The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by AL EL BAPER (Almari Elektronik Badan Perencanaan), 2024-01-24 21:33:24

Naskah-Akademi 2022

Naskah-Akademi

i


ii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wa rahmatullah wa barakatuh Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur ke hadirat Allah Ilahi Rabbi yang telah menganugerahkan rahmat dan karunianya sehingga penulisan Naskah Akademik Ranpera tentang Pesantren Kabupaten Blora telah selesai disusun. Naskah Akademik ini disusun guna memenuhi ketentuan peraturan dalam UU nomor 12 tahun 2011 yang memandatkan bahwa tiap Peraturan Daerah yang disusun harus berpijak pada Naskah Akademik yang akuntabel. Sehingga produk hukum yang dihasilkan memiliki landasan konsep dan sosio-empirik yang kokoh menggambarkan permasalahan-permasalahan yang hendak dijawab dan diatur dalam regulasi. Ditilik dari perspektif manapun, pesantren memiliki kontribusi dan peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks yang lebih spesifik, pesantren memiliki sumbangan besar dalam pembentukan karakter sumberdaya manusia Indonesia yang religius dan berkepribadian Pancasila. Di tengah era disrupsi di segala lini, pesantren perlu terus dikuatkan peran dan fungsinya agar dapat merespon dan mampu berdialektika di tengah arus perubahan zaman. Untuk itu, kebutuhan untuk merekognisi pesantren dalam tiga fungsi utama yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan perlu dilembagakan. Ditinjau dari perspektif sosio-empiris, pada tahun 2022, Kabupaten Blora memiliki 87 lembaga pondok pesantren yang berijin,1 pesantren yang tidak aktif berjumlah 68 lembaga dengan Ustadz berjumlah 992 dan santri 9489. Sedangkan tahun 2021 tercatat 82 pesantren dengan jumlah santri 9315 dan pengajar 1042.2 Data tersebut menunjukkan potensi pesantren di Kabupaten Blora dapat dikembangluaskan sebagai pusat-pusat pendidikan, dakwah serta pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan sosial yang ada di wilayah tersebut seperti kemiskinan, stunting, dan lain sebagainya. Untuk itu, keberadaan Naskah Akademik ini merupakan bagian integral dari penyusunan Peraturan Daerah tentang Pesantren yang dapat dijadikan landas-pijak dan acuan bersama dalam pengembangan dan penguatan fungsi-fungsi pesantren di Kabupaten Blora berdasarkan pada 1 Pesantren yang masuk dalam data Emis tahun 2022. 2 Berdasarkan Kabupaten Blora Dalam Angka 2022, 195.


iii UU nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Terakhir, kami haturkan banyak terima kasih atas keterlibatan semua pihak dalam proses penyusunan Naskah Akademik dari mulai pengumpulan data, survey online, olah data, validasi data, analisis data serta finalisasi draf. Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Blora. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Jepara, 31 Agustus 2022 Tim Penyusun


iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR II DAFTAR ISI IV DAFTAR TABEL VII DAFTAR GAMBAR VII BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Identifikasi Masalah 7 1.3 Tujuan dan Kegunaan 8 1.4 Metode 8 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN EMPIRIS 10 2.1 Kajian Teoretis 10 2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren 10 2.1.2 Fungsi dan Peran Pondok Pesantren 15 2.1.3 Pola Tingkatan Pesantren 22 2.1.4 Metode Pendidikan Pesantren 25 2.2 Kajian Empiris 27 2.3 Implikasi Penerapan Aturan (Perda Fasilitasi Pengelolaan Pesantren) di Kabupaten Blora 38 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT 48 3.1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 50 3.2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, beserta seluruh perubahannya 52 3.3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beserta seluruh perubahannya 55


v 3.4 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren 66 3.5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan 73 3.6 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 76 3.7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah 82 3.8 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren 86 3.9 Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Pendidikan Pesantren 87 3.10 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren 88 3.11 Peraturan Bupati Blora Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan Dan Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban, Serta Monitoring dan Evaluasi Hibah Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Blora 91 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 96 4.1 Landasan Filosofis 96 4.2 Landasan Sosiologis 110 4.3 Landasan Yuridis 113 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 123 5.1 Sasaran yang Akan Diwujudukan, Arah, dan Jangkauan Pengaturan 123 5.2 Jangkauan dan Arah Pengaturan 123 5.3 Rumusan Akademik Berbagai Istilah Kunci Dalam Peraturan Daerah 124 5.4 Muatan Materi Peraturan Daerah 127 5.4.1 Maksud dibentuknya Peraturan Daerah 127


vi 5.4.2 Ruang Lingkup Materi Peraturan Daerah 128 BAB VI PENUTUP 137 DAFTAR PUSTAKA 140


vii DAFTAR TABEL Tabel 1 Data Ponpes, Santri dan Guru BerdasarkanKecamatanTahun 2021 ...............................................................................................................................28 Tabel 2 Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Fasilitasi Pengelolaan Pesantren......................................................................................................................38 Tabel 3 Data Pesantren Penerima Hibah 2022.................................................46 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Peta Kemiskinan dan Stunting Kabupaten Blora........................30


1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang No one left behind – tidak ada yang tertinggal pada realisasi SDGs 2030 menjadi pondasi dalam mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertera dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggungjawab negara untuk meningkatkan, mewujudkan sumber daya manusia yang unggul guna tercapainya kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Upaya yang telah dan akan terus dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas dan mutu Pendidikan dalam berbagai jalur, jenjang, tingkatan maupun jenis Pendidikan. Ilmu pengetahuan dan pendidikan merupakan aspek esensial dalam kehidupan manusia untuk memajukan suatu peradaban. Melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan, suatu peradaban dapat dikenali sejarah sesuai ciri khas dan keistimewaan masing-masing.3 Pembahasan tentang menuntut ilmu dan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan lembaga pendidikan yang menjadi tempat bernaung bagi penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Lembaga pendidikan merupakan elemen penting yang keberadaannya dapat menjadi simbol kemajuan pendidikan di suatu wilayah. Salah satu lembaga pendidikan khas yang dikenal di Indonesia adalah lembaga pendidikan Pesantren. 3 Muhammad Madarik and Hairul Puadi, “MODERNISASI ( REORIENTASI ) PENDIDIKAN PESANTREN,” Jurnal Pusaka 12, no. 1 (2022): 1–18.


2 Lembaga pendidikan seperti Pesantren merupakan subkultur (sistem nilai) yang memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat dalam berbagai kegiatan seperti pendidikan, budaya, ekonomi, sosial, kenegaraan, dll.4 Pada perkembangannya pesantren merupakan khazanah peradaban di Indonesia yang telah ada sejak zaman Kapitayan, sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, dan Islam. Pertemuan dengan agama besar tersebut membuat pesantren mengalami perubahan bentuk dan isi sesuai karakter masing-masing agama, tetapi misi dan risalahnya tidak pernah berubah, yaitu memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi, maupun kenegaraan.5 Lembaga pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan Pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, dengan demikian pengembangan fungsi dan tujuan pendidikan pesantren sebagai panduan serta arah pendidikan sangat penting.6 Sebagai sub sistem pendidikan nasional lembaga pendidikan keagamaan, pesantren berhak mendapatkan perlakuan yang proporsional, adil, dan setara baik aspek perluasan akses, aspek peningkatan mutu, dan daya saing, maupun aspek manajemen dan tata kelola. Secara konstitusional dijamin oleh Pasal 31 ayat 4 UUD NRI 1945, bahwa negara 4 Abdurrahman-Hairus Salim H.S Wahid, Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren, ed. Hairus Salim H.S (Yogyakarta: LKIS, 2001). 5 Said Aqil Siradj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, Cetakan 1. (Jakarta Pusat, 2015). 6 Faqih Ainur Rahim, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam (Yogyakarta: UII Perss, 2001).


3 memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga penyebutan verbal numeral 20% anggaran pendidikan harus dialokasikan secara merata kepada semua komponen subsistem pendidikan, baik pada jenjang dan jenis pendidikan yang berbeda, dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional, yang di dalamnya termasuk Pesantren. Secara eksplisit, pengaturan tentang Pesantren dicantumkan sebagai lembaga pendidikan keagamaan diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan terdapat dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dalam pelaksanaannya diatur dalam PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Selanjutnya, semakin dikuatkan dengan hadirnya Undang-undang No.18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pendidikan Pesantren dilaksanakan dengan beberapa jenis alur Pendidikan yaitu, formal, nonformal, serta informal.7 Pendidikan Pesantren secara keseluruhannnya adalah Pendidikan yang berdasar atas akhlak, etika, dan moral serta pemahaman akan agama yang baik dan menyeluruh. Citra pesantren di Indonesia sendiri dalam Pendidikan yang berbasis akhlak sudah tidak diragukan lagi, karena mulai dari pengajaran hingga cara kehidupan pesantren sangat menjunjung tinggi akhlakul karimah. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dalam pelaksanaan 7 “Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional” (n.d.), https://pmpk.kemdikbud.go.id/assets/docs/UU_2003_No_20_- _Sistem_Pendidikan_Nasional.pdf.


4 serta pengelolaan pesantren harus diatur dengan baik dan adanya kerjasama dengan stakeholder terkait, agar pesantren dapat mengalami kemajuan yang pesat serta mendapatkan akses yang sama dengan Lembaga Pendidikan yang tidak berbasis pesantren sehingga pemerataan akses pendidikan di Indonesia dapat dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi perhatian pemerintah kabupaten Blora untuk dapat membuat Peraturan Daerah tentang Pesantren di Kabupaten Blora dengan harapan dapat tertata dengan rapi dalam satu regulasi terkait pelaksanaan dan fasilitasi pengelolaan pesantren di Kabupaten Blora Jawa Tengah. Sebagai bentuk pengejawantahan dari RPJMD Kabupaten Blora Tahun 2021- 2026 yang keseluruhannya berorientasi dan sangat memperhatikan Pendidikan, termasuk Pendidikan Pesantren.8 Keberadaan pesantren di Kabupaten Blora sudah menjadi kenyataan sosiologis yang menyatu dalam praktik kehidupan keseharian masyarakat Kabupaten Blora yang dikenal religius. Pengelolaan pesantren selama ini juga berlangsung dinamis. Secara historis, keberadaan dan keberlangsungan Pengelolaan pesantren di Kabupaten Blora merupakan inisiasi, inovasi serta bentuk partisipasi nyata masyarakat Kabupaten Blora. Pengelolaan Pesantren dalam lingkungan lembaga pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam 8 “RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Blora,” n.d.


5 mengamalkan ajaran agamanya, yang dijelaskan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan9. Sedangkan Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya10. Kenyataan empiris-sosiologis terkait keberadaan Pesantren di Kabupaten Blora dikaji secara mendalam dan menyeluruh dengan cermat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Blora sesuai dengan Visi Pemerintah Daerah Kabupaten Blora yaitu Sesarengan mbangun Blora dan untuk memperkuat misi membangun sumberdaya manusia yang berkualiatas, berdaya saing dan berkarakter. Jumlah Pesantren Aktif di Kabupaten Blora terdapat 87 pondok pesantren. Sehingga, pengelolaan Pesantren di Kabupaten Blora menjadi prioritas utama. Keberadaan pondok pesantren di Kabupaten Blora secara faktual adalah potensi yang besar untuk dapat didukung secara optimal demi mewujudkan kebaikan kehidupan masyarakat Kabupaten Blora di masa depan. Citacita masyarakat Blora cukup besar untuk memondokkan anak serta menyekolahkan anaknya di pondok pesantren, asalkan bersih dan nyaman. Antusiasme orang tua tersebut menjadi dukungan yang optimal dalam fasilitasi pengelolaan pondok pesantren di Kabupaten BLora. Dengan demikian, 9 “Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan” (n.d.). 10 “Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan” (n.d.).


6 Pemerintah Daerah Kabupaten Blora mendukung keberadaan Pondok Pesantren untuk berkontribusi penting secara aktif, inovatif dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin dan melahirkan cita insan beriman, berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan dalam pembangunan nasional, khususnya di Kabupaten Blora. Dalam perjalanannya tak dapat dipungkiri, masih terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan dan pengelolaan Pendidikan Pesantren di Kabupaten Blora, diantaranya pertama, sumber dana dalam pengelolaan pesantren yang terbatas; kedua, belum terpenuhinya standar tenaga pendidik dan kependidikan sesuai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional; ketiga, masih minim dan belum meratanya sarana prasarana untuk kenyamanan belajar para santri; keempat, belum optimalnya pelaksanaan hingga penyusunan kurikulum secara sistematis dan sesuai pekembangan zaman; kelima, tatakelola organisasi pesantren yang masih memperlukan arahan, keenam, jaminan perlindungan terhadap tindakan-tindakan kekerasan seksual bagi para santri dan masyarakat pesantren, ketujuh, jaminan keamanan dari aliran-aliran radikalisme, terorisme, dan sejenisnya yang sering masuk kedalam pesantren. Peran pemerintah daerah Kabupaten Blora dalam memberikan perhatian dan pembinaan terhadap penyelenggaraan pesantren dengan jumlah yang terbilang cukup banyak masih belum terlaksana secara maksimal. Sehingga untuk mencapai titik profesional dan akuntabilitas


7 lembaga pesantren dipandang penting untuk dirumuskan dan ditetapkan satu Peraturan Daerah secara khusus terkait Fasilitasi Pengelolaan Pesantren di Kabupaten Blora, dengan penekanan terutama pada aspek dukungan pembiayaan, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dan kelembagaan pesantren. 1.2 Identifikasi Masalah Secara umum substansi permasalahan sebagai hasil proses identifikasi masalah terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Blora tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren, mencakup beberapa rumusan pokok masalah sebagai berikut: a. Pesantren di Kabupaten Blora masih terbatas dalam hal pendanaan b. Pesantren di Kabupaten Blora belum memiliki standarisasi yang memadai dalam hal tenaga pendidik dan kependidikan c. Pesantren di Kabupaten Blora belum merata akses kebutuhan sarana prasarana d. Pesantren di Kabupaten Blora belum mencukupi dalam hal kemajuan kurikulum Pendidikan yang menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan zaman e. Pesantren di Kabupaten Blora belum maksimal dalam tatakelola pesantren yang berbasis modern, karena kebanyakan masih memakai cara tradisional f. Pesantren di Kabupaten Blora perlu adanya jaminan perlindungan keamanan dari tindakan kekerasan seksual dan aliran-aliran yang garis keras


8 1.3 Tujuan dan Kegunaan Kajian naskah akademik ini menetapkan tiga kajian pokok dalam pemetaan permasalahan yang sudah dipaparkan di dalam identifikasi masalah yang dijabarkan sebagai berikut, Pertama, dengan adanya Perda Fasilitasi Pengelolaan Pesantren Kabupaten Blora ini adalah sebagai bentuk jaminan pelindungan keamanan serta pemerataan dalam pelaksanaan dan pengelolaan Pendidikan pesantren di Kabupaten Blora yang disesuikan dengan RPJMD Kab. Blora Tahun 2021-2026; kedua, memaparkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis sebagai dasar penyusunan peraturan daerah tentang Pengelolaan Pesantren, ketiga, menjabarkan arah jangkauan dan ruang lingkup peraturan daerah tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren. Kajian naskah akademik ini juga akan dipergunakan sebagai referensi dibentuknya Peraturan Daerah Kabupaten Blora tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren. Pertama, kajian ini memberikan basis argumentasi mengapa Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren perlu dan penting dibuat sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. kedua, kajian ini juga memberikan argumentasi perlu dan pentingnya dikeluarkan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren di Kabupaten Blora. 1.4 Metode Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pesantren Kabupaten Blora menggunakan Metode Yuridis Empiris. Metode yuridis empiris atau sosio legal adalah penelitian yang


9 diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.


10 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN EMPIRIS 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren Pesantren secara umum dikenal sebagai tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu atau kayu”. Menurut Zamakhsyari Dhofier, kata pondok berasal dari bahasa arab “funduuk” yang berarti penginapan atau asrama. Istilah pesantren atau pondok pada umumnya dikenal di wilayah Jawa, Sunda dan Madura. Sementara di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung, atau meunasah, di Minangkabau disebut surau.11 Kata pesantren, menurut HM. Arifin, berasal dari santri (pe-santre-an) yang berarti orang yang mencari pengetahuan seputar Islam. Pada umumnya, kata pesantren kemudian kerap dimaknai sebagai suatu tempat dimana santri menghabiskan kebanyakan dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.12 Secara terminologis, Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa pesantren secara teknis merupakan, a place where santri (student) live (sebuah tempat dimana santri menjalani 13kehidupan). 11 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia” (Jakarta: LP3ES, 2011), 41. 12 Arifin, “Kapita Seleksi Pendidikan Umum Dan Islam” (Jakarta: Bina Aksara, 1991), 240. 13 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2001).


11 Selanjutnya Abdurrahman Wahid memberi kekhususan pesantren sebagai sub-kultur dengan pemahaman bahwa di dalamnya memiliki tatanan nilai sekaligus nilai sentralnya tersendiri. Secara sosiologis, keunikannya dapat dilihat pada beberapa aspek, yaitu cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hierarki kekuasaan internal tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Pengertian pesantren dari Abdurrahman Wahid ini mengantarkan pemahaman kalangan cerdik cendekia muslim, bahwa pesantren dikenal sebagai sub-kultur. Sementara Abdurrahman Mas’ud menulis “the word pesantren stems from “santri” which means one who seeks islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his other time to live in and acquire knowledge.14 Martin van Bruinessen menyebut pondok pesantren sebagai salah satu tradisi agung (great tradition) dalam bidang pengajaran Islam di Indonesia yang bertujuan untuk mentransmisikan Islam tradisional.15 Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Ada beberapa elemen pesantren yang membedakan dengan lembaga lainnya, yaitu; (1) pondok tempat menginap para santri, (2) santri: peserta didik, (3) masjid: sarana ibadah dan pusat 14 Abdurrahman Mas’ud, Sejarah Dan Budaya Pesantren (Jakarta: Erlangga, 2002). 15 Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning: Pesantren Dan Tarekat” (Bandung, 1995), 17.


12 kegiatan pesantren, (4) kyai: tokoh atau sebutan seseorang yang memiliki kelebihan dari sisi agama, dan kharisma yang dimilikinya, (5) kitab kuning: sebagai referensi pokok dalam kajian keislaman.16 Ragam keilmuan pesantren dapat diurai menggunakan kerangka al-Ghazali yang menyebut bahwa ilmu bisa diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu ilmu syar’iyah dan ‘aqliyah (intelektual). Ilmu syariah meliputi at-tauhîd, al-lugah, at-tafsîr, alhadîts, musthalah al-hadîts, al-fiqh, ushûlal-fiqh dan al-akhlâq. Sementara aqliyah meliputi matematika, aritmatika, geometri, astronomi, logika, musik, fisika, kimia, kedokteran, metreologi, dan metafisika.17 Secara historis, Agus Sunyoto dalam bukunya Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Jamal Ma’mur menuliskan bahwa menurut sejarah, embrio pesantren adalah padepokan yang didirikan oleh Sunan Ampel sebagai pusat pendidikan di Jawa dan santrinya berasal dari berbagai penjuru nusantara pada abad ke-15. Salah satu santrinya adalah Sunan Giri yang menjadi penasehat, panglima militer dan mufti se-tanah Jawa ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit. Silsilah Walisongo tidak lepas dari Sunan Ampel, seperti Sunan Kalijaga yang menjadi santri Sunan Bonang (putra Sunan Ampel). Padepokan yang didirikan oleh Walisongo dalam rangka 16 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,” n.d., 79–99. 17 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, “Ihya’ Ulumuddin” (Beirut: Dar alHazm, n.d.).


13 mengambil alih lembaga pendidikan Syiwa-Budha yang bernama “asrama” atau “dukuh” yang diformat menjadi lembaga pendidikan pondok pesantren.18 Pada awalnya, sistem pembelajarannya bersifat non klasikal, di mana seorang kyai membimbing agama Islam (tafaqquh fi ad-dien) kepada santrinya secara langsung pada abad pertengahan. Dalam perkembangannya, mulai terdapat pesantren yang membuka sistem pendidikan sekolah atau madrasah dengan mengadopsi perkembangan di luar termasuk perubahan literatur yang digunakan. Dahulu pondok pesantren tradisional tidak mengenal sistem klasikal, namun lambat laun mengadopsi model pendidikan klasikal. Bentuk-bentuk klasikal dimulai dari tingkat madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah mulai diterapkan di pondok pesantren. Model Tabaqat Ula, Wustha, dan Ulya juga dikembangkan. Perubahanperubahan ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan kurikulum yang berlaku dan juga penyerapan inspirasi nilai-nilai dari masyarakat guna memenuhi tuntutan zaman dalam waktu yang bersamaan. Perubahan ini tidak serta merta menjadikan keunikan pondok pesantren, asrama santri dan nilai-nilai yang hidup, kepemimpinan kiai tetap melekat di pesantren. Perubahan-perubahan ini ini juga tentu menunjukkan inklusivitas dan keluwesan pondok pesantren dalam menyikapi arus perubahan dari luar. Pondok pesantren dengan demikian menjadi katalisator dalam merespon 18 Jamal Ma’mur Asmani, “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI” (Pressindo, 2016), 88.


14 tantangan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya, terutama ketika berhadapan dengan modernisasi sistem pendidikan, baik yang berasal dari sistem pendidikan nasional maupun produk globalisasi. Dari pengamatan sehari-hari kehidupan santri di pondok pesantren, ia merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Namun pada perkembangan selanjutnya, pondok pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan kemasyarakatan saja tetapi juga berperan sebagai pengembangan masyarakat (community development), perubahan sosial (agent of social change), dan pembebasan (liberation) pada masyarakat dari ketertindasan, keburukan moral politik dan kemiskinan.19 Dari paparan di atas pesantren memiliki eksistensi yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Menurut Nurcholis Madjid pesantren mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Cak Nur memprediksi jika Indonesia tidak mengalami penjajahan maka model pendidikan ala pesantren menjadi model lembaga pendidikan utama secara nasional, nama-nama perguruan tinggi mungkin 19 Manfred Oepen, “Dinamika Pesantren, Dampak Pesantren Dalam Dinamika Pendidikan Dan Pengembangan Masyarakat” (Surabaya: Hikmah, n.d.), 152–53.


15 bernama universitas Tremas, Tebuireng, Krapyak dan seterusnya, bukan UGM, ITB, UI.20 2.1.2 Fungsi dan Peran Pondok Pesantren Sebagaimana telah disingggung, bahwa fungsi dan peran pesantren pada perkembangannya tidak sematamata hanya sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fi addien an sich, tetapi berfungsi multikomplek yang menjadi tugas pesantren. Pendidikan di pesantren tidak berhenti pada aktifitas transfer ilmu saja. Hal ini dikemukakan oleh Tholhah Hasan mantan Menteri Agama RI, bahwa pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi addien) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik (al-muhafadzatu ‘ala al-qadim as-shalih wal 20 Ma’mur Asmani, “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” n.d., 87.


16 akhdzu bil jadid al-ashlah), sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change. 21 Modernisasi pendidikan di negara-negara mayoritas muslim memiliki dua tipologi, pertama transformasi lembaga tradisional, seperti madrasah menjadi modern dengan masuknya ilmu-ilmu umum dan perubahan kelembagaan. Kedua, membangun lembaga baru untuk memperkuat modernisasi misalnya dengan memasukkan sains dan teknologi.22 Di Indonesia modernisasi pendidikan pesantren tidak lepas dari peran KH. Wahid Hasyim saat menjadi Menteri Agama pada tahun 1934. KH. Wahid mendirikan Madrasah Nidhomiyah dimana 70% memasukkan kurikulum pelajaran umum. Gagasan beliau disetujui ayahandanya KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi tonggak modernisasi pesantren di Indonesia. Apabila mendasarkan pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 keberadaan pondok pesantren semakin jelas mendapatkan pengakuan dan legitimasi secara formal negara, khususnya pada pasal 15 bahwa pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang menaruh perhatian di bidang keagamaan, bersanding dan dibedakan dengan pendidikan kejuruan, akademik, profesi, dan vokasi. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini 21 Wahidah E.Y., “Studi Implementasi Tradisionalisasi Dan Modernisasi, Pendidikan Di Pondok Pesantren,” in Muaddib 5, No. 2, 2015, 184–207. 22 Ma’mur Asmani, “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” n.d., 93.


17 dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: pertama, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Ketiga, pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Keempat, Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan pesantren semakin jelas.23 Dari paparan tersebut peran dan fungsi pesantren dapat dirinci sebagai berikut: Peran Transfer Of Knowledge, pengajaran tafaqquh fi al-dien, dimana santri menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar menimba ilmu, memahami dan mempraktekkan ajaran Islam. Transfer pengetahuan mencakup dua ilmu yaitu syar’iyyah dan ‘aqliyyah, ilmu syariah meliputi tauhîd, allugah/bahasa, tafsîr, hadîts, musthalah al-hadîts, fiqh, ushûl dan akhlâq. Sementara aqliyah meliputi matematika, aritmatika, geometri, astronomi, logika, musik, fisika, kimia, kedokteran, meteorologi, dan 23 Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter,” Al--Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 8 1 (2017): 79.


18 metafisika. Dengan dua ilmu ini pesantren kemudian dipandang berhasil membentuk karakter positif pada para siswa didik (santri) karena menerapkan pendidikan yang holistik, berupa tarbiyah (pembelajaran) yang meliputi ta’lîm (pengajaran) dan ta’dîb (pembentukan karakter atau pendisiplinan). Peran Transfer of Attitude, metode pembelajaran modelling (keteladanan) dari kiai dan santri senior merupakan serangkaian kegiatan perubahan sikap dan perilaku santri (transfer of attitude) selama menempuh pendidikan. Pengajaran nilai dan perilaku hidup seperti kesederhanaan, kejujuran, sopan santun, tanggung jawab, bekerja keras, kemandirian belajar, bersikap husnudzon (positif), dan sikap memberi (tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah) dan sebagainya merupakan ciri khas paling dominan di pondok pesantren. Peran Rekayasa Sosial pondok pesantren memerankan diri sebagai perekayasa sosial dengan dengan tindakan sistematis untuk melakukan perubahan sosial, dimulai dengan membaca dan memahami realita sosial kemudian melakuan perubahan sosial. Upaya ini sangat tampak dari pengajaran akan nilai-nilai keagamaan yang berhubungan dengan tatanan sosial kemasyarakatan seperti ukhuwah (persaudaraan), taâwun (tolong menolong atau koperasi), ittihâd (persatuan), thalabul- ’ilm (menuntut ilmu), ikhlâs (ikhlas), jihâd (perjuangan), thâ’ah (patuh kepada Tuhan, Rasul,


19 ulama atau kiai sebagai pewaris Nabi, dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin).24 Peran Historis Melawan Kolonialisme, pesantren menjadi garda depan perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonialisme. Berbagai peristiwa perlawanan rakyat sejak perang Diponegoro, pemberontakan di Banten pada abad ke-19, perang rakyat 10 November di Surabaya dan perang gerilya mempertahankan kemerdekaan menjadi bukti kuat peran penting pesantren. Peran yang demikian muncul dalam sejarah sangat besar dalam merespon ekspansi politik kolonial Belanda. Semangat juang dalam mengusir kaum penjajah di tanah air lebih banyak dikibarkan dari pesantren atau kaum santri dengan semangat jihad dan hubbul wathan min al-iman mereka berani mati melawan penjajah. 25 Peran Pengembangan Masyarakat, pondok pesantren secara sosial khususnya kepemimpinan kyai dan ilmu kemasyarakatan yang ditimba santri selama mondok menjadi bekal dalam pengembangan masyarakat. Mereka berproses melakukan penguatan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara.26 Nilai-nilai yang dikembangkan pesantren 24 M. Dawam Rahardjo, “Pesantren Dan Pembaharuan” (Jakarta: LP3ES, 1983), 9. 25 Nizar S, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasululloah Sampai Indonesia (Yogyakarta: Prenada Media Group, 2007). 26 Sumaryo Gitosaputro, Pengembangan Dan Pemberdayaan Masyarakat; Konsep Dan Aplikasinya Di Era Otonomi Daerah, 2002.


20 seperti kemandirian, kerjasama, cinta Tanah Air, kejujuran, kasih sayang, penghargaan, kesungguhan, rendah hati, tanggung jawab, kepedulian, kesabaran, kedamaian, musyawarah, toleransi dan kesetaraan menjadi bagian integral dari kepribadian santri di dalam masyarakatnya. Santri juga dibekali dengan pendidikan vokasi, seperti wirausaha peternakan, pertanian, pertukangan, tata niaga sebagai bagian dari keahlian dalam pengembangan masyarakat. Peran Agent Of Change santri sebagai individu dilatih kepemimpinan secara natural selama di pesantren. Dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki santri, seperti musyawarah, ilmu mantiq (logika bahasa), berceramah, dan keteladanan bersikap menjadi modal yang cukup untuk mempengaruhi orang lain, mempengaruhi kelompok atau organisasi dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan inovasi agar sesuai dengan ajaran dan tata nilai kehidupan di pondok pesantren. Menurut catatan Agus Sunyoto, jaman dulu pelajaran politik juga diajarkan di pondok pesantren/padepokan sehingga mereka tidak gagap menghadapi arus perubahan politik kala itu. Dalam konteks sekarang santri belajar tentang pendidikan kewarganegaraan. Dengan kemampuan individu seperti itu dengan sendirinya santri menjadi agen perubahan di desa atau tempat asal mereka setelah lulus dari pondok pesantren. Peran Sebagai Lembaga Syiar Islam dengan sendirinya pesantren di tengah-tengah masyarakatnya


21 menjadi bagian dari syiar keislaman, lebih-lebih bagi pengasuh/kyai yang secara langsung berdakwah di tengah-tengah masyarakat serta kiprah lulusan pondok (alumni ponpes) yang terjun langsung ke masyarakat dengan suri tauladan (dakwah bil hal) dan ceramah-ceramah keagamaan (dakwah bi al-lisan). Peran Pengembangan Sains dan Teknologi, pesantren Tebuireng mengembangkan transformasi pendidikan pesantren dengan sebutan Trensains (pesantren sains), mengombinasikan al-Qur’an dan sains sebagai bagian dari upaya pesantren dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Trensains diresmikan pada bulan Agustus 2014 oleh Menteri Agama. Trensains menjadi pioner yang diikuti oleh lembaga pendidikan di pondok pesantren lain di Jawa, seperti SMA Sains Al-Quran di Ponpes Wahid Hasyim Yogyakarta. Di Jepara sebuah SMK Raudlatul Mubtadi’in Mayong berhasil membuat prototipe mobil listrik baru-baru ini. Peran Pembangunan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia dari peran-peran tersebut pada akhirnya pondok pesantren turut andil dalam pembangunan dan pengembangan manusia seutuhnya bagi suatu daerah tempat dimana pesantren dan santri berasal. Dapat kita lihat secara langsung kiprah lulusan ponpes di berbagai bidang, sosial keagamaan, sosial ekonomi, sosial politik dan pemerintahan. Mereka nyata berkontribusi dalam perubahan sosial khususnya sumberdaya manusia. Pondok pesantren


22 dan lulusannya secara langsung menjadi aset daerah yang mutlak harus diperhatikan. 2.1.3 Pola Tingkatan Pesantren Pondok pesantren pada perkembangannya dibedakan dua jenis, khalaf (modern) dan salaf. Perbedaan keduanya menonjol pada pengelolaan, pesantren khalaf mengelola pondok pesantren dan kurikulumnya dengan sistem modern. Kyai tidak lagi mengurus keuangan pesantren, melainkan bendahara pesantren. Kurikulum dan pengajaran menggunakan sistem pembelajaran klasikal. Managemen pesantren khalaf lebih terbuka, dengan dukungan teknologi pada jaman sekarang. Sementara pesantren salaf managemen masih dalam kendali otoritas kiai, meski telah dibantu oleh lurah pondok sebagai pengendali operasionalnya, namun pelaksanaannya tetap mengacu kepada restu kyai, atau dengan kata lain sistem pesantren salaf. Semua masih serba kyai.27 Berbeda dengan Zamakhsyari Dhofier, Abdullah Syukri Zarkasyi mengklasifikasi pesantren menjadi tiga bentuk, yaitu: Pertama, pesantren tradisional yang masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama, pembelajaran kitab, sampai kepada permasalahan tidur, makan dan MCK-nya, serta kitab-kitab maraji’- nya biasa disebut kitab kuning. Kedua, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang memadukan antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem 27 Dhofier, “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,” n.d., 41.


23 pembelajaran disamping kurikulum pesantren tradisional dalam kajian kitab klasik juga menggunakan kurikulum Kemenag dan Kementerian Pendidikan. Ketiga, pesantren modern yang kurikulum dan sistem pembelajarannya sudah tersusun secara modern demikian juga menejemennya. Tata kelola pesantren modern sudah didukung IT dan lembaga bahasa asing yang kompeten, ma’had ‘aly dikategorikan bentuk pesantren modern.28 Dinamika pondok pesantren hingga hari ini terus berubah, menurut Manfred Ziemak, sebagaimana ditulis oleh Imam Syafi’i di Jurnal Pendidikan AlTadzkiyyah, pondok pesantren terbagi ke dalam beberapa tipe sebagai berikut: 1) Tipe A, yaitu pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional, tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya dan masih tetap eksis mempertahankan tradisi-tradisi pesantren klasik dengan corak keislamannya. Masjid digunakan untuk pembelajaran Agama Islam disamping tempat shalat. Tipe ini biasanya digunakan oleh kelompok-kelompok tarekat dan disebut pesantren tarekat. Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah 28 Ahmad Syukri Zarkasyi, Langkah Pengembangan Pesantren Dalam Rekontruksi Pendidikan Dan Tradisi Pesantren Religiusitas Iptek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).


24 kyai atau di rumah kyai. Tipe ini sarana fisiknya terdiri dari masjid dan rumah kyai. 2) Tipe B, pondok pesantren yaitu yang mempunyai sarana fisik, seperti; masjid, rumah kyai, pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri, utamanya adalah dari daerah jauh, sekaligus menjadi ruangan belajar. Tipe ini adalah pesantren tradisional yang sangat sederhana sekaligus merupakan ciri pesantren tradisional. Sistem pembelajaran pada tipe ini adalah individual (sorogan), bandungan, dan wetonan. 3) Tipe C, atau pesantren salafi ditambah dengan lembaga sekolah (madrasah, SMU atau kejuruan) merupakan karakteristik pembaruan dan modernisasi pendidikan Islam di pesantren. Meskipun demikian, pesantren tidak menghilangkan sistem pembelajaran yang asli yaitu sistem sorogan, bandungan, dan wetonan yang dilakukan oleh kiai atau ustadz. 4) Tipe D, yaitu pesantren modern terbuka untuk umum, corak ini telah mengalami transformasi dalam sistem pendidikan dan unsur-unsur kelembagaannya. Materi dan sistem pembelajaran sudah menggunakan sistem modern dan klasikal. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan mulai dari tingkat dasar (PAUD dan TK) sampai pada perguruan tinggi. Tipe ini sangat memperhatikan pengembangan bakat dan minat santri sehingga santri bisa mengeksplor diri sesuai bakat dan


25 minat. Pesantren tipe ini serius dalam penguasaan bahasa asing, baik bahasa Arab dan Inggris maupun bahasa internasional lainnya. Contohnya, pesantren Gontor Ponorogo, Tebuireng Jombang, Al-Amin Madura dan pesantren lain. 5) Tipe E, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di luar pesantren. Pesantren tipe ini dapat dijumpai pada pesantren salafi. 6) Tipe F, atau ma’had‘ Aly, tipe ini, biasanya ada pada perguruan tinggi agama atau perguruan tinggi bercorak agama. Para mahasiswa di asramakan dalam waktu tertentu dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh perguruaan tinggi, mahasiswa wajib mentaati peraturan yang tinggal di asrama atau ma’had. Sebagai contoh, ma’had ‘aly UIN Malang, ma’had ‘aly IAIN Raden Intan Lampung. Pesantren tipe ini juga memberikan pendalaman spiritual mahasiswa dan menciptakan iklim kampus yang kondusif untuk pengembangan bahasa asing. 2.1.4 Metode Pendidikan Pesantren Metode pendidikan di pesantren mengikuti jenisnya, pesantren salaf umumnya menggunakan metode sorogan, bandungan, dan wetonan. Sistem sorogan merupakan proses pembelajaran yang bersifat


26 individual, dan sistem pembelajaran dasar dan paling sulit bagi para santri. Santri dituntut sabar, rajin, taat dan disiplin diri dalam menuntut ilmu. Kerap santri kurang menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum mengikuti sistem pembelajaran selanjutnya. Santri yang telah mahir dalam penguasaan sorogan menjadi kunci dalam menguasai ilmu agama dan menjadi seorang alim. Sedangkan sistem bandungan atau juga disebut wetonan merupakan sistem belajar kelompok dalam arahan dan bimbingan kiai, biasanya terdiri antara 5 sampai 500 orang santri. Mereka mendengarkan seorang guru atau kiai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitabkitab dalam bahasa Arab dan santri masing-masing memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan yang dianggap sulit atau penting. Kelompok sistem ini disebut halaqah. Jika kIai berhalangan memberikan pengajaran dalam sistem ini, kyai akan menunjuk santri senior (ustadz) untuk mewakilinya. Dalam sistem sorogan terjadi musyawarah atau diskusi tentang kajian Islam klasik dengan sumber kitab yang jelas. Bahan diskusi dan hasil diskusi selalu dihadapkan ke kyai untuk dikoreksi dan diverifikasi.29 Metode pembelajaran biasanya menggunakan halaqah dan hafalan, hiwar, 29 Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter.”


27 bahtsul masail, fathul kutub, muqoronah, demonstrasi, bermain peran, dan majlis taklim. 30 Khusus dalam pengajaran kitab kuning, biasanya kiai menggunakan sejumlah metode, yaitu, pertama, metode deduktif (istinbathi), digunakan untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan menjadi masalah fiqhiyyah, terutama dari aliran mutakkalimin Imam Syafii. Kedua, metode induktif (istiqra’i), mengambil kesimpulan umum dari hal-hal khusus, misalnya Imam Syafii ketika menatapkan masa haid, banyak juga digunakan oleh ulama fikih aliran ra’yu (Imam Hanafi). Ketiga, metode genetika, jalan berpikir untuk mencari kejelasan dari sebab-sebab terjadinya banyak digunakan oleh ahli hadis untuk meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya. Keempat, metode dialektika (jadali), cara berpikir yang uraian jelasnya diangkat dari pertanyaan atau dari pernyataan sesorang yang mengangkat persoalan tertentu, seperti kitab Imam Ghozali tahafut al-falasifah.31 2.2 Kajian Empiris Kabupaten Blora memiliki visi “Sesarengan Mbangun Blora Unggul dan Berdaya saing. Dengan lima misi yaitu: membangun sumber daya manusia yang berkualitas, berdaya saing dan berkarakter; mewujudkan infrastruktur yang baik dan tata lingkungan yang berkelanjutan; mewujudkan 30 Moh. Sobirin, “Sistem Pembelajaran Pesantren Dan Efektfitasnya Dalam Penanaman Akidah Dan Sikap Keberagamaan Santri” (Cirebon: IAIN Syeh Nurjati Cirebon, 2013). 31 Ma’mur Asmani, “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” n.d., 14.


28 birokrasi yang profesional, progresif, bersih dan akuntabel; menciptakan kondisi wilayah yang kondusif; memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis potensi daerah dan membuka peluang investasi untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.32 Dalam konteks penyusunan Naskah Akademik Ranperda Fasilitasi Pengelolaan Pesantren ini relevan dengan misi pertama. Pesantren memiliki kontribusi penting dalam pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berkarakter di kabupaten Blora. Kabupaten Blora terdiri dari 16 kecamatan dan 295 desa/kelurahan. Penduduknya berjumlah 938.814 jiwa pada tahun 2020. Memiliki luas wilayah 195.582,19 hektar dan 49.66% terdiri dari hutan dan 25,2% berupa area persawahan. Kabupaten Blora masuk kategori kabupaten miskin di Jawa Tengah dengan tingkat kemiskinan 12,39%, di atas propinsi Jawa Tengah sebesar 11,79% dan nasional 10,14%. Pada tahun 2022, Kabupaten Blora tercatat memiliki 87 lembaga pondok pesantren yang berijin,33 pesantren yang tidak aktif berjumlah 68 lembaga dengan Ustadz berjumlah 992 dan santri 9489. Sedangkan tahun 2021 tercatat 82 pesantren dengan jumlah santri 9315 dan pengajar 1042.34 Sebaran Pondok pesantren di Blora seperti tabel di bawah ini: Tabel 1 Data Ponpes, Santri dan Guru BerdasarkanKecamatanTahun 2021 32Dokumen RPJMD Kabupaten Blora 33Pesantren yang masuk dalam data Emis tahun 2022. 34Berdasarkan Kabupaten Blora Dalam Angka 2022, 195.


29 Kecamatan Jumlah Ponpes Jumlah Santri Jumlah Guru Jati 2 33 19 Randublatun g 2 17 21 Kradenan 3 86 36 Kedungtuban 5 484 51 Cepu 10 1072 148 Sambong 2 77 13 Jiken 3 277 46 Bogorejo 2 187 25 Jepon 2 14 58 Blora Kota 11 1884 118 Banjarejo 8 680 84 Tunjungan 6 1587 110 Japah 2 50 14 Ngawen 15 2217 198 Kunduran 6 509 84 Todanan 3 141 17 Jumlah 82 9315 1042 Sumber: Kabupaten Blora dalam Angka 2022 Tabel tersebut menunjukkan bahwa 5 kecamatan yang memiliki jumlah pesantren dan santri terbanyak adalah Ngawen, Blora Kota, Cepu, Banjarejo, dan Tunjungan. Dari lima kecamatan tersebut, empat diantaranya masuk kategori kecamatan miskin dan rawan stunting, yaitu kecamatan Ngawen, Blora Kota, Cepu dan Banjarejo, seperti gambar di bawah ini:35 35Paparan Bupati Blora H. Arief Rohman, S.IP., M. Si. berjudul, “Peningkatan dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Daerah Melalui Kerjasama Tridharma Perguruan Tinggi”, Juni 2022.


30 Gambar 1 Peta Kemiskinan dan Stunting Kabupaten Blora Tim penyusun NA telah melakukan survey secara online kepada pesantren di kabupaten Blora melalui jejaring organisasi pondok pesantren (Rabitah Ma’ahid Islamiyah), terdapat 65 pesantren yang mengisi survey.


31 Dari 65 pesantren yang mengisi survey, seluruhnya merupakan pesantren yang telah memiliki ijin operasional pesantren. Kajian empirik dilakukan dengan melibatkan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Kabupaten Blora melalui metode survey online yang dilakukan mulai 8–27 Juli 2022 dengan responden seluruh anggota RMI dan jaringan pesantren di kabupaten Blora. Dari total 86 pesantren yang terdaftar di Emis, 65 pesantren (75%) diantaranya telah mengisi kuesioner yang disebarkan tim penyusun NA. Berdasarkan hasil kajian empirik menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut: Permasalahan dalam tata Kelola Pesantren di Kab Blora ▪ Regulasi tata kelola pondok masih terbatas, sebagian belum ada regulasinya. Keterbatasan regulasi menyebabkan lemahnya keteladanan dan sikap, seperti pengurus tidak tegas, pengurus masih bingung, penataan administrasi pondok dan santri masih minim. ▪ Tidak adanya regulasi juga berdampak pada tata hubungan dengan masyarakat dan pemerintah. ▪ Pembiayaan yang rendah, berakibat pada tidak berjalannya operasional pondok ▪ Tata Kelola dan sarana prasarana masih kurang ▪ Pelatihan dan penyuluhan tentang tata kelola pesantren masih kurang, serta pendampingan tidak maksimal oleh pengurus pondok ▪ Dukungan pemerintah masih lemah dalam penataan pondok pesantren, termasuk bantuan pembangunan fisik dan non fisik


32 Faktor eksternal yang dapat menimbulkan masalah di pesantren. ▪ Faktor terbanyak yang disampaikan adalah problem sosial ekonomi, meliputi living cost santri, pemenuhan sarana prasarana santri, keterbatasan komunikasi dan kegiatan kependidikan selama covid 19. ▪ Warga masyarakat lingkungan sekitar pondok pesantren belum mendukung dengan baik. ▪ Masih terdapat pandangan peyoratif dari masyarakat terhadap lulusan pondok pesantren. ▪ Kalender kegiatan pondok (asrama) dengan kalender kegiatan sekolah (formal) serta non formal (les private) tidak harmoni, kerap menimbulkan persoalan pada santri dan kegiatan pondok. ▪ Pembinaan dan pengasuhan bagi “mantan anak jalanan” kurang diperhatikan sehingga berdampak pada santri yang lain. ▪ Pengaruh teknologi informasi dan sosial media cukup besar pada kepribadian santri dan kultur pondok secara umum, Problem mindset dan budaya masyarakat ▪ Pemahaman orang tua santri terhadap pondok pesantren masih minim ▪ Kerjasama pemerintah dan pondok pesantren masih lemah terutama dalam hal mindset masyarakat terhadap pondok dan lulusannya. Sebagian masyarakat mengira lulusan pondok tidak dapat melanjutkan ke perguruan


33 tinggi dan tidak bisa menjadi ASN (aparat sipil negara), ada kekhawatiran lapangan kerja yang terbatas bagi lulusan pondok. ▪ Masih ada anggapan bahwa lulusan pondok tidak banyak berkontribusi pada masyarakat ▪ Penerimaan warga sekitar pondok kurang baik, kerap mengganggu karena berisik. ▪ Adanya kekhawatiran gerakan wahabi di sekitar pondok yang mempengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap pondok. Faktor Internal yang dapat mempengaruhi masalah di pesantren Sosial Budaya Santri ▪ Karakter para santri kurang disiplin dan masih ada yang suka jahil. ▪ Kenakalan santri sebelum masuk pesantren masih terbawa, bahkan kadang kabur dari pondok ▪ Pertengkaran karena dipicu/meniru game online SDM dan Regulasi Pondok ▪ Metode pembelajaran pesantren masih terbatas ▪ SDM administrasi dan regulasi yang mengatur kompetensi SDM masih lemah, termasuk ustadz dan pengasuh. ▪ Kurang menjaga kedisplinan dan kebersihan ▪ Kurangnya dedikasi dan keaktifan pengurus pondok ▪ Pendidikan tentang keorganisasian dan kepemimpinan masih kurang.


34 ▪ Keteladanan yang rendah, masih terdapat egoisme dan individualisme ▪ Pergantian kepemimpinan/pengasuh kerap menimbulkan persoalan Sosial Ekonomi Pondok ▪ Sarana dan prasarana yang terbatas. ▪ Dukungan IT yang minim ▪ Keterbatasan sumber dana keuangan pondok ▪ Bantuan pemerintah masih jauh dari harapan ▪ Perlunya anggaran operasional untuk lembaga atau forum yang menangani ke-pesantren-an (RMI dan FKKP) untuk melakukan koordinasi atau kegiatan lain terkait pengembangan jejaring antar pesantren. RATA-RATA BISYAROH Hampir seluruh responden menuliskan bahwa bisyarohatau honorarium guru atau ustadz di pesantren kurang dari 1 juta rupiah per bulan. KURIKULUM PONDOK ▪ Mengikuti ulama-ulama salaf, menggunakan kurikulum mandiri khas pondok salafiyah, pengajaran Al Qur'an, Hadist, nahwu shorof dan kitab kuning lainnya. ▪ Menggunakan metode sorogan, muhafadzoh, muroja’ah, musyawarah, dan idaroh, ▪ Kurikulum mengikuti RMI NU kabupaten Blora; Mapel fikih, tauhid, nahwu, sorof, i'lal, usul fiqih, istilah fuqoha', qa’idah fikih, ilmu mantiq, balaghah dan tafsir.


35 ▪ Sedikit demi sedikit mengikuti anjuran dari daerah yang merupakan paduan antara kurikulum pemerintah dan kurikulum pesantren (kurikulum terpadu pelajaran umum, diniyah, dan khas pondok) ▪ Kurikulum mandiri seimbang antara Pendidikan Pondok dan Umum. Pendidikan Keagamaan Penggabungan kurikulum nasional dan diniyah Kapasitas Pengajar Pondok Pesantren Hampir seluruh responden menjawab bahwa kapasitas dan kompetensi pengajar pondok telah memadai namun masih perlu ditingkatkan kompetensinya. Kebutuhan Peningkatan Kompetensi Pengajar/ustad di Pesantren ▪ Peningkatan IT terutama dalam bidang praktek, termasuk digitalisasi ilmu sampai kelas awaliyah ▪ Adanya pembekalan bagi pengajar tentang kedisiplinan ▪ Melatih kemampuan manajerial pesantren ▪ Update tentang dinamika dan kemajuan Pondok Pesantren ▪ Tasawuf ▪ Peningkatan ekonomi ▪ Pelatihan ▪ Perlu pembinaan Semangat dan kreatifitas dalam mengajar memahami karakter santri dan perlu ketegasan ▪ Strategi dan metode pembelajaran semua bidang ilmu ▪ Bimbingan dan menambah wawasan tentang kitab kuning dan meneruskan pesantren di timur tengah ▪ Dibangun akses studi ke luar negeri dan timur tengah.


36 ▪ Cara mengasuh dan pendekatan kepada santri yang baik dan benar ▪ Pondok dibekali bagaimana mengetahui dan mengembangkan minat bakat santri ▪ Perlu diklat pengembangan ekonomi pesantren dan peningkatkan kompetensi manajerial ▪ Meningkatkan kesejahteraan ustadz, Bisyaroh yg lebih dari 1.000.000 Nilai Budaya Lokal (local wisdom) yang menjadi ciri khas daerah dan diajarkan dipesantren ▪ Rutinitas tahlil, yasinan, sholawatan, khitobahan untuk bekal di masyarakat, manakiban Syekh Abdul Qadir aljailani, rotibul haddad, mujahadah, wiridan, khotmil Quran. ▪ Grup rebana, Seni hadroh dalam perayaan hari hari besar keagamaan ▪ Pengajaran Aswaja, al-barzanji, sedekah bumi, ziarah kubur. ▪ Karnaval 17-an dengan haul nyadran/manganan ▪ Tari Saman dari Aceh menjadi tarian khas Insan Gemilang ▪ Pakai sarung peci, santri Putri pakai jarik ▪ Pencak silat ▪ Ro’an, akhlakul karimah dan budaya lokal Ngawen ▪ Latihan Tari Barongan, memelihara budaya berbahasa Jawa Krama. ▪ Gotong royong dan peduli lingkungan setempat. Nilai/budaya yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan Pesantren


37 ▪ Akhlaq kehidupan sehari-hari, seperti sholat tahajud, dhuha, Memimpin Tahlil, dan latihan khitabah ▪ Sikap kesopanan para santri terhadap pengasuh beserta pengurus ▪ Akhlakul karimah, ibadah amaliyah, kedisiplinan dan keberanian dalam berpendapat ▪ Kekompakan bermasyarakat ▪ Menjadi luas dan luwes dalam berilmu, sopan santun, terjalinnya tali silaturrahimyang kuat ▪ Akhlak yang baik,unggah ungguh khas Desa ▪ Menghidupkan ajaran-ajaran ala pesantren salaf ▪ Komunikasi, saling menghargai, berhemat, kesabaran ▪ Menjadikan santri belajar dan mengetahui budaya gotong royong, tenggang rasa, kekeluargaan, nilai kesadaran masyarakat untuk mengutamakan pembelajaran di pondok masih kurang ▪ Budaya ASWAJA, Kebiasaan kenduri, dan Berbeda kepercayaan ▪ Pembiasaan yang baik positif, Hidup mandiri, Hidup yang rukun ▪ Kekompakan, Ahlussunnah Waljama'ah, Budaya kerja Sama, toleransi, Budaya akhlakul karimah ▪ Budaya lingkungan yang sering marung/ngopi berjamjam ▪ Tolong menolong, tasamuh, kerja sama, saling menghormati, Tahlilan dan yasinan ▪ Selalu mengadakan selapanan setiap Selasa kliwon


38 2.3 Implikasi Penerapan Aturan (Perda Fasilitasi Pengelolaan Pesantren) di Kabupaten Blora Undang-undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren memberikan kewenangan pemerintah pusat dan daerah untuk menfasilitasi pondok pesantren terkait daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan dan keamanan. Sementara dalam Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren, menjelaskan kewenangan Pendanaan penyelenggaraan Pesantren yang bersumber dari APBN dialokasikan untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.36 (Pasal 8) Sedangkan kewenangan pemerintah daerah terkait pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui APBD dialokasikan melalui mekanisme hibah untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.37 Tabel 2 Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Fasilitasi Pengelolaan Pesantren Aturan Kewenangan Pusat Kewenangan Daerah UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren Izin pendaftaran Pesantren pasal 6 ayat 3 36 “Pasal 8 Perpres No. 82 Tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren” (n.d.). 37 “Pasal 9 Ayat 2 Perpres No. 82 Tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren” (n.d.).


39 Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 11 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 11 Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 12 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 12 Kurikulum pendidikan umum pada pendidikan diniyah formal diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 20 ayat 3 Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari


40 bantuan Pemerintah Pusat. Pasal 32 bantuan Pemerintah Daerah. Pasal 32 Pemerintah Pusat memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan. Pasal 42 Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan. Pasal 42 Pemerintah Pusat memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pasal 46 ayat 1 Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pasal 46 ayat 1 Dukungan Pemerintah Pusat paling sedikit berupa: bantuan keuangan; bantuan sarana dan prasarana; bantuan teknologi; dan/atau pelatihan keterampilan. Pasal 46 ayat 2 Dukungan Pemerintah Daerah paling sedikit berupa: bantuan keuangan; bantuan sarana dan prasarana; bantuan teknologi; dan/atau pelatihan keterampilan. Pasal 46 ayat 2 Dukungan dan fasilitasi diberikan sesuai dengan kemampuan Dukungan dan fasilitasi diberikan sesuai dengan


41 keuangan Pemerintah Pusat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 46 ayat 3 kemampuan keuangan Pemerintah Daerah dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 46 ayat 3 Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 48 ayat 2 Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 48 ayat 3 Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan. Pasal 49 ayat 1 PMA No. 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada satuan pendidikan mua’adalah untuk memenuhi aspek daya


42 tamping, kenyamanan, kebersihan, Kesehatan dan keamanan. Pasal 24 ayat 3 Sarpras yang dimaksud paling sedikit ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium. Pasal 25 Menteri Memberikan izin pendirian satuan pendidikan Muadalah. Pasal 26 Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada satuan pendidikan diniyah formal untuk memenuhi aspek daya tamping, kenyamanan, kebersihan, Kesehatan dan keamanan. Pasal 47 Sarpras yang dimaksud paling sedikit ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang


43 perpustakaan, ruang laboratorium. Pasal 48 Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada pendidikan nonformal dalam bentuk pengkajian kitab kuning untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, Kesehatan dan keamanan. Pasal 66 Majelis masyayikh didanai APBN; untuk operasional majelis masyayikh dan penyelenggaraan kegiatan Majelis masyayikh didanai APBD; untuk penyelenggaraan kegiatan Perpres No. 82 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren Pendanaan penyelenggaraan Pesantren dikelola untuk pengembangan fungsi Pesantren yang meliputi: fungsi pendidikan; fungsi dakwah; dan fungsi pemberdayaan masyarakat. (Pasal 3 )


Click to View FlipBook Version