawat di sana dipindahkan dan menjadi pasien pertama rumah sakit baru
dengan segala fasilitas dan pelayanan yang jauh lebih layak. Bangunan eks Rumah Sakit Tjilentah
diserahkan pada polisi Kota Bandung untuk dipakai mendidik calon polisi(.
***
CATATAN KAKI
(1) De locomotief, Een ton voor het Bandoengsch Gemeenteziekenhuis, 29-08-1918
(2) Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi , Een algemeen Ziekenhuis te Bandoeng, 03-06-
1914.
(3) https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Bandung#Berdirinya_Kota_Bandung
(4 De locomotief, Een diefstal-statistiek, 03-05-1919, halaman 2
(5)Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional Jilid 3, 1980
(6) https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3687026/
Pandemi influenza 1918-1919 adalah satu-satunya epidemi jangka pendek paling mematikan di abad
kedua puluh. Untuk Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, perkiraan kematian akibat
pandemi yang paling banyak digunakan adalah 1,5 juta. Kami memperkirakan kematian akibat
pandemi influenza di Jawa dan Madura, rumah bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dengan
menggunakan metode data panel dan data dari beberapa penghitungan populasi empat tahunan
dan dua sensus sepuluh tahun. Perkiraan baru menunjukkan bahwa, untuk Jawa saja, kehilangan
populasi berkisar antara 4,26-4,37 juta, atau lebih dari dua kali lipat perkiraan kematian di seluruh
Indonesia. Kami menyimpulkan bahwa perkiraan sementara kematian akibat influenza di Jawa dan
Indonesia perlu direvisi naik secara signifikan.Kami juga menyajikan temuan baru tentang pola
geografis hilangnya populasi di seluruh Jawa, dan tingkat pertumbuhan populasi pra-pandemi dan
pasca-pandemi.
(7) Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi , Een algemeen Ziekenhuis te Bandoeng, 03-06-
1914
(8) https://metrosemarang.com/de-locomotief-koran-berbahasa-belanda-pembela-politik-etis-
19277
(9) De Preanger Bode, 24-2-1919, “De B.G.D. te Bandoeng”, halaman 1
(10) De influenza heeft ook onder het politie personeel, in het bizonder onder de in landsche
agenten en nachtwakers, hare slachtoffers gehad; gedurende de tweede helft van het jaar 1918 is
het zelfs dikwijls voorgekomen, dat de helft van het aantal nachtagenten hunne diensten niet
hebben kunnen verrichten’ (Influenza juga memiliki korban di kalangan aparat kepolisian, terutama
di kalangan aparat kepolisian dan penjaga malam; selama paruh kedua tahun 1918 bahkan sering
terjadi separuh dari jumlah agen malam tidak dapat melakukan layanan mereka),” dikutip dari
artikel “Een diefstal-statistiek”, De Locomotief, 3 Mei 2019.
(11) “Algemeen Indisch dagblad - de Preangerbode”, 1April-1931.
DAFTAR PUSTAKA
Koleksi Delpher (delpher.nl)
1) "Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi (1 -07-1918), "Da geheimzinnige ziekte heeft
Indië bereikt!"
2) Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi (17-07-1918), halaman 2, "De geheimzinnige
ziekte".
3) "Bataviaasch nieuwsblad" (18-07-1918), halaman 3, "De Epidemie".
4) Het nie s van den dag voor Nederlandsch-Indi (24-7-1918), "De Spaansche influenza".
5) "De locomotief" (29-7-1918), halaman 1, "De pest to Ambarawa".
6) "De Preanger-bode" (1-8-1918), halaman 1, "Influenza".
7) "De Preanger-bode" (23-10-1918), "Besmettelijke ziekten".
8) "De Preanger-bode" (4-11-1918), Halaman 1-2, "Tegen de influenza".
9) Het nie s van den dag voor Nederlandsch-Indi ( -11-1918), "Een gevaar voor de
kazernebewoners".
10) "De Preanger-bode" (4-12-1918), "Influenza en ondervoeding".
11) "De preanger-bode" (14-12-1918).
12) Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi (13-1-1919), halaman 3, "Spaansche
influenza".
13) Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi (14-1-1919), "Verkoop van vee in het
Wlingische".
14) "De Preanger-bode" (11-4-1919), "Cholera".
15) "De locomotief" (3-5-1919), halaman 2, "Een diefstal-statistiek".
16) "De Preanger-bode" (18-7-1919),"Pokken".
17) "De locomotief" (29-8-1918), halaman 2, "Een ton voor het Bandoengsch Gemeenteziekenhuis".
18) “De locomotief”, (7-10-19190, “De BGD”.
19) "Algemeen Indisch dagblad - de Preangerbode" (1-4-1931), "Het Juliana-Ziekenhuis der
Gemeente Bandoeng".
20) "De Preanger-bode" (27-8-1918), halaman 1, "Bandoengsche Zieken-verpleging".
21) Het nieu s van den dag voor Nederlandsch-Indi (3-6-1914), "Een algemeen Ziekenhuis te
Bandoeng".
22) "De locomotief" (29-8-1918), "Een ton voor het Bandoengsch Gemeenteziekenhuis".
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Bandung#Berdirinya_Kota_Bandung
Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional Jilid 3, 1980
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3687026/
Priyanto Wibowo, dkk., “Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”,
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
The Quest of R. Adipati Wiranatakusuma II mencari "Paguyangan Badak Putih"
Oleh: Gan-gan Jatnika R
Berhubung kemarin 25-September-2013,kota Bandung tercinta baru merayakan hari
jadinya ke 203, saya mencoba medongengkan kembali mengenai perpindahan ibukota
Kabupaten Bandung, dari Krapyak (yang sekarang di kenal dengan “Dayeuh Kolot”) ke
lokasi saat ini di alun-alun, yang letaknya di pinggiran Jalan Raya Pos (Groote Postweg).
Lebih tepat menceritakan kembali apa yg sy baca d Buku sih,bukunya Pa Kunto the
infamous "Kuncen Bandung", “Semerbak Bunga di Bandung Raya”.
R.A.Wiranatakusumah II adalah Bupati ke 6 Kabupaten Bandung, yang menjadi Bupati
berdasarkan Besluit tertanggal 20 Oktober 1794 hingga tahun 1829. Dia yang
memindahkan ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak di daerah Dayeuh Kolot ke
dekat Jalan Raya Pos saat ini.
Setelah keluarnya surat perintah Gubernur Jenderal H.W. Daendels tertangal 25-05-1810,
bisa di lihat pada “Plakaatboek” Mr. Van der Chijs jilid XV, yang memerintahkan pada
Wiranatakusumah II selaku Bupati untuk memindahkan ibukota Kabupaten Bandung.
Karena ibu Kota Kabupaten saat itu Krapyak/Dayeuh Kolot letaknya 11km ke arah
selatan Jalan Raya Pos, Wiranatakusumah II diperintahkan memindahkannya ke dekat
Jalan Raya Pos di dekat Cikapundung. Surat perintah ini berlaku juga bagi Bupati
Kabupaten Parakanmuncang.
Tempat pertama yang di pilih adalah Kampung Cikalintu di daerah Bojonagara ,letaknya
saat ini tak jauh dari Masjid Kaum Cipaganti. Mengapa Wiranatakusumah II memilih
Kampung Cikalintu? Tentu ada alasanya tertentu. Setidaknya ada tiga alasan yang
mendasari pemilihan tersebut :
1.Daerah Selatan Bandung atau yang sekarang dikenal daerah di sebelah selatan rel kereta
api, pada awal aband 19, masih berupa rawa-rawa dan tanahnya basah yang tak sehat
lingkungan dan daerahnya. Hal tersebut dijelaskan oleh Dr. Andreas de Wilde seorang
geologis.
2.Pada masa itu letak perkampungan-perkampungan awal memang letaknya di daerah
sebelah utara seperti : Desa Balubur, Kampung Dago, Gadog, Gergerkalong Girang dan
Babakan Bogor. Hal itu diketahui karena penduduk yang tekena kerja “rodi” membangun
Jl. Raya Pos di ambil dari penduduk-penduduk di kampung-kampung tersebut.
3. Kepercayaan orang saat itu, percaya bahwa daerah yang baik untuk di tinggali adalah
bekas tempat berkubang Badak Putih/”Paguyangan Badak Putih”. Itulah mengapa
pertama kali
Wiranatakusumah II memilih Kampung Cikalintu karena tak jauh dari kampung tsb,ada
bekas tempat Badak berkubang yaitu daerah Ranca Badak/Rawa Badak (R.S.Hasan
Sadikin) saat ini.
Namun sebenarnya apa yang di maksud degan "Paguyangan Badak Putih" bukanlah
dalam artian harfiah tempat berkubang Badak putih, namun yang di maksud adalah
“Sumber Air” baik itu yang berupa sungai ataupun mata air. Tapi karena dataran tinggi
Bandung adalah Cekungan bekas Danau purba yang mengering ribuan tahun yang lalu,
tentu banyak memiliki cekungan berair di sana sini. “Paguyangan Badak putih” saat itu
banyak terdapat di daerah Bandung, seperti di daerah Cisitu yang letaknya di belakang
kampus ITB dan di daerah Pamoyanan di mana Badak berseliweran mencari kubangan.
Kembali ke Kampung Cikalintu, juga memiliki beberapa mata air di antaranya di batas
utara Kampung terdapat ‘pancuran tujuh” di Cikendi/daerah Hegarmanah saat ini dan
beberapa mata air alami di daerah Ledeng/ Jalan Setiabudhi sekarang. Wiranatakusumah
II menyadari jika Kampung Cikalintu letaknya masih agak jauh dari Jalan Raya Pos
sehingga dia mencari lahan pengganti (“CiPaganti”) dan memilih tempat lain yaitu daerah
Babakan Bogor/Kampung Bogor (daerah Kebon Kawung saat ini). Babakan Bogor di
pilih juga karen di daerah ini terdapat “Paguyangan Badak Putih” yaitu mata air yang
tidak pernah surut airnya sepanjang tahun, yang bernama mata air Ciguriang. Mata air ini
sangat terkenal khususnya bagi tukang dobi alias binatu (“wasserij”) dari seluruh penjuru
Bandung datang ke mata air ini. Saking ramainya jika malam hari hingga hari menjelang
subuh di daerah Kebon Kawung kita dapat mendengar sayup-sayup nyanyian Sunda yang
di tingkahi bunyi plak blung para binatu yang sedang membating cuciannya di atas
batu,dengan diterangi cahaya obor. Mata air ini mengering sekitar tahun 1982 seiring
dibangunnya sport hall di daerah tersebut.
Namun ternyata daerah Babakan Bogor di rasa masih tidak memenuhi syarat untuk
mendirikan bangunan pendopo Kabupaten dan Alun-alun. Wiranatakusumah II kembali
mencari daerah yang tempat untuk membangun ibukota kabupaten yang baru. Selama
menunggu mencari lahan baru yang tepat,Wiranatakusumah II tinggal dan membangun
rumah di Babakan Bogor, itulah mengapa Wiranatakusumah II ketika hidupnya dikenal
dengan sebutan “Dalem Bogor". Letak pesanggrahan “Dalem Bogor” adalah di Kampung
Balubur Hilir,di sekitar Balai Kota sekarang.
Di manakah letak Babakan Bogor? Sekarang ini daerah tsb lebih di kenal degan sebutan
Kebon Kawung. Mengapa daerah tsb di sebut Babakan Bogor/ Kebon Kawung? Daerah
tsb pada saat itu di penuhi pohon Aren (“Arenga Pinnata”)/Kawung. Kata Bogor dalam
bahas Sunda adalah sebutan bagi pohon Aren yang sudah tidak lagi mengeluarkan air nira
atau sudah tidak dapat di sadap lagi. Akar pohon aren yang punya daya serap tinggi,
sangat cocok untuk melestarikan sumber air.
Setelah mencari akhirnya pilihan jatuh pada derah di sebelah barat tepian Cikapundung,
inilah lokasi yang paling ideal, karena memenuhi baik syarat teknis dan juga memenuhin
syarat mistis. Paguyangan Badak putih tadi, di sekitar daerah ini di temukan mata air,
yang terkenal adalah mata air yang di sebut "Sumur Bandung". "Sumur Bandung" adalah
"sumur sepasang"/”mata air sepasang” yang letaknya satu berada di Gedung PLN saat
ini, yang satu lagi di Gedug bekas firma De Kock Sparkes&Co (Bank Exim). Sebenarnya
ada satu mata air lagi yang letaknya di bawah Gedung Miramar di sebalah timur Alun-
alun. Mata air di gedung firma De Kock Sparkes&Co. di timbun pada saat pembangunan
gedung tsb di awal abad XX. Pada saat awal pembangunan gedung tsb “Meneer” yang
ingin membangun gedung tsb sampai harus menyembelih bebrapa ekor kerbau untuk
‘’permisi” dan “meminta ijin” menutup mata air tsb. Menurut kepercayaan masyarakat
saat itu “tabu” atau “pamali” menutup sebuah mata air.
Kembali ke pemilihan daerah di sebelah barat Cikapundung. Daerah ini secara letak
tempatnya mirip"garuda ngumpluk,tanah hade,bahe ngaler ngetan,deukuet Paguyangan
Badak putih" artinya Daerahnya mirip burung Garuda yang sedang membentangkan
sayap,t anahnya Bagus, membentang barat timur serta dekat dengan bekas kubangan
Badak putih. Pemilihan lokasi pusat kota Bandung pada suatu dataran yang di kepung/di
lingkung Gunung, seperti burung Garuda yang sedang membentangkan sayap, menurut
orang Jawa di sebut “kawula katubing bala” yang artinya kota tersbut akan
memiliki/membawa kemakmuran duniawi serta bakal menjadi kota yang ramai.
Daerah ini pun secara Feng Shui, bagus dan memenuhi patokan "pei shan mien shui"
artinya "d balik pegunungan menghadap air". Sesuai dengan daerah Bandung yang berada
di balik Gunung Tangkuban Prahu dan menghadap Danau Bandung Purba/”Situ Hiang”.
Masyarakat Bali juga memiliki aturan tat bumi seperti Feng Shui yang di sebut dengan
“Asta Bumi” dan “Asta Griya”.
Cerita mengenai pemilihan tempat untuk membangun bangunan pendop Kabupaten,
konon pada suatu malam Wiranatakusumah II, melihat seberkas sinar yang jatuh di lokasi
di mana saat ini bangunan Pendopo Kabupaten Bandung berdiri. Tempat itulah kemudian
yang oleh Wiranatakusumah II di pilih sebagai tempat Pendopo Kabupaten.
R.A.Wiranatakusumah II wafat 1829, dan dimakamkan di belakang Masjid Agung Kaum
Bandung, karena itulah beliau juga di kenal dengan sebutan "Dalem Kaum".
KAPAN HARI JADI CIBIRU
Oleh : Dani Ramdhani, S.E.
Nama Cibiru itu sendiri diambil dari nama sebuah pohon yaitu “Pohon Biru”
yang konon katanya pernah tumbuh di daerah saat ini bisa di sebut RT 04 RW
07 Kampung Cibiru Tonggoh Desa Cibiru wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten
Bandung. Dari akar pohon Biru tersebut keluar mata air yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan sekitarnya.
Cibiru adalah kata mudah atau ejaan dari Bahasa sunda yang artinya Cai – biru
berarti air yang keluar dari mata air, sedangkan pohon Biru bukan berarti air
yang berwarna biru, melainkan Karena keberadaan mata air dari Tangkal /
Pohon Biru tersebut dinamakanlah Kampung Cibiru (yang sekarang disebut
Cibiru) sedangkan nama Cibiru selanjutnya berkembang menjadi nama desa
yaitu Desa Cibiru yang masuk wilayah Kecamatan Ujung Berung Kabupaten
Bandung yang kemudian sesuai perkembangan wilayah Kotamadya Bandung
Cibiru dijadikan nama Kecamatan dan Desa Cibiru lama berubah nama
menjadi Kelurahan Pasir Biru.
Dari peta Negorij Bandung 1726 belum ada nama Cibiru, dari daftar wilayah
districk Oedjoengbroeng kidoel tahun 1811 sudah ada nama kampung Tjibiroe,
akan tetapi di peta di tuliskan Tjipiroe. Dan secara geografis lokasina lebih
kearah selatan dari geografis sekarang atau di sekitar Komplek panyileukan
dekat dengan jalan Tol sekarang. Belum jadi Onderdistrik 13 Februari 1813
resolusi karesidenan yang berlakunya pada saat itu sedangkan pada 10
Agustus 1815. Menetapkan perubahan tata Wilayah, Oedjoengbroeng jadi
District Oedjoengbroeng Kulon dan Distrik Oedjoengbroeng Wetan. 1870
muncul UU reformasi agraria sedangkan di tahun berikutnya pada tahun 1871
muncul kebijakan Reorganisasi Priangan. Dan pada beberapa tahun
berikutnya atau tepatnta di 16 Oktober 1882 Muncul Ordinansi, salah satu
isinya pembagian Wilayah District Oedjoengbroeng Wetan menjadi 4
Onderdistrik :
1. Onderdistrik Oedjoengbroeng
2. Onderdistrik Tjibiroe
3. Onderdistrik Tjibeunjing
4. Onderdistrik Boehbatoe
Dari sumber yang di dapat tepatnya di tahun 2016, kesimpulan sementara.
Penetapan hari jadi Cibiru berlandaskan kepada Ordinansi 16 Oktober 1882.
Sama dengan kecamatan Cibeunying & kecamatan Buah Batu.
Keberadaan Desa Cibiruwetan tidak bisa dilepaskan dari makam keramat
sesepuh desa dan penyi’ar agama islam di wilayah Bandung Timur yang oleh
sebagian besar masyarakat sangat diyakini senantiasa mengayomi (Ngajaga
Ngarikasa) masyarakat dan wilayah Cibiru khususnya Desa Cibiruwetan.
Keberadaan sesepuh desa masih dapat dibuktikan dengan adanya beberapa
makam keramat dan petilasan antara lain:
1. Situs Makam Keramat Embah Landros di Astana Gede RW 11 Kampung
Warunggede.
2. Situs Pabeasan yang diyakini petilasan Nyi Mas Entang Bandung di RW
11Kampung Warunggede.
3. Situs Makam Keramat Eyang Sawi (Ibu Sawi) di RW 05 Kampung Jadaria.
Selain keberadaan makam keramat kekayaan potensi sejarah dan wisata serta
ziarah adalah keberadaan situs Haur Museur di Kampung Garung RW 03
Cikoneng, dan wanawisata serta situs Batu Kuda yang menurut keterangan
para sesepuh setempat batu berbentuk kudu duduk itu adalah jelmaan seekor
kuda tunggangan Prabu Layang Kusumah beserta istrinya yang sampai akhir
hayatnya bertapa di Gunung Manglayang
Beberapa nama yang pernah menjadi Kepala Desa Cibiru diantaranya H.Asy’ari,
M.Partaatmaja, Moh. Daud, M. Sukanda, dan Endang. Pada masa
kepemimpinan / Kepala Desa Endang D. sekitar Tahun 1983/1984 dibentuk
Tim Perumus Pemekaran Desa (TPPD) yang bertugas merumuskan pemekaran
Desa Cibiru . maka sejak bulan April 1984 desa Cibiru resmi dimekarkan
menjadi dua desa yaitu Desa Cibiru Kulon sebagai desa induk dan Desa Cibiru
Wetan sebagai desa hasil pemekaran.
Setelah diberlakukan PP. No. 16 Tahun 1987 Desa Cibiru Kulon berubah nama
menjadi Desa Pasir Biru yang masuk wilayah Kecamatan Cibiru Kota Bandung.
Nama Kecamatan Cibiru diadopsi dari nama Desa Cibiru yang berasal dari kata
Cai-Biru atau air dari Pohon Biru. Setelah dilaksanakan pemekaran Desa
Cibiru, maka sejak tanggal 30 Juli 1984 berdirilah satu Desa baru yang
dinamakan Desa Cibiru wetan. Sebagai pejabat sementara Kepala Desa Cibiru
wetan ditunjuk salah seorang pamong desa dari desa induk yaitu Pak Usman
(sebagai Juru Tulis Desa Cibiru).
Berikut adalah cikal bakal nama cibiru lokasi dan sejarah penamaan cibiru,
yang dimana pada saat ini Cibiru menjadi gerbang masuk ke Kota Bandung dari
arah timur. Ada beberapa destinasi wisata yang berada di daerah cibiru ataupun
Bandung Timur yang dimana tempat wisata itu di topang dengan latar belakang
lahirnya budaya dan peradaban di Cibiru.
Dengan argumentasi tersebut, sangat dimungkinkan jika Cibiru ini merupakan
sisa-sisa peninggalan kepurbakalaan di Kecamatan Cibiru Kota Bandung.
Sebagai bahan untuk penelitian lebih lanjut, perlu sekiranya pemerintah dalam
hal ini dinas kebudayaan dan pariwisata Kota Bandung mengeksplor lebih
dalam lagi dan menggali potensi yang ada.
KESENIAN REAK
Oleh: Giany Fadia Haya
II.1 Sejarah Kesenian Reak
Kesenian Reak merupakan salah satu jenis kesenian helaran yang memadukan
beberapa jenis kesenian tradisional lainnya seperti: seni reog, seni angklung, seni
gendang pencak, seni tari dan seni topeng. Kesenian ini biasanya selalu
dimainkan oleh orang-orang tua atau orang dewasa. Dan memadukan berbagai
jenis kesenian yang menghasilkan suatu bentuk kesenian yang ramai, membuat
hiruk pikuk, sorak-sorai para penonton menjadi bagian dari pertunjukan Seni
Reak ini. Karena hiruk-pikuk dan sorak-sorai dari pemain dan penonton itulah
maka kesenian ini dinamakan kesenian Reak yang diambil dari kata hiruk-pikuk,
atau sorak-sorai gemuruh tetabuhan dalam bahasa Sunda yaitu: “susurakan atau
eak-eakan”, sehingga jadilah kesenian yang hiruk-pikuk dan bergemuruh karena
sorak-sorai ini menjadi kesenian Reak. (Ramdhani, 2014).
Penggunaan kata Reak sebagai nama bagi kesenian ini memang banyak
penjelasannya. Sebagian mengatakan bahwa Reak berasal dari kata Reog, mirip
dengan nama bagi kesenian dari Jawa Timur, terutama Reog Ponorogo. Reak
maupun Reog, menurut sebagian pandangan berasal dari kata Arab riyyuq yang
artinya “bagus atau sempurna di akhir” atau khusnul khatimah. Sebagian lagi
menyatakan bahwa Reak berasal dari kata leak, yakni salah satu symbol kekuatan
jahat dalam tradisi Hindu-Bali, yang menyimbolkan Batara Kala atau ogoh-ogoh.
(Ramdhani. 2014).
Pada awal perkembangannya kesenian Reak sengaja diciptakan untuk menarik
simpati anak-anak yang belum dikhitan (sunat). Hal yang paling prinsip dari
pertunjukan ini adalah keramaian atau kemeriahan agar banyak masyarakat yang
menonton terutama anak-anak kecil. Oleh karena itu, memadukan beberapa jenis
kesenian seperti dikemukakan di atas mempunyai pengaruh agar pertunjukan Seni
Reak ini lebih meriah.
4
Menurut cerita Abah Enjum seorang seniman Reak, Seni Reak lahir sekitar abad
ke-12 dimana pada saat itu Prabu Kiansantang, putera Prabu Siliwangi bermaksud
untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Seperti
kita ketahui bahwa dalam agama Islam setiap laki-laki wajib hukumnya untuk di
khitan (sunat). Namun demikian pelaksanaan khitanan bagi anak-anak ini
mendapat kendala karena si anak selalu merasa ketakutan untuk di khitan (sunat).
Oleh karena itu, para sesepuh (orang yang di tuakan) di Sumedang berpikir
bagaimana caranya agar anak-anak yang akan di khitan tidak takut, maka
diciptakanlah suatu jenis kesenian yang disebut kesenian Reak. Kesenian Reak
berasal dari Kabupaten Sumedang, tepatnya daerah Rancakalong dan berkembang
kedaerah lain seperti daerah Cileunyi, Cibiru, Ujungbrung dan daerah lainnya.
Yang pada mulanya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Kabupaten Sumedang
sekitar tahun 1958. (Putra Siliwangi, 2015).
Adapun prosesi acara dalam kesenian Reak yaitu, Kesenian Reak dipeartunjukan
dari halaman rumah dan berjalan hingga kembali kehalaman rumah. kesenian
Reak di awali dengan ritual sebagai ungkapan Reasa syukur terhadap tuhan Yang
Maha Esa, setelah selesainya ritual kesenian Reak diawali dengan tatabeuhan dan
atraksi kuda lumping serta tarian bangbabangrongan setelah itu Reak
dipertunjukan dengan mengarak anak yang di khitan dengan berjalan keliling
kampung samapai kembali lagi kehalaman rumah, selesai mengarak anak yang di
khitan Reak mempertunjukan tarian dan menyajikan bunyi-bunyian. Puncaknya
dari pertunjukan Reak pemain bangbarongan atau berokan dan kuda lumping
kerasukan roh atau kesurupan (trance). Yang bertujuan sebagai upacara tolak
bala, selesainya acara ditandai dengan berhentinya suara tabuahan instrumen
dalam Reak, dan pembagian sesajen terhadap para pemain Reak. Serta para
pemain Reak yang kesurupan pun mulai disadarkan. prosesi ini dinamakan
pamitan.
5
II.2 Fungsi Kesenian Reak
Menurut Abah Enjum,2014 , Kesenian Reak diadakan pada saat hajat lembur
sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas nikmat yang
diberikan dengan panen yang melimpah, tuturnya. Dikarenakan fungsi awalnya
itu juga, kesenian ini akhirnya dinamai reak. Seiring berjalannya waktu, kesenian
Reak ditampilkan dalam sejumlah hajatan. Seperti, khitanan menjadi pengiring
atau pengarak anak khitanan mengelilingi kampung menggunakan jampana atau
kursi yang bisa digotong. Usai diarak, ketika sampai di rumah anak khitanan
kesenian reak ini dimainkan sebagai hiburan masyarakat sekitar. Selain sebagai
bentuk arak-arakan, kesenian Reak pun merupakan hiburan yang berhubungan
dengan dua alam. Itu terlihat saat beberapa penari kerasukan atau dalam keadaan
tidak sadar. (Ramdhani, 2014).
Gambar II.1 Pengantin sunat yang sedang di arak
Sumber: Dokumentasi pribadi (24 April 2015)
II.3 Pemain Dan Busana
Ciri khas kesenian yang disebut sebagai reak ini adalah untuk menciptakan
suasana keramaian, oleh karena itu, jumlah pemainnya minimal 20 orang sampai
30 orang. Yang terdiri atas: 4 orang pemegang alat reog, 4 orang penggendang
pencak, 4 orang pengangklung, 2 orang penari topeng, 6 orang penari, dan 4 orang
pengecrek. Adapun busana yang dikenakan adalah mengenakan pakain sehari-hari
(apa adanya). Dengan kata lain tidak seragam.
6
Gambar II.2 Pemain dan busana kesenian Reak
sumber: Dokumentasi pribadi ( 26 Mei 2015)
II.4 Alat atau Waditra
Sementara itu alat atau waditra yang dipergunakan oleh pemain meliputi:
1. Dogdog dibuat dari kayu dan kulit
2. Angklung dari bambu
3. Gendang terbuat dari kayu dan kulit
4. Gong terbuat dari besi atau perunggu
5. Terompet dari kayu dan tempurung
6. Topeng terbuat dari kayu dan karung goni.
Gambar II.3 Waditra
sumber: Dokumentasi pribadi ( 26 Mei 2015)
7
II.5 Bentuk Penyajian Kesenian Reak
Gambar II.4 Penyajian kesenian Reak
Sumber: Dokumentasi pribadi (24 april 2015)
Iring-iringan kesenian Reak, dengan berbagai komposisinya, biasanya diarak
berkeliling dari kampung ke kampung, menelusuri jalan raya. Dan seiring
perkembangngannya adapula inovasi lain dalam menampilkan kesenian Reak
yaitu dengan menampilkannya di lapangan terbuka yang disubut dengan Dog-cing
(dog-dog cicing) yang artinya dogdog diam, yang berarti bediam di tempat tanpa
diarak berkeliling.
Dalam prosesnya kesenian Reak dimulai dengan melakukan ritual seorang
pemimpin rombongan atau disebut malim membacakan doa sebagai bentuk
permintaan izin kepada Tuhan, sang pemimpin Reak (malim) biasanya melakukan
ritual tertentu, yang terdiri dari mujasmedi yakni berdo'a kepada hyang widi,
sambil membacakan doa-doa tertentu yang umumnya terdiri dari mantera-matera,
dan membakar kemenyan atau ngukus. Tujuannya adalah upaya untuk meminta
keselamatan selama proses Reak berlangsung.
8
Gambar II.5 Ritual
sumber: Dokumentasi pribadi ( 26 Mei 2015)
Menurut penuturan sang pawang, mereka mengikatkan batin mereka pada “dunia
ruh”, terutama dengan ruh para leluhur untuk mendapatkan wangsit, uga, dan lain
sebagainya. Setelah ritual awal selesai, dimulailah membunyikan instrumen-
instrumen atau tabuh-tabuhan, dengan nada-nada ritmis pembukaan. Pengantin
sunat dan lainnya didudukkan di atas punggung kuda Renggong atau sisingaan.
Sedangkan, Reak penari bertopeng ikut bersama mengikuti keduanya, sambil
menarikan tarian-tarian. Beberapa penari menyebutkan bahwa tarian-tarian
mereka merupakan gerak otomatis atau natural (alami), tergantung pada bawaan
“ruh” para leluhur yang merasuki badan dan jiwa mereka. Dengan kata lain,
mereka kerasukan atau jiwanya dikendalikan oleh “roh” dari dunia lain.
Suara instrumen yang berirama mistis dan nyanyian para sinden sangat nyaring
dan dominan terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Sinden, yang umumnya
terdiri dari dua atau tiga orang, melantunkan beberapa nyanyian sunda, secara
bergantian, terutama nyanyian yang biasa dilantunkan dalam tari jaipongan.
Selain itu nyanyian mereka juga diselingi dengan beberapa nyanyian kontemporer
seperti dangdutan, misalnya.
9
Dengan tarian khas kesenian Reak dengan topeng bangbarongannya sesekali
terdapat orang yang ektase atau istilah lainnya “jadi”, yakni melebur antara
dirinya dengan jiwa atau ruh reak sendiri. Para pemain Reak umumnya dalam
keadaan tidak sadar karena disebabkan oleh suara mistis dari bunyi-bunyian
instrumen dan penghayatan terhadap tari-tari atau gerakan-gerakan tertentu yang
dimainkan.
Gambar II.6 Jadi atau kesurupan (Ektase )
Sumber: Dokumentasi pribadi (24 April 2015)
Disinilah, anomali (keanehan atau tidak seperti biasanya) terjadi. Satu sisi,
sebagian mereka menganggap bahwa kesenian Reak merupakan simbol dari
kejahatan, akan tetapi kerasukan atau melebur antara dirinya dengan ruh jahat,
dianggap sebagai puncak ritual, puncak penyatuan diri, dan puncak ekspresi dari
budaya reak. (Dadan Rusmana, 2011).
Dengan demikian, ektase (penyatuan dengan dunia lain) bagi pemain merupakan
keagungan dan kehebatan. Terlepas dari anomali semantis dan ontologis seperti
itu, fenomena ekstase atau istilah lain adalah “lebur”, merupakan fenomena yang
terus berulang dalam setiap pertunjukan kesenia Reak. Hanya saja, apabila ektase
tersebut mengarah pada ketidaksadaran perilaku yang destruktif atau tidak
terkontrol, maka seorang pawang akan berusaha menyadarkannya kembali.
(Dadan Rusmana, 2011).
10
II.6 Nilai-Nilai Hidup Dalam Kesenian Reak
Adapun nilai-nilai hidup dalam kesenian reak adalah sebagai berikut :
1. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan
budaya para pendahulunya.
2. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang
dapat berjalan secara lancar.
3. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan dan teknik
pemukulan perangkat reak.
4. Nilai kreativitas tercermin dari adanya usaha untuk menampilkan gerak yang
bisa membuat penonton terpingkal-pingkal.
5. Nilai kesadaran tercermin dari pengakuan bahwa manusia tidak lepas dari
kekhilafan sebagaimana yang disampaikan ketua Reak dalam sambutan
pembukaan dan penutupan. (Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Cianjur, 2002).
II.7 Nilai Filosofis Dalam Kesenian Reak
Kesenian Reak ini mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi, nilai filosofis
tersebut terdapat pada bunyi waditra dogdog lima tersebut yaitu: tilingtit, tong,
brung, bangplak dan bedug. tilingtit biasa ditabuh pertama, mengapa dinamakan
tilingtit karena bunyi yang dihasilkan seperti suara “ tilingtingtit tilingtingtit “
begitupun dengan tong suara yang di hasilkan berbunyi “ tong tong tong “ tong
di bunyikan setelah tilingtit. Tidak jauh berbeda dengan brung, bangplak, Dan
bedug, apabila di tabuh waditra brung maka bunyi yang keluar adalah suara
seperti “ brung brung brung “, ketika bangplak dimainkan pun suaranya “bang”
apabila dilepas, dan apabila di tengkep menghasilkan suara plak, ketika menabuh
bedug pun yang keluar hasilnya suara “ dug dug dug” , maka pemeberian nama
waditra tersebut berdasarkan suara yang di hasilkannya. Susunan pola tabuhnya
yaitu pertama tilingtit. Lalu di ikuti oleh tong, brung, bangplak dan bedug .
Dari susunan tersebut mempunyai arti yakni tilingtit yang berarti gera indit gera
indit (cepat pergi cepat pergi), tong memiliki arti entong (jangan), suara dari
waditra brung yang mengartikan embung (tidak mau), bangplak memiliki arti
gera prak (cepat mulai) dan bedug memiliki artian dengan seruan atau perintah
untuk shalat, Jadi apabila digabungkan memiliki arti “ gera indit gera indit, ulah
11
emung ulah embung , prak gera gumamprak ka gusti Allah lamun waktuna geus
shalat” (cepatlah berangkat jangan sampai tidak mau untuk melakukan sahalat
jika telah masuk tanda waktunya untuk shalat). (www.sumedangonline.com, seni
reak)
Dengan demikin kesenian reak merupakan suatu kesenian yang menyimbolkan
pertarungan antara kebaikan dan keburukan, dan merupakan suatu pesan budaya
dari kalangan tua terhadap kalangan muda, agar bisa Kesenian Reak merupakan
media pendidikan budaya, yaitu untuk penanaman nilai-nilai dari kalangan tua
terhadap kalangan muda dan anak-anak. Berbagai instrumen dan komposisi Reak
menyimbolkan tentang pertarungan nilai-nilai kebaikan dan keburukan melalui
tradisi ini, sehingga penanaman nilai-nilai kebaikan tersebut perlu dijaga dan
disampaikan secara nyata (gamblang) maupun secara tertulis. Akantetapi adanya
indikasi ancaman tergerusnya dan menghilangnya kebudayaan kesenian Reak,
seperti apresiasi masyarakat khususnya generasi muda terhadap kesenian reak
cukup minim dan enggan terlibat langsung dalam upaya pelestrian kesenian Reak.
Disamping itu adanya pro dan kontra dimasyarakat antara yang mendukung
pelestariannya dan yang tidak mendukung karena berfikir bahwa seni tradisi ini
mengandung unsur magis dan dianggap musyrik.
II.8 Persepsi masyarakat terhadap pelestarian kebudayaan kesenian Reak
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kesenian Reak maka dilakukan
penyebaran kuisioner pada tanggal 19 Desember 2014 kepada 30 orang
responden secara acak kepada pelajar SMA dan Mahasiswa yang berada di
daerah kota Bandung tepatnya di desa Pasirbiru, kecamatan Cibiru Bandung,
dikarnakan daerah tersebut merupakan salah satu daerah tempat berkembangnya
kesenian Reak. dengan pertanyan dan hasil kuisioner sebagai berikut:
12
1. Masyarakat yang mengetahui dan tidaknya kesenian Reak.
ya tidak
25%
75%
Gambar II.7 Mayarakat yang mengenal dan tidaknya kesenian Reak
Masyarakat yang mengenal kesenian Reak berdasarkan jawaban kuisioner,
sebanyak 75% mengetahui kesenian reak, itu berarti kesenian Reak masih punya
eksistensi bagi para penikmatnya. Akan tetapi pada umumnya mereka hanya
mengetahui keberadaan kesenian Reak tersebut tanpa mengetahui nilai-nilai yang
ada dalam kesenian Reak tersebut, dengan kata lain mereka hanya mengetahui
hiburan yang disuguhkan dalam Kesenian Reak, oleh karena itu banyaknya
oknum yang mabuk dalam kesenian Reak dikarnakan kurangnya edukasi dan
pengenalan nilai-nilai dalam kesenian Reak. dan sebanyak 25% tidak
mengetahui ini merupakan angka yang lumayan cukup besar dikarnakan tidak
adanya suatu media yang dapat meng informasikan tentang kberadaan kesenian
Reak tersebut .
13
3. Setiap masyarakat yang mendukung pelestarian kesenian Reak sebagi salah
satu kesenian budaya Jawa Barat.
ya tidak
33% 67%
Gambar II.8 Dukungan masyarakat terhadap kesenian Reak
Dukungan masyarakat terhadap kebudayaan kesenian Reak berdasarkan jawaban
kuisioner, sebanyak 67% mendukung terhadap pelestarian kesenian Reak. Ini
merupakan angka yang sngat bagus bahawa pada adasarnya masyarakat masih
mempunyai rasa kecitaannya terhadap kebudayaan tradisi seperti kesenian Reak
pada khususnya. Sedangkan 33% tidak mendukung terhadap kesenian Reak, ini
disebabkan kurangnya informasi mengenai niliai-nilai yang ada dalam kesenian
Reak terhadap masyarakat dalam, sehingga perlu diadakannya suatu media yang
dapat menginformasikan keberadaan kesenian Reak serta nilai-nilai yang ada
dalam kesenian Reak,
14