The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by AL EL BAPER (Almari Elektronik Badan Perencanaan), 2024-01-24 21:33:24

Naskah-Akademi 2022

Naskah-Akademi

94 a. memiliki kepengurusan di daerah domisili; b. memiliki keterangan domisili dari lurah/kepala desa setempat; dan c. berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah dan/atau badan dan lembaga yang berkedudukan di luar wilayah administrasi Pemerintah Daerah untuk menunjang pencapaian sasaran program, kegiatan dan sub kegiatan Pemerintah Daerah. Hibah Kepada Organisasi Kemasyarakatan Yang Berbadan Hukum Indonesia Pasal 13 (1) Hibah kepada Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e diberikan kepada: a. organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum; b. yayasan; atau c. organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum perkumpulan; yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hibah kepada organisasi kemasyarakatan dapat diberikan dengan persyaratan:


95 a. telah terdaftar pada kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia; b. berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah; dan c. memiliki sekretariat tetap di wilayah Daerah. Ketentuan-ketentuan di atas membatasi pemberian hibah kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia, dan Partai Politik. Eksistensi pesantren belum secara jelas termaktub dalam regulasi tersebut, namun demikian terbuka peluang menerima hibah melalui Yayasan yang telah berbadan hukum.


96 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 4.1 Landasan Filosofis Masyarakat menurut Robert M. McIver adalah Society means a system of ordered relations. 38 Relasi para anggota-anggota masyarakat yang menghuni suatu wilayah geografis mempunyai kebudayaan-kebudayaan dan lembaga-lembaga yang kira-kira sama, seperti masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat seperti ini anggota masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain karena faktor budaya dan faktor agama, dan/atau etnis.39 Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam merupakan fakta demografi memiliki relasi yang baik, bahkan berbanding lurus atas kontribusi masyarakat muslim Indonesia dalam mengurai permasalahan kebangsaan dan bernegara, sejak dari masa pra kemerdekaan sampai sekarang. Tidak hanya demikian kehadirannya jauh sebelum era penjajahan, perwujudannya adalah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Para sunan istilah yang digunakan untuk panutan beragama oleh masyarakat dan kerajaan, penyebutan sultan (sulthon) untuk raja, konsep penataan kawasan perkotaan memperpadukan antara bangunan pendopo, alun-alun dan masjid, serta penyebutan atas 38 Robert M. MacIver, The Web of Government (New York: The MacMillan Company, 1961). 39 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).


97 sebuah kawasan tertentu dengan menggunkan istilah “kauman” bukti sampai sekarang masih ada. Dengan penjelasan diatas tidak berati masyarakat Indonesia yang non muslim tidak berkontribusi terhadap tata sosial dan bernagara di Indonesia, itu tidak. Namun yang perlu dipahami bahwa spiritualisasi beragama masyarakat Indonesia, memiliki dampak dalam pada peradaban kehidupan. Dalam perspektif sosiologi Agama, agama dipandang suatu sistem intepretasi terhadap dunia dengan konsepsi sebagai pemangku khalifah fil al-rdh.40 Sebagaimana Q.S. : al-Baqarah, ayat 30. “...sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...”. ini yang kemudian pada aspek subtansi dari agama merupakan bentuk pengakuan terhadap kekuatan yang lebih tinggi, yang tidak tampak, mengawasi manusia berhak kepatuhan, hormat dan pujian.41 Maka jika ditelisik peradaban kehidupan umat manusia di Indonesia dengan berbasis agama dan pemujaannya telah yang berkembang cukup lama, yang oleh Agus Sunyoto menyebutnya peristiwa tersebut berlangsung sejak masa Pleistosen Akhir42, pembuktiannya terdapat beberapa peninggalan batu purba seperti Menhir, Dolmen, 40 Nurah Nufaisah & Erwin Kusumastuti Nabila Eka Ramadhani Wahyudi, “Peran Agama Dalam Pembentukan Dasar Falsafah Negara Dan Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” Atta’dib 2, no. 1 (2021): 30. 41 Nabila Eka Ramadhani Wahyudi. 42 Istilah arkeolog, (bahasa Yunani) yaitu pleistos, yang berarti "paling", dan laines, yang bermakna "baru". suatu kala dalam skala waktu geologi antara 1.808.000-11.500 tahun yang lalu. Diakses dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/


98 Yupa, Sarcopagus, dan Punden Berundak. 43 Pada titik tersebut yaitu tentang beragama dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia maka paham konstitusionalime menyebutkan bahwa : “Suatu UUD adalah jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dan UUD dianggap sebagai institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of Law atau Rechtsstaat”.44 Baik istilah Rule of Law yang dikemukakan A. V. Dicey atau Rechtsstaat oleh Stahl, keduanya memberikan penjelasan penjaminan hak-hak manusia yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Komitmen untuk menjamin dalam perlindungan bermasyarakat Indonesia dapat dilihat pada alinea ke empat pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa...” Perlindungan atas beragama sebagaimana Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945, ayat 1 dan 2 menyebutkan dengan tegas: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. 43 Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah Cetakan VII (Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU Pustaka IIMaN, 2017). 44 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.


99 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu Hak asasi tersebut merupakan cerminan dari kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, bahkan Pasal tersebut merupakan implementasi sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Olehny dengan simbolisasi bintang, dia memberikan sila pertama Pancasila mengandung pengertian bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki kebebasan untuk menganut agama dan menjalankan ibadah yang sesuai dengan ajaran agamanya. Sila pertama ini juga mengajak Warga Negara Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang antar sesama Warga Negara Indonesia, dan juga antar makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan demikian, di dalam jiwa bangsa Indonesia akan timbul rasa saling menyayangi, saling mengayomi, dan saling menghargai. Implikasinmya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, eksistensi dari agama Islam mempunyai peranan yang sangat penting karena terkandung ajaran normatif nilai-nilai spiritual dan moral di dalam menjalin hubungan antara umat Islam dengan Sang pencipta yaitu Allah SWT, umat Islam dengan umat agama lain, dan umat Islam dengan lingkungannya. Pada sisi peran dari negara yang lain bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi


100 tanggungjawab nasional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 merupakan salah satu cita-cita kemerdekaan untuk meningkatkan sumber daya manusia sehingga mampu mencapai kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa juga merupakan konsepsi budaya yang menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan emansipatif. Pada konteks bernegara, pemikiran para pendiri Republik sudah menembus masa, mendahului lahirnya paham-paham pembangunan progresif yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur, bahwa pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya. Manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual, berkomunikasi atau berdialog dengan dzat Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, manusia juga memerlukan keindahan dan estetika. Manusia juga memerlukan penguasaan keterampilan tertentu agar mereka bisa berkarya, baik untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain. Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak boleh sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutuhan yang lain. Manusia tidak cukup hanya sekedar cerdas dan terampil, tetapi dangkal spiritualitasnya. Begitu pula sebaliknya, tidak cukup seseorang memiliki kedalaman spiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan atau keahlian tertentu. Jadi manusia seutuhnya senyawa dengan prinsip 45 Sekretariat Jenderal MPR RI, “Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945” (n.d.).


101 dasar pembentukan identitas dan karakter umat terbaik (mabadi’ khaira ummah): QS. Ali Imran: 110. Instrumen yang paling mendasar untuk membangun manusia seutuhnya adalah memastikan setiap warga negara memperoleh hak terhadap pendidikan. Pendidikan yang selama ini mengedepankan ranah kognisi (pengetahuan) belaka harus diubah melalui penyeimbangan pengetahuan dengan sikap dan keterampilan. Hal ini bertujun agar pendidikan mampu melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral. Konsep tentang pendidikan karakter dengan mengedepankan moralitas dalam penyelenggaraan pendidikan adalah pendidikan karakter yang berbasis pada tradisi lokal dan lokalitas ajaran agama, mampu memberikan pelajaran hidup yang berguna bagi proses perkembangan kedewasaan seseorang melalui proses Pendidikan.46 Pada posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak berangkat dari ruang hampa. Dalam proses penciptaannya, manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fi al ardhi) yang diberikan mandat untuk memakmurkan bumi dan melestarikan alam sekitarnya. Ikhtiar untuk memakmurkan bumi akan terasa sulit dilakukan, apabila setiap individu manusia tidak memiliki kapasitas yang mumpuni. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, manusia diberikan keunggulan untuk menyerap segala ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan lainya. Dengan ilmu pengetahuan inilah manusia ditinggikan 46 M. Sofyan Al-Nashr, “Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal: Telaah Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid” (2010), walisongo.ac.id.


102 derajat dan kedudukanya dari mahluk-mahkluk lainnya. Namun, ilmu pengetahuain tidak datang dengan sendirinya. Ia datang melalui proses pendidikan yang mencerdaskan dan memajukan. Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang dapat mengubah sesuatu dari yang tidak baik menjadi baik. Sedangkan pendidikan yang memajukan adalah pendidikan yang mampu mendinamisasikan segala perubahan agar terjaga keselarasanya. Kemampuan manusia beradaptasi dengan perubahan sangat ditentukan dengan konsep pengetahuan yang dimilikinya. Semakin luas pengetahuan manusia, maka semakin terbuka cakrawala berfikirnya. Sehingga mereka mampu melahirkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kemampuan manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terlepas dari proses terpaan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran sentral dalam menghadapi setiap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Menyadari pentingnya hal tersebut, maka proses pendidikan bukan hanya sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi sekaligus sebagai proses transformasi nilai (tansfer of value). Nilai disini adalah nilainilai kebaikan, baik nilai kemanusiaan, kebudayaan, maupun nilai-nilai keagamaan. Internalisasi nilai-nilai inilah yang dapat mengantarkan manusia ke dalam tingkah laku yang baik Ki Hajar Dewantara menyebut tingkah laku dengan istilah budi pekerti, Diksi budi pekerti memiliki makna yang dalam, ia tidak hanya bersifat jasmani tetapi sekaligus


103 bersifat ruhani. Pendidikan dalam sifatnya yang jasmani adalah pendidikan yang mencerdaskan akal fikiran, menghaluskan perilaku dan memuliakan sikap. Sedangkan pendidikan dalam sifatnya yang ruhani adalah pendidikan yang mampu menjaga kebersihan hati. Hati yang bersih akan melahirkan perilaku yang bersih. Sebaliknya, jika hatinya kotor, maka akan melahirkan perilaku yang kotor. Oleh karena itu, menjaga kebersihan hati, maka proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan. Pendidikan dalam konteks ini dimaksudkan untuk melahirkan manusia yang paripurna, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan yang berketuhanan merupakan pendidikan yang menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan ruhani. Kedua kebutuhan ini harus mendapatkan asupan giji yang baik agar terjaga keseimbanganya. Jika kebutuhan ruhani terabaikan, tidak mendapatkan asupan giji yang baik, maka akan menimbulkan kepincangan dan kekeringan ruhaninya. Ruhani yang kering adalah ruhani yang merasa jauh dan tertutup hatinya dari kebenaran-kebenaran Tuhannya. Dengan demikian, pendidikan berketuhanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Secara filosifis, pendidikan berketuhanan bersinggungan dengan sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dilanjut dengan sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila pertama dan sila kelima Pancasila menjadi rujukan filosofis bagi pengembangan pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren


104 di Indonesia, khususnya di Blora. nilai ketuhanan sebagaimana yang dicerminkan dalam sila pertama Pancasila menjadi prinsip utama dalam penyelenggaraan pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren di tengah-tengah masyarakat. Sementara, nilai keadilan yang ditegaskan dalam sila kelima menjadi panduan nilai dalam pengelolaan pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren. Sementara, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan Pendidikan Pesantren sebagai subsistem serta diatur dalam ketentuan tersendiri pada Pasal 30. Selanjutnya, dengan Peraturan Pemerìntah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidïkan Agama dan Pendidikan Pesantren, penyelenggaraan Pendidikan Pesantren semakin diperjelas peran dan fungsinya yaitu mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pertanyaan mendasar terkait apa tujuan pendidikan nasional penting dikemukakan untuk mengingatkan pentingnya tugas, tujuan dan orientasi yang diembankan kepada dunia pendidikan. Pada Pasal 28 C Ayat 1 UUD 1945 disebutkan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan daarnta, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat daari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”


105 Sementara, pada Ayat 2 Pasal 28 C UUD 1945 disebutkan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selain mencerdaskan kehidupan bangsa, tugas negara yang utama adalah dalam hal pendidikan sehingga konsepsi pendidikan Indonesia berorientasi iman, takwa dan akhlak mulia, sebagai amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yang diwajibkan dilaksanakan pemerintah. Pada Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 disebutkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaska kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Bahkan pada Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 disebutkan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dari anggran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggraan pendidikan nasional.” Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa:


106 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menajdi amnusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga negara demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 12 ayat 10 huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang sama. Tugas penyelenggaraan pendidikan nasional dalam konteks peningkatan keimanan dan ketakwaan oleh pemerintah ini dipertegas lebih lanjut dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003. Hal ini tercermin dari terminologi pendidikan yang termaktub dalam Pasal 1 poin 1 UU tersebut. Yakni bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Definisi ini menjadi basis dari corak penyelenggaraan pendidikan nasional secara umum. Dimana aspek nilai religiusistas menjadi arus utama dari


107 implementasi kebijakan pendidikan nasional. Terbukti, Pendidikan Nasional, oleh UU Sisdiknas tidak hanya didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga disandarkan pada akar nilai-nilai agama. Karena itu, nilai religius keagamaan semakin diperjelas di dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada Pasal 3 UU Sisdiknas, yaitu bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjaid manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang berdemokratis serta bertanggung jawab.” Aspek konstruksi kebijakan perundangan, penyelenggaraan pendidilan agama pada satuan pendidikan formal merupakan bagian dari hak yang harus diberikan kepada peserta didik oleh setiap lembaga pendidikan formal sebagai penyelenggara pendidikan. Lebih spesifik dijelaskan pada Pasal 12 Ayat (1) poin (a) UU Sisdiknas, bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Selanjutnya regulasi ini menghasilkan turunan perundangan dibawahnya, yaitu PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren, yang


108 secara organik menjabarkan berbagai ketentuan dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terkait penyelenggaraan pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan. Hal itu diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren, yang merupakan bagian “perhatian khusus” atas keberadaan pesantran sebagai lembaga pendidikan yang berkontribusi sangat besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sebagimana tertuang dalam konsiderannya perpre tersebut menyebutkan bahwa : “...dalam rangka optimalisasi pendanaan dalam penyelenggaraan pesantren untuk menunjang fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.” Untuk mengoptimalkan tiga peran funsi pesantren tersebut Perpres secara komulatif menegaskan yang merupakan suport system financial terhadap penyelenggaraan pesantren Pasal 4 menyebutkan bahwa : “Pendanaan penyelenggaraan Pesantren bersumber dari: a. masyarakat; b. Pemerintah Pusat; c. Pemerintah Daerah; d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat; dan e. Dana Abadi Pesantren.” Kententuan tersebut tidak dapat diabaikan oleh Pemerintah Daerah, khususnya dalam hal ini kabupaten Blora. Amanat tersebut sejalan ketentuan atas kewenangan absolut dan konkuren sebagimana Pasal 11 Undang-Undang


109 Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada wilayah konkuren secara rigid membagi yaitu : “Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Fungsi Pesantren sebagaimana konsideran PerPres 82 Tahun 2021 diatas tentunya bagian tak terpisahkan (inhern) dan bahkan urusan yang pemerintah wajib memperhatikannya, dan merupakan layanan dasar masyarakat, sebagaimana penegasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang mana Pesantren bagian dari Pasal 12 di bawah ini, bahwa : “Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar terdiri : a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial. Kelembagaan pendidikan pesantren dengan segala karakteristiknya tentunya memberikan kontribusi besar dalam sosial masyarakat dan negara Indonesia, ini yang kemudian diperlukan pengawasan dan pengarahan untuk pencapaian atas makna dan eksistensi pondok pesantren, sebagaimana Peraturan Menteri Agama RI Nomor 30 TAhun 2020 Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren, menyebutkan bahwa Pondok Pesantren adalah lembaga yang


110 berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/ atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu operasionalnya atas subsitem penjaminan mutu terhadap pesantren, yang oleh dalam PMA No 31 Tahun 2020 dengan sebutan Dewan Masyayikh, yang teknik pelaksanaannya dimandatkan kepada Majelis Masyayikh untuk merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu pondok pesantren, yang mana hasil rumusan sistem penjamina mutu pondok pesantren akan dilaksanakan oleh Dewan Masyayikh. Bahkan Pasal 79 dalamn PMA ini untuk sistem penjaminan mutu pesantren disebutkan yaitu untuk penjamina mutu internal dilakukan oleh Dewan Masyayikh dan untuk sistem penjaminan mutu eksternal dilakukan Majelis Masyayikh. Penataan berbagai aspek terhadap pesantren yang merupakan lembaga yang telah mengakar kuat di masyarakat dengan berdasar kajian historitas ataupun akademik tentunya pesantren merupakan asset bangsa yang partsispasinya langsung atau tidak langsung sangat dibutuhkan. 4.2 Landasan Sosiologis


111 Landasan Sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan Negara. Selain itu Landasan Sosiologis merupakan landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan pada masyarakat. Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuanketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Kondisi dan kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif. Secara aspek sosiologis, realitas penyelenggaraan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren mendapat respon yang baik dari masyarakat. Indikasi yang dapat dilihat dalam relaitas masyarakat kita adalah setiap penyelenggaraan pendidikan terdapat pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, pesantren memiliki animo atau ketertarikan yang cukup signifikan bagi masyarakat luas. Ditambah lagi dengan semakin menurunnya etika pergaulan serta meningkatnya tingkat kenakalan remaja bagi


112 anak remaja menyebabkan banyak orang tua yang berpandangan perlunya pendidikan etika yang baik serta pemahaman agama yang baik agar para siswa dan murid dapat membentengi diri dari segala pengaruh media sosial dan kenakalan remaja saat ini ditambah lagi dengan bannyaknya pesantren dengan konsep modern menambah daya tarik serta citra bahwa pesantren tidak kalah dari sekolah lain pada umumnya. Sehingga lembaga pendidikan keagamaan menjadi pilihan prioritas bagi para orang tua. Selain itu profesi ustadz ataupun ustadzah yang sebelumnya dikonsepsikan sebagai bentuk profesi yang dipandang kuno sekarang berubah menjadi profesi yang menjanjikan serta favorit. Hal ini terlihat dengan banyaknya ustad ataupun ustadzah yang menyelenggarakan pengajian melalui media online dan sebagainya. Kabupaten Blora yang memiliki luas wilayah 1.820,59 KM2 dengan jumlah penduduk sebanyak 946.994 jiwa47 dan terdiri dari beragam suku, budaya dan agama serta tingkat pendidikan dimana jumlah penduduk yang sedang menempuh pendidikan dari tingkat TK/RA hingga SMA/SMK/MA sebanyak 16.6404 dengan rincian sebanyak 140.403 (setara 84,4%) murid menempuh pendidikan dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan sebanyak 26.001 (setara 15,6%) murid menempuh pendidikan dibawah Kementrian Agama. Sedangkan jumlah pondok pesantren yang telah berizin dan terdaftar di Kementrian Agama Kabupaten Blora sebanyak 82 pesantren 47 BPS Kabupaten Blora, “Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora Dalam Angka 2022,” n.d.


113 dengan jumlah tenaga pengajar atau ustadz/ustadzah sebanyak 1.042 dan jumlah santri sebanyak 9.315.48 4.3 Landasan Yuridis Sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu, UndangUndang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren merupakan kesepakatan bersama dengan melibatkan pihak yang mewakili komunitas Pesantren, yang masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan Pesantren. Pesantren merupakan lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan Undang-Undang Pesantren nomor 18 tahun 2019 ini boleh dikatakan merupakan kado istimewa sekaligus amanah yang diberikan pemerintah dan negara untuk pesantren. Oleh karena itu, pondok pesantren harus dapat berinovasi, melahirkan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat. Selama ini lembaga pendidikan pondok pesantren, seakan menjadi 48 Blora.


114 bagian yang terpisah dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), serta kurang adanya perhatian dari pemerintah. Keberadaan Undang-undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dapat dibaca sebagai berikut. Pertama, undang-undang ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Kedua, afirmasi, pasal-pasal yang merupakan kebijakan dari negara dalam rangka mempermudah pesantren untuk menjalankan tiga fungsi lembaga tadi. Ketiga, UU pesantren membuat pesantren terfasilitasi oleh negara. Tiga poin di atas juga terkandung harapan negara dan ekspektasi banyak pihak yang semakin besar terhadap keluarga besar pondok pesantren. Keempat, sumber pendanaan pesantren yang selama ini bersumber dari masyarakat, dalam UU ini ditegaskan dapat berasal dari APBN dan APBD sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Dari situ tampak ada peluang bagi Pemerintah Daerah untuk ikut berperan dalam penyelenggaraan pesantren. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memberikan ruang yang cukup leluasa bagi Pemerintah Daerah untuk terlibat dan mengambil peran dalam mengembangkan dan menberdayakan leembaga pendidikan pesantren. Dalam peraturan pemerintah RI nomor 55 tahun 2007 bab I Pasal I dijelaskan bahwa pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren merupakan kesepakatan bersama pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Semua yang bersepakat telah


115 memvalidasi rumusan norma hukum scara optimal sesuai karakteristik masing-masing agama. Dengan begitu, pendidikan agama dan pendidikan keagaman berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli dalam ilmu agama. Dengan diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 pemerintahan daerah yang dilakukan perubahan Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah maka terjadilah perubahan mendasar dalam hubungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Hampir seluruh kewenangan pemerintahan yang sebelumnya (sebelum diundangkannya UU tersebut) berada di tangan Pemerintah Pusat kini dialihkan (dilimpahkan) ke Pemerintah Daerah. Inilah yang kemudian dikenal secara umum sebagai Otonomi Daerah yang. Sebagian menyebut hal demikian dengan istilah Desentralisasi. Menurut Pasal 7 UU tersebut, “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.ii Sedangkan bidang lain yang dimaksud“ meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembanguan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.


116 Dari pasal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa hanya lima bidang itulah yang tidak berada dalam wewenang Pemerintah Daerah. Artinya, lima bidang tersebut tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Istilah umumnya, lima bidang tersebut tidak didesentralisaikan (diotonomkan). Agama termasuk dalam lima bidang yang wewenangnya tidak diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya maka, ketika banyak departemen sibuk merestrukturisasi dan merampingkan departemennya serta menyerahkan sebagian (besar) pegawainya ke Pemerintah Daerah, Kementeiran Agama tidak melakukan hal itu. Sebaliknya, Kementerian Pendidikan, karena pendidikan tidak termasuk lima bidang yang tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat, termasuk ikut sibuk merestrukturisasi lembaganya menjadi lebih ramping dan memindahkan sebagian besar pegawainya (terutama guru) ke Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan Pasal 8 UU tersebut mengatakan bahwa “Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai denan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Menurut Arief Furchani, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan Pendidikan Agama? Apakah dia termasuk bidang Pendidikan (harus diserahkan ke Pemerintah Daerah) atau kah termasuk dalam bidang Agama (karenanya tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat)? Dalam konteks ini, menurut Arief Furchani, Pendidikan Agama yang diurus oleh Kementerian Agama ada


117 dua macam: (1) Pendidikan Agama (sebagai mata pelajaran) yang diberikan di Sekolah Umum; dan (2) Pendidikan Agama dalam bentuk kelembagaan seperti madrasah dan pondok pesantren, yang dalam pengertian lebih teknis dikenal sebagai Pendidikan Pesantren. Dalam hal Pendidikan Agama di Sekolah Umum, wewenang yang selama ini dimiliki oleh Kementerian Agama adalah dalam menentukan isi kurikulum Pendidikan Agama yang harus diberikan kepada siswa, pengangkatan guru agama (dulu pernah diserahkan kepada Depdikbud/Depdiknas), dan pelatihan guru agama (dalam bentuk pre- maupun in-service training). Penempatan guru agama dan penentuan jumlah jam pelajaran agama diserahkan kepada Depdiknas. Sementara itu, dalam hal Madrasah (terutama Madrasah Negeri), wewenang (kewajiban) Kementerian Agama adalah menetapkan kurikulum (termasuk alokasi jam pelajaran), menyediakan gedung dan fasilitas belajar, menyediakan dana operasional dan gaji pegawai, membina pegawai yang ada di madrasah itu (termasuk kepala madrasahnya). Untuk merespon UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, pada tanggal 21 November 2000 Menteri Agama telah mengirim surat bernomor MA/402/2000 kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya menyerahkan sebagian dari kewenangan yang ada pada Menteri Agama dalam bidang Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren kepada Pemerintah Daerah. Adapun kewenangan yang diserahkan menyangkut aspekaspek: Operasional penyelenggaraan, penjabaran kurikulum, penyediaan tenaga pendidikan, penyediaan sarana dan


118 prasarana, penyediaan anggaran. Berdasarkan pasal 8 ayat (1), maka penyerahan wewenang ini akan disertai dengan penyerahan segala asset (gedung, tanah, alat-alat kantor, dsb.) serta sumber daya manusia (guru dan pegawai) serta dana operasional yang selama ini diberikan ke madrasah. Bahkan setelah dilakukan perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan atas kewenangan absolut dan konkeren sebagaimna Pasal 11 dan 12, maka semakin kuat posisi Pemerintah Daerah untuk memperhatikan atas eksitensi pondok Pesantren. Kebijakan Menteri Agama ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain, adalah demi kemaslahatan lembaga Pendidikan Pesantren yang ada. tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ini berarti akan semakin banyak dana (yang semula berada di Pusat) yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah juga mengarah kepada sistem politik yang mengharuskan Pemda lebih memperhatikan aspirasi rakyat di daerahnya daripada kemauan Pemerintah Pusat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai cerminan perwakilan rakyat di daerah itu, mempunyai wewenang dan posisi yang lebih besar daripada yang selama ini dikenal. Menyadari bahwa dana yang dipegang Kementerian Agama untuk pengembangan Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren (terutama pesantren dan madrasah) selama ini masih amat sangat kurang, Menteri Agama tidak ingin pengembangan Pendidikan Pesantren (terutama madrasah dan pesantren) di


119 daerah tidak mendapatkan dana dari Pemerintah Daerah hanya karena Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren tidak diserahkan ke Pemerintah Daerah. Tanggapan atas surat dari Menteri Agama ini amat beragam saat itu, ada yang menolak dan ada yang menerima kebijakan ini. Dalam menanggapi reaksi yang beragam ini Kementerian Agama mengambil sikap yang luwes. Menteri Agama menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah. Bagi Pemerintah Daerah yang sudah siap untuk menerima penyerahan Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren di daerahnya, maka Pendidikan Agama dan PendidIkan Keagamaan itu akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Sebaliknya, bagi Pemerintah Daerah yang berkeberatan atau belum siap untuk menerima penyerahan Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren di daerahnya, maka itu akan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tentu saja, hal ini juga akan terpulang kepada masyarakat agama di daerah yang bersangkutan sebagai salah satu pihak yang berkepentingan (stakeholders). Apabila mereka menganggap bahwa penyerahan kewenangan di bidang Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren ke Pemerintah Daerah itu lebih bermanfaat bagi mereka, mereka dapat (dan harus) memperjuangkannya ke Pemerintah Daerah maupun ke Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Agama). Kemnertian Agama telah membukakan pintu untuk itu. Dan pada titik inilah sebenarnya terbuka kesempatan bagi Pemerinah Daerah untuk ikut terlibat mengurus pendidikan Agama dan


120 Pendidikan Pesantren melalui Peraturan Daerah yang dapat dikeluarkan untuk kepentingan itu. Secara demikian, diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan kemajuan daerah itu di segala bidang akan makin cepat. Demikian pula halnya dengan masalah Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren. Dengan otonomi daerah diharapkan perkembangan dan arah Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren di suatu daerah akan lebih sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat agama di daerah itu. Tentu saja ini akan lebih memudahkan bagi pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren di daerah yang selama ini harus berurusan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengembangkan lembaga keagamaann. Kini, mereka cukup berurusan dengan pemerintah Daerah untuk masalah itu. Beberapa kebijakan yang diambil oleh Menteri Agama terkandung maksud memberi peluang kepada para pengelola pendidikan keagaman untuk mendapatkan yang terbaik bagi lembaganya. Keberadaan berbagai regulasi terkait pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren sejauh ini menjadi acuan dasar bagi setiap penyelenggaraan baik pendidikan agama maupun Pendidikan Pesantren. Berbagai regulasi tadi dapat dibaca bahwa pendidikan agama dan Pendidikan Pesantren memiliki kekuatan hukum yang kuat, di samping menunjukkan perhatian yang serius, walaupun pada wilayah praktisnya masih jauh dari harapan. Perhatian khusus Pemerintah Pusat dengan menerbitkan PERPERES Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren sebagai suproting


121 system financial yang tentunya diperhatikan oleh Pemerintahan Daerah dengan, bagian tak terpisahkan dari memberikan layanan dasar masyarakat sebagaimana Pasal 9, 10, 11 dan dalam UU no 23 tahun 2014 tentang Peraturan Daerah. Maka sebagai landasan yuridis untuk dilakukan sinkronisasi atas Naskah Akademik untuk terbitnya Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Blora Jawa Tengah tentang Fasilitasi Pendanaan unruk Penyelanggraan Pesantren di Kabupaten Blora dicantumkan beberapa regulasi yang menjadi payung hukum atas keberadaan pendidikan pesantren adalah: 1) Sila-sila dalam Pancasila 2) Undang-undang Dasar Tahun 1945 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 30 tentang Pendidikan Pesantren; 5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diubah dengan PP nomor 32 tahun 2013 tentang perubahan atas PP Nomor 19 tahun 2005; 7) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren; 8) Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar;


122 9) Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama; 10) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1989 tentang pelaksanaan Undang 11) Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; 12) Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan. 13) Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah; 14) Peraturan Menteri Agama nomor 13 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama; 15) Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Pesantren Islam; 16) Peraturan Menteri Agama Nomor 18 tahun 2018 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren; 17) Peraturan Menteri Agama Nomor 90 tahun 2013 tentang Pendidikan Madrasah sebagamana diubah dengan PMA Nomor 60 tahun 2015 tentang perubahan atas PMA Nomor 90 tahun 2013 tentang Pendidikan Madrasah; 18) Peraturan Menteri Agama No 31 tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren 19) Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.


123 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 5.1 Sasaran yang Akan Diwujudukan, Arah, dan Jangkauan Pengaturan Sasaran penyelenggaraan pembangunan Pengelolaan Pendidikan Pesantren dan pelayanan Pengelolaan Pendidikan Pesantren adalah warga Kabupaten Blora, organisasi Pengelolaan Pendidikan Pesantren di Kabupaten Blora , dan masyarakat umum sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sasaran yang akan diwujudkan dengan penyusunan Raperda ini dengan tujuan penguatan dan penataan serta pengelolaan pesantren melalui Peraturan Daerah Kabupaten Blora tentang Pengelolaan Pesantren secara komprehensif sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan masyarakat Kabupaten Blora 5.2 Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan Arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menyempurnakan penyelenggaraan dan pengelolaan Pesantren sebagai institusi yang sama kedudukannya atau sejajar dengan lembaga pendidikan umum sehingga Pesantren mampu meningkatkan kualitas dan tata kelola mutu pendidikan Pesantren secara baik.


124 Untuk mencapai kondisi tersebut maka diatur mengenai sistem dan mekanisme penyelenggaraan pendidikan pesantren dan madrasah yang mencakup pendidikan yang diselenggarakan pondok pesantren di Kabupaten Blora baik formal, maupun informal, serta pengaturan penyelenggaraan pesantren secara komprehensif yang didukung oleh peranan dari setiap stakeholder yang terkait baik pengelola atau penyelenggaran pendidikan keagaamaan, pemerintah, dan masyarakat. 5.3 Rumusan Akademik Berbagai Istilah Kunci Dalam Peraturan Daerah Istilah-istilah yang terkait dengan peraturan ini menjadi penting untuk dirumuskan guna memberikan pengertian yang pasti dari berbagai istilah tersebut. Istilah-istilah yang berhubungan dengan peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Pesantren ini meliputi diantaranya: 1) Daerah adalah Kabupaten Blora. 2) Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 3) Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.


125 4) Bupati adalah Bupati Blora. 5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kabupaten Blora. 6) Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten. 7) Unit Kerja yang Membidangi Administrasi Kesejahteran Rakyat yang selanjutnya disebut Unit Kerja adalah unit kerja pada Sekretariat Daerah Kabupaten Blora yang membidangi kesejahteraan rakyat. 8) Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9) Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan


126 muallimin dan menjunjung Tinggi Etika serta Moral. 10) Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut dalam penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. 11) Pembinaan Pesantren adalah usaha dalam bentuk tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk menjadikan Pesantren dapat mengelola seluruh aktivitas yang diselenggarakan Pesantren dengan lebih baik, melelui pendekatan informatif maupun pastisipatif. 12) Fasilitasi Pesantren adalah bantuan yang diberikan kepada Pesantren untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana Pesantren, agar dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga Pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. 13) Kiai, Syekh, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama islam yang berperan sebagai figure, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren. 14) Ustaz adalah seorang yang memiliki latar belakang Pendidikan keagamaan islam yang dapat dipertanggungjawabkan sanad dan keabsahan Lembaga pendidikannya, dan menjadi pengajar dalam bidang keagamaan islam, baik di dalam Pondok Pesantren atau di luar Pondok Pesantren. 15) Dewan Masyayikh adalah Lembaga yang dibentuk


127 Pesantren yang bertugas melaksanakan system penjaminan mutu intenal Pondok Pesantren. 16) Majlis Masyayikh adalah Lembaga mandiri dan independent sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan system penjaminan mutu Pendidikan Pesantren. 17) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Blora. 5.4 Muatan Materi Peraturan Daerah 5.4.1 Maksud dibentuknya Peraturan Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah ditetapkan, di dalamnya mengatur jaminan bagi penyelenggaraan Pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi kepada Pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Sementara itu, pengaturan mengenai Pesantren belum mengakomodasi perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga menyebabnya perlakukan hukum yang tidak sesuai dengan norma berdasarkan kekhasan dan kesenjangan sumber daya yang besar dalam pengembangan Pesantren. Pesantren perlu diberi kesempatan untuk berkembang dan ditingkatkan mutunya oleh semua seluruh pihak,


128 termasuk Pemerintah Daerah. Untuk itu, dibentuknya Peraturan Daerah ini dimaksudkan dalam rangka menyelenggarakan pengembangan pesantren baik dalam pembinaan maupun pemberdayaan Pesantren sehingga pada gilirannya pesantren meningkatkan peran dalam melaksanakan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. 5.4.2 Ruang Lingkup Materi Peraturan Daerah Ruang lingkup muatan materi yang diatur dalam penyelenggaraan Pesantren yaitu mengenai bagaimana perencanaan serta pelaksanaan terhadap pengembangan pesantren, bentuk fasilitasi apa yang diberikan bagi pendidikan keagamaan islam, bagaimana pelaksanaan koordinasi dan penyelenggaraan kerjasama, informasi apa saja yang akan dibangun dalam sistem informasi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam maksud pembentukan lembaga non structural, bentuk pengawasan dan pengendalian serta sumber pembiyaan dalam penyelenggaraan pesantren. Untuk itu Ruang lingkup Peraturan Daerah ini mengatur hal- hal sebagai berikut: 1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan Pengembangan Pesantren Meliputi: 3) Pembinaan Pesantren 4) Pemberdayaan Pesantren


129 5) Fasilitasi Untuk Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Islam; 6) Pelaksanaan Koordinasi; 7) Penyelenggaraan Kerja Sama; 8) Pembangunan Sistem Komunikasi Dan Informasi; 9) Pembentukan Lembaga Non Struktural; 10) Pengawasan dan Pengendalian; 11) Pembiayaan. 1) Perencanaan Perencanaan dalam penyelenggaraan pengembangan pesantren dilaksanakan untuk kurun waktu 5 (lima) tahun dan tahunan yang ditetapkan oleh Bupati Kabupaten Blora dengan berpedoman kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Blora (RPJPD). Perencanaan dalam penyelenggaraan pengembangan pesantren dilaksanakan sejalan dan terintegrasi dengan Rencana Strategis (Renstra) Daerah Kabupaten dan Rencana Kerja (Renja) Pemerintah Daerah Provinsi dan dalam dalam pelaksanaanya dilakukan oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan sosial. 2) Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Pesantren Pelaksanaan pengembangan Pesantren diselenggarakan oleh Bupati Kabupaten Blora dalam


130 bentuk pembinaan dan pemberdayaan pesantren di Daerah Kabupaten Blora. Untuk pengembangan Pesantren dalam bentuk pembinaan diselenggarakan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana Pesantren, peningkatan kualitas penyelenggaraan Pesantren, peningkatan pengetahuan dan wawasan Kiai, Santri, dan Dewan Masyaikh, serta peningkatan keahlian manajerial Pesantren. 3) Pembinaan Pembinaan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana Pesantren dilakukan dalam bentuk fasilitasi sarana dan prasarana pendidikan Pesantren, fasilitasi sarana dan prasarana penunjang Pesantren, fasilitasi sarana bagi Kiai, Santri, dan Dewan Masyaikh, serta fasilitasi sarana dan prasarana peribadatan. Kesemua bentuk fasilitasi sarana dan prasana ini dilaksanakan oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan sosial sebagai koordinator, perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintah bidang bina marga, Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang sosial, dan Perangkat Daerah lain terkait. Pembinaan bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan dalam upaya menciptakan lingkungan Pesantren yang layak, aman, nyaman, bersih, dan sehat, serta pada layanan pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik dan


131 psikologis Santri melalui kegiatan penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, konseling, edukasi, dan sosialisasi. Untuk kegiatan pembinaan ini perangkat daerah yang terlibat adalah perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang kesehatan, bidang Pendidikan, bidang sosial, bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, bidang lingkungan hidup, dan Perangkat Daerah lain terkait. Pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan keahlian bagi Kiai, Santri, dan Dewan Masyaikh dilakukan dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan workshop, pemberian beasiswa bagi Kiai dan Santri, dan fasilitasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan keahlian. Pembinaan ini dilaksanakan oleh oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan sosial serta Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang Pendidikan. Pembinaan dalam rangka peningkatan keahlian manajerial Pesantren dilakukan dalam bentuk pendampingan dalam rangka pengelolaan Pesantren, pendidikan dan pelatihan pengelolaan Pesantren, fasilitasi kemitraan Pesantren dengan dunia usaha atau lembaga pendidikan, dan fasilitasi dalam rangka peningkatan kemampuan sumber daya manusia Pesantren dalam mengelola Pesantren.


132 4) Pemberdayaan Untuk pengembangan Pesantren dalam bentuk pemberdayaan dilaksanakan bagi peningkatan kemandirian ekonomi Pesantren dan perekonomian masyarakat di lingkungan Pesantren dan peningkatan peran Pesantren dalam pembangunan Daerah Kabupaten. Pemberdayaan bagi peningkatan kemandirian ekonomi Pesantren dan perekonomian masyarakat di lingkungan Pesantren dilakukan dalam bentuk fasilitasi peningkatan kapasitas Pesantren dalam rangka menumbuhkembangkan kewirausahaan di lingkungan Pesantren, fasilitasi akses pemasaran produk hasil usaha Pesantren, fasilitasi kemitraan antar usaha Pesantren, dan fasilitasi kemitraan antara usaha Pesantren dan badan usaha lainnya. Pemberdayaan bagi peningkatan peran Pesantren dalam pembangunan Daerah Kabupaten dilakukan dalam bentuk pelibatan Pesantren dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan Daerah Kabupaten atau program nasional, pelibatan Pesantren dalam pemberdayaan masyarakat sekitar Pesantren, dan bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua bentuk pemberdayaan tersebut dilaksanakan oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan sosial, Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang koperasi dan usaha kecil, Perangkat Daerah


133 yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang perdagangan, dan Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa. 5) Fasilitasi untuk Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Islam Pengembangan penyelenggaraan pesantren sudah terfasilitasi oleh Pemerintah maupun pemerintah daerah Kabupaten Blora, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019, namun demikian terdapat Lembaga penyelenggara Pendidikan keagamaan islam diluar pesantren yang belum terfasilitasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019, untuk itu dalam Peraturan Daerah penyelenggara Pendidikan keagamaan islam akan dilakukan fasilitasi. Bupati memberikan fasilitasi terhadap lembaga pendidikan keagamaan islam dalam bentuk fasilitasi sarana dan prasarana pendidikan, fasilitasi sarana dan prasarana penunjang, fasilitasi sarana dan prasarana peribadatan, dan fasilitasi pembentukan kelembagaan pendidikan keagamaan. Fasilitasi dilaksanakan oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan sosial. 6) Koordinasi dan Kerja Sama


134 Dalam rangka pengembangan pesantren Bupati melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kabupaten. Dalam pengembangan pola kerja sama dalam rangka pengembangan pesantren dilaksanakan bersama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga sosial, termasuk Lembaga Kesejahteraan Sosial dan lembaga swadaya masyarakat, lembaga Pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga keagamaan, dunia usaha, masyarakat, dan pihak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bentuk kerja sama tersebut berupa sinergitas program dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan Pesantren, pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan Pesantren, pendidikan dan pelatihan bagi Kiai, Santri, dan Dewan Masyaikh, dan pemberdayaan masyarakat sekitar Pesantren. 7) Sistem informasi Sistem informasi yang akan dibangun meliputi: a) Data dan informasi Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam di Daerah Kabupaten; b) Data dan informasi Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam yang akan diberikan fasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten; c) Data dan informasi Pesantren dan lembaga


135 pendidikan keagamaan islam yang telah diberikan fasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten; d) Data manuscript karya ulama Pesantren di Daerah Kabupaten; dan e) Data Kiai dan Santri yang memiliki potensi diberikan fasilitasi pendidikan dan pelatihan, dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang komunikasi dan informatika. 8) Kelembagaan Non Struktural Dalam rangka penyelenggaraan pengembangan Pesantren, Bupati membentuk kelembagaan non struktural yang mempunyai tugas memberikan penilaian Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan yang layak diberikan fasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten. Dalam melaksanakan tugas tersebut kelembagaan non struktural mempunyai fungsi: a) inventarisasi dan klasifikasi Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam yang layak diberikan fasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten; b) sarana konsultasi Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam; c) mediasi dan advokasi bagi Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan islam; dan d) supervisi terhadap Pesantren dan lembaga


136 pendidikan keagamaan islam. 9) Pengawasan dan Pengendalian Dalam penyelenggaraan pengembangan Pesantren Bupati melakukan pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi dan pengendalian dalam bentuk supervise yang dilakukan oleh oleh unit kerja yang membidangi pelayanan dan pengembangan social. 10) Pembiayaan Pembiayaan penyelenggaraan pengembangan Pesantren bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lainnya yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 11) Ketentuan Penutup Ketentuan penutup mengatur mengenai Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.


137 BAB VI PENUTUP Harapan terhadap pesantren mampu untuk memberikan nilai tambah terhadap upaya menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan immaterial bukanlah sesuatu yang bisa terwujud secara sederhana. Perwujudan harapan tersebut harus dilakukan melalui kiat-kiat sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam konteks tersebut, pesantren dianggap sebagai suatu tatanan yang memungkinkan untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa pesantren seringkali dipandang sebagai suatu instrument perubahan, khususnya yang berkaitan dengan nilai dan sikap mental masyarakat. Hal tersebut sangat disadari oleh Pemerintah Rebuplik Indonesia dengan diterbitkanya Undang-undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dapat dibaca sebagai berikut. Pertama, undang-undang ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Kedua, afirmasi, pasalpasal yang merupakan kebijakan dari negara dalam rangka mempermudah pesantren untuk menjalankan tiga fungsi lembaga tadi. Ketiga, UU pesantren membuat pesantren terfasilitasi oleh negara. Tiga poin di atas juga terkandung harapan negara dan ekspektasi banyak pihak yang semakin besar terhadap keluarga besar pondok pesantren. Keempat, sumber pendanaan pesantren yang selama ini bersumber dari masyarakat, dalam UU ini ditegaskan dapat berasal dari APBN dan APBD sesuai dengan kemampuan keuangan negara.


138 Pemerintah memandang bahwa Pesantren merupakan hal penting yang karenanya diimplementasikan dalam bentuk jenis, jenjang, dan jalur Pendidikan Pesantren, selain itu Pemerintah Negara Indonesia juga memandang pentingnya ahli agama sebagai sosok yang akan memberikan pendidikan atau transformasi ajaran agama. Hal ini tampak dari dijadikannya Pendidikan Pesantren sebagai salah satu jenis pendidikan dari tujuh jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejujuran, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Dalam konteks ini, Pesantren berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan / atau menjadi ahli ilmu agama. Terkait dengan konten dan sumbernyapun, Pesantren memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan jenis pendidikan lainnya. Sebagaimana yang dikemkakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Pesantren Pasal 10, Pendidikan Pesantren menyelenggaran pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama. Meski secara relatif rinci telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, akan tetapi karena Pendidikan Pesantren kental dengan nuasa lokalitas (tradisi keagamaan pada masing-masing daerah), maka terdapat aturanaturan yang tidak bisa diseragamkan secara nasional. Selain itu, secara eksplisit, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren memberikan ruang yang sangat leluasa kepada Pemerintah Daerah untuk mengambil peran dalam pengembangan dan pemberdayaan Pesantren. Keragaman aspek lokalitas dalam Pendidikan Pesantren


139 inilah yang penting untuk diatur melalui regulasi yang bersifat lokal, sebagaimana fenomena Pendidikan Pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Untuk melaksanakan hal tersebut Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupetan Blora dapat melaksanakan kewenangannya untuk membentuk Peraturan Daerah Kabupaten mengenai masalah Penyelenggaraan Pesantren Kabupaten Blora. Banyaknya lembaga Pesantren di Kabupaten Blora pada dasarnya merupakan potensi yang sangat besar dalam mendukung optimalisasi kualitas kehidupan bergama, jika keberadaan pendidikan pesantren tersebut dikelola dengan baik di bawah regulasi yang secara spesifik mengatur hal tersebut. Oleh sebab itu dianggap sangat penting dan mendesak untuk dibuatkan peraturan daerah yang dapat dijadikan payung hukum bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan penyelenggaraan pesantren yang lebih berkualitas demi terwujudnya Kabupaten Blora , sebagai mandat dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren.


140 DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. “Ihya’ Ulumuddin.” Beirut: Dar al-Hazm, n.d. Al-Nashr, M. Sofyan. “Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal: Telaah Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid,” 2010. walisongo.ac.id. Arifin. “Kapita Seleksi Pendidikan Umum Dan Islam,” 240. Jakarta: Bina Aksara, 1991. Asmani, Ma’mur. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 93, n.d. ———. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 14, n.d. ———. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 87, n.d. Blora, BPS Kabupaten. “Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora Dalam Angka 2022,” n.d. Bruinessen, Martin Van. “Kitab Kuning: Pesantren Dan Tarekat,” 17. Bandung, 1995. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Dhofier. “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,” 41, n.d. Dhofier, Zamakhsyari. “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,” 79–99, n.d.


141 ———. “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai Dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,” 41. Jakarta: LP3ES, 2011. E.Y., Wahidah. “Studi Implementasi Tradisionalisasi Dan Modernisasi, Pendidikan Di Pondok Pesantren.” In Muaddib 5, No. 2, 184–207, 2015. Gitosaputro, Sumaryo. Pengembangan Dan Pemberdayaan Masyarakat; Konsep Dan Aplikasinya Di Era Otonomi Daerah, 2002. Imam Syafe’i. “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter.” Al--Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 8 1 (2017): 79. Jamal Ma’mur Asmani. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 88. Pressindo, 2016. MacIver, Robert M. The Web of Government. New York: The MacMillan Company, 1961. Madarik, Muhammad, and Hairul Puadi. “MODERNISASI ( REORIENTASI ) PENDIDIKAN PESANTREN.” Jurnal Pusaka 12, no. 1 (2022): 1–18. Manfred Oepen. “Dinamika Pesantren, Dampak Pesantren Dalam Dinamika Pendidikan Dan Pengembangan Masyarakat,” 152– 53. Surabaya: Hikmah, n.d. Mas’ud, Abdurrahman. Sejarah Dan Budaya Pesantren. Jakarta: Erlangga, 2002. Nabila Eka Ramadhani Wahyudi, Nurah Nufaisah & Erwin Kusumastuti. “Peran Agama Dalam Pembentukan Dasar


142 Falsafah Negara Dan Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Atta’dib 2, no. 1 (2021): 30. Pasal 8 Perpres No. 82 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (n.d.). Pasal 9 ayat 2 Perpres No. 82 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (n.d.). Rahardjo, M. Dawam. “Pesantren Dan Pembaharuan,” 9. Jakarta: LP3ES, 1983. Rahim, Faqih Ainur. Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam. Yogyakarta: UII Perss, 2001. RI, Sekretariat Jenderal MPR. Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 (n.d.). “RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Blora,” n.d. S, Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasululloah Sampai Indonesia. Yogyakarta: Prenada Media Group, 2007. Siradj, Said Aqil. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara. Cetakan 1. Jakarta Pusat, 2015. Sobirin, Moh. “Sistem Pembelajaran Pesantren Dan Efektfitasnya Dalam Penanaman Akidah Dan Sikap Keberagamaan Santri.” Cirebon: IAIN Syeh Nurjati Cirebon, 2013. Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah Cetakan VII. Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU Pustaka IIMaN, 2017.


143 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (n.d.). https://pmpk.kemdikbud.go.id/assets/docs/UU_2003_No_20_ -_Sistem_Pendidikan_Nasional.pdf. Wahid, Abdurrahman-Hairus Salim H.S. Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren. Edited by Hairus Salim H.S. Yogyakarta: LKIS, 2001. Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKIS, 2001. Zarkasyi, Ahmad Syukri. Langkah Pengembangan Pesantren Dalam Rekontruksi Pendidikan Dan Tradisi Pesantren Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. “Ihya’ Ulumuddin.” Beirut: Dar al-Hazm, n.d. Al-Nashr, M. Sofyan. “Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal: Telaah Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid,” 2010. walisongo.ac.id. Arifin. “Kapita Seleksi Pendidikan Umum Dan Islam,” 240. Jakarta: Bina Aksara, 1991. Asmani, Ma’mur. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 93, n.d. ———. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 14, n.d. ———. “Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan Dan Menjaga NKRI,” 87, n.d. Blora, BPS Kabupaten. “Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora


Click to View FlipBook Version