ISSN 2085-2975
Vol 10, No. 1, Maret 2016
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam Dan Tantangan Modernitas
Zaedun Na’im
Blueprint Gerakan Deradikalisasi Agama Di Sekolah
M. Yusuf Agung. S, dkk.
Model Pengembangan PAI Di Perguruan Tinggi
Moh. Mansur Fauzi
Kontekstualisasi Trial And Error Learning
Zaitur Rahem
Kepemimpinan Pendidikan Dalam Al-Qur’an
Rosidin
Strategi Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan
Zakiyah Kholidah
Diterbitkan oleh :
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
ISSN 2085-2975
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
VOLUME 10, NOMOR 1, MARET 2016
ISSN 2085-2975
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
Dewan Redaksi
Kasuwi Saiban
STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang
Muzammil Qomar
STAIN Tulungagung
Rofi’udin
Universitas Negeri Malang
Zainuddin
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Arif Zamhari
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pemimpin Redaksi
Handoko
Wakil Pemimpin Redaksi
M. Yusuf Agung Subekti
Redaktur
Rahmatullah
Moh. Mansur Fauzi
Zen Amrullah
Muh. Rodhi Zamzami
Desain Grafis
A. Qomarudin
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
Alamat: Jl. Cengger Ayam 25, Malang 65141
email: [email protected]
ii
ISSN 2085-2975
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
VOLUME 10, NOMOR 1, MARET 2016
EDITORIAL
Problematik pendidikan Islam selalu menjadi topik diskusi yang
menarik para pakar pendidikan khususnya pakar pendidikan Islam untuk
memahami situasi dan posisi pendidikan Islam saat ini serta mencari
format bagi pengembangan pendidikan Islam di masa mendatang.
Jurnal Pendidikan Islam TA’LIMUNA yang dikelola oleh Sekolah
Tinggi Agama Islam Ma’had Aly Al-Hikam Malang edisi kali ini
mengangkat persoalan interaksi dan adaptasi pendidikan Islam dengan
perkembangan modern. Perkembangan sain dan teknologi modern yang
dibarengi dengan perubahan sosio-kultural masyarakat memunculkan
berbagai respon dan reaksi dari kalangan umat Islam. Mulai dari sikap
akomodatif terhadap perkembangan dunia modern hingga reaksi keras
dari kelompok muslim ekstrimis. Artikel “Blueprint Gerakan
Deradikalisasi Agama Di Sekolah” yang ditampilkan oleh M Yusuf Agung S
merupakan hasil penelitian partisipatoris yang melibatkan beberapa
sekolah di wilayah Malang ini menarik untuk disimak oleh para
pemerhati gerakan radikalisme serta kaitannya dengan dunia
pendidikan.
Salah satu faktor penting dalam pengembangan pendidikan adalah
manajemen dan kepemimpinan. Keduanya merupakan prasyarat utama
gdalam mewujudkan terlaksananya pendidikan yang ideal. Artikel
tentang “Kepemimpinan dalam Al-Qur’an” kiranya dapat menjadi bahan
pemikiran untuk mengetahui sosok pemimpin ideal yang digariskan
dalam kitab suci al-Qur’an. Gambaran sosok Pemimpin Pendidikan ideal
ala “bayani” ini perlu ditindaklanjuti dengan upaya mencari model real
dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.
Seluruh artikel yang diunggah dalam jurnal edisi ini, diharapkan
bisa memberi sumbangsih bagi perkembangan dan pengembangan
lembaga pendidikan Islam sekaligus memperkaya khasanah pendidikan
Islam di Indonesia.
Tim Redaksi
iii
ISSN 2085-2975
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
DAFTAR ISI
Pendidikan Islam Dan Tantangan Modernitas
Zaedun Na’im
1 - 18
Blueprint Gerakan Deradikalisasi Agama Di Sekolah
M. Yusuf Agung. S, dkk.
19 - 36
Model Pengembangan PAI Di Perguruan Tinggi
Moh. Mansur Fauzi
37-59
Kontekstualisasi Trial And Error Learning
Zaitur Rahem
61-74
Kepemimpinan Pendidikan Dalam Al-Qur’an
Rosidin
75-88
Strategi Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan
Zakiyah Kholidah
89-99
iv
ISSN 2085-2975
TA’LIMUNA
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM
KONTRIBUTOR
Pendidikan Islam Dan Tantangan Modernitas
Zaedun Na’im
Blueprint Gerakan Deradikalisasi Agama Di Sekolah
M. Yusuf Agung. S, dkk.
Model Pengembangan PAI Di Perguruan Tinggi
Moh. Mansur Fauzi
Kontekstualisasi Trial And Error Learning
Zaitur Rahem
Kepemimpinan Pendidikan Dalam Al-Qur’an
Rosidin
Strategi Kepala Madrasah Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan
Zakiyah Kholidah
v
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS
Oleh: Zaedun Na’im, M.Pd.1
Abstract
Nowdays, the education in a great need of reformulating its
philosophical basis due to the rapid changes and development
of science and technology in the global era. The modernization
movement in Islamic education should also consider this
change and development. First, Islamic education needs to
evaluate the very basis of its educational philosophy; i.e goal
and aim of education. Second, in term of institution, Islamic
educational institution should develop a creative educational
organization and culture based on Islamic values and tradition.
Keywords: Islamic education, Modernity, Human resources
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa
perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia di mana berbagai
permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan
dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi
kehidupan manusia, di satu sisi, perubahan tersebut juga telah membawa
manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar
mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita
perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia
merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah,
intensif, efektif dan efisien.
Pada masyarakat era informasi peranan media elektronik sangat
memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan.
Penggunaan teknologi elektronik seperti komputer, internet, dan
sebagainya telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang
bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat
internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat
komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki informasi
1 Penulis adalah Dosen STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang
dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara
lisan, tulisan, bahkan secara visual.
Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang
berorientasi ke masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan
menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang
di miliki masyarakat modern. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat
satu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu, baik dalam bidang sosial,
budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Masa depan yang demikian itu
selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi
kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana
dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan.
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam
1. Definisi Pendidikan Islam
Definisi pendidikan dari segi bahasa adalah kata yang berasal dari
bahasa arab “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran
dalam bahasa Arabnya adalah “Ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”.
Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”.2
Sedangkan dalam bahasa Inggris pendidikan adalah berasal dari kata
“Education” yang mempunyai arti knowledge resulting from teacher or
training.3
Dari segi istilah Pendidikan adalah proses untuk memberikan
manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.4
Adapun pengertian pendidikan Islam ialah proses pembimbingan,
pembelajaran,dan atau pelatihan terhadap manusia agar nantinya
menjadi orang Islam yang berkehidupan serta mampu melaksanakan
peranan dan tugas-tugas sebagai muslim.5
Ada tiga unsur utama yang harus terdapat dalam proses
pendidikan, yaitu :
a. Pendidik (orang tua, guru/ustadz/dosen/ulama/pembimbing);
b. Peserta didik (anak/santri/mahasiswa/mustami);
c. Ilmu atau pesan yang disampaikan (nasihat, materi pelajaran/kuliah/
ceramah/ bimbingan).
2 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 h. 25
3 Pearson Education, Longman Handy Learner’s Dictionary Of America English,
(Edinbourgh: Library Of Congress Cataloging, 2003). h.131
4 Nurani Suyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Jakarta: Ar-Ruz Media, 2010).h.27
5 Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu
Pengantar Ilmu Pendidikan Islam), (Surabaya : Karya Aditama, 1996). h.7
2
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
Selain itu, ada tiga unsur lain sebagai pendukung atau penunjang
dalam proses pendidikan agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan,yaitu:
a. Tersedianya sarana prasarana yang memadai; yaitu berupa ruangan,
bangunan atau tempat tertentu misalnya ruangan kelas bangunan
sekolah, perpustakaan, masjid, laboratorium, museum, koprasi dan
lain sebagainya.
b. Metode yang menarik
Peran metode dalam pendidikan sangatlah penting. Sehubungan itu
agar menggunakan metode yang menarik perhatian peserta didik.
Misalnya dalam pemberian nasehat atau ceramah yang diselingi oleh
kisah-kisah para Nabi, sahabat, atau orang-orang salih. Juga
hendaknya jangan hanya menggunakan suatu metode, tetapi gunakan
juga metode yang lainya. Lebih baik lagi apabila dengan disertai
penggunaan alat peraga.
c. Pengelolahan atau manajemen yang profesional. Untuk mencapai hasil
pendidikan sesuai yang diharapkan maka diperlukan pengelolaan atau
manajemen yang profesional.6
2. Tujuan Pendidikan Islam
Setiap upaya guru dalam proses pendidikan diatur oleh tujuan
tertentu, apapun jenis tujuan itu. Kejelasan tujuan yang terlihat pada
rumusan dan definisinya berpengaruh terhadap kemungkinan
keberhasilan pencapaiannya.
Pendidikan Islam berhubungan erat dengan agama Islam itu
sendiri lengkap dengan akidah syariat dan sistem kehidupannya.
Keduanya ibarat dua kendaraan yang berjalan di atas dua jalur seimbang,
baik dari segi tujuan maupun rambu-rambu yang disyaratkan bagi hamba
Allah yang membekali diri dengan taqwa, ilmu, hidayah, serta akhlak
untuk menempuh perjalanan hidup.7 Diantara beberapa tujuan
pendidikan Islam antara lain :
a. Menetapkan akidah tauhid sebagai pandangan manusia yang paling
tinggi terhadap Allah dan mengatur kehidupan individu dan
masyarakat muslim
b. Memperhatikan nilai-nilai Islam dan mendidik anak-anak dengan
perilaku-perilaku dan akhlak yang mulia, seiring dengan pengetahuan
6 Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2005).h.15
7 Hery Noer Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska Agung
Insani,2003). h.111
3
Pendidikan Islam dan Modernitas
terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an hadits-hadits Nabi dan sejarah ke-Nabi-
an.
c. Mendidik seorang muslim untuk menjadi orang yang benar-benar
amanah dan bertanggung jawab dalam setiap perkataan dan
perbuatan.
d. Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berfikir logis dan berfikir
ilmiah bagi seorang muslim sehingga ia dapat berfikir secara jernih
tentang Sang Maha Pencipta dan tanda-tanda kebesaran-Nya di muka
bumi.
e. Membentuk seorang muslim yang mencintai pekerjaan yang mulia
dalam segala aspek dan menyadarkan seorang muslim terhadap
bentuk relasi kemanusiaan dilingkungan keluarga dan masyarakat.
f. Menyingkap sisi peradaban dalam Islam, dengan membuktikan bahwa
Islam merupakan sumber hukum dalam setiap waktu dan tempat.
g. Menjauhkan seorang muslim dari aliran-aliran pemikiran yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang bersumber dari konsep al-
Qur’an dan sunah Nabi.8
B. Peluang dan Tantangan Pendidikan Islam
Membahas peluang dan tantangan pendidikan Islam di sini, lebih
ditekankan pada pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-
lembaga pendidikan. Sebagaimana diketahui, pendidikan Islam
diselenggarakan di lembaga pendidikan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Akan tetapi sorotan mengenai peluang dan tantangan
pendidikan Islam kali ini lebih terkait dengan pendidikan Islam yang
diselenggarakan di lembaga pendidikan sekolah. Meski demikian, sekilas
tentang kajian peluang dan tantangan pendidikan Islam di lembaga
pendidikan keluarga dan masyarakat tidak diabaikan sama sekali.
Peluang pendidikan Islam adalah sesuatu hal atau kondisi yang
seharusnya ditangkap, diraih, dan dimanfaatkan oleh pendidikan Islam
dalam rangka pelaksanaan dan implementasi misi dan tujuan
menyongsong masa depan yang ditandai dengan era informasi,
globalisasi dan kompetisi. Sementara tantangan pendidikan Islam adalah
sesuatu hal atau kondisi yang menantang, yang harus diantisipasi oleh
pendidikan Islam agar mampu melaksanakan dan mengimplementasikan
misi dan tujuan. Jika suatu tantangan mampu diantisipasi atau dihadapi
dengan baik, seringkali tantangan itu menjadi peluang yang berdaya
guna. Sebaliknya jika tidak mampu menghadapinya dengan baik,
8 Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim, (Kairo : Darut-
Tauzi’wan-Nsyril Islamiyah, 2003) di terjemahkan oleh Abdilllah Obid dan Yessi HM.
Basyaruddin, Jaksel : Mustaqim, 2004. h.35
4
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
seringkali menjadi kendala yang sangat mengganggu upaya pelaksanaan
dan implementasi misi dan tujuan pendidikan Islam.9
Lebih lanjut, terdapat beberapa peluang yang dimiliki oleh lembaga
pendidikan Islam dewasa ini, antara lain sebagai berikut :
1. Peningkatan fungsi dan peranan. Sebagaimana diketahui beberapa
tahun belakang (era awal-awal Orde Baru dalam konteks Indonesia)
fungsi dan peran pendidikan Islam sangat terbatas, dan kadang-
kadang terjadi diskriminasi. Output-nya sulit diterima pada jenjang
pendidikan tertentu atau status dan kemampuannya diragukan pada
lapangan kerja tertentu. Akan tetapi sejak diberlakukannya UU Nomor
21 Tahun 1989 (sepertiga terakhir era Orde Baru) dengan berbagai
peraturan dan penjabarannya, fungsi dan peranan lembaga
pendidikan Islam mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
sudah diperluas bahkan sudah terbuka lebar. Oleh karena itu, peluang
ini harus diraih dan didayagunakan oleh segenap potensi
penyelenggara pendidikan Islam.
2. Peningkatan persaingan dan antisipasi agama. Selaras dengan era
globalisasi millennium III yang penuh kompetisi dan persaingan, di
mana pemikiran manusia semakin berkembang dan temuan
pengetahuan semakin meluas serta rasionalitas pemikiran manusia
semakin tinggi, maka disadari atau tidak kompleksitas kehidupan
manusia akan semakin tinggi pula, bahkan kebingungan kehidupan
akan membelenggu sebagian orang. Dalam kondisi seperti ini
diperlukan terapi jitu yang mampu meng-counter atau mengantisipasi
berbagai dampak negatif dari kompleksitas dan kebingungan hidup
tadi. Salah satu terapi yang dipandang cukup ampuh justru melalui
pendekatan, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai agama.
Persoalannya, dalam kondisi yang serba rasional, orang menjadi tidak
mudah menerima konsep agama. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
Islam harus mampu menggali dan mengetengahkan konsep agama
secara komprehensif baik kepada peserta didiknya maupun kepada
masyarakat luas.
3. Pengembangan kelembagaan. Peluang dan kesempatan peningkatan
fungsi dan peranan lembaga pendidikan Islam dalam pembangunan
dan pembinaan masyarakat seharusnya mendorong umat Islam
(terutama pengelola pendidikan Islam) untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualitas kelembagaan pendidikan. Peluang
pengembangan dan peningkatan kualitas kelembagaan paling tidak
memiliki dua sasaran utama, yaitu perluasan bidang/sasaran garapan
9 Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005).
5
Pendidikan Islam dan Modernitas
dan peningkatan kualitas proses serta output (hasil) pendidikan.
Peluang seperti ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bila
tidak, lembaga pendidikan Islam tidak akan mampu berkompetisi,
sehingga pada akhirnya akan ditinggalkan umat.
4. Kerjasama. Di era globalisasi yang penuh kompetisi, sangat sulit bagi
suatu kelembagaan termasuk kelembagaan pendidikan dapat berjalan
dan berkembang sendiri tanpa mau terlibat dan melibatkan pihak lain.
Ini berarti solusi utamanya adalah harus mampu menciptakan
kerjasama kelembagaan yang saling menguntungkan. Sikap eksklusif
terhadap pihak luar tentu tidak menguntungkan, namun jalinan
keterbukaan dan kerjasama yang dikembangkan harus memiliki
batas-batas kewajaran sehingga tidak akan mengganggu atau
menghilangkan misi dan tujuan utama pendidikan Islam.
Sementara itu tantangan yang harus diantisipasi oleh pendidikan
Islam -antara lain- sebagai berikut.10
1. Pengembangan dan peningkatan kualitas kelembagaan. Agar dapat
meningkatkan fungsi dan peranannya, pendidikan Islam harus
memiliki kelembagaan yang representatif dan kualitatif. Oleh karena
itu, pengembangan kelembagaan sesuai dengan bidang
keahlian/keilmuan yang dihendaki merupakan salah satu tantangan
yang harus mampu di atasi. Selain itu, peningkatan kualitas
kelembagaan seperti keahlian, keterampilan, tanggung jawab, etos
kerja sumber daya manusia, input, sistem manajemen dan reorientasi
kurikulum serta fasilitas/sarana-prasarana dan sebagainya menjadi
tantangan yang mendesak untuk segera di atasi.
2. Persaingan antar lembaga merupakan realitas objektif yang tidak bisa
dihindari. Persaingan kelembagaan secara kualitatif bukan hanya
terjadi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum, tetapi
antar sesama lembaga pendidikan Islam pun terjadi persaingan.
Persaingan harus dijadikan dorongan peningkatan kualitas
kelembagaan pendidikan Islam agar mampu menghadapi persaingan
itu sendiri. Jadi persaingan tidak boleh dijadikan kendala yang
ditakuti, karena bila itu terjadi dan menyelimuti pandangan para
pengelola pendidikan Islam, maka lambat laun pendidikan Islam
bersangkutan akan kehilangan kemampuan daya saing dan dengan
sendirinya akan terkubur, dalam arti ditinggalkan calon peserta didik.
3. Pengelolaan kelembagaan. Profesionalitas pengelolaan (manajemen)
kelembagaan pendidikan Islam menjadi tantangan tersendiri bagi
umat Islam. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa secara umum
10 Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005) h.45
6
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
kelembagaan pendidikan Islam banyak yang dikelola secara tidak
profesional, manajemen yang asal-asalan, dan roda perjalanan
pendidikan yang ”asal jalan”, tanpa rumusan perencanaan ke depan
yang jelas. Memang tidak semuanya, namun hal ini menjadi fenomena
umum. Oleh karena itu, tantangan ini harus diatasi, dan pengelolaan
lembaga pendidikan Islam harus diperbaiki dari segi profesionalitas.
4. Kemandirian. Salah satu indikator sebuah lembaga pendidikan Islam
yang berkualitas, yang mampu menghadapi persaingan adalah
memiliki kemandirian. Kemandirian yang ditampilkan dalam
performance yang menarik bagi lembaga pendidikan Islam merupakan
daya pikat tersendiri dalam meraih calon peserta didik sebagai pangsa
pasar pendidikan. Kemandirian lembaga pendidikan Islam bukan
hanya dilihat dari sisi pemenuhan sarana-pra sarana saja, tetapi juga
dari sisi pengelolaan lembaganya –meski tetap terbuka untuk
kerjasama. Tantangan akan kemandirian lembaga harus bisa diatasi
oleh lembaga pendidikan Islam.
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat
Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang
merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang
bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai
waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi
ditandai oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing,
serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi
peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.11
Teknologi modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular
dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya
televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok
orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-
nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang
oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut.
Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi
global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan
Islam dalam memberikan kriteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan
buruk, antara kebenaran.12
Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi,
yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang
tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para
saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada kesejahteraan
11 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di
Indonesia, (Jakarta : Prenada Media Group, 2003). h.91
12 http://cairudin.blogspot.com/p/aplikasi-pendekatan-konstruktivistik.html
7
Pendidikan Islam dan Modernitas
umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk
kebaikan seluruh umat manusia.
Globalisasi sebagai akibat dari kemajuan di bidang informasi
sebagaimana di sebutkan di atas terhadap peradaban dunia merujuk
kepada suatu pengaruh yang mendunia. Demikian pula keterbukaan
terhadap arus informasi yang menyangkut perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi ini memberikan
dampak terhadap lingkungan masyarakat. Berbagai perkembangan dan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti kemajuan
teknologi komunikasi, informasi, dan unsur budaya lainnya akan mudah
di ketahui oleh masyarakat. Dalam kontek ini, pendidikan sebagaimana
dinyatakan Amir Faisal, harus mampu menyiapkan sumber daya manusia
yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi harus
memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengelolah, menyesuaikan
dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui informasi itu,
yakni manusia yang kreatif dan produktif.
Dalam era globalisasi dan industrialisasi, peran pendidikan tidak
terfokus hanya pada penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai
saja, mengingat kecenderungan yang terjadi dalam dunia kerja sangat
cepat berubah dalam era ini. Sebaliknya, pendidikan harus menyiapkan
sumber daya manusia yang mampu menerima serta menyesuiakan dan
mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.13
Beberapa peluang di atas bisa menjadi tantangan apabila tidak
dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, beberapa tantangan di atas akan
berubah menjadi peluang strategis ketika bisa antisipasi dan atasi dengan
baik. Tantangan dalam bentuk apapun dan dari manapun datanganya,
perlu direspon dengan baik dan diapresiasi secara positif, agar bisa
berubah menjadi suatu peluang untuk memajukan dan mengembangkan
pendidikan Islam kontemporer.
C. Problematika Dan Modernitas Pendidikan Islam
1. Problematika Pendidikan Islam
Pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M.
merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi
Napoleon tersebut bukan hanya menunjukkan kelemahan umat Islam,
tetapi sekaligus menunjukkan akan kebodohan mereka. Ekspedisi
Napoleon tersebut disamping membawa pasukan tentara yang kuat, juga
13 Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995). h.131
8
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
membawa sepasukan ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah
untuk mengadakan penelitian di Mesir.14 Hal ini membuka mata kaum
Muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga timbul
berbagai macam usaha pembaharuan (modernisasi) dalam segala bidang
kehidupan di kalangan umat Islam untuk mengejar ketertinggalan atau
keterbelakangan mereka, termasuk usaha–usaha di bidang pendidikan.15
Beberapa sebab yang melemahkan pengembangan pemikiran dan
pendidikan di dunia Islam antara lain sebagai berikut:
a. Umat Islam terutama para pemerintahnya (Khalifah, Sultan, Amir) –
pada masa pertengahan- melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, dan kurang –untuk tidak mengatakan tidak- memberi
kesempatan bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Kalau pada mulanya para pemegang pemerintahan sangat
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan
memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu
pengetahuan, maka pada masa kemudian (pertengahan) menurun dan
melemah. Para ahli ilmu pengetahuan pada umumnya juga terlibat
dalam urusan–urusan pemerintahan, sehingga melupakan usaha
pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Terjadi pemberontakan–pemberontakan di kalangan internal umat
Islam dan disertai dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan
kehancuran–kehancuran yang mengakibatkan berhentinya
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.
Sementara itu obor pemikiran Islam berpindah ke tangan kaum
Masehi (dunia Barat dan Eropa). Mereka (kaum Masehi) telah
mengikuti jejak kaum muslimin dan menggunakan hasil buah
pemikiran yang mereka peroleh dan capai dari pemikiran-pemikiran
umat Islam.16
2. Modernitas Pendidikan Islam
a. Pengertian Modernitas
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak selalu memainkan peran
ideal bagi pemeluknya. Dalam rangka menghadapi realitas sosial dan
kultural, Islam tidak selalu mampu memberikan jawaban yang
diharapkan para pemeluknya. Kenyataan ini banyak terkait dengan sifat
ilahiah dan transendensi Islam, berupa ketentuan-ketentuan normatif-
dogmatif. Di sini sering terjadi semacam "pertarungan teologis" antara
keharusan memegang doktrin yang bersifat normatif dengan keinginan
14 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). h.30
15 Tim Ditbinpertais, 1986. h.116
16 Fuad M. Fachruddin, 1997. h.161-164
9
Pendidikan Islam dan Modernitas
memberikan pemaknaan baru terhadap doktrin tersebut agar tampak
historisitasnya. Pertarungan ini pada gilirannya memunculkan konflik
teologis, intelektual, dan sosial di kalangan kaum Muslim secara
keseluruhan. Kenyataan ini mewarnai munculnya gerakan modernisasi
dalam Islam–termasuk dalam pendidikan Islam.17
Harun Nasution berpendapat bahwa pembaruan mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-
istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Pengertian pembaruan ini mempunyai implikasi
bahwa pembaruan dalam Islam muncul semenjak terjadinya kontak Islam
dengan Barat, di mana Barat pada waktu itu telah mengalami kemajuan
pesat dalam bidang industrialisasi sebagai akibat dari lahirnya Revolusi
Industri di Prancis.18
b. Modernitas dalam Islam
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan cendekiawan
Muslim tentang konsep dan batasan pembaruan, sesungguhnya
pembaruan dalam Islam mempunyai watak dan karakteristik tersendiri.
Gagasan dan ide pembaruan Islam muncul sebagai upaya interpretasi
kaum Muslim terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam rangka
menghadapi berbagai perubahan sosial-kultural yang terjadi dalam setiap
waktu dan tempat. Dengan demikian, pembaruan Islam sesungguhnya
memiliki landasan normatif-teologis yang berasal dari sumber-sumber
ajaran Islam.
Sungguh banyak nash, baik al-Quran maupun al-Sunnah yang
menganjurkan agar kaum Muslim melakukan pembaruan. Di dalam
surat al-Ra'd (131 ayat 11), misalnya, disebutkan bahwa Allah tidak
akan mengubah kondisi suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang
mengubahnya. Firman ini secara teologis dapat dijadikan landasan bagi
aksi pembaruan yang dilakukan kaum Muslim. Pola pikir dan pola sikap
suatu kaum mesti mengalami perubahan. Perubahan ini tentu
bersifat internal, dalam arti dimulai dari kemauan kaum itu untuk
mengubahnya, untuk dihadapkan pada situasi sosial-budaya yang ada
pada masanya. Iqbal dalam konteks ini menyatakan bahwa pola pikir
dan sikap pandang kaum Muslim yang menyimpang dan tidak sesuai
dengan esensi Islam mesti diperbarui. Pembaruan itu dilakukan dengan
jalan mengembalikan pola dan sikap tersebut kepada pangkal
kemurnian Islam, yaitu bersumber dari al-Quran dan al-Hadith. Dalam
salah satu hadith yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah telah bersabda:
17 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006). h.150
18 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1991). h.11
10
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
"Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap permulaan seratus
tahun seorang atau kelompok yang akan melakukan pembaruan bagi
agamanya."
Menurut Toto Suharto, dari kedua hadith di atas, paling tidak
muncul tiga pertanyaan yang berkaitan dengan pembaruan Islam.
Pertama, kapan pembaruan itu dilakukan? Kedua, siapa yang melaku-
kan pembaruan? Ketiga, apa yang perlu diperbarui? Dalam menjawab
pertanyaan pertama, ada dua pendapat yang muncul ke permukaan.
Pendapat pertama, pembaruan Islam terjadi dan dihitung dari kelahiran
pembaru (mujaddid).19 Pendapat ini kiranya sulit dipahami, karena
dari sekian pembaru yang ada, kebanyakan mereka meninggal pada
awal setiap abad. Pendapat kedua, pembaruan dihitung dari tanggal
kematian pembaru (mujaddid). Hal ini sesuai dengan tradisi
penulisan biografi dalam sejarah Islam, yang biasanya hanya menunjuk
tanggal kematiannya. Dari kedua pendapat yang berbeda ini, muncul
pendapat ketiga yang berupaya menyintesiskan keduanya. Pendapat ini
menuturkan bahwa yang terpenting tentang kapan pembaruan itu
dilakukan adalah bahwa pembaru (mujaddid) itu hidup di abad yang
dimaksud.
Selanjutnya, tentang siapa yang melakukan pembaruan,
pertanyaan ini dapat dijawab, bahwa yang melakukan pembaruan itu
adalah man (orang atau manusia). Terma man dapat dipahami secara
tunggal dan plural. Secara tunggal, yang melakukan pembaruan berarti
seorang pembaru atau bersifat perorangan. Sedangkan secara plural, yang
melakukan pembaruan berarti suatu kelompok atau golongan. Dengan
demikian, pembaruan Islam kiranya dapat dilakukan secara individual
oleh seorang pembaru dan dapat pula dilakukan secara komunal oleh
suatu kelompok atau golongan.
Mengenai pertanyaan tentang kajian pokok (tema sentral)
pembaruan dalam Islam, tema sentral pembaruan Islam adalah hal-hal
yang berkaitan dengan inti ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam lintasan
sejarah Islam, tema sentral pembaruan senantiasa mengarah kepada
prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan berhasilnya penelusuran terhadap
landasan normatif bagi ide dan gagasan pembaruan Islam, dapat
dikatakan bahwa pembaruan merupakan sebuah bentuk implementasi
dari ajaran Islam. Pembaruan sebenarnya merupakan tema yang
sudah lama muncul dalam kehidupan kaum Muslim. Kenyataan
membuktikan bahwa gerakan pembaruan Islam senantiasa muncul
dalam berbagai bentuk yang beragam. Semua bentuk itu merupakan
19 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006). h.170-171
11
Pendidikan Islam dan Modernitas
respons dan jawaban kaum Muslim atas segala persoalan yang mereka
hadapi dalam waktu dan tempat tertentu.20
c. Modernitas Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan media strategis dalam melaksanakan
gerakan pembaruan Islam. Fungsi pendidikan dalam hal ini bukan hanya
menghilangkan buta huruf atau membentuk watak suatu masyarakat.
Lebih dari itu, melalui pendidikan diharapkan terjadi perubahan-
perubahan di segala bidang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah gerakan
pembaruan selalu menjadikan bidang pendidikan sebagai target
utamanya. Keberhasilan di bidang ini akan menentukan keberhasilan
modernisasi di bidang-bidang lainnya.
Universalitas Islam yang selalu menuntut diaktualisasikannya nilai-
nilai Islami dalam kehidupan nyata merupakan pokok dan pangkal
perlunya dilakukan modernisasi dalam bidang pendidikan. Hal ini
terutama setelah terjadinya kontak Islam dengan dunia Barat pada akhir
abad ke-18 M. Gerakan pembaruan Islam dengan segala bentuk dan
coraknya, baik yang konservatif, reformis, sekuler, maupun yang
fundamentalis, mempunyai implikasi serius bagi diadakannya pembaruan
di bidang pendidikan. Bagaimanapun, suatu bentuk pembaruan tentu
memerlukan sebuah wadah dan strategi tertentu, dalam rangka
tercapainya tujuan pembaruan yang diharapkan. Dalam hal ini, pendidikan
merupakan bidang yang sangat tepat untuk dijadikan ajang dilakukannya
pembaruan Islam.
Dalam perkembangan gerakan pembaruan Islam, pembaruan
bidang pendidikan tidak terlepas dari unsur filosofis berupa cita-cita dan
lembaga. Keberadaan cita-cita kependidikan dalam pembaruan
pendidikan Islam merupakan landasan filosofis dan paradigma ideologis
tentang bagaimana seharusnya pembaruan pendidikan Islam itu
dilakukan. Sedangkan keberadaan lembaga kependidikan merupakan
wadah bagi aplikasi dan implementasi dari suatu cita-cita kependidikan.
Oleh karena itu, aspek cita-cita dan lembaga dalam pembaruan
pendidikan Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya saling berkaitan, laksana sekeping uang logam dengan dua
wajah; dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Dengan ilustrasi
pemikiran seperti ini, pada dasarnya pembaruan pendidikan Islam, pada
tingkat kelembagaan, merupakan pembaruan pada tingkat pemikiran
atau cita-cita, sebab pembaruan aspek kelembagaan merupakan
manifestasi dari pembaruan aspek pemikiran.21
20 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006). h.170-171
21 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Djakarta: Logos, 1999). h.129-130
12
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
Sekolah ini lahir dari sebuah pemikiran yang menganggap perlu
pengadopsian sistem pendidikan Eropa. Selanjutnya pada tahun 1846 M.,
sultan Abdul Majid mengeluarkan peraturan yang memisahkan sistem
pendidikan Islam dari sistem pendidikan umum. Pemisahan ini muncul
dari pemikiran bahwa sekolah yang sesungguhnya menjadi tulang
punggung pembaruan pendidikan di Turki adalah sekolah umum. Akan
tetapi, cita-cita ini tidak dapat memberikan banyak harapan, sehingga
pemerintah Turki mengeluarkan ketetapan "Ma'arif Umumiyi Ni-
zamnamesi" pada tahun 1869 M.. Ketetapan ini dibuat atas dasar
pemikiran perlunya memperluas dan mempercepat perkembangan
sistem pendidikan umum model Eropa.22
Puncaknya, pada tahun 1924 M., Mustafa Kemal Ataturk menghapus
semua lembaga pendidikan Islam menjadi lembaga pendidikan umum yang
mengikuti sistem pendidikan Eropa.23 Penghapusan lembaga pendidikan
Islam ini dilakukan Ataturk karena dia beranggapan bahwa untuk
melakukan pembaruan pendidikan Islam, semua lembaga pendidikan
harus dibuat sedemikian rupa menyerupai lembaga pendidikan model
Barat.
Menurut Hitti,24 bukan hanya corak dan model pendidikan Barat
yang diterapkan Muhammad Ali, tetapi juga mempercayakan pengawasan
sekolah-sekolahnya kepada orang-orang Barat. Guru-gurunya juga
didatangkan dari Barat. Selain itu, Muhammad Ali juga mengirim sejumlah
siswa untuk belajar di Italia, Prancis, Inggris, dan Austria. Berdasarkan se-
buah statistik, antara tahun 1825 sampai 1844 M., terdapat sekitar 311
siswa telah dikirim ke Eropa.25
Semua usaha pembaruan dalam bidang pendidikan Islam senantiasa
menimbulkan pro dan kontra di kalangan tokoh-tokoh Muslim. Di antara
mereka, ada yang berpendapat bahwa pembaruan pendidikan dengan
jalan transformasi pengetahuan modern semestinya dibatasi hanya pada
bidang teknologi saja. Produk intelektual Barat dalam bidang pemikiran
murni sebaiknya tidak perlu ditransformasikan kepada masyarakat
Muslim. Sementara itu, tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa kaum
Muslim harus memperoleh pengetahuan teknologi dan intelektual Barat
sekaligus, sebab tidak ada ilmu pengetahuan yang merugikan.26 Pro dan
22 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h.170-171
23 Azyumardi Azra, "Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan" pengantar untuk
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
199)7. h.x-xi)
24 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: McMillan & Co., 1974). h.724
25 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). h.67
26 Fazlur Rahman, Islam dan Modemitas: Tentang Transformasi Intekktual, terj. Ahsin
Mohammad, Cet. II, Bandung: Pustaka, 1995. h.75
13
Pendidikan Islam dan Modernitas
kontra ini terus berlanjut hingga masa sekarang, sejalan dengan pro dan
kontranya pemikiran pembaruan di kalangan kaum Muslim.
Modernisasi pendidikan Islam dari segi pemikiran filosofis dengan
penekanan pada aspek cita-cita dan lembaga telah dilakukan kaum
Muslim. Pembaruan pada kedua aspek ini senantiasa tidak dapat
dipisahkan. Keduanya berjalan terpadu dan beriringan. Manakala muncul
sebuah cita-cita atau pemikiran untuk memperbarui sistem pendidikan
Islam yang ada, pembaruan dalam bentuk cita-cita atau pemikiran ini
akan diteruskan dalam bentuk pembaruan kelembagaan. Sebuah cita-
cita, apa pun bentuknya, sudah seharusnya diaplikasikan dan
diimplementasikan dalam sebuah lembaga yang diorganisasi dengan baik,
agar cita-cita itu tidak menjadi imajinasi belaka.27 Bukankah idealisme itu
perlu diimbangi dengan realisme?
d. Pola Modernisasi Pendidikan Islam
Setelah memperhatikan berbagai macam kelemahan dan
kemunduran umat Islam dan memperhatikan sebab–sebab kemajuan dan
kekuatan yang dicapai oleh bangsa–bangsa Barat dan Eropa serta
pembaharuan-pembaharuan yang coba dilakukan oleh umat Islam,
secara garis besar terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan dalam
pendidikan Islam. Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang
berorientasi pada model pendidikan modern di Eropa. Kedua, pola
pembaharuan yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali
ajaran Islam. Ketiga, pola pembaharuan yang berorientasi pada kekayaan
dan sumber budaya bangsa masing–masing dan bersifat nasionalisme.28
1) Pola Pembaharuan yang Berorientasi ke Barat
Kaum Muslimin yang menganut pola ini berpandangan bahwa
sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat
adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang di
capai oleh bangsa–bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan
pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah
berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka untuk
mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam sumber kekuatan dan
kesejahteraan tersebut harus di kuasai kembali.
Penguasaan tersebut di atas, harus dicapai melalui proses
pendidikan. Untuk itu harus meniru pola pendidikan yang dikembangkan
oleh dunia Barat, sebagaimana dahulu dunia Barat pernah meniru dan
27 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006. h.170-171
28 Tim Ditbinpertais, 1986,h.116
14
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
mengembangkan sistem pendidikan dunia Islam di negaranya.29 Dengan
demikian, usaha pembaharuan pendidikan Islam bisa dilakukan dengan
jalan mendirikan sekolah–sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem
maupun isi pendidikannya. Di samping itu, pengiriman pelajar–pelajar ke
dunia Barat terutama ke Perancis demi menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.30
2) Pola Pembaharuan yang Berorientasi pada Sumber Islam yang Murni
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri
merupakan sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban dan
ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran–
ajaran yang pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa
kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam
hal ini Islam telah membuktikan di masa kejayaannya.
Menurut analisis para reformer dengan pola kedua ini, di antara
sebab–sebab kelemaham umat Islam adalah karena mereka tidak lagi
melaksanakan ajaran–ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan
kekuatan bagi mereka. Hal ini antara lain berwujud stagnasi
(kemandegan) perkembangan filsafat Islam dan ditinggalkannya pola
pemikiran rasional, pintu ijtihad telah dianggap tertutup sehingga fiqih
juga tidak berkembang lagi. Hal itu telah disadari oleh para pemikir Islam
dan sebagian mereka telah melakukan pembaharuan dengan berorientasi
pada ajaran murni Islam. Pola pembaharuan ini dirintis oleh Muhammad
bin Abd al–Wahab lalu diteruskan oleh Jamaluddin al–Afghani dan
Muhammad Abduh pada akhir abad ke 19 di Mesir.31
3) Pola Pembaharuan yang Berorientasi pada Nasionalisme
Rasa Nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola
kehidupan modern yang konon dimulai dari Barat. Bangsa–bangsa Barat
mengalami kemajuan dan rasa nasionalisme yang menimbulkan
kekuatan–kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut
mendorong bangsa–bangsa Timur pada umumnya dan bangsa–bangsa
terjajah pada khususnya untuk mengembangkan rasa nasionalisme
masing –masing.32
Ide kebangsaan atau nasionalisme ini, pada tahap perkembangan
berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha untuk merebut
kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa–
bangsa pemeluk Islam. Dalam pendidikan, umat Islam yang telah
29 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). h.37-
38
30 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). h.40
31 Tim Ditbinpertais, 1986, h.156
32 Tim Ditbinpertais, 1986, h.159
15
Pendidikan Islam dan Modernitas
membentuk pemerintahan nasional tersebut mengembangkan sistem
dan pola pendidikan nasionalnya sendiri–sendiri.
Demikian usaha–usaha pembaharuan pendidikan Islam yang telah
dilakukan oleh para elite muslim yang sampai sekarang telah dapat
dilihat hasilnya di berbagai negara Islam dan di negara–negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Meski hasil dari usaha
pembaharuan pendidikan Islam itu belum optimal, dan pendidikan Islam
relatif masih tertinggal oleh pendidikan Barat, namun setidaknya telah
membawa inspirasi besar bagi usaha-usaha selanjutnya dalam
memajukan pendidikan Islam demi mengejar ketertinggalannya dari
dunia Barat dan demi meraih kejayaannya kembali sebagaimana masa
klasik Islam.33
SIMPULAN
Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai
macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Berdasarkan pada
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan
Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman.
Konsep dari semua jenjang pendidikan terutama Pendidikan
Islam adalah adanya sebuah pengembangan terhadap semua lini agar
tidak timbul pendidikan yang stagnan yang cendrung hanya status quo
dari atas kebawah, jika pengembangan pendidikan yang dimulai dari
perbaikan kurikulum, dikmbangkan melalui bahan ajar, dituangkan ke
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), menyiasati waktu yang
tersedia, evaluasi, penguasaan konsep dan aktualisasi bersama pada
semua komponen sekolah, maka ketiga ranah baik dari kognitif, afektif
dan psikomotor yang diharapkan dapat terpenuhi.
Sedangkan tujuan pendidikan agama disekolah ialah untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengembangkan,
memahami, menghormati, dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam,
penguasaan ilmu pengetahuan,teknologi dan seni. Budaya agama Islam
dalam komunitas sekolah merupakan sesuatu yang sangat penting
namun para praktisi pendiikan harus memperhatikan diberlukannya
pembinaan terpadu.
33 Tim Ditbinpertais, 1986, h.160
16
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
DAFTAR RUJUKAN
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media Group, 2003).
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Pustaka Firdaus,
2005).
Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim,
(Kairo : Darut-Tauzi’wan-Nsyril Islamiyah, 2003) di terjemahkan oleh
Abdilllah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin, Jaksel : Mustaqim, 2004.
Azyumardi Azra, "Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains"
pengantar untuk Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994).
Azyumardi Azra, "Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan" pengantar
untuk Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah PotretPerjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 199)7.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme,
Modemisme hingga Postmodernism, Jakarta: Paramadina, 1996.
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi
Historis, Cet I Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996.
Fazlur Rahman, Islam dan Modemitas: Tentang Transformasi
Intekktual, terj. Ahsin Mohammad, Cet. II, (Bandung: Pustaka, 1995).
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Djakarta: Logos, 1999).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991).
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2005).
Hery Noer Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta :
Friska Agung Insani,2003).
17
Pendidikan Islam dan Modernitas
Http://Cairudin.Blogspot.Com/P/Aplikasi-Pendekatan-
Konstruktivistik.Html
Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam,(Jakarta: Gema Insani
Press, 1995).
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Cet VI, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990).
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam,
terj. Ali Audah dkk., Cet. I, (Jakarta: Tintamas, 1966).
Nurani Suyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Jakarta: Ar-Ruz Media,
2010).
Nurcholish Madjid, Islam Kemodeman dan Keindonesiaan, Cet. Ill,
Bandung: Mizan, 1989.
Pearson Education, Longman Handy Learner’s Dictionary Of America
English, Edinbourgh : library of congress cataloging,2003.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: McMillan & Co., 1974).
Tim Dosen Iain Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan
Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam), (Surabaya : Karya
Aditama, 1996).
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006).
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004).
18
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
BLUEPRINT GERAKAN DERADIKALISASI AGAMA DI SEKOLAH:
STUDI GURU PAI MALANG RAYA
Oleh:
M. Yusuf Agung S, Muzammil, Ali Rif’an1
Abstract:
School teachers of Islamic subject plays an important role in directing
students’ views toward their religious understanding. Any effort to
teach moderate religious understanding and to prevent religious
extrimism views should be conducted by teachers.This research is
based on the series of teacher empowerment workshops in Malang
Raya including Batu and Malang district. The research utilized area
cluster purposive random sampling method. In each workshop session
the participant conducted Focused Group Discussion (FGD) on the issues
of religious extrimism. The workshop resulted in the blueprints of
methods of religious extrimism deradicalization and of teaching
moderate religious views.
Keywords: School Teachers, Religious views
A. PENDAHULUAN
Fenomena kekerasan atas nama agama yang sering dikenal
dengan radikalisme agama2 semakin tampak garang ketika muncul
berbagai peristiwa terror pemboman di tanah air. Setidaknya telah
terjadi lebih dari 20 kali peristiwa pemboman sejak tahun 2000 sampai
sekarang. Terorisme yang terjadi di era modern saat ini dipicu oleh
berbagai macam faktor, seperti faktor politik, ekonomi, ideologi, dan
akibat kolonialisme modern serta globalisasi.3
Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah
radikalisme dan terorisme sangat diharapkan. Tujuannya adalah untuk
mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme, serta kalau perlu
menghilangkan sama sekali. Dalam konteks di atas, peran sekolah dan
1 Dosen STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang
2 Sheila MC.Donough, Muslim Ethics and Modernity: Acomparative of Ethical Thought
of Sayyid Ahmad Khan and Maulana Maududi, Canada: Canadian Corparation for Studies in
Religion, 2000. h. 11
3 Peter Beyer, Religion and Globalization, New York: Sage Publication, 2002, h.5
lembaga pendidikan sangat penting dalam menghentikan laju
radikalisme Islam.4
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP) Jakarta sungguh mengejutkan.5 Penelitian yang
dilakukan antara Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru PAI dan siswa
(SMP dan SMA) di Jabodetabek menunjukkan bahwa 48.9 % siswa setuju
dengan aksi radikalisme demi agama. Hasil survey ini sekaligus bisa
menyadarkan para guru, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI),
bahwa ada bahaya yang sedang mengancam para siswanya. Persetujuan
atau penerimaan terhadap suatu nilai adalah tahap awal dari 5 tahapan
ranah sikap atau afektif seseorang dalam pandangan David R.
Krathwohl.6
Malang sebagai kota pelajar adalah salah satu daerah sasaran
utama gerakan ini. Dalam rentang waktu tahun 2008-2015 terjadi
gerakan masif adanya rekrutmen mahasiswa untuk bergabung ke dalam
sebuah organisasi radikal (NII). Dari penelusuran majalah Tempo (14
April 2011) salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Malang, pada
awal tahun 2011 terlacak setidaknya 10 mahasiswanya yang telah
direkrut bergabung ke dalam NII. Bahkan pada Maret 2015 (Kompas, 25
Maret 2015) di Kota Malang telah diamankan tiga warga Kota Malang
oleh Gabungan Satgas Antiteror yakni Abdul Hakim Munabari, Helmi
Alamudi dan Ahmad Junaedi yang diduga terlibat jaringan Islam radikal
ISIS. Yang lebih megkhawatirkan, ternyata tempat tinggal mereka
berdekatan dengan lembaga pendidikan baik mulai tingkat dasar sampai
menengah.
Oleh karena itu, guru-guru PAI yang memiliki peran strategis
untuk menanamkan Islam moderat dan dapat menemukan cara yang
tepat untuk menanggulangi (deradikalisasi) Islam radikal. Untuk itu perlu
adanya pendampingan dan pengarahan yang berkelanjutan yang
mencoba melihat bagaimana presepsi para Guru PAI tentang radikalisme
agama sehingga dapat ditemukan formula deradikalisasinya.
4 Abu Rochmad Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal, 2012,
dalam Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei 2012
5 Abdul Munip, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, 2012. dalam Jurnal
Pendidikan Islam : Volume I, Nomor 2, Desember 2012, h.161
6 David R. Krathwohl, Taxonomy of Educational Objectives: Handbook II, Affective
Domain, New York: David McKay, 1964. h. 55
20
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
B. LOGICAL FRAMEWORK DAN STRATEGI AKSI
Pengabdian ini dilaksanakan selama 4 bulan (September s/d
Desember 2015) di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan
Kabupaten Malang). Sebagai Subyek dampingan pada kegiatan ini adalah
Guru PAI baik yang Guru Negeri maupun Guru Swasta di wilayah Malang
Raya yang terdiri dari 31 Guru PAI dari 26 sekolah dengan menggunakan
teknik area cluster purposive random sampling. Berdasarkan teknik
sampling tersebut, sekolah yang menjadi sasaran pengabdian ini adalah:
Wilayah Kota Batu: SMA Negeri 2, SMA Negeri 1 Batu, SMP Negeri 1, SMP
Taman Siswa, SDN Oro-Oro Ombo 1 dan SD Muhammadiyah 04 Batu.
1) Wilayah Kabupaten Malang: SMA Negeri I Singosari, SMA Islam Al
Hikmah, SMK 2 Singosari, SMP Negeri 1 Songosari, SMPN 1 Tajinan,
SMPN 2 Bululawang, SMP Islam Al Ma’arif 02 Singosari, SDN
Pulungdowo 3, dan SD Negeri Krebet 1.
2) Wilayah Kota Malang: SMA Negeri 8, SMA Widyagama, SMA
Kertanegara, SMA Shalahuddin, SMP Kertanegara, SMP Bhakti, SDN
Lowokwaru 3, SDN Lowokwaru 4 dan SD Islam Anak Saleh.
Adapun Kerangka kerja dalam pengabdian masyarakat ini dengan
menerapkan langkah kerja sebagai berikut:
Landasan
Teoritis
Identifikasi Menentukan Target Membuat Desain
Masalah pengabdian Pengabdian
Proses Rancangan Buku Panduan Keg. Seminar &
Pendampingan dalam Pelaksanaan FGD Lokakarya
Proses Pengecekan
Evaluasi Keabsahan Temuan
Proses
Pelaporan
Gambar 1: Kerangka Kerja Kegiatan
C. HASIL & PEMBAHASAN
Berdasarkan keterangan dan hasil diskusi dan sharing dalam FGD
(forum Group Discussion) dan pendampingan tahap 1 & 2 tim pengabdian
21
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
Masyarakat STAI Ma’had Aly Al Hikam Malang 2015 bersama Guru PAI
se- Malang Raya ditentukan 4 tahap gerakan deradikalisasi Agama di
Sekolah oleg Guru PAI sebagai berikut:
Gambar 2:
Blueprint Derakan Deradikalisasi Agama di Sekolah oleh Guru PAI
Adapun masing-masing tahap dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Pemicu Radikalisme Agama di Sekolah.
Dalam prespektif Guru PAI di Malang Raya, ada beberapa faktor pemicu
munculnya radikalisme dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Faktor pemahaman. Dangkalnya pemahaman tentang agama
merupakan pemicu yang paling mendasar. Karena jika pemahaman
agama siswa telah baik (kuat) maka, pemikiran-pemikiran yang
menyimpang akan segera ditanggulangi dengan sendirinya.
b) Faktor Keluarga. Kontrol orang tua / keluarga yang kurang apalagi
bagi keluarga broken home. Di samping itu, latar belakang keluarga
yang memang sudah radikal juga dianggap sebagai pemicu perilaku
radikal pada siswa.
c) Faktor Sekolah dan Komunitas Pertemanan. Sekolah merupakan
tempat anak-anak tumbuh dan berkembang secara intelektual dan
matang secara sosial. Di sekolah-sekolah umum, sekolah dihuni
berbagai kelompok keagamaan, etnik dan lapisan sosial bahkan
kelompok sosial keagamaan yang beragam. Dengan demikian,
sekolah dan pertemanan memiliki peran penting dalam pengelolaan
22
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
pluralitas menjadi pluralisme (kesadaran menghargai perbedaan-
perbedaan yang ada). Jika ini gagal dilakukan oleh sekolah dengan
segala komponen yang ada didalamnya, maka tidak menutup
kemungkinan perilaku radikal akan tumbuh dan bersemi di sekolah.
d) Faktor Media. Media memerankan peranan penting dalam
memberikan informasi kepada masyarakat, tak terkecuali peserta
didik. Siswa saat ini dengan mudahnya mengakses berita-berita, baik
berupa teks, visual, audio, audio visual bahkan mereka dapat
langsung berbicara dengan orang lain secara langsung melalui media
yang saat ini berkembang dimanapun dan kapanpun mereka berada.
Jika tidak diarahkan dan memberikan keberimbangan informasi,
maka media akan mampu menjadi pemicu munculnya perilaku
radikal. Disamping itu faktor media massa (pers) Barat yang selalu
memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi
dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam.
e) Faktor Kondisi Kejiwaan Siswa. Pada dasarnya, kondisi siswa
berada pada periode pencarian jatidiri. Jika dalam proses pencarian
jatidiri ini peserta didik tidak mendapatkan arahan dan bimbingan
baik oleh orang tua maupun guru dengan benar, maka mereka akan
mudah terjerumus dengan kelompok-kelompok tertentu yang
memang telah menyediakan diri untuk menjadi teman curhat,
sharing yang pada ujungnya mengarahkan mereka ke perilaku-
perilaku radikal.
f) Faktor Pendidikan. Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung
yang dapat menyebabkan munculnya gerakan radikalisme, akan
tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru
juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus
lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi,
kesantunan, keramahan, membenci pengerusakan, dan
menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika
pendidikan yang disuguhkan kepada siswa lebih sering bernada
mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada
merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka
lahirnya generasi muda yang merasa dirinya dan kelompoknyalah
yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi,
adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang kurang tepat.
g) Faktor lainnya. Diantara faktor lain adalah munculnya oknum-
oknum tertentu dalam mempengaruhi perilaku radikal, berbedanya
pola pikir antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dan
karena faktor kebijakan pemerintah yang terkesan belum
mebcerminkan keadilan.
23
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
2. Tema & Materi Pokok Pemicu Perilaku Radikal dalam Buku
Ajar PAI
Tema dan isi dalam mapel PAI seyogyanya perlu dikaji secara
berkesinambungan karena ada beberapa tema yang disinyalir oleh para
Guru mampu memicu perilaku radikal di kalangan siswa. Adapun
beberapa tema dalam mapel PAI yang memicu mumculnya perilaku
radikali pada masing-masing tingkat dijelaskan sebagai berikut:
a) Mapel PAI tingkat pada Sekolah Dasar (SD)
Berdasarkan hasil diskusi dan sharing bersama guru PAI di Sekolah
Dasar, beberapa bahan ajar PAI yang digunakan di SD pada masing-
masing wilayah relatif beragam hal ini disebabkan karena selain
penerapan kurikulum yang berlaku di masing-masing sekolah. Sebagian
sekolah telah menggunakan Kurikulum 2013 dan sebagian yang lain
masih menggunakan KTSP. Secara umum, buku ajar yang digunakan pada
tingkat SD adalah sebagai berikut:
Buku paket PAI “ Aku Anak Muslim”
Buku paket PAI disusun oleh Masran Ali & Sri Nurhayati
Buku Cetak Agama Islam KTSP 2006 penerbit Erlangga.
LKS Pendidikan Agama Islam
Al Qur’an Juz Amma dan terjemah
Buku Tuntunan Shalat Lengkap
Buku Penunjang lain yang relevan
Dari beberapa buku ajar yang dijadikan pegangan dan rujukan dalam
KBM, untuk tingkat Sekolah Dasar masih belum ada yang
mengembangkan materi ajar. Hal ini disebabkan pada anak di Sekolah
dasar, materi yang ada dinilai telah baik. Sedangkan tema pemicu
lahirnya perilaku radikal masih belum ada secara tersurat selain
materinya masih dasar juga peran guru cenderung mengajarkan Islam
yang ramah, yang didalamnya mengajarkan saling menghargai dan
mengajarkan perdamaian.
b) Mapel PAI tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Beberapa bahan ajar PAI yang digunakan di SMP pada masing-
masing wilayah relatif seragam hal ini disebabkan karena penerapan
kurikulum 2013 pada masing-masing sekolah. Secara umum, buku ajar
yang digunakan pada tingkat SMP adalah sebagai berikut:
24
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
Buku Mapel PAI paket Kurikulum 2013. Buku ini dipilih karena
telah melalui beberapa tahap evaluasi dan revisi.
Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Modul
Al Qur’an
Buku-buku lain yang sesuai dan relevan dengan materi
pembahasan.
Dari beberapa buku ajar yang dijadikan pegangan dan rujukan dalam
KBM, ada beberapa tema yang dapat menjadi pemicu lahirnya perilaku
radikal. Diantaranya:
1) Materi kelas IX tentang sejarah Islam bab 11 tentang tema
“menelusuri Tradisi Islam di Nusantara” dan bab 12 tema “Menyuburkan
kebersamaan dengan Toleransi dan menghargai perbedaan”. Pada tema
tentang menelusuri tradisi Islam nusantara Guru PAI harus hati-hati
menjelaskan tentang seni terutama seni tari. Karena dalam praktiknya,
seni tari yang diajarkan dan dipraktikkan di sekolah sebagai
pemgembangan bakat dan keterampilan dalam ekstrakurikuler tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip akulturasi budaya Islam terutama dalam
hal berbusana. Seperti dalam Tari topeng Malangan, tari beskalan putri
malangan, dan lain-lain. Di samping itu, jika kita baca secara kronologis
seakan-akan tercermin bahwa Islam sebagai sebuah ajaran “hanya”
menyempurnakan tradisi dari agama yang sudah berkembang
sebelumnya hingga memunculkan kesan bahwa agama yang ada
sebelumnya yakni Hindu-Budha tidak sempurna. Dengan demikian, Guru
PAI harus dengan hati-hati menjelaskan kronologi ini.
Tema tentang toleransi menjadi tema yang dapat menjadi pemicu
munculnya perilaku radikal bagi siswa. Secara teori dalam buku memang
tidak ditemukan yang mengarah ke arah perilaku radikal, namun jika
Guru terutama Guru PAI tidak menteladankan dalam kehidupan sehari-
hari terutama di sekolah maka siswa akan memiliki pemahaman dan
pemaknaan yang berbeda.
2) Materi kelas VIII bab 11 tema tentang “Menghindari Minuman
Keras, Judi dan Pertengkaran” dalam tema tersebut ada kalimat:
“Ketahuilah bahwa orang yang mati karena dibunuh seseorang, kelak di
akhirat tangan kanannya memegang kepalanya sendiri dengan urat leher
mengeluarkan darah. Sedangkan tangan kirinya menyeret orang yang
membunuhnya untuk dihadapkan kepada Allah Swt. Orang yang dibunuh
ini kemudian berkata, wahai Tuhanku, orang inilah yang telah
membunuhku”, lalu Allah berfirman kepada pembunuh itu, “Celakalah
engkau!” lalu pembunuh itu diseret ke neraka”. (Hal. 209). Pada potongan
teks di atas, perlu dijelaskan tentang kronologi dasar cerita di atas,
25
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
apakah memang ada hadits/pendapat ulama’ yang menguatkan atau
tentang pembunuhan seseorang hingga Islam tidak dikesankan
menakutkan (horror). Dan juga harus dijelaskan mana pembunuhan
yang memang dibenarkan seperti dalam peperangan, qishash yang
diterapkan dan mana yang masuk kategori pembunuhan di atas.
3) Materi kelas VII pembahasan Akhlaq / adab pada bab 8 tentang
“Berempati itu Mudah, Menghormati Itu Indah” pada sub tema
menghormati Guru ada ungkapan “Gurulah yang menjadikan kita orang
yang pandai dan memahami ilmu Pengetahuan”. (hal. 115) Serta
pembahasan sejarah pada Bab 12 sub pembahasan tentang khalifah Abu
Bakar as Siddiq. Disana dinyatakan beberapa programnya adalah
“memerangi mereka yang murtad dan tidak mau membayar zakat” (hal.
174). Kedua statement memerlukan penjelasan yang lebih jelas dan
mendalam dan kritis dari Guru PAI. Jika tidak maka kemungkinan terjadi
salah pemahaman bahwa Gurulah yang membuat pandai dengan
menafikan faktor lain serta bolehnya memerangi mereka yang keluar sari
Islam (pindah agama) dan mereka yang tidak membayar zakat (karena
faktor ketidakmampuan).
c) Mapel PAI tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan SMK
Beberapa bahan ajar PAI yang digunakan di SMA/SMK pada masing-
masing wilayah relatif seragam hal ini disebabkan karena penerapan
kurikulum 2013 dengan sedikit variasi pengembangannya pada masing-
masing sekolah. Secara umum, buku ajar yang digunakan pada tingkat
SMA/SMK adalah sebagai berikut:
Buku paket Kurikulum 2013 dari pemerintah. Buku ini dipilih
karena telah melalui beberapa tahap evaluasi dan revisi.
Buku Paket Mediatama penerbit Solo. Alasan penggunaan buku
ini adalah banyaknya kelebihan salah satunya memuat masalah-masalah
faktual dan dilengkapi probel solving.
Modul LKS oleh dan modul MGMP Khusus Kota Malang.
Alasannya sesuai dengan buku paket dan terdapat kesimpulan di setiap
bab yang praktis dan referensi yang lengkap.
Kitab-Kitab klasik (salaf) dengan alasan lengkap dan telah
terbukti di masyarakat.
Modul guru masing-masing.
Dari beberapa buku ajar yang dijadikan pegangan dan rujukan dalam
KBM, ada beberapa tema yang mampu menjadi pemicu lahirnya perilaku
radikal. Diantaranya:
26
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
1. Di dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas X,
cetakan ke-2 tahun 2015, bab "Meneladani Perjuangan Dakwah
Rasulullah SAW di Madinah, pembahasan tentang beberapa peperangan
yang dilakukan oleh Umat Islam. Jika ini tidak dijelaskan dengan
terperinci, seakan ada kesan dibenak para siswa bahwa Islam tersebar
dengan peperangan. Maka dari itu peran Guru PAI menjadi central dalam
menjelaskan alasan mengapa peperangan dilakukan dan rambu-rambu
dalam peperangan yang dilakukan Islam.
2. Pada buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI,
cetakan ke-1 tahun 2014 turunan bab "Tokoh-tokoh Pembaharuan Dunia
Islam Masa Modern". Di dalam turunan bab itu tercantum pemikiran
Muhammad Ibnu Abdul Wahab, yaitu "yang boleh dan harus disembah
hanyalah Allah SWT, dan orang yang menyembah selain Allah SWT, telah
menjadi musyrik dan boleh dibunuh" (Hlm. 169). Tanpa dilengkapi
dengan rujukan yang valid terhadap pemikiran utuh tokoh yang
bersangkutan dan juga ajakan untuk mengkaji konteksnya maka beras
kemungkinan akan mengarahkan kepada perilaku radikal.
Terpasang pula foto berwarna yang tertulis sebagai foto Muhammad
bin Abdul Wahab (1703-1787M). Namun, seperti dinyatakan dalam
laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), foto itu
sebetulnya merupakan foto Abdul Aziz bin Abullah Al Syaikh, mufti Arab
Saudi, yang masih hidup sampai saat ini.
3. Pada buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XII,
cetakan ke-1 tahun 2015 pada pembahasan “Rahmat Islam bagi
Nusantara”. Pada sub pembahasan mengkritisi sekitar kita. Pada point
nomor 2 buku tersebut dinyatakan: “Para mubalih yang sudah popular
dan bertarif mahal semakin susah diundang untuk berdakwah di
lingkungan kumuh, dengan alasan jadwalnya padat, padahal maksudnya
adalah tidak cocok dengan “tarif” yang ditawar, karena kemampuan
masyarakatnya memang terbatas. Akhirnya masyarakat yang
membutuhkan kehadirannya itu pun kecewa”. (Hlm. 167). Ungkapan
dalam kalimat tersebut memberikan kesan bahwa para muballigh adalah
materialistis, walaupun memang ada kasus demikian, namun tidak
sepantasnya memberikan statement demikian. Karena yang demikian
telah menanamkan penilaian negatif dengan profesi seseorang terutama
profesi yang berkaitan dengan keagamaan”.
Walaupun pihak pemerintah sudah melakukan perubahan dan
revisi, namun Kutipan dan narasi bernuansa radikalisme agama di dalam
buku pelajaran merupakan permasalahan yang tidak kecil. Apalagi, buku
itu disusun dan diterbitkan Kemdikbud untuk keperluan kurikulum 2013.
Itu berarti jutaan murid telah mengacu dan menggunakan buku itu
27
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
sebagai rujukan. Maka tugas Guru PAI lah yang harus membahasakan dan
menyaring serta menngoreksi mana ungkapan-ungkapan yang memicu
perilaku radikal diarahkan untuk menyemaikan Islam yang ramah, Islam
yang santun dan Islam yang menghargai perbedaan.
Salah satu persoalan dalam kutipan-kutipan diatas ialah
ketiadaan konteks, pemaknaan, dan pembelajaran yang dapat dipetik
bagi siswa. Materi tentang pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahab,
misalnya, memang disajikan sebagai aspek historis sejarah agama.
Namun, sejarah selalu tak bisa dilepaskan dari konteksnya, dari ruang
dan waktu. Para filsuf, teolog, sejarawan, misalnya, akrab dengan
hermeneutika (jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi
makna) sebagai upaya untuk menginterpretasi atau memahami makna
suatu teks secara rasional. Tujuannya, antara lain, untuk memahami
realitas di balik sebuah teks yang kadang bisa berjarak ratusan atau
bahkan ribuan tahun dengan pembacanya. Ketika fakta atau pemikiran
disajikan tanpa konteks kepada para siswa yang masih membutuhkan
bimbingan, teks menjadi rawan disalahartikan. Kutipan dalam buku itu
boleh jadi tidak mendoktrin langsung, tetapi dapat menginspirasi
radikalisme, terutama ketika diyakini sebagai kebenaran.
Buku pelajaran memang bukan sembarang buku. Buku pelajaran
merupakan organ krusial dalam proses belajar. Di Indonesia, dengan
keterbatasan kualitas guru, buku pelajaran masih menjadi sumber belajar
terbesar para murid. Keinginan besar Mendikbud Anies Baswedan telah
dalam mereformasi tata kelola buku pelajaran untuk menghindari adanya
konten yang tidak layak perlu mendapat dukungan berbagai pihak. Agar
kesalahan tak terjadi lagi, akan diadakan uji keterbacaan kepada publik
secara terbatas. Harapannya, jika orang yang membaca belum pernah
melihat buku yang dinilai, sensitivitasnya akan lebih tinggi. Mendikbud
juga mencetuskan ide untuk studi komparasi negara guna mencari
praktik terbaik dalam urusan buku. Semoga saja melalui upaya-upaya itu
kelak tata kelola buku pelajaran akan lebih baik sehingga lahir buku-buku
pelajaran berkualitas.
3. Strategi Penanggulangan Radikalisme Agama pada Siswa oleg
Guru PAI
Untuk mencegah penyebaran ideologi Islam radikal, deradikalisasi
merupakan suatu keharusan dan mesti dilakukan dengan berbagai
strategi di berbagai tempat. Pendidikan sebagai pusat pembelajaran
28
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
siswa-siswi yang sedang berkembang dan mencari identitas adalah
tempat strategis untuk menanamkan paham Islam moderat.
Di dalam buku ajar (buku paket dan LKS) ditemukan dorongan sub-
stantif yang mengajak siswa/i untuk mengutamakan toleransi,
demokrasi, penghormatan terhadap orang lain di satu sisi, dan di sisi lain
ada pula pemahaman yang mendorong siswa/i bersikap anti-Barat, anti-
Yahudi dan Nasrani dan lain sebagainya. Sisi yang saling bertentangan ini
membutuhkan kebijaksanaan guru untuk menjelaskannya secara utuh
dan komprehensif. Oleh karenanya, posisi guru sangat strategis untuk
mempengaruhi pikiran para siswa/i, baik pengaruh positif maupun
negatif. Untuk mengantisipasi penyebaran Islam radikal, para guru PAI
mesti memiliki strategi untuk menghambatnya. Inilah yang dimaksud
dengan strategi deradikalisasi paham Islam radikal.
Ada 2 langkah penting yang harus dilakukan yaitu: pertama,
Pencegahan (preventive deradicalization) dengan cara: (1). Melakukan
deteksi dini terhadap kegiatan-kegiatan radikal di kalangan siswa, (2).
Mengawasi relasi antara siswa dengan kelompok radikal di luar sekolah,
(3). Memberikan ballance atas pemahaman Islam radikal, (4).
Menggalakkan Islam yang rahmatan lil alamin, (5). Menunjukkan dampak
serius atas paham radikal dan, (6). Kampanye ukhuwwah islamiyyah dan
anti radikalisme. Kedua adalah pemeliharaan aliran moderat
(preservative deradicalization). Hal ini dilakukan dengan: (1). Membuat
banyak kegiatan keagamaan yang sejalan dengan prinsip Islam rahmatan
lil alamin, (2). Mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama Islam
dan (3). Pengenalan tentang hubungan ajaran Islam dengan kearifan
local.
Dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) dan proses pendampingan
kepada guru-guru PAI se-Malang Raya bagaimana cara agar anak didik
tidak terpengaruh dengan paham-paham radikal, Guru-guru yang
menjadi informan dalam kegiatan memberikan jawaban yang variatif.
Beberapa jawaban dan usulan dari para Guru PAI dapat dikelompokkan
kedalam beberapa hal berikut:
a) Melakukan kontra-ideologi dan mendoktrin siswa/i bahwa Islam
adalah agama damai (Islam Rahmatan lil Alamin) yang menempatkan
Muslim lain sebagai saudara sekalipun fahamnya tidak sama.
b) Memberikan pemahaman kepada para siswa/I tentang dampak
negatif dan bahaya radikalisme baik melalui buku, bulletin sekolah,
perkumpulan siswa (rohis), video akibat perilaku radikal dan lain
sebagainya.
29
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
c) Dengan menyelipkan penjelasan tentang mazhab ulama. Jawaban ini
menarik karena eksplisit didalamnya ada upaya untuk membuka
pemahaman siswa bahwa Islam memang satu dan sumber
pegangannya juga sama (al-Qur’an dan Hadits). Tetapi dalam hal
memahami ajaran Islam, setiap ulama mungkin berbeda cara
pandangnya. Inilah yang menyebabkan banyaknya mazhab-mazhab
ulama dalam Islam. Dengan memahami banyaknya aliran mazhab,
peserta menjadi tidak fanatik hanya satu mazhab saja. Di samping
itu, peserta didik juga menjadi toleran atas perbedaan pandangan
yang mungkin terjadi di antara para ulama dan menganggap diri
paling benar. Cara ini menjadi salah satu strategi deradikalisasi yang
penting agar siswa-siswi memiliki keluasan pandangan dalam
memandang arti kebenaran.
d) Menanamkan kesadaran kepada siswa betapa pentingnya toleransi
baik sesama umat Islam, maupun umat Islam dengan Umat agama
lain karena mereka dalam kenyataannya berinteraksi dalam
keseharian di sekolah.
e) Memberikan pemahaman tentang hakikat Islam rahmatan lil alamin
secara utuh. Jika peserta didik ada yang mulai terpengaruh dengan
paham radikal, maka guru harus melakukan dialog persuasif dan
pendekatan emosional dan personal dengan siswa tersebut.
f) Perlunya tambahan jam pelajaran PAI dan peningkatan keahlian &
kompetensi guru PAI. Tidaklah mungkin dapat mengkaji hakikat
Islam dengan waktu yang terbatas, guru yang tidak sebanding
dengan jumlah siswa dan apalagi keahlian guru juga tidak
mencukupi. Oleh karena itu, wajar bila anak didik banyak yang
mengikuti tambahan pengajian di luar, dengan resiko mereka tidak
mampu menyeleksi sendiri mana pengajian yang menyebarkan
paham moderat atau malah paham radikal.
g) Melalui strategi ukhuwwah dalam upaya mengerem laju radikalisme
di kalangan siswa. Hakikat beragama adalah untuk mendapatkan
kedamaian dan ketenteraman dalam hidup. Jika hakikat tujuan
beragama seperti ini, maka orang-orang yang menggunakan
kekerasan untuk tujuan dakwah sama artinya dengan mereduksi
hakikat beragama.
h) Melakukan edukasi melalui bimbingan dan konselling pada peserta
didik agar mereka tidak bertindak melawan hukum. Dalam konteks
langkah-langkah apa yang perlu dilakukan jika anak-anak sudah
30
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
terpengaruh dengan paham radikal. Bimbingan dan konseling
tersebut tentu harus menggunakan pendekatan keagamaan karena
yang dihadapi adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan
keyakinan.
i) Memberikan pemahaman kepada anak-anak secara luas dan tidak
secara parsial. Agama Islam sesungguhnya agama yang cinta damai,
mengutamakan toleransi, akhlak mulia, meskipun sejarah Islam
diwarnai dengan peperangan dan konflik-konflik. Perang dan konflik
harus dijelaskan secara utuh konteksnya bahwa Islam itu tidak
seluruhnya demikian. Umat Islam waktu berperang untuk membela
diri karena ancaman dari luar.
j) Melakukan kerjasama dan dalam memberikan wawasan, penyadaran
dan pemahaman (yang benar) dengan instansi-instansi lembaga
sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, pihak keamanan
seperti koramil dan kepolisian serta dengan semua steakholder
sekolah khususnya peran serta orang tua dalam mengawasi perilaku
anak-anaknya. Tanpa orang tua, upaya de-radikalisasi paham radikal
(tidak) akan maksimal. Jika ada yang mulai terpengaruh, pihak
sekolah akan mencari tahu siapa dia, bagaimana pikiran dan
perilaku, aliran, dan pergaulannya dengan siapa saja sehingga
menjadikan anak seperti ini.
k) Melalui ekstrakurikuler keagamaan seperti rohis serta melalui
kegiatan keagamaan yang ada disekolah seperti bakti sosial,
peringatan hari besar agama, dan lain sebagainya.
Selain pihak sekolah melalui Guru PAI, pemerintah juga
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada
tahun 2010 (Perpres No. 46 Tahun 2010). Tugas utama BNPT adalah
penanggulangan terorisme, meliputi pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional (Ps 2).
Sedangkan salah satu fungsinya adalah koordinasi dalam pencegahan dan
pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal di bidang
penanggulangan terorisme (Ps 3). Atas dasar itu, maka de-radikalisasi
telah menjadi kebijakan nasional yang harus dilakukan, termasuk
meminta peran serta dari masyarakat.
Guru-guru PAI dilibatkan karena posisinya yang strategis, tinggal
di tengah-tengah sekolah dan masyarakat serta bergelut dengan problem
keagamaan peserta didik. Guru-guru PAI selama ini, disadari atau tidak,
telah melakukan pencegahan radikalisme paham beragama, dalam
bentuk anjuran, ajakan bahkan nasehat kepada para peserta didik untuk
hidup rukun, toleran dan tidak menganggap paling benar sendiri.
31
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
Sekalipun demikian, harus diakui bahwa strategi yang dilakukan oleh
guru-guru PAI tentang deradikalisasi Islam belum utuh sepenuhnya,
terutama yang berkaitan dengan detail jenis dan program deradikalisasi.
Deradikalisasi merupakan kerja lanjutan setelah diketahui akar
radikalismenya. Tetapi deradikalisasi juga dapat dimaksudkan untuk
langkah antisipasi sebelum radikalisme terbentuk. Kegiatan ini sejatinya
adalah mencari formula antisipatif terhadap elemen-elemen radikalisme
yang mungkin ada dalam proses pembelajaran PAI. Elemen-elemen
radikalisme itu ternyata ada sekalipun kecil skalanya, baik dalam buku
ajar maupun kegiatan pembelajaran ekstra kerohanian Islam.
Di samping mengetahui elemen dan akar radikalisme, strategi de-
radikalisasi juga perlu diketahui agar ‘obat’ sesuai dengan indikasi
penyakitnya. Selanjutnya tujuan deradikalisasi perlu dirumuskan secara
pasti, yakni mengembangkan Islam moderat. Islam yang rahmatan lil
alamiin.
4. Pemanfaatan Media Penanggulangan Radikalisme Agama &
Penerapannya dalam Proses Pembelajaran.
Untuk menanggulangi tumbuh kembangnya radikalisme di
kalangan siswa perlu media yang efektif. peran media dalam
menyebarkan informasi dan edukasi secara berimbang dan dapat
dipertanggung- jawabkan. Isu ini menjadi penting untuk diangkat
mengingat akhir-akhir ini media kerap disalahgunakan pihak-pihak
tertentu untuk menyebar informasi yang tidak sesuai dengan fakta dan
cenderung mengadu domba.
Adapun beberapa media yang dinilai efektif oleh para Guru PAI
Malang Raya untuk digunakan sebagai sarana menghalau
berkembangnya radikalisme agama di kalangan siswa dan menebar Islam
yang rahmatan lil alamiin sesuai dengan kecenderungan siswa dalam
proses pembelajaran adalah:
1. Memperkenalkan pengetahuan agama sejak dini dalam proses KBM
sesuai dengan ajaran Islam yang benar, Islam yang ramah, Islam yang
tanpa kekerasan. Wajah Islam adalah wajah rahmatan lilalamin.
Jauhkan dari ajaran-ajaran yang bersifat penympangan aqidah, akhlak
yang menyimpang dari ajaran agama berdasar Al Qur’an dan Al Hadist
serta pendapat para ulama’. Berilah kesan bahwa untuk mengetaui
32
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
Kebenaran Islam dapat dilalui dengan berbagai cara dan dengan cara
yang santun.
2. Melalui video dokumenter tentang bahaya gerakan radikalisme agama
serta video tentang menyemaikan Islam yang ramah. Diantara video
yang baik sebagai media menjelaskan Islam ramah adalah sebuah
animasi yang dibuat oleh Surya University dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bisa diunduh dalam alamat
berikut:
- Video animasi tentang “Mengenal Islam” dalam
https://www.youtube.com/watch?v=IuSzUzMvZk8
- Video animasi tentang “ Yuk jadi Duta Islam” dalam
https://www.youtube.com/watch?v=4HLRkcLu3xg
- Video animasi tentang “ Islam Rahmatan lil Alamin “ dalam
https://www.youtube.com/watch?v=PewOYgxMiAs
- Video animasi tentang “Tips Mengelola Informasi dari Media dan
Sosial Media” dalam
https://www.youtube.com/watch?v=PN9cPcK7m60&index=3&list=P
Lck7ZzsKUsCdxi0jtMjc0OIK17qQ89chZ
- Video animasi tentang “ Mengelola Informasi secara Islami” dalam
https://www.youtube.com/watch?v=t4EpN7FhQ7E
- Dan lain lain.
Di samping itu, ceramah-ceramah keagamaan atau kultum juga dapat
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dalam penanggulangan
radikalisme agama. Diantaranya ceramah-ceramah dan kultum KH.
Shalahuddin Wahid , KH. Hasyim Muzadi, Buya Syafi’I Ma’arif, Cak
Ainun Najib (Cak Nun), Hj. Irena Handono, dan lain-lain yang
kesemuanya mengajarkan Islam Rahmatan lil Alamin.
3. Melalui Blog pendidikan dan media sosial. Kebebasan dalam menulis
dan menyampaikan ide, gagasan dan segala sesuatu yang dilihat,
dirasakan dan dipikirkan oleh guru atau siswa memang tidak memiliki
batasan, tapi jangan sampai dibingkainya yang mengarah dalam
memberikan penilaian yang buruk untuk seseorang atau sebuah
kelompok. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Guru dengan
memanfaatkan perkembangan ICT adalah:
a. Membuat blog pendidikan Islam yang ramah. Blog dapat berfungsi
sebagai media writing learning. Dengan blog guru PAI belajar dan
mengasah kemampuannya dalam membuat sebuah karya ilmiah atau
karya tulis. Namun disisi lain blog juga merupakan sarana yang cepat
33
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
dan mudah sebagai sarana penyebaran ide, pemikiran, nasehat dan
berbagai macam tulisan lainnya.
b. Membuat group terbatas antara guru dan siswa pada satu lembaga
sekolah tertentu dalam beberapa media sosial yang familier bagi
peserta didik seperti facebook, twitter, line, WhatsApp, BBM, dan
sebagainya sebagai sarana memberikan balance atas pemahaman
Islam radikal disamping menggalakkan Islam yang Rahmatan lil
Alamin serta sebagai kampanye Anti- Radikalisme dan kampanye
ukhuwwah Islamiyah.
c. Menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan yang sejalan dengan
prinsip Islam rahmatan lil alamin. Kegiatan ini dapat berupa yang
terencana melalui ekstrakurikuler maupun yang sifatnya sekali
kegiatan. Bentuk kegiatan dapat berupa peringatan PHBI, kegiatan
bhakti sosial, pengajian dan mentoring rutin, kegiatan shalat
berjamaah, shalawatan, istighotsah, upacara bendera dan lain-lain.
Kegiatan keagamaan ini pada intinya adalah untuk menanamkan
kebersamaan dan meningkatkan ukhuwwai islamiyah dan ukhuwwah
wathaniyah serta memperdalam kecintaan terhadap Islam yang ramah
di sekolah.
d. Kampanye anti-Radikalisme dan kampanye ukhuwwah Islamiyah
melalui slogan-slogan, jargon maupun kata mutiara tentang Islam
rahmatan lil alamin atau tentang bahaya radikalisme agama yang
ditempel dimading, papan informasi, stiker, atau tempat lainnya yang
mudah terjangkau dan terbaca oleh siswa.
e. Media – media lain yang relevan dalam proses pembelajaran yang
tujuannya menyemai Islam Rahmatan lil Alamiin di Sekolah.
D. PENUTUP
Konsep Ideal (Blue Print) Gerakan Penagulangan Radikalisasi
Agama Di Sekolah dalam Pandangan Guru PAI Malang Raya dapat dilalui
dengan 4 langkah utama, yaitu: Pertama, menelusuri akar dan pemicu
munculnya Islam radikal di kalangan siswa diantaranya karena faktor
pemahaman, keluarga, sekolah dan pertemanan, media, kejiwaan dan
juga pendidikan. Kedua, Menggali Tema & Materi Pokok Pemicu Perilaku
Radikal dalam Buku Ajar PAI baik itu buku diktat Kurikulum 2013, LKS
maupun buku pengembangan sendiri. Ketiga, menentukan Strategi
Penanggulangan Radikalisme Agama pada Siswa dengan 2 cara yakni
Pencegahan (preventive deradicalization) dan Pemeliharaan aliran
34
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
moderat (preservative deradicalization). Dan Keempat menyiapkan media
Penangulangan Radikalisme Agama & Penerapannya dalam Proses
Pembelajaran PAI baik itu dengan memperkuat dan memperdalam
pemahaman agama sejak dini dalam proses KBM sesuai dengan ajaran
Islam yang ramah, melalui tampilan video dokumenter tentang bahaya
radikalisme dan pentingnya menyemai Islam rahmatan lil alamin di
sekolah, melalui blog pendidikan Islam yang moderat dan media sosial,
serta media-media lain yang relevan dan cocok untuk usia dan
karakteristik peserta didik.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Munip, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah, 2012. dalam
Jurnal Pendidikan Islam : Volume I, Nomor 2, Desember 2012
Abu Rochmad, Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham
Radikal, 2012, dalam Jurnal Walisongo Volume 20, Nomor 1, Mei
2012
Ahmad Fuad Fanani, Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda
dalam Jurnal Ma’arif Vol. 8 No. 1 Juli 2013
Ahmad Gaus AF, dkk, Laporan Penelitian Pemetaan Problem Radikalisme
di SMU Negeri, Kab. Pandeglang, Kab. Cianjur, Kota Yogyakarta,
Kota Surakarta, 2011.
Ciciek Farha, Perempuan dilarang Menjadi Pemimpin: Penyebaran
Ketidakadilan Gender di Sekolah Umum: Studi di Tujuh Kota,
2008. tulisan ini dikembangkan dari hasil penelitian tentang
Religiusitas Kaum Muda: Studi di Tujuh Kota yang dilakukan
pada 2007
David R. Krathwohl, Taxonomy of Educational Objectives: Handbook II,
Affective Domain, New York: David McKay, 1964.
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Koran Kompas, Edisi 25 Maret 2015
Lorne L. Dawson, New Religious Movements: A Reader, USA, UK and
Australia: Blackwell Publishing, 2003.
Majalah Tempo edisi 14 April 2011
35
Blueprint Gerakan Deradikalisasi
Peter Beyer, Religion and Globalization, New York: Sage Publication,
2002.
Sheila MC.Donough, Muslim Ethics and Modernity: Acomparative of Ethical
Thought of Sayyid Ahmad Khan and Maulana Maududi, Canada:
Canadian Corparation for Studies in Religion,2000.
Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam Sejarah Islam,
dalam Bahtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama,
Jakarta: PPIM-IAIN, 1998.
Zuly Qodir, Perspektif sosiologi tentang Radikalisasi agama kaum muda,
2013. dalam Jurnal Ma’arif Vol. 8 No. 1 Juli 2013
36
TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 1, Maret 2016
MODEL PENGEMBANGAN PAI DI PERGURUAN TINGGI
Moh. Mansur Fauzi 1
ABSTRACT
Universities as an autonomous educational institutions, in term of
administration, made a new development of the Islamic subject that
will be submitted to the respective colleges. So that the
implementation of the model of Islamic education among univerities
can be different. This research was conducted at the two prominent
universities in Malang, i.e Brawijaya Univerity (UB) and State
University of Malang. The results of this study indicated that the
model of development of Islamic Religious Education conducted at
UB and State University of Malang are: 1) the development of Islamic
education curriculum using a competency-based curriculum,
developed by learned center theme-based curriculum approach to
social reconstruction. 2) learning system of Islamic education at both
universities held in the classical cross-faculty and monitoring the
deepening of learning outside the classroom with student active
learning approach and contextual learning which leads to inquiry
learning strategy. Generally that model of Islamic religious education
at these universities can be categorized to a central model isolated
entities / mechanisms and a decentralized model with interconnected
entities / systemic organism.
Keywords : State University, Model, Teaching Islam,
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai mata kuliah pada jenjang
Pendidikan Tinggi, bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasionai Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusuaan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa serta Nomor
045/U/2002 tentang, Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan
bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan kelompok Matakuliah Pengembangan
1 Dosen STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang
Kepribadian (MPK) yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa pada
seluruh jurusan2.
Pendidikan Agama dalam lampiran Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional tersebut ditempatkan ke dalam kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK). Sehingga terlihat jelas bagaimana
pentingnya peranan Pendidikan Agama sebagai sarana pengembangan
kepribadian mahasiswa dalam proses pendidikannya di Perguruan
Tinggi. Melihat dari kepentingan tersebut maka sudah semestinya
Pendidikan Agama (dalam hal ini Pendidikan Agama Islam) menjadi
sorotan bersama bagaimana mengembangkan matakuliah tersebut
sehingga benar-benar dapat berfungsi sebagai matakuliah
pengembangan kepribadian mahasiswa dan tidak hanya sebagai
matakuliah pelengkap saja.
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor:
43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok
Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi disebutkan
beberapa materi pokok yang harus terdapat di dalam perkuliahan
Pendidikan Agama Islam yang diantaranya adalah menyangkut materi
tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan, Manusia, Hukum, Moral,
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni, Kerukunan Antar Umat Beragama,
Masyarakat, Budaya, dan Politik3. Materi-materi pokok di atas kemudian
dikembangkan menjadi beberapa sub pembahasan yang dapat
dikembangkan oleh perguruan tinggi sesuai dengan karakteristiknya
masing-masing.
Demikian itu sesuai dengan SK Dirjen Dikti tahun 2006 tentang
Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi yang terdapat pada pasal 12
menyatakan bahwa penyelenggaraan pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian dan kegiatanakademik lainnya yang relevan
dikelola oleh Universitas dalam satu unit bersama dengankelompok
Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat4. Sesuai dengan amanah pada
2 Salinan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian
Hasil Belajar Mahasiswa
3 Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Pasal
4 tentang Substansi Kajian Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK),
Hlm. 3
4 Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006, Hlm. 7
38
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
pasal tersebut, maka dalam pengembangan matakuliah PAI secara khusus
dikelola oleh dosen-dosen PAI di perguruan tinggi masing-masing
sehingga tentunya akan terdapat perbedaan antara satu perguruan tinggi
dengan perguruan tinggi lainnya dalam mengembangkan mata kuliah PAI
yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perguruan tinggi
tersebut.
Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang merupakan
representasi dari dua jenis universitas yang memiliki tujuan dan bidang
keilmuan yang berbeda sehingga memungkinkan adanya perbedaan
model pengembangan Pendidikan Agama Islam di antara keduanya.
Universitas Brawijaya (Selanjutnya UB) merupakan sebuah universitas
yang peneliti anggap sebagai representasi dari universitas dengan term
keilmuan non-pendidikan atau dengan kata lain lebih ke arah ilmu
pengetahuan umum dan berpeluang menghasilkan ilmuwan-ilmuwan
sains seperti fakultas Pertanian, Peternakan, Teknik, Kedokteran, serta
mempersiapkan mahasiswa untuk berkarir di dunia perekonomian bisnis
maupun sosial seperti fakultas Hukum, Ekonomi dan Bisnis, Ilmu
Administrasi, Ilmu Sosial dan Politik, dan lain sebagainya.5 Sementara itu
Universitas Negeri Malang (Selanjutnya UM) merupakan representasi
dari Universitas Pendidikan yang pada akhirnya melahirkan tenaga
pendidik atau guru dan tenaga kependidikan dengan berbagai fakultas
dan jurusannya, seperti fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Sastra,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pendidikan
Psikologi dan lain sebagainya. Selain itu kedua Universitas tersebut
memliki perbedaan dalam jumlah jurusan dikelolanya dan juga jumlah
mahasiswanya.6
Berangkat dari perbedaan mendasar mengenai term keilmuan yang
dikelola serta jumlah jurusan yang dikelola oleh masing-masing
universitas di atas dan mengetahui jenis outcome yang dihasilkan oleh
keduanya, maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan terkait dengan
model pengembangan Pendidikan Agama Islam sebagai Matakuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) antara keduanya.
Maka dipandang perlu adanya model pengembangan Pendidikan
Agama Islam di perguruan tinggi yang memiliki banyak jurusan dan term
keilmuan. Sehingga dapat mengakomodir terhadap kebutuhan dan
hubungan dengan keilmuan yang dipelajari mahasiswa. Adapun ruang
lingkup yang dapat dikembangkan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama
Islam di Perguruan tinggi dapat meliputi beberapa hal, diantaranya
menyangkut pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di
5http://www.ub.ac.id/akademik/fakultas-id, diakses pada 8 feb 2016
6http://www.um.ac.id/page/fakultas, diakses pada 8 feb 2016
39
Pendidikan Islam dan Modernitas
Perguruan Tinggi dan Pengembangan sistem Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi. Sehingga dengan adanya
Pengembangan tersebut dapat memberikan sebuah gambaran yang utuh
mengenai model Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.
Dari pengamatan sementara peneliti terhadap bentuk buku ajar
yang digunakan di masing-masing Universitas, terdapat adanya beberapa
perbedaan dalam penjabaran tema-tema yang telah ditentukan oleh
Dirjen Dikti dalam SK Dirjen Dikti tahun 2006 tentang rambu-rambu
pelaksanaan matakuliah pengembangan kepribadian. Serta terdapat
beberapa pengembangan terkait dengan isu-isu kekinian seputar agama,
sosial dan budaya di dalamnya. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih
terdapat beberapa faktor model pengembangan Pendidikan Agama Islam
di kedua Universitas tersebut baik itu menyangkut kurikulum maupun
sistem pembelajarannya.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas terkait dengan
model pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
dalam hal ini di Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang
sebagai objek penelitian, maka yang menjadi fokus penelitian adalah
bagaimana model-model pengembangan Pendidikan Agama Islam di
Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang yang mencakup
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dan sistem
pembelajarannya.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis studi kasus
dengan rancangan multisitus, yaitu berusaha mendeskripsikan suatu
latar, objek atau peristiwa tertentu secara rinci dan mendalam. Studi
kasus/situs adalah penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara
intensif mengenai unit social tertentu, yang meliputi individu, kelompok,
lembaga dan masyarakat.7 Adapun dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk dapat mengetahui pengembangan model-model Pendidikan
Agama Islam di Universitas Negeri Malang dang Universitas Brawijaya
Malang.
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data
primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Koordinator Dosen
Mata Kuliah PAI dan dosen-dosen PAI di Universitas Brawijaya Malang
dan Universitas Negeri Malang mengenai fokus penelitian ini. Selain itu
juga terdapat data sekunder yang peneliti peroleh dari hasil dokumentasi
baik berupa teks, soft-file, maupun dokumen lain yang terkait dengan
7 Yatim Riyanto,Metodologi PenelitianPendidikan,(Surabaya:SIC,2001), h.24
40
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
fokus penelitian di Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Negeri
Malang.8
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.Pengecekan
keabsahan data dilakukan melalui kredibilitas, dependabilitas, dan
konfirmabilitas. Data-data yang telah terkumpul kemudia dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis data kasus individu dengan melalui
langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan
kemudian menarik kesimpulan, setelah analisis data kasus individu
selesai maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data
lintassitus. Secara umum proses analisis data lintas situs mencakup
kegiatan sebagai berikut: a) merumuskan proposisi berdasarkan temuan
situs pertama dan kemudian dilanjutkan situs kedua; b)membandingkan
dan memadukan temuan teoritik sementara dari kedua situs penelitian;
c) merumuskan simpulan teoritik berdasarkan analisis lintas situs
sebagai temuan akhir dari kedua situs penelitian.
C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Keberadaan matakuliah pendidikan agama (dalam hal ini
pendidikan agama Islam) sebagai bagian dari matakuliah pengembangan
kepribadian yang masuk dalam kurikulum inti pendidikan tinggi, maka
baik di Universitas Brawijaya maupun Universitas Negeri Malang
memasukkan matakuliah Pendidikan Agama Islam tersebut kedalam
matakuliah wajib umum (MKWU) yang harus diambil mahasiswa
disemester satu atau disemerter dua tergantung dari penjadwalan yang
dilakukan setiap fakultasnya dengan beban studi sebanyak 3 sks yang
dibagi ke dalam dua kegiatan pendidikan agama Islam.
Pembagian pelaksanaan pendidikan agama Islam menjadi dua
kegiatan yang mana pertama adalah pendidikan agama Islam yang
termasuk matakuliah kurikuler yang dilaksanakan di dalam kelas oleh
dosen-dosen PAI selama satu semester dengan beban studi sebanyak 2
sks dan kedua adalah pelaksanaan pendidikan agama Islam sebagai
ektra-kurikuler atau ko-kurikuler yang dilaksanakan di luar kelas dengan
beban studi sebanyak 1 sks. Sehingga meskipun dalam transkrip nilai
mahasiswa ditulis beban studi matakuliah PAI sebanyak 2 sks, namun
dalam praktisnya secara keseluruhan adalah sebanyak 3 sks. Hal ini
sebagaimana dalam SK DIKTI No. 43 Tahun 2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi pada pasal 6 ayat 2 menerangkan bahwa beban studi
8 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), h. 22
41
Pendidikan Islam dan Modernitas
untuk matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan
Bahasa masing-masing sebanyak 3 (tiga) sks (satuan kredit semester).9
Pengembangan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dilakukan
oleh masing-masing universitas dengan tetap berdasarkan pada
peraturan pemerintah yang tertera dalam perundang-undangan ataupun
surat keputusan. Sebagaimana dilakukan oleh Universitas Brawijaya dan
Universitas Negeri Malang adalah mengembangkan pelaksanaan
pendidikan agama Islam yang dalam perundang-undangan disebutkan
beban studi matakuliah PAI tersebut adalah sebanyak 3 sks. Dengan
hanya sebanyak 2 sks dalam pembelajaran PAI yang dilaksanakan di
dalam kelas, maka untuk memenuhi sebanyak 3 sks dikembangkanlah
sebuah kegiatan penunjang pembelajaran PAI di kelas dengan kegitan
ekstrakurikuler keagamaan yang dihitung sebanyak 1 sks. Sehingga
tuntutan perundang-undangan yang mengharuskan beban studi
Pendidikan Agama sebanyak 3 sks dapat terealisasikan.10
Pengembangan kegiatan pembelajaran PAI yang dilakukan oleh
kedua situs penelitian ini dengan membuat kegitan ektrakurikuler
keagamaan baik Tutorial yang dilaksanakan di Universitas Brawijaya
maupun TDI (Tafaquh fii Dinil Islam) yang dilaksanakan di Universitas
Negeri Malang adalah sebuah upaya pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam dengan pertimbangan keterbatasan
pembahasan materi-materi PAI di dalam kelas yang hanya berkisar 14
hingga 16 pertemuan dalam satu semesternya. Hal ini dirasa kurang
untuk membetuk mahasiswa lulusan yang sesuai dengan amanat undang-
undang tentang matakuliah pengembangan kepribadian. Sehingga pihak
universitas bekerjasama dengan Pusat Pembimbingan Agama Universitas
(di Universitas Brawijaya) dan Pusat Pengembangan Kehidupan
Beragama (di Universitas Negeri Malang) untuk membuat sebuah kegitan
keagamaan yang menunjang pembelajaran PAI di dalam kelas, sehingga
diharapkan kegiatan keagamaan tersebut dapat menunjang keberhasilan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebagaimana dimaksud dalam
perundang-undangan.11
Jika melihat pada perundang-undangan yang mengatur tentang
pelaksanaan matakuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi
yang terdapat dalam pasal 12 tentang organisasi penyelenggaraan
9 Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-
rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi
10 Analisis hasil wawancara dari coordinator PAI di Universitas Brawijaya dan
Universitas Negeri Malang.
11 Analisis hasil wawancara dari coordinator PAI, Ibid.
42
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016
kelompok matakuliah pengembangan kepribadian diuraikan bahwa
Penyelenggaraan pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
dan kegiatan akademik lainnya yang relevan dikelola oleh Universitas
dalam satu unit bersama dengan kelompok Matakuliah Berkehidupan
Bermasyarakat.12 Sehingga apa yang dilakukan oleh kedua situs
penelitian tersebut sangat relevan dengan peraturan tersebut.
1. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pengembangan kurikulum dalam penelitian ini sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya adalah berupa pengembangan kurikulum yang
bersifat dokumen yakni terkait dengan perumusan visi dan misi serta
capaian pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan terakhir adalah
penyusunan silabus atau Rencana Perkuliahan Semester (RPS) yang
dilakukan di kedua situs penelitian.
a. Perumusan Visi, Misi dan Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam
Sebuah kegitan yang terorganisir tentunya harus memiliki visi dan
misi yang menjadi landasan dalam pelaksanaan semua
kegiatannya. Begitupun dengan pendidikan agama Islam di
perguruan tinggi haruslah memiliki visi dan misi tersendiri agar
apa yang dilakukan memiliki dasar dan tujuan yang jelas. Oleh
karenanya matakuliah pendidikan agama Islam yang dilaksanakan
di kedua situs penelitian ini memiliki visi dan misi tersendiri di
mana keduanya melakukan pengembangan perumusan visi dan
misi PAI dengan mengkolaborasikan visi dan misi yang terdapat
dalam perundang-undangan sebagai landasan yuridisnya dan
dengan visi misi universitas masing-masing sebagai landasan
praktisnya. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh masing-masing
koordinator PAI di kedua situs penelitian bahwa visi dan misi
Pendidikan Agama Islam di universitasnya berdasarkan pada visi
dan misi yang telah ada dalam perundang-undangan namun
dengan pengembangannya yang disesuaikan dengan visi dan misi
dari universitas masing-masing.13
Jika dilihat dari visi dan misi PAI yang dirumuskan di kedua situs
penelitian, dapat ditemukan sebuah kesamaan yang substansial
yakni matakuliah PAI menjadi sumber nilai dan pedoman yang
mengantarkan mahasiswa dalam mengembangkan profesi dan
12 Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006, Op.Cit.
13 Analisis hasil wawancara dari coordinator PAI, Op.Cit.
43
Pendidikan Islam dan Modernitas
menjadikan mahasiswa memiliki kepribadian yang Islami.14
Rumusan visi dan misi PAI baik di Universitas Brawijaya Maupun di
Universitas Negeri Malang tersebut secara substansial menginduk
pada visi misi matakuliah pengembangan kepribadian sebagaimana
di jelaskan dalam SK DIKTI no 43 tahun 2006 bahwa kelompok
MPK di perguruan tinggi membantu mahasiswa memantapkan
kepribadiannvaagar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-
nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta
tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang
dimilikinya dengan rasa tanggungjawab.15
Kemudian dari rumusan visi dan misi yang tersebut disusunlah
capaian pembelajaran atau dapat pula dikatakan sebagai standar
kompetensi matakuliah PAI. Rumusan capaian pembelajaran PAI
yang dilakukan di masing-masing situs tersebut adalah berupa
poin-poin penjabaran standard minimal mahasiswa setelah
mengikuti perkuliahan PAI selama satu semester. Berikut ini
adalah poin-poin standar kompetensi atau capaian pembelajaran
PAI di Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
Tabel: Uraian Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang T.A. 2015-
201616
Universitas Brawijaya Universitas Nege
Malang
1) Meningkatkan keimanan dan 1)Meningkatkan keimanan dan keta
ketakwaan pada Allah SWT dalam pada Allah SWT dalam diri maha
diri mahasiswa amelalui melalui pemahaman, penghayatan
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap nilai-nilai
pengamalan terhadap nilai-nilai Islam.
ajaran Islam. 2)Memperkokoh karakter maha
2) Memperkokoh karakter mahasiswa melalui pemahaman, penghayatan
melalui pemahaman, penghayatan, pengamalan norma-norma Islam
dan pengamalan norma-norma relasi yang harmonis terhadap Alla
Islam dalam relasi yang harmonis sendiri, sesama dan lingkungannya
14 Analisis hasil wawancara dengan Koordinator PAI, Dosen PAI, dan dari
dokumen di Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
15 Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006, Op.Cit.
16 Dok. Universitas Brawijaya dan Dok. Universitas Negeri Malang
44
TA’LIMUNA, Vol. 10 No. 1, Maret 2016