44 Pendanaan penyelenggaraan Pesantren bersumber dari APBN dialokasikan untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. (Pasal 8) Pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui APBD dialokasikan melalui mekanisme hibah untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pasal 9 ayat 2 Pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui APBD dimasukan dalam klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pasal 9 ayat 3 Berdasarkan tabel tersebut, Penerapan Aturan Perda Fasilitasi Pengelolaan Pesantren di Kabupaten Blora akan
45 berimplikasi pada bertambahnya mandat serta kewenangan daerah pada aspek-aspek pendanaan dan pemenuhan sarana prasarana sebagai berikut: 1. Menfasilitasi asrama pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan 2. Menfasilitasi masjid atau musolla pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan 3. Mendukung pembiayaan Majelis Masyayikh untuk penyelenggaraan kegiatan 4. Memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan. 5. Memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat minimal berupa bantuan keuangan; bantuan sarana dan prasarana; bantuan teknologi; dan/atau pelatihan keterampilan. 6. Membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui APBD sesuai kewenangan dan ketentuan peraturan perundang- undangan 7. Pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui APBD dialokasikan melalui mekanisme hibah untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah yang diatur oleh kementerian dalam negeri.
46 Meskipun demikian, pada APBD Kabupaten Blora tahun 2022 telah mengalokasikan belanja hibah untuk Pesantren sejumlah 4,5 milyar dengan perincian di bawah ini: Tabel 3 Data Pesantren Penerima Hibah 2022 NO NAMA PONDOK PESANTREN HIBAH 1 Ponpes Khozinatul ulum An- Nada 200.000.000 2 Ponpes Mambaul ulum Talokwohmojo Ngawen 100.000.000 3 Ponpes Darussiniyah Jimbung Kedungtuban 100.000.000 4 Ponpes Al Falaq Nglengkir Bogorejo 200.000.000 5 Ponpes Darul Ulum 107.000.000 6 Ponpes Mansyaul Huda Bogorejo 100.000.000 7 Ponpes Najah Ali Cepu 25.000.000 8 Ponpes Al Hasani 100.000.000 9 Ponpes Al Ali Tunjungan 200.000.000 10 Ponpes Mahadul Ulum 50.000.000 11 Ponpes Tahfidzul Qur'an Ar Rohmah 200.000.000 12 Ponpes Darussalam Al Mustari Menden 100.000.000 13 Ponpes Al Fatah Sempu Kunduran 100.000.000 14 Ponpes An-Nafi Tondaan 50.000.000 15 Ponpes Nurul Huda Jiken : 100 100.000.000
47 NO NAMA PONDOK PESANTREN HIBAH 16 Ponpes Al Fathimiyah Talokwohmojo Ngawen 200.000.000 17 Ponpes Al Ianah 100.000.000 18 Ponpes Al Mashuriyah Ngawen 200.000.000 19 Ponpes Al Ustmany Liltahfidil Qur'an 150.000.000 20 Ponpes An Nur Safinatun Najah 100.000.000 21 Ponpes An Nur Sendangwungu 500.000.000 22 Ponpes As Syafi'i Soleh Sendangrejo 150.000.000 23 Ponpes Kampoeng Pitulikur 400.000.000 24 Ponpes Al Karomah Walisongo: 100 100.000.000 25 Ponpes Khozinatul Ulum Al Mubarok 300.000.000 26 Ponpes Miftahul Ngawen 100.000.000 27 Ponpes Miftahus Saadah Blora 150.000.000 28 Ponpes Najah Ali 100.000.000 29 Ponpes Nurul Islam Ridwani 200.000.000 30 Ponpes Nurul Mubin Blora 15.000.000 31 Ponpes Sultan Agung Ngawen 100.000.000 4.597.000.000
48 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundangundangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku. Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Blora yang akan dibentuk. Melalui evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, akan diketahui aspek kewenangan, dasar pembentukan, dan materi muatan Peraturan Daerah baru yang akan dibentuk. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan, beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang terkait diantaranya adalah:
49 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, beserta seluruh perubahannya; 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beserta seluruh perubahannya; 4) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan; 7) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren; 8) Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam; 9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah; 10) Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian Dan Penyelenggaraan Pesantren; 11) Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Pendidikan Pesantren; 12) Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Daerah; 13) Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 14) Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Blora Tahun 2021 – 2026; dan
50 Evaluasi dan analisis Peraturan Perundang-Undangan terkait tersebut disajikan dalam deskripsi berikut: 3.1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sebagai regulasi babon, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional niscaya untuk dianalisa sebagai perturan perundangundangan terkait dengan fasilitasi penyelenggaraan pesantren. Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 yang relevan dengan fasilitasi penyelenggaraan pesantren diataranya adalah: Ketentuan Umum Pasal 1 ------------------ 10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
51 13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan ------------------ 16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pendidikan Keagamaan Pasal 30 (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Eksistensi pesantren telah diakomodasi oleh UndangUndang Sistem Pendidikan sebagai varian dari Pendidikan
52 Keagamaan. Pesantren juga dapat diintegrasikan dalam jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. 3.2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, beserta seluruh perubahannya Undangan-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah dua kali diubah. Pertama dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan kedua dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini dianalisa karena terkait dengan rencana pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Blora, sehingga akan diketahui tentang landasan dan prosedur pembentukannya. Beberapa ketentuan yang terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah diantaranya adalah: Jenis dan Hierarki Peraturan Perundangundangan Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
53 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, penting dilakukan harmonisasi vertical antar peraturan perundang-undangan untuk memastikan tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
54 Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa DPRD Kabupaten atau Bupati dapat menerbitkan peraturan sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya. Materi Muatan Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
55 Pembentukan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren di Kabupaten Blora adalah implementasi dan penjabaran dari Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. 3.3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, beserta seluruh perubahannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah dicabut sebagian dengan: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Undang-Undang tersebut juga telah diubah dengan: a. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; b. PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan; c. UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan d. UU No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
56 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. Undang-undang ini menjadi salah satu regulasi yang dianalisa karena terkait dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, menjadi penting untum memahami garis demarkasi kewenangan tersebut untuk menghindari pengaturan yang melebih yurisdiksi. Terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang relevan diantaranya adalah: Klasifikasi Urusan Pemerintahan Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
57 (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan Pemerintahan Absolut Pasal 10 (1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat: a. melaksanakan sendiri; atau b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi. Urusan Pemerintahan Konkuren Pasal 11 (1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi
58 kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. (2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. (3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar. Pasal 12 (1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial. (2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan;
59 d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan. (3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. Pasal 13 (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
60 efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. (2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional. (3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
61 (4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota. Pasal 15 (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. (2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
62 (4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Substansi urusan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimuat dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota tersebut di atas termasuk kewenangan dalam pengelolaan unsur manajemen (yang meliputi sarana dan prasarana, personil, bahan-bahan, metode kerja) dan kewenangan dalam penyelenggaraan fungsi manajemen (yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengoordinasian, penganggaran, pengawasan, penelitian dan pengembangan, standardisasi, dan pengelolaan informasi) dalam substansi Urusan Pemerintahan tersebut melekat menjadi kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan pemerintahan tersebut, kecuali apabila dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota tersebut terdapat unsur manajemen dan/atau fungsi manajemen yang
63 secara khusus sudah dinyatakan menjadi kewenangan suatu tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain, sehingga tidak lagi melekat pada substansi Urusan Pemerintahan pada tingkatan atau susunan pemerintahan tersebut. Salah satu contoh matriks pembagian Urusan Pemerintahan bidang Pendidikan. Dalam matrik Urusan Pemerintahan bidang Pendidikan terdiri atas 6 (enam) sub Urusan Pemerintahan yaitu manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, perizinan pendidikan, dan bahasa dan sastra. Dari keenam sub Urusan Pemerintahan tersebut yang merupakan substansi Urusan Pemerintahan adalah sub urusan manajemen pendidikan; kurikulum; perizinan pendidikan; dan bahasa dan sastra, sedangkan yang merupakan unsur manajemen adalah sub urusan pendidik dan tenaga kependidikan dan yang merupakan fungsi manajemen adalah sub urusan akreditasi. Perincian pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan yang merupakan substansi Urusan Pemerintahan bidang pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Sub urusan manajemen pendidikan: a. penetapan standar nasional pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; b. pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus menjadi kewenangan Daerah Provinsi; dan c. pengelolaan pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
64 2. Sub urusan kurikulum: a. Penetapan kurikulum nasional pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; b. Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan menengah dan muatan lokal pendidikan khusus menjadi kewenangan Daerah provinsi; dan c. Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. 3. Sub urusan perizinan pendidikan: a. penerbitan izin perguruan tinggi swasta yang diselenggarakan masyarakat dan penerbitan izin penyelenggaraan satuan pendidikan asing menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; b. penerbitan izin pendidikan menengah yang diselenggarakan masyarakat dan penerbitan izin pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi kewenangan Daerah provinsi; dan c. penerbitan izin pendidikan dasar yang diselenggarakan masyarakat dan penerbitan izin pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. 4. Sub urusan bahasa dan sastra:
65 a. pembinaan bahasa dan sastra Indonesia menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; b. pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi menjadi kewenangan Daerah provinsi; dan c. pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Seharusnya seluruh fungsi dan unsur manajemen sub urusan manajemen pendidikan tersebut melekat pada pengelolaan masing-masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi menjadi kewenangan tingkatan atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional seluruh jenjang pendidikan dan akreditasi seluruh jenjang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi seluruh jenjang pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan Daerah provinsi atau Daerah kabupaten/kota. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh pengelolaan sub urusan manajemen pendidikan termasuk unsur dan fungsi manajemen pengelolaan jenjang pendidikan menjadi kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan pemerintahan, kecuali pendidik dan tenaga kependidikan serta akreditasi secara nasional karena dalam
66 matriks pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. 3.4 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren Undang-Undang tentang Pesantren mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Melalui Undang-Undang tentang Pesantren, penyelenggaraan Pendidikan Pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-Undang tentang Pesantren memberikan landasan hukum bagi rekognisi terhadap peran Pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, tradisi, nilai dan norma, varian dan aktivitas, profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, serta proses dan metodologi penjaminan mutu. Undang-Undang tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum afirmasi atas jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan, kemudahan akses bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan fasilitasi dalam pengembangan Pesantren. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren yang terkait dengan Pemerintah Daerah diantara adalah: Penyelenggaraan Pesantren Pasal 11
67 (1) Dalam penyelenggaraan Pesantren, pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan tempat tinggal Santri yang bermukim selama masa proses pendidikan di Pesantren. (2) Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 12 (1) Dalam hal penyelenggaraan Pesantren, masjid atau musala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus memperhatikan aspek daya tampung, kebersihan, dan kenyamanan. (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Ketentuan-ketentuan di atas mengamanahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya untuk dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan,
68 kesehatan, dan keamanan. Lebih lanjut dalam Pemerintah Derah dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Menteri. Dengan ketentuan ini, maka penting untuk dilacak dan dianalisa Peraturan-peraturan Menteri yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Pasal 32 Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari bantuan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pasal 42 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.
69 Pasal 46 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat. (2) Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa: a. bantuan keuangan; b. bantuan sarana dan prasarana; c. bantuan teknologi; dan/atau d. pelatihan keterampilan. (3) Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan Pasal 48 (1) Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren berasal dari masyarakat. (2) Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
70 (3) Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dalam Pasal 32, Pasal 42, dan Pasal 46 memberikan amanah kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitasi Pesantren dalam melaksanakan fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi dakwah, Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan dukungan dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan. Adapun dalam fungsi pemberdayaan masyarakat, dukungan dan fasilitasi diberikan paling sedikit berupa bantuan keuangan, bantuan sarana dan prasarana, bantuan teknologi, dan/atau pelatihan keterampilan. Dalam menjalankan amanah tersebut, diperlukan pengaturan yang lebih rinci dan teknis, terutama terkait dengan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, untuk menghindari tumpah tindih kewenangan. Partisipasi Masyarakat
71 Pasal 51 (1) Dalam pengembangan penyelenggaraan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan Pesantren. (2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren; b. memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pesantren; c. mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Pesantren; d. mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren; e. mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan f. memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren. (3) Partisipasi dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi masyarakat. Ketentuan tentang partisipasi masyarakat di atas membuka pintu bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pesantren. Hal ini pun
72 membutuhkan pengaturan yang teknis, seperti kanal komunikasi yang akan digunakan dan bentuk tindak lanjut yang akan diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, Pesantren perlu diberi kesempatan untuk berkembang dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum afirmasi atas jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan, kemudahan akses bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan fasilitasi dalam pengembangan Pesantren. Sebagai lembaga berbasis masyarakat, sumber pendanaan utama Pesantren berasal dari masyarakat. Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang undangan. Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren
73 untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran dalam pengembangan Pesantren. Dalam pengembangan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi secara perseorangan, kelompok, badan, dan/atau melalui organisasi kemasyarakatan. Adapun partisipasi masyarakat dapat berupa memberi bantuan program dan pembiayaan, memberi masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung kegiatan, mendorong pengembangan mutu dan standar, mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral, serta memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren. 3.5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan telah diubah sebagian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan ini dikutip dan dianalisa dalam naskah akademik ini karena Pesantren merupakan bagian dari satuan pendidikan yang eksistensinya diakui oleh UndangUndang. Dalam hal ini maka Pesantren terikat dengan Standar Nasional Pendidikan. Beberapa ketentuan yang relevan dengan pengelolaan Pesantren diantaranya adalah:
74 Ketentuan Umum Pasal 1 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. ------------ 4. Satuan Pendidikan adalah kelompok layanan Pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis Pendidikan. Pasal 2 (1) Standar Nasional Pendidikan digunakan pada Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat pada Jalur Pendidikan formal, Jalur Pendidikan nonformal, dan Jalur Pendidikan informal. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, eksistensi pesantren telah diakui sebagai varian dari Pendidikan Keagamaan. Pesantren juga dapat diintegrasikan dalam jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dengan demikian, terdapat kohesi antara Undang-Undang Nomor 20
75 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional, yang pada prinsipnya Pesantren harus memenuhi standar nasional pendidikan selayaknya satuan pendidikan yang lainnya. Standar Sarana dan Prasarana Pasal 25 (1) Standar sarana dan prasarana merupakan kriteria minimal sarana dan prasarana yang harus tersedia pada Satuan Pendidikan dalam penyelenggaraan Pendidikan. (2) Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dan perlengkapan dalam mencapai tujuan pembelajaran. (3) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fasilitas dasar yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi Satuan Pendidikan. (4) Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan prinsip: a. menunjang penyelenggaraan pembelajaran yang aktif, kreatif, kolaboratif, menyenangkan, dan efektif; b. menjamin keamanan, kesehatan, dan keselamatan; c. ramah terhadap penyandang disabilitas; dan d. ramah terhadap kelestarian lingkungan.
76 (5) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus tersedia pada Satuan Pendidikan dan disesuaikan dengan kebutuhan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis Pendidikan. Dalam bagian Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "tersedia" pada Ayat (5) adalah dimiliki oleh Satuan Pendidikan yang bersangkutan atau berbagi sumber daya dengan Satuan Pendidikan lain. Ketentuan dalam Ayat (5) huruf b juga memiliki kohesi dengan Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang pada intinya dinyatakan bahwa Pesantren harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Selanjutnya juga diatur bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. 3.6 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
77 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang terkait dengan Pesantren diantaranya adalah: Ketentuan Umum Pasal 1 --------------- 2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. 3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. 4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. --------------- 9. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama. 10. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
78 Pasal 6 (1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan. (2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (3) Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan. Pendidikan Keagamaan Pasal 8 (1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
79 Pasal 9 (1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. (2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama. Pasal 12 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. (2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. (3) Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Ketentuan di atas menjadi pintu bagi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk intervensi Pesantren
80 dalam bentuk bantuan sumber daya pendidikan. Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan harus disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan. Pendidikan Keagamaan Islam Pasal 14 (1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. (2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pesantren Pasal 26 (1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan
81 kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat. (2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. (3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi. Mayoritas pesantren, baik yang ada di pedesaan atau perkotaan, mengajarkan pengetahuan agama dan ada pula yang memberikan tambahan ilmu pengetahuan lain. Karena itu, pesantren dikelompokkan ke dalam lembaga penyelenggara pendidikan diniyah dan termasuk dalam kategori pendidikan keagamaan Islam. Dengan begitu, pesantren memiliki dua kategori, menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai
82 lembaga pendidikan nonformal dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 sebagai lembaga pendidikan diniyah. Dengan mengkombinasikan dua kategori ini, pesantren adalah lembaga pendidikan diniyah nonformal. 3.7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah UndangUndang ini dianalisa karena terkait dengan rencana pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Blora, sehingga akan diketahui tentang landasan dan prosedur pembentukannya. Beberapa ketentuan yang terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah diantaranya adalah: Ketentuan Umum Pasal 1 ----------------- 4. Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. 5. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut perkada adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota. -----------------
83 24. Fasilitasi adalah tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada provinsi serta Menteri Dalam Negeri dan/atau gubernur kepada kabupaten/kota terhadap materi muatan rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan sebelum ditetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan. Produk Hukum Daerah Pasal 2 Produk hukum daerah berbentuk: a. peraturan; dan b. penetapan. Pasal 3 Produk hukum daerah berbentuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas: a. perda; b. perkada; c. PB KDH; dan d. peraturan DPRD. Pasal 4
84 (1) Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas: a. perda provinsi; dan b. perda kabupaten/kota. (2) Perda memuat materi muatan: a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Perda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki hierarki lebih tinggi dari pada Perda kabupaten/kota. ---------------- (6) Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat materi muatan untuk mengatur: a. kewenangan kabupaten/kota; b. kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; c. kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota; d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau
85 e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota. Pasal 6 Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas: a. peraturan gubernur; dan b. peraturan bupati/walikota. Pasal 7 PB KDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri atas: a. peraturan bersama gubernur; dan b. peraturan bersama bupati/walikota. Pasal 8 Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d terdiri atas: a. peraturan DPRD provinsi; dan b. peraturan DPRD kabupaten/kota. Pasal 9 Produk hukum daerah berbentuk penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b terdiri atas: a. keputusan kepala daerah; b. keputusan DPRD;
86 c. keputusan pimpinan DPRD; dan d. keputusan badan kehormatan DPRD Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 17 Ketentuan mengenai tata cara perencanaan penyusunan Propemperda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 16 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Propemperda kabupaten/kota. Ketentuan-ketentuan di atas memberikan informasi tentang jenis dan prosedur pembentukan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten. Dalam hal ini maka rencana pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Blora tentang Fasilitasi Pengelolaan Pesantren harus mengikuti ketentuanketentuan dalam Peraturan tersebut. 3.8 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaran Pesantren dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Ketentuan dalam Peraturan ini tidak memiliki relevansi langsung dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Secara
87 umum PMA ini mengatur tentang pendirian pesantren, pendaftaran keberadaan pesantren, piagam statistik pesantren, pendirian pesantren cabang dan penyelenggaraan pesantren. Ihwal pengaturan tersebut terkait dengan tugas dan kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. 3.9 Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 Tentang Pendidikan Pesantren Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 24, Pasal 28 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren dan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Ketentuan dalam PMA tersebut yang terkait dengan kewenangan Pemerintah Daerah terdapat pada Pasal 88. Pasal 88 (1) Majelis Masyayikh didanai dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. (2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
88 a. operasional Majelis Masyayikh; dan/atau b. penyelenggaraan kegiatan. (3) Pendanaan penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berasal dari: a. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pasal 88 di atas hanya mengatur pendanaan Majelis Masyayikh, yang dalam ketentuan Pasal 1, Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren. Terkait dengan Pemerintah Daerah, Majelis Masyayikh dapat memperoleh pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. 3.10 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat (5) dan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren serta dalam rangka optimalisasi pendanaan dalam penyelenggaraan pesantren untuk menunjang fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
89 Beberapa ketentuan dalam Perpres 82 tahun 2021 yang terkait dengan Pemerintah Daerah diantaranya adalah: Pasal 4 Pendanaan penyelenggaraan Pesantren bersumber dari: a. masyarakat; b. Pemerintah Pusat; c. Pemerintah Daerah; d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat; dan e. Dana Abadi Pesantren. Pasal 5 Pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berupa: a. uang; b. barang; dan/atau c. jasa. Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam bentuk uang, barang, dan/atau jasa. Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang Bersumber dari Pemerintah Daerah Pasal 9 (1) Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran
90 pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pendanaan penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan melalui mekanisme hibah untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. (3) Pendanaan penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukan dalam klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Bantuan pendanaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah dan harus disesuaikan dengan aras kewenangan yang dimiliki. Bantuan hibah diberikan kepada Pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pemantauan dan Evaluasi Pasal 25 (1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sumber dan pemanfaatan pendanaan penyelenggaraan Pesantren.
91 (2) Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri secara berkala atau sewaktu-waktu melakukan koordinasi dengan kementerian/ lembaga terkait dan Pemerintah Daerah. Pasal 26 Ketentuan mengenai mekanisme, pemanfaatan, pemantauan, dan evaluasi pendanaan penyelenggaraan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan ini memberikan batasan bahwa meskipun Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan penyelenggaranaan Pesantren dengan mekanisme hibah, namun pengaturan tentang mekanisme, pemanfaatan, pemantauan, dan evaluasi pendanaan penyelenggaraan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri. 3.11 Peraturan Bupati Blora Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan Dan Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban, Serta Monitoring dan Evaluasi Hibah Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Blora Peraturan Bupati Blora Nomor 14 Tahun 2021 dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Peraturan
92 Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa Peraturan Bupati Nomor 14 tahun 2021 yang relevan dengan pembentukan Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren diantaranya adalah: Pasal 6 Hibah dapat diberikan kepada: a. Pemerintah Pusat; b. Pemerintah Daerah lainnya; c. Badan Usaha Milik Negara; d. Badan Usaha Milik Daerah; e. Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia; dan f. Partai Politik. Hibah Kepada Badan Dan Lembaga Pasal 12 (1) Hibah kepada badan dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e diberikan kepada: a. badan dan lembaga yang: 1. bersifat nirlaba, sukarela dan sosial; dan 2. dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan; b. badan dan lembaga yang: 1. bersifat nirlaba, sukarela dan sosial; dan
93 2. telah memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri/Gubernur Jawa Tengah/Bupati atau tercantum dalam aplikasi resmi Pemerintah; c. badan dan lembaga yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial kemasyarakatan berupa kelompok masyarakat/kesatuan masyarakat hukum adat dengan ketentuan: 1. masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan 2. keberadaannya diakui oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melalui pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau Kepala SKPD Yang Membidangi sesuai dengan kewenangannya; dan d. koperasi yang: 1. didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2. memenuhi kriteria: a) memenuhi aspek kepatuhan legal; b) memenuhi aspek kepatuhan usaha dan keuangan; c) memenuhi aspek kepatuhan transaksi; dan d) telah diaudit kantor audit publik sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Hibah kepada badan dan lembaga dapat diberikan dengan persyaratan: