The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by devijunianisah20, 2021-07-09 10:06:30

FullBook-Perilaku-Organisasi

FullBook-Perilaku-Organisasi

86 Perilaku Organisasi

RT tersebut ditujukan untuk kepentingan warganya, termasuk juga tentang
akses ke informasi, pelayanan publik dan juga penyelesaian konflik ketika ada.

Semua organisasi sosial tentunya memenuhi lima aspek kriteria yaitu
operating core, strategic apex, middle line, tachnostrukture dan staff support.
Kelima aspek tersebut bisa dijelaskan secara satu persatu sebagai berikut: yang
pertama adalah operating core. Aspek ini merupakan dasar dari suatu
organisasi sosial. Di mana organisasi tersebut mempunyai pekerja yang
melakukan pekerjaan pokok atau utama yang menjadi tujuan dari organisasi
tersebut. Sebagai contoh, adanya pekerja yang melakukan tugas untuk
memproduksi barang atau jasa yang ditawarkan oleh organisasi tersebut.
Aspek kedua yaitu strategic apex.

Aspek ini menyangkut tentang seseorang yang berfungsi untuk mengkoordinir
semua kegiatan yang ada di dalam organisasi tersebut. Dapat dikatakan adanya
seorang pemimpin yang memastikan semua proses kegiatan untuk mencapai
cita-cita organisasi tersebut. Ini berarti bahwa pemimpin sebuah organisasi
mempunyai tanggung jawab penuh atas terselenggaranya semua proses
kegiatan di dalam organisasi tersebut. Aspek yang ketiga adalah middle line.
Dalam hal ini suatu organisasi tidak hanya dibutuhkan satu pemimpin tunggal
untuk mencapai tujuan organisasi. Mengingat dalam mencapai tujuan tersebut
memerlukan banyak proses kegiatan yang perlu dilakukan. Oleh karena itu, di
dalam setiap unit kegiatan diperlukan adanya sub koordinator, yang dalam hal
ini sering disebut sebagai manager-manager unit kegiatan. Manager atau sub
koordinator unit kegiatan tersebut adalah seseorang yang akan
menghubungkan antara pemimpin utama dan para karyawan di dalam
organisasi tersebut. Dengan demikian, seorang pemimpin utama tidak harus
mengkoordinir satu persatu unit kegiatan yang ada di dalam organisasi
tersebut.

Aspek yang keempat adalah technostructure. Aspek ini merupakan aspek yang
penting bagi suatu organisasi karena aspek technostrukture ini memastikan
mutu pelayanan kepada kliennya akan dijamin. Oleh karena itu, diperlukan
adanya seseorang atau tim yang mempunyai tanggung jawab untuk
mengontrol atau mengendalikan mutu pelayanan yang diberikan organisasi
terhadap klien nya. Seseorang atau tim pengendali mutu tersebut tentunya juga
bertanggung jawab untuk menetapkan standar pelayanan yang diinginkan.
Dengan standar tersebut, semua anggota organisasi akan bekerja berdasarkan
standar tersebut. Demikian juga bahwa tim pengendali mutu akan bertugas
dalam proses pemantauan atau pengendalian seluruh proses kegiatan yang ada

Bab 7 Komunikasi Dalam Organisasi 87

di dalam suatu organisai. Di mana proses tersebut dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, perbaikan dan penetapan. Aspek yang kelima adalah
staff support atau disebut dengan pegawai yang mendukung kerja di setiap unit
organisasi. Pegawai organisasi dalam hal ini bisa meliputi antara lain; staf
administrasi, staf keuangan atau bagian umum yang mendukung kelancaran
seluruh proses di masing-masing unit kegiatan.

Dengan melihat penjelasan diatas berkaitan dengan kompleksitas dari suatu
organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasinya, maka di dalam organisasi
tersebut tentunya diperlukan suatu bentuk komunikasi di dalamnya. Oleh
karena itu, ilmu komunikasi juga telah merumuskan secara khusus tentang
komunikasi organisasi. Beberapa pengertian tentang komunikasi organisasi
telah dirumuskan. Salah satunya adalah dikatakan bahwa komunikasi
organisasi tersebut adalah merupakan suatu bentuk pertukaran informasi antar
anggota organisasi, Pohan, (2005). Dalam pertukaran informasi tersebut, akan
terdapat empat tahapan di dalam proses komunikasinya. Keempat tahapan
tersebut yaitu tahap perhatian, tahap komprehensi, tahap kebenaran dan tahap
retensi. Pengertian yang lain dari komunikasi organisasi adalah merupakan
bentuk perilaku yang diatur dan diperlakukan bagi seluruh anggota yang ada di
dalam organisasi, Wayne and Don, (2005). Tentunya selama berinteraksi antar
sesama anggota organisasi, komunikasi akan memberikan arti kepada
penerima pesannya yang dalam hal ini pegawai yang sesuai dengan tugas dan
fungsinya di dalam organisasi tersebut.

Selanjutnya, komunikasi organisasi juga dipandang sebagai bentuk pengiriman
pesan dan sekaligus bentuk penerimaan pesan antar anggota dan juga antar
unit yang ada di dalam organisasi, Wayne and Don, (2005). Di mana proses
pengiriman dan penerimaan pesan antar anggota ataupun antar unit bisa terjadi
secara formal maupun secara informal guna tercapainya tujuan organisasi.

7.2 Teori Komunikasi Organisasi

Ilmu komunikasi organisasi muncul dengan berbagai teori yang melandasinya
yaitu antara lain seperti teori sistem sosial, teori public relations, dan teori
kepemimpinan, Masmuh, (2010). Di dalam teori sistem sosial dinyatakan
bahwa keberlanjutan dari suatu organisasi akan sangat tergantung pada
bagaimana jalinan hubungan antar anggota yang ada di organisasi,

88 Perilaku Organisasi

dibandingkan dengan karakteristik pejabat yang ada di dalam organisasi
tersebut, Masmuh, (2010). Dengan kata lain bahwa keeratan hubungan antar
individu di dalam organisasi lebih menjamin kelangsungan organisasi dari
pada hubungan antar pejabat.

Selanjutnya berkaitan dengan teori public relations, yang menyatakan bahwa
upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi harus dimulai dari perencanaan
terlebih dahulu yang selanjutnya perlu dipastikan adanya kesinambungannya,
Sari, (2017). Disini dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut tentunya diciptakan
untuk menjamin adanya maksud atau niat yang saling memahami diatara
organisasi maupun masyarakat di sekitarnya. Dasar teori komunikasi
organisasi yang lain adalah “teori kepemimpinan”. Yang dalam hal ini
dinyatakan bahwa seorang pemimpin merupakan sesosok individu yang bisa
mendorong anggota yang ada di dalam organisasi untuk terpenuhinya
kebutuhan dan mewujudkan tujuan organisasi, Napitupulu, Putra and
Shalahuddin, (2019). Di mana untuk mencapai hal tersebut perlu dilakukan
secara bersama-sama di antara anggota organisasi tersebut (Saleh, 2016).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa seorang pemimpin hendaknya mempunyai
empat peran. Adapun peran yang pertama yaitu telling. Di mana seorang
pemimpin mempunyai tugas untuk memberikan informasi kepada seluruh
anggotanya secara luas dan tegas. Peran pemimpin yang kedua yaitu selling.
Yang dalam hal ini seorang pemimpin hendaknya mempunyai kemampuan
untuk memberikan petunjuk kepada setiap anggota yang ada di dalam
organisasi tersebut. Peran pemimpin yang ketiga yaitu participating. Disini,
seorang pemimpin dituntut untuk bisa menciptakan jalinan kerjasama yang
harmonis dengan sesama. Sedangkan peran yang lain dari seorang pemimpin
yaitu delegating. Disini, seorang pemimpin dituntut untuk bisa mengambil
suatu keputusan.

Teori yang lain yang mendasari ilmu komunikasi organisasi yaitu “teori
kontinum” Di dalam teori kontinum ini seorang pemimpin organisasi atau
seorang manager di dalam organisasi harus melaksanakan enam bentuk dalam
pengambilan keputusan. Bentuk dari seorang pemimpin atau manager yang
pertama adalah membuat suatu keputusan dan mengumumkannya secara
tegas. Bentuk yang kedua yaitu membuat keputusan lalu kemudian
memberikan pilihan-pilihan kepada anggotanya. Bentuk yang ketiga adalah
seorang pemimpin menyatakan keputusannya, lalu kemudian pemimpin
memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk bertanya. Bentuk yang
keempat dari seorang pemimpin yaitu keputusan yang telah dibuat lalu

Bab 7 Komunikasi Dalam Organisasi 89

diumumkan, namun keputusan tersebut tetap bisa dirubah bila kurang tepat.
Sedangkan bentuk kelima adalah pemimpin membuat batasan, lalu kemudian
sub ordinatnya diminta untuk membuat keputusan. Bentuk pengambilan
keputusan yang keenam yaitu seorang pemimpin memberikan kesempatan
kepada sub ordinatnya untuk memutuskannya sendiri.

Selanjutnya ilmu komunikasi organisasi juga mendasarkan pada “teori empat
sistem”, Masmuh, (2010). Teori empat sistem ini menyatakan bahwa ada
empat gaya kepemimpinan di dalam organisasi yang bisa diterapkan. Keempat
gaya kepemimpinan tersebut antara lain gaya sebagai penguasa mutlak,
penguasa semi mutlak, penasihat dan sebagai pengajak. Teori yang lain yaitu
“teori kepribadian perilaku” yang menjadi dasar dalam pengembangan ilmu
komunikasi organisasi. Teori kepribagian perilaku ini menerangkan bahwa
suatu perilaku individu dinyatakan bisa sebagai penentu dari kepemimpinan
yang efektif. Namun demikian, karaktertistik dan prestasi-prestasi dari anggota
organisasi tersebut akan juga sangat penting pengaruhnya dalam membentuk
kepemimpinan yang efektif. Demikian beberapa teori yang menjadi dasar dari
pengembangan ilmu komunikasi organisasi.

7.3 Fungsi Komunikasi Organisasi

Sebagai suatu ilmu, maka ilmu komunikasi organisasi juga mempunyai
beberapa fungsi. Adapun fungsi dari komunikasi organisasi itu antara lain
sebagai fungsi integratif, persuasif, informatif, dan fungsi regulatif, Panuju,
(2001). Komunikasi organisasi dikatakan sebagai fungsi integratif bahwa
komunikasi yang dilakukan di dalam suatu organisasi akan bertindak sebagai
penyedia saluran atau channel untuk memberikan kemudakan bagi seluruh
individu yang ada di dalam organisasi tersebut. Di mana fungsi tersebut akan
memudahkan individu-individu untuk menjalankan fungsi dan tugasnya
dengan sebaik-baiknya.

Sebagai fungsi persuatif, maka komunikasi yang dilakukan merupakan bentuk
dari suatu perintah yang lebih menekankan pada peningkatan kesadaran
individu akan tugasnya. Bentuk instruksi atau perintah ini dinyatakan lebih
efektif di dalam organisasi karena apa yang dilakukan oleh anggota organisasi
berdasarkan atas penumbuhan minat dan kesadaran untuk bertindak. Dengan
kata lain bukan karena paksaan. Selanjutnya bila dilihat dari fungsi komunikasi

90 Perilaku Organisasi

sebagai informatif, ini berarti bahwa komunikasi ditujukan untuk memberikan
informasi dalam segala hal kepada seluruh individu yang ada di dalam
organisasi tersebut. Mengingat informasi merupakan dasar untuk membentuk
pemahaman yang sama bagi seluruh individu di dalam organisasi. Dengan
pemahaman yang sama, baik itu yang berkaitan dengan tujuan ataupun tugas
pada masing-masing. Yang pada akhirnya akan berdampak pada kelancaran
tugas masing-masing individu.

Fungsi yang terakhir komunikasi di dalam organisasi yaitu sebagai regulatif.
Yang artinya bahwa komunikasi yang terjadi berhubungan erat dengan aturan
yang diperlukan di dalam suatu organisasi. Tentunya segala aturan yang
ditujukan untuk memberikan standar atau petunjuk yang sesuai fungsi dan
tugas masing-masing individu. Selain tersebut di atas, komunikasi juga bisa
berfungsi untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi di dalam suatu
organisasi,(Yuningsih, Ani, 2011).

Adapun untuk memenuhi fungsi ini, beberapa prinsip perlu diperhatikan dalam
berkomunikasi. Prinsip yang pertama adalah bahwa komunikasi harus didesain
untuk pengelolaan konflik. Di mana dasar dari pengembangan strategi
pengelolaan konflik tersebut adalah sebagai bentuk proses pembelajaran bagi
organisasi. Dengan kata lain yaitu desainnya diarahkan sebagai bentuk best
practice. Hal ini akan memperkaya referensi dan sekaligus bisa menjadi
pedoman dalam penyelesaian konflik organisasi. Prinsip yang kedua adalah
bahwa strategi pengelolaan konflik yang akan dilakukan perlu didasarkan atas
prinsip dari the right stakeholders to solve the right problems. Ini berarti bahwa
pelaku dari pengelola konflik harus sesuai dengan isu yang ditangani. Dengan
kata lain bahwa kompetensi dari individu atau tim pengelola konflik harus
sama dengan isu yang diselesaikannya.

Prinsip yang ketiga adalah bahwa komunikasi yang dilakukan harus
dikembangkan sesuai dengan prinsip pengelolaan konflik yang etis bagi semua
level yang ada di dalam organisasi tersebut. Dengan kata lain bahwa
komunikasi yang dilakukan harus didasarkan atas budaya atau iklim yang ada
di dalam organisasi. Pemaduan antara aspek objektif maupun aspek subjektif
dalam memandang konflik yang terjadi harus diterapkan. Sehingga
komunikasi yang terjadi akan menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan
konflik (Yuningsih, Ani, 2011). Dengan ketiga prinsip itulah maka komunikasi
organisasi juga bisa berperan sebagai penyelesai konflik yang efektif,
(Nurrohim and Anatan, Lina, 2009).

Bab 7 Komunikasi Dalam Organisasi 91

7.4 Pendekatan Komunikasi Organisasi

Dalam menerapkan komunikasi organisasi yang efektif perlu sekiranya
memahami beberapa pendekatan yang ada. Setidaknya bisa memahami tiga
pendekatan yang ada dalam penerapan ilmu komunikasi organisasi.
Pendekatan yang pertama yaitu dikenal adalah “pendekatan sistem”. Di mana
pendekatan ini menyatakan bahwa suatu organisasi harus mampu
mengadaptasikan dirinya dengan perubahan lingkungan di sekitarnya. Sistem
hirarki, prosedur operational standar dan garis komando adalah faktor yang
dianggap sebagai penghalang dalam kebebasan suatu organisasi (Masmuh,
2010). Di mana, anggota dari suatu organisasi harus mempunyai kebebasan
mutlak dalam berkreasi dan berkomunikasi secara interaktif dengan sesama
anggota, atasannya ataupun dengan bawahannya sekalipun.

Pendekatan yang kedua dalam komunikasi organisasi adalah “Pendekatan
Budaya”. Dikatakan di dalam pendekatan budaya ini bahwa suatu organisasi
itu adalah bagian dari budaya itu sendiri. Mengingat suatu organisasi akan
tercipta cara-cara kerja ataupun gaya hidup bagi anggota organisasi itu. Cara
kerja dan gaya hidup inilah yang membedakan dengan bentuk budaya yang
lain di masyarakat secara umum. Pendekatan yang lain yaitu “Pendekatan
kritik”. Dikatakan pendekatan kritik karena komunikasi menjadi perantara di
dalam suatu organisasi yaitu khususnya dalam pengambilan keputusan-
keputusan. Melalui pengambilan keputusan yang tepat, maka organisasi bisa
mencapai tujuannya. Mengingat semua bentuk pengambilan keputusan
pastinya didasarkan atas arah dan tujuan dari organisasi itu. Inilah yang
menjadi alasan mengapa komunikasi juga bisa berperan dalam perwujudan
cita-cita organisasi.

7.5 Elemen Komunikasi Organisasi

Seperti yang dijabarkan diatas bahwa komunikasi organisasi bertujuan untuk
meningkatkan hubungan antar anggota organisasi melalui sharing informasi
(Wayne and Don, 2005). Komunikasi organisasi juga mampu membuat
perubahan pada suatu kondisi lingkungan yang dinamis. Dengan demikian,
komunikasi organisasi meliputi tujuh elemen atau unsur yaitu meliputi proses,
pesan, jaringan, ketergantungan, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian.

92 Perilaku Organisasi

Berkaitan dengan elemen proses, komunikasi mengandung unsur adanya
pertukaran pesan antara individu di dalam organisasi. Sehingga ini dinyatakan
sebagai bagian dari proses komunikasi organisasi. Sementara elemen pesan,
adalah merupakan hal yang penting untuk terjadinya arah komunikasi yang
efektif. Dalam arti bahwa pesan yang diterima oleh komunikan sama dengan
yang dikeluarkan oleh komunikatornya. Komunikan dalam hal ini bisa seorang
bawahan atau kolega dalam organisasi. Sementara komunikator bisa seorang
pimpinan atau orang yang memberikan pesan atau instruksi dalam organisasi.
Disisi lain yaitu tentang elemen jaringan. Di mana elemen jaringan ini
merupakan kelompok individu yang ada di dalam hirarkhi organisasi yang
mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Sedangkan elemen
ketergantungan mempunyai arti bahwa dalam setiap unit kerja di dalam suatu
organisasi tentunya akan mempunyai kaitan satu dengan yang lainnya.
Beberapa unit diciptakan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Sehingga antar
unit kerja akan saling tergantung satu dengan yang lainnya.

Disisi lain tentang elemen hubungan dalam komunikasi organisasi adalah
merupakan sistem sosial yang tentunya menganut pada prinsip-prinsip sosial.
Di mana prinsip sosial adalah adanya saling keterkaitan satu individu dengan
individu yang lainnya sebagai makluk sosial. Sedangkan elemen lingkungan
merupakan tempat yang disediakan oleh organisasi bagi anggotanya. Tentunya
lingkungan ini bisa berarti lingkungan secara fisik dan juga lingkungan sosial.
Lingkungan fisik dalam arti sarana dan prasarana pendukung individu-individu
di dalam organisasi untuk menyelesaikan tugasnya. Sementara lingkungan
sosial yaitu berkaitan dengan suasana kerja atau hubungan yang tercipta antara
individu di dalam suatu organisasi. Disisi lain lingkungan juga berarti
lingkungan di dalam organisasi atau disebut dengan lingkungan internal.
Sebaliknya juga berarti lingkungan di luar organisasi yaitu yang sering disebut
dengan lingkungan eksternal. Selanjutnya tentang elemen ketidakpastian yaitu
yang menyangkut tentang suatu informasi yang dikaitkan dengan akses yang
disediakan oleh organisasi tersebut kepada semua individu di dalam organisasi.

7.6 Arah Komunikasi Organisasi

Bisa dipastikan bahwa komunikasi yang dilakukan di dalam suatu organisasi
akan didasarkan atas struktur hirarkhi yang ada di dalam organisasi tersebut.
Di mana struktur hirarjhi organisasi diciptakan sesuai dengan tujuan yang

Bab 7 Komunikasi Dalam Organisasi 93

diharapkan. Dengan demikian arah komunikasi di dalam organisasi bisa ke
bawah, keatas ataupun secara horisontal. Komunikasi yang dilakukan ke
bawah tentunya mengandung arti komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan
dengan sub-ordinatnya atau bawahannya (Panuju, 2001). Yang dalam hal ini
sering mengandung arti sebuah instruksi kerja atau petunjuk kerja dari
pimpinan kepada sub-ordinat yang ada di bawahnya.

Sementara komunikasi ke atas berarti komunikasi tersebut dilakukan oleh sub-
ordinat atau bawahan kepada pimpinanya. Hal ini bisa berkaitan dengan
pelaporan hasil kerja dari sub-ordinat kepada pimpinannya. Sering dinyatakan
bahwa komunikasi dari bawahan keatasan ini sulit mencapai efektivitas dalam
penerapannya. Karena komunikasi yang terjadi tidak memungkinkan seorang
bawahan memberikan saran kepada pimpinannya. Meskipun di beberapa
budaya organisasi hal tersebut sudah diterapkan. Sedangkan komunikasi yang
bersifat horizontal adalah mengandung arti suatu proses integrasi ataupun
koordinasi antar unit kerja di dalam organisasi. Di mana proses komunikasi
yang bersifat koordinasi ini menjadi penting untuk kelancaran proses kerja di
dalam organisasi untuk menuju tujuan organisasi. Koordinasi dirasakan
penting agar tidak terjadi overlapping dalam pelaksanaan tugas antar unit satu
dengan yang lainnya. Sehingga dengan komunikasi secara horizontal ini akan
membawa dampak positif terhadap efektivitas kerja yang optimal dalam
organisasi.

7.7 Bentuk Komunikasi Organisasi

Komunikasi organisasi mempunyai beberapa bentuk antara lain komunikasi
secara internal maupun komunikasi secara eksternal, Masmuh, (2010). Bila
dilihat dari prinsip “Komunikasi internal” maka komunikasi tersebut akan
dilakukan di berbagai unit di organisasi. Di mana komunikasi terjadi di antara
anggota-anggota organisasi tersebut. Dalam hal ini, komunikasi internal
terbagi menjadi dua bentuk yaitu komunikasi personal dan kelompok.
Dikatakan komunikasi personal karena proses komunikasinya berlangsung
antara anggota organisasi itu sendiri. Adapun proses komunikasi personal ini
bisa saja secara langsung seperti tatap muka ataupun terjadi dengan
menggunakan suatu media.

94 Perilaku Organisasi

Sementara dikatakan komunikasi kelompok ketika proses komunikasi terjadi
antara satu anggota kepada sekelompok anggota di dalam organisasi (Panuju,
2001). Sekelompok anggota dalam hal ini bisa saja pada kelompok unit
tertentu ataupun beberapa unit dikumpulkan dan terjadi dialog atau
komunikasi. Hal ini pun bisa dilakukan secara langsung dengan tatap muka
antara satu atau beberapa komunikator kepada beberapa komunikan.

Komunikasi internal ini bisa saja terjadi antara anggota di dalam organisasi.
Bisa juga di antara anggota dengan unit yang ada di dalam organisasi tersebut.
Selanjutnya, komunikasinya bisa terjadi dengan beberapa unit di dalam
organisasi. Ataupun komunikasinya terjadi antara seorang pemimpin
organisasi dengan sub-ordinatnya atau lebih umumnya adalah dengan
bawahannya. Selanjutnya bentuk komunikasi yang kedua yaitu “Komunikasi
Eksternal”. Di mana komunikasi ini berlangsung antara suatu organisasi
dengan pihak di luar organisasi, misalnya dengan masyarakat sebagai klien
ataupun dengan suatu organisasi lain sebagai mitra. Namun bisa sebaliknya
antara klien atau masyarakat kepada pihak organisasi. Klien atau masyarakat
dalam hal ini bisa publik, pemerintah, rekanan kerja ataupun klien. Demikian
bentuk-bentuk dari komunikasi organisasi. Di mana bentuk komunikasi di
dalam organisasi tersebut akan terjadi sesuai dengan arah kerja dan tujuan
organisasi itu sendiri.

Bab 8

Pengambilan Keputusan

8.1 Pendahuluan

Disiplin ilmu perilaku organisasi mengategorikan pengambilan keputusan
berada di proses. Keputusan yang diambil akan menghantarkan kemana
organisasi akan bergerak. Sehingga ketepatan dalam pengambilan keputusan
oleh pemimpin sangat diharapkan dalam organisasi. Pengambilan keputusan
yang dilakukan seorang pemimpin dapat mengevaluasi kinerja atau
kemampuan seorang pimpinan. Pengambilan keputusan perlu diambil dengan
berbagai pertimbangan dalam mencapai tujuan organisasi. Keputusan yang
diambil dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Idealnya,
pengambilan keputusan akan menjadi proses yang obyektif, tetapi cara
individu membuat keputusan dan kualitas pilihan mereka sangat dipengaruhi
oleh persepsi mereka. Pengambilan keputusan individu merupakan faktor
penting dari perilaku pada tingkat organisasi. Proses pengambilan keputusan
dipengaruhi oleh faktor baik internal maupun eksternal (Robbins and Judge,
2017).
Tidak dipungkiri bahwa banyak manajer yang pernah melakukan kesalahan
dalam pengambilan keputusan. Terdapat juga keputusan yang diambil belum
kelihatan dampak nya secara langsung karena hasil yang di harapkan jangka
panjang. Penting bagi seorang pemimpin dalam memperhatikan cara dan
proses yang sesuai sebelum keputusan diambil.

96 Perilaku Organisasi

8.2 Pengambilan Keputusan

Faktor suasana hati dan emosi memberikan efek pada pengambilan keputusan
yang harus dipahami manajer. Emosi dan suasana hati yang positif membantu
seseorang membuat keputusan yang tepat. Emosi positif juga dapat
meningkatkan keterampilan dalam memecahkan masalah, sehingga dapat
dikatakan orang yang positif menemukan solusi yang lebih baik, (Robbins and
Judge, 2017).
Sedangkan peran emosi dan suasana hati negatif dalam pengambilan
keputusan masih diperdebatkan oleh peneliti perilaku organisasi. Lebih lanjut
penelitian yang dilakukan Zulfiqar (2017) menyatakan bahwa suasana hati dan
emosi baik positif dan negatif memengaruhi pengambilan keputusan
seseorang. Akan tetapi dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi
variabel yang memengaruhi pengambilan keputusan.
Lankarani et al, (2015) dalam Huber (2018) menyatakan pengambilan
keputusan merupakan proses dalam membuat pilihan dari beberapa tindakan
untuk memecahkan masalah. Pengambilan keputusan merupakan esensi dari
kepemimpinan dan manajemen. Sebagai seorang manajer diharapkan mampu
memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan. Cara mengambil
keputusan. Pengambilan keputusan tidak sama dengan berpikir kritis atau
pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang efektif dan disertai
pengambilan keputusan bersamaan tidak dapat terjadi tanpa adanya pemikiran
kritis seperti dalam gambar .8. 2 (Lemire, (2002) dalam Huber, 2010)

Gambar 8.1: Perbedaan dan Interaksi Antara Berpikir Kritis dan Pengambilan
Keputusan (Lemire, (2002) dalam Huber, 2010)

Bab 8 Pengambilan Keputusan 97

Seorang manajer dapat di evaluasi berdasarkan keputusan yang diambil. Jika
keputusan yang dibuat buruk, kemajuan dapat terhambat, sumber daya
terbuang percuma, hasil dari keputusan yang buruk mungkin tidak terlihat dan
baru muncul beberapa tahun kemudian, Huber, (2010).

Elemen Kritis dalam pengambilan keputusan menurut Marquis and Huston
(2012) terdiri dari lima yaitu :

• Tentukan tujuan dengan jelas

• Mengumpulkan data dengan teliti
• Hasilkan banyak alternatif

• Memilih dan bertindak dengan tegas

8.2.1 Model Pengambilan Keputusan

Model DECIDE merupakan model yang berfungsi bagi manajer untuk
membantu dalam mencegah kesalahan (error) kognitif dari lingkungan dengan
tingkat stres tinggi. Model ini dapat membantu mencegah memilih tindakan
yang tidak tepat. Model ini merupakan kombinasi dari Guo’s (2008) dan
Stiegler dan Ruskin’s (2012) dalam, (Huber, 2018).

1. Define the problem (Temukan masalah).
Tentukan mengapa segala sesuatu perlu dilakukan dan gali apa yang
mungkin terjadi. Hal penting dalam langkah ini yaitu mendeteksi
situasi yang berubah.

2. Establish (Tetapkan)
Tetapkan kriteria yang diinginkan untuk diraih. Hal apa yang harus
tetap dipertahankan dan hal apa yang perlu ditindaklanjuti untuk
menghindari masalah dikemudian hari. Lakukan prediksi berapa lama
hal tersebut merubah lingkungan

3. Consider (Pertimbangan)
Pertimbangkan semua pilihan alternatif yang mungkin dilakukan
yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau kriteria sebagai
solusi permasalahan yang ada.

4. Identify (Identifikasi)
Mengidentifikasi pilihan atau alternatif yang paling baik berdasarkan
pengalaman, intuisi dan eksprerimen.

98 Perilaku Organisasi

5. Develop (Kembangkan)
Kembangkan dan implementasikan rencana tindakan sebagai
pemecahan masalah

6. Evaluate (Evaluasi)
Lakukan evaluasi pengambilan keputusan yang dibuat melalui
pemantauan, panduan mengatasi masalah dan umpan balik.

Pengambilan keputusan tidak sekedar pemecahan masalah. Pengambilan
keputusan juga dapat menjadi suatu kesempatan, tantangan atau inisiatif
kepemimpinan jangka Panjang. Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan manajer. Meskipun begitu tidak semua gaya kepemimpinan
dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan, Huber (2010).
Meskipun menggunakan model pengambilan keputusan atau level organisasi
kesalahan kognisi mungkin terjadi Gambar 8.2 berikut merupakan ilustrasi
mengenai apa yang dapat terjadi dalam proses pengambilan keputusan yang
salah ketika terdapat data yang diabaikan atau bias yang terjadi dalam proses
pengambilan keputusan.

Gambar 8.2: Labirin Pengambilan Keputusan, (Huber, 2010)

8.2.2 Etika Dalam Pengambilan Keputusan

Adanya panduan memberikan akses bagi seseorang dapat berada dalam suatu
lingkungan yang sama. Etika memberikan pandangan bagi seseorang dalam
berperilaku. Berdasarkan batasan atau aturan yang berlaku. Kode etik
didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menilai perilaku.

Bab 8 Pengambilan Keputusan 99

Prinsip etika membantu pengambilan keputusan karena merupakan suatu
standar dalam pengukuran tindakan seseorang. Prinsip etika tidak terbatas pada
perilaku tertentu. Akan tetapi bersifat sebagai panduan atau acuan untuk
perilaku yang sesuai. Etika juga mempertimbangkan situasi di mana keputusan
harus dibuat. Prinsip-prinsip etika berbicara tentang esensi atau fundamental
hukum daripada ketepatan hukum, Macklin (1987) dalam (Weiss and Tappen,
2015).

Menurut Linberg dalam Chitty 1997 dalam, Nursalam, (2014) model
pengambilan keputusan etik terdiri dari :

1. Klarifikasi dilema etik
2. Mengumpulkan data tambahan
3. Identifikasi pilihan
4. Membuat suatu keputusan
5. Tindakan dan evaluasi

Selain itu terdapat kerangka etika dalam pengambilan keputusan. Menurut
Marquis and Huston (2012). Kerangka etika yaitu pada tabel 2.1.

Tabel 8.1: Ethical Framework, (Marquis and Huston, 2012)

Framework Basic Premise

Utilitarian (Teological) Provide the greatest good for the
greatest number of people

Right Based Individuals have basic inherent rights
(Deontological) that should not be intrefered with

Duty Based (Deontological) A duty to do something or to refrain
from doing something

Intuitonist (Deontological) Each case weighed on case-by-case
basis to determine relative goals, duties
and rights

100 Perilaku Organisasi

8.2.3 Partisipasi Pengambilan Keputusan

Setiap anggota kelompok memiliki peluang untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan. Hal tersebut perlu dilakukan agar dapat mengambil bagian dalam
fungsi organisasi, bertumbuh secara professional Sabiston & Laschinger
(1995) dalam, Weiss and Tappen, (2015). Anggota organisasi yang ikut
berperan akan merasa diberdayakan. Seorang manajer perlu memperhatikan
hal ini dalam memberikan peluang pengambilan keputusan pada anggota
kelompok di organisasi yang dipimpin. Menurut, Weiss and Tappen, (2015)
memberikan bagian pengambilan keputusan yang tulus sulit dicapai, Sebagian
karena manajer enggan melepaskan kendali atau mempercayai anggota staf
mereka dalam membuat keputusan yang bijaksana. Sebagai contoh, apabila
terdapat anggota yang tidak dapat mengontrol anggaran dalam unit mereka,
mereka tidak dapat menerapkan keputusan untuk mengganti asisten dengan
anggota lain tanpa persetujuan dari manajemen tingkat yang lebih tinggi.

8.3 Pengambilan Keputusan Kelompok

Selain secara individu pengambilan keputusan dapat terjadi di dalam suatu
grup atau kelompok. Pengambilan keputusan kelompok dapat digunakan
secara luas dalam organisasi, tetapi apakah pengambilan keputusan kelompok
yang lebih disukai daripada yang dibuat oleh individu sendiri? Hal tersebut
tergantung pada beberapa faktor.

8.3.1 Kekuatan dan Kelemahan Pengambilan Keputusan
Kelompok

Menurut Robbins and Judge (2017) dalam grup menghasilkan informasi dan
pengetahuan yang lebih lengkap. Hal tersebut terjadi oleh karena terdiri dari
banyak sumber daya baik individu maupun dari kelompok. Selanjutnya
masukkan yang diberikan lebih beragam saat prose pengambilan keputusan.
Hal tersebut memberikan keuntungan dengan memberikan keragaman
pandangan serta kesempatan mempertimbangkan sesuatu menjadi lebih
banyak.

Selanjutnya yang menjadi kelemahan dalam pengambilan keputusan secara
kelompok yaitu memerlukan waktu yang lebih banyak. Hal tersebut

Bab 8 Pengambilan Keputusan 101

diakibatkan karena kelompok biasanya membutuhkan waktu yang banyak
untuk mendapatkan solusi. Selain itu adanya tekanan, adanya keinginan
anggota kelompok yang ingin diterima. Kemudian diskusi kelompok bisa
didominasi oleh satu atau beberapa anggota saja. Apabila terdapat anggota
yang memiliki keinginan lebih rendah maka keefektifan kelompok tersebut
akan menurun. Keputusan individu, jelas siapa yang bertanggung jawab untuk
hasil akhir.

Dapat di simpulkan bahwa grup adalah sarana yang sangat baik untuk
melakukan berbagai langkah dalam proses pengambilan keputusan dan
memberikan masukan berupa informasi yang lebih luas dan mendalam.
Apabila anggota kelompok terdiri dari beragam latar belakang, alternatif yang
dihasilkan seharusnya harus lebih ekstensif dan analisisnya lebih kritis.
Sehingga solusi yang dihasilkan akan lebih banyak didukung dan di
implementasikan. Akan tetapi keputusan kelompok dapat beresiko terjadinya
konflik. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus tertentu, keputusan individu
baik daripada kelompok (Robbins and Judge, 2017).

8.3.2 Model Pengambilan Keputusan Kelompok

Terdapat banyak model pengambilan keputusan kelompok. Empat model
umum menurut Huber (2010) yaitu :

1. Model Rasional. Pengambilan keputusan berdasarkan perspektif
ekonomi.

2. Model Politik. Berdasarkan kekuasaan, pengaruh, negosiasi, tawar-
menawar, dan pengaruh kepentingan kelompok.

3. Model Proses. Menggunakan prosedur dan pedoman standar
operasional

4. Model "garbage can". Ditandai dengan identifikasi masalah yang
sulit dan penyelesaian masalah yang sulit dalam keadaan ambiguitas,
kompleksitas, dan non-rasionalitas.

Semua model ini dapat digunakan pada satu waktu tertentu, baik secara
individu maupun dikombinasi tergantung pada sifat masalahnya. Misalnya,
ketika suatu masalah menyangkut alokasi anggaran, model politik dapat
digunakan. Setelah pedoman praktik berbasis bukti telah disetujui, model
proses dapat digunakan untuk mengimplementasikan pedoman tersebut.

102 Perilaku Organisasi

Terdapat berbagai macam teknik pengambilan keputusan kelompok

1. Teknik kelompok nominal
2. Teknik Delphi
3. Pembangunan konsensus adalah metode yang berbeda untuk

memfasilitasi pengambilan keputusan kelompok, (Kelly, 2010).

8.3.3 Pengambilan keputusan dan Hierarki Organisasi

Hierarki pengambilan keputusan dapat di lihat pada bagan organisasi tiap
organisasi. Bagan tersebut menentukan di mana keputusan dibuat dalam
hierarki manajemen. Organisasi dengan pengambilan keputusan terpusat
(decentralization), manajer yang berada pada posisi puncak hierarkilah yang
akan membuat keputusan. Pengambilan keputusan perlu didesentralisasikan
dalam organisasi besar, Marquis and Huston, (2012).

Keterbatasan dalam pengambilan keputusan efektif yaitu:

1. Pengalaman sebelumnya
2. Nilai-nilai
3. Bisa pribadi
4. Prasangka dan ide yang terbentuk sebelumnya memengaruhi cara

seseorang memandang masalah dan situasi.

DeLaune and Ladner (2006) dalam (Kelly, 2010) mengidentifikasi kriteria-
kriteria yang dapat berpengaruh negatif dalam proses pengambilan keputusan:

• Langsung menyimpulkan tanpa memeriksa situasi secara
menyeluruh

• Gagal mendapatkan semua informasi yang diperlukan
• Memilih keputusan yang terlalu luas, terlalu rumit, atau kurang

jelas
• Gagal memilih dan mengomunikasikan solusi yang rasional
• Gagal melakukan intervensi dan mengevaluasi keputusan atau

solusi dengan tepat.

Bab 8 Pengambilan Keputusan 103

Tabel 8.2: Do and Don’t on Decision Making (Kelly, 2010)

Lakukan (Do) Tidak dilakukan (Don’t)
Dapatkan informasi yang tepat Membuat keputusan dengan cepat.
sebelum membuat keputusan
Buat catatan-catatan dan manfaatkan Buang waktu Anda membuat
semua informasi yang relevan
keputusan yang tidak ada
Tuliskan pro dan kontra dari suatu
masalah untuk dibantu untuk dibuat.
memperjelas pemikiran Anda
Ubah ingatan Anda tentang pilihan
Buat keputusan yang diperlukan
daripada terakumulasi dan penolakan pilihlah
Pertimbangkan mereka yang
terpengaruh oleh keputusan Anda. untuk membuat opsi yang tampak

Percayalah pada dirimu sendiri. relatif lebih menarik
Tunda atau revisi keputusan apabila
dibutuhkan. Memperpanjang pertimbangan

tentang keputusan.

Dipengaruhi secara berlebihan oleh

informasi awal yang membentuk

pandangan Anda tentang informasi

selanjutnya.

Selalu mendasarkan keputusan pada

“sesuatu pasti selalu selesai. "

8.3.4 Penggunaan Teknologi dalam Pengambilan
Keputusan

Sumber terbaik untuk pengambilan keputusan dan penilaian adalah seorang
yang terlatih. Dalam lingkup Kesehatan teknologi seperti komputer
menawarkan banyak cara untuk mendukung kebutuhan informasi tenaga
kesehatan seperti Evidance Based. Hal ini termasuk: Catatan Kesehatan
Elektronik, manajemen informasi, mutu pelayanan, dokumentasi dan
monitoring.

104 Perilaku Organisasi

Bab 9

Konflik dan Negosiasi

9.1 Pendahuluan

Dalam organisasi terdapat berbagai jenis karakter sumber daya manusia yang
berbeda-beda. Ketika terjadi interaksi antara orang-orang maupun kelompok
maka akan ada potensi munculnya perbedaan dan pergesekan. Perbedaan ini
sering kali memicu timbulnya selisih paham antar karyawan sehingga
menimbulkan persoalan. Jika persoalan tidak diselesaikan dengan baik maka
akan berdampak pada efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Konflik muncul disebabkan karena adanya perbedaan persepsi antar karyawan
yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan atau kepentingan. Konflik
akan selalu muncul dalam organisasi. Konflik dalam organisasi terdiri dari
konflik fungsional dan disfungsional yang mana terjadi karena satu pihak
menentang pihak lain (Champoux, 2011). Konflik dapat menimbulkan
konsekuensi positif maupun negatif (Supartha and Sintaasih, 2017).
Konflik yang berlarut-larut dapat menyebabkan dampak negatif terhadap
organisasi. Oleh karena itu Konflik yang muncul dalam organisasi hendaknya
mendapat perhatian agar tidak mengganggu produktivitas perusahaan. Salah
satu cara yang digunakan untuk menghadapi konflik adalah dengan melakukan
manajemen konflik. Beberapa ahli berpendapat bahwa manajemen konflik
sangat berguna untuk perbaikan yang berkelanjutan. Memahami tingkat dan
jenis konflik dapat membantu seseorang mendiagnosis konflik dan mengelola

106 Perilaku Organisasi

konflik secara efektif. Oleh karena itu maka perlunya mengenali sumber
konflik yang berasal dari organisasi. Berdasarkan jenis konflik maka dibagi
menjadi konflik intrapersonal, konflik antar personal, konflik kelompok dan
konflik organisasi.

Dalam pengambilan keputusan yang tepat terhadap konflik dapat dilakukan
dengan negosiasi dengan mempertimbangkan perbedaan pendapat, harapan,
minat antar individu maupun kelompok (Nurlaila, 2012). Negosiasi
merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengelola konflik antar pribadi,
kelompok, dan organisasi (Inayah, 2014). Negosiasi diartikan sebagai
pertemuan antara kedua pihak atau lebih yang memiliki konflik dan berusaha
untuk mencari penyelesaiannya (Wibowo and Mubarok, 2016). Sehingga
dapat dijelaskan bahwa konflik muncul disebabkan karena adanya perbedaan
pandangan sedangkan negosiasi merupakan upaya untuk memengaruhi kedua
belah pihak.

9.2 Pengertian Konflik

Konflik berasal dari kata latin yaitu configere yang memiliki arti kata saling
memukul (Inayah, 2014). Konflik merupakan sebuah keadaan di mana
seseorang atau kelompok memiliki persepsi yang berbeda dengan pihak lain
yang dapat memengaruhi secara negatif dalam pencapaian kepentingan dan
tujuan (Sritumini, 2005). Konflik juga dijelaskan sebagai pertentangan atau
ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok disebabkan
karena kedua belah pihak harus membagi sumber daya atau karena adanya
perbedaan status, nilai, persepsi, kepentingan, kebutuhan, dan tujuan (Wibowo
and Mubarok, 2016) .

Menurut Champoux bahwa konflik sebagai anggapan bahwa adanya
pertentangan kepentingan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain
secara negatif memengaruhi (Champoux, 2011). Konflik juga diartikan
sebagai proses sosial antara dua atau lebih yang mana salah satu pihak
berusaha untuk saling menyingkirkan dan menghancurkan. Dari beberapa
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah ketidakcocokan
sasaran, perbedaan penafsiran, dan ketidaksepakatan yang terjadi antara dua
atau lebih individu maupun kelompok dalam organisasi mencakup
kepentingan, kebutuhan dan tujuan di mana pihak yang satu memengaruhi

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 107

secara negatif terhadap pihak lain sehingga adanya salah satu pihak merasa
dirugikan.

Jenis konflik di mana terdiri dari (a) Hubungan tugas yaitu penekanan konflik
yang terjadi atas isi dan sasaran pekerjaan; (b) Konflik hubungan yaitu konflik
yang terjadi berdasarkan pada hubungan interpersonal; dan (c) Konflik proses
yaitu konflik yang terjadi atas cara dalam melakukan pekerjaan.

Masih banyak orang beranggapan bahwa konflik bersifat negatif yang
mengarah pada perpecahan padahal konflik juga dapat bermanfaat bagi
kemajuan organisasi. Pada umumnya konflik yang muncul bersifat
disfungsional atau menimbulkan dampak negatif seperti menurunkan
produktivitas, meningkatkan stress dan ketegangan antar individu dan
kelompok, namun demikian pengelolaan konflik dengan baik akan
memberikan manfaat bagi keberlangsungan organisasi.

9.3 Pandangan Tentang Konflik

Dalam perkembangannya ada terdapat tiga pandangan tentang konflik yang
terjadi dalam organisasi yaitu, (Supartha and Sintaasih, 2017) :

1. Tradisional view of conflict atau pandangan secara tradisional.
Pandangan ini menyakini bahwa konflik yang terjadi harus dihindari
karena semua konflik itu berbahaya. Pandangan tentang konflik ini
pada umumnya terjadi pada tahun 1930 sampai 1940an. Konflik akan
mengakibatkan kerugian, dan dipandang sebagai sesuatu yang
berdampak negatif, buruk dan berbahaya. Konflik secara tradisional
dipandang sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan
organisasi.oleh karena itu harus dihindari dan dicegah dengan
mencari penyebab munculnya konflik dan memperbaikinya. Konflik
yang terjadi akibat disfungsional dari komunikasi yang buruk, kurang
kepercayaan antar kelompok, tidak adanya keterbukaan,dan
ketidaktanggapan atasan terhadap kebutuhan bawahan.

2. Behavioral atau konflik berdasarkan pandangan hubungan manusia.
Pandangan ini berpendapat bahwa konflik dianggap sebagai kejadian
yang alami, wajar yang tidak dapat dihindarkan kelompok maupun

108 Perilaku Organisasi

organisasi. Konflik ini tidak dapat dihindarkan sehingga perlu
menerima keberadaan konflik tersebut. Pandangan tentang teori
konflik ini berlangsung pada akhir tahun 1940 sampai dipertengahan
1970an. Konflik tidak selamanya dianggap bersifat negatif tetapi jika
diolah dengan baik maka akan menghasilkan dampak positif bagi
organisasi. Dengan kata lain konflik dapat diolah menjadi sesuatu
yang bermanfaat sehingga mendorong kinerja organisasi.
3. Interactionsist view of conflict atau Pandangan Interaksionis.
Pandangan ini berpendapat bahwa konflik tidak hanya sebagai
kekuatan positif tetapi sangat diperlukan dalam peningkatan kinerja.
Konflik dipandang sebagai hal multak yang perlu bagi organisasi
sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan. Kondisi organisasi
yang harmonis, damai dan tenang dianggap menjadi statis dan tidak
mengalami perubahan sehingga perlu adanya konflik untuk memicu
perubahan dan inovasi. Konflik dianggap sebagai hal positif dan
harus diciptakan sehingga meningkatkan kinerja individu maupun
kelompok dalam organisasi.

9.4 Konflik Fungsional dan
Disfungsional

Konflik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak pada
organisasi. Konflik terbagi atas dua berdasarkan manfaatnya yaitu konflik
fungsional dan disfungsional. Konflik yang bersifat fungsional mengakibatkan
hal positif dan bermanfaat. Konflik yang tidak funsional atau disfungsional
mengakibatkan hal negatif atau merugikan.

Dampak konflik fungsional dan disfungsional dijelaskan sebagai berikut
(Supartha and Sintaasih, 2017) :

1. Fungsional
Konflik fungsional merupakan konflik yang bertujuan untuk
mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Konflik dapat menjadi

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 109

sebuah penggerak untuk peningkatan kinerja organisasi. Beberapa
hasil fungsional dari konflik yaitu
a. Menggerakkan dan merangsang kreativitas.
b. Mendorong terjadinya inovasi.
c. Mendorong pencarian solusi.
d. Meningkatkan minat dan keingintauan.
e. Mendorong adanya evaluasi diri dan meningkatkan perubahan ke

arah yang lebih baik.
f. Meningkatkan prestasi.

Contoh adanya dua departemen dalam sebuah perusahaan yang
memperdebatkan cara yang paling efektif dalam meningkatan
penjualan.
2. Disfungsional
Konflik yang menghalangi organisasi atau kelompok untuk mencapai
tujuannya. Disfungsional menjadi penghambat kinerja kelompok
secara spesifik sehingga menurunkan efektivitas organisasi. Konflik
yang menguntungkan dapat berubah menjadi konflik yang berbahaya.
Hasil disfungsional konflik seperti :
a. Memunculkan ketidakpuasan.
b. Menghambat komunikasi.
c. Mengurangi kekompakan kelompok.
d. Adanya subordinasi tujuan kelompok yang dominan sehingga
mengancam keberlangsungan organisasi.
e. Menimbulkan sikap putus asa.
f. Saling menjatuhkan.

Menciptakan konflik fungsional dilakukan agar merangsang kreativitas
individu maupun kelompok sehingga perlunya penghargaan terhadap
perbedaan dan menghindari adanya hukuman penghindaran konflik. Sebagai
contoh memberikan penghargaan kepada orang yang berbeda pendapat dan
menghukum orang yang selalu menghindari konflik.

Karena batasan konflik fungsional dan disfungsional sering kali kabur maka
untuk menentukan apa yang menjadi konflik fungsional, seorang manajer
perlu memahami hasil positif dan negatif dari konflik. Seorang manajer perlu

110 Perilaku Organisasi

mengelola konflik agar tetap berada pada batas-batas fungsional. Manajemen
konflik melibatkan pemeliharaan konflik pada tingkat yang berfungsi untuk
kelompok. Jika tingkat konflik disfungsional tinggi, manajer harus mengurangi
konflik. Jika tingkat konflik rendah secara disfungsional, manajer harus
meningkatkan konflik (Champoux, 2011).

9.5 Proses Konflik

Untuk memahami konflik maka dapat dijelaskan dari proses konflik yang
terdiri dari lima tahapan yaitu tahapan satu potential opposition or
incompatibility (potential pertentangan atau ketidakcocokan), tahap dua
cognition and personalization (kognisi dan personalisasi), tahap tiga Intentions
(maksud), tahap empat behavior (perilaku), dan tahap lima outcomes (hasil)

Gambar 9.1: Proses Konflik,.(Champoux, 2011)
1. Potential opposition or incompatibility (potential pertentangan atau

ketidakcocokan).
Tahapan pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi yang
menciptakan munculnya konflik meskipun kondisi tersebut tidak
mengarah langsung ke konflik atau memunculkan peluang terjadinya
konflik.
Sumber-sumber konflik dapat disebabkan oleh :
a. Komunikasi, komunikasi yang kurang baik dapat menjadi sumber

konflik sehingga terjadi kesalahpahaman antar sesama anggota

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 111

dalam organisasi. Kesalahan komunikasi seperti kebisingan,
kesulitan semantik, perbedaan konotasi kata dapat menyebabkan
makna berbeda sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan
dapat berakibat timbulnya konflik.
b. Struktur merupakan tuntutan pekerjaan yang dapat
mengakibatkan ketidaknyamanan antar kelompok. Istilah struktur
dalam konteks ini mencakup variabel seperti ukuran, spesialisasi,
kadar, tugas yang diberikan, kejelasan, keserasian anggota, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan kadar ketergantungan antar
individu dan kelompok.
c. Variabel kepribadian berisi sisten nilai individu dan tipe
kepribadian seperti sifat, kepribadian, dan karakter yang
menyebabkan ketidaksukaan pribadi atas individu lain dapat
menjadi potensi munculnya konflik seperti kepribadian yang
emosional, otoriter dan sebagainya. Semakin besar kelompok dan
semakin terspesialisasi kegiatan dapat memunculkan peluang
semakin besar terjadinya konflik.
2. Cognition and personalization (kognisi dan personalisasi)
Jika tahapan pertama muncul kondisi yang bersifat negatif maka pada
tahapan kedua akan didefinisikan sesuai persepsi pihak yang sedang
berkonflik. Tahapan ini yaitu tahapan di mana isu-isu konflik
difinisikan dan dicari jalan keluarnya sehingga konflik terselesaikan.
Dalam tahapan ini konflik terdiri dari konflik yang dipersepsikan
yaitu (a) kesadaran satu pihak atau lebih atas adanya konflik sehingga
munculnya peluang terjadinya konflik dan (b) konflik yang dirasakan
yaitu keterlibatan secara emosional sehingga menciptakan kondisi
cemas, tegang dan fustrasi. Contoh perasaan negatif sehingga
mengurangi kerja sama tim, menurunkan tingkat kepercayaan dan
menurunkan kinerja.
3. Intentions (maksud)
Tahapan di mana mulai memberikan tindakan atas konflik, konflik
dapat menjadi bertambah parah dikarenakan adanya kesalahan

112 Perilaku Organisasi

maksud dari pihak lain. Ada lima maksud dalam penanganan konflik
yaitu, (Champoux, 2011)
a. Dominance (Dominasi) yaitu keinginan untuk memuaskan

kepentingan seseorang tanpa memperdulikan dampak pada pihak
lain dalam konflik tersebut.konflik dipandang sebagai
pertempuran untuk bertarung dan menang. Contoh perilaku
seperti meyakinkan orang lain bahwa pendapatnya benar
sedangkan pendapat orang lain salah.
b. Collaborative (Kolaborasi) yaitu orang yang ingin memuaskan
keinginan semua pihak yang berkonflik dan dengan tulus mencari
solusi yang dapat memuaskan semua orang. Contoh prilaku yang
memperjelas perbedaan dibanding mengakomodasi pendapat dari
berbagai sudut pandang.
c. Avoidance (penghindaran) yaitu keinginan untuk menarik diri
dari konflik atau menekan konflik,.contoh prilaku yang suka
menghindari pendapat orang lain yang berlawanan.
d. Accommodative (akomodasi) yaitu orang berfokus pada
kebutuhan dan keinginan pihak lain, mengabaikan kebutuhan dan
keinginannya sendiri. Contohnya prilaku yang bersedia
berkorban demi terpeliharanya sebuah hubungan.
e. Compromise (Kompromi) yaitu situasi di mana masing-masing
pihak bersedia untuk mengalah atau mengorbankan sesutau.
Contohnya melakukan intervensi dengan meminta bantuan pihak
ketiga dan menyerahkan keputusan kedalam bentuk mediasi atau
arbitrasi.

Orientasi seseorang terhadap konflik dapat berubah saat bentuk konflik
terungkap. Perubahan tersebut dapat terjadi dengan memperhatikan
kekuatan lawan. Orang yang berorientasi pada dominasi menekan untuk
memenangkan masalah penting, tetapi dapat beralih ke orientasi
kompromi. Perubahan tersebut dapat terjadi jika orang tersebut merasa
bahwa kekuatan dan potensi pihak lain untuk memenangkan konflik lebih
kuat. Orientasi kolaboratif dapat hasil yang baik ketika berhasil
mengidentifikasi dan memuaskan keinginan semua pihak yang berkonflik.
Akibatnya mengurangi kemungkinan konflik dimasa mendatang atas

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 113

masalah yang sama. Kolaboratif terhadap konflik menghasilkan manfaat
jangka panjang yang lebih positif bagi organisasi dari pada empat orientasi
lainnya. Manfaatnya mencakup keputusan berkualitas lebih baik,
kepercayaan yang meningkat, dan kepuasan yang meningkat dengan hasil
dari tahapan konflik

4. Behavior (perilaku)
Tahapan keempat yaitu pernyataan, aksi dan reaksi yang dibuat
masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik seperti membuat
pernyataan, tindakan dan reaksi balik. Dalam penyelesaian konflik
diperlukan teknik-teknik untuk menyelesaikan konflik yang disebut
dengan manajemen konflik. Para manajer dalam mengendalikan
konflik menggunakan manajemen konflik sehingga mampu
menyelesaikan persoalan. Manajemen konflik merupakan
penggunaan teknik resolusi dan stimulasi untuk memperoleh level
konflik yang diinginkan.

5. Outcomes (hasil)
Tahap kelima adalah konsekuensi yang dihasilkan dari konflik. Hasil
dapat bersifat fungsional maupun disfungsional. Hasil konflik bersifat
fungsional artinya bahwa hasil dari konflik yang berakibat perbaikan
kinerja individu, kelompok maupun orang lain. Konflik disfungsional
artinya hasil konflik yang berakibat hambatan bagi kinerja individu
maupun kelompok lain.

9.6 Jenis Konflik dalam Organisasi

Konflik organisasi terjadi dibeberapa tingkatan dan muncul dalam bentuk yang
berbeda. Berbagai tingkatan dan jenis konflik seringkali memiliki sumber dan
akar yang berbeda. Memahami tingkat dan jenis konflik dapat membantu
seseorang mendiagnosis konflik dan mengelola konflik secara efektif
(Supartha and Sintaasih, 2017).

114 Perilaku Organisasi

1. Konflik Intrapersonal
Merupakan konflik yang dialami seseorang yang berhubungan
dengan dirinya. Konflik muncul karena:
a. Ancaman terhadap nilai-nilai dasar orang tersebut
b. Karena perasaan diperlakukan tidak adil oleh organisasi, atau dari
berbagai sumber sosialisasi dan kontradiktif
c. Karena seorang karyawan melihat tindakan dalam organisasi
yang dia anggap ilegal atau tidak etis
d. Karena adanya tekanan peran dan ekspektasi dari luar dirinya
yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya
e. Karena tuntutan tugas yang melebihi kemampuannya.

2. Konflik Antarpersonal
Merupakan konflik yang terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik
antar individu seperti antara pelanggan dengan penjualan. Konflik
antar pribadi biasanya terjadi karena berbagai alasan termasuk
perbedaan pandangan mendasar tentang apa yang harus dilakukan,
upanya mendapatkan lebih banyak sumber daya atau orientasi kerja
dan waktu.

3. Konflik Antarkelompok
Merupakan konflik yang terjadi antara satu kelompok dengan
kelompok lain yang bersifat kolektif. Konflik dalam suatu kelompok
kemungkinan besar akan menjadi yang tertinggi selama tahap awal
pengembangan kelompok ketika ada perbedaan yang kuat di antara
anggota. Konflik dapat dipengaruhi oleh keinginan masing-masing
kelompok untuk mengejar kepentingan kelompoknya masing-masing.
Konflik antar kelompok akan sangat mempegaruhi kinerja dari
organisasi beberapa faktor yang menyebabkan konflik antar
kelompok antara lain disebabkan karena :
a. Ketergantungan kerja, konflik yang muncul karena adanya
ketergantungan kerja antara bagian satu dengan bagian lain
meliputi ketergantungan kelompok yang tidak membutuhkan
terakhir tetapi memengaruhi kesuksesan organisasi.
Ketergantungan dalam mengerjakan pekerjaan di mana kelompok

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 115

pertama harus menyelesaikan tugas yang kemudian dapat
dikerjakan kelompok berikutnya, ketergantungan timbal balik
yaitu ketergantungan menjadi input bagi kelompok berikutnya.
b. Perbedaan tujuan, dalam organisasi adanya tugas, tujuan yang
terspesialisasi sehingga menimbulkan konflik prioritas.
c. Perbedaan persepsi berkaitan dengan perbedaan sikap, nilai
antara anggota kelompok.
d. Konflik yang muncul disebabkan adanya batasan tanggung jawab
dan tujuan yang tidak jelas
4. Konflik Intra Organisasi
Merupakan semua jenis konflik yang terjadi dalam suatu organisasi.
Konflik dapat terjadi antar unit baik secara struktural, fungsional
maupun hubungan vertikal dan horizontal dalam organisasi. Konflik
hubungan secara vertikal seperti hubungan manajer dengan bawahan,
hubungan konflik secara horizontal yaitu konflik yang terjadi antar
departemen atau kelompok kerja. Contoh adanya pengambilan
keputusan yang tumpang tindih, adanya tuntutan kenaikan gaji
dikarenakan biaya hidup semakin tinggi.
5. Konflik Antar Organisasi
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya saling ketergantungan
antara perusahaan dengan perusahaan lain. Contohnya adanya
ketergantungan antara perusahaan dengan pemasok, distributor
maupun pelanggan.

9.7 Pengertian Negosiasi

Negosiasi diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat
kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih dalam pertukaran barang atau
jasa sehingga menghasilkan kesepakatan kerjasama (Wijayati, 2009).
Negosiasi muncul karena adanya perbedaan pendapat antara kedua belah pihak
sehingga perlu dilakukan kerjasama untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Negosiasi diharapkan menghasilkan kesepakatan yang adil dan masuk akal
sehingga memuaskan kedua belah pihak (Sritumini, 2005).

116 Perilaku Organisasi

Negosiasi diartikan sebagai proses tawar menawar antara pihak-pihak yang
terlibat dalam sebuah konflik, (Inayah, 2014). Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah upaya mencari jalan keluar atau
mencari penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sehingga
menghasilkan kesepakatan bersama.

9.8 Strategi Negosiasi

Negosiasi terdiri dari dua pendekatan antara lain sebagai berikut :

1. Negosiasi distributif
Negosiasi distributif merupakan perundingan bersama yang
menghasilkan capaian yang ditetapkan. Negosiasi distributif bersifat
membagi sumber daya yang jumlahnya tetap. Tujuan dari negeosiasi
distributif adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya sehingga terdapat situasi menang-kalah. Artinya apapun
yang terjadi dalam negosiasi akan ada pihak yang menang dan pihak
yang kalah. Dalam negosiasi distributif adanya pihak yang merasa
lebih dari pihak lain dan memiliki kepentingan yang berbeda dan
memiliki hubungan kerjasama yang bersifat jangka pendek.

2. Negosiasi Integratif
Merupakan perundingan yang menghasilkan pemecahan bersama
yang saling menguntungkan yang mana kedua belah pihak merasa
puas atas hasil negosiasi. Negosiasi dengan satu atau lebih
penyelesaian dapat menciptakan pemecahan masing-masing sehingga
masing-masing perunding mendapatkan keuntungan dan
kemenangan. Negosiasi ini menciptakan situasi menang-menang
Negosiasi integratif dapat menjaga hubungan jangka panjang dan
mempermudah kerja sama dimasa yang akan datang seperti negosiasi
penjualan kredit

Sebelum melakukan negosiasi maka seorang negosiator perlu mempersiapkan
hal-hal berikut seperti: (a) waktu yang tepat; (b) Tempat yang tepat; (c)
Pengaturan tempat duduk dan sarana fisik; (e) Menciptakan suasana yang

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 117

positif dan santai; (f) Menetapkan agenda; (g) Merumuskan tawaran atau
posisi pembuka; (h) Menghadapi konflik; (i) Berkomunikasi secara efektif; (j)
Meningkatkan keterampilan mendengar; (k) Peringatan; (l) Mencari
kesepakatan yang lebih cepat (Sritumini, 2005).

Model dari negosiasi memiliki lima langkah antara lain sebagai berikut :

1. Persiapan dan Perencanaan, Sebelum melakukan negosiasi maka kita
perlu mengetahui apa tujuan kita melakukan negosiasi dan kita dapat
memprediksi kira-kira hasil yang mungkin didapatkan dari paling
baik hingga paling minimum yang dapat diterima. Dalam proses
negosiasi ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan
direncanakan. Hal-hal tersebut antara lain
a. Dasar munculnya konflik.
b. Faktor pendorong konflik diselesaikan di meja perundingan.
c. Pihak yang terlibat dalam konflik.
d. Persepsi masing-masing pihak tentang konflik.
e. Tujuan dari negosiasi.

Informasi yang perlu di persiapkan dalam menghadapi negosiasi
mengenai pihak lain adalah :

a. Apa yang pihak lain inginkan.
b. Seberapa besar pihak lain bertahan dengan keinginan mereka.
c. Hal yang penting bagi mereka.
d. Hal yang ingin mereka selesaikan.

Saat negosiasi berlangsung masing-masing pihak akan siap dengan
pendirian mereka dan siap untuk memberikan argumen-argumen terhadap
keinginan pihak lawan sehinga perlu adanya strategi agar kedua belah
pihak mau menerima hasil keputusan yang terbaik bagi kedua belah pihak
atau menghasilkan nilai terendah yang dapat diterima dari hasil
perundingan.

2. Penentuan Aturan Dasar
Persiapan dilakukan dengan mengembangkan strategi pada tahapan
awal dengan menentukan prosedur dan aturan-aturan mengenai
perundingan dengan pihak lain dalam negosiasi seperti :

118 Perilaku Organisasi

a. Tim yang melakukan perundingan.
b. Lokasi tempat perundingan.
c. Waktu yang melakukan perundingan.
d. Batasan masalah dalam perundingan.
e. Prosedur yang harus dilakukan jika tidak menemukan

kesepakatan.
f. Dalam tahapan ini setiap tim dapat mediskusikan tuntutan awal

mereka.
1. Penjelasan dan Pembenaran

Setiap pihak akan melakukan pemaparan, penguatan, klarifikasi,
mempertahankan dan menjustifikasi tuntutan awal mereka.
2. Tawar menawar dan Pemecahan masalah
Tawar menawar dilakukan dalam proses perundingan untuk
mencapai sebuah solusi yang berguna bagi kedua belah pihak dan
pada tahap ini kedua belah pihak melakukan sebuah konsesi atau
kontrak.
3. Penutupan dan Pelaksanaan
Langkah terakhir dalam negosiasi adalah melakukan persetujuan dan
memformalkan kesepakatan yang telah dicapai serta menyusun
prosedur yang diperlukan untuk implementasi dan pengawasan.

9.9 Perbedaan Individu dalam Negosiasi

Dalam negosiasi perlunya sikap dan suasana positif yang mendukung sehingga
menghasilkan kondisi yang baik. Ada beberapa sifat-sifat yang memengaruhi
hasil negosiasi seperti sifat kepribadian, perbedaan gender, perbedaan kultur.

Perbedaan sifat tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Kepribadian dalam negosiasi
Sifat seseorang dalam negosiasi akan berpengaruh terhadap hasil dari
negosiasi tersebut seperti sikap introvert seringkali gagal
dibandingkan dengan sikap yang introvert, sikap yang menyenangkan
dan suasana hati dapat memengaruhi proses negosiasi.

Bab 9 Konflik dan Negosiasi 119

2. Perbedaan gender
Sikap dalam bernegosiasi dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis
kelamin. Negosiasi yang dilakukan wanita tidak berbeda dengan
negosiasi yang dilakukan pria walaupun kelihatannya negosiasi pria
dianggap lebih baik hasilnya. Pria dan wanita dianggap memiliki
dasar kekuasaan yang sama dalam melakukan negosiasi.

3. Perbedaan Budaya
Gaya dalam bernegosiasi dipengaruhi oleh budaya dan kultur.
Perbedaan budaya dianggap memengaruhi jumlah dan tipe persiapan
negosiasi, teknik yang digunakan dan kapan negosiasi itu akan
dilakukan.

9.10 Negosiasi Menggunakan Pihak
Ketiga

Negosiasi tidak selamanya berlangsung antara kedua belah pihak. Dalam
melakukan negosiasi dapat juga melibatkan pihak ketiga sejak awal
dilakukannya negosiasi. Proses negosiasi yang rumit antar kedua belah pihak
dapat dibantu dari pihak ketiga.

Terdapat tiga peranan dari pihak ketiga yaitu mediator, arbitrator dan
konsiliator, (Widiyanto, 2018).

1. Mediator (Penengah)
Mediator merupakan pihak ketiga yang bersifat netra yang berfungsi
untuk memfasilitasi penyelesaian negosiasi dengan menggunakan
penalaran, pembujukan, pemberian usulan dan saran alternatif sesuai
dengan kapasitasnya sebagai fasilitator. Mediator bekerja untuk
membantu kedua belah pihak dan memengaruhi bagaimana kedua
belah pihak. Rekomendasi mediator tidak memiliki kuasa yang
mengikat dan pihak yang terlibat dapat tidak menggunakan
rekomendasi dari mediator.

120 Perilaku Organisasi

2. Arbitrator (Wasit)
Arbitrator merupakan pihak ketiga yang selalu menghasilkan
penyelesaian dan memiliki wewenang memaksa agar terjadinya
sebuah kesepakatan. Arbitrator memiliki kewenangan untuk
mendiktekan kesepakatan.

3. Konsiliator (Perujuk)
Konsiliator merupakan orang atau pihak ketiga yang dipercaya dan
netral yang bertugas untuk menjembatani proses komunikasi antar
kedua belah pihak yang bersitegang. Konsiliator tidak memiliki
wewenang memengaruhi hasil negosiasi.

4. Konsultasi
Konsultasi merupakan pihak ketiga yang memiliki kecakapan dalam
menyelesaikan persoalan, mampu memfasilitasi pemecahan masalah
yang lebih difokuskan pada hubungan antar pihak dibanding isu yang
substantive.

Bab 10

Kekuasaan dan Politik di Dalam
Organisasi

10.1 Pendahuluan

Kekuasaan atau power banyak dibahas dalam literatur manajemen,
administrasi maupun ilmu politik. Di dalam organisasi bisnis, kekuasaan dapat
dikonstruksikan sebagai bagian dari proses kepemimpinan di dalam organisasi.
Di mana relasi kekuasaan antara manajer dan anak buah, atau pemimpin dan
pengikutnya ditujukan untuk mencapai kinerja organisasi, mencapai tujuan
melalui kerjasama di antara sumber daya manusia yang ada. Politik, sebagai
“seni“ untuk mencapai kinerja organisasi, juga merupakan bagian dari relasi
antara pemimpin dan anak buahnya. Mencakup berbagai taktik mengelola
pengaruh, menggunakan berbagai sumber kekuasaan, sehingga relasi
kekuasaan menjadi nilai tambah untuk proses kinerja, mewujudkan tujuan-
tujuan perusahaan. Di chapter 10 ini akan dibahas, mengenai konsep
kekuasaan, sumber sumber kekuasaan dan politik di perusahaan dan sepintas
akan dijelaskan relevansi kekuasaan di dalam model bisnis digital saat ini.

122 Perilaku Organisasi

10.2 Konsep Kekuasaan

Kekuasaan atau Power adalah kapasitas seserorang, tim atau organisasi untuk
memengaruhi orang, tim atau organisasi lain (Schermerhorn, 2012); McShane,
2012). Dalam kajian kekuasaan di organisasi seringkali merujuk kepada
seseorng yang memiliki posisi, jabatan tertentu. Sebutlah manajer, kepala
divisi atau direktur utama. Berbeda dengan bayangan banyak orang bahwa
kekuasaan itu sesuatu yang megah dan dimiliki oleh orang orang tertentu saja.
Sebaliknya kekuasaan semata potensi, yang ada di seseorang, kelompok atau
organisasi untuk, mengubah sesuatu. Utamanya di dalam kajian bisnis,
kekuasaan adalah potensi pemimpin untuk mengubah sikap dan perilaku orang
lain (McShane, 2012), atau pemimpin untuk menjalankan koordinasi,
memastikan pekerjaan selesai melalui pihak lain, dan mengelola jejaring dan
saling ketergantungan (Daft, 2014). Semula orang lain tersebut memiliki sikap
dan perilaku yang berbeda dengan keinginan pihak yang memiliki potensi
kekuasaan. Sebagai potensi, kekuasaan bila tidak digunakan tidak akan
memiliki pengaruh untuk orang lain. Mengingat seringkali seseorang tidak
menyadari memiliki potensi kekuasaan. Sebaliknya seseorang boleh saja
‘‘merasa‘‘ punya kekuasaan atas orang lain, namun bila yang bersangkutan
tidak dapat mengubah sikap atau perilaku orang lain di dalam kekuasaannya
tersebut, sesungguhnya orang tersebut tidak berkuasa (powerless). Atau
seorang manajer tidak dapat mengelola jaringan dan kerjasama stafnya
sehingga pekerjaan terbengkalai dan target perusahaan tidak tercapai. Yang
bersangkutan tidak melakukan apa-apa dengan potensi kekuasaan yang
dimilikinya (Bass, 2006).

Secara alamiah, dapat disampaikan bahwa kekuasaan merupakan relasi atau
hubungan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang kurang berkuasa.
Namun relasi kekuasaan, merupakan fenomena relasi akan adanya salah satu
pihak tergantung kepada pihak lain, dan adanya saling ketergantungan di
antara keduanya, sebagaimana Gambar 10.1.

Bagaimana menjelaskan konsepsi kekuasaan, dalam gambar tersebut, bab ini
mengidentifikasi 3 prinsip dalam hubungan kekuasaan:

1. Hubungan kekuasaan bilamana ada salah satu pihak yang tergantung
2. Hubungan kekuasaan adalah perseptual
3. Hubungan kekuasaan berjalan bilamana salah satu pihak melakukan

countervailing power

Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 123

Gambar 10.1: Relasi Kekuasaan Antara A dan B, (Adaptasi dari McShane,
2012)

10.2.1 Ketergantungan

Fenomena hubungan kekuasaan bilamana ada salah satu pihak yang
tergantung, menentukan siapa yang lebih berkuasa. Salah satu pihak (orang,
kelompok atau organisasi) percaya atas orang lain untuk sesuatu yang
dipercaya bernilai. Dalam Gambar 10.1, misalnya pihak B bergantung dengan
pihak A, untuk mendapatkan apa yang diinginkan pihak B. Mungkin sesuatu
yang bernilai bagi pihak B itu, misalnya menginginkan promosi jabatan yang
lebih tinggi, peningkatan ilmu atau keahlian, atau relasi dengan pihak yang
yang diinginkan. Sementara pihak B, juga tidak memiliki informasi, akses atau
sumber daya sebanyak A, sehingga B mengkalkulasi kemungkinan tidak
mendapatkan promosi, penugasan khusus untuk meningkatkan ilmu, atau
akses relasi, tanpa campur tangan A atau kontrol A. Ketergantungan B tersebut
atas A adalah hubungan kekuasaan. Di mana B kalah berkuasa atas A.
Dengan kata lain, A memiliki kekuasaan, sebagai manajer, dengan
kapasitasnya, untuk mengubah sikap atau perilaku B atas sesuai keinginan A.
A juga memiliki kekuasaan untuk B menyelesaikan pekerjaannya bersama
sama dengan tim yang dibentuk A. Misalnya, boleh saja B, seorang yang
menyayangi keluarga dan tidak menyukai berjauhan dengan keluarga. Namun,
sesuai keinginan A, maka B mengikutinya ditempatkan tugas di luar negeri,
berjauhan dengan keluarga. Bekerjasama dengan berbagai latarbelakang yang
berbeda, meninggalkan semua kenyamanan yang dinikmati pekerjaan
terdahulu.

124 Perilaku Organisasi

Pembahasan relasi kekuasaan dan fenomena ketergantungan menjadi perhatian
utama bagi siapapun yang tengah berkuasa. Bass (2006) misalnya
menyebutkan bahwa mereka yang menjadi pemimpin karena ditunjuk
(appointed) bukan dipilih melalui seleksi terbuka- seringkali melemah
kekuasaannya, ketika yang bersangkutan tidak dapat berkinerja optimal sesuai
harapan pihak yang menunjuknya. Hal ini dapat dijelaskan karena yang
bersangkutan, tidak dapat lagi diharapkan sebagai pihak tempat bergantung,
seiring dengan kinerjanya yang tidak optimal. Yang bersangkutan tidak dapat
memenuhi target kinerja perusahaan, apalagi menjadi tempat bergantung para
bawahannya. Dengan demikian mengapa di organisasi, seseorang yang
memiliki jabatan berupaya keras mencapai standar kinerja, selain untuk
kemajuan organisasi, ia sekaligus memelihara relasi kekuasaannya, menjadi
tempat bergantung bagi bawahannya.

10.2.2 Persepsi Relasional

Bagaimana persepsi antar pihak muncul di dalam relasi kekuasaan, Gambar.
10.1, menjelaskannya. Pihak B, bergantung kepada A, karena muncul persepsi
B atas A bahwa A lah yang dapat ‘‘efektif‘‘ memenuhi keinginan B, misalnya
B dipromosikan pada saatnya. Meski A hanyalah salah satu dari anggota tim
penilai akhir, dalam tim penentuan promosi jabatan atau panitia seleksi, namun
demikian, persepsi relasional A atas B lah yang membuat A memiliki relasi
kekuasaan. Fenomena persepsi relasional dalam kekuasaan ini juga
menjelaskan, bila ada ‘‘perantara‘‘ atau makelar yang akan mengatur
kepentigan atas sesuatu. Mengapa seorang perantara seringkali mendapatkan
kekuasaan ‘‘mengatur“, karena pihak pihak yang berkepentingan
mempersepsikannya perantara tersebut dapat mengatur menyelesaikan sebuah
urusan. Alhasil ada persepsi relasional antara seorang perantara dan pihak yang
dibantunya. Bayangkan bila si perantara tidak dipersepsikan cukup berkuasa
oleh yang berkepentingan untuk menyelesaikan sebuah kasus. Maka serta
merta, si perantara juga tidak ada relasi kekuasaan alias di abaikan saja
kehadirannya, meski mengumbar cerita selangit meyakinkan “kekuasaannya“

10.2.3 Countervailing Power

Relasi kekuasaan juga mengenal fenomena countevailing power, sebagaimana
Gambar 10.1. Bahwa pihak yang berkuasa, menjalankan kekuasaannya lebih
efektif (mengubah sikap atau perilaku orang lain atau pengikutnya) bila ada
countervailing dari bawahannya. Misalnya B, sesungguhnya tidak

Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 125

menghendaki pindah tugas berjauhan dengan keluarga. Namun karena
keinginan atas sesuatu hal, B mengikuti kemauan A untuk ditugaskan
berjauhan dengan keluarganya. Ada fenomena relasi dalam bentuk
coutervailing power oleh B atas A. B secara sadar meng “counter“ hubungan
kekuasaan atas A, mempertahankan standar kinerja yang diminta perusahaan.
Bisa saja B dengan kesadarannya tidak melakukan standar kinerja perusahaan,
bahkan menghindar bekerja. Sehingga kekuasaan A atas B tidak efektif.
Namun karena countervailing power B atas A terjadi, sehingga relasi
kekuasaan antara pemimpin (A) dan pengikutnya (B) efektif. Countervailing
power pada kenyataan terjadi di relasi kekuasaan di mana saja. Fenomena
koalisi antar antar organisasi politik misalnya. Ketika koalisi partai
mendapatkan countervailing power dari anggota partai koalisianya, koalisi
akan saling memelihara relasi kekuasaan atas anggota koalisi. Namun dalam
kesempatan lain, mereka memutus relasi kekuasaan, meniadakan
courtervailing power di antara mereka, sehingga koalisi bubar, dan selanjutnya
masing-masing partai bersaing adu kekuasaan dan pengaruh.

10.3 Sumber Kekuasaan dan Dinamika
Politik

Kekuasaan seseorang tidak serta merta ada, namun ia memiliki sumber-
sumber kekuasaan. Seseorang yang menguasa sumber-sumber kekuasaannya,
ia berpotensi menggunakannya untuk membuat orang lain dibawah
kekuasaannya. Sehingga terdapat dinamika pengaruh penggunaan sumber
kekuasaan untuk membuat perubahan di perusahaan. Mengkombinasikan
berbagai sumber-sumber kekuasaan sehingga kekuasaan efektif, merupakan
seni di dalam mencapai tujuan. Seringkali disebut sebagai politik di organisasi.

Dalam literatur, sumber-sumber kekuasaan dapat dibagi dari beberapa sumber.
Sejauh mana efektif kombinasi antaranya, merupakan seni berpolitik. Sumber
sumber kekuasaan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, kekuasaan yang
bersumber dari posisi atau peranan seseorang atau unit di dalam organisasi.
Potensi kekuasaan bisa muncul karena posisi formal dalam suatu perusahaan,
atau karena peranan suatu unit yang diberikan oleh perusahaan. Termasuk
dalam sumber-sumber kekuasaan kategori ini adalah legitimasi, koersi dan
imbalan atau reward. Kedua, kekuasaan yang bersumber dari karakteristik

126 Perilaku Organisasi

seseorang, yaitu keahlian yang dibutuhkan dalam organisasi, dan referensi
kedekatan dengan seseorang atau sesuatu yang penting bagi organisasi.
Bagaimana sumber sumber kekuasaan dan dinamika pencapaian tujuan
perusahaan? Berikut pembahasan sumber sumber kekuasaan dan
dinamikanya.

10.3.1 Legitimasi

Legitimasi adalah sumber kekuasaan yang berasal dari hak melekat dari dari
suatu posisi formal. Hak ini biasanya tertuang dalam peraturan, atau uraian
jabatan seseorang, sehingga hak melekat kewenangan untuk meminta
seseorang melakukan sesuatu. Teristimewa di dalam sumber legitimasi ini
adalah “kesepakatan” atas relasi kekuasaan pemimpin atau manajer atas staf
nya. Mereka mematuhi manajernya atas dasar sesuatu yang syah dan
dianggap benar oleh pengikut atau karyawan atas pemimpinnya. Seorang
manajer meminta anakbuahnya untuk lembur bekerja adalah bentuk relasi
kekuasaan atas dasar sumber legitimasi. Bila pemimpin baru diangkat, atau
rotasi pemimpin dari bagian lain, maka para anak buah akan mematuhi
pemimpin tersebut, meski yang bersangkutan baru menduduki posisi tersebut.
Meskipun pemimpin berusia muda,dan katakan belum berpengalaman banyak,
namun anak buah akan menjalankan tugas tugas tertentu yang diminta
pemimpin tersebut. Hal ini karena pemimpin baru tersebut menjalankan
kekuasaannya bersumber dari uraian jabatan. Secara sertamerta, pemimpin
baru tersebut memiliki relasi kekuasaan yang efektif atas anakbuahnya karena
legitimasi pemimpin baru tersebut: posisi formal, hak yang diemban dan
otoritas yang dimilikinya.

Dinamika pengaruh, yang bersumber dari kekuasaan legitimasi, untuk
mencapai tujuan ini, menjadi efektif ketika banyak keputusan keputusannya
dianggap benar sesuai dengan uraian jabatan. Tidak ada keputusan yang
melampai kewenangannya. Dinamika pengaruh legitimasi teruji ketika situasi
pembuatan keputusan di perusahaan membuat diskresi atas sesuatu. Diskresi
adalah derajat kebebasa pembuatan keputusan dengan kondisi aturan
pelaksanaan yang belum jelas aturan mainnya.Diskresi juga seringkali tidak
melibatkan persetujuan pihak lain. Oleh karena itu dinamika efektivitas
pengaruh untuk mencapai tujuan ini seringkali melibatkan sejauh mana
diskresi seorang manajer, memiliki efek positif, seperti produktivitas
perusahaan. Atau mengedepankan keadilan, bila diskresinya melibatkan
sesuatu yang dilematis. Sehingga sumber kekuasaan legitimasi efektif

Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 127

digunakan pengaruhnya dalam relasi kekuasaan antara manajer dan anak
buahnya. Visibilitas, atau kehadiran fisik, symbol kepemimpinan, juga perlu
diperhatikan dalam menakar efektivitas pengaruh yang bersumber dari relasi
kekuasaan legitimasi ini. Memastikan kehadiran fisik dalam kondisi kondisi
kritis, hadir dalam kegiatan tingkat operasional yang langsung bersentuhan
dengan lapangan, terjun dalam pelayanan akan membantu efektivitas pengaruh
yang bersumber dari kekuasaan legitamasi. Visibilitas juga dapat diperhatikan
ketika manajer menggunakan seragam kebesaran, dresscode yang
menunjukkan posisi formal. Ia menjalankan politik, seni untuk mengelola
sumber kekuasaan legitimasi. Berbagai simbol keahlian, misalnya sertifikat
dari perguruan tinggi ternama, gelas akademik yang tinggi, juga bagian untuk
memperkuat pengaruh kekuasaan bersumber legitimasi. Manajer
menghadirkan symbol penghargaan, protocol pengawalan merupakan upaya
mengelola sumber legitimasi efektif di dalam dinamika pengaruh kekuasaan
di dalam organisasi.

10.3.2 Koersi

Kekuasaan koersi juga bersumber kepada posisi dan hak melekat dari dari
suatu posisi formal, untuk memberikan hukuman, teguran, peringatan. Hak ini
biasanya tidak tertuang secara formal dalam peraturan, atau uraian jabatan
seseorang. Namun kewenangan yang melekat di suatu posisi, memungkinkan
manajer meminta anak buah untuk melakukan sesuatu, dan bila tidak
dijalankan atau tidak sesuai dengan standar formal yang disepakati, pemimpin
atau manajer dapat memberikan sanksi staf nya. Sumber kekuasaan koersi ini
merupakan potensi yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kewenangan
atau menduduki posisi tertentu, dan akan efektif menggunakan sumber
kekuasaan ini agar pengikut atau karyawan mematuhi pemimpinnya. Tidak
peduli seseorang menyukai atau tidak menyukai penugasan dari pemimpinnya
ini, seorang anak buah akan menjalankannya mengingat sanksi atau hukuman
menunggu untuk mereka yang mengabaikan perintah pemimpinnya.

Efektivitas pengaruh untuk mencapai tujuan yang bersumber dari kekuasaan
koersif ini, dalam realitanya memerlukan sentralitas kewenangan yang
proporsional. Sentralitas kewenangan pemimpin, akan membuat tingkat
ketergantungan anak buah makin kuat. Dalam konteks relasi
kekuasaan:kepatuhan anak buat atau unit lain untuk memenuhi standar
perusahaan adalah yang diharapkan dari sentralisasi dan sumber kekuasaan
koersi ini. Alhasil, relasi kekuasaan atas dasar koersi ini akan efektif

128 Perilaku Organisasi

pengaruhnya. Seperti membuat hukuman yang memiliki efek jera
(punishment) atau untuk memperkuat perilaku positif di dalam perusahaan
(positif re-inforcement). Misalnya, sentralisasi unit internal audit dapat
diposisikan sebagai upaya menjalankan pengaruh kekuasaan unit internal audit
dengan unit-unit lain di perusahaan agar efektif. Sehingga, bila ada temuan
audit yang berindikasi kepada kecurangan atau perbuatan kriminal, dapat
dicegah kedepannya melalui kekuasaan koersi. Sebaliknya, bagi pihak yang
menjadi subyek audit, ada ketergantungan dalam bentuk kepatuhan
(compliance) yang positif, untuk mengelola standar yang diinginkan
perusahaan, melalui unit interna audit. Dan bila standar kepatuhan itu
diabaikan, atas dasar sumber kekuasaan legitmasi dan koersi, akan dikenakan
kepada pihak yang abai. Pencapaian tujuan untuk menegakkan tatakelola
perusahaan yang baik dengan demikian akan lebih efektif pengaruhnya bila
digunakan kombinasi sumber kekuasaan.

10.3.3 Imbalan

Sumber kekuasaan, berdasarkan posisi seorang pemimpin atau manajer, untuk
memberikan imbalan kepada anak buah, merupakan bentuk relasi kekuasaan
yang mudah diamati. Imbalan di perusahaan seperti kenaikan gaji, promosi,
toleransi tenggat waktu, merupakan bentuk-bentuk sumber kekuasaan yang
dimiliki seorang manajer. Sehingga seorang pemimpin dapat efektif
menjalankan kekuasaan, membuat seseorang atau anak buah merubah sikap
atau perilakunya. Pada sisi lain, seorang manajer sebaiknya menggeluti sumber
kekuasaan imbalan dibanding melakukan hukuman kepada anak buah.
Efektivitas pengaruh kekuasaan imbalan ini meningkat ketika dikombinasikan
dengan sumber kekuasaan lain dan taktik memengaruhi, seperti gaya bahasa
pemimpin dan pesona baik pemimpin.

Potensi pemimpin memberikan imbalan merupakan sumber kekuasaan
manajer yang efektif sehingga relasi kekuasaan atas dasar ketergantungsan
anak buah kepada manajernya, dapat dikelola untuk seni mencapai tujuan
organisasi. Manajer dapat mengelola imbalan secara baik, diberikan atas dasar
meritokrasi atau pencapaian kinerja. Dengan demikian sumber sumber
kekuasaan yang lain, seperti legitimasi akan menguat dimata anak buah.
Bermodalkan legitimasi yang dimilikinya, seorang pemimpin kemudian tidak
hanya memengaruhi orang orang per orang perilaku atau sikap anak buah,
namun posisi yang dimilikinya dapat dikapitalisasi menjadi kohesivitas,
counterprevailing power antara pemimpin dan anak buah atau tim. Dengan

Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 129

meritokrasi, menjauhi nepotisme, kolusi misalnya, relasi perseptual antara
manajer dan anak buah, dimaknai sebagai mekanisme yang adil, tidak pilih
kasih, dan memberikan harapan bagi setiap anak buah. Dan bagi mereka yang
berkontribusi prima di dalam tim, dapat menggantungkan diri kepada
pemimpin yang sanggup mengelola imbalan ini. Di mana pemimpin
memprioritaskan prospek karir bagi staf yang beprestasi lebih baik. Sumber
kekuasaan yang bersumber dari posisi formal, seperti legitimasi, imbalan dan
koersi ini dengan demikian menjadi kombinasi instrument pengaruh mencapai
tujuan perusahaan. Kekuasaan merupakan nilai tambah proses pencapaian
kinerja, mendorong produktivitas pengikut, dan bukan sebaliknya, kekuasaan
formal sebagai previlage keistimewaan diri sendiri pemimpin saja. Efektivitas
pengaruh sumber kekuasaan imbalan kepada anak buah, dapat ditakar dengan
sejauh mana substitusi atau alternatif dari keberadaan pihak pemegang
kekuasaan. Dengan kata lain, efektivitas kekuasaan memberikan imbalan, akan
berkurang, bila alternatif imbalan banyak tersedia, atau pihak yang dapat
memberikan imbalan terbagi di beberapa orang.

10.3.4 Keahlian

Keahlian, merupakan sumber kekuasaan yang kian relevan saat ini. Berbeda
dengan sumber-sumber kekuasaan bersumber dari posisi formal yang diemban
oleh manajer atau pemimpin, keahlian merupakan sumber kekuasaan dari diri
seseorang. Sebagai bawaan yang ada pada diri seseorang, misalnya keahlian,
keterampilan atau hal lain yang dianggap berharga bagi kelompoknya. Sumber
kekuasaan keahlian akan efektif bila melekat kepada posisi, sehingga beberapa
sumber kekuasaan digunakan sekaligus untuk membuat kekuasaan efektif.
Misalnya, dokter dengan perawat. Seorang dokter akan efektif pengaruhnya
bila memiliki kewenangan atau menjabat posisi di rumah sakit, dan konsisten
menggunakan keahliannya. Sehingga sumber kekuasaan lain, seperti
legitimasi, imbalan, akan optimal memengaruhi anak buah mencapai kinerja
rumah sakit.

10.3.5 Referensi

Referensi atau kedekatan seseorang, dapat menjadi sumber kekuasaan.
Utamanya, pihak pemilik kekuasaan diidentifikasikan dengan sesuatu yang
penting, berharga atau sesuatu yang dihormati atas keberadaan dirinya.
Seorang yang menjabat karena keturunan tokoh yang dihormati, pendiri
perusahaan atau karena kedekatan emosi dengan pihak pihak yang dihormati

130 Perilaku Organisasi

perusahaan,maka ia mendapatkan sumber kekuasaan referensi. Sehingga relasi
kekuasaan dengan pengikutnya atau orang lain mengikuti situasi sejauh mana
ia dapat mengakses dengan pihak yang dihormati tersebut. Sebagaimana
penelitian Bass (2006), disebutkan seseorang yang mendapatkan kekuasaan
karena ditunjuk, baik keturunan atau kedekatan dengan seseorang, perlu untuk
memelihara pengaruh kekuasaannya dengan memelihara kedekatan dengan
seseorang tersebut. Dengan demikian pengaruhnya tetap efektif.

10.4 Kekuasaan dan Digital Natives

John Palfrey dan Urs Gasser (2008) mengidentifikasi kelompok ‘digital
natives”, kelompok demografi yang lahir dan beranjak dewasa dengan
komunikasi elektronik di dalam lingkungan kehidupan sehari-harinya.
Smartphone, media sosial dan jaringan Wi-Fi menjadi alat sehari hari untuk
komunikasi dan berkoordinasi secara online. Kelompok demograsi ini terlahir
tahun 2000an, dan ada yang menyebut sebagai generai millenial (GenY) dan
generasi Z, yang terlahir kemudian. Di dunia kerja, digital natives menjalani
relasi kekuasaan dengan pemimpinnya bersifat kolegial. Misalnya
menyampaikan laporan secara digital, bekerjasama dalam tim, berkolaborasi
menghasilkan inovasi dan komersialisasi produk secara online, bahkan
mengoperasikan bisnis terkoneksi “24 jam”: baik waktu setelah matahari
bersinar (after sunrise) atau waktu setelah matahari tenggelam (after sunset).
Palfrey dan Gasser, singkatnya membedakan kelompok karyawan, digital
natives, yang tidak ada lagi batas-batas geografis, budaya dan tempat kerja.
BYOD (bring your own device /membawa perangkatmu sendiri).

Sifat-sifat, kebiasaan dan harapan para digital natives kiranya perlu menjadi
perhatian bagi mereka yang mengelola relasi kekuasaan. Kemajuan teknologi
dan kelompok demografi ini, menggeser sifat alamiah relasi kekuasaan antara
pemimpin dan pengikut. Utamanya seni untuk mencapai tujuan, dalam suatu
perusahaan kini, berjalan seiring dengan koneksi banyak pihak, saling
berkomunikasi terbuka secara online. Informasi dan data bergerak realtime dan
menjadi inputan kerja bersama, hasil keluarannya dipengaruhi oleh kualitas
informasi, dan komunikasi yang dihasilkan secara online. Konsekwensi bagi
pengelolaan kekuasaan adalah perusahaan memerlukan gaya kepemimpinan
dilandasi untuk keinginan berbagi sumber sumber kekuasaan.

Kemajuan teknologi memungkinkan relasi kekuasaan (power) yang ditujukan
untuk memberdayakan (empower) anak buah. Bahkan pekerjaan yang

Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 131

menorong terbentuknya inovasi melalui system kerja yang terintegrasi, relasi
kekuasaan adalah untuk mencipta bersama (co-creation) antara pemimpin dan
anak buah. Konsep kekuasaan dan sumber kekuasaan tentu masih relevan.
Namun sifat alamiah ketergantungan dan kewenangan yang terjadi di dalam
relasi kekuasaan, nampaknya berbasis kepada saling ketergantungan, berbagi
kewenangan berdasarkan keahlian. Sumber kekuasaan, seperti pengetahuan
dan informasi,di dunia kerja era teknologi digital saat ini terbagi di berbagai
posisi di struktur organisasi. Dengan demikian relasi countervailing power
antara pemimpin dan staf di perusahaan kian relevan, dan penggunaan sumber
kekuasaan semata mata koersi, dengan demikian dipastikan akan mengurangi
efektivitas proses kerja dan mencapai tujuan perusahaan. Relasi kekuasaan
komando, menggunakan basis legitimasi formal semata, di organisasi bisnis
digital, misalnya tidak akan efektif mengelola kapasitas sumber daya
pengetahuan yang keahliannya kian terspesialisasi dan diisi oleh kelompok
demograsi yang terlahir digital tersebut. Katakan keahlian staf menyangkut
data analytics, programing robotics, dan artifisial intelligence. Diperlukan
pengelolaan relasi kekuasaan atas dasar kolaborasi, tim work untuk berbagi
pengetahuan dan keahlian. Lebih penting lagi, saat ini sumber sumber
kekuasaan didedikasikan mencapai tujuan kerja yang dilakukan secara
kolaboratif. Baik proses maupun capaian kerjanya. Dengan demikian relasi
kekuasaan dan seni mencapai tujuan “politik” di organisasi memerlukan
taktik-taktik tertentu untuk menerapkan berbagai sumber kekuasaan.

Sumber daya keahlian yang dimiliki oleh kelompok digital natives ini juga
memerlukan kontekstualisasi kewenangan, yang biasanya melekat di jabatan
atau posisi dengan status kerja tetap. Sementara saat ini kewenangan seringkali
dalam konteks status kontrak, dan relasi berbagi kekuasaan dengan berbagai
pihak di belahan dunia Tenaga kerja kontrak ini akan diisi oleh mereka yang
memiliki keterampilan tinggi,pengetahuan dan kecakapan yang tidak dimiliki
oleh karyawan yang sudah ada, dan sulit didapatkan dalam jenjang organisasi.
Misalnya, banyak lembaga memakai tenaga kerja keuangan dan IT. Mereka
meskipun berstatus kontrak, namun terlibat secara intensif dalam rutin sehari-
hari lembaga dan memengaruhi kinerja perusahaan. Sehingga relasi kekuasaan
antara pemimpin dan staf kontrak ini, diutamakan untuk memfasilitasi
penyebaran informasi dan kapasitas membangun proses kerja secara tim dan
kolaboratif. Kerja sama kian diperlukan sehingga peran atasan dan bawahan
menjadi lebih sejajar. Tiap orang perlu memahami peranannya dalam konteks
yang lebih fleksibel.

132 Perilaku Organisasi

10.5 Soft Power

Penggunaan teknologi dan pergeseran demografis, dengan demikian tidak
hanya mengubah sistem dan proses di dalam perusahaan, tapi juga perubahan
relasi kekuasaan dan penggunaan sumber-sumber kekuasaan dengan taktik
pengaruh yang lebih lunak (soft). Membangun relasi kekuasaan yang
kolaboratif secara online, bertumpu pada konektivitas gudang gudang
pengetahuan yang tersebar dan dapat dikolaborasikan secara daring. Sehingga
tugas pokok dan fungsi pemimpin, adalah membangun relasi kekuasaan
dengan membangun konektivitas digital dengan pihak-pihak di dalam dan di
luar perusahaan. Penggunaan sumber kekuasaan (power) perlu disertai dengan
softpower: kecakapan untuk memengaruhi dan memastikan keterikatan
seseorang mencapai tujuan organisasi, melalui komunikasi, persuasi dan
pesona (charm). Dikutip oleh Gask (2013), bahwa Google Inc.
mengindentifikasi manager nya sebagai atasan yang lebih baik, bilamana
seorang manager di Google Inc. memiliki ketrampilan sebagai “a good coach”,
memberdayakan tim, mengutamakan kepentingan karyawan untuk sukses dan
lebih sejahtera sebagai prioritas utama.

Kian pentingnya penggunaan kekuasaan ‘soft” di era digital ini dengan demikian
diharapkan setiap pihak, saling menjaga relasi kekuasaan. Menjadi pemegang
kekuasaan yang terhormat dengan menjaga relasi kekuasaannya. Pemimpin dan
anak buah membiasakan diri bersuara dan “berkicau”, namun juga menjadi
pendengar yang empatik secara bersamaan. Mereka membuka dialog namun juga
penyimak aktif dan pemberi feedback yang konstruktif. Pada gilirannya hal ini
akan terbangun relasi kekuasaan kolegial antara atasan dan bawahan, yang semula
bertema kontrol. Setiap orang menggumuli sumber kekuasaanya, namun
bertanggung jawab untuk bekerja dengan pihak lain. Tiap pekerja akan memiliki
otonomi untuk menggunakan akses dan menentukan outcome, sekaligus
mengelola perilaku sendiri untuk memonitor kualitas dan produktivitas sendiri.
Pekerjaan selesai tidak hanya di pundak pemimpin, manajer, namun juga di
pundak masing-masing individu (Prasetya, 2019).

Mengelola pengaruh menggunakan softpower, dapat disampaikan pula mengelola
sumber sumber kekuasaan dengan taktik yang menjauhi kebohongan (dishonest),
menghindari pemaksaan, kekasaran dan manipulatif (deliberate machiavellianism)
DuBrin, (2013). Dengan demikian sumber sumber kekuasaan dan seni untuk
pencapai tujuan, dijalankan untuk membahagiakan orang lain,membebaskan dari
ketakutan, anak buat bekerja di dalam tim, berkolaborasi menghasilkan capaian
perusahaan untuk kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik.

Bab 11

Struktur Organisasi dan
Budaya Organisasi

11.1 Pendahuluan

Organisasi merupakan suatu sistem yang menggambarkan satu kesatuan di
antara unsur-unsur yang saling terkait satu dengan yang lain dalam rangka
memaksimalkan kinerja untuk mencapai tujuan melalui koordinasi di antar
unsur tersebut karena tujuan organisasi hanya dapat tercapai bilamana adanya
kerjasama di antara semua unsur yang ada dalam organisasi.
Unsur-unsur yang terdapat dalam organisasi itu meliputi (Muliana dkk, 2020):
1. Organisasi terdiri dari minimal dua anggota dan jumlah maksimal

tidak dibatasi.
2. Adanya tugas pokok, fungsi dan wewenang masing-masing anggota

dalam organisasi.
3. Adanya struktur organisasi yang jelas untuk menggambarkan posisi

dan pembagian kerja dari masing-masing anggota dalam organisasi.
4. Adanya tempat berupa kantor, ruangan, lokasi atau sekretariat untuk

melaksanakan berbagai kegiatan dalam organisasi.

134 Perilaku Organisasi

5. Mencakup wilayah kerja yang jelas.
6. Adanya visi, misi dan tujuan yang jelas dari organisasi.

Setiap organisasi harus mampu menempatkan masing-masing sumber daya
manusia yang ada dalam posisi yang tepat sesuai dengan keahlian dan
kemampuan masing-masing individu agar sumber daya manusia itu berdaya
guna dan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kinerja untuk
mencapai tujuan organisasi. Untuk itu perlu adanya struktur organisasi yang
jelas dari setiap organisasi untuk menganalisis jumlah sumber daya manusia
yang dibutuhkan dari masing-masing jabatan yang ada dalam organisasi.
Struktur organisasi ini menunjukkan adanya pembagian tugas dan tanggung
jawab kepada setiap individu dalam organisasi sehingga tugas dan tanggung
jawab yang diberikan itu adil dan tidak ada yang kelebihan tugas dan juga
tidak ada yang kekurangan tugas. Dengan adanya struktur organisasi masing-
masing individu dalam organisasi telah mengetahui dan dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Karena organisasi terdiri dari individu-individu yang berasal dari lingkungan
yang tidak sama dan memiliki perbedaan karakteristik, maka dari itu perlu
dibentuk budaya organisasi yang menjadi pedoman bagi setiap individu dalam
organisasi untuk berperilaku menurut aturan yang telah ditentukan organisasi.
Karena jika masing-masing individu membawa karakteristiknya masing-
masing di dalam organisasi maka akan memicu terjadinya konflik dalam
organisasi. Secara logika memang sulit untuk terhindar terjadinya konflik
dalam organisasi, namun dengan terbentuknya budaya organisasi dapat
meminimalisir terjadinya konflik yang dapat dihindari. Budaya organisasi akan
membentuk kebiasaan yang memungkinkan semua individu dalam organisasi
mampu bekerja dengan produktif, kreatif dan antusias serta kreatif dan inovatif
dalam mencapai tujuan organisasi, Wahjono, (2010). Dan akhirnya budaya
organisasi inilah yang akan menjadi keunikan dari organisasi ini yang
membedakan organisasi ini dengan organisasi lainnya.

Bab 11 Struktur Organisasi dan Budaya Organisasi 135

11.2 Struktur Organisasi

11.2.1 Pengertian Struktur Organisasi

Dalam struktur organisasi ditetapkan pembagian kerja, pengelompokkan jenis
pekerjaan dan pengoordinasian pelaksanaan pekerjaan secara formal. Setiap
organisasi tanpa melihat besar dan kecilnya organisasi yang bersangkutan pasti
mempunyai struktur organisasi karena struktur organisasi ini dirancang untuk
mempermudah pencapaian sasaran dan tujuan organisasi. Struktur organisasi
merupakan sistem berupa jaringan kerja yang mencakup tugas-tugas, sistem
pelaporan hingga komunikasi yang mengaitkan pekerjaan secara individual
bersama-sama dengan kelompok, Wahjono, (2010). Pendapat lain menyatakan
bahwa struktur organisasi merupakan suatu pola yang menggambarkan
hubungan dari berbagai komponen yang ada dalam organisasi, Lie, (2019).
Berdasarkan pendapat dari ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
struktur organisasi merupakan sistem yang menggambarkan pola hubungan
dari pekerjaan, pelaporan dan termasuk komunikasi dari masing-masing
komponen yang ada di dalam organisasi.

Komponen yang ada dalam struktur organisasi mencakup: (Lie, 2019)

1. Kompleksitas
Kompleksitas struktur menunjukkan adanya perbedaan yaitu:

• Diferensiasi Horizontal. Diferensiasi horizontal disebabkan
karena orientasi pekerjaan, sifat pekerjaan dan dasar pendidikan
serta pelatihan yang terus mengalami perubahan dan peningkatan
yang diperlukan dalam mendukung pelaksanaan tugas dalam
organisasi. Diferensiasi ini menyebabkan pengelola organisasi
semakin berat bebannya dalam memberikan koordinasi atas
pekerjaan yang harus diselesaikan dan meningkatnya kesulitan
dalam komunikasi antar unit yang ada dalam organisasi sehingga
menghasilkan pembagian unit kerja berdasarkan keahlian.

• Diferensiasi Vertikal. Organisasi menambah diferensiasi vertikal
dengan memperbanyak tingkatan pegawai seperti supervisor dan
manajer untuk mengawasi aktivitas yang beragam dalam


Click to View FlipBook Version